Anda di halaman 1dari 28

Struktur Insan dalam Al-Quran : Apa yang Tersentuh Oleh

Psikologi Analitik, dan Status Kecerdasan Spiritual (SQ)


By Mas Kumitir on February 23, 2008

Struktur Insan dalam Al-Quran : Apa yang Tersentuh Oleh Psikologi Analitik, dan
Status Kecerdasan Spiritual (SQ)
Oleh Zamzam A. Jamaluddin T dan Tri Boedi Hermawan, Yayasan Paramartha
Terbatasnya pengetahuan para teoritikus kepribadian Barat tentang struktur internal
manusia telah melahirkan banyak mazhab kepribadian. Kerangka keilmiahan telah
membatasi mereka dalam proses analisis dan sintesis konsepsi kepribadian manusia
seutuhnya. Carl Gustav Jung melakukan terobosan dalam membangun psikologi
analitiknya, ia melibatkan data-data mitologi dan simbol-simbol agama ke dalam
kerangka analisis ilmiahnya. Dalam alur ini, Kecerdasan Spiritual (SQ) dalam proses
perumusannya tidak sekadar meninjau keparalelan antara produk saintifik Barat
dengan fenomena mistik Timur, tapi tampak memaksakan melakukan interpretasi atas
fenomena metafisik spiritual secara fisika dan sains neural, dan ini melahirkan
sejumlah paradoks. Paper ini membahas tentang struktur internal manusia berdasarkan
kerangka acuan Al-Quran, kemudian akan dilihat persoalan apa yang tersentuh oleh
konsepsi individuasi Jung dan status SQ dalam peta ini.
1. Pendahuluan
Terumuskannya sejumlah teori kepribadian merupakan cermin dari upaya ilmiah
manusia untuk memahami dirinya sendiri secara menyeluruh. Dewasa ini dikenal tiga
teori utama yang satu dengan yang lainnya berbeda, yakni teori kepribadian
Psikoanalisa (Freud), teori kepribadian Behaviorisme (Skinner), dan teori kepribadian
Humanistik (Maslow)[1]. Istilah kepribadian (personality) memiliki banyak arti, ini
disebabkan oleh adanya perbedaan dalam penyusunan teori, penelitian, dan
pengukurannya. Di antara para psikolog belum ada kesepakatan tentang arti dan
definisi kepribadian, sehingga banyaknya definisi kepribadian sebanyak ahli yang
mencoba merumuskannya. Melihat asal katanya, personality itu sendiri berasal dari
kata latin persona yang berarti topeng.

Setiap penggagas kepribadian mengajukan asumsi-asumsi dasar tertentu tentang


manusia, yang kemudian hipotesis-hipotesis tersebut mempengaruhi konstruksi dan isi
dari teori kepribadian yang disusunnya. Abraham Harold Maslow (1908-1970)
memperlihatkan komitmen yang tinggi terhadap anggapan dasar tentang manusia
sebagai makhluk bebas, sementara Sigmund Freud (1856-1939) dan Burrhus Frederic
Skinner (1904-1990) sebagai penganut determinisme berlawanan dengan Maslow,

1
mereka berasumsi bahwa manusia bukanlah makhluk yang bebas melainkan
organisme yang tingkah lakunya dideterminasi oleh sejumlah determinan.
Freud menyatakan bahwa determinan manusia berasal dari dalam diri manusia itu
sendiri (faktor internal), sementara Skinner menyatakan bahwa faktor-faktor penentu
tersebut berasal dari stimulus-stimulus eksternal. Maslow berpendapat bahwa manusia
itu makhluk rasional, sementara Freud berpegang pada anggapan dasar bahwa
manusia merupakan makhluk yang cenderung irasional, dimana sebagian besar dari
tingkah laku manusia didorong oleh kekuatan-kekuatan irasional yang tidak disadari;
Skinner dalam hal ini tidak begitu terikat pada hipotesis rasional-irasional.
Tentang motivasi, rumusan Freud bertumpu pada konsep homeostatis, yaitu suatu
konsep yang diilhami oleh gagasan kesetimbangan (equilibrium) fisis Leibniz, ia
menerangkan bahwa tingkah laku manusia terutama dimotivasi oleh upaya
pengurangan tegangan-tegangan internal (memuncaknya energi naluri/insting dari id)
yang terjadi akibat ketidakseimbangan fisis. Dalam hal ini Skinner berpendapat bahwa
tingkah laku manusia tidak digerakkan oleh agen-agen internal yang disebut naluri,
melainkan ditentukan oleh kekuatan-kekuatan eksternal. Freud dengan
psikoanalisanya percaya bahwa misteri manusia akan bisa diungkap seluruhnya
melalui upaya-upaya ilmiah, karena pada dasarnya tubuh manusia mengikuti hukum-
hukum fisika; Skinner dan segenap behavioris memiliki anggapan yang sama dengan
Freud. Berlawanan dengan pandangan di atas, Maslow sepaham dengan William
James (1842-1910), seorang filsuf dan tokoh psikologi terkemuka Amerika, bahwa
manusia tidak akan bisa diungkap sepenuhnya hanya melalui upaya-upaya ilmiah.
Pelibatan aspek ketaksadaran (unconsciousness) dalam psikoanalisa telah menarik
minat Carl Gustav Jung (1875-1961) untuk bergabung dengan Freud. Mengikuti alur
Freud, konstruksi dasar psikologi Jung juga sangat dipengaruhi oleh perkembangan
sains dan filsafat Abad ke-19, seperti teori Evolusi Darwin, temuan-temuan
arkeologis, dan studi komparatif tentang masyarakat dari budaya-budaya yang
berbeda. Tetapi kemudian terjadi pertentangan mendasar antara kedua tokoh besar
tersebut. Jung menolak penekanan Freud yang meletakkan dorongan seksual manusia
di atas kebutuhannya terhadap makanan, kehidupan spiritual, atau pengalaman-
pengalaman religius tertentu. Dia juga tidak sependapat dengan pandangan mekanistik
Freud tentang dunia; bagi Jung, karekter manusia tidak hanya dikondisikan oleh apa-
apa yang telah terjadi di masa lampau, tapi juga dipengaruhi oleh visi-visi masa depan.
Adapun Freud tidak setuju dengan konsepsi Jung tentang collective unconscious, teori
ini bertumpu pada pandangan phylogenetic tentang pengalaman-pengalaman masa
lampau dari ras manusia yang diwariskan secara individual melalui memory traces.
Teori kepribadian Freud dan Jung mencakup seluruh aspek sadar dan tak sadar dalam
diri manusia, untuk membedakan teorinya dengan psikoanalisa Freud, maka Jung
menamai teori kepribadiannya dengan istilah psikologi analitik. Individuasi (realisasi

2
diri) merupakan inti ajaran Jung, berkaitan dengan pergeseran titik pusat kesadaran
dari ego ke self, dimana gagasan ini dibangun Jung secara transpersonal berdasarkan
studi atas simbol-simbol mitologis dan simbol-simbol religius agama Barat maupun
Timur. Dengan data-data tersebut, Jung berupaya mencari hubungan antara isi
ketaksadaran dalam diri manusia di Barat dengan mite-mite dan ritus-ritus manusia
primitif.
Dalam teori Jung, ketika konstruk ego yang terbangun mulai menyadari eksisnya
sesuatu selain dirinya yang bersifat irasional, terjadilah konflik batin. Meningkatnya
entropi psikis di ruang sadar akan direspon oleh permukaan subconscious, dan
terjadilah aliran energi psikis (libido), yang arahnya ditentukan oleh prinsip ekivalensi
termodinamika. Respon dari lautan ketaksadaran akan menampakkan diri di level
sadar umumnya berbentuk simbol-simbol mandala, yang pada prinsipnya membawa
pesan tentang arah dari tertib diri. Dalam praktek klinisnya, Jung melihat bahwa
bagian tak-sadar bukan saja bersifat komplementasi (saling melengkapi), tetapi juga
kompensasi (saling mengimbangi). Menurut Jung, proses individuasi ini disebabkan
oleh potensi-potensi asli yang mengarah pada tujuan tertentu, menuju ke suatu
keutuhan psikis yang lebih kokoh. Energi psikis yang terarah pada suatu tujuan
tertentu yang bersifat final ini mirip dengan pandangan teleologi Aristoteles (384-
322 SM), dimana ia menggunakan istilah entelecheia (en=dalam diri manusia;
telos=tujuan; echein=memiliki) yang berarti: di dalam diri sendiri terdapat sesuatu
yang harus dicapai[2].
Dalam proses individuasi Jung, yang dititikberatkan bukanlah ego melainkan self. Jika
Jung menggunakan data-data kejiwaan dalam banyak agama, maka apa hakikat
sebenarnya dari ego dan self ini dipandang dari konsepsi batiniah agama seutuhnya?
Apa status menjadi pribadi seutuhnya atau menjadi diri sendiri tersebut dipandang dari
kerangka agama itu sendiri?
2. Struktur Insan Dalam Pandangan Quraniyah
Peta kejiwaan dan mekanisme interaksi antar modus-modus jiwa, dalam kerangka
psikologi yang dibangun secara ilmiah, tampak tidak jelas dan banyak menyisakan
lubang-lubang di sana sini. Dalam literatur barat sendiri penggunaan istilah-istilah
seperti soul, spirit, heart, mind, dan intellect sering campur aduk ketika
mengidentifikasi persoalan-persoalan yang bersentuhan dengan konsepsi kejiwaan.
Istilah psycho sendiri yang dipakai dalam konstruk kata psikologi (psychology)
berasal dari kata Yunani psych (Ynch) yang artinya nafas kehidupan, dalam
mitologi Yunani digambarkan sebagai kupu-kupu. Dalam hal ini, kupu-kupu
merupakan perlambang jiwa yang bebas terbang setelah menempa diri dengan
puasa, keluar dari bungkus kepompongnya. Dua sayap kupu-kupu yang membawa
dirinya terbang meninggalkan bumi melambangkan dua akal, akal jiwa dan akal
raga; dua akal tersebut eksis secara potensial di dalam tubuhnya saat ia sebagai ulat,

3
persoalan yang sama dalam representasi yang berbeda bisa dikaji dalam Alegori
Gua Plato (428-347 SM)[3].
Dalam konsepsi pramodern, manusia dibagi atas tiga entitas, corpus, animus, dan
spiritus[3]. Animus berasal dari bahasa Yunani anemos yang bermakna sesuatu yang
hidup (bernafas) yang ditiupkan ke dalam corpus (wadah atau bungkus). Maka corpus
adalah body (raga/jasad); dan spiritus adalah spirit (ruh); dan animus identik dengan
psyche yang bermakna soul (jiwa/nafs). Dewasa ini istilah jiwa yang dipakai dalam
psikologi telah mengalami penyempitan makna. Jiwa dalam terminologi psikologi
modern lebih ke aspek psikis, dimana aspek psikis ini lebih merupakan riak
gelombang permukaan di atas lautan dalam yang disebut jiwa. Fungsi ruh terhadap
jiwa dan fungsi ruh terhadap jasad bisa dilihat dalam referensi[4].
Dalam terminologi Quraniyah, struktur manusia dirancang sesuai dengan tujuan
penciptaan itu sendiri, dimana jiwa (soul) yang dalam istilah Al-Quran disebut nafs
menjadi target pendidikan Ilahi. Istilah nafs didalam Islam sering dikacaukan dengan
apa yang dalam bahasa Indonesia disebut hawa nafsu, padahal istilah hawa dalam
konteks Qurani memiliki wujud dan hakekat tersendiri. Aspek hawa dalam diri
manusia berpasangan dengan apa yang disebut sebagai syahwat. Sedangkan apa yang
dimaksud dengan an-nafs amara bissu dalam surat (Yusuf [12]: 53) adalah nafs (jiwa)
yang belum dirahmati Allah SWT:
Dan aku tidak membebaskan nafsku, sesungguhnya nafs itu cenderung mengarah
kepada kejahatan, kecuali yang dirahmati oleh Rabb-ku.
Hawa merupakan kecenderungan kepada yang lebih bersifat non-material, yang
berkaitan dengan eksistensi dan harga diri, persoalan-persoalan yang wujudnya lebih
abstrak. Hawa merupakan entitas, produk persentuhan antara nafs dan jasad.
Sedangkan syahwat merupakan kecenderungan manusia pada aspek-aspek material
(AliImran [3]: 14), dan ini bersumber pada jasad insan yang wujudnya memang
disusun berdasarkan unsur-unsur material bumi (air, tanah, udara, api).
Nafs manusia diuji bolak-balik di antara dua kutub, kutub jasmaniah yang berpusat di
jasad dan kutub ruhaniyah yang berpusat di Ruh al-Quds. Ar-Ruh ini beserta tiupan
dayanya (nafakh ruh) merupakan wujud yang nisbatnya ke Martabat Ilahi dan
mengikuti hukum-hukum alam Jabarut. Aspek ruh ini (jamak arwah) tetap suci dan
tidak tersentuh oleh kelemahan-kelemahan material dan dosa, spektrum ruh
merupakan sumber dari segala yang maujud di alam syahadah inimaka tak ada
istilah tazkiyyatur-ruhiyyah atau miraj ruhani.
Al-Ghazali dalam Kitab Ajaaibul Qulub[5] jelas membedakan istilah-istilah seperti
qalb (rasa jiwa, bukan rasa jasadiah/psikis), nafs, ruh, dan aql; dimana istilah-istilah
ini dalam konsepsi psikologi modern tak terpetakan dengan tegas karena berada pada
tataran jiwa yang bersifat malakut, atau secara psikologi analitik berada di ruang
ketaksadaran.

4
Prinsipnya, apa yang disebut sebagai manusia sempurna (insan kamil) dalam
terminologi Al-Quran, minimal manusia yang sudah memiliki struktur seperti
tercantum dalam An-Nur [24]: 35, seorang Insan Ilahi. Manusia dikatakan sebagai
khalifatullah (wakil Allah) di bumi jika ia telah mencapai state tersebut, ia membawa
kuasa Allah dan bercitra Ar-Rahman.
Allah cahaya petala langit dan bumi. Perumpamaan cahaya-Nya bagaikan sebuah
misykat yang didalamnya terdapat pelita terang. Pelita tersebut di dalam kaca, kaca itu
seolah kaukab yang berkilau dinyalakan oleh (minyak) dari pohon yang banyak
berkahnya, pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur dan tidak pula di sebelah
barat, yang minyaknya saja hampir-hampir menerangi walau tanpa disentuh api.
Cahaya di atas cahaya, Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa-siapa yang Dia
kehendaki, dan Allah membuat perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha
Mengetahui segala sesuatu.

Ayat tersebut mengisyaratkan tentang manusia, dimana di dalam jasad (misykat)-nya


terdapat nafs (jiwa) yang qalb (zujajah)-nya bercahaya seperti bintang karena telah
dinyalakan dari dalam dengan api Ruh al-Quds (misbah). Adapun misykat sifatnya
kusam dan tak tembus pandang, sebagai perlambang jasad yang berasal dari alam
mulk (ardhiyah), merupakan manifestasi terendah dari kehadiran Al-Haq dalam alam
syahadah.
Bola kaca zujajah yang jernih tembus pandang melambangkan qalb, merupakan aspek
rasa dari si nafs yang berasal dari alam malakut. Si nafs melakukan serangkaian proses
tazkiyyatun-nafs (pensucian jiwa) sehingga jernihlah qalbnya dan tampaklah titik-
apinya menyala di inti jiwa. Jika insan dapat mencapai state seperti digambarkan An-
Nur [24]: 35, maka insan tersebut dinamai syuhada (saksi Allah sejati) karena telah
berperan sebagai cahaya yang menampakkan khazanah Ilahi sebagai Harta Terpendam
(Kanzun Makhfiyan)[6]. Ayat di atas menyatakan struktur target yang harus manusia
capai walau sulit.
Rasulullah SAW menyinggung tentang eksistensi jiwa (nafs) yang qalbnya telah
diperkuat oleh api Ruh al-Quds, sebagai berikut:
Qalb itu ada empat macam, pertama, qalb yang bersih, di dalamnya terdapat pelita
yang bersinar cemerlang, itulah qalb al-mumin; kedua, qalb yang hitam terbalik,
itulah qalb orang kafir; ketiga, yang terbungkus dan terikat pada bungkusnya, itulah
qalb orang yang munafik; dan keempat, qalb yang tercampur, di dalamnya terdapat
iman dan nifaq.
Ruh al-Quds yang dilambangkan oleh pelita yang menyala di dalam qalb, merupakan
utusan-Nya di dalam diri, yang membawa ketetapan-ketetapan hidup (amr) si nafs di
dunia ini. Pengutusan rasul yang batin ke dalam inti dari nafs ini lebih dari sekedar
simbol bahwa pengabdiannya diterima (diridhai). Ruh al-Quds merupakan juru

5
nasehat si nafs dari dalam qalb, dan nafs yang telah diperkuat dengan ruh ini, selain
disebut sebagai an-nafs an-natiqah (jiwa yang berkata-kata disebabkan adanya juru
nasehat dari dalam qalbnya), juga disebut sebagai an-nafs al-muthmainah. Disebut
muthmainnah karena si nafs tersebut telah stabil dalam orbit dirinya (qudrah
diri/swadharma), di sini ruh tadi disebut pula sebagai sakinah (syekinah dalam bahasa
Ibrani) yang diturunkan ke qalb yang memperoleh kemenangan (al-fath) amr.
Dialah yang telah menurunkan as-sakinah ke dalam qalb orang-orang al-mumin,
agar keimanan mereka bertambah di samping keimanan yang telah ada (Al-Fath [48]:
4).
Apabila Allah menghendaki kebaikan (khairan) atas seorang hamba, maka
diadakannya pemberi pelajaran dari qalb-nya (Rasulullah SAW).
Barang siapa memiliki juru-nasehat dari dalam qalbnya, berarti Allah telah memberi
seorang penjaga (hafidh) atasnya (Rasulullah SAW).
Seandainya syaithan-syaithan tidak mengelilingi qalb anak Adam, niscaya mereka
dapat melihat ke malakut langit (Rasulullah SAW).
Qalb menjadi hitam dan terbalik jika ia mempertuhankan hawa nafsu, mengingkari
dan mendustakan kebenaran (al-haq). Hati yang seperti ini akan memandang bagus
atas segala yang mereka kerjakan, karena tertutup ilusi dan waham syaithan. Adapun
qalb si munafik terikat pada bungkus jasadiyah, merupakan qalb yang terlalu
mencintai dunia (terikat kepada syahwat jasmaniah); pandangan batinnya tertipu oleh
nilai-nilai estetik fisik dengan tanpa melihat hakikatnya, maka ia bisa menjual
agamanya demi kesenangan sesaat.
Seperti telah diulas tadi, bahwa si nafslah yang menjadi fokus pendidikan Ilahi. Alam
dunia ini bagi nafs sebenarnya hanya sebuah jenjang sekolah dasar, Rasulullah SAW
berkata bahwa alam dunia ini hanyalah sebuah jembatan kecil yang menghubungkan
dua alam besar, dan si nafs diuji dalam pengembaraannya di oase ini; sementara ia
harus menyelesaikan sejumlah jenjang sekolah lanjutan lagi. Di alam dunia, jasad
atau raga insan berperan sebagai kendaraan bagi si nafs untuk menemukan al-haq di
bumi jagat ini sebagai pelajaran pertamanya. Si nafs harus mengembara di muka bumi
hingga terbuka kepadanya malakut langit, atau hakikat dari segala yang wujud (khalq)
di alam syahadah, dan hakikat dari setiap khalq adalah al-haq.
Akan Kami perlihatkan ayat-ayat Kami di ufuk (semesta) dan di dalam nafs masing-
masing, hingga jelaslah bagi mereka itu bahwa itu adalah al-haq (Al-Fushshilat [41]:
53).
Tiap segala sesuatu pasti binasa, kecuali Wajah-Nya (Al-Qashash [28]: 88).

Sebelum memahami bahwa Dia ada di mana-mana dan Dia lebih dekat dari urat leher,
maka si nafs harus melihat kepada aspek wajah-Nya berupa Al-Haq; ia harus melihat
bahwa hakikat dari segala sesuatu di alam semesta, berupa ayat-ayat Kauniyyah,

6
adalah al-haq; juga hakikat dari apa yang ada di dalam nafs-nya tak lain adalah al-haq
yang mengalir dari Martabat Ilahi. Sebelum si nafs dimasukkan ke dalam kurungan
jasad (corpus) janin di dalam rahim ibu, maka si nafs dipanggil terlebih dulu ke
hadapan Allah SWT, katakanlah ini adalah status nafs ketika di alam Nur atau alam
Alastu.
Dan ketika Rabb-mu hendak mengeluarkan keturunan bani Adam dari sulbi mereka,
dan Allah telah mengambil kesaksian atas nafs-nafs mereka, Bukankah Aku ini Rabb-
mu? mereka menjawab Benar! Kami menyaksikan Agar di hari kiamat kamu tidak
berkata: Sesungguhnya kami lengah (atas kesaksian) ini (Al-Araf [7]: 172).
Sebelum nafs diturunkan di alam dunia, maka dalam kesaksian ini qadha dan qadarnya
ditetapkan terlebih dahulu: amal-amal insan dikalungkan pada lehernya (Q.S Al-
Isra [17]:13). Ketetapan-ketetapan ini berupa misi hidup (swadharma) yang harus
dimanifestasikan di muka bumi, ini merupakan amanah Allah yang telah digariskan
sesuai dengan bakat langit si nafs (swabhawa), misi hidup setiap insan bersifat unik
tidak ada yang sama satu dengan lainnya. Misi (dharma) si nafs harus ditemukan dan
dijalankan di bumi ini, tidak ada perubahan dalam dharma si nafs, karena bakat langit
(swabhawa) si nafs merupakan fitrah yang tidak berubah, dan sebagian besar manusia
tidak mengetahui ketetapan dirinya karena qalb-nya terpendam dosa.
Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada ad-Din. Fitrah Allah, yang Dia
telah menciptakan manusia menurut fitrah ini, tidak ada perubahan pada ciptaan Allah.
Inilah ad-Diin yang teguh, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui (Ar-Ruum
[30]: 30).
Jika tanpa Rahmat Allah SWT, ketetapan-ketetapan Allah yang tertulis di dada si nafs
tidak akan terbuka, dan ini merupakan rizqi batin manusia yang kuncinya ada di dalam
nafs. Sementara untuk mencapai ini sulit karena harus menggeser pusat kesadaran dari
ego ke nafs (self).
Dari alam Nuur, setelah 120 hari penyusunan janin bayi, maka nafs yang telah
diamanahi qudratullah beserta ruh yang akan mengisi jasad si bayi diturunkan. Di sini
si nafs berada dalam tiga kegelapan.
Kemudian Dia menyempurnakan (janin), dan meniupkan kedalamnya ruh-Nya, dan
Dia menjadikan bagimu, pendengaran, penglihatan, dan fuad, tapi sedikit di antara
kamu yang bersyukur (As-Sajdah [32]: 9).
Dia menjadikan kamu dalam perut ibumu tahap demi tahap dalam tiga kegelapan
(Az-Zumar [39]: 6).
Bagi si nafs sewaktu masih di dalam rahim, kegelapan pertama adalah wadah jasadnya
sendiri, lapis kegelapan kedua adalah jasad ibunya, dan kegelapan ketiga adalah
penjara alam dunia yang bersifat material.
Maka ketika nafs dilahirkan via jasmani raganya ke alam dunia, nafs yang sudah
terpenjara oleh tabiat-tabiat jasadnya kemudian harus bertumbukan pula dengan

7
cakrawala dunia bawah. Maka nafs yang berasal dari cahaya Ilahi (bersifat
metafisika) fuad-nya menjadi cenderung senang untuk di-rule dan diracuni oleh
tabiat-tabiat dan implikasi-implikasi hukum fisis.
Merujuk ke Al-Ghazali[5], dimana beliau menggunakan terminologi qalb sebagai
modus nafs, bahwa nafs memiliki dua jenis tentara, tentara lahir dan tentara batin.
Tentara lahir adalah jasad, khususnya indera-indera yang secara langsung mencerap
alam syahadah. Perangkat jasadiyah ini merupakan delapan pasang aspek ternak
yang harus digembalakan; ingat bahwa jasad merupakan kuda tunggangan bagi nafs
yang terlebih dulu harus ditundukkan dan digembalakan.
Dia menciptakan dari nafs wahidah, kemudian mengadakan darinya pasangannya,
dan menurunkan bagimu delapan ternak yang berpasang-pasangan. (Az-Zumar [39]:
6).
Kedelapan aspek ternak yang harus dikendalikan si nafs meliputi :
1. sepasang mata untuk penglihatan.
2. sepasang telinga untuk pendengaran.
3. sepasang lubang hidung untuk penciuman.
4. sepasang tangan untuk memegang.
5. sepasang kaki untuk berjalan.
6. indera pengecap pada lidah yang dipasangkan dengan perut untuk syahwat makan
dan minum.
7. pasangan fungsi mulut dan laring untuk bersuara dan berkata-kata.
8. pasangan farji dan indera peraba untuk reproduksi.
Setiap ternak (anaam) pada prinsipnya memiliki delapan aspek di atas sebagaimana
dimiliki manusia, yang difungsikan oleh aspek otak yang secara fisis dibuat
berpasangan pula. Hewan ini memiliki daya (nafas Ruh) yang menghidupkan
tubuhnya, tapi mereka tidak memiliki nafs yang harus mempertanggungjawabkan
perbuatan dirinya. Karena nafs manusia membawa fuad (mind, aspek akal jiwa),
maka bagi manusia sepasang otaknya (yang wujud fisiknya tak berbeda dengan
ternak) selain menjadi pusat syaraf untuk mengkoordinasi tubuh, juga menjadi pusat
pikiran yang ini justru sering menjadi faktor utama yang membawa kejatuhan
manusia. Faktor pikiran ini (yang merupakan aspek permukaan dari fuad) yang akan
secara efektif mengkonstruk apa yang secara psikologis disebut ego.
Apa yang disebut ego ini merupakan kepala, bagi apa yang disebut oleh Al-Ghazali
sebagai tentara batin. Apa yang disebut dalam Al-Quran sebagai hawa (hawa nafsu)
adalah keluar dari tentara batin ini; karena sifatnya plural, bersifat non-material,
melekat pada nafs (seperti minyak di atas permukaan air), dan mengeluarkan hawa
(kecenderungan-kecenderungan yang tidak sejalan dengan orbit jiwa), maka diberi
istilah nufusul-hawiyyah.

8
Jika si nafs lumpuh karena dosa-dosa yang dimasukkan jasad lewat pintu-pintu indera
dan pikiran, maka kepribadian insan dipegang oleh kepala dari tentara batin: ego.
Ego ini jika dikendalikan nafs sebenarnya merupakan perangkat yang sangat penting
bagi nafs untuk menjalankan kodrat dirinya. Jika nafs disembuhkan dengan Rahmat
Allah Taala, maka pusat kesadaran dan kepribadian secara bertahap akan bergeser
dari ego ke nafs; konstruk ego yang salah-bentuk akan segera diruntuhkan nafs untuk
dikonstruk ulang menjadi bentuk baru yang lebih sesuai dengan kepentingan dharma
si nafs. Karena entitas nufusul-hawiyyah ini berasal dari kekuatan amr yang dibawa si
nafs yang menemukan padanannya di hissiyah jasadiyyah secara unik, maka
rekonstruksi ego dari setiap manusia akan berbeda satu sama lain.

Ego dibentuk dan ditumbuhkan melalui fikiran oleh dua kekuatan, pertama persepsi
inderawi yang bersifat syahwati, dan kedua oleh hawa nafs. Interaksi timbal balik dua
kekuatan ini melalui link ego menjadi cenderung memperkuat satu sama lain dan
membangun kompleks-kompleks sayyiah jiwa. Manusia digelapkan qalb-nya dan
dilumpuhkan nafs-nya oleh dua perkara yaitu cinta dunia dan mempertuhankan hawa.
Berkata ia,Ya Rabbi, mengapa Engkau kumpulkan aku dalam keadaan buta, padahal
aku dulu (di dunia) adalah seorang yang melihat? (Thaha [20]: 125).
Karena sesungguhnya bukanlah matanya yang buta tetapi qalb yang di dalam dada
(Al-Hajj [22]: 46).
Yang demikian itu disebabkan oleh karena mereka mencintai kehidupan dunia di atas
akhirat Mereka itulah yang qalb, pendengaran, dan penglihatannya telah dikunci
mati oleh Allah, dan mereka adalah orang-orang yang lalai (An-Nahl [16]: 107-108).
Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawanya sebagai tuhannya,
maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya? Atau apakah kamu mengira
bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami? Mereka itu tidak lain
bagaikan ternak bahkan lebih tersesat jalannya (Al-Furqaan [25]: 43-44).
Dan barang siapa buta di dunia ini, maka di akhirat akan buta pula dan lebih tersesat
jalannya (Al-Isra [17]: 72).
Bila nafs dirahmati Allah Taala, maka secara bertahap indera-indera batinnya mulai
bangun dan menguat, karena hijab-hijab dosa di qalb-nya mulai tanggal. Si nafs yang
telah tumbuh kuat akan segera melakukan proses penggembalaan dan pendidikan atas
tentara lahir dan tentara batinnya.
Dan adapun mereka yang takut akan maqam Rabb-nya dan menahan nafsnya dari
hawa (An-Naaziat [79]: 40).
Jika ego tidak dikonstruksi-baru oleh nafs, maka akan menjadi pabrik penghasil
sayyiah, dimana racun hati ini secara efektif dapat mematikan qalb. Kesadaran,
secara psikologis, berpusat di ego, sementara qalb dan nafs berada di bawah level
kesadaran atau di ketaksadaran (unconsciousness).

9
Jika hijab kompleks dan sayyiah lenyap, maka ego akan mengorbit ke nafs dan
memperluas bidang kesadaran. Ketika ego di bawah kontrol nafs maka kekuatan
syahwat dan hawa akan berada di bawah kendali amr si nafs, dan ketika pusat
kesadaran berpindah ke nafs maka nafs menjadi pusat kepribadian yang bersifat utuh
mencakup baik level sadar maupun level tak sadar. Dengan berkiblatnya ego ke nafs
maka seluruh indera jasad berada di bawah kontrol nafs dan qalb, disini inderawi dan
pikiran memperoleh kekuatan tambahan berupa aspek ruhani yang berpusat di qalb,
manusia menjadi berfikir dan ber-aql dengan qalb-nya.
Qalb bagaikan raja, jika shalih rajanya maka shalih pula tentara-tentaranya, dan jika
jahat rajanya maka jahat pula tentara-tentaranya. (Rasulullah SAW)
Jika cahaya qalb tidak menyentuh ego dan pikiran, maka pada hakikatnya manusia
belum mengenal qalb-nya apalagi memfungsikannya. Karena qalb tak berfungsi, maka
manusia tersebut dikatakan belum memiliki qalb (buta hati) kecuali hati jasmaniahnya
saja, dan hanya memiliki satu akal yaitu pikirannya saja.
Mereka memiliki qalb tetapi tidak digunakan untuk memahami, mereka memiliki
mata tetapi tidak digunakannya untuk melihat, dan mereka mempunyai telinga tetapi
tidak digunakannya untuk mendengar, mereka seperti ternak bahkan lebih tersesat
(Al-Araf [7]: 179).
Dengan transformasi akal dari ego ke lubb, maka kesadaran seseorang ditransformasi
terus-menerus hingga menyentuh Lathifah Ilahiyah, sehingga qalb-nya melihat al-
haq dimana-mana (Al-Fushshilat [41]: 53). Dalam dunia tashawwuf, hirarki uruj
kesadaran batin mencakup tujuh proses

Dalam proses ini, tahapan insan untuk memenuhi struktur yang dituntut oleh An-Nuur
[24]: 35 menjadi terlampaui. Ini adalah proses manusia untuk mengenal Rabb-nya,
yang harus diawali dengan kesadaran atas keberadaan nafs dalam jasadnya sebagai jati
diri yang sebenarnya.
Barangsiapa mengenal nafsnya maka akan mengenal Rabb-nya. (Rasulullah SAW)
Dengan bermujahadah pada proses tazkiyyatun-nafs maka instrumen mata dan telinga
batin (nafs) akan mulai bangun secara bertahap. Seperti bangunnya akal jasadi pada
bayi oleh tumbukan terus menerus citra alam dunia melalui indera mata dan
telinganya, maka pengendalian mata dan telinga jasmani dari hal-hal yang diharamkan
Allah Taala akan mencergaskan kembali penglihatan dan pendengaran si nafs, dan
dengan sehatnya dua indera batin tersebut akan mulai mengaktivasi akal jiwa (lubb).
Manusia yang lubb-nya hidup dinamai sebagai Ulul-Albaab, dan hanya Ulul-Albaab
yang bisa memahami kalimah Ilahiyah di alam semesta.
Allah memberikan hikmah kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa
diberi hikmah, sungguh ia telah diberi kebaikan yang banyak. Dan tidak ada yang
dapat mengambil pelajaran kecuali Ulul-Albaab (Al Baqarah [2]: 269).

10
Proses uruj tadi merupakan proses taubat, dimana makna taubat adalah perjalanan
kembali menuju Allah, merupakan proses ditariknya si hamba mendekat kepada-Nya,
dan ini akan melampaui semesta alam-alam, karena jarak antara si hamba dengan Dia
adalah tak hingga. Dan tidak ada alam yang ia lampaui, kecuali lubb-nya akan
menguasai urusan-urusan di alam tersebut. Siapa yang bertaubat (kembali kepada
Allah) maka itu baru awal dari hidayah (pemberian petunjuk), dan siapa yang tidak
mencari Allah (tidak bertaubat) maka mendzalimi dirinya sendiri.
Dialah yang memperlihatkan kepadamu ayat-ayat-Nya dan menurunkan kepadamu
rizki dari langit (jiwa). Dan tidak ada yang bisa mengambil pelajaran kecuali orang-
orang yang bertaubat(kembali). (Al-Mumin [40]: 13)
Dan sesungguhnya Aku menjadi Maha Pengampun bagi mereka yang bertaubat,
beriman, dan beramal shalih, kemudian atasnya petunjuk (Thaha [20]: 82).
Siapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang dzalim (Al-
Hujurat [49]: 11).
3. Apa Yang Tersentuh Oleh Psikologi Analitik
Seperti yang telah diulas tadi bahwa yang menarik dari psikologi analitik C.G. Jung
terutama konsep individuasinya, suatu proses menjadi diri sendiri atau realisasi diri.
Konsepsi ini dibangun Jung secara transpersonal dengan melibatkan khususnya
simbol-simbol religius dari mitologi-mitologi kuno dan terutama agama-agama Timur.
Wajar Jung memperoleh inspirasi individuasi ini dari simbol-simbol agama karena
tidak ada satu agama besar pun yang meluputkan aspek spiritual penemuan-diri. Aspek
batin dari setiap agama dalam upaya mencari kebenaran sejati dan kedekatan dengan
Sang Pencipta selalu melalui proses transformasi diri. Tidak ada satu kaum atau suatu
peradaban pun, baik besar maupun kecil, kecuali diturunkan di situ rasul-rasul-Nya
(Ibrahim [14]: 4), meski representasi ritualnya berbeda-beda tapi esensi dan tujuan
sejati dari setiap agama yang diturunkan Dia selalu sama. Proses pengenalan kepada
Tuhan selalu diawali dengan proses pengenalan-diri, bahkan tujuan pengetahuan itu
sendiri adalah untuk mengenal-diri.
Beberapa agama (terutama Hindu dan Buddha) terkadang sangat menonjolkan proses
transformasi kejiwaan ini, agama Kristen lebih menonjolkan oknum spiritualnya (Ruh
al-Quds), dan agama Islam menonjol dalam implementasi dharma; singkatnya tidak
ada satu agamapun (sepanjang berasal dari Sang Pencipta) kecuali membawa ajaran
terpenting, yaitu amr penemuan-diri [7]. Agama-agama itu berhubungan satu dengan
lainnya, dalam hal ini kitab-kitabnya, masing-masing memiliki peran yang berbeda
dan saling berkompelemen satu sama lain dan membentuk suatu bangunan utuh;
seperti diisyaratkan Nabi Muhammad SAW bahwa beliau merupakan batu-bata
terakhir yang melengkapi dan menggenapi Kabah, sementara batu-bata yang lain
dalam bangunan melambangkan Nabi-Nabi bagi umat-umat yang lain, agama telah
tertutup dan Islam adalah agama terakhir sebagai penyempurna.

11
Dan mereka yang beriman kepada (Kitab) yang telah diturunkan kepadamu dan
kepada (kitab-kitab) yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan
akhirat. (Al-Baqarah[2]:4)
Bagi Jung, kepribadian (personality) itu harus mencakup keseluruhan aspek sadar
(consciousness) dan tak sadar (unconsciousness) yang ada di dalam diri manusia,
maka jelas ego bukanlah perwakilan dari kepribadian total yang ia sebut sebagai
psyche. Dalam psikologinya, ego merupakan pusat bidang kesadaran sekaligus subjek
bidang kesadaran. Sebagai subjek, maka ia berfungsi aktif dalam menghubungkan isi-
isi psikis sehingga dapat disadari. Seluruh pengalaman kita menyangkut dunia luar
maupun dalam harus melalui ego agar disadari. Ego tidaklah mencakup seluruh bidang
kesadaran, ego hanyalah titik referensi bagi ruang tersebut. Jadi, ego merupakan
bagian dari kepribadian dan bukan seluruh kepribadian.
Menurut Jung, manusia dilahirkan dengan membawa ketotalan (wholeness), atau
dengan membawa potensi untuk menjadi total, dan tujuan akhir dari hidup setiap
manusia adalah untuk mencapai kondisi optimal dari ketotalan:
Personality is the supreme realization of the innate idiosyncrasy of a living being, it is
an act of high courage flung in the face of live, the absolute affirmation of all that
constitutes the individual, the most successful adaptation to the universal conditions of
existence coupled with the greatest possible freedom for self-determination. [8]

Jung mendefinisikan bahwa di dalam ruang ketaksadaran itu sendiri terdapat dua jenis
ketaksadaran, pertama ketaksadaran pribadi (personal unconscious), dan kedua adalah
ketaksadaran kolektif (collective unconscious).
Pengalaman-pengalaman yang ditekan (suppressed) atau berusaha dilupakan akan
mengendap di personal unconscious. Di dalam personal unconscious, segala apa yang
diendapkan tadi saling berinteraksi membentuk ide-ide baru, grup dari beberapa ide
bisa meng-cluster bersama membentuk apa yang oleh Jung disebut kompleks
(complex). Secara umum kompleks ini bersifat unconscious walaupun elemen-
elemennya dapat menjadi conscious sewaktu-waktu.
Adapun collective unconscious merupakan konsepsi yang kontroversial. Ini
merupakan cetak biru yang diwariskan bukan saja secara fisik (genetik) tapi juga
secara psikis.
The collective unconscious is composed of primordial images (thought-forms or
memory traces from our ancestral past) not only our human past but also our pre-
human, animal ancestry. [8]
Apa yang diwariskan bukan berupa memori-memori atau ide-ide spesifik, tapi lebih ke
prediposisi atau potensial-potensial dari ide-ide tertentu. Collective unconscious
mengandung hampir sejumlah tak terbatas citra-citra (images), atau bentuk-bentuk
pemikiran. Isi dari collective unconscious ini disebut Jung sebagai arketipe-arketipe

12
(archetypes). Jung mengidentifikasi dan mendeskripsikan banyak arketipe, misalkan:
ide kelahiran, ide kematian, ide kepahlawanan, ide iblis, ide Tuhan, ide orang bijak,
ide binatang, dan sebagainya. Di antara banyak arketipe, yang terpenting dalam
membentuk kepribadian dan tingkah laku adalah persona, anima dan animus (syzygy),
shadow, dan self.
Kondisi fisik seseorang yang tidak sesuai dengan harapan syahwatnya sering
mempengaruhi watak dan tingkah lakunya, sehingga membentuk kompleks baru yang
secara bawah sadar men-drive ego-nya semakin menjauhi self. Psikoanalisa Freud
banyak menganalisis dampak psikis dari persoalan ini. Bentuk fisik diturunkan secara
genetik dan problem psikis yang sama bisa terulang kembali, dan seterusnya. Tampak
terjadi interaksi dan konflik antara struktur internal yang masih gelap dalam psikologi
dengan faktor eksternal yang terukur, perwatakan dan tingkah laku manusia yang
terlihat lebih mencerminkan sisa-sisa perang di interface psikis atau di ego. Secara
psikologis, minimal ada tiga faktor yang berinteraksi yang produknya tampak di aspek
psikis, pertama faktor yang terkait fisik, kedua kondisi atau warna lingkungan
eksternal, dan ketiga faktor internal. Meski dampak psikisnya terukur, oknum dari
aspek psikis ini tampak lebih terletak di personal unconsious dan di batas antara sadar
dan tak sadar.

Sebagai catatan, menurut Jung terdapat dua aspek penting kepribadian yang bekerja di
level sadar (consiousness), attitudes dan functions. Attitudes, atau orientasi, secara
umum terbagi dua, yaitu ekstraversi (extaversion) dan introversi (introversion). Orang
yang bertipe ekstravert lebih dipengaruhi oleh dunia objektif, dunia di luar dirinya.
Orientasinya tertuju ke luar, ditentukan oleh lingkungannya, baik lingkungan sosial
maupun non-sosial. Sebaliknya, orang introvert lebih dipengaruhi oleh dunia subjektif,
yaitu dunia di dalam dirinya sendiri. Orientasinya ditentukan oleh faktor-faktor
subjektif. Menurut Jung, antara ekstraversi dan introversi terdapat hubungan yang
saling mengimbangi (kompensatoris). Tentang functions (fungsi jiwa), Jung
membagi empat, yaitu: thinking, feeling, sensing, dan intuiting.
Jika aspek genetik fisik itu diwariskan, apakah aspek psikis juga diwariskan? Apakah
aspek psikis seseorang beresonansi atau mempengaruhi struktur genetik sehingga
terwariskan? Secara fenomenologis karakter dan perwatakan seseorang bisa diprediksi
dari bentuk fisiknya. Dalam lingkup metafisika Timur, misalnya dalam konsepsi I
Ching (Kitab Perubahan) Taoisme dan Hindu, kepribadian seseorang bukan hanya
berinteraksi dengan bentuk fisiknya tetapi juga berhubungan dengan ruang dan waktu
tempat ia dilahirkan. Sekali lagi, yang menjadi kuncinya adalah pengetahuan tentang
struktur internal.
Gelapnya pengetahuan manusia tentang struktur internal dan lemahnya metode ilmiah
untuk melakukan pemetaan aspek ini memunculkan berbagai madzhab psikologi

13
kepribadian. Freud dan Jung menempatkan faktor internal ini sebagai lautan
ketaksadaran. Freud membuat hipotesis tentang id, dan ego lebih merupakan alat id
untuk menyalurkan hasrat-hasrat internal yang tak jelas bentuk dan sumbernya, ego
juga mengambil nilai-nilai eksternal untuk membangun superego agar kepribadian
totalnya bisa survive tanpa konflik. Meski gelap bagi Freud, tetapi ia sangat melihat
betapa besarnya pengaruh dari faktor internal ini.
Jung berani untuk melakukan pemetaan faktor internal ini dengan mengajukan
gagasan kontroversial collective unconscious. Dengan data fenomenologis yang lebih
terbuka, Jung membangun hipotesis ini dengan mencoba menyulam data-data
produk saintifik dengan aspek-aspek metafisik. Maka seperti halnya Freud, tentang
naluri-naluri (insting) hewani, arketipe shadow-nya Jung sangat mencerminkan
masuknya gagasan evolusi Darwin dan informasi-informasi ilmiah dari sains
zamannya, terutama fisika. Arketipe Jung sepintas mirip dengan pengetahuan
recollection dari alam idea-nya Plato[3], atau ilmu tashawwur-nya Ibnu Arabi (1165-
1240) yang berkaitan dengan alam khayal dari nafs. Tetapi konstruksi Jung tidak
menyentuh aspek nafs (soul) dalam arti yang sebenarnya, selain meletakkan data-data
fenomena spiritual dalam kerangka psikologi psikis.
Dalam paradigma tashawwuf, karena subjek pendidikan Ilahi adalah si nafs dan
konstruk jasad insan hanyalah perpanjangan atau bayangan terbatas dari nafs ini, maka
kepribadian si nafs tidak boleh terberangus oleh aspek jasadiah (tentara dzahir qalb),
juga oleh aspek psikis yang bertautan dengan tentara batin qalb. Kepribadian nafs
adalah kepribadian insan yang sebenarnya yang menjadi cermin bagi khazanah Ilahi,
maka ia harus bisa lepas dari kurungan syahwat dan hawa.
Dalam terminologi Al-Quran, nafs bukanlah kertas putih yang diturunkan, tapi
dalam dadanya telah membawa catatan amr yang mesti ia ejawantahkan, dan catatan
ini berkaitan dengan persoalan alam idea-nya Plato atau alam khayal-nya Ibnu Arabi.
Yang pasti terdapat hubungan antara pengetahuan bawaan si nafs dengan alam tempat
ia menjalankan dharma-nya. Fungsi alam syahadah adalah untuk memancing amr
yang tertulis dalam dada nafs itu keluar dan termanifestasi di tingkat amaliah jasad,
dan yang ia manifestasikan pada dasarnya perkara besar karena merupakan Harta
Terpendam Ilahi. Ini adalah amanah Ilahi yang sesungguhnya, dan proses menjadi
saksi Allah dalam arti yang haq. Dan apa yang disebut bakat atau kemampuan
seseorang secara psikologis hanyalah gaung dari urusan spesifik yang si nafs bawa.
Indra tubuh, ego dan aspek psikisnya, juga fikiran hanyalah alat bagi si nafs untuk
menjalankan urusannya. Apa yang Jung lihat secara fenomenologis dan ia definisikan
sebagai syzygy, atau aspek anima dan animus dalam pribadi manusia, juga berkaitan
dengan konsepsi ummul-kitab dan kitabul-mubin dari persoalan nafs dengan aql-nya.
Arketipe (archetype) yang terlibat langsung dalam proses individuasi atau realisasi diri
adalah self, dimana arketipe ini dengan aksi jarak jauhnya (fungsi transenden)

14
memotivasi ego untuk menjadi pribadi yang utuh, yang meliputi sisi sadar dan sisi tak
sadar. Fungsi transenden adalah fungsi kunci dalam proses individuasi dan merupakan
cara khas bagaimana arketipe self mulai mewujudkan diri. Fungsi transenden bekerja
lewat lambang-lambang, dimana lambang merupakan unsur paling pokok dalam
psikologi analitik, dan dengan cara seperti ini manusia mulai kontak dengan
ketaksadarannya (unconsciousness)[2]. Maka fenomenologi tentang self adalah
fenomenologi tentang lambang-lambang dari self. Menurut Jung, fungsi pokok dari
lambang adalah bahwa lambang menggabungkan yang sadar dan tak sadar sebagai
conjunxio oppositorum (perpaduan unsur-unsur yang berlawanan). Lambang adalah
sarana untuk mencapai tepi laut seberang (pantai yang lain). Lambang menunjuk ke
sesuatu yang belum dikenal yang untuk sementara tidak dapat diungkapkan kecuali
lewat lambang. Yang dititikberatkan Jung adalah bahwa lambang itu mengandung arah
waktu, menunjuk kepada proses-proses yang masih tersembunyi dan yang ingin
menjadi tampak dan terwujud.
Lambang paling istimewa bagi self adalah apa yang dalam bahasa Sanskerta disebut
mandala. Jung meneliti lambang-lambang ini selama hampir empat belas tahun,
sebelum ia memberanikan diri menafsirkannya. Jung melakukan penelitian-penelitian
ekstensif tentang mandala yang ia temukan di dalam semua kebudayaan, dalam
agama-agama Barat dan Timur, juga pada pasien-pasiennya, khususnya lambang-
lambang mandala ini muncul pada pasien-pasiennya yang berusia 40 tahun. Konstruk
mandala merupakan susunan konsentris dari bangun-bangun geometris, bisa berupa
bangun lingkaran-lingkaran konsentris, atau segiempat-segiempat konsentris, atau
perpaduannya.
Banyak kebudayaan arkais menunjukkan struktur mandala dalam tarian-tariannya,
upacara-upacara, bangunan-bangunan rumah, dan tempat-tempat religiusnya. Mandala
yang paling indah dan paling sempurna terdapat pada kebudayaan Timur, khususnya
dalam Buddhisme Tibet, juga pada candi-candi Hindu dan Buddha. Pada umumnya
pada pusat mandala terdapat tokoh-tokoh agama tertentu, seperti Siwa, Buddha, dan
Kristus. Jung berpendapat bahwa mandala mempunyai arti metafisis dan merupakan
simbol transformasi atau jendela menuju Keabadian. Karena mandala melambangkan
self, maka self, kata Jung, merupakan Imago Dei (Citra Tuhan).
Dalam dunia tashawwuf, konstruk mandala telah lazim dikenal oleh para Shufi,
bentuknya bisa berupa tujuh lingkaran konsentris, empat lingkaran konsentris atau
empat bujur sangkar konsentris, atau bisa lebih rumit dari itu. Tujuh lingkaran
melambangkan tujuh langit jiwa dengan titik pusatnya melambangkan Ruh al-Quds.
Empat lingkaran konsentris melambangkan tingkatan jiwa jasmaniah, jiwa ruhaniah,
jiwa rahmaniah, dan jiwa rabbaniah yang duduk di lantai keempat[12]. Makna
Rabbaniyah identik dengan makna Brahmana pada agama Hindu yang telah
mengalami pergeseran makna dari kasta (maqamat) kejiwaan menjadi kasta sosial.

15
Dalam dunia suluk, hanya tingkat Rabbaniyah yang bisa bertemu Ruh al-Quds tanpa
termusnahkan oleh kuat cahayanya [4].

Intinya, pusat mandala merupakan kutub alam semesta zamannya, seseorang yang
telah diperkuat dengan Ruh al-Quds di tingkat Rabbani dan memegang jabatan Quthb.
Dan seperti telah kita bahas bahwa manusia yang memenuhi struktur An-Nuur [24]:
35, artinya yang telah diperkuat dengan Ruh al-Quds, merupakan Citra Ar-Rahman.

Dari sini bisa ditarik kesimpulan bahwa self yang didefinisikan Jung tak lain adalah
nafs (jiwa, soul), ini berarti tidak semua self menyandang pangkat Imago Dei, kecuali
self yang sudah duduk di pusat mandala. Dan dengan terputusnya data agama,
konsepsi Jung tentang self berhenti di Imago Dei.
Konsepsi transformasi kejiwaan dalam khazanah Islam sebagai agama penyempurna,
bisa membantu membuka kembali arah dari persoalan ini dalam khazanah batin
agama-agama pra-Islam. Bagi Jung, gagasan individuasi bisa membantu memberi arah
pada terapi pasien-pasiennya, tapi simbol-simbol mandala yang dilihat dalam ruang
kesadaran (consious) pasien sebagai isyarat dari nafs atau self di ruang bawah sadar
(unconscious), menjanjikan suatu kesadaran dan kebahagiaan yang jauh lebih tinggi
dari apa yang Jung dan si pasien sadari. Metode terapi Jung tidak memadai untuk
memenuhi apa yang diseru dan dituntut oleh self, juga tidak memiliki perangkat ukur
untuk melihat tahapan-tahapan pengorbitan ego menuju self (nafs). Tetapi Jung
berpendapat benar bahwa kepribadian yang utuh terletak di self atau jiwa (nafs), dan
bukan di ego. Dan pengenalan atas nafs adalah awal pengenalan kepada Tuhan.
4. Status Kecerdasan Spiritual SQ
Seperti halnya dalam kasus psikologi analitik, SQ merupakan salah satu produk yang
mencerminkan samarnya pengetahuan manusia Barat tentang aspek internal manusia
yang terfokus di self atau nafs, dan SQ sendiri tampak dipengaruhi kuat konstruksi-
konstruksi C.G.Jung yang dibangun secara transpersonal. Seperti telah dibahas tadi
bahwa urusan yang dibawa setiap nafs berbeda satu dengan lainnya, maka potensi-
potensi yang Sang Pencipta berikan kepada tiap-tiap manusia yang meliputi seluruh
aspek lahir dan batinnya tidak pernah ada yang sama. Ada kaitan erat memang antara
bakat fisik manusia dengan amr jiwanya, karena memang si jasad tak lain merupakan
perpanjangan jiwanya, maka urusan si jiwa akan memanjang ke jasad.
Manusia itu dimudahkan atas suatu yang untuk itu ia dicipta. (Rasulullah SAW)
Carilah pekerjaan yang kamu tidak bekerja. (Confucius)
Manusia dimudahkan dalam jalannya masing-masing dan tidak diberi beban
melainkan apa yang mampu ia pikul, tapi ego manusia cenderung memilih jalan yang
justru ia menjadi bekerja keras di situ, tidak berjalan dengan energi minimalnya.
Bukankah alam semesta itu hadir/wujud dalam energi minimalnya? Dharma atau misi

16
hidup setiap manusia itu bekerja dalam energi minimalnya, dimudahkan untuk apa ia
dicipta. Gagasan Lao Tzu tentang jalan Tao adalah bicara tentang ini; dan alam
semesta hidup mengalir mengikuti sungai Tao, ini adalah tasbih, dan setiap insan
diwajibkan bertasbih. Hal yang sama demikian kentara dalam ajaran Zen (ordo
Buddha) dan Baghavad Gita (Veda Hindu) misalnya, demikian pula apa yang diseru
dalam setiap agama yang lain termasuk Islam.
Kalimah aslama konstruk dasar dari Al-Islam bermakna berserah-diri mengikuti
kehendak-Nya; kalimah sabaha konstruk dasar dari tasbih bermakna mengalirkan diri
atau menghanyutkan diri dalam sungai Kuasa-Nya. Jika manusia mengerjakan
dharma-nya, maka segala sesuatu yang menyangkut urusannya akan dimudahkan di
tangannya, dimana itu sulit bagi selain dirinya. Seperti sabda Rasulullah saw.:
Bila urusan diserahkan bukan pada ahlinya, maka tunggulah kehancurannya.
Swadharma setiap insan itu terkait dengan shirathal-mustaqiim-nya masing-masing.
Rabb yang dicari berada di atas jalan itu (Hud [11]: 56), dan yang menjadi kuncinya
ada dalam diri nafs-nya sendiri. Setiap manusia akan menemukan Tuhannya lewat
pintu jiwanya masing-masing, karena di dalam nafs terdapat Kuasa-Nya, Qudrah-Nya;
man arafa nafsahu fa qad arafa rabbahu. Jika manusia bertemu dharma-nya atau
kodrat-dirinya, maka kehidupannya dimudahkan. Ini adalah aqabah, jalan mendaki
lagi sukar, karena ia harus membebaskan diri dari perbudakan syahwat dan hawa
nafsunya. Jika ego manusia tunduk kepada kehendak Allah maka terbuka pintu
pengenalan ke nafs (self) nya, dan jika Ruh al-Quds telah Allah nyalakan di dalam
qalb si nafs maka terang apinya akan menampakkan amr si nafs yang tertulis dalam
dadanya.
Apa yang terdeteksi secara fisik berupa gelombang otak, cahaya aura, atau akumulasi
energi di cakra-cakra tubuh, berasal dari cahaya jasadi dan psikis, belum sampai
menyentuh ke cahaya jiwa (nafs). Fisik manusia dibangun dari material alam mulk,
nafs berasal dari alam malakut, dan aspek psikis manusia berasal dari entitas barzakh
antara kedua alam tadi. Cahaya dan energi psikis di atas merupakan permukaan dari
esensi cahaya nafs. Karena itu kesehatan yang bersifat fisik dan psikis semata akan
cukup tercermin di aura, cakra-cakra dan gelombang-gelombang otak tertentu.
Penyakit fisik datang dari pikiran yang tidak jernih. Dalam ajaran Buddha, pikiran
tidak akan jernih jika ada kekhawatiran, dan kekhawatiran itu datang dari hawa nafsu
dan syahwat. Pikiran itu terkait mind (fuad), dan Plato mengatakan bahwa hal
pertama yang harus dilakukan dalam terapi medis adalah memperbaiki mind-nya dan
cara berpikirnya lebih dahulu.
Pikiran yang tak jernih bisa mematikan qalb, dan jika qalb mati berarti qalb
kehilangan Cahaya Jabarut-nya dan ini berdampak lumpuhnya si nafs dalam diri
manusia. Jika nafs dalam diri manusia lumpuh maka lumpuh pula kekuatan amr dalam
dirinya, sehingga aksi fungsi transenden ke ruang kesadaran tidak terjadi. Orang yang

17
sehat qalb-nya dari dosa-dosa dan penyakit hati akan sehat pula nafs-nya, dan jika si
nafs sehat ia akan membimbing raga untuk menemukan obat bagi penyakit fisiknya,
dan ini perlu waktu:
Barang siapa sehat qalb-nya maka akan sehat jasmaninya (Rasulullah SAW).
Arah dari setiap agama itu pada hakikatnya adalah demi transformasi aspek batin.
Demikian pula dengan dharma insan yang bermakna mengerjakan urusan-urusan
dunia yang cocok dengan jiwanya agar tak terjadi konflik batin, dan kebersihan batin
yang jernih tanpa distorsi nafsu itu akan sangat berguna dalam melihat kebenaran
Ilahiah dan sekaligus membuka jalan. Berdharma artinya menyelamatkan qalb: jika
seseorang telah bekerja pada dharma-nya (pada orbitnya) maka di situ tidak ada
pertentangan antara mana urusan dunia dan mana urusan akhirat; semua menjadi
bermakna akhirat dan menyenangkan bathinnya. Orang yang menjalankan dharma-
nya, kebahagiaannya tidak bisa dinilai dari luar dirinya, apalagi diukur oleh kacamata
syahwat dan pikiran yang telah terbius oleh waham kelezatan duniawi. Orang bisa
memandang bahwa ia tengah bekerja keras dan menderita, padahal bagi dirinya
merupakan berkah dan kebahagiaan, bagi ia penderitaan hidup itu pada hakikatnya
tidak ada.
Dengan mengerjakan misi hidupnya atau qudrah dirinya (dharma yoga) maka qalb
orang itu terselamatkan dari penyakit fikiran, dan jika qalb selamat (qalbun salim) ia
akan melihat Tuhannya. Kata Al-Ghazali, satu-satunya perangkat dalam diri manusia
untuk ber-marifatullah adalah qalb-nya. Qalb adalah rasa si jiwa (nafs) dan bukan
rasa psikis (emosi) yang dapat tersentuh oleh observasi psikologis, ia adalah makhluk
ruhani. Lebih jauh Al-Ghazali berkata bahwa jika seseorang tidak mengenal qalb-nya
maka tidak akan mengenal nafs-nya; jika nafs tidak dikenal maka dharma tak dikenal;
jika dharma tak dijalankan maka terputus jalan untuk menuju Sang Pencipta; dan jika
ia terputus jalan maka kesadarannya tidak akan melampaui alam-alam, sehingga
kebijakan-kebijakan Ilahi dalam kehidupan semesta tak terpahami (oleh akal
bawahnya). Maka dikatakan Allah SWT bahwa hanya Ulul-Albaab (orang yang
memiliki akal jiwa/lubb) yang bisa memahami ayat-ayat-Nya, dan lubb itu tidak
menyala jika cahaya qalb padam.
Inteligensia atau kecerdasan fisik kekuatannya hanya menyentuh sejauh alam fisik.
Jika kita mencoba menggunakan kecerdasan fisik untuk menggeneralisasi atau
menginduksi imajinasi ke alam malakut, maka hal ini seperti nasib elemen-elemen
vektor yang jika dioperasikan bagaimanapun dengan hukum-hukum ruang vektor,
tidak akan melompat keluar dari ruang vektornya. Akibatnya pantai yang lain selalu
tak diketemukan. Kecerdasan bawah hanyalah bayangan dari kecerdasan jiwa
(kecerdasan atas) yang mestinya bisa dilahirkan dengan jalan mujahadah dalam
tazkiyyatun-nafs.
Lantas apa sebenarnya kecerdasan itu? Apa makna dari IQ, EQ, dan sekarang SQ?

18
Dan jika melihat struktur dasar manusia yang terdiri dari jasad, jiwa, dan Ruh al-Quds,
apakah seseorang bisa langsung mengklasifikasi adanya kecerdasan jasadi, kecerdasan
jiwa, dan kecerdasan Ruh al-Quds?
Menurut Ibnu Arabi dan beberapa shufi yang lainnya, bahwa alam semesta itu
mengenal Allah SWT, alam memahami status dirinya di depan Tuhan. Maka kita
melihat bahwa apa pun yang mewujud di alam syahadah ini memandang kepada Sang
Pewujud, ini sebuah kesadaran dan sebuah kecerdasan.
Sebenarnya yang membuat materi itu memiliki kecerdasan karena di dalam dirinya
hadir Kuasa Tuhan, sentuhan jari-Nya terhadap ain segala sesuatu itulah yang
membuat segala sesuatu menjadi memiliki wujud, baik di alam mulk ini, terlebih
wujud-wujud yang eksis di alam malakut. Maka semua yang Dia wujudkan akan
memiliki kecerdasan karena di dalam dirinya ada al-haq, bukankah hakikat segala
sesuatu itu al-haq? Secara fisis saja sebuah batu itu mati tampaknya, padahal jika
diteropong secara sub atomik maka tampak penuh dinamika, penuh kehidupan,
masing-masing partikel bergerak pada orbitnya, memiliki energi, mereka hidup dalam
dharma-nya masing-masing, mereka melihat kepada Penciptanya dan mereka
mengerjakan itu demi ridha-Nya. Secara fisika, hanya dalam suhu nol mutlak (nol
derajat Kelvin = -273 C) maka semua aktivitas terhenti, tapi adakah dimensi di situ?
Otak kita adalah materi yang secara intrinsik memiliki kecerdasan, tapi pada orang
yang mati (hilang ruh dan nafs-nya) apakah otaknya memiliki kecerdasan insani?
Seperti halnya pada binatang, yang membuat menjadi memiliki kecerdasan karena
adanya ruh hewani, tapi apakah seekor ternak memiliki kecerdasan insani yang kita
maksud?
Kecerdasan jasadiah sendiri pada dasarnya berasal dari cahaya nafs dalam tubuh jasad
yang bertemu dengan aspek ruh yang menghidupkan jasad. Pertemuan nafs yang
hidup dengan potensi kecerdasan lubb-nya dengan potensi kecerdasan lubb-nya
dengan tubuh yang memiliki ruh, selain melahirkan akal bawah juga melahirkan
sejumlah entitas yang lain dengan modus kecerdasan yang berbeda-beda.
Kecerdasan jiwa berkait erat dengan akal-jiwa (lubb) sebagai kecerdasan atas atau
akal atas. Apa yang terukur dengan IQ tidaklah berkaitan dengan akal ini melainkan
kecerdasan bawah belaka. Artinya jika jiwa atau nafs seseorang lumpuh karena dosa-
dosa menutup qalb, maka ia masih memiliki akal bawah. Adapun jika jiwa hidup
dan akalnya (lubb) sudah tumbuh, maka dikatakan orang tersebut hidup dengan dua
akal, sebagaimana psyche yang diberi lambang kupu-kupu bersayap dua, atau makna
dua sayap pada gambaran malaikat. Ilustrasi tentang dua akal ini juga bisa dikenali
dalam Suara Sayap Jibril, Suhrawardi Al-Maqtul [10].
Adapun makna kecerdasan Ruh al-Quds adalah di luar jangkauan makhluk karena
nisbatnya ke Martabat Ilahi. Antara Ruh al-Quds dengan ruh yang menghidupkan
jasad insan, perumpamaannya seperti perbandingan antara api dengan terangnya

19
(nyala api), atau ruh yang menghidupkan jasad bagaikan hanya hembusan nafas Ruh
al-Quds. Nabi Isa a.s. adalah seorang yang di dalam tubuhnya selain memiliki nafs
juga memiliki Ruh al-Quds, maka ketika ia membuat bentuk burung dari tanah liat
dengan tangannya, kemudian ia tiupkan melalui mulutnya nafas dari Ruh al-Quds,
maka jadilah burung itu hidup dan terbang. Hakikat dari spiritus ini bersifat metafisik
dan tak terukur, sementara dayanya tampil di dunia fenomena dalam bentuk-bentuk
yang tak terbatas.
Status spirit (ruh) yang samar dalam struktur manusia membawa dampak penyempitan
bahkan penyimpangan makna dari arti yang sesungguhnya. Ruh Al-Quds merupakan
oknum rahasia (sirr) Ilahi dalam diri manusia, yang tinggal di inti jiwa (nafs, soul), al-
insaanu sirriy wa Anaa sirruhu (Al-Hadits). Daya atau nafas dari Ruh Al-Quds yang
berdampak menghidupkan jasad (body) manusia kerap menimbulkan kebingungan
dalam mengidentifikasi yang mana jiwa dan yang mana ruh. Istilah nyawa dalam
literal masyarakat tidak lain adalah nafas dari sukma (ruh), dan kata arwah (ruh-ruh)
sering secara keliru dimaknai sebagai nafs (jiwa) yang akan diadili di alam Barzakh.
Ruh Al-Quds adalah ruh al-arwaah, yang nafasnya merupakan al-kimiya (alkemis)
yang menghidupkan jasad insan, suatu entitas yang pada prinsipnya sama dengan
entitas yang menghidupkan tubuh seekor kambing atau burung tanah Isa Al-Masih a.s.
Sementara istilah jiwa sering menyempit maknanya menjadi sekadar gejala-gejala
psikis.

Konsep Ruh Al-Quds dalam Al-Quran identik dengan konsep Holy Spirit (Holy
Ghost) dalam Bible, sebagai entitas yang hadir dari Alam Jabarut, dan ini sering
dipertukarkan dengan entitas yang hadir dari alam malakut tertinggi yaitu Jibril a.s.
sebagai Ruh Al-Amin (Asy-Syuaraa [26]: 193) yang membawa anugrah-anugrah
tertinggi bagi manusia.
Makna api sebagai pelita dalam An-Nuur [24]: 35 sama dengan makna kehadiran
lidah-lidah api di Hari Pentakosta dalam Perjanjian Baru (Kisah Para Rasul 2: 1-13)
yang membaptis dua-belas sahabat Isa Al-Masih a.s. sebagai para utusan bagi
kenabiannya, sesuai dengan yang beliau alaihis-salam janjikan (Yohanes 14: 15-17).
Apa yang dinisbatkan kepada martabat insan adalah aspek nafs dan jasadnya, adapun
sekali lagi, aspek Ar-Ruh bernisbat ke martabat Ilahi. Trilogi Tuhan, Ruh-Al-Quds,
dan an-nafs, menggambarkan turunnya (tanazzul) urusan Ilahi atas manusia-manusia
terpilih, dimana urusan (amr dharma) tersebut oleh Ruh Al-Quds dibawa dan
diletakkan di inti jiwa, bukan di aspek psikis terlebih di pikiran jasadiyyah.
Penggunaan istilah spiritual pada konstruksi SQ (Spiritual Quotient) sebagai suatu
ratio atau ukuran yang brain-based tampak menjadi paradoks, karena entitas spiritual
yang bersifat immaterial dan tak terbatas diukur oleh kecerdasan yang bersifat
material (neurological basis) dan terbatas.

20
Konsepsi self Jung berbeda dengan konsepsi self SQ. Jung meletakan self sebagai sub
ordinat manusia yang harus direalisasi, merupakan arketipe terpenting di kedalaman
unconsiousness yang harus disadari agar kepribadian total (psych) sebagai
kepribadian target menjadi terwujud. Adapun SQ meletakan self sebagai psych
yang hadir sejak awal dan terus-menerus melakukan penyempurnaan diri. SQ melihat
adanya paradoks dalam konsep individuasi Jung:
Jung after thought the Self only become accessible to people after the mid-life crisis.
At that point, in conjunction with his transcedent function, the self archetype
synthesized opposites in the personality, such as thinking and feeling. The Self
archetype and the transcendent function were the symbol and process of self-
transformation. But Jung thought self-transformation most appropriate to later life,
whereas associate it with spiritual intelligence and think it potentially active
throughout life. In terms very similar to what I have been saying about SQ, Jung felt
the Self archetype could not be dissociated from the psychologically integrating role
played by the pursuit of meaning and purpose in life.
Konsep self dan proses individuasi dalam psikologi analitik Jung secara umum sejalan
dengan proses realisasi-nafs (jiwa) dalam terminologi quraniyyah. Adalah wajar
terjadi kesesuaian karena Jung melakukan studi 14 tahun atas simbol mandala
berdasarkan literatur-literatur dimensi batin banyak agama, dimana faktanya Jung
menemukan bahwa simbol-simbol mandala ini sering muncul pada pasien-pasien yang
mengalami konflik batin (konflik jati-diri) pada usia 40-tahunan.
Al-Quran menyinggung ihwal pertumbuhan pribadi insan hingga baligh-nya dan ihwal
usia 40-tahunan, dimana manusia sudah harus melakukan proses taubat (Al-Ahqaaf
[46]: 15). Dengan proses taubat maka fitrah insani dalam arti yang haqiqi akan terbuka
(Ar-Ruum [30]: 30-31), dimana fitrah ini terkait dengan persoalan swabhawa-
swadharma dan qadha-qadar, dan ini terletak di nafs manusia yang harus direalisasi.
Jika manusia melupakan Allah SWT, atau menomorduakan urusan Tuhannya, maka
Dia akan membuat si manusia tersebut lupa akan nafsnya (Al-Hasyr [59]: 18-19), dan
lumpuhlah si nafs itu dari berkata-kata (nathiqah) ihwal fitrah dirinya padahal
kesaksian tentang perkara misi hidup ini telah diambil si nafs sebelum ia
dimasukkan ke rahim ibu (Al-Araaf [7]: 172).
Ibnu Arabi rahimahullah menyinggung ihwal usia 40 tahun ini ketika beliau
menafsirkan makna dari sapi betina yang tidak terlalu tua dan tidak terlalu muda,
dan yang berwarna kuning tua (Al-Baqarah [2]: 68-71):
Kuning tua adalah warna insan (Bani Israil, pada waktu itu). Yang dimaksud dengan
tidak terlalu tua artinya tidak melewati umur kesiapan (istidaad), karena si nafs telah
terpadati oleh waham-waham, kebiasaan-kebiasaan, dan keyakinan-keyakinan lama
yang melekat kuat, sebagaimana dikatakan bahwa seorang shufi di atas 40 tahun telah
dingin. Juga tidak terlalu muda, artinya masih belum matang dan belum memiliki

21
kesiapan, masih sulit untuk mendapatkan didikan yang ada dalam riyadhah karena
tabiat keanakan masih melekat kuat dalam dirinya.[11]
Seperti telah dibahas, bahwa Jung tidak berani melakukan identifikasi psikologis lebih
lanjut atas selfnya kecuali menyematkan pangkat paripurna terhadap self sebagai
Imago Dei. Jung kehilangan elemen penghubung yang mengkaitkan antara self
sebagai makhluk dengan Dei (Tuhan) sebagai pencipta self. Meskipun Jung menunjuk
figur Kristus dan Buddha sebagai contoh dari Imago Dei, ia tidak menemukan
konsepsi yang menghubungkan status holy Spirit dengan self dan Tuhan. Di titik ini
proses-proses rekonstruksi tentang hakikat manusia menjadi terhenti ketika data-
data agama yang digunakannya dalam proses analisis-sintesis, terbatas. Jika struktur
insan sebagai Cahaya Ilahi, atau struktur status yang menampakkan rahasia Ilahi
tidak dipahami, maka persoalan hubungan spirit-self dan psikis-self menjadi tidak
jelas. Samarnya persoalan ini pada konstruksi SQ menimbulkan paradoks seperti
kalimat spiritual intelligence is the souls intelligence sementara pengukuran-
pengukuran dilakukan di tingkat psikis bukan di fundamennya.
Zohar dan Marshall menggunakan mandala teratai atau lotus sebagai model bagi self,
di mana dalam filsafat Timur lotus merupakan lambang integrasi, simbol tertinggi dari
ketotalan (wholeness). Mereka mengklaim bahwa esensi dari SQ yang mereka
konstruk merupakan kecerdasan tertinggi (the ultimate intelligence) yang
merepresentasikan suatu dinamika pencapaian ketotalan self. Konsepsi SQ membagi
self kedalam tiga bagian (tiga lapis) mandala lotus :
(1) Lapis terluar dari self (outer petals) mereka identifikasi berdasarkan pemahaman
barat modern, yaitu dalam persepektif ego sadar (conscious ego). Cara pandang ego
yang bersifat rasional dikaitkan dengan tract-tract neural otak dan program-program
yang bersifat serial. Pada prinsipnya, lapis terluar ini mereka identifikasi dengan
attitudes dan functions psikologi analitik Jung, dan enam tipe kepribadian dari
psikolog Amerika J.L.Holland.
(2) Lapis menengah lotus (lapis transisi) merupakan associative unconscious yang
dihubungkan dengan konsepsi Jung tentang personal dan collective unconscious.
Mereka menghubungkan aspek ini dengan geometri paralel dari jaringan neural otak,
suatu proses pemahaman yang tidak berfikir secara rasional. Adapun faktor
penghubung antara lapis terluar self (conscious ego) dengan associative middle
(unconsciousness) adalah motivasi. Ego tidak bisa memperbaiki dan mentransformasi
dirinya sendiri, ego merupakan sumber daya bagi lapis terdalam ketaksadaran. Bagi
mereka, proses transformasi ego terjadi melalui energi psikis, dimana energi ini terkait
dengan konsentrasi energi di cakra-cakra tubuh dalam konsepsi Yoga Kundalini
Hindu. Energi psikis ini merespons motivasi-motivasi personal. Maka motif-motif
menjadi elemen penting dalam membangkitkan kecerdasan spiritual SQ. Cakra-cakra
energi ini juga menghubungkan lapisan unconscious dengan pusat (centre) terdalam

22
dari self. Lapis menengah ini merupakan kolam motif-motif, energi-energi, citra-citra,
asosiasi-asosiasi, dan arketipe-arketipe yang mempengaruhi pola pikir, kepribadian,
dan tingkah laku, dari arah dalam. Bagi mereka , lingkup ego berkaitan dengan IQ
dan bagaimana cara kita mengidentifikasi sesuatu. Adapun lingkup associative middle
berkaitan dengan EQ dan bagaimana cara kita merasakan sesuatu.
(3) Bagian pusat dari lotus disebut bud. Pusat dari self ini merupakan fokus utama
dari konstruksi SQ, karena berkaitan dengan pengalaman-pengalaman tentang
penyatuan realitas-realitas. Pengalaman-pengalaman tersebut, menurut Zohar dan
Marshall, berkaitan dengan hadirnya osilasi simultan 40 Hz yang melintas di neural-
neural otak, dimana osilasi pada frekuensi ini berfungsi menyatukan pikiran-pikiran,
emosi-emosi, simbol-simbol, asosiasi-asosiasi, dan persepsi-persepsi, sehingga self
dalam kondisi terintegrasi. Menurut mereka, berdasarkan seluruh tradisi-tradisi mistik
Timur dan Barat, bahwa ada aspek self yang berada diluar lingkup bentuk-bentuk, ini
disebut sebagai sumber (source), atau Tuhan. Segala apa yang manifest di self-SQ,
baik itu berwujud fisik maupun psikis yang tak disadari, berasal dari suatu sumber
yang berada di balik semua yang manifest. Sumber ini dalam kerangka sains abad
duapuluh dikaitkan dengan Quantum Vacuum yang merupakan ground state dari
energi alam semesta. Secara fisika kuantum, self merupakan ko-sumber dari segala
yang manifes di realitas fisik.

Apa yang Zohar dan Marshall sebut sebagai kecerdasan spiritual (SQ) adalah suatu
status kecerdasan manusia ketika ketiga aspek dari self tersebut (ego,
unconsciousness, dan centre) mengalami integrasi dan menyatu secara psikis. Bagi
mereka, pengetahuan tentang pusat self merupakan kunci untuk membangkitkan dan
menggunakan SQ, sebaliknya ketidakmengenalan ihwal pusat ini merupakan sebab
utama dari ketumpulan spiritual. Dan, proses individuasi Jung yang bernuansa
spiritual merupakan tujuan dari SQ. Energi psikis terdalam dari pusat lotus berkaitan
dengan Cakra Hindu ke-tujuh, cakra mahkota:
The Crown Chakra, located outside the body, above the head, it is often depicted in
religious paintings of the Western tradition as halo. It is pure, luminous energy, sheer
light, one light, beyond names and forms, beyond thought and experience, beyond
even concepts of being and non-being. Represented by a thousand-petalled lotus
shedding rays of lunar light, the crown chakra realizes the pure union of the human
soul with whatever we call God.
Thought the energies of the crown chakra can create new symbols and forms, this
chakra itself is beyond all existing symbol and form. We can experience this pure
energy in spontaneous mystical experience of Unity, and it is very commonly reported
in near death experiences. Dante describes such an experience in his Paradiso.( [9],
p.158 )

23
Sebenarnya yang terobservasi secara fisik berupa cakra mahkota dan aura tubuh masih
terkait sirkulasi chi (Qi) tubuh yang sangat dipengaruhi dan dikendalikan oleh jalan
pikiran jasadiah. Aura masih dalam lingkup cahaya material jasad yang teramplifikasi,
karena itu wajar jika konsentrasi energi cakra-cakra tubuh akan terintensifikasi oleh
emosi-emosi. Jadi cakra mahkota belum menyentuh cahaya jiwa (nafs) yang
sebenarnya, yang bersifat malakut. Dalam ajaran Budhisme Zen, bahwa pusat
terdalam dari lotus merupakan suatu tempat diluar kemungkinan apapun yang bisa kita
bayangkan (a place beyond all imagining).
Makna pusat spiritual dari mandala lotus Zen semakin dipersempit lagi ketika diukur
berdasarkan basis neurologi. Dalam membangun model selfnya, Zohar & Marshall
memaksakan suatu identifikasi sains atas atribut-atribut dan entitas metafisika atau
malakut.
I believe this fuller model of self can be described only by combining the insights of
modern Western psychology, those of the Eastern philosophies, and many from
twentieth century science, ( [9], p.124)
Until the late twentieth century only this kind of language desribed the unitive energy
found at the centre of the self and of the existence. But such accounts dont speak to
the modern mind. Today such questions demand scientific answers, brain phenomena
that we can weight and measure, experiments that we can read about.
Neurologically, that the brains unitive experience emanates from synchronous 40 Hz
neural ascillations that travel across the whole brain. They provide a pond or
background on which more excited brain waves can ripple, to generate the rich
panoply of our conscious and unconscious mental experience. These oscillations are
the centre of the self, the neurological source from which I emerge. They are the
neurological ground of our unifying, contextualizing, transforming spiritual
intelligence. It is through these oscillations that we place our experience within a
framework of meaning and value, and determine a purpose for our lives. They are a
unifying source of psychic energy running through all our disparate mental experience
([9], p. 159)
For the physics that best describes the centre of the cosmos we must turn to quantum
field theory, the late twentieth century adaptation of quantum physics. Quantum field
theory describes all existing things as being states or patterns of dynamic, oscillating
energy. The grounds state of all being is a still ocean or background state of
unexcited energy called the quantum vacuum.
This vacuum is scientific version of the Buddhas handkerchief, the One Thing which,
when tied into many knots, appears as many manifestations. All things that exist are
excitations of the quantum vacuum, and the vacuum therefore exists as the centre
within all things. Vacuum energy both underlies and permeates the cosmos. Because
we ourselves are a part of this cosmos, vacuum energy ultimately underlies and

24
permeates the self. We are waves on the ocean of the vacuum; the vacuum is the
ultimate centre and source of the self. When the self is trully centred, it is centred in
the gorund of all being. On our lotus of the Self diagram, the quantum vacuum is the
mud out of which the stem of the lotus grows. ([9], p. 160).
5. Resume dan Kesimpulan
Terapi-terapi klinis dalam lingkup psikologi Barat lebih banyak bergerak di tingkat
ego, umumnya mencoba untuk menata gejala-gejala psikis di tingkat fenomenal bukan
di sumbernya. Sumber penyakit psikis merupakan medan kontinum yang dibangun
oleh dua kutub, kutub atas berpusat di ego sadar dan kutub bawah berpusat di dasar
ketaksadaran yang paling dalam. Dua kutub ini saling menginduksi sehingga
cenderung saling menguatkan dan saling membesarkan satu sama lain. Beberapa alat
psikologi modern mencoba merecall sumber-sumber penyakit psikis dari kedalaman
ketaksadaran. Freud dan Jung menyadari dan melihat bahwa kekuatan penghancur
terbesar justru berasal dari sumber-sumber tertentu di kedalaman ketaksadaran.
Samarnya pengetahuan tentang struktur manusia di peradaban Barat modern
mengakibatkan para psikolog Barat hingga dewasa ini belum mampu merumuskan
konsepsi terapi di tingkat bawah sadar. Apa yang menjadi sumber penyakit di
kedalaman ketaksadaran merupakan konstruksi dari produk interaksi antara
kontaminan-kontaminan yang ditenggelamkan ego ke lautan ketaksadaran dengan
daya dari memori psikis tertentu yang dibawa jiwa (nafs). Jung mengaitkan memori
psikis ini terutama dengan arketipe shadow, meskipun Freud tidak setuju dengan
gagasan Jung tentang collective unconscious tapi ia setuju dengan ide racial memory.
Konsep fitrah dalam Al-Quran bukan berarti setiap bayi seperti kertas putih yang
sama, mereka memang tidak mewarisi dosa tetapi daya-daya psikis orang tuanya
secara potensial di bawa si bayi. Kondisi psikis kedua orang tuanya saat terjadi
pembuahan hingga pertumbuhan janin di rahim si ibu diwariskan di lapis psikis si
bayi. Struktur genetik (material) akan beresonansi dengan fluktuasi psikis dan pikiran
(non material), elemen penghubung sisi material dengan non material dalam hal ini
adalah entitas chi dan cahaya material. Sebagai catatan, cahaya material (terkait aura
tubuh) merupakan elemen kelima (the fifth elemen) produk penyatuan keempat
elemen dasar (tanah, api, air, udara) oleh nafas ruh. Dan apa yang disebut fitrah itu
sendiri, seperti telah kita bahas, berkaitan dengan swabhawa si nafs.
Aspek olah jiwa (suluk) atau dimensi batin dari agama-agama sebenarnya untuk
tujuan transformasi dari arah dalam, mengubah sayyiah-sayyiah menjadi hasanah-
hasanah (Al-Furqaan [25]: 70-71). Apa yang disebut dengan kecerdasan, di tingkat
apapun merupakan produk dari transformasi-transformasi diri, terutama transformasi
jiwa. Dalam konsep Al-Quran, kecerdasan seseorang dalam suatu lingkup dharma
berbanding lurus dengan tingkat kesucian jiwa yang diperoleh lewat jalan taubat (Al-
Mumin [40]: 13). Jika jiwa tumbuh maka akal jiwa (lubb) akan tumbuh juga,

25
sehingga hiduplah akal luar dan akal dalamnya, sejalan dengan apa yang dikatakan
Rasulullah SAW:
Jika seorang manusia berbuat dosa maka akan hilanglah sebagian akalnya dan tak
kembali lagi untuk selama-lamanya (Al-Hadits)
Menurut Zohar dan Marshall, adalah tidak mungkin untuk dapat memahami secara
dalam ihwal kecerdasan spiritual (SQ) tanpa meninjau isu-isu seperti: Where do we
come from? What is our origin in time? How big is the story of which we are a part?
What are we rooted in? How long do we last? Where are the ultimate boundaries of
our human existence? What is the source of our intelligence? ([9], p. 115). Mereka
membangun model self (versi SQ) yang diharapkan bisa paralel dengan isu-isu di atas.
Kecerobohan terjadi ketika mereka mengidentifikasi entitas pusat (centre) dari self
dengan quantum vacuum.
Keadaan vakum merupakan lautan energi dasar yang berkaitan dengan manisfestasi
dan kristalisasi wujud-wujud di alam syahadah (mulk) sebagai realitas-realitas
eksternal, boleh dikatakan sebagai hakikat dari segala apa yang manifes secara fisik
(alam semesta fisik). Sementara hakikat dari jiwa (nafs atau self dalam arti yang
sebenarnya) merupakan quantum vacuum yang terletak di alam malakut, bukan di
alam mulk. Simbol lotus dalam terminologi Zen merupakan sumber dari segala yang
manifes, mencakup seluruh langit dan bumi.
Dalam konsepsi agama, yang disebut dengan semesta alam mencakup jabarut,
malakut, dan mulk. Bunga lotus melambangkan manifestasi malakut dan mulk sebagai
aspek yang tampak, sementara aspek tak tampaknya berupa air yang mengalir di
dalam tubuh lotus, melambangkan alam jabarut yang bernisbat ke Martabat Ilahi.
Pusat dari lotus merupakan aspek langit atau aspek malakut yang memang
berhadap-hadapan dan dipasangkan dengan aspek bumi atau aspek fisik. Dan yang
disebut dengan Tao oleh Lao Tzu dalam Kitab Tao Tee Ching merupakan aliran
Hukum Ilahi yang menganak sungai alam semesta dan sekaligus mengsinkronkan
antara hukum-hukum yang bekerja di alam malakut dengan hukum-hukum yang
bekerja di alam fisik. Dan tampaklah bahwa segala sesuatu yang manifes di alam fisik
merupakan fraktal dari persoalan langit dan bumi, perempuan dan laki-laki, yin dan
yang.
Jika isu-isu yang dikemukakan Zohar dan Marshall diatas sebagai syarat untuk
membangkitkan kecerdasan spiritual (SQ), maka sains yang hanya menyentuh alam
fisik secara terbatas tidak bisa berbuat banyak. Isu-isu yang diangkat tersebut hanya
bisa dijawab sepenuhnya oleh dimensi batin agama, dan ini memerlukan kesucian
batin berdasarkan rahmat Allah SWT, karena sisi batin agama atau aspek batin dari
kitab-kitab agama termasuk Al-Quran tidak akan tersentuh kecuali dengan kebersihan
jiwa.
Itu adalah Al-Quran yang Mulia, di dalam Kitab yang terpelihara, tidak ada yang

26
bisa menyentuhnya kecuali orang-orang yang dibersihkan (al-muthaharun) (Al-
Waqiah [56]: 77-79).
Arti dari dvijottama atau dwi-jati-utama dalam Bhagavad-Gita adalah jiwa yang telah
dilahirkan dua kali, yang pertama dilahirkan secara jasmani dan yang kedua secara
ruhani. Dalam kultur Hindu, hanya orang yang telah mengalami kelahiran dua kali
yang diizinkan membaca kitab suci Weda, dan tujuan pendidikan dalam agama Hindu
adalah upaya ke arah penghidupan batin. Nabi Isa Al-Masih a.s. dalam Injil Barnabas
juga menyinggung ihwal dua kelahiran tersebut.
Dalam konsepsi Islam, si nafs dilahirkan atau dihadirkan ke alam fisik secara virtual
reality melalui jasmaninya, dan kelak si nafs harus mengejawantahkan atau
melahirkan isi ruhaninya. Isi ruhani yang harus diejawantahkan hingga ke tingkat
jasmani ini merupakan dharma atau amal shalih si nafs (jiwa) yang sesuai dengan
Kehendak-Nya. Aspek ruhani ini merupakan ketetapan jiwa yang diperkuat oleh Ruh
Al-Quds sebagai utusan Allah SWT di dalam diri. Dan Ar-Ruh ini yang akan
mengajari insan tersebut tentang kebenaran dan hakikat-hakikat dari Kitabullah[12].
Tidak memuat-Ku langit-Ku dan bumi-Ku, yang memuat-Ku hanyalah qalb hamba-
hamba-Ku yang mumin (Hadits Qudsi).
Kerajaan Tuhan ada di dalam dirimu (Al-Masih a.s.).
Daud a.s. dikatakan sebagai seorang yang berhati Tuhan, beberapa kutipan dari
Mazmurnya sebagai berikut:
Aku memuji Tuhan yang telah memberi nasihat kepadaku, bahkan di waktu malam
hati nuraniku mengajari aku. Aku senantiasa memandang Tuhan, karena Ia berdiri di
sebelah kananku (Mazmur 16: 7-8).
Karena Engkaulah yang telah membuat pelitaku menjadi menyala (Mazmur 18: 29).
Dia akan memunculkan kebenaranmu seperti terang dan hakmu seperti siang
(Mazmur 37: 6).
Pengetahuan tentang Ar-Ruh ini sedikit dipahami karena berkaitan dengan alam Amr
di Martabat Ilahi, dan rahasia ihwal perkara ini di alam syahadah (fisik) tidak banyak
dibuka.
Dan oknum spiritus ini, ketika struktur manusia tidak dipahami, sering menjadi
sumber kekacauan utama dalam proses identifikasi manusia, baik itu dalam lingkup
filsafat, psikologi, maupun dimensi luar dari agama. Seperti berenang ke dalam laut
yang dalam untuk mencari sebab air laut pasang dan surut, sementara rembulan, sang
fungsi transenden, tak tampak.
Tiap-tiap sesuatu bekerja menurut caranya (orbitnya) masing-masing, maka Rabbmu
mengetahui siapa-siapa yang terpimpin jalannya (huwa ahda sabiila). Dan mereka
bertanya kepadamu ihwal Ar-Ruh, katakanlah bahwa Ar-Ruh itu dari amr Rabbku, dan
tidak kamu diberi pengetahuan tentang ini kecuali sedikit (Al-Israa [17]: 84-85).
Dari ayat di atas, jelas bahwa aspek Ar-Ruh atau Ruh Al-Quds (Holy Spirit)

27
dihubungkan dengan orbit diri atau misi hidup tiap-tiap insan yang unik satu sama
lain. Dan rahasia dari Ar-Ruh ini terletak di nafs, dan seperti Al-Ghazali katakan
bahwa jika qalb tak dikenal maka nafs tak dikenal. Siapa yang seolah-olah melupakan
Allah, maka Allah buat dia lupa akan nafsnya, sehingga tertutuplah jalan untuk
mengenal Dia. Barang siapa tidak mengenal nafsnya maka ia tidak akan mengenal
Tuhannya.[]
Referensi
[1] Koswara, E., (1991). Teori-teori Kepribadian. Eresco, Bandung.
[2] Jung, C.G., (1987). Menjadi Diri Sendiri, Pendekatan Psikologi Analitis.
Terjemahan A. Cremers, Gramedia, Jakarta.
[3] Adlin, A., dan I. Suryolaksono, (2000). Reduksi Konsepsi Manusia: Tinjauan
Umum Pada Era Pramodernisme, Modernisme, dan Postmodernisme. Journal of
Psych, 1, 15-50.
[4] Jamaluddin-T., Z.A., (1992). Catatan Kuliah Serambi Suluk. PICTS-YPP,
Bandung.
[5] Al-Ghazali, (1985). Kitab Ajaibul Qulub, Ihya Ulumuddin, Terjemah Ismail
Yaqub, Faizan, Jakarta.
[6] Jamaluddin-T., Z.A., (1997). Misykat Cahaya-cahaya. PICTS-YPP, Bandung.
[7] Jamaluddin-T., Z.A., (1994). Mata Air Agama-agama. PICTS-YPP, Bandung.
[8] Hall, C.S., dan G. Lindzey, (1985). Theories of Personality. John Willey & Sons,
New York.
[9] Zohar, D., dan I. Marshall, (2000). SQ, Spiritual Intelligence, The Ultimate
Intelligence. Bloomsbury, London.
[10] Suhrawardi, S.Y., (1992). Hikayat-hikayat Mistis Suhrawardi Al-Maqtul.
Terjemahan Mizan, Bandung.
[11] Tafsir Al-Quran Ibnu Arabi.
[12] Sastra Jendra, PICTS-YPP, Bandung.

28

Anda mungkin juga menyukai