Anda di halaman 1dari 14

RP101

Change Management

Transkrip
Minggu 6: Non-Finito


Video 1: Di Balik Non-Finito
Video 2: Memaknai Kata Krisis
Video 3: N-Step
Video 4: The Burning Platform
Video 5: Koalisi Perubahan
Video 6: Membangun Visi
Video 7: Hope Management
Video 8: Uncertainty


Video 1 : Risk Types in Making a Change

Peserta Indonesia X, kita akan membahas kembali tentang Change Management. Kali ini
saya akan membawa oleh-oleh dari Italia. Sebuah era dimana pada waktu itu terjadi proses
renaissance yang begitu dahsyat. Dan kita sudah tahu dampak renaissance itu. Ketika itu
timbullah, muncullah ilmuwan-ilmuwan baru yang mencoba mengajak melihat dunia,
bahwa dunia ini penuh dengan perubahan. Dan kemudian hasilnya adalah sebuah karya-
karya yang tidak hanya berupa karya seni seperti ini yang kita saksikan, tetapi juga adalah
ilmu pengetahuan.

Ilmu pengetahuan begitu cepat berkembang karena di Italia, di sebuah kota yang kemudian
dikenal dengan nama Florence, itu berkembang karena didukung oleh seorang penyandang
dana yang terkenal yaitu keluarga Medici. Saya sempat mampir ke sebuah kampus, yang
pada saat itu ada wisuda. Dan saya mendengar setiap tahun hanya beberapa orang yang
diterima di kampus itu. Di Italia, konon hanya ada dua universitas yang dianggap hebat.
Yang pertama adalah universitas yang terletak di Milan dan yang kedua adalah universitas
yang terletak di Florence.

Di Florence mereka harus mengambil seluruh mata kuliah yang telah ditentukan, yang
untuk membentuk pengetahuan seseorang. Karena peminatnya sangat banyak, sedangkan
yang diseleksi sangat sedikit, maka mereka berhasil mendapatkan bibit-bibit terbaik yang
kemudian menjadi pemimpin di Italia. Yang menarik perhatian saya adalah peranan
keluarga Medici dimana empat dari keturunannya adalah menjadi Paus di Itali, Paus untuk
umat Katolik seluruh dunia. Dan juga salah satu keturunannya menjadi semacam bupati di
Florence.

Mereka mewariskan berbagai hal termasuk karya-karya seni ini. Yang menarik perhatian
saya adalah karya seni seperti ini adalah biasa, wajar, utuh, sempurna. Indah sekali. Tetapi
saya menemukan karya Michelangelo yang berbentuk seperti ini. Ini adalah patung yang
tidak sempurna. Lihat ini, tidak sempurna. Belum selesai. Ini disebut dengan Non-Finito.
Ada empat buah patung dan saya sempat membeli dua. Ini adalah karya yang dihasilkan
oleh penduduk asli di Florence dan mereka membuat seperti Michelangelo dalam bentuk
miniatur.

Tingginya sekitar 2,9-2,6 meter. Tetapi, untuk karya ini, ini adalah replikasinya dari sebuah
marbel yang dipahat oleh penduduk setempat, dengan mencoba gaya Michelangelo

Halaman 1 dari 14




RP101

memahat, dibuat replikasinya. Keempat patung ini disebut sebagai The Naked Slave. Ya,
The Naked Slave. Dan empat-empatnya tidak lengkap. Empat-empatnya, dan empat-
empatnya tidak selesai. Inilah aslinya, empat-empatnya yang setinggi 2,6 sampai 3 meter
itu. Ini ada yang disebut yang pertama ini adalah patung Atlas; yang kedua disebut adalah
patung The Naked Bearded atau Pria yang Berjanggut, Pria Berjanggut; kemudian di sini
adalah Young Slave, Budak Muda; dan kemudian yang terakhir adalah Awakening
Slave.

Jadi saya memiliki dua di antaranya. Dan saya menjadi sangat tertarik karena ternyata
karya ini tidak selesai, tidak tuntas. Meski tidak tuntas, di Italia atau di dalam dunia seni
karya ini tetap diterima sebagai sebuah karya yang lengkap, namun dikenal sebagai karya
Non-Finito.

Ada sejumlah teori yang menjelaskan makna teori Non-Finito. Dan saya akan masuk nanti
menjelaskan, apa hubungannya dengan proses perubahan yang tengah dialami oleh bangsa
ini. Peserta Change Management, saya ingin mengatakan kepada Anda bahwa keempat
karya ini adalah karya luar biasa. Teori pertama mengatakan bahwa ini tidak selesai
karena Michelangelo sudah keburu bosan. Teori yang kedua mengatakan, eh ini bukannya
dia bosan. Tetapi karena dia ingin menunjukkan walaupun belum jadi, ini sudah kelihatan
indah.

Michelangelo dikenal dengan mencari anatomi tubuh manusia sehingga bisa terlihat itu
begitu indah. Dan Michelangelo ingin menunjukkan hal itu. Tapi teori lain mengatakan,
jangan-jangan Michelangelo ini mengalami kesulitan. Katakanlah setelah dia membuat
patung Dewa Atlas ini. Ternyata di bagian atas dia mengalami kesulitan karena jenis batu
ini ternyata tidak bisa dibentuk sesuai dengan keinginannya. Ini adalah batu marbel asli
yang mempunyai kelenturan dan kekuatan yang luar biasa. Tentu tidak mudah untuk
dipahat.

Tapi kemudian ada teori-teori lain. Teori lain mengatakan, Michelangelo itu adalah seorang
yang senang merantau. Dan ketika patung ini baru selesai sebagian, Michelangelo sudah
tertarik untuk pindah ke kota lain. Dan teori terakhir mengatakan, Michelangelo
sesungguhnya adalah seseorang yang juga bertarung menghadapi ketidakpastian. Karena
ternyata penyadang dananya meninggal dunia sebelum patung ini selesai. Artinya, di
tengah-tengah kontrak, dana tidak ada lagi. Patung-patung ini adalah patung yang dikenal
dengan istilah Non-Finito. Keempat patung ini tidak selesai.

Setelah menyaksikan keempat patung ini di Florence, saya kemudian berpikir betapa di era
yang penuh ketidakpastian di abad ini, abad ke-21. Abad dimana Anda sudah mendengar
bahwa populasi penduduk Indonesia bergerak begitu cepat menjadi 8 miliar jiwa, setiap 12
tahun bertambah 1 miliar jiwa. Dengan urbanisasi yang begitu cepat dan terjadi borderless
world, dimana kita saling terpengaruh satu sama lain, dollarnya tiba-tiba menguat dan
seluruh bangsa lain kemudian terkapar.
Dan kita menyaksikan ada sebuah era yang kita sebut uncertain, sebuah era yang tidak
pasti, bergejolak dan tidak pasti.

Di era yang bergejolak tidak pasti ini tentu ada banyak sebab kenapa menjadi tidak pasti.
Tetapi hal ini mengakibatkan akan banyak sekali terjadi orang yang atau pemimpin yang
mulai mencoba melakukan perubahan, tetapi proyek-proyeknya tidak selesai. Saya
memberikan Anda sebuah ilustrasi yang sangat mudah sekali. Kalau Anda berada di
Jakarta, maka Anda akan melihat beberapa proyek yang tidak selesai. Di zamannya Bang
Yos, Bang Yos adalah orang yang visioner, mencoba untuk membangun Jakarta dengan
penuh kesungguhan, namun beberapa di antaranya barangkali tidak kita lihat lagi.

