Anda di halaman 1dari 26

Ortotik Prostetik

Tidak hanya mengenal ilmu-ilmu kesehatan tetapi juga ilmu teknik. dan unsur penting
dalam bidang ortotik prostetik adalah "ART"

Rabu, 06 Mei 2009


Konsepsi Manusia dalam psikoanalisis
Sigmund Freud, pendiri psikoanalisis, adalah orang yang pertama berusaha merumuskan
psikologi manusia. Ia memfokuskan perhatiannya pada totalitas kepribadian manusia, bukan
pada bagian-bagian yang terpisah (Asch, 1959\; 17). Menurut Freud, perilaku manusia
merupakan hasil interaksi tiga subsistem dalam kepribadian manusia Id, Ego dan Superego.
Id adalah bagian kepribadian yang menyimpan dorongan-dorongan biologis manusia—pusat
instink (hawa nafsu—dalam kamus agama). Ada dua instink dominan: (1) Libido—instink
reproduktif yang menyediakan energi dasar untuk kegiatan-kegiatan manusia yang konstruktif;
(2) Thanatosos—instink destruktif dan agresif. Yang pertama disebut juga instink kehidupan
(eros), yang dalam konsep freud bukan hanya meliputi dorongan seksual, tetapi juga semua yang
mendatangkan kenikmatan termasuk kasih ibu, pemujaan pada Tuhan, dan cinta diri (narcism).
Semua motif manusia adalah gabungan antara eros dan thanatos. Id bergerak berdasarkan
prinsip kesenangan (pleasure principle), ingin segera memenuhi keinginannya. Id bersifat
egoistis, tidak bermoral dan tidak mau tahu dengan kenyataan. Id adalah tabiat hewani manusia.
Subsistem yang kedua—ego—berfungsi menjembatani tuntutan id dengan realitas dunia luar.
Ego adalah mediator antara hasrat-hasrat hewani dengan tuntutan rasional dan realistik. Ego-lah
yang menyebabkan manusia mampu menundukan hasrat hewaninya. Ia bergerak berdasarkan
prinsip realitas (reality principle).
Superego adalah polisi kepribadian, mewakili yang ideal.Superego adalah hati nurani
(conscience) yang merupakan internalisasi dari norma-norma sosial dan kultural masyarakatnya.
Ia memaksa ego untuk menekan hasrat-hasrat yang tak berlainan ke alam bawah sadar.
Secara singkat, dalam psikoanalisis perilaku manusia merupakan interaksi antara komponen
biologis (Id), komponen psikologis (ego), dan komponen sosial (superego); atau unsur animal,
rasional, dan moral (hewani, akali, dan nilai).

Konsepsi Manusia dalam Behaviorisme


Behaviorisme lahir sebagai reaksi terhadap intropeksionisme (yang menganalisa jiwa manusia
berdasarkan laporan-laporan subyektif) dan juga psikoanalisis (yang berbicara alam bawah sadar
yang tidak tampak). Behaviorisme ingin menganalisa hanya perilaku yang nampak saja,
behaviorisme lebih dikenal dengan nama teori belajar, karena menurut mereka seluruh perilaku
manusia—kecuali instink—adalah hasil belajar. Belajar artinya perubahan perilaku organisme
sebagai pengaruh lingkungan. Behaviorisme tidak mau mempersoalkan apakah manusia baik
atau jelek, rasional atau emosional; behaviorisme hanya ingin mengetahui sebagaimana
perilakunya dikendalikan oleh faktor-faktor lingkungan.

PRINSIP DASAR BEHAVIORISME

Perilaku nyata dan terukur memiliki makna tersendiri, bukan sebagai perwujudan dari jiwa atau
mental yang abstrak
Aspek mental dari kesadaran yang tidak memiliki bentuk fisik adalah pseudo problem untuk
sciene, harus dihindari.
Penganjur utama adalah Watson : overt, observable behavior, adalah satu-satunya subyek yang
sah dari ilmu psikologi yang benar.
Dalam perkembangannya, pandangan Watson yang ekstrem ini dikembangkan lagi oleh para
behaviorist dengan memperluas ruang lingkup studi behaviorisme dan akhirnya pandangan
behaviorisme juga menjadi tidak seekstrem Watson, dengan mengikutsertakan faktor-faktor
internal juga, meskipun fokus pada overt behavior tetap terjadi.

Manusia dalam Konsepsi Psikologi Humanistik


Psikologi humanistik dianggap sebagai revolusi ketiga dalam psikologi. Revolusi pertama dan
kedua adalah psikoanalisis dan behaviorisme. Pada behaviorisme manusia hanyalah mesin yang
dibentuk lingkungan, pada psikoanalisis manusia selalu dipengaruhi oleh naluri primitifnya.
Dalam pandangan behaviorisme manusia menjadi robot tanpa jiwa, tanpa nilai. Dalam
psikoanalisis, seperti kata Freud sendiri, “we see a man as a savage, beast” (1930:86).
Keduanya tidak menghormati manusia sebagai manusia. Keduanya tidak dapat menjelaskan
aspek eksistensi manusia yang positif dan menentukan, seperti cinta, kreativitas, nilai, makna,
dan pertumbuhan pribadi. Inilah yang diisi oleh psikologi humanistik. “Humanistic psychology’is
not just the study of ‘human being- it is a commitment to human becoming, “tulis Floyd W. Matson
(1973:19) yang agak sukar diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
Psikologi humanistik mengambil banyak dari psikoanalisis NeoFreudian (sebenarnya Anti-
Freudian) seperti Adler, Jung, Rank, Slekel, Ferenczi; tetapi lebih banyak lagi mengambil dari
fenomenologi dan eksistensialisme. Fenomenologi memandang manusia hidup dalam “dunia
kehidupan” yang dipersepsi dan diinterpretasi secara subyektif. Setiap , orang mengalami dunia
dengan caranya sendiri. “Alam pengalaman setia orang berbeda dari alam pengalaman orang
lain.” (Brouwer, 1983:14 Fenomenologi banyak mempengaruhi tulisan-tulisan Carl Rogers, yang
boleh disebut sebagai-_Bapak Psikologi Humanistik.
Carl Rogers menggarisbesarkan pandangan Humanisme sebagai berikut (kita pinjam dengan
sedikit perubahan dari Coleman dan Hammen, 1974:33):
1) Setiap manusia hidup dalam dunia pengalaman yang bersifat pribadi di marxa dia — sang
Aku, Ku, atau diriku (the I, me, or myself) - menjadi, pusat: Perilaku manusia berpusat pada
konsep diri, yaitu persepsi rnanusia tentang identitas dirinya yang bersifat fleksibel dan berubah-
ubah, yang muncul dari suatu medan fenomenal (phenomenal field). Medan keseluruhan
pengalarnan subjektif seorang manusia, yang terdiri dari pengalaman-pengalaman Aku dan Ku
dan pengalaman yang “bukan aku”.
2) Manusia berperilaku untuk~mempertahankan, meningkatkan, dan mengaktualisasikan diri.
3) individu bereaksi pada situasi sesuai dengdn persepsi tentang dirinya— ia bereaksi pada
“realitas” seperti yang dipersepsikan olehnya dan dengan cara yang sesuai dengan konsep
dirinya.
4) Anggapan adanya ancaman terhadap diri akan diikuti oleh pertahanan diri — berupa
penyempitan dan pengkakuan (rigidification) persepsi dan perilaku penyesuaian serta
penggunaan mekanisme pertahanan ego seperti rasionalisasi.
5) Kecenderungan batiniah manusia ialah menuju kesehatan dan keutuhan diri. Dalam kor.disi
yang normal ia berperilaku rasional dan konstruktif, serta rnemilih jalan menuju pengembangan
dan aktualisasi diri.
Konsepsi Manusia dalam psikoanalisis
Sigmund Freud, pendiri psikoanalisis, adalah orang yang pertama berusaha merumuskan
psikologi manusia. Ia memfokuskan perhatiannya pada totalitas kepribadian manusia, bukan
pada bagian-bagian yang terpisah (Asch, 1959\; 17). Menurut Freud, perilaku manusia
merupakan hasil interaksi tiga subsistem dalam kepribadian manusia Id, Ego dan Superego.
Id adalah bagian kepribadian yang menyimpan dorongan-dorongan biologis manusia—pusat
instink (hawa nafsu—dalam kamus agama). Ada dua instink dominan: (1) Libido—instink
reproduktif yang menyediakan energi dasar untuk kegiatan-kegiatan manusia yang konstruktif;
(2) Thanatosos—instink destruktif dan agresif. Yang pertama disebut juga instink kehidupan
(eros), yang dalam konsep freud bukan hanya meliputi dorongan seksual, tetapi juga semua yang
mendatangkan kenikmatan termasuk kasih ibu, pemujaan pada Tuhan, dan cinta diri (narcism).
Semua motif manusia adalah gabungan antara eros dan thanatos. Id bergerak berdasarkan
prinsip kesenangan (pleasure principle), ingin segera memenuhi keinginannya. Id bersifat
egoistis, tidak bermoral dan tidak mau tahu dengan kenyataan. Id adalah tabiat hewani manusia.
Subsistem yang kedua—ego—berfungsi menjembatani tuntutan id dengan realitas dunia luar.
Ego adalah mediator antara hasrat-hasrat hewani dengan tuntutan rasional dan realistik. Ego-lah
yang menyebabkan manusia mampu menundukan hasrat hewaninya. Ia bergerak berdasarkan
prinsip realitas (reality principle).
Superego adalah polisi kepribadian, mewakili yang ideal.Superego adalah hati nurani
(conscience) yang merupakan internalisasi dari norma-norma sosial dan kultural masyarakatnya.
Ia memaksa ego untuk menekan hasrat-hasrat yang tak berlainan ke alam bawah sadar.
Secara singkat, dalam psikoanalisis perilaku manusia merupakan interaksi antara komponen
biologis (Id), komponen psikologis (ego), dan komponen sosial (superego); atau unsur animal,
rasional, dan moral (hewani, akali, dan nilai).
Konsepsi Manusia dalam Behaviorisme
Behaviorisme lahir sebagai reaksi terhadap intropeksionisme (yang menganalisa jiwa manusia
berdasarkan laporan-laporan subyektif) dan juga psikoanalisis (yang berbicara alam bawah sadar
yang tidak tampak). Behaviorisme ingin menganalisa hanya perilaku yang nampak saja,
behaviorisme lebih dikenal dengan nama teori belajar, karena menurut mereka seluruh perilaku
manusia—kecuali instink—adalah hasil belajar. Belajar artinya perubahan perilaku organisme
sebagai pengaruh lingkungan. Behaviorisme tidak mau mempersoalkan apakah manusia baik
atau jelek, rasional atau emosional; behaviorisme hanya ingin mengetahui sebagaimana
perilakunya dikendalikan oleh faktor-faktor lingkungan.

PRINSIP DASAR BEHAVIORISME

Perilaku nyata dan terukur memiliki makna tersendiri, bukan sebagai perwujudan dari jiwa atau
mental yang abstrak
Aspek mental dari kesadaran yang tidak memiliki bentuk fisik adalah pseudo problem untuk
sciene, harus dihindari.
Penganjur utama adalah Watson : overt, observable behavior, adalah satu-satunya subyek yang
sah dari ilmu psikologi yang benar.
Dalam perkembangannya, pandangan Watson yang ekstrem ini dikembangkan lagi oleh para
behaviorist dengan memperluas ruang lingkup studi behaviorisme dan akhirnya pandangan
behaviorisme juga menjadi tidak seekstrem Watson, dengan mengikutsertakan faktor-faktor
internal juga, meskipun fokus pada overt behavior tetap terjadi.
Manusia dalam Konsepsi Psikologi Humanistik
Psikologi humanistik dianggap sebagai revolusi ketiga dalam psikologi. Revolusi pertama dan
kedua adalah psikoanalisis dan behaviorisme. Pada behaviorisme manusia hanyalah mesin yang
dibentuk lingkungan, pada psikoanalisis manusia selalu dipengaruhi oleh naluri primitifnya.
Dalam pandangan behaviorisme manusia menjadi robot tanpa jiwa, tanpa nilai. Dalam
psikoanalisis, seperti kata Freud sendiri, “we see a man as a savage, beast” (1930:86).
Keduanya tidak menghormati manusia sebagai manusia. Keduanya tidak dapat menjelaskan
aspek eksistensi manusia yang positif dan menentukan, seperti cinta, kreativitas, nilai, makna,
dan pertumbuhan pribadi. Inilah yang diisi oleh psikologi humanistik. “Humanistic psychology’is
not just the study of ‘human being- it is a commitment to human becoming, “tulis Floyd W. Matson
(1973:19) yang agak sukar diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
Psikologi humanistik mengambil banyak dari psikoanalisis NeoFreudian (sebenarnya Anti-
Freudian) seperti Adler, Jung, Rank, Slekel, Ferenczi; tetapi lebih banyak lagi mengambil dari
fenomenologi dan eksistensialisme. Fenomenologi memandang manusia hidup dalam “dunia
kehidupan” yang dipersepsi dan diinterpretasi secara subyektif. Setiap , orang mengalami dunia
dengan caranya sendiri. “Alam pengalaman setia orang berbeda dari alam pengalaman orang
lain.” (Brouwer, 1983:14 Fenomenologi banyak mempengaruhi tulisan-tulisan Carl Rogers, yang
boleh disebut sebagai-_Bapak Psikologi Humanistik.
Carl Rogers menggarisbesarkan pandangan Humanisme sebagai berikut (kita pinjam dengan
sedikit perubahan dari Coleman dan Hammen, 1974:33):
1) Setiap manusia hidup dalam dunia pengalaman yang bersifat pribadi di marxa dia — sang
Aku, Ku, atau diriku (the I, me, or myself) - menjadi, pusat: Perilaku manusia berpusat pada
konsep diri, yaitu persepsi rnanusia tentang identitas dirinya yang bersifat fleksibel dan berubah-
ubah, yang muncul dari suatu medan fenomenal (phenomenal field). Medan keseluruhan
pengalarnan subjektif seorang manusia, yang terdiri dari pengalaman-pengalaman Aku dan Ku
dan pengalaman yang “bukan aku”.
2) Manusia berperilaku untuk~mempertahankan, meningkatkan, dan mengaktualisasikan diri.
3) individu bereaksi pada situasi sesuai dengdn persepsi tentang dirinya— ia bereaksi pada
“realitas” seperti yang dipersepsikan olehnya dan dengan cara yang sesuai dengan konsep
dirinya.

4) Anggapan adanya ancaman terhadap diri akan diikuti oleh pertahanan diri — berupa
penyempitan dan pengkakuan (rigidification) persepsi dan perilaku penyesuaian serta
penggunaan mekanisme pertahanan ego seperti rasionalisasi.
5) Kecenderungan batiniah manusia ialah menuju kesehatan dan keutuhan diri. Dalam kor.disi
yang normal ia berperilaku rasional dan konstruktif, serta rnemilih jalan menuju pengembangan
dan aktualisasi diri.

Diposkan oleh Achmad Rahman Ardiyanto di 23:05

0 komentar:

Poskan Komentar

Posting Lebih Baru Posting Lama Halaman Muka


Langgan: Poskan Komentar (Atom)

apa ortotik prostetik diperlukan di setiap Rumah


Sakit?

penemu OP di Indonesia

Prof. Dr. R. Soeharso

produk OP
above knee prosthesis

Produk OP

Produk OP

through elbow prosthesis

Produk OP
night splint

Produk OP

below knee prosthesis (indosceletal)

Produk OP

Elboe orthosis

Produk OP

below knee prosthesis

Produk OP
below elbow prosthesis

Produk OP

above knee prosthesis (eksosceletal)

Produk OP

above knee prosthesis (indosceletal)


produk OP

AFO

produk OP

long leg brace

produk OP

AFO
Arsip Blog
 ▼  2009 (41)
o ▼  Mei (32)
 APAKAH ITU SKOLIOSIS
 Epidemiologi Stroke
 Peritonitis
 Pebedahan hepar
 Apendisitis
 Banyak jalan untuk mencari pekerjaan. Termasuk lew...
 KELELAHAN AKIBAT KERJA
 Desain Stasiun Kerja dan Sikap Duduk
 Ergonomi
 Pencegahan Dampak Buruk Narkoba pada Anak Sekolah
 Kasus Penyalahgunaan Narkotika Ditinjau dari Ilmu ...
 kilas InfO
 kilas INFO
 EPIDEMIOLOGI, PROGRAM PENANGGULANGAN, DAN
ISU MUTA...
 DESAIN STASIUN KERJA
 LINGKUNGAN KERJA FISIK
 Bahasa Indonesia Masuk Pasar Bebas
 Mekanisme dan Mekanika
 tips - tips
 lanjutan LBP
 LOW BACK PAIN????
 Konsepsi Manusia dalam psikoanalisis
 POLIO (POLIOMYELITIS)
 JEWETT HYPEREXTENSION BRACE
 psikologi
 PEMERIKSAAN LOW BACK PAIN
 PEMERIKSAAN LOW BACK PAIN
 Pengapuran Sendi Lutut (Osteoarthritis)
 Obesitas
 Obesitas
 HUMERI CORSET
 MANAJEMEN HIPERKES DAN KESELAMATAN KERJA DI
SAKIT...
o ►  April (9)
 Anatomi Fungsional
 Drop foot
 HNP (Hernia Nukleus Pulposus)
 Klasifikasi Orthoses
 गीत analisis
 Osteoartritis
 Anatomi Fungsional dan Biomekanik Punggung Bawah
 Biomekanik pada Elbow joint dan Wrist joint
 Mekanisme Tubuh Ketika Suhu Tubuh Berubah

 ►  2008 (16)
o ►  November (6)
 Diabetes Melitus ( DM )
 CTEV
 QCM (ya atau tidak)
 PROSEDUR PELAKSANAAN
 Cerebral Palsy
 Apakah yang dimaksud dengan dislokasi hip joint?
o ►  September (10)
 Ilmu-ilmu yang diajarkan di Ortotik Prostetik Polt...
 Kategori Ortotik Prostetik berdasarkan ISPO
 Klasifikasi Prostesis dan Klasifikasi Ortosis

Mengenai Saya

Achmad Rahman Ardiyanto


Lihat profil lengkapku

foto aku
aku
produk OP
produk OP

long leg brace


Pengikut

OrtotikProstetik
Konsep ketidaksadaran mengetuk-ngetuk pintu psikologi meminta izin masuk. Sementara
filsafat dan sastra telah lama bergelut dengannya, namun ilmu pengetahuan tidak tahu
kegunaannya. (Freud)1

Psikoanalisa merupakan salah satu aliran besar dalam sejarah ilmu pengetahuan manusia.
Layaknya aliran besar lainnya, marxisme contohnya, psikoanalisa telah merambah
berbagai sektor keilmuan seperti sastra, sosiologi, filsafat dan kesenian. Psikoanalisa
awalnya identik dengan nama pendirinya, Sigmund Freud, sehingga penggunaan istilah
psikoanalisa dan psikoanalisa Freud mulanya memiliki arti yang sama. Bahkan beberapa
murid Freud yang beralih dari ajaran gurunya memilih untuk meninggalkan istilah
psikoanalisa, seperti Carl Gustav Jung yang mememilih menggunakan nama psikologi
analitis (analytical psychology) dan Alfred Adler dengan istilah psikologi individual
(individual psychology). Seiring meluasnya penerimaan psikoanalisa dalam ruang
keilmuan yang beragam, istilah tersebut akhirnya tidak hanya identik dengan Freud
sebagai pendiri2.

Kelahiran sendiri psikoanalisa tidak lepas dari berbagai penolakan dan penerimaan.
Kalimat testimonial Freud di awal artikel ini mengindikasikan penolakan yang kuat
terhadap psikoanalisa, bahkan oleh psikologi yang sebenarnya memiliki kesamaan kajian
dengan psikoanalisa ?psike manusia. Bahkan Eysenck, seorang psikolog behavioris di
London yang berasal dari Jerman, menganggap sangat tidak mungkin memberikan
predikat ilmiah bagi psikoanalisa karena tidak bersifat behavioristik.3 Penerimaan serta
penolakan dapat dipahami sebagai perbedaan pendapat akibat peliknya pembacaan atas
kompleksitas manusia. Pembacaan atas manusia memang tidak pernah akan berakhir.
Sejak perkembangan filsafat pada zaman Yunani kuno sampai era paska-modern (post-
modern) pembicaraan tentang manusia masih selalu menyisakan ruang perdebatan.
Manusia dapat dianalogikan sebagai teka-teki silang yang terdiri dari beberapa kotak
kosong yang menyusunnya. Setiap deret kotak dapat diisi oleh pelbagai nama dan teori
guna menjawab pertanyaan seputar manusia. Tapi teka-teki silang itu tidak pernah selesai
dikerjakan, selalu menyisakan pertanyaan.

Soal adanya ketidaksadaran adalah yang paling kontroversial dari Freud. Sejak pertama
kali diutarakan, penolakan untuk konsep yang asing di tengah kepercayaan kemandirian
manusia sebagai mahluk yang sadar ini terus bergulir[1]4. Penolakan tersebut dapat
dimaklumi tentunya, karena sangat terkait konstruksi epistimologis keilmuan modern
yang bercokol kuat pada benak para saintis dan filsuf di era kelahiran psikoanalisa.
Ketidaksadaran adalah kemustahilan di tengah keyakinan akan penuhnya kesadaran
manusia sebagai mahluk yang berpikir. Freud yang mencurigai kesadaran adalah sesuatu
yang terus direpresi oleh hasrat libidinal yang berasal dari ruang ketidaksadaran, sempat
menjadi buah bibir dan cemoohan. Hasrat memang sesuatu yang sering disingkirkan
dalam pembicaraan filsafat dan pemikiran Barat. Plato menyebutnya sebagai sesuatu
yang harus dikontrol ketat oleh akal karena tidak memiliki prinsip untuk mengatur
dirinya sendiri[2]. Adagium Descartes Cogito Ergo Sum (aku berpikir maka aku ada)
merupakan puncak pernyataan epistimologis pencerahan (a?fklarung) yang menolak
kekuasaan hasrat dan ketidaksadaran (atau juga pseudo-kesadaran) atas manusia yang
sadar[3]. Seperti Plato, dalam anggitan Descartes akal merupakan substansi. Subjek
cartesian meyakini manusia sebagai yang awas, sadar diri, rasional yang berangkat dari
akal murni dan bukan hasrat atau bentuk-bentuk lain dari ketidaksadaran. Konsep
ketidaksadaran dalam psikoanalisa menjadi pukulan telak ke inti subjek cartesian. Subjek
cartesian yang ditahbiskan sebagai yang rasional dan bersandar pada akal murni dicurigai
menyimpan hasrat libidinal dari dalam ruang bawah sadarnya. Hasrat ini tidak lain
terlahir pada proses psikodinamis manusia[4]. Freud saat itu seperti menjanjikan sebuah
cara pandang baru untuk melihat ketidaksadaran dan hasrat yang dalam pandangan
sebelumnya terus dinyatakan terkontrol oleh akal-rasio manusia yang sadar. Psikoanalisa
hadir untuk menyatakan bahwa hasrat yang berdiam dalam ketidaksadaran merupakan
kekuatan yang mengontrol manusia yang mentahbiskan diri sebagai yang sadar dengan
kekuatan akalnya. Kehadiran psikoanalisa tidak sebatas menghantam pandangan yang
telah berkembang tentang psike (psyche) manusia pada ruang psikologi, tapi lebih jauh
menghantam rasionalisme yang telah sekian lama diamini oleh para ilmuan dan filsuf.

Penolakan terhadap ide ketidaksadaran Freud tidak hanya muncul dari kelompok
rasionalis melainkan juga datang dari para penggiat eksperimentalis (empirisme).
Bagaimanapun, sungguh akan cukup sulit membuktikan adanya id (ketidaksadaran) pada
manusia secara empirik. Hal ini yang memungkinkan Eysenck dengan begitu tajam
menyerang Freud. Penolakan Eysenck atas psikoanalisa sebagai sebuah ilmu dengan
alasan karena sifatnya yang tidak behavioristik, berarti ?setidaknya dalam pandangan
behavioris ekstrem yang cenderung hanya mengamati sesuatu yang tampak sebagai
perilaku? bahwa ketidaksadaran yang diusung oleh psikoanalisa merupakan sesuatu yang
tidak tampak dan tidak teruji secara emprik. Sementara orientasi keilmuan umumnya
merupakan orientasi pada dunia empiris[5].

Pada pembacaan lain atas Freud selanjutnya, para pembaca menunjukkan bahwa
psikoanalisa Freudian telah ingkar pada janji sebelumnya untuk mengungkap kekuatan
dan dorongan ketidaksadaran dalam diri manusia. Adagium Wo Es War, Soll Ich Werden
(dimana ada id selalu ego berpatroli) menunjukkan bahwa Freud gagal mewujudkan janji
psikoanalisa. Ego yang sadar dalam konsep Freud membuktikan bahwa ketidaksadaran
(id) tetap terkontrol dalam pengawasan ego yang sadar. Freud dituduh oleh beberapa
pembacanya tengah ikut dalam pemujaan ego cartesian. Di sinilah ambiguitas Freud
terungkap ke permukaan.

Terlepas dari berbagai pro dan kontra tersebut, psikoanalisa telah memberikan
sumbangan besar bagi berbagai bidang ilmu, termasuk psikologi sendiri yang akhirnya
menerima psikoanalisa. Pembacaan atas psikoanalisa Freudian pun telah ikut melahirkan
berbagai teori dan pendekatan baru pada berbagai bidang ilmu yang dengan tangan
terbuka maupun setengah-setengah menerima kehadirannya. Psikoanalisa kini telah lebih
bisa diterima sebagai sebuah cara pandang baru tentang manusia bagi berbagai ilmu,
meski masih menyisakan kontroversi. Pembacaan terhadap Freud pun serasa tidak pernah
berhenti. Prinsip-prinsip psikoanalisa yang dibangunnya terus menjadi perhatian tidak
hanya dari kelompok psikolog atau psikoanalis sendiri. Kritik, pengungkapan dan
pembaharuan pandangan terhadap karya-karya Freud terus dilakukan oleh para saintis
dan filsuf. Harus diakui bahwa Freud merupakan salah satu inspirator penting dalam
perkembangan paradigma ilmu sekarang.
Salah satu pembaca Freud yang tekun adalah Jaques Lacan, seorang psikoanalis asal
Perancis. Di tangan Lacan, psikoanalisa Freud berkembang menjadi aliran psikoanalisa
baru yang sangat mengagumkan. Dengan semangat “Kembali pada Psikoanalisa”, Lacan
memasukkan enersi linguistik struturalisme, beberapa gagasan dari antropologi dan
filsafat ke dalam psikoanalisa. Lacan sering dikenal sebagai sintesa Freud dan Saussure
dengan sedikit sentuhan Lévi Strauss, Heidegger dan Jaques Derrida. Persentuhan
pelbagai pemikiran dan aliran keilmuan inilah yang akhirnya membuat karya Lacan
dikenal sebagai pemikiran yang tidak mudah untuk dipelajari. Selain itu, kegemaran
Lacan menggunakan idiom-idiom asing dan baru untuk memperkuat psikoanalisa yang
dikembangkannya lebih memperumit upaya untuk mendekati pemikirannya[6].

Seperti penolakan terhadap psikoanalisa Freud pada awal kemunculannya, Lacan juga
mengalami nasib yang tidak jauh berbeda dengan pendahulunya. Penerimaan atas
psikoanalisa lacanian di dunia psikologi terasa sangat terlambat. Sementara cultural
studies ?cukup sulit untuk menemukan padanan kata ini dalam penterjemahan ke dalam
bahasa Indonesia, sosiologi paskamodernisme dan filsafat telah banyak mengambil
manfaat dari pemikiran Lacan, dunia psikologi masih sering bungkam, belum mengambil
sikap terbuka terhadap aliran psikoanalisa ini.

Tulisan ini lebih merupakan sebuah introduksi seputar psikoanalisa Lacan yang tentu
sangat jauh dari memadai untuk memaparkan luas dan rumitnya pemikiran Lacan. Dalam
tulisan ini diungkap sekelumit pandangan Lacan tentang ketidaksadaran dan sebuah
contoh pembacaan ala lacanian tentang fenomena konsumerisme yang tengah aktual kini.
Sebagai introduksi tulisan ini merupakan sebuah ajakan. Seruan untuk membuka pintu,
mempersilahkan Lacan secara lebih bebas masuk ke ruang obrolan keseharian psikologi
sebagai pemerkaya.

Jaques Lacan: sebuah Pembacaan

Kemunculan psikoanalisa merupakan hantaman kedua bagi kemapanan rasionalisme dan


humanisme keilmuan barat yang berdiri di atas fondasi kesadaran subyek. Setelah
Nietzsche mencurigai kenginan subyek yang rasional ala cartesian dipenuhi hasrat akan
kekuasaan, psikoanalisa menyatakan keterhubungan antara kesadaran dengan ruang
ketidaksadaran yang tidak tertundukkan. Psikoanalisa secara telak memukul inti kekuatan
pemikiran Barat dan mempercepat terjadinya krisis ego cogitan.

Freud membangun konsep topografi kepribadian manusia yang terbelah menjadi dua
ruang; kesadaran dan ketidaksadaran. Ruang kesadaran adalah ruang yang terapung-
apung di atas ruang ketidaksadaran. Pengaruh ruang ketidaksadaran akan selalu mucul
secara tidak dinyana dan disadari ?bahkan? oleh kesadaran subyek. Ketidaksadaran
merupakan buah dari kompleksitas konflik psikis yang terjadi pada masa perkembangan
perversitas polimorfosis bayi. Pada perkembangannya kemudian, Freud sedikit berbelok
dari anggitan pertamanya. Berharap dapat mengurangi represi, Freud mendeklarasikan
Wo Es War, Soll Ich Werden (dimana Id, disana ada ego) yang berarti kemenangan ego
(kesadaran) atas id. Ego yang terdiri dari identitas diri dan kedirian yang rasional akan
senantiasa mengantisipasi kemunculan id dan menggantikannya saat muncul ke
permukaan. Di titik inilah Freud didera banyak cemoohan dan kritik.

Jaques Lacan merupakan salah satu pembaca Freud yang secara tegas menolak anggitan
Freud tentang berkuasanya ego atas id. Lacan merupakan seorang psikoanalis kebangsaan
Perancis yang begitu berminat pada ide-ide Freud muda ?Freud yang dianggap masih
memiliki tenaga untuk mempertahankan kekuatan ketidaksadaran sebagai faktor
pendorong kepribadian. Bagi Lacan, kontrol ego atas id adalah sesuatu yang mustahil.
Bagaimanapun, ego merupakan sebuah produk jadi dari id yang terbentuk melalui
mekanisme kesalahan mengenali (méconaît) diri di hadapan cermin pada sebuah fase
yang disebut fase cermin (statu de miroir). Ego adalah ilusi atau pseudo-identitas[7].
Stadu de miroir merupakan fase yang pada akhirnya menentukan keseluruhan identifikasi
dalam diri manusia. Keseluruhan eksistensi manusia, menurut Lacan, mau atau tidak,
dipengaruhi dan dikontrol oleh ketidaksadaran[8]. Itulah jantung pemikiran Lacan.

Ketidaksadaran terstruktur seperti halnya bahasa. Itulah sisi lain pemikiran Lacan. Ia
menekankan arti pentingnya bahasa dalam pelbagai hubungan kesadaran dan
ketidaksadaran. Penekanan tersebut merupakan hasil dari pembacaan Lacan atas prinsip-
prinsip psikoanalisa freudian dan tidak terlepas pula dari pengaruh aliran surealisme
dalam dunia kesenian. Bagi seorang surealis, suatu gambaran simbolik (lambang-tanda)
dapat saja merujuk makna yang plural, atau mewakili beberapa makna yang berbeda.
Pengertian ini sering direpresentasikan dalam karya-karya surealistik yang
memperlambangkan makna tertentu dengan simbol-simbol berbeda. Pada bentuk lainnya,
surealisme sering menghadirkan beberapa simbol yang tidak sinkron dalam kesatuan
pembentukan makna. Sementara, kesadaran bagi Freud, terstruktur oleh bahasa dan
tanda-tanda yang didiami oleh ketidaksadaran[9]. Analisa yang dilakukan oleh Freud
selama praktik psikoanalisanya menunjukkan bahwa pasien tidak dapat menunjukkan
secara langsung problem psikisnya, melainkan dengan memainkan simbol-simbol
penuturan bahasa. Penceritaan oleh pasien yang merupakan lambang dalam bahasa harus
dianalisa untuk menemukan bentuk trauma sebenarnya. Interpretation of Dream, sebuah
karya monumental Freud juga mendemonstrasikan penafsiran lambang tersebut. Mimpi
adalah bentuk perlambangan yang diyakini sinkron dan terhubung dengan beberapa
kenyataan dalam hidup pasien. Makna mimpi adalah trauma yang kembali atau sebuah
pemenuhan atas yang tidak tercukupi ?setidaknya secara psikis. Kembalinya trauma-
trauma dan ketidakcukupan tersebut tidak secara langsung bersifat naratif, melainkan
dengan membentuk suatu konfigurasi perlambangan. Makna mimpi selalu diwujudkan
dalam simbol-simbol, titik. Namun, makna bagi Freud maupun Lacan bersifat tidak tetap
dan bergantung pada penggunaan individual dan kultural. Hal ini bertolak belakang
dengan Jung yang menyatakan bahwa makna senantiasa bersifat statis.

Berangkat dari pembacaan atas Freud tersebut, Lacan meyakini bahwa psikoanalisa harus
dapat menjadi semacam ilmu bahasa dan tanda karena sifatnya yang secara eksklusif
mempergunakan bahasa dalam analisisnya. Di sinilah Lacan tidak hanya menarik
linguistik ke dalam ruang psikoanalisa, tetapi juga membangun sebuah sintesa
psikoanalisa-semiotika. Dalam kamus psikoanalisa Freudian terdapat pula beberapa
contoh kategori penting yang berkaitan dengan operasional bahasa dan lambang dalam
keseharian, yakni lelucon, gejala-gejala, kekeliruan-keliruan hidup sehari-hari dan
impian-impian. Kesemua fenomena tersebut terkait dengan permainan bahasa dan
bersumber dari ruang bawah sadar.

Lacan menekankan pentingnya pamahaman “fungsi kata” yang dalam kondisi


psikoanalitik dikenal dengan istilah treatment. Penjelajahan fungsi kata diyakini dapat
membawa kita ke dalam penjelasan bagaimana ketidaksadaran terbentuk dan terus
beroperasi. Dalam menjelaskan fungsi kata tersebut Lacan menggunakan istilah
subyek[10] (segala tentang pribadi/aku) dan penanda (signifier) yang ?dalam makna
lacanian? berarti kata itu sendiri. Penanda[11] merupakan perwalian dari subyek untuk
berkomunikasi, mengungkapkan diri dan bermimpi. Keduanya (subyek dan penanda)
dalam kosa kata lacanian mengandung makna yang beroposisi secara biner (binary
opposition). Semboyan Lacan “kembali pada penanda” bermakna ajakan kembali pada
pembicaraan tentang ruang ketidaksadaran.

Untuk menjelajahi hubungan antara subyek, tanda dan makna, Lacan banyak terinspirasi
semiologi[12] strukturalis Sassurean, meski dengan melakukan beberapa modifikasi dan
penyesuaian. Berbeda dengan Saussure, Lacan hanya berfokuskan pada hubungan di
antara penanda-penanda itu sendiri. Bagi Lacan, tidak ada yang dirujuk oleh penanda,
atau penanda tidak merujuk pada suatu konsep apapun selain dirinya itu sendiri. Relasi
penanda (signifier) merupakan relasi negatif yang berarti suatu penanda adalah penanda
bagi dirinya sendiri bukan pada yang lain. Relasi tersebut juga merupakan relasi yang
tidak terhenti. Inilah bentuk operasional ketaksadaran dimana akan selalu terjadi
pengulangan, pergeseran dan sirkulasi yang tidak henti dalam sistemnya. Ketidaksadaran
adalah bentuk yang tidak memiliki titik pemberhentian, titik. Berangkat dari anggitan
relasi negatif antar penanda, bagi Lacan, menjadi dewasa berarti berupaya menghentikan
gerak relasional antar penanda tersebut agar ?setidaknya? relasi tersebut menjadi lebih
stabil. Namun sekali lagi kestabilan merupakan bayang-bayang atau pseudo-kestabilan.
Ego yang dianggap telah mampu melakukan stabilisasi hubungan relasional antar
penanda tetaplah ilusi, buah karya ketidaksadaran, mispersepsi dalam tahapan cermin saat
manusia masih berupa seonggok daging yang bernama bayi ?infant; enfans = belum
bersuara[13]. Karena proyek pengenalan diri dalam ego menghasilkan sesuatu yang ilutif
tentang konsep diri ?ego ideal, maka segala bentuk upaya memberhentikan relasi penanda
oleh sistem ilutif tersebut akan hanya menghasilkan ilusi-ilusi baru yang dirasa sebagai
kestabilan.

Pada prinsipnya, Lacan memandang subjek merupakan sesuatu yang senantiasa terbelah
dan tidak utuh. Keterbelahan tersebut merupakan hasil dari proses pada fase-fase
perkembangan perversitas polimorfosis saat pertama kali bayi mengenal serta
mengunakan bahasa ?seperti halnya pada pandangan Freud? yang berkaitan dengan relasi
bayi dan ibu. Dalam psikoanalisa Freudian, seorang bayi mengalami tiga fase
perkembangan perversitas polimorfosis, yakni oral, anal dan phalik. Ketiga fase tersebut
merupakan lintasan menuju fase genital yang merupakan fase akhir yang identik dengan
fase kedewasaan. Dalam ketiga fase itu pula terjadi berbagai ketegangan psikis seperti
kompleks oedipus dan kompleks kastrasi sebagai bentuk formasi penyesuaian serta upaya
mengkomunikasikan kebutuhan dan upaya pemenuhannya. Tahap genital adalah tahapan
berakhirnya kateksis-kateksis narsistik yang beroperasi pada masa pragenital. Kateksis-
kateksis narsistik yang beroperasi pada fase pra-genital berarti manipulasi dan stimulasi
individu pada tubuhnya sendiri demi kepuasan tertentu. Sedang pada fase genital hasrat
narsistik tersebut mulai mengalir ke arah yang sebenarnya. Di dorong oleh motif-motif
altruistik yang bukan semata “cinta diri”, orang dewasa akhirnya mengarahkan cinta pada
obyek yang tepat dan sebenarnya, yakni orang lain[14]. Lacan memiliki penjelasan
lintasan perkembangan perversitas pilimorfosis yang berbeda dengan Freud, ia
mempertemukan konsep kebutuhan?permintaan?hasrat (need-demand-desire) dengan
lintasan fase Yang Real?Yang Imajiner?Yang simbolik. Pada penjelasan kesemua istilah
tersebut bahasa memperoleh tempat yang cukup dominan.

