Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH COMPOUNDING & DISPENSING

MEDICATION ERROR & DISPENSING ERROR

Kelompok 3 :
Elpriady L.
Gideon Sirait
Fera Kurniawati
Harli Labobar

PROGRAM PROFESI APOTEKER ANGKATAN XXV


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT SAINS DAN TEKNOLOGI NASIONAL
JAKARTA
2013

DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL i
DAFTAR ISI ii
BAB I PENDAHULUAN 1
BAB II PEMBAHASAN 3
Definisi 3
Faktor Penyebab 4
Klasifikasi 7
Pencegahan Medication Error 12
Pengelolaan Kesalahan Obat 17
Kasus Medication Error 19
BAB III PENUTUP 23
DAFTAR PUSTAKA 24

2
BAB 1
PENDAHULUAN

Medication error merupakan masalah yang sering terjadi pada pasien rawat jalan.
Secara umum Medication error didefinisikan sebagai peresepan, pemberian dan administrasi
obat yang salah, yang menyebabkan konsekuensi tertentu atau tidak. Sebuah studi medication
error pada pasien pediatric menunjukkan 5,7% medication errors 10778 kasus berasal dari
pemesanan obat. Studi lain menyebutkan bahwa lokasi yang paling banyak terjadi kesalahan
pada pediatric adalah NICU (Neonatal Intensive Care Unit), unit pelayanan umum, unit
pediatrik dan pasien rawat inap. Sebagian besar kesalahan terkait dengan administrasi obat
terutama penggunaan dosis obat yang kurang tepat. Medication error dapat menyebabkan
efek samping yang membahayakan, yang potensial memicu resiko fatal dari penyakit. Suatu
sistem praktik pengobatan yang aman perlu dikembangkan dan dipelihara untuk memastikan
bahwa pasien menerima pelayanan dan proteksi sebaik mungkin. Hal ini dikarenakan
semakin bervariasinya obat-obatan dan meningkatnya jumlah dan jenis obat yang ditulis per
pasien saat ini. Tanggung jawab seorang apoteker dan perawat dalam dispensing dan
pemberian obat menjadi semakin berat akibat ketersediaan obat tertentu yang lebih banyak
untuk suatu penyakit, waktu kadaluarsa obat yang semakin cepat, dan banyaknya jenis obat-
obat baru yang tertulis pada resep. Penggunaan obat yang semakin meningkat dapat
meningkatkan bahaya terjadinya kesalahan pengobatan. Masalah ini semakin serius karena
kesalahan pengobatan merupakan pemicu terjadinya kecelakaan dalam rumah sakit, sehingga
perlu dicari upaya untuk mencegah dan meminimalkan terjadinya kesalahan-kesalahan
pengobatan tersebut. Kesalahan pengobatan dapat terjadi pada masing-masing proses dari
peresepan, mulai dari penulisan resep, pembacaan resep oleh apoteker, penyerahan obat
sampai penggunaan obat oleh pasien, kesalahan yang terjadi di salah satu komponen dapat
secara berantai menimbulkan kesalahan lain di komponen- komponen selanjutnya.(1)
Sebuah studi di Yogyakarta (2010) terhadap sebuah rumah sakit swasta menunjukkan
bahwa dari 229 resep, ditemukan 226 resep medication error. Dari 226 medication errors,
99.12% merupakan kesalahan peresepan, 3.02% merupakan kesalahan farmasetik dan 3.66%
merupakan kesalahan penyerahan. Sebagian besar kesalahan peresepan merupakan akibat
dari resep yang tidak lengkap. Dokter melakukan kesalahan terbanyak yakni 99.12%.
kesalahan farmasetik meliputi overdosis atau dosis rendah yang inadekuat. Penyerahan obat

1
meliputi preparasi obat yang tidak tepat dan pemberian informasi yang tidak lengkap.
Monitoring keamanan dan efikasi obat secara adekuat dapat mencegah terjadinya efek
samping. Di Rumah Sakit, pemberian informasi dan kontrol administrasi obat merupakan
tantangan yang berat. Selain itu, pada pasien rawat jalan, kontrol penggunaan obat dan
keparahan efek samping juga belum dimonitor dengan baik. Interaksi obat dengan obat,
makanan, dan bahan kimia dapat mempengaruhi terapeutik pasien. Misi apoteker adalah
untuk membantu memastikan bahwa pasien mendapatkan penggunaan obat yang terbaik dan
rasional. Apoteker harus mempelopori, bekerja sama dan disiplin dalam mencegah,
mendeteksi dan mengatasi masalah yang berkaitan dengan obat yang dapat mengakibatkan
kerugian pada pasien. Adanya faktor risiko dan riwayat penggunaan obat sebelumnya yang
mungkin dapat berinteraksi perlu dipantau untuk meminimalkan risiko. Apoteker harus
bekerja sama dengan tenaga kesehatan lain untuk memastikan bahwa obat yang digunakan
aman. Hal-hal tersebut dilakukan agar dampak negatif dari medication error seperti
pemborosan dari segi ekonomi dan menurunnya mutu pelayanan pengobatan (meningkatnya
efek samping dan kegagalan pengobatan) dapat diminimalkan (2)

BAB 2

2
PEMBAHASAN

2.1. Definisi
Error didefinisikan sebagai kegagalan dari sesuatu yang telah direncanakan untuk
diselesaikan sesuai dengan tujuan (kesalahan pada pelaksanaan) atau kesalahan pada
perencanaan untuk mencapai tujuan (kesalahan pada perencanaan). Suatu error mungkin
terjadi karena hasil dari kelalaian (The Institute of Medicine, 2004). Sedangkan kesalahan
pengobatan (medication error) didefinisikan sebagai setiap kesalahan (error) yang terjadi
dalam proses hingga penggunaan dalam pengobatan. Kesalahan pengobatan (medication
error) didefinisikan secara luas sebagai kesalahan dalam meresepkan, pembuatan, dan
memberikan obat, tanpa tergantung dengan dimana kesalahan ini menyebabkan konsekuensi
yang merugikan atau tidak. Definisi yang terbaru dari kesalahan pengobatan adalah
kegagalan dalam proses pengobatan yang menyebabkan atau berpotensi membahayaan
pasien, kesalahan pengobatan dapat terjadi pada setiap langkah pengobatan yang
menggunakan proses, dan mungkin atau tidak dapat menyebabkan ADE atau Adverse Drug
Event.(14)
Selain itu, kesalahan pengobatan (medication error) dapat didefinisikan sebagai
semua kejadian yang dapat menyebabkan pengobatan tidak sesuai atau yang dapat
mencelakakan pasien dimana prosedur pengobatan tersebut masih berada di bawah kontrol
praktisi kesehatan.(8) Dimana definisi tersebut mirip dengan definisi dari National
Coordinating Council for Medication error Reporting and Prevention (NCCMERP).
NCCMERP mendefinisikan kesalahan pengobatan sebagai Suatu kejadian yang dapat
dicegah yang menyebabkan penggunaan obat yang tidak sesuai atau membahayakan pasien di
mana pengobatan tersebut dikontrol oleh tenaga medis profesional, pasien, atau konsumen,
yang berhubungan dengan praktis profesional, produk kesehatan, prosedur, sistem termasuk
prescribing; order communication; product labeling; packaging; compounding; dispensing;
distribution; administration; education; monitoring; dan penggunaan."
Pengertian lain oleh Cohen, dkk., medication error adalah suatu kesalahan dalam
proses pengobatan yang masih berada dalam pengawasan dan tanggung jawab profesi
kesehatan, pasien atau konsumen, dan seharusnya dapat dicegah. (7) Dalam Surat Keputusan
Menteri Kesehatan RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 disebutkan bahwa pengertian
medication error adalah kejadian yang merugikan pasien, akibat pemakaian obat selama
dalam penanganan tenaga kesehatan, yang sebetulnya dapat dicegah.(11)

3
2.2. Faktor Penyebab(4,5)
Menurut American Hospital Association, medication error antara lain dapat terjadi pada
situasi berikut:
1. Informasi pasien yang tidak lengkap, misalnya tidak ada informasi tentang riwayat
alergi dan penggunaan obat sebelumnya.
2. Tidak diberikan informasi obat yang layak, misalnya cara minum atau menggunakan
obat, frekuensi dan lama pemberian hingga peringatan jika timbul efek samping.
3. Kesalahan komunikasi dalam peresepan, misalnya interpretasi apoteker yang keliru
dalam membaca resep dokter, kesalahan membaca nama obat yang relatif mirip
dengan obat lainnya, kesalahan membaca desimal, pembacaan unit dosis hingga
singkatan peresepan yang tidak jelas (q.d atau q.i.d/QD).
4. Pelabelan kemasan obat yang tidak jelas sehingga berisiko dibaca keliru oleh pasien.
5. Faktor-faktor lingkungan, seperti ruang apotek/ruang obat yang tidak terang, hingga
suasana tempat kerja yang tidak nyaman yang dapat mengakibatkan timbulnya
medication error.

Di bawah ini diuraikan beberapa faktor yang dapat menyebabkan terjadinya medication
error:
1. Kondisi sumber daya manusia Instalasi Farmasi Rumah Sakit (IFRS)
- Jumlah dan mutu apoteker tidak memadai
- Personel non-professional dalam bidang pekerjaan apoteker
2. Sistem distribusi obat untuk PRT yang tidak sesuai
3. Belum diterapkannya pelayanan farmasi klinik
Pelayanan farmasi klinik merupakan suatu kegiatan jaminan mutu pelayanan obat
kepada pasien. Dalam pelayanan ini, apoteker memiliki tanggung jawab sebagai
upaya pencapaian dan peningkatan kesehatan pasien dan mutu kehidupannya. Jika
pelayanan ini tidak diterapkan di rumah sakit, maka tidak menutup kemungkinan
kesalahan obat atau masalah yang berkaitan dengan obat akan banyak terjadi.
4. Tidak diterapkannya pedoman Cara Dispensing Obat yang Baik (CDOB)
Berbagai kegiatan dalam CDOB tidak dilakukan, seperti: interpretasi resep, riwayat
pengobatan pasien, pemberian informasi yang tidak lengkap pada etiket, kurangnya
informasi pada perawat, dapat menyebabkan terjadinya kesalahan baik oleh dokter,
apoteker, perawat, maupun pasien.
5. Kebijakan dan prosedur pengelolaan, pengendalian, serta pelayanan obat yang tidak
memadai. Kebijakan dan prosedur sangat penting serta berguna karena merupakan
penuntun untuk melaksanakan pengelolaan, pengendalian, dan pelayanan obat yang

4
efektif dan efisien di rumah sakit. Kurangnya kebijakan dan prosedur tersebut di
rumah sakit dapat berkontribusi pada kesalahan obat di rumah sakit.
6. Pelaksanaan sistem formularium dan pengadaan formularium yang belum memadai.
Sistem formularium yang belum diterapkan, mengakibatkan formularium tidak
akomodatif bagi pasien. Jumlah, jenis mutu obat serta penggunaan di rumah sakir
tidak terkendali, dan kondisi tersebut dapat menyebabkan kesalahan obat.
7. Panitia Farmasi dan Terapi (PFT) belum berdaya. Tidak berdayanya PFT di rumah
sakit, antara lain sistem formularium tidak terlaksana, formularium tidak baik, dan
pengembangan kebijakan serta prosedur berkaitan dengan obat sangat lambat. Hal-hal
tersebut dapat berkontribusi pada kesalahan obat di rumah sakit.
8. Kurang memadainya pengetahuan pasien dan profesional tentang obat. Pengetahuan
pasien yang kurang memadai tentang obat menyebabkan ketidakpatuhan pasien dan
salah penggunaan obatnya. Sedangkan, profesional kesehatan yang memiliki
pengetahuan kurang terhadap obat dapat menyebabkan kesalahan pemilihan obat yang
tepat bagi pasien.
9. Kesalahan komunikasi (communication errors).
Kesalahan komunikasi dapat terjadi akibat kurangnya kemampuan dokter/apoteker
dalam berkomunikasi dengan pasien. Dapat juga diakibatkan karena pasien tidak
memberitahukan gejala penyakit yang dirasakannya dengan jelas.
10. Meningkatnya spesialisasi dan fragmentasi perawatan kesehatan.. Semakin banyak
tenaga kesehatan yang menangani seorang pasien, makin besar kemungkinan
kesalahan informasi yang disampaikan.
11. Belum terdapat standar pelayanan medis yang tertuang dalam SOP. Masih belum
adanya standar pelayanan medis yang dituangkan dalam standar prosedur operasional
sehingga tidak ada acuan baku dalam penatalaksanaan suatu penyakit dengan baik.
Misalnya penatalaksanaan malaria baik oleh tenaga mikroskopis maupun tenaga
medis hanya didasarkan atas pengalaman.
12. Penyebab kesalahan obat yang umum
- Kekuatan obat pada etiket atau dalam kemasan yang membingungkan. Kekuatan
atau dosis sediaan tidak jelas dimana sediaan tersebut terdiri dari bermacam-
macam obat dengan perbandingan yang ada, contoh cotrimoksazol (trimetroprim
800 mg + sulfametoksazol 400 mg).
- Nama atau bunyi nama obat yang terlihat mirip. Penamaan sediaan obat yang
hampir sama dapat menyebabkan medication error. Contoh obat yang sering
menyebabkan kesalahan pengobatan adalah obat pencegah pembekuan darah
Coumadin dan obat anti parkinson Kemadrin. Taxol (paclitaxel) suatu agen

5
antikanker kedengarannya hampir sama dengan Paxil (paroxetine) yang
merupakan suatu antidepresan.
- Kesalahan alat. Contohnya pompa intravena dimana katupnya tidak berfungsi,
menyebabkan periode pemberian obat menjadi terlalu cepat.
- Tulisan tangan tidak terbaca
Tulisan tangan yang kurang jelas dapat menyebabkan kesalahan dalam dua
pengobatan yang mempunyai nama yang serupa. Selain itu, banyak nama obat
yang nampak serupa terutama saat percakapan di telepon, kurang jelas atau salah
melafalkan. Permasalahannya menjadi kompleks apabila obat tersebut memiliki
cara pemberian yang sama dan dosis yang hampir sama
- Penulisan kembali resep atau order dokter yang tidak tepat
- Perhitungan dosis yang tidak teliti. Kesalahan dalam menghitung dosis sebagian
besar terjadi pada pengobatan pediatri dan pada produk-produk intravena.
Beberapa studi menunjukkan bahwa kesalahan dalam perhitungan dosis tidak
hanya ringan tetapi juga kesalahan yang fatal, misal kesalahan 10 kali lipat atau
mencapai 15%.
13. Kesalahan diagnosis. Kesalahan dokter dalam mendiagnosis penyakit dapat
menyebabkan kesalahan tindakan medis selanjutnya.
14. Menggunakan singkatan yang tidak tepat dalam penulisan resep. Pengunaan singkatan
dalam resep terkadang dapat menyebabkan terjadinya kesalahan obat, seperti
misalnya:
- Singkatan U (unit) untuk insulin dan pitosin dapat menyebabkan kesalahan
pembacaan menjadi 0 yang menyebabkan overdosis yang berbahaya.
- Singkatan IU (International Unit) dapat terbaca sebagai IV (intravena) atau 10.
- Singkatan q.d. (quaque die) yang berarti setiap hari dapat menyebabkan kesalahan
pembacaan menjadi qid (quarter in die atau empat kali sehari) atau qod (setiap
hari yang berbeda)
- Angka desimal seharusnya tidak ditulis. Angka 1.0 dapat terbaca sebagai 10 akibat
tanda desimalnya berada pada garis keras resep.
15. Kesalahan penulisan etiket
16. Beban kerja berlebihan
17. Obat-obatan yang tidak tersedia

2.3. Klasifikasi (12)


Kategori Medication error
National Coordinating Council for Medication error Reporting and Prevention (NCC
MERP) mengklasifikasikan medication error berdasarkan tingkat keparahan hasil dari pasien.

6
Kesalahan yang dekat juga di klasifikasikan sebagai kesalahan potensial yang berhak
mendapat sistem yang luas dan mengarah ke perbaikan
Kategori medication error adalah sebagai berikut:

(6)
Diagram medication error

7
Jenis Kesalahan Obat (3,7)
Kejadian medication error dibagi dalam 4 fase, yaitu fase prescribing, fase transcribing, fase
dispensing, dan fase administrasion oleh pasien.
1. Prescribing Errors
Medication error pada fase prescribing adalah error yang terjadi pada fase penulisan resep.
Fase ini meliputi:
a) Kesalahan resep
- Seleksi obat (didasarkan pada indikasi, kontraindikasi, alergi yang diketahui, terapi
obat yang ada, dan faktor lain), dosis, bentuk sediaan, mutu, rute, konsentrasi,
kecepatan pemberian, atau instruksi untuk menggunakan suatu obat yang diorder atau
diotorisasi oleh dokter (atau penulis lain yang sah) yang tidak benar. Seleksi obat yang
tidak benar misalnya seorang pasien dengan infeksi bakteri yang resisten terhadap
obat yang ditulis untuk pasien tersebut.

8
- Resep atau order obat yang tidak terbaca yang menyebabkan kesalahan yang sampai
pada pasien.
b) Kesalahan karena yang tidak diotorisasi
Pemberian kepada pasien, obat yang tidak diotorisasi oleh seorang penulis resep yang
sah untuk pasien. Mencakup suatu obat yang keliru, suatu dosis diberikan kepada
pasien yang keliru, obat yang tidak diorder, duplikasi dosis, dosis diberikan di luar
pedoman atau protokol klinik yang telah ditetapkan, misalnya obat diberikan hanya
bila tekanan darah pasien turun di bawah suatu tingkat tekanan yang ditetapkan
sebelumnya.
c) Kesalahan karena dosis tidak benar
Pemberian kepada pasien suatu dosis yang lebih besar atau lebih kecil dari jumlah
yang diorder oleh dokter penulis resep atau pemberian dosis duplikat kepada pasien,
yaitu satu atau lebih unit dosis sebagai tambahan pada dosis obat yang diorder.
d) Kesalahan karena indikasi tidak diobati
Kondisi medis pasien memerlukan terapi obat tetapi tidak menerima suatu obat untuk
indikasi tersebut. Misalnya seorang pasien hipertensi atau glukoma tetapi tidak
menggunakan obat untuk masalah ini.
e) Kesalahan karena penggunaan obat yang tidak diperlukan
Pasien menerima suatu obat untuk suatu kondisi medis yang tidak memerlukan terapi
obat.

2. Transcription Errors
Pada fase transcribing, kesalahan terjadi pada saat pembacaan resep untuk proses dispensing,
antara lain salah membaca resep karena tulisan yang tidak jelas. Salah dalam
menterjemahkan order pembuatan resep dan signature juga dapat terjadi pada fase ini.
Jenis kesalahan obat yang termasuk transcription errors, yaitu:
a) Kesalahan karena pemantauan yang keliru
Gagal mengkaji suatu regimen tertulis untuk ketepatan dan pendeteksian masalah,
atau gagal menggunakan data klinik atau data laboratorium untuk pengkajian respon
pasien yang memadai terhadap terapi yang ditulis.
b) Kesalahan karena ROM (Reaksi Obat Merugikan)
- Pasien mengalami suatu masalah medis sebagai akibat dari ROM atau efek
samping.
- Reaksi diharapkan atau tidak diharapkan, seperti ruam dengan suatu antibiotik,
pasien memerlukan perhatian pelayanan medis.
c) Kesalahan karena interaksi obat
Pasien mengalami masalah medis, sebagai akibat dari interaksi obat-obat, obat-
makanan, atau obat-prosedur laboratorium.
3. Administration Error

9
Kesalahan pada fase administration adalah kesalahan yang terjadi pada proses penggunaan
obat. Fase ini dapat melibatkan petugas apotek dan pasien atau keluarganya. Kesalahan yang
terjadi misalnya pasien salah menggunakan supositoria yang seharusnya melalui dubur tapi
dimakan dengan bubur, salah waktu minum obatnya seharusnya 1 jam sebelum makan tetapi
diminum bersama makan.
Jenis kesalahan obat yang termasuk administration errors yaitu :
a) Kesalahan karena lalai memberikan obat
Gagal memberikan satu dosis yang diorder untuk seorang pasien, sebelum dosis
terjadwal berikutnya.
b) Kesalahan karena waktu pemberian yang keliru
Pemberian obat di luar suatu jarak waktu yang ditentukan sebelumnya dari waktu
pemberian obat terjadwal.
c) Kesalahan karena teknik pemberian yang keliru
- Prosedur yang tidak tepat atau teknik yang tidak benar dalam pemberian suatu
obat.
- Kesalahan rute pemberian yang keliru berbeda dengan yang ditulis; melalui rute
yang benar, tetapi tempat yang keliru (misalnya mata kiri sebagai ganti mata
kanan), kesalahan karena kecepatan pemberian yang keliru.
d) Kesalahan karena tidak patuh
Perilaku pasien yang tidak tepat berkenaan dengan ketaatan pada suatu regimen obat
yang ditulis. Misalnya paling umum tidak patuh menggunakan terapi obat
antihipertensi.
e) Kesalahan karena rute pemberian tidak benar
Pemberian suatu obat melalui rute yang lain dari yang diorder oleh dokter, juga
termasuk dosis yang diberikan melalui rute yang benar, tetapi pada tempat yang keliru
(misalnya mata kiri, seharusnya mata kanan).
f) Kesalahan karena gagal menerima obat
Kondisi medis pasien memerlukan terapi obat, tetapi untuk alasan farmasetik,
psikologis, sosiologis, atau ekonomis, pasien tidak menerima atau tidak menggunakan
obat.
4. Dispensing Error
Kesalahan pada fase dispensing terjadi pada saat penyiapan hingga penyerahan resep oleh
petugas apotek. Salah satu kemungkinan terjadinya error adalah salah dalam mengambil obat
dari rak penyimpanan karena kemasan atau nama obat yang mirip atau dapat pula terjadi
karena berdekatan letaknya. Selain itu, salah dalam menghitung jumlah tablet yang akan
diracik, ataupun salah dalam pemberian informasi.
Jenis kesalahan obat yang termasuk Dispensing errors yaitu :
a) Kesalahan karena bentuk sediaan

10
- Pemberian kepada pasien suatu sediaan obat dalam bentuk berbeda dari yang
diorder oleh dokter penulis.
- Penggerusan tablet lepas lambat, termasuk kesalahan.
b) Kesalahan karena pembuatan/penyiapan obat yang keliru
- Sediaan obat diformulasi atau disiapkan tidak benar sebelum pemberian.
Misalnya, pengenceran yang tidak benar, atau rekonstitusi suatu sediaan yang
tidak benar. Tidak mengocok suspensi. Mencampur obat-obat yang secara fisik
atau kimia inkompatibel.
- Penggunaan obat kadaluarsa, tidak melindungi obat terhadap pemaparan cahaya.
c) Kesalahan karena pemberian obat yang rusak
Pemberian suatu obat yang telah kadaluarsa atau keutuhan fisik atau kimia bentuk
sediaan telah membahayakan. Termasuk obat-obat yang disimpan secara tidak tepat.

Adapun bentuk-bentuk kejadian medication error disajikan dalam Tabel 2.

2.4. Pencegahan Medication Error (4,9)

11
Sejumlah pasien dapat mengalami cedera atau mengalami insiden pada saat memperoleh
layanan kesehatan, khususnya terkait penggunaan obat yang dikenal dengan medication
error. Di rumah sakit dan sarana pelayanan kesehatan lainnya, kejadian medication error
dapat dicegah jika melibatkan pelayanan farmasi klinik dari apoteker yang sudah terlatih.
Saat ini di negara-negara maju sudah ada apoteker dengan spesialisasi khusus menangani
medication safety.

Peran Apoteker Keselamatan Pengobatan (Medication Safety Pharmacist) meliputi :


1. Mengelola laporan medication error
Membuat kajian terhadap laporan insiden yang masuk
Mencari akar permasalahan dari error yang terjadi
2. Mengidentifikasi pelaksanaan praktek profesi terbaik untuk menjamin medication safety
Menganalisis pelaksanaan praktek yang menyebabkan medication error
Mengambil langkah proaktif untuk pencegahan
Memfasilitasi perubahan proses dan sistem untuk menurunkan insiden yang sering
terjadi atau berulangnya insiden sejenis
3. Mendidik staf dan klinisi terkait lainnya untuk melakukan praktek pengobatan yang aman
Mengembangkan program pendidikan untuk meningkatkan medication safety dan
kepatuhan terhadap aturan/SOP yang ada
4. Berpartisipasi dalam Komite/tim yang berhubungan dengan medication safety
Komite Keselamatan Pasien RS
Dan komite terkait lainnya
5. Terlibat didalam pengembangan dan pengkajian kebijakan penggunaan obat
6. Memonitor kepatuhan terhadap standar pelaksanaan Keselamatan Pasien yang ada

Peran apoteker dalam mewujudkan keselamatan pasien meliputi dua aspek yaitu aspek
manajemen dan aspek klinik.
A. Aspek manajemen meliputi pemilihan perbekalan farmasi, pengadaan, penerimaan,
penyimpanan dan distribusi, alur pelayanan, sistem pengendalian (misalnya
memanfaatkan IT).
B. Aspek klinik meliputi skrining permintaan obat (resep atau bebas), penyiapan obat
dan obat khusus, penyerahan dan pemberian informasi obat, konseling, monitoring
dan evaluasi. Kegiatan farmasi klinik sangat diperlukan terutama pada pasien yang
menerima pengobatan dengan risiko tinggi. Keterlibatan apoteker dalam tim

12
pelayanan kesehatan perlu didukung mengingat keberadaannya melalui kegiatan
farmasi klinik terbukti memiliki konstribusi besar dalam menurunkan
insiden/kesalahan.

Apoteker harus berperan di semua tahapan proses yang meliputi :


1. Pemilihan
Pada tahap pemilihan perbekalan farmasi, risiko insiden/error dapat diturunkan
dengan pengendalian jumlah item obat dan penggunaan obat-obat sesuai formularium.
2. Pengadaan
Pengadaan harus menjamin ketersediaan obat yang aman, efektif, dan sesuai peraturan
yang berlaku (legalitas) dan diperoleh dari distributor resmi.
3. Penyimpanan
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam penyimpanan untuk menurunkan kesalahan
pengambilan obat dan menjamin mutu obat:
Simpan obat dengan nama, tampilan dan ucapan mirip (look-alike, sound-alike
medication names) secara terpisah.
Obat-obat dengan peringatan khusus (high alert drugs) yang dapat menimbulkan
cedera jika terjadi kesalahan pengambilan, simpan di tempat khusus. Misalnya :
cairan elektrolit pekat seperti KCl injeksi, heparin, warfarin, insulin, kemoterapi,
narkotik opiat, neuromuscular blocking agents, thrombolitik, dan agonis adrenergik.
kelompok obat antidiabet jangan disimpan tercampur dengan obat lain secara
alfabetis, tetapi tempatkan secara terpisah
Simpan obat sesuai dengan persyaratan penyimpanan.
4. Skrining Resep
Apoteker dapat berperan nyata dalam pencegahan terjadinya medication error melalui
kolaborasi dengan dokter dan pasien.
- Identifikasi pasien minimal dengan dua identitas, misalnya nama dan nomor
rekam medik/ nomor resep,
- Apoteker tidak boleh membuat asumsi pada saat melakukan interpretasi resep
dokter. Untuk mengklarifikasi ketidaktepatan atau ketidakjelasan resep, singkatan,
hubungi dokter penulis resep.

13
- Dapatkan informasi mengenai pasien sebagai petunjuk penting dalam
pengambilan keputusan pemberian obat, seperti : Data demografi (umur, berat
badan, jenis kelamin) dan data klinis (alergi, diagnosis dan hamil/menyusui).
Contohnya, Apoteker perlu mengetahui tinggi dan berat badan pasien yang
menerima obat-obat dengan indeks terapi sempit untuk keperluan perhitungan
dosis.
- Apoteker harus membuat riwayat/catatan pengobatan pasien. Permintaan obat
secara lisan hanya dapat dilayani dalam keadaan emergensi dan itupun harus
dilakukan konfirmasi ulang untuk memastikan obat yang diminta benar, dengan
mengeja nama obat serta memastikan dosisnya. Informasi obat yang penting harus
diberikan kepada petugas yang meminta/menerima obat tersebut. Petugas yang
menerima permintaan harus menulis dengan jelas instruksi lisan setelah mendapat
konfirmasi.
5. Dispensing
Peracikan obat dilakukan dengan tepat sesuai dengan SOP.
Pemberian etiket yang tepat. Etiket harus dibaca minimum tiga kali : pada saat
pengambilan obat dari rak, pada saat mengambil obat dari wadah, pada saat
mengembalikan obat ke rak.
Dilakukan pemeriksaan ulang oleh orang berbeda.
Pemeriksaan meliputi kelengkapan permintaan, ketepatan etiket, aturan pakai,
pemeriksaan kesesuaian resep terhadap obat, kesesuaian resep terhadap isi etiket.
6. Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE)
Edukasi dan konseling kepada pasien harus diberikan mengenai hal-hal yang penting
tentang obat dan pengobatannya. Hal-hal yang harus diinformasikan dan didiskusikan
pada pasien adalah :
Pemahaman yang jelas mengenai indikasi penggunaan dan bagaimana menggunakan
obat dengan benar, harapan setelah menggunakan obat, lama pengobatan, kapan harus
kembali ke dokter
Peringatan yang berkaitan dengan proses pengobatan
Kejadian Tidak Diharapkan (KTD) yang potensial, interaksi obat dengan obat lain dan
makanan harus dijelaskan kepada pasien
Reaksi obat yang tidak diinginkan (Adverse Drug Reaction ADR) yang
mengakibatkan cedera pasien, pasien harus mendapat edukasi mengenai bagaimana
cara mengatasi kemungkinan terjadinya ADR tersebut
Penyimpanan dan penanganan obat di rumah termasuk mengenali obat yang sudah
rusak atau kadaluarsa. Ketika melakukan konseling kepada pasien, apoteker

14
mempunyai kesempatan untuk menemukan potensi kesalahan yang mungkin
terlewatkan pada proses sebelumnya.

7. Penggunaan Obat
Apoteker harus berperan dalam proses penggunaan obat oleh pasien rawat inap di rumah
sakit dan sarana pelayanaan kesehatan lainnya, bekerja sama dengan petugas kesehatan
lain. Hal yang perlu diperhatikan adalah :
Tepat pasien
Tepat indikasi
Tepat waktu pemberian
Tepat obat
Tepat dosis
Tepat label obat (aturan pakai)
Tepat rute pemberian
8. Monitoring dan Evaluasi
Apoteker harus melakukan monitoring dan evaluasi untuk mengetahui efek terapi,
mewaspadai efek samping obat, memastikan kepatuhan pasien. Hasil monitoring dan
evaluasi didokumentasikan dan ditindaklanjuti dengan melakukan perbaikan dan
mencegah pengulangan kesalahan. Seluruh personal yang ada di tempat pelayanan
kefarmasian harus terlibat didalam program keselamatan pasien khususnya
medication safety dan harus secara terus menerus mengidentifikasi masalah dan
mengimplementasikan strategi untuk meningkatkan keselamatan pasien.
Faktor-faktor lain yang berkonstribusi pada medication error antara lain :
1. Komunikasi (mis-komunikasi, kegagalan dalam berkomunikasi )
Komunikasi baik antar apoteker maupun dengan petugas kesehatan lainnya perlu dilakukan
dengan jelas untuk menghindari penafsiran ganda atau ketidak lengkapan informasi dengan
berbicara perlahan dan jelas. Perlu dibuat daftar singkatan dan penulisan dosis yang berisiko
menimbulkan kesalahan untuk diwaspadai.
2. Kondisi lingkungan
Untuk menghindari kesalahan yang berkaitan dengan kondisi lingkungan, area dispensing
harus didesain dengan tepat dan sesuai dengan alur kerja, untuk menurunkan kelelahan
dengan pencahayaan yang cukup dan temperatur yang nyaman. Selain itu area kerja harus
bersih dan teratur untuk mencegah terjadinya kesalahan. Obat untuk setiap pasien perlu
disiapkan dalam nampan terpisah.

15
3. Gangguan/interupsi pada saat bekerja
Gangguan/interupsi harus seminimum mungkin dengan mengurangi interupsi baik langsung
maupun melalui telepon.
4. Beban kerja
Rasio antara beban kerja dan SDM yang cukup penting untuk mengurangi stres dan beban
kerja berlebihan sehingga dapat menurunkan kesalahan.
5. Meskipun edukasi staf merupakan cara yang tidak cukup kuat dalam menurunkan
insiden/kesalahan, tetapi mereka dapat memainkan peran penting ketika dilibatkan dalam
sistem menurunkan insiden/kesalahan.

2.5. Pengelolaan Kesalahan Obat (12)


Kesalahan obat dapat berkisar dari resiko minimal sampai ke resiko yang mengancam
kehidupan pasien. Kesalahan ini diakibatkan oleh kesalahan karena melaksanakan suatu
tindakan (commission) atau kesalahan karena tidak mengambil tindakan yang seharusnya
diambil (omission). Penggolongan kesalahan obat memungkinkan pengelolaan tindak lanjut
yang lebih baik terhadap pendeteksian kesalahan obat. Penetapan penyebab kesalahan obat
harus digabung dengan pengkajian dari keparahan kesalahan. Korelasi antara kesalahan dan
metode distribusi obat harus dikaji (misal, dosis unit, persediaan di ruang, atau obat ruah;
pracampuran dan sediaan oral atau injeksi). Proses ini akan membantu mengidentifikasi
masalah sistem dan merangsang perubahan untuk meminimalkan terjadinya kesalahan
kembali.
Berbagai metode pendekatan organisasi untuk menurunkan kesalahan pengobatan, antara
lain:
Memaksa fungsi dan batasan (forcing function & constraints)
Otomatisasi dan computer (automation & computer)
Standar dan protokol
Sistem daftar tilik dan cek ulang (check list & double check system)
Aturan dan kebijakan (rules & policy)
Pendidikan dan informasi, serta (education & information)
Lebih cermat dan waspada.

Apoteker berada dalam posisi srategis untuk meminimalkan medication error, baik dilihat
dari keterkaitan dengan tenaga kesehatan lain maupun dalam proses pengobatan. Untuk itu,

16
beberapa hal yang bisa dilakukan untuk meminimalkan terjadinya kesalahan pengobatan,
antara lain:
o Menciptakan budaya safety (aman)
o Mengembangkan program-program untuk keamanan pasien
o Membiasakan mencatat dan mengkomunikasikan setiap kejadian yang berpotensi
untuk error.

Tindakan berikut direkomendasikan untuk pendeteksian kesalahan, antara lain :


a) Setiap terapi perbaikan dan terapi pendukung yang perlu harus diberikan kepada
pasien.
b) Untuk kesalahan yang signifikan secara klinik, pemberitahuan secara lisan segera
disampaikan pada dokter, perawat, dan kepala IFRS. Suatu laporan kesalahan obat
tertulis harus segera menyusul.
c) Untuk kesalahan yang signifikan secara klinik, pengumpulan fakta dan investigasi
harus dimulai dengan segera.
d) Laporan kesalahan yang signifikan secara klinik dan kegiatan perbaikan berkaitan
harus dikaji oleh pengawas, kepala bagian SMF yang terlibat, administrator rumah
sakit yang sesuai, komite keselamatan rumah sakit dan penasehat hukum.
e) Apabila diperlukan, pengawas dan anggota staf yang terlibat dalam kesalahan, harus
membicarakan tentang bagaimana kesalahan terjadi dan bagaimana terjadinya
kembali dapat dicegah.
f) Informasi yang diperoleh dari laporan kesalahan obat dan sarana lain yang
menunjukkan kegagalan berkelanjutan, harus berlaku sebagai suatu manajemen yang
efektif dan alat edukasi dalam pengembangan staf.
g) Pengawas, pimpinan bagian/departemen dan berbagai komite yang sesuai, harus
mengkaji laporan kesalahan dan menetapkan penyebab dari kesalahan serta
mengembangkan tindakan untuk mencegah terjadinya kembali.
h) Kesalahan obat harus dilaporkan kepada program pemantauan rumah sakit agar
pengalaman dari apoteker, perawat, dokter dan pasien, serta untuk mengembangkan
pelayanan edukasi yang bernilai, untuk pencegahan kesalahan yang akan datang.