Halaman 2 dari 14




RP101

Yang pertama adalah waterway. Transportasi dengan menggunakan sungai. Ini tidak kita
lihat lagi sekarang. Yang kedua yang juga tidak Anda lihat dan Anda saksikan onggokannya
itu adalah tiang-tiang monorel. Begitu membuat Jakarta macet pada saat dibangun. Tiang-
tiang itu berdiri kokoh melewati jalan-jalan utama di Ibu kota. Tetapi penerusnya
kemudian tidak bermaksud untuk meneruskannya. Itu adalah contoh dari Non-Finito.

Selebihnya tentu berhasil, katakanlah busway, itu saya kira warisan dari Bang Yos yang
sangat luar biasa. Kemudian juga beberapa jalan layang di Jakarta, non-tol. Itu juga bisa
kita nikmati saat ini di Jakarta. Tetapi Bang Yos menghadapi ini dalam suasana Non-Finito
karena setelah itu gubernur adalah pilihan rakyat dan setelah itu yang menjadi gubernur
adalah penggantinya dan penggantinya kemudian mempunyai cara berpikir yang berbeda.
Saya kira ini juga kita saksikan sekarang bagaimana Gubernur DKI, Ahok, atau Basuki
Tjahaja Purnama, tengah membangun banyak sekali jalan yang membuat Jakarta macet,
termasuk jalan kereta api bawah tanah yang kita khawatirkan, kalau nanti dia kehabisan
waktu dan tidak diteruskan oleh penggantinya, maka yang terjadi adalah kita akan
menyaksikan tiang-tiang lagi yang terus berdiri tegak di tengah kota.

Saya bisa tunjukkan Anda contoh yang lain lagi. Kali ini adalah sebuah keributan yang
ramai menjelang pilkada serentak. Contohnya adalah berita ini. Ini adalah berita tentang
walikota Surabaya yang pada saat akan maju pilkada serentak dari Surabaya untuk
meneruskan kepemimpinan pada tahap kedua, ternyata pada tahap menjelang
dimasukannya dokumen, salah satu peserta pemilihan walikota mengundurkan diri.

Sehingga akibatnya dia tidak mempunyai lawan. Dan berakibat bahwa pilkada di Surabaya
dapat ditunda. Untunglah kemudian pilkada itu dapat dilanjutkan dan saya membaca
berita di sini, pada saat Risma tidak mempunyai lawan dan kemungkinan besar akan
tertunda kepemimpinannya, digantikan oleh PLT. Ada sebuah wawancara yang bagus yang
saya saksikan, saya di Kompas.com.

Di sini dikatakan, Mimpi saya belum terwujud. Artinya lagi-lagi adalah proyek-proyeknya
akan menjadi Non-Finito. Di sini ada beberapa hal yang proyek-proyeknya yang
dijalankan, yang tentunya pada ujungnya adalah dia ingin menyejahterakan rakyat di
Surabaya. Dan kalau ini terjadi, maka dia tidak bisa meneruskan mimpi-mimpinya. Lagi-
lagi adalah Non-Finito. Tapi beruntunglah suasananya segera berubah.

Dari berbagai contoh-contoh ini saya ingin mengatakan kepada Anda, seorang pemimpin
yang bergerak memimpin untuk sebuah proses yang sifatnya long term. Ingat ya, Indonesia
ini masalahnya banyak sekali pemimpin-pemimpin yang hanya tertarik untuk
menyelesaikan proyek-proyek yang sifatnya pendek-pendek. Dan akibatnya menjadi beban
bagi pemimpin berikutnya.

Dan di Indonesia kalau seorang pemimpin mau memimpin sesuatu proyek-proyek yang
sifatnya jangka panjang, maka pemimpin itu akan menghadapi situasi yang disebut situasi
Non-Finito. Karya-karyanya kemungkinan besar tidak selesai.


Video 2: Memaknai Kata Krisis

Peserta IndonesiaX course untuk Change Management, saya ingin mengulangi lagi bahwa
topik bahasan kita adalah mengenai Non-Finito. Proyek-proyek yang jadinya tidak selesai
karena pemimpin kehabisan waktu dan pemimpin pun bergulat menghadapi yang disebut
uncertainties, ketidakpastian. Bukan hanya satu ketidakpastiannya tapi ada banyak.
Ketidak-ketidakpastian. Banyak sekali. Begitu kompleks dunia ini. Dan untuk itulah maka
diperlukan sebuah kemampuan untuk me-manage sebuah situasi.

Halaman 3 dari 14




RP101

Seperti barangkali krisis saat ini. Krisis saat ini, ini disikapi selalu berbeda-beda oleh
manusia. Dan response kita tidak selalu sama. Kita saksikan ketika dollar menguat, bangsa
kita itu seperti tunggang-langgang bergerak, ngos-ngosan, capek, komplain, sakit, dan lain
sebagainya. Karena kita adalah bangsa konsumtif. Selama bertahun-tahun pertumbuhan
ekonomi kita, kita nikmati dari pertumbuhan konsumsi yang luar biasa.

Anda lihat peserta kita yang ingin pergi mengikuti ziarah ibadah ke luar negeri. Apakah itu
juga umroh, apakah pergi ke Lourdes, dan sebagainya, pesertanya banyak sekali. Bahkan
pada peak season, satu hari bisa 2.000 yang pergi. Kalau Anda ingin pergi naik haji, Anda
pun sekarang harus antre bahkan ada yang 10 tahun di sebuah daerah keberangkatan.
Peminatnya banyak sekali. Anda juga saksikan belakangan ini daging sapi dari sapi lokal
tidak cukup, kita pun harus impor.

Garam kita impor, ikan kita impor, Anda bisa lihat sepeda motor di mana-mana, mobil di
mana mana. Kota yang tadinya sepi tiba-tiba sekarang Anda lihat menjadi padat sekali. Kita
adalah bangsa yang konsumtif dan ketika dollar menguat kita semua cemas. Karena takut
tidak bisa terbeli. Padahal, ketika mata uang lokal mengalami penurunan, depresiasi,
artinya Itu kesempatan bagi kita untuk masuk pasar internasional.

China misalnya, sangat khawatir ketika dollar begitu kuat ternyata mata uangnya ikut-
ikutan kuat. Dan akhirnya China merasa, saya tidak bisa jualan di pasar dunia. China cemas
ketika mata uangnya menjadi begitu kuat dan kemudian mereka melakukan intervensi,
melakukan devaluasi. Kenapa China melakukan devaluasi? Karena China adalah bangsa
pedagang, bukan bangsa konsumtif.

Ya benar, kalau kita saksikan di daerah Shanghai penduduknya adalah bergaya hidup,
mereka menikmati produk-produk gaya hidup sama seperti kita. Tetapi secara
keseluruhan bangsa itu adalah bangsa pedagang dan ingin berjualan. Pernahkah kita
merasakan bahwa dalam situasi yang berubah kita pun harus beradaptasi. Dan krisis itu
sebetulnya baik bagi Indonesia.

