Ebn Cicu
Ebn Cicu
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Gagal jantung kongestif (CHF) merupakan suatu keadaan
ketidakmampuan jantung dalam memompa darah secara adekuat untuk
memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh yang mengedarkan nutrisi dan
oksigen (Black and Hawks, 2009). Gagal jantung bukan merupakan suatu
penyakit yang berdiri sendiri mlainkan sebuah sindrom klinis yang
dikarakteristikan dengan kelebihan volume darah, tidak adekuatnya perfusi
jaringan, dan penurunan toleransi aktivitas seharihari.
Gagal jantung dapat disebabkan oleh berbagai etiologi diantaranya
adalah faktor dari kelainan pada struktur dan fungsi jantung itu sendiri (faktor
intrinsik), maupun faktor yang disebabkan dari luar (faktor ekstrinsik). Faktor
intrinsik yang merupakan kelainan pada struktur dan fungsi jantung
memberikan pengaruh sebagian kecil dibanding faktor ektrinsik pada
terjadinya penyakit jantung kongestif yang banyak ditemukan di masyarakat
sekarang ini. Faktor ekstrinsik dalam hal ini berhubungan dengan perubahan
pola hidup, terutama pola hidup tidak sehat yang banyak ditemui di
lingkungan masyarakat perkotaan. Beberapa contoh pola hidup tidak sehat
tersebut antara lain adalah kurang olahraga, stress pekerjaan maupun
psikologis, kebiasaan mengkonsumsi junk food, polusi (udara, suara, air) dan
sanitasi yang jauh dari syarat kesehatan. Kumpulan faktor tersebut yang
menyebabkan insiden penyakit jantung meningkat setiap tahunnya terutama
di lingkungan masyarakat perkotaan.
Insiden gagal jantung mengalami peningkatan disetiap tahunnya.
Prevalen gagal jantung di Amerika Serikat diperkirakan 670.000 kasus baru
didiagnosa setiap tahun. Saat ini 5,7 juta masyarakat Amerika Serikat
menderita penyakit gagal jantung. Meskipun kmajuan teknologi pengobatan
dapat meningkatkan angka Data epidemiologi untuk gagal jantung sendiri
belum ada. Data secara umum diperoleh dari hasil Survei Kesehatan Nasional
(Sukermas) tahun 2003 diperoleh gambaran bahwa penyakit kardiovaskuler
merupakan penyebab kematian utama di Indonesia (26.4%). Pernyataan
tersebut diperkuat dari hasil Profil Kesehatan Indonesia tahun 2003 yang
menyebutkan bahwa penyakit jantung berada pada urutan ke-delapan (2.8%)
pada 10 jenis penyakit penyebab kematian terbanyak di rumah sakit di
Indonesia (Kumala, 2009).
Merujuk dari berbagai manifestasi klinis yang muncul pada penderita
gagal jantung, baik gagal jantung kanan maupun gagal jantung kiri terdapat
salah satu gejala yang khas yaitu kelalah dalam beraktivitas. Tingkat
kelelahan ketika menjalankan aktivitas dijadikan pedoman dalam
pengklasifikasian tingkatan gagal jantung menurut NYHA yang
dikelompokkan menjadi empat tingkatan (Black and Hawks, 2009).
Kelelahan terjadi karena pengaruh dari sirkulasi ke jaringan yang tidak
adekuat sehingga konsumsi O2 ke jaringan juga mengalami penurunan.
Tubuh merespon dengan melakukan metabolisme anaerob yang menghasilkan
zat sisa berupa asam laktat. Penumpukan asam laktat pada otot yang berlebih
akan menyebabkan kelelahan sehingga muncul gelaja penurunan toleransi
aktivitas pada sebagian besar pasien dengan gagal jantung.
Intoleransi aktivitas pada penderita gagal jantung satu dengan yang
lain dapat berbeda tergantung dari kapasitas fungsional. Kapasitas fungsional
merupakan kemampuan seseorang dalam melakukan aktivitas yang biasa
dilakukan dalam kehidupan sehari-hari (Wenger, 1989 dalam Suharsono,
2011). Pasien gagal jantung yang mengalami kelainan struktur dan fungsi
jantung menyebabkan kerusakan fungsi ventrikel untuk memenuhi kebutuhan
nutrisi dan oksigen ke jaringan tubuh. Kondisi ini menyebabkan pasien
dengan gagal jantung umumnya mengalami penurunan kapasitas fungsional
dan sesak napas (dipsnea) ketika beraktivitas maupun ketika istirahat. Kondisi
inilah yang menyebabkan pasien gagal jantung mengalami penurunan dalam
menjalankan aktivitas sehari-hari.