Kebutuhan (need) secara sederhana dapat diartikan sebagai kebutuhan secara fisiologis
atau dalam makna lain sebagai kebutuhan fisiologis yang dapat tercukupi. Pada bayi
manusia, kebutuhan-kebutuhan fisiologis, melalui peran orang-orang terdekat ?terutama
ibu? akan senantiasa dapat tercukupi dengan mudah: saat lapar bayi memperoleh ASI,
ketika membutuhkan kehangatan bayi mendapat pelukan, dll. Artinya bayi selalu
merasakan sesuatu yang penuh, utuh atau tanpa kekurangan, kehilangan dan kekosongan.
Pada fase ini bayi belum mengenal bahasa dan belum dapat membedakan antara diri
dengan yang liyan (yang lain): bayi masih merasakan bahwa dirinya dan seluruh yang
liyan merupakan satu kesatuan. Bayi bagi Freud dan Lacan adalah manusia ?ekstremnya
seonggok daging? yang belum terbentuk menjadi individu atau tanpa pemahaman akan
dirinya sebagai manusia yang utuh dan terlepas dari yang lain. Yang berdiam dalam bayi
hanyalah kebutuhan dan segala pemenuhannya. Fase kebutuhan (need) ini berdiam dalam
Yang Real yang merupakan “fase sebelum pikiran”[15]. Bahasa tidak pernah ada di
ruang ini karena tidak ada kehilangan, kekurangan dan ketidaan. Yang ada hanya
kepenuhan, titik. Masuknya bahasa adalah keterpecahan bayi. Bayi yang awalnya
hanyalah seonggok daging dan tidak mengerti apa-apa, seperti mendapat kutukan, masuk
ke dalam dunia yang telah terlebih dahulu dipenuhi oleh bahasa ?atau dalam pengertian
yang sama dapat digunakan istilah diskursus (discourse); yang simbolik. Bayi yang tidak
mengerti apa-apa tersebut, oleh manusia dewasa, diberi identitas sebagai manusia.
Menggunakan bahasa berarti kehilangan segala sifat kepenuhan, inilah titik awal
keterpecahan.

Ketika bayi mulai dapat membedakan dirinya dengan yang selain dirinya ?meskipun pada
fase awal ini bayi tetaplah belum memiliki konsep tentang yang liyan secara utuh; bayi
belum memiliki kemampuan membedakan secara biner antara diri dan liyan? bayi mulai
memasuki tahapan baru, yakni permintaan (demand). Istilah permintaan dalam kosa kata
Lacanian memang cukup rumit untuk dipahami dan dijelaskan. Permintaan adalah adalah
sesuatu yang tidak dapat ?atau tidak mungkin? terpenuhi. Saat mulai menyadari akan
adanya liyan yang terpisah dari dirinya, bayi seperti ingin kembali kepada keutuhan
sebelumnya. Bayi ingin segala tentang yang liyan menghilang. Itulah esensi utama dari
permintaan; kembali pada keutuhan. Hal tersebut tentulah mustahil, karena perlahan
keliyanan semakin menunjukkan diri dihadapan sang bayi. Bayi akhirnya memulai fase
Yang Imanjiner. Fase Yang imajiner tetaplah berada pada titik pra-bahasa dan
dikendalikan oleh logika visual bayi.
Dalam Yang Imajiner terjadi fase cermin (stadu de miroir). Bayi suatu ketika akan
menyaksikan bayangan dirinya dalam cermin. Bayangan tersebut, oleh bayi, dikonfrontir
dengan keberadaan yang lain seperti ibu atau pengasuh lainnya. Bayi akan melihat citra
dalam cermin kemudian melihat ke arah yang lain. Saat itulah bayi mulai menyadari
bahwa dirinya adalah eksis dan terpisah dari yang lain, bahkan ibu. Itulah Individuasi.
Tapi bayi mengira dirinya yang berada dalam cermin adalah benar-benar dirinya. Citra
tersebutlah yang akhirnya diakui sebagai “aku” atau ego. Jadi, ego terbentuk dari
kesalahan mempersepsi citra cerminal sebagai aku. Citra tersebut dalam bahasa
psikoanalisa disebut sebagai ego ideal. Sebagai citra cerminal, ego ideal tidak akan
pernah cocok dengan keadaan individu yang sebenarnya. Ego tidak lain adalah konsep
imajiner tentang diri yang utuh, sempurna, nir-kekurangan dan tanpa keyakinan adanya
kekurangan di dalamnya. Ego atau aku tersebut akan menjadi selalu “liyan[16]”, tidak
setara dengan ?bahkan bukan? aku yang sebenarnya.

Pembentukan citra yang salah pada fase cermin merupakan aleniasi. Aleniasi dalam
konsep Lacan selalu melibatkan dua arus berbeda, bayi dan liyan. Bayi adalah yang
selalu kalah[17]. Alienasi pertama bayi manusia adalah ketika terjadi kesalahan
mempersepsi diri yang menempatkannya sebagai yang liyan bagi dirinya sendiri atau
terceburnya bayi ke dalam citra yang salah atau ego ideal. Dalam Yang Imajiner bayi
terus akan melakukan identifikasi pelbagai Liyan menggunakan citra yang diperoleh dari
cermin. Pengenalan Keliyanan (otherness) semakin meneguhkan pangakuan bahwa citra
cerminal adalah “aku”. Di sinilah, bagi Lacan diri selalu dilihat dari yang liyan.

Ketika bayi semakin dapat melakukan pembedaan dan proyeksi ide-ide tentang
Keliyanan, tataran Yang simbolik dimulai. Bersamaan dengan itu terjadi akuisisi bahasa.
Yang simbolik adalah keberadaan “aku” dalam struktur bahasa. Keadaan dimana aku
dinyatakan melalui bahasa. Tidak seperti alur perkembangan pervesitas polimorfosis
freudian yang runtut, Yang Imajiner dan Yang simbolik tidak memiliki batas yang jelas.
Keduanya saling tumpah tindih, saling bermunculan dan koeksis. Di dalam tataran yang
simbolik, di sanalah hasrat (desire) berdiam.

Perpisahan dari ibu adalah yang mutlak bagi bayi untuk masuk ke dalam sebuah
kebudayaan. Namun perpisahan tersebut menyisakan rasa kehilangan kehilangan yang
akan terus bersirkulasi. Ibu merupakan obyek kehilangan yang pertama dan utama bagi
bayi. Inilah berbeda dari Freud, ayah yang meretakkan bayi dan ibu dinilai Lacan
bukanlah sebagai ayah biologis, melainkan ayah simbolik atau hukum atas?nama?ayah
(nom-du-pere / name—of—the—father). Ayah simbolik dapat berupa apapun yang
menghalangi atau memisahkan bayi dari ibu. Lacan memang sangat terpengaruh oleh
Roman Jakobson. Karena itulah ia menyerupakan kondensasi dan pemindahan ala
Freudian dengan konsep metafor dan metonimi[18]. Untuk itu, sering kali pembacaan
atas konsep Lacan harus menggunakan kedua pendekatan linguistik tersebut. Makna ibu
dan hubungan dengan ayah penting untuk ditelisik melalui pendekatan metaforis.
Kedudukan ibu juga kedudukan yang feminin cenderung menjadi kedudukan Yang Real,
sementara ayah akan membangkitkan Yang Simbolik. Bersatunya ibu dan bayi akan
memperlambat perkembangan bahasa, yang berarti keterlambatan memasuki tataran
Yang simbolik. Ayahlah yang berperan memutuskan kelekatan dan penyatuan bayi dari
ibu agar masuk dalam dunia bahasa —Yang Simbolik. Fungsi metaforis sangat kental
dalam alur pemikiran Lacan. Bahkan istilah “cermin” dalam Yang Imajiner juga memiliki
fungsi metaforis, yakni “pandangan ibu” yang membuat bayi berkeyakinan bahwa ibu
sedang memandang yang lain, yakni bayi itu sendiri. saat itulah bayi mulai merasa
adanya keterpisahan ibu dan dirinya.

Hasrat pada dasarnya merupakan keinginan akan kepemilikan identitas. Pada tataran
simbolik bayi berkeinginan untuk memiliki identitas lengkap yang disebut “aku”. Ketika
tercebur ke dalam dunia bahasa, bayi, mau tidak mau harus tunduk pada aturan sistem
penandaan di ruang bahasa. Penanda, intinya beroperasi secara negatif. Sebuah penanda
tidak serta merta menunjuk petanda tertentu, melainkan penanda yang lain. Artinya,
penanda beroperasi dengan hukum perbedaan. Penanda “ibu” tidak semata menunjukkan
adanya ibu —sebagai petanda— melainkan secara berbeda menunjuk adanya ayah.
Karena ketundukan pada rotasi dan permainan penandaan inilah, mencapai identitas akan
kembali menjadi mustahil. Identitas hanyalah kesemuan yang disebabkan adanya efek
penandaan; identitas adalah karya penandan. Keterjebakan dalam bahasa membuat
manusia secara tidak sadar masuk dalam lingkaran penanda (circle of signifiers) ini.
Konsekuensi logisnya, hasrat tidak dapat menunggangi bahasa, dan bahasalah yang
memanipulasi hasrat.

Bentuk lain dari hasrat adalah “keinginan untuk menjadi” sebuah subyek yang utuh, tidak
terbelah dan tanpa kekurangan dan penuh dengan pemenuhan. Hasrat ini berarti hasrat
kembali pada Yang Real, yang telah menghilang saat akuisisi bahasa. Hasrat untuk
kembali pada sesuatu yang tidak mungkin lagi dijelajahi oleh bahasa dan simbol.

Kekurangan (lack) adalah ibu kandung dari hasrat. Secara eksistensial manusia
dikendalikan oleh pelbagai rasa kehilangan dan kekurangan. Kehidupan manusia seperti
merupakan ajang pencarian pemenuhan akan sesuatu yang kurang. Kekurangan dalam
makna yang eksistensial ini tentu tidak akan pernah menjadi penuh atau dapat terpenuhi.
Dalam bahasa Lacan, tidak mungkin kembali pada yang Real. Hal ini sangatlah wajar
dengan mengingat sumber rasa kekurangan pada manusia. Sumber kekurangan adalah
kehilangan “kepenuhan” dalam tataran yang real, sementara didalamnya tidak berdiam
bahasa yang mungkin digunakan untuk mengenali kepenuhan tersebut. Bahasa yang
muncul setelahnya, tidak dapat menjangkau ruang Yang Real, sehingga manusia dengan
bahasa seperti mengejar “kepenuhan” yang tidak dikenali sama sekali.

——————————————————————————–

[1] Bagi Freud terdapat dua alasan kuat atas penolakan atas cara pandang psikoanalisis,
yakni kesulitan menerima pandangan atas adanya determinisme ketat dan menyeluruh
dalam hidup psikis dan ketidaktahuan sebagian besar orang tentang sifat-sifat khusus
yang membedakan proses-proses psikis tidak sadar dengan pelbagai proses sadar yang
terbiasa dalam kehidupan manusia. Lihat Ceramah Ke lima Freud dalam Psikoanalisis
Sigmund Freud. Terj Karl Bertens. Gramedia Pustaka: 2006. Hal 96
[2] Titus, Smith dan Nolan, Persoalan-persoalan Filsafat. Terj HM. Rasjidi. Jakarta.
Bulan Bintang: 1984. hal 78

[3] Menghadapi adagium cartesian, Lacan menyatakan “Je ne suis pas, lá où je suis le
jouet de ma pensee; je pense à ce que je suis, là où je ne pense pas penser.” (I am not,
there where I am the plaything of my tought; I think about what I am, there where I do
not think that I am thingking). Subjek Cogito yang sadar bagi Lacan di dorong oleh ruang
ketidaksadaran yang dapat saja berkata “aku berpikir” atau “aku..”. Lihat Jaques Lacan.
The Language of the Self , the Fuction of Language in Psychoanalisys. Dalam komentar
penerjemah oleh Anthoni Wilden. New York. Delta Book: 1968. hal 183

[4] Cogito merujuk pada ego yang disebut oleh Lacan sebagai “false being”. Lihat Bruce
Fink, The Lacanian Subject, Between Language and Jouissance. New Jersey. Priceton
University. Hal 42-44.

[5] Jujun S. Suriamantri, Ilmu dalam Perpektif, Sebuah Kumpulan Karangan Tentang
Hakekat Ilmu, cet ke xvi. Jakarta. Yayasan Obor Indonesia: 2003. hal 6. Lihat pula Titus,
Smith dan Nolan, Persoalan-persoalan Filsafat. Terj HM. Rasjidi. Jakarta. Bulan Bintang:
1984. hal 234.

[6] Hal tersebut dipersulit dengan sikap Lacan yang tidak tertarik menuliskan
pemikirannya. Beberapa ceramah ilmiah Lacan baru diterbitkan setelah kematiannya,
selebihnya sebatas catatan-catatan tidak resmi dari seminar-seminarnya. Lacan mencela
publikasi dengan menyebutnya sebagai poubellication (bahasa perancis), dari kata
poubelle yang berarti keranjang sampah. Lihat Philip Hill, Lacan Untuk Pemula, terj. A.
Widyamartaya. Yogyakarta. Kanisius: 2002. hal 7

[7] Lihat Antony Wilden,.. Hal 159-160.

[8] Bruce Fink,..hal 36-37

[9] Muhammad Alfayyadl. Derrida, Cet ke-2 .Yogyakarta, LKiS. 2006. hal 123

[10] Dalam seminar ke XXIII Lacan menyebutkan bahwa subjek bukanlah seperti yang
dikira. Artinya subyek tidak pernah lebih dari sekedar asumsi dalam diri kita. Subjek
bukan merupakan sesuatu yang kita sebut sebagai subjek yang sadar seperti yang
berkembang dalam filosofi Anglo-Amerika. Lacan menggunakan lambang “S” dengan
palang yang melintang ditengahnya ($) untuk menyebut subjek yang menunjukkan bahwa
subjek senantiasa dalam kondisi terbelah. Artinya, selalu ada yang menghalangi subyek
untuk mencapai apa yang dikehendaki atau menjadi utuh. Lihat Bruce Fink,..hal 35. Lihat
pula Philip hal,..hal 33

[11] Istilah tanda (sign), penanda (signifier) dan petanda (signified) kesemuanya
merupakan istilah yang terlahir dan berkembang di ranah semiotika. Tanda dalam
pandangan strukturalisme Saussurean merupakan entitas psikolgis yang bersisi-dua,
terdiri dari unsur penanda (berupa citra atau bunyi) dan petanda (“sesuatu yang ditandai”
atau sebuah konsep). Kedua elemen tersebut menyatu dan saling bergantung satu sama
lain. Kombinasi keduanya (antara penanda dan petanda) inilah yang kemudian
menghasilkan sebuah tanda. Penanda merupakan aspek sensoris dari tanda-tanda, yang
dalam bahasa lisan berwujud citra bunyi atau citra akustik yang berkaitan dengan konsep
(petanda) tertentu. Substansinya senantiasa bersifat material seperti bunyi, objek-objek,
tulisan, dll. Sedikit berbeda dengan konsep Saussure tersebut, Lacan, sebagaimana
Roland Barthes, menolak anggitan relasi antara penanda dan petanda. Bagi keduanya
penanda beroperasi secara bebas. Dalam kosakata Lacan penanda berarti kata atau
lambang. Lihat Lihat Kris Budiman. Kosa Semiotika. Yogyakarta. LKiS, 2006. hal 115
dan 93