Setiap bangsa mendefinisikan krisis berbeda-beda. Dan kalau kita membuka kamus maka
kita akan menemukan jawabannya. Dan itulah cerminan cara berpikir kita dalam
menghadapi situasi yang berubah. Di kamus bahasa Inggris saya menemukan definisi
mengenai crisis, ini bagi bangsa Barat yang berbahasa Inggris, mereka mengatakan, crisis
is a turning point, titik belok, for better or for worse. Jadi titik belok bisa ke atas menjadi
lebih baik lagi atau dia akan mati terkubur dan kemudian tersungkur di sana. Titik belok.
Jadi kalau Anda me-manage krisis dengan baik maka dia bisa belok menjadi lebih baik.

Kemudian saya coba lihat lagi dalam kamus yang dianut orang-orang China. Di China
ternyata mereka mempunyai sebuah karakter yang pernah diucapkan oleh John F.
Kennedy tahun 60-an. Dia mengatakan, di China crisis itu adalah wij, yang artinya
adalah, nah ini bisa dibalik, bisa melihat pada salah satu. Satu orang yang pesimis akan
mengatakan itu adalah dangers in opportunity. Sedangkan orang-orang yang berjiwa
wirausaha, para wirausaha, itu membacanya adalah opportunity in dangers. Peluang dalam
bahaya. Jadi selalu berdampingan kata peluang dan ancaman ini, peluang dan ancaman
berdampingan. Tinggal Anda melihat di mana.

Sedang di kita, itu dipenggal sehingga menjadi satu kata saja. Dalam kamus bahasa
Indonesia, kata krisis itu adalah suasana yang genting, gawat, kemelut. Mengerikan bukan?
Dan karena definisi itulah yang merupakan cermin cara berpikir kita, ditambah kita adalah
bangsa yang konsumtif, maka kita takut tidak terbeli barang-barang yang saya sebutkan
tadi dan kemudian kita merasa ini kemelut. Dan kemudian dialog-dialognya adalah dialog-
dialog orang panik, saling menyalahkan, saling menekan, seakan-akan besok tidak ada

Halaman 4 dari 14




RP101

kehidupan lagi. Padahal krisis atau situasi gawat dari luar itu, external factors adalah
pressure agar kita berubah. Itu ada peluangnya, itu ada kesempatannya.

Saya ingin menunjukkan kepada Anda. Ini adalah sebuah realitas. Ketika penduduk dunia
yang saya sebutkan tadi sudah menjadi 8 miliar jiwa. Anda saksikan. Ini pernah terjadi di
kereta api kita. Dan ketika itu ada seorang yang hadir menjadi pimpinan PT Kereta Api
Indonesia dengan visi yang luar biasa. Dia berasal dari latar belakang korporasi, memiliki
kemampuan accounting yang baik, Pak Ignatius Jonan. Dan dia melihat, Eh, ini ada sense
of urgensi-nya nih kalau penduduk seperti ini. Dia kemudian melakukan perombakan dan
akhirnya Anda bisa saksikan, kereta api kita sekarang sudah jauh lebih manusiawi. Dulu
seperti ini dan sekarang kita sudah tidak pernah lagi menemukan suasana penumpang kita
seperti kereta api di India, Pakistan, atau Bangladesh. Ini adalah sebuah hal yang menarik
bagi kita.

Sama halnya ketika dulu pada saat kita merayakan Idul Fitri, pulang kampung naik kapal.
Anda bisa saksikan, lihat seperti ini. Seperti ini. Mereka berebut naik kapal dan akhirnya ini
menjadi ancaman bagi safety, ancaman bagi keselamatan. Oleh karena itu maka setiap
pemimpin yang dibekali dengan keterampilan change management maka dia akan melihat,
selain melihat waktunya tadi, juga dia harus melihat apakah ini merupakan sebuah signal
bagi kita untuk melakukan perubahan. Ini semua akan membentuk visi seseorang.


Video 3: N-Step

Sekarang saatnya pada Anda saya akan menjelaskan delapan langkah yang bisa digunakan
bagi seseorang untuk melakukan perubahan atau me-manage perubahan. Delapan langkah
atau teori N-Step, N-nya adalah delapan. Ini berasal dari John P Kotter. John Kotter ini
mengatakan kalau kita mau melakukan perubahan, maka inilah langkah-langkahnya.

Yang pertama, ciptakanlah suasana yang mendesak, atau bahasa Inggris-nya sense of
urgency, suasananya harus urgent, itu harus kita create. Yang kedua, bentuklah koalisi
perubahan. Anda tak bisa melakukannya sendiri. Yang ketiga, Anda harus membangun visi.
Keempat, komunikasikan visi Anda. Kelima, dorong para pengikut agar bertindak sesuai
visi yang sudah dituliskan tadi dan dikomunikasikan. Dan kemudian yang keenam, raihlah
kemenangan-kemenangan jangka pendek. Yang ketujuh, jangan berhenti, terus lakukan
konsolidasi. Dan yang terakhir atau kedelapan, lembagakan pendekatan-pendekatan baru,
terapkan perubahan secara struktural.

Kita bahas satu per satu. Saudara-saudara sekalian, barangkali saudara-saudar sempat
belajar mengenai munculnya kekuasaan Islam di Eropa yang dikenal dengan kerajaan atau
sebuah dinasti dari Bani Umayyah. Bani Umayyah ini adalah sebuah dinasti yang begitu
perkasa yang bahkan berhasil menjejakkan kaki Islam di benua Eropa.

Saya sempat mampir sebelum pergi ke Florence, saya mampir menelusuri daerah-daerah
kekuasaan Bani Umayyah di Spanyol. Dan di sana saya kemudian melihat jejak sejarah dari
seorang tokoh yang pernah menggunakan kapal. Dia menggunakan kapal, kapal kayu. Dan
yang pergi itu adalah ratusan kapal kayu membawa pasukannya ke Eropa. Tokoh ini adalah
seorang yang bernama Thariq bin Ziyad.

Ini Thariq bin Ziyad sangat terkenal dalam sejarah Islam. Thariq bin Ziyad ini membawa
rombongan yang terdiri dari kapal-kapal seperti ini, kapal perang. Dan kapal itu kemudian
mendarat di dataran Spanyol. Sampai di sana, setelah mereka sampai di sana, pada saat
mereka sangat letih, kemudian mereka beristirahat sebentar, Thariq kemudian berseru
kepada pasukannya, Kita sudah sampai di tanah Eropa. Tapi sekarang mari kita lakukan
sesuatu. Mereka diminta mengumpulkan semua kapal yang ada di sana, yang dibawa oleh

Halaman 5 dari 14




RP101

pasukannya, dan kemudian ia meminta agar kapal-kapal itu dibakar bersama-sama.
Mereka membakarnya.

Dan kapal-kapal kayu seperti ini tentu saja tidak terlalu sulit untuk dibakar. Saudara-
saudara sekalian, kapal-kapal layar atau kapal-kapal kayu seperti ini ketika merapat ke
sana, para pasukan berpikir, Kalau kita sudah menang, nanti kita bisa kembali pulang ke
sana. Tetapi Thariq ingin membawa suasana keterdesakkan. Bahwa ia harus memimpin
sebuah pasukan yang akan memenangkan pertempuran, merebut Eropa. Apa yang
dilakukan oleh Thariq bin Ziyad adalah dengan membakar kapal-kapal kayu itu tidak lain
untuk menunjukkan kepada anggotanya, Kita tidak akan pulang kecuali kita menang.

Jadi jangan berpikir pulang. Kita berpikir untuk menguasai wilayah ini dan kemungkinan
besar kita akan tinggal dengan keturunan-keturunan kita. Bahkan keturunan kita akan
meneruskan keberadaan kita di tempat ini selama beberapa ratus tahun ke depan. Itulah
yang dilakukan oleh Thariq bin Ziyad. Itulah yang disebut dengan sense of urgency.

Sebuah rasa atau suasana yang mendesak. Rasa keterdesakan. Tidak banyak orang yang
mampu membangun suasana yang terdesak ini di Indonesia dalam memimpin perubahan.
Karena mungkin bangsa kita adalah bangsa yang justru kalau terdesak seringkali menjadi
mudah marah, menjadi reaktif, bereaksi. Walaupun kita semua merasakan bahwa ini sudah
harus dilakukan. Pemimpin-pemimpin yang hebat adalah pemimpin yang berhasil
menciptakan suasana yang terdesak, sehingga kemudian rakyatnya, kemudian para
pengikutnya, pegawainya, masyarakatnya, kemudian mengatakan, Well, we dont have
any choice. Kita harus melakukan itu. Kalau tidak, kita akan mati.

Sama dengan krisis. Krisis itu adalah suasana yang mendesak yang sebetulnya bagus bagi
kita untuk melakukan perubahan. Perubahan. Saudara-saudara, banyak pemimpin yang
lupa untuk menciptakan suasana keterdesakan ini. Sehingga akibatnya tampak ia sedang
bertempur dengan banyak sekali lawan-lawannya. Dan semua orang yang harusnya
menjadi suporternya, kemudian tiba-tiba beralih menjadi lawan. Menjadi sebuah kekuatan,
yang seharusnya kita ajak mereka untuk sama-sama memerangi keadaan yang sangat
mendesak ini. Saya akan melanjutkannya dengan menjelaskan langkah kedua sampai
kedelapan dalam pertemuan berikutnya.


Video 4: The Burning Platform

Saudara-saudara sekalian saya akan mengulangi delapan langkah yang dapat kita lakukan.
Mengikuti petuah dari John P Kotter mengenai cara me-manage perubahan. Yang pertama
adalah ciptakan suasana yang mendesak, sense of urgency. Yang kedua adalah membentuk
koalisi perubahan. Yang ketiga, bangun visi. Dan keempat, komunikasikan visi itu. Baru
kemudian kita dorong pengikut bertindak sesuai dengan visi. Raih kemenangan-
kemenangan jangka pendek. Kita kemudian meneruskan, tidak berhenti, dan melakukan
konsolidasi. Dan terakhir yang kedelapan adalah kita lembagakan pendekatan-pendekatan
baru dan terapkan perubahan secara struktural dan berkelanjutan.

Saudara-saudara sekalian, saya sudah menjelaskan tadi dengan mempunyai, dengan
memberikan Anda contoh yaitu mengenai apa yang dilakukan oleh Thariq bin Ziyad ketika
menyerang Eropa dan menciptakan suasana keterdesakan dengan membakar kapal-kapal
yang membawa mereka sampai ke daratan itu, sehingga mereka tidak mempunyai
keinginan untuk pulang kecuali mereka menang. Hal seperti ini kemudian dikenal dengan
istilah The Burning Platform. Ya, The Burning Platform.

Kapal dibakar, burning. Platform-nya dibakar. Kenapa ini disebut The Burning Platform?
Ini tidak lain adalah untuk menciptakan suasana bahwa mereka semua paham kita hampir

Halaman 6 dari 14




RP101

mati, kita hampir tenggelam. Dan satu-satunya cara supaya kita tidak tenggelam adalah
kita harus loncat ke dalam sekoci atau kita berenang.

Saudara-saudara sekalian, kondisi inilah yang pernah dilakukan oleh pemimpin yang
namanya Abdulgani ketika ia memimpin perubahan di PT Garuda Indonesia. Garuda
Indonesia suasananya saat itu adalah begitu chaos. Rugi. Bahkan utangnya tak terbayar,
cash flow-nya negatif. Tetapi asetnya masih banyak dan perusahaan tidak mampu untuk
membayar hal-hal seperti misalnya gaji dan lain sebagainya. Kenikmatan karyawan juga
cukup banyak yang diberikan kepada karyawan-karyawan di sebuah perusahaan milik
negara.

Tetapi semua karyawan percaya perusahaan ini tidak akan dibangkrutkan. Kenapa?
Karena ini kan milik negara, di situ ada bendera Merah Putih, dan itulah penghubung
Nusantara. Bagaimana mungkin seorang presiden, seorang kepala negara, atau para
pemimpin di gedung parlemen akan mematikan perusahaan yang tentu saja dibutuhkan
untuk menyatukan Nusantara ini? Tidak akan mungkin. Kalau ini adalah perusahaan
swasta, sudah pasti dia akan bangkrut dan kemudian masuk ke pengadilan untuk
kemudian dilikuidasi. Tetapi karyawan semua merasa tidak akan mungkin.

Dan Abdulgani kemudian mengambil langkah, mengumpulkan para manajer, para
karyawannya. Dan ia mulai mengambil langkah untuk membukakan mata mereka
mengenai sense of urgency ini. Saya masih ingat ketika itu saya diminta untuk menjadi
salah satu narasumber untuk menyampaikan tentang pentingnya perubahan di hadapan
para pimpinan Garuda. Para pejabat dan manajer Garuda Indonesia yang begitu gembira
diundang di sebuah hotel di Bogor, mereka semua saya melihat suasananya adalah tidak
ada rasa akan dibubarkan.

Tidak ada rasa perusahaan ini berada dalam situasi yang gawat. Semuanya merasa, gaji
masih ada, uang masih ada, orang yang mau terbang masih ada. Tapi mereka tidak sadar,
semakin sering mereka terbang, maka perusahaan akan semakin besar kerugiannya.
Karena seringkali pesawat tidak penuh, bahkan uangnya seringkali juga tidak masuk ke
dalam perusahaan.

Abdulgani mengajak saya untuk menciptakan suasana bahwa perubahan ini adalah a
must, sebuah keharusan dan kita hampir mati. Ketika saya menjelaskan proses perubahan,
apa-apa yang terjadi, suasananya kelihatan mulai cair, dan mereka mulai paham sedikit
demi sedikit. Tetapi kemudian langsung dimasukan data-data oleh pemimpin perusahaan,
Bapak Abdulgani. Abdulgani kemudian menunjukkan data, mengajarkan mereka untuk
membaca data.

Surprisingly, dalam tempo yang cukup lama, ternyata para manajer tidak terbiasa bekerja
dengan data. Ini adalah ciri sebuah perusahaan negara di masa lalu. Dimana ketika itu para
manajer tidak dituntut untuk bertanggung jawab begitu jauh, tidak dituntut untuk
mencapai kinerja tertentu, tidak ada balance scorecard, tidak ada penilaian kerja, yang
penting dia menjaga baik-baik, dan melayani atasan-atasannya atau para pejabat yang
akan melakukan bepergian ke kota itu, dan pesawat selalu bisa terbang.

Jadi pada saat itu perlahan-lahan para manajer, para eksektutif dilatih untuk baca data.
Dan setelah itu, setelah mereka mengerti, barulah mereka menyadari ternyata kapal kita
dalam kondisi terbakar. Abdulgani berhasil menciptakan situasi bahwa para eksekutif
tidak mempunyai pilihan lain.

Apa pilihannya? Sangat mudah, change. Mereka semua harus meloncat dari kapal induk
yang sudah terbakar, the burning platform, masuk ke dalam sekoci, dan kemudian harus
bersama-sama untuk menuju cari bantuan lain supaya bisa selamat, menyelamatkan

Halaman 7 dari 14




RP101

perusahaan. Itulah yang dilakukan oleh Abdulgani ketika memperbaharui perusahaan yang
kita kenal dengan nama Garuda Indonesia, yang sekarang berjaya di luar negeri.

Saudara-saudara sekalian, tentu banyak lagi contoh. Di Pertamina, ini juga dilakukan hal
yang sama. Di banyak perusahaan milik negara. Bahkan di banyak perusahaan keluarga
yang sudah terkenal mengalami pertumbuhan yang baik. Semua mereka memulainya
dengan the burning platform, menciptakan suasana yang terdesak, sense of urgency.


Video 5: Koalisi Perubahan

Saudara-saudara, kita sudah membahas mengenai bagaimana caranya membangun
suasana yang terdesak, sense of urgency. Dan sekarang saya ingin mengajak Anda untuk
masuk ke tahap kedua. Yaitu bagaimana kita membentuk koalisi perubahan. Koalisi
perubahan artinya kita harus mempunyai teman, kita harus mempunyai kawan. Kita tidak
sendirian melakukan perubahan.

Dari awal saya sudah menceritakan kepada Anda bahwa dalam sejarah kita melihat tokoh-
tokoh yang berjuang sendirian. Figurnya dikenal dalam sejarah. Dan akhirnya mereka
kemudian mati. Mereka menderita dan karya perubahannya memang bergulir. Tetapi
pengorbanan yang diberikan sangat besar. Oleh karena itu, teori manajemen perubahan
mengatakan bangunlah koalisi bersama orang lain.

Supaya kalau Anda mendapatkan serangan, maka Anda merasa bahwa Anda tidak
sendirian. Minimal pemimpin itu memerlukan support moril. Ini sangat penting sekali
support moril. Banyak orang bekerja tanpa dukungan support moril. Karena orang yang
diubah itu akan marah. Dan jangan lupa, masyarakat kita mendua.

Pada saat kita melihat situasi yang buruk, semuanya mengatakan, Its time to change.
Jakarta dikelilingi oleh sungai-sungai yang bagus, indah, tiba-tiba menjadi kumuh, sampah
dibuang ke sana, penduduknya padat dan tinggal di sana. Sudah dipindahkan, tidak mau
pindah, balik lagi. Dikasih apartemen, balik lagi. Apartemennya dijual, balik lagi ke sana.
Dan kemudian masyarakat dan para elit mengatakan, Its time to change.

Sama juga dengan ketika kita melihat, menyaksikan berita ada seseorang mati, diperkosa,
dan dibunuh. Kemudian kita setiap hari menjadi penasaran. Dapatkah polisi menangkap
siapa pembunuhnya? Terus-menerus, setiap hari teka-teki itu sampai kemudian akhirnya
ditemukanlah penjahatnya.

Dan pada saat kita mendengar cerita bagaimana kejamnya si penjahat itu, kemudian kita
mengatakan, Orang ini harus dihukum mati. Dia harus diberikan hukuman seberat-
beratnya. Harus ada efek jera. Tetapi saudara-saudara, itu kan berlangsung pada saat
orang menyaksikan atau begitu luka mengenai korban.

Nanti, karena waktunya akan panjang, setelah itu dia proses dihukum, dan kemudian dia
menjalankan hukumannya, katakanlah dia dihukum mati. Pada saat akan dihukum mati,
kemudian suasana mencekamnya pun berubah. Orang sudah lupa bahwa kejadian yang
lalu itu begitu kejam, begitu menyengsarakan. Dan ketika orang penjahat itu akan dihukum
mati, kemudian muncullah kelompok dalam masyarakat yang mengatakan, Hukuman mati
itu tidak manusiawi. Kita menyalakan lilin beramai-ramai, kita membacakan orasi, kita
menuntut pemerintah tidak lagi menjalankan hukuman mati. Kita mempunyai sikap yang
mendua ketika kita menjalankan eksekusi.

Sama sebetulnya dengan ketika kita, atau para gubernur, walikota, bupati, atau siapa saja
para pemimpin, mengeksekusi sesuatu secara tegas dan penuh keberanian. Katanya

Halaman 8 dari 14




RP101

perubahan itu membutuhkan keberanian. Tapi begitu kita saksikan pemimpin dengan
penuh keberanian melakukan eksesusi, kita hanya mengatakan, Pemimpin itu arogan,
pemimpin itu tidak pantas, pemimpin itu telah melanggar HAM, pemimpin itu telah
melakukan hal-hal yang tidak dapat dibenarkan. Kita mendua.

Dan kita kemudian menghadapi kecaman-kecaman yang begitu luas dari masyarakat.
Bayangkan kalau Anda bergerak sendirian, Anda tidak memiliki support moril, Anda tidak
mempunyai teman, tidak ada orang yang mendukung Anda, karyawan Anda pun ketakutan.
Ada orang yang membawa golok, ada orang yang menekan, ada orang yang mengancam,
ada orang yang kemudian membawa pengacara dan Anda diancam dengan pasal-pasal
hukum. Dan keluarga Anda pun ditekan. Dan kemudian Anda tidak tidur, tidak bisa tidur
nyenyak. Satu per satu teman-teman kita meninggalkan kita karena mereka resistant to
lose, resitensi akan kehilangan. Mereka mengukur pemimpin ini berapa lama lagi akan
berkuasa. Setelah itu saya akan kerepotan sendiri.

Saudara-saudara sekalian, pemimpin perubahan memerlukan koalisi. Dia tidak bisa
sendirian. Dia perlu membangun jejaring dari orang-orang yang membela dia. Apakah
orang-orang itu berada di media massa, apakah itu pasukan cyber-nya, apakah itu para
penegak hukum, apakah itu para eksekutor, apakah itu para sponsor, bankir, apakah itu
tokoh-tokoh masyarakat. Kita harus bekerja dengan membangun jaringan yang ada
ikatannya sehingga kemudian kita bisa melakukan perubahan dengan baik. Koalisi
perubahan ini tidak dapat kita abaikan.

Seorang teman ketika mencoba memasarkan produk baru dari sebuah perusahaan listrik
negara yang belakangan ketika dia coba, ditolak. Karena ini mengubah kebiasaan lama
terutama untuk metode pembayaran. Tetapi dia teringat tentang pesan bagaimana caranya
membentuk koalisi perubahan. Ia kemudian menghubungi tokoh-tokoh masyarakat di
daerah setempat. Ia kemudian memberikan insentif kepada tokoh-tokoh itu dan kemudian
mengajak mereka bersama-sama untuk memberikan dukungan. Hasilnya, ketika kecaman-
kecaman terjadi di dalam masyarakat, bukannya si change leader inilah yang melakukan
jawaban, memberikan jawaban, melainkan mereka-mereka yang sudah berada dalam
koalisi perubahan itu.

