ISSN 1907-3232
Daftar Isi
ii
Nomor 20 Tahun XIV Oktober 2016
ISSN 1907-3232
iii
Nomor 20 Tahun XIV Oktober 2016
ISSN 1907-3232
Penerapan Model Pembelajaran Group Investigation Dengan
Media Audio Visual Untuk Meningkatkan Prestasi Belajar Ppkn
Siswa Kelas Viii A Di Smp Negeri 2 Gianyar Pada Semester I
Tahun Pelajaran 2015/2016
I Made Subawa ......................................................................................................................................... 236
iv
Nomor 20 Tahun XIV Oktober 2016
ISSN 1907-3232
vi
Nomor 20 Tahun XIV Oktober 2016
ISSN 1907-3232
vii
PERANAN PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN DALAM
OLEH
ABSTRACT
Important civic education given to the students by the fact that
Indonesia faced on three main issues, namely the challenges of
globalization, permsalahan corruption and terrorism.
Civic education is a subject that focuses on the formation of
citizens who understand and are able to exercise the rights and
obligations to be Indonesian citizens who are intelligent, skilled, and
characterized mandated by Pancasila and the Constitution of 1945. The
character education has been taught through ketauladanan in school,
even been included in the curriculum subject Citizenship
Education.Character education is taught Civics is how to be a citizen of
both passive and active.
Moral degradation was much influenced by the bad
environment because of the lack of social institutions that control social
change.
Keywords: civic education, moral degradation.
BAB I
PENDAHULUAN
1
mengenai demokrasi itu sendiri, dan sudah banyak usaha yang
dilakukan oleh pemerintah untuk memberikan pendidikan demokrasi
baik melalui jalur pendidikan formal maupun non formal. Bahkan
pendidikan demokrasi yang terdapat dalam pendidikan
kewarganegaraan telah diberikan pada tingkat Sekolah Menengah
Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Perguruan Tinggi.
Sedangkan pendidikan demokrasi melalui jalur non formal dapat
terlihat dari banyaknya terbentuk organisasi-organisasi di masyarakat.
1. Globalisasi ekonomi
2. Globalisasi politik
3. Globalisasi budaya
2
perlu dimiliki oleh mahasiswa. Mahasiswa merupakan penerus yang
memiliki tanggung jawab besar yang akan membawa negara ini,
apakah akan membawa ke arah yang lebih baik atau malah sebaliknya
akan membawa ke arah yang buruk. Moralitas mahasiswa merupakan
unsur penting dalam proses sejauh mana berperan dalam pembangunan
untuk menyambut kemajuan negara ini. Mahasiswa sebagai generasi
penerus harus memiliki moralitas yang tinggi agar dapat menjadi filter
atau penyaring bagi pengaruh buruk dari globalisasi. Oleh karena itu
mahasiswa perlu tahu tentang moral, penyebab terjadinya degradasi
moral, dan mengetahui cara untuk memperbaiki dan menjaga moral
mereka.
3
1.4. Metode Penulisan
BAB II
PEMBAHASAN
4
yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa berakhlak
mulia, sehat, berilmu, cakap,, kreatif, mandiri, dan menjadi warga
negara yang demokratis serta bertanggung jawab (Pasal 3 Undang-
undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional).
Secara etimologi moral berasal dari bahasa latin mores yang berarti
adat kebiasaan, akhlak atau kesusilaan yang mengandung makna tata
tertib nurani yang menjadi pembimbing tingkah laku batin dalam
hidup. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia moral berarti ajaran
baik buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban
dan sebagainya; akhlak, budi pekerti, susila. Sedangkan bermoral
adalah mempunyai pertimbangan baik buruk, berakhlak baik.
Sedangkan moralitas adalah tekad untuk mengikuti apa yang ada
dalam hati yang disadari sebagai kewajiban mutlak. Dengan demikian
maka moral adalah norma yang mengatur tingkah laku manusia untuk
melaksanakan perbuatan yang baik atau buruk dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
5
contohnya adalah video porno. Hal ini terjadi karena pengeruh media
melalui tayangan vulgar dan cenderung ke arah pornografi dan
pornoaksi.
6
menumbuhkan rasa cinta tanah air, sedangkan pendidikan tentang
moral menjadi bagian pendidikan agama.
7
memberikan manfaat baik peserta didik maupun seluruh lapisan
masyarakat dan semua instansi dan jajaran pemerintahan.
1. Kualitas keimanan
Sebagai umat beragama mahasiswa harus memiliki keimanan
yang teguh sebagai pegangan dalam berperilaku yang positif,
karena setiap agama pasti memiliki nilai-nilai moral yang luhur
dan arif.
2. Kualitas keilmuan
Mahasiswa harus memiliki intelegensi agar tidak mudah
dibodohi oleh kebudayaan asing yang buruk. Selain itu agar
mahasiswa memiliki kemampuan yang prima terkait bidang
teknologi dan informasi. Dengan itu secara otomatis akan
memunculkan kondisi moral yang baik pula.
8
3. Kualiatas keamalan
Mahasiswa harus memiliki etos kerja yang tinggi. Yang juga
akan menjauhkan mereka dari kegiatan yang kurang
bermanfaat.
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
9
1. Penyebab dari degradasi moral adalah:
a. Tidak adanya pengawasan langsung.
b. Lingkungan yang tidak baik.
c. Tayangan di media massa yang tidak baik.
d. Kurangnya pendidikan moral.
2. Pendidikan kewarganegaraan masih perlu dilaksanakan dari
tingkat Sekolah Dasar hingga tingkat perguruan tinggi karena
pendidikan kewarganegaraan merupakan mata pelajaran yang
fokus pada pembentukan warga negara yang memahami dan
mampu melaksanakan hak dan kewajiban untuk menjadi warga
negara Indonesia yang cerdas, terampil, dan berkarakter yang
diamanatkan oleh Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945.
3.2. Saran
10
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Internet
justanotherwordpress.com site yang diunduh pada tanggal 13 Juli 2016
11
PENGEMBANGAN BAHAN AJAR BARISAN DAN DERET
ARITMATIKA BERWAWASAN PENDIDIKAN MATEMATIKA
REALISTIK BERORIENTASI TRI HITA KARANA
I Wayan Sumandya
Abstract
This study is aimed to material education the Arithmetic Sequences and
Series instrument based on Realistic Mathematics Education oriented to
Tri Hita Karana is order to improve student, activity dan student
achievement. This present study is was development. In this study, the
Arithmetic Sequences and Series learning a Student Book, Teacher
Guidebook and Lesson Plan are developed. This research was
conducted at SMK Wira Harapan. The method used are observation,
questionnaire, and test methods. In this study the validation sheet,
observation sheets as enforceability of study, questionnaire as responses
of students and teachers, observation sheet for students learning
activity, and achievement test are alers mind. The data have been
collected by descriptive processed. In this study, the instrument for
learning Arithmetic Sequences and Series that are validity, practically,
and effectively.
PENDAHULUAN
Pendidikan merupakan hal yang sangat penting dan tidak bisa
lepas dari kehidupan. Pendidikan yang baik adalah pendidikan yang
mampu mencerdaskan kehidupan bangsa, melalui manusia yang cerdas
dan cinta tanah air maka dapat memajukan ekonomi, sosial budaya dan
mengangkat derajat bangsa di mata dunia internasional. Namun sangat
disayangkan apabila sebuah proses pendidikan tidak dapat mencetak
sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas. Untuk itu perlu
diusahakan peningkatan mutu pendidikan.
12
Berbagai usaha telah dilakukan Departemen Pendidikan Nasional
untuk memperbaiki mutu pendidikan nasional, agar tercapai tujuan
secara optimal. Salah satunya yaitu penyempurnaan kurikulum, terlihat
dari Kurikulum 74, Kurikulum 84, Kurikulum 94, Kurikulum 2004,
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), dan saat ini kurikulum
2013. Keberhasilan suatu pendidikan salah satunya ditentukan oleh
bagaimana proses belajar mengajar itu berlangsung. Selain itu proses
interaksi belajar pada prinsipnya tergantung pada guru dan siswa.
Seorang guru dituntut dapat menciptakan suasana belajar mengajar
yang efektif. Sedangkan siswa dituntut menumbuhkan semangat dan
kemauan untuk bersikap aktif dalam proses belajar mengajar, sehingga
keberhasilan dalam belajar dapat tercapai.
Sudiarta (2012) menyatakan, pembelajaran matematika harus
memberikan kesempatan kepada siswa untuk membangun koneksi
matematika yaitu (keterhubungan) antar berbagai konsep-konsep
matematika, maupun dengan konsep-konsep cabang ilmu lain serta
dengan kehidupan sehari-hari, sehingga siswa dapat: (1) melihat
matematika secara terintegrasi; (2) mengeksplorasi masalah
matematika, mendeskripsikan hasilnya dengan berbagai jenis
representasi, seperti grafis numeris, phisis, aljebrais, maupun
representasi verbal; (3) menggunakan ide matematika untuk
memperluas dan memperdalam pemahaman terhadap konsep dan ide
matematika lainya, maupun ide dan konsep berkaitan pada cabang
ilmu lainnya; (4) menggunakan proses berpikir dan ketrampilan
modeling matematis untuk memecahkan masalah-masalah yang ada
pada cabang ilmu lainnya seperti seni, musik, psikologi, ekonomi,
sains, dan sebagainya; (5) menghargai peranan matematika dalam
budaya dan masyarakat.
Dalam mempelajari matematika, siswa tidak hanya bergantung
pada apa yang diajarkan, tetapi juga bagaimana siswa belajar dalam
pembelajaran matematika. Depdiknas (2007) Tentang Standar Proses
menekankan bahwa pembelajaran adalah proses interaksi siswa
dengan guru dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar.
Mengingat kebhinekaan budaya, keragaman latar belakang dan
karakteristik siswa, serta tuntutan untuk menghasilkan lulusan yang
13
bermutu, maka proses pembelajaran harus fleksibel, bervariasi, dan
memenuhi standar.
Salah satu pembelajaran matematika yang menghubungkan
permasalahan matematika dengan permasalahan kontekstual adalah
pendidikan matematika realistik (Sembiring, 2008). Pendidikan
matematika realistik ini dikembangkan oleh Institut Freudenthal sejak
tahun 1971 yang dikenal dengan nama RME (Realistic Mathematics
Education) dengan ide bahwa matematika adalah aktivitas manusia dan
matematika harus dihubungkan dengan masalah kontekstual, dimana
masalah kontekstual digunakan sebagai titik awal untuk pengembangan
ide dan konsep matematika.
Selain kemampuan dalam memecahkan masalah yang berkitan
matematika, tujuan utama dari pendidikan nasional adalah agar
terciptanya kesadaran siswa akan nilai-nilai yang terkandung Pancasila.
Salah satu ajaran yang sesuai dengan nilai-nilai pancasila adalah ajaran
Tri Hita Karana. Jika dikaitkan secara etimologi istilah Tri Hita
Karana, berasal dari kata Tri artinya tiga Hita artinya sejahtera,
bahagia dan Karana artinya peyebab. Ini berari bahwa Tri Hita
Karana adalah tiga penyebab kesejahteraan dan kebahagiaan yaitu
keharmonisan hubungan manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa,
keharmonisan hubungan manusia dengan sesamanya dan keharmonisan
hubungan manusia dengan lingkungan alam sekitarnya.
Dari apa yang sudah diuraikan di atas, penulis mengadakan suatu
penelitian yang berjudul: Pengembangan Bahan Ajar Barisan dan
Derert Aritmatika Berwawasan Pendidikan Matematika Realistik
Berorientasi Tri Hita Karana. Dalam penelitian ini, penulis
mengembangkan suatu bahan ajar barisan dan deret aritmatika yang
digunakan oleh siswa dan guru kelas XI SMK. Adapun bahan ajar yang
dikembangkan adalah Buku Siswa, Buku Petunjuk Guru dan Rencana
Pelaksanaan Pembelajaran.
METODE PENELITIAN
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
penelitian pengembangan, dan dalam penelitian ini dikembangkan
bahan ajar barisan dan deret aritmatika berwawasan pendidikan
14
matematika realistik berorientasi Tri Hita Karana untuk siswa dan guru
kelas XI Sekolah Menengah Kejuruan. Produk yang dihasilkan dalam
penelitian ini adalah bahan ajar barisan dan deret aritmatika
berwawasan pendidikan matematika realistik berorientasi Tri Hita
Karana yang berkualitas valid, praktis, dan efektif.
Penelitian ini dilaksanakan di SMK Wira Harapan Bali tahun
pelajaran 2015/2016. Subjek yang digunakan dalam penelitian ini
adalah disesuaikan dengan tahapan-tahapan penelitian, teknik
pengambilannya menggunakan purposive sampling, hal ini dalukan
karena dalam penelitian pengembangan yang terpenting adalah
menemukan kekurangan dan mendapatkan saran untuk perbaikan dari
bahan ajar yang dikembangan. Penelitian ini mengikuti prosedur
pengembangan Plomp yang terdiri dari 3 fase yaitu: Preliminary
research, Prototyping, dan Assessment. Aspek yang dinilai dalam
penelitian ini adalah aspek validitas (validity), aspek kepraktisan
(practically), dan aspek keefektifan (effectivenees). Instrumen yang
digunakan dalam penelitian ini yaitu: (1) lembar validasi bahan ajar
untuk mengukur validitas konstruks dari pakar; (2) lembar pengamatan
keterlaksanaan bahan ajar; (3) angket respons siswa dan guru terhadap
bahan ajar untuk mengukur kepraktisan bahan ajar yang
dikembangkan; (4) lembar pengamatan aktivitas siswa selama
pembelajaran; dan (5) tes hasil belajar matematika untuk mengukur
keefektifan bahan ajar yang dikembangkan. Data yang telah
dikumpulkan diolah secara deskriptif.
15
diberikan lembar validitas, dimana pada lembar validitas tersebut
memuat beberapa aspek yang meliputi: karkateristik bahan ajar dan isi
bahan ajar. Dalam lembar validasi pendapat validator dikategorikan
menjadi empat skala penilaian, yaitu: sangat baik (skor 4), baik (skor
3), kurang (skor 2), sangat kurang (skor 1). Masing-masing pakar
kemudian menilai seberapa besar kesesuaian antara bahan ajar dan
aspek-aspek yang terdapat pada lembar validasi, dengan mencentang
salah satu skala penilaian yang tertera pada kolom lembar validasi.
Untuk melihat validasi konstruks bahan ajar yang dikembangkan
dilakukan langkah-langkah sebagai berikut, skor yang diperoleh: (1)
terlebih dahulu ditentukan rata-ratanya; (2) rata-rata skor yang
diperoleh dari masing-masing validator dijumlahkan, dan kemudian
dirata-ratakan kembali sampai diperoleh rata-rata skor total; (3)
validitas bahan ajar ditentukan dengan mengkonversi rata-rata skor
total menjadi nilai kualitatif dengan menggunakan kriteria berikut
(Sadra, 2007).
Tabel 01. Konversi Kevalidan Bahan ajar
Skor Kriteria
3,5 Sr 4,0 Sangat valid
2,5 Sr < 3,5 Valid
1,5 Sr < 2,5 Tidak valid
1,00 Sr < 1,5 Sangat tidak valid
16
1). Dimana penilaian pada masing-masing aspek yang diamati
dilakukan dengan mencentang satu skala penilaian yang telah tersedia
pada kolom lembar tersebut. Angket respons guru dan angket respons
siswa masing-masing diberikan kepada para guru dan siswa di akhir
kegiatan uji coba. Baik buruknya respons guru maupun respons siswa
dapat dilihat dari skala penilaian yang dicentang pada masing-masing
aspek yang terdapat pada angket tersebut.
Data yang diproleh kemudian dianalisis dan untuk melihat nilai
kepraktisan bahan ajar yang telah dikembangkan, nilai rata-rata skor
yang diperoleh dikonversikan berdasarkan kriteria sebagai berikut
(Sadra, 2007).
Skor Kriteria
3,5 Sr 4,0 Sangat praktis
2,5 Sr < 3,5 Praktis
1,5 Sr < 2,5 Tidak praktis
1,00 Sr < 1,5 Sangat tidak praktis
Skor Kriteria
Xi < 78,00 Kurang
Xi 78,00 Baik
17
Pada lembar aktivitas siswa selama pembelajaran, penilainnya
dikategorikan menjadi empat skala penilaian, yaitu: sangat baik (skor
4), baik (skor 3), kurang (skor 2), sangat kurang (skor 1). Masing-
masing aspek yang diamati pada lembar aktivitas siswa terdiri empat
deskriptor. Data yang diperoleh dari hasil pengamatan terhadap
aktivitas siswa selama kegiatan pembelajaran juga dianalisis untuk
menilai efektivitas bahan ajar yang dikembangkan, nilai rata-rata skor
yang diperoleh dikonversikan berdasarkan kriteria berikut (Sadra,
2007).
Tabel 04. Konversi Aktivitas Siswa Selama Pembelajaran
Skor Kriteria
3,5 Sr 4,0 Sangat aktif
2,5 Sr < 3,5 Aktif
1,5 Sr < 2,5 Tidak aktif
1,00 Sr < 1,5 Sangat tidak aktif
18
mengindikasikan bahwa kedua bahan ajar itu juga memenuhi kreteria
Valid.
19
No. Rata- Kriteria
Pengamatan
Rata
1. Uji Coba Terbatas 3,0 Praktis
2. Uji Coba Lapangan 1 3,2 Praktis
3. Uji Coba Lapangan 2 3,4 Praktis
20
pembelajaran dan pemberian tes hasil belajar. Pengamatan dilakukan
selama proses pembelajaran berlangsung oleh koordinator tim
matematika dan peneliti mengenai aktivitas siswa selama kegiatan
pembelajaran. Sedangkan tes hasil belajar diberikan setiap akhir
kegiatan uji coba dengan materi yang diujikan mencakup keseluruhan
tentang barisan dan deret aritmatika. Masing-masing kegiatan asesmen
tersebut diuraikan sebagai berikut.
Aktivitas siswa diamati oleh 2 orang pengamat, dimana pengamat
1 merupakan koordinator tim matematika di SMK Wira Harapan dan
pengamat 2 adalah peneliti. Pengamatan dilakukan selama kegiatan
pembelajaran pada masing-masing pertemuan dan rangkuman skor
rata-rata dari kedua pengamat dapat dilihat pada tabel berikut.
21
Tabel 10. Rekpitulasi Data Tes Hasil Belajar
22
dengan bimbingan guru diharapkan siswa bisa menemukan kembali;
(4) interaktivitas (interactivity), dimana interaksi antara siswa dengan
siswa, siswa dengan guru serta siswa dengan bahan ajar juga harus ada
dalam pembelajaran. Bentuk-bentuk interaksi misalnya diskusi,
penjelasan, persetujuan, pertanyaan, dan sebagainya digunakan untuk
mencapai bentuk pengetahuan matematika formal dari bentuk-bentuk
pengetahuan matematika informal yang ditentukan sendiri oleh siswa;
(5) keterkaitan (intertwining), struktur dan konsep matematika saling
berkaitan, biasanya pembahasan suatu topik (unit pelajaran) harus
dieksplorasi untuk mendukung terjadinya proses pembelajaran yang
lebih bermakna.
Sedangkan karakteristik bahan ajarnya adalah: (1) karekateristik
Buku Siswa: disusun secara sistematis, berisi tentang petunjuk
penggunaan buku, peta konsep, kompetensi inti, kompetensi dasar,
tujuan pembelajaran, urutan isi materi di awali dengan memberikan
suatu permasalahan realistik pada siswa, berisi beberapa pertanyaan
yang didiskusikan oleh siswa, kegiatan diskusi diarahkan menuju
pemahaman konsep secara formal, berisi beberapa soal latihan yang
sifatnya untuk menguatkan konsep yang telah dipahami siswa, serta
bersisi daftar pustaka; (2) karakteristik Buku Petunjuk Guru: disusun
secara sistematis, adanya pendahuluan yang mengambarkan isi buku,
petunjuk penggunaan buku, peta konsep, kompetensi inti, kompetensi
dasar, dan tujuan pembelajaran mengenai pembelajaran yang dibahas
dalam Buku Siswa, memuat seluruh isi buku siswa sehingga dalam
pembelajaran guru tidak perlu membawa buku siswa, halaman buku
siswa yang terkait dengan kegiatan pembelajaran tertulis pada buku
guru, tercantum kunci jawaban dari permasalahan yang diberikan di
buku siswa dan tercantum petunjuk pelaksanaan pembelajaran yang
disesuaikan dengan karakteristik pendidikan matematika realistik
berorientasi Tri Hita Karana, serta berisi daftar pustaka; (3)
Karakteristik Rencana Pelaksanaan Pembelajaran: disusun secara
sistematis, adanya peta konsep, indentitas RPP, alokasi waktu,
kompetensi inti, kompetensi dasar, indikator, tujuan pembelajaran, nilai
karakter, materi pembelajaran sesuai dengan buku siswa, metode
pembelajaran pendidikan matematika realistik berorientasi Tri Hita
Karana, langkah-langkah pembelajaran sesuai dengan karakteristik
pendidikan matematika realistik berorientasi Tri Hita Karana, sumber
belajar, alat belajar, instrumen penilaian, kunci jawaban dari instrumen
penilaian, pedoman penskoran, program remedial dan pengayaan serta
tidak lanjut setelah pembelajaran.
23
SIMPULAN DAN SARAN
Penelitian ini telah berhasil mengembangkan bahan ajar barisan
dan deret aritmatika berwawasan pendidikan matematika realistik
berorientasi Tri Hita Karana yang berkualitas valid, prkatis, dan
efektif. Adapun karakteristik pembelajarannya adalah menggunakan
masalah kontekstual, menggunakan berbagai model, kontribusi siswa,
interaktivitas, keterkaitan. Sedangkan karakteristik bahan ajarnya
adalah: bahan ajar disusun secara sistematis, berisi tentang petunjuk
penggunaan buku, peta konsep, kompetensi inti, kompetensi dasar,
tujuan pembelajaran, urutan isi materi di awali dengan memberikan
suatu permasalahan realistik, tugas-tugas yang diberikan didiskusikan
dengan teman sejawat, latihan soal yang diberikan sifatnya untuk
menguatkan konsep yang telah dipahami siswa, langkah-langkah
pembelajaran pada buku guru berada disebelah kiri buku siswa, dan
kunci jawaban disesuaikan dengan permasalahan yang ada pada buku
siswa.
Berdasarkan simpulan di atas dapat disarankan beberapa hal
sebagai berikut: (1) bahan ajar yang dihasilkan masih perlu
diujicobakan di sekolah-sekolah lain dengan berbagai kondisi agar
diperoleh bahan ajar yang benar-benar berkualitas; (2) bagi pihak yang
ingin menerapkan bahan ajar yang telah dikembangkan dalam
penelitian ini, maka sebisa mungkin dianalisis kembali untuk
disesuaikan penerapannya, terutama dalam penyediaan sarana dan
prasarana serta karakteristik siswa yang ada pada sekolah-sekolah
tempat bahan ajar ini akan diterapkan; (3) pembelajaran di SMK sebisa
mungkin menggunakan permasalahan matematika realistik, agar siswa
dapat menyelesaikan permasalahan realistik yang akan dihadapi
sehingga pembelajaran matematika akan menjadi lebih bermakna bagi
siswa.
DAFTAR PUSTAKA
Ardana. (2000). Pengembangan Pembelajaran Kooperatif Team-
Assisted Individualization Berwawasan Konstruktivis Sebagai
Upaya Penyesuaian Strategi Pembelajaran Dengan Kemampuan
Siswa yang Beragam di SLTPN 1 Singaraja. Hasil Penelitian
(tidak diterbitkan). IKIP Singaraja.
-------. 2007. Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI).
Makalah disajikan dalam Seminar Matematika Regional Bali.
Universitas Pendidikan Ganesha. Singaraja 26 Nopember 2007.
24
Adri, Muhamad. 2010. Dampak Strategi Tri Hita Karana Berorientasi
Learning Management System (LMS) terhadap Kemampuan
Mahasiswa. Disertasi Tahun 2010 (tidak diterbitkan). Jakarta :
Universitas Negeri Jakarta.
Budiningsih, A. 2004. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka
Cipta.
Depdiknas, 2006. Permen DIKNAS No 22 Tahun 2006 Tentang
Standar Isi Pendidikan.
Depdiknas, 2006. Permen Diknas No 23 Tahun 2007, Tentang
Kelulusan Pendidikan.
Depdiknas, 2007. Permen Diknas No 41 Tahun 2007, Tentang Standar
Proses Pendidikan.
Hadi, Sutarto. 2005. Pendidikan Matematika Realistik dan
Implementasinya. Banjarmasin: Tulip.
Khaerudin. 2010. Pengembangan Model Tri Hita Karanadengan
Pendekatan Konstruktivistik pada Mata Kuliah Evaluasi Hasil
Belajar. Hasil Seleksi Disertasi Tahun 2010 (tidak diterbitkan).
Jakarta: Universitas Negeri Jakarta.
Lujeng. Tujuan Pembelajaran Matematika Berdasarkan Permendiknas
No. 2 Tahun 2006.
http://matematikalujeng.blogspot.com/2013/02/tujuan-
pembelajaran-matematika-sekolah.html. Didownload pada tanggal
18 April 2016.
Makhfudin. 2011. Inovasi Pembelajaran Matematika.
http://ochimath.wordpress.com/2012/01/11/inovasi-pembelajaran-
matematika/. Didownload pada tanggal 18 April 2015.
Nurkancana, Wayan dan Sunartana. 1992. Evaluasi Pendidikan.
Surabaya: Usaha Nasional.
Nieveen, N., McKenney,S., van den Akker.2006. Educational
Design Research dalam Educational Design Research. New
York: Routledge
Pusat Bahasa. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. http://Pusat
Bahasa. Diknas. co.id/KBB/indeXI.php. Didownload pada tanggal
28 Januari 2016.
Plomp. 2010. Educational Design Research : An Introduction,
dalam An Introduction to Educational Research. Enschede,
Netherland : National Institute for Curriculum Development.
Prastyanto, Yudhi Ari (Dkk). Makalah E-Learning.
http://www.google.co.id. Didownload pada tanggal 2 juli 2016.
25
Rusman. 2010. Model-Model Pembelajaran. Jakarta: Raja Grasindo
Persada.
Riduwan. 2010. Dasar-Dasar Statistika. Bandung: Afabeta.
Suharta, I Gusti Putu, dan Suarjana, I Made. 2006. Pengembangan
Bahan ajar Matematika Realistik untuk Siswa Sekolah Dasar yang
Berorientasi Pada Pemecahan Masalah, Penalaran dan
Komunikasi Matematika. Laporan Penelitian (tidak diterbitkan).
Universitas Pendidikan Ganesha.
Sembiring, R.K. 2008. Apa dan Mengapa PMRI, Majalah Pendidikan
Matematika Realistik Indonesia, Volume VI, No. 4, Oktober 2008
(hlm. 60-61). Bandung.
26
PERBEDAAN HASIL BELAJAR KEWIRAUSAHAAN
DENGAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF
TIPE THINK PAIR SHARE (TPS) DAN STUDENT
TEAMS ACHIEVEMENT DIVISION (STAD) PADA
PESERTA DIDIK KELAS XI AP 1 DAN 2
SMK WIDYA MANDALA BADUNG
TAHUN PELAJARAN 2014/2015
I Ketut Westra
Abstract
27
PENDAHULUAN
Rendahnya hasil belajar pada mata pelajaran kewirausahaan di
SMK Widya Mandala Badung kelas XI Akomodasi Perhotelan 1 dan 2,
ini membuktikan kesulitan peserta didik dalam menerima pembelajaran
yang tercermin pada nilai yang diperoleh dalam setiap pelaksanaan tes.
Proses pembelajaran di kelas selama ini masih menggunakan model
pembelajaran konvensional yang berlangsung satu arah yaitu guru
menerangkan dan siswa mendengarkan, mencatat, serta mengahafal
dengan tujuan materi akan cepat selesai. Hal ini menyebabkan
kurangnya aktifitas peserta didik, cenderung pasif, cepat bosan dan
tidak banyak mengembangkan kemampuan berfikir terutama dalam
memecahkan suatu permasalahan.Hal ini menyebabkan pentingnya
model pembelajaran yang bervariasi untuk mengembalikan semangat
belajar sehingga konsentrasi peserta didik kembali normal.Untuk
mengatasi permasalahan ini dipandang perlu untuk merubah strategi
pembelajaran sehingga prestasi belajar peserta didik menjadi
meningkat.Salah satu model pembelajaran yang dapat digunakan
adalah Think Pair Share (TPS) dan Student Teams Achievement
Division (STAD).Dua model pembelajaran tersebut penting diterapkan
untuk mengetahui model pembelajaran yang lebih mampu
meningkatkan prestasi peserta didik secara efektif dan
efisien.Perolehan hasil belajar yang berbeda dari kedua model
pembelajaran tersebut, peneliti termotivasi untuk mengetahui sejauh
mana signifikansi perbedaan hasil belajar dari kedua model
pembelajaran yang diterapkan dan model pembelajaran yang mana
yang lebih efektif diterapkan khususnya dalam mata pelajaran
kewirausahaan.
Pembelajaran berpengaruh terhadap pencapaian hasil belajar
peserta didik. Pembelajaran dapat dikatakan berhasil jika peserta didik
menunjukkan tingkat penguasaan yang tinggi terhadap tugas-tugas
belajar yang harus dikuasai dengan sasaran dan tujuan pembelajaran.
Untuk mencapai hal tersebut guru harus memiliki strategi agar peserta
didik dapat belajar secara efektif dan efesien, sesuai tujuan yang
diharapkan. Salah satunya adalah guru harus menguasai teknik-teknik
penyajian atau model pembelajaran. Guru dalam memilih model
28
pembelajaran harus tetap bertolak pada tujuan yang ingin dicapai serta
sesuai dengan materi yang akan diajarkan.
Salah satu model pembelajaran yang mampu meningkatkan minat,
keaktifan, perhatian serta belajar memecahkan masalah dengan
menggunakan kelompok-kelompok kecil adalah Think Pair Share
(TPS) dan Student Teams Achievement Division (STAD). Dengan
model pembelajaran ini diharapkan dapat meningkatkan hasil belajar
peserta didik.
KAJIAN PUSTAKA
Hasil belajar adalah kemampuan-kemampuan yang dimiliki peserta
didik setelah menerima pengalaman belajarnya.Faktor-faktor yang
mempengaruhi keberhasilan belajar dapat dibagi menjadi dua bagian,
yaitu faktor intern adalah yang ada di dalam diri individu yang sedang
belajar, sedangkan faktor ekstern adalah faktor yang ada diluar
individu.
Pembelajaran kooperatif merupakan suatu sistem pengajaran yang
memberi kesempatan kepada anak didik untuk bekerja sama dengan
sesama siswa dalam tugas-tugas yang terstruktur, belajar kooperatif
lebih dari sekedar belajar kelompok karena dalam belajar kooperatif
ada struktur dorongan/tugas yang bersifat kooperatif sehingga
memudahkan terjadinya interaksi secara terbuka dan hubungan yang
bersifat interdependensi efektif diantara anggota kelompok.
Think Pair Share merupakan suatu teknik sederhana dengan
keuntungan besar.Think Pair Share dapat meningkatkan kemampuan
siswa dalam mengingat suatu informasi dan seorang siswa juga dapat
belajar dari siswa lain serta saling menyampaikan idenya untuk di
diskusikan sebelum disampaikan di dalam kelas. Selain itu, Think Pair
Share juga dapat memperbaiki rasa percaya diri dan semua diberi
kesempatan untuk berpartisipasi dalam kelas. Tahap utama dalam
pembelajaran Think Pair Share menurut Ibrahim, (2000:26-27) adalah
sebagai berikut :
1. Tahap 1 : Thinking (berpikir)
Guru mengajukan pertanyaan atas isu yang berhubungan dengan
topik pelajaran. Kemudian siswa diminta untuk memikirkan pertanyaan
atas isu tersebut secara mandiri ubtuk beberapa saat.Dalam tahap ini
siswa dituntut lebih mandiri dalam mengolah informasi yang dia dapat.
2. Tahap2: Pairing (berpasangan)
29
Pada tahap ini guru meminta siswa berpasangan dengan siswa lain
untuk mendiskusika apa yang telah dipikirkannya pada tahap pertama.
Dalam tahap ini, setiap anggota pada kelompok membandingkan
jawaban atau hasil pemikiran mereka dengan mendefinisikan jawaban
yang dianggap paling benar, paling meyakinkan, atau paling
unik.Biasanya guru memberi waktu 4-5 menit untuk berpasangan.
3. Tahap 3 : Sharing (berbagi)
Pada tahap akhir, guru meminta kepada siswa yang berpasangan untuk
berbagi dengan seluruh kelas tentang apa yang telah mereka bicarakan.
Keterampilan berbagi dalam seluruh kelas dapat dilakukan dengan
menunjuk pasangan yang secara sukarela bersedia melaporkan hasil
kerja kelompoknya atau bergiliran pasangan demi pasangan hingga
sekitar seperempat pasangan telah mendapat kesempatan untuk
melaporkan hasil kerja kelompoknya.
Kelebihan dan Kelemahan Model Pembelajaran Think Pair
Share (TPS)
30
siswa tertentu yang benar-benar rajin dan cepat dalam menerima materi
yang disampaikan oleh guru sedangkan siswa hanyalah pendengar
materi yang disampaikan oleh guru. Dengan pembelajaran TPS hal ini
dapat diminimalisir sebab semua siswa akan terlibat dengan
permasalahan yang diberikan oleh guru.
e. Hasil belajar lebih mendalam. Parameter dalam PBM adalah hail
belajar yang diraih oleh siswa. Dengan pembelajaran TPS
perkembangan hasil belajar siswa dapat diidentifikasi secara
bertahap.Sehingga pada akhir pembelajaran hasil yang diperoleh siswa
dapat lebih optimal.
f. Meningkatkan kebaikan budi, kepekaan dan toleransi. Sistem
kerjasama yang diterapkan dalam model pembelajaran TPS menuntut
siswa untuk dapat bekerja sama dalam tim, sehingga siswa dituntut
untuk dapat belajar berempati, menerima pendapat orang lain atau
mengakui secara sportif jika pendapatnya tidak diterima
2). Kelemahan :
Kelemahan metode Think Pair Share (TPS) adalah
pembelajaran yang baru diketahui, kemungkinan yang dapat timbul
adalah sejumlah siswa bingung, sebagian kehilangan rasa percaya diri,
saling mengganggu antar siswa (Ibrahim, 2000:18).
31
d.Pengaturan Tempat Duduk
Pengaturan tempat duduk dalam kelas kooperatif perlu juga diatur
dengan baik, hal ini dilakukan untuk menunjang keberhasilan
pembelajaran kooperatif, apabila tidak ada pengaturan tempat duduk
dapat menimbulkan kekacauan yang menyebabkan gagalnya
pembelajaran pada kelas kooperatif.
e.Kerja Kelompok
Untuk mencegah adanya hambatan pada pembelajaran kooperati tipe
STAD, terlebih dahulu diadakan latihan kerja sama kelompok. Hal
ini bertujuan untuk lebih jauh mengenalkan masing-masing individu
dalam kelompok.
Keunggulan dan kelemahan dari model pembelajaran Student Teams
Achievement Division (STAD) adalah sebagai berikut.
1). Keunggulan :
a. Dapat memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk
menggunakan keterampilan bertanya dan membahas suatu masalah.
b. Dapat memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk lebih
intensif mengadakan penyelidikan mengenai suatu masalah.
c. Dapat mengembangkan bakat kepemimpinan dan mengajarkan
keterampilan berdiskusi.
d. Dapat memungkinkan guru untuk lebih memperhatikan peserta
didik sebagai individu dan kebutuhan belajarnya.
e. Para peserta didik lebih aktif bergabung dalam pelajaran mereka
dan mereka lebih aktif dalam diskusi.
f. Dapat memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk
mengembangkan rasa menghargai, menghormati pribadi temannya,
dan menghargai pendapat orang lain.(Trianto, 2009:73).
2). Kelemahan :
Kerja kelompok hanya melibatkan mereka yang mampu
memimpin dan mengarahkan mereka yang kurang pandai dan
kadang-kadang menuntut tempat yang berbeda dan gaya-gaya
mengajar berbeda.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan rancangan Posttest-only Control Design
dengan melibatkan sampel 62 peserta didik SMK Widya Mandala
Badung. Sampel penelitian ini diambil dengan menggunakan random
sampling atau sampel kelompok dengan cara random (acak). Variabel
penelitian adalah segala sesuatu yang berbentuk apa saja yang
32
ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari sehingga diperoleh informasi
tentang hal tersebut, kemudian ditarik kesimpulannya.
Variabel yang terkait dalam penelitian ini adalah variabel bebas
(independent variabel) dan variabel terikat (dependent variabel).
Variabel bebas adalah merupakan variabel yang mempengaruhi atau
yang menjadi sebab perubahannya atau timbulnya variabel terikat
(Sugiyono, 2012:39). Variabel terikat adalah variabel yang dipengaruhi
atau yang menjadi akibat, karena adanya variabel bebas. Yang menjadi
variabel bebas dalam penelitian ini adalah model pembelajaran Think
Pair Share (TPS) dan Student Teams Achievement Division (STAD).
Sedangkan yang menjadi variabel terikat pada penelitian ini adalah
hasil belajar kewirausahaan peserta didik kelas XI AP 1 dan 2 SMK
Widya Mandala Badung tahun pelajaran 2014/2015.
33
kewirausahaan, maka sudah selayaknya strategi pembelajaran
mengalami perubahan dan penyesuaian. Seorang wirausahawan adalah
individu yang memperoleh peluang, menciptakan, selalu mencari
perubahan, serta menanggapi dan memanfaatkan peluang tersebut.
Banyak model pembelajaran yang dapat dipergunakan dalam
pendidikan kewirausahaan, namun pada prinsipnya model
pembelajaran harus beragam dan tidak membatasi ruang bagi siswa
untuk berkreasi baik dalam bentuk ide dan prilaku. Akan tetapi dalam
model pembelajaran juga harus memberikan kebebasan guru untuk
merumuskan model pembelajaran sendiri. Sebenarnya tidak ada suatu
model yang baku, namun dalam penelitian ini, yang bertujuan untuk
menemukan model pembelajaran yang sesuai dengan mata pelajaran
kewirausahaan. Peneliti mencoba membandingkan 2 model
pembelajaran kooperatif, yaitu Think Pair Share (TPS) dan Student
Teams Achievement Division (STAD).
Adapun analisis data dalam penelitian ini menggunakan analisis
statistika inferensial parametrik dan pengujian hipotesis menggunakan
uji t-test atau uji beda, terdapat beberapa syarat yang harus dipenuhi
dalam pengujian hipotesis yaitu uji normalitas data dan uji homogenitas
data. Dari uji normalitas data diperoleh X2hit= 0,176 untuk kelompok
eksperimen 1, sedangkan X2hit= 0,207 untuk kelompok eksperimen 2
dan masing masing kelompok mempunyai X2tabel = 11,070 dengan
taraf signifikansi 5%, jadi kedua data berdistribusi normal. Dari uji
homogenitas diperoleh F hitung 1,23, sedangkan F tabel = 1,84 dengan
taraf signifikansi 5%, jadi kedua data bersifat homogen.
Berdasarkan hasil analisis data, terbukti bahwa terdapat perbedaan
hasil belajar antara peserta didik yang diajarkan dengan menggunakan
model pembelajaran Think Pair Share (TPS) dengan peserta didik yang
diajarkan dengan model pembelajaran Student Teams Achievement
Division (STAD). Hal ini ditunjukkan dari hasil uji t atau uji beda yang
ternyata signifikan. Selanjutnya terbukti bahwa model pembelajaran
Think Pair Share (TPS) memiliki skor rata-rata sebesar 84,56 lebih
tinggi daripada hasil belajar kewirausahaan peserta didik yang
menggunakan model pembelajaran Student Teams Achievement
Division (STAD) dengan skor rata-rata sebesar 78,11. Jadi dalam
perbandingan antara peserta didik yang diajarkan menggunakan model
pembelajaran Think Pair Share (TPS) dengan peserta didik yang
diajarkan dengan model pembelajaran Student Teams Achievement
Division (STAD) terdapat perbedaan hasil belajar kewirausahaan.
Dengan kata lain ada perbedaan hasil belajar kewirausahaan antara
34
peserta didik yang diajarkan menggunakan model pembelajaran Think
Pair Share (TPS) dengan peserta didik yang diajarkan dengan model
pembelajaran Student Teams Achievement Division (STAD). Perbedaan
yang diperoleh melalui pembelajaran ini menunjukkan bahwa model
pembelajaran Think Pair Share (TPS) lebih baik diterapkan dalam
pembelajaran kewirausahaan. Hal ini terjadi karena adanya kesesuaian
antara pembelajaran kewirausahaan dengan model pembelajaran Think
Pair Share (TPS) dan dalam model pembelajaran Student
TeamsAchievement Division (STAD) struktur tim kerja kelompok
belajar yang diterapkan masih bersifat heterogen dengan 4-5 anggota,
kerja kelompok dalam model ini hanya melibatkan mereka yang
mampu memimpin dan mengarahkan mereka yang kurang pandai dan
kadang-kadang menuntut tempat yang berbeda juga. Sedangkan dalam
penerapan model Think Pair Share (TPS) struktur tim kerja kelompok
bervariasi dan peserta didik berpasangan untuk berdiskusi, mereka
membandingkan jawaban atau hasil pemikiran dengan mendefinisikan
jawaban yang dianggap paling benar dan paling meyakinkan. Dari hasil
penilaian juga kedua model ini sangat berbeda, dalam Student Teams
Achievement Division (STAD) rubik penilaiannya hanya pada tes
mingguan, sedangkan pada Think Pair Share (TPS) rubik penilaiannya
bervariasi.
Pengimplementasian cooperatif learning dengan model Think Pair
Share (TPS) dapat meningkatkan keaktifan siswa yang secara langsung
juga meningkatkan hasil belajar. Guru sebagai fasilitator berperan
untuk menciptakan suasana dan lingkungan sekitar yang dapat
menunjang kondisi belajar peserta didik sesuai dengan minat, bakat,
dan kebutuhannya. Model pembelajaran Think Pair Share (TPS) dalam
pembelajaran kewirausahaan mampu mengkondisikan peserta didik
bekerja kelompok untuk memecahkan permasalahan dan menemukan
konsep baru serta mengembangkan ketrampilan bertanya dan berpikir
kritis dalam menyikapi permasalahan. Oleh sebab itu peranan guru
sebagai fasilitator berperan untuk menciptakan suasana dan lingkungan
sekitar yang dapat menunjang kondisi belajar peserta didik sesuai
dengan minat, bakat, dan kebutuhannya. Disamping itu, salah satu
faktor keberhasilan pelaksanaan model ini adalah pada tahap persiapan
seorang guru. Guru harus memiliki persiapan secara matang mulai dari
modul pembelajaran, dan lebih dari itu pendalaman materi
kewirausahaan yang sangat penting dan tidak boleh diabaikan. Kondisi
ini akan lebih memotivasi peserta didik untuk aktif dan kreatif dalam
pembelajaran, sehingga dengan penguasaan konsep kewirausahaan
35
yang lebih tinggi tentunya akan memperoleh hasil belajar yang semakin
baik.
Dilihat dari aspek peserta didik, model pembelajaran Think Pair
Share (TPS) memiliki peluang untuk pengembangan kreativitas
akademik. Hal ini disebabkan oleh dalam mata pelajaran
kewirausahaan peserta didik dituntut untuk mengenal, menerima,
menyerap, dan memahami keterkaitan atau hubungan antara konsep,
pengetahuan, nilai atau tindakan yang terdapat dalam beberapa
indikator dan kompetensi dasar. Maka daripada itu seorang guru
sudah seharusnya mampu menciptakan suasana kelas yang kondusif
dengan adanya fasilitas yang mendukung, dan bahan yang diberikan
kepada peserta didik memang cocok dengan model pembelajaran
yang diterapkan. Pendekatan pembelajaran Think Pair Share (TPS)
ini suatu waktu diperlukan dan perlu digunakan untuk membina dan
mengembangkan sikap sosial peserta didik. Hal ini disadari bahwa
peserta didik adalah sejenis makhluk sosial, yakni makhluk yang
berkecendrungan untuk hidup bersama dan diharapkan dapat
ditumbuhkembangkan rasa sosial yang tinggi pada diri setiap peserta
didik. Maka kompetensi guru dalam hal ini selain harus menguasi
bahan atau materi ajar guru juga harus mengenal kemampuan
peserta didik, karena dalam pembelajaran kewirausahaan perlu
pemahaman yang mendalam mengenai konsep bukan sekedar
mentransfer ilmu tersebut dan peserta didik menghapalnya.
Sehingga model pembelajaran Think Pair Share (TPS) layak untuk
dikembangkan oleh para guru dalam mata pelajaran kewirausahaan.
SIMPULAN
1. Penelitian ini menemukan bahwa hasil belajar kewirausahaan
peserta didik yang diajarkan menggunakan model pembelajaran
Think Pair Share (TPS)ada perbedaan secara signifikan dengan
hasil belajar kewirausahan peserta didik yang diajarkan
menggunakan model pembelajaran Student Teams Achievement
Division (STAD).
2. Berdasarkan hasil analisis data diperoleh thitung sebesar 4,542
sedangkan ttabel pada taraf signifikansi 5% dan dan dk = n1 +
n2 2 = 31 + 31 2 = 60 adalah 2,000 ini menunjukkan nilai
thitung > ttabel oleh karena itu Ho yang diajukan ditolak dan
Ha diterima, maka dapat diinterpretasikan bahwa rata-rata
36
kelompok eksperimen 1 lebih baik dibandingkan kelompok
eksperimen 2, artinya rata-rata hasil post test kelompok
eksperimen 1 dan eksperimen 2 berbeda secara signifikan,
sehingga model pembelajaran Think Pair Share (TPS) layak
untuk dikembangkan oleh para guru dalam mata pelajaran
kewirausahaan.
DAFTAR PUSTAKA
37
http://accounts/1000/shared/download/2012/09/ktsp smart
system_model pembelajaran think pair and share.html.
Diakses : Tanggal November 2014
http://shtiaa.blogspot.com.Diakses : Tanggal 15 Januari 2015
DAMPAK PERTUNJUKAN TURISTIK
TERHADAP PEREMBANGAN KESENIAN BALI
I Wayan Mastra
Abstract
In this era, the popularity of Balinese touristic performance
which is sold in Bali tourism objects such as in Badung, Gianyar,
Denpasar and another tourism objects are still running well based on
the vision, mission, purpose and target working procedures of the
department of culture in Bali. Namely, the realization of the Bali
culture preservation (although in the ups and downs situation) until
now. Hospitality becomes one of the livelihood sources of Balinese
people. Open up the opportunities of contact occurrence between
foreign cultures and local culture. A kind of new phenomenon which is
experienced by Balinese people. That is selling the art by bringing the
guest in and then they will come in to give their dollars. Touristic
performance which is started from 1930 till now has spreaded into all
kind of arts. There are many arguments about Bali performances
shifting function and the decrease in the intensity also quality of the
implementation of it. Thus, the problem is how to apply the touristic
performances without compromising the identity of art itself and then
still could sell to the guest. This is in line with the vision and mission of
the working procedures related to the department of culture which is
still reffering to the realization of the conservation and Bali cultural
empowerment. Once studied in depth, it turns performing arts in Bali
touristic is oriented on establishing a dwi tunggal commitments,
namely to maintain the value and authenticity of art in bali also welfare
issues. Therefore, the impact of touristic performances in Bali has
positive and negative attributes. It is interesting to study.
38
Key words: The impact of touristic performance, Balinese art,
Positive, Negative
1. Pendahuluan
Fokus tulisan ini adalah pertunjukan turistik, yang bertampak terhadap
keberadaan dan perkembangan kesenian Bali, diantaranya telah terjadi
pergeseran atau peubahan nilai-nilai seni yang sangat berarti bagi
masyarakat Bali, serta tantangan-tantangan yang akan dihadapinya di
masa mendatang. Dimana seni pertunjukan turistik dianggap barang
dagangan yaitu sebagai salah satu sistem yang memiliki fungsi penting
dalam membentuk kebudayaan itu sendiri, sehingga mampu berbicara
mengenai kebudayaan yang menghasilkan (Geertz 1983). Dengan
demikian perubahan akan dilihat sebagai gejala terjadinya pergeseran
kesenian.
Hasil pengalaman penulis terhadap kesenian toristik di Bali tahun
1990-an mengalami perkembangan yang cukup pesat untuk industri
pariwisata budaya, kemudian telah terjadi proses komersialisasi dan
skulerisasi dalam kebudayaan Bali yang disebabkan oleh
perubahan/pergeseran fungsi serta tujuan pertunjukan. Fenomena
pertujukan toristik seperti saat ini adalah merupakan tuntutan baru oleh
masyarakat Bali, oleh karena itu mau dan tidak mau seni budaya akan
menimbulkan berbagai perubahan, yakni pergeseran nilai bersifat
menguntungkan (positif) dan merugikan(negatif) kesenian itu
sendiri.
Muara dari balik perkembangan yang pesat tersebut, mutu pertunjukan
turistik kini mengalami penurunan. Sumandyo Hadi (2014:1) dalam
39
Seminar Seni Pertunjukan ISI Denpasar menekankan, seni tradisi
kerakyatan maupun kesenian Kraton (Kerajaan) dapat menjadi sumber
infirasi kajian maupun ciptaan karya seni Nasional-Internasional.
Untuk itu, di masa-masa mendatang keberadaan kesenian turistik ini
perlu dipertahankan mutunya, sehingga tetap ajeg, berapresiasi serta
penanganan yang lebih serius oleh pemerintah terkait dan dari pihak
pemakai. Dengan adanya itu, sehingga mampu dalam menjawab
tantangan global yang kompleks dan bersaing pada pasar bebas
ekonomi ASIAN kini sedang dimulai.
Tentang adanya turistik ke Bali, secara otomatis ada kontak
kebudayaan. Oleh Ida Bagus Mantra seorang budayawan (2014) dalam
makalah Porum Sanggar Seni Pertunjukan Untuk Pariwisata Budaya,
oleh Dinas Kesenian Provinsi Bali telah memprediksi; dan
mengantisipasi langkah kontak kebudayaan (culture) hendaknya jangan
sampai memusnahkan identitas bangsa, sehingga aspek sosial budaya
merupakan faktor dasar pembentukan corak dan warna keperibadian
bangsa. Lebih lanjut Beliau mengunkapkan, bahwa penting penyiapan
sebuah wadah dan ajang tampil terhadap potensi seni budaya yang
dimiliki. Hal ini ditegaskan dengan Kebijakan Pemerintah Bali dalam
pembangunan seni budaya Bali tercermin pada Visi, Misi Perda
Provinsi Bali no. 12 tahun 1988, dalam Porum Sanggar Seni Untuk
Kepariwisataan Bali (1994:1-2), yaitu terwujudnya kelestarian dan
keberdayaan Budaya Bali. Dengan adanya keberlanjutan seni
pertunjukan turistik kini menjadi kontak kebudayaan yang tidak bisa
dipungkiri lagi, secara automatis wisata yang datang tersebut membawa
pengaruh terhadap kebudayaan Bali atau terjadi akultrasi kebudayaan.
Hal inilah yang perlu diwaspadai, seperti pendapat (Miguel Cavarr
40
Rubias dalam I Wayan Dibia,1977:30) menegaskan: the contact of
such a culture (Bali) with our civilization in the form of trade,
unsuitable education, turis, and Balinese. Artinya, dampak seperti ini
harus diantisifasi, karena dapat mengancam pelestaraian seni budaya
Bali sebagi salah satu bagian dari warisan budaya bangsa.
41
meliputi elemen-elemen penyajian garapan; gerak, waktu, dan ruang
maupun alat musiknya tidak lagi utuh seperti sediakala. Gerak, yaitu
pengurangan intentitas, kualitasnya; waktu, berkurangnya dorasi
dipertunjukan; ruang, menyangkut bidang/tempat pentas tidak memadai
lagi; musik, dari jumlah instrumen yang komplit, menjadi kurang
komplit. Pernyataan ini menandakan penurunan bobot seni pertunjukan
dan sekaligus menjadi sebuah pengorbanan identitas pertunjukan
kesenian Bali.
Seni pertunjukan turistik pada hakekatnya adalah produk
budaya Bali modern yang lahir dari kandungan kepariwisataan.
Kesenian ini muncul sejak Bali kedatangan turis-turis asing dari Eropa,
Amerika dan lain-lainnya. Pertunjukan Bali sudah sejajak lama untuk
menghibur orang asing, namun bagi seniman profesi noris bagi
seniman panggung Bali merupakan yang baru. yang muncul mulai
sekitar tahun 1930-an (Dibia,1997:31).
Sebelum melangkah pada fungsi kesenian Bali,
terlebihdulu penulis uraikan fungsi kesenian Indonesia, oleh Edi
Sedyawati (1981 dalam Rai S, 2007:4) dapat dibedakan menjadi
Tujuh: (1) untuk memanggil kekuatan gaib, (2) mengundang roh agar
hadir di tempat pemujaan, (3) menjemput roh-roh baik, (4) peringatan
terhadap nenek moyang, (5) mengiringi upacara perputaran waktu, (6)
mengiringi upacara siklus hidup dan (7) untuk mengungkapkan
alam semesta. Dalam seni pertunjukan tidak bisa lepas dengan musik,
maka secara mengkusus fungsi seni musik oleh Alan Mariam bukunya
The Anthropology Of Music (1964), menyatakan bahwa ada Sepuluh
fungsi seni, yaitu: (1) sebagai ekspresi emosional, (2) kenikmatan
estetis. (3) sebagi hiburan, (4) sebagi alat komunikasi, (5) sebgai
42
persembahan simbolik, (6) sebagi respon fisik, (7) sebagai menjaga
norma kepada masyarakat, (8) sebagai untuk pengukuhan intitusi, (9)
sebagai stabilitas kebudayaan, (10) sebagai sarana intergritas
masyarakat.
Selanjtnya Nyoman Sadwika (2013:52) dalam Jurnal Pendidikan
Bahasa dan Seni, menyebutkan fungsi seni Sekar Alit sebagai Sarana
Pembelajaran Budi Pekerti yang intinya untuk menjaga stabilitas
bangsa, sekaligus untuk mencapai tujuan pembangunan nasional.
Kusus untuk fungsi kesenian Bali, yang masih lestari sampai saat ini
adalah mencakup fungsi kesenian menyeluruh, tapi lebih cendrung
menggunakan pendapat Edi Sedyawati. Selanjutnya karena ada
penerapan penyajian seni pertunjukan di masyarakat Bali yang sering
baur (rancu) di pulau Dewata ini, yakni (sulit membedakan), yang
mana kesenian sakral, untuk wali dan tontonan dan yang mana sebagi
hiburan (Blih-Balihan)?. Dengan itu kesenian Bali dapat dipilah atas
tiga fungsi, yaitu: sebagai kesenian Wali, sebagai Bebali dan sebagai
Balih-Balihan (Keputusan Seminar Seni Sakral Dan Ppofan Bidang
Tari Bali, 1971). Kesenian toristik ini adalah tergolong kesenian Balih-
Balihan (secular arts form), yaitu kesenian umumnya tidak terikat dari
unsur kesenian Wali dan Bebali, bahkan kadang-kadang jauh
melampaui batas tradisi. Keterikatan yang dominan pada pertunjukan
turistik Bali adalah aktor harus mengikuti kemauan/ kebutuhan dan
selera wisatawan.
Fungsi kesenian yang lebih mengkhusus lagi dalam kehidupan manusia
adalah dapat memperhalus jiwa (Suarta, 2015) Rektor IKIP PGRI
Bali, dalam sambutan acara Dies Natalis Ke-32 dan Wisuda Sarjana
Ke-35 IKIP PGRI Bali di Grend Bali Beach Sanur- Bali. Oleh Didik
43
Nini Towok (seniman) dan Bambang Seiawan (ahli bedah syaraf)
(2005:49), yaitu dapat menyeimbangkan otak sebelah kanan dan kiri.
Setelah ditelaah secara mendalam beberapa pendapat di atas, dapat
diartikan tujuan mempelajari seni di samping mempunyai fungsi ganda
tapi dapat juga mempunyai makna yang berati dalam pendidkan seni,
sekaligus pelestariannya. Yang artinya dalam pelestarian seni, yang
beruraiantasi pada unsur keindahan yang merupakan cerminan jiwa
yang dapat terpancar melaui sikap yang luwes(lentur).
Tempat-tempat pertunjukan yang umum digunakan
untuk pementasan turistik adalah kawasan daerah wisata yang dominan,
seperti daerah Badung dan Gianyar dan di kota Madya Denpasar.
Sedangkan daerah lainnya merupakan pertunjukan turis non regular
atau merupakan pertunjukan skunder, karena di samping faktor
fasilitas yang terbatas, tapi juga ditentukan oleh jauh dari jangkauan
tempat turis itu menginap. Asal mula kesenian yang ikut andil pada
pertunjukan di daerah Badung, Gianyar dan Kodya Denpasar tersebut
didatangkan dari daerah Tabanan, seperti pertunjukan dramatari
Tektekan, Okokan dan Wayang Kulit; dari daerah Negara adalah
kesenian Jegogan. Begitu juga sebaliknya, apabila di daerah Tabanan,
Negara maupun daerah Kelungkung dan Karangasem memerlukan
kesenian yang ada di Kabupaten Badung, Gianyar dan Kodya
Denpasar, bisa pentas di kabupaten ini.
Jadi, sebagian besar pertunjukan turistik masih
merupakan bentuk-bentuk kesenian klasik tradisional Bali yang
diangkat dari bentuk yang biasa disajikan sebagaii tontonan masyarakat
Bali, dan ada pula diangkat dari bentuk-bentuk upacara ritual
(Picard,1996 dalam Dibia 1976:31). Bentuk-benuk kesenian yang
44
umum dipertujukan itu, seperti musik, tari, teater tradisional Bali.
Semuanya sudah mengalami proses penggodogan yang rumit, dengan
tujuan untuk mempertahankan keaslian kesakralan kesenian Bali. Dan
yang jelas dengan pengemasan baru seni untuk tontonan turistik sudah
bebeda dengan pertunjukan yang biasa ditontonkan oleh masyarakat
Bali pada umumnya.
45
seprangkat/bentuk Gong Kebyar atau Angklung Kekelentangan
maupun dengan gamelan Jegog. Pertunjukan tari Legong sudah mulai
tahun 1930-an (Piscard 1996). Secara harmonis pertunjukan legong
adalah dengan iringan Gong Kebyar. Pencipta tari kreasi baru yang
paling menjolok belum beberapa lama ini di Bali (banyak karya seni)
setelah fakum puluhan tahun, yaitu: I Wayan Dibia, A.A Ngurah
Supartha (almarhum), Swasti Wijaya Bandem, Ketut Kusuma Warini,
Nyoman Suarsa, Ketut Rena, Nyoman Cerita, Dayu Wimba dan lain-
lainnya.
Tari Barong (Barong Dance) adalah sebuah dramatari
Barong Ket atau Keket yang melakonkan salah satunya Kunti Seraya,
dari (wiracerita Mahabharata). Dramatari yang diciptakan tahun 1930-
an oleh seniman dari daerah Singapadu (Cokorda Oka Dublen, I Made
Kredek dan I Wayan Griya) (I Wayan Dibia,1997:33). Dalam
menonton pertunjukan Barong para turis lebih berkesan melihat tarian
Barong dengan permainan monyetnya yang memukau. Wujud Rangda
yang menakutkan, dan adegan nguying seperti kesurupan (pemain
barong menikam dada mereka dengan keris masing-masing.
Tari Kecak, disebut juga Monkey Dance adalah
dramatari kalosal yang pernah melibatkan ratusan orang pemain laki-
laki, membawakan ceritra kisah kepandung Dewi Sita dari wiacerita
Ramayana. Karya ini konon merupakan hasil karya masyarakat Bono,
walaupun sebelumnya masyarakat desa Bedulu sudah memulai
pertunjukan kecak dengan lakon Kerebut Kumbakarna (Dibia,1996).
Kesederhanaan bentuk, suasana magis yang dipancarkannya, dan
jalinan vocal merupakan daya tarik tersendiri dari kesenian ini.
Selajutnya tarian kecak ini juga menyuguhkan tarian api (fire dance),
46
yang menampilkan seperti tari Sanghyang Jaran, dan sepasang
Bidadari menari di atas api. Perkembangan berikutnya, tari Kecak
tersebut dikemas dengan pemain perempuan, yaitu walaupun musik
vokalnya berlapis-lapis dilakukan tetapi kurang dinamis ada
(penurunan intensitas suara). Dengan itu dapat dikatakan ada sisi
kebaikan dan sisi kekurangan, yakni disegi kebaikan; jarang ada
pertunjukan kecak permpuan dan mempunyai keunikan bisa bekerja
rangkap (kedudukan gender). Kekurangannya mereka harus
mengorbankan pekerjaan utamanya di rumah dan sekaligus mutu
vokalnya kurang dinamis. Untuk itu, terkecuali ada even-even tertentu
baru tari kecak perempuan ini baru muncul.
Tari Janger, tari Janger yang dipertunjukan adalah tari Janger klasik
dan janger kreasi baru, yang penarinya secara berpasang-pasangan
(putra-puri). Menggambarkan pergaulan muda-mudi yang sedang
merayakan hasil panennya, maka dari segi vocal dan pantun
dinyanyikan mencerminkan suasana rasa gmbira dan diwarnai dengan
lagu romantis/rayuan terhadap pasangannya. Untuk penari putrinya
menggunakan gelungan kulit menyerupai gelungan oleg temulilingan,
berbentuk serpihan daun tumbuh-tumbuhan lancip berwrna putih atau
kuning keemas-emasan. Sedangkan pasangan yang laki-laki
menggunakan gelungan laki-laki oleg temulilingan. Perkembangan
sekarang, ada yang mengganti dengan bentuk udeng penabuh atupun
menyerupai udeng patih. Iringan tarinya bermula dari seprangkat
gamelan gender wayang berlaras selendro, tapi dalam perkembangan
dewasa ini musik iringannya bisa menggunakan gamelan pengarjan
dan gamelan gong kebyar. Maka tari ini tidak hanya untuk hiburan saja,
tetapi sekaligus untuk sebagai media komunikasi atau alat penerangan
47
kepada masyarakat Yang perlu mendapat perhatian, apabila tari
tersebut menggunakan tema dramatari/sendratari seperti tema Sunda-
Upasunda atau Arjuna Tapa (Wiwaha) menurut imbauan Sustjarja Mus
(1982) mantan Rektor ISI Yogyakarta tidak dibenarkan atau kurang
tepat. Maka perlu mendapat perhatian dari yang membidangi.
Tari Joged Bumbung, tari jogged bumbung adalah salah
satu tari pergaulan (secular dance) yang paling populer di kalangan
masyarakat Bali. Kustumnya menyerupai tari Legong Kraton (tanpa
baju), dalam perkembangannya sekarang mengunakan baju kebaya
yang ketat. Sedangkan pemain lawan jenisnya (pengibing) berpakaian
bebas dan sekaligus menyangkut gerakan yang ditampilkan mempunyai
unsur-unsur kebebas pula, asalkan sesuai dengan irama lagu iringan tari
joged itu. Penampilannya dewasa ini juga mengalami perkembangan,
terutama dari segi musiknya menggunakan kendang Sunda (Jabar) yang
berjumlah tiga buah (besar-kecil) yang dipadukan dengan kendang
Bali. Tentang lagu digunakan mengikuti lagu nasional yang sedang
ngepop. Menurut I Wayan Kaler, bahwa tari ini mulai muncul di daerah
Singaraja tahun 30-an, berkembang pesat 1945-an. Tetapi saying dalam
popularitasnya sekarng, banyak sekaa Joged Bumbung salah persepsi
tentang keindahan identitas Joged itu sendiri, yaitu gerak yang eroik
difariasi dengan teknis berkelebihan. Fenomena ini disebut Joged
pornoyang sangat merugikan untuk pelestariannya.
Sendratari Ramayana, sendratari Rayana muncul sekitar
tahun 60-an dikenal dengan sendratari ballet, yaitu berbentk kemasan
baru meringkas dari segala bagian yang dorasinya mencukupi untuk
keperluan tamu. Penggarap sendratari ini adalah seniman I Wayan
Beratha guru Konser Patori Karawitan Indonesia (KOKAR). Teknis
48
penggarapannya menggabungkan unsur-unsur seni pewayangan Jawa
dan Bali, seperti dramatari Gambuh, Wayang Wong, tari legong
diciptakan tahun 1969. Dengan ekseisnya sendratari ini di Bali, maka
sampai sekarangpun masih disegani oleh tamu dan masyarakat
pendukungnya, oleh karena antara jalinan gerak dan tarinya serasi.
Begitu pula pemadatan unsur dari elemen-elemen lainnya seperti
penataan kustum yang simpel, dan struktur penyajiannya sangat padat
penuh denga daya hidup.
Tari Godogan, tari godogan yang lazim disebut Frog
Danceadalah perkembangan tiga puluh tahun berikutnya yang setara
dengan perkembangan tari Tektekan (Tektekan Dance) dengan, seni
Jegog, Topeng, wayang Kulit dan Gambuh. Tari Kodok dengan iringan
Genggong (jaw harp), yang terbuat dari cabang pohon enau yang
kering ditata sedemikian rupa. Umumnya menggunakan lakon
Godogan dari Galuh Daha(cerita Panji). Tata pakaiannya untuk
Dewi menyerupai pakaian Sinta yang terdapat pada sendratari
Ramayana, Pakaian godogan adalah meniru motif warna kodok aslinya.
Yang memikat pada penyajian tersebut adalah sewaktu kodok besar
(pemeran) bercanda dengan beberapa kodok kecil (anak
buahnya/temannya), beserta pada waktu godogan roman dengan
pemeran dewi/galuh Daha.
Tari Tektekan Calonarang, adalah ciri khas Kabupaten
Tabanan, dengan iringan tektekan, yaitu dibuat dari potongan bambu
yang dibentuk dan ditata sedemikian rupa (pendek-pendek), dan
disertai dengan instrument kendang dan cengceng sebagi mendaptkan
suasana yang meriah. Kesenian ini diciptakan oleh IGusti Oka
Silagunada dari Puri Anyar Kerambitan tahun 1967. Ide garapannya
49
tektekan memadukan dengan nilai magis dengan seni Bebarongan
melakonkan Calonarang yang juga memiliki kekuatan magis. Tempat
pertunjukan kesenian ini terdapat pada Puri Gede Dan Puri Anyar
Kerambitan. Yang menarik pada pertunjukan tersebut, adalah sewaktu
adegan ngunying Rangda yaitu menusuk Rangda dan diri dari masing-
masing pesertanya dengan keris tajam, adegan ini adalah sebagai
pengganti kekuatan Barong yang berwujud alat keris tunggal berbentuk
lancip dan panjang, simbul Sangh-yang Tunggal.
Tari Jegog, adalah ciri khas Kabupaten Jembarana. Alat
musiknya dari potogan-potongan bambu besar/raksasa,dengan kendang,
cengceng untuk iingan tari kekebyran, seperti tari Makepung dan tari
kekebyaran lainnya. Penyajian ini tidak kalah menariknya juga dari
kemusik kesenian lainnya.
Wayang Kulit, wayang kulit Bali lebih berbentuk realis
dari pada bentuk wayang kulit Jawa (abstrak), kesenian ini juga
digemari turis untuk dipentaskan di hotel dengan bahasa inggris.
Iringannya mengunakan prangkat gamelan wayang laras selendro
(untuk wayang Parwa), sedangkan apabila menggunakan ceritra
Ramayana, pertunjukan ini lebih cendrung memakai parngkat lengkap,
seperti sepasang kendang, kempul, tawa-tawa, kemong, kelenang dan
cengceng kecil dan seruling.
Dramatari Gambuh, adalah salah satu kesenian yang
paling tua diantara kesenian lainnya diduga berasal dari abad ke XV,
yang juga ikut dipentaskan utuk para tamu. Tempatnya yang dominan
ada di desa Batuan-Gianyar. Lakon ditampilkan dengan Prabu Terate
Bang (cerita Panji). Para wisatawan biasanya yang dianggap menarik
adalah musik pengiringnya, yaitu memakai seruling besar dan gerak
50
tarinya mencerminkan ketinggian budaya dari jaman Bali klasik di
masa lampau. Yang jelas kesenian ini tidak lagi banyak memegang
pakem yang adiluhung, tetapi sudah berubah mengikuti kemauan turis
itu sendiri, baik struktur penyajiannya dan waktu yang singkat.
51
bervariasi; yaitu pagi, sore dan malam hari. Sedangkan jadwal
tambahan merupakan jadwal (di luar regular) seperti acara menyambut
tamu penting (Kenegaraan) waktunya tidak menentu.
52
kesenian Bali kini sudah dikomersialisasikan, karena ada kebutuhan
mendasar yang lebih kompleks, yaitu sebagai penunjang kebutuhan
ekonomi daerah.
Komersialisasi dan sekularisasi adalah sebuah risiko yang mau dan
tidak mau harus ditanggung dan dihadapi oleh masyarakat Bali,
kesenian tradisinya dijadikan pertunjukan turistik dan telah menjadikan
komoditas pariwisata. Kesenian pada dasarnya diciptakan penuh rasa
pengabdian kepada masyarakat (adat) (bersifat ngayah), dengan tata
penyajian yang sesuai dengan alam Bali, harus dikemas sedemikian
rupa untuk memenuhuhi pasar-wisata. Bagi orang membidangi bisnis,
mereka tetap berprinsif menegakan sistem prinsif ekonomis yaitu
dengan bekerja sedikit mendapat imblan yang banyak. Kebanyakan
mereka tanpa berpikir panjang tidak (bercermin ke belakang);
bagaimana nenek moyang kita dalam preodeisasinya untuk pencapaian
kesuksesan sampai saat ini, meniti tentang tonggak-tonggak sejarah
Bali (konteks) kesenian Bali sampai bisa mapan saat ini?, proses
panjang lainnya adalah, bagaimana Bali sebelum Abad Masehi
samapai pemehaman Dinasti Agung Bali di Bali?. lihat
(Darmaya,2010:236), dalam buku Puataka Bali. Walaupun demikian
halnya , kesemua itu tidak dianggap tanggung jawabnya mereka.
Komersialisasi pada dasrnya adalah suatu cara untuk memperlakukan
suatu sebagai bagian dari sebuah bisnis (Neufeldt, 1988:280).
Komersialisasi seni budaya terjadi karena kesenian tradisional tidak
lagi diperlakukan sesuai dengan jagatnya sendiri, melainkan
disesuaikan dengan selera dan kebutuhan wisatawan. Apabila hal ini
tetap berlanjut, akan sesuai dengan mendekatan (Konteks) Teori Sistem
lihat Tesis (I Wayan Mastra,2014), bahwa segala suatu hal, harus
53
mempunyai fungsi, apabila tidak, akan hal itu hangus dengan
sendirinya. Pertunjukan sejenis ini sudah terjadi pada jaman dulu atau
bukan hal yang baru. Kesenian yang dapat imbalan upah (uang).
Berdasarkan data-data yang ada sejak jaman dahulu pertunjukan
bayaran sudah muncul di Bali, seperti adanya seni Ambaran, kesenian
Ihaji yang masing-masing kesenian jalanan dan kesenian Istana.
Kesenian-kesenian ini dibayar dengan pitulak (bayar) yang terdiri dari
su-swarna (emas). Ku-kupang (kepeng), dan ma-macaka (perak)
(Pemda Tingkat I Bali,1980:49).
Selanjutnya ada pertunjukan secara ngelawang (pertunjukan keliling)
dari satu tempat ke tempat lain, juga untuk memperoleh imbalan uang.
Pertunjukan ini bisa didapatkan pada beberapa daerah di Bali, seperti
diantaranya Kabupaten Gianyar dan Tabanan. Kabupaten Giayar
misalkan ada pertunjukan Barong Kedengkling, barong Macan, barong
Bangkal, barong landung dan lain-lainnya. Pertunjukan ini dilakukan
pada hari besar umat Hindu Bali seperti hari raya Galungan dan
Kuningan sampai umanis. Khusus untuk Kabupaten Tabanan, di
samping ada pertunjukan keliling seperti Barong Bangkal dan Barong
Ket. Ada lebih menarik lagi dan langka terjadi di Bali, yaitu terdapat di
Kabupaten Tabanan, adalah pertunjukan sacral Bhatara Nawa Sanga
yang berada di desa Apuan Banjar Apuan, desa Bangli Banjar Bangli
dan di desa Pacung desa Pacung, ke tiganya terdapat pada satu
Kecamatan Baturiti-Tabanan. Bentuk wujud kesenian ini, bukan
disebut Barong Kedengklingdan istilah ngelawang seperti yang
telah disebutkan oleh (I Made Bandem dan I Wayan Dibia,1997:37).
Untuk meluruskan pengertian itu, yang sebenarnya oleh masyarakat
setempat (daerah Baturiti), untuk menyebut kesenian itu adalah
54
Bhatara Nawa Sanga atau Bhatara Sakti(Siwa Pasupati). Karena
bentuk wujud kesenian serta fungsinya berbeda dengan barong
kedengkling dari daerah Gianyar. Kaitannya istilah ngelawang untuk
daerah Tabanan menyebutnya ngunya atau memberi penugrahan
(keselamatan) terhadap pendukungnya pada setiap Kabupaten se-Bali
Tengah (terkecuali Kabupaten Buleleng dan Karangasem) sampai
pelosok desa didatangi. Lalu tentang upah bukan bukan sebagai faktor
utama oleh grup tersebut, tetapi berbentuk sosial, yaitu disebut
sesari, sesuai dengan kemampuan dan sukarela mereka menyertai
sesari di atas sesajen (dana punia). Dimana fenomena ini oleh
masyarakat Bali adalah bagaian dari ajaran etika yang wajib ada pada
setiap manusia. Jadi perlu ditegaskan di sini kesenian Bhatara Nawa
Sanga bukan barong kedengkling yang ada di Gianyar. Kesenian ini
adalah tergolong kesenian sakral, (bukan seperti kesenian Barong
Bangkung/Bangkal ngelawang yang ada di beberapa daerah Bali).
Pertunjukan bayaran pada perkembangan selanjutnya yang pernah
ngetren dan bertahan lama di kalangan masyarakat Bali adalah;
pertunjukan Arja, Sendratari Ramayana, Drama Gong, Topeng
(prembon), dan yang masih terkenal dan bertahan sekarang adalah
pertunjukan Wayang Kulit Ceng Blonk dari desa Belayu-Tabanan.
Dimana pertunjukan ini sudah mempunyai standarisasi mutu dibarengi
target harga, karena kepawaiannya memainkan wayang serta elemen
lainnya seperti tata lampu dan musiknya sangat mendukung.
Kemudian sekularisasi yang dimaksud di atas adalah hilangnya nilai-
nilai,makna identitas sakral/religius sudah ditiadakan, terbukti hanya
sebagain kecil saja masih menggunakan sarana upacara Hindu pada
pertunjukan tersebut. Dengan itu membuktikan bahawa kepercayaan
55
bisa disebutkan sudah menipis/luntur. Dengan lunturnya kepercayaan
itu akan berarti juga taksu (kekuatan di luar nalar akal sehat manusia)
yang datang dari Tuhan juga jarang menghampirinya. Menegaskan
pendapat I Wayan Dibia ( 1997:38), bahwa kesenian turistik yang tidak
mengandung nilai-nilai religius tidak bisa disebut seni profan.
Menurut ajaran Hindu oleh Gusti Nengah Ariana, (2014) dalam
seminar Nasional ISI Denpasar; dengan sarana banten/sesajen,
walaupun tidak diucapkan, sudah mengandung arti atau makna tertentu
dari sesajen tersebut. Yang jelas kesenian pertunjukan turistik di Bali
masih mengandung nilai-nilai riligi, karena masih berakar kesenian
tradisional, dan ini merupakan ilham dari yang maha kuasa, Tri Sakti
(Tri Wisesa) yaitu manifestasi Tuhan yang menciptakan musik sebagai
patrne seni pertunjukan utamanya. Dengan demikian, maka orang Bali
bergelut dengan seni, umumnya mereka mempunyai tempat
sembahyang khusus, yang disebut Pelinggih Taksu.
Penonton turistik lebih mengutamakan daya tarik visual dari pada
bentuk isi kesenian itu, maka kesenian untuk turistik cendrung sebagai
seni intertainment (hiburan seni profan). Dan kemauan tamu yang
lainnya yang paling utama di seni adalah ketepatan waktu yang dapat
memuaskan mereka. Lalu tentang hal-hal yang terkait dengan
bagaimana dengan proses panjang keberadaan sejarah seni pertunjukan
Indonesia dari masa Pra-Sejarah sampai jaman Orda baru/saat ini
dalam pencapaian tujuan mulia, lihat (Suedarsono, 2010) dalam buku
Pertunjukan Indonesia, hal itu tidak mau digubris oleh wisatawan. Dan
yang menjadi kenangan yang sulit dilupakan adalah menyangkut rasa
(pisikologis) pemain cendrung diabaikan,baik menyangkut dan terkait
tempat pertunjukan yang kurang memadai, maupun pengorbanan waktu
56
aktor yang bukan sedikit cendrung diabaikan begitu saja. Maka dalam
realita itu penulis dapat garis bawahi sebagai berikut.
57
(2015:5), dalam Orasi Ilmiahnya; Ekonomi Kreatif Dalam Bali
Vogenic Culture Menuju Kkreativitas Kehidupan. Pada Dies Natalis
ke-32 dan Sarjana ke-35 Wisuda IKIP PGRI Bali, menyatakan;
lingkungan masyarakat Bali sangat lekat dengan aktivitas, adat, budaya,
dan keagamaan yang merupakan tatanan kehidupan yang bersinergi
untuk memenuhi kesejahteraan baik secara sosial, ekonomi dan
religius. Halt ersebut memberikan tantangan bagi orang Bali yang harus
menyapkan diri untuk selalu belajar, berkarya dan persembahan serta
semua itu menuntut kreativitas. Lebih lanjut Sumandyo Hadi, Dibia,
Tri Guna, Arya Sugiarta (2014) dalam Seminar Seni Nasional ISI
Denapasar, berpendapat, dengan adanya kreativitas kesenian tradisional
berbentuk kerakyatan, maupun kerajaan/Kraton adalah dapat
bermanfaat untuk dijadikan penyajian penelitian dan mempertahankan
serta mengembangkan kesenian tersebut. Walaupun demikian adanya
kita mesti ingat dengan kata filsafat oleh Nengah Arnawa (2016),
bahwa yang tinggi itu akan turun, yaitu ditentukan oleh seiring dengan
jalannya waktu. Maka sesuai dengan ungkapan Ida Bagus Gunadha
(2012:195-196) Guru Besar Pasca Sarjana UNHI Denpasar, dalam
bukunya Aneka Politik Hindu dalam hal yang berketidak ketentuan
dalam kehidupan ini di jaman ini, maka dari itu yang penting berbuat
berkarya dengan baik. Tanpa berkarya tidak ada hasil, hasil itu yang
paling pintar menghitung adalah Tuhan itu sendiri. Jadi Tuhan itulah
penentu, atas hasil perbuatan manusia.
58
Indikator dari merosotnya mutu kesenian pertunjukan turistik antara
lain: pendukung seni pertunjukan yang tidak berkepeten di bidangnya;
tidak memiliki sarana dan perlengkapan yang memadai; kondisi
pertunjukan yang tidak utuh. Jika ini terus berlanjut, secara automatis
tidak layak dijual kepada tamu dan menjadi efek besar terhadap citra
kesenian Bali, dan sekaligus mutu yang kurang menguntungkan tidak
menutup kemungkinan akan menjadi panutan oleh generasi muda
berikutnya.
Akibat dari kodisi pertunjukan turistik yang mentradisi yang berkesan
tidak baik, maka terjadi anggapan oleh masyarakat pendukung
berbagai pihak cendrung menampikan apa adanya. Semua ini juga
terkait dengan pemandu wisaata, para pelaku dan pengelola termasuk
penjual dari kesenian ini sangat tidak memperhatikan efeknya kedepan.
Perlu diketahui menurut pengalaan penulis, tidak semua turistik kini
yang menyaksikan kesenian Bali hawam adanya, karena di Negara
mereka sendiri sudah ada kesenian Bali. Sepeti di Kalipornia-Amerika
yang disebut grup seni Sekar Jaya; di Jepang , terlebih lagi di daerah
Indonesia sendiri yang telah banyak mendirikan Lembaga pormal seni.
Untuk itu mereka tahu kesenian yang punya mutu dan kesenian kurang
bermutu. Jadi, pemandu wisata tidak kehilangan tamu, grup kesenian
tidak kehilangan pelanggan, kiranya langkah yang baik dilakukan
antara kedua belah pihak; antara pemandu pariwisata dengan grup
kesenian bersinergi untuk bekerja sama dapat mempertankan mutu
kesenian Bali. Dimana intinya para grup kesenian Bali harus tetap
menunjukan kebolehannya secara the best quqlity kepada para
wisatawan. Menurut I Wayan Dana dan Rikrik Setiawan (2015) dalam
Seminar Seni Nasional ISI Denpasar menambahkan, berusaha yang
59
lebih bersifat luas dan mendalam jauh lebih berarti dari pada aktivitas
terbatas, imbauan ini karena mengingat persaingan yang semakin
kompleks dan global. Sebagai peghujung penegaasan ini pendapat I
Nyoman Suarta (2015) Rektor IKIP PGRI Bali, pada acara Rapat
Dosen dapat penulis rekam; dimana akan ada sifat meyerah, disitu
akan berhenti segalanya. Yang dapat diartikan kita hidup harus
bekerja untuk kehidupan, bukan hanya untuk hidup.
Yang menjadi permasalahan bidang pendidikan kini, khususnya bagi
mahasiswa Program SENDRATASIK sebagai generasi penerus bangsa.
Mendapat sorotan tajam. Menurut pendapat Pande Wayan Bawa (
(2012), (POREK I), Nengah Arnawa, (2013) (Mantan Dekan FPBS),
Nyoman Setiawan, (2014) (PD I FPBS) IKIP PGRI Bali menyatakan;
bahwa dari sekian hasil membimbing, menguji mahasiswa Program
SENDRATASIK, punya kelemahan tersendiri, yaitu kurang bisa
memahami membahasakan seninya itu sendiri. Maka dari itu, perlu
mendapat perhatian yang lebih serius bagi semua pihak.
60
Yang pasti, industri pariwisata budaya yang dilaksanakan di Pulau
Dewata ini telah terjadi pergeseran bentuk, isi (teks), struktur penyajian
serta fungsi dan tujuan (konteks) kesenian daerah Bali yang telah
banyak mengarah ke dunia intertainment, yang komersial dan sekuler.
M Jiwa dan nafas kebudayaan Bali yang semula sangat komunal dan
informal secara berlahan-lahan berubah menjadi semakin individual
dan formal. Perubahan ini tiada lain dari adanya pengaruh budaya luar
yang datang dengan fenomena-fenomena modernisasi yang masih asing
oleh masyarakat Bali.
Untuk menghindari dampak negatif yang lebih berkepanjangan,
masyarakat Bali tidak harus, dan hampir tidak mungkin, untuk keluar
dari dunia industri ini. Yang perlu diwaspadai oleh seniman terkait,
bagaimana menghadapi jagat dan dunia baru yang masih asing yang
diciptakan oleh pariwisata.
Masyarakat Bali, terutama berkaitan dengan kepariwisataan bagaimana
bisa memilah-milah, memilih anatara ke dua kegiatan budaya
tradisional (sekulerisasi) dan kegiatan kepariwisataan, supaya berjalan
imbang dan eksis sepanjang masa. Jadi dengan mencermati ke dua
tujuan ini, antara kegiatan kepariwisataan dan sekulerisasi pada dewasa
ini sama-sama saling memerlukan dan membutuhkan. Dengan
demikian untuk dinas kesenian, terutamanya yang membidangi
kepariwisataan, agar tidak henti-hentinya memperjuangkan nasib
kesenian yang terkait kesejahtraan seniman; Bagi pemandu wisata,
sebaiknya juga memikirkan nasib kesenian Bali untuk bisa bertahan
kualitas penyajiannya; begiu juga bagi pengelola seni ataupun penjual
seni dan aktor seni, hendaknya tidak hanya bisa menjual seni saja,
tetapi mau meningkatkan mutu pertunjukannya. Semua ini tidak hanya
61
juga untuk kehidupan kesenian saja, tetapi lebih mengakar pada
kehidupan dan penghidupan manusia (konteks) kebudayaan secara
umum. Inti dari pengertian ini boleh disebutkan, dalam pertunjukan
turistik Bali ada dua konsep kehidupan Ruwe Binedha yang tidak boleh
dipisahkan, untuk dapat menemukan keseimbangan itu.
Berkenaan dengan tersebut di atas, ada dua cara pembaruan
penggarapan yang dapat menarik kiranya untuk pertunjukan turistik;
pertama, mengacu pada realitas Sendratari Ramayana sebagai pijakan
kongkrit yang idial sampai kini bisa sebagai bahan banding. Ke dua
memasukan ide-ide baru yang belum sama sekali pernah dipertunjukan
(orisinil).
Pertunjukan Sendratari Ramayana Ballet yang pada unsur bagian-
baginnya ada pemadatan struktur penyajian, terkait dorasi, Banyak
penokohan, terkait beraneka kustum, isi cerita singkat, dinamika
penyajian padat, musik iringannya serasi dan kustumnya klasik.
Pertunjukan Kreasi Baru, yaitu dalam pemilihan tema; penata/actor
punya didikasi tinggi, punya keyakinan, orisinalias, royalitas, mengacu
pada fungsi, tempat pertunjukan dan perlengkapan-perlengkapan.
Pendapat I Wayan Beratha (almarhum), seorang tokoh seni pertunjukan
Bali serba bisa mengatakan; dalam mengarap seni untuk bisa bersaing
dengan tari klasik, hendaknya harus bisa paling tidak memedai mutu
kesenian itu, dan yang lainnya berani melawan hambatan-hambatan
yang ada pada konsep garapan gerak, ruang dan waktu.
Hal yang terkait adalah sebuah pertanyaan mendasar, yaitu bagaimana
bisa pendukung seni kepariwisataan tidak menjadi bosan, atas
kesejahteraan hidupnya kurang terpenuhi oleh pihak pemakai?.
62
DAFTAR PUSTAKA
Didik Nini Towok Dan Bambang Setiawan. 2005. Otak Para Pemimpin
Kita dan Carut-Marutnya Keadaan Bangsa.Yogyakarta: PT Marih
Media.
63
Gunadha, I Da Bagus. Aneka Politik Hindu. Denpasar: Widya Dharma
Bekerja Sama dengan Program Pasca Sarjana Universitas Hindu
Indonesia.
64
TINGKAT KETERBACAAN BUKU TEKS BAHASA
INDONESIA UNTUK
SISWA KELAS X IPA SMA NEGERI 8 DENPASAR
MELALUI UJI TES RUMPANG
Ni Wayan Sudarti
ABSTRACT
This study aims to describe (1) the legibility level of Indonesian
text books for class X IPA at SMAN 8 Denpasar, (2) the ease /
difficulty level of Indonesian textbooks for class X IPA at SMAN 8
Denpasar, (3) the understanding level of Indonesian textbooks to
students of class X IPA at SMAN 8 Denpasar, (4) the attractiveness of
the Indonesian text books for students of class X IPA at SMAN 8
Denpasar. This research used descriptive qualitative and quantitative
descriptive research design. The subjects were students of class X IPA
at SMAN 8 Denpasar. Collecting data in this study used the method of
observation, documentation, test and interviews.
The results of this study indicate that (1) the readability level by
using hiatus test to the exposition and persuasion text in the Indonesian
language text book of grade X IPA SMAN 8 Denpasar are already
qualified. The legibility level are in the range of 47-58 which are
classified as moderate or demonstrate appropriate reading materials for
students, (2) the ease / difficulty level of Indonesian textbooks to
students of class X IPA at SMAN 8 Denpasar known that in general
textbooks are easily understood because the material presentation are
accompanied by the image, attributed to students' knowledge and
experience, (3) the understanding level of Indonesian textbook for
class X IPA at SMAN 8 Denpasar represented in this case exposition
and persuasion text, then there are 45 students are able to read the
persuasion text and exposition text of reading 1, there are 30 students,
exposition text of reading 2, there are 38 and exposition text of reading
3, there are 40 students who are able to read the exposition text, (4) the
attractiveness of Indonesian textbooks for students grade X IPA
SMAN 8 Denpasar are generally very attractive expressed by 45
students of respondents. As for when it was confirmed to the students,
they stated that the national standard textbooks are interesting because
65
it uses pictures or illustrations that clarify the content of the presented
material and the use of the letters /in the text are clear and legible.
PENDAHULUAN
Dunia modern tak dapat dipisahkan dari pembukuan. Peradapan
manusia identik dengan peradapan buku. Melalui buku kebudayaan
manusia dapat dilestarikan dan diteruskan ke generasi berikutnya.
Bahan ajar atau buku pelajaran merupakan media instruksional yang
dominan perannya di kelas dan bagian sentral dalam sistem pendidikan
(Supriadi 2000: 46). Ini disebabkan buku merupakan alat yang penting
untuk menyampaikan materi kurikulum. Jenis buku yang paling penting
dan fungsional bagi pelajar adalah buku teks. Kebutuhan akan buku
teks menempati skala prioritas yang paling utama.
Buku teks merupakan salah satu jenis buku pendidikan yang
berisi uraian bahan tentang mata pelajaran atau bidang tertentu. Buku
teks disusun secara sistematis dan telah diseleksi berdasarkan tujuan
tertentu, orientasi pembelajaran, dan perkembangan siswa untuk
diasimilasikan. A.J.Loverdge (terjemahan Hasan Amin) (dalam
Muslich) mengatakan bahwa buku teks adalah buku sekolah yang
memuat bahan yang telah diseleksi mengenai bidang studi tertentu
dalam kegiatan belajar-mengajar, disusun secara sistematis untuk
diasimilasikan. Sejalan dengan itu, Chambliss dan Calfee (1998)
(dalam Wahyuni, 2010:1) menjelaskan bahwa buku teks adalah alat
bantu siswa untuk memahami dan belajar dari hal-hal yang dibaca dan
untuk memahami dunia (di luar dirinya). Buku teks memiliki kekuatan
yang luar biasa besar terhadap perubahan otak siswa. Oleh karena itu,
66
buku teks dapat memengaruhi pengetahuan anak dan nilai-nilai
tertentu. Buku teks merupakan alat pengajaran yang paling banyak
digunakan diantara semua alat pelajaran lainnya. Buku teks telah
digunakan sejak manusia pandai menulis dan membaca, akan tetapi
meluas dengan pesat setelah ditemukannya alat cetak
(Nasution,2005:102). Menurut Nasution keuntungan dalam
menggunakan buku teks. Keuntungan dari buku teks adalah (1)
membantu guru melaksanakan kurikulum karena disusun berdasarkan
kurikulum yang berlaku, (2) sebagai pegangan dalam menentukan
metode pengajaran, (3) memberi kesempatan bagi siswa untuk
mengulangi pelajaran/mempelajari pelajaran baru, (4) dapat digunakan
untuk tahun-tahun berikutnya dan bila direvisi dapat bertahan dalam
waktu yang lama, (5) dalam bentuknya memberi kesamaan mengenai
bahan dan standar pengajaran, (6) memberikan komunitas pelajaran di
kelas yang berurutan, sekalipun guru berganti, dan (7) memberi
pengetahuan dan metode mengajar yang lebih mantap bila guru
menggunakannya dari tahun ke tahun. Jadi, dalam penyusunan buku
teks harus diperhatikan pula unsur-unsur kebahasaan yang berkaitan
dengan aspek keterbacaan. Keterbacaan (readability) adalah seluruh
unsur yang ada dalam teks (termasuk di dalamnya interaksi antarteks)
yang berpengaruh terhadap keberhasilan pembaca dalam memahami
materi yang dibacanya pada kecepatan membaca optimal (Dale & Chall
dalam Wahyuni, 2010:5). Berkaitan dengan itu, Gilliiland dalam
Wahyuni, 2010: 5) kemudian menyimpulkan keterbacaan itu berkaitan
dengan tiga hal, yakni kemudahan, kemenarikan, dan keterpahaman.
Kemudahan membaca berhubungan dengan bentuk tulisan, yakni tata
huruf (tipografi) seperti besar huruf dan lebar spasi. Tipografi ini 4
67
berkaitan dengan kecepatan pengenalan kata, tingkat kesalahan, jumlah
fiksasi mata per detik, dan kejelasan tulisan (bentuk dan ukuran
tulisan). Kemenarikan hubungan dengan minat pembaca, kepadatan ide
pada bacaan, dan keindahan gaya tulisan. Keterpahaman berhubungan
dengan karakteristik kata atau kalimat, seperti panjang-pendeknya dan
frekuensi
penggunaan kata atau kalimat, bangun kalimat, dan susunan paragraf
dapat dipahami atau tidak oleh pembaca.
Pada saat ini, permasalahan yang ditemui di lapangan adalah
masalah buku teks yang dipakai pembelajar masih beragam.
Keberagaman ini dapat dikatakan bersifat positif maupun negatif
tergantung sudut pandangnya. Secara positif, (1) keberagaman
menunjukkan kreativitas dan produktivitas penulis (bahkan banyak
pengajar yang menjadi penulis buku), (2) keberagaman memperkaya
khazanah ilmu, (3) keberagaman dapat memacu peningkatan kualitas
buku, (4) keberagaman merangsang para pemakai buku untuk aktif
menilai. Secara negatif, (1) keberagaman buku mempersulit pilihan
pengajar untuk memakai buku yang akan diajarkannya, (2) di sekolah
biasa dilaksanakan ulangan umum bersama (UUB), (3) keberagaman
menyebabkan kesulitan pada pembuatan soal dan akhirnya mempersulit
tes (pembelajar yang sedang tes atau ujian). Hal-hal negatif tersebut
dapat diatasi dengan memandang buku teks sebagai penunjang.
Kemudian pemilihan dan penggunaanya disesuaikan dengan tuntutan
kurikulum khususnya silabus yang telah disusun. Yang justru sulit
dilakukan dan kurang diperhatikan oleh guru di sekolah adalah
mengevaluasi tingkat keterbacaan buku teks bagi siswa.
68
Guru cenderung memilih buku dengan mempertimbangkan
keterbacaan yang mudah, menarik, dan dapat dipahami oleh guru itu
sendiri. Guru jarang memilih buku yang mudah, menarik, dan dapat
dipahami oleh siswa. Padahal, buku yang memenuhi syarat keterbacaan
atau mudah, menarik, dan dipahami oleh guru belum tentu mudah,
menarik, dan dapat dipahami oleh siswa. Oleh karena itu, guru perlu
melakukan studi evaluatif tingkat keterbacaan terhadap materi
membaca dalam buku teks yang digunakan. Evaluasi merupakan
komponen integral dalam program pengajaran disamping tujuan
intruksional dan materi serta metode pengajaran Daryanto (dalam
Widodo,1993:19). Demikian pula dalam proses pemilihan buku teks
yang tepat, guru hendaknya dituntut menjadi seorang evaluator
yang baik. Kegiatan ini dimaksudkan untuk menilai kelayakan
buku teks yang digunakannya. Artinya pada satu periode
pendidikan, selalu mengadakan penilaian terhadap tingkat
keterbacaan buku teks pembelajaran yang digunakan. Dalam
fungsinya sebagai penilai bahan bacaan dalam buku teks siswa,
guru hendaknya terus menerus mengikuti perkembangan buku teks
yang telah dievaluasinya dari waktu ke waktu. Informasi yang
diperoleh melalui evaluasi tingkat keterbacaan ini merupakan
umpan balik (feed back) terhadap buku teks yang digunakan dalam
pembelajaran.
Umpan balik ini akan dijadikan titik tolak untuk memperbaiki
dan meningkatkan penggunaan bahan bacaan terkait buku teks yang
dipakai selanjutnya. Dengan demikian buku teks akan terus dapat
ditingkatkan dari segi pemilihan bahan bacaan untuk memperoleh
hasil yang optimal. Khusus untuk mata pelajaran bahasa Indonesia
69
sangat jarang guru melaksanakan studi evaluatif tingkat keterbacaan
teks bacaan dalam buku teks yang digunakan. Sejalan dengan hal
tersebut, maka peneliti tertarik untuk melakukan studi evaluatif
tingkat keterbacaan dalam buku teks bahasa Indonesia untuk siswa
kelas X IPA di SMA Negeri 8 Denpasar dengan menggunakan tes
rumpang. Peneliti melakukan penelitian tingkat keterbacaan di SMA
Negeri 8 Denpasar kelas X IPA karena guru yang mengajar khususnya
guru mata pelajaran bahasa Indonesia belum pernah mengevaluasi
tingkat keterbacaan bahan ajar yang digunakan. Di samping itu, dalam
pemilihan bahan ajar guru hanya memperhatikan kerelevansiannya
terhadap kurikulum maupun silabus yang ada tanpa mengevaluasi
tingkat keterbacaannya.
Salah satu teknik yang dapat diterapkan untuk
mengevaluasi tingkat keterbacaan
bahan bacaan adalah dengan penggunaan tes rumpang. Penggunaan tes
rumpang mempunyai kelebihan yaitu mudah dalam pembuatan
instrumennya dan mudah diterapkan oleh guru karena tidak
memerlukan waktu yang terlalu lama serta tidak membutuhkan biaya.
Intinya, penggunaan tes rumpang ini hemat tenaga, waktu, dan biaya.
Penggunaan tes rumpang untuk mengetahui tingkat keterbacaan
materi membaca dalam buku teks dilakukan dengan cara memberikan
sebuah bacaan atau teks yang diambil dari bacaan yang ada dalam
buku teks, kemudian setiap kata ke-n tersebut. Dari jawaban siswa
dapat dikoreksi dan ditentukan tingkat keterbacaannya berdasarkan
kriteria yang sudah ditentukan. Berdasarkan jawaban siswa akan
terlihat tingkat keterbacaan materi membaca itu. Semakin banyak
kesalahan siswa dalam menjawab, semakin tinggi tingkat kesulitan
70
keterbacaan materi membaca itu, begitu juga sebaliknya, semakin
sedikit kesalahan siswa
dalam menjawab, semakin rendah tingkat kesulitan keterbacaan materi
membaca tersebut. Dengan mengetahui tingkat keterbacaan dalam
buku teks bahasa Indonesia siswa kelas X IPA SMA Negeri 8
Denpasar tersebut, maka dapat diperoleh gambaran tentang
permasalahan-permasalahan yang terdapat pada buku teks yang
digunakan oleh siswa di sekolah. Hal ini dapat memberikan wawasan
yang berarti terhadap guru pada umumnya dan guru di sekolah tersebut
khususnya. Artinya, hasil penelitian ini dapat memberikan wawasan
terhadap guru dalam hal memilih dan menentukan buku teks yang
sesuai dengan tingkat pengetahuan dan perkembangan kemampuan
siswanya.
LANDASAN TEORI
PENGERTIAN BUKU TEKS
A.J.Loverdge (terjemahan Hasan Amin) (dalam Muslich)
mengatakan bahwa buku teks adalah buku sekolah yang memuat bahan
yang telah diseleksi mengenai bidang studi tertentu dalam kegiatan
belajar-mengajar, disusun secara sistematis untuk diasimilasikan.
Sejalan dengan itu, Chambliss dan Calfee (1998) (dalam Wahyuni,
2010:1) menjelaskan bahwa buku teks adalah alat bantu siswa untuk
memahami dan belajar dari hal-hal yang dibaca dan untuk memahami
dunia (di luar dirinya). Buku teks memiliki kekuatan yang luar biasa
besar terhadap perubahan otak siswa. Oleh karena itu, buku teks dapat
memengaruhi pengetahuan anak dan nilai-nilai tertentu.
71
Buku teks merupakan alat pengajaran yang paling banyak
digunakan diantara semua alat pelajaran lainnya. Buku teks telah
digunakan sejak manusia pandai menulis dan membaca, akan tetapi
meluas dengan pesat setelah ditemukannya alat cetak
(Nasution,2005:102). Menurut Nasution keuntungan dalam
menggunakan buku teks. Keuntungan dari buku teks adalah (1)
membantu guru melaksanakan kurikulum karena disusun berdasarkan
kurikulum yang berlaku, (2) sebagai pegangan dalam menentukan
metode pengajaran, (3) memberi kesempatan bagi siswa untuk
mengulangi pelajaran/mempelajari pelajaran baru, (4) dapat digunakan
untuk tahun-tahun berikutnya dan bila direvisi dapat bertahan dalam
waktu yang lama, (5) dalam bentuknya memberi kesamaan mengenai
bahan dan standar pengajaran, (6) memberikan komunitas pelajaran di
kelas yang berurutan, sekalipun guru berganti, dan (7) memberi
pengetahuan dan metode mengajar yang lebih mantap bila guru
menggunakannya dari tahun ke tahun. Jadi, dalam penyusunan buku
teks harus diperhatikan pula unsur-unsur kebahasaan yang berkaitan
dengan aspek keterbacaan.
Keterbacaan (readability) adalah seluruh unsur yang ada dalam
teks (termasuk di dalamnya interaksi antarteks) yang berpengaruh
terhadap keberhasilan pembaca dalam memahami materi yang
dibacanya pada kecepatan membaca optimal (Dale & Chall dalam
Wahyuni, 2010:5). Berkaitan dengan itu, Gilliiland dalam Wahyuni,
2010: 5) kemudian menyimpulkan keterbacaan itu berkaitan dengan
tiga hal, yakni kemudahan, kemenarikan, dan keterpahaman.
Kemudahan membaca berhubungan dengan bentuk tulisan, yakni tata
huruf (tipografi) seperti besar huruf dan lebar spasi. Tipografi ini
72
berkaitan dengan kecepatan pengenalan kata, tingkat kesalahan, jumlah
fiksasi mata per detik, dan kejelasan tulisan (bentuk dan ukuran
tulisan). Kemenarikan hubungan dengan minat pembaca, kepadatan ide
pada bacaan, dan keindahan gaya tulisan. Keterpahaman berhubungan
dengan karakteristik kata atau kalimat, seperti panjang-pendeknya dan
frekuensi penggunaan kata atau kalimat, bangun kalimat, dan susunan
paragraf dapat dipahami atau tidak oleh pembaca.
METODE PENELITIAN
1. Metode Observasi
Terkait dengan penelitian yang dilakukan, metode observasi
digunakan pada saat melakukan pengamatan awal tentang
keberadaan data di tempat penelitian ini. Peneliti juga melakukan
observasi pada saat pemberian tes cloze terhadap siswa. Observasi
yang digunakan dalam penelitian ini adalah observasi
nonpartisipan. Dalam hal ini peneliti hanya mengamati kegiatan
orang yang diamati, tetapi tidak ikut terlibat dalam kegiatan
tersebut. Uraian tersebut sejalan dengan teori bahwa metode
observasi ialah metode pengumpulan data dengan cara melakukan
pengamatan dan pencatatan yang sistematis terhadap gejala-gejala
yang diteliti Husaini dan Purnomo (dalam Sugiyono, 2006:54).
2. Metode Wawancara
Terkait dengan penelitian yang dilakukan, metode
wawancara digunakan untuk mendapatkan data tentang pendapat
siswa tentang tingkat kemudahan/ kesukaran buku teks bahasa
Indonesia kelas X SMA Negeri 8 Denpasar. Hal ini mengacu pada
pengertian yang disampaikan para ahli yang menyatakan bahwa
73
metode wawancara ialah cara mengumpulkan dengan bertanya jawab
secara lisan antara dua orang atau lebih secara langsung, Husaini dan
Purnomo (dalam Sugiyono, 2006:57). Wawancara yang dilakukan
berupa pembicaraan informal dan terstruktur. Hal ini mengacu pada
pengertian yang disampaikan Moleong (1999:11) yang menyatakan
bahwa wawancara dapat dilakukan dengan pembicaraan informal
yang menunjukkan bahwa hubungan pewawancara dan yang
diwawancara biasa dengan pertanyaan-pertanyaannya sudah
disiapkan secara sistematis.
3. Metode Dokumentasi
Metode dokumentasi adalah metode yang digunakan untuk
mendapatkan data mengenai hal-hal atau variabel yang berupa cataan,
transkrip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen rapat, agenda
dan sebagainya ( Arikunto, 1998:188). Dalam penelitian ini, metode
dokumentasi digunakan untuk mendapatkan data berupa buku teks
bahasa Indonesia yang digunakan kelas X SMA Negeri 8 Denpasar.
Data tersebut diperlukan terutama sekali untuk menjawab masalah.
4. Metode Tes
Dalam penelitian ini, metode tes digunakan untuk
mendapatkan data tentang keterbacaan bacaan dalam buku teks
yang digunakan siswa. Menurut Anderson (dalam Nurgiyantoro,
2001: 59), tes adalah serentetan pertanyaan, latihan, atau alat yang
dipergunakan untuk mengukur keterampilan pengetahuan,
intelegensi, kemampuan, atau
74
bakat yang dimiliki seseorang atau kelompok. Metode tes yang
dimaksud dalam penelitian ini, secara operasional dilakukan dengan
penggunaan uji tes rumpang. Penggunaan teknik tes cloze dalam
penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat keterbacaan dalam
buku teks bahasa Indonesia siswa kelas X IPA SMA Negeri 8
Denpasar. Hal tersebut dilakukan dengan cara memberikan bacaan atau
teks yang diambil dari bacaan yang ada dalam buku teks dan kemudian
beberapa kata dalam teks itu dihilangkan, kemudian siswa
diperintahkan untuk mengisi kata-kata yang dihilangkan tadi.
Berdasarkan jawaban siswa, akan diperoleh tingkat keterbacaan
pilihan bacaan tersebut. Semakin banyak kesalahan siswa dalam
menjawab, semakin tinggi tingkat kesulitan keterbacaan pilihan
bacaan tersebut. Begitu juga sebaliknya, semakin sedikit kesalahan
siswa dalam menjawab, semakin rendah tingkat kesulitan keterbacaan
pilihan bacaan tersebut.
75
sederhana. Lain halnya dengan isi bacaan eksposisi. Dalam isi
bacaan eksposisi, masih banyak terdapat istilah-istilah yang kurang
dimengerti siswa. Secara empiris, eksposisi adalah salah satu
bentuk karangan yang berusaha menerangkan, menguraikan atau
menganalisis suatu pokok pikiran yang dapat memperluas
pengetahuan dan pandangan seseorang. Penulis berusaha memaparkan
kejadian atau masalah secara analisis dan terperinci memberikan
interpretasi terhadap fakta yang dikemukakan. Dalam tulisan
eksposisi, teramat dipentingkan informasi yang akurat dan lengkap.
Eksposisi merupakan tulisan yang sering digunakan untuk
menyampaikan uaraian ilmiah, seperti makalah, skripsi, tesis,
disertasi, atau artikel pada surat kabar atau majalah.
Sementara itu, narasi atau kisahan merupakan corak tulisan
yang bertujuan menceritakan rangkaian peristiwa atau pengalaman
manusia berdasarkan perkembangan dari waktu ke waktu. Widodo
(1993:108) (dalam Sulistyorini) mengemukakan kriteria tingkat
keterbacaan yaitu skor keterbacaan kurang dari 37 menunjukkan bahan
bacaan sukar dipahami. Bahan bacaan pada tingkat ini tidak sesuai bagi
pembacanya. Skor keterbacaan antara 37-57 atau reratanya yaitu 47
menunjukkan bahan bacaan sesuai bagi siswa. Skor keterbacaan di atas
57 menunjukkan bahwa bahan bacaan mudah dipahami, pembaca dapat
belajar mandiri.
Sehubungan dengan teori tersebut, buku teks Bahasa Indonesia
yang digunakan dalam proses belajar mengajar di kelas X IPA SMA
Negeri 8 Denpasar berada pada rentangan skor 47-58 yang tergolong
sedang atau menunjukkan bahan bacaan sesuai bagi siswa.
Sementara itu, bahan bacaan yang menunjukkan sesuai bagi siswa
76
adalah berada pada rentangan skor 47-57. Jadi, buku teks ini sudah
sesuai digunakan untuk siswa karena berada pada skor di bawah 47
yang kata-katanya dapat dipahami oleh siswa.
Pada tahap awal, peneliti datang ke sekolah untuk
observasi awal. Observasi ini dilakukan untuk mengamati kegiatan
siswa dalam mengikuti pelajaran di kelas. Siswa sangat antusias
dalam menerima pelajaran apalagi pada saat guru memerintahkan
siswa membaca cerita. Setelah membaca cerita tersebut, guru
memerintahkan siswa untuk mengisi kata-kata yang telah
dikosongkan yang telah dibuat oleh peneliti. Dalam observasi ini,
peneliti dapat mengetahui kesulitan yang dirasakan oleh siswa pada
saat mengisi kata yang telah dikosongkan. Siswa tidak berani
mengisi kata yang dikosongkan secara individual karena takut
salah. Siswa masih merasa harus benar dalam menjawab. Oleh karena
itu, mereka tidak mau tergesa-gesa dalam menjawab sehingga
waktunya kurang.
Di samping itu, siswa masih menghafal kata-kata karena lupa
pada saat mengisi kata yang dikosongkan. Siswa cenderung menghafal
dalam menjawab. Karena itu, kebanyakan lembar jawaban siswa
kosong. Siswa juga masih sulit untuk menentukan kata yang
sesuai untuk mengisi kata yang dikosongkan. Ada juga siswa sudah
mengetahui apa yang dimaksud oleh pertanyaan tetapi mereka tidak
tahu kata apa yang digunakan. Sebagian dari siswa, juga ada
yang menganggap bahwa pertanyaan itu gampang-gampang sulit.
Tahap perkembangan siswa mulai dari jenjang SD sampai pada jenjang
SMA dalam memahami bacaan sangat berbeda. Menurut penjelasan
guru yang mengajar di kelas X IPA SMA Negeri 8 Denpasar, siswa
77
masih mengalami kesulitan dalam hal kosakata, misalnya dalam
pengisian tes cloze yang peneliti berikan kepada siswa tentang
materi pendidikan. Di sana banyak terdapat istilah tentang idealis dan
realis.
Berdasarkan kekurangpahaman siswa mengenai kosakata
tersebut, guru selalu membimbing siswa dengan memberikan
catatan tentang pengertian kata-kata yang tidak dipahami. Untuk
membimbing dalam mencari arti kata-kata yang belum dimengerti oleh
siswa, guru menggunakan buku penunjang seperti kamus dan
buku-buku lainnya yang sesuai dengan materi yang diajarkan.
Dengan demikian, buku teks sangat penting bagi guru dan siswa.
Sejalan dengan teori di atas, guru tersebut juga mempunyai
pendapat yang sama bahwa buku teks sangat berperan dalam
proses belajar mengajar. Kita tidak bisa mengadakan proses belajar
mengajar tanpa buku teks. Dengan adanya buku teks, guru akan
mudah dalam menyusun materi pelajaran. Materi pelajaran yang
disusun tersebut akan lebih teratur dan terarah. Beliau juga
mengatakan bahwa buku sangat membantu siswa dalam belajar.
Selain siswa belajar di sekolah, siswa juga bisa belajar di rumah.
Belajar di rumah bebas dan lebih santai dalam arti waktu lebih banyak
ketimbang belajar di sekolah. Siswa juga akan lebih berani bertanya
kepada orang tuanya di rumah. Oleh karena itu, buku teks juga
berperan bagi orang tua siswa. Para orang tua juga bisa membimbing
dan mengarahkan anaknya dalam penggunaan buku teks.
Berdasarkan hasil wawancara dengan siswa tentang keberadaan
dan penggunaan buku teks, bahwa buku teks juga sangat
berpengaruh terhadap keberhasilan siswa. Sekolah mewajibkan
78
masing-masing siswa membeli 1 buku teks. Oleh karena itu,
siswa dapat membawa buku teks tersebut pulang dan
mempelajarinya di rumah. Setiap menerima pelajaran tersebut,
siswa selalu menggunakan buku teks. Cara seperti itu sangat
memudahkan siswa dalam belajar, baik di sekolah maupun di rumah.
Dalam penggunaan buku teks, siswa merasa kurang paham dalam hal
kosakata. Siswa merasa kesulitan dalam memahami materi yang
disampaikan dalam buku teks. Siswa kesulitan karena mereka
belum mempunyai kamus atau buku penunjang lainnya. Di sinilah
peran guru untuk menyempurnakan kembali pemahaman siswa
terhadap kosakata.
Penyajian buku teks menurut siswa sudah dapat dipahami
karena telah disertai dengan gambar-gambar atau tabel untuk
memperjelas maksud yang disampaikan dalam materi yang ada
pada buku teks. Dari kajian keterbacaan berdasarkan interaksi
antara bacaan (buku teks pelajaran) dengan siswa yang ditinjau
berdasarkan keterpahaman kosakata, kalimat, paragraf, jenis
teks/bacaan; kemenarikan buku teks pelajaran; dan kemudahan
dalam memahami sistematika penyajian diperoleh pemahaman siswa
terhadap penggunaan kosakata dalam buku teks pelajaran bergantung
pada pengenalan mereka terhadap kosakata itu. Artinya, pemahaman
mereka akan baik jika kosakata yang digunakan dalam buku
Bahasa Indonesia, memahami kosakata karena mereka sering
mendengar, mengenal, dan sering menggunakan kosakata tersebut.
Keterpahaman kalimat, pemahaman siswa terhadap penggunaan
kalimat dalam buku teks pelajaran bergantung pada keintiman
kalimat tersebut dengan siswa. Artinya, jika kalimat-kalimat sudah
79
sering dikenal oleh siswa maka akan semakin tinggi keterbacaan buku
teks pelajaran tersebut.
Hal yang harus diperhatikan pula bahwa keterbacaan buku teks
pelajaran ditentukan pula oleh kesederhanaan kalimat yang
digunakan. Semakin sederhana kalimat yang disusun dalam buku
teks pelajaran maka akan semakin tinggi pula keterbacaan buku teks
tersebut. Apabila dalam buku teks tersebut digunakan kalimat
yang sulit atau belum dikenal siswa, maka keterbacaannya menjadi
rendah. Keterpahaman paragraf, pemahaman siswa terhadap
penggunaan paragraf dalam buku teks pelajaran bergantung pada
letak gagasan utama dalam paragraf tersebut. Apabila dalam suatu
paragraf menempatkan gagasan utama pada awal paragraf maka siswa
lebih dapat memahami paragraf tersebut. Artinya, paragraf-paragraf
yang disusun dengan menempatkan gagasan pokok atau pikiran utama
pada awal paragraf lebih dapat dipahami siswa makna paragraf tersebut
dan memiliki keterbacaan tinggi.
Tingkat keterbacaan juga sangat ditentukan oleh ketersediaan
gambar atau ilustrasi yang mengiringi paragraf tersebut. Dengan
demikian, selain menempatkan pikiran utama atau gagasan utama pada
awal paragraf, kehadiran gambar atau ilustrasi yang mengiringi
paragraf tersebut dapat mempertinggi keterpahaman siswa terhadap
paragraf yang digunakan. Keterpahaman teks/bacaan, tingkat
keterpahaman buku teks, dalam hal ini diwakili bacaan eksposisi
dan bacaan persuasi. Dalam mencari alasan mereka menyatakan paham
atau sulit memahami wacana/bacaan yang terdapat dalam buku
teks, disajikan beberapa alasan. Maka ada 45 orang siswa yang
mampu membaca teks persuasi dan teks eksposisi dari bacaan 1 ada 30
80
orang, teks eksposisi bacaan 2 ada 38 orang dan teks eksposisi dari
bacaan 3 ada 40 orang siswa yang mampu membaca teks eksposisi.
Kemenarikan penyajian buku teks bahasa Indonesia pada
umumnya sangat menarik yang diungkapkan oleh 45 siswa yang
menjadi responden. Adapun ketika dikonfirmasi kepada siswa alasan
pernyataan tersebut dinyatakan bahwa buku teks pelajaran berstandar
nasional menarik karena menggunakan gambar atau ilustrasi yang
memperjelas isi materi yang disajikan dan menggunakan huruf/bacaan
yang jelas dan terbaca, serta bahasa yang mudah dipahami.
Kemudahan memahami sistematika penyajian berdasarkan
sistematika penyajian buku teks pelajaran berstandar nasional diketahui
bahwa pada umumnya buku teks pelajaran itu mudah dipahami karena
penyajian suatu materi tersebut disertai gambar, dikaitkan dengan
pengetahuan siswa, dan disesuaikan dengan pengalaman siswa. Dari
pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa keberadaan buku
teks maupun buku penunjang sangat fungsional baik bagi kelancaran
pengelolaan kelas, bagi guru, bagi siswa, maupun bagi orang tua.
SIMPULAN
Tingkat keterbacaan menggunakan uji tes rumpang terhadap
bacaan eksposisi dan persuasi dalam buku teks bahasa Indonesia
kelas X IPA SMA Negeri 8 Denpasar sudah memenuhi syarat.
Tingkat keterbacaannya berada pada rentangan 47-58 yang
tergolong sedang atau menunjukkan bahan bacaan sesuai bagi siswa.
Tingkat Kemudahan/ Kesukaran Buku Teks Bahasa Indonesia
untuk siswa kelas X IPA SMA Negeri 8 Denpasar diketahui bahwa
pada umumnya buku teks pelajaran tersebut mudah dipahami karena
81
penyajian suatu materi tersebut disertai gambar, dikaitkan dengan
pengetahuan siswa, dan disesuaikan dengan pengalaman siswa. Tingkat
Keterpahaman Buku Teks Bahasa Indonesia untuk siswa kelas X
IPA SMA Negeri 8 Denpasar dalam hal ini diwakili bacaan eksposisi
dan bacaan persuasi, maka ada 45 orang siswa yang mampu membaca
teks persuasi dan teks eksposisi dari bacaan 1 ada 30 orang, teks
eksposisi bacaan 2 ada 38 orang dan teks eksposisi dari bacaan 3 ada 40
orang siswa yang mampu membaca teks eksposisi.
Kemenarikan Buku Teks Bahasa Indonesia untuk siswa kelas X
IPA SMA Negeri 8 Denpasar pada umumnya sangat menarik yang
diungkapkan oleh 45 siswa yang menjadi
responden. Adapun ketika dikonfirmasi kepada siswa alasan pernyataan
tersebut dinyatakan bahwa buku teks pelajaran berstandar nasional
menarik karena menggunakan gambar atau ilustrasi yang
memperjelas isi materi yang disajikan dan menggunakan
huruf/bacaan yang jelas dan terbaca.
DAFTAR PUSTAKA
Badudu, J.S. dan Sutan Mohammad Zain. 1996. Kamus Umum Bahasa
Indonesia. Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan.
Sriasih, Sang Ayu Putu. 2008. Telaah Buku Teks. Singaraja: Undiksha
Singaraja.
82
Supriadi, Dedi. 2000. Anatomi Buku Sekolah di Indonesia.
Yogyakarta: AdiCita.
83
UPAYA MENINGKATKAN HASIL BELAJAR AGAMA HINDU
SISWA KELAS VA MELALUI PENERAPAN MODEL
PEMBELAJARAN INQUIRI PADA SEMESTER I
TAHUN PELAJARAN 2015/2016 DI SD NEGERI 3 SUKAWATI
Oleh :
ABSTRACT
84
I. PENDAHULUAN
Agama Hindu sebenarnya merupakan mata pelajaran
hafalan atau ingatan, tetapi menjadi kendala bagi siswa, terutama
bagi siswa-siswi SD. Hal ini disebabkan oleh keluasaan materi mata
pelajaran ini. Guru berperan aktif berinovasi dalam proses
pembelajaran agar proses pembelajaran dapat hidup didalam kelas
sehingga siswa tumbuh rasa senang didalam didalam menerima
pelajaran yang ditransper oleh gurunya. Peserta didik akan
memperoleh pendidikan bermakna apabila pengetahuan dibangun
dengan dasar informasi yang didapat secara alami. Untuk mencapai
tujuan tersebut, lingkungan belajar harus dibangun sedemikian rupa
untuk memberikan pemahaman dan menjelaskan secara kongkret
teori-teori atau konsep-konsep yang disampaikan kepada anak agar
pengetahuan dapat dimanfaatkan anak dalam kehidupan sehari-hari.
85
didik sebagai subjek, yang harus aktif dan kreatif melaksanakan
proses pembelajaran dengan arahan dan bantuan dari guru.
86
manifestasi dari hasil belajar siswa dan berguna dalam
pengambilan keputusan atau kebijakan terhadap siswa yang
bersangkutan maupun sekolah. Hasil belajar merupakan
kemampuan siswa
yang dapat diukur, berupa pengetahuan, sikap dan keterampilan
yang dicapai siswa dalam kegiatan belajar mengajar.
Djamarah (1994:23) mendefinisikan hasil belajar sebagai hasil
yang diperoleh berupa kesan-kesan yang mengakibatkan
perubahan dalam diri individu sebagai hasil dari aktivitas dalam
belajar.Kalau perubahan tingkah laku adalah tujuan yang mau
dicapai dari aktivitas belajar, maka perubahan tingkah laku itulah
salah satu indikator yang dijadikan pedoman untuk mengetahui
kemajuan individu dalam segala hal yang diperolehnya di sekolah.
Dengan kata lain hasil belajar merupakan kemampuan-kemampuan
yang dimiliki oleh siswa sebagai akibat perbuatan belajar atau
setelah menerima pengalaman belajar, yang dapat dikatagorikan
menjadi tiga ranah, yakni ranah kognitif, afektif, dan psikomotor.
87
Menurut John Eliot PTK adalah kajian tentang situasi sosial
dengan maksud untuk meningkatkan kualitas tindakan di dalamnya
(Elliot, 1982).
88
meneliti, menginterogasi, memeriksa materi yang telah diteliti,
telah dimengerti, telah diperiksa merupakan sesuatu yang dialami
sendiri oleh siswa yang akan dijadikan pusat perhatian untuk
memikirkan hal-hal yang terkait dengan materi tersebut yang
disebut kegiatan intelektual. Apa yang telah diteliti, diamati,
diperiksa dan diinterogasi akan diproses dalam alam pikiran mereka
dan akan menjasi sesuatu yang bermakna dalam kehidupan mereka
kelak. Dalam upaya mengerti materi yang diamati dan diteliti
mereka dibiasakan untuk produktif, mampu membuat analisis serta
membiasakan mereka berpikir kritis. Pembelajaran dengan metode
ini erat kaitannya dengan apa yang ditulis guru adalam Rencana
Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) guru karena dalam RPP tersebut
tertulis hal-hal seperti metode, strategi dan teknik agar para siswa
bisa mendapat jawabannya sendiri secara optimal.
89
penting dalam materi yang diberikan. Dengan cara kerja yang
sedemikian rupa sudah dapat diyakini bahwa metode ini akan dapat
memecahkan masalah yang ada.
90
Gambar 01. Gambar 3.1 Model PTK (Penelitian Tindakan Kelas)
Menurut Kemmis dan Mc Taggart (Arikunto, 2008:16)
Penelitian tindakan kelas ini terdiri dari tiga tahap pada satu
siklus, apabila dalam tindakan kelas ini ditemukan kekurangan dan
tidak terciptanya target yang telah ditentukan, maka ini ditemukan
dan tidak tercapainya target yang telah ditentukan, maka diadakan
perbaikan pada perencanaan dan pelaksanaan siklus berikutnya.
Model yang digunakan dalam penelitian ini adalah model spiral
Kemmis dan Mc Taggart dengan melalui beberapa siklus tindakan
dan terdiri dari empat komponen
b. Tindakan yaitu apa yang dilakukan oleh guru atau peneliti sebagai
upaya perbaikan, peningkatan atau perubahan yang diinginkan.
91
d. Refleksi yaitu peneliti mengkaji, melihat dan mempertimbangkan
atas hasil atau dampak dari tindakan dari berbagai criteria
92
3). Pada siklus II ,
Dengan tindakan yang sangat maksimal dan pelaksanaan
yang betul-betul mengikuti kebenaran teori sesuai dengan model
pembelajaran Inquiri dalam pembelajaran Agama Hindu di
kelas VA SD Negeri 1 Samplangan, dimana hasil yang diperoleh
pada siklus II ini ternyata hasil belajar Agama Hindu meningkat
secara signifikan dengan nilai rata-rata 81, dan ketuntasan
belajarnya adalah 100%.
Semua hasil yang diperoleh dari awal, siklus I dan siklus II
digambarkan dalam bentuk tabel dan grafik seperti berikut:
93
4.2 Pembahasan
Data awal yang diperoleh dengan rata-rata 70,06 menunjukkan
bahwa kemampuan siswa dalam mata pelajaran Agama Hindu
masih sangat rendah mengingat kriteria ketuntasan belajar siswa
untuk mata pelajaran ini di SD N 3 Sukawati adalah 75,00. Dengan
nilai yang sangat rendah seperti itu maka peneliti mengupayakan
untuk dapat meningkatkan hasil belajar anak/siswa menggunakan
metode/model pembelajaran inquiri. Akhirnya dengan penerapan
metode/model pembelajaran inquiri yang benar sesuai teori yang
ada, peningkatan rata-rata hasil belajar anak/siswa pada siklus I
dapat diupayakan dan mencapai rata-rata 74,83. Namun rata-rata
tersebut belum maksimal karena hanya 20 siswa memperoleh nilai
di atas KKM sedangkan yang lainnya belum mencapai KKM.
94
Sedangkan prosentase ketuntasan belajar mereka baru mencapai
66,66%. Hal tersebut terjadi akibat penggunaan metode/model
pembelajaran inquiri belum maksimal dapat dilakukan disebabkan
penerapan model/metode tersebut baru dicobakan sehingga guru
masih belum mampu melaksanakannya sesua alur teori yang benar.
95
disampaikan bahwa pencapaian tujuan penelitian di atas dapat
dibuktikan dengan argumentasi sebagai berikut.
1. Pelaksanaan kegiatan awal dimana model pembelajaran yang
digunakan tidak menentu, termasuk pula metode ajar yang
digunakan hanya sekedar terlaksana membuat nilai siswa pada
mata pelajaran Agama Hindu rendah dengan rata-rata 70,06
yang masih jauh dari kriteria ketuntasan minimal pada mata
pelajaran ini yaitu 75.
2. Setelah dilakukan perencanaan yang lebih matang
menggunakan model pembelajaran Inquiri yang dilanjutkan
dengan pelaksanaannya di lapangan yang benar sesuai teori
yang ada dan dibarengi dengan pemberian tes atau observasi
secara objektif akhirnya terjadi peningkatan dari nilai rata-rata
awal 70,06 menjadi rata-rata 74,83. Demikian juga terjadi
peningkatan dari nilai rata-rata 74,83 pada siklus I meningkat
menjadi 81,00 pada siklus II.
3. Seperti kebenaran tujuan pelaksanaan Penelitian Tindakan
Kelas (PTK) yaitu untuk peningkatan proses pembelajaran,
maka upaya-upaya yang maksimal telah dilakukan dengan
sangat giat sehingga hasil yang diharapkan sesuai perolehan
data telah mampu memberi jawaban terhadap rumusan masalah
dan tujuan penelitian ini, yaitu model pembelajaran inquiri
mampu meningkatkan hasil belajar Agama Hindu siswa.
Paparan di atas membuktikan bahwa model/metode
pembelajaran inquiri dapat memberi jawaban sesuai tujuan
penelitian ini. Semua ini dapat dicapai karena model/metode
pembelajaran inquiri sangat efektif diterapkan dalam proses
96
pembelajaran yang mengakibatkan siswa aktif, antusias dan dapat
memahami materi yang diajarkan sehingga hasil belajar siswa
menjadi meningkat.
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suharsimi; Suhardjono; Supardi. 2006. Penelitian Tindakan
Kelas. Jakarta: PT Bumi Aksara
97
UPAYA MENINGKATKAN PRESTASI BELAJAR
AGAMA HINDU MELALUI PENERAPAN MODEL
PEMBELAJARAN THING PAIR SHARE PADA SISWA
KELAS VIBB SEMESTER I TAHUN AJARAN 2015/2016
DI SD NEGERI 3 SUKAWATI
Oleh
Ni Ketut Sumariyani
ABSTRACT
98
I. PENDAHULUAN
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses belajar agar peserta didik
secara aktif membangun potensi dirinya untuk memiliki kekuatan
spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,
akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa dan negara. Pendidikan sangat penting dalam
pembangunan, maka tidak salah jika pemerintah senantiasa
mengusahakan untuk meningkatkan mutu pendidikan baik dari
tingkat yang paling rendah maupun sampai ke tingkat perguruan
tinggi. Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah untuk
meningkatkan mutu pendidikan, salah satunya yaitu penyempurnaan
terhadap kurikulum. Kurikulum merupakan seperangkat rencana dan
pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang
digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran
untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.
Menurut Sukmadinata dalam Wardhani, IG.A.K (2014:8.3)
menyatakan bahwa salah satu karakteristik pendidikan formal adalah
pendidikan di sekolah tersebut memiliki rancangan pendidikan atau
kurikulum tertulis. Dengan adanya rancangan atau kurikulum tertulis,
pendidikan di sekolah berlangsung secara terencana, sistematis dan
lebih disadari. Oleh karena itu, Kurikulum 2006 yang dikenal dengan
sebutan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) menjadi
acuan atau pedoman untuk menjalankan pendidikan di sekolah dasar.
Sesuai dengan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik
Indonesia Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi.
99
Dalam kurikulum Agama Hindu tahun 2006, peserta didik
dituntut untuk memiliki kemampuan mengenal konsep-konsep yang
berkaitan dengan kehidupan masyarakat dan lingkungan, memiliki
kemampuan dasar untuk berpikir logis dan kritis, memiliki komitmen
dan kesadaran terhadap nilai-nilai sosial dan kemanusiaan, serta
memiliki kemampuan berkomunikasi, bekerja sama dan berkompetisi
dalam masyarakat yang majemuk. Oleh karena itu, dalam proses
pembelajaran peserta didik bisa diberikan permasalahan nyata berupa
gambar, benda nyata atau dibawa langsung ke dalam lingkungan alam
dan masyarakat. Dengan hal tersebut, peserta didik akan dapat
mengamati dan mempelajari norma-norma/peraturan serta kebiasaan-
kebiasaan baik yang berlaku dalam masyarakat secara nyata. Hal ini
juga berdampak pada pembentukan karakter peserta didik sebagai
anggota masyarakat yang baik serta bermanfaat pula dalam
mengembangkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi.
100
23 orang. Berdasarkan hasil pengamatan penulis, masalah tersebut
disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya faktor siswa dan guru.
Dari faktor siswa, tingkat intelegensi dan latar belakang siswa yang
berbeda-beda mempengaruhi prestasi belajar siswa serta kurangnya
prestasi siswa dalam mengikuti proses pembelajaran. Sedangkan dari
pihak guru, cara penyampaian materi yang sulit dAgama Hinduhami,
kurangnya media pembelajaran, serta metode pembelajaran yang
kurang tepat menyebabkan prestasi belajar Agama Hindu siswa kelas
VIBB SD Negeri 3 Sukawati dikategorikan rendah sehingga tujuan
pembelajaran yang hendaknya dicapai tidak mengenai sasaran.
101
yang memiliki prosedu secara eksplisit untuk memberikan waktu lebih
banyak kepada siswa dalam memikirkan secara mendalam tentang apa
yang telah dijelaskan atau dialami, menjawab permasalahan dan saling
membantu satu sama lainnya.
102
3. Tahap 3. Sharing (berbagi)
Pada tahap akhir, guru meminta kepada pasangan untuk
berbagi dengan seluruh kelas tentang apa yang telah mereka bicarakan.
Ini efektif dilakukan dengan menunjuk pasangan yang secara sukarela
bersedia melaporkan hasil kerja kelompoknya atau bergiliran pasangan
demi pasangan sampai sekitar seperempat pasangan telah mendapat
kesempatan untuk melaporkan.
103
tergantung pada keberhasilan proses belajar siswa di sekolah dan
lingkungan sekitarnya. Pada dasarnya belajar merupakan tahapan
perubahan perilaku siswa yang relatif positif dan mantap sebagai hasil
interaksi dengan lingkungan yang melibatkan proses kognitif.
104
Proses pembelajaran Agama Hindu yang dilaksanakan di sekolah
menengah atas khususnya pada siswa kelas VIB SD Negeri 3 Sukawati
masih belum mengacu pada makna pembelajaran Agama Hindu yang
seharusnya. Hal ini bisa dilihat dari nilai rata-rata yang masih dibawah
KKM, rendahnya ketuntasan belajar serta banyaknya siswa yang
diremidi pada mata pelajaran Agama Hindu. Permasalahan tersebut
tidak dapat diabaikan oleh seorang guru yang menjadi ujung tombak
keberhasilan siswanya, maka guru harus mencari cara-cara yang
inovatif dan menarik untuk merangsang minat dan motivasi belajar
siswa sehingga dapat meningkatkan prestasi belajarnya.
105
Apabila penerapan model pembelajaran Think Pair Share dilaksanakan
secara tepat dan optimal, maka prestasi belajar Agama Hindu siswa
kelas VIB SD Negeri 3 Sukawati tahun pelajaran 2015/2016 akan
mengalami kemajuan atau meningkat.
Perencanaan Tindakan
tindakan
Observasi/ Evaluasi
Perencanaan tindakan
IV.
Refleksi SIKLUS II Pelaksanaan
tindakan
V.
Observasi/ Evaluasi
Siklus Berikutnya
106
Gambar 01 Siklus Penelitian Tindakan Kelas
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.2 Hasil
3) Hasil yang diperoleh dari kegiatan awal:
Hasil yang menunjukan perolehan nilai rata rata kelas
prestasi belajar Agama Hindu masih sangat rendah, yaitu
dengan perolehan skor nilai secara klasikal yaitu 2305 dan rata
rata kelas 69,84, dimana siswa yang mencapai persentase
ketuntasan belajar hanya 30,30%, dan yang tidak mencapai
ketuntasan adalah mencapai 69,69%, dengan tuntutan KKM
untuk mata pelajaran Agama Hindu kelas VIB SD Negeri 3
Sukawati adalah dengan nilai 75.
4) Hasil pada siklus I:
Pada siklus I sudah diupayakan untuk perbaikan
pembelajaran untuk meningkatkan prestasi belajar Agama
Hindu dengan menggunakan model Think Pair Share. Peneliti
telah giat melakukan kegiatan yang susuai dengan kebenaran
teori yang ada sehingga peneliti memperoleh hasil yang lebih
baik dari proses awal, yaitu dengan rata rata nilai 73,93 dari
jumlah nilai 2440 seluruh siswa di kelas VIB SD Negeri 3
Sukawati, dan prosentase ketuntasan belajarnya adalah
54,54%, yang tidak tuntas adalah 45,45%. Hasil ini belum
maksimal, karena belum mecapai indikator keberhasilan
penelitian yang mencanangkan dengan minimal prosentase
ketuntasan belajar adalah 80%.
107
3). Pada siklus II ,
Dengan tindakan yang sangat maksimal dan pelaksanaan
yang betul-betul mengikuti kebenaran teori sesuai dengan
model pembelajaran Think Pair Share dalam pembelajaran
Agama Hindu di kelas VIB SD Negeri 3 Sukawati, dimana
hasil yang diperoleh pada siklus II ini ternyata prestasi belajar
Agama Hindu meningkat secara signifikan dengan nilai rata-
rata 80,90, dan ketuntasan belajarnya adalah 100%.
Semua hasil yang diperoleh dari awal, siklus I dan siklus II
digambarkan dalam bentuk tabel dan grafik seperti berikut:
108
tTulik
4.2 Pembahasan
Data awal yang diperoleh dengan rata-rata 69,84 menunjukkan
bahwa kemampuan siswa dalam mata pelajaran Agama Hindu
masih sangat rendah mengingat kriteria ketuntasan belajar siswa
untuk mata pelajaran ini di SD N 3 Sukawati adalah 75,00. Dengan
nilai yang sangat rendah seperti itu maka peneliti mengupayakan
untuk dapat meningkatkan prestasi belajar anak/siswa dengan
penerapan metode/model pembelajaran Think Pair Share yang
benar sesuai teori yang ada, peningkatan rata-rata prestasi belajar
anak/siswa pada siklus I dapat diupayakan dan mencapai rata-rata
73,93. Namun rata-rata tersebut belum maksimal karena hanya 18
siswa memperoleh nilai di atas KKM sedangkan 15 yang lainnya
belum mencapai KKM. Sedangkan prosentase ketuntasan belajar
109
mereka baru mencapai 54,54%. Hal tersebut terjadi akibat
penggunaan metode/model pembelajaran Think Pair Share belum
maksimal dapat dilakukan disebabkan penerapan model/metode
tersebut baru dicobakan sehingga guru masih belum mampu
melaksanakannya sesua alur teori yang benar.
110
dicantumkan pada pelaksanaan siklus I dan siklus II. Melalui
tahapan tersebut, siswa dilatih untuk berpikir kritis dan
berpartisipasi aktif dalam proses pembelajaran.
DAFTAR PUSTAKA
111
Agung, A. A. Gede. 2005. Metodologi Penelitian Pendidikan.
Singaraja: STKIP Singaraja.
112
KIAT-KIAT MENINGKATKAN KEMAMPUAN KOGNITIF ANAK
DALAM MENYUSUN BENTUK MELALUI KEGIATAN BERMAIN
PUZZLE BERVARIASI PADA ANAK DIDIK KELOMPOK B3
SEMESTER I TAHUN PELAJARAN 2015/2016
DI TK KEMALA BHAYANGKARI 4 GIANYAR
Oleh
NI KETUT SUKERTI
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peningkatan
kemampuan kognitif anak melalui kegiatan bermain puzzle bervariasi
pada kelompok B1 semester I tahun pelajaran 2015/2016 di TK Kemala
Bhayangkari 4 Gianyar.
Adapun jenis penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas
yang dilaksanakan dalam dua siklus. Subyek penelitian adalah 34 orang
anak TK B1 di Tk Kemala Bhayangkari 4 Gianyar. Data penelitian
tentang keterampilan kognitif anak dikumpulkan dengan metode
observasi dengan instrument berupa lembar format observasi. Data
hasil penelitian dianalisis dengan menggunakan metode analisis
statistik deskriptif dan analisis kuantitatif.
Hasil analisis data menunjukkan bahwa terjadi peningkatan
kemampuan kognitif anak melalui kegiatan bermain puzzle bervariasi
pada siklus I sebesar 70,58% yang berada kategori rendah ternyata
mengalami peningkatan pada siklus II menjadi 91,17% tergolong pada
kategori sangat tinggi. Jadi dapat disimpulkan bahwa kegiatan bermain
puzzle bervariasi dapat meningkatkan kemampuan kognitif anak
kelompok B1 semester I tahun pelajaran 2015/2016 di TK Kemala
Bhayangkari 4 Gianyar.
113
Kata kunci : Menyusun bentuk ,Puzzle Bervariasi,Kemampuan
Kognitif
ABSTRACT
This study aims to determine the increase cognitive abilities of
children through play activities vary puzzle in group B1 first semester
of the school year 2015/2016 in kindergarten Kemala Bhayangkari 4
Gianyar.
The type of research is a class act that is conducted in two cycles.
Subjects were 34 children in kindergarten B1 Kemala Bhayangkari Tk
4 Gianyar. Data research on children's cognitive skills are collected by
the method of observation by observation instrument in the form of
sheet format. The data were analyzed using descriptive statistical
analysis and quantitative analysis.
The result showed that an increase in cognitive abilities of children
through play activities vary puzzle on the first cycle of 70.58%, which
is low category had experienced an increase in the second cycle to
91.17% belong to the very high category. So we can conclude that the
activity varied puzzles can improve the cognitive abilities of children in
group B1 first semester of 2015/2016 academic year in kindergarten
Kemala Bhayangkari 4 Gianyar.
I. PENDAHULUAN
Menurut UU nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional pada pasal 1 butir 14, pendidikan anak usia dini
didefinisikan sebagai suatu upaya pembinaan yang ditujukan
kepada anak sejak lahir sampai usia enam tahun yang dilakukan
melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu
pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohano agar anak
memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut.
114
Bermain merupakan suatu aktivitas yang langsung dan spontan.
Para ilmuwan telah menunjukkan bahwa bermain merupakan
pengalaman belajar yang berharga. Ketika bermain anak dapat
memunculkan imajinasinya dan mengeluarkan ide-ide yang
tersimpan di dalam dirinya. Menurut Rogger,dkk (1995), setiap
anak ingin selalu bermain, sebab dengan bermain anak merasa
rileks, senang dan merasa tidak tertekan.
Pendidikan anak usia dini (PAUD) merupakan suatu lembaga
yang disamping memberikan kesemptan bermain sambil belajar dan
sekaligus mendidik anak untuk mandiri, bersosialisasi dan
memperoleh berbagai keterampilan anak, dan Pendidikan Anak
Usia Dini (PAUD) inilah anak bisa bersosialisasi dengan anak yang
lain dan mengekspresikan bakat atau kreativitasnya.
Pada anak usia dini metode dan media yang tepat sangat
mempengaruhi proses belajar anak. Pengembangan kognitif pada
anak khususnya menyusun bentuk biasanya kurang diminati anak.
Padahal kegiatan menyusun bentuk sangat penting untuk
perkembangan intelegensi anak. Karena mengenal bentuk adalah
konsep yang paling awal yang harus dikuasai anak.
Adapun media yang dapat digunakan untuk merangsang anak
untuk menyukai kegiatan menyusun bentuk adalah puzzle
bervariasi. Dengan digunakannya media puzzle bervariasi kiranya
dapat meningkatkan minat anak untuk melatih kemampuan kognitif
khususnya dalam menyusun bentuk. Berdasarkan pengamatan
terhadap kegiatan pengembangan di kelas B1, ditemukan adanya
masalah rendahnya hasil pengembangan kognitif khususnya dalam
menyusun bentuk ditandai dengan beberapa kondisi antara lain 80%
115
anak belum mampu menyusun bentuk. Dari 34 anak, 18 anak belum
mampu menyusun bentuk, 3 anak masih takut untuk mencoba
sendiri, dan satu anak yang benar-benar belum mau mencoba.
Dari hal tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa kemampuan
kognitif anak TK B1 di TK Kemala Bhayangkari 4 Gianyar perlu
ditingkatkan karena pada kriteria keberhasilan anak masih
tergolong rendah. Hal tersebut disebabkan karena kurangnya media
yang menarik minat anakn dan kurangnya pengulangan kegiatan
yang diberikan.
Sebagai alternative untuk mengatasi masalah tersebut maka
digunakanlah media puzzle bervariasi untuk lebih merangsang anak
menyusun bentuk. Dengan tampilan puzzle yang bervariasi anak
tidak akan cepat bosan menyusun bentuk yang diharapkan.
Atas dasar latar belakang diatas, maka penulis mengangkat
judul Kiat-kiat meningkatkan Kemampuan Kognitif Anak Dalam
Menyusun Bentuk Melalui Kegiatan Bermain Puzzle Bervariasi
Pada Anak Didik Kelompok B1 Semester I Tahun Pelajaran
2015/2016 Di TK Kemala Bhayangkari 4 Gianyar
II. KAJIAN TEORI
2.1 Pengertian Metode Bermain
Menurut Rothwell & Kazanas (2013) menyatakan bahwa
metode adalah proses untuk menyampaikan informasi. Rosdy Ruslan
(2013:24) menyatakan bahwa metode merupakan kegiatan ilmiah
yang berkaitan dengan suatu cara kerja ( sistematis ) untuk memahami
suatu obyek penelitian. Sebagai upaya untuk menemukan jawaban yang
dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan termasuk
keabsahannya.
116
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa metode yaitu suatu
cara atau upaya yang dilakukan oleh pendidik agar proses belajar
mengajar pada anak tercapai sesuai dengan tujuan.
Buhier dan danziger (2001:45) mengemukan bahwa : bermain
adalah kegiatan yang menimbulkan kenikmatan , dan kenikmatan itu
menjadi rangsangan bagi perilaku lainnya.
Berdasarkan definisi bermain yang diungkapkan oleh para ahli
tersebut, dapat disimpulkan bahwa bermain merupakan suatu kegiatan
yang dapat memicu kreativitas serta daya pikir anak secara optimal
tanpa anak tersebut merasa dipaksa untuk melakukannya.
Ismail, A (2006:119) memuat pernyataan para ahli pendidikan
anak yang menyatakan bahwa cara belajar anak yang paling efektif
ada pada permainan anak, membandingkan, mencarikan jawaban yang
berbeda dan sebagainya.
Jadi metode bermain adalah metode yang dapat membantu
penyaluran kelebihan tenaga untuk memperoleh keseimbangan antara
kegiatan dengan menggunakan kekuatan tenaga dan kegiatan yang
memerlukan tenaga.
2.2 Pengertian Media Pembelajaran
Beberapa pengertian media pembelajaran oleh para ahli
antara lain sebagai berikut :
1. Asscociation For Educational and Communication
Technology (AECT) mengartikan sebagai segala bentuk
yang digunakan untuk proses penyaluran informasi.
2. National Education Accociation (NEA) mengartikan
sebagai segala bentuk yang dapat dimanipulasi, dilihat,
117
didengar, dibaca atau dibicarakan beserta instrument yang
digunakan untuk kegiatan tersebut.
3. Blake dan Horalsem mengatak media yang digunakan untuk
membawa atau menyampaikan suatu pesan dimana
merupakan jalan atau alat yang mana pesan berjalan antara
komunikator dengan komunikan.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahea pengertian
media pembelajaran adalah alat bantu apa saja yang dapat dijadikan
sebagai penyalur pesan guna mencapai tujuan pengajaran.
2.3 Pengembangan Kognitif Pada Anak TK
Pengembangan kognitif adalah pengembangan kemampuan
dasar yang telah dimilki anak secara ilmiah, misalnya meningkatkan
kemampuan anak dari berpikir konkret ke berpikir abstrak (
Depdikbud,1998:3 ). Disamping itu pengembangan kognitif juga
merupakan salah satu pengembangan kemampuan dasar yang penting
agar anak didik mampu mengembangkan pengetahuan yang baru
diperolehnya ( Depdikbud,:1997:44 ).
Berdasarkan kedua pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa
pengembangan kognitif adalah pengembangan kemampuan dasar yang
dimiliki oleh anak secara ilmiah dengan tujuan anak didik mampu
mengembangkan kemampuan yang sudah diketahui yaitu berpikir
konkret ke abstrak.
2.4 Kaitan kemampuan Menyusun Bentuk Dengan kognitif Anak
TK
Bentuk adalah salah satu dari konsep paling awal yang harus
dikuasai. Anak dapat membedakan benda berdasarkan bentuk terlebih
dahulu sebelum berdasarkan cirri-ciri lainnya. Dengan demikian,
118
merupakan hal terbaik untuk memulai program kognitif dengan
memberikan kegiatan yang memungkinkan anak membedakan berbagai
benda dengan bentuk yang berbeda-beda. Dengan menyusun berbagai
bentuk anak dapat melatih kecermatan dan kecepatan saat anak
menyusun bentuk.
2.5 Pengertian Puzzle
Kata puzzle berasal dari bahasa Inggris yang berarti teka-teki
atau bongkar pasang.dalam bahasa Indonesia puzzle diartikan sebagai
tebakan.tebakan adalah sebuah masalah yang diberikan sebagai hiburan
yang biasanya ditulis dan dilakukan.
Dalam KKBI (1992:1017), tebakan adalah sesuatu yang
ditebak. Menurut Ismail,A(2006:218) puzzle adalah permainan yang
menyusun suatu gambar atau benda yang telah dipecah dalam beberapa
bagian.
Berdasarkan beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa
puzzle merupakan alat permainan edukatif yang dapat merangsang
yang kemampuan kognitif anak, yang dimainkan dengan cara
membongkar pasang kepingan puzzle berdasarkan pasangannya.
2.6 Kerangka Berpikir
Media tidak bisa dipisahkan dalam proses pengajaran. Media
edukatif sangat membantu dalam proses pembelajaran di taman kanak-
kanak. Media yang digunakan harus menyenangkan dan membuat anak
cepat mengerti tentang informasi yang diberikan oleh guru. Salah satu
contohnya adalah puzzle bervariasi.Wahyuni dan Maureen (2011)
mengungkapkan bahwa keterampilan kognitif berkaitan dengan
kemampuan anak belajar dan memecahkan masalah. Dengan bermain
puzzle anak mencoba memecahkan masalah.
119
2.7 Hipotesis Tindakan
Berdasarkan landasan teori dan kerangka berpikir diatas maka
dapat diajukan hipotesis yang dirumuskan sebagai berikut : jika
penggunaan media puzzle bervariasi diterapkan dengan efektif dan
efisien pada anak kelompok B1 semester I tahun pelajaran 2015/2016
di TK Kemala Bhayangkari 4 Gianyar maka kemampuan kognitif
dalam menyusun bentuk pada anak akan meningkat.
120
Permasalahan Perencanaan Pelaksanaan
Tindakan I Tindakan I
Perencanaan Pelaksanaan
Tindakan II Tindakan II
Apabila
Refleksi II Pengematan/
permasalahan
Pengumpulan Data
belum
II
terselesaikan
Dilanjutkan ke
siklus berikutnya
prosedur:
1. Perencanaan
Pada tahap ini peneliti membuat RPP, berkonsultasi dengan
teman sejawat membuat instrumen.
121
2. Pelaksanaan Tindakan
Tahap pelaksanaan tindakan dilakukan dengan pembelajaran di
kelas. Pada tahap ini guru peneliti giat melakukan tindakan
menggunakan media pazzel Rancangan tindakan tersebut sebelumnya
telah dilatih untuk dapat diterapkan di dalam kelas sesuai dengan
skenarionya.Skenario dari tindakan diupayakan dilaksanakan dengan
baik dan wajar.
4. Refleksi
Tahapan ini dimaksudkan untuk mengkaji secara menyeluruh
tindakan yang telah dilakukan, berdasarkan data yang telah terkumpul,
kemudian dilakukan evaluasi guna menyempurnakan tindakan
berikutnya.
122
Refleksi dalam PTK mencakup analisis, sintesis, dan penilaian terhadap
hasil pengamatan atas tindakan yang dilakukan. Jika terdapat masalah
dari proses refleksi maka dilakukan proses pengkajian ulang melalui
siklus berikutnya yang meliputi kegiatan: perencanaan ulang, tindakan
ulang, dan Mulai dengan adanya suatu permasalahan.Setelah
diketahui ada masalah, dibuat perencanaan, kemudian dilaksanakan,
diamati dan dilakukan refleksi. Setelah refleksi akan terlihat
permasalahan yang tersisa yang merupakan masalah baru. Dengan
adanya masalah baru maka dibuat perencanaan ulang, dilaksanakan,
diamati dan dilakukan refleksi.Bila permasalahan belum bisa diatasi
maka dilanjutkan dengan siklus berikutnya
123
melakukan kegiatan yang susuai dengan kebenaran teori yang ada
sehingga peneliti memperoleh hasil yang lebih baik dari proses awal,
yaitu dengan rata-rata nilai 65,67 dari jumlah nilai secara klasikal 2233
seluruh siswa TK Kemala Bhayangkari 4 Gianyar, dan prosentase
ketuntasan belajarnya adalah 70,58%, yang tidak tuntas adalah 29,41%.
Hasil ini belum maksimal, karena belum mecapai indikator
keberhasilan penelitian yang mencanangkan dengan minimal
prosentase ketuntasan belajar 85%.
3). Pada siklus II ,
Dengan tindakan yang sangat maksimal dan pelaksanaan yang
betul-betul mengikuti kebenaran teori sesuai dengan model
pembelajaran menyusun bentuk dengan media pazzel dalam
pembelajaran menyusun bentuk di kelas TK Kemala Bhayangkari 4
Gianyar, dimana hasil yang diperoleh pada siklus II ini ternyata
prestasi belajar menyusun bentuk dengan media pazzel meningkat
secara signifikan dengan nilai rata-rata 74,14 dan ketuntasan belajarnya
adalah 91,17%. Dari keseluruhan jumlah siswa yaitu 25 orang siswa 23
orang siswa telah mampu melampaui nilai KKM yaitu 65.
124
Semua hasil yang diperoleh dari awal, siklus I dan siklus II
dipaparkan dalam bentuk tabel dan grafik seperti berikut:
4.2 Pembahasan
Data awal yang diperoleh dengan rata-rata 66,2 menunjukkan
bahwa kemampuan anak/siswa dalam pelajaran menyusun bentuk
dengan media pazzel masih sangat rendah mengingat kriteria
ketuntasan belajar siswa untuk mata pelajaran ini di TK Kemala
Bhayangkari 4 Gianyar adalah 65,00 Dengan nilai yang sangat rendah
seperti itu maka peneliti mengupayakan untuk dapat meningkatkan
prestasi belajar anak/siswa menggunakan model pazzel Akhirnya
dengan penerapan media pazzel yang benar sesuai teori yang ada,
peningkatan rata-rata prestasi belajar anak/siswa pada siklus I dapat
diupayakan dan mencapai rata-rata 65,67 Namun rata-rata tersebut
125
belum maksimal karena hanya 24 siswa memperoleh nilai di atas KKM
sedangkan yang lainnya belum mencapai KKM. Sedangkan prosentase
ketuntasan belajar mereka baru mencapai 70,58% Hal tersebut terjadi
akibat penggunaan media pazzel belum maksimal dapat dilakukan
disebabkan penerapan model/metode tersebut baru dicobakan sehingga
guru masih belum mampu melaksanakannya sesua alur teori yang
benar.
V. SIMPULAN
Dari hasil refleksiyang telah disampaikan di Bab IV dan dengan
melihat semua data yang telah dipaparkan, dapat disampaikan bahwa
pencapaian tujuan penelitian di atas dapat dibuktikan dengan
argumentasi sebagai berikut.
126
a) Dari data awal ada 18 siswa mendapat nilai dibawah KKM dan pada
siklus I menurun menjadi 10 siswa dan siklus II hanya 3 siswa
mendapat nilai di bawah KKM.
b) Nilai rata-rata awal 61,17 naik menjadi 65,67 pada siklus I dan pada
siklus II naik menjadi 74,14.
c) Dari data awal siswa yang tuntas hanya 16 orang sedangkan pada siklus
I menjadi lebih banyak yaitu 24 siswa dan pada siklus II menjadi cukup
banyak yaitu 31 siswa.
Paparan di atas membuktikan bahwa menyusun bentuk dengan
media pazzel dapat memberi jawaban sesuai tujuan penelitian ini.
Semua ini dapat dicapai karena menyusun bentuk dengan media pazzel
sangat efektif diterapkan dalam proses pembelajaran yang
mengakibatkan siswa aktif, antusias dan dapat memahami materi yang
diajarkan sehingga prestasi belajar siswa menjadi meningkat.
DAFTAR PUSTAKA
Ansyori, Ahmad. 2005. Penelitian Tingkat Kepuasan Pasien Peserta Program
Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK) Terhadap Pelayanan
Kesehatan di Pelaksana Pelayanan Kesehatan Tingkat Pertama (PPK
Tk. I) PT. Jamsostek (Persero) Se-Medan Raya.
www.pamjaki.org/new/download/download.php? file=practice 315
b.pdf.
127
UPAYA MENINGKATKAN PRESTASI BELAJAR
AGAMA HINDU SISWA KELAS IV SD NEGERI 3
SERONGGA MELALUI PENERAPAN MODEL
PEMBELAJARAN KOOPERATIF STUDENT TEAM
ACHIEVEMENT DIVISION (STAD) PADA SEMESTER
I TAHUN PELAJARAN 2015/2016
OLEH
Ni Made Parwati
ABSTRACT
This research was conducted in SD Negeri 3 Serongga in class
IV student ability for the subjects of Hinduism is still quite low. The
purpose of writing this classroom action research was to determine
whether the model of Cooperative Learning Students Team
Achievement Division (STAD) can improve student achievement. Data
collection method is learning achievement test. Deskriptif methods of
data analysis is obtained from this research is a model of Cooperative
Learning Students Team Achievement Division (STAD) can improve
student achievement. This is evident from the results obtained in the
first average learning achievement obtained is 69.56, the first cycle
increased to 74.13 and the second cycle into 80.65. Percentage mastery
learning students also increased. At the beginning of the learning
mastery learning students only reached 34.78%, in the first cycle
increased to 56.52%, and the second cycle experienced significantly to
80.65% .obtained from this research is a model of Cooperative
128
Learning Team Achievement Students Division (STAD) can improve
learning achievement Hinduism fourth grade students of SD Negeri 3
Seringga in the first half year 2015/2016 lesson.
I. PENDAHULUAN
Pendidikan Agama Hindu dimaksudkan untuk membentuk
siswa menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan
Yang Maha Esa serta peningkatan potensi spiritual. Peningkatan
potensi spiritual termasuk pemahaman, pengenalan, nilai-nilai
keagamaan dalam kehidupan siswa sehari-hari. Peningkatan potensi
spiritual tersebut bertujuan untuk mengoptimalkan berbagai potensi
manusia yang mencerminkan harkat dan martabat manusia sebagai
mahluk Tuhan.
Permendiknas RI No. 41 tahun 2007 yang menyebutkan
bahwa proses pembelajaran pada setiap satuan pendidikan dasar
dan menengah harus interaktif, inspiratif, menyenangkan,
menantang, dan memotivasi siswa untuk berpartisipasi aktif serta
memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas dan
kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik
serta psikologis siswa. Karena itu orientasi pembelajaran harus
ditekankan kepada siswa sebagai subjek, yang harus aktif dan
kreatif melakssiswaan proses pembelajaran dengan arahan dan
bantuan dari guru. Guru dalam hal ini harus betul-betul aktif
129
memerankan dirinya sebagai fasilitator, motivator dan lain-lain
untuk peningkatan prestasi dan mampu mensyukuri karunia Tuhan.
130
keilmuan yang dikuasai demi pencapaian hasil maksimal dalam
pembelajaran.
131
mengikuti proses. Siswa dikatakan memiliki keaktifan apabila
ditemui ciri-ciri seperti berikut (Tim Instruktur PKG, 1992: 2):
1. Antusiasme siswa dalam mengikuti pembelajaran
2. Terjadi interaksi siswa dengan guru, siswa dengan siswa
3. Siswa terlibat dan bekerjasama dalam diskusi kelompok
4. Terjadi aktivitas siswa dalam pelaksanaan pembelajaran
5. Siswa berpartisipasi dalam menyimpulkan materi.
2. Belajar
Belajar dalam Bahasa Inggris adalah Study yang artinya
The act of using the mind to require knowledge (Webster New
American Dictionary: 1993).Apabila diartikan dalam Bahasa
Indonesia, belajar adalah perbuatan menggunakan ingatan/pikiran
untuk mendapatkan/ memperoleh pengetahuan. Belajar artinya
berusaha untuk memperoleh ilmu atau menguasai suatu
keterampilan; juga berarti berlatih (Kamus Besar Bahasa
Indonesia: 27). Selanjutnya belajar juga berarti perubahan yang
relatif permanen dalam kapasitas pribadi seseorang sebagai akibat
pengolahan atas pengalaman yang diperolehnya dari praktek yang
dilakukannya (Glosarium Standar Proses, Permen Diknas No. 41
tahun 2007).Dari ketiga pengertian tersebut dapat disimpulkan
bahwa belajar adalah penggunaan pikiran untuk memperoleh
ilmu.Ini berarti bahwa belajar adalah perbuatan yang dilakukan
dari tahap belum tahu ke tahap mengetahui sesuatu yang baru.
3. Prestasi Belajar
Prestasi belajar Agama Hindu sama dengan prestasi belajar
bidang studi yang lain merupakan hasil dari proses belajar siswa
132
dan sebagaimana biasa dilaporkan pada wali kelas, murid dan
orang tua siswa setiap akhir semester atau akhir tahun ajaran.
133
meyakinkan dirinya agaranggotanya dapat menguasai pelajaran
yang diberikan oleh gurunya.
134
kalau ada kendala baru anggota timnya yang membantu. Dimulai
penilaian dengan skor individu kemudian baru skor perbaikan dari
masing-masing tim. Hal semacam inilah yang diupayakan untuk
memecahkan masalah. Guru dalam hal ini hanya sebagai motivator
dan fasilitator. Model ini menuntut kegiatan intelektual yang tinggi,
memproses apa yang mereka telah dapatkan dalam pikirannya untuk
menjadi sesuatu yang bermakna. Mereka diupayakan untuk lebih
produktif, mampu membuat analisa membiasakan mereka brpikir
kritis, dapat mengingat lebih lama, materi yang telah mereka
pelajari. Model ini juga bisa diupayakan untuk pengembangan
kemampuan akademik
3.3 Hipotesis Tindakan
Dari semua yang telah tertera diatas, dapat disampaikan hipotesis
atau dugaan sementara yang bunyinya:
Langkah-langkah Model pembelajaran Kooperatif Students Team
Achievement Division (STAD) dapat Meningkatkan Prestasi
Belajar Agama Hindu Siswa Kelas VI SD Negeri 3 Serongga
apabila diterapkan sesuai dengan kebenaran teori.
135
belajar Agama Hindu siswa belum memenuhi kriteria
keberhasilan, maka berdasarkan hasil refleksi akan dilakukan
perbaikan pada siklus selanjutnya. Secara operasional prosedur
dasar pengembangan tindakan yang akan dilakukan dapat
dijabarkan sebagai berikut :
D Rencana Umum
Langkah Tind. 1
A Implementasi
Langkah Tind. 2
U Langkah Tind. 3 Langkah Tindk. 1
A langkah berikut
Jelaskan setiap implementasi
dan efek Revisi ide umum
U
Rencana diperbaiki
R
Langkah Tind. 1
D
Langkah Tind. 2
A Langkah Tind. 3
2
U Monitor implementasi dan efek Implementasi
R langkah berikut
136
Prosedur:
Pada daur I dimulai dengan adanya ide awal akibat temuan dan
analisis yang telah dilakukan.Setelah ada temuan tersebut dibuatlah
perencanaan umum sesuai langkah yang direncanakan baik
tindakan 1, tindakan 2 maupun tindakan 3. Sesudah membuat
perencanaan, diimplementasikan dalam tingkat 1, dimonitoring
implementasinya serta efeknya kemudian dijelaskan kegagalan-
kegagalan yang ada selama implementasinya lalu dibuat revisi
umum untuk perencanaan tindakan selanjutnya.
137
ketuntasan belajar 34,78%, dan yang tidak mencapai
ketuntasan adalah 65,21%, dengan tuntutan KKM untuk mata
pelajaran Agama Hindu kelas VI SD Negeri 3 Serongga
adalah dengan nilai 75.
6) Hasil pada siklus I:
Pada siklus I sudah diupayakan untuk perbaikan
pembelajaran untuk meningkatkan hasil belajar Agama Hindu
dengan menggunakan model pembelajaran STAD. Peneliti
telah giat melakukan kegiatan yang susuai dengan kebenaran
teori yang ada sehingga peneliti memperoleh hasil yang lebih
baik dari proses awal, yaitu dengan rata rata nilai 74,13 dari
jumlah nilai 1705 seluruh siswa di kelas IV SD Negeri 3
Serongga , dan prosentase ketuntasan belajarnya adalah
56,52%, yang tidak tuntas adalah 43,47%. Hasil ini belum
maksimal, karena belum mecapai indikator keberhasilan
penelitian yang mencanangkan dengan minimal prosentase
ketuntasan belajar 80%.
138
3). Pada siklus II ,
Dengan tindakan yang sangat maksimal dan pelaksanaan
yang betul-betul mengikuti kebenaran teori sesuai dengan
model pembelajaran STAD dalam pembelajaran Agama
Hindu di kelas VI SD Negeri 3 Serongga, dimana hasil yang
diperoleh pada siklus II ini ternyata hasil belajar Agama
Hindu meningkat secara signifikan dengan nilai rata-rata
80,65, dan ketuntasan belajarnya adalah 95,65%.
Semua hasil yang diperoleh dari awal, siklus I dan
siklus II digambarkan dalam bentuk tabel dan grafik seperti
berikut:
139
4.2 Pembahasan
Data awal yang diperoleh dengan rata-rata 69,56
menunjukkan bahwa kemampuan siswa dalam mata pelajaran
Agama Hindu masih sangat rendah mengingat kriteria ketuntasan
belajar siswa untuk mata pelajaran ini di SD Negeri 3 Serongga
adalah 75,00 Dengan nilai yang sangat rendah seperti itu maka
peneliti mengupayakan untuk dapat meningkatkan prestasi belajar
anak/siswa menggunakan metode/model pembelajaran STAD.
Akhirnya dengan penerapan metode/model pembelajaran STAD
yang benar sesuai teori yang ada, peningkatan rata-rata prestasi
belajar anak/siswa pada siklus I dapat diupayakan dan mencapai
rata-rata 74,13. Namun rata-rata tersebut belum maksimal karena
hanya 13 siswa memperoleh nilai di atas KKM sedangkan yang
140
lainnya belum mencapai KKM. Sedangkan prosentase ketuntasan
belajar mereka baru mencapai 56,52%. Hal tersebut terjadi akibat
penggunaan metode/model pembelajaran STAD belum maksimal
dapat dilakukan disebabkan penerapan model/metode tersebut baru
dicobakan sehingga guru masih belum mampu melaksanakannya
sesua alur teori yang benar.
Pada siklus ke II perbaikan prestasi belajar siswa diupayakan
lebih maksimal dengan peneliti membuat perencanaan yang lebih
baik, menggunakan alur dan teori dari metode/model pembelajaran
STAD dengan benar dan lebih maksimal. Peneliti giat memotivasi
siswa agar giat belajar, memberi arahan-arahan, menuntun mereka
untuk mampu menguasai materi pelajaran pada mata pelajaran
Agama Hindu lebih optimal. Akhirnya dengan semua upaya
tersebut peneliti mampu meningkatkan prestasi belajar siswa pada
siklus II menjadi rata-rata 80,65 dengan presentase ketuntasan
mencapai 95,65%, hal ini menunjukkan terjadinya peningkatan
yang sangat signifikan. Upaya-upaya yang maksimal tersebut
menuntun pada suatu keberhasilan bahwa model/metode
pembelajaran STAD mampu meningkatkan prestasi belajar
anak/siswa.
V. SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan yang dapat disampaikan berdasarkan semua hasil
analisis data yang telah dilakukan dengan melihat hubungan
rumusan masalah, tujuan penelitian, hipotesis tindakan dan semua
hasil pembahasan adalah sebagai berikut:
Dari hasil refleksi yang telah disampaikan di Bab IV dan
dengan melihat semua data yang telah dipaparkan, dapat
141
disampaikan bahwa pencapaian tujuan penelitian di atas dapat
dibuktikan dengan argumentasi sebagai berikut.
d) Dari data awal ada 15 siswa mendapat nilai dibawah KKM dan
pada siklus I menurun menjadi 10 siswa dan siklus II hanya 1
siswa mendapat nilai di bawah KKM.
e) Nilai rata-rata awal 69,56 naik menjadi 74,13 pada siklus I dan
pada siklus II naik menjadi 80,65.
f) Dari data awal siswa yang tuntas hanya 8 orang sedangkan pada
siklus I menjadi lebih banyak yaitu 13 siswa dan pada siklus II
menjadi cukup banyak yaitu 22 siswa.
Paparan di atas membuktikan bahwa model/metode
pembelajaran STAD dapat memberi jawaban sesuai tujuan
penelitian ini yaitu dapat meningkatkan prestasi belajar Agama
Hindu siswa kelas VI SD Negeri 3 Serongga. Semua ini dapat
dicapai karena model/metode pembelajaran STAD sangat efektif
diterapkan dalam proses pembelajaran yang mengakibatkan siswa
aktif, antusias dan dapat memahami materi yang diajarkan sehingga
prestasi belajar siswa menjadi meningkat.
DAFTAR PUSTAKA
Purwanto, Ngalim. 1997. Psikologi Pendidikan. Bandung: Rosdkarya.
142
Rasmini, Ni Luh. 2010. Pengaruh Model Pembelajaran Kooperatif tipe
STAD (Students Teams Achievement Division) dan Kemampuan
Abstraksi terhadap Hasil Belajar Matematika Siswa SMP Wisata Sanur
Denpasar. Tesis. Singaraja: Program Pascasarjana Universitas Pendidik
M.Sidik, Hasnun, dkk (2007). Terampil Berhitung AGAMA HINDU
untuk SD Kelas IV. Jakarta : Penerbit Erlangga.
143
SD NEGERI 3 SERONGGA PADA SEMESTER I
TAHUN PELAJARAN 2015/2016
Oleh :
NI NYOMAN SUARTINI
ABSTRACT
This research was conducted in SD Negeri 3 Serongga in class
VI student's math ability is still very low.
The purpose of writing this classroom action research was to
determine whether the learning model Problem Based Learning can
improve student achievement.
Data collection method is learning achievement test. Methods of
data analysis is a good descriptive data for qualitative and quantitative
data.
The results obtained from this study is the Problem Based Learning
learning model can improve student achievement. This is evident from
the results obtained initially reached an average value 60.65, in the first
cycle reaches the average value of 68.47 and the second cycle reaches
the average value of 78.04. Percentage mastery learning students also
mngalami increase. At the beginning of the learning mastery learning
students only reached 26.08%. In the first cycle increased to 56.52%,
and the second cycle of mastery learning students increased to 100%.
The conclusion of this study is the learning model Problem
Based Learning can improve mathematics achievement of sixth grade
students of SD Negeri 3 Serongga.
Keywords: Problem Based Learning Model Learning Achievement
Learning mathematics
I. PENDAHULUAN
144
Mata pelajaran Matematika perlu diberikan kepada
semua peserta didik mulai dari sekolah dasar untuk membekali
peserta didik dengan kemampuan berpikir logis, analitis,
sistematis, kritis, dan kreatif, sertakemampuan bekerjasama.
Kompetensi tersebut diperlukan agar peserta didik dapat
memiliki kemampuan memperoleh, mengelola, dan
memanfaatkan informasi untuk bertahan hidup pada keadaan
yang selalu berubah, tidak pasti, dan kompetitif.
Matematika merupakan ilmu universal yang mendasari
perkembangan teknologi modern, mempunyai peran penting
dalam berbagai disiplin dan memajukan daya pikir manusia.
Perkembangan pesat di bidang teknologi informasi dan
komunikasi dewasa ini dilandasi oleh perkembangan
matematika di bidang teori bilangan, aljabar, analisis, teori
peluang dan matematika diskrit. Untuk menguasai dan mencipta
teknologi di masa depan diperlukan penguasaan matematika
yang kuat sejak dini.
Standar kompetensi dan kompetensi dasar matematika
disusun sebagai landasan pembelajaran untuk mengembangkan
kemampuan tersebut di atas. Selain itu dimaksudkan pula untuk
mengembangkan kemampuan menggunakan matematika dalam
pemecahan masalah dan mengkomunikasikan ide atau gagasan
dengan menggunakan simbol, tabel, diagram, dan media lain.
Pendekatan pemecahan masalah merupakan fokus dalam
pembelajaran matematika yang mencakup masalah tertutup
dengan solusi tunggal, masalah terbuka dengan solusi tidak
tunggal, dan masalah dengan berbagai cara penyelesaian. Untuk
145
meningkatkan kemampuan memecahkan masalah perlu
dikembangkan keterampilan memahami masalah, membuat
model matematika, menyelesaikan masalah, dan menafsirkan
solusinya.
Dalam setiap kesempatan, pembelajaran matematika
hendaknya dimulai dengan pengenalan masalah yang sesuai
dengan situasi (contextual problem). Dengan mengajukan
masalah kontekstual, peserta didik secara bertahap dibimbing
untuk menguasai konsep matematika. Untuk meningkatkan
keefektifan pembelajaran, sekolah diharapkan menggunakan
teknologi informasi dan komunikasi seperti komputer, alat
peraga, atau media lainnya(Depdiknas, 2006).
Mata pelajaran matematika bertujuan agar peserta didik
memiliki kemampuan sebagai berikut: 1) Memahami konsep
matematika, menjelaskanketerkaitan antarkonsep dan
mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes, akurat,
efisien, dan tepat, dalam pemecahan masalah. 2) Menggunakan
penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi
matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau
menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika. 3)
Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami
masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model
dan menafsirkan solusi yang diperoleh. 4) Mengomunikasikan
gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk
memperjelas keadaan atau masalah. 5) Memiliki sikap
menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu
memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam
146
mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam
pemecahan masalah.
Pemberlakuan pelajaran matematika diarahkan untuk
proses meningkatkan pemahaman dan kemampuan siswa
menganalisis sehingga dapat membantu siswa untuk
memperoleh pemahaman yang lebih mendalam.Proses
pembelajaran matematika yang terjadi selama ini sering terjadi
permasalahan. Permasalahan yang sering timbul selama ini di
lapangan adalahcara mengajar guru yang sering menggunakan
metode konvensional dan menjelaskan materi sesuai dengan
yang ada di buku paket maupun LKS. Selain itu, dalam proses
pembelajaran guru belum menggunakan model pembelajaran
yang mendukung dalam penjelasan materi.
Kondisi yang sama juga terjadi di SD Negeri 3
Serongga Berdasarkan hasil observasi yang peneliti lakukan,
dapat diketahui bahwa pembelajaran matematika di kelas masih
dilakukan secara konvensional. Metode yang digunakan masih
dengan metode ceramah, yaitu siswa hanya mendengarkan pada
saat guru sedang menjelaskan, proses pembelajaran hanya
berpusat pada guru. Akibatnya prestasi belajar siswa hanya
mencapai nilai rata-rata 60,65.
Menghadapi kondisi yang sangat mengkhawatirkan,
maka perlu adanya upaya perbaikan dalam proses pembelajaran
agar dapat meningkatkan keterampilan proses dalam
pembelajaran matematika yaitu khususnya pada kemampuan
analisis dalam memahami materi matematika Salah satu
alternatif yang digunakan yaitu dengan menggunakan model
147
pembelajaran berbasis masalah (problem based learning).
Model pembelajaran berbasis masalah (PBL) merupakan suatu
pendekatan dalam pembelajaran yang membantu siswa untuk
menemukan masalah dari suatu peristiwa yang nyata,
mengumpulkan informasi melalui strategi yang telah ditentukan
sendiri untuk mengambil satu keputusan pemecahan
masalahnya yang kemudian akan dipresentasikan dalam bentuk
unjuk kerja.
Dengan penerapan model pembelajaran berbasis
masalah (PBL) diharapkan kemampuan analisis siswa dapat
meningkat.Pembelajaran berbasis masalah tidak bisa terlepas
dari metode pemecahan masalah, hal ini karena pembelajaran
masalah berakar dari metode pemecahan masalah. Metode
pemecahan masalah merupakan salah satu cara penyajian bahan
pelajaran yang menjadikan masalah sebagai titik tolak
pembahasan untuk dianalisis dan disintesis untuk menemukan
jawaban.
148
Oemar Hamalik (2003: 24) menjelaskan bahwa model
pembelajaran merupakan suatu rencana atau pola yang digunakan
untuk membentuk kurikulum, merancang bahan pengajaran dan
membimbing pengajaran di kelas. Dari pendapat tersebut di atas
dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran merupakan kerangka
konseptual dalam wujud suatu perencanaan pembelajaran yang
melukiskan prosedur yang sistematis yang digunakan sebagai
pedoman dalam pembelajaran di kelas.
Istilah model pembelajaran mempunyai empat ciri khusus
yakni: 1) rasional teoretik yang logis yang disusun oleh para
pencipta, 2) landasan pemikiran tentang apa dan bagaimana siswa
belajar, 3) tingkah laku mengajar yang diperlukan agar model
tersebut dapat berhasil, 4) lingkungan belajar yang diperlukan agar
tujuan pembelajaran itu dapat tercapai (Wina Sanjaya, 2006: 128).
2.2. Prestasi Belajar
Prestasi belajar merupakan hasil dari proses belajar anak dan
sebagaimana biasa dilaporkan pada wali kelas murid dan orang tua
anak setiap akhir semester atau akhir tahun ajaran.
149
kemampuan yang dimiliki oleh siswa sebagai akibat perbuatan
belajar atau setelah menerima pengalaman belajar, yang dapat
dikatagorikan menjadi tiga ranah, yakni ranah kognitif, afektif, dan
psikomotor.
150
Sedangkan faktor ekstern digolongkan menjadi tiga faktor yaitu:
faktor keluarga, faktor sekolah, faktor masyarakat. Faktor keluarga
antara lain: cara orang tua mendidik, relasi antara keluarga, suasana
rumah tangga dan keadaan ekonomi keluarga. Faktor sekolah antara
lain: metode mengajar, kurikulum, relasi guru dengan siswa, relasi
siswa dengan siswa, disiplin sekolah, pelajaran dan waktu sekolah,
standar pelajaran, keadaan gedung, metode belajar dan tugas rumah.
Faktor masyarakat antara lain: kegiatan siswa dalam masyarakat,
mass media, teman bergaul, bentuk kehidupan masyarakat.
Peningkatan prestasi belajar yang penulis teliti dalam hal ini
dipengaruhi oleh factor ekstern yaitu metode mengajar guru.
151
dan pada pembahasan berikutnya akan dibicarakan pula prestasi
belajar sebagai alat motivasi. Prestasi belajar sebagai hasil penilaian
sudah dipahami. Namun demikian untuk mendapatkan pemahaman,
perlu juga diketahui, bahwa penilaian adalah sebagai aktivitas
dalam menentukan rendahnya prestasi belajar itu sendiri.
Bila kita coba lihat lebih dalam dari pendapat di atas, maka prestasi
belajar dipengaruhi banyak faktor. Faktor-faktor dari si pebelajar
sendiri atau faktor dalam diri siswa dan faktor luar. Faktor dalam
diri siswa seperti IQ, motivasi, etos belajar, bakat, keuletan, dan
lain-lain sangat berpengaruh pada prestasi belajar siswa.
152
Sedangkan yang bersumber dari proses belajar, maka kemampuan
guru dalam mengelola proses pembelajaran sangat menentukan
prestasi belajar siswa. Guru yang menguasai materi pelajaran
dengan baik, menggunakan metode dan media pembelajaran yang
tepat, mampu mengelola kelas dengan baik dan memiliki
kemampuan untuk menumbuhkembangkan motivasi belajar siswa
untuk belajar, akan memberi pengaruh yang positif terhadap
prestasi belajar siswa. Sedangkan situasi belajar siswa, meliputi
situasi lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat sekitar.
153
menunjukkan bahwa ketuntasan belajar matematika yang
dipersyaratkan sudah dapat dicapai dengan baik oleh anak
sebagai akibat proses belajar sehari-hari yang dilaksanakan baik
di dalam kelas maupun di luar kelas. Sehubungan dengan hasil
belajar ini, untuk SD Negeri 3 Serongga masih membutuhkan
bimbingan guru dikarenakan banyak di antara mereka yang
masih berada di bawah kriteria ketuntasan minimal yang
dipersyaratkan.
Untuk mengatasi masalah tersebut, guru sebagai peneliti
mengupayakan jalan pemecahan dengan menerapkan model
pembelajaran Problem Based Learning . Dengan model tersebut
merupakan suatu cara mengajar untuk menanamkan kebiasaan-
kebiasaan tertentu dimana anak melaksanakan kegiatan-
kegiatan latihan secara berulang-ulang, agar anak memiliki
ketangkasan atau keterampilan yang lebih tinggi dari apa yang
dipelajari sebelumnya. Semakin sering pengulangan dilakukan
akan semakin tinggi tingkat keterampilan peserta didik
menguasai materi yang diajarkan.Dengan cara tersebut menurut
peneliti merupakan suatu cara yang dapat memberikan
percepatan dalam proses pencapaian tujuan pembelajaran
karena dapat menciptakan suasana belajar yang kondusif dan
menyenangkan bagi anak. Dengan menggunakan cara ini tanpa
disadari anak bahwa dalam proses bermainnya ada
pembelajaran yang sedang dijalani dengan berulang.
Dengan menyelipkan materi-materi pelajaran dalam
kegiatan bermain yang dilakukan anak secara terus-menerus
maka dapat dipastikan bahwa keterampilan atau kemampuan
154
yang sedang dipelajari atau materi yang diberikan guru akan
dapat dikuasai dengan baik.
2.4 Hipotesis Tindakan
Berdasarkan semua uraian di atas, hipotesis yang dapat
dirumuskan adalah Langkah-langkah Model Pembelajaran
Problem Based Learning dapat meningkatkan prestasi belajar
matematika siswa kelas VI SD Negeri 3 Serongga pada
semester II tahun ajaran 2014/2015.
155
Prosedur :
156
VIII. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.4 Hasil
7) Hasil yang diperoleh dari kegiatan awal:
Hasil yang menunjukan perolehan nilai rata rata kelas
hasil belajar Matematika masih sangat rendah, yaitu dengan
perolehan skor nilai secara klasikal yaitu 1395 dan rata rata
kelas 60,65, dimana siswa yang mencapai persentase
ketuntasan belajar 26,08%, dan yang tidak mencapai
ketuntasan adalah 73,91%, dengan tuntutan KKM untuk mata
pelajaran Matematika kelas VI SD Negeri 3 Serongga adalah
dengan 70.
8) Hasil pada siklus I:
157
3). Pada siklus II ,
Dengan tindakan yang sangat maksimal dan pelaksanaan yang
betul-betul mengikuti kebenaran teori sesuai dengan model
pembelajaran Problem Based Learning dalam pembelajaran
Matematika di kelas VI SD Negeri 3 Serongga , dimana hasil
yang diperoleh pada siklus II ini ternyata hasil belajar
Matematika meningkat secara signifikan dengan nilai rata-rata
78,04, dan ketuntasan belajarnya adalah 100%.
Semua hasil yang diperoleh dari awal, siklus I dan siklus II
digambarkan dalam bentuk tabel dan grafik seperti berikut:
158
4.2 Pembahasan
Data awal yang diperoleh dengan rata-rata 60,62 menunjukkan
bahwa kemampuan siswa dalam mata pelajaran Matematika masih
sangat rendah mengingat kriteria ketuntasan belajar siswa untuk
mata pelajaran ini di SD N 3 Serongga adalah 70,00 Dengan nilai
yang sangat rendah seperti itu maka peneliti mengupayakan untuk
dapat meningkatkan prestasi belajar anak/siswa menggunakan
metode/model pembelajaran Tematik Akhirnya dengan penerapan
metode/model pembelajaran Problem Based Learning yang benar
sesuai teori yang ada, peningkatan rata-rata prestasi belajar
anak/siswa pada siklus I dapat diupayakan dan mencapai rata-rata
68,47. Namun rata-rata tersebut belum maksimal karena hanya 13
siswa memperoleh nilai di atas KKM sedangkan 10 yang lainnya
belum mencapai KKM. Sedangkan prosentase ketuntasan belajar
mereka baru mencapai 56,52%. Hal tersebut terjadi akibat
penggunaan metode/model pembelajaran Problem Based Learning
belum maksimal dapat dilakukan disebabkan penerapan
159
model/metode tersebut baru dicobakan sehingga guru masih belum
mampu melaksanakannya sesua alur teori yang benar.
160
disampaikan bahwa pencapaian tujuan penelitian di atas dapat
dibuktikan dengan argumentasi sebagai berikut.
g) Dari data awal ada 17 siswa mendapat nilai dibawah KKM dan
pada siklus I menurun menjadi 10 siswa dan siklus II tidak ada
siswa mendapat nilai di bawah KKM.
h) Nilai rata-rata awal 60,65 naik menjadi 68,47 pada siklus I dan
pada siklus II naik menjadi 78,04.
i) Dari data awal siswa yang tuntas hanya 6 orang sedangkan pada
siklus I menjadi lebih banyak yaitu 13 siswa dan pada siklus II
semua siswa mampu mencapai KKM.
Paparan di atas membuktikan bahwa model/metode
pembelajaran inquiri dapat memberi jawaban sesuai tujuan
penelitian ini. Semua ini dapat dicapai karena model/metode
pembelajaran Problem Based Learning sangat efektif diterapkan
dalam proses pembelajaran yang mengakibatkan siswa aktif,
antusias dan dapat memahami materi yang diajarkan sehingga
prestasi belajar siswa menjadi meningkat.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, Mulyono. 1999. Pendidikan bagi Anak Berkesulitan
Belajar.Jakarta: Rineka Cipta.
Ali, M.S. 2002. Hasil Belajar Fisika Ditinjau dari Beberapa faktor
Psikologis.Disertasi.IKIP Jakarta.
161
Anastasi, Anne. 1976. Psychological Testing. Fifth Edition.New York:
Macmillan Publishing Co., Inc.
162
PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN SNOWBALL
THROWING UNTUK MENINGKATKAN PRESTASI
BELAJAR IPS SISWA KELAS V SD NEGERI 3
SERONGGA
SEMESTER II TAHUN PELAJARAN 2014/2015
Oleh :
NI WAYAN ARNI
ABSTRACT
This research was conducted in SD Negeri 3 Serongga in class
V student's ability for social studies is quite low.
The purpose of writing this classroom action research is to find
out if Snowball Throwing learning model can improve student
achievement.
Data collection method is learning achievement test. Methods of data
analysis is descriptive.
The results obtained from this study is Snowball Throwing
learning model can improve student achievement. This is evident from
the average yield obtained initially 66.73 the first cycle to 70.00 and the
second cycle into 75.43.
The conclusion of this study is Snowball Throwing learning model can
improve learning achievement IPS fifth grade students of SD Negeri 3
Serongga.
I. PENDAHULUAN
163
kehidupan bangsa. Tujuan tersebut tertuang di dalam alinea IV
pembukaanUndang-undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945
(UUD RI 1945). Mencerdaskan kehidupan bangsa dapat
diwujudkan melalui pendidikan. Sistem pendidikan yang baik akan
melahirkan generasi bangsa yang cerdas dan baik pula. Generasi
bangsa yang cerdas ialah modal awal bagi suatu bangsa dalam
melakukan pembangunan ke arah yang lebih baik dalam usaha
mencapai pembangunan nasional. Pembangunan yang dilakukan
oleh suatu bangsa menandakan bahwa bangsa tersebut merupakan
bangsa yang bermartabat karena selalu melakukan peningkatan
kualitas dan beradaptasi dengan peradaban zaman.
Dari pernyataan tersebut tersirat pesan bahwa pendidikan perlu
mendapatkan perhatian yang serius. Melihat begitu pentingnya
peran pendidikan, maka pemerintah merumuskan fungsi dan tujuan
pendidikan nasional dalam Undang-undang Sistem Pendidikan
Nasional. Dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional No.
20 tahun 2003 pasal 1 ayat 1 disebutkan bahwa pendidikan adalah
usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan
proses pembelajaran agar siswa secara aktif mengembangkan
potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan
negara.
164
dengan baik. Pelaksana pendidikan yang terjun langsung di
lapangan atau yang lazim disebut guru merupakan subjek yang
sangat berpengaruh terhadap hasil pendidikan. Semakin baik
seorang guru dalam menyampaikan materi maka semakin baik pula
prestasi belajar siswa dan akan semakin baik pula hasil pendidikan.
165
nasional diharapkan mampu berperan serta dalam pembentukan
kepribadian siswa (character building). Pendidikan IPS merupakan
mata pelajaran yang penting karena tidak hanya memberikan
kepada siswa pengetahuan tentang warga negara, tetapi juga
mengajarkan sejaraj-sejarah perjuangan bangsa dan sikap-sikap
yang harus di lakukan dan keterampilan sosial yang harus dimiliki,
supaya siswa diterima di masyarakat. Dalam upaya mencapai tiga
ranah belajar, mata pelajaran IPS bukan hanya dihafalkan tapi juga
harus diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari oleh siswa.
166
sehingga siswa tidak bosan serta terus termotivasi dalam
pembelajaran. Dengan begitu siswa bisa mendapatkan prestasi
belajar yang optimal.
167
konteks komunikasi alamiah baik sosial, sains, hitungan, dan
lingkungan pergaulan.
168
pertanyaan diberikan kesempatan kepada siswa untuk menjawab
pertanyaan yang tertulis dalam kertas berbentuk bolatersebut secara
bergantian (7) Evaluasi. (8) Penutup.
169
ranah psikomotorik. Ranah kognitif berkenaan dengan prestasi
belajar intelektual yang terdiri dari enam aspek, yakni pengetahuan
atau ingatan, pemahaman,aplikasi, analisis, sintesis, dan evaluasi.
Ranah afektif berkenaan dengan sikap yang terdiri dari lima aspek,
yakni penerimaan, jawaban atau reaksi, penilaian, organisasi, dan
internalisasi. Ranah psikomotoris berkenaan dengan prestasi belajar
keterampilan dan kemampuan bertindak. Ada enam aspek ranah
psikomotoris, yakni gerakan refleks, keterampilan gerakan dasar,
kemampuan perseptual, keharmonisan atau ketepatan, gerakan
keterampilan kompleks, dan gerakan ekspresif dan interpretatif.
170
menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Pada kenyaataannya,
Pendidikan IPS hanya dipahami sebagai mata pelajaran yang
cukup dihafalkan sampai ujian berlangsung dan setelah itu siswa
dengan mudah melupakannya tanpa mengambil nilai-nilai yang
terkandung di dalamnya dan tidak mengaplikasikannya dalam
kehidupan nyata. Upaya untuk mencapai pemahaman terhadap
materi ialah pembelajaran harus dibuat menjadi pembelajaran yang
bermakna bagi siswa.
171
pembelajaran snowball throwing memberi kesempatan kepada
siswa untuk bekerjasama dengan siswa lainnya dalam menemukan
konsep Pendidikan IPS sendiri melalui aktivitas pembelajaran.
Guru berperan dalam membimbing dan membantu dalam
menemukan ide atau konsep tersebut sehingga terjadi interaksi
antara guru dengan siswa, dan siswa dengan siswa. Keikutsertaan
siswa dalam mengikuti pembelajaran akan membuat siswa merasa
senang. Siswa yang merasa senang akan lebih mudah menerima
materi yang disampaikan oleh guru. Pembelajaran yang
menggunakan model snowball throwing bukan hanya membuat
siswa merasa senang, tetapi juga akan memberikan makna belajar
bagi siswa mengenai pentingnya bekerjasama dan saling
menghargai sebagai wujud sikap bangga sebagai bangsa Indonesia.
Jadi, sudah dapat diperkirakan prestasi belajar siswa dapat
meningkat dengan menggunakan model pembelajaran snowball
throwing.
172
Permasalahan Perencanaan Pelaksanaan
Tindakan I Tindakan I
Perencanaan Pelaksanaan
Tindakan II Tindakan II
Apabila
Refleksi II Pengematan/
permasalahan belum
Pengumpulan Data II
terselesaikan
Dilanjutkan ke siklus
berikutnya
1. Perencanaan
Pada tahap ini peneliti membuat RPP, berkonsultasi dengan
teman sejawat membuat instrumen.Pada tahap menyusun
rancangan diupayakan ada kesepakatan antara guru dan sejawat.
Rancangan dilakukan bersama antara peneliti yang akan
melakukan tindakan dengan guru lain yang akan mengamati
proses jalannya tindakan. Hal tersebut untuk mengurangi unsur
subjektivitas pengamat serta mutu kecermatan pengamatan
yang dilakukan.
173
tersebut untuk mengurangi unsur subjektivitas pengamat serta
mutu kecermatan pengamatan yang dilakukan.
2. Pelaksanaan Tindakan
Tahap pelaksanaan tindakan dilakukan dengan
pembelajaran di kelas. Pada tahap ini guru peneliti giat
melakukan tindakan menggunakan model pembelajaran
Snowball Throwing. Rancangan tindakan tersebut sebelumnya
telah dilatih untuk dapat diterapkan di dalam kelas sesuai
dengan skenarionya. Skenario dari tindakan diupayakan
dilaksanakan dengan baik dan wajar.
4. Refleksi
Tahapan ini dimaksudkan untuk mengkaji secara
menyeluruh tindakan yang telah dilakukan, berdasarkan data
yang telah terkumpul, kemudian dilakukan evaluasi guna
menyempurnakan tindakan berikutnya.
174
pengkajian ulang melalui siklus berikutnya yang meliputi
kegiatan: perencanaan ulang, tindakan ulang, dan pengamatan
ulang sehingga permasalahan dapat teratasi
175
3) Pada siklus II
Dengan tindakan yang sangat maksimal dan pelaksanaan
yang betul-betul mengikuti kebenaran teori sesuai dengan
model pembelajaran bermain sambil belajar dalam
pembelajaran IPS di kelas V SD Negeri 3 Serongga , dimana
hasil yang diperoleh pada siklus II ini ternyata prestasi belajar
IPS meningkat secara signifikan dengan nilai rata-rata 75,43,
dan ketuntasan belajarnya adalah 100%.
Semua hasil yang diperoleh dari awal, siklus I dan siklus II
digambarkan dalam bentuk tabel dan grafik seperti berikut
Tabel 01 : Tabel Data Prestasi belajar Siswa kelas V SD Negeri
3 Serongga
SIKLUS SIKLUS
DATA AWAL VARIABEL
I II
176
4.2 Pembahasan
Data awal yang diperoleh dengan rata-rata 66,73 menunjukkan
bahwa kemampuan siswa dalam mata pelajaran IPS masih sangat
rendah mengingat kriteria ketuntasan belajar siswa untuk mata
pelajaran ini di SD N 3 Serongga adalah 70,00 Dengan nilai yang
sangat rendah seperti itu maka peneliti mengupayakan untuk dapat
meningkatkan prestasi belajar anak/siswa menggunakan
metode/model pembelajaran Snowball Throwing. Akhirnya dengan
penerapan metode/model pembelajaran Snowball Throwing yang
benar sesuai teori yang ada, peningkatan rata-rata prestasi belajar
anak/siswa pada siklus I dapat diupayakan dan mencapai rata-rata
177
70,00. Namun rata-rata tersebut belum maksimal karena hanya 17
siswa memperoleh nilai di atas KKM sedangkan yang lainnya
belum mencapai KKM. Sedangkan prosentase ketuntasan belajar
mereka baru mencapai 73,91%. Hal tersebut terjadi akibat
penggunaan metode/model pembelajaran Snowball Throwing
belum maksimal dapat dilakukan disebabkan penerapan
model/metode tersebut baru dicobakan sehingga guru masih belum
mampu melaksanakannya sesua alur teori yang benar.
178
rumusan masalah, tujuan penelitian, hipotesis tindakan dan semua
hasil pembahasan adalah sebagai berikut:
Dari hasil refleksi yang telah disampaikan di Bab IV dan
dengan melihat semua data yang telah dipaparkan, dapat
disampaikan bahwa pencapaian tujuan penelitian di atas dapat
dibuktikan dengan argumentasi sebagai berikut.
a) Dari data awal ada 14 siswa mendapat nilai dibawah KKM dan
pada siklus I menurun menjadi 6 siswa dan siklus II tidak ada
siswa yang mendapat nilai di bawah KKM.
b) Nilai rata-rata awal 66,74 naik menjadi 70,00 pada siklus I dan
pada siklus II naik menjadi 75,43.
c) Dari data awal siswa yang tuntas hanya 9 orang sedangkan pada
siklus I menjadi lebih banyak yaitu 17 siswa dan pada siklus II
semua siswa sudah mampu meraih nilai standar KKM atau
melampaui KKM.
Paparan di atas membuktikan bahwa model/metode
pembelajaran Snowball Throwing dapat memberi jawaban sesuai
tujuan penelitian ini. Semua ini dapat dicapai karena model/metode
pembelajaran Snowball Throwing sangat efektif diterapkan dalam
proses pembelajaran yang mengakibatkan siswa aktif, antusias dan
dapat memahami materi yang diajarkan sehingga prestasi belajar
siswa menjadi meningkat.
179
DAFTAR PUSTAKA
Andayani, dkk (2008). Pemantapan Kemampuan Profesional. Jakarta :
Universitas Terbuka.
180
PENGGUNAAN MEODE BERCERITA DALAM
PROSES PEMBELAJARAN TEMATIK UNTUK
MENINGKATKAN HASIL BELAJAR BAHASA
INDONESIA SISWA KELAS IA
SD NEGERI 3 SUKAWATI SEMESTER I
TAHUN PELAJARAN 2015/2016
OLEH
Ni Wayan Sudiathi
ABSTRACT
181
The average obtained in the beginning was 60.46, in the first cycle
increased to 65.21, and on sikuls II to 72.78.
I. PENDAHULUAN
Untuk dapat membantu anak-anak berkembang sesuai
kecerdasannya, guru perlu merancang pembelajaran yang
bervariasi. Pembelajaran dengan cara tersebut dimaksudkan untuk
memperlancar tercapainya tujuan pembelajaran yang telah
ditetapkan. Tujuan-tujuan pembelajaran yang sudah disusun dan
berasal dari sebuah kompetensi dasar (KD) diusahakan
pencapaiannya melalui metode atau model pembelajaran yang
beragam. Sesuai dengan ketentuan kurikulum yang berlaku saat
ini, untuk proses pembelajaran di sekolah dasar ditetapkan
menggunakan pendekatan tematik.
Beberapa ciri khas dari pembelajaran tematik antara lain: (1)
Pengalaman dan kegiatan belajar sangat relevan dengan tingkat
perkembangan dan kebutuhan anak usia sekolah dasar; (2)
Kegiatan-kegiatan yang dipilih dalam pelaksanaan pembelajaran
tematik bertolak dari minat dan kebutuhan siswa; (3) Kegiatan
belajar akan lebih bermakna dan berkesan bagi siswa sehingga
hasil belajar dapat bertahan lebih lama; (4) Membantu
182
mengembangkan keterampilan berpikir siswa; (5) Menyajikan
kegiatan belajar yang bersifat pragmatis sesuai dengan
permasalahan yang sering ditemui siswa dalam lingkungannya; dan
(6) Mengembangkan keterampilan sosial siswa, seperti kerjasama,
toleransi, komunikasi, dan tanggap terhadap gagasan orang lain
(http://akhmadsudrajat.wordpress.com/).
Jika dilihat dari hakekat pembelajaran Tematik sesuai
penjelasan di atas akan sangat cocok diterapkan dengan pendekatan
sainstifik. Pendekatan saintifik/ilmiah, selain dapat menjadikan
siswa lebih aktif dalam mengkonstruksi pengetahuan dan
keterampilannya, juga dapat mendorong siswa untuk melakukan
penyelidikan guna menemukan fakta-fakta dari suatu fenomena
atau kejadian. Artinya, dalam proses pembelajaran, siswa
dibelajarkan dan dibiasakan untuk menemukan kebenaran ilmiah,
bukan diajak untuk beropini dengan pengetahuan mengambang
dalam melihat suatu fenomena. Mereka dilatih untuk mampu
berfikir logis, runut dan sistematis, dengan menggunakan
kapasistas berfikir tingkat tinggi.
Dengan memahami semua cuplikan yang sudah disampaikan
maka kondisi yang diharapkan terjadi dalam pembelajaran Tematik
di Sekolah Dasar sudah dapat dipahami. Dengan kondisi tersebut,
apabila guru betul melakukannya dengan baik, tentu saja akan
terpenuhi kondisi yang diharapkan dalam pembelajaran.
Oleh karenanya peneliti mencoba untuk menerapkan model
pembelajaran Tematik dengan bantuan metode bercakap-cakap dan
bercerita dalam penelitian ini dengan maksud untuk mengatasi
permasalahan masih rendahnya hasil belajar Bahasa Indonesia
183
siswa kelas I A semester I SD Negeri 3 Sukawati. Dari hasil
observasi sementara didapat data awal kemampuan anak
menunjukkan bahwa dari 32 anak yang diteliti, 14 anak
memperoleh nilai di bawah KKM, dan hanya 18 anak yang
memperoleh nilai standar atau melebihi KKM. Hal ini masih jauh
dari harapan yang ditetapkan dalam Standar Minimal Keberhasilan
Pembelajaran. Karena itu penelitian ini penting untuk dilaksanakan
sebagai upaya memecahkan masalah yang ada.
Rumusan masalah penelitian ini adalah:
Apakah penggunaan metode bercerita dalam pembelajaran
tematik dapat meningkatkan hasil belajar Bahasa Indonesia siswa
kelas I A SD Negeri 3 Sukawati pada semester I tahun ajaran
2015/2016? Sedangkan Tujuan penelitian ini adalah untuk
meningkatkan hasil belajar bahasa indonesia siswa dengan
menggunakan metode bercerita dalam pembelajaran tematik.
184
melalui keragaman ide cerita. Bentuk-bentuknya adalah tanpa
alat peraga dan dengan alat peraga.
185
Peserta didik yang berada pada Sekolah Dasar kelas satu, dua
dan tiga berada pada rentangan usia dini (Depdiknas, 2010: 3).
Usia lahir sampai dengan memasuki pendidikan dasar
merupakan masa kecemasan sekaligus masa kritis dalam
tahapan kehidupan manusia, yang akan menentukan
perkembangan anak selanjutnya. Masa ini merupakan masa
yang tepat untuk meletakan dasar-dasar pengembangan
kemampuan fisik, bahasa, sosial-emosional, konsep diri, seni,
moral dan nilai-nilai agama. Sehingga upaya pengembangan
seluruh potensi anak usia dini harus dimulai agar pertumbuhan
dan perkembangan anak tercapai secara optimal (H. Martinis
Yamon dan Jamilah Sabri Sanan, 2010: 5-6). Selanjutkan
dikatakan bahwa orang tua pada periode ini harus sering bicara
dengan anak, menanyakan pendapat anak, menciptakan suasana
yang berwarna-warni, mengarahkan dengan tidak langsung.
Pada saat ini yang dia pelajari bukanlah mengikat tali dengan
benar, tapi bahwa diri dihargai karena punya inisiatif untuk
melakukan sesuatu yang baru, on her/his own.
186
pembelajaran Tematik dimaknai sebagai pembelajaran yang
dirancang berdasarkan tema-tema tertentu.Dalam
pembahasannya, tema itu ditinjau dari berbagai mata
pelajaran.Sebagai contoh, tema air dapat ditinjau dari mata
pelajaran Fisika, Biologi, Kimia dan Matematika.Lebih luas
lagi, tema itu dapat ditinjau dari bidang studi lain, seperti IPS,
Bahasa, dan Seni.Pembelajaran Tematik menyediakan keluasan
dan kedalaman implementasi kurikulum, menawarkan
kesempatan yang sangat banyak pada siswa untuk
memunculkan dinamika dalam pendidikan.Unit yang Tematik
adalah opitome dari seluruh bahasa pembelajaran yang
memfasilitasi siswa untuk secara produktif menjawab
pertanyaan yang dimunculkan sendiri dan memuaskan rasa
ingin tahu dengan penghayatan secara alamiah tentang dunia
disekitar mereka.
187
proses yang akan dikembangkan; 4) menyampaikan alat dan
bahan yang dibutuhkan dan 5) menyampaikan pertanyaan
kunci. II) Tahap manajemen, yang meliputi langkah-langkah: 1)
pengelolaan kelas, dimana kelas dibagi dalam beberapa
kelompok; 2) kegiatan proses; 3) kegiatan pencatatan data; dan
4) diskusi. Ketiga, evaluasi yang meliputi: 1) Evaluasi proses.
Adapun hal-hal yang menjadi perhatian dalam evaluasi proses
terdiri dari: (a) ketepatan hasil pengamatan, (b) ketepatan
penyusunan alat dan bahan dan (c) ketepatan menganalisa data.
2) Evaluasi hasil yaitu penguasaan konsep-konsep sesuai
indikator yang telah ditetapkan. 3) Evaluasi psikomotorik, yaitu
penguasaan penggunaan alat ukur. Sedangkan Hadisubroto,
2000 (dalam Trianto, 2010: 95) menyatakan bahwa dalam
merancang pembelajaran terpadu sedikitnya ada empat hal yang
perlu diperhatikan sebagai berikut: (1) menentukan tujuan, (2)
menentukan materi/media, (3) menyusun skenario KBM, (4)
menentukan evaluasi
188
Diibaratkan sebagai opera glass, sangat rinci menelaah satu
bidang mata pelajaran dengan seluk beluknya. Merupakan
model pembelajaran yang dirancang sedemikian rupa
sehingga menjadi sistematika dan saling berhubungan.
Mulai dari topik ke konsep, dan dari semester ke semester
berikutnya.
3. Nested
Diibaratkan sebagai kaca tiga dimensi--- beragam dimensi
dari suatu tema/unit. Guru sudah memiliki target untuk
dapat mengaitkan antara kecakapan sosial-berpikir dan
sebuah materi kecakapan khusus.
4. Sequenced
Diibaratkan sebagai kacamata--- materi ajar dibingkai
dengan konsep yang sama dan saling terkait. Tema-tema
antara dua bidang mata pelajaran dirancang sedemikian
rupa sehingga sejajar.
5. Shared
Diibaratkan sebagai binokular--- dua bidang mata
pelajaran saling berbagi dan tumpang tindih konsep dan
kecakapannya.
6. Webbed
Diibaratkan sebagai teleskop-memiliki konstelasi yang luas
dengan menggunakan tema yang mencakup berbagai
unsur. Sebuah tema mesti subur dan kaya sehingga
cakupannya saling terkait antarkonsep, topik dan berbagai
gagasan lainnya.
189
7. Threaded
Diibaratkan sebagai kaca pembesar/suryakanta- dengan
gagasan yang membesar sehingga jelas pada semua bidang
mata pelajaran. Pendekatan metakurikular yang dilakukan
melalui keterkaitan berbagai ketrampilan seperti
ketrampilan berpikir, ketrampilan bersosialisasi, kecerdasan
jamak, teknologi, dan berbagai disiplin ilmu lainnya.
8. Integrated
Diibaratkan sebagai kaleidoskop- sebuah pola dan
rancangan baru dengan pendekatan lintas mata pelajaran.
9. Immersed
Diibaratkan sebagai mikroskop- bereksplorasi dengan
materi sesuai minat dan keahlian siswa, sehingga mereka
dapat menyatu dan tercelup dengan diri mereka sendiri
sebagai pemelajar.
10. Networked
Diibaratkan sebagai perisma- menciptakan beragam
dimensi yang terarah dan terfokus. Siswa sebagai pemelajar
akan menyaring dan mengaitkan semua mata pelajaran
dengan cara profesional.
Di Indonesia konsep pembelajaran terpadu yang umumnya
dijalankan adalah konsep Fragmented yang sangat
konvensional berupa mata pelajaran-mata pelajaran yang
antarmata pelajaran terkadang terputus dan tidak saling terkait.
Konsep Connected juga dilakukan banyak guru dengan
mencoba mengaitkan intermateri pembelajaran.
190
2.3 Hasil belajar
Hasil belajar merupakan hasil dari proses pembelajaran
yang dilakukan siswa di sekolah sebagaimana biasa dilaporkan
pada wali kelas, murid dan orang tua siswa setiap akhir
semester atau akhir tahun ajaran dalam bentuk buku Raport.
Hasil belajar mempunyai arti dan manfaat yang sangat
penting bagi anak didik, pendidik, orang tua/wali murid dan
sekolah, karena nilai atau angka yang diberikan merupakan
manifestasi dari hasil belajar siswa dan berguna dalam
pengambilan keputusan atau kebijakan terhadap siswa yang
bersangkutan maupun sekolah. Hasil belajar merupakan
kemampuan siswa yang dapat diukur, berupa pengetahuan,
sikap dan keterampilan yang dicapai siswa dalam kegiatan
belajar mengajar.
191
didapat sehingga apa yang sudah dipelajari akan terpendam
lebih dalam di benak mereka. Cara inilah yang diupaykan
peneliti untuk memecahkan masalah yang sedang dihadapi.
TINDAKAN DAUR I
DAUR 2
Tindakan perlu perbaikan
dst
Penerapan Definisi Penerapan Redefine
masalah problem
192
Gambar 01. Penelitian Tindakan Model Mc. Kernan, 1991
(dalam Sukidin, Basrowi, Suranto, 2002: 54)
193
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil
1) Hasil yang diperoleh dari kegiatan awal:
Hasil yang menunjukan perolehan nilai rata rata kelas hasil
belajar Bahasa Indonesia masih sangat rendah, yaitu dengan
perolehan skor nilai secara klasikal yaitu 1935 dan rata rata kelas
60,46, dimana siswa yang mencapai persentase ketuntasan
belajar 43,75%, dan yang tidak mencapai ketuntasan adalah
56,25%, dengan tuntutan KKM untuk mata pelajaran Bahasa
Indonesia kelas I A SD Negeri 3 Sukawati adalah dengan nilai
65.
194
3) Pada siklus II ,
Dengan tindakan yang sangat maksimal dan pelaksanaan
yang betul-betul mengikuti kebenaran teori sesuai dengan metode
Tematik dengan bercerita dalam pembelajaran Bahasa Indonesia
di kelas IA SD Negeri 3 Sukawati, dimana hasil yang diperoleh
pada siklus II ini ternyata hasil belajar Bahasa Indonesia
meningkat secara signifikan dengan nilai rata-rata 72,78, dan
ketuntasan belajarnya adalah 93,75%.
Semua hasil yang diperoleh dari awal, siklus I dan siklus II
digambarkan dalam bentuk tabel dan grafik seperti berikut:
195
4.2 Pembahasan
Data awal yang diperoleh dengan rata-rata 60,46 menunjukkan
bahwa kemampuan anak/siswa dalam mata pelajaran Bahasa
Indonesia masih sangat rendah mengingat kriteria ketuntasan
belajar siswa untuk mata pelajaran ini di SD Negeri 3 Sukawati
adalah 65. Dengan nilai yang sangat rendah seperti itu maka
peneliti mengupayakan untuk dapat meningkatkan hasil belajar
anak/siswa menggunakan metode bercerita dalam pembelajaran
tematik. Akhirnya dengan penerapan metode/model pembelajaran
tematik yang benar sesuai teori yang ada, peningkatan rata-rata
hasil belajar anak/siswa pada siklus I dapat diupayakan dan
mencapai rata-rata 65,21. Namun rata-rata tersebut belum maksimal
karena hanya 13 siswa memperoleh nilai di atas KKM dan 9 siswa
196
memperoleh nilai standar KKM, sedangkan yang lainnya belum
mencapai KKM. Prosentase ketuntasan belajar mereka baru
mencapai 68,75% Hal tersebut terjadi akibat penggunaan metode/
model pembelajaran Tematik dengan metode bercerita belum
maksimal dapat dilakukan disebabkan penerapan model/metode
tersebut baru dicobakan sehingga guru masih belum mampu
melaksanakannya sesua alur teori yang benar.
Pada siklus ke II perbaikan hasil belajar siswa diupayakan lebih
maksimal dengan peneliti membuat perencanaan yang lebih baik,
menggunakan alur dan teori dari metode/model Tematik dengan
metode bercerita dengan benar dan lebih maksimal.Peneliti giat
memotivasi siswa agar giat belajar, memberi arahan-arahan,
menuntun mereka untuk mampu menguasai materi pelajaran pada
mata pelajaran Bahasa Indonesia lebih optimal. Akhirnya dengan
semua upaya tersebut peneliti mampu meningkatkan hasil belajar
siswa pada siklus II menjadi rata-rata 72,78 dengan ketuntasan
belajar mencapai 93,75%. Upaya-upaya yang maksimal tersebut
menuntun kepada penelitian bahwa model/metode Tematik dengan
metode bercerita mampu meningkatkan hasil belajar Bahasa
Indonesia siswa kelas IA SD negeri 3 Sukawati.
197
Penerapan model Tematik dengan metode bercerita terbukti bisa
meningkatkan hasil belajar Bahasa Indonesia siswa kelas I A SD
Negeri 3 Sukawati semester I tahun pelajaran 2015/2016 .
Peningkatannya terhadap prestasi hasil belajar Bahasa Indonesia
siswa yang semula dari data awal diperoleh hasil rata-rata 60,46
yang menunjukkan bahwa kemampuan anak masih tergolong
rendah. Setelah tindakan pada siklus I hasil tersebut meningkat
menjadi 65,21 Setelah pelaksanaan siklus II terjadi peningkatan dari
65,25 pada siklus pertama meningkat menjadi 72,78 pada siklus
kedua, suatu peningkatan yang boleh dibilang cukup signifikan.
Sementara peningkatannya terhadap ketuntasan belajar siswa sangat
signifikan, dari 43,75% yang tuntas pada data awal menjadi 68,75%
siklus pertama dan menjadi 93,75% pada siklus kedua. Itu artinya,
penerapan model Pembelajaran Tematik dengan metode bercerita
sampai akhir siklus kedua terbukti berhasil menuntaskan
pembelajaran 93,75% dari 32 siswa subyek penelitian.
Dari semua data pendukung pembuktian pencapaian tujuan
pembelajaran dapat disampaikan bahwa model pembelajaran
Tematik dapat memberi jawaban yang diharapkan sesuai tujuan
penelitian ini. Semua ini dapat dicapai adalah akibat kesiapan dan
kerja keras peneliti dari sejak pembuatan proposal, review hal-hal
yang belum bagus bersama teman-teman guru, penyusunan kisi-kisi
dan instrumen penelitian, penggunaan sarana trianggulasi data
sampai pada pelaksanaan penelitian yang maksimal.
DAFTAR PUSTAKA
198
Dahar, Ratna Wilis. 1989. Teori-Teori Belajar. Jakarta: Penerbit
Erlangga.
Depdiknas. 2010. Perkembangan Anak Usia Dini. Jakarta: Direktorat
Pembinaan TK dan SD, Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah.
Depdiknas. 2011. Membimbing Guru dalam Penelitian Tindakan
Kelas. Jakarta: Pusat Pengembangan Tenaga Kependidikan Badan
Pengembangan Sumber Daya Manusia Pendidikan dan
Menjaminan Mutu Pendidikan.
Depdiknas. 2011. Petunjuk Teknis Penyelenggaraan Kelompok
Bermain. Jakarta: Direktorat Pembinaan Pendidikan Anak Usia
Dini Direktorat Jendral Pendidikan Anak Usia Dini, Nonformal
dan Informal.
Depdiknas.2011. Petunjuk Teknis Penyelenggaraan Taman Kanak-
Kanak. Jakarta: Direktorat Pembinaan Pendidikan Anak Usia Dini
Direktorat Jendral Pendidikan Anak Usia Dini, Nonformal dan
Informal.
199
PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE
JIGSAW UNTUK MENINGKATKAN PRESTASI BELAJAR
PENJASKES SISWA KELAS IVA SD NEGERI 3 SUKAWATI
SEMESTER I TAHUN PELAJARAN 2015/2016
Oleh
I Wayan Subur
ABSTRACT
This study aims to improve learning achievement Penjaskes
fourth grade students of SD Negeri 3 Sukawati through the
implementation of cooperative learning jigsaw learning strategies.
Implementation of research based on the results of preliminary
observations indicate that the results of the initial test fourth grade
students of SD Negeri 3 Sukawati, especially in the subjects of PE is
still very low. There were 20 students who value under KKM. The
initial test results indicate that the necessary implementation of
cooperative learning strategies jigsaw in improving learning
achievement Penjaskes fourth grade students of SD Negeri 3 Sukawati.
The study involved students of fourth grade totaling 30 people.
The study took place in the first semester of the 2015/2016 academic
year. The implementation of cooperative learning strategies jigsaw is
the focus of action, and takes place in two cycles.
The results showed that the application of the jigsaw
cooperative learning strategies can improve learning achievement
Penjaskes fourth grade students of SD Negeri 3 Sukawati, as is evident
from the average klaksikal obtained at the beginning of learning only
reached 65.5 by 33.33% mastery learning. In the first cycle increased to
69.83 and completeness study to 70%. In the second cycle increased to
79.33 with keuntasan learn reached 100%.
200
Learning by applying jigsaw cooperative learning strategies
need to be considered as one of the efforts to improve student
achievement.
Keywords: Cooperative Learning Strategies Jigsaw, learning
achievement.
I. PENDAHULUAN
Guru Sekolah Dasar sebagai tenaga professional
hendaknya dapat melaksanakan dan mewujudkan tujuan pendidikan
nasional yang telah ditetapkan oleh pemerintah melalui Undang-
Undang. Guru Sekolah Dasar hendaknya dapat melaksanakan proses
pembelajaran yang dapat menghasilkan output yang bermutu sesuai
harapan pemerintah dan harapan masyarakat. Dengan demikian dari
waktu ke waktu harus dicermati guru agar kualitasnya terus
meningkat.
Kualitas suatu proses pembelajaran dapat tercermin dari
tinggi rendahnya prestasi belajar siswa yang umumnya dinyatakan
dalam bentuk angka atau nilai. Hasil proses pembelajaran ini
dilaporkan oleh guru kepada orang tua siswa pada akhir semester
dalam buku laporan pendidikan (Raport).
Tinggi rendahnya prestasi belajar siswa dapat
dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal
adalah masalah yang muncul dari dalam diri siswa yang
bersangkutan, seperti : intelegensi, bakat, motivasi, kesehatan fisik
dan mental. Sedangkan faktor eksternal adalah faktor yang datang
dari luar siswa, seperti : lingkungan belajar, latar belakang, cara guru
201
mengajar, media pembelajaran, sumber belajar, motivasi guru dan
sebagainya.
Guru merupakan ujung tombak untuk meningkatkan
kualitas proses pembelajaran dan prestasi belajar di sekolah. Dalam
usaha meningkatkan kualitas proses pembelajaran dan prestasi
belajar diperlukan guru yang professional, yaitu guru yang memiliki
pengetahuan dan keterampilan tentang berbagai model dan strategi
pembelajaran sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi, memiliki pengetahuan tentang Bimbingan dan Konseling
untuk menciptakan suasana proses pembelajaran yang aktif, kreatif
dan menyenangkan serta dapat memberikan informasi pendidikan
dan karir kepada siswa sesuai dengan potensi yang dimiliki oleh
siswa, serta dapat membantu siswa dalam memecahkan masalah
yang dihadapi terutama masalah kesulitan belajar.
Namun dilapangan masih banyak kelemahan guru di
dalam melaksanakan proses pembelajaran. Guru hanya bercerita di
kelas dengan deskripsi yang kurang jelas tentang materi
pembelajaran. Guru kurang memberikan kesempatan kepada siswa
untuk berkembang sesuai dengan kemampuannya. Pembelajaran
selalu berpusat pada guru sehingga siswa menjadi fasif atau kurang
aktif. Pada akhirnya siswa kurang termotivasi untuk belajar sehingga
kecerdasan siswa tidak sesuai dengan apa yang diharapkan.
Melihat hal tersebut dipandang perlu dilakukan upaya
perbaikan pembelajaran khususnya mata pelajaran Penjaskes di
kelas IV SD Negeri 3 Sukawati, Kabupaten Gianyar.
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah Apakah
penerapan model pembelajaran cooperative learning jigsaw dapat
202
meningkatkan prestasi belajar belajar penjaskes siswa kelas IV SD
Negeri 3 Sukawati?.
203
Akibat lain dari penerapan teori Thorndike adalah para
guru lebih berorientasi pada hasil (target) dan kurang
memperhatikan proses pembelajaran. Materi-materi dan
keterampilan-keterampilan baru terus-menerus ditambahkan,
tetapi konsep-konsep Penjaskes kurang dikaitkan dan kurang
diintegrasikan.
2. Pelaksanaan Pembelajaran Penjaskes yang Konstruktivistik
Masa kini dan amsa mendatang terjadi penuh
perkembangan dan perubahan yang cepat dan mendasar dalam
berbagai aspek kehidupan, antara lain perkembangan di bidang
sains, teknologi, sosial, budaya, dan perubahan dalam
perdagangan, pemerintahan, dan pergaulan dini. Keadaan ini
menunjukkan bahwa kehidupan sekarang dan mendatang penuh
dengan tantangan dan persiapan.
Untuk mampu bertahan hidup serta mampu menghadapi
tantangan, persaingan, ketidakpastian, dan permasalahan pelik
dan rumit, generasi muda sekarang perlu memperoleh bekal
pengetahuan, pengalaman, kemampuan dan keterampilan yang
sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan kemajuan. Dengan
demikian kita memerlukan pendidikan yang bermutu tinggi
untuk membawa generasi muda menjadi manusia yang cerdas,
ahli, terampil, cinta tanah air, mempunyai dedikasi dan
tanggung jawab yang tinggi terhadap kemajuan bangsa dan
negara, dan berkompeten dalam pembangunan.
Dasar pengembangan pendidikan yang bermutu tinggi
adalah prinsip belajar sepanjang hayat (Puskur, 2002 : 2) dan
empat pilar (tiang) belajar yang dikemukakan UNESCO (Yabe,
204
T., 2001 : 1) yaitu learning to know, learning to do, learning to
be, dan learning to live together. Prinsip-prinsip tersebut
mendasari perkembangan pendidikan untuk menghasilkan
kompetensi peserta didik sesuai dengan tingkatan belajar di
sekolah. Peserta didik yang kompeten artinya peserta didik yang
cerdas, cakap, mampu memahami dengan baik bahan yang
diajarkan, mampu bersikap, bernalar, dan bertindak sesuai
dengan prosedur yang benar, dan mengembangkan integritas
kebersamaan dalam perbedaan.
205
teman tersebut dapat diajak untuk memecahkan suatu masalah.
Menurut Lie (2002 : 12), model pembelajaran kooperatif atau
disebut juga dengan pembelajaran gotong-royong merupakan
sistem penganjaran yang memberi kesempatan kepada anak didik
untuk bekerja sama dengan sesama siswa dalam menyelesaikan
tugas-tugas yang terstruktur. Sedangkan Solihatin dan Raharjo
(2007:4) mengatakan bahwa pembelajaran kooperatif sebagai
suatu sikap atau perilaku bersama dalam bekerja atau membantu
diantara sesama atau dalam struktur kerjasama yang teratur dalam
kelompok, yang terdiri dari dua orang atau lebih dimana
keberhasilan kerja sangat dipengaruhi oleh keterlibatan dari setiap
anggota kelompok itu sendiri.
Pengelompokkan heterogenitas (kemacam-ragaman)
merupakan ciri yang menonjol dalam model pembelajaran
gotong-royong. Kelompok heterogenitas bisa dibentuk dengan
memperhatikan keanekaragaman gender, latar belakang sosial
ekonomi dan etnik, serta kemampuan akademis. Dalam hal
kemampuan akademis, kelompok dalam pembelajaran kooperatif
terdiri dari satu orang berkemampuan tinggi, dua orang
berkemampuan sedang, dan satu lainnya dari kelompok
berkemampuan akademis kurang.
206
(STAD), Teams-Games tournament (TGT), Teams-Assisted
Individualization (TAI), Cooperative Integrated Reading and
Composition (CIRC), Jigsaw, Learning Together (LT), dan Group
Investigation. Pada penelitian ini akan dikembangkan
pembelajaran kooperatif tipe jigsaw.
Metode Jigsaw telah dikembangkan dan diujicobakan oleh
Elliot Aronsin dan teman-temannya di Universitas Texas, dan
kemudian diadaptasi oleh Slavin dan teman-teman di Universitas
John Hopkins. Dalam penerapan jigsaw, siswa dibagi
berkelompok dengan 5 atau 6 anggota kelompok heterogen.
Materi pembelajaran diberikan kepada siswa dalam bentuk teks.
Setiap anggota bertanggung jawab untuk mempelajari bagian
tertentu bahan yang diberikan. Sebagai contoh, jika materi yang
diberikan alat ekskresi, seorang siswa mempelajari tentang ginjal,
siswa lain mempelajari tentang hati, siswa yang lain lagi belajar
tentang paru-paru, dan yang terakhir tentang kulit. Anggota dari
kelompok lain yang mendapat tugas topik yang sama berkumpul
dan berdiskusi tentang topik tersebut. Kelompok ini disebut
kelompok ahli. Dengan demikian terdapat kelompok ahli kulit,
ahli ginjal, ahli paru-paru, dan ahli hati.
Selanjutnya anggota tim ahli ini kembali ke kelompok asal
dan mengajarkan apa yang telah dipelajarinya dan didiskusikan di
dalam kelompok ahlinya untuk diajarkan kepada teman
kelompoknya sendiri. Menyusul pertemuan dan diskusi kelompok
asal, siswa-siswa itu dikenai kuis secara individual tentang materi
belajar.
207
2.4 Prestasi Belajar
Djamarah (1994:23) mendefinisikan prestasi belajar sebagai
hasil yang diperoleh berupa kesan-kesan yang mengakibatkan
perubahan dalam diri individu sebagai hasil dari aktivitas dalam
belajar. Kalau perubahan tingkah laku adalah tujuan yang mau
dicapai dari aktivitas belajar, maka perubahan tingkah laku itulah
salah satu indikator yang dijadikan pedoman untuk mengetahui
kemajuan individu dalam segala hal yang diperolehnya di sekolah.
Dengan kata lain prestasi belajar merupakan kemampuan-
kemampuan yang dimiliki oleh siswa sebagai akibat perbuatan
belajar atau setelah menerima pengalaman belajar, yang dapat
dikatagorikan menjadi tiga ranah, yakni ranah kognitif, afektif, dan
psikomotor.
Menurut Muhibbin Syah (2008) dikutif dari blog
http://devamelodica.com Pengungkapan prestasi belajar meliputi
segala ranah psikologis yang berubah sebagai akibat pengalaman
dan proses belajar siswa. Namun demikian pengungkapan
perubahan tingkah laku seluruh ranah, khususnya ranah afektif
sangat sulit. Hal ini disebabkan perubahan prestasi belajar itu ada
yang bersifat intangible (tidak dapat diraba). Kunci pokok untuk
memperoleh ukuran dan data prestasi belajar siswa adalah garis-
garis besar indikator dikaitkan dengan jenis prestasi yang hendak
diungkapkan atau diukur.
Prestasi belajar menurut Purwanto (2000: 102)
dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain: (1) faktor yang ada
pada diri organisme itu sendiri yang dapat disebut faktor
individual, seperti kematangan/pertumbuhan, kecerdasan, latihan,
208
motivasi, dan faktor pribadi, (2) faktor yang ada diluar individu
yang disebut faktor sosial., seperti faktor keluarga/keadaan rumah
tangga, guru dan cara mengajamya, alat-alat yang dipergunakan
dalam belajar-mengajar, lingkungan dan kesempatan yang tersedia
dan motivasi sosial.
Sardiman (1988: 25) menyatakan prestasi belajar sangat
vital dalam dunia pendidikan, mengingat prestasi belajar itu dapat
berperan sebagai hasil penilaian dan sebagai alat motivasi. Adapun
peran sebagai hasil penilaian dan sebagai alat motivasi diuraikan
seperti berikut.
209
siswa memiliki rasa tanggung jawab atas pemahaman anggota
kelompok terhadap suatu konsep materi
Perencanaan Perencanaan
Pelaksanaan Pelaksanaan
Refleksi Refleksi
210
Gambar 02. Rancangan Penelitian Tindakan Kelas
211
mencanangkan dengan minimal prosentase ketuntasan belajar
80%.
212
4.2 Pembahasan
Data awal yang diperoleh dengan rata-rata 65,5 menunjukkan
bahwa kemampuan anak/siswa dalam mata pelajaran Penjaskes
masih sangat rendah mengingat kriteria ketuntasan belajar siswa
untuk mata pelajaran ini di SD N 3 Sukawati adalah 70,00. Dengan
nilai yang sangat rendah seperti itu maka peneliti mengupayakan
untuk dapat meningkatkan prestasi belajar anak/siswa
menggunakan metode/model pembelajaran Kooperatif Jigsaw.
Akhirnya dengan penerapan metode/model pembelajaran
Kooperatif Jigsaw yang benar sesuai teori yang ada, peningkatan
rata-rata prestasi belajar anak/siswa pada siklus I dapat diupayakan
dan mencapai rata-rata 69,83. Namun rata-rata tersebut belum
maksimal karena hanya 21 siswa memperoleh nilai di atas KKM
sedangkan yang lainnya belum mencapai KKM. Sedangkan
213
prosentase ketuntasan belajar mereka baru mencapai 70%. Hal
tersebut terjadi akibat penggunaan metode/model pembelajaran
Kooperatif Jigsaw belum maksimal dapat dilakukan disebabkan
penerapan model/metode tersebut baru dicobakan sehingga guru
masih belum mampu melaksanakannya sesua alur teori yang benar.
214
Dari hasil refleksi yang telah disampaikan di Bab IV dan
dengan melihat semua data yang telah dPenjaskesparkan, dapat
disampaikan bahwa pencapaian tujuan penelitian di atas dapat
dibuktikan dengan argumentasi sebagai berikut.
d) Dari data awal ada 20 siswa mendapat nilai dibawah KKM dan
pada siklus I menurun menjadi 9 siswa dan siklus II tidak ada
siswa yang mendapat nilai di bawah KKM.
e) Nilai rata-rata awal 65,5 naik menjadi 69,83 pada siklus I dan
pada siklus II naik menjadi 79,33.
f) Dari data awal siswa yang tuntas hanya 10 orang sedangkan
pada siklus I menjadi lebih banyak yaitu 21 siswa dan pada
siklus II menjadi cukup banyak yaitu 30 siswa.
Paparan di atas membuktikan bahwa model/metode
pembelajaran Kooperatif Jigsaw dapat memberi jawaban sesuai
tujuan penelitian ini yaitu dapat meningkakan presasi belajar
penjaskes siswa kelas IV SD Negeri 3 Sukawati semester I tahun
ppelajaran 2015/2016. Semua ini dapat dicapai karena
model/metode pembelajaran Kooperatif Jigsaw sangat efektif
diterapkan dalam proses pembelajaran yang mengakibatkan siswa
aktif, antusias dan dapat memahami materi yang diajarkan sehingga
prestasi belajar siswa menjadi meningkat.
DAFTAR PUSTAKA
215
Andayani, dkk (2008). Pemantapan Kemampuan Profesional. Jakarta :
Universitas Terbuka.
216
UPAYA MENINGKATKAN PRESTASI BELAJAR AGAMA
HINDU MELALUI PENERAPAN MODEL
PEMBELAJARAN KUANTUM PADA SISWA KELAS V
SEMESTER I DI SD NEGERI 2 SERONGGA TAHUN
PELAJARAN 2015/2016
OLEH
NI LUH NYOMAN PUTRIANI
ABSTRACT
This research was conducted in SD Negeri 2 Serongga in Class
V is the ability of students to subjects Religion still low. The purpose of
writing this classroom action research was to determine whether the
quantum learning model can improve student achievement. Data
collection method is learning achievement test. Deskriptif.Hasil
methods of data analysis is obtained from this research are quantum
learning model can improve student achievement. This is evident from
the results obtained in the beginning 70.20 in the first cycle to 75.65
and the second cycle into 81.87. The conclusion of this study is the
quantum learning model can improve learning achievement
Keywords: quantum learning model, learning achievement
I. PENDAHULUAN
Guru sebagai figur sentral dalam dunia pendidikan, khususnya
dalam proses belajar mengajar. Sehubungan dengan ini, setiap guru
sangat diharapkan memiliki karakteristik (ciri khas) kepribadian yang
ideal sesuai dengan persyaratan yang bersifat psikologis-pedagogis.
217
Peran ganda seorang guru yaitu sebagai pengajar sekaligus
sebagai pendidik. Dalam rangka mengembangkan tugas atau peran
gandanya maka guru memiliki persyaratan kepribadian sebagai guru
yaitu: Suka bekerja keras, demokratis, penyayang, menghargai
kepribadian peserta didik, sabar, memiliki pengetahuan, ketrampilan
dan pengalaman yang bermacam-macam, perawakan menyenangkan
dan berkelakuan baik, adil dan tidak memihak, toleransi, mantap dan
stabil, ada perhatian terhadap persoalan peserta didik, lincah, mampu
memuji, perbuatan baik dan menghargai peserta didik, cukup dalam
pengajaran, mampu memimpin secara baik.
Demi tercapainya tujuan tersebut, maka guru memegang
peranan penting. Oleh sebab itu guru di sekolah tidak hanya sekedar
mentransferkan sejumlah ilmu pengetahuan kepada murid-muridnya,
tetapi lebih dari itu terutama dalam membina sikap dan ketrampilan
mereka. Untuk membina sikap murid di sekolah, dari sekian banyak
guru bidang studi, guru bidang studi agamalah yang sangat
menentukan, sebab pendidikan agama sangat menentukan dalam hal
pembinaan sikap siswa karena bidang studi agama banyak membahas
tentang pembiaan sikap, yaitu mengenai aqidah dan akhlakul karimah.
Tugas guru tidak terbatas pada memberikan informasi kepada
murid namun tugas guru lebih konprehensif dari itu. Selain mengajar
dan membekali murid dengan pengetahuan, guru juga harus
menyiapkan mereka agar mandiri dan memberdayakan bakat murid di
berbagai bidang, mendisiplinkan moral mereka, membimbing hasrat
dan menanamkan kebajikan dalam jiwa mereka. Guru harus
menunjukkan semangat persaudaraan kepada murid serta membimbing
218
mereka pada jalan kebenaran agar mereka tidak melakukan perbuatan
yang menyimpang dari ajaran agama.
Apabila seorang guru memahami hal-hal tersebut tentu saja
prestasi belajar siswa tidak akan rendah. Namun kenyataan yang ada di
lapangan sangat jauh berbeda. Berdasarkan basil observasi peneliti
selaku guru Agama Hindu di SD Negeri 2 Serongga rata tersebut masih
jauh di bawah KKM mata pelajaran Agama Hindu di sekolah ini yaitu
75,
Karena rendahnya prestasi belajar Agama Hindu siswa seperti
yang telah disampaikan di atas, memotivasi peneliti untuk melakukan
perbaikan pembelajaran. Perbaikan tersebut peneliti lakukan dengan
menerapkan langkah-langkah model pembelajaran kuantum dalam
proses belajar mengajar. Untuk itu dalam penelitian ini peneliti
mengangkat sebuah judul penelitian yaitu : Upaya Meningkatkan
Prestasi Belajar Agama Hindu Melalui Penerapan Model Pembelajaran
Kuantum Siswa Kelas V Semester I SD Negeri 2 Serongga Tahun
Pelajaran 2015/2016.
219
landasan konteks yang menyenangkan dan situasi penuh kegembiraan.
Model ini dicetuskan oleh seorang pendidik berkebangsaan Bulgaria
yang bernama Georgi Lozanov yang melakukan uji coba tentang
sugesti dan pengaruhnya terhadap hasil belajar, teorinya yang terkenal
tersebut Suggostology. Menurut Lazanov, pada prinsipnya sugesti itu
mempengaruhi hasil belajar.
Kaifa, 1999 (dalam Udin Saifudin, 2008: 125) mengatakan
bahwa pembelajaran Kuantum sebagai salah satu model, strategi dan
pendekatan pembelajaran khususnya menyangkut keterampilan guru
dalam merancang, mengembangkan dan mengelola sistim
pembelajaran sehingga guru mampu menciptakan suasana
pembelajaran yang efektif, menggairahkan dan memiliki keterampilan
hidup. Selanjutnya Udin (2008: 126) mengatakan bahwa pembelajaran
Kuantum sebagai salah satu alternatif pembaharuan pembelajaran,
menyajikan petunjuk praktis dari spesifik untuk menciptakan
lingkungan belajar yang efektif dan bagaimana menyederhanakan
proses belajar sehingga memudahkan belajar siswa.