[12] Istilah semiologi merupakan istilah yang digunakan oleh Fendinand De Saussure
untuk menunjuk sebuah ilmu umum tentang tanda. Dalam definisi Saussure semiologi
merupakan ilmu yang secara khusus mengkaji kehidupan tanda-tanda dalam masyarakat,
dengan demikian menjadi sebuah bagian dari psikologi sosial. Namun pada
perkembangannya, penggunaan istilah semiologi semakin jarang digunakan, digantikan
oleh istilah semiotika yang lebih populer. Istilah ini tetap oleh tokoh-tokoh tertentu di
Perancis yang ingin membedakan bentuk pemikiran mereka dengan pemikiran semiotika
yang berkembang di Amerika dan Italia. Ibid. hal 107-108

[13] Lihat penjelasan istilah ini dalam Jhon Lechte. 50 Filsuf Kontemporer, dari
Strukturalisme sampai Posmodernitas, terj Gunawan Admiranto. Yogyakarta. Kanisius,
2001. hal 115.

[14] Calvin, S. Hall dan Gardner Lindzey. Teori-teori Psikodinamik (Klinis), terj.
Yustinus. Yogyakarta. Kanisius, 1993. hal 90-96

[15] Bruce Fink,..hal 25

[16] Lacan mempergunakan kata liyan (other) dalam berbagai bentuk yang berbeda yang
mempersulit pemahaman atas makna kata tersebut. Cara termudah memahami liyan
adalah sesuatu yang selain aku. Tapi dalam tahapan cermin liyan dapat menjadi aku.
Liyan adalah aku. Citra dalam cermin bagaimanapun adalah selain aku yang diintrodusir
sebagai aku. Liyan sebagai aku disebut liyan (dengan huruf Lacan kecil ?other) yang
berbeda dengan Liyan (dengan huruf l besar?Other) yang berarti liyan-liyan selain “aku”
yang liyan. Liyan (L?mOther) dapat berarti ibu, ayah atau liyan-liyan lain yang eksis di
luar liyan.

[17] Bruce Fink,..49-50

[18] Metafora dalam pandangan Roman Jakobson berarti segala yang mengacu pada
penggantian kata yang harfiah dengan kata lain yang figuratif. Penggantian kata secara
metaforis lebih bersifat analogis. Metonimi merupakan pertautan kata per kata.
Penggantian metonimik dapat terjadi berdasarkan hubungan asosiatif antara kata yang
harfiah dengan penggantinya. Hal-hal yang berhubungan secara logis (sebab akibat-
kausalitas), keseluruhan dan bagian, atau yang dapat diketemukan dalam konteksnya
yang familiar, kesemuanya membangun hubungan yang metonimik antara satu dengan
yang lainnya. Lihat Kris Budiman,..hal 73-74

ANALISIS KOMUNIKASI PSIKOTERAPI PERAWAT


DALAM PENYEMBUHAN PASIEN GANGGUAN JIWA

(Studi Pada Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Lampung)

Oleh

Muhammad Irsan

Kesehatan merupakan hal yang paling mendasar untuk menjalankan aktifitas kita sehari-
hari. Selain dari kesehatan fisik yang dapat mendukung hampir disetiap aktifitas sehari-
hari, ada kesehatan lainnya yang sangat penting untuk dijaga yaitu kesehatan jiwa atau
yang lebih dikenal dengan kesehatan psikologis. Kesehatan jiwa sangat perlu
diperhatikan karena kesehatan ini bersifat fatal. Kesehatan jiwa bisa saja terganggu dari
kejadian yang sering dihadapi sehari-hari seperti halnya stress yang mendalam, tanpa
disadari gejala ringan seperti ini sering sekali diabaikan. Peranan pemerintah dalam
menangani dan mengatasi gangguan jiwa dapat dicermati dengan berdirinya pusat-pusat
rehabilitasi bagi para pasien gangguan jiwa, salah satunya yaitu Rumah Sakit Jiwa (RSJ)
Daerah Provinsi Lampung. Metode pengobatan yang diterapkan di Rumah Sakit Jiwa ini
terdiri dari dua macam pengobatan yaitu pengobatan secara medis dan non medis.
Pengobatan secara medis dilakukan guna menjaga kesehatan para pasien secara fisik.
Sedangkan pengobatan yang dilakukan dengan cara non-medis ini dilakukan dengan cara
pengobatan terapi. Didalam terapi peranan perawat merupakan salah satu faktor penting
didalam proses penyembuhan para pasiennya. Hal ini disebabkan oleh faktor komunikasi
yang lebih dominan dilakukan oleh para perawat. Kegiatan pengobatan itu dimulai
dengan interaksi kepada pasien untuk mencari bantuan psikologis dan perawat menyusun
interaksi dengan mempergunakan dasar psikologis itu untuk membantu pasien dalam
meningkatkan kemampuan meningkatkan diri dalam kehidupannya dengan mengubah
pikiran, perasaan, dan tindakannya. Pesan psikoterapi dari perawatlah yang membawa
pengaruh positif berupa ketenangan (bersifat dukungan) untuk kesembuhan pasien
gangguan jiwa. Hasil yang ditimbulkan akibat suatu proses yang telah dilakukan oleh
perawat diharapkan menimbulkan suatu akibat, efek, atau hasil yang terjadi pada
penerima sesuai dengan keinginan sumber atau tujuan dari komunikasi psikoterapi itu
sendiri.

Berdasarkan fenomena di atas yang membuat penulis tertarik dan sekaligus juga sebagai
tujuan penelitian menggambarkan komunikasi psikoterapi yang dilakukan perawat dalam
pengobatan pasien gangguan jiwa yang berada di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi
Lampung. Metode yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif dengan
pendekatan kualitatif. Sedangkan teknik pengumpulan data dalam studi ini adalah dengan
observasi dan wawancara mendalam (Indepth Interview) yang dipandu dengan pedoman
wawancara.

Selanjutnya, yang penulis jadikan informan adalah perawat yang berpengalaman dan juga
masih aktif, yang berjumlah 5 orang perawat sebagai obyek penelitian dan berdasarkan
kriteria yang telah ditentukan, serta menambahkan tenaga medis lain sebagai key person.
Kemudian data yang diperoleh penulis analisis melalui proses reduksi data, penyajian
data, dan verifikasi atau penarikan kesimpulan.

Hasil dari penelitian ini menunjukkan proses pengobatan pasien gangguan jiwa yang
dilakukan perawat dengan komunikasi psikoterapi di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi
Lampung pada dasarnya komunikasi psikoterapi merupakan metode yang paling efektif
dalam melaksanakan pengobatan bagi pasien gangguan jiwa. Serta, untuk mendukung
proses penyembuhan pasien gangguan jiwa dibutuhkan hubungan kerjasama, pengertian
dan saling membutuhkan antara perawat dan pasien gangguan jiwa selama melakukan
pengobatan dan rehabilitasi untuk mendukung dalam proses penyembuhan pasien
gangguan jiwa yang meliputi, perlakuan perawat terhadap pasien gangguan jiwa,
bimbingan dan pendekatan terhadap pasien gangguan jiwa, dan evaluasi dari hasil
pelaksanaan komunikasi psikoterapi dalam proses pengobatan pasien gangguan jiwa.
Selanjutnya, komunikasi antar pribadi yang dilakukan oleh perawat kepada pasien
gangguan jiwa juga menggambarkan adanya sikap keterbukaan atau sikap membuka diri.
Selain itu, kemampuan ketrampilan kognitif dan keterampilan tindakan sangat diperlukan
perawat dalam menyampaikan pesan kesehatan pada saat melaksankan tugas.

Anda mungkin juga menyukai