Anda di halaman 1dari 21

Sasaran Belajar

1. Memahami dan Menjelaskan Plasmodium


1.1 Definisi
1.2 Macam-Macam Spesies
1.3 Daur Hidup
2. Memahami dan Menjelaskan Malaria
2.1 Definisi
2.2 Etiologi
2.3 Patofisiologi dan Patogenesis
2.4 Manifestasi Klinis
2.5 Diagnosis dan Diagnosis Banding
2.6 Tatalaksana
2.7 Pencegahan
2.8 Komplikasi
2.9 Prognosis
3. Memahami dan Menjelaskan Epidemiologi Malaria
1. Memahami dan Menjelaskan Plasmodium
1.1 Definisi
1.2 Macam-Macam Spesies
Parasit malaria termasuk genus Plasmodium dan pada manusia ditemukan 4 spesies:
Plasmodium vivax, Plasmodium falciparum, Plasmodium malariae dan Plasmodium ovale.
Pada kera ditemukam spesies parasite malaria yang menyerupai Plasmodium manusia, antara
lain: Plasmodium cynomolgi menyerupai Plasmodium vivax, Plasmodium knowlesi menyerupai
Plasmodium falciparum dan Plasmodium malariae, Plasmodium rodhaini pada simpanse di
Afrika dan Plasmodium brasilianum pada kera di Amerika Selatan yang menyerupai
Plasmodium malariae.
Salah satu Plasmodium primate, yaitu P. knowlesi dilaporkan pertama kali di Malaysia (1965)
dapat menginfeksi manusia dan menyebabkan gejala klinis, kemudian ditemukan di
Muangthai. Walaupun belum dilaporkan, hal ini kemungkinan dapat ditemukan di Indonesia
mengingat geografinya yang serupa dengan negara tersebut.
Sumber: [Sungkar, Saleha. 2011. Buku Ajar Parasitologi Kedokteran Edisi Keempat. Jakarta: Badan
Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.]
1.3 Daur Hidup
Dalam daur hidupnya Plasmodium mempunyai 2 hospes, yaitu vertebrata dan nyamuk.
Siklus aseksual di dalam hospes vertebrata dikenal sebagai skizogoni, sedangkan siklus seksual
yang membentuk sporozoit di dalam nyamuk sebagai sporogoni. Sporozoit yang aktif dapat
ditularkan ke dalam tubuh manusia melalui ludah nyamuk, kemudian menempati jaringan
parenkim hati dan tumbuh sebagai skizon (stadium ekso-eritrositer atau stadium pra-
eritrositer). Sebagian sporozoit tidak tumbuh dan tetap tidur (dormant) yang disebut
hipnozoit. Plasmodium falciparum hanya terjadi satu kali stadium pra-eritrositer sedangkan
spesies lain mempunyai hipnozoit bertahun-tahun sehingga pada suatu saat dapat aktif dan
terjadilah relaps. Sel hati yang berisi parasit akan pecah dan terjadilah merozoit. Merozoit akan
masuk ke dalam eritrosit (stadium eritrositer), tampak sebagai kromatin kecil dikelilingi oleh
sedikit sitoplasma yang mempunyai bentuk cincin, disebut tropozoit. Tropozoit membentuk
skizon muda dan setelah matang, membelah menjadi merozoit. Setelah proses pembelahan

2
eritrosit akan hancur; merozoit, pigmen dan sel sisa akan keluar dan berada di dalam plasma.
Parasit akan difagositosis oleh RES. Plasmodium yang dapat menghindar akan masuk kembali
ke dalam eritrosit lain untuk mengulangi stadium skizogoni. Beberapa merozoit tidak
membentuk skizon tetapi memulai dengan bagian gametogoni yaitu membentuk mikro dan
makro gametosit (stadium seksual). Siklus tersebut disebut masa tunas intrinsik.
Dalam tubuh nyamuk, parasite berkembang secara seksual (sporogoni). Sporogoