Anda di halaman 1dari 31

BAB I

PENDAHULUAN

I.I Latar belakang

Trauma toraks merupakan penyebab mortalitas yang bermakna. Sebagian

besar pasien trauma toraks meninggal saat datang di rumah sakit, disamping itu

banyak kematian yang dapat dicegah dengan upaya diagnosis dan tatalaksana

yang akurat. Kurang dari 10% kasus trauma tumpul toraks dan sekitar 15-30%

trauma tembus toraks memerlukan tindakan torakotomi. Sebagian besar pasien

trauma toraks dapat ditatalaksana dengan prosedur teknik sesuai kompetensi yang

dimiliki oleh dokter. Trauma toraks latrogenik juga sering dijumpai misalnya

hemotoraks atau pneumotoraks dengan central line placement dan trauma

esofagus akibat endoskopi.

Hipoksia, hiperkarbia dan asidosis seringkali terjadi akibat trauma toraks.

Hipoksia jaringan terjadi akibat kegagalan distribusi oksigen menuju jaringan

akibat hipovolemia (perdarahan), ketidakseimbangan ventilasi perfusi pulmonal

(misalnya kontusio, hematoma, dan kolaps alveolar) dan perubahan pada tekanan

intratorakal (misalnya tension pneumotoraks dan pneumotoraks terbuka).

Hiperkarbia seringkali terjadi akibat kegagalan ventilasi yang disebabkan oleh

perubahan pada tekanan intratorakal dan penurunan derajat kesadaran. Asidosis

metabolik juga dapat terjadi akibat hipoperfusi jaringan.

1
Penilaian dan tatalaksana awal pasien dengan trauma toraks terdiri dari

primary survery, resusitasi fungsi vital, secondary survey yang teliti dan

penanganan definitif. Hipoksia adalah manifestasi paling serius pada trauma

toraks maka intervensi awal ditujukan untuk mencegah atau memperbaiki

hipoksia. Trauma yang dapat mengancam jiwa harus segera ditangani secepat

mungkin. Sebagian besar trauma toraks mengancam jiwa ditatalaksana dengan

mempertahankan kontrol saluran pernafasan atau memasang chest tube.

Secondary survey dilakukan berdasarkan anamnesis trauma dan kecurigaan tinggi

akan adanya trauma yang spesifik.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Primary survey

Primary survey pada pasien trauma toraks dimulai dari saluran pernafasan,

permasalahan utama harus segera diatasi saat teridentifikasi.

Jalan napas (Airway)

Adanya trauma mayor yang mengenai jalan napas perlu segerea dikenali

saat melakukan primary survey. Patensi jalan napas dan pertukaran udara

sebaiknya dinilai dengan mendengarkan pergerakan udara melalui hidung,

mulut,lapang paru dari pasien, melakukan inspeksi orofaring untuk menilai

adanya obstruksi benda asing dan mengamati adanya retraksi otot

intercostalis dan supraklavikular.

Trauma laring dapat menyertai trauma toraks. Walaupun gambaran

klinisnya seringkali tidak jelas. Obstruksi saluran napas akut akibat trauma

laring ini dapat menjadi trauma yang mengancam jiwa.

Trauma pada toraks atas dapat dinilai dengan adanya defek yang dapat

dipalpasi pada regio persendian sternoklavikular dengan dislokasi

posterior kaput klavikula yang menyebabkan obstruksi saluran pernapasan

atas. Identifikasi trauma ini dapat dilakukan melaui observasi akan adanya

obstruksi saluran pernapsan atas (stridor) atau perubahan bermakna

kualitas suara (jika pasien mampu berbicara). Penatalaksanaan meliputi

reduksi tertutup trauma yang dapat dilakukan dengan meluruskan bahu

atau melakukan fiksasi klavikula dengan pointed clamp dan reduksi

3
fraktur secara manual. Setelah reduksi keadaan stabil dapat tercapai bila

pasien berada d lam posisi supinasi.

Pernapasan (Breathing)

Dada dan leher pasien harus diperiksa secara menyeluruh untuk menilai

pernapasan dan vena leher. Pergerakan dan kualitas respirasi dinilai

dengan observasi, palpasi dan pendengaran suara napas. Tanda trauma

toraks atau hipoksia yang penting tetapi seringkali tidak terlewatkan ialah

peningkatan kecepatan pernapasan dan perubahan pola pernapasan,

khususnya pernapasan yang makin dangkal. Sianosis adalah tanda lanjut

hipoksia pada pasien trauma. Walaupun demikian, tidak adanya sianosis

tidak menunjukkan bahwa oksigenasi jaringan telah berlangsung secara

adekuat atau saluran napas yang adekuat. Trauma toraks dapat

menyebabkan gangguan pernapasan dan harus dikenali dan ditangani saat

primary survey termasuk adanya tension pneumotorax, open pneumotorax

(sucking chest wound), flail chest, konstuiso paru dan hemotoraks masif.

II.1.1 Tension pneumotorax

Tension pneumotorax terjadi akibat kebocoran udara one-way valve

dari paru atau melalui dinding toraks. Udara didorong masuk kedalam rongga

toraks tanpa ada celah untuk keluar sehingga memicu paru kolaps. Mediastinum

terdorong ke sisi berlawanan. Terjadi penurunan aliran darah balik vena dan

penekanan pada paru di sisi yang berlawanan.

4
Penyebab utama tension pneumotorax adalah ventilasi mekanik dengan

ventilasi tekanan positif pada pasien dengan trauma pleural visceral. Tension

pneumotorax juga dapat terjadi sebagai komplikasi dari simple pneumotorax

pasca trauma tumpul atau tembus toraks dimana parenkim paru gagal untuk

mengembang atau pasca penyimpangan pemasangan kateter vena subklavia atau

jugularis interna. Defek traumatik pada toraks juga dapat memicu tension

pneumotorax jika tidak ditutup dengan benar dan jika defek tersebut memicu

terjadinya mekanisme flap-valve. Tension pneumotorax juga dapat terjadi akibat

penyimpangan letak pasca fraktur tulang belakang torakal.

