Anda di halaman 1dari 44

LAPORAN PRAKTEK KERJA LAPANGAN

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA


STASIUN METEOROLOGI SEPINGGAN BALIKPAPAN

ANALISIS DATA CURAH HUJAN DI


STASIUN METEOROLOGI BALIKPAPAN

Oleh
Nama : Ashadi Arifin Nur
NIM : 0807045024

PROGRAM STUDI FISIKA


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS MULAWARMAN
SAMARINDA
2012
LAPORAN PRAKTEK KERJA LAPANGAN
BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA
STASIUN METEOROLOGI SEPINGGAN BALIKPAPAN

ANALISIS DATA CURAH HUJAN DI


STASIUN METEOROLOGI BALIKPAPAN

Oleh
Nama : Ashadi Arifin Nur
NIM : 0807045024

PROGRAM STUDI FISIKA


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS MULAWARMAN
SAMARINDA
2012

i
HALAMAN PENGESAHAN
LAPORAN PRAKTEK KERJA LAPANGAN

Judul : Analisis Data Curah Hujan di Stasiun Meteorologi Balikpapan


Nama Mahasiswa : Ashadi Arifin Nur
NIM : 0807045024

Pembimbing I Pembimbing II (mitra)

Dr. Eng. Idris Mandang, S.Si, M.Si Juli Budi Kisworo, S.T
NIP. 19711008 199802 1 001 NIP. 19610714 198503 1 001

Mengetahui,

Ketua program Studi, Kepala Stasiun Meteorologi


Fisika FMIPA, Balikpapan

Arif Haryono, M.Si Drs. Imam Mashudi


NIP. 19740128 200012 1 001 NIP. 19590506 198403 1 001

Menyetujui,
a.n Dekan FMIPA Unmul,
Pembantu Dekan I,

Dra. Hj. Ratna Kusuma, M.Si


NIP. 19630416 198903 2 001

ii
KATA PENGANTAR

Assalamu alaikum Wr. Wb.


Segala puji dan syukur dipanjatkan kepada Allah SWT karena atas
limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
laporan Praktek Kerja Lapangan (PKL) ini. Penyelesaian laporan ini
merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan studi di program studi
Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas
Mulawarman.
Penulis tidak dapat memungkiri bahwa banyak pihak yang telah ikut
berpartisipasi dan membantu baik secara langsung maupun tidak langsung
dalam menyelesaikan penulisan laporan ini. Untuk itu, iringan doa dan ucapan
terima kasih yang sebesar besarnya penulis sampaikan kepada :
1. Kedua orang tua tercinta, ibu dan ayah yang telah memberikan dukungan
moril maupun materil serta ketulusan doanya sehingga kegiatan PKL ini
dapat berjalan dengan lancar.
2. Drs. Sudrajat, SU selaku Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam Universitas Mulawarman.
3. Dra. Hj. Ratna Kusuma, M.Si selaku Pembantu Dekan I Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Mulawarman.
4. Arif Haryono, M.Si selaku Ketua Program Studi Fisika Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Mulawarman dan
Dosen Penguji, yang telah bersedia menjadi penguji dalam seminar PKL
dan memberikan masukan berharga pada laporan ini.
5. Dr. Eng. Idris Mandang, S.Si, M.Si selaku Dosen Pembimbing I, karena
atas bimbingan, bantuan dan kesabaran beliau penulisan laporan ini dapat
terselesaikan.
6. Drs. Imam Mashudi, selaku Kepala Stasiun Meteorologi Sepinggan
Balikpapan yang telah memberikan ijin pelaksanaan PKL.

iii
iv

7. Juli Budi Kisworo, S.T selaku Pembimbing II yang memberikan


bimbingan dan bantuan selama pelaksanaan PKL di Stasiun Meteorologi
Sepinggan Balikpapan.
8. Para staf Stasiun Meteorologi Sepinggan, yang telah memberikan andil
yang berharga dalam pelaksanaan dan penulisan laporan PKL.
9. Teman teman Fisika angkatan 2008 yang telah memberikan dukungan
dan loyalitas serta kerja samanya selama penulisan laporan ini.
Penulis menyadari bahwa laporan PKL ini masih ada kekurangan dan
kekeliruan, oleh karena itu penulis mohon maaf atas keterbatasan kemampuan
penulis dalam menyelesaikan laporan ini. Semoga laporan PKL ini dapat
bermanfaat dan menambah ilmu pengetahuan bagi semua pihak.

WassalamualaikumWr. Wb.

Samarinda, Agustus 2012

Penulis
DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL ...................... i
HALAMAN PENGESAHAN ... ii
KATA PENGANTAR iii
DAFTAR ISI .. v
DAFTAR GAMBAR ..................... vii

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang... 1
1.2 Rumusan Masalah.. 2
1.3 Batasan Masalah..... 2
1.4 Tujuan PKL ... 2
1.5 Manfaat PKL . 3

BAB II DESKRIPSI MITRA PKL


2.1 Letak Astronomis dan Geografis Stasiun Meteorologi
Balikpapan.. 4
2.2 Profil Stasiun Meteorologi Balikpapan.. 4
2.3 Sejarah Instansi Badan Meteorologi dan Geofisika... 7
2.4 Tugas dan Fungsi Badan Meteorologi dan Geofisika 9
2.5 Visi dan Misi Badan Meteorologi dan Geofisika... 10

BAB III PELAKSANAAN PKL DAN PEMBAHASAN


3.1 Deskripsi Lingkup Kerja 11
3.2 Studi Literatur.... 11
3.2.1 Pengertian Hujan.. 11
3.2.2 Karakteristik Curah Hujan... 13

v
vi

3.2.3 Pola Umum Curah Hujan di Indonesia 17


3.3 Metode Kerja . 19
3.3.1 Tempat dan Waktu PKL... 19
3.3.2 Metode Pengumpulan Data.. 19
3.4 Hasil dan Pembahasan 20
3.4.1 Data Curah Hujan. 20
3.4.2 Analisis Data Curah Hujan... 21
3.4.3 Analisis Spektral Curah Hujan 27
3.4.4 Pembahasan.. 31

BAB IV PENUTUP
4.1 Kesimpulan 35
4.2 Saran .. 35

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
DAFTAR GAMBAR

Halaman
Gambar 2.1 Lokasi Stasiun Meteorologi Sepinggan . 4
Gambar 2.2 Struktur Organisasi Stasiun Meteorologi ... 6
Gambar 3.2.1 Pola Curah Hujan di Indonesia ...... 14
Gambar 3.2.2 Jalur Pergerakan ITCZ bulan Januari dan Juli ... 15
Gambar 3.2.3 Angin Monsun Barat dan Monsun Timur ...... 16
Gambar 3.4.1 Grafik Curah Hujan Bulanan Tahun 2002 ...... 21
Gambar 3.4.2 Grafik Curah Hujan Bulanan Tahun 2003 ...... 22
Gambar 3.4.3 Grafik Curah Hujan Bulanan Tahun 2004 ...... 22
Gambar 3.4.4 Grafik Curah Hujan Bulanan Tahun 2005 ...... 23
Gambar 3.4.5 Grafik Curah Hujan Bulanan Tahun 2006 ...... 23
Gambar 3.4.6 Grafik Curah Hujan Bulanan Tahun 2007 ...... 24
Gambar 3.4.7 Grafik Curah Hujan Bulanan Tahun 2008 ...... 24
Gambar 3.4.8 Grafik Curah Hujan Bulanan Tahun 2009 ...... 25
Gambar 3.4.9 Grafik Curah Hujan Bulanan Tahun 2010 ...... 25
Gambar 3.4.10 Grafik Curah Hujan Bulanan Tahun 2011 ...... 26
Gambar 3.5.1 Energi Spektral Curah Hujan Bulanan Tahun 2002 .. 27
Gambar 3.5.2 Energi Spektral Curah Hujan Bulanan Tahun 2003 .. 27
Gambar 3.5.3 Energi Spektral Curah Hujan Bulanan Tahun 2004 .. 28
Gambar 3.5.4 Energi Spektral Curah Hujan Bulanan Tahun 2005 .. 28
Gambar 3.5.5 Energi Spektral Curah Hujan Bulanan Tahun 2006 .. 29
Gambar 3.5.6 Energi Spektral Curah Hujan Bulanan Tahun 2007 .. 29
Gambar 3.5.7 Energi Spektral Curah Hujan Bulanan Tahun 2008 .. 30
Gambar 3.5.8 Energi Spektral Curah Hujan Bulanan Tahun 2009 .. 30
Gambar 3.5.9 Energi Spektral Curah Hujan Bulanan Tahun 2010 .. 31
Gambar 3.5.10 Energi Spektral Curah Hujan Bulanan Tahun 2011 .. 31