Pasien gagal jantung perlu untuk diajarkan melakukan aktivitas secara
bertahap dengan tujuan toleransi aktivitas dapat meningkat pula. Aktivitas
dilakukan dengan melihat respon sepeti peningkatan nadi, sesak napas dan
kelelahan. Aktivitas akan melatih kekuatan otot jantung sehingga gejala gagal
jantung semakin minimal. Aktivitas ini akan dapat dilakukan secara informal
dan lebih efektif apabila dirancang dalam program latihan fisik yang
terstruktur (Nicholson, 2007). Latihan aktivitas yang disesuaikan dengan
toleransi atau kapasitas fungsional pasien gagal jantung menjadi salah satu
intervensi yang dapat dilakukan. Latihan aktivitas yang disesuaikan dengan
toleransi bertujuan untuk meminimalkan demand oksigen tubuh sehingga
metabolisme anaerob dapat dikurangi. Selain itu, latihan aktivitas bermanfaat
untuk melatih jantung beradaptasi dengan kapasitas maksimal dalam
menjalankan fungsinya.
Berdasarkan latar belakang diatas dan hasil observasi di ruang CICU
(Cardiac Intensife Care Unit) beberapa pasien mengalami gangguan
dalam ................
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam penyusunan Evidance Based Nursing (EBN)
adalah bagaimana pengaruh Home Based Exercise Training dalam mengatasi
masalah keperawatan intoleransi aktivitas pada pasien gagal jantung kongestif
di Ruang CICU Rumah Sakit Umum Pusat Hasan Sadikin Bandung.
C. Tujuan Umum
Untuk mengetahui pengaruh Home Based Exercise Training dalam
mengatasi masalah keperawatan intoleransi aktivitas pada pasien gagal
jantung kongestif di Ruang CICU Rumah Sakit Umum Pusat Hasan Sadikin
Bandung.
D. Tujuan Khusus
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2. Klasifikasi
Klasifikasi gagal jantung yang dikenal adalah klasifikasi menurut
New York Heart Association (NYHA) dengan melihat pada tanda dan
gejala sehari-hari yang dialami pasien dengan gagal jantung terutama
keluhan sesak napas ketika beraktivitas dalam beberapa tingkatan
(Mansjoer, 2001), yaitu:
a. NYHA kelas I
Para penderita penyakit jantung tanpa pembatasan dalam
kegiatan fisik serta tidak menunjukkan gejal-gejala penyakit jantung
seperti cepat lelah, sesak nafas atau berdebar-debar, apabila
melakukan kegiatan biasa.
b. NYHA kelas II
Penderita dengan sedikit pembatasan dalam kegiatan fisik.
Mereka tidak mengeluh apa-apa waktu istirahat, akan tetapi kegiatan
fisik yang biasa dapat menimbulkan gejala-gejala insufisiensi jantung
seperti kelelahan, jantung berdebar, sesak nafas atau nyeri dada.
c. NYHA kelas III
Penderita penyakit dengan banyak pembatasan dalam kegiatan
fisik. Mereka tidak mengeluh apa-apa waktu istirahat, akan tetapi
kegiatan fisik yang kurang dari kegiatan biasa sudah menimbulkan
gejala- gejala insufisiensi jantung seperti yang tersebut di atas.
d. NYHA kelas IV
Penderita tidak mampu melakukan kegiatan fisik apapun tanpa
menimbulkan keluhan, yang bertambah apabila mereka melakukan
kegiatan fisik meskipun sangat ringan.
3. Etiologi
a. Kelainan otot jantung
Gagal jantung paling sering terjadi pada penderita kelainan otot
jantung, sebagai akibatnya adalah terjadi penurunan kontraktilitas
jantung. Kondisi yang mendasari penyebab kelainan fungsi otot
mencakup aterosklerosis koroner, hipertensi atrial, dan penyakit otot
degenerative atau inflamasi.
b. Aterosklerosisi Koroner
Aterosklerosisi koroner mengakibatkan disfungsi miokardium
karena terganggunya aliran darah ke otot jantung. Terjadi hipoksia dan
asidosis (akibat penumpukan asam laktat). Infark miokardium
(kematian sel jantung) biasanya mendahului terjadinya gagal jantung.
c. Hipertensi sistemik atau pulmonal
Hipertensi sistemik atau pulmonal (peningkatan afterload)
meningkatkan beban kerja jantung yang manifestasi akhirnya dapat
menyebabkan hipertrofi serabut otot jantung. Efek serabut, (hipertrofi
miokard) dapat di anggap sebagai mekanisme kompensasi karena akan
meningkatkan kontraktilitas jantung. Akan tetapi, pada kondisi
tertentu hipertrofi otot jantung tadi tidak dapat berfungsi secara
nirmal, dan akhirnya memicu terjadinya gagal jantung.
4. Patofisiologi
Frekuensi jantung adalah fungsi sistem saraf otonom. Apabila
curah jantung berkurang, sistem saraf simpatis akan mempercepat
frekuensi jantung untuk mempertahankan curah jantung. Ketika
mekanisme kompensasi ini gagal untuk mempertahankan perfusi
jaringan yang memadai, maka volume sekuncup jantunglah yang
harus menyesuaikan diri untuk mempertahankan curah jantung. Tetapi
pada gagal jantung dengan masalah utama kerusakan dan kekakuan
serabut otot jantung, volume sekuncup berkurang dan curah jantung
normal masih dapat dipertahankan. Insufisensi suplai jantung
ditentukan oleh cardiac output. Faktor yang mempengaruhi atau
membentuk cardiac output adalah heart rate dan stroke volueme.
Stroke volume jantung dipengaruhi oleh tiga variabel yaitu
preload, contractility, dan afterload. Apabila ketiga variabel
pembentuk stroke volume mengalami gangguan atau kerusakan maka
akan berpengaruh terhadap cardiac output yang menyebabkan gagal
jantung (Black and Hawks, 2009). Preload selain dipengaruhi oleh
volume dalam ventrikel juga dipengaruhi oleh hambatan pengisian
ventrikel. Peningkatan tekanan positif intrapleural seperti pada kasus
pasien dengan asma dan COPD dapat menurunkan pengisian
ventrikel. Apabila volume meingkat maka jantung akan bekerja lebih
keras untuk memompa darah dari kondisi fisiologis/ normal. Fungsi
diastolik jantung ditentukan oleh dua faktor yaitu elastisitas dan
relaksasi miokardial. Relaksasi terjadi pada awal diastolik, pada
ventrikel kiri yang merupakan tempat terjadiny pross aktif yang
menyebabkan pengisian ventrikel kiri. Kehilangan elastisitas dan
relaksasi pada ventrikel kiri akan menyebabkan kerusakan struktur
dan fungsi dari jantung itu sendiri yang berpengaruh terhadap
terganggunya pengisian jantung.
Variabel kedua yang berpengaruh terhadap stroke volume adalah
kontaktilitas otot jantung. Kontraktilitas menggambarkan kekuatan
pompa otot jantung yang dapat diukur dengan menilai fraksi ejeksi
(EF). Pada kondisi normal fungsi sistolik akan mempertahankan EF >
50-55%. Variabel ketiga adalah afterload merupakan tahanan yang
harus dilawan jantung ketika berkontraksi. Afterload dapat diukur
dengan mean arterial pressure (MAP). Pada kondisi fisiologis, jantung
mampu melawan tahanan afterload sampai 140 mmHg. Tekanan
intratorak juga berpengaruh terhadap afterload. Gagal jantung
khususnya gagal fungsi ventrikel kiri biasanya diawali dengan
penurunan cardiac output. Ketika jantung mulai mengalami
kegagalan, aktivasi neuro-hormonal menghasilkan vasokontriksi
sistemik, retensi cairan, dan natrium untuk meningkatkan cardiac
output dan mempertahankan tekanan darah. Mekanisme kompensasi
tersebut akan berlangsung dalan jangka pendek, akan tetapi proses
kerusakan otot jantung terus terjadi dan dapat semakin memburuk
(Black and Hawks, 2009).
Tubuh secara fisiologis akan melakukan kompensasi terhadap
respon yang tidak sesuai. Sebagai bentuk kompensasi, jantung
terutama bagian ventrikel akan meningkatkan tekanan secara persisten
yang dapat menyebabkan penebalan dan kekakuan dinding ventrikel.