Tension pneumotorax merupakan diagnosis klinis yang mencerminkan

kondisi udara dibawah tekanan dalam ruang pleura. Tatalaksana tidak boleh

ditunda karena menunggu konfirmasi radiologi selesai. Tension pneumotorax

ditandai oleh adanya beberapa tanda dan gejala berikut ini : nyeri dada, air hunger,

distress napas, takikardia, hipotensi, deviasi trakea, hilangnya suara napas pada

salah satu sisi atau unilateral, distensi vena leher dan sianosis sebagai manifestasi

lanjut. Tanda tension pneumotorax ini bias dikacaukan dengan tamponade jantung

akibat adanya kemiripan. Kedua kasus ini dapat dibedakan dengan adanya

hipersonasi pada perkusi atau suara napas yang menghilang pada hemitorax yang

sakit.

Tension pneumotorax memerlukan dekompresi segera dan ditatalaksana

awal dengan cepat melalui penusukan jarum kaliber besar pada ruang intercostal

kedua pada garis midklavikular dari hemitoraks yang sakit.

5
Tindakan pada tension pneumotorax adalah torakosentesis jarum. Jika

tindakan ini dilakukan pada pasien bukan tension pneumotorax dapat terjadi

pneumotorax dan atau parenkim paru

II.1.2 Open pneumotorax (Sucking chest wound)

Defek besar dinding toraks yang tetap terbuka dapat memicu open

pneumotorax atau sucking chest wound. Keseimbangan antara tekanan

intratorakal dan atmosfer segera tercapai. Jika lubang dinding toraks berukuran

sekitar dua pertiga dari diameter trakea, udara mengalir melalui defek dinding

toraks pada setiap upaya pernapasan karena udara cenderung mengalir kelokasi

yang tekanannya lebih rendah. Ventilasi efektif akan terganggu sehingga memicu

terjadinya hipoksia dan hiperkarbia.

Penatalaksanaan awal dari pneumotorax dapat tercapai dengan menutup

defek tersebut dengan occluive dressing yang steril. Penutup ini harus cukup besar

untuk menutupi seluruh luka dan kemudian direkatkan pada tiga sisi untuk

memberikan feel flutter type valve.

Saat pasien inhalasi, penutup ini akan menyumbat luka, mencegah udara

masuk dan saat ekspirasi, lubang terbuka dari penutup ini memungkinkan udara

6
keluar dari ruang pleura. Chest tube sebaikanya segera dipasang secepat mungkin.

Bila semua sisi penutup tadi direkatkan, maka udara akan terakumulasi dalam

rongga toraks dan memicu terjadinya tension pneumotorax kecuali chest tube

telah terpasang. Setiap occlusive dressing (misalnya plastic wrap atau petrolatum

gauze) dapat digunakan sebagai media sementara sehingga penilaian cepat dapat

terus dilakukan. Penutupan bedah definitif pada defek seringkali perlu segera

dilakukan.

II.1.3 Flail chest dan kontusio paru

Flail chest terjadi saat sebuah segmen dinding toraks tidak memiliki

kontinuitas tulang sehingga terjadi defek pada thoracic cage. Kondisi ini biasanya

terjadi akibat trauma terkait fraktur costae multiple yaitu dua atau lebih. Adanya

segmen flail chest menyebabkan gangguan berat pada pergerakan dinding dada

yang normal. Jika trauma yang mengenai paru cukup bermakna maka dapat terjadi

hipoksia kesulitan utama flail chest diakibatkan oleh trauma pada paru (kontusio

paru). Walaupun instabilitas dinding dada memicu pergerakan paradoksal dinding

dada saat inspirasi dan ekspirasi, defek ini sendiri tidak menyebabkan hipoksia.

Keterbatasana pergerakan dinding dada disertai nyeri dan trauma paru yang

mendasari merupakan penyebab penting hipoksia.

7
Flail chest mungkin tampak kurang jelas pada awalnya karena adanya

splinting pada dinding toraks. Pernapasan pasien berlangsung lemah dan

pergerakan toraks tampak asimetris dan tidak terkoordinasi. Palpasi dari gangguan

pergerakan respirasi dan krepitasi tulang iga atau fraktur kartilagi dapat

menyokong diagnosis. Pada pemeriksaan foto rontgen toraks akan dijumpai

fraktur costae multiple tetapi dapat juga tidak dijumpai pemisahan costochondral.

Analisis gas darah arteri yang menunjukan kegagalan pernapasan dengan hipoksia

juga akan membantu menegakkan diagnosis flail chest.

Terapi awal meliputi ventilasi adekuat, pemberian oksigen humidifikasi,

dan resusitasi cairan. Bila tidak dijumpai hipotensi sitemik, pemberian cairan

kristaloid intravena harus diawasi secara ketat agar tidak terjadi overhidrasi.

Penatalaksanaan definitif meliputi pemberian oksigenasi secukupnya,

pemberian cairan secara bijaksana dan anlgesia untuk memperbaiki ventilasi.

Pemberian analgesia dapat dilakukan dengan menggunakan narkotika intravena

atau berbagai metode anastesi lokal yang tidak berpotensi memicu depresi

pernapasan seperti pada pemberian narkotika sisitemik. Pemilihan anestesi lokal

meliputi blok saraf intermiten pada intercostal, intrapleural, ekstrapleural, dan

anestesi epidural. Bila digunakan secara tepat, agen anestesi lokal dpat

memberikan analgesia yang sempurna dan menekan perlunya dilakukan intubasi.

Pencegahan hipoksia juga meruplan penting dalam penanganan pasien

trauma dimana intubasi dan ventilasi pada periode waktu yang singkat diperlukan

hingga diagnosis pola trauma secara keseluruhan lengkap. Penilaian yang teliti

8
akan kecepatan pernapasan, tekanan oksigen arterial dan kemampuan pernapasan

menjadi indikasi waktu pemasangan intubasi dan ventilasi.

Circulation

Pada pemeriksaan denyut nadi pasien harus dinilai akan kualitas,

kecepatan dan regularitas. Pada pasien dengan hipovolemimia, denyut nadi

radialisdan dorsalis pedis dapat tidak teraba akibat adanya deplesi volume.

Tekanan darah dan tekanan nadi diukur dan sirkulasi perifer dinilai dengan

mengamjuga ati dan melakukan palpasi kulit untuk menilai warna dan

suhu. Vena leher juga dinilai akan adanya distensi, mengingat vena leher

dapat tidak mengalami distensi pada pasien hipovolemia dan tamponade

jantung, tension pneumotorax atau diafragma traumatik.

Pengawasan jantung dan oksimeter harus dilakukan pada pasien. Paasien

yang mengalami trauma toraks terutama pada sternum atau akibat trauma

deselerasi cepat sangat rentan mengalami trauma miokardiak yang dapat

memicu terjadinya disritmia. Hipoksia dan asidosis akan meningkatkan

kemungkinan ini. Disritmia sebaiknya ditatalaksana sesudah protokol yang

berlaku. Pulseless electric active (PEA) tampak pada pemeriksaan EKG

yang menunjukan sebuah ritme saat pulsasi pasien tidak teraba. PEA dapat

9
dijumpai pada hipovolemia dan ruptur jantung. Trauma toraks utama yang

dapat mempengaruhi sirkulasi, sebaiknya dikenali dengan tatalaksana pada

saat primary survey termasuk hemotoraks masif dan tamponade jantung.

II.1.4 Hemotoraks masif

Hemotoraks masif terjadi akan akumulasi cepat lebih dari 1500 ml darah

satu pertiga atau lebih volume darah pasien dalam rongga toraks. Biasanya terjadi

akibat tembus yang merobek pembuluh darah sistemik atau hilar. Hemotoraks

masif juga dapat terjadi akibat trauma tumpul.

Perdarahan akan disertai hipoksia, vena leher dijumpai datar akibat adanya

hipovolemik berat atau akan mengalami distensi akibat adanya tension

pneumotoraks. Kadang-kadang efek mekanik darah intratorakal dapat memicu

pergeseran mediastinum yang cukup kuat untuk dijumpai bila syok yang terjadi

berhubungan dengan hilangnya suara napas atau perkusi redup pada salah satu sisi

hemitoraks.

Hemotoraks masif ditatalaksana secara dini dengan restorasi volume darah

dan dekompresi kavitas toraks. Jalur iintravena dengan kaliber besar dan infus

kristaloid tetesan cepat disertai transfusi darah harus segera diberikan. Darah dari

chest tube sebaiknya dikumpulkan dalam satu wadah untuk autotransfusi. Chest

tube tunggal dipasang biasanya pada tingkat papilla mamae, disebelah anterior

garis midaksilaris dan restorasi cepat volume terus berlangsung seiring dengan

dekompresi kavitas toraks. Bila dicurigai hemotoraks masif maka dilakukan

10
persiapan untuk auto transfusi. Jika dievakuasi 1500 ml darah maka sebaiknya

dpersiapkan tindakan torakotomi dini.

Beberapa pasien yang memiliki output volume kurang dari 1500 ml tetapi

mengalami perdarahan terus menerus memerlukan torakotomi. Keputusan ini

didasarkan bukat. Kepada kecepatan perdarahan yang berlangsung (200ml/jam

selama 2-4 jam) tetapi juga pada status fisiologis pasien. Kebutuhan persisiten

transfusi darah merupakan indikasi torakotomi. Selama resusitasi pasien, volume

darah yang pada awalnya di drainase dari tube dan kecepatan perdarahan yang

berkelanjutan perlu menjadi pertimbangan dalam memperkirakan jumlah

kebutuhan cairan pengganti. Warna darah (menunjukan sumber arteri atau vena)

merupakan indikator lemah perlu tidaknya tindakan torakotomi.

Luka tembus dinding anterior disebelah medial garis yang melewati papila

mamae dan luka posterior disisi medial skapula harus diwaspadai akan

kemungkinan perlunya torakotomi karena kecenderungan kerusakan pembuluh

darah besar, struktur hilus dan jantun g yang tinggi, serta terkait potensi terjadinya

tamponade jantung. Torakotomi harus ada ahli bedah yang berkompetensi dan

berpengalaman.

11
II.1.5 Tamponade jantung

Tamponade jantung biasanya terjadi akibat luka tembus. Trauma tumpul

juga dapat menyebabkan perikardium terisi darah yang berasal dari jantung,

pembuluh darah besar maupun pembuluh darah perikardial. Sakus perikardium

manusia merupakan sebuah struktur yang fibrosus, dengan sejumlah darah yang

relatif kecil diperlukan untuk restriksi aktivitas jantung dan mengganggu

pengisian jantung. Tamponade jantung terjadi secara perlahan sehingga

memungkinkan evaluasi lebih teliti, tetapi tamponade jantung juga dapat terjadi

dalam waktu singkat sehingga memerlukan diagnosis dan tatalaksana cepat.

Dignosis tamponade jantung kadang tidak mudah ditegakkan.

Triad Becks ialah diagnostik klasik yang terdiri dari peningkatan tekanan

vena, penurunan tekanan arteri, dan suara jantung yang menjauh. Walaupun

demikian, suara jantung yang menjauh sulit untuk dinilai saat berada diruangan

awat darurat yang ramai, sedangkan distensi vena dapat menghilang akibat

hipovolemia. Disamping itu tension pneumotorax khususnya pada sisi kiri dapat

menyerupai tamponade jantung. Tanda kussmaul (peningkatan tekanan vena pada

inspirasi saat bernafas spontan) merupakan gangguan tekanan vena paradoksal

sejati yang berhubungan dengan tamponade jantung. PEA dapat meningkatkan

kecurigaan tamponade jantung tetapi dapat juga dosebabkan oleh keadaan lain.

Pemsangan dan pengukuran tekanan vena sentral (CVP) dapat membantu

diagnosis tetapi peningkatan CVP juga dpat terjadi pada sejumlah keadaan yang

lain.

12
Metode diagnostik meliputi ekokardiogram, focused assessment sonogram

in trauma (FAST) atau pericardial window. Transthoracic ultrasound

(ecocardiogram) bermanfaat sebagai metode non invasif yang bermakna dalam

menilai perikardium dan memiliki tingkat hasil negatif palsu berkisar 5-10%.

Pada pasien dengan trauma tumpul yang mengalami gangguan hemodinamik,

resusitasi pasien tidak boleh ditunda, pemeriksaan sakus perikardium akan adanya

cairan dapat dilakukan sebagai bagian dari pemeriksaan ultrasonografi abdominal

yang dilakukan oleh tim bedah yang terlatih dan berpengalaman. FAST

merupakan metode cepat dan akurat untuk pencitraan jantung dan perikardium

tingkat akurasinya 90% dalam mendeteksi adanya cairan perikardium bila

pemeriksaan tersebut dilakukan oleh operator yang berpengalaman.

Diagnosis tepat dan evakuasi darah perikardial merupakan indikasi pada

pasien yang tidak memberikan respon terhadap resusitasi syok hemoragik atau

potensi terjadinya tamponade jantung. Bila ada ahli bedah yang berkompetensi,

tindakan bedah dapat dilakukan untuk membebaskan tamponade. Tindakan ini

terbaik dilakukan dalam kamr operasi jika kondisi pasien memungkinkan jika

intervensi bedah tidak tersedia maka perikardiosintesis dapat membantu

menegakkan diagnosa sekaligus sebagai terapi bukan merupaka terapi definitif

bagi tamponade jantung.

Saat tamponade dicurigai kuat telah terjadi pemberian awal cairan

intravena akan meningkatkan tekanan vena dan memperbaiki curah jantung

sementara sambil mempersiapkan tindakan bedah. Jika perikardiosentensis

subxyphoid dilakukan sebagai manuver sementara dengan menggunakan jarum

13
yang terbungkus plastik atau teknik seldinger untuk pemasangan kateter yang

fleksibel, prioritas utama tetap pada upaya melakukan aspirasi darah dari sakus

perikardial. Jika tersedia pemeriksaan ultrasound maka instrumen ini dapat

digunakan sebagai panduan pemasangan jarum menuju ruang perikardial secara

akurat. Aspirasi darah perikardial sendiri dapat membebaskan gejala secara

sementara. Tetapi semua pasien dengan tamponade akut dan perikardiosentensisi

positif akan memerlukan tindakan bedah untuk pemeriksaan jantung dan repair

trauma. Perikardiosentensis tidak dapat menjadi diagnostik atau terapeutik bila

darah dalam perikardium telah mengalami pembekuan. Persiapan untuk merujuk

pasien menuju fasilitas kesehatan yang tepat untuk terapi definitf perlu segera

dilakukan. Perikardiotomi via torakotomi hanya boleh dilakukan bila ahli bedah

yang berkompeten.

Torakotomi resusitatif

Pijat jantung tertutup untuk henti jantung atau PEA tidak efektif pada

pasien dengan hipovolemia. Pasien dengan trauma toraks tembus yang datang

tanpa pulsasi tetapi dengan aktivitas elektrikal miokardial merupakan kandidat

untuk mendapat torakotomi resusitatif segera. Restorasi volume intravaskular

terus dilakukan dan intubasi endotrakeal dan ventilasi mekanik juga sangat

penting.

14
Pasien yang menderita truma tembus dan memerlukan CPR pada lingkup

pra rumah sakit harus dievaluasi setiap tanda kehidupan yang ada. Jika tanda

tersebut tidak ada dan tidak dijumpai aktivitas elektrik jantung maka upaya

resusitatif lanjut tidak perlu lagi dilakukan. Pasien yang menderita trauma tumpul

dan tidak memberikan pulsasi saat datang tetapi masih memiliki ativitas elektirkal

miokardial (PEA) bukan merupakan kandidat untuk torakotomi resusitatif di

departemen gawat darurat. Tanda kehidupan seperti pupil reaktif, pergerakan

spontan mzupun aktivitas EKG yang terorganisir.

Manuver terapeutik yang dapat dilakukan secara efektif bersama

torakotomi resusitatif meliputi :

Evakuasi darah perikardial yang memicu terjadinya tanponade

Kontrol langsung exsanguinating perdarahan intratorakal

Pijat jantung terbuka

Cross-clamping aorta descenden untuk memperlambat

perdarahan dibawah diafragma dan meningkatkan perfusi

menuju otak dan jantung

Disamping manfaat manuver ini, sejumlah laporan menyatakan bahwa

torakotomi di departemen gawat darurat pada pasien trauma tumpul dan henti

jantung jarang sekali efektif.

15
II.2 Secondary survey

Secondary survey meliputi pemeriksaan fisik, pemeriksaan rontgen toraks

samping jika kondisi pasien memungkinkan, penilaian analisis gas darah dan

pulse oxymetri serta pengawasan EKG. Disamping itu pengembangan paru dan

adanya cairan, pada pemeriksaan ronsen toraks, dapat dinilai adanya pelebaran

mediastinum, pergeseran midline dan hilangnya gambaran rinci anatomis. Fraktur

tulang iga multiple dan fraktur pada costae pertama atau kedua menunjukan

adanya tekanan yang berat menuju toraks dan jaringan dibawahnya.

Sedikitnya ada delapan trauma yang mengancam jiwa meliputi :

II.2.1 Simple pneumotorak

Pneumotoraks terjadi akibat adanya udara yang masuk dalam ruang

potensial antara pleura viseralis dan parietalis. Baik trauma tembus maupun tidak

tembus dapat menyebabakan pneumotoraks. Dislokasi fraktur tulang belakang

torakal juga dapat menyebabkan pneumotoraks. Laserasi paru dengan kebocoran

udara merupakan penyebab umum pneumotoraks akibat trauma tumpul.

Torkas pada kondisi normal terisi oleh paru hingga kedinding toraks oleh

adanya tegangan permukaan antara permukaaan pleura. Udara dalam ruang pleura

viceralis dan parietalis yang kemudian menyebabkan paru kolaps. Defek ventilasi

atau perfusi pada non ventilasi tidak mendapat oksigenasi.

Bila pneumotraks terjadi suara napas akan menurun pada sisi yang sakit

dan perkusi memberikan hasil hipersonasi. Foto rontgen torak akan meberikan

gambaran yang mendukung diagnosis.

16
Setiap pneumotoraks sebaiknya ditatalaksana dengan pemasangan chest

tube yang dipasang pada runag interkostalis keempat atau kelima, seidkit anterior

dari garis midaksilaris. Observasi dan aspirasi dari pneumotoraks asimtomatis

mungkin tindakan yang tepat, tetapi pemilihan terapi sebaiknya ditentukan oleh

dokter yang berkompeten, bila tidak maka pemsangan chest tube sebaiknya segera

dilakukan. Setelah chest tube dipasang dan dihubungkan dengan underwater seal

apparatus dengan atau tanpa penghisap, pemeriksaan rontgen toraks perlu

dilakukan untuk memastikan pengembangan paru kembali. Baik anestesi maupun

ventilasi tekanan positif sebaiknya tidak diberikan pada pasien yang menderita

pneumotorsk traumatik atau mereka yang beresiko untuk mengalami

pneumotoraks intraoperatif yang tidak terduga, sampai chest tube tersebut

dipasang. Simple pneumotoraks dapat berubah menjadi tension pneumotoraks

yang mengancam jiwa bila tidak dikenali dan ventilasi tekanan positif

diaplikasikan pasien dengan pneumotoraks harus mendapat dekompresi toraks

sebelum dirujuk via ambuans.

II.2.2 Hemotoraks

Penyebab utama hemotoraks ( >1500 ml darah ) ialah laserasi paru atau

laserasi pembuluh darah interkostal atau arteri mamaria interna akibat adanya

trauma tembus maupun trauma tumpul. Dislokasi fraktur tulang belakang torakal

juga berhubungan dengan hemotoraks. Perdarahan biasanya bersifat self limited

dan tidak memerlukan intervensi operatif.

17
Hematorkas luas akut yang dapat terlihat pada rontgen toraks sebaikanya

di tatalaksana dengan pemasangan chest tube kaliber besar. Melalui chest tube

darah dievakuasi sehingga menekan risiko terjadinya pembekuan pada hematoraks

dan sebagai metode observasi berkesinambungan akan kondisi perdarahan.

Evakuasi darah dan cairan juga memerlukan penilaian lengkap akan adanya

potensi trauma diafragma. Walaupun banyak faktor yang terlibat dalam keputusan

untuk melakukan operasi pada pasien dengan hematoraks, fisiologi pasien dan

jumlah darah drainase dari chest tube merupakan faktor utama. Sesuai panduan,

bila 1500 ml darah diperoleh segera melalui chest tube, atau jika drainase lebih

dari 200 ml/jam selama 2-4 jam terjadi atau jika transfusi darah diperlukan maka

operasi eksplorasi perlu dipertimbangkan.

II.2.3 Kontusio paru

Kontusio paru dapat terjadi tanpa fraktur tulang iga atau flail chest,

khususnya pada pasien muda tanpa adanya osifikasi tulang iga yang sempurna.

Kontusio paru merupakan trauma toraks yang berpotensi menyebabakan

kematian. Kegagalan respiratori resultan mungkin tampak tidak jelas dan

cenderung terus terjadi. Penatalaksanaan definitif dapat berubah seiring waktu

sehingga diperlukan observasi yang hati-hati dan evaluasi pasien secara

berkesinambungan.

Pasien dengan hipoksia bermakna (PaO2 < 65 mmHG (8,0Kpa) atau SaO2

<90%) pada udara bebas mungkin memerlukan intubasi dan ventilasi pada satu

jam pertama setelah trauma. Kondisi medis yang menyertai seperti penyakit paru

18
kronis dan gagal ginjal meningkatkan perlunya tindakan intubasi dini dan ventilasi

mekanikal. Beberapa pasien dengan kondisi yang stabil dapat ditatalaksana secara

selektif tanpa intubasi endotrakeal atau ventilasi mekanik.

Pengawasan pulse oxymetry, analisa gas darah, observasi EKG dan

ventilator mekanik sangat diperlukan untuk tatalaksana yang optimal. Setiap

pasien dengan kondisi tersebut sebaiknya mendapat intubasi dan ventilasi sebelum

dirujuk.

II.2.4 Trauma tracheobronchial tree

Trauma pada trakea atau bronkus utama jarang terjadi dan berpotensi

menyebabkan kondisi yang fatal yang sering kali terlewatkan pada penilaian awal.

Bila dicurigai adanya trauma trakeabronkial maka konsultasi bedah segera harus

dilakukan. Pasien yang datang dengan hemoptysis, emfisema subkutan atau

tension pneumotoraks dengan pergeseran mediastinal. Pneumotoraks yang

berhubungan dengan kebocoran udara luas persisten pasca torakotomi

menunjukkan adanya trauma trakeobronkial.

Bronkoskopi dapat menyongkong diagnosis trauma. Pemasangan lebih

dari satu chest tube seringkali diperlukan untuk mengatsi kebocoran yang luas dan

mengembangkan paru. Intubasi sementara pada bronkus utama di sisi berlawanan

mungkin diperlukan untuk memberikan oksigenasi yang adekuat.

Intubasi pada pasien dengan trauma trakeabronkial seringkali menemui

kesulitan akibat adanya distrosi anatomi dan hematoma paratracheal terkait

19
dengan trauma orofaringeal atau trauma trakeobronkial itu sendiri. Pada pasien

yang lebih stabil, tatalaksana operatif trauma trakeobronkial dapat ditunda hingga

inflamasi akut dan edema yang terjadi mengalami perbaikan.

II.2.5 Trauma tumpul jantung

Trauma tumpul jantung dapat meyebabkan kontuiso muskulorum

miokardial, ruptur cardiac, chamber, diseksi arteri koroner dan atau trombosis

atau kerusakan valvular. Ruptur jantung dapat terjadi akibat tamponade jantung

dan harus dikenali saat melakukan primary survey. Walaupun demikian, tanda dan

gejala tamponade muncul secara perlahan dengan ruptur atrium. Pemeriksaan dini

dengan FAST dapat membantu menegakkan diagnosis.

Pasien kontusio miokardial dapat mengeluhkan adanya rasa tidak enak

pada dada tetapi gejala ini seringkali dikaitkan dengan kontusio dinding toraks

atau fraktur sternum dan atau tulang iga. Diagnosis kontusio miokardial dapat

ditegakkan hanya melalui inspeksi langsung dari miokardium yang melalui

inspeksi langsung dari miokardium yang mengalami trauma. Klinis kontuiso

miokardial adalah hipotensi, disritmia, gangguan pergerakan dinding pada

pemeriksaan ekokardiografi dua dimensi. Perubahan EKG juga bervariasi dan

dapat memperlihatkan adanya infark miokard. Kontraksi ventrikular prematur

multiple, sinus takikardia yang tidak dapat dijelaskan, fibrilasi atrium, bundle

branch block ( biasanya kanan dan perubahan segmen ST biasanya merupakan

gambaran EKG yang seriing dijumpai.

20
Peningkatan tekanan vena central tanpa penyebab yang jelas dapat

mengacu pada disfungsi ventrikel kanan sekunder terhadap kontusio. Hal yang

penting diingat adalah bahwa kejadian traumatik mungkin dapat dipicu oleh sel

episode iskemia miokardium.

Pasien trauma tumpul pada jantung yang didiagnosis dengan adanya

gangguan konduksi memiliki risiko mengalami disritmia mendadak dan harus

diawasi secara ketat dalam 24 jam pertama. Setelah interval ini, risiko disritmia

tampaknya akan menurun secara substansial.

II.2.6.Ruptur aorta traumatik

Ruptur aorta traumatik merupakan penyebab kematian mendadak pasca

kecelakaan lalu lintas atau jatuh dari ketinggian. Bagi mereka yang bertahan,

kesembuhan dapat diidentifikasi secara dini dan ditatalaksana segera.

Pasien dengan ruptur aorta yang berpotensi untuk bertahan hidup

cenderung mengalami laserasi sebagian dekat ligamentum arteriosum dari aorta.

Sejumlah darah dapat mengalir masuk dalam mediastinum tetapi sejumlah

karakteristik yang sama dapat terjadi pada pasien yang bertahan hidup ialah

bahwa mereka menglami contained hematoma. Hipotensi persisten atau

rekuren dapat terjadi akibat lokasi perdarahan yang terpisah dan tidak

teridentifikasi. Walaupun ruptur bebas dari aorta transeksi kedalam toraks dapat

terjadi dan mungkin memicu hipotensi, biasanya kasus ini fatal kecuali segera

mendapat tindakan operatif dalam beberapa menit.

21
Tanda dan gejala spesifik dari ruptur aorta traumatik seringkali tidak

dijumapai. Tanda radiologi tambahan pada foto rontgen toraks yang dapat

maupun tidak dapat dijumpai, menunjukan adanya kecnderungan adanya ttrauma

vaskular mayor pada dada. Tanda tersebut meliputi :

Pelebaran mediastinum

Obliterasi aortic

Deviasi trakea kesisi kanan

Depresi dari bronkus utama kiri

Elevasi dari bronkus utama kanan

Obliterasi ruang antara arteri pulmonari aorta

Deviasi esofagus kekanan

Pelebaran garis paratrakeal

Pelebaran paraspinal interfaces

Adanya pleural atau apical cap

Hemotorkas kiri

Fraktur dari tulang iga pertama atau kedua skapula

Temuan positif palsu dan negatif palsu dapat terjadi pada setiap tanda

rontgen toraks dan jarang sekali 1-2% dijumpai tanpa kelainan mediastinum atau

rontgen toraks pada pasien dengan great vessel injury.

Helical contrast enhaced computed tomography (CT) dari toraks

merupakan metode skrining akurat dengan kecurigaan trauma tumpul aorta. Bila

22
hasil yang diperoleh equivical maka aortagraphy dapat dilakukan. Pada

umumnya dengan gangguan hemodinamik sebaiknya tidak ditempatkan pada CT

scanner. Sentivitas dan spesifitas helical contras enhanced computed tomography

dilaporkan masing masing mencapai 100% tetapi hasil yang diperoleh ini sangat

tergantung pada teknologi. Jika enhaced helical CT toraks memebrikan hasil

negatif untuk hematoma mediasitnum dan ruptur aorta maka tidak lagi diperlukan

pemeriksaan pencitraan diagnostik aorta yang lain. Bila hasil CT adalah positif

ruptur tumpul aorta, luasnya trauma ditentukan melalui pemeriksaan aortography.

Tatalaksana baik repair primer maupaun reseksi dari torn segment dan

penggantian dengan interposition graft. Teknik repair endovaskular merupakan

pendekatan alternatif dari repair bedah pada ruptur tumpul aorta traumatik.

II.2.7 Ruptur diagframa traumatik

Ruptur diafragma traumatik biasanya terdiagnosis pada sisi kiri, mungkin

disebabkan oleh adanya hati yang memicu obliterasi defek atau melindungi sisi

kanan dari diafragma sedangkan adanya usus, lambung dan nasogastric tube dapat

dideteksi dengan mudah pada toraks kiri. Trauma tumpul akan menyebabkan

robekan radial luas yang menyebabkan terjadinya herniasi sedangkan trauma

tembus menyebabkan perforasi kecil yang sering kali dapat berkembang menjadi

hernia diafragma.

Trauma diafragma seringkali terlewatkan pada awalnya dimana foto

rontgen toraks sering kali disalah-interprestasikan sebagai adanya elevasi

diafragma, dilatasi gaster akut, located hemo-pneumotoraks, atau hematom

23
subpulmonal. Jika dicurigai adanya laserasi pada diafragma kiri maka gastric tube

sebaiknya dipasang. Bila gastric tube muncul dalam kavitas toraks pada

pemeriksaan foto rontgen toraks maka kontras khusus tidak perlu dilakukan.