vii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Secara geografis wilayah Indonesia terletak di antara dua samudera luas,
yaitu Samudera Pasifik dan Samudera Hindia dan juga diapit oleh benua Asia dan
Australia (Nasution, 2010). Sedangkan secara astronomis, Indonesia berada pada
koordinat 6o LU 11o LS dan 95o BT 141o BT. Karena wilayahnya terletak di
daerah berlintang rendah, maka secara teori Indonesia akan mengalami iklim
tropis dimana dalam setahun akan mengalami periode dua musim yang berbeda,
yaitu musim kemarau dan musim hujan.
Perbedaan musim yang terjadi di wilayah tropis dapat dilihat dari curah
hujan yang terjadi dalam setahun. Suatu wilayah dikatakan mengalami musim
kemarau apabila curah hujan dalam satu dasarian di bawah 50 mm dan dalam satu
bulan kurang dari 150 mm. Sebaliknya, wilayah tersebut dianggap mengalami
musim hujan jika curah hujan yang terjadi dalam satu dasarian sebesar 50 mm dan
terus meningkat dalam dasarian berikutnya atau dalam satu bulan terjadi lebih dari
150 mm.
Walaupun sama-sama beriklim tropis, akan tetapi distribusi curah hujan
tidaklah merata di seluruh wilayah Indonesia. Ada beberapa daerah yang
mendapat curah hujan sangat rendah dan ada pula daerah yang mendapat curah
hujan tinggi dalam periode waktu yang bersamaan. Oleh karena adanya perbedaan
tersebut, maka secara umum wilayah Indonesia dibagi menjadi 3 (tiga) pola iklim
utama dengan melihat pola curah hujan selama setahun, yaitu pola hujan monsun,
pola hujan ekuatorial dan pola hujan lokal. (Eddy Hermawan, 2010)
Untuk wilayah Kalimantan Timur khususnya di kota Balikpapan yang
terletak di lintang rendah maka akan memiliki keadaan iklim yang hampir serupa
dengan wilayah lain di daerah tropis pada umumnya, yaitu sama-sama mengalami
musim hujan dan kemarau. Akan tetapi terdapat beberapa faktor meteorologi yang
berperan penting dan secara tidak langsung mempengaruhi keadaan iklim di

1
2

Balikpapan sehingga menyebabkan terjadinya perbedaan intensitas curah hujan


yang diterima dengan daerah lain di sekitarnya.
Data-data curah hujan untuk wilayah Balikpapan dapat diperoleh dari pos
pengamatan Stasiun Meteorologi yang berada di Bandara Sepinggan Balikpapan.
Berdasarkan data curah hujan yang telah didapat, selanjutnya akan di analisis pola
curah hujan yang terjadi di wilayah tersebut. Kemudian nantinya disimpulkan
pola curah hujan yang terjadi di daerah tersebut serta faktor-faktor yang
menyebabkannya, meskipun dalam sistem cuaca dan iklim di Indonesia proses
terjadinya tiga pola curah hujan tersebut masih saling terkait erat antara satu dan
lainnya.

1.2. Rumusan Masalah


1. Bagaimana pola curah hujan yang terjadi di Kota Balikpapan?
2. Apa saja faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya pola curah hujan
tersebut di Kota Balikpapan?

1.3. Batasan Masalah


1. Data yang digunakan untuk dianalisis hanya diambil dari 1 (satu) pos
pengamatan saja, yaitu dari pos pengamatan Stasiun Meteorologi
Balikpapan yang berada di Bandara Sepinggan.
2. Data yang dianalisis hanya data curah hujan bulanan yang dicuplik
dari tahun 2002 hingga tahun 2011 (kurun waktu 10 tahun terakhir).

1.4. Tujuan Praktek Kerja Lapangan


1. Untuk mengetahui pola curah hujan yang dominan yang terjadi di
Kota Balikpapan dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir.
2. Untuk mengetahui faktor-faktor yang menjadi penyebab dari pola
curah hujan yang terjadi di Kota Balikpapan.
3

1.5. Manfaat Praktek Kerja Lapangan


1. Memperoleh data-data meteorologi yang tercatat di Stasiun
Meteorologi Balikpapan, termasuk salah satu diantaranya adalah data
curah hujan yang kemudian dapat dianalisis.
2. Mengetahui pola curah hujan yang paling dominan dalam kurun
waktu sepuluh tahun terakhir yang terjadi di Kota Balikpapan.
3. Mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya pola curah
hujan tersebut di Kota Balikpapan.
BAB II
DESKRIPSI MITRA PKL

2.1. Letak Astronomis dan Geografis Stasiun Meteorologi Balikpapan

Gambar 2.1 Lokasi Stasiun Meteorologi Sepinggan Balikpapan


( Sumber : Google Earth )

Kantor administrasi Stasiun Meteorologi Balikpapan terletak pada


koordinat 11535.92 Lintang Selatan dan 1165350 BT di Jalan Marsma R.
Iswahyudi, sedangkan gedung operasional terletak pada koordinat 11547.82
Lintang Selatan dan 1165343.66 Bujur Timur berada di Jalan Marsma R.
Iswahyudi dan terletak di dalam Bandara Sepinggan Balikpapan.

2.2. Profil Stasiun Meteorologi Balikpapan

Stasiun Meteorologi Balikpapan merupakan Unit Pelaksana Teknis dari


Lembaga Pemerintahan Non Kementerian (LPNK) Badan Meteorologi,
Klimatologi dan Geofisika (BMKG). Stasiun Meteorologi Balikpapan memiliki
tugas pokok melaksanakan fungsi BMKG di bidang Meteorologi khususnya untuk
menunjang keselamatan transportasi udara. Selain itu Stasiun Meteorologi
Balikpapan juga menyediakan informasi cuaca harian, dua harian sampai
mingguan untuk beberapa kota di Kalimantan Timur.

4
5

Stasiun Meteorologi Balikpapan berdiri pada tahun 1956 dengan kantor


utama di Jalan Marsma R. Iswahyudi dan terletak dalam Bandara Sepinggan.
Pertama kali dipimpin oleh Bapak H. Samiyo Diutomo dari tahun 1956 hingga
tahun 1987. Pada tahun 1983, kantor administrasi memisahkan diri dari kantor
operasional dan pindah ke Jalan Marsma R. Iswahyudi yang terletak di luar
kawasan Bandara Sepinggan. Selanjutnya pada tahun 1992, kantor operasional
bergabung dengan gedung operasional Bandara Sepinggan hingga sekarang. Dari
awal berdirinya, instansi ini telah mengalami tujuh kali pergantian Kepala Stasiun
Meteorologi, dari Bapak H. Samiyo Diutomo selaku Kepala Stasiun Meteorologi
yang pertama hingga yang sekarang menjabat adalah Bapak Drs. Imam Mashudi.
Berikut ini adalah nama-nama yang pernah menjabat sebagai Kepala Stasiun
Meteorologi Balikpapan.

