Anda di halaman 1dari 20

BAB II

KONFLIK KEPENTINGAN RUANG ANTARA MANUSIA DAN AIR

2.1 Kritisnya Pengelolaan Sumber Daya Air


Karena pertumbuhan penduduk maka kebutuhan pokok maupun
sekunder akan meningkat. Dalam tata ruang, aktivitas dalam rangka
pemenuhan kebutuhan tersebut akan juga meningkat baik dalam dimensi-
dimensi ekonomi, sosial dan lingkungan. Akibatnya terjadi eksploitasi
alam yang berlebihan, perubahan tata guna lahan yang tak terkendali dan
menurunnya daya dukung lingkungan. Multi-player effect dari aktivitas
tersebut pada hakekatnya menimbulkan kecenderungan peningkatan
bencana baik dari segi kuantitas maupun kualitas.
Sudah banyak disebutkan oleh para pakar bahwa ada paradox antara
penduduk dan air yaitu pertumbuhan penduduk yang meningkat
mengakibatkan pengurangan ketersediaan air sekaligus meningkatkan
potensi banjir. Banjir yang terjadi di Jakarta dan sekitarnya serta daerah -
daerah lain di Indonesia mencerminkan paradoks tersebut. Konflik
kepentingan dan kebutuhan antara man versus water; konflik ruang
terbangun versus ruang terbuka hijau; konflik tata ruang bangunan versus
tata ruang air. Peningkatan ruang terbangun menyebabkan pengurangan
ruang terbuka hijau yang besar terutama di daerah -daerah perkotaan.
Banyak lahan hijau, situ-situ, daerah resapan dan tempat tinggal air telah
hilang.
Oleh karena itu, diperlukan pengelolaan sumber daya air terpadu
sebagai solusi sekaligus pencegahan dan penyelesaian konflik. Gambar di
bawah ini menunjukkan uraian tersebut.

Konflik kepentingan &


kebutuhan

Man versus water

Konflik ruang terbangun Konflik tata ruang bangunan Konflik penataan ruang
versus versus versus
ruang terbuka hijau Ruang tata ruang air Pengelolaan sumber daya air
a. Konflik dalam ruang

Gambar. Konflik, persoalan, dan solusi penataan ruang dan pengelolaan


sumber daya air (UU No. 26 Tahun 2007, UU No. 7 Tahun 2004, GWP,
2001; Kodoatie & Sjarief, 2004, Kodoatie, 2008c)