Kontras gastrointestinal sebaiknya dilakukan jika diagnosis masih meragukan

adanya cairan peritoneal lavage pada drainase chest tube juga menyongkong

diagnosis. Prosedur endoskopi invasif minimal ( misalnya laparoskopi atau

torakoskopi) dapat membantu evaluasi diafragma pada sejumlah kasus tertentu.

Ruptur diafragma kanan jarang didiagnosis pada periode post trauma awal.

Hati seringkali bermanfaat melindungi herniasi dari organ abdominal lainnya

kedalan toraks. Adanya peningkatan diafragma kanan pada pemeriksaan foto

rontegn toraks mungkin dapat menjadi satu-satunya temuan yang diperoleh.

Operasi untuk trauma abdominal lainnya seringkali memperlihatkan

adanya robekan diafragmatik. Tatalaksana yang dapat dilakukan ialah repair

langsung.

II.2.8 Ruptur tumpul esofagus

Trauma esofagus umumnya merupakan trauma tembus. Trauma esofagus

tumpul walaupun jarang terjadi tetapi dapat mengancam jiwa jika tidak dikenali

secara dini. Trauma tumpul esofagus disebabkan oleh ekspulsi dari isi lambung

menuju kedalam esofagus akibat benturan hebat menuju abdomen atas. Ejeksi

yang penuh energi ini akan menyebabkan robekan linier pad esofagus bawah,

memicu terjadinya kebocoran menuju medoastinum. Dampak yang akan terjadi

24
berikutnya berupa mediastinitis dan ruptur langsung atau lambat kedalam ruang

pleura yang berujung pada empiema.

Gambaran klinis pasien ruptur esofagus tumpul menyerupai dengan ruptur

esofagus post emetik. Trauma esofagus harus dipertimbangkan pada setiap pasien

yang :

Menderita pneumotoraks atau hemotoraks kiri tanpa fraktur tulang

iga

Menerima benturan hebat terhadap sternum bawah atau

epigastrium

Mengalami pada chest tube setelah darah mulai menjadi jernih

Adanya udara mediastinal juga menyongkong doagnosis, diamana sering kali

diperkuat dengan hasil pemeriksaan studi kontras dan atau esofagoskopi.

Penatalaksanaan terdiri dari drainase luas permukaaan pleura dan mediastinum

dengan repair langsung trauma melalui torakotomi, jika memungkinkan repair

dilakukan dalam beberapa jam setelah trauma akan memberikan prognosis yang

jauh lebih baik.

II.3 Manifestasi lain trauma toraks

II.3.1 Emfisema subkutan

Dapat terjadi akibat trauma pada saluran pernapasan, trauma paru dan pada

kasus yang jarang blast injury. Walaupun tidak memerlukan terapi tetapi trauma

yang mendasari harus segera ditangani. Jika ventilasi tekanan positif diperlukan

25
maka tube thoracostomy sebaiknya dipertimbangkan pada sisi emfisema subkutan

sebagai antisipasi terjadinya tension pneumotoraks.

II.3.2 Crushing injury pada toraks (asfiksia traumatik)

Temuan terkait dengan crush injury pada toraks meliputi torso atas, facial

dan arm plethora dengan ptekie sekunder akibat kompresi akut, sementara dari

vena cava superior. Pembengkakan masif bahkan edema serebral juga dapat

terjadi trauma terkait harus segera ditangani.

II.3.3 Fraktur tulang iga, sternum dan skapula

Tulang iga merupakan komponen yang paling sering terlibat dalam trauma

toraks dan trauma tulang iga merupakan kasus yang bermakna. Nyeri saat

pergerakkan terjadi akibat adanya splinting dari toraks yang akan mengganggu

ventilasi, oksigenasi dan batuk efektif. Insiden terjadinya atelektasis dan

pneumonia akan meningkat bermakna dengan adanya penyakit paru sebelumnya.

Tulang iga yang lebih atas (1, hingga 3) dilindungi oleh lapisan tulang dari

tungkai atas. Skapula, humerus dan klavikula dengan sejumlah otot memeberikan

perlindungan terhadap trauma tulang iga. Fraktur dari skapula, tulang iga pertama

dan kedua atau sternum menunjukkan betapa kuat energi yang mengenai kepala,

leher, tulang belakang, pru dan pembuluh darah sehingga risiko trauma yang

serius. Mengingat beratnya terkait trauma, angka mortalitas diperkirakan

mencapai 35%.

26
Fraktur sternal pada skapula pada umumnya merupakan dampak benturan

langsung. Kontusio paru dapat menyertai fraktur eksternal dan trauma tumpul

jantung perlu dipertimbangkan pada kasus fraktur. Repair operatif fraktur sternal

skapular biasnya merupakan indikasi. Dislokasi sternoclavicular posterior dapat

menyebabkan terjadinya penyimpangan mediatinal dari klavikular yang disertai

obstruksi vena cava superior reduksi segera merupakan langkah yang diperlukan.

Tulang iga 4 dan 9 menahan sebagian besar energi yang datang dari

trauma tumpul. Kompresi anteriorposterior dari thoracic cage akan mematahkan

tulang iga keluar dengan fraktur pada midshaft. Energi langsung yang menegenai

tulang akan memicu fraktur dan mendorong tulang kedaalam toraks sehingga

berpotensi memicu trauma intercostal seperti pneumotorakks dan hemotoraks.

Pada umunya, pasien muda dengan rongga yang lebih fleksibel memiliki

kecendrungan lebuh untuk menahan fraktur tulang iga. Sehingga adanya fraktur

tulang iga multiple pada pasien mudah menunjukkan adanya transfer energi yang

lebih diabndingkan pada pasien yang lebih tua. pada fraktur tulang iga lebih

bawah (10-12) perlu dicurigai trauma hepatosplenik.