Ka. Stasiun Meteorologi I : H. Samiyo Diutomo


Ka. Stasiun Meteorologi II : Drs. Suwigyo, M.I.A
Ka. Stasiun Meteorologi III : Drs. Juswanto Indroyono
Ka. Stasiun Meteorologi IV : Drs. Syamsul Huda, M.Si
Ka. Stasiun Meteorologi V : Djoni Budi Utomo
Ka. Stasiun Meteorologi VI : Sugiman, S.E
Ka. Stasiun Meteorologi VII : Drs. Imam Mashudi
6

Struktur Organisasi
Stasiun Meteorologi Balikpapan

Kepala Stasiun
Drs. Imam Mashudi

Kasubag TU
Armunanto Widyosutoto

Bendahara Penerima Bendahara Materiil


Hadi Yuningsih Suparti

Bendahara
Susilowati Doda

Adm. Kepeg & SAKPA PPABP


Farida, S.E Hj. NurulAhjuni

Kasie Obs & Info


Juli budi Kisworo, S.T

Kelompok Kelompok Teknisi


Forecaster Observer

Gambar 2.2 Struktur Organisasi Stasiun Meteorologi Balikpapan


7

2.3. Sejarah Instansi Badan Meteorologi dan Geofisika

Sejarah pengamatan meteorologi dan geofisika di Indonesia dimulai pada


tahun 1841 diawali dengan pengamatan yang dilakukan secara perorangan oleh Dr.
Onnen, Kepala Rumah Sakit di Bogor. Tahun demi tahun kegiatannya
berkembang sesuai dengan semakin diperlukannya data hasil pengamatan cuaca
dan geofisika. Pada tahun 1866, kegiatan pengamatan perorangan tersebut oleh
Pemerintah Hindia Belanda diresmikan menjadi instansi pemerintah dengan nama
Magnetisch en Meteorologisch Observatorium atau Observatorium Magnetik dan
Meteorologi dipimpin oleh Dr. Bergsma.

Pada tahun 1879 dibangun jaringan penakar hujan sebanyak 74 stasiun


pengamatan di Jawa. Pada tahun 1902 pengamatan medan magnet bumi
dipindahkan dari Jakarta ke Bogor. Pengamatan gempa bumi dimulai pada tahun
1908 dengan pemasangan komponen horisontal seismograf Wiechert di Jakarta,
sedangkan pemasangan komponen vertikal dilaksanakan pada tahun 1928. Pada
tahun 1912 dilakukan reorganisasi pengamatan meteorologi dengan menambah
jaringan sekunder. Sedangkan jasa meteorologi mulai digunakan untuk
penerbangan pada tahun 1930. Pada masa pendudukan Jepang antara tahun 1942
sampai dengan 1945, nama instansi meteorologi dan geofisika diganti menjadi
Kisho Kauso Kusho. Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945,
instansi tersebut dipecah menjadi dua, yaitu:

1. Biro Meteorologi, berada dibawah wewenang Markas Tertinggi Tentara


Rakyat Indonesia dan khusus untuk melayani kepentingan Angkatan
Udara yang terletak di Yogyakarta.
2. Jawatan Meteorologi dan Geofisika, berada dibawah wewenang
Kementerian Pekerjaan Umum dan Tenaga yang terletak di Jakarta.

Pada tanggal 21 Juli 1947 Jawatan Meteorologi dan Geofisika diambil alih
oleh Pemerintah Belanda dan namanya diganti menjadi Meteorologisch en
Geofisiche Dienst. Sementara itu, ada juga Jawatan Meteorologi dan Geofisika
yang dipertahankan oleh Pemerintah Republik Indonesia dan berkedudukan di Jl.
8

Gondangdia, Jakarta. Pada tahun 1949, setelah penyerahan kedaulatan negara


Republik Indonesia dari Belanda, Meteorologisch en Geofisiche Dienst diubah
lagi menjadi Jawatan Meteorologi dan Geofisika dibawah wewenang Departemen
Perhubungan dan Pekerjaan Umum. Selanjutnya, pada tahun 1950 Indonesia
secara resmi masuk sebagai anggota Organisasi Meteorologi Dunia (World
Meteorological Organization atau WMO) dan Kepala Jawatan Meteorologi dan
Geofisika menjadi Permanent Representative of Indonesia with WMO.

Pada tahun 1955 Jawatan Meteorologi dan Geofisika diubah namanya


menjadi Lembaga Meteorologi dan Geofisika di bawah Departemen Perhubungan,
dan pada tahun 1960 namanya dikembalikan menjadi Jawatan Meteorologi dan
Geofisika di bawah Departemen Perhubungan Udara. Pada tahun 1965, namanya
diubah menjadi Direktorat Meteorologi dan Geofisika, kedudukannya tetap di
bawah Departemen Perhubugan Udara. Pada tahun 1972, Direktorat Meteorologi
dan Geofisika diganti namanya menjadi Pusat Meteorologi dan Geofisika, suatu
instansi setingkat eselon II di bawah Departemen Perhubungan, dan pada tahun
1980 statusnya dinaikkan menjadi suatu instansi setingkat eselon I dengan nama
Badan Meteorologi dan Geofisika, tetap berada di bawah Departemen
Perhubungan.

Pada tahun 2002, dengan keputusan Presiden RI Nomor 46 dan 48 tahun


2002, struktur organisasinya diubah menjadi Lembaga Pemerintah Non
Departemen (LPND) dengan nama tetap Badan Meteorologi dan Geofisika.
Terakhir, melalui Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2008, Badan Meteorologi
dan Geofisika berganti nama menjadi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan
Geofisika (BMKG) dengan status tetap sebagai Lembaga Pemerintah Non
Departemen. Pada tanggal 1 Oktober 2009, Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 31 Tahun 2009 tentang Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika disahkan
oleh Presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono.
9

2.4. Tugas dan Fungsi Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika

BMKG mempunyai status sebuah Lembaga Pemerintah Non Kementerian


(LPNK), dipimpin oleh seorang Kepala Badan. BMKG mempunyai kewajiban
melaksanakan tugas pemerintahan di bidang Meteorologi, Klimatologi, Kualitas
Udara dan Geofisika sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud diatas, Badan Meteorologi
Klimatologi dan Geofisika menyelenggarakan fungsi :

Perumusan kebijakan nasional dan kebijakan umum di bidang meteorologi,


klimatologi, dan geofisika;
Perumusan kebijakan teknis di bidang meteorologi, klimatologi, dan
geofisika;
Koordinasi kebijakan, perencanaan dan program di bidang meteorologi,
klimatologi, dan geofisika;
Pelaksanaan, pembinaan dan pengendalian observasi, dan pengolahan data
dan informasi di bidang meteorologi, klimatologi, dan geofisika;
Pelayanan data dan informasi di bidang meteorologi, klimatologi, dan
geofisika;
Penyampaian informasi kepada instansi dan pihak terkait serta masyarakat
berkenaan dengan perubahan iklim;
Penyampaian informasi dan peringatan dini kepada instansi dan pihak
terkait serta masyarakat berkenaan dengan bencana karena factor
meteorologi, klimatologi, dan geofisika;
Pelaksanaan kerja sama internasional di bidang meteorologi, klimatologi,
dan geofisika;
Pelaksanaan penelitian, pengkajian, dan pengembangan di bidang
meteorologi, klimatologi, dan geofisika;
Pelaksanaan, pembinaan, dan pengendalian instrumentasi, kalibrasi, dan
jaringan komunikasi di bidang meteorologi, klimatologi, dan geofisika;
10