2.6 Kasus Medication Error (12)


2.6.1 Kasus Prescribing error

17
Tuan Hasan merupakan pasien yang terdaftar sebagai pasien Askes, dia melakukan
kunjungan rutin ke sebuah rumah sakit , pada kunjungan kali ini Tn. Hasan menerima resep
dengan diagnosis dislipidemia, osteoartritis, hipertensi, gerd, cpod dan neuropati. Tn. Hasan
menerima obat-obatan sebagai berikut :
R/ Glucosamin 500 3x1 90
Nifedipine 2x1 60
Meloxicam 15 mg 1x1 30
Lansoprazole 30 mg 1x1 7
Neurodex 3x1 90
OBH Syrup 2x1 1
Dexanta 3x1 21
Dalam resep tersebut pasien menerima pengobatan yang tidak sesuai dengan diagnosa yaitu
OBH syrup yang seharusnya tidak perlu diberikan. Terdapat pula pengobatan ganda untuk
diagnosis GERD, yaitu lansoprazole (PPI) dan dexanta (antasida). Terapi untuk gerd
diberikan berdasarkan fase perkembangan gerd, yang dikategorikan dalam beberapa fase,
yaitu :
Fase I : Terapi yang dianjurkan adalah dengan merubah gaya hidup plus antasida, dan
atau dosis rendah untuk antagonis reseptor H2 (cimetidin, famotidin, nizatidin,
ranitidin).
Fase III : Terapi yang dianjurkan adalah dengan modifikasi pola hidup plus dosis
standar dari antagonis reseptor H2 untuk 6-12 minggu (simetidin 400 mg, famotidin
20 mg, nizatidin 150 mg, ranitidine 150 mg) atau penghambat pompa proton untuk 4-
8 minggu (esomeprazol 20 mg/hari, lansoprazol 15-30 mg/hari, omeprazole 20
mg/hari, pantoprazol 40 mg/hari, rabeprazol 20 mg/hari). Perubahan gaya hidup plus
penghambat pompa proton untuk 8-16 minggu (esomeprazol 20-40 mg/hari,
lansoprazol 30 mg/hari, omeprazole 20 mg/hari, pantoprazol 40 mg/hari, rabeprazol
20 mg/hari) atau antagonis reseptor H2 alam dosis tinggi selama 8-12 minggu
( simetidin 400 mg atau 800 mg, famotidin 40 mg, nizatidin 150 mg, ranitidine 150
mg).
Fase III : Terapi interventional (perasi antirefluks atau terapi endoluminal).

Jenis-jenis penggunaan obat yang tidak rasional :


1. Over Prescribing
2. Under Prescribing

18
3. Incorrect Prescribing
4. Use of ineffective or Harmful drugs
5. Polypharmacy
Dalam resep ini terdapat penggunaan obat yang tidak rasional yang tergolong kedalam Over
Prescribing (pengobatan ganda untuk GERD) dan Incorrect Prescribing (pemberian OBH
yang tidak sesuai dengan diagnosa). Over Prescribing yaitu menggunakan obat yang tidak
diperlukan, dosis terlalu tinggi, pengobatan terlalu lama, atau jumlah yang diberikan lebih
dari yang diperlukan. Over prescribing juga didefinisikan sebagai pemberian obat baru dan
mahal padahal tersedia obat lama yang lebih murah yang sama efektif dan sama amannya,
pengobatan simptomatik untuk keluhan ringan sehingga dana untuk penyakit yang berat
tersedot, atau penggunaan obat dengan nama dagang walaupun tersedia obat generik yang
sama baiknya. Incorrect Prescribing yaitu obat yang diberikan untuk diagnosis yang keliru,
obat untuk suatu indikasi tertentu tidak tepat, penyediaan ( di apotek, rumah sakit) salah, atau
tidak disesuaikan dengan kondisi medis, genetic, lingkungan, faktor lain yang ada pada saat
itu.

2.6.2 Kasus transcription error


Contoh Kasus Transcription Error:
1. Seorang pasien 70 tahun laki-laki, diketahui hipertensi, diabetes mellitus tipe 2, dan
penyakit arteri koroner, dirawat di rumah sakit mengeluh tidak mampu berjalan selama 3
minggu. Pasien mengonsumsi obat antidiabetik oral sebelum masuk rumah sakit dan
diresepkan obat antidiabetes lain setelah masuk. Pada review resep oleh apoteker di unit
farmakologi klinis, apoteker menemukan bahwa kedua obat sebelum dan sesudah masuk
rumah sakit mengandung gliklazid, dan bahwa dosis gabungan dari dua obat yang bisa
menempatkan pasien pada peningkatan risiko hipoglikemia.
2. Mr Smith masuk rumah sakit sehari sebelum operasi. Perintah pengobatan preoperatif
terbaca: Xanax (alprazolam) 10 mg PO. Pukul 10 malam, perawat yang mencoba untuk
memberikan Xanax menemukan bahwa dia hanya memiliki sepuluh kemasan blister 0,25 mg
dosis tunggal tersisa dan menghubungi farmasi, meminta 7,5 mg Xanax lagi sehingga dia bisa
mematuhi perintah dokter. Farmasi mengirimkan tiga puluh 0,25 mg. Perawat meminta dua
asisten perawat untuk membantunya membuka 40 kemasan blister. Karena mereka membuka
kemasan blister dan menempatkan tablet dalam sebuah wadah, dokter pasien masuk dan
bertanya, "Apa yang kalian lakukan?" "Membuka dosis tunggal unit sehingga kita bisa

19
memberikan 10 mg dosis Xanax seperti yang Anda perintahkan" jawab perawat itu. "Apakah
Anda gila?" Tanya dokter, "perintahku 1 mg, bukan 10 mg."

2.7 Kasus Administration error (10)


Medication error meliputi prescribing, transcribing, dispensing dan administration error.
Administration error merupakan salah satu jenis medication error yang sering terjadi. Sebuah
studi retrospektif dilakukan selama 3.5 tahun pada suatu rumah sakit psikiatrik di UK. Studi
yang dilakukan dari 1 Oktober 2000 sampai 31 Maret 2004 membatasi medication
administration error meliputi penyimpangan resep atau kebijakan yang berkaitan dengan
pemberian obat pada rumah sakit tersebut, termasuk kegagalan dalam pencatatan pemberian
obat. Setiap laporan kejadian dinilai oleh tiga peneliti (konsultan psikiater, apoteker kepala,
dan perawat senior). Dari 123 laporan kesalahan administrasi yang diterima, 108 (88 %)
memenuhi kriteria kesalahan administrasi, 4 yang lainnya (3 %) dikategorikan mendekati
salah. Dengan total 112 kesalahan (11 laporan tidak dipertimbangkan untuk menggambarkan
kesalahan administrasi). Kesalahan administrasi yang terjadi meliputi

Jenis kesalahan administrasi yang paling sering dilaporkan adalah obat yang tidak tepat, dosis
yang tidak tepat dan kelalaian dosis.