Jadi membangun koalisi perubahan ini adalah merupakan hal yang sangat penting.
Langkah kedua adalah membangun koalisi perubahan yang kokoh. Dan yang ketiga dan
keempat ini adalah soal visi. Mengembangkan atau membangun visi dan
mengkomunikasikan visi itu. Banyak orang yang mencari visi, mempunyai visi, tetapi tidak
mengkomunikasikannya. Saya akan menjelaskannya dalam sesi kita berikutnya.


Video 6: Membangun Visi

Saudara-saudara sekalian kita sudah membahas delapan langkah untuk melakukan
perubahan. Khususnya adalah pada yang pertama, yaitu bagaimana kita menciptakan
suasana yang mendesak, sense of urgency. Kemudian yang kedua adalah membentuk
koalisi perubahan yang kokoh. Kemudian saya katakan ada dua step berikutnya yang
saling berhubungan, yaitu membangun visi dan kemudian mengkomunikasikan visi itu
sendiri. Ditambah kalau Anda mau tambahkan, yang kelima yaitu bagaimana caranya agar
mendorong para pengikut agar mereka bertindak sesuai dengan visi yang sudah kita
gariskan.

Kita bahas dulu adalah visi. Visi adalah kemampuan untuk melihat jauh ke depan. Sudah
pernah saya sampaikan kepada Anda, ada orang yang hanya mampu melihat sejauh mata
memandang. Ada orang yang mampu melihat lebih daripada mata memandang. Lebih dari

Halaman 9 dari 14




RP101

yang ada di dalam ruangan ini, kita bisa lihat di depan sana karena kita sudah mempunyai
sebuah gambaran. Ditambah lagi kita mempunyai kemampuan GPS di otak kita.

Kemampuan ini tentu saja dapat diperkaya kalau Anda memiliki ilmu pengetahuan
sehingga Anda bisa memproyeksikan apa yang terjadi. Kalau hujan bentuknya awannya
seperti apa, Anda bisa prediksi. Sebentar lagi ada hujan, saya tidak pergi sekarang. Anda
mempunyai pengetahuan jam berapa sebaiknya Anda pergi, jam berapa tidak macet, jam
berapa macet, dan seterusnya.

Visi seorang pemimpin dibentuk oleh kemampuannya untuk melihat lebih jauh daripada
mata memandang. Ia harus memiliki pengetahuan yang solid. Ia harus memiliki
pengalaman yang memadai. Ia harus memiliki bacaan-bacaan yang mendukung, bahkan
hubungan-hubungan yang yang luas, yang kemudian ditambah dengan kemampuan
menghubungkan satu dengan yang lain. Dan kemudian melihat realitas yang ada di
depannya sehingga kemudian dia menyaksikan atau mengatakan, Ini ada gap antara apa
yang kita lihat sekarang dengan apa yang seharusnya yang kita lihat di masa depan.

Anda menjembatani dari kondisi sekarang dengan visi Anda di masa depan. Dan untuk
mencapai dari sini ke tempat itu, diperlukan strategi.

Strategi pada dasarnya adalah sebuah pilihan. Pilihan yang kita ambil untuk mencapai
tujuan tertentu sehingga kita dapat menjembatani gap ini, dari A ke B.

Pilihannya tentu beragam. Ada yang mengambil langkah garis lurus. Dari sini ke sini tarik
garik lurus. Ini adalah garis yang terdekat, lurus, mudah, tidak ada rintangan. Tetapi ada
yang mengatakan, Tidak bisa kita menempuh dari A langsung ke B. Kita barangkali perlu
melambung dari A lewat Selatan, menuju B. Ada lagi yang mengatakan, Tidak bisa lewat
Selatan, harus lewat Utara. Ada lagi yang mengatakan, Tidak bisa lurus, tidak bisa A atau
B, lewat Selatan, atau lewat Utara, melambung. Tetapi harus zig-zag, harus melingkar,
berputar. Dan ini adalah sebuah pilihan.

Dulu perusahaan-perusahaan Korea ketika membuat mesin, mereka memulai membuat
otomotif dengan membuat mesin. Mesinnya itu tidak kelihatan, tidak tampak. Daewoo
misalnya, membuat mesin. Dan mesinnya itu dipakai oleh produsen-produsen otomotif
bahkan sampai di Amerika Serikat. Perusahaan-perusahaan otomotif di Amerika Serikat
sudah tidak layak lagi membuat mesin karena terlalu mahal dan keahliannya sudah bisa
diberikan kepada negara lain, bangsa Korea.

Tetapi selama dia hanya menjadi mesin, di dalam mesin, mereknya tidak kelihatan, dan
orang tidak tahu bahwa dia sudah menjadi produsen otomotif. Maka kemudian Daewoo
mengambil langkah zig-zag, Ya sudahlah, tidak apa-apa. Yang penting kita muncul dulu,
punya keahlian mesin. Dia membuat produk yang tidak ada mereknya, tidak dikenal.

Sampai kemudian satu ketika dia membuat lagi alat-alat penunjang lainnya. Dan satu
ketika mereka mengatakan, Semua sudah lengkap. Kita sudah mempunyai kandungan
lokal yang cukup besar. Kita sudah mempunyai pabrik logam yang besar di negara kita.
Kita sudah memiliki pabrik baja yang kuat. Kita sudah memiliki disainer-desainer
memadai. Kita sudah mempunyai keahlian membuat mesin. Kita sudah tahu cara
merancang sebuah otomotif.

Maka perlahan-lahan perusahaan Korea pun mulai menggabungkan keahliannya dan
melengkapi dengan unsur 20% dari local content yang sangat penting dan sangat mahal,
yaitu desain. Dan mereka kemudian membuat mobil-mobil merek-merek sendiri. Ini
strategi dari A ke B dengan jalur melingkar. Sementara yang lain, perusahaan Jepang,

Halaman 10 dari 14




RP101

cukup pergi ke Detroit. Setelah itu Toyota mengatakan, Kita bisa juga membuat mobil
dengan cara kita. Dari A ke B. Ini adalah contoh bagaimana mengembangkan sebuah visi.


Video 7: Hope Management

Saya sudah menjelaskan bahwa kita harus mengambil langkah-langkah dimulai dari
membangun suasana keterdesakkan. Dan kemudian yang kedua adalah membangun
koalisi yang kokoh. Ketiga, kita mengembangkan visi. Keempat, kita harus
mengkomunikasikan visi ini. Visi ini tentu saja bukanlah benda mati, kita harus sampaikan.
Jangan sampai kemudian datang orang baru, yang belakangan bergabung, dan kemudian
dia tidak tahu visi kita mau ke mana. Dan akhirnya kita tidur di satu kasur yang sama tapi
mimpi kita tidak sama satu sama lain. Seorang pemimpin tentu saja harus memiliki
kemampuan untuk menyampaikan visinya kepada anggota-anggotanya.

Wajarlah kalau seorang pemimpin itu atau para pengikut biasanya tahap-tahap awal dia
bingung. Dia membaca hal yang sama, tapi pikiran tidak sama. Bilangnya ya, tapi ya-nya
berbeda artinya. Oleh karena itu, kita harus mengecek mereka apakah mereka memiliki
pandangan yang sama dengan menanyakan kembali kepada mereka. Visi ini harus kita
komunikasikan kepada jajaran kita, staf-staf kita. Kemudian tentu saja adalah kepada para
orang-orang yang akan menjadi korban perubahan atau para pengikut kita yang harus
terlibat melakukan perubahan.

Setelah kita komunikasikan visi itu langkah berikutnya yang kelima adalah mendorong
para pengikut agar bergerak atau bertindak sesuai dengan visi kita. Ini artinya kita harus
menciptakan sebuah alignment, sebuah keselarasan.

Jangan sampai yang dari atas A bilangnya, kemudian di sini bilangnya A, tapi di sini
ngomongnya A minus, kemudian A minus 2, A minus 3, dan akhirnya di bawah totally
different. Anda barangkali pernah melihat sebuah permainan, hiburan di televisi. Ada
seseorang yang menyampaikan sebuah kalimat pendek, kemudian disampaikan oleh orang
pertama. Orang keduanya tidak mendengar. Setelah itu dia membaca dan setelah itu dia
menyampaikan orang kedua, orang kedua, ketiga, keempat, dan seterusnya. Belakangan
ketika kita uji, kita tahu persis, bahwa yang disampaikan di sini, yang ditulis di sini,
berbeda benar dengan yang diterima di ujung sana.

Seorang pemimpin harus melakukan alignment, penyelarasan. Alignment dapat berupa
alignment vertikal, atas-bawah, bawah-atas. Atau kemudian juga, atau yang kedua disebut
horisontal alignment. Horisontal alignment artinya adalah penyelarasan ke samping antara
sesama para pemimpin.

Anda bisa saksikan di kabinet. Anggota baru mempunyai pandangan yang berbeda. Maksud
hati untuk memperjuangkan demi kepentingan rakyat. Tapi caranya kan tidak sama. Orang
butuh waktu untuk memahami, orang butuh waktu untuk menyelaraskan. Mengikuti logika
pemimpinnya. Ini harus selaras antara atas-bawah, bawah dengan di atas, dan kemudian
juga ke samping. Agar kita bertindaknya menjadi sinergi.

Inilah saya kira yang menjadi persoalan berat di negara kita. Kita memiliki pemimpin-
pemimpin yang kesulitan untuk menggerakkan sebuah gagasannya. Karena bangsa kita
mulai terpecah-pecah dan mudah diajak untuk bertengkar, senang memberikan komentar,
dan merasa dirinya serba tahu sendiri. Persoalannya yang dihadapi oleh bangsa kita adalah
koordinasi menjadi sangat tidak jalan, karena koordinasi di dalamnya menyangkut
masalah perspektif, menyangkut masalah perspektif. Perspektif orang yang ilmunya
berbeda-beda, adalah berbeda, tidak sama. Perspektif orang yang agamanya berbeda, tidak

Halaman 11 dari 14




RP101

sama. Orang yang dalam agamanya sama pun tetapi kepentingan dan alirannya berbeda,
perspektifnya juga berbeda.

Orang yang berada dalam satu kementerian tetapi basic ilmunya berbeda, mengakibatkan
mereka melihat dengan cara pandang yang berbeda. Yang satu melihat dari pendekatan
strategic management. Yang satu melihat dari pendekatan financial management, aspek
keuangan. Yang satu melihatnya, Eh ini bagus, tapi secara accounting enggak bisa nih.
Pencatatannya jadi kacau. Yang satu lagi melihat dari kaca mata auditing, Bagaimana
kalau kita diperiksa? Yang satu melihat dari kaca mata compliance, aspek hukum. Yang
satu lagi melihat dari aspek teknis, produksi, dan lain sebagainya. Ini perspektif yang
sangat beragam. Menyatukan perspektif yang berbeda adalah alat perubahan yang sangat
penting khususnya di Indonesia.

Selain mengomunikasikan dan mendorong para pengikut untuk bergerak sesuai dengan
visi, maka kita memerlukan langkah berikutnya yang juga sangat penting, hope
management. Atau yang tadi saya sampaikan adalah meraih kemenangan-kemenangan
jangka pendek. Mengapa kita memerlukan kemenangan-kemenangan jangka pendek?
Memang betul bahwa Anda mencapai sesuatu ini jangka panjang, lama loh ke sananya.

Pemerintahan Jokowi misalnya ingin membangun infrastruktur. Itu jaraknya lama sekali.
Anda tidak mungkin membangun pelabuhan hari ini, bulan depan sudah jadi. Anda harus
mulai planning, Anda harus menghitung. Setelah itu kemudian Anda menetapkan
anggarannya. Dan setelah itu Anda melakukan pembebasan lahan. Desainnya bagaimana?
Setelah itu, melakukan tender, dan seterusnya. Anda memerlukan 2-3 tahun. Itu pun Anda
harus mencari lagi mitra untuk membiayai anggaran yang tidak cukup.

Kalau Anda lakukan ini bertahun-tahun dan ketika sesuatu jadi, orang hanya melihat, Kok
tidak jalan-jalan? Kok katanya mau bebaskan tanah, kok enggak datang-datang lagi ini
orang? Ini jangan-jangan cuma janji, omong kosong. Dan banyak orang kemudian
mengalami hal seperti itu.

Saudara-saudara sekalian, tugas pemimpin adalah menyalakan lilin di dalam terowongan
yang gelap. Bukan untuk memaki-maki atau mencaci-maki kegelapan itu sendiri. Banyak
orang yang ketika berada di ruang gelap, katakanlah Anda nonton di bioskop dengan
pasangan Anda, Anda begitu enjoy, menikmati, gelap selama hampir dua jam. Anda begitu
enjoy di dalamnya, tapi selama, dalam dua jam itu ketika Anda hanyut untuk menyaksikan
sesuatu fokus ke depan, tiba-tiba ada seseorang yang menyalakan atau membuka jendela,
cahaya masuk dari luar.

Atau ada seorang yang menyalakan senter, menyalakan lilin di dalam ruangan, Anda pun
akan marah. Orang-orang yang terbiasa berada dalam ruang gelap akan kesulitan untuk
melihat cahaya. Maka itu ketika kita menyalakan cahaya, kita akan memberikan jalan
kepada orang lain untuk menuju titik tertentu. Bukan untuk menimbulkan kehebohan.

Manusia harus diberikan hope, harapan. Mencapai dari A ke B yang cukup jauh itu, akan
menimbulkan keletihan-keletihan dan orang kemudian akan tercecer di tengah jalan,
kehilangan harapan, kehilangan asa, dan kemudian dia akan memutuskan untuk berhenti,
tidak ikut lagi. Dan kemudian dia diganti orang lain, dan lain sebagainya. Sehingga
akibatnya, perjalanan Anda menjadi semakin berat karena setiap tahap Anda harus
memulai baru lagi, mengkomunikasikan visi Anda. Oleh karena itu, maka seorang
pemimpin yang baik adalah pemimpin yang dapat memberikan kemenangan-kemenangan
jangka pendek.

Kemenangan-kemenangan jangka pendek ini merupakan harapan, pembangkit kegairahan.
Oh ternyata kita telah berada di trek yang benar. Dan kalau kita jalankan ini, jangan-jangan

Halaman 12 dari 14




RP101

kita nanti bisa menjadi juara dunia, jangan-jangan nanti kita akan bisa menjadi jauh lebih
sejahtera.


Video 8: Uncertainty

Saudara-saudara peserta kursus Change Management dalam IndonesiaX, tadi saya sudah
memulai dengan patung Michelangelo yang dikenal dengan nama Non-Finito. Karya-karya
yang tidak selesai karena salah satu teorinya mengatakan Michelangelo pun berhadapan
dengan uncertainty. Kita semua ketika melakukan perubahan akan menghadapi suasana
yang uncertain, tidak pasti. Jangan-jangan juga tidak selesai. Tentu saja harapan saya
ketika Anda memimpin perubahan, Anda akan mampu menyelesaikannya. Namun,
sekalipun tidak selesai, tak usah khawatir. Karena perubahan akan bergulir terus sampai
suatu ketika ada akan orang-orang lain yang menyelesaikan.

Di Jakarta, Bang Yos tidak menyelesaikan karena habis waktunya. Tetapi, penerus-
penerusnya kemudian mendapatkan gagasan yang lebih efisien, paling tidak di sana telah
timbul gagasan bahwa Jakarta memerlukan public transport yang memadai. Itu adalah
salah satu indikasi yang penting. Nah, Saudara-saudara sekalian, saya juga sudah
membahas delapan langkah yang disarankan oleh John Kotter ketika kita melakukan
perubahan. Saya ulangi lagi. Yang pertama itu adalah menciptakan suasana yang
mendesak. Kemudian membangun koalisi perubahan. Mengembangkan visi.
Mengkomunikasikan visi. Dorong para peserta atau para pengikut Anda agar bergerak
sesuai dengan visi itu. Dan kemudian yang keenam adalah meraih kemenangan-
kemenangan jangka pendek atau hope management.

Sekarang ada dua langkah lagi yang belum kita bicarakan. Dua langkah itu tentu tidak
kalah penting. Yaitu bagaimana agar proses perubahan seperti Non-Finito itu akhirnya
menjadi Finito, menjadi selesai. Yang ketujuh itu adalah jangan berhenti. Jangan berhenti.
Ini menjadi penting bagi Anda yang melakukan perubahan. Anda melakukan perubahan
tidak hanya berada di dalam struktur. Katakanlah dalam struktur ya, dan Anda kalah,
kemudian setelah itu Anda harus berhenti, Anda harus meninggalkan lapangan. Tetapi
kehidupan kita tidak berakhir hanya dalam struktur. Kita harus melakukan perubahan
dalam kehidupan sehari-hari.

Saya dibesarkan di kampus. Pada suatu ketika, saya akan berakhir jabatan-jabatan saya
dan kemudian generasi muda yang sudah saya persiapkan harus kemudian memimpin
sesuai dengan zaman mereka. Saya tidak bisa ikut campur dalam hal yang mereka lakukan.
Tapi andaikan mereka membelokkan langkah atau strategi yang saya anggap baik dan
mereka tidak bisa membacanya, saya tetap mempunyai lahan di area pendidikan, di dunia
pendidikan.

Saya membangun pendidikan lewat jalur Rumah Perubahan. Dan kemudian saya bisa
menyampaikan gagasan-gagasan saya lewat jalur dari luar dan akhirnya kemudian yang di
dalam, saya harapkan juga akan ikut berubah. Suatu ketika perubahan itu adalah
perubahan yang didorong oleh external factors.

Banyak contoh, banyak kasus. Indonesia tanpa krisis, tidak akan ada pembaharuan. Krisis
ini baik bagi Indonesia. Membuat para pemimpin jadi takut. Membuat para menteri jadi
takut. Membuat para menteri ada yang diganti. Membuat para menteri akhirnya membuat
sistem-sistem baru. Membuat para menteri harus mempunyai target waktu, tenggat waktu.
Membuat semua orang tahu persis bahwa rupiah ini harus dibangun kembali supaya jadi
kuat. Dan kemudian rakyatnya yang tadinya tidak menanam, mulai berpikir untuk
menanam. Eh pangan nih berbahaya. Tidak ada lagi nanti.

Halaman 13 dari 14




RP101

Kemudian kita yang tadinya impor sapi mulai berpikir, Kalau begitu, harga sapi mahal,
kita harus beternak sapi. One day kita semua akan mengalami kesulitan. Ini menimbulkan
suasana. Nah, Saudara-saudara sekalian, langkah ini adalah langkah yang perlu kita
anjurkan kepada semuanya, jangan berhenti. Tahun 98 ketika terjadi krismon di Indonesia,
saat itulah kita mulai memikirkan tentang kewirausahaan. Saya hadir di televisi, saya
mendorong para wirausaha muda agar jangan meninggalkan dunia kewirausahaan. Saya
memberikan contoh kepada mereka, ini loh contoh wirausaha-wirausaha lokal dan mereka
pun juga bisa. Tadinya kita hanya melihat kewirausahaan itu hanya dijalankan oleh para
pendatang.

Di pulau Jawa, orang-orang dari Sumatera Barat, orang Padang, orang Minang, orang Bugis
dari Sulawesi, inang-inang atau orang dari Sumatera Utara, dan kemudian kita saksikan
juga orang Banjar, dan lain sebagainya. Atau dari luar negeri, orang keturunan India, orang
keturunan Tionghoa, orang keturunan Arab, orang keturunan Vietnam. Itu semua adalah
wirausaha. Karena mereka tidak bisa menjadi PNS. Mereka tidak bisa menjadi pegawai
swasta tertentu yang di-protect oleh undang-undang.

Maka mereka mulai berwirausaha. Tetapi tahun 98, karena mereka terdesak, dikeluarkan
dari dunia kerja, ekonomi hancur, mereka menganggur, tidak punya masa depan. Masih
mempunyai uang pensiun dini dan akhirnya mereka kemudian pikir, Eh, kita harus
menjadi wirausaha. Anda masih ingat kan artis-artis kita dulu membuka kafe tenda, di
Senayan, di Blok M, dan sebagainya. Sekarang mereka tidak meneruskan lagi. Kenapa?
Karena setelah itu, panggung di dunia televisi dan di dunia off air, itu begitu menjanjikan
kembali.

Mereka berhenti menjadi wirausaha. Anak-anak muda yang terinspirasi ketika
menghadapi tantangan, juga akan berhenti di tengah jalan. Kalau kita melakukan
perubahan, malu kita kalau berhenti di tengah jalan. Kita melakukan perubahan memang
kita harus beradaptasi. Seperti air yang mengalir, yang suatu ketika akan berhenti, ada
batu karang, kita berbelok dan akhirnya kemudian menemukan titik yang terendah, dan
akhirnya kita masuk lagi ke tempat itu.

Jangan berhenti. Beradaptasi boleh. Tetapi berhenti, ini tidak disarankan. Sering dikatakan,
Winners never quit, only quitters never win. Ya, pemenang itu tidak pernah berhenti.
Perubahan memerlukan orang-orang yang anti berhenti. Tidak jadi quitters, tidak menjadi
campers. Menikmati suasana yang sudah enak di tengah-tengah padahal masih ada puncak
di atas sana yang harus kita capai.

Dan kemudian yang terakhir adalah, kalau sudah kita lakukan kerja keras, lakukan ini
semua, lembagakanlah dalam sebuah kegiatan yang jauh lebih struktural. Ikat dengan
anggaran-anggaran dan kemudian jadikan sebuah kultur yang adaptif. Yang siap untuk
menghadapi tantangan-tantangan baru. Dan katakan pada diri Anda, apa yang sudah saya
lakukan ini bukan berarti tidak boleh diubah oleh generasi penerus saya. Pada suatu
ketika, apa yang kita lakukan ini pun akan obsolete, akan tidak cocok lagi dengan
zamannya.

Halaman 14 dari 14

Anda mungkin juga menyukai