Koordinasi dan kerja sama instrumentasi, kalibrasi, dan jaringan


komunikasi di bidang meteorologi, klimatologi, dan geofisika;
Pelaksanaan pendidikan dan pelatihan keahlian dan manajemen
pemerintahan di bidang meteorologi, klimatologi, dan geofisika;
Pelaksanaan pendidikan profesional di bidang meteorologi, klimatologi,
dan geofisika;
Pelaksanaan manajemen data di bidang meteorologi, klimatologi, dan
geofisika;
Pembinaan dan koordinasi pelaksanaan tugas administrasi di lingkungan
BMKG;
Pengelolaan barang milik/kekayaan negara yang menjadi tanggung jawab
BMKG;
Pengawasan atas pelaksanaan tugas di lingkungan BMKG;
Penyampaian laporan, saran, dan pertimbangan di bidang meteorologi,
klimatologi, dan geofisika.
2.5. Visi dan Misi Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika
Visi
Terwujudnya BMKG yang tanggap dan mampu memberikan pelayanan
meteorologi, klimatologi, kualitas udara dan geofisika yang handal guna
mendukung keselamatan dan keberhasilan pembangunan nasional serta
berperan aktif di tingkat internasional.

Misi
1. Mengamati dan memahami fenomena Meteorologi, Klimatologi,
Kualitas udara dan Geofisika.
2. Menyediakan data dan informasi Meteorologi, Klimatologi, Kualitas
udara dan Geofisika yang handal dan terpercaya
3. Melaksanakan dan mematuhi kewajiban internasional dalam bidang
Meteorologi, Klimatologi, Kualitas udara dan Geofisika.
4. Mengkoordinasikan dan memfasilitasi kegiatan di bidang Meteorologi,
Klimatologi, Kualitas udara dan Geofisika.
BAB III

PELAKSANAAN PKL DAN PEMBAHASAN

3.1. Deskripsi Lingkup Kerja

Dalam pelaksanaan Praktek Kerja Lapangan dengan topik Analisis Data


Curah Hujan di Stasiun Meteorologi Balikpapan, dilakukan studi literatur dengan
mengumpulkan data-data curah hujan khususnya untuk sepuluh tahun terakhir.
Dari data-data yang telah ada maka nantinya akan diketahui pola curah hujan yang
terjadi di wilayah Balikpapan

3.2. Studi Literatur


3.2.1. Pengertian Hujan

Hujan adalah peristiwa jatuhnya partikel-partikel air dengan ukuran


diameter antara 0.5 mm atau lebih. Jika jatuhnya sampai ketanah maka disebut
hujan, akan tetapi apabila jatuhannya tidak dapat mencapai tanah karena
menguap lagi maka jatuhan tersebut disebut Virga. Hujan juga dapat
didefinisikan sebagai uap yang mengkondensasi dan jatuh ketanah dalam
rangkaian proses hidrologi.

Hujan merupakan salah satu bentuk presipitasi uap air yang berasal dari
awan yang terdapat di atmosfer. Bentuk presipitasi lainnya adalah salju dan es.
Untuk dapat terjadinya hujan diperlukan titik-titik kondensasi, amoniak, debu dan
asam belerang. Titik-titik kondensasi ini mempunyai sifat dapat mengambil uap
air dari udara. Satuan curah hujan selalu dinyatakan dalam satuan millimeter atau
inchi namun untuk di Indonesia satuan curah hujan yang digunakan adalah dalam
satuan millimeter (mm). (Nasution, 2010)

Dalam membahas mengenai hujan, maka tidak akan terlepas dari istilah
yang sudah sering sekali digunakan yaitu curah hujan. Curah hujan merupakan
ketinggian air hujan yang terkumpul dalam tempat yang datar, tidak menguap,
tidak meresap, dan tidak mengalir. Curah hujan 1 (satu) milimeter artinya dalam

11
12

luasan satu meter persegi pada tempat yang datar tertampung air setinggi satu
milimeter atau tertampung air sebanyak satu liter.

Intensitas hujan adalah banyaknya curah hujan persatuan jangka waktu


tertentu. Apabila dikatakan intensitasnya besar berarti terjadi hujan lebat dan
kondisi ini sangat berbahaya karena berdampak dapat menimbulkan banjir,
longsor dan efek negatif terhadap tanaman.

Hujan merupakan unsur fisik lingkungan yang paling beragam baik


menurut waktu maupun tempat dan hujan juga merupakan faktor penentu serta
faktor pembatas bagi kegiatan pertanian secara umum. Oleh karena itu klasifikasi
iklim untuk wilayah Indonesia (Asia Tenggara umumnya) seluruhnya
dikembangkan dengan menggunakan curah hujan sebagai kriteria utama (Lakitan,
2002). Dari hal tersebut dapat dikatakan bahwa dengan adanya hubungan
sistematik antara unsur iklim dengan pola tanam dunia telah melahirkan
pemahaman baru tentang klasifikasi iklim, dimana dengan adanya korelasi antara
tanaman dan unsur suhu atau presipitasi menyebabkan indeks suhu atau presipitasi
dipakai sebagai kriteria dalam pengklasifikasian iklim. (Bayong, 2004)

Tipe Hujan

Berdasarkan faktor penyebab terjadinya hujan, maka hujan dapat dibagi


menjadi empat tipe, antara lain (Nasution, 2010):

a. Hujan Orografi
Hujan ini terjadi karena adanya penghalang topografi, udara
dipaksa naik kemudian mengembang dan mendingin terus
mengembun dan selanjutnya dapat jatuh sebagai hujan. Bagian lereng
yang menghadap angin hujannya akan lebih lebat dari pada bagian
lereng yang ada dibelakangnya. Curah hujannya berbeda menurut
ketinggian, biasanya curah hujan makin besar pada tempat-tempat
yang lebih tinggi sampai suatu ketinggian tertentu.
13

b. Hujan Konvektif
Hujan ini merupakan hujan yang paling umum yang terjadi di
daerah tropis. Panas yang menyebabkan udara naik keatas kemudian
mengembang dan secara dinamika menjadi dingin dan berkondensasi
dan akan jatuh sebagai hujan. Proses ini khas buat terjadinya badai
guntur yang terjadi di siang hari yang menghasilkan hujan lebat pada
daerah yang sempit. Badai guntur lebih sering terjadi di lautan dari
pada di daratan.
c. Hujan Frontal
Hujan ini terjadi karena ada front panas, awan yang terbentuk
biasanya tipe stratus dan biasanya terjadi hujan rintik-rintik dengan
intensitas kecil. Sedangkan pada front dingin awan yang terjadi adalah
biasanya tipe cumulus dan cumulunimbus dimana hujannya lebat dan
cuaca yang timbul sangat buruk. Hujan front ini tidak terjadi di
Indonesia karena di Indonesia tidak terjadi front.
d. Hujan Siklon Tropis
Siklon tropis hanya dapat timbul didaerah tropis antara lintang
0-10 lintang utara dan selatan dan tidak berkaitan dengan front,
karena siklon ini berkaitan dengan sistem tekanan rendah. Siklon
tropis dapat timbul di lautan yang panas, karena energi utamanya
diambil dari panas laten yang terkandung dari uap air. Siklon tropis
akan mengakibatkan cuaca yang buruk dan hujan yang lebat pada
daerah yang dilaluinya.

3.2.2. Karakteristik Curah Hujan

Berdasarkan pola umum terjadinya, curah hujan di Indonesia dapat


dibedakan menjadi 3 tipe, yakni tipe ekuatorial, tipe monsun, dan tipe lokal. Tipe
curah hujan ekuatorial proses terjadinya berhubungan dengan pergerakan zona
konvergensi ke arah utara dan selatan mengikuti pergerakan semu matahari,
sedangkan tipe monsun lebih dipengaruhi oleh adanya tiupan angin musim (Angin
Musim Barat), dan tipe lokal lebih dipengaruhi oleh kondisi lingkungan fisik
14

setempat, yakni adanya bentang perairan sebagai sumber penguapan dan


pegunungan atau gunung-gunung yang tinggi sebagai daerah tangkapan hujan.
(Tukidi, 2010)

Gambar 3.2.1. Pola curah hujan di Indonesia [Sumber : BMKG]

Tipe Ekuatorial

Pola ini berhubungan dengan pergerakan zona konvergensi ke arah utara


dan selatan mengikuti pergerakan semu matahari. Zone konvergensi merupakan
pertemuan dua massa udara (angin) yang berasal dari dua belahan bumi,
kemudian udaranya bergerak ke atas. Angin yang bergerak menuju satu titik dan
kemudian bergerak ke atas disebut konvergensi, dan tempat terjadinya
konvergensi disebut daerah konvergensi. Posisinya relatif sempit dan berada pada
lintang rendah dan dikenal dengan nama Inter Tropical Convergence Zone
(ITCZ) atau Daerah Konvergensi Antar Tropik (DKAT). ITCZ juga dikenal
dengan nama ekuator panas (heat equator) atau front ekuator (equatorial front).
15

Di atas lautan Atlantik dan Pasifik posisi ITCZ sangat dekat terhubung
dengan doldrums (daerah 5LU-5LS), maka ITCZ merupakan batas antara
angin pasat utara-timur dengan angin pasat selatan-timur, sedangkan di atas benua
pergeseran posisi ITCZ tampak lebih tegas. Sirkulasi monsun terhubung dengan
pergeseran utara-selatan dari ITCZ, dan juga tergantung pada kontras musiman
dalam pemanasan daratan dan lautan sebagai suatu sistem yang kompleks.

ITCZ bergerak ke arah utara pada musim panas di belahan bumi utara
(bulan Juli) dan bergerak ke arah selatan pada musim panas di belahan bumi
selatan (bulan Januari) mengikuti lokasi pemanasan matahari maksimum,
sehingga pada bulan Juli, yaitu saat terjadinya maksimum musim panas di belahan
bumi utara, posisi ITCZ berada di sekitar 25 LU di atas benua Asia dan antara 5 -
10 LU di atas lautan. Pada bulan Januari, saat terjadinya maksimum musim panas
di belahan bumi selatan, ITCZ berada di sekitar 15 LS di atas daratan (benua) dan
dekat katulistiwa di atas lautan. (Tukidi, 2010)

Gambar 3.2.2. Jalur pergerakan ITCZ bulan Januari dan Juli

Tipe Monsun

Curah hujan di Indonesia dipengaruhi oleh monsun yang digerakan oleh


adanya sel tekanan tinggi dan sel tekanan rendah di benua Asia dan Australia
secara bergantian. Dalam bulan Desember Januari - Februari (DJF) di Belahan
Bumi Utara terjadi musim dingin akibatnya terjadi sel tekanan tinggi di Benua
Asia, sedangkan di Belahan Bumi Selatan pada waktu yang sama terjadi musim
16

panas, akibatnya terjadi sel tekanan rendah di benua Australia. Oleh karena
terdapat perbedaan tekanan udara di kedua benua tersebut, maka pada periode
DJF bertiup angin dari tekanan tinggi di Asia menuju ke tekanan rendah di
Australia, angin ini disebut Monsun Barat atau Monsun Barat Laut.

Dalam bulan Juni Juli - Agustus (JJA) terjadi sebaliknya, terdapat


tekanan rendah di Asia dan sel tekanan tinggi di Australia, maka pada periode JJA
bertiup angin dari tekanan tinggi di benua Australian menuju ke tekanan rendah di
Asia, angin ini disebut Monsun Timur atau Monsun Tenggara.

Monsun Barat biasanya lebih lembab dan banyak menimbulkan hujan


daripada Monsun Timur. Perbedaan banyaknya curah hujan yang disebabkan oleh
kedua monsun tersebut karena perbedaan sifat kejenuhan dari kedua massa udara
(angin) tersebut. Pada saat Monsun Timur arus udara bergerak di atas laut yang
jaraknya pendek, sedangkan pada saat Monsun Barat arus udara bergerak di atas
laut dengan jarak yang cukup jauh, sehingga massa udara pada saat Monsun Barat
lebih banyak mengandung uap air dan menimbulkan banyak hujan dibanding
pada saat Monsun Timur.

Gambar 3.2.3. Angin Monsun Barat dan Monsun Timur

Tipe hujan monsun di Indonesia dicirikan oleh adanya perbedaan yang


jelas antara periode musim hujan dengan musim kemarau dalam satu tahun, tipe
hujan ini terjadi di wilayah Indonesia bagian selatan, seperti di ujung Pulau
Sumatra bagian selatan, Jawa, Bali, Nusa Tenggara dan Maluku selatan. (Tukidi,
2010)
17

Tipe Lokal

Pola curah hujan tipe lokal dicirikan dengan besarnya pengaruh kondisi
setempat, yakni keberadaan pegunungan, lautan dan bentang perairan lainnya,
serta terjadinya pemanasan lokal yang intensif. Faktor pembentukannya adalah
naiknya udara yang menuju ke dataran tinggi atau pegunungan karena pemanasan
lokal yang intensif. Tipe curah hujan ini banyak terjadi di Maluku, Papua, dan
sebagian Sulawesi. (Tukidi, 2010)

3.2.3. Pola Umum Curah Hujan di Indonesia

Pola umum curah hujan di Indonesia juga dipengaruhi oleh letak geografis.
Secara rinci pola umum hujan di Indonesia dapat diuraikan sebagai berikut:

Pantai sebelah barat setiap pulau memperoleh jumlah hujan selalu lebih
banyak daripada pantai sebelah timur.
Curah hujan di Indonesia bagian barat lebih besar daripada Indonesia
bagian timur. Sebagai contoh, deretan pulau-pulau Jawa, Bali, NTB, dan
NTT yang dihubungkan oleh selat-selat sempit, jumlah curah hujan yang
terbanyak adalah Jawa Barat.
Curah hujan juga bertambah sesuai dengan ketinggian tempat. Curah
hujan terbanyak umumnya berada pada ketinggian antara 600 900 m di
atas permukaan laut.
Di daerah pedalaman di semua pulau, musim hujan jatuh pada musim
pancaroba. Demikian juga halnya di daerah-daerah rawa yang besar.
Bulan maksimum hujan sesuai dengan letak ITCZ.
Saat mulai turunnya hujan bergeser dari barat ke timur, seperti:
1) Pantai barat pulau Sumatera sampai ke Bengkulu mendapat hujan
terbanyak pada bulan November.
2) Lampung - Bangka yang letaknya ke timur mendapat hujan
terbanyak pada bulan Desember.
3) Jawa bagian utara, Bali, NTB, dan NTT pada bulan Januari
Februari.
18

Di Sulawesi Selatan bagian timur, Sulawesi Tenggara, Maluku Tengah,


musim hujannya berbeda, yaitu bulan Mei - Juni. Pada saat itu, daerah
lain sedang mengalami musim kering. Batas daerah hujan Indonesia barat
dan timur kira-kira terletak pada 120o Bujur Timur.