Contoh Kasus:

20
Resep obat larutan KCl oral dipersiapkan dalam jarum suntik untuk diberikan kepada pasien
melalui selang nasogastrik. Pengobatan intavena juga dipersiapkan dalam bentuk jarum
suntik dan dibawa ke sisi tempat tidur pasien dalam piringan (nampan) yang sama. Dua orang
perawat mempersiapkan dan memeriksa obat untuk pasien ini. Perawat kedua dipanggil.
Perawat mendatangi pasien mulai memberikan KCl oral yang seharusnya diberikan melalui
selang nasogastrik malah melalui intravena. Akibatnya pasien memerlukan perawatan intensif
dan menghabiskan lima hari di unit perawatn intensif.

2.8 Kasus Dispensing error (10)


Seorang wanita umur 63 tahun datang ke dokter dengan keluhan bengkak pada lutut bagian
kanan, tanpa disertai demam menggigil atau nyeri hebat pada lututnya. wanita itu memiliki
riwayat sebagai penderita penyakit sendi degeneratif dan paroxysmal atrial fibrillation, dan
dia menggunakan warfarin 7,5 mg/hari. Analisis cairan sendi mengungkapkan jumlah sel
darah putih 7.23 x 103/mm3 dan jumlah eritrosit 320/mm3. Tidak ada kristal terlihat dengan
mikroskop birefringent, dan tidak ada organisme yang terlihat dari hasil test. Pasien diberi
beberapa sampel tablet rofecoxib 25 mg (Vioxx, Merc & Co., whitehouse Station, NJ) dan
dianjurkan untuk menggunakan satu tablet sehati untuk eksaserbasi akut dari penyakit sendi
degeneratif, dia juga diberi resep untuk Vioxx sehingga dia bisa terus menebus obat tersebut.
gejala mulai membaik ketika dia mulai menggunakan obat Vioxx. Tiga hari kemudia dia
menebus resep dari dokter di apotek. dia melihat botol yang diberikan apotek berlabel
rofecoxib, tapi tablet yang diberikan berbeda dari sebelumnya. obat yang diberikan berwarna
biru dan ada tulisan VGR 25 di setiap sisi. kemudian karena takut salah obat, akhirnya pasien
kembali ke apotik untuk mengembalikan obat. ternyata obat yang diberikan yaitu obat
sildenafil sitrat 25 mg (Viagra, Pfizer Inc, New York, NY). kesalahan pemberian obat telah
diperbaiki.

21
BAB 3
PENUTUP

Medication error merupakan kejadian yang merugikan pasien, akibat pemakaian obat selama
dalam penanganan tenaga kesehatan, yang sebetulnya dapat dicegah. Farmasis memiliki
tanggung jawab besar dalam mencegah terjadinya medication error khususnya dalam hal
transcription, prescribing, dispensing, dan administrasi. Tidak hanya farmasis, pencegahan
medication error seharusnya menjadi tanggung jawab bersama baik dokter, perawat maupun
petugas kesehatan lainnya. Kebijakan dan prosedur pengelolaan, pengendalian, pelayanan
yang memadai serta peningkatan kualitas dan kuantitas SDM menjadi aspek penting dalam
mencegah terjadinya medication error.

22
Daftar Pustaka

1. Alexander DC, Bundy DG, Shore AD, Morlock L, Hicks RW, Miller MR. (2009).
Cardiovascular Medication Errors in Children. Pediatrics. 124; 324-332.

2. Aryani Perwitasari, Dyah., Jamiul Abror, dan Iis Wahyuningsih. (2010). Medication
error in outpatient of a government hospital in Yogyakarta Indonesia. International
Journal of Pharmaceutical Sciences Review and Research Volume 1; 8-10

3. Bates DW, Boyle DL, Vander Vliet MB, Schneider J, Leape L. 1995a. Relationship
Between medication errors and adverse drug events. Journal of General Internal
Medicine 10(4): 100205.

4. Benjamin, David M. (2003). Reducing Medication Errors and Increasing Patient


Safety: Case Studies in Clinical Pharmacology. J Clin Pharmacol vol. 43 no. 7 768-
783

5. Charles & Kumolosasi. (2006). Farmasi Klinik Teori dan Penerapan. Jakarta: Buku
kedokteran EGC, 380-417

6. Chaudhary , Geeta. (2010). Case Study: Review of Medication Orders for


Appropriateness at Satguru Singh Apollo Hospitals, Ludhiana, India. JC Insight July
2010.

7. Cohen, M.R. (1991). Causes of Medication Error, in: Cohen. M.R., (Ed), Medication
Error, Washington, DC: American Pharmaceutical Association. Dalam: Hartayu,
Titien Siwi & Widayati Aris. (2005). Kajian Kelengkapan Resep Pediatri Yang
Berpotensi Menimbulkan Medication Error Di 2 Rumah Sakit Dan 10 Apotek Di
Yogyakarta. Yogyakarta: Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma.

8. Fowler, S.B., Sohler,Patricia., & Zarillo,D.F., et al. 2009. Bar Code Technology for
Medication Administration: Medication Errors and Nurse Satisfaction. MEDSURG
NursingMarch/April 2009: Vol. 18 (2). Proquest Database.

9. IOM (Institute of Medicine). 2004. Patient Safety: Achieving a New Standard for
Care. Washington, DC: The National Academies Press.

10. Kaushal R, Bates DW, Landrigan C, McKenna K, Clapp MD, Federico F, Goldmann
DA. (2010). Medication Errors and Adverse Drug Events in Pediatric Inpatients.
JAMA. 285(16); 2114-2120

11. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.1197/MENKES/SK/X/2004


tentang Standar Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit

12. National Coordinating Council for Medication Error Reporting and Prevention
(2011). Medication Error. http://www.nccmerp.org/aboutMedErrors.html,

23
13. Victorian Medicines Advisory Committee. (2008). Oral liquid medicines administered
via the wrong route can be fatal or cause serious harm. Quality use of medicine alert.
Vol 1: 1-4

14. Williams. (2007). Medication Error. R Coll Physicians Edinb. Vol 37: 343346.

24

Anda mungkin juga menyukai