Nyeri terlokalisir, nyeri pada saat palpasi dan krepitasi dijumpai pada

pasien dengan trauma tulang iga. Deformitas yang dapat dipalpasi atau dilihat

meningkatkan kecurigaan akan adanya fraktur tulang iga. Pemeriksaan rontgen

dada hanya segera dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan adanya truma

intratorakal lainnya dan tidak hampir menilai kondisi fraktur tulang iga itu sendiri.

Fraktur pada kartilago anterior atau terpisahnya costocondral memiliki dampak

yang sama dengan fraktur tulang iga tetapi tidak dapat diidentifikasi pada

27
pemeriksaan foto rontgen dada. Pemeriksaan foto rontgen tulang iga dengan

teknik kusus memakai biaya tinggi tetapi tidak dapat mendeteksi seluruh trauma

tulang iga dan tidak berpengaruh pada penatalaksanaan memerlukan perubahan

posisi yang memicu neyri pada pasien dan tidak berguna.

Taping rib beks dan ekternal splints merupakan kontraindikasi upaya

menghilangkan nyeri sangat penting karena menyongkong ventilasi yang adekuat

bagian pasien. Blok interkostal, anestesi epidural dan analgesik sistemik cukup

efektif dan perlu diberikan.

28
BAB III

KESIMPULAN

1. Trauma toraks sering dijumpai pada pasien trauma multiple dan dapat

berhubungan dengan masalah yang mengancam jiwa. Pasien ini biasanya

ditatalaksana atau kondisinya dapat diperoleh dengan sejumlah metode seperti

intubasi, ventilasi, tube thoracostomy, resusitasi cairan. Kemampuan untuk

mengenali trauma penting ini dan keahlian untuk melakukan prosedur yang

dibutuhkan dan membantu menyelamatkan jiwa pasien. Primary survey meliputi

penatalaksanaan pada kondisi berikut :

a. Obstruksi jalan napas : penilaian dan pengenalan dini pentingnya

membebaskan jalan napas dan mempertahankan immobilisasi in line dari

tulang belakang servikal

b. Tension pneumotoraks : diagnosis klinis (penurunan suara napas dan

hipersonasi) dengan kompresi segera ruang pleura

c. Open pneumotoraks : deformitas dinding toraks dengan sucking chest

wound yang ditatalaksana dengan pemasangan flutter valve dressing

d. Flail chest dan kontusio paru : segmen tidak stabil dinding toraks dengan

pergerakkan paradoksal memerlukan resusitasi cairan dan analgesia yang

adekuat dengan intubasi selektif untuk dukungan pulmonal.

e. Hemotoraks masif : didiagnosis berdasarkan penurunan suara napas dan

perkusi redup pada pemeriksaan fisik. Penatalaksanaan awal meliputi

evakuasi dengan pemasangan chest tube ukuran besar 36 F. Ahli bedah

harus mengambil tindkan torakotomi.

29
f. Tamponade jantung : diagnsosis berdasarkan pemeriksaan klinis dengan

penyebab USG. Penatalaksanaan awal meliputi resusitasi cairan dan

bedah. Perikardiosentesis dapat digunakan sebagai manuver sementara jika

intervensi bedah tidak dapat dilakukakn dengan segera.

2. Secondary survey meliputi identifikasi dan penilaian awal trauma yang

berpotensi mengancam dengan menggunakan sejumlah pemeriksaan penunjang (

rontgen, labaoratorium, EKG)

a. Simple pneumotoraks : diagnosis melalui foto rontgen toraks atau CT

scan dn ditangani dengan pemasangan tube toracostomy

b. Hemotoraks : diagnosis melalui foto ronsen toraks atau CT scan dan

ditangani dengan tube toracostomy

c. Kontuiso paru : diagnsosis melalui foto ronsen toraks atau CT scan.

Tatalaksana meliputi resusitasi cairan dan intubasi selektif untuk dukungan

pulmonal

d. Tracheobronkial tree injury : terkait dengan hemoptysis,

pneumomediastinal, pneumomiokardium, kebocoran udara persisiten dari

chest tube atau pneumotoraks persisten pasca pemasangan chest tube.

Memerluka repair operatif.

e. Trauma tumpul jantung : komplikasi utamanya adalah aritmia

ditatalaksana sesuai prosedur stanadar. Komplikasi lain meliputi infark

miokard akut dan ruptur valvular.

f. Ruptur aorta traumatik : diagnosis dini dari kecurigaan tinggi tanda

radiolografi meliputi pelebaran mediastinum pada toraks AP. Diagnosis

30
didukung oleh gambaran helical CT scanning atau aortagrafi. Ahli bedah

yang berkompeten harus terlibat dalam tatalaksana

g. Ruptur diafrgma traumatik : diagnosis memerlukan kecurigaan tinggi

tanda radiologi yang paling sering dijumpai ialah elevasi diafragma pada

sisi yang sakit memerlukan tindakan laprotomi dini untuk reapair dan

memeperbaiki defek akibat trauma yang terjadi

h. Ruptur esofagus tumpul : pemeriksaan fisik menunjukkan adanya nyeri

yang hebat berhubungan dengan efusi pleura kiri dan atau

pneumomediastinum intervensi operatif dini dilakukan oleh ahli bedah

yang berpengalaman sehingga morbiditas dan mortalitas dapat lebih

ditekan.

3. Manifstasi trauma toraks yang merupakan petunjuk terkait dengan resiko yang

lebih besar ialah :

a. Emfisema subkutan yang berhubungan dengan trauma jalan napas .

thorakostomy sebaiknya dipertimbangkan bila pasien memerlukan

ventilasi tekanan posistif

b. Crush injuris dari toraks bermanifestasi sebagai ptekie dan pletora pada

kepala leher dan torso atas trauma kepala dengan efema serebral progresif

harus dicurigai

c. Trauma pada tulang iga atas (1-3) skapula dan sternum berhubungan

dengan mekanisme trauma yang bermkana. Kemungkinan terjadinya

trauma kepala tulang belakang dan toraks kardiovaskular yang mendasari

harus dipertimbangkan.

31

Anda mungkin juga menyukai