Selanjutnya Bobby DePorter, 1992 (dalam Udin Saifusin Saud,
2008: 128-129) memberi penjelasan terhadap 2 hal yaitu: 1) prinsip
dan strategi pembelajaran Kuantum dan 2) pengembangan strategi
pembelajaran Kuantum.
220
gerakan dan seluruh kondisi lingkungan haruslah dapat berbicara
membawa pesan-pesan belajar bagi siswa.
b. Segalanya bertujuan, maksudnya semua penggubahan pembelajaran
tanpa terkecuali harus mempunyai tujuan-tujuan yang jelas dan
terkontrol. Sumber dan fasilitas yang terlihat dalam setiap
pembelajaran pada prinsipnya untuk membantu perubahan perilaku
kognitif, afektif dan psikomotor.
c. Pengalaman sebelum pemberian nama, maksudnya sebelum siswa
belajar memberi nama (mendefinisikan, mengkonseptualisasi,
membedakan, mengkatagorikan) hendaknya telah memiliki
pengalaman informasi yang terkait dengan upaya pemberian nama
tersebut.
d. Mengakui setiap usaha, maksudnya semua usaha belajar yang telah
dilakukan siswa harus memperoleh pengakuan guru dan siswa lainnya.
Pengakuan ini penting agar siswa selalu berani melangkah ke bagian
berikutnya dalam pembelajaran.
e. Merayakan keberhasilan, maksudnya setiap usaha dan hasil yang
diperoleh dalam pembelajaran pantas dirayakan. Perayaan ini
diharapkan memberi umpan balik dan motivasi untuk kemajuan dan
peningkatan hasil belajar berikutnya.
Selanjutnya Bobby DePorter (1992), mengembangkan strategi
pembelajaran Kuantum melalui istilah TANDUR, yaitu:
221
c. Namai, sediakan kata kunci, konsep, model, rumus, strategi dan metode
lainnya.
d. Demonstrasikan, sediakan kesempatan kepada siswa untuk
menunjukkan kemampuannya.
e. Ulangi, beri kesempatan untuk mengulangi apa yang telah
dipelajarinya, sehingga setiap siswa merasa langsung dimana kesulitan
akhirnya datang kesuksesan, kami bisa bahwa kami memang bisa.
f. Rayakan, dimaksudkan sebagai respon pengakuan yang proporsional.
Dari semua paparan di atas ada banyak hal yang mesti diperhatikan
dalam model pembelajaran Kuantum seperti membuat suasana belajar
yang menggairahkan, mengupayakan agar lingkungan belajar
mendukung, rancangan belajar yang dinamis, mengkomunikasikan
tujuan, kukuh atas prinsip-prinsip keunggulan, meyakini kemampuan
diri dan kemampuan siswa, menjaga komunitas belajar terus tumbuh,
rasa simpati dan saling pengertian, suasana belajar yang riang dan
menyenangkan, kemampuan guru menunjukkan ketauladan, guru
selalu berpandangan positif pada siswa bahwa mereka mempunyai
kemampuan lebih untuk berprestasi, seorang guru harus mampu
mengetahui karakteristik siswa, guru harus mampu memotivasi,
kemampuan guru memberikan penguatan baik verbal maupun non
verbal, seorang guru mesti mempunyai kesenangan yang tinggi apabila
siswanya mampu menguasai pembelajaran, bersama-sama siswa
gemar merayakan keberhasilan, selalu mengupayakan interaksi-
interaksi antara siswa dengan materi, siswa dengan siswa maupun
siswa dengan guru, mengaitkan pembelajaran dengan masa depan
siswa, guru mampu menata lingkungan belajar bisa dengan menata
tempat duduk, mengatur group-group tertentu, menggunakan media
222
pendukung pembelajaran, musik yang menyenangkan, kemampuan
guru untuk merubah perintah menjadi ajakan, menciptakan strategi
agar siswa banyak menggunakan pikiran, melakukan tanya jawab,
menumbuhkan minta dan perilaku yang baik, serta guru mesti selalu
mengupayakan keterampilan hidup dan keterampilan sosial siswa.
223
dari aktivitas belajar, maka perubahan tingkah laku itulah salah satu
indikator yang dijadikan pedoman untuk mengetahui kemajuan
individu dalam segala hal yang diperolehnya di sekolah. Dengan kata
lain prestasi belajar merupakan kemampuan-kemampuan yang dimiliki
oleh siswa sebagai akibat perbuatan belajar atau setelah menerima
pengalaman belajar, yang dapat dikatagorikan menjadi tiga ranah,
yakni ranah kognitif, afektif, dan psikomotor.
224
melaksanakan model kuantun untuk meningkatkan prestasi belajar
agama Hindu karena model pembelajran Kuantum menuntut perhatian
peserta didik terpusat pada pokok persoalan, dapat mengurangi
kesalahan-kesalahan, peserta didik mendapat pengalaman praktek
untuk mengembangkan kecakapannya dan memperoleh penghargaan
akan kemampuannya dan pertanyaan-pertanyaan yang timbul dapat
dijawab sendiri oleh peserta pada saat dilaksanakan metode kuantum
tersebut. Sedangkan penggunaan media gambar karena media gambar
sifatnya konkrit,lebih realistis menunjukkan pokok masalah, gambar
dapat mengatasai masalah batasan ruang dan waktu karena tidak
semua benda, objek atau peristiwa dapat dibawa ke kelas dan peserta
didik tidak selalu bisa dibawa ke objek tersebut. Untuk itu gambar
dapat mengatasinya. Nilai-nilai keimanan dapat disajikan ke kelas
lewat gambar,peristiwa-peristiwa yang berhubungan dengan nilai-nilai
keimanan dapat dilihat dari gambar-gambar yang diperlihatkan.
Dengan demikian peserta didik mampu memperjelas suatu masalah
sehingga dapat mencegah atau membetulkan kesalahpahaman. Selain
itu, penggunaan media gambar dalam pembelajaran dapat terjangkau
karena harganya murah, mudah didapat, mudah digunakan, tanpa
memerlukan peralatan yang khusus.
225
Langkah-langkah Model Pembelajaran Kuantum dapat
Meningkatkan Prestasi Belajar Agama Hindu Siswa Kelas V SD
Negeri 2 Serongga tahun pelajaran 2015/2016.
Perencanaan Pelaksanaan
Tindakan II Tindakan II
Apabila
Refleksi II Pengematan/
permasalahan
Pengumpulan Data
belum
II
terselesaikan
Dilanjutkan ke
siklus berikutnya
226
Gambar: 01 Alur Penelitian Tindakan Kelas (dalam Suharsimi
Arikunto, Suhardjono, Supardi, 2007: 74)
5. Perencanaan
Pada tahap ini peneliti membuat RPP, berkonsultasi dengan
teman sejawat membuat instrumen.
6. Pelaksanaan Tindakan
Tahap pelaksanaan tindakan dilakukan dengan
pembelajaran di kelas.Pada tahap ini guru peneliti giat melakukan
tindakan menggunakan metode Card Sort berbantuan alat
peraga.Rancangan tindakan tersebutsebelumnya telah dilatih untuk
dapat diterapkan di dalam kelas sesuai dengan skenarionya.Skenario
dari tindakan diupayakan dilakspelajaran dengan baik dan wajar.
227
dan terjadi selama pelaksanaan tindakan berlangsung. Pengumpulan
data ini dilakukan dengan menggunakan tes prestasi belajar yang
telah tersusun, termasuk juga pengmatan secara cermat pelaksanaan
skenario tindakan dari waktu ke waktu serta dampaknya terhadap
proses dan hasil belajar anak.
8. Refleksi
Tahapan ini dimaksudkan untuk mengkaji secara
menyeluruh tindakan yang telah dilakukan, berdasarkan data yang
telah terkumpul, kemudian dilakukan evaluasi guna
menyempurnakan tindakan berikutnya.
228
pelajaran Agama Hindu kelas V SD Negeri 2 Serongga adalah
dengan nilai 75.
229
Tabel 01 : Tabel Data Prestasi Belajar Siswa kelas V SD Negeri 2
Serongga
SIKLUS SIKLUS
DATA AWAL VARIABEL
I II
Skor Nilai 1685 1815 1965 Prestasi
Rata Rata Belajar
70,20 75,65 81,87
Kelas Agama Hindu
Persentase Dengan
25% 66,66% 100%
Ketuntasan KKM = 75
230
4.2 PEMBAHASAN
Data awal menunjukkan rendahnya prestasi belajar yang
dicapai siswa yaitu baru mencapai ketuntasan 25% dalam mata
pelajaran Agama Hindu dengan KKM 75. Dengan nilai yang
sangat rendah seperti itu maka peneliti mengupayakan untuk
dapat meningkatkan hasil belajar siswa menggunakan penerapan
langkah-langkah model pembelajaran kuantum. Akhirnya dengan
penerapan langkah-langkah model pembelajaran kuantum yang
benar sesuai teori yang ada, peningkatan rata-rata hasil belajar
Agama Hindu siswa pada siklus I dapat diupayakan dan
mencapai rata-rata 75,65 dengan ketuntasan 66,66% .Namun rata-
rata tersebut belum maksimal karena hanya 16 dari 24 siswa yang
memperoleh nilai di atas KKM, sedangkan yang lainnya belum
mencapai KKM. Hal tersebut terjadi akibat penerapan langkah-
langkah model pembelajaran kuantum belum maksimal dapat
dilakukan disebabkan penerapan model tersebut baru dicobakan
sehingga guru masih belum mampu melaksanakannya sesuai alur
teori yang benar.
Pada siklus ke II perbaikan hasil belajar siswa diupayakan
lebih maksimal dengan peneliti membuat perencanaan yang lebih
baik, menggunakan alur dan teori dari penerapan langkah-langkah
model pembelajaran kuantum dengan benar dan lebih maksimal.
Peneliti giat memotivasi siswa agar giat belajar, memberi arahan-
arahan, menuntun mereka untuk mampu menguasai materi
pelajaran pada mata pelajaran Agama Hindu agar prestasi belajar
yang diperoleh lebih optimal. Akhirnya dengan semua upaya
tersebut peneliti mampu meningkatkan hasil belajar siswa pada
231
siklus II menjadi rata-rata 81,87 dengan ketuntasan 100%. Upaya-
upaya yang maksimal tersebut menuntun kepada penelitian bahwa
penerapan langkah-langkah model pembelajaran kuantum mampu
meningkatkan hasil belajar siswa.
V. SIMPULAN
Simpulan merupakan ringkasan hasil penelitian yang
bertalian dengan rumusan masalah dan tujuan penelitian.
Berdasarkan semua hasil tindakan yang dilakukan, baik siklus I
maupun siklus II mulai dari perencanaan, pelaksanaan,
pengamatan/observasi dan refleksi dapat disampaikan hal-hal
berikut:
a. Dari data awal ada 18 siswa mendapat nilai dibawah KKM dan
pada siklus I menurun menjadi 8 siswa dan siklus II tidak ada
siswa yang mendapat nilai di bawah KKM.
b. Dari rata-rata awal 70,20 naik menjadi 75,65 pada siklus I dan
pada siklus II naik menjadi 81,87.
c. Dari data awal siswa yang tuntas hanya 6 orang sedangkan pada
siklus I menjadi lebih banyak yaitu 16 siswa dan pada siklus II
menjadi banyak yaitu 24 siswa.
Berdasarkan hasil pencapaian tujuan pembelajaran yang
dilampiri dengan pembuktian dapat disampaikan bahwa model
pembelajaran kuantum dapat menjawab tantangan yakni mampu
mencapai tujuan penelitian akibat usaha maksimal peneliti dari
penyusunan kisi-kisi dan instrumen penelitian, penggunaan sarana
triangulasi data sampai pada pelaksanaan penelitian yang maksimal
232
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suharsimi; Suhardjono; Supardi. 2006. Penelitian Tindakan
Kelas. Jakarta: PT Bumi Aksara.
233
PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN GROUP
INVESTIGATION DENGAN MEDIA AUDIO VISUAL UNTUK
MENINGKATKAN PRESTASI BELAJAR PPKN SISWA KELAS
VIII A DI SMP NEGERI 2 GIANYAR
PADA SEMESTER I TAHUN PELAJARAN 2015/2016
Oleh :
I MADE SUBAWA
ABSTRACT
The purpose of this study is to improve learning achievement
Civics class VIII A of SMP Negeri 2 Gianyar through learning model
application with the investigation group aided audio-visual media. The
subjects were students of class VIII A of SMP Negeri 2 Gianyar
numbering 36 people, in the subjects of Civics. Data on student
achievement obtained using the test method with instrumanya the form
of learning achievement tests and questionnaires motivation to learn.
The data is then analyzed using quantitative descriptive analysis
techniques. The results of this study are as follows: (1) the application
of assisted learning model group investigation of audio-visual media
can improve learning achievement Civics class VIII A of SMP Negeri 2
Gianyar. from an average score of student achievement showed an
increase from the first cycle to the second cycle. The average class
learning achievement in early learning only reached 68.47, the first
cycle increased to 76.25 in the second cycle into 83.19. And
thoroughness of initial klaksikal is 47.22%, in the first cycle increased
to 77.77% and the second cycle to 100%.
234
I. PENDAHULUAN
Peran siswa dalam konteks pembelajaran konstruktivisme
ketika pembelajaran berpusat pada siswa adalah belajar dan mencari
sendiri arti dari materi yang mereka pelajari yang merupakan proses
penyesuaian konsep dan ide-ide baru dengan kerangka berpikir yang
telah ada dalam pikiran mereka dan siswa sendirilah yang bertanggung
jawab atas prestasi belajarnya. Degeng (2000 ; 7) menyatakan Pada
dimensi Kontruktivistik, pembelajaran lebih banyak diarahkan untuk
meladeni pertanyaan atau pandangan siswa. Dengan demikian, aktivitas
belajar lebih didasarkan pada data primer dan bahan manipulatif
dengan penekanan pada keterampilan berpikir kritis, seperti; analisis,
membandingkan, generalisasi, memprediksi, dan mengipotesis. Jadi
tujuan pembelajaran kontruktivistik sangat menekankan pada proses
pembelajaran disamping juga prestasi belajar siswa. Suatu tujuan
pembelajaran dapat tercapai sesuai dengan yang diharapkan apabila
model pembelajaran yang sesuai dengan materi yang diberikan oleh
seorang guru. Dengan demikian pemilihan sebuah model pembelajaran
merupakan bagian penting dalam merencanakan atau mendesain
pembelajaran, agar terjadi interaksi antara siswa dengan guru, siswa
dengan siswa maupun siswa dengan sumber belajar lainnya.
235
ketuntasan 75,00. Prestasi belajar siswa dari 36 siswa yang
memperoleh nilai diatas/setara 75,00 ada 17 orang, selebihnya 17 siswa
masih dibawah standar yang ditetapkan 75,00. Persoalannya, bukan
hanya karena kemampuan siswa yang rendah, namun perlu dikaji faktor
yang paling mendasar dalam mempengaruhi rendahnya Prestasi belajar
siswa. Berdasarkan hal tersebut teridentifikasi masalah seperti ; (1)
rendahnya prestasi belajar PPKN, (2) strategi guru dalam
membelajarkan siswa masih belum optimal, (3) guru kurang menguasai
model pembelajaran yang inovatif dan kreatif.
236
pembelajaran kooperatif Group Investigation berpegang teguh dengan
paradigma pembelajaran kontruktivistik. Siswa dapat melakukan
pembelajaran yang meraka inginkan dan tidak hanya didominasi oleh
ceramah guru dengan melalui media audio visual yang membuat siswa
sangat antusias dalam belajar.
237
bertukar pengalaman melaui proses saling beragumentasi. Hal ini juga
dikukung oleh pendapat Krismanto (2003:7) yang memberikan
penjelasan tentang investigasi, yaitu sebagai kegiatan pembelajaran
yang memberikan kemungkinan siswa untuk mengembangkan
pemahaman siswa melalui berbagai kegiatan dan hasil yang benar
sesuai
238
dalam lingkungan pendidikan yang tidak mendukung dialog antar
personal atau yang mengabaikan dimensi afektif sosial
pembelajaran kelas. Interaksi kooperatif dan komunikasi diantaran
teman teman kelas dapat dicapai paling efektif dalam kelompok
kecil, dimana pergaulan antara teman teman sebaya dapat
dipertahankan.aspek sosial afektif kelompok, pertukaran
intelektualnya, dan makna pokok pelajaran itu merupakan sumber
utama dari usaha usaha siswa untuk belajar.
239
pengembangan yang dilalui siswa. Investigation berkaitan dengan
kegiatan mengobservasi secara rinci dan menilai secara sistematis.
Jadi investigasi adalah proses penyelidikan yang dilakukan
seseorang, dan selanjutnya orang tersebut mengkomunikasikan
hasil perolehannya, dapat membandingkannya dengan perolehan
orang lain, karena dalam suatu investigasi dapat diperoleh satu atau
lebih hasil. Dengan demikian akan dapat dibiasakan untuk lebih
mengembangkan rasa ingin tahu. Hal ini akan membuat siswa
untuk lebih aktif berpikir dan mencetuskan ide-ide atau gagasan,
serta dapat menarik kesimpulan berdasarkan hasil diskusinya di
kelas. Model investigasi kelompok merupakan model pembelajaran
yang melatih para siswa berpartisipasi dalam pengembangan sistem
sosial dan melalui pengalaman, secara bertahap belajar bagaimana
menerapkan metode ilmiah untuk meningkatkan kualitas
masyarakat. Model ini merupakan bentuk pembelajaran yang
mengkombinasikan dinamika proses demokrasi dengan proses
inquiry akademik. Melalui negosiasi siswa-siswa belajar
pengetahuan akademik dan mereka terlibat dalam pemecahan
masalah sosial. Dengan demikian kelas harus menjadi sebuah
miniatur demokrasi yang menghadapi masalah-masalah dan melalui
pemecahan masalah, memperoleh pengetahuan dan menjadi sebuah
kelompok sosial yang lebih efektif.
240
investigasi kelompok dapat digunakan dalam berbagai situasi dan
dalam berbagai bidang studi serta berbagai tingkat usia.
241
disebutkan pula bahwa prinsip belajar menurut paham behavioristik
adalah suatu cara untuk mengubah tingkah laku. Oleh karena itu
tugas guru yang utama adalah menciptakan tingkah laku yang
diharapkan dapat meningkat.
242
kegiatan belajar. Perubahan tingkah laku ini oleh Krathwohl dan
Bloom disusun dalam bukunya Taxonomi of Education Objectives,
yang mencangkup ranah kognisi, afeksi dan psikomotorik. Prestasi
belajar akan tampak pada perubahan perilaku individu yang belajar.
Seseorang yang belajar akan mengalami perubahan perilaku sebagai
akibat kegiatan belajarnya. Pengetahuan dan keterampilannya
bertambah, dan penguasaan nilai-nilai dan sikapnya bertambah
pula. Perubahan perilaku sebagai prestasi belajar diklasifikasikan
menjadi tiga domain yaitu : kognitif, afektif, dan psikomotor
(Krathwohl & Bloom dalam Siddiq, dkk. 2008:1-5). Domain
kognitif meliputi perilaku daya cipta, yaitu berkaitan dengan
kemampuan intelektual manusia, antara lain: kemampuan
mengingat (knowledge), memahami (comprehension), menerapkan
(application), menganalisis (analysis), mensintesis (synthesis), dan
mengevaluasi (evaluation).
243
menekankan pada guru sebagai pusat informasi dan siswa sebagai
penerima informasi.
244
dari para ahli. Selama ini dikenal berbagai model PTK, namun
pada dasarnya terdapat empat tahap yang harus dilalui yaitu (1)
perencanan (planning), (2) pelaksanaan (acting), (3) pengamatan
(observing), dan (4) refleksi (reflecting). Keempat tahap tersebut
merupakan satu siklus dan akan dapat berlanjut kepada siklus
kedua, siklus ketiga dan seterusnya sesuai dengan apa yang
diinginkan dalam penelitian.
Perencanaan
Pengamatan
Perencanaan
Pengamatan
1. Perencanaan Tindakan
Adapun perencanaan yang dilakukan untuk melaksanankan
penelitian tindakan kelas adalah sebagai berikut.
245
1) Berkoordinasi dengan kepala sekolah untuk melaksanakan
penelitian
2) Melakukan refleksi awal dengan melihat prestasi belajar PPKN
siswa sebelum dilaksanakan penelitian.
3) Melakukan analisis kurikulum untuk mengetahui standar
kompetensi, kompetensi dasar dan menyusun silabus yang
disampaikan kepada siswa dengan menggunakan pendekatan
saintifik berbasis lingkungan.
4) Menyusun Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP)
dilengkapi LKS yang dirancang. Langkah-langkah
pembelajarannya diarahkan pada pendekatan saintifik berbasis
lingkungan untuk materi yang diajarkan.
5) Menyusun lembar penilaian dan tes/evaluasi berupa tes prestasi
belajar dan kuesioner motivasi belajar.
6) Membuat ringkasan materi yang dibahas.
7) Membuat instrumen untuk penelitian tindakan kelas berupa
lembar refleksi .
2. Pelaksanaan Tindakan
Dalam pelaksanaan ini disusun sesuai dengan tahap pelaksanaan
penerapan model pembelajaran GI berbantuan media audio visual
dalam mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam untuk mengetahui
prestasi belajar siswa. Pada setiap siklus penelitian terdiri dari 4 kali
pertemuan. 3 kali pertemuan untuk melaksanakan proses pembelajaran
dan 1 kali pertemuan untuk melaksanakan evaluasi atau tes prestasi
belajar dan mengukur motivasi belajar siswa. Langkah-langkahnya
adalah sebagai berikut.
246
learning komunity, menetukan skor awal, mengatur tempat duduk
dan melakukan kegiatan apersepsi.
2) Pelaksanaan pembelajaran
Langkah-langkah dalam pelaksanaan tindakan ini adalah
dilaksanakan sesuai dengan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran
(RPP) yang telah disusun dan disiapkan dengan menerapkan tahap-
tahap model pembelajaran GI berbantuan media audio visual.
3. Observasi / Evaluasi
Pada pertemuan ke 4, guru melaksanakan tes prestasi belajar
dan mengukur motivasi belajar siswa. Kegiatan yang dilakukan pada
tahap evaluasi yaitu memberikan lembar tes evaluasi kepada siswa
yang bertujuan untuk mengetahui prestasi belajar siswa dan kuesioner
motivasi belajar untuk mengetahui tingkat motivasi belajar siswa
setelah dilaksanakannya pembelajaran dengan model pembelajaran GI
berbantuan media audio visual. Hasil evaluasi akan menjadi acuan bagi
peneliti dalam merancang pembelajaran pada siklus berikutnya (siklus
II).
4. Refleksi
Refleksi ini dilakukan untuk melihat dan mengkaji hasil
tindakan pada siklus I mengenai prestasi belajar PPKN dan motivasi
belajar siswa. Hasil kajian tindakan siklus I ini, selanjutnya dipikirkan
untuk dicari dan ditetapkan beberapa alternatif tindakan baru yang
diduga lebih efektif untuk meningkatkan prestasi belajar PPKN.
Alternatif tindakan ini ditetapkan menjadi tindakan baru pada rencana
tidakan dalam penelitian
247
perolehan skor nilai secara klasikal yaitu 2465 dan rata rata
kelas VIII A 68,47, dimana siswa yang mencapai persentase
ketuntasan belajar 47,22%, dan yang tidak mencapai
ketuntasan adalah 52,77%, dengan tuntutan KKM untuk mata
pelajaran PPKN kelas VIII A SMP Negeri 2 Gianyar adalah
dengan nilai 75.
2) Hasil pada siklus I:
Pada siklus I sudah diupayakan untuk perbaikan
pembelajaran untuk meningkatkan prestasi belajar PPKN
dengan menggunakan model pembelajaran group
investigation. Peneliti telah giat melakukan kegiatan yang
susuai dengan kebenaran teori yang ada sehingga peneliti
memperoleh hasil yang lebih baik dari proses awal, yaitu
dengan rata rata nilai 76,25 dari jumlah nilai 2745 seluruh
siswa di kelas VIII A SMP Negeri 2 Gianyar, dan prosentase
ketuntasan belajarnya adalah 77,77%, yang tidak tuntas adalah
22,22%. Hasil ini belum maksimal, karena belum mecapai
indikator keberhasilan penelitian yang mencanangkan dengan
minimal prosentase ketuntasan belajar 85%.
248
PPKN di kelas VIII A SMP Negeri 2 Gianyar, dimana hasil
yang diperoleh pada siklus II ini ternyata prestasi belajar
PPKN meningkat secara signifikan dengan nilai rata-rata
83,19, dan ketuntasan belajarnya adalah 100%.
249
Grafik 01: Grafik Histogram Prestasi belajar PPKN siswa
kelas VIII A SMP Negeri 2 Gianyar semester II tahun pelajaran
2013/2014
4.2 Pembahasan
Data awal yang diperoleh dengan rata-rata 68,47 menunjukkan
bahwa kemampuan siswa dalam mata pelajaran PPKN masih sangat
rendah mengingat kriteria ketuntasan belajar siswa untuk mata
pelajaran ini di SD N 3 Siangan adalah 75,00 Dengan nilai yang
sangat rendah seperti itu maka peneliti mengupayakan untuk dapat
meningkatkan prestasi belajar anak/siswa menggunakan
metode/model pembelajaran group investigation Akhirnya dengan
penerapan metode/model pembelajaran group investigation yang
benar sesuai teori yang ada, peningkatan rata-rata prestasi belajar
anak/siswa pada siklus I dapat diupayakan dan mencapai rata-rata
76,25. Namun rata-rata tersebut belum maksimal karena hanya 28
siswa memperoleh nilai di atas KKM sedangkan yang lainnya
250
belum mencapai KKM. Sedangkan prosentase ketuntasan belajar
mereka baru mencapai 77,77%. Hal tersebut terjadi akibat
penggunaan metode/model pembelajaran group investigation
belum maksimal dapat dilakukan disebabkan penerapan
model/metode tersebut baru dicobakan sehingga guru masih belum
mampu melaksanakannya sesua alur teori yang benar.
251
disampaikan bahwa pencapaian tujuan penelitian di atas dapat
dibuktikan dengan argumentasi sebagai berikut.
g) Dari data awal ada 19 siswa mendapat nilai dibawah KKM dan
pada siklus I menurun menjadi 8 siswa dan siklus II tidak ada
siswa mendapat nilai di bawah KKM.
h) Nilai rata-rata awal 68,47 naik menjadi 76,25 pada siklus I dan
pada siklus II naik menjadi 83,19.
i) Dari data awal siswa yang tuntas hanya 17 orang sedangkan
pada siklus I menjadi lebih banyak yaitu 28 siswa dan pada
siklus II semua siswa mampu memperoleh nilai
sandar/melampaui KKM.
Paparan di atas membuktikan bahwa model/metode
pembelajaran group investigation dapat memberi jawaban sesuai
tujuan penelitian ini yaitu dapat meningkatkan prestasi belajar
PPKN siswa kelas VIII A. Semua ini dapat dicapai karena
model/metode pembelajaran group investigation sangat efektif
diterapkan dalam proses pembelajaran yang mengakibatkan siswa
aktif, antusias dan dapat memahami materi yang diajarkan sehingga
prestasi belajar siswa menjadi meningkat.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, Mulyono. 1999. Pendidikan bagi Anak Berkesulitan
Belajar.Jakarta: Rineka Cipta.
Ali, M.S. 2002. Prestasi belajar Fisika Ditinjau dari Beberapa faktor
Psikologis.Disertasi.IKIP Jakarta.
252
Amien, Moh. 1996. Perkembangan Intelektual Siswa SMP. Jurnal
IlmuPendidikan.Jilid3 No. 4.Jakarta : LPTK dan ISPI.
253
MENGOPTIMALKAN MODEL PEMBELAJARAN INQUIRI
UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR BAHASA
INDONESIA SISWA KELAS VIII F
SMP NEGERI 3 GIANYAR
SEMESTER I TAHUN PELAJARAN 2015/2016
Oleh :
NI MADE SUARTINI
ABSTRACT
So that knowledge can be exploited children in daily life All the
activities of the student in learning directed to seek and find yourself
from something that I learned to be useful and meaningful to the lives
of the growth and development of students, which is expected to foster
an attitude of confidence and introspective so student achievement can
be increased. Therefore, the objective of this classroom action research
conducted on students of class VIII SMP Negeri 3 F in Gianyar in the
first semester of the school year 2015/2016 is to improve learning
outcomes Indonesian Student Class VIII SMP Negeri 3 F Gianyar the
first semester of the school year 2015/2016. This involves a class action
research class VIII F as a subject of research conducted in two cycles
through the stages of planning, implementation, observation and
reflection.
Indonesian in SD aims to make students able to develop basic
knowledge and skills useful for him in everyday life. Teaching
Indonesian aims to make students able to develop an understanding of
language skills early on, so that students have pride as a nation of
Indonesia and the love of the homeland. Achievement test is a tool used
to collect research data were then analyzed using descriptive analysis.
Results obtained from this study showed an increased ability of
students in the learning process from the initial average 72.63 increased
to 77.57 in the first cycle and increased to 80.42 on skilus II, with early
254
learning completeness 48.48% in the first cycle increased to 63.63%
and the second cycle increased to 96.96%. The conclusions that can be
drawn from these results is the application of Enquiry learning model in
the implementation of the learning process can improve learning
outcomes Indonesian eighth grade students of SMP Negeri 3 F Gianyar.
255
berpartisipasi aktif serta memberikan ruang yang cukup bagi
prakarsa, kreativitas dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat,
dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik. Karena itu
orientasi pembelajaran harus ditekankan kepada peserta didik
sebagai subjek, yang harus aktif dan kreatif melaksanakan proses
pembelajaran dengan arahan dan bantuan dari guru.
256
2.1 Model Pembelajaran Inquiri
Penelitian Tindakan Kelas (PTK) pertama kali
diperkenalkan oleh ahli psikologi social amerika yang bernama
Kurt Lewin pada tahun 1946. Inti gagasan Lewin inilah yang
selanjutnya dikembangkan oleh ahli-ahli lain seperti Stephen
Kemmis Robin Mc. Taggart, John Eliot, Dave Ebbutt dan
sebagainya. Di Indonesia sendiri PTK baru dikenal pada akhir
decade 80-an.
257
keingintahuan akan segala sesuatu tersebut dan akan belajar untuk
menganalisis strategi berpikirnya tersebut; 3) Strategi baru dapat
diajarkan secara langsung dan ditambahkan/digabungkan dengan
strategi lama yang telah dimiliki siswa; 4) Penelitian kooperatif
(cooperative inquiry) dapat memperkaya kemampuan berpikir dan
membantu siswa belajar tentang suatu ilmu yang senantiasa bersifat
tentatif dan belajar menghargai penjelasan atau solusi altematif.
2. 2 Hasil Belajar
Hasil belajar mempunyai arti dan manfaat yang sangat
penting bagi anak didik, pendidik, orang tua/wali murid dan sekolah,
258
karena nilai atau angka yang diberikan merupakan manifestasi dari
hasil belajar siswa dan berguna dalam pengambilan keputusan atau
kebijakan terhadap siswa yang bersangkutan maupun sekolah. Hasil
belajar merupakan kemampuan siswa
259
belajar dengan hapalan, dapat memberikan tambahan kemampuan
untuk dapat mengasimilasikan dan mengakomodasikan informasi,
serta menuntut latihan-latihan khusus untuk mempertinggi daya
ingat dengan berlatih untuk dapat menemukan sendiri sesuatu yang
penting dalam materi yang diberikan. Dengan cara kerja yang
sedemikian rupa sudah dapat diyakini bahwa metode ini akan dapat
memecahkan masalah yang ada.
260
Untuk penelitian ini penulis memilih rancangan penelitian
tindakan yang disampaikan oleh Kemmis dan Mc. Taggart seperti
terlihat pada gambar berikut:
Penelitian tindakan kelas ini terdiri dari tiga tahap pada satu
siklus, apabila dalam tindakan kelas ini ditemukan kekurangan dan
tidak terciptanya target yang telah ditentukan, maka ini ditemukan
dan tidak tercapainya target yang telah ditentukan, maka diadakan
perbaikan pada perencanaan dan pelaksanaan siklusberikutnya.
Model yang digunakan dalam penelitian ini adalah model spiral
Kemmis dan Mc Taggart dengan melalui beberapa siklus tindakan
dan terdiri dari empat komponen
261
b. Tindakan yaitu apa yang dilakukan oleh guru atau peneliti sebagai
upaya perbaikan, peningkatan atau perubahan yang diinginkan.
262
2560 seluruh siswa di kelas VIII F SMP Negeri 3 Gianyar, dan
prosentase ketuntasan belajarnya adalah 63,63%, yang tidak
tuntas adalah 36,36%. Hasil ini belum maksimal, karena belum
mecapai indikator keberhasilan penelitian yang mencanangkan
dengan minimal prosentase ketuntasan belajar 85%.
SIKLUS
DATA AWAL SIKLUS I VARIABEL
II
Skor Nilai 2397 2560 2654 Hasil Belajar
Rata Rata Bahasa
72,63 77,57 80,42
Kelas Indonesia
Persentase Dengan
48,48% 63,63% 96,96%
Ketuntasan KKM = 78
263
Grafik 01: Grafik Histogram Hasil Belajar Bahasa Indonesia siswa
kelas VIII F semester II tahun pelajaran 2015/2016 SMP Negeri 3
Gianyar
4.2 Pembahasan
Data awal yang diperoleh dengan rata-rata 72,63 menunjukkan
bahwa kemampuan siswa dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia
masih sangat rendah mengingat kriteria ketuntasan belajar siswa
untuk mata pelajaran ini di SMP Negeri 3 Gianyar adalah 78,00
Dengan nilai yang sangat rendah seperti itu maka peneliti
mengupayakan untuk dapat meningkatkan hasil belajar anak/siswa
menggunakan metode/model pembelajaran inquiri Akhirnya
dengan penerapan metode/model pembelajaran inquiri yang benar
sesuai teori yang ada, peningkatan rata-rata hasil belajar anak/siswa
pada siklus I dapat diupayakan dan mencapai rata-rata 77,57.
264
Namun rata-rata tersebut belum maksimal karena hanya 21 siswa
memperoleh nilai di atas KKM sedangkan yang lainnya belum
mencapai KKM. Sedangkan prosentase ketuntasan belajar mereka
baru mencapai 63,63%. Hal tersebut terjadi akibat penggunaan
metode/model pembelajaran inquiri belum maksimal dapat
dilakukan disebabkan penerapan model/metode tersebut baru
dicobakan sehingga guru masih belum mampu melaksanakannya
sesua alur teori yang benar.
265
Bahasa Indonesia siswa kelas VIII F SD Negeri 3 Sianga semester I
tahun pelajaran 2015/2016 dapat ditingkatkan melalui penerapan
model pembelajaran inquiri. Berdasarkan semua hasil tindakan
yang dilakukan, baik siklus I maupun siklus II mulai dari
perencanaan, pelaksanaan, pengamatan/observasi dan refleksi dapat
disampaikan hal-hal berikut:
1. Pelaksanaan kegiatan awal dimana model pembelajaran yang
digunakan tidak menentu, termasuk pula metode ajar yang
digunakan hanya sekedar terlaksana membuat nilai siswa pada
mata pelajaran Bahasa Indonesia rendah dengan rata-rata 72,63
yang masih jauh dari kriteria ketuntasan minimal pada mata
pelajaran ini yaitu 78.
2. Setelah dilakukan perencanaan yang lebih matang
menggunakan model pembelajaran Inquiri yang dilanjutkan
dengan pelaksanaannya di lapangan yang benar sesuai teori
yang ada dan dibarengi dengan pemberian tes atau observasi
secara objektif akhirnya terjadi peningkatan dari nilai rata-rata
awal 72,63 menjadi rata-rata 77,57. Demikian juga terjadi
peningkatan dari nilai rata-rata 77,57 pada siklus I meningkat
menjadi 80,42 pada siklus II.
3. Seperti kebenaran tujuan pelaksanaan Penelitian Tindakan Kelas (PTK)
yaitu untuk peningkatan proses pembelajaran, maka upaya-upaya yang
maksimal telah dilakukan dengan sangat giat sehingga hasil yang
diharapkan sesuai perolehan data telah mampu memberi jawaban
terhadap rumusan masalah dan tujuan penelitian ini.
266
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suharsimi; Suhardjono; Supardi. 2006. Penelitian Tindakan
Kelas. Jakarta: PT Bumi Aksara
267
PENERAPAN METODE PEMBELAJARAN ROLE
PLAYING UNTUK MENINGKATKAN PRESTASI
BELAJAR MATEMATIKA SISWA KELAS II SD
NEGERI 1 SERONGGA SEMESTER II TAHUN
PELAJARAN 2015/2016
Oleh :
PANDE KETUT TERIMA
ABSTRACT
268
I. PENDAHULUAN
Pendidikan merupakan kebutuhan mutlak bagi kehidupan
manusia yang harus dipenuhi. Tanpa pendidikan mustahil manusia
dapat berkembang secara baik. Pendidikan dapat diartikan sebagai
sebuah proses dengan metode-metode tertentu sehingga orang
memperoleh pengetahuan, pemahaman, dan cara bertingkah laku
yang sesuai dengan kebutuhan. Penyelenggaraan pendidikan di
Indonesia menurut UU Nomor 20 Tahun 2003 pasal 1 ayat (2)
disebutkan bahwa suatu Pendidikan Nasional adalah pendidikan
yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang
berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan
tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman.
Pendidikan adalah usaha sadar yang dilakukan oleh keluarga,
masyarakat dan pemerintah, melalui kegiatan bimbingan,
pengajaran, dan latihan, yang berlangsung di sekolah dan di luar
sekolah, untuk mempersiapkan peserta didik agar dapat
memainkan peranan dalam berbagai lingkungan hidup secara tepat
di masa yang akan datang.
Tujuan dari suatu proses pembelajaran adalah untuk
membentuk anak didik dalam suatu perkembangan tertentu. Dalam
suatu proses belajar mengajar, aspek yang sangat penting untuk
mencapai tujuan tersebut adalah peran aktif atau partisipasi antara
guru dan siswa. Partisipasi antara keduanya sangat berpengaruh
terhadap pencapaian tujuan pembelajaran yang diinginkan. Hal ini
dapat diartikan bahwa dalam suatu proses belajar mengajar harus
ada keterlibatan antara guru dan siswa. Proses belajar itu sendiri
merupakan hal yang sangat penting, dimana proses tersebut terjadi
269
di dalam pemikiran siswa. Keterlibatan siswa dalam proses belajar
mengajar merupakan suatu implementasi dari keaktifan siswa
dalam proses tersebut tentu saja disamping menerima materi
pelajaran dari guru siswa juga aktif baik dari segi fisik maupun
mental. Dalam Permendiknas No. 22 Tahun 2006 tentang Standar
Isi bahwa : mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan
merupakan mata pelajaran yang memfokuskan pada pembentukan
warga Negara yang memahami dan mampu melaksanakan hak-hak
dan kewajibannya untuk menjadi warga Negara Indonesia yang
cerdas, terampil, dan berkarakter yang diamanatkan oleh Pancasila
dan UUD 1945.
270
mendramatisasikan tingkah laku, atau ungkapan gerak-gerik wajah
seseorang dalam hubungan sosial dengan manusia. Martinis Yamin
menyatakan metode sosiodrama atau bermain peran adalah metode
yang melibatkan interaksi antara dua siswa atau lebih tentang suatu
topik atau situasi siswa melakukan peran masing-masing sesuai
dengan tokoh yang ia lakukan. Mereka berinteraksi dengan sesama
dan melakukan peran secara terbuka. Interaksi pembelajaran yang
seperti itu akan menjadikan siswa menjadi aktif sehingga
pembelajaran menjadi lebih hidup.
271
c. Kelebihan Metode Role Playing (Bermain Peran)
272
sehingga siswa dapat memahami materi yang disampaikan dengan
mudah yang tentunya akan berpengaruh terhadap meningkatnya
minat dan prestasi belajar siswa.
273
untuk mengaplikasikan nilai-nilai yang ada dalam pembelajaran
Matematika. Penuturan tersebut menghasilkan kesimpulan prestasi
belajar Matematika adalah tinggi rendahnya tingkat penataan nalar,
pembentukan sikap serta keterampilan siswa dalam pembelajaran
Matematika dengan menggunakan metode role playing.
274
Apabila langkah-langkah metode role playing dilaksanakan
sesuai kebenaran teori, maka dapat meningkatkan prestasi belajar
siswa kelas II SD Negeri 1 Serongga.
275
TINDAKAN DAUR I
Tindakan perlu perbaikan DAUR 2
dst
Penerapan Definisi Penerapan Redefine
masalah problem
276
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil
1) Hasil yang diperoleh dari kegiatan awal:
Hasil yang menunjukan perolehan nilai rata rata kelas
hasil belajar Matematika masih sangat rendah, yaitu dengan
perolehan skor nilai secara klasikal yaitu 2755 dan rata rata
kelas 59,89, dimana siswa yang mencapai persentase
ketuntasan belajar 45,65%, dan yang tidak mencapai ketuntasan
adalah 54,34%, dengan tuntutan KKM untuk mata pelajaran
Matematika kelas II SD Negeri 1 Serongga adalah dengan nilai
65.
2) Hasil pada siklus I:
Pada siklus I sudah diupayakan untuk perbaikan
pembelajaran untuk meningkatkan hasil belajar Matematika
dengan menggunakan model pembelajaran role playing. Peneliti
telah giat melakukan kegiatan yang susuai dengan kebenaran
teori yang ada sehingga peneliti memperoleh hasil yang lebih
baik dari proses awal, yaitu dengan rata rata nilai 64,89 dari
jumlah nilai 2985 seluruh siswa di kelas II SD Negeri 1
Serongga, dan prosentase ketuntasan belajarnya adalah 67,39%,
yang tidak tuntas adalah 32,60%. Hasil ini belum maksimal,
karena belum mecapai indikator keberhasilan penelitian yang
mencanangkan dengan minimal prosentase ketuntasan belajar
80%.
3) Pada siklus II ,
Dengan tindakan yang sangat maksimal dan pelaksanaan
yang betul-betul mengikuti kebenaran teori sesuai dengan
277
model pembelajaran role playing dalam pembelajaran
Matematika di kelas II SD Negeri 1 Serongga , dimana hasil
yang diperoleh pada siklus II ini ternyata hasil belajar
Matematika meningkat secara signifikan dengan nilai rata-rata
73,15, dan ketuntasan belajarnya adalah 100%.
Semua hasil yang diperoleh dari awal, siklus I dan siklus II
digambarkan dalam bentuk tabel dan grafik seperti berikut
Tabel 01 : Tabel Data Hasil Belajar Siswa kelas II SD Negeri 1
Serongga
SIKLUS SIKLUS
DATA AWAL VARIABEL
I II
278
4.2 Pembahasan
Data awal yang diperoleh dengan rata-rata 59,89 menunjukkan
bahwa kemampuan siswa dalam mata pelajaran Matematika masih
sangat rendah mengingat kriteria ketuntasan belajar siswa untuk
mata pelajaran ini di SD Negeri 1 Serongga adalah 65,00. Dengan
nilai yang sangat rendah seperti itu maka peneliti mengupayakan
untuk dapat meningkatkan prestasi belajar siswa menggunakan
model pembelajaran role playing. Akhirnya dengan penerapan
metode role playing yang benar sesuai teori yang ada, peningkatan
rata-rata prestasi belajar siswa pada siklus I dapat diupayakan dan
mencapai rata-rata 64,89. Namun rata-rata tersebut belum maksimal
karena hanya 31 siswa memperoleh nilai di atas KKM sedangkan
279
yang lainnya belum mencapai KKM. Sedangkan presentase
ketuntasan belajar mereka baru mencapai 67,39%. Hal tersebut
terjadi akibat penggunaan metode role playing belum maksimal
dapat dilakukan disebabkan penerapan model tersebut baru
dicobakan sehingga guru masih belum mampu melaksanakannya
sesuai alur teori yang benar.
Pada siklus ke-II perbaikan prestasi belajar siswa diupayakan
lebih maksimal dengan peneliti membuat perencanaan yang lebih
baik, menggunakan alur dan teori dari metode role playing dengan
benar dan lebih maksimal. Peneliti giat memotivasi siswa agar giat
belajar, memberi arahan-arahan, menuntun mereka untuk mampu
menguasai materi pelajaran pada mata pelajaran Matematika lebih
optimal. Akhirnya dengan semua upaya tersebut peneliti mampu
meningkatkan prestasi belajar siswa pada siklus II menjadi rata-
rata 73,15. Tidak ada siswa memperoleh nilai di bawah KKM
sedangkan yang lainnya sudah mencapai KKM. Sedangkan
presentase ketuntasan belajar mereka sudah mencapai 100%.
Upaya-upaya yang maksimal tersebut menuntun kepada penelitian
bahwa metode role playing mampu meningkatkan prestasi belajar
siswa. Karena presentase ketuntasan sudah mencapai 80% maka
siklus II dikatakan tuntas dan tidak perlu dilakukan penelitian pada
siklus berikutnya.
280
mencoba metode role playing dalam upaya untuk dapat
memecahkan permasalahan yang ada.
Bertumpu pada rendahnya prestasi belajar siswa yang
disampaikan pada latar belakang masalah, penggunaan metode role
playing diupayakan untuk dapat menyelesaikan tujuan penelitian
ini yaitu untuk mengetahui peningkatan prestasi belajar. Seberapa
besar peningkatan yang dicapai sudah dipaparkan dengan jelas
pada akhir analisis. Dari hasil penelitian yang disampaikan di Bab
IV dan melihat semua data yang telah disampaikan, tujuan
penelitian yang disampaikan di atas dapat dicapai dengan bukti
sebagai berikut:
a. Dari data awal ada 25 siswa mendapat nilai di bawah KKM dan
pada siklus I menurun menjadi 15 siswa dan siklus II tidak ada
siswa mendapat nilai di bawah KKM.
b. Dari rata-rata awal 59,89 naik menjadi 67,39 pada siklus I dan
pada siklus II naik menjadi 73,15.
c. Dari data awal siswa yang tuntas hanya 21 orang sedangkan
pada siklus I menjadi lebih banyak yaitu 31 siswa dan semua
siswa mampu memperoleh nilai standar/melampaui KKM
Dari semua data pendukung pembuktian pencapaian tujuan
pembelajaran dapat disampaikan bahwa metode role playing dapat
memberi jawaban yang diharapkan sesuai tujuan penelitian ini,
yaitu dapat meningkatkan prestasi belajar matematika siswa kelas
II SD negeri 1 Serongga semester II tahun pelajaran 2015/2016.
Semua ini dapat dicapai adalah akibat kesiapan dan kerja keras
peneliti dari sejak pembuatan proposal, review hal-hal yang belum
bagus bersama teman-teman guru, penyusunan kisi-kisi dan
281
instrumen penelitian, penggunaan sarana trianggulasi data sampai
pada pelaksanaan penelitian yang maksimal.
Saran
Berdasarkan temuan yang sudah disimpulan dari hasil
penelitian, dalam upaya mencapai tujuan pembelajaran dalam
bidang studi Matematika, dapat disampaikan saran-saran sebagai
berikut:
1) Dalam melaksanakan proses pembelajaran pada mata pelajaran
Matematika, penggunaan metode role playing semestinya
menjadi pilihan dari beberapa model yang ada mengingat model
ini telah terbukti dapat meningkatkan kerjasama, berkreasi,
bertindak aktif, bertukar informasi, mengeluarkan pendapat,
bertanya, berdiskusi, berargumentasi dan lain-lain.
2) Walaupun penelitian ini sudah dapat membuktikan efek utama
dari metode role playing dalam meningkatkan prestasi belajar,
sudah pasti dalam penelitian ini masih ada hal-hal yang belum
sempurna dilakukan.
3) Selanjutnya untuk adanya penguatan-penguatan, diharapkan
bagi peneliti lain untuk melakukan penelitian lanjutan guna
verifikasi data hasil penelitian.
DAFTAR PUSTAKA
282
Andayani, dkk (2008). Pemantapan Kemampuan Profesional. Jakarta :
Universitas Terbuka.
283
PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN INQUIRI
UNTUK MENINGKATKAN PRESTASI BELAJAR PKn
SISWA KELAS VI SD NEGERI 3 SIANGAN
SEMESTER I TAHUN PELAJARAN 2015/2016
Oleh :
I Made Wiratmaja
ABSTRACT
284
Keywords: Learning Model Enquiry, learning achievement
I. PENDAHULUAN
PKn sebenarnya merupakan mata pelajaran hafalan atau
ingatan, tetapi menjadi kendala bagi siswa, terutama bagi siswa-
siswi SD. Hal ini disebabkan oleh keluasaan materi mata pelajaran
ini. Guru berperan aktif berinovasi dalam proses pembelajaran agar
proses pembelajaran dapat hidup didalam kelas sehingga siswa
tumbuh rasa senang didalam didalam menerima pelajaran yang
ditransper oleh gurunya. Peserta didik akan memperoleh pendidikan
bermakna apabila pengetahuan dibangun dengan dasar informasi
yang didapat secara alami. Untuk mencapai tujuan tersebut,
lingkungan belajar harus dibangun sedemikian rupa untuk
memberikan pemahaman dan menjelaskan secara kongkret teori-
teori atau konsep-konsep yang disampaikan kepada anak agar
pengetahuan dapat dimanfaatkan anak dalam kehidupan sehari-hari.
285
sebagai subjek, yang harus aktif dan kreatif melaksanakan proses
pembelajaran dengan arahan dan bantuan dari guru.
286
Kurt Lewin pada tahun 1946. Inti gagasan Lewin inilah yang
selanjutnya dikembangkan oleh ahli-ahli lain seperti Stephen
Kemmis Robin Mc. Taggart, John Eliot, Dave Ebbutt dan
sebagainya. Di Indonesia sendiri PTK baru dikenal pada akhir
decade 80-an.
287
(cooperative inquiry) dapat memperkaya kemampuan berpikir dan
membantu siswa belajar tentang suatu ilmu yang senantiasa bersifat
tentatif dan belajar menghargai penjelasan atau solusi altematif.
288
kebijakan terhadap siswa yang bersangkutan maupun sekolah. Prestasi
belajar merupakan kemampuan siswa
yang dapat diukur, berupa pengetahuan, sikap dan keterampilan yang
dicapai siswa dalam kegiatan belajar mengajar.
Djamarah (1994:23) mendefinisikan prestasi belajar sebagai hasil yang
diperoleh berupa kesan-kesan yang mengakibatkan perubahan dalam diri
individu sebagai hasil dari aktivitas dalam belajar.Kalau perubahan
tingkah laku adalah tujuan yang mau dicapai dari aktivitas belajar, maka
perubahan tingkah laku itulah salah satu indikator yang dijadikan
pedoman untuk mengetahui kemajuan individu dalam segala hal yang
diperolehnya di sekolah. Dengan kata lain prestasi belajar merupakan
kemampuan-kemampuan yang dimiliki oleh siswa sebagai akibat
perbuatan belajar atau setelah menerima pengalaman belajar, yang
dapat dikatagorikan menjadi tiga ranah, yakni ranah kognitif, afektif,
dan psikomotor.
289
ingat dengan berlatih untuk dapat menemukan sendiri sesuatu yang
penting dalam materi yang diberikan. Dengan cara kerja yang
sedemikian rupa sudah dapat diyakini bahwa metode ini akan dapat
memecahkan masalah yang ada.
290
Gambar 01. Gambar 3.1 Model PTK (Penelitian Tindakan Kelas)
Menurut Kemmis dan Mc Taggart (Arikunto, 2008:16)
Penelitian tindakan kelas ini terdiri dari tiga tahap pada satu
siklus, apabila dalam tindakan kelas ini ditemukan kekurangan dan
tidak terciptanya target yang telah ditentukan, maka ini ditemukan
dan tidak tercapainya target yang telah ditentukan, maka diadakan
perbaikan pada perencanaan dan pelaksanaan siklus berikutnya.
Model yang digunakan dalam penelitian ini adalah model spiral
Kemmis dan Mc Taggart dengan melalui beberapa siklus tindakan
dan terdiri dari empat komponen
b. Tindakan yaitu apa yang dilakukan oleh guru atau peneliti sebagai
upaya perbaikan, peningkatan atau perubahan yang diinginkan.
291
c. Observasi yaitu mengamati atas hasil atau dampak dari tindakan
yang dilaksanakan atau dikenakan terhadap siswa
292
indikator keberhasilan penelitian yang mencanangkan dengan
minimal prosentase ketuntasan belajar 80%.
293
4.2 Pembahasan
Data awal yang diperoleh dengan rata-rata 66,47 menunjukkan
bahwa kemampuan siswa dalam mata pelajaran PKn masih sangat
rendah mengingat kriteria ketuntasan belajar siswa untuk mata
pelajaran ini di SD N 3 Siangan adalah 70,00. Dengan nilai yang
sangat rendah seperti itu maka peneliti mengupayakan untuk dapat
meningkatkan prestasi belajar anak/siswa menggunakan
metode/model pembelajaran inquiri. Akhirnya dengan penerapan
metode/model pembelajaran inquiri yang benar sesuai teori yang
ada, peningkatan rata-rata prestasi belajar anak/siswa pada siklus I
dapat diupayakan dan mencapai rata-rata 71,12. Namun rata-rata
tersebut belum maksimal karena hanya 28 siswa memperoleh nilai
di atas KKM sedangkan yang lainnya belum mencapai KKM.
294
Sedangkan prosentase ketuntasan belajar mereka baru mencapai
70%. Hal tersebut terjadi akibat penggunaan metode/model
pembelajaran inquiri belum maksimal dapat dilakukan disebabkan
penerapan model/metode tersebut baru dicobakan sehingga guru
masih belum mampu melaksanakannya sesua alur teori yang benar.
295
disampaikan bahwa pencapaian tujuan penelitian di atas dapat
dibuktikan dengan argumentasi sebagai berikut.
4. Pelaksanaan kegiatan awal dimana model pembelajaran yang
digunakan tidak menentu, termasuk pula metode ajar yang
digunakan hanya sekedar terlaksana membuat nilai siswa pada
mata pelajaran PKn rendah dengan rata-rata 66,47 yang masih
jauh dari kriteria ketuntasan minimal pada mata pelajaran ini
yaitu 70.
5. Setelah dilakukan perencanaan yang lebih matang
menggunakan model pembelajaran Inquiri yang dilanjutkan
dengan pelaksanaannya di lapangan yang benar sesuai teori
yang ada dan dibarengi dengan pemberian tes atau observasi
secara objektif akhirnya terjadi peningkatan dari nilai rata-rata
awal 66,47 menjadi rata-rata 71,12. Demikian juga terjadi
peningkatan dari nilai rata-rata 71,12 pada siklus I meningkat
menjadi 78,75 pada siklus II.
6. Seperti kebenaran tujuan pelaksanaan Penelitian Tindakan
Kelas (PTK) yaitu untuk peningkatan proses pembelajaran,
maka upaya-upaya yang maksimal telah dilakukan dengan
sangat giat sehingga hasil yang diharapkan sesuai perolehan
data telah mampu memberi jawaban terhadap rumusan masalah
dan tujuan penelitian ini, yaitu model pembelajaran inquiri
mampu meningkatkan prestasi belajar PKn siswa.
Paparan di atas membuktikan bahwa model/metode
pembelajaran inquiri dapat memberi jawaban sesuai tujuan
penelitian ini yaitu dapat meningkatkan prestasi belajar PKn siswa
kelas VI SD Negeri 3 Siangan pada semester I tahun pelajaran
296
2015/2016. Semua ini dapat dicapai karena model/metode
pembelajaran inquiri sangat efektif diterapkan dalam proses
pembelajaran yang mengakibatkan siswa aktif, antusias dan dapat
memahami materi yang diajarkan sehingga prestasi belajar siswa
menjadi meningkat.
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suharsimi; Suhardjono; Supardi. 2006. Penelitian Tindakan
Kelas. Jakarta: PT Bumi Aksara
297
PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN
KOOPERATIF TIPE NHT (NUMBERED HEAD
TOGETHER) UNTUK MENINGKATKAN
KEAKTIFAN DAN HASIL BELAJAR IPA PADA
SISWA KELAS III SEMESTER II
DI SD NEGERI 2 PEJENG KELOD
TAHUN PELAJARAN 2015/2016
Oleh :
I WAYAN SIWI
ABSTRACT
I. PENDAHULUAN
Pendidikan merupakan aspek penting bagi pengembangan
sumber daya manusia.Pendidikan juga diyakini mampu
menanamkan pengalaman bagi semua orang untuk mempelajari
298
pengetahuan dan keterampilan sehingga dapat diperoleh manusia
yang produktif.Salah satu hal yang paling mendasardalam dunia
pendidikan adalah bagaimana usahauntuk menginovasi proses
pembelajaran sehingga memperoleh hasil yang maksimal.
Pelaksanaan pembelajaran di sekolah dasar menuntut banyak
inovasi dalam pelaksanaan proses pembelajaran dengan
memanfaatkan fasilitas yang tersedia di lingkungan sekitar sebagai
sarana belajar bagi siswa yang dapat menyenangkan. Namun, pada
kenyataannya masih banyak sarana dan prasarana yang ada di
lingkungan sekitar tempat belajar belum dapat dimanfaatkan
dengan maksimal, karena berbagai alasan seperti kurangnya waktu
belajar atau kurangnya persiapan pada penguasaan fasilitas belajar.
Proses pembelajaran di sekolah tidak hanya pengembangan
dalam aspek kognitif (pengetahuan) saja melainkan juga melalui
aspek sosial. Aspek sosial dapat dimulai dari cara siswa belajar
interaksi antar siswa dan dilanjutkan dengan pengembangan aspek
kognitif melalui salah satu pembelajaran yaitu IPA (Ilmu
Pengetahuan Sosial). BNSP (2006) menyatakan IPA mengkaji
seperangkat peristiwa, fakta, konsep, dan generalisasi yang
berkaitan dengan isu sosial Dewasa ini siswa SD, termasuk di
SD Negeri 2 Pejeng Kelod mengalami kesulitan dalam
mempelajari mata pelajaran IPA. Hal ini terbukti dari hasil belajar
siswa, sebagian besar memperoleh nilai kurang memuaskan atau di
bawah rata-rata Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM). Begitupun
dalam proses pembelajaran berlangsung, siswa jarang mengajukan
pertanyaan atau memberi tanggapan dan menjawab pertanyaan
299
yang diajukan guru. Dengan kata lain siswa tersebut pasif, tidak
mau bertanya dan tidak.
Ada beberapa faktor penyebab ketidakmampuan siswa dalam
pembelajaran IPA yaitu rendahnya motivasi siswa, model
pembelajaran yang diterapkan guru kurang inovatif, serta
minimnya penggunaan media pembelajaran. Motivasi adalah
faktor internal yang ada dalam diri siswa. Untuk meningkatkan
motivasi tersebut dapat ditingkatkan dengan penerapan model-
model pembelajaran yang inovatif sehingga siswa termotivasi
dalam mengikuti proses pembelajaran.
Dari uraian yang telah disampaikan, untuk meningkatkan hasil
belajar dan aktivitas belajar siswa di kelas III SD Negeri 2 Pejeng
Kelod, maka akan di lakukan penelitian perbaikan pembelajaran
dalam bentuk penelitian tingdakan kelas (PTK) dengan judul
Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif NHT (Numbered
Head Together) untuk meningkatkan keaktifan dan hasil belajar
pada siswa kelas III SD Negeri 2 Pejeng Kelod Tahun pelajaran
2015/2016
300
untuk berinteraksi satu dengan yang lainnya. Salah satu model
pembelajaran yang dapat digunakan guru adalah model pembelajaran
kooperatif. Pembelajaran kooperatif adalah kegiatan pembelajaran
dengan cara berkelompok untuk bekerja sama, saling membantu
mengkonstruksi konsep, menyelesaikan persoalan, atau inkuiri.
Suyatno (2006:51) mengatakan pembelajaran kooperatif
(Cooperative Learning) sesuai dengan sifat manusia sebagai makhluk
sosial yang penuh ketergantungan dengan orang lain, mempunyai
tujuan dan tanggung jawab bersama, pembagian tugas, dan rasa
senasib. Dengan pembelajaran kooperatif siswa dilatih dan dibiasakan
untuk saling berbagi (sharing) pengetahuan, pengalaman, tugas,
tanggung jawab. Saling membantu dan berlatih berinteraksi-
berkomunikasi-sosialisasi karena kooperatif adalah miniatur dari hidup
bermasyarakat, dan belajar menyadari kekurangan dan kelebihan
masing-masing.
Robert E. Slavin (2005: 8) mengemukakan bahwa, dalam model
pembelajaran kooperatif siswa akan duduk bersama dalam kelompok
yang beranggotakan 4 orang atau lebih yang heterogen untuk
menguasai materi yang disampaikan oleh guru. Dengan struktur siswa
yang heterogen maka dibutuhkan
sikap saling menghargai dan menghormati antaranggota, untuk
menyelesaikan tugas yang diberikan oleh guru. Sikap tersebut harus
dimiliki oleh setiap anggota kelompok untuk mencapai tujuan
pembelajaran yang telah ditentukan.
301
Dalam pembelajaran kooperatif terdapat beberapa tipe yang
dapat diterapkan, diantaranya yaitu: Jigsaw, Group Investigation,
Student Teams Achievement Division (STAD), tipe struktural Team
Game Turnament (TGT), Cooperative Integrated Reading Composition
(CIRC), dan Numbered Heads Together (NHT). Salah satu model
pembelajaran yang cocok dengan pembelajaran IPA adalah Numbered
Heads Together (NHT).
Model pembelajaran kooperatif tipe NHT dikembangkan oleh
Spencer Kagan (dalam Anita Lie, 2004: 59) mengemukakan bahwa,
teknik ini memberikan kesempatan kepada siswa untuk saling
membagikan ide-ide dan mempertimbangkan jawaban yang paling
tepat. Tenik ini juga dapat mendorong siswa untuk meningkatkan
semangat kerjasama siswa dan memudahkan dalam menelaah bahan
yang tercakup dalam suatu pelajaran dan mengecek pemahaman siswa
terhadap isi pelajaran tersebut.
Menurut Ibrahim (2000:28) (dalam Siswanto dan Rechana,
2011) Numbered heads Together (NHT) sebagai model pembelajaran
pada dasarnya merupakan sebuah variasi diskusi kelompok. Adapun
ciri khas dari NHT adalah
1. Kelompok Heterogen.
2. Setiap anggota kelompok memiliki nomor kepala yang berbeda-
beda.
3. Berpikir bersama (Heads Together).
Dalam pengertian lain Hamdani (2010:89) Numbered Heads
Together adalah metode belajar dengan cara setiap peserta didik diberi
nomor dan dibuat suatu kelompok, kemudian secara acak, guru
memanggil nomor dari peserta didik. Numbered Heads Together
302
(NHT) merupakan suatu model pembelajaran yang saling memberikan
kesempatan kepada anggotanya untuk saling membagikan ide dan
pertimbangan jawaban setepat-tepatnya dengan jalan musyawarah
dalam meningkatkan kerjasama mereka. Model ini mengedepankan
kepada aktivitas peseta didik dalam mencari, mengolah dari beberapa
temannya yang akhirnya dipresentasikan di depan kelas. Dengan
adanya diskusi kelompok, peserta didik dapat bekerja optimal baik
secara individu ataupun kelompok serta dapat memberikan kontribusi
nilai terhadap kelompoknya melalui peningkatan nilai individunya.
Pemberian reward kepada peserta didik diberikan kepada kelompok
yang memperoleh skor tertinggi.
303
oleh Natawijaya dalam Depdiknas (2005:31) yang mengatakan belajar
aktif adalah suatu sistem belajar mengajar yang menekankan keaktifan
siswa secara fisik, mental intelektual dan emosional guna memperoleh
hasil belajar berupa perpaduan antara aspek kognitif, afektif dan
psikomotor.
Belajar aktif sangat diperlukan oleh peserta didik untuk
mendapatkan hasil belajar yang maksimum. Ketika peserta didik pasif
hanya menerima informasi dari ceramah yang diberikan guru saja, akan
timbul kecenderungan mudah lupa, sehingga pembelajaran tidak
efektif. Dalam kegiatan pembelajaran, sangat dituntut keaktifan peserta
didik, dimana peserta didik adalah subjek yang banyak melakukan
kegiatan, sedangkan guru lebih banyak membimbing dan mengarahkan.
Berdasarkan beberapa pendapat diatas dalam penelitian ini
dapat disimpulkan bahwa keaktifan belajar adalah kegiatan dalam
pembelajaran yang dilakukan oleh peserta didik secara sadar maupun
tidak sadar dalam rangka memperoleh suatu pengalaman belajar yang
bermakna yang mencakup aspek kognitif, afektif dan psikomotor.
2.3 Hasil Belajar
2.3.1 Pengertian Hasil Belajar
Kegiatan belajar akan bermuara pada hasil belajar. Gagne
menyebutkan hasil belajar adalah pola pola perbuatan, nilai-nilai,
pengertian, sikap-sikap, apresiasi dan ketrampilan dalam ( Suprijono
2009:5).
Menurut Arikunto (2003:132), Hasil belajar adalah hasil yang
dicapai seseorang setelah melakukan kegiatan belajar dan merupakan
penialaian yang dicapai seseorang siswa untuk mengetahuai sejauh
mana materi pelajaran yang diajarkan sudah diterima siswa. Hasil
304
belajar tidak dapat dilepaskan dengan proses belajar. Hasil belajar
dapat dikatakan sebagai hasil kecakapan yang nyata dari proses belajar.
Seseorang yang mempunyai hasil yang baik berarti ia mendapatkan
hasil kecakapan yang nyata dari apa yang dipelajarinya.
Menurut Depdikbud (2003:6) Hasil belajar adalah penguasaan
pengetahuan siswa yang dikembangkan oleh mata pelajaran yang
lasimnya ditunjukan dengan nilai tes atau angka yang diberikan oleh
guru berdasarkan penilaian pada akhir pembelajaran.
Bloom (dalam Suprijono, 2009:6). menyebutkan hasil belajar
mengcangkup kemampuan kognitif , afektif, dan psikomotor. Domain
kognitif adalah knowledge (pengetahuan, ingatan), comprehension
(pemahaman, menjelaskan, meringkas, contoh), application
(menerapkan), analisis (menguraikan, menentukan hubungan),
synthesis (mengorganisasikan, merencanakan, membentuk bangunan
baru), dan evaluation (menilai). Domain afektif adalah receiving
(sikap menerima, responding (memberikan respons), valuing (nilai),
organization (organisasi), characterization (karakterisasi). Domain
psikomotor juga mencangkup ketrampilan produktif, teknik, fisik,
social, manajerial, dan intelektual.
Jadi hasil belajar adalah perubahan prilaku secara keseluruhan
bukan hanya salah satu aspek melainkan ketiga aspek yaitu kognitif,
afektif dan
305
anggotanya benar-benar berkembang sebagai insan sosial yang
rasional dan penuh tanggung jawab, sehingga oleh karenanya
diciptakan nilai-nilai. Pembelajaran IPA di sekolah dasar memberikan
pengetahuan dasar dan keterampilan sebagai media pelatihan bagi
siswa sebagai warga negara sedini mungkin. Karena pendidikan IPA
tidak hanya memberikan ilmu pengetahuan semata, tetapi berorientasi
pada pengembangan keterampilan berpikir kritis, sikap, dan
kecakapan-kecakapan dasar siswa yang berpijak pada kehidupan sosial
dan kemasyarakatan.
Buchari Alma (2003:148) mengemukakan pengertian IPA
sebagai suatu program pendidikan yang merupakan suatu keseluruhan
yang pada pokoknya mempersoalkan manusia dalam lingkungan alam
fisik, maupun dalam lingkungan sosialnya dan yang bahannya diambil
dari berbagai ilmu sosial, seperti geografi, sejarah, ekonomi,
antropologi, sosiologi, politik dan psikologi.
Hakikat pembelajaran IPA (Susanto: 138) adalah untuk
mengembangkan konsep pemikiran yang berdasarkan realita kondisi
sosial yang ada di lingkungan siswa, sehingga dengan memberikan
pendidikan IPA di harapkan dapat melahirkan warga negara yang baik
dan bertanggung jawab terhadap bangsa dan negaranya.
Jadi dapat disimpulkan pembelajaran IPA ialah suatu bidang
ilmu yang mengembangkan konsep pemikiran yang berorientasi pada
pengetahuan dan keterampilan dalam berinteraksi dengan sesama
sebagai anggota masyarakat.
306
2.5 Kerangka Berpikir
Pembelajaran adalah suatu proses yang di dalamnya terdapat
serangkaian hubungan timbal balik antara guru dan siswa dalam situasi
edukatif untuk mencapai tujuan yang telah dirumuskan. Untuk
mencapai tujuan tersebut, diperlukan suatu komponen yang mendukung
proses pembelajaran. Salah satunya adalah menggunakan model
pembelajaran yang bervariasi.
Pelaksanaan observasi dalam proses pembelajaran yang dilakukan
di kelas III SD Negeri 2 Pejeng Kelod, mengalami permasalahan
kurangnya motivasi siswa dalam belajar dan siswa cepat bosan. Hal ini
menuntut guru untuk mengembangkan atau menerapkan model
pembelajaran yang bervariasi. Salah satu model yang melibatkan siswa
aktif dalam proses pembelajaran adalah model pembelajaran kooperatif
tipe Numbered Head Together (NHT).
Pembelajaran kooperatif tipe NHT merupakan model
pembelajaran dengan menggunakan sistem pengelompokan yaitu,
antara 4 sampai 6 orang yang mempunyai latar belakang kemampuan
akademik, jenis kelamin, ras atau suku yang berbeda (heterogen).
Penerapannya dalam pembelajaran adalah siswa di dalam proses
pembelajaran dibentuk menjadi kelompok-kelompok kecil yang
heterogen dimana nantinya kelompok tersebut akan saling berinteraksi
satu dengan yang lainnya untuk menguasai suatu materi pelajaran.
Numbered Head Together (NHT) merupakan suatu model
pembelajaran yang saling memberikan kesempatan kepada anggotanya
untuk saling membagikan ide dan pertimbangan jawaban setepat-
tepatnya dengan jalan msyawarah dalam meningkatkan kerjasama
mereka. Model ini mengedepankan kepada aktivitas peserta didik
307
dalam mencari, mengolah dari beberapa temannya yang akhirnya
dipresentasikan di depan kelas. Jadi dengan model kooperatif tipe NHT
ini siswa dapat belajar secara kelompok dan saling bertukar pikiran satu
sama lainya.
308
Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas yang
akan dilaksanakan dalam dua siklus. Jika pada siklus pertama hasil
belajar IPA siswa belum memenuhi kriteria keberhasilan, maka
berdasarkan hasil refleksi akan dilakukan perbaikan pada siklus
selanjutnya. Secara operasional prosedur dasar pengembangan
tindakan yang akan dilakukan dapat dijabarkan sebagai berikut :
Untuk penelitian ini penulis memilih rancangan penelitian
tindakan yang disampaikan oleh Mc. Kernan seperti terlihat pada
gambar berikut. Model Mc. Kernan
TINDAKAN DAUR I
DAUR 2
Tindakan perlu perbaikan
dst
Penerapan Definisi Penerapan Redefine
masalah problem
309
Prosedur:
310
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil
1) Hasil yang diperoleh dari kegiatan awal:
Hasil yang menunjukan perolehan nilai rata rata kelas hasil
belajar IPA masih sangat rendah, yaitu dengan perolehan skor nilai
secara klasikal yaitu 1339 dan rata rata kelas 60,86, dimana siswa
yang mencapai persentase ketuntasan belajar 36,36%, dan yang
tidak mencapai ketuntasan adalah 63,63%, dengan tuntutan KKM
untuk mata pelajaran IPA kelas III SD Negeri 2 Pejeng Kelod
adalah dengan nilai 68.
2) Hasil pada siklus I:
Pada siklus I sudah diupayakan untuk perbaikan pembelajaran
untuk meningkatkan hasil belajar IPA dengan menggunakan model
pembelajaran bercakap-cakap. Peneliti telah giat melakukan
kegiatan yang susuai dengan kebenaran teori yang ada sehingga
peneliti memperoleh hasil yang lebih baik dari proses awal, yaitu
dengan rata rata nilai 67,09 dari jumlah nilai 1476 seluruh siswa
di kelas III SD Negeri 2 Pejeng Kelod, dan prosentase ketuntasan
belajarnya adalah 50%, yang tidak tuntas adalah 50%. Hasil ini
belum maksimal, karena belum mecapai indikator keberhasilan
penelitian yang mencanangkan dengan minimal prosentase
ketuntasan belajar 80%.
3). Pada siklus II ,
Dengan tindakan yang sangat maksimal dan pelaksanaan
yang betul-betul mengikuti kebenaran teori sesuai dengan model
pembelajaran bercakap-cakap dalam pembelajaran IPA di kelas III
SD Negeri 2 Pejeng Kelod , dimana hasil yang diperoleh pada
311
siklus II ini ternyata hasil belajar IPA meningkat secara signifikan
dengan nilai rata-rata 74,45, dan ketuntasan belajarnya adalah
95,45%.
Semua hasil yang diperoleh dari awal, siklus I dan siklus II
digambarkan dalam bentuk tabel dan grafik seperti berikut:
312
Grafik 01: Grafik Histogram Hasil Belajar IPA siswa kelas
III semester II tahun pelajaran 2015/2016 SD Negeri 2 Pejeng
Kelod
4.2 Pembahasan
Data awal yang diperoleh dengan rata-rata 60,86 menunjukkan
bahwa kemampuan siswa dalam mata pelajaran IPA masih sangat
rendah mengingat kriteria ketuntasan belajar siswa untuk mata
pelajaran ini di SD Negeri 2 Pejeng Kelod adalah 68,00 Dengan
nilai yang sangat rendah seperti itu maka peneliti mengupayakan
untuk dapat meningkatkan prestasi belajar anak/siswa
menggunakan metode/model pembelajaran NHT Akhirnya dengan
penerapan metode/model pembelajaran NHT yang benar sesuai
teori yang ada, peningkatan rata-rata prestasi belajar anak/siswa
pada siklus I dapat diupayakan dan mencapai rata-rata 67,09.
Namun rata-rata tersebut belum maksimal karena hanya 11 siswa
313
memperoleh nilai di atas KKM sedangkan yang lainnya belum
mencapai KKM. Sedangkan prosentase ketuntasan belajar mereka
baru mencapai 50%. Hal tersebut terjadi akibat penggunaan
metode/model pembelajaran NHT belum maksimal dapat
dilakukan disebabkan penerapan model/metode tersebut baru
dicobakan sehingga guru masih belum mampu melaksanakannya
sesua alur teori yang benar.
314
Dari hasil refleksi yang telah disampaikan di Bab IV dan
dengan melihat semua data yang telah dIPAparkan, dapat
disampaikan bahwa
j) Dari data awal ada 14 siswa mendapat nilai dibawah KKM dan
pada siklus I menurun menjadi 11 siswa dan siklus II hanya 1
siswa mendapat nilai di bawah KKM.
k) Nilai rata-rata awal 60,86 naik menjadi 67,09 pada siklus I dan
pada siklus II naik menjadi 75,45.
l) Dari data awal siswa yang tuntas hanya 8 orang sedangkan pada
siklus I menjadi lebih banyak yaitu 11 siswa dan pada siklus II
menjadi cukup banyak yaitu 21 siswa.
Paparan di atas membuktikan bahwa model/metode
pembelajaran NHT dapat memberi jawaban sesuai tujuan
penelitian ini. Semua ini dapat dicapai karena model/metode
pembelajaran NHT sangat efektif diterapkan dalam proses
pembelajaran yang mengakibatkan siswa aktif, antusias dan dapat
memahami materi yang diajarkan sehingga prestasi belajar siswa
menjadi meningkat.
DAFTAR PUSTAKA
315
Abdurrahman, Mulyono. 1999. Pendidikan bagi Anak Berkesulitan
Belajar. Jakarta: Rineka Cipta.
Aisyah, Siti, dkk. 2008. Perkembangan dan Konsep Dasar
Pengembangan Anak Usia Dini. Jakarta: Universitas Terbuka.
Amri, Sofan. 2013. Peningkatan Mutu Pendidikan Sekolah Dasar dan
Menengah. Jakarta: PT. Prestasi Pustakaraya.
Surya, Mohammad. 2004. Psikologi Pembelajaran dan Pengajaran.
Bandung: Pustaka Bani Quraisy.
Oleh :
IDA AYU PUTU KARTIKA
ABSTRACT
This research was conducted in SD Negeri 1 Serongga in Class V is
the ability of students to subjects Hinduism is still quite low.
The purpose of writing this classroom action research was to
determine whether the model of Cooperative Learning Students Team
Achievement Division (STAD) can improve student achievement.
Data collection method is learning achievement test. Methods of
data analysis is descriptive.
316
The results obtained from this study is a model of Cooperative
Learning Students Team Achievement Division (STAD) can improve
student achievement. This is evident from the results obtained in the
first average learning achievement obtained is 72.24, the first cycle
increased to 74.65 and the second cycle into 80.68.
The conclusion of this study is a model of Cooperative Learning
Students Team Achievement Division (STAD) can improve learning
achievement.
317
bantuan dari guru. Guru dalam hal ini harus betul-betul aktif
memerankan dirinya sebagai fasilitator, motivator dan lain-lain
untuk peningkatan prestasi dan mampu mensyukuri karunia Tuhan.
318
dimana dengan memberikan pembelajaran yang berpariasi, dapat
meningkatkan keaktifan siswa serta mampu memotivasi siswa
dalam mengikuti pembelajaran.
319
pelajari, membahas kekurangan-kekurangan yang ada pada diri
mereka atau juga kelebihan-kelebihan yang ada dalam upaya agar
mereka mampu menjawab apa yang ditanyakan.
320
4. Terjadi aktivitas siswa dalam pelaksanaan pembelajaran
5. Siswa berpartisipasi dalam menyimpulkan materi.
5. Belajar
Belajar dalam Bahasa Inggris adalah Study yang
artinya The act of using the mind to require knowledge
(Webster New American Dictionary: 1993).Apabila diartikan
dalam Bahasa Indonesia, belajar adalah perbuatan
menggunakan ingatan/pikiran untuk mendapatkan/ memperoleh
pengetahuan. Belajar artinya berusaha untuk memperoleh ilmu
atau menguasai suatu keterampilan; juga berarti berlatih
(Kamus Besar Bahasa Indonesia: 27). Selanjutnya belajar juga
berarti perubahan yang relatif permanen dalam kapasitas pribadi
seseorang sebagai akibat pengolahan atas pengalaman yang
diperolehnya dari praktek yang dilakukannya (Glosarium
Standar Proses, Permen Diknas No. 41 tahun 2007).Dari ketiga
pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa belajar adalah
penggunaan pikiran untuk memperoleh ilmu.Ini berarti bahwa
belajar adalah perbuatan yang dilakukan dari tahap belum tahu
ke tahap mengetahui sesuatu yang baru.
6. Prestasi Belajar
Prestasi belajar Agama Hindu sama dengan prestasi belajar
bidang studi yang lain merupakan hasil dari proses belajar siswa
dan sebagaimana biasa dilaporkan pada wali kelas, murid dan
orang tua siswa setiap akhir semester atau akhir tahun ajaran.
321
sekolah, karena nilai atau angka yang diberikan merupakan
manifestasi dari prestasi belajar siswa dan berguna dalam
pengambilan keputusan atau kebijakan terhadap siswa yang
bersangkutan maupun sekolah.Prestasi belajar merupakan
kemampuan siswa yang dapat diukur, berupa pengetahuan,
sikap dan keterampilan yang dicapai siswa dalam kegiatan
belajar mengajar.
322
6.4 Hipotesis Tindakan
Dari semua yang telah tertera diatas, dapat disampaikan hipotesis
atau dugaan sementara yang bunyinya:
Langkah-langkah Model pembelajaran Kooperatif Students Team
Achievement Division (STAD) dapat Meningkatkan Prestasi
Belajar Agama Hindu Siswa Kelas V pada Semester II Tahun
ajaran 2015/2016 SD Negeri 1 Serongga apabila dilaksanakan
dengan tepat.
323
Model Ebbut merupakan salah satu model PTK yang
dikembangkan oleh Dave Ebbut.
IDE AWAL
D Rencana Umum
Langkah Tind. 1
A Implementasi
Langkah Tind. 2
U Langkah Tind. 3 Langkah Tindk. 1
Rencana diperbaiki
Langkah Tind. 1
Langkah Tind. 2
Langkah Tind. 3
Rencana diperbaiki
R
Langkah Tind. 1
D
Langkah Tind. 2
A Langkah Tind. 3
2
U Monitor implementasi dan Implementasi
efek
R langkah berikut
324
3
Gambar 01. Rancangan Penelitian Tindakan Model Ebbut (1985)
Prosedur:
Pada daur I dimulai dengan adanya ide awal akibat temuan dan
analisis yang telah dilakukan.Setelah ada temuan tersebut dibuatlah
perencanaan umum sesuai langkah yang direncanakan baik
tindakan 1, tindakan 2 maupun tindakan 3.Sesudah membuat
perencanaan, diimplementasikan dalam tingkat 1, dimonitoring
implementasinya serta efeknya kemudian dijelaskan kegagalan-
kegagalan yang ada selama implementasinya lalu dibuat revisi
umum untuk perencanaan tindakan selanjutnya.
325
perolehan skor nilai secara klasikal yaitu 2095 dan rata rata
kelas 72,24, dimana siswa yang mencapai persentase
ketuntasan belajar 44,82%, dan yang tidak mencapai
ketuntasan adalah 55,17%, dengan tuntutan KKM untuk mata
pelajaran Agama Hindu kelas V SD Negeri 1 Serongga adalah
dengan nilai 75.
326
siklus II ini ternyata hasil belajar Agama Hindu meningkat secara
signifikan dengan nilai rata-rata 80,86 dan ketuntasan belajarnya
adalah 100%.
Semua hasil yang diperoleh dari awal, siklus I dan siklus II
digambarkan dalam bentuk tabel dan grafik seperti berikut:
327
4.2 Pembahasan
Data awal yang diperoleh dengan rata-rata 72,24 menunjukkan
bahwa kemampuan siswa dalam mata pelajaran Agama Hindu
masih sangat rendah mengingat kriteria ketuntasan belajar siswa
untuk mata pelajaran ini di SD N 1 Serongga adalah 75,00 Dengan
nilai yang sangat rendah seperti itu maka peneliti mengupayakan
untuk dapat meningkatkan prestasi belajar anak/siswa
menggunakan metode/model pembelajaran STAD Akhirnya
dengan penerapan metode/model pembelajaran STAD yang benar
sesuai teori yang ada, peningkatan rata-rata prestasi belajar
anak/siswa pada siklus I dapat diupayakan dan mencapai rata-rata
74,65. Namun rata-rata tersebut belum maksimal karena hanya 17
328
siswa memperoleh nilai di atas KKM sedangkan yang lainnya
belum mencapai KKM. Sedangkan prosentase ketuntasan belajar
mereka baru mencapai 58,62%. Hal tersebut terjadi akibat
penggunaan metode/model pembelajaran STAD belum maksimal
dapat dilakukan disebabkan penerapan model/metode tersebut baru
dicobakan sehingga guru masih belum mampu melaksanakannya
sesua alur teori yang benar.
329
Dari hasil refleksi yang telah disampaikan di Bab IV dan
dengan melihat semua data yang telah dipaparkan, dapat
disampaikan bahwa pencapaian tujuan penelitian di atas dapat
dibuktikan dengan argumentasi sebagai berikut.
m) Dari data awal ada 16 siswa mendapat nilai dibawah KKM dan
pada siklus I menurun menjadi 12 siswa dan siklus II tidak ada
siswa yang mendapat nilai di bawah KKM.
n) Nilai rata-rata awal 72,24 naik menjadi 74,65 pada siklus I dan
pada siklus II naik menjadi 80,86.
o) Dari data awal siswa yang tuntas hanya 13 orang sedangkan
pada siklus I menjadi lebih banyak yaitu 17 siswa dan pada
siklus II menjadi cukup banyak yaitu semua siswa.
Paparan di atas membuktikan bahwa model/metode
pembelajaran STAD dapat memberi jawaban sesuai tujuan
penelitian ini. Semua ini dapat dicapai karena model/metode
pembelajaran STAD sangat efektif diterapkan dalam proses
pembelajaran yang mengakibatkan siswa aktif, antusias dan dapat
memahami materi yang diajarkan sehingga prestasi belajar siswa
menjadi meningkat.
DAFTAR PUSTAKA
Purwanto, Ngalim. 1997. Psikologi Pendidikan. Bandung:
RoSMAakarya.
330
(Tesis).Singaraja.Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Negeri
Singaraja.
Rasmini, Ni Luh. 2010. Pengaruh Model Pembelajaran Kooperatif tipe
STAD (Students Teams Achievement Division) dan Kemampuan
Abstraksi terhadap Hasil Belajar Matematika Siswa SMP Wisata Sanur
Denpasar. Tesis. Singaraja: Program Pascasarjana Universitas Pendidik
M.Sidik, Hasnun, dkk (2007). Terampil Berhitung AGAMA HINDU
untuk SD Kelas IV. Jakarta : Penerbit Erlangga.
331
PENERAPAN PEMBELAJARAN TEMATIK DENGAN
METODE BERCAKAP-CAKAP DAN BERCERITA
SEBAGAI UPAYA MENINGKATKAN HASIL
BELAJAR BAHASA INDONESIA SISWA KELAS I
SEMESTER I
SD NEGERI 2 PEJENG KELOD TAHUN PELAJARAN
2015/2016
Oleh :
LUH WAYAN MARHENI
ABSTRACT
332
bercerita dapat meningkatkan prestasi belajar siswa Kelas I SD Negeri
2 Pejeng Kelod.
Kata Kunci: Prestasi BElajar, Metode Bercakap-cakap dan Bercerita,
Pendekatan Tematik.
I. PENDAHULUAN
Dalam wacana pengembangan pembelajaran Sekolah Dasar di
Indonesia ternyata umumnya masih diwarnai penyelenggaraan
pendidikan yang menekankan pada pembelajaran yang memisahkan
penyajian antar satu matapelajaran dengan matapelajaran lainnya, di
mana hal tersebut akan mengakibatkan permasalahan yang cukup
serius terutama bagi siswa kelas awal SD. Proses pembelajaran
pada kelas-kelas awal SD harus memerhatikan karakteristik anak
yang akan menghayati pengalaman belajar sebagai satu kesatuan
yang utuh. Pengemasan pembelajaran harus dirancang secara tepat
karena akan berpengaruh terhadap kebermaknaan pengalaman
belajar anak. Pengalaman belajar yang menunjukkan kaitan unsur-
unsur konseptual baik di dalam maupun antar matapelajaran, akan
memberi peluang bagi terjadinyapembelajaran yang efektif dan
lebih bermakna. Model pembelajaran tematik
merupakanpendekatan pembelajaran yang melibatkan beberapa
matapelajaran untuk memberikanpengalaman belajar yang
bermakna bagi anak. Pembelajaran tematik berorientasi
padapraktek pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan siswa dan
secara efektif akanmembantu menciptakan kesempatan yang luas
bagi siswa untuk melihat dan membangunkonsep-konsep yang
saling berkaitan. Model ini akan memberikan kesempatan
333
kepadasiswa untuk memahami masalah yang kompleks di
lingkungan sekitarnya denganpandangan yang utuh. Sehingga siswa
diharapkan memiliki kemampuan untukmengidentifikasi,
mengumpulkan, menilai dan menggunakan informasi yang ada
disekitarnya secaralebihbermakna (Asep Herry Hernawan,
http://file.upi.edu).
Untuk dapat membantu anak-anak berkembang sesuai
kecerdasannya, guru perlu merancang pembelajaran yang
bervariasi.Pembelajaran dengan cara tersebut dimaksudkan untuk
memperlancar tercapainya tujuan pembelajaran yang telah
ditetapkan. Tujuan-tujuan pembelajaran yang sudah disusun dan
berasal dari sebuah kompetensi dasar (KD) diusahakan
pencapaiannya melalui metode atau model pembelajaran yang
beragam.Sesuai dengan ketentuan kurikulum yang berlaku saat ini,
untuk proses pembelajaran di sekolah dasar ditetapkan
menggunakan pendekatan tematik.
Beberapa ciri khas dari pembelajaran tematik antara lain: (1)
Pengalaman dan kegiatan belajar sangat relevan dengan tingkat
perkembangan dan kebutuhan anak usia sekolah dasar; (2)
Kegiatan-kegiatan yang dipilih dalam pelaksanaan pembelajaran
tematik bertolak dari minat dan kebutuhan siswa; (3) Kegiatan
belajar akan lebih bermakna dan berkesan bagi siswa sehingga hasil
belajar dapat bertahan lebih lama; (4) Membantu mengembangkan
keterampilan berpikir siswa; (5) Menyajikan kegiatan belajar yang
bersifat pragmatis sesuai dengan permasalahan yang sering ditemui
siswa dalam lingkungannya; dan (6) Mengembangkan keterampilan
sosial siswa, seperti kerjasama, toleransi, komunikasi, dan tanggap
334
terhadap gagasan orang lain
(http://akhmadsudrajat.wordpress.com/).
Jika dilihat dari hakekat pembelajaran Tematik sesuai
penjelasan di atas akan sangat cocok diterapkan dengan pendekatan
sainstifik. Pendekatan saintifik/ilmiah, selain dapat menjadikan
siswa lebih aktif dalam mengkonstruksi pengetahuan dan
keterampilannya, juga dapat mendorong siswa untuk melakukan
penyelidikan guna menemukan fakta-fakta dari suatu fenomena
atau kejadian. Artinya, dalam proses pembelajaran, siswa
dibelajarkan dan dibiasakan untuk menemukan kebenaran ilmiah,
bukan diajak untuk beropini dengan pengetahuan mengambang
dalam melihat suatu fenomena. Mereka dilatih untuk mampu
berfikir logis, runut dan sistematis, dengan menggunakan kapasistas
berfikir tingkat tinggi.
Dengan memahami semua cuplikan yang sudah disampaikan
maka kondisi yang diharapkan terjadi dalam pembelajaran Tematik
di Sekolah Dasar sudah dapat dipahami. Dengan kondisi tersebut,
apabila guru betul melakukannya dengan baik, tentu saja akan
terpenuhi kondisi yang diharapkan dalam pembelajaran.
Oleh karenanya peneliti mencoba untuk menerapkan model
pembelajaran Tematik dengan bantuan metode bercakap-cakap dan
bercerita dalam penelitian ini dengan maksud untuk mengatasi
permasalahan masih rendahnya prestasi belajar Bahasa Indonesia
siswa Kelas I semester I SD Negeri 2 Pejeng Kelod. Dari hasil
observasi sementara didapat data awal kemampuan anak
menunjukkan bahwa 16 anak dari yang diteliti memperoleh nilai di
bawah KKM sedangkan hanya 8 anak yang memperoleh nilai
335
standar KKM. Hal ini masih jauh dari harapan yang ditetapkan
dalam Standar Minimal Keberhasilan Pembelajaran. Karena itu
penelitian ini penting untuk dilaksanakan sebagai upaya
memecahkan masalah yang ada.
336
nonformal dan informal (Depdiknas, 2006: 2). Anak-anak usia dini
masih melihat sesuatu sebagai satu kesatuan yang utuh (holistik).
Peserta didik yang berada pada Sekolah Dasar kelas satu, dua dan
tiga berada pada rentangan usia dini (Depdiknas, 2010: 3).
337
bidang mata pelajaran dirancang sedemikian rupa sehingga
sejajar.
5. Shared
Diibaratkan sebagai binokular--- dua bidang mata pelajaran
saling berbagi dan tumpang tindih konsep dan kecakapannya.
6. Webbed
Diibaratkan sebagai teleskop-memiliki konstelasi yang luas
dengan menggunakan tema yang mencakup berbagai unsur.
Sebuah tema mesti subur dan kaya sehingga cakupannya saling
terkait antarkonsep, topik dan berbagai gagasan lainnya.
7. Threaded
Diibaratkan sebagai kaca pembesar/suryakanta- dengan gagasan
yang membesar sehingga jelas pada semua bidang mata
pelajaran. Pendekatan metakurikular yang dilakukan melalui
keterkaitan berbagai ketrampilan seperti ketrampilan berpikir,
ketrampilan bersosialisasi, kecerdasan jamak, teknologi, dan
berbagai disiplin ilmu lainnya.
8. Integrated
Diibaratkan sebagai kaleidoskop- sebuah pola dan rancangan
baru dengan pendekatan lintas mata pelajaran.
9. Immersed
Diibaratkan sebagai mikroskop- bereksplorasi dengan materi
sesuai minat dan keahlian siswa, sehingga mereka dapat
menyatu dan tercelup dengan diri mereka sendiri sebagai
pemelajar.
10. Networked
338
Diibaratkan sebagai perisma- menciptakan beragam dimensi
yang terarah dan terfokus. Siswa sebagai pemelajar akan
menyaring dan mengaitkan semua mata pelajaran dengan cara
profesional.
Di Indonesia konsep pembelajaran terpadu yang umumnya
dijalankan adalah konsep Fragmented yang sangat konvensional
berupa mata pelajaran-mata pelajaran yang antarmata pelajaran
terkadang terputus dan tidak saling terkait. Konsep Connected
juga dilakukan banyak guru dengan mencoba mengaitkan
intermateri pembelajaran.
2.3 Metode Bercakap-cakap dan Bercerita
Winda Gunarti, dkk (2010: 6.3 6.9) menjelaskan bahwa
hakekat metode bercerita adalah mengajak anak bercerita,
bagaimana menggunakan bahasa, menambah perolehan jumlah
kata-kata, bisa dilakukan dengan teman-temannya, meningkatkan
kemampuan menyimak perkataan, mempraktekkan bahasa,
membantu keterlibatan anak dalam berbahasa, guru berupaya
sebagai fasilitator, moderator, memberi pertanyaan-pertanyaan,
anak menjawab, pendidik memberi umpan balik, penggunaan
simbol-simbol bahasa.
Setelah memahami apa yang dimaksud dengan metode
bercerita, selanjutnya disimak dahulu apa yang dimaksud dengan
metode bercerita.
Winda Gunarti (2010: 5.3 5.7) menjelaskan bahwa metode
bercerita adalah metode yang dilakukan seseorang untuk
menyampaikan suatu pesan, informasi atau sebuah dongeng belaka
yang bisa dilakukan secara lisan atau tertulis. Cara permainan cerita
339
tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan alat peraga atau
tanpa alat peraga. Tujuan metode bercerita adalah mengembangkan
kemampuan berbahasa, berfikir dengan bercerita, menanamkan
pesan-pesan moral, kepekaan sosial emosional, melatih daya ingat,
mengembangkan potensi kreatif melalui keragaman ide cerita.
Bentuk-bentuknya adalah tanpa alat peraga dan dengan alat peraga.
Dengan memahami pengertian kedua metode tersebut dalam
melakukan pembelajaran, guru harus paham juga dengan
perkembangan anak agar pembelajaran bisa terarah.
H. Martinis Yamin dan Jamilah Sabri Sanan (2013: 2)
menulis bahwa secara alamian, perkembangan anak berbeda-beda,
baik intelejensi, bakat, minat, kreativitas, kematangan emosi,
kepribadian, kemandirian, jasmani, dan sosialnya. Selanjutnya
dijelaskan bahwa Abraham Maslow telah menjelaskan tentang
hirarki dari kebutuhan dasar manusia karena setiap individu itu
berbeda, baik dilihat dari jenis kelamin, tempramen, ketertarikan,
gaya belajar, pengalaman hidup, budaya, kebutuhannya.
Pemahaman terhadap semua hal yang menjadi dasar dalam
pelaksanaan pembelajaran merupakan hal pentding bagi seorang
guru dalam pendidikan.
2.4 Prestasi Belajar
Prestasi belajar merupakan hasil dari proses pembelajaran
yang dilakukan siswa di sekolah sebagaimana biasa dilaporkan pada
wali kelas, murid dan orang tua siswa setiap akhir semester atau
akhir tahun ajaran dalam bentuk buku Raport.
340
Prestasi belajar mempunyai arti dan manfaat yang sangat
penting bagi anak didik, pendidik, orang tua/wali murid dan
sekolah, karena nilai atau angka yang diberikan merupakan
manifestasi dari prestasi belajar siswa dan berguna dalam
pengambilan keputusan atau kebijakan terhadap siswa yang
bersangkutan maupun sekolah.Prestasi belajar merupakan
kemampuan siswa yang dapat diukur, berupa pengetahuan, sikap
dan keterampilan yang dicapai siswa dalam kegiatan belajar
mengajar.
341
pribadi, (2) faktor yang ada diluar individu yang disebut faktor
sosial., seperti faktor keluarga/keadaan rumah tangga, guru dan cara
mengajamya, alat-alat yang dipergunakan dalam belajar-mengajar,
lingkungan dan kesempatan yang tersedia dan motivasi sosial.
Dalam penelitian ini factor ke 2 yaitu factor yang dari luar seperti
guru dan cara mengajarnya yang akan menentukan prestasi belajar
siswa. Guru dalam hal ini adalah kemampuan atau kompetensi
guru, pendidikan dan lain-lain. Cara mengajarnya itu merupakan
factor kebiasaan guru itu atau pembawaan guru itu dalam
memberikan pelajaran.Juga dikatakan oleh Slamet (2003: 54-70)
bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi belajar banyak jenisnya,
tetapi dapat digolongkan menjadi dua golongan saja, yaitu faktor
intern dan faktor ekstem. Faktor intern diklasifikasi menjadi tiga
faktor yaitu: faktor jasmaniah, faktor psikologis dan faktor
kelelahan. Faktor jasmaniah antara lain: kesehatan, cacat tubuh.
Faktor psikologis antara lain: intelegensi, perhatian, minat, bakat,
motif, kematangan, kesiapan. Faktor kelelahan antara lain:
kelelahan jasmani dan rohani. Sedangkan faktor ekstern
digolongkan menjadi tiga faktor yaitu: faktor keluarga, faktor
sekolah, faktor masyarakat. Faktor keluarga antara lain: cara orang
tua mendidik, relasi antara keluarga, suasana rumah tangga dan
keadaan ekonomi keluarga. Faktor sekolah antara lain: metode
mengajar, kurikulum, relasi guru dengan siswa, relasi siswa dengan
siswa, disiplin sekolah, pelajaran dan waktu sekolah, standar
pelajaran, keadaan gedung, metode belajar dan tugas rumah. Faktor
masyarakat antara lain: kegiatan siswa dalam masyarakat, mass
media, teman bergaul, bentuk kehidupan masyarakat. Peningkatan
342
prestasi belajar yang penulis teliti dalam hal ini dipengaruhi oleh
factor ekstern yaitu metode mengajar guru.
343
III. METODA PENELITIAN
Penelitian yang dilakukan termasuk penelitian tindakan.Oleh
karenanya, rancangan yang khusus untuk sebuah penelitian tindakan
sangat diperlukan.Penelitian tindakan didasarkan pada filosofi bahwa
setiap manusia tidak suka atas hal-hal yang statis, tetapi selalu
menginginkan sesuatu yang lebih baik.Peningkatan diri untuk hal yang
lebih baik ini dilakukan terus menerus sampai tujuan tercapai
(Suharsimi Arikunto, Suhardjono, Supardi, 2006: 67).Dalam
melaksanakan penelitian, rancangan merupakan hal yang sangat
penting untuk disampaikan. Tanpa rancangan, bisa saja alur penelitian
akan ngawur dalam pelaksanaannya.
Untuk penelitian ini penulis memilih rancangan penelitian
tindakan yang disampaikan oleh Mc. Kernan seperti terlihat pada
gambar berikut.
Untuk penelitian ini penulis memilih rancangan penelitian
tindakan yang disampaikan oleh Mc. Kernan seperti terlihat pada
gambar berikut.
Model Mc. Kernan
344
TINDAKAN DAUR I
Tindakan perlu perbaikan DAUR 2
dst
Penerapan Definisi Penerapan Redefine
masalah problem
345
dianalisis ternyata kemampuan anak dalam pelajaran Bahasa
Indonesia masih rendah sehingga dibuat perencanaan, dilanjutkan
dengan langkah-langkah tindakan yaitu melatih terus sesuai kaidah
pembelajaran di SD karena penilaian terhadap kemajuan anak harus
diupayakan berkesinambungan, begitu juga penilaiannya. Lara
Fridani, dkk (2009: 6.6) mengatakan bahwa assesment
perkembangan anak dilaksanakan secara terus menerus dan
berkesinambungan. Setelah langkah tindakan dimonitor berserta
efeknya serta kegagalannya bisa ditemukan, dibuat revisi untuk
perencanaan selanjutnya. Demikian terus bergulir sampai penelitian
berhasil sesuai indikator yang diusulkan. Untuk indikator tersebut
ada di Bab III ini dibagian yang paling akhir.
346
Indonesia dengan menggunakan model pembelajaran bercerita.
Peneliti telah giat melakukan kegiatan yang susuai dengan
kebenaran teori yang ada sehingga peneliti memperoleh hasil
yang lebih baik dari proses awal, yaitu dengan rata rata nilai
66,04 dari jumlah nilai 1585 seluruh siswa di kelas I SD
Negeri 2 Pejeng Kelod, dan prosentase ketuntasan belajarnya
adalah 54,16%, yang tidak tuntas adalah 45,83%. Hasil ini
belum maksimal, karena belum mecapai indikator
keberhasilan penelitian yang mencanangkan dengan minimal
prosentase ketuntasan belajar 80%.
347
3). Pada siklus II ,
Dengan tindakan yang sangat maksimal dan pelaksanaan
yang betul-betul mengikuti kebenaran teori sesuai dengan model
pembelajaran bercerita dalam pembelajaran Bahasa Indonesia di
kelas I SD Negeri 2 Pejeng Kelod , dimana hasil yang diperoleh
pada siklus II ini ternyata hasil belajar Bahasa Indonesia
meningkat secara signifikan dengan nilai rata-rata 75,65, dan
ketuntasan belajarnya adalah 91,66%.
Semua hasil yang diperoleh dari awal, siklus I dan siklus II
digambarkan dalam bentuk tabel dan grafik seperti berikut:
348
4.2 Pembahasan
Data awal yang diperoleh dengan rata-rata 60,83 menunjukkan
bahwa kemampuan siswa dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia
masih sangat rendah mengingat kriteria ketuntasan belajar siswa
untuk mata pelajaran ini di SD N 2 Pejeng Kelod adalah 65,00
Dengan nilai yang sangat rendah seperti itu maka peneliti
mengupayakan untuk dapat meningkatkan prestasi belajar
anak/siswa menggunakan metode/model pembelajaran bercerita
Akhirnya dengan penerapan metode/model pembelajaran bercakap-
cakap dan bercerita yang benar sesuai teori yang ada, peningkatan
rata-rata prestasi belajar anak/siswa pada siklus I dapat diupayakan
dan mencapai rata-rata 66,04. Namun rata-rata tersebut belum
maksimal karena hanya 13 siswa memperoleh nilai di atas KKM
sedangkan yang lainnya belum mencapai KKM. Sedangkan
349
prosentase ketuntasan belajar mereka baru mencapai 54,16%. Hal
tersebut terjadi akibat penggunaan metode/model pembelajaran
bercakap-cakap dan bercerita belum maksimal dapat dilakukan
disebabkan penerapan model/metode tersebut baru dicobakan
sehingga guru masih belum mampu melaksanakannya sesua alur
teori yang benar.
350
rumusan masalah, tujuan penelitian, hipotesis tindakan dan semua
hasil pembahasan adalah sebagai berikut:
Dari hasil refleksi yang telah disampaikan di Bab IV dan
dengan melihat semua data yang telah dipaparkan, dapat
disampaikan bahwa pencapaian tujuan penelitian di atas dapat
dibuktikan dengan argumentasi sebagai berikut.
p) Dari data awal ada 16 siswa mendapat nilai dibawah KKM dan
pada siklus I menurun menjadi 11 siswa dan siklus II hanya 2
siswa mendapat nilai di bawah KKM.
q) Nilai rata-rata awal 60,83 naik menjadi 66,04 pada siklus I dan
pada siklus II naik menjadi 75,65.
r) Dari data awal siswa yang tuntas hanya 8 orang sedangkan pada
siklus I menjadi lebih banyak yaitu 13 siswa dan pada siklus II
menjadi cukup banyak yaitu 22 siswa.
Paparan di atas membuktikan bahwa model/metode
pembelajaran bercerita dapat memberi jawaban sesuai tujuan
penelitian ini. Semua ini dapat dicapai karena model/metode
pembelajaran bercerita sangat efektif diterapkan dalam proses
pembelajaran yang mengakibatkan siswa aktif, antusias dan dapat
memahami materi yang diajarkan sehingga prestasi belajar siswa
menjadi meningkat
DAFTAR PUSTAKA
Amri, Sofan. 2013. Peningkatan Mutu Pendidikan Sekolah Dasar dan
Menengah. Jakarta: PT. Prestasi Pustakaraya.
Andriani, Umi dan Rani Nuraeni. 2008. Mencocok, Menempel dan
Mewarnai. Jakarta: Erlangga for Kids.
351
Arikunto, Suharsimi; Suhardjono; Supardi. 2006. Penelitian Tindakan
Kelas. Jakarta: PT Bumi Aksara.
Badan Standar Nasional Pendidikan. 2007. Peraturan Menteri
Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 41 Tahun
2007. Jakarta: BSNP
352
IMPLEMENTASI MODEL PEMBELAJARAN INQUIRI
UNTUK MENINGKATKAN PRESTASI BELAJAR
AGAMA HINDU SISWA KELAS VI
SD NEGERI 1 SIDAN
PADA SEMESTER I TAHUN PELAJARAN 2015/2016
Oleh :
Ketut Suadnyani
ABSTRACT
353
inquiry learning model in the implementation of the learning process
can improve student achievement.
354
prakarsa, kreativitas dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat,
dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik. Karena itu
orientasi pembelajaran harus ditekankan kepada peserta didik
sebagai subjek, yang harus aktif dan kreatif melaksanakan proses
pembelajaran dengan arahan dan bantuan dari guru.
355
Penelitian Tindakan Kelas (PTK) pertama kali
diperkenalkan oleh ahli psikologi social amerika yang bernama
Kurt Lewin pada tahun 1946. Inti gagasan Lewin inilah yang
selanjutnya dikembangkan oleh ahli-ahli lain seperti Stephen
Kemmis Robin Mc. Taggart, John Eliot, Dave Ebbutt dan
sebagainya. Di Indonesia sendiri PTK baru dikenal pada akhir
decade 80-an.
356
Strategi baru dapat diajarkan secara langsung dan
ditambahkan/digabungkan dengan strategi lama yang telah dimiliki
siswa; 4) Penelitian kooperatif (cooperative inquiri) dapat
memperkaya kemampuan berpikir dan membantu siswa belajar
tentang suatu ilmu yang senantiasa bersifat tentatif dan belajar
menghargai penjelasan atau solusi altematif.
Model Inquiri menuntut kemampuan siswa untuk menemukan
sendiri sesuai arti inquiri dari bahasa aslinya Inquiri yang berarti
meneliti, menginterogasi, memeriksa materi yang telah diteliti,
telah dimengerti, telah diperiksa merupakan sesuatu yang dialami
sendiri oleh siswa yang akan dijadikan pusat perhatian untuk
memikirkan hal-hal yang terkait dengan materi tersebut yang
disebut kegiatan intelektual. Apa yang telah diteliti, diamati,
diperiksa dan diinterogasi akan diproses dalam alam pikiran
mereka dan akan menjasi sesuatu yang bermakna dalam kehidupan
mereka kelak. Dalam upaya mengerti materi yang diamati dan
diteliti mereka dibiasakan untuk produktif, mampu membuat
analisis serta membiasakan mereka berpikir kritis. Pembelajaran
dengan metode ini erat kaitannya dengan apa yang ditulis guru
adalam Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) guru karena
dalam RPP tersebut tertulis hal-hal seperti metode, strategi dan
teknik agar para siswa bisa mendapat jawabannya sendiri secara
optimal.
2. 2 Prestasi Belajar
Prestasi belajar mempunyai arti dan manfaat yang sangat
penting bagi anak didik, pendidik, orang tua/wali murid dan sekolah,
karena nilai atau angka yang diberikan merupakan manifestasi dari
357
prestasi belajar siswa dan berguna dalam pengambilan keputusan
atau kebijakan terhadap siswa yang bersangkutan maupun
sekolah.Prestasi belajar merupakan kemampuan siswa
358
belajar dengan hapalan, dapat memberikan tambahan kemampuan
untuk dapat mengasimilasikan dan mengakomodasikan informasi,
serta menuntut latihan-latihan khusus untuk mempertinggi daya
ingat dengan berlatih untuk dapat menemukan sendiri sesuatu yang
penting dalam materi yang diberikan. Dengan cara kerja yang
sedemikian rupa sudah dapat diyakini bahwa metode ini akan dapat
memecahkan masalah yang ada.
359
Gambar 01. Gambar 3.1 Model PTK (Penelitian Tindakan Kelas)
Menurut Kemmis dan Mc Taggart (Arikunto, 2008:16)
Penelitian tindakan kelas ini terdiri dari tiga tahap pada satu
siklus, apabila dalam tindakan kelas ini ditemukan kekurangan dan
tidak terciptanya target yang telah ditentukan, maka ini ditemukan
dan tidak tercapainya target yang telah ditentukan, maka diadakan
perbaikan pada perencanaan dan pelaksanaan siklus berikutnya.
Model yang digunakan dalam penelitian ini adalah model spiral
Kemmis dan Mc Taggart dengan melalui beberapa siklus tindakan
dan terdiri dari empat komponen
b. Tindakan yaitu apa yang dilakukan oleh guru atau peneliti sebagai
upaya perbaikan, peningkatan atau perubahan yang diinginkan.
360
c. Observasi yaitu mengamati atas hasil atau dampak dari tindakan
yang dilaksanakan atau dikenakan terhadap siswa
361
belum mecapai indikator keberhasilan penelitian yang
mencanangkan dengan minimal prosentase ketuntasan belajar
80%.
362
Grafik 01: Grafik Histogram Hasil Belajar Agama Hindu siswa
kelas VI SD Negeri 1 Sidan semester II tahun pelajaran 2015/2016
4.2 Pembahasan
Data awal yang diperoleh dengan rata-rata 69,84 menunjukkan
bahwa kemampuan siswa dalam mata pelajaran Agama Hindu
masih sangat rendah mengingat kriteria ketuntasan belajar siswa
untuk mata pelajaran ini di SD N 1 Sidan adalah 75,00 Dengan
nilai yang sangat rendah seperti itu maka peneliti mengupayakan
untuk dapat meningkatkan prestasi belajar anak/siswa
menggunakan metode/model pembelajaran inquiri Akhirnya
dengan penerapan metode/model pembelajaran inquiri yang benar
sesuai teori yang ada, peningkatan rata-rata prestasi belajar
anak/siswa pada siklus I dapat diupayakan dan mencapai rata-rata
73,93. Namun rata-rata tersebut belum maksimal karena hanya 18
siswa memperoleh nilai di atas KKM sedangkan yang lainnya
belum mencapai KKM. Sedangkan prosentase ketuntasan belajar
363
mereka baru mencapai 54,54%. Hal tersebut terjadi akibat
penggunaan metode/model pembelajaran inquiri belum maksimal
dapat dilakukan disebabkan penerapan model/metode tersebut baru
dicobakan sehingga guru masih belum mampu melaksanakannya
sesua alur teori yang benar.
364
Dari hasil refleksi yang telah disampaikan di Bab IV dan
dengan melihat semua data yang telah dipaparkan, dapat
disampaikan bahwa pencapaian tujuan penelitian di atas dapat
dibuktikan dengan argumentasi sebagai berikut.
s) Dari data awal ada 23 siswa mendapat nilai dibawah KKM dan
pada siklus I menurun menjadi 15 siswa dan siklus II tidak ada
siswa mendapat nilai di bawah KKM.
t) Nilai rata-rata awal 69,84 naik menjadi 73,93 pada siklus I dan
pada siklus II naik menjadi 81,51.
u) Dari data awal siswa yang tuntas hanya 10 orang sedangkan
pada siklus I menjadi lebih banyak yaitu 18 siswa dan pada
siklus II semua siswa sudah mampu menuntaskan pembelajaran.
Paparan di atas membuktikan bahwa model/metode
pembelajaran inquiri dapat memberi jawaban sesuai tujuan
penelitian ini. Semua ini dapat dicapai karena model/metode
pembelajaran inquiri sangat efektif diterapkan dalam proses
pembelajaran yang mengakibatkan siswa aktif, antusias dan dapat
memahami materi yang diajarkan sehingga prestasi belajar siswa
menjadi meningkat.
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suharsimi; Suhardjono; Supardi. 2006. Penelitian Tindakan
Kelas. Jakarta: PT Bumi Aksara
365
Wardani, I G.A.K., dkk (2007). Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta :
Universitas Terbuka
366
PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF Co- OP Co
- OP SEBAGAI UPAYA MENINGKATKAN PRESTASI BELAJAR
AGAMA HINDU SISWA KELAS V SEMESTER II SD NEGERI 2
BEDULU
TAHUN PELAJARAN 2015/2016
Oleh :
IDA BAGUS MADE SEMARA
ABSTRACT
This research was conducted in SD N 2 Bedulu in Class V is the
ability of students to Hinduism Lesson material is still relatively low.
Tujuan penulisan penelitian tindakan kelas ini adalah untuk
mengetahui apakah model pembelajaran Kooperatif Co-Op Co-Op
dapat meningkatkan prestasi belajar siswa.
Data collection method is learning achievement test. Methods of
data analysis is quantitative descriptive.
The results obtained from this study is the Co-Op Co-Op can
improve student achievement. This is evident from the results obtained
initially with an average value of 68.40, the first cycle to 73.18 and the
second cycle experienced a significant increase which became 80.22.
The conclusion of this study is a model of Cooperative Learning
Co-Op Co-Op can improve learning achievement.
367
I. PENDAHULUAN
Selama ini telah terjadi kecenderungan dalam
memberikan makna mutupendidikan yang hanya dikaitkan
dengan aspek kemampuan kognitif.Pandangan ini telah
membawa akibat terabaikannya aspek-aspek moral,akhlak, budi
pekerti, seni, psikomotor, serta life skill pada diri peserta didik.
Dengan diterbitkannyaUndang-undang Nomor 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasionaldan Peraturan Pemerintah
Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar NasionalPendidikan
akan memberikan peluang untuk menyempurnakan
kurikulumyang komprehensif dalam rangka mencapai tujuan
pendidikan nasional(file.upi.edu/Direktori).
Untuk mewujudkan harapan tersebut, penerapan mata
pelajaran Pendidikan jasmani, olahraga, dan kesehatan di
sekolah merupakan salah satu media yang dapat membantu
mendorong pertumbuhan fisik, perkembangan psikis,
keterampilan motorik,pengetahuan dan penalaran, penghayatan
nilai-nilai (sikap-mental-emosionalsportivitas-spiritual-sosial),
serta pembiasaan pola hidup sehat peserta didik yang
bermuarauntuk merangsang pertumbuhan dan perkembangan
kualitas fisik dan psikisyang seimbang.
Harapan di atas, harus dilaksanakan dalam kegiatan
belajar yang berlangsung di sekolah yang bersifat formal,
dilaksanakan secara sengaja,terencana dengan bimbingan guru
dan bentuk pendidik lainnya. Apa yang hendak dicapai dan
dikuasai oleh anak dituangkan dalam tujuan belajar,
dipersiapkan bahan yang harus dipelajari, dipersiapkan juga
368
metode pembelajaran yang sesuai dan dilakukan evaluasi untuk
mengetahui kemajuan belajar anak.
Wina Sanjaya (2006) sehubungan dengan pelaksanaan
pembelajaran yang berlangsung selama ini menyatakan, bahwa
salah satu permasalahan yang muncul dalam dunia pendidikan
adalah lemahnya proses pembelajaran. Pembelajaran cenderung
verbalistik yaitu anak diarahkan untuk menghafal setiap
informasi dan kurang diarahkan untuk memahami informasi
yang diberikan oleh seorang guru. Oleh karena itu, diperlukan
bentuk/model pembelajaran yang kritis. Seorang anak tentunya
tidak bisa berpikir kritis dan mengembangkan setiap
kemampuannya, karena strategi pembelajaran berfikir tidak
digunakann dengan baik dalam proses pembelajaran.
Keberhasilan proses pembelajaran lebih banyak
ditentukan oleh kemampuan guru dalam mengelola proses
pembelajaran tersebut. Kadang ada guru yang disebut pintar
tetapi lemah dalam menyampaikan pengetahuan dan
pemahaman yang ada dalam dirinya maka tentu proses
pembelajaran tidak akan berhasil dengan baik. Kadang ada guru
yang disebut tidak terlalu pintar tetapi dalam menyampaikan
dan mengelola pembelajaran lebih kreatif dan memahami cara
penyampaiannya bisa jadi menyebabkan proses pembelajaran
akan berhasil dengan baik. Di antara keduanya tentu yang
paling sesuai adalah memiliki kemampuan profesionalisme
keguruan dan mampu menyampaikan dengan baik demi
terciptanya proses dan tujuan pembelajaran yang diharapkan
369
untuk mampu meningkatkan ketakwaan terhadap Tuhan Yang
Maha Esa.
370
melengkapi suatu ringkasan dan strategi belajar kooperatif dan
menunjukkan bagaimana guru-guru dapat mengintegrasikan
strategi-strategi tersebut dalam rencana pembelajaran mereka
(Hilke, 1998: 3).
371
111) menyatakan bahwa tiga tipe belajar kooperatif yang bisa
diterapkan dalam spesialisasi tugas adalah investigas kelompok
(group investigation), Co-op Co-op, dan jigsaw.
372
dalam melakukan gerak-gerik, usul. Dalam bahasa Indonesia
aktif berarti giat belajar, giat berusaha, dinamis, mampu
berkreasi dan beraksi (Kamus Besar Bahasa Indonesia: 32).
Aktivitas merupakan kegiatan yang dilakssiswaan oleh
siswa, baik dalam aktivitas jasmani maupun dalam aktivitas
rohani. Aktivitas ini jelas merupakan ciri bahwa siswa
berkeinginan untuk mengikuti proses. Siswa dikatakan memiliki
keaktifan apabila ditemui ciri-ciri seperti berikut (Tim
Instruktur PKG, 1992: 2):
1. Antusiasme siswa dalam mengikuti pembelajaran
2. Terjadi interaksi siswa dengan guru, siswa dengan siswa
3. Siswa terlibat dan bekerjasama dalam diskusi kelompok
4. Terjadi aktivitas siswa dalam pelaksanaan pembelajaran
5. Siswa berpartisipasi dalam menyimpulkan materi.
2. Belajar
Belajar dalam Bahasa Inggris adalah Study yang
artinya The act of using the mind to require knowledge
(Webster New American Dictionary: 1993).Apabila diartikan
dalam Bahasa Indonesia, belajar adalah perbuatan
menggunakan ingatan/pikiran untuk mendapatkan/ memperoleh
pengetahuan. Belajar artinya berusaha untuk memperoleh ilmu
atau menguasai suatu keterampilan; juga berarti berlatih
(Kamus Besar Bahasa Indonesia: 27). Selanjutnya belajar juga
berarti perubahan yang relatif permanen dalam kapasitas pribadi
seseorang sebagai akibat pengolahan atas pengalaman yang
diperolehnya dari praktek yang dilakukannya (Glosarium
Standar Proses, Permen Diknas No. 41 tahun 2007).Dari ketiga
373
pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa belajar adalah
penggunaan pikiran untuk memperoleh ilmu.Ini berarti bahwa
belajar adalah perbuatan yang dilakukan dari tahap belum tahu
ke tahap mengetahui sesuatu yang baru.
3. Prestasi Belajar
Prestasi belajar Agama Hindu sama dengan prestasi belajar
bidang studi yang lain merupakan hasil dari proses belajar siswa
dan sebagaimana biasa dilaporkan pada wali kelas, murid dan
orang tua siswa setiap akhir semester atau akhir tahun ajaran.
374
menyebabkan perlu diadakannya banyak perbaikan pada bidang
pendidikan. Salah satu perbaikan yang bisa dilakukan adalah
menggunakan model/metode pembelajaran yang tepat. Model
pembelajaran yang bisa digunakan adalah model pembelajaran
kooperatif Co-Op Co-Op. Model pembelajaran ini memiliki
kelebihan dapat meningkatkan rasa kerjasama siswa dalam belajar.
Dalam metode ini siswa akan mencari sendiri konsep dalam suatu
materi melalui LKS yang diberikan. Metode ini juga menyebabkan
siswa memiliki rasa tanggung jawab atas pemahaman anggota
kelompok terhadap suatu konsep materi
375
belajar Agama Hindu siswa belum memenuhi kriteria
keberhasilan, maka berdasarkan hasil refleksi akan dilakukan
perbaikan pada siklus selanjutnya. Secara operasional prosedur
dasar pengembangan tindakan yang akan dilakukan dapat
dijabarkan sebagai berikut :
Mc. Kernan.
TINDAKAN DAUR I
Tindakan perlu perbaikan DAUR 2
dst
376
Prosedur:
377
Peneliti telah giat melakukan kegiatan yang susuai dengan
kebenaran teori yang ada sehingga peneliti memperoleh hasil
yang lebih baik dari proses awal, yaitu dengan rata rata nilai
73,18 dari jumlah nilai 1610 seluruh siswa di kelas V SD
Negeri 2 Bedulu , dan prosentase ketuntasan belajarnya adalah
59,09%, yang tidak tuntas adalah 40,90%. Hasil ini belum
maksimal, karena belum mecapai indikator keberhasilan
penelitian yang mencanangkan dengan minimal prosentase
ketuntasan belajar 80%.
3) Pada siklus II ,
Dengan tindakan yang sangat maksimal dan pelaksanaan
yang betul-betul mengikuti kebenaran teori sesuai dengan
model pembelajaran co-op co-op dalam pembelajaran Agama
Hindu di kelas V SD Negeri 2 Bedulu, dimana hasil yang
diperoleh pada siklus II ini ternyata hasil belajar Agama
Hindu meningkat secara signifikan dengan nilai rata-rata
80,22 dan ketuntasan belajarnya adalah 100%.
378
Tabel 01 : Tabel Data Hasil Belajar Siswa kelas V SD Negeri
2 Bedulu
SIKLUS SIKLUS
DATA AWAL VARIABEL
I II
Skor Nilai 1505 1610 1765
Hasil Belajar
Rata Rata
68,40 73,18 80,22 Agama Hindu
Kelas
Dengan
Persentase
36,36% 59,09% 100% KKM = 75
Ketuntasan
379
4.2 Pembahasan
Data awal yang diperoleh dengan rata-rata 68,40 menunjukkan
bahwa kemampuan siswa dalam mata pelajaran Agama Hindu
masih sangat rendah mengingat kriteria ketuntasan belajar siswa
untuk mata pelajaran ini di SD N 2 Bedulu adalah 75,00 Dengan
nilai yang sangat rendah seperti itu maka peneliti mengupayakan
untuk dapat meningkatkan prestasi belajar anak/siswa
menggunakan metode/model pembelajaran co-op co-op Akhirnya
dengan penerapan metode/model pembelajaran co-op co-op yang
benar sesuai teori yang ada, peningkatan rata-rata prestasi belajar
anak/siswa pada siklus I dapat diupayakan dan mencapai rata-rata
73,18. Namun rata-rata tersebut belum maksimal karena hanya 13
siswa memperoleh nilai di atas KKM sedangkan yang lainnya
belum mencapai KKM. Sedangkan prosentase ketuntasan belajar
mereka baru mencapai 59,09%. Hal tersebut terjadi akibat
penggunaan metode/model pembelajaran co-op co-op belum
maksimal dapat dilakukan disebabkan penerapan model/metode
tersebut baru dicobakan sehingga guru masih belum mampu
melaksanakannya sesua alur teori yang benar.
380
semua upaya tersebut peneliti mampu meningkatkan prestasi belajar
siswa pada siklus II menjadi rata-rata 80,22 dengan presentase
ketuntasan mencapai 100%, hal ini menunjukkan terjadinya
peningkatan yang sangat signifikan. Upaya-upaya yang maksimal
tersebut menuntun pada suatu keberhasilan bahwa model/metode
pembelajaran co-op co-op mampu meningkatkan prestasi belajar
anak/siswa.
381
a) Dari data awal ada 14 siswa mendapat nilai dibawah KKM dan
pada siklus I menurun menjadi 9 siswa dan siklus II tidak ada
siswa mendapat nilai di bawah KKM.
b) Nilai rata-rata awal 68,40 naik menjadi 73,18 pada siklus I dan
pada siklus II naik menjadi 80,22.
c) Dari data awal siswa yang tuntas hanya 8 orang sedangkan pada
siklus I menjadi lebih banyak yaitu 13 siswa dan pada siklus II
menjadi cukup banyak yaitu 22 siswa.
Paparan di atas membuktikan bahwa model/metode
pembelajaran co-op co-op dapat memberi jawaban sesuai tujuan
penelitian ini. Semua ini dapat dicapai karena model/metode
pembelajaran co-op co-op sangat efektif diterapkan dalam proses
pembelajaran yang mengakibatkan siswa aktif, antusias dan dapat
memahami materi yang diajarkan sehingga prestasi belajar siswa
menjadi meningkat.
382
DAFTAR PUSTAKA
Adnyani, Nyoman. 2002. Kelemahan-Kelemahan Penerimaan Siswa
SMP yang Beracuan pada NUAN. Makalah yang
Disampaikan dalam Seminar Ilmiah Universitas
Mahasaraswati, September 2003.
Anastasi, Anne. 1976. Psychological Testing. Fifth Edition.New York:
Macmillan Publishing Co., Inc.
Ardana, Nengah. 1999. Hubungan antara Motivasi Belajar dan Pola
Pemberian Tugas dengan Prestasi Belajar Bidang Studi Fisika
pada Siswa SMP Negeri 1 Denpasar. Skripsi. IKIP
Mahasaraswati Tabanan.
Arikunto, Suharsimi; Suhardjono; Supardi. 2006. Penelitian Tindakan
Kelas. Jakarta: PT Bumi Aksara.
Aryana, Wayan. 2003. Pengaruh Motivasi Belajar terhadap Prestasi
Belajar IPA pada Siswa SMP Negeri 1 Denpasar. Ringkasan
Hasil Penelitian yang Disampaikan dalam Seminar Hasil
Penelitian Dosen Kopwil VIII, Tanggal 22-24 September 2003.
383
MENGOPTIMALKAN MODEL PEMBELAJARAN
COOPERATIVE LEARNING JIGSAW
UNTUK MENINGKATKAN PRESTASI BELAJAR BIMBINGAN
KONSELING
SISWA KELAS IXC SMP NEGERI 3 GIANYAR
SEMESTER I TAHUN AJARAN 2015/2016
Oleh
I Wayan Suyasa
ABSTRACT
384
Keywords: Cooperative Learning Strategies Jigsaw, learning
achievement.
I. PENDAHULUAN
Guru sebagai tenaga professional hendaknya dapat
melaksanakan dan mewujudkan tujuan pendidikan nasional yang
telah ditetapkan oleh pemerintah melalui Undang-Undang. Guru
hendaknya dapat melaksanakan proses pembelajaran yang dapat
menghasilkan output yang bermutu sesuai harapan pemerintah dan
harapan masyarakat. Dengan demikian dari waktu ke waktu harus
dicermati guru agar kualitasnya terus meningkat.
Kualitas suatu proses pembelajaran dapat tercermin dari
tinggi rendahnya prestasi belajar siswa yang umumnya dinyatakan
dalam bentuk angka atau nilai. Hasil proses pembelajaran ini
dilaporkan oleh guru kepada orang tua siswa pada akhir semester
dalam buku laporan pendidikan (Raport).
Tinggi rendahnya prestasi belajar siswa dapat
dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal
adalah masalah yang muncul dari dalam diri siswa yang
bersangkutan, seperti : intelegensi, bakat, motivasi, kesehatan fisik
dan mental. Sedangkan faktor eksternal adalah faktor yang datang
dari luar siswa, seperti : lingkungan belajar, latar belakang, cara guru
mengajar, media pembelajaran, sumber belajar, motivasi guru dan
sebagainya.
Guru merupakan ujung tombak untuk meningkatkan
kualitas proses pembelajaran dan prestasi belajar di sekolah. Dalam
usaha meningkatkan kualitas proses pembelajaran dan prestasi
belajar diperlukan guru yang professional, yaitu guru yang memiliki
385
pengetahuan dan keterampilan tentang berbagai model dan strategi
pembelajaran sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi, memiliki pengetahuan tentang Bimbingan dan Konseling
untuk menciptakan suasana proses pembelajaran yang aktif, kreatif
dan menyenangkan serta dapat memberikan informasi pendidikan
dan karir kepada siswa sesuai dengan potensi yang dimiliki oleh
siswa, serta dapat membantu siswa dalam memecahkan masalah
yang dihadapi terutama masalah kesulitan belajar.
Namun dilapangan masih banyak kelemahan guru di
dalam melaksanakan proses pembelajaran. Guru hanya bercerita di
kelas dengan deskrBKi yang kurang jelas tentang materi
pembelajaran. Guru kurang memberikan kesempatan kepada siswa
untuk berkembang sesuai dengan kemampuannya. Pembelajaran
selalu berpusat pada guru sehingga siswa menjadi fasif atau kurang
aktif. Pada akhirnya siswa kurang termotivasi untuk belajar sehingga
kecerdasan siswa tidak sesuai dengan apa yang diharapkan.
Melihat hal tersebut dipandang perlu dilakukan upaya
perbaikan pembelajaran khususnya mata pelajaran BK di kelas IX C
SMP Negeri 3 Gianyar , Kabupaten Gianyar.
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah Apakah
penerapan model pembelajaran cooperative learning jigsaw dapat
meningkatkan prestasi belajar BK siswa kelas IX C SMP Negeri 3
Gianyar pada semester I tahun pelajaran 2015/2016?. Sedangkan
tujuan Untuk meningkatkan prestasi belajar BK siswa kelas IX C
SMP Negeri 3 Gianyar semester I tahun pelajaran 2015/2016
melalui penerapan strategi cooperative learning jigsaw.
386
II. Kajian Teori
387
2.2 Belajar Kooperatif Tipe Jigsaw
Telah dikembangkan dan diteliti berbagai macam metode
pembelajaran kooperatif yang amat berbeda satu dengan yang
lainnya. Ada beberapa jenis pembelajaran kooperatif, yang sudah
dikembangkan seperti Student Team Achievment Divisions
(STAD), Teams-Games tournament (TGT), Teams-Assisted
Individualization (TAI), Cooperative Integrated Reading and
Composition (CIRC), Jigsaw, Learning Together (LT), dan Group
Investigation. Pada penelitian ini akan dikembangkan
pembelajaran kooperatif tipe jigsaw.
Metode Jigsaw telah dikembangkan dan diujicobakan oleh
Elliot Aronsin dan teman-temannya di Universitas Texas, dan
kemudian diadaptasi oleh Slavin dan teman-teman di Universitas
John Hopkins. Dalam penerapan jigsaw, siswa dibagi
berkelompok dengan 5 atau 6 anggota kelompok heterogen.
Materi pembelajaran diberikan kepada siswa dalam bentuk teks.
Setiap anggota bertanggung jawab untuk mempelajari bagian
tertentu bahan yang diberikan. Sebagai contoh, jika materi yang
diberikan alat ekskresi, seorang siswa mempelajari tentang ginjal,
siswa lain mempelajari tentang hati, siswa yang lain lagi belajar
tentang paru-paru, dan yang terakhir tentang kulit. Anggota dari
kelompok lain yang mendapat tugas topik yang sama berkumpul
dan berdiskusi tentang topik tersebut. Kelompok ini disebut
kelompok ahli. Dengan demikian terdapat kelompok ahli kulit,
ahli ginjal, ahli paru-paru, dan ahli hati.
388
Selanjutnya anggota tim ahli ini kembali ke kelompok asal
dan mengajarkan apa yang telah dipelajarinya dan didiskusikan di
dalam kelompok ahlinya untuk diajarkan kepada teman
kelompoknya sendiri. Menyusul pertemuan dan diskusi kelompok
asal, siswa-siswa itu dikenai kuis secara individual tentang materi
belajar.
389
yang bersifat intangible (tidak dapat diraba). Kunci pokok untuk
memperoleh ukuran dan data prestasi belajar siswa adalah garis-
garis besar indikator dikaitkan dengan jenis prestasi yang hendak
diungkapkan atau diukur.
Prestasi belajar menurut Purwanto (2000: 102)
dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain: (1) faktor yang ada
pada diri organisme itu sendiri yang dapat disebut faktor
individual, seperti kematangan/pertumbuhan, kecerdasan, latihan,
motivasi, dan faktor pribadi, (2) faktor yang ada diluar individu
yang disebut faktor sosial., seperti faktor keluarga/keadaan rumah
tangga, guru dan cara mengajamya, alat-alat yang dipergunakan
dalam belajar-mengajar, lingkungan dan kesempatan yang tersedia
dan motivasi sosial.
Sardiman (1988: 25) menyatakan prestasi belajar sangat
vital dalam dunia pendidikan, mengingat prestasi belajar itu dapat
berperan sebagai hasil penilaian dan sebagai alat motivasi. Adapun
peran sebagai hasil penilaian dan sebagai alat motivasi diuraikan
seperti berikut.
390
diadakannya banyak perbaikan pada bidang pendidikan. Salah satu
perbaikan yang bisa dilakukan adalah menggunakan model/metode
pembelajaran yang tepat. Model pembelajaran yang bisa digunakan
adalah model pembelajaran kooperatif. Model pembelajaran ini
memiliki kelebihan dapat meningkatkan rasa kerjasama siswa dalam
belajar. Metode yang juga memiliki nilai positif adalah metode Jigsaw.
Dalam metode ini siswa akan mencari sendiri konsep dalam suatu
materi melalui LKS yang diberikan. Metode ini juga menyebabkan
siswa memiliki rasa tanggung jawab atas pemahaman anggota
kelompok terhadap suatu konsep materi
391
Perencanaan Perencanaan
Pelaksanaan Pelaksanaan
Refleksi Refleksi
392
giat melakukan kegiatan yang susuai dengan kebenaran teori
yang ada sehingga peneliti memperoleh hasil yang lebih baik
dari proses awal, yaitu dengan rata rata nilai 74,09 dari jumlah
nilai 2445 seluruh siswa di kelas IX C SMP Negeri 3 Gianyar ,
dan prosentase ketuntasan belajarnya adalah 63,63%, yang
tidak tuntas adalah 36,36%. Hasil ini belum maksimal, karena
belum mecapai indikator keberhasilan penelitian yang
mencanangkan dengan minimal prosentase ketuntasan belajar
80%.
393
3). Pada siklus II ,
Dengan tindakan yang sangat maksimal dan pelaksanaan
yang betul-betul mengikuti kebenaran teori sesuai dengan model
pembelajaran Kooperatij Jigsaw dalam pembelajaran BK di
kelas IX C SMP Negeri 3 Gianyar , dimana hasil yang diperoleh
pada siklus II ini ternyata prestasi belajar BK meningkat secara
signifikan dengan nilai rata-rata 81,21, dan ketuntasan belajarnya
adalah 96,96%.
Semua hasil yang diperoleh dari awal, siklus I dan siklus II
digambarkan dalam bentuk tabel dan grafik seperti berikut:
394
4.2 Pembahasan
Data awal yang diperoleh dengan rata-rata 69,24 menunjukkan
bahwa kemampuan anak/siswa dalam mata pelajaran BK masih
sangat rendah mengingat kriteria ketuntasan belajar siswa untuk
mata pelajaran ini di SMP Negeri 3 Gianyar adalah 75,00 Dengan
nilai yang sangat rendah seperti itu maka peneliti mengupayakan
untuk dapat meningkatkan prestasi belajar anak/siswa
menggunakan strategi pembelajaran Kooperatif Jigsaw Akhirnya
dengan penerapan metode/model pembelajaran Kooperatif Jigsaw
yang benar sesuai teori yang ada, peningkatan rata-rata prestasi
belajar anak/siswa pada siklus I dapat diupayakan dan mencapai
rata-rata 74,09. Namun rata-rata tersebut belum maksimal karena
hanya 21 siswa memperoleh nilai di atas KKM sedangkan yang
lainnya belum mencapai KKM. Sedangkan prosentase ketuntasan
belajar mereka baru mencapai 63,63%. Hal tersebut terjadi akibat
penggunaan strategi pembelajaran Kooperatif Jigsaw belum
395
maksimal dapat dilakukan disebabkan penerapan model/metode
tersebut baru dicobakan sehingga guru masih belum mampu
melaksanakannya sesua alur teori yang benar.
396
d) Dari data awal ada 17 siswa mendapat nilai dibawah KKM dan
pada siklus I menurun menjadi 12 siswa dan siklus II hanya 1
siswa mendapat nilai di bawah KKM.
e) Nilai rata-rata awal 69,24 naik menjadi 74,09 pada siklus I dan
pada siklus II naik menjadi 81,21.
f) Dari data awal siswa yang tuntas hanya 16 orang sedangkan
pada siklus I menjadi lebih banyak yaitu 74 siswa dan pada
siklus II menjadi cukup banyak yaitu 31 siswa.
Paparan di atas membuktikan bahwa strategi pembelajaran
Kooperatif Jigsaw dapat memberi jawaban sesuai tujuan penelitian
ini, yaitu strategi pembelajaran Kooperatif Jigsaw dapat
meningkatkan prestasi belajar BK siswa kelas IX C SMP Negeri 3
Gianyar pada semester I tahun pelajaran 2015/2016. Semua ini
dapat dicapai karena strategi pembelajaran Kooperatif Jigsaw
sangat efektif diterapkan dalam proses pembelajaran yang
mengakibatkan siswa aktif, antusias dan dapat memahami materi
yang diajarkan sehingga prestasi belajar siswa menjadi meningkat.
DAFTAR PUSTAKA
Andayani, dkk (2008). Pemantapan Kemampuan Profesional. Jakarta :
Universitas Terbuka.
397
M.Sidik, Hasnun, dkk (2007). Terampil Berhitung BK untuk SD IX C.
Jakarta : Penerbit Erlangga.
398
AKHIR SEMESTER TELAAH KURIKULUM MATEMATIKA
SMA PADA MAHASISWA PENDIDIKAN MATEMATIKA IKIP
PGRI BALI TAHUN PELAJARAN 2015/2016
I Komang Sukendra
ABSTRACT
The Relationship Between The Value of Assignment and The Activity
in The Class to Students Final Semester Examination Value in The
Analysis of Mathematics Lecterature at IKIP PGRI Bali in 2015/2016
Curriculum is a set of planning and knowledge concerning to
content and lesson, the methode as well functioning as guidance of
studying-teaching activity performance. Curriculum is the tool
functioning to achevive aducation goal. The student as teacher
candidates are obligated to comprehend curriculum applied in present
time. In the process of studying, some problems caused by some
factors either from internal or external of the students themselves are
often found. The aim expected in this study or paper is to know the
relationship between assignment value and student activities in the
class to final semester examination value.
This study aimed to know how far the influence I between free variabel
and bound variabel to mathematic curriculum. Examined to the fourth
semester mathematics students of IKIP PGRI Bali by taking purposive
sampling. The data analysis were used by using double linear registrasi
similarity. Based on analysis data, it was found that the value of
student assignment and the activity in the class simultaneously
influenced to final semester examination value of SMA curriculum
mathematics approach lecture. And the activity in the class had higher
influence than the student assignment value. Based on the such result,
before the student. When to the field to teach, the student were
obligated to make assignment ang activity in the clas hopely, the could
make planing of the study based on the syllabus matched whit the
effective curriculum in the practice of teaching in the field.
PENDAHULUAN
399
Kurikulum merupakan suatu program pendidikan yang
berisikan berbagai bahan ajar dan pengalaman belajar yang
diprogramkan, dilaksanakan, dan dirancang secara sistematis atas dasar
norma-norma yang berlaku yang dijadikan pedoman dalam proses
pembelajaran bagi tenaga kependidikan dan peserta didik untuk
mencapai tujuan. Dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional
Tahun 1989 Bab I Pasal 1 disebutkan bahwa : kurikulum adalah
seperangkat rencana dan peraturan mengenai isi dari bahan pelajaran
serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaran kegiatan
belajar mengajar.
Kurikulum di Indonesia sering tejadi pergantian begitu cepat
yang disebabkan beberapa hal seperti kreteria keberhasilan untuk
mencapai tujuan tidak jelas, perencanaan kurikulum kurang berorintasi
pada perkembangan zaman dan adanya kesan ganti pejabat ganti
kebijakan. Pada dasarnya perkembangan kurikulum mengarahkan
ketujuan pendidikan yang diharapkan karena adanya berbagai
pengaruh yang sifatnya positif yang datang dari luar maupun dari
dalam, dengan harapan agar peserta didik dapat menghadapi masa
depannya dengan baik. Oleh karena itu, pengembangan kurikulum
seharusnya bersifat antisifasif, adiptif, dan aplikatif. Kurikulum di
sekolah berperan sebagai alat pelaksanaan proses pendidikan, namun
perubahan kebutuhan masyarakat terhadap lulusan jenjang pendidikan
terus meningkat.
Di Indonesia sudah sering terjadi perubahan kurikulum di
sekolah dari kurikulum 1947, 1952, 1964, 1968, 1975, 1994, 1004, dan
diganti lagi menjadi kurikulum 2013. Meskipun dalam pelaksanaannya,
kurikulum 2013 ini banyak mendapat pro dan kontra dari berbagai
kalangan, baik dari masyarakat, guru, dan para pakar pendidikan
lainnya. Hal ini dikarenakan pelaksanaan kurikulum 2013 di sekolah
terkesan buru-buru. Mahasiswa sebagai calon guru sangat memahami
kurikulum agar bisa meningkatkan mutu dan kinerja guru yang
bertujuan untuk lebih meingkatkan pemahaman guru tentang kurikulum
yang berlaku saat ini dan mampu melaksanakannya dengan baik. Sebab
kurikulum itu senjata utama dalam mengajar dan mendidik. Dengan
semakain meningkatnya pemahaman guru tentang kurikulum
diharapkan para calon guru dan guru akan semakin profesional.
Guru merupakan pilar penting dalam pendidikan, sehingga
melalui pembelajaran mata kuliah telaah kurikulum, mahasiswa sebagai
calon guru lebih memiliki kemajuan terhadap pengetahuan yang
mereka implementasikan terhadap proses pembelajaran ke anak didik.
400
Kurikulum adalah jantungnya pendidikan, sehingga seorang guru wajib
tahu bahwa fungsi pendidikan halnya ada pada kurikulum. Artinya bila
kurikulum terus mengalami pengembangan, seorang guru juga wajib
mengikuti sehingga proses pembelajaran dapat terus meningkat.
Pada proses perkuliahan mahasiswa diberikan tugas individu
dan tugas kelompok. Tugas kelompok membuat makalah yang
dipresentasikan dihadapan teman-temanya di dalam kelas. Sedangkan
menjawab tugas individu diantaranya pertanyaan teman-teman saat
kelompok lain mempresentasikan makalahnya, dan ada juga tugas
individu. Penilaian tugas mahasiswa dilihat dari singkrunnya
pertanyaan dan jawaban. Pada pertengahan perkuliahan akan diadakan
tes ujian akhir semester. Tugas-tugas yang dikerjakan oleh mahasiswa
secara langsung maupun tidak langsung dapat berpengaruh pada proses
menjawab soal saat ujian akhir semester berlangsung. Keaktifan siswa
di kelas biasanya termotivasi dari dalam diri sendiri maupun luar diri
yaitu lingkungan sekolah. Salah satu cara untuk membangkitkan
motivasi mahasiswa dalam menjawab soal atau pertanyaan yang
diberikan oleh temannya setelah melakukan presentasi baik secara
individu maupun kelompok. Hasil belajar akan optimal apabila ada
motivasi. Makin tepat motivasi yang diberikan akan semakin berhasil
pembelajaran tersebut (Sadirman, 2010, 84).
Berdasarkan uraian di atas, perlu rasanya dilakukan penelitian
bagimana hubungan antara nilai tugas dan keaktifan mahasiswa di
dalam kelas terhadap nilai ujian akhir semester pada mata kuliah telaah
kurikulum matematika SMA pada jurusan pendidikan matematika IKIP
PGRI BALI pada tahun pelajaran 2015/2016.
METODE PENELITIAN
Rancangan Peneliatian
Penilitian ini adalah penelitian untuk mencari korelasional.
Penelitian bertujuan untuk melihat hubungan antara variabel satu
dengan variabel yang lain antara variabel bebas dengan variabel terikat.
Rancangan penelitian sebagai berikut
X1
Y
401
X2
Variabel Penelitian
Variabel adalah objek penelitian, atau yang menjadi titik
perhatian suatu penelitian (Arikunto, 2002). Beberapa variabel yang
terlibat dalam penelitian ini adalah nilai tugas-tugas mahasiswa (X1),
dan nilai keaktifan mahasiswa di dalan kelas (X2) sebagai variabel
bebas, serta nilai tes ujian akhir semester (Y) sebagai variabel terikat.
Analisis Data
Pengujian analisis adalah untuk mengetahui apakah data
tersedia dapat dianalisis dengan statistis paramatrik atau tidak analisis
data menggunakan regresi linear berganda dengan model regresinya Y
= a + b1 X1 + b2X2 + e , dimana Y adalah persamaan regresi ganda, X1
adalah nilai tugas mahasiswa, X2 adalah keaktifan mahasiswa di dalam
kelas, Y adalah nilai akhir semester, dan e adalah faktor pengganggu
di luar model (Ridwan, 2008).
402
memenuhi asumsi normalitas, dan jika nilainya dibawah 0,05 maka
diinteprestasikan sebagai tidak normal.
2. Uji multikolinearitas, digunakan teloransi atau nilai variance
inflation faktor. Ini bertujuan untuk menguji apakah ditemukan
adanya korelasi antara variabel bebas. Model regresi yang baik
seharusnya tidak terjadi korelasi antara variabel bebas. Jika
variabel bebas saling berkorelasi, maka variabel-variabel ini tidak
orthogonal adalah variabel bebas yang nilai korelasi antar sesama
variabel bebas sama dengan nol. Jika nilai teloransi lebih besar
dari 0,10 maka tidak terjadi multikolinearitas terhadap data yang
diuji dan sebaliknya.
3. Uji Homogenitas Varian dilakukan untuk mengetahui apakah
varian data yang dibandingkan bersifat sejenis atau tidak. Pada
penelitian ini, pengujian dilakukan dengan menggunakan rumus uji
F. jika pengujian Fhitung < Ftabel maka sampelnya homogeny
(Sujana, 2005).
b) Uji Hipotesis
1. Hipotesis 1. Tugas mahasiswa berpengaruh secara signifikan
terhadap nilai tes ujian akhir semester pada mata kuliah telaah
kurikulum matematika SMA.
2. Hipotesis 2. keaktifan mahasiswa di dalam kelas berpengaruh
secara signifikan terhadap nilai ujian akhir semester.
3. Hipotesis 3. Nilai tugas dan keaktifan mahasiswa di dalam
kelas secara simultan berpengaruh terhadap nilai tes ujian akhir
semester pada mata kuliah telaah kurikulum matematika SMA.
403
X1 Pearson
1 .845(**) .804(**)
Correlation
Sig. (2-tailed) .000 .000
N 37 37 37
X2 Pearson
.845(**) 1 .941(**)
Correlation
Sig. (2-tailed) .000 .000
N 37 37 37
Y Pearson
.804(**) .941(**) 1
Correlation
Sig. (2-tailed) .000 .000
N 37 37 37
** Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
404
terikat. Diperoleh hasil persamaan regresi Y = 80,24 + 0,48 X1 +
0,34 X2
c) Model Regresi
Dari hasil analisis resgresi sebelumnya didapatkan bahwa
kedua variabel berpengaruh secara signifikan terhadap nilai tes
ujian akhir semester pada mata kuliah telaah kurikulum
matematika SMA. Dari hasil perhitungan dengan persamaan
regresi Y = 80,24 + 0,48 X1. Hasil analisis regresi diperoleh nilai R
405
= 0, 941 artinya bahwa nilai tugas mahasiswa mempunyai
hubungan yang kuat terhadap nilai ujian akhir semerter. juga
memperoleh bahwa keakifan mahasiswa di dalam kelas
berpengaruh terhadap nilai tes ujian akhir semester yang
ditunjukkan thitung = 0,941 dengan taraf signifikan thitung sebesar
0,01 lebih kecil dari taraf signifikan 5%.
PEMBAHASAN
Nilai tes ujian akhir semester yang diperoleh mahasiswa
menunjukkan bahwa pengerjaan tugas-tugas dengan baik dan keaktifan
mahasiswa di dalam kelas sangat menentukan hasil yang diperoleh saat
tes ujian akhir semester. Nilai tugas yang dibuat mahasiswa bisa
ditunjukkan dengan cara mempresentasikan makalah di depan kelas,
dan tugas secara individu yang di kerjakan di rumah. Keaktifan
mahasiswa dapat dilihat dari seringnya ikut andil dalam berpartisifasi
menjawab pertanyaan dari penyaji atau teman yang bertanya saat
proses presentasi berjalan, maupun menjawab pertanyaan yang
diberikan oleh dosen.
Mahasiswa wajib membuat tugas berkelompok dan terbagi
menjadi beberapa kelompok yang di sesuaikan dengan banyaknya
permasalahan yang diberikan dosen di bagi dengan banyaknya jumlah
mahasiswa di kelas tersebut. Biasanya ada 8 kelompok kecil, dan tiap
kelompok membuat makalah dengan judul yang sudah ditentukan, serta
di berikan materi dan disuruh mencari materi tambahan baik dari buku
maupun dari internet. Setiap pertemuan yang maju mempresentasikan
makalahnya adalah kelopok dari urut paling kecil, disinilah kelihatan
kualitas tugas mahasiwa di dalam mempresentasikan makalahnya.
Setelah presentasi berakhir, mahasiswa yang lain diperikan kesempatan
mengajukan pertanyaan kepada penyaji, dan penyaji berusaha untuk
menjawab pertanyaan dari peserta. Disinilah dosen bisa mengambil
nilai tugas secara individu baik dari yang bertanya maupun dari penyaji
dilihat dari keaktifan menjawab dan bertanya serta kesingkrungan
antara pertanyaan dan jawaban. Dan ada juga tugas individu yang lain
yang diberikan oleh dosen saat sesi tanya jawab setelah permasalahan
dijelaskan.
Keaktifan mahasiswa di dalam kelas sangat bervariasi, ada yang
biasa dan ada yang sangat antosias dalam memberikan masukan dan
jawaban berdasarkan ide-ide yang dimiliki oleh mahasiswa untuk
membuat suasana lebih menggairahkan. Setiap mahasiswa bertanya dan
pertanyaan yang dianggap bagus, maka mahasiwa itu akan
406
mendapatkan nilai poin yang akan di masukkan kedalam nilai keaktifan
di dalam kelas begitu juga dengan mahasiswa yang menjawab
pertanyaan dari temannya dan memberikan masukan mengenai materi
yang dibahas sebelum dosen memberikan kesimpulan juga akan
diberikan poin. Setelah perkuliahan selesai poin-poin yang didapatkan
selama proses perkuliahan berlangsung akan diubah menjadi nilai
dengan interval penilaian. Berdasarkan hal tersebut bahwa nilai tugas
akan berpengaruh terhadap nilai ujian akhir semester. Begitu juga
dengan niali keaktifan mahasiswa di dalam kelas akan berpengaruh
terhadap nilai ujian akhir semester.
Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan diperoleh bahwa
pada taraf kesalahan 0,05 nilai tugas (X1), nilai keaktifan (X2), secara
simultan berpengaruh terhadap ujian akhir semerter dengan nilai R
=0,941
PENUTUP
Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah disajikan di
atas, dapat disimpulkan beberapa hal yang terkait dengan rumusan
masalah, yaitu:
1. Pengerjaan tugas dengan baik akan mempengaruih keaktifan
mahasiswa di kelas dalam menjawab pertanyaan dan
memberikan tanggapan terhadap pertanyaan dari kelompok
lain.
2. Pengerjaan tugas dan keaktifan mahasiswa di dalam kelas
berpengaruh secara simultan terhadap hasil nilai tes ujian
akhir semester pada mata kuliah telaah kurikulum
matematika SMA.
Saran
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, penelitian
menentukan kedua variabel bebas yaitu tugas dan keaktifan mahasiswa
mempengaruhi nilai ujian akhir semester untuk mata kuliah telaah
kurikulum. Mungkin juga ada faktor-faktor lain yang juga
membengaruhi nilai ujian akhir semester seperti motivasi, kondisi
kesehatan dan yang lainnya
Berdasarkan hasi penelitian ini para dosen diharapkan juga dapat
meningkatkan gairah belajar siswa agar mau membuat tugas-tugas
dengan baik dan memberikan nilai plus bagi mahasiswa yang aktif
dalam memberikan pertanyaan dan jawaban kepada temannya saat
tugas presentasi berlangsung. Dengan semakin aktifnya mahasiswa
407
akan mendorong untuk meningkatkan cara pikir yang kreatif yang
pada akhirnya akan menumbuhkan motivasi belajar agar dalam ujian
bisa menjawab soal atau pertanyaan dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA
408
MANAJEMEN DALAM PENGELOLAAN PEMBELAJARAN
OLEH:
ABSTRACT
409
PENDAHULUAN
410
Untuk memenuhi sumber daya manusia tersebut, pendidikan
memiliki peran yang sangat penting. Hal ini sesuai dengan UU No 20
Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 3, yang
menyebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan
kemampuan dan membentuk karakter serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.
Berdasarkan fungsi dan tujuan pendidikan nasional, jelas bahwa
pendidikan di setiap jenjang harus diselenggarakan secara sistematis
guna mencapai tujuan tersebut. Untuk mencapai tujuan tersebut ada
beberapa hal yang harus diperhatikan agar tujuan pendidikan dapat
tercapai seperti yang tercantum dalam UU Sisdiknas diantaranya:
lingkungan keluarga, lingkungan kelas, kinerja pemimpin lembaga
pendidikan dan tidak kalah pentingnya adalah kinerja pendidik.
411
belajar mengajar sesuai dengan tugas profesinya meliputi tugas
mengajar, mendidik, dan melatih.
412
proses pembelajaran yang berlangsung melibatkan peserta didik
sepenuhnya untuk merumuskan sendiri suatu konsep.
PEMBAHASAN
413
Ditinjau dari sudut hukum, definisi pendidikan berdasarkan
Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sikdiknas, Pasal 1
ayat (1), yaitu Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta
didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki
kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa dan Negara.Pendidikan nasional haruslah dikelola
secara tepat agar tujuan dapat tercapai secara efisien dan efektif.
Karena itu, untuk pengelolaan pendidikan diperlukan administrator
yang dapat berkinerja secara maksimal guna meningkatkan kualitas
lulusan yang diharapkan oleh masyarakat.
414
sumber belajar dan kurikulum (segala sesuatu yang disediakan lembaga
pendidikan untuk mencapai tujuan), serta fasilias (peralatan, barang,
dan keuangan yang menunjang kemungkinan terjadinya pendidikan).
Tujuan pendidikan dapat tercapai dilihat dari indicator efektivitas dan
efisiensi.
415
taerkait dengan teori ini yaitu :1). Dorongan (drive). Artinya peserta
didik merasakan adanya kebutuhan akan sesuatu dan terdorong untuk
memenuhi kebutuhan ini, sehingga kehadiran peserta didik ke sekolah
bukan karena kepentingan pendidik/pendidik tetapi justru pendidik
dibutuhkan oleh peserta didik, 2). Rangsangan (Stimulus). Artinya
bahwa Kepada pendidik diberikan stimulus agar melakukan sesuatu
(mencari pengalaman yang selanjutnya digunakan untuk merespons),
3). Reaksi (respons). Dari hasil rangsangan yang diberikan oleh
pendidik maka peserta didik akan melakukan reaksi untuk menanggapi
rangsangan tersebut dan selanjutnya perlu diberikan, 4). penguatan
(reinforcement) kepada peserta didik sehingga merasa ada kebutuhan
lagi.
b. Kognitivisme
416
d. Teori Belajar Gagne
Teori belajar yang disusun oleh Gagne merupakan perpaduan
yang seimbang antara behaviorisme dan kognitivisme yang berpangkal
pada proses informasi. Hasil belajar menurut Gagne ada lima macam
yaitu : ketrampilan intelektual, strategi kognitif, informasi verbal,
ketrampilan motorik dan sikap. Menurutnya juga bahwa belajar tidak
terjadi secara alamiah, tetapi adanya kondisi tertentu, yaitu: 1). Kondisi
internal antara lain menyangkut kesiapan peserta didik dan apa yang
telah dipelajari sebelumnya, 2). Eksternal, yaitu merupakan situasi
belajar dan penyajian stimulasi yang secara sengaja diatur oleh
pendidik dengan tujuan memperlancar proses belajar.
Dengan menyimak pengertian belajar menurut Gagne, dimana
dapat simpulkan bahwa belajar merupakan proses kegiatan untuk
mengubah tingkah laku si subjek belajar (peserta didik), ternyata
banyak faktor yang mempengaruhinya. Dari sekian banyak faktor yang
berpengaruh itu, secara garis besar dapat dibagi dalam klasifikasi faktor
internal (dari dalam) diri peserta didik dan faktor eksternal (dari luar)
diri peserta didik.
1. Faktor Internal
Factor internal adalah faktor-faktor yang berasal dari dalam diri
individu dan dapat memengaruhi hasil belajar individu. Faktor-faktor
internal ini meliputi faktor fisiologis dan faktor psikologis.
2. Faktor-faktor Eksternal
417
Selain karakteristik peserta didik atau faktor-faktor endogen,
faktor-faktor eksternal juga dapat mempengaruhi proses belajar peserta
didik. Dalam hal ini, (Sardiman, 2011)menjelaskan bahwa faktor-faktor
eksternal yang memengaruhi balajar dapat digolongkan menjadi dua
golongan, yaitu faktor lingkungan sosial dan faktor lingkungan
nonsosial
1) Lingkungan sosial
a. Lingkungan sosial sekolah, seperti peserta didik,
administrasi, dan teman-teman sekelas dapat mempengaruhi
proses belajar seorang peserta didik. Hubungan harmonis
antara ketiganya dapat menjadi motivasi bagi peserta didik
untuk belajar lebih baikdisekolah. Perilaku yang simpatik
dan dapat menjadi teladan seorang pendidik atau
administrasi dapat menjadi pendorong bagi peserta didik
untuk belajar.
418
a. Lingkungan alamiah, seperti kondisi udara yang segar, tidak
panas dan tidak dingin, sinar yang tidak terlalu silau/kuat,
atau tidak terlalu lemah/gelap, suasana yang sejuk dan
tenang. Lingkungan alamiah tersebut mmerupakan faktor-
faktor yang dapat memengaruhi aktivitas belajar peserta
didik. Sebaliknya, bila kondisi lingkungan alam tidak
mendukung, proses belajar peserta didik akan terlambat.
b. Faktor instrumental,yaitu perangkat belajar yang dapat
digolongkan dua macam. Pertama, hardware, seperti gedung
sekolah, alat-alat belajar,fasilitas belajar, lapangan olah raga
dan lain sebagainya. Kedua, software, seperti kurikulum
sekolah, peraturan-peraturan sekolah, bukupanduan, silabi
dan lain sebagainya.
419
diperlukan untuk memberikan motivasi kepada peserta didik. Beberapa
peran pendidik lebih kita kenal dengan sebutan Guru adalah:
1. Guru sebagai sumber belajar
Peran sebagai sumber belajar berkaitan erat dengan penguasaan
materi pembelajaran. Apapun yang ditanyakan peserta didik berkaitan
dengan materi pelajaran yang sedang diajarkan, guru harus menjawab
dengan penuh keyakinan. Sebagai sumber belajar guru hendaknya: a)
guru hendaknya mempunyai bahan referensi yang memadai
dibandingkan dengan referensi yang dimiliki peserta didik, b) guru
hendaknya menunjukkan sumber belajar yang dapat dipelajari oleh
peserta didik yang memiliki kecepatan belajar di atas rata-rata peserta
didik yang lainnya, dan c) guru perlu melakukan pemetaan materi.
2. Guru sebagai fasilitator
Sebagai fasilitator guru berperan dalam memberikan pelayanan
untuk memudahkan peserta didik dalam kegiatan proses pembelajaran.
Sebelum proses pembelajaran dimulai, guru harus merancang
pembelajaran agar peserta didik mudah mempelajari bahan ajar
sehingga tujuan pembelajaran tercapai. Hal yang perlu diperhatikan
antara lain: a) guru perlu memahami berbagai sumber dan media belajar
beserta fungsi masing-masing, b) guru perlu mempunyai keterampilan
dalam merancang suatu media agar tujuan pembelajaran tercapai secara
optimal, c) guru dituntut untuk mampu merancang berbagai media serta
dapat memanfaatkan berbagai sumber belajar, dan d) guru dituntut agar
mempunyai kemampuan berkomunikasi dengan peserta didiknya.
3. Guru sebagai pengelola
Sebagai pengelola pembelajaran, guru berperan dalam
menciptakan iklim belajar yang memungkinkan berkembangnya
potensi peserta didik dan terciptanya suasana dan proses pembelajaran
yang menyenangkan. Dan guru sebagai pengelola ditekankan untuk
menerapkan prinsip-prinsip belajar yang harus diperhatikan guru yaitu:
a) segala sesuatu yang dipelajari peserta didik, harus mempelajarinya
sendiri, b) peserta didik memiliki kecepatannya sendiri-sendiri dalam
menerima pembelajaran, c) penguatan secara penuh dari setiap langkah
memungkinkan pembelajaran secara keseluruhan menjadi lebih berarti,
dan d) apabila peserta didik diberikan tanggungjawab, dia akan
termotivasi untuk belajar.
4. Guru sebagai demonstrator
Yang dimaksud dengan peran guru sebagai demonstrator adalah
peran untuk mempertunjukkan kepada peserta didik segala sesuatu
yang membuat peserta didik lebih mengerti dan memahami setiap
420
pesan yang disampaikan. Ada dua konteks guru sebagai demonstrator
yaitu: a) guru harus menunjukkan sikap yang terpuji, dan b) guru harus
menunjukkan bagaimana caranya agar setiap materi pembelajaran lebih
mudah dipahami oleh peserta didik.
421
dapat dicontoh oleh peserta didiknya. Jadi termasuk pula dalam lingkup
semboyan ing ngarso sung tulodo
422
potensi individu untuk bias melakukan aktualisasi diri, karenanya guru
dapat diposisikan sebagai pengganti orang tua di sekolah.
D. PENGELOLAAN PEMBELAJARAN
Pengelolaan pembelajaran adalah mencakup semua kegiatan
yang dijalankan oleh lembaga atau istitusi pendidikan, khususnya
satuan pendidikan pada berbagai tingkatan dan fungsi tugasnya dalam
rangka mencapai tujuan. Pengelolaan pembelajaran yang terdiri dari
perencanaan proses pembelajaran, pelaksanaan proses pembelajaran,
penilaian proses pembelajaran dan pengawasan proses pembelajaran
akan dijelaskan sebagai berikut:
423
perancang pembelajaran. Pembelajaran, secara sederhana dapat
diartikan sebagai upaya untuk membelajarkan peserta didik dan
aktivitas belajar peserta didik tersebut dapat terjadi dengan
direncanakan (by designed). Perencanaan merupakan aktivitas
pendidikan dimana pembelajaran ada di dalamnya yang secara
sadar dirancang untuk membantu peserta didik dalam
mengembangkan fotensi dirinya melalui sejumlah kompetensi yang
diacunya dalam setiap proses pembelajaran yang diikutinya.
Dengan demikian, inti dari perencanaan pembelajaran
adalah proses memilih, menetapkan dan mengembangkan,
pendekatan, metode dan teknik pembelajaran, menawarkan bahan
ajar, menyediakan pengalaman belajar yang bermakna, serta
mengukur tingkat keberhasilan proses pembelajaran dalam
mencapai hasil pembelajarannya.Menurut Sudjana (dalam Sobri:
2009) mengatakan bahwa perencanaan adalah proses yang
sistematis dalam pengambilan keputusan tentang tidakan yang akan
dilakukan pada waktu yang akan datang. Perencanaan berarti
menyusun langkah-langkah penyelesaian suatu masalah atau
pelaksanaan suatu pekerjaan yang terarah pada pencapaian tujuan
tertentu. Kesimpulannya, efektivitas perencanaan berkaitan dengan
penyusunan rangkaian kegiatan untuk mencapai tujuan, dapat
diukur dengan terpenuhinya apa yang tertuang dalam perumusan
perencanaan.
Sementara untuk pembelajaran dapat diartikan sebagai suatu
proses yang dilakukan oleh pendidik dalam membimbing,
membantu, dan mengarahkan peserta didik untuk memiliki
pengalaman belajar. Menurut Sobri: 2009 pembelajaran adalah
suatu cara bagaimana mempersiapkan pengalaman belajar bagi
peserta didik.Merujuk kepada pemahan di atas, berarti perencanaan
pembelajaran pada dasarnya merupakan pengambilan keputusan
yang diwujudkan dalam penyusunan langkah-langkah untuk
pencapaian tujuan pembelajaran agar peserta didik memiliki
pengalaman belajar yang berarti. Pemahaman secara konseptual
berikut ini, diharapakan dapat membantu pendidik untuk
meningkatkan efektifitas pembuatan perencanaan pembelajaran.
424
Konsep berikut memiliki dua pemahaman, yaitu pertama
proses pengambilan keputusan dan pengetahuan professional
tentang proses pembelajaran, Kedua keputusan yang diambil oleh
pendidik bisa beragam mulai dari yang sederhana misalnya
pengorganisasian aktivitas kelas, sampai yang komplek misalnya
menentukan apa yang akan dipelajari oleh peserta didik. Dalam
lingkup yang lebih luas, perencanaan pembelajaran dapat diartikan
sebagai proses penyusunan materi pelajaran, penggunaan media
pembelajaran, penggunaan pendekatan dan metode pembelajaran,
dan penilaian dalam alokasi waktu tertentu untuk menapai tujuan
yang telah ditentukan.
2. Pelaksanaan Proses Pembelajaran
Pelaksanaan pembelajaran merupakan implementasi dari
RPP. Pelaksanaan pembelajaran meliputi kegiatan pendahuluan,
kegiatan inti dan kegiatan penutup.
a. Kegiatan Pendahuluan
Dalam kegiatan pendahuluan pendidik:
1) Menyiapkan peserta didik secara psikis dan fisik untuk
mengikuti proses pembelajaran; 2) Mengajukan pertanyaan-
pertanyaan yang mengaitkan pengetahuan sebelumnya dengan
materi yang akan dipelajari; 3) Menjelaskan tujuan
pembelajaran atau kompetensi dasar yang akan dicapai; 4)
Menyampaikan cakupan materi dan penjelasan uraian
kegiatan sesuai silabus.
b. Kegiatan Inti
Pelaksanaan kegiatan inti merupakan proses pembelajaran
untuk mencapai KD yang dilakukan secara interaktif, inspiratif,
menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk
berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi
prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat,
minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik.
Kegiatan inti menggunakan metode yang disesuaikan dengan
karakteristik peserta didik dan mata pelajaran, yang dapat
meliputi proses eksplorasi, elaborasi, dan konfirmasi.
c. Kegiatan Penutup
425
Dalam kegiatan penutup pendidik:
1) Bersama-sama dengan peserta didik dan/atau sendiri
membuat rangkuman/simpulan pelajaran; 2) Melakukan
penilaian dan/atau refleksi terhadap kegiatan yang sudah
dilaksanakan secara konsisten dan terprogram; 3)
Memberikan umpan balik terhadap proses dan hasil
pembelajaran; 4) Merencanakan kegiatan tindak lanjut dalam
bentuk pembelajaran remidi, program pengayaan, layanan
konseling, dan/atau memberikan tugas baik tugas individual
maupun kelompok sesuai dengan hasil belajar peserta didik;5)
Menyampaikan rencana pembelajaran pada pertemuan
berikutnya.
3. Penilaian Proses Pembelajaran
Penilaian dilakukan oleh pendidik terhadap hasil
pembelajaran untuk mengukur tingkat pencapaian kompetensi
peserta didik, serta digunakan sebagai bahan penyusunan laporan
kemajuan hasil belajar, dan memperbaiki proses pembelajaran.
Penilaian dilakukan secara konsisten, sistematik, dan terprogram
dengan menggunakan tes dan nontes dalam bentuk tertulis atau
lisan, pengamatan kinerja, pengukuran sikap, penilaian hasil karya
berupa tugas, proyek dan/atau produk, portofolio, dan penilaian
diri. Penilaian hasil pembelajaran menggunakan Standar Penilaian
Pendidikan dan Panduan Penilaian Kelompok Mata
Pelajaran.Penilaian dilakukan oleh pendidik terhadap hasil
pembelajaran untuk mengukur tingkat pencapaian kompetensi
peserta didik, serta digunakan sebagai bahan penyusunan laporan
kemajuan hasil belajar, dan memperbaiki proses pembelajaran.
Penilaian dilakukan secara konsisten, sistematik, dan terprogram
dengan menggunakan tes dan nontes dalam bentuk tertulis atau
lisan, pengamatan kinerja, pengukuran sikap, penilaian hasil karya
berupa tugas, proyek dan/atau produk, portofoiio, dan penilaian
diri. Penilaian hasil pembelajaran menggunakan Standar Penilaian
Pendidikan dan Panduan Penilaian Kelompok Mata Pelajaran.
4. Pengawasan Proses Pembelajaran
426
Pengawasan proses pembelajaran terdiri dari uraian yang
dijelaskan sebagai berikut.
1. Pemantauan
Dapat dilaksanakan dengan pemantauan proses pembelajaran
dilakukan pada tahap perencanaan, pelaksanaan, dan penilaian
hasil pembelajaran, pemantauan dilakukan dengan cara diskusi
kelompok terfokus, pengamatan, pencatatan, perekaman,
wawancara, dan dokumentasi, dan kegiatan pemantauan
dilaksanakan oleh kepala dan pengawas satuan pendidikan.
2. Supervisi
a.Supervisi proses pembelajaran dilakukan pada tahap
perencanaan, pelaksanaan, dan penilaian hasil pembelajaran.
b.Supervisi pembelajaran diselenggarakan dengan cara
pemberian contoh, diskusi, pelatihan, dan konsultasi. c.Kegiatan
supervisi dilakukan oleh kepala dan pengawas satuan
pendidikan.
3. Evaluasi
a.Evaluasi proses pembelajaran dilakukan untuk menentukan
kualitas pembelajaran secara keseluruhan, mencakup tahap
perencanaan proses pembelajaran, pelaksanaan proses
pembelajaran, dan penilaian hasil pembelajaran.
b.Evaluasi proses pembelajaran diselenggarakan dengan cara:
1) membandingkan proses pembelajaran yang dilaksanakan
pendidik dengan standar proses; 2)mengidentifikasi kinerja
pendidik dalam proses pembelajaran sesuai dengan kompetensi
pendidik. 3)Evaluasi proses pembelajaran memusatkan pada
keseluruhan kinerja pendidik dalam proses pembelajaran.
4. Pelaporan
Hasil kegiatan pemantauan, supervisi, dan evaluasi proses
pembelajaran dilaporkan kepada pemangku kepentingan.
5. Tindak Lanjut
a.Penguatan dan penghargaan diberikan kepada pendidik yang
telah memenuhi standar, b. Teguran yang bersifat mendidik
diberikan kepada pendidik yang belum memenuhi standar,
427
c.Pendidik diberi kesempatan untuk mengikuti
pelatihan/penataran lebih lanjut.
KESIMPULAN
428
laku peserta didik setelah melalui pembelajaran) serta upaya yang harus
dilakukan dalam mencapai tujuan tersebut. Konkretnya, dalam
perencanaan pembelajaran ini pendidik membuat perangkat
pembelajaran. Pada kegiatan pelaksanaan proses pembelajaran,
pendidik melaksanakan proses belajar mengajar meliputi kegiatan:
pendahuluan, kegiatan inti dan penutup dengan memanfaatkan media
belajar serta mensinergikan antara berbagai sumberdaya yang ada
dengan tujuan yang akan dicapai. Pada kegiatan penilain proses
pembelajaran, pendidik melaksanakan terhadap hasil pembelajaran
untuk mengukur tingkat pencapaian kompetensi peserta didik, serta
digunakan sebagai bahan penyusunan laporan kemajuan hasil belajar,
dan memperbaiki proses pembelajaran. Pada kegiatan mengawasi
pembelajaran, pendidik melakukan serangkaian kegiatan mulai dari:
pemantauan, supervisi, evaluasi, pelaporan dan tindak lanjut.
DAFTAR PUSTAKA
429
Rahayu, Ega Trisna. 2013. Strategi Pembelajarn Pendidikan Jasmani.
Bandung: Alfabeta.
430
PELATIHAN PENGELOLAAN DIRI (SELF MANAGEMENT) UNTUK
MENGURANGI PERILAKU MENYIMPANG
Oleh
I Made Mahaardhika
ABSTRACT
431
Keywords: Self-Management Training (Self Management), Deviant
Behavior
PENDAHULUAN
Berdasarkan informasi dan catatan guru bimbingan dan
konseling di SMP PGRI 7 Denpasar, ada beberapa siswa yang sering
berurusan dengan guru BK. Siswa-siswa tersebut seolah tidak pernah
jera untuk mengulangi kesalahan atau pelanggaran peraturan sekolah.
Menurut keterangan guru BK, perilaku menyimpang yang paling sering
terjadi adalah membolos, melakukan bullying, meminta uang atau
barang dengan ancaman, serta mengganggu siswa perempuan. Siswa
yang sering melakukan tindakan-tindakan melanggar aturan sekolah ini
semuanya siswa laki-laki. Bahkan beberapa diantaranya merupakan
satu kelompok teman sebaya, sehingga seringkali perilaku-perilaku
tersebut mereka lakukan secara bersama-sama.
Guru BK yang peneliti wawancara mengatakan, ketika
mendapatkan bimbingan dan konseling individu dari guru BK, semua
siswa menyatakan bahwa mereka menyesali perbuatannya dan tidak
mau mengulang kembali perbuatan yang telah dilakukannya. Namun
pada kenyataannya, mereka kembali mengulangi perilaku-perilaku
tersebut.
Guru BK yang peneliti wawancara mengatakan, ketika
mendapatkan bimbingan dan konseling individu dari guru BK, semua
siswa menyatakan bahwa mereka menyesali perbuatannya dan tidak
mau mengulang kembali perbuatan yang telah dilakukannya. Namun
pada kenyataannya, mereka kembali mengulangi perilaku-perilaku
tersebut. Permasalahan seperti ini tentu menjadi perhatian serius bagi
semua pihak. Oleh karena itu, di dalam penelitian ini peneliti ingin
melaksanakan sebuah program konseling untuk mengubah perilaku-
perilaku menyimpang siswa menjadi perilaku yang lebih baik.
Penelitian ini bertujuan untuk mengurangi perilaku menyimpang siswa
dengan memberikan teknik pengelolaan diri.
432
KAJIAN TEORI
433
2. Strategi pengelolaan diri adalah strategi yang murah dan praktis.
3. Strategi pengelolaan diri mudah untuk digunakan.
4. Strategi pengelolaan diri menambah proses belajar secara umum
dengan lingkungan, baik pada situasi bermasalah atau tidak.
Menurut Sukadji (dalam Komalasari, Eka Wahyuni dan Karsih,
2011) teknik pengelolaan diri terdiri dari tiga tahapan, yaitu :
1. Tahap monitor diri atau observasi diri. Konseli mengamati
tingkah lakunya sendiri dengan sengaja serta mencatatnya
dengan teliti. Catatan ini dapat menggunakan daftar cek atau
catatan observasi kualitatif. Hal-hal yang perlu diperhatikan
oleh konseli dalam mencatat tingkah laku adalah intensitas,
frekuensi, dan durasi tingkah laku.
2. Tahap evaluasi diri. Konseli membandingkan catatan tingkah
laku dengan target tingkah laku yang dibuat oleh konseli.
Perbandingan ini dibuat untuk mengevaluasi efektivitas dan
efisiensi program. Bila program tidak berhasil, maka program
tersebut harus ditinjau dan diperbaiki.
3. Tahap penguatan, penghapusan atau hukuman. Konseli
mengatur dirinya dalam memberikan penguatan, menghapus
dan memberikan hukuman pada diri sendiri. Tahap ini
merupakan tahap yang paling sulit karena membutuhkan
kemauan yang kuat dari konseli untuk melaksanakan program
yang telah dibuat secara terus menerus.
Perilaku menyimpang
Perilaku menyimpang adalah tingkah laku yang menyimpang
dari ketentuan yang berlaku dalam masyarakat seperti norma agama,
etika, peraturan sekolah dan keluarga (Sarwono, 2010). Perilaku-
perilaku siswa yang tidak pantas dilakukan siswa di sekolah seperti
berkelahi, merampas milik orang lain atau menyentuh bagian-bagian
tertentu dari lawan jenis bisa dikategorikan dalam perilaku
menyimpang. Ketika siswa melanggar ketentuan atau tata tertib
sekolah, siswa telah melakukan perilaku menyimpang dari aturan
sekolah.
Kartono (2007) menyatakan perilaku menyimpang adalah
perilaku yang tidak dapat diterima lingkungan sekitar. Selanjutnya
Kartono menyebutkan bentuk perilaku menyimpang dibedakan menjadi
434
tiga, yaitu (1) perilaku menyimpang yang pasif, seperti tidak percaya
diri, tidak mampu menyesuaikan diri; (2) perilaku menyimpang yang
agresif, seperti membuat keributan, menyakiti orang lain; dan (3)
perilaku menyimpang yang menunjukkan gejala psikosomatik, seperti
gangguan emosional, mudah marah, mudah bersedih.
Hurlock (1996) menyatakan bahawa gejala penyimpangan
perilaku pada anak dapat berasal dari lingkungan sekitar. Pandangan
orang tua dan guru terhadap perilaku anak, pola perilaku sosial yang
buruk yang berkembang di rumah, lingkungan rumah kurang
memberikan model perilaku untuk ditiru, kurang motivasi untuk belajar
melakukan penyesuaian sosial, dan anak tidak mendapatkan bimbingan
dan bantuan yang cukup dalam proses belajar dapat berkontribusi
terhadap perilaku menyimpang anak.
Metode Penelitian
435
Subjek dalam penelitian ini adalah siswa SMP PGRI 7
Denpasar yang memiliki perilaku menyimpang. Penentuan subjek
penelitian berdasarkan teknik purposive sampling yaitu subjek yang
memiliki karakteritik tertentu, sesuai dengan kriteria yang telah
ditentukan, yaitu : (1) tercatat tiga kali atau lebih di dalam buku catatan
kasus atau buku anekdot guru BK di sekolah;
(2) Tercatat melakukan salah satu perbuatan seperti : berkelahi,
meminta uang kepada siswa lain dengan cara memaksa atau
mengancam, atau melakukan perbuatan yang tidak pantas kepada siswa
perempuan; (3) bersedia mengikuti penelitian dengan mengisi lembar
persetujuan. Berdasarkan kriteria tersebut, didapatkan delapan orang
siswa yang menjadi subjek dalam penelitian ini. Seluruh siswa berjenis
kelamin laki-laki dan berusia remaja.
Penelitian ini menggunakan berbagai instrumen untuk
membantu menghimpun data penelitian, yaitu (1) Skala perilaku siswa
di sekolah; (2) Pedoman wawancara; (3) pedoman observasi; dan (4)
Dokumentasi. Ketiga instrument ini digunakan untuk mempermudah
dalam mengevaluasi intensitas, frekuensi dan durasi perilaku siswa,
sesuai program pengelolaan diri yang telah dibuat.
436
tujuan dan program konseling yang akan peneliti berikan kepada
delapan siswa SMP PGRI 7 Denpasar. Peneliti juga meminta ijin untuk
memanfaatkan ruang BK yang ada di sekolah sebagai tempat
pelaksanaan program konseling individu.
Tahapan pertama dalam pelaksanaan konseling dengan teknik
pengelolaan diri adalah melakukan asesmen perilaku. Dari hasil
asesmen ditemukan, empat orang sering meminta uang kepada siswa
lain dengan cara memaksa atau mengancam, dan empat orang siswa
lainnya sering melakukan perbuatan-perbuatan tidak senonoh kepada
siswa perempuan. Kedelapan orang siswa juga mengisi skala perilaku
untuk mengukur seberapa sering atau tingginya intensitas perilaku
menyimpang.
Dari hasil proses awal konseling peneliti menduga ada beberapa
penyebab yang memicu munculnya perilaku-perilaku menyimpang
kedelapan siswa seperti, adanya ketidakharmonisan dalam keluarga,
lingkungan pergaulan yang banyak berhubungan dengan orang dewasa
yang cenderung negatif, terlibat dalam pergaulan bebas teman sebaya
yang cenderung negatif, serta adanya kecenderungan korban yang tidak
berdaya atau pasif ketika mendapatkan perlakuan yang tidak pantas.
Para siswa yang bermasalah ini juga tidak memiliki pemahaman yang
baik tentang dampak atau konsekuensi dari tindakan-tindakan negatif
yang dilakukannya. Mereka tidak pernah memikirkan dampak negatif
yang mungkin terjadi bagi perkembangan kepribadian dirinya maupun
orang lain yang menjadi korban perilakunya. Bahkan tiga orang siswa
mengatakan bahwa perilaku menyimpang yang mereka lakukan hanya
karena ikut-ikutan karena diajak dan dibujuk oleh teman lainnya.
Tahap berikutnya peneliti mengajak siswa untuk melakukan
kegiatan observasi diri. Siswa dituntun untuk mengakui perbuatan-
perbuatan negatif yang sering dilakukannya. Dalam catatannya hampir
semua siswa menuliskan bahwa mereka sering sekali melakukan
perbuatan-perbuatan yang tidak terpuji. Pada tahap selanjutnya peneliti
mengajak siswa untuk mengevaluasi perilaku mereka selama ini. Siswa
diajak untuk berpikir lebih dalam tentang dampak dari perilaku mereka,
baik bagi dirinya sendiri maupun bagi orang lain yang menerima
perlakuannya. Kemudian siswa membuat catatan program perilaku
437
yang ingin dirubahnya. Siswa harus menuliskan perilaku atau kebiasaan
seperti apa yang ingin dibentuknya, disertai dengan imbalan atau
penghargaan yang didapat apabila dia berhasil melakukannya. Siswa
juga menuliskan jangka waktu target perubahan perilakunya, dan
apabila tidak tercapai, dia harus mendapatkan sebuah hukuman. Setiap
dua minggu, peneliti akan bertemu dengan kedelapan siswa untuk
mengevaluasi program pengelolaan diri yang telah dibuat setiap siswa.
Apabila ada perilaku yang belum tercapai, peneliti dan siswa bersama-
sama memperbaiki atau merancang program pengelolaan diri lainnya.
Untuk mengetahui apakah terjadi perubahan perilaku dari
kedelapan siswa, peneliti melakukan wawancara dengan beberapa
siswa yang satu kelas dengan mereka. Apabila tidak mereka masih
melakukan perilaku negatifnya, peneliti meminta mereka menjalankan
hukuman yang telah dibuatnya. Apabila perilaku berubah kea rah yang
positif, siswa dipersilahkan untuk menerima penghargaan.
Hasil uji wilcoxon signed ranks test menunjukan adanya
perubahan perilaku menyimpang siswa yang menjadi subjek penelitian
setelah mengikuti konseling dengan teknik pengelolaan diri pengeloaan
diri, yaitu saat pre-test ke post-test dengan nilai Z = -1,893 dengan p =
0,029 (p < 0,05), saat pre-test ke follow-up dengan nilai Z = -2,524
dengan p = 0,006 (p < 0,01), dan saat post-test ke follow up dengan
nilai Z = -1,682 dengan p = 0,046 (p < 0,05). Hasil yang didapatkan
menunjukkan bahwa teknik pengelolaan diri mampu menurunkan atau
mengubah perilaku menyimpang siswa. Dari hasil wawancara peneliti
dengan beberapa teman kelas kedelapan siswa, ditemukan adanya
banyak perubahan perilaku. Intensitas mereka melakukan perbuatan
yang tidak terpuji sangat berkurang. Dari hasil observasi, peneliti
menemukan adanya perubahan positif perilaku kedelapan subjek
penelitian.
PEMBAHASAN
438
wawancara dan observasi untuk mengetahui perubahan-perubahan
perilaku siswa. Pada dua minggu pertama pelaksanaan konseling, tidak
terlalu banyak perubahan perilaku siswa. Namun intensitas perilaku
menyimpang cukup berkurang. Memasuki waktu enam minggu
pelaksanaan latihan pengelolaan diri, sudah terlihat banyak perubahan
perilaku dari kedelapan siswa. Mereka sudah menunjukkan perilaku
yang adaptif dan mendapatkan kesan positif dari siswa lainnya. Dengan
dukungan para guru sebagai reward dari perubahan perilaku, siswa
menjadi lebih termotivasi dan sadar untuk berubah menjadi lebih baik.
Memasuki dua 8-10 minggu pelaksanaan tindakan, siswa-siswa yang
sebelumnya senang membuat kelompok-kelompok kecil di sekolah,
sudah mulai memisahkan diri dari kelompoknya dalam pergaulan
sehari-hari di sekolah. Dengan adanya perubahan teman kelompok dan
pergaulan, masing-masing siswa yang menjadi partisipan penelitian
juga menunjukkan perilaku ke arah yang lebih positif.
SIMPULAN
439
DAFTAR PUSTAKA
http://news.liputan6.com/read/2191106/survei-icrw-84-anak-indonesia-
alami-kekerasan-di-sekolah
440
PENERAPAN KONSELING BEHAVIORAL DENGAN TEKNIK
PENGUATAN POSITIF UNTUK MENINGKATKAN
PERILAKU ADAPTIF SISWA SMP NEGERI 2 TEGALLALANG
Oleh
ABSTRACT
441
Keywords: Behavioral Counseling, Positive Reinforcement, Adaptive.
PENDAHULUAN
Selama masa kritis ini, remaja dituntut mampu menyesuaikan diri
agar menjadi remaja yang sehat. Perilaku adaptif remaja meliputi :
penerimaan fisik, mencapai kemandirian, keterampilan komunikasi
interpersonal, menemukan model sebagai identitas dirinya,
memperkuat kontrol diri dan meninggalkan sifat kekanak-kanakan.
Namun, penyesuaian diri pada remaja akhir-akhir ini ditemukan masih
belum optimal, ini yang membuktikan bahwa masih ada siswa yang
memiliki perilaku adaptif yang rendah, hal ini akan menghambat
hubungan sosial siswa di lingkungannya.
Berdasarkan pengamatan penulis dan informasi dari guru BK
serta catatan BK di SMP Negeri 2 Tegallalang bahwa di kelas VII B
yang berjumlah 32 orang, ditemukan 7 orang siswa diamati memiliki
perilaku adaptif yang rendah, 7 orang siswa tersebut diantaranya 3
orang siswa laki-laki dan 4 orang perempuan yang kurang hormat
terhadap orang yang lebih dewasa, kurang menjalin hubungan yang
baik dengan teman maupun guru, serta kurang aktif dalam
berpartisipasi di lingkungan.
Melihat hal tersebut, maka perlu dilakukan penanganan yang
serius untuk meningkatkan perilaku adaptif yang ada pada siswa
tersebut, agar nantinya tidak menjadi suatu hambatan pada diri siswa
itu sendiri dan tidak berdampak negatif pada prestasi belajarnya.
Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis berupaya untuk
meningkatkan perilaku adaptif dalam suatu Penelitian Tindakan
Bimbingan Konseling (PTBK) siswa kelas VII B SMP Negeri 2
Tegallalang Tahun Pelajaran 2015/2016.
LANDASAN TEORI
Konseling Behavioral
Teori Behavioral Therapy Oemarjoedi (2003:6) konseling
behavioral adalah salah satu dari teori-teori konseling yang ada pada
saat ini. Konseling behavioral merupakan bentuk adaptasi dari aliran
442
psikologi behavioristik yang menekankan perhatiannya pada perilaku
yang tampak.
Dobson (2009:65) menyatakan bahwa, Konseling behavioral
merupakan terapi untuk membantu masalah konseli yang terkait dengan
perilaku-perilaku yang bermasalah dalam pandangan behavioristik
dapat dimaknai sebagai perilaku atau kebiasaan-kebiasaan negatif atau
perilaku yang tidak tepat, yaitu perilaku yang tidak sesuai dengan
harapan.
Bertenz (2006:89) menyatakan bahwa, Perilaku dipandang
sebagai respon terhadap stimulus atau perangsangan eksternal dan
internal. Karena itu tujuan terapi ini adalah untuk memodifikasi
koneksi-koneksi dan metode-metode Stimulus-Respon (S-R) sedapat
mungkin. Kontribusi terbesar konseling behavioral adalah bagaimana
memodifikasi perilaku melalui rekayasa lingkungan sehingga terjadi
proses belajar untuk perubahan perilaku.
Corey (2007:180) mengatakan bahwa, Behavioral Therapy
merupakan pendekatan yang lebih menekankan pada dimensi kognitif
individu dan menawarkan berbagai metode yang berorientasi pada
tindakan untuk membantu mengambil langkah yang jelas dalam
mengubah tingkah laku.
Dari pendapat ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa konsep
dasar teori Behavioral Therapy merupakan suatu proses membantu
orang untuk belajar memecahkan masalah interpersonal, emosional dan
keputusan tertentu, mulai dari kegagalan individu untuk belajar
merespon secara adaptif hingga mengatasi gejala neurosis.
443
Oemarjoedi (2003:87) menyatakan bahwa, penguatan positif
atau Positive Reinforcement merupakan suatu rangsangan yang
diberikan untuk memperkuat kemungkinan munculnya suatu perilaku
yang baik sehingga respons menjadi meningkat karena diikuti dengan
stimulus yang mendukung.
Palmer (2011:99) menyatakan bahwa, penguatan positif adalah
memberikan penguatan yang menyenangkan (berupa hadiah, pujian,
dan lain-lain) setelah tingkah laku yang diinginkan ditampilkan,
tujuannya agar tingkah laku yang diinginkan menetap, meningkat dan
diulang.
Sedangkan, menurut Azwar (2007:225), menyatakan bahwa
penguatan positif merupakan penguatan berdasarkan prinsip bahwa
frekuensi respons meningkat karena diikuti dengan stimulus yang
mendukung (rewarding). Bentuk-bentuk penguatan positif diantaranya
berupa penghargaan, hadiah, perilaku (senyum, menganggukan kepala
untuk menyetujui, tepuk tangan, mengacungkan jempol).
Dari beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa
penguatan positif adalah proses pembentukan tingkah laku yang
diharapkan. Hal ini didukung dengan adanya reward untuk
membangkitkan semangat seseorang untuk melakukan hal yang lebih
baik lagi di masa yang akan datang.
444
kelompok bahwa mereka teridentifikasi memiliki masalah dalam
perilaku adaptif. Konselor menyadarkan anggota kelompok bahwa
mereka tidak logis dan mereka memiliki potensi untuk mengubah hal
tersebut dengan cara menyerang atau mendebat pikiran tidak logis
tersebut, sehingga nantinya membawa dampak positif terhadap perilaku
mereka. Konselor memberikan kesempatan kepada anggota kelompok
untuk mengeksplorasikan perilaku adaptif mereka yang bermasalah,
serta mengeksplorasikan ide-ide untuk menentukan tujuan-tujuan
rasional. Konselor mengajak konseli untuk mengenali dan memahami
kemampuan dirinya sendiri melalui pemberian penguatan positif yang
dilakukan secara teratur sehingga perilaku yang diharapkan dapat
menetap pada masing-masing anggota kelompok.
Selanjutnya, konselor menganalisis hasil tindakan pada siklus
pertama, apakah terdapat kekurangan-kekurangan yang nantinya dapat
dilaksanakan tindak lanjutnya sehingga pemberian tindakan akan lebih
optimal.
Perilaku Adaftif
Sarwono (2002:67) menyatakan bahwa, perilaku adaptif sebagai
efektivitas dan sejauh mana individu memenuhi standar kebebasan
pribadi yang dimiliki setiap warga negara dalam menjalani
kehidupannya dan tanggung jawab sosial yang diharapkan untuk
kelompok dan budayanya.
Bandi (2005:25) menyatakan bahwa, perilaku adaptif
didefinisikan sebagai suatu tingkat dimana seseorang mampu
berperilaku sesuai dengan standar kebebasan personal dan standard cara
merespon lingkungan seperti yang diharapkan oleh kelompok budaya
dan kelompok usia tertentu. Jadi standar tersebut dibuat dengan
mengacu pada usia dan budaya. Seseorang dikatakan normal jika
mampu berperilaku sesuai dengan standar tersebut. Dalam setting
sekolah, perilaku adaptif didefinisikan sebagai kemampuan untuk
menerapkan keterampilan belajar di dalam kelas. Anak harus mampu
mengembangkan penalaran, pernyataan dan keterampilan sosial yang
tepat sehingga mampu mengarah pada hubungan interpersonal yang
positif dengan teman-teman seusianya.
Maria (2007:20) menyatakan bahwa, konsep perilaku adaptif
adalah perilaku adaptif berfokus pada perilaku sehari-hari, pemenuhan
harapan masyarakat dan lingkungan dimana yang bersangkutan tinggal,
kemampuan masyarakat secara efektif keadaan yang tengah terjadi
dalam mayarakat lingkungannya/menyesuaikan diri, konsep
445
kemampuan sosial/tingkah laku adaptif dapat diartikan sebagai
kemampuan seseorang untuk menguasai tuntutan sosial di lingkungan
mereka bisa disebut dengan kemampuan penyesuaian sosial.
Brent (2013:324) menyatakan bahwa, perilaku adaptif
merupakan cara individu menyesuaikan diri dengan persyaratan
lingkungan fisik dan sosial.
Wawan (2010:132) menyatakan bahwa, perilaku adaptif sebagai
kemampuan seseorang dalam memikul tanggung jawab sosial menurut
ukuran perkembangan usia, tempat, waktu dan norma-norma dimana
anak itu berada di masyarakat, seperti norma-norma pemerintah,
hukum agama, sosial dan budaya serta perilaku adaptif secara akademis
di sekolah.
Berdasarkan pendapat ahli tersebut dapat disimpulkan perilaku
adaptif tersebut kematangan diri dan sosial seseorang dalam melakukan
kegiatan umum serta tanggung jawab sosial yang diharapkan untuk usia
dan budaya kelompoknya.
METODE PENELITIAN
446
Penelitian ini di desain dalam bentuk penelitian tindakan
bimbingan dan konseling yang bertujuan untuk meningkatkan perilaku
adaptif siswa dengan penerapan konseling behavioral melalui teknik
penguatan positif pada siswa kelas VII B SMP Negeri 2 Tegallalang
Tahun Pelajaran 2015/2016. Wardani (2007:2.4) menyatakan bahwa,
prosedur penelitian yang digunakan berbentuk siklus, dimana siklus
ini tidak hanya berlangsung satu kali, tetapi hingga dua kali yang
nantinya diharapkan akan tercapainya tujuan yang diinginkan.
Setiap siklus terdiri dari 4 (empat) kegiatan pokok, yaitu : 1)
perencanaan tindakan, 2) pelaksanaan tindakan, 3) observasi dan
evaluasi, 4) refleksi.
PEMBAHASAN
447
1. Indrawan sebelum tindakan mendapatkan presentasi skor 24%
dengan kategori Sangat Rendah. Setelah tindakan I menjadi 33%
dengan kategori Sangat Rendah, sedangkan setelah tindakan II
akhirnya mencapai 60% dengan kategori Cukup Tinggi.
2. Cahyanti sebelum tindakan mendapatkan presentasi skor 24%
dengan kategori Sangat Rendah. Setelah tindakan I menjadi 38%
dengan kategori Rendah, sedangkan setelah tindakan II akhirnya
mencapai 62% dengan kategori Cukup Tinggi.
3. Eka sebelum tindakan mendapatkan presentasi skor 27% dengan
kategori Sangat Rendah. Setelah tindakan I menjadi 40% dengan
kategori Rendah, sedangkan setelah tindakan II akhirnya mencapai
61% dengan kategori Cukup Tinggi.
4. Erik sebelum tindakan mendapatkan presentasi skor 25% dengan
kategori Sangat Rendah. Setelah tindakan I menjadi 40% dengan
kategori Rendah, sedangkan setelah tindakan II akhirnya mencapai
63% dengan kategori Cukup Tinggi.
5. Tini sebelum tindakan mendapatkan presentasi skor 24% dengan
kategori Sangat Rendah. Setelah tindakan I menjadi 36% dengan
kategori Sangat Rendah, sedangkan setelah tindakan II akhirnya
mencapai 63% dengan kategori Cukup Tinggi.
6. Permadi sebelum tindakan mendapatkan presentasi skor 32%
dengan kategori Sangat Rendah. Setelah tindakan I menjadi 42%
dengan kategori Rendah, sedangkan setelah tindakan II akhirnya
mencapai 68% dengan kategori Cukup Tinggi.
7. Tia sebelum tindakan mendapatkan presentasi skor 32% dengan
kategori Sangat Rendah. Setelah tindakan I menjadi 42% dengan
kategori Rendah, sedangkan setelah tindakan II akhirnya mencapai
64% dengan kategori Cukup Tinggi.
448
meningkatkan perilaku adaptif siswa kelas VII B SMP Negeri 2
Tegallalang Tahun Pelajaran 2015/2016.
SIMPULAN
Penelitian tindakan ini dilakukan di SMP Negeri 2 Tegallalang
pada siswa kelas VII B Tahun Pelajaran 2015/2016 yang berjumlah 32
orang siswa, diantaranya 15 siswa laki-laki dan 17 siswa perempuan,
serta sasaran perbaikannya sebanyak 7 orang siswa yang perilaku
adaptifnya rendah, diantaranya 4 siswa perempuan dan 3 siswa laki-
laki. Perilaku adaptif rendah yang dialami 7 siswa tersebut, adalah (1)
Kurang hormat terhadap orang yang lebih dewasa, (2) Kurang menjalin
hubungan yang baik dengan teman maupun guru, serta (3) Kurang aktif
dalam berpartisipasi di lingkungan. Peneliti menggunakan pedoman
observasi untuk mengukur tingkat perilaku adaptif siswa dalam satu
kelas yang berjumlah 32 orang siswa, dan pada akhirnya ditemukan
sebanyak 7 siswa yang perilaku adaptifnya pada kategori Rendah.
Sehingga Peneliti berencana memberikan layanan konseling behavioral
melalui teknik penguatan positif kepada 7 siswa tersebut untuk
meningkatkan perilaku adaptifnya.
Hasil konseling kelompok yang dilakukan pada siklus I secara
individu terjadi peningkatan perilaku adaptif yang berkisar antara
33,3% sampai dengan 58% dan jika dilihat secara berkelompok
mengalami peningkatan perilaku adaptif sebesar 45,2%. Hasil
konseling kelompok yang dilakukan pada siklus II secara individu
terjadi peningkatan perilaku adaptif yang berkisar antara 36,36%
sampai dengan 82% dan jika dilihat secara berkelompok terjadi
peningkatan perilaku adaptif sebesar 62%.
449
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Muhammad. 2014. Memahami Riset Perilaku dan Sosial. Jakarta :
Bumi Aksara.
Badrujaman. 2012. Penelitian Tindakan Dalam Bimbingan dan
Konseling. Jakarta : INDEKS.
Bandi, Delphie. 2005. Bimbingan Konseling Untuk Perilaku Non-
Adaptif. Bandung : Pustaka Bani Quraisy.
Bush, J. W. 2003. Cognitive Behaviour Therapy : The Basics.
Brent, Ruben & Lea Stewart. 2013. Komunikasi dan Perilaku Manusia.
Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.
Corey, G. 2007. Teori dan Praktek Konseling Psikoterapi. Bandung :
PT Refika Aditama.
Hasan, Iqbal. 2010. Analisis Data Penelitian Dengan Statistik. Jakarta :
Bumi Aksara.
Husaini. 2008. Metodelogi Penelitian Sosial. Jakarta : PT Bumi Aksara.
Juntika, Achmad. 2007. Bimbingan dan Konseling dalam Berbagai
latar Kehidupan. Bandung : PT Refika Aditama.
Purwanto, Ngalim. 2004. Prinsip-Prinsip dan Teknik Evaluasi
Pengajaran. Bandung : PT Remaja Rosdakarya.
Maimunah, Siti. 2009. Gambaran Penyesuaian Sosial dan Emosi.
Jakarta : UI Press.
Sugiyono. 2002. Statistika untuk Penelitian. Bandung : CV Alvabeta.
Suharsimi, Arikunto. 2002. Prosedur Penelitian. Bandung : Rineka
Cipta.
Wardani. 2007. Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta : Universitas
Terbuka.
450
PENGARUH MINAT PROFESI KEPENDIDIKAN DAN SIKAP
KEGURUAN TERHADAP KESIAPAN MENGAJAR
MAHASISWA PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH
ANGKATAN 2013 FAKULTAS PENDIDIKAN ILMU
PENGETAHUAN SOSIAL IKIP PGRI BALI
Abstrak
451
tidak mampu mengaktualisasikan diri dan mengembangkan potensi
ketrampilan mengajar sehingga kepercayaan dirinya tidak muncul
kemudian timbul rasa malu dan minder pada saat PPL I dan PPL II.
Teori yang dipakai dalam penelitian ini adalah teori minat,
profesi kependidikan, sikap keguruan dan kesiapan mengajar.
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah angket. Teknik pengumpulan data melalui angket digunakan
untuk mengungkapkan data Minat Profesi Guru, Sikap Keguruan
terhadap Kesiapan Mengajar Mahasiswa sebagai responden dalam
penelitian ini. Teknis yang dilakukan adalah dengan membagikan
angket 35 kepada responden penelitian yaitu mahasiswa Program Studi
Pendidikan Sejarah angkatan 2013. Observasi digunakan untuk
mengamati sikap keguruan yang ditunjukkan mahasiswa Pendidikan
Sejarah angkatan 2013 yang telah melaksanakan mata kuliah PPL I
dan PPL II serta telah terjun langsung ke lapangan (sekolah).Penelitian
ini menggunakan teknik dokumentasi yaitu untuk mengungkapkan data
tentang jumlah mahasiswa Program Studi Pendidikaan Sejarah
angkatan 2013.
Hasil penelitian ini adalah: (1) terdapat pengaruh positif antara
Minat Profesi Guru terhadap Kesiapan Mengajar Mahasiswa
Pendidikan Sejarah Angkatan 2013, yang ditunjukkan dengan nilai
sebesar 6,679 pada taraf signifikansi 5% ( > yaitu 6,679 > 1,988.
Sedangkan koefisien korelasi sebesar 0,592 dan koefisien determinasi
sebesar 35,2%, (2) terdapat pengaruh positif antara Sikap Keguruan
terhadap Kesiapan Mengajar Mahasiswa Pendidikan Sejarah Angkatan
2013, yang ditunjukkan dengan nilai sebesar 6,496 pada taraf
signifikansi 5% ( > yaitu 6,49 > 1,988. Sedangkan koefisien korelasi
sebesar 0,579 dan koefisien determinasi sebesar 39.8%, dan (3)
terdapat pengaruh positif antara Minat Profesi Guru dan Sikap
Keguruan terhadap Kesiapan Mengajar Mahasiswa Pendidikan Sejarah
Angkatan 2013, yang ditunjukkan dengan nilai sebesar 35,260 pada
taraf signifikansi 5% ( yaitu 35,260 > 3,10. Koefisien korelasi sebesar
0,692, koefisien determinasi sebesar 45%. Besarnya sumbangan efektif
(SE) dari kedua variabel dalam penelitian ini sebesar 51.8%. Variabel
Minat Profesi Guru sebesar 25,5% dan Sikap Keguruan sebesar 26,3%,
sedangkan sisanya 48,2% dipengaruhi oleh faktor lainnya yang tidak
diteliti dalam penelitian ini.
Pendahuluan
452
Pembangunan nasional Indonesia pada hakikatnya adalah
membangun manusia Indonesia seutuhnya. Hal tersebut berarti bahwa
sasaran pembangunan di Indonesia tidak hanya berbentuk fasilitas-
fasilitas saja namun juga kualitas sumber daya manusianya (SDM).
Salah satu cara untuk meningkatkan kualitas SDM Indonesia adalah
melalui pendidikan.
453
kompetensi sebagai guru. Permasalahan pokok dalam implementasi
Undang-Undang Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen untuk
menyelenggarakan pendidikan profesi dan sertifikasi pendidikan adalah
kesiapan LPTK itu sendiri terhadap kebijakan tersebut. Kesiapan itu
meliputi banyak hal, seperti kesiapan sarana dan prasana, kesiapan
proses pembelajaran, kesiapan sistem evaluasi, kesiapan tenaga
pengajar, dan sebagainya.
454
meningkatkan kemampuan dasar mengajar menuju kompetensi guru
yang diharapkan.
Selain menumbuhkan minat profesi guru, peningkatan kesiapan
mengajar juga harus didukung dengan pembentukan sikap keguruan.
Sikap keguruan merupakan pengetahuan dan perilaku mahasiswa calon
guru yang mencerminkan kepribadian guru profesional. Mahasiswa
yang telah menempuh dan memahami mata kuliah keguruan, maka
dalam dirinya akan tumbuh motivasi untuk mengembangkan sikap
keguruan, baik mulai dari etika, gaya bicara, tingkah laku dan
perbuatannya di depan peserta didik dan masyarakat.
Mahasiswa Pendidikan sejarah sebagai calon guru masih terlihat
kurang kesiapan mental dalam melaksanakan program Praktek
Pengalaman Lapangan (PPL) masalah tersebut menyebabkan
mahasiswa Pendidikan sejarah tidak mampu mengaktualisasikan diri
dan mengembangkan potensi ketrampilan mengajar sehingga
kepercayaan dirinya tidak muncul kemudian timbul rasa malu dan
minder pada saat PPL I dan PPL II.
Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti ingin mengetahui :
1. Adakah pengaruh minat profesi kependidikan dengan kesiapan PPL
mahasiswa Pendidikan Sejarah Angkatan 2013 Fakultas Pendidikan
Ilmu Pengetahuan Sosial IKIP PGRI Bali, 2. Adakah pengaruh sikap
keguruan dengan kesiapan PPL mahasiswa Pendidikan Sejarah
Angkatan 2013 Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial IKIP
PGRI Bali, 3. Adakah pengaruh minat profesi kependidikan dan sikap
keguruan dengan kesiapan PPL mahasiswa Pendidikan Sejarah
Angkatan 2013 Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial IKIP
PGRI Bali ?
455
Kajian Teori
Minat
Andi Mappiare (1982: 62) mengemukakan bahwa minat adalah
suatu perangkat mental yang terdiri dari suatu campuran perasaan,
harapan, pendirian, prasangka atau kecenderungan yang mengarahkan
individu kepada suatu pilihan tertentu. Hal ini yang dimaksud pilihan
adalah pilihan terhadap profesi guru. Menurut Abd. Rachman Abror
(1993: 112), minat mengandung unsur-unsur : kognisi (mengenal),
asumsi (perasaan), dan konasi (kehendak). Oleh karena itu minat
dianggap sebagai respon yag sadar karena kalau tidak demikian maka
minat tidak akan mempunyai arti apa-apa. Minat mengandung unsur
kognisi, artinya minat itu didahului oleh pengetahuan dan informasi
mengenai objek yang dituju oleh minattersebut. Minat mengandung
unsur emosi karena dalam partisipasi atau pengalaman itu disertai
dengan perasaan tertentu (biasanya perasaan senang). Pengetahuan dan
informasi mengenai profesi guru merupakan salah satu unsur minat
seseorang untuk menjadi guru. Apabila seseorang telah mempunyai
pengetahuan dan informasi yang akurat tentang profesi guru, maka
orang tersebut dimungkinkan akan tertarik untuk menjadi guru,
sedangkan unsur konasi merupakan kelanjutan dari unsur kognisi dan
unsur emosi yang diwujudkan dalam bentuk kemauan dan hasrat
terhadap suatu bidang atau objek yang diminati.
Kemauan tersebut kemudian direalisasikan sehingga memiliki
wawasan terhadap suatu bidang atau objek yang diminati. Berdasarkan
pendapat-pendapat tersebut maka dapat disimpulkan bahwa Minat
Menjadi Guru dapat timbul karena adanya pengetahuan dan informasi
456
mengenai profesi guru yang diikuti dengan perasaan senang dan
ketertarikan terhadap profesi guru sehingga timbul kemauan dan hasrat
untuk melakukan suatu kegiatan, dalam hal ini adalah kemauan dan
hasrat untuk menjadi guru. Maka Minat Menjadi Guru dapat diukur
melalui komponen-komponen antara lain adanya pengetahuan dan
informasi yang memadai, adanya perasaan senang dan ketertarikan,
adanya perhatian yang lebih besar, serta adanya kemauan dan hasrat
untuk menjadi guru.
Profesi Kependidikan
Menurut Piet (1994: 26), profesi adalah suatu pernyataan atau
suatu janji terbuka (to profess artinya menyatakan) yang menyatakan
bahwa seseorang itu mengabdikan dirinya pada suatu jabatan atau
pelayanan karena orang tersebut merasa terpanggil untuk menjabat
pekerjaan itu. Sementara Everet Hugher (dalam Piet, 1994: 26)
mengatakan bahwa profesi merupakan symbol dari suatu pekerjaan dan
selanjutnya menjadi pekerjaan itu sendiri. Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia (Balai Pustaka, 1996: 789) bahwa profesi adalah bidang
pekerjaan yang dilandasi oleh pendidikan keahlian (keterampilan,
kejuruan, dsb) tertentu. Sedangkan Websters New Wold Dictionery
(dalam Oteng: 1983) menyebutkan bahwa profesi sebagai suatu
pekerjaan yang meminta pendidikan tinggi dalam liberal arts atau sains,
dan biasanya meliputi pekerjaan mental, bukan pekerjaan manual atau
pekerjaan kasar, seperti mengajar, keinsyuran, mengarang dan
seterusnya.
Sikap Keguruan
457
a. Pengertian Sikap Keguruan
Sikap (attitude) adalah kecenderungan yang relatif menetap untuk
bereaksi dengan cara baik atau buruk terhadap orang atau barang
tertentu. Perwujudan perilaku belajar siswa akan ditandai dengan
munculnya kecenderunga-kecenderungan baru yang telah berubah atau
lebih maju dan lugas terhadap suatu objek, tata nilai, dan peristiwa.
(Bruno dalam Muhibbin Syah, 1995: 120).
Terkait dengan kewenangan dalam profesionalisme guru, menurut
Muhibbin Syah (2005: 230) dalam menjalankan kewenangan
profesionalnya, guru dituntut memiliki keanekaragaman kecakapan
yang bersifat psikologis, yaitu : 1) Kompetensi kognitif (kecakapan
ranah cipta), yaitu
kemampuan yang berkaitan dengan pengetahuan, baik pengetahuan
pendidikan maupun pengetahuan bidang studi yang akan diajarkan. 2)
Kompetensi afektif (kecakapan ranah rasa), yaitu kemampuan yang
meliputi seluruh fenomena perasaan dan emosi yang berkaitan dengan
profesi keguruan. 3) Kompetensi psikomotor (kecakapan ranah karsa),
yaitu kemampuan yang meliputi segala keterampilan atau kecakapan
yang berhubungan dengan tugas-tugas selaku pengajar.
Kesiapan Mengajar
Menurut Slameto (2003: 59), kesiapan adalah kesediaan untuk
memberikan response atau bereaksi. Kesediaan itu timbul dalam diri
seseorang dan juga berhubungan dengan kematangan, karena
kematangan berarti kesiapan untuk melaksanakan kecakapan. Jadi
seseorang dikatakan siap untuk melakukan sebuah kerja tertentu jika
dalam dirinya telah ada kematangan untuk melaksanakan kecakapan.
458
Dengan demikian istilah kesiapan ini dapat diartikan dengan
kemampuan.
Berdasarkan pendapat tersebut, maka seseorang dikatakan siap
apabila telah ada kematangan dalam diri seseorang dan muncul
perasaan senang untuk melakukan aktivitasnya. Berdasarkan teori
tersebut maka kesiapan dapat diartikan sebagai suatu perkembangan
fisik dan mental yang telah sempurna, dalam arti siap digunakan.
Hasibuan dan Moedjiono (2006: 3) mengemukakan mengenai
pengertian mengajar, yaitu mengajar adalah penciptaan sistem
lingkungan yang memungkinkan terjadinya proses belajar. Sistem
lingkungan ini terdiri dari komponen-komponen yang saling
mempengaruhi, yaitu tujuan instruksional yang ingin dicapai, materi
yang diajarkan, guru dan siswa yang harus memainkan peranan serta
ada dalam hubungan sosial tertentu, jenis kegiatan yang dilakukan,
serta sarana dan prasarana belajar mengajar yang tersedia.
Mahasiswa sebagai calon guru harus benar-benar menyiapkan
diri sebagai pengelola pengajaran meliputi merencanakan pengajaran,
melaksanakan pengajaran dan melaksanakan evaluasi serta kesiapan
mental untuk mewujdkan peranan guru dalam PBM. Dalam
melaksanakan PBM tersebut, selain mahasiswa harus mampu
mentransfer ilmu tapi juga nilainilai atau norma sebagai bekal untuk
menanamkan jiwa keagamaan, kemandirian dan tanggung jawab
kepada peserta didik.
METODE PENELITIAN
459
Penelitian ini merupakan penelitian ex-post facto, karena hanya
mengungkapkan data peristiwa yang sudah berlangsung dan telah ada
pada responden tanpa memberikan perlakuan atau manipulasi terhadap
variabel yang diteliti. Penelitian ex-post facto dilakukan untuk meneliti
peristiwa yang telah terjadi.
460
Observasi digunakan untuk mengamati sikap keguruan yang
ditunjukkan mahasiswa Pendidikan Sejarah angkatan 2013 yang telah
melaksanakan mata kuliah PPL I dan PPL II serta telah terjun langsung
ke lapangan (sekolah).
3. Dokumentasi
Penelitian ini menggunakan teknik dokumentasi yaitu untuk
mengungkapkan data tentang jumlah mahasiswa Program Studi
Pendidikaan Sejarah angkatan 2013.
Hasil Penelitian
461
determinasi sebesar 39.8%, dan (3) terdapat pengaruh positif antara
Minat Profesi Guru dan Sikap Keguruan terhadap Kesiapan Mengajar
Mahasiswa Pendidikan Sejarah Angkatan 2013, yang ditunjukkan
dengan nilai sebesar 35,260 pada taraf signifikansi 5% ( yaitu 35,260 >
3,10. Koefisien korelasi sebesar 0,692, koefisien determinasi sebesar
45%. Besarnya sumbangan efektif (SE) dari kedua variabel dalam
penelitian ini sebesar 51.8%. Variabel Minat Profesi Guru sebesar
25,5% dan Sikap Keguruan sebesar 26,3%, sedangkan sisanya 48,2%
dipengaruhi oleh faktor lainnya yang tidak diteliti dalam penelitian ini.
Penutup
462
Daftar Pustaka
463
PENGARUH PERENCANAAN PENGAJARAN TERHADAP
PELAKSANAAN PRAKTEK PENGALAMAN LAPANGAN
(PPL) MAHASISWA PROGRAM STUDI PENDIDIKAN
EKONOMI
ABSTRAK
Penelitian ini berawal dari pra survey penulis terhadap guru pamong
yang memberikan penilaian terhadap mahasiswa Praktek Lapangan
Kependidikan dimana masih ada mahasiswa yang belum mampu
merumuskan tujuan pembelajaran, memahami materi pembelajaran,
penggunaan metode pembelajaran, penggunaan media pembelajaran,
membuka pelajaran, pengelolaan kelas, serta menutup pelajaran. Hal
ini disebabkan oleh kurangnya pemahaman dan pengetahuan
mahasiswa dalam membuat perencanaan pembelajaran, disamping itu
pelaksanaan pembelajaran di kelas tidak sesuai dengan perencanaan
pembelajaran yang dibuat. Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengungkapkan pengaruh perencanaan pembelajaran terhadap
pelaksanaan pembelajaran. Jenis penelitian ini adalah penelitian
korelasi dengan menggunakan pendekatan kuantitatif. Hasil penelitian
mengenai pengaruh perencanaan pembelajaran terhadap pelaksanaan
464
pembelajaran menunjukkan bahwa terdapat pengaruh yang tinggi
antara perencanaan pembelajaran terhadap pelaksanaan pembelajaran
.Kata Kunci: Perencanaan Pengajaran dan Pelaksanaan Pengajaran
ABSTRACT
This study started from a pre survey authors to teacher tutors who
provide assessment of students Field Personnel where there are still
students who have not been able to formulate learning objectives,
understanding the learning materials, learning method, penggunaa
instructional media, open lessons, classroom management, as well as
closes lessons , This is caused by a lack of understanding and
knowledge of students in making lesson plans, in addition to the
implementation of learning in the classroom is not in accordance with
the learning plan created. The purpose of this study was to reveal the
influence of the learning plan for the implementation of learning. This
research is a correlation study using a quantitative approach. Results of
research on the effect of the learning plan for the implementation of
learning shows that there is high impact between the learning plan for
the implementation of learning.
Keywords: Teaching Planning and Implementation of Teaching
Pendahuluan
465
kependidikan berusaha mengajar, melatih dan membimbing peserta
didik. Untuk dapat melakukan hal itu semua, tenaga kependidikan
tersebut haruslah seorang yang profesional dalam bidang profesinya.
dengan hal ini, diharapkan akan lebih meningkatkan mutu pendidikan.
Walaupun pada hakikatnya mutu pendidikan itu bukan hanya
ditentukan oleh guru, melainkan juga oleh siswa, sarana penunjang dan
faktor lainnya. Namun pada akhirnya semua itu tergantung pada
kualitas pengajaran, dan kualitas pengajaran tergantung pada kualitas
guru/kemampuan guru (Samana,2002:21).Kemampuan keguruan
sebagai kemampuan profesional juga mempersyaratkan penguasaan
yang sangat kompleks yang harus dibentuk dalam masa pendidikan
yang sistematik dan dalam jangka waktu yang relatif panjang.Dengan
demikian untuk menjadi guru profesional diperlukan pendidikan bagi
calon guru untuk memungkinkan terkuasainya kemampuan
professional keguruan bagi calon guru tersebut. Pembentukan
kompetensi professional keguruan memerlukan pengintegrasian antara
pendekatan teoritis dan praktek kerja, pengintegrasiaan antara tujuan,
bahan ajar, metode kerja, media serta teknologi pengajaran dan
sumber pengajaran secara berdaya guna. Sejalan dengan itu,
Universitas Almuslim(UMUSLIM) telah mencantumkan Program
Pengalaman Lapangan (PPL) sebagai salah satu mata kuliah keahlian
yang wajib dilaksanakan oleh seluruh mahasiswa yang mengambil jalur
kependidikan. Melalui PPL ini akan terpadu antara teori dangan
praktek. Bagi mahasiswa lembaga kependidikan guru, Program
Pengalaman Lapangan adalah muara dari seluruh program pendidikan
yang dihayati sepanjang masa belajarnya. Dengan kata lain bahwa
PPL merupakan program yang meintegrasikan segala kemampuan
466
keguruan yang telah diperoleh mahasiswa pada lembaga pendidikan
guru.Mengingat bahwa PPL merupakan pengalaman mengajar bagi
mahasiswa calon guru, maka mahasiswa yang sedang melaksanakan
latihan mengajar di wajibkan menyusun perencanaan pembelajaran dan
melaksanakan pembelajaran dalam kelas, dengan adanya penyusunan
perencanaan pembelajaran dan melaksanakan pembelajaran dalam
kelas memungkinkan mahasiswa calon guru dapat mengetahui
kelemahan dan kemampuan dalam perencanaan penbelajaran dan
pelaksanaan pembelajaran. Secara umum PPL bertujuan untuk
membentuk pribadi calon guru yang memiliki pengetahuan,
keterampilan, nilai dan sikap yang diperlukan bagi calon guru atau
tenaga kependidikan lainnya sesuai dengan keahlian masing-masing.
Tujuan ini pada dasarnya mengarah pada pencapaian kemampuan
dasar (kompetensi) guru. Secara khusus PPL bertujuan untuk
memberikan pengalamn langsung atau nyata dilapangan dalam kegiatan
pengajaran, sebelum mahasiswa calon guru atau tenaga kependidikan
lainya, karena kegiatan PPL merupakan program yang terpadu antara
teori dan praktek, maka diharapkan setelah mahasiswa calon guru
selesai melaksanakan kegiatan PPL dengan hasil yang baik, mereka
merupakan tenaga yang siap pakai. Namun kenyataannya di lapangan
sebagai pra survei penulis terhadap guru pamong yang memberikan
penilaian terhadap mahasiswa Praktek Lapangan Kependidikan masih
ada mahasiswa yang belum mampu merumuskan tujuan pembelajaran,
memahami materi pembelajaran, penggunaan metode pembelajaran,
penggunaan media pembelajaran, membuka pelajaran, pengelolaan
kelas, serta menutup pelajaran. Hal ini disebabkan oleh kurangnya
pemahaman dan pengetahuan mahasiswa dalam membuat perencanaan
467
pembelajaran disamping itu pelaksanaan pembelajaran tidak sesuai
dengan perencanaan yang dibuat. Sehubungan dengan hal tersebut di
atas maka perlu kiranya untuk mengetahui Pengaruh Perencanan
Pembelajaran terhadap Pelaksanaan Pembelajaran ( Suatu Penelitian
terhadap Mahasiswa PPL Prodi Pendidikan Geografi FKIP Universitas
Almuslim).
Pembahasan
Perencanaan pengajaran yang dilakukan oleh mahasiswa prodi
pendidikan ekonomi Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial
IKIP PGRI Bali merupakan rangakaian kegiatan atau strategi yang
disusun sedemikian rupa untuk mencapai suatu maksud. Perencanaan
ini perlu mereka rancang agar tujuan yang diinginkan dapat terwujud
dengan baik dan efektif sehingga tidak ditemukan kendala yang cukup
berarti dalam konteks pengajaran. Perencanaan dala ini berarti sebagai
proses penyusunan materi ajar, penggunaan media, penggunaan
pendekatan dan metode pengajaran serta penilaian dalam suatu alokasi
waktu untuk mencapai kompetensi tertentu yang telah dirumuskan.
Disamping perencanaan pengajaran mahasiswa prodi pendidikan
ekonomi FPIPS harus melakukan pelaksanaan pengajaran di dalam
kelas. Pelaksanaan adalah proses, cara, perbuatan melaksanakan
rancangan atau keputusan.Melaksanakan pengajaran berarti penerapan
secara nyata rencana pengajaran yang telah dibuat oleh seorang
guru,sedangkan pelaksanaan proses pengajaran merupakan langkah-
langkah kegiatan yang dilakukan oleh mahasiswa program studi
pendidikan ekonomi FPIPS IKIP PGRI Bali dalam pengajaran masih
bersifat klasikal. Konsep perencanaan pengajaran dapat dilihat dari
468
berbagai sudut pandang : (a) Perencanaan pengajaran sebagai teknologi
adalah suatu perencanaan yang mendorong penggunaan teknik-teknik
yang dapat menhubungan tingkah laku kognitif dan teori-teori
konstruktif terhadap solusi dan problem pengajaran , (b) perencanaan
sebagai suatu siste adalah susunan dari sumber prosedur untuk
menggerakkan pengajaran, (c) perencanaan sebagai suatu disiplin
adalah cabang pengetahuan yang senantiasa memperhatikan hasil-hasil
penelitian dan teori tentang strategi pengajaran dan implementasi
terhadap strategi.Perangkat yang harus dipersiapkan mahasiswa
program studi pendidikan ekonomi dalam perencanaan pengajaran
harus berpijak pada,(a) pemahaman kurikulum,(b)menguasai bahan
ajar, (c) menyusun program pengajaran, (d) menialai program
pengajaran, (e) menilai program pengajaran dan hasil proses belajar
mengajar yang telah dilaksanakan.
Berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional N0.41 Tahun
2007 perencanaan pengajaran meliputi silabus dan rencana pelaksanaan
pengajaran yang memuat sekurang kurangnya tujuan pembelajaran,
materi pembelajaran ,metode pembelajaran, sumber belajar dan
penilaian hasil belajar. Menurut Peraturan Menteri Pendidikan Nasional
No.41 Tahun 2007 pelaksanaan pembelajaran merupakan implementasi
dari RPP. Pelaksanaan pembelajaran meliputi : 1) Kegiatan
pendahuluan, dalam kegiatan pendahuluan guru : a) menyiapkan
peserta didik secara psikis dan fisik untuk mengikuti proses
pembelajaran, b) mengajukan pertanyaan-perntanyaan yang mengaitkan
pengetahuan sebelumnya dengan materi yang akan dipelajari,c)
menjelaskan tujuan pembelajaran atau kompetensi dasar yang akan
dicapai, d) menyampaikan cakupan materi dan penjelasan uraian
469
kegiatan sesuai silabus 2) Kegiatan Inti,Pelaksanaan kegiatan inti
merupakan proses pencapaian KD yang dilakukan secara
interaktif,inspiratif,menyenangkan,menantang,memotivasi peserta didik
untuk berpartispasi aktif serta memberikan ruang yang cukup bagi
prakarsa, kreativitas dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat dan
perkembangan fisik serta psikologis peserta didik. Kegiatan inti
menggunakan metode yang disesuaikan dengan karakteristik peserta
didik dan mata pelajaran yang dapat meliputi :
1) Proses Eksplorasi
Dalam kegiatan eksplorasi guru :
a) Melibatkan peserta didik mencari informasi yang luas dan
dalam tentang tema/topic materi yang akan dipelajari
dengan menerapkan prinsip alam,jadi guru dan siswa belajar
dari berbagai sumber
b) Menggunakan beragam pendekatan pembelajaran , media
pembelajaran dan sumber lain
c) Memfasilitasi terjadinya interaksi antar peserta didik serta
peserta didik dengan guru, lingkungan dan sumber belajar
lainnya
d) Melibatkan peserta didik secara aktif dalam setiap kegiatan
pembelaajaran
e) Memfasilitasi peserta didik melakukan percobaan
laboratorium,studio atau lapangan
2) Elaborasi, Dalam kegiatan elaborasi guru
a) Mebiasakan peserta didik membaca dan menulis yang
beragam melalui tugas-tigas tertentu yang bermakna
470
b) Memfasilitasi peserta didik melalui pemberian tugas ,diskusi
dan lain-lain untuk memunculkan gagasan baru baik secara
lisan maupun tertulis
c) Memberi kesempatan untuk
berpikir,menganalisis,menyelesaikan masalah dan bertindak
tanpa rasa takut
d) Memfasilitasi peserta didik dalam pembelajaran kooperatif
dan kolaboratif
e) Memfasilitasi peserta didik berkompetisi secara sehat untuk
meningkatkan prestasi belajar
3) Konfimasi. Dalam kegiatan konfirmasi guru :
a) Memberikan umpan balik yang positif dan penguatan dalam
bentuk lisan dan tulisan maupun memberikan hadiah
terhadap keberhasilan peserta didik
b) Memberikan konfirmasi terhadap hasil eksplorasi dan
elaborasi peserta didik melalui berbagai sumber
4) Kegiatan Penutup. Dalam kegiatan penutup guru :
a) Guru Bersama-sama dengan peserta didik atau sendiri
membuat rangkuman atau simpulan pelajaran
b) Melakukan penilaian dan atau refleksi terhadap kegaitan
yang sudah dilaksanakan
Berdasarkan penjelasan diatas sebelum melaksanakan pengajaran
mahasiswa harus menyusun perencanaan pengajaran yang bertujuan
untuk memudahkan dalam proses pengajaran yang akan dilakukan
nantinya. Jika rencana pembelajaran yang dibuat oleh guru baik, maka
akan berpengaruh terhadap pelaksanaan pembelajaran.
Metode Penelitian
471
a. Jenis Penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian
korelasional dengan menggunakan pendekatan kuantitatif.
b. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Fakultas Pendidikan Ilmu
Pengetahuan Sosial Program Studi Pendidikan Ekonomi.
Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 02 September 20
Desember 2016
c. Populasi
1. Populasi
Populasi dalam penelitian ini seluruh mahasiswa PPL prodi
pendidikan ekonomi FPIPS IKIP PGRI Bali semester ganjil
tahun ajaran 2016/2017 seperti yang terlihat dalam tabel di
bawah ini :
Tabel 1 : Jumlah Mahasiswa PPL Program Studi Pendidikan Ekonomi
No Kelas Jumlah
1 VII A 37
2 VII B 38
Sumber : Unit PPL IKIP PGRI Bali Tahun 2016
Uji Coba Instrumen Penelitian Dalam memastikan bahwa instrumen
yang digunakan untuk penelitian agar mendapatkan alat ukur yang
akurat dan dapat dipercaya, maka digunakan dua macam pengujian
yaitu uji reliabilitas dan uji validitas dengan menggunakan SPSS.
Uji Reliabilitas
Uji reliabiitas menunjukkan sejauh mana suatu hasil pengukuran
relative konsisten apabila pengukuran terhadap aspek yang sama pada
alat ukur yang sama. Pada penelitian ini uji reliabilitas alat ukur yang
472
digunakan Cronbach alpha dengan rumus:varians butir Kriteria
perhitungan adalah jika r hitung > t tabel maka item dikatakan reliable,
sedangkan jika r hitung < t tabel maka item dikatakan tidak reliable. Uji
validitas Uji valliditas dalam penelitian adalah suatu derajat ketepatan
alat ukur penelitian tentang isi sebenarnya yang diukur, uji validitas
dapat dilihat pada corrected item total curralation. untuk menguji
validitas instrument digunakan metode korelasi product moment
dengan rumus:
Kesimpulan
Pembentukan kompetensi professional keguruan memerlukan
pengintegrasian antara pendekatan teoritis dan praktek kerja,
pengintegrasian antara tujuan ,bahan ajar, metode kerja ,media serta
473
teknologi pengajaran dan sumber pengajaran berdaya guna.IKIP PGRI
Bali telah mencantumkan Program Pengalaman Lapangan sebagai salah
satu mata kuliah keahlian yang wajib dilaksanakan oleh seluruh
mahasiswa. Melalui PPL ini akan terpadu antara teori dengan praktek
.Bagi mahasiswa lembaga kependidikan guru ,Program Pengalaman
Lapangan adalah muara dari seluruh program pendidikan yang dihayati
sepanjang masa belajarnya. Dengan kata lain bahwa PPL merupakan
program yang mengintegrasikan segala kemampuan keguruan yang
telah diperoleh mahasiswa pada lembaga pendidikan guru.
DAFTAR PUSTAKA
474
PERJUANGAN MASYARAKAT DESA PEJENG
MELAWAN NICA PADA MASA REVOLUSI FISIK
TAHUN 1946
I Nyoman Bayu Pramartha, M. Pd
Abstraksi
475
Nomor 20 Tahun XIV Oktober 2016
ISSN 1907-3232
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
tantangan dan salah satu diantaranya ilah usaha Belanda utuk kembali
476
Nomor 20 Tahun XIV Oktober 2016
ISSN 1907-3232
balabantuan dari pihak musuh dari PPN Gianyar datang dan diperkuat
477
Nomor 20 Tahun XIV Oktober 2016
ISSN 1907-3232
478
Nomor 20 Tahun XIV Oktober 2016
ISSN 1907-3232
479
Nomor 20 Tahun XIV Oktober 2016
ISSN 1907-3232
480
Nomor 20 Tahun XIV Oktober 2016
ISSN 1907-3232
481
Nomor 20 Tahun XIV Oktober 2016
ISSN 1907-3232
3.3 Interprestasi
3.4 Historiografi
Dalam langkah akhir suatu penelitian yang harus ditempuh
sejaraan adalah menyusun cerita sejarh atau penulisan sejarah yang
mana lebih dikenal dengan istilah historiografi, dalam tahap ini
diperlukan kemampuan dan ketelitian untuk menjaga mutu cerita
sejarah yang disusun. Hasil interprestasi yang diwujudkan dilanjutkan
dengan langkah-langkah penyusunan cerita sejarah yang disusun dan
yang bukan merupakan prinsip-prinsip tertntu, seperti prinsip
serealisasi (cara-cara membuat urutan-urutan waktu peristiwa), dan
prinsip kausasi (hubungan sebab akibat. Artinya mencari analisa
dengan pertanyaan-pertanyaan seperti : Mengapa peristiwa itu terjadi,
faktor-faktor apa yang mendorong dan menyebabkan terjadinya
482
Nomor 20 Tahun XIV Oktober 2016
ISSN 1907-3232
VI PEMBAHASAN
4.1 Faktor yan Melatarbelakangi Perjuangan Rakyat di Daerah
Pejeng melawan NICA dalam mempertahankan NKRI
tahun 1946
483
Nomor 20 Tahun XIV Oktober 2016
ISSN 1907-3232
484
Nomor 20 Tahun XIV Oktober 2016
ISSN 1907-3232
485
Nomor 20 Tahun XIV Oktober 2016
ISSN 1907-3232
V SIMPULAN
5.1. Perjuangan Masyarakat Desa Pejeng Melawab Belanda
Perjuangan yang dilakukan oleh Masyarakat Desa Pejeng
melawan penjajah Belanda disebabkan oleh beberapa faktor
yaitu: 1). Faktor ekonomi, pada masa penjajahan belanda
keadaan ekonomi masyarakat Desa Pejeng sangat terpuruk.
Dimana kebutuhan sandang dan pangan sangat sulit untuk
dipenuhi. Hal tersebut dikarenakan penjajahan Belanda belanda
bertindak semena-mena untuk kepentingannya. 2). Faktor rasa
aman, dengan kedatangan Belanda untuk kedua kalinya ke Bali
dan ke Desa Pejeng khususnya, menyebabkan penduduk
menjadi resah. Dimana tindakan-tindakan Belanda yang
membuat onar dan ingin menguasai Indonesia kembali
menyebabkan masyarakat Desa Pejeng merasa kurang aman dan
nyaman. 3). Faktor haraga diri, belanda yang tidak menghargai
kedaulatan bahwa bangsa Indonesia telah merdeka bertindak
kasar kepada penduduk Desa Pejeng. Dimana Belanda
menyiksa dan mempekerjakan masyarakatsecara paksa.
5.2 Proses Masyarakat Pejeng Melawan Penjajah
Proses yang dilakukan oleh Masyarakat Desa Pejeng
melawan penjajah melalui beberapa tahap yaitu: 1). Tahap
486
Nomor 20 Tahun XIV Oktober 2016
ISSN 1907-3232
487
Nomor 20 Tahun XIV Oktober 2016
ISSN 1907-3232
DAFTAR PUSTAKA
Panjaka.
488
Nomor 20 Tahun XIV Oktober 2016
ISSN 1907-3232
Balai Pustaka
Rajawali Perss.
Serangkai.
489
Nomor 20 Tahun XIV Oktober 2016
ISSN 1907-3232
490