Rata-rata curah hujan di Indonesia untuk setiap tahunnya tidak sama,


namun masih tergolong cukup banyak, yaitu rata-rata 2000 3000 mm/tahun.
Begitu pula antara tempat yang satu dengan tempat yang lain rata-rata curah
hujannya tidak sama. Ada beberapa daerah yang mendapat curah hujan sangat
rendah dan ada pula daerah yang mendapat curah hujan tinggi:

1. Daerah yang mendapat curah hujan rata-rata per tahun kurang dari 1000
mm, meliputi 0.6% dari luas wilayah Indonesia, di antaranya Nusa
Tenggara, dan 2 daerah di Sulawesi (lembah Palu dan Luwuk).
2. Daerah yang mendapat curah hujan antara 1000 2000 mm per tahun di
antaranya sebagian wilayah Nusa Tenggara, suatu daerah sempit di
Merauke, Kepulauan Aru, dan Tanibar.
3. Daerah yang mendapat curah hujan antara 2000 3000 mm per tahun,
meliputi Sumatera Timur, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Timur
sebagian besar wilayah Jawa Barat dan Jawa Tengah, sebagian wilayah
Irian Jaya, Kepulauan Maluku dan sebagaian besar wilayah Sulawesi.
4. Daerah yang mendapat curah hujan tertinggi lebih dari 3000 mm per tahun
meliputi dataran tinggi di Sumatera Barat, Kalimantan Tengah, dataran
tinggi Irian bagian tengah, dan beberapa daerah di Jawa, Bali, Lombok,
dan Sumba.
Dari hasil data pengamatan curah hujan di seluruh Indonesia, diketahui
bahwa curah hujan terbanyak di Indonesia terdapat di daerah Baturaden, Jawa
Tengah, yaitu mencapai 7069 mm/tahun. Sedangkan curah hujan yang paling
sedikit berada di Palu, Sulawesi Tengah, merupakan daerah yang paling kering
dengan curah hujan hanya sekitar 547 mm/tahun.
19

3.3. Metode Kerja


3.3.1. Tempat dan Waktu PKL

Kegiatan PKL dilaksanakan di Stasiun Meteorologi Balikpapan yang


terletak di Jalan Marsma R. Iswahyudi Balikpapan. Kegiatan PKL berlangsung
selama satu bulan yaitu pada bulan Maret 2012, dengan jam kerja dibagi menjadi
2 (dua) shift. Shift pagi yang dimulai dari pukul 08.00 WITA hingga pukul 14.00
WITA dan shift siang dimulai dari pukul 14.00 WITA sampai dengan pukul 20.00
WITA.

3.3.2. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam Praktek Kerja Lapangan


ini adalah :

1. Studi lapangan ( Field Research )


Melakukan pengumpulan data dengan cara meneliti keadaan yang sebenarnya
serta melakukan pekerjaan yang berhubungan dengan data yang akan diambil,
yaitu :
a) Interview (wawancara), yaitu pengumpulan data dengan cara tanya
jawab tentang masalah yang akan dibahas dalam laporan ini.
b) Observasi Langsung, yaitu pengumpulan data melalui pengamatan
secara langsung, serta pencatatan data secara langsung.
c) Dokumentasi, yaitu mengadakan pencatatan dan pengumpulan data
yang diidentifikasi dari dokumen yang ada kaitannya dengan masalah
yang dibahas.
2. Studi Perpustakaan (Library Research)
Penulis juga mengumpulkan data dengan membaca buku-buku,materi-materi
dari internet, teks, dan jurnal-jurnal ilmiah yang berkaitan dengan penulisan
laporan praktek kerja lapangan.
20

3.4. Hasil dan Pembahasan


3.4.1. Data Curah Hujan

Data curah hujan untuk wilayah kota Balikpapan didapat dari pos
pengamatan Stasiun Meteorologi milik Badan Meteorologi Klimatologi dan
Geofisika (BMKG) Balikpapan yang berada di dalam Bandara Sepinggan. Data
curah hujan yang tersedia adalah berupa data curah hujan harian dari tahun 1982
hingga tahun 2011. Selanjutnya data tersebut diproses sehingga dihasilkan data
curah hujan bulanan dalam setahun. Namun data yang nantinya akan dianalisis
hanyalah data curah hujan dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, yaitu antara
periode tahun 2002-2011 yang dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 3.1. Data Curah Hujan Bulanan Tahun 2002-2011


2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011
Jan 299.40 325.40 236.50 171.90 229.10 273.70 71.40 215.90 218.80 175.60
Feb 133.70 132.20 320.00 232.20 375.00 261.20 223.60 203.70 248.00 224.40
Mar 293.50 401.60 424.00 270.70 165.80 144.20 323.80 290.50 210.20 253.60
Apr 148.00 250.00 176.20 152.50 385.30 198.80 256.30 161.30 342.90 255.00
May 145.00 441.20 197.70 258.70 244.50 250.30 259.40 103.00 262.20 232.10
Jun 238.60 360.70 107.60 102.40 610.20 377.90 454.30 157.00 337.50 424.40
Jul 132.80 229.00 215.10 211.60 80.90 392.80 705.10 259.60 275.00 122.60
Aug 281.60 404.70 2.00 151.30 93.90 198.80 308.80 93.10 76.70 128.30
Sep 99.80 224.40 130.90 35.90 253.60 335.80 291.70 64.40 182.00 355.00
Oct 42.10 117.70 115.60 279.50 12.00 97.70 220.10 144.70 369.70 198.80
Nov 320.00 180.10 251.00 270.70 122.10 88.00 346.10 178.60 241.50 247.80
Dec 278.30 140.60 281.70 247.00 314.70 205.10 324.70 338.00 222.90 330.80
Sumber : Badan Meteorologi dan Geofisika Kota Balikpapan, Tahun 2012

Data curah hujan seperti yang terlihat dalam tabel di atas, selanjutnya akan
dikonversikan ke dalam bentuk sebuah grafik untuk setiap masing-masing
tahunnya. Setelah diubah menjadi grafik, maka nantinya akan lebih mudah dalam
menganalisis dan mengenali pola curah hujan yang terjadi di Balikpapan.
Walaupun terdapat kemungkinan pola yang dihasilkan akan berbeda karena data
curah hujan bulanan dalam setiap tahun tidak pernah sama.
21

3.4.2. Analisis Data Curah Hujan

Data curah hujan untuk tahun 2002 hingga 2011 diolah dengan
menggunakan software Matlab, sehingga dihasilkan keluaran berupa grafik
batang (bar chart) yang menunjukkan curah hujan bulanan per tahun. Dari grafik
tersebut akan dapat diketahui pola curah hujan yang terjadi antara tahun 2002
hingga tahun 2011, selain itu diketahui pula curah hujan tertinggi, terendah dan
curah hujan rata-rata yang terjadi dalam setiap tahunnya.