b. Persoalan dan solusi Penataan Ruang dan Pengelolaan Sumber Daya


Air
Dengan melihat gambar di atas dapat diketahui bahwa kondisi air
yang kritis akan menimbulkan berbagai macam konflik. Konflik utama
yang terjadi adalah pada saat ketersediaan air tidak dapat memenuhi
kebutuhan. Perebutan air akan menjadi pemicu konflik di antara
stakeholders karena pada waktu dan lokasiyang sama akan berusaha
memenuhi kebutuhan air dengan keterseidaan yang jauh lebih kecil.
Konflik lainnya adalah konflik yang berkaitan dengan kelebihan air
akibat perubahan tata guna lahan. Sebagai contoh: suatu lahan hutan
dianggap oleh pengembang merupakan daerah idle yang harus
dikembangkan untuk meningkatkan nilai ekonomi dari lahan tersebut.
lahan hutan akhirnya diubah menjadi lahan yang potensial secara ekonomi
misal sebagai lahan industri. Secara ekonomi memang lahan tersebut
berkembang dan menjadi pusat pemikat aktivitas lainnya. Ketika lahan
hutan sudah menjadi kawasan industri memang ada multi player effects
dari perubahan ini, di antaranya terjadi peningkatan harga jual tanah yang
berlipat, sistem infrastruktur yang terbangun lebih bai k dan nyaman,
timbulnya pemukiman baru. Ini berarti ada perubahan tata guna lahan
yang signifikan (Kodoatie, 2008c).
Disinilah letak terjadinya konflik kepentingan. Secara ekonomi
perubahan tata guna lahan cukup atraktif. Namun biasanya yang te rjadi,
peningkatan ekonomi akibat perubahan lahan ini tidak dibarengi dengan
kajian lingkungan atau sosial yang seimbang. Akibatnya sudah dapat
dipastikan terjadi peningkatan run-off sekaligus pengurangan daya
tampung air akibat resapan hilang. Dampaknya yang terjad i adalah
peningkatan banjir di wilayah hilirnya.
Oleh karena itu oleh pemerintah yang berfungsi sebagai enabler
harus membuat rambu-rambu tentang perubahan tata guna lahan. Biasanya
peraturannya sudah ada, tetapi aplikasi dari peraturan belum dilaksanakan.
Sehingga perlu dilakukan peningkatan law enforcement secara kontinyu.
Krisis air telah terjadi, terus berlangsung dan cenderung semakin
meningkat. Ada banyak faktor yang membuat kritis ini lebih menembus ke
dalam semua bagian di dunia ini di masa yang akan datang yang menjadi
water is every ones business. Dari banyak faktor tersebut, Biswas (1997)
menyebutkan setidak-tidaknya ada 5 faktor utama, meliputi:
1. Adanya fakta yang tidak menguntungkan bahwa jumlah air bersih
(tawar) yang ada (tersedia) di semua negara yang berbasis jangka
panjang hampir konstan untuk semua maksud.
2. Air adalah kebutuhan esensi untuk semua aktivitas manusia mulai dari
air minum, pertanian, energi pengembangan industri sampai pada
virtual water (pemanfaatan tak langsung).
3. Sampai sat ini semua sumber air yang mudah dieksploitasi terus
berkembang dan karena perubahan tata guna lahan banyak sumber air
yang hilang.
4. Peningkatan aktivitas manusia akan menambah buangan limbah ke
lingkungan alam.
5. Selama beberapa puluh tahun terakhir variasi dampak sosial dan
lingkungan secara gradual terus meningkat. Pentingnya pengembangan
sumber air yang berwawasan lingkungan bukan lagi hanya sebagai
bahan diskusi atau sebatas wacana tetapi sudah merupakan bagian
integral penting dalam strategi pembangunan yang berkelanjutan dan
yang berwawasan lingkungan.

2.2 Persoalan Air Permukaan


Di air permukaan persoalan dapat dibagi menjadi dua, yaitu di
ruang jaringan sungai (instream) dan di ruang daerah aliran sungai
(ofstream)
2.2.1 3T, too much, too little, too dirty
Di insteram, persoalan menyangkut 3 masalah klasik yang sering
disebut 3T. too much berarti di suatu tempat air terlalu berlebihan dan too
little berarti di suatu tempat air terlalu kurang. Salah satu indikasi too
much dan too little, dapat dilihat dengan perbandingan Qmax (biasanya di
musim penghujan) dan Qmin (di musim kemarau) suatu sungai. Semakin
besar rasio Qmax dan Qmin suatu sungai semakin rusak DASnya. Indikasi
lain juga dapat dilihat dari persoalan klasik di Indonesia sepanjang tahun:
banjir musim penghujan dan kekeringan di musim kemarau, sehingga saat
ini ada istilah lain dari musim di Indonesia yaitu bukan lagi musim
penghujan dan musim kemarau tetapi menjadi musim banjir dan musim
kekeringan.
Salah satu contoh di tingkat kabupaten adalah peningkatan banjir di
Kabupaten Kudus, Jawa Tengah. Data rangking bencana banjir tahun 2000
dan tahun 2001 menunjukkan bahwa Kudus menempati rangking 2 setelah
Cilacap ( Pemerintah Provinsi Jateng, 2005), namun data banjir tahun
2003 menunjukkan Kudus menjadi rangking 1 (pemerintah Provinsi
Jateng, 2005; Kodoatie, 2008b). Hal ini disebabkan mulai tahun 1998
sampai tahun 2000 telah terjadi pencurian pohon yang semula sebelum
tahun 1998 di bawah 100.000 pohon meningkat menjadi lebih dari 1 juta
pohon di Gunung Muria yang merupakan daerah hulu DAS Juwanan yang
melewati Kabupaten Kudus (Perum Perhutani Unit 1 Jawa Tengah, 2000).
Gambar 2 menjelaskan pencurian kayu yang luar biasa tersebut.

Volume Pencurian Pohon di Jawa


Tengah
Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah
Luas Lahan (Ha)

3000000 6000

2000000 4000
Batang

1000000 2000

0 0
1996 1997 1998 1999 2000

Tahun

a. Peningkatan jumlah pencurian pohon dari tahun 1996 sampai tahun


2000
b. Detail gambar a di KPH seluruh Jawa Tengah dengan pencurian kayu
sebesar KPH Pati mencapai lebih dari 1,1 juta batang pada tahun 1999

c. Lokasi KPH Pati di Gunung Muria dan sekitarnya dengan pencurian


terbesar
d. Wilayah Sungai Seluna (Serang Lusi Juwana)
Gambar 2. Pencurian kayu dan WS Seluna (Pem.Prov.Jateng, 2005;
Kodoatie, 2008b; Perum Perhutani Unit 1 Jateng, 2000;
PIPWS Jratunseluna, 2001

Tabel 1 Perubahan rangking bencana banjir Kabupaten Kudus


(Pem.Prov.Jateng, 2005; Kodotatie, 2008b)

Gambar 2 dan tabel 1 mengindikasikan secara jelas perubahan bencana


akibat pencurian kayu yang menyebabkan DAS jadi gundul dan aliran
permukaan (run-off) meningkat. Kajian sederhana yang diwujudkan dalam
gambar 2 dan tabel 1 dapat dilakukan juga di daerah-daerah lain. Kajian
ini tidak hanya sebatas kajian banjir, namun juga kajian kekeringan, kajian
longsor dan kajian bencana-bencana yang lain.
Kajian tersebut dapat dilakukan secara kontinyu di suatu daerah untuk
dipakai sebagai salah satu referensi dalam mengevaluasi (kilas balik)
pembangunan yang telah dilakukan, termasuk evaluasi-evaluasi mengenai:
kebijakan, visi-misi, strategi pembangunan, rencana tindak, pelaksanaan
dan pemeliharaan yang telah dilakukan.
Too dirty yang berarti sungai terlalu kotor menunjukkan masalah
polusi air sungai yang juga perlu perhatian serius. Anggapan status sungai
(secara budaya) sebagai tempat sampah (buangan) harus diubah menjadi
(misalnya) kali (sungai) bersih sehingga ada kesadaran dari masyarakat
untuk tidak membuang sampah ke sungai. Juga limbah pabrik atau limbah
daerah industri oleh penglolanya tidak dibuang seenaknya ke sungai.
Perangkat undang-undang untuk ini sudahada yaitu UU No. 18Tahun 2008
tentang Pengelolaan Sampah. Aplikasi dari undang-undang ini perlu
diikuti dengan pengawasan dan pemberian sanksi atau hukuman yang
memadai.

2.2.2 Persoalan di Daerah Aliran Sungai (offstream)


Di ruang offstream (DAS) persoalan menyangkut dua hal penting
yaitu konservasi sumber daya air dalam pengelolaan sumber daya air dan
kawasan budi daya dalam penataan ruang. Di satu sisi untuk memenuhi
aspek konservasi sumber daya air adalah bagaimana bisa menahan aliran
permukaan (run off) yang sebesar-besarnya dan memberi kesempatan
selama-lamanya air untuk masuk ke dalam tanah (inflitrasi) atau tertahan
di muka tanah. Disisi lain adalah adanya kawasan konservasi yang berubah
fungsi menjadi kawasan budi daya misalnya menjadi kawasan pemukiman.
Dampak yang terjadi adalah peningkatan kuantitas dan kualitas
kebutuhan air sekaligus penurunan keterediaan air baik dari sisi kuantit as
maupun kualitas di daerah alih fungsi lahan tersebut dan peningkatan run -
off di daerah hilirnya yang berpotensi meningkatkan banjir.
Secara sederhana solusi dari persoalan tersebut adalah bagaimana
konservasi sumber daya air dapat terus dilakukan bersamaan dengan
mengoptimalkan pendayagunaan air dan pengendalian daya rusak air
dengan prinsip minimum demand dan minimum pollution. Seperti halnya di
instream, persoalan terjadi karena kepentingan teknis (rekayasa) dan
aspek lingkungan berbenturan dengan aspek sosial dan ekonomi.
Sosial, pembuangan sampah, pemakaian air berlebihan, kebutuhan
tempat tinggal meningkat karena peningkatan penduduk terjadi alih fungsi
lahan dan pengurangan ruang terbuka hijau.
Ekonomi, peningkatan ruang terbangun (atau pengurangan ruang
terbuka hijau) karena kepentingan ekonomi diantaranya alih fungsi lahan
resapan air menjadi daerah permukiman atau industri, illegal logging.

2.3 Persoalan Air Tanah


Persoalan air tanah identik dengan persoalan air permukaan yaitu
menyangkut kuantitas dan kualitas dan dampak lain seperti terjadinya land
subsidence.
Tantangan utama yang dihadapi dalam pengelolaan air tanah di
Indonesia adalah terbatasnya pasokan air dari sumber air permukaan,
ketergantungan yang tinggi terhadap air tanah untuk penyediaan pasokan
air, dan maraknya pengambilan sumber air ini karena tuntutan kebutuhan
akan air yang terus meningkat dari tahun ke tahun, baik untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat maupun pelayanan umum di pusat perkantoran,
perbelanjaan, industri, pertanian, pertambangan dan sektor lainnya
(Dnaryanto, dkk, 2008a).
Pelayanan air bersih yang dilakukan oleh pemerintah melalui
Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) belum dapat menjangkau seluruh
wilayah. Sedangkan wilayah yang masyaraktnya sudah dilayani PDAM,
belum semua kebutuhan akan air bersihnya teprenuhinya 100% sehingga
menyebabkan mereka cenderung mencari cadangan sumber air bersih
lainnya. Bahkan banyak masyarakat yang enggan berlangganan PDAM
karena harus membayar biaya pemakaian setiap bulannya, dan lebih
memiliki memakai sumber air tanah yang lebih murah.
Di beberapa kota besar seperti Jakarta, Bandung, Semarang,
Surabaya dan Denpasar serta pusat-pusat industri di Pulau Jawa,
pengambilan air tanahnya sudah begitu intensif. Banyak industri atau hotel
yang memiliki banyak sumur produksi, bahkan ada satu perusahaan yang
memiliki lebih dari 20 sumur dengan pengambilan lebih dari 8.000 m per
hari. Akibatnya di pusat-pusat pengambilan air tanah terjadi kemerosotan
kuantitas, kualitas dan bahkan lingkungan air tanah (Daryanto, et -al,
2005). Hal ini menyebabkan terjadinya konflik antara pihak industri dan
masyarakat, karena akibat pengambilan air tanah secara intensif oleh
industri menyebabkan penurunan muka air tanah (core depression).
Akibatnya sumur penduduk menjadi kering dan tercemar, meskipun ada
kewajiban setiap industri pengambil air tanah memberikan 10% dari air
tanah yang dipompa kepada masyarakat sekitar. Namun realitas hal
tersebut (umumnya) tidak dilakukan.
Di samping itu hal yang cukup mengkhawatirkan adalah
berubahnya daerah resapan (imbuhan) air tanah yang berubah menjadi
pemukiman, perindustrian dan yang lainya. Di sisi lain karena
peningkatan penduduk kebutuhan air meningkat. Sehingga dapat dikatakan
persoalan air tanah akan menjadi bertambah besar karena ketersediaan air
berkurang sekaligus kebutuhan air meningkat.

2.3.1 Dampak Pengambilan Air Tanah


Keberadaan air tanah sangat erat hubungannya dengan air
permukaan. Berdasarkan Hukum Darcy, dijelaskan jika tinggi muka air
tanah mengalami penurunan yang berkelanjutan, akibat dari eksploitasi air
tanah yang berlebihan maka kemungkinan terjadinya rembesan air sungai
ke akuifer sangat besar. jika aliran sungai cukup besar, maka rembesan
tersebut tidak terlalu berpengaruh terhadap debit sungai. Namun jika
akuifer terbentuk dari tanah yang memiliki permeabilitas besar dan
pencemaran yang terjadi di sungai cukup tinggi, maka akan berpengaruh
terhadap adanya pencemaran air tanah (Daryanto, dkk, 200 8a, Asdak,
2002).
Pengambilan air tanah secara berlebihan mengakibatkan
menurunnya permukaan air tanah (land subsidence). Penurunan
permukaan air tanah akan mengakibatkan pngurangan gaya angkat tanah
sehingga terjadi peningkatan tegangan efektif tanah. Aki bat meningkatnya
tegangan efektif ini akan menyebabkan penyusutan butiran tanah sehingga
terjadi penurunan tanah (Terzhagi, 1969). Jadi penurunan terjadi karena
pengambilan air tanah sekaligus peningkatan tegangan efektif secara
simultan.
Jika penurunan tinggi muka air tanah terjadi di daerah pantai akan
mengakibatkan air laut mendesak air tanah yang tawar sehingga terjadi
instrusi air laut. Proses tersebut diilustrasikan dalam gambar 3.

a. Kondisi awal keseimbangan air tanah di daerah pantai secara alami

b. Proses dan kondisi setelah pengambilan air tanah berlebiha


Gambar 3. Kondisi di mana instrusi air laut terjadi karena
keseimbangan terganggu akibat pengambilan air tanah
berlebihan (Todd, 1974

Pengambilan air tanah terutama untuk keperluan indust ri dan usaha


komersial selalu meningkat. Pengambilan air tanah secara berlebihan di
beberapa daerah telah menimbulkan dampak berupa: penurunan muka air
tanah, pencemaran air tanah dan amblesan tanah.
Sebagai contoh volume pengambilan air tanah untuk indus tri dan
usaha komersial di Cekungan Air Tanah (CAT) Bandung-Soreang mulai
tahun 1999, tahun 2000 dan tahun 2004 selalu meningkat.
Pengambilan air tanah untuk industri dan usaha komersial di
Jakarta juga tercatat selalu meningkat. Pada perode 2004 sebesar 2 2,64
juta m3 dengan jumlah sumur bor 3.517 sumur. Pengambilan air tanah
tersebut menimbulkan kerucut penurunan (cone of depression) muka air
tanah. Pada sistem akuifer tertekan atas, muka air tanah terdalam lebih
dari 40 m di bawah muka laut (bml) dijumpai di daerah-daerah Kamal
Muara, Jakarta Utara dan Ujung Menteng Jakarta Timur, sedangkan pada
sistem akuifer tertekan bawah dijumpai di daerah -daerah Sawah Besar,
Jakarta Barat, dan Kamal, Jakarta Utara (Daryanto dan Hadipurwo, 2006).

2.3.2 Penurunan Muka Air Tanah


Pengambilan air tanah di Jakarta selama tahun 2001 hingga tahun
2006 mengakibatkan dampak penurunan muka air (lihat tabel 2.2)
Pengambilan air tanah untuk industri di Bandung dan sekitarnya
mengakibatkan terjadinya kerucut penurunan muka air tana h (Lihat tabel
2-3).
Tabel 2-2 Penurunan m.a.t di Jakarta dan sekitarnya
Jakarta & sekitarnya Akuifer kedalaman 40-140 m Penurunan m.a.t.
Bagian Barat Kamal dan Pejagalan (Jakarta Utara) 0,50 m 6,02 m
Kapuk dan Joglo (Jak Barat) serta
Cikokol dan Batu Ceper (Kota
Tangerang)
Bagian Timur Daerah Pasar Ikan dan Cilincing (Jak. 0,06 m 4,00 m
Utara), Sunter, Pulo-gadung, Duren
Sawit, dan Ujung Menteng (Jakarta
Timur)
Bagian Tengah Tanah Abang dan Senen (Jakarta 0,06 m 4,00 m
Pusat)
Bagian Selatan Kuningan 0,06 m 4,00 m
Jakarta & Sekitarnya Akuifer kedalaman > 140 m Penurunan m.a.t
Bagian Barat Porisgaga (kota Tangerang) m.a.t di b.m.l
Kamal Muara dan Kamal (Jakarta 44 m
Utara), Cengkareng
Bagian Timur Kebon Sirih dan Cikini 22,83 m
Bagian Tengah Pasar Ikan, Ancol, Mangga Dua, (Jak. 46,66 m
Utara), serta Sawah Besar dan Senen
(Jak. Pusat)

Tabel 2-3 Ketinggian muka air tanah (m.a.t) dan rata-rata penurunan air
tanah tiap tahun (Daryanto dan Hadipurwo, 2006)
Akuifer kedalaman 40-150 m Ketinggian m.a.t di bawah muka laut
1. Cimahi Selaan 100 m
2. Dayeuhkolot 64,05 m
3. Rancaekek-Cimanggung 72,51 m
4. Majalaya 46 m
5. Beberapa tempat di Kota Bandung 22,26-77,40 m
6. Rata-rata penurunan m.a.t 6,26 m/tahun
Akuifer kedalaman > 150 m Ketinggian m.a.t di bawah muka laut
Cimahi Tengah, Cimahi Selatan, 24,98-99,54,
Andir, Dayeuhkolot, Cikeruh, dan
Rancaekek
Rata-rata penurunan m.a.at 0,09-5,64 m/tahun

2.3.3 Pencemaran Air Tanah


Zat pencemar (pollutant) dapat didefinisikan sebagai zat kimia
biologi, radio aktif, yang berwujud benda cair, padat maupun gas baik
yang berasal dari alam yang kehadiranya dipicu oleh manusia (tidak
langsung) ataupun dari kegiatan manusia (anthropogenic origin) yang
telah diidentifikasi mengakibatkan efek yang buruk bagi kehidupan
manusia dan lingkungannya. Semua itu dipicu oleh aktivitas manusia
(Watts 1997 dalam Notodarmojo, 2005).
Di beberapa wilayah di Indonesia, air tanah masih menjadi sumber
air minum. Air tanah yang masih alami tanpa gangguan manusia,
kualitasnya belum tentu bagus. Terlebih lagi yang sudah tercemar oleh
aktivitas manusia, kualitasnya akan semakin menurun. Pencemaran air
tanah antara lain disebabkan oleh kurang teraturnya pengelolaan
lingkungan. Beberapa sumber pencemaran yang menyebabkan menurunnya
kualitas air tanah antara lain (Freeze dan Cherry, 1979).
1. Sampah dari TPA
2. Tumpahan minyak
3. Kegiatan pertanian
4. Pembuangan limbah cair pada sumur dalam, dll
5. Pembuangan limbah ke tanah
6. Pembuangan limbah radioaktif
Akibat pengambilan air tanah yang intensif di daerah tertentu dapat
menimbulkan pencemaran air tanah dalam berasal dari air tanah dangkal,
sehingga kualitas air tanah yang semula baik menjadi menurun dan bahkan
tidak dapat digunakan sebagai bahan baku air minum. Sedangkan di
daerah dataran pantai akibat pengambilan air tanah yang berlebihan akan
menyebabkan terjadinya intrusi air laut karena pergerakan air laut ke air
tanah.
Di daerah Bandung air tanah dangkal di daerah pemukiman dan
industri umumnya tidak memenuhi syarat sebagai sumber air minum.
Beberapa parameter yang tidak sesuai persyaratan untuk sumber air
minum antara lain: kekeruhan melebihi 5 FTU, warna lebih dari 15 ptCo,
pH kurang dari 6,4, Fe3+ lebih dari 0,3 mg/l, Mn2+ lebih dari 0,1 mg/l,
NH4+ lebih dari 1,5 mg/l, Cl- lebih dari 250 mg/l, dan NO3- lebih dari 50
mg/l, serta mengandung bakteri coli yang berasal dari buanga n tinja.
Rendahnya kualitas air tanah dangkal di daerah pemukiman dan industri
ini kemungkinan disebabkan oleh litologi akuifer yang merupakan
endapan danau dan pencemaran dari buangan limbah domestik dan industri
(Daryanto dan Hadipurwo, 2006).
Kekeruhan dan warna dapat terjadi karena adanya zat-zat koloid
berupa zat-zat yang tertampung serta terurai secara halus sekali kehadir an
zat organik, lumpur atau karena tingginya kandungan logam berat dan
mangan. Kehadiran ammonia dalam air bisa berasal dari adanya rembesan
dari lingkungan yang kotor, dari saluran air pembuangan domestik.
Ammonia terbentuk karena adanya pembusukan zat or ganik secara
bacterial atau karena adanya pencemaran pertanian. Kandungan besi dan
manganya tinggi (> 0,3 mg/l untuk besi, > 0,1 mg/l untuk mangan)
disebabkan batuan penyusun akuifer yang banyak mengandung logam besi
dan mangan (Daryanto dan Hadipurwo, 2006). Pada umumnya senyawa
besi dan mangan sangat umum terdapat dalam tanah dan mudah larut
dalam air terutama bila air bersifat asam. Kandungan bakteri coli hanya
berkembang pada sumur gali, sedangkan pada sumur pantek umumnya
tidak mengandung bakteri coli. Pencemaran oleh adanya kandungan
bakteri coli kemungkinan disebabkan oelh tangki jamban (septic tank)
dibuat terlalu berdekatan dengan sumur atau sumur berdekaan dengan
sungai yang telah tercemar oleh tinja manusia.
Di Jakarta penurunan kualitas air tanah tidak tertekan (kedalaman <
40m) ditandai dengan adanya peningkatan nilai daya hantar listrik (DHL)
air tanah, terjadi di daerah dataran bagian barat yakni di wilayah Jakarta
Utara (1-1000 S/cm), Jakarta Barat (15-60S/cm) dan Kota Tangerang
(40-160 S/cm). Sedangkan di Bagian Timur, terjadi peningkatan kualitas
air tanah dengan penurunan nilai DHL, yang terjadi di wilayah Jakarta
Selaan (3-251 S/cm) Jakarta Timur (20 S/cm), dan Kota Bekasi (49
S/cm). Pada sistem akuifer tertekan atas (kedalaman 40-140 m) di daerah
dataran bagian barat terjadi penurunan kualitas air tanah dengan
peningkatan DHL air tanah di wilayah Kota Tangerang (60 -636 S/cm),
Jakarta Utara (554 S/cm- 1900 S/cm), dan Jakarta Pusat (14-56 S/cm),
(Daryanto dan Hadipurwo, 2006).
2.3.4 Amblesan Tanah
Amblesan tanah (land subsidence) timbul akibat pengambilan air
tanah yang berlebihan pada lapisan pembawa air (akuifer) yang tertekan
(confined aquifers). Air tanah yang tersimpan dalam pori-pori lapisan
penutup akuifer akan terperas keluar yang mengakibatkan penyusutan
laporan penutup tersebut, akibatnya terjadi amblesan tanah di permukaan.
Beberapa lokasi di CAT Bandung mengalami penurunan tanah,
pada periode 2000-2002, besarnya penurunan tanah berkisar antara 7 cm
sampai sekitar 52 cm, dengan kecepatan penurunan berkisar antara 2 -18
mm/bulan. Dalam periode tersebut, lokasi-lokasi Cimahi (Leuwigajah),
Dayeuhkolot, Racaekek merupakan lokasi yang mengalami penurunan
tanah yang relatif lebih besar, yaitu masing-masing sebesar 52 cm, 46 cm
dan 42 cm. Besarnya penurunan permukaan tanah di beberapa lokasi di
cekungan Bandung-Soreang tidak selalu berkorelasi positif dengan volume
pengambilan air tanah, tetapi dapat juga dipengaruhi oleh besarnya
produktivitas akuifer dan keragaman tanah penyusunnya (Daryanto dan
Hadipurwo, 2006).
Amblesan tanah yang mempunyai sebaran cukup luas diamati
terutama di dataran pantai Jakarta bagian Utara, kecepatan penurunan
tanah yang didasarkan pengukuran pada patok ketinggian adalah antara
1,3-12,0 cm/tahun. Terjadinya amblesan tanah menyebabkan kerusakan
bangunan seperti retak-retak dan penurunan pondasi yang mengakibatkan
pemiringan bangunan seperti terlihat pada gambar 2.5.
Gambar 2.5 Menara miring di daerah Sunda Kelapa, Jakarta Utara
(Kondoatie, 2007)

2.3.5 Air Tanah Sebagai Sumber daya Terbarukan dan Tak Terbarukan
Air tanah meskipun termasuk dalam sumber daya alam yang dapat
diperbaharui, namun proses pembentukannya memerlukan waktu yang
lama, mencapai puluhan tahun hingga ribuan tahun.
Apabila air tanah tersebut telah mengalami kerusakan kuantitas
maupun kualitasnya maka proses pemulihannya akan membutuhkan waktu
lama, biaya tinggi, dan teknologi yang rumit, bahkan tidak akan kembali
pada kondisi awalnya. Oleh karena itu air tanah dapat dikatakan sebag ai
sumber daya terbarukan (renewable) dan sekaligus tak terbarukan
(unreanewble resources).
Konsep air tanah sebagai sumber daya terbarukan didasarkan pada
proses alami, yaitu adanya sirklulasi pada sistem akuifer, aliran masuk
(inflow) dan aliran keluar (outflow) ataupun imbuh (recharge) dan luah
(discharge). Periode proses sirkulasi pada sistem akuifer ini sangat
bervariasi antara 10 sampai 100.000 tahun (Hendrayana, 2007).
Sedangkan konsep air tanah sebagai sumber daya tak terbarukan
adalah konsep periode pengisian ulang (replenishment period) air tanah
antara 100 sampai 1.000 tahun. Periode tersebut sangat panjang
dibandingkan dengan periode aktivitas manusia pada umumnya, dan
perencanaan pendayagunaan sumber daya air pada khususnya
(Hendrayana, 2007).
Air tanah sebagai sumber daya terbarukan atau tak terbarukan
tergantung pada jarak daerah imbuhan akuifer terhadap luasan sistem
akuifer atau waktu tempuh aliran air tanah hingga mencapai dan mengisi
ulang akuifer tersebut. dikatakan terbarukan jika mempunyai periode
pengisian ulang antara < 10-100 tahun, dan sebaliknya air tanah sebagai
sumber daya tak-terbarukan jika memerlukan waktu berabad-abad ataupun
sampai jutaan tahun untuk pengisiannya.

2.3.6 Alih Fungsi Lahan


Di daerah imbuhan (recharge area) karena perkembangan
penduduk dan pertumbuhan ekonomi terjadi alih fungsi lahan menjadi
lahan permukiman, industri, dll, yang mengakibatkan terjadi penurunan
resapan air. Uraian dari Sub-bab 2.3.1 sampai sub bab 2.3.4 selain karena
peningkatan kebutuhan air juga menyebabkan penurunan ketersediaan air
tanah. Lahan yang semula berupa daerah konservasi, kawasan lindung,
daerah resapan air, hutan lindung, daerah penyangga kemudian berubah
menjadi daerah-daerah kedap air yang berupa pemukiman, perindustrian,
perdagangan mengakibatkan terjadi dua dampak yang bersamaan.
Dampak pertama adalah peningkatan kuantitas dan kualitas
kebutuhan air dan dampak kedua adalah penurunan kuantitas dan kualitas
ketersediaan air. Dengan kata lain dua dampak dalam aspek pengelol aan
sumber daya air berkaitan erat dengan aspek konservasi sumber daya air
dan aspek pendayagunaan sumber daya air.
Perubahan fungsi lahan di samping memberi dampak terhadap
kedua aspek pengelolaan tersebut sekaligus juga menyebabkan
peningkatan aliran permukaan (run-off) yang menyebabkan terjadi
peningkatan potensi bencana banjir. Dalam pengelolaan sumber daya air
maka hal tersebut merupakan aspek pengendalian daya rusak air.
Berikut ini dalam gambar 2-6 dan gambar 2-7 ditunjukkan beberapa
contoh perubahan alih fungsi (Google Earth, 2009)

Gambar 2-6 Perubahan badan air dan lahan resapan

Anda mungkin juga menyukai