Proses tersebut disebut sebagai cardiac remodelling. Hasil dari
remodelling ini adalah pembesaran/ hipertrofi dan pompa jantung
yang tidak efektif. Keadaan tersebut memicu aktivasi berlebihan
sistem neuro-hormonal yang menyebabkan frekuensi nadi meningkat
(tachicardi). Pengaruh dari perubahan tersebut mnyebabkan
penurunan perfusi kororner dan pningkatan konsumsi oksigen untuk
organ jantung (Suharsono, 2011). Kondisi patologi ini menghasilkan
gejala seperti sesak nafas akibat kongesti pembuluh darah paru,
intoleransi aktivitas akibat kerusakan aliran darah ke otot, dan edema
akibat retensi cairan (Black and Hawks, 2009).
5. Manifestasi Klinis
Gagal Jantung Kongestif Manifestasi klinis yang dominan atau
sering muncul pada klien dengan penyakit gagal jantung kongestif
adalah : Meningkatnya volume intravaskuler. Kongesti jaringan terjadi
akibat tekanan arteri dan vena yang meningkat akibat menurunnya
curah jantung pada kegagalan jantung kongestif. Peningkatan tekanan
vena pulmonalis dapat menyebabkan cairan mengalir dari kapiler paru
menuju alveoli, sebagai akibatnya dapat terjadi edema paru yang
dimanifestasikan dengan batuk dan napas pendek. Meningkatnya
tekanan vena sistemik dapat mengakibatkan edema perifer umum dan
penambahan berat badan (Smeltzer & Bare, 2002).
Penurunan curah jantung pada penyakit gagal jantung
kongestif dimanifestasikan secara luas karena darah tidak dapat
mencapai jaringan dan organ (perfusi jaringan dan organ
menurun/rendah) untuk menyampaikan oksigen yang dibutuhkan
untuk metabolisme sel atau jaringan. Efek yang dapat terjadi sebagai
akibat dari perfusi jaringan yang rendah adalah pusing, konfusi,
kelelahan, tidak toleran terhadap latihan dan panas, ektrimitas dingin,
dan haluaran urin berkurang (oliguri). Tekanan perfusi ginjal menurun
, mengakibatkan pelepasan rennin dari ginjal yang pada gilirannya
dapat menyebabkan sekresi hormone aldosteron, retensi natrium dan
cairan serta peningkatan volume intravaskuler.
Manifestasi klinis gagal jantung kongestif dapat
diklasifikasikan lebih spesifik lagi pada sisi area jantung yang
mengalami kelainan atau kerusakan, berikut adalah penjelasannya:
a. Gagal jantung sisi kiri dan kanan
Ventrikel kanan dan kiri dapat mengalami kegagalan secara
terpisah. Gagal ventrikel kiri paling sering mendahului gagal ventrikel
kanan. Gagagl ventrikel kiri murni sinonim dengan edema paru akut.
Karena curah ventrikel berpasangan atau sinkron, maka kegagalan salah
satu ventrikel dapat mengakibatkan penurunan perfusi jaringan. Tetapi
manifestasi klinis kongestif dapat berbeda- beda tergantung pada
kegagalan ventrikel mana yang terjadi.
b. Gagal jantung sisi kiri
Kongesti paru menonjol pada gagal ventrikel kiri, karena ventrikel
kiri tidak mampu memompa darah yang datang dari paru. Peningkanan
tekanan dalam sirkulasi paru menyebabkan cairan terdorong ke jaringan
paru. Manifestasi klinis yang dapat terjadi meliputi dipsnue, batuk,
mudah lelah, denyut jantung cepat (takikardia) dengan bunyi denyut S1,
kecemasan dan kegelisahan. Dipsnea terjadi sebagai akibat penimbunan
cairan dalam alveoli yang mengganggu pertukaran gas. Dipsnea bahkan
dapat terjadi ketika istirahat atau dicetuskan oleh gerakan yang minimal
atau sedang. Dapat terjadi ortopnu, kesulitan bernapas ketika berbaring.
Beberapa pasien hanya mengalami ortopnu pada malam hari, suatu
kondisi yang dinamakan proximal noktural dispnea (PND). Hal ini
terjadi bagi pasien yang sebelumnya duduk lama dengan posisi kaki dan
tangan dibawah, pergi berbaring ke tempat tidur. Setelah beberapa jam
cairan yang tertimbun di ekstrimitas yang sebelumnya berada dibawah
mulai di absorbsi, dan ventrikel kiri yang sudah terganggu tidak mampu
mengosongkan peningkatan volume dengan adekuat. Akibatnya, tekanan
dalam sirkulasi paru meningkat dan dampak lebih lanjut adalah cairan
berpindah ke alveoli. Batuk yang berhubungan dengan gagal ventrikel
kiri bisa kering dan tidak produktif tetapi yang tersaring adalah batuk
basah, yaitu batuk yang menghasilkan sputum berbusa dalam jumlah
banyak yang kadang disertai darah.
Mudah Lelah terjadi akibat curah jantung yang kurang yang
menghambat jaringan dari sirkulasi normal dan oksigen serta
menurunnya pembuangan sisa hasil katabolisme. Kelelahan juga dapat
terjadi sebagai akibat meningkatnya energy yang digunakan untuk
bernapas dan insomnia yang terjadi akibat distress pernapasan dan
batuk. Kegelisahan dan kecemasan terjadi akibat gangguan oksigen
jaringan, stress akibat kesakitan bernapas dan pengetahuan bahwa
jantung tidak berfungsi dengan bak. Seringkali ketika terjadi kecemasan,
terjadi juga dipsnu yang pada gilirannya memperberat kecemasan.
c. Gagal jantung sisi kanan
Apabila kerusakan atau kegagalan terjadi pada ventrikel kanan
jantung maka manifestasi klinis yang menonjol adalah kongesti visera
dijaringan perifer. Hal ini terjadi karena sisi kanan jantung tidak mampu
mengosongkan volume darah dengan adekuat sehingga tidak dapat
mengakomodasi atau memenuhi semua darah yang secara normal
kembali ke sirkulasi vena. Manifestasi klinis yang tampak meliputi
edema ektrimitas bawah (edema dependen) yang biasanya merupakan
pitting edema, pertambahan BB, hepatomegali, distensi vena leher,
asites (penimbunan cairan di dalam rongga peritoneum), anoreksia dan
mual, nokturia dan lemah.
Edema dimulai pada kaki dan tumit (edema dependen) dan secara
bertahap bertambah ke atas tungkai dan pada, akhirnya dapat mencapai
bagian genital eksterna dan tubuh bagian bawah. Edema sacral sering
terjadi pada pasien dengan kondisi berbaring lama (bed-rest), karena
daerah sacral menjadi daerah yang dependen. Pitting edema adalah
edema yang akan tetap cekung bahkan setelah penekanan ringan dengan
ujung jari, akan terlihat jelas setelah terjadi retensi cairan paling tidak
sebanyak 4,5kg.
Hepatomegali dan nyeri tekan pada kuadran kanan atas abdomen
terjadi akibat pembesaran vena di hepar. Apabila proses ini
berkembang , maka tekanan dalam pembuluh portal meningkat sehingga
cairan terdorong keluar rongga abdomen, suatu kondisi yang dinamakan
asites. Pengumpulan cairan di rongga abdomen dapat menyebabkan
tekanan pada diafragma dan distress pernapasan.
Anoreksia (hilangnya selera makan) dan mual akibat pembesaran
vena dan statis vena di dalam rongga abdomen. Nokturia atau rasa ingin
kencing pada malam hari terjadi karena perfusi renal di dukung oleh
posisi klien pada saat berbaring. Diuresis terjadi paling sering pada
malam hari karena curah jantung akan membaik dengan istirahat.
Lemah yang menyertai gagal jantung sisi kanan disebabkan karena
menurunnya curah jantung, gangguan sirkulasi dan pembuangan produk
sampah katabolisme yang tidak adekuat dari jaringan.
B. Latihan Fisik
1. Pengertian
Latihan fisik merupakan aktivitas fisik yang terencana dan
terstruktur dengan tujuan untuk mempertahankan atau meningkatkan
kebugaran fisik. Latihan ini melitupi tipe, intensitas, durasi dan
frekuensi tertentu yang disesuaikan dengan kondisi pasien (Levine,
2010). Home based exercise training merupakan salah satu alternatif
latihan fisik yang bertujuan untuk mempertahankan dan meningkatkan
toleransi latihan pasien gagal jantung. HBET merupakan jawaban dari
fenomena peningkatan jumlah pasien gagal jantung yang mengalami
penurunan toleransi aktivitas, latihan fisik terpusat di rumah sakit tidak
memungkinkan untuk dilakukan. HBET terbukti dapat meningkatkan
kapasitas latihan, meningkatkan self efficacy dan menurunkan angka
dirawat ulang pada pasien gagal jantung (Hwang, Redfern, & Aison,
2008).