Gambar 3.4.1. Grafik Curah Hujan Bulanan Tahun 2002

Dari grafik curah hujan tahun 2002 didapatkan:


Curah hujan tertinggi = 320 mm (Bulan November)
Curah hujan terendah = 42.1 mm (Bulan Oktober)
Curah hujan rata-rata = 201. 07 mm
22

Gambar 3.4.2. Grafik Curah Hujan Bulanan Tahun 2003

Dari grafik curah hujan tahun 2003 didapatkan:


Curah hujan tertinggi = 441.2 mm (Bulan Mei)
Curah hujan terendah = 117.7 mm (Bulan Oktober)
Curah hujan rata-rata = 267.3 mm

Gambar 3.4.3. Grafik Curah Hujan Bulanan Tahun 2004

Dari grafik curah hujan tahun 2004 didapatkan:


Curah hujan tertinggi = 424 mm (Bulan Maret)
Curah hujan terendah = 2 mm (Bulan Agustus)
Curah hujan rata-rata = 204.8 mm
23

Gambar 3.4.4. Grafik Curah Hujan Bulanan Tahun 2005

Dari grafik curah hujan tahun 2005 didapatkan:


Curah hujan tertinggi = 279.5 mm (Bulan Oktober)
Curah hujan terendah = 35.9 mm (Bulan September)
Curah hujan rata-rata = 198.7 mm

Gambar 3.4.5. Grafik Curah Hujan Bulanan Tahun 2006

Dari grafik curah hujan tahun 2006 didapatkan:


Curah hujan tertinggi = 610.2 mm (Bulan Juni)
Curah hujan terendah = 12 mm (Bulan Oktober)
Curah hujan rata-rata = 240.6 mm
24

Gambar 3.4.6. Grafik Curah Hujan Bulanan Tahun 2007

Dari grafik curah hujan tahun 2007 didapatkan:


Curah hujan tertinggi = 392.8 mm (Bulan Juli)
Curah hujan terendah = 88 mm (Bulan November)
Curah hujan rata-rata = 235.4 mm

Gambar 3.4.7. Grafik Curah Hujan Bulanan Tahun 2008

Dari grafik curah hujan tahun 2008 didapatkan:


Curah hujan tertinggi = 705.1 mm (Bulan Juli)
Curah hujan terendah = 71.4 mm (Bulan Januari)
Curah hujan rata-rata = 315.4 mm
25

Gambar 3.4.8. Grafik Curah Hujan Bulanan Tahun 2009

Dari grafik curah hujan tahun 2009 didapatkan:


Curah hujan tertinggi = 338 mm (Bulan Juli)
Curah hujan terendah = 64.4 mm (Bulan September)
Curah hujan rata-rata = 184.2 mm

Gambar 3.4.9. Grafik Curah Hujan Bulanan Tahun 2010

Dari grafik curah hujan tahun 2010 didapatkan:


Curah hujan tertinggi = 369.7 mm (Bulan Oktober)
Curah hujan terendah = 76.7 mm (Bulan Agustus)
Curah hujan rata-rata = 248.9 mm
26

Gambar 3.4.10. Grafik Curah Hujan Bulanan Tahun 2011

Dari grafik curah hujan tahun 2011 didapatkan:


Curah hujan tertinggi = 424.4 mm (Bulan Juni)
Curah hujan terendah = 122.6 mm (Bulan Juli)
Curah hujan rata-rata = 245.7 mm
27

3.4.3 Analisis Spektral Curah Hujan

Selain dengan analisis data curah hujan seperti yang dilakukan


sebelumnya, data curah hujan tersebut juga di analisis dengan menggunakan
metode FFT (Fast Fourier Transform). Metode ini dapat digunakan untuk
menganalisis periodesitas curah hujan pada tahun tertentu dengan melihat puncak
energi spektralnya sehingga dapat diketahui pola curah hujan tiap tahun di Kota
Balikpapan dalam sepuluh tahun terakhir.

Gambar 3.5.1. Energi Spektral Curah Hujan Bulanan Tahun 2002

Gambar 3.5.2. Energi Spektral Curah Hujan Bulanan Tahun 2003


28

Gambar 3.5.3. Energi Spektral Curah Hujan Bulanan Tahun 2004

Gambar 3.5.4. Energi Spektral Curah Hujan Bulanan Tahun 2005


29

Gambar 3.5.5. Energi Spektral Curah Hujan Bulanan Tahun 2006

Gambar 3.5.6. Energi Spektral Curah Hujan Bulanan Tahun 2007


30

Gambar 3.5.7. Energi Spektral Curah Hujan Bulanan Tahun 2008

Gambar 3.5.8. Energi Spektral Curah Hujan Bulanan Tahun 2009


31

Gambar 3.5.9. Energi Spektral Curah Hujan Bulanan Tahun 2010

Gambar 3.5.10. Energi Spektral Curah Hujan Bulanan Tahun 2011

3.4.4 Pembahasan

Variabilitas curah hujan di Balikpapan sangatlah kompleks dan merupakan


salah satu bagian dari adanya fenomena seperti, sistem Monsun Barat - Timur
(Asia Australia), pergerakan ITCZ (Inter Tropical Convergence Zone) dan juga
fenomena ENSO (El Nino-Southern Oscillation) yang terjadi di Indonesia. Untuk
sistem Monsun dan ITCZ pada umumnya berkaitan dengan terjadinya variasi
curah hujan tahunan dan semi tahunan, sedangkan fenomena ENSO sendiri
32

biasanya terkait dengan adanya variasi curah hujan antar-tahunan di Balikpapan.


Selain mendapat pengaruh dari sirkulasi udara pada skala global dan regional,
variasi curah hujan di Balikpapan juga ikut dipengaruhi oleh adanya kondisi lokal,
seperti topografi dan suhu permukaan laut di perairan pesisir Balikpapan.

Wilayah Balikpapan sebagian besar merupakan daerah perbukitan dan di


bagian timur dan selatan berbatasan langsung dengan perairan selat Makassar dan
Teluk Balikpapan. Hal ini menyebabkan proses pembentukan awan dan hujan di
Balikpapan secara tidak langsung terpengaruh oleh kondisi alam tersebut selain
karena adanya pengaruh dari pergerakan semu posisi matahari dan sirkulasi udara
global seperti yang dijelaskan sebelumnya.

Pola curah hujan untuk kurun waktu sepuluh tahun terakhir dapat dilihat
pada gambar 3.4.1 3.4.10. Tahun 2008 merupakan tahun yang memiliki
kuantitas curah hujan tahunan terbesar dalam sepuluh tahun terakhir, dimana
dalam setahun curah hujan yang terjadi sebesar 3785.3 mm. Lalu untuk curah
hujan tahunan terendah dalam sepuluh tahun terakhir terjadi pada tahun 2009
sebesar 2209.8 mm. Curah hujan bulanan tertinggi yang tercatat dalam kurun
waktu sepuluh tahun terakhir adalah sebesar 705.1 mm yang terjadi pada bulan
Juli 2008. Sedangkan untuk curah hujan bulanan terendah adalah hanya sebesar 2
mm pada bulan Agustus 2004.

Jika dilihat dari grafik, secara umum dapat disimpulkan bahwa dalam
sepuluh tahun terkhir selalu didominasi oleh bulan-bulan basah dimana curah
hujan selalu lebih dari 100 mm/bulan. Hal ini menandakan bahwa tidak terdapat
perbedaan yang kontras antara musim hujan dan musim kemarau. Untuk pola
curah hujan monsunal biasanya dicirikan dengan adanya puncak musim hujan di
sekitar bulan Desember-Januari-Februari (DJF) dan musim kemarau di sekitar
bulan Juni-Juli-Agustus (JJA). Sedangkan untuk pola curah hujan lokal sama
seperti pola monsun, hanya saja waktu terjadinya musim tersebut berbalik
waktunya. Berdasarkan kriteria ini, maka dapat dikatakan bahwa wilayah
Balikpapan mengikuti pola curah hujan anti monsunal atau pola lokal.
33

Alasan disimpulkannya bahwa wilayah Balikpapan mengikuti pola curah


hujan lokal dikarenakan curah hujan maksimum kebanyakan terjadi pada
pertengahan tahun, walaupun dalam tahun-tahun tertentu kadang-kadang puncak
curah hujan bergeser dan dapat terjadi di awal dan akhir tahun. Hal ini sesuai
dengan ciri-ciri pola curah hujan lokal yang mengalami curah hujan maksimum
antara bulan Mei, Juni, Juli dan Agustus. Seperti yang dijelaskan sebelumnya,
pola hujan lokal biasanya terjadi karena pengaruh topografi wilayah itu sendiri.
Balikpapan merupakan daerah pesisir yang berbatasan secara langsung dengan
lautan, sehingga kondisi iklimnya pun pasti akan sangat dipengaruhi oleh adanya
bentang perairan di sekitar wilayah tersebut.

Akan tetapi karena berada pada daerah berlintang rendah, maka


Balikpapan termasuk ke dalam daerah doldrums yang merupakan jalur pergerakan
ITCZ. Daerah doldrums merupakan wilayah tenang di daerah tropis karena
pergerakan massa udara secara horizontal sangatlah kecil. Suatu wilayah yang
terletak dalam daerah doldrums biasanya sangat dipengaruhi oleh ITCZ, yang
merupakan daerah pertemuan (konvergensi) antara angin pasat timur laut di
belahan bumi utara (BBU) dan angin pasat tenggara di belahan bumi selatan
(BBS). Letak ITCZ akan mempengaruhi curah hujan pada tempat-tempat yang
bertepatan dengan keberadaan ITCZ, dan kemungkinan besar akan menyebabkan
hujan berhari-hari dengan cuaca yang selalu mendung terus menerus. Karena
berada dalam daerah doldrums, maka secara teori dapat dikatakan pola curah
hujan di Balikpapan juga akan terpengaruh oleh pergerakan ITCZ.

Berdasarkan grafik analisis spektral pada gambar 3.5.1 3.5.10 dapat


disimpulkan bahwa kota Balikpapan umumnya didominasi oleh periode curah
hujan tahunan (11-12 bulan) atau dapat juga disebut Osilasi Tahunan (Annual
Oscillation). Biasanya siklus tahunan tersebut menandakan bahwa suatu daerah
dipengaruhi oleh tipe iklim monsun. Akan tetapi karena tidak terdapat adanya
perbedaan yang jelas antara musim hujan dan musim kemarau, maka dapat
dikatakan bahwa Balikpapan mengalami pola iklim anti-monsun atau dengan kata
34

lain mengalami pola curah hujan lokal dimana periodesitas curah hujan pola lokal
juga sama dengan pola monsun yaitu periode tahunan.

Dari hasil analisis spektral juga diketahui bahwa terdapat periode curah
hujan setengah tahunan (5-6 bulan) atau Osilasi Setengah Tahunan (Semi Annual
Oscillation) yang muncul sebanyak dua kali, yaitu pada tahun 2007 dan 2010. Hal
ini menandakan bahwa pada tahun-tahun tersebut pergerakan dari ITCZ
mempengaruhi iklim di wilayah Balikpapan sehingga menyebabkan terjadinya
pola ekuatorial. Lalu untuk tahun 2002, 2005 dan 2011 tidak dapat ditentukan
apakah termasuk Osilasi Tahunan atau Osilasi Setengah Tahunan karena tidak
memiliki kriteria dari keduanya. Oleh karena itu mungkin dapat dianggap bahwa
terdapat pengaruh dari fenomena-fenomena iklim global yang lain sehingga
menyebabkab terjadinya anomali pada tahun-tahun tersebut di Balikpapan.

Dengan ini didapatkan kesimpulan akhir bahwa untuk wilayah Balikpapan


dipengaruhi oleh dua pola curah hujan setiap tahunnya, yaitu pola curah hujan
lokal dan ekuatorial. Terjadinya pola curah hujan lokal dikarenakan letak dari
wilayah Balikpapan yang menghadap langsung ke perairan Selat Makassar di
sebelah timur dan Teluk Balikpapan di sebelah selatan sehingga menyebabkan
rata-rata curah hujan setiap bulannya cukup tinggi dan merata. Kemudian karena
Balikpapan terletak di lintang rendah, maka wilayahnya akan menjadi jalur dari
pergerakan ITCZ sehingga Balikpapan juga akan mengalami pola curah hujan
ekuatorial seperti di wilayah berlintang rendah lainnya. Namun dalam sepuluh
tahun terakhir terlihat bahwa Osilasi Tahunan lebih sering terjadi sehingga dapat
dikatakan pola curah hujan lokal lebih mendominasi daripada pola curah hujan
yang lain.
BAB IV

PENUTUP

4.1. Kesimpulan

Berdasarkan analisis yang dilakukan dalam laporan ini maka didapatkan


kesimpulan sebagai berikut.

1. Menurut data curah hujan dan hasil analisis spektral selama kurun waktu
sepuluh tahun terakhir, disimpulkan bahwa pola curah hujan lokal lebih
dominan daripada pola curah hujan yang lain.
2. Dalam sepuluh tahun terakhir selalu didominasi oleh bulan-bulan basah
dimana curah hujan selalu lebih dari 100 mm/bulan. Dengan demikian tidak
terjadi perbedaan yang kontras antara musim kemarau dan musim hujan
dalam setahun.
3. Kondisi pola curah hujan di Balikpapan sangat dipengaruhi oleh letak
astronomi dan topografinya. Ditinjau dari letak astronomis, maka pola curah
hujan di Balikpapan dipengaruhi oleh adanya pergerakan ITCZ (Inter
Tropical Convergence Zone) karena posisinya yang terletak di daerah
doldrums. Sedangkan bila ditinjau dari topografinya, maka curah hujan di
Balikpapan juga akan dipengaruhi oleh bentang darat dan perairan di daerah
tersebut.

4.2. Saran

Adapun saran yang dapat diberikan setelah melakukan penulisan laporan


Praktek Kerja Lapangan ini adalah bagi para peneliti yang berminat untuk
melanjutkan penelitian mengenai curah hujan di wilayah Balikpapan, hendaknya
data curah hujan yang digunakan diambil lebih dari satu pos pengamatan. Hal ini
dimaksudkan agar pola distribusi curah hujan dapat dianalisis lebih akurat, selain
itu jika data pengamatan yang didapatkan maksimal maka prediksi curah hujan di
wilayah tersebut akan lebih baik.

35
DAFTAR PUSTAKA

Bayong, Tj.H.K. 2004. Klimatologi. Bandung: Institut Teknologi Bandung.

Gustari, Indra. 2009. Analisis Curah Hujan Pantai Barat Sumatera Bagian Utara
Periode 1994-2007. Medan: Jurnal Meteorologi dan Geofisika.

Hanifah, Annie., Endarwin. 2011. Analisis Intensitas Curah Hujan Wilayah


Bandung Pada Awal 2010. Bandung: Jurnal Meteorologi dan Geofisika.

Hermawan Eddy. 2010. Pengelompokkan Pola Curah Hujan yang terjadi di


Beberapa Kawasan Pulau Sumatera Berbasis Hasil Analisis Teknik
Spektral. Bandung: Pusat Pemanfaatan Sains Atmosfer dan Iklim LAPAN.

Lakitan, Benyamin. 2002. Dasar-Dasar Klimatologi. Jakarta: PT Raja Grafindo


Persada.

Nasution, Mulkan Iskandar. 2010. Analisis Pemetaan Validasi Prediksi Curah


Hujan Dengan Model Jaringan Syaraf Tiruan Dan Wavelet Menggunakan
ArcView 3.3. Medan: Universitas Sumatera Utara.

Sonjaya, I, Kurniawan, T, Munir, M, dkk. 2009. Uji Aplikasi HyBMG Versi 2.0
Untuk Prakiraan Curah Hujan Pola Monsunal Ekuatorial dan Lokal.
Buletin Meteorologi Klimatologi dan Geofisika.

Tukidi. 2010. Karakter Curah Hujan di Indonesia. Semarang: Jurnal Geografi FIS
UNNES.

www.bmkg.go.id

Anda mungkin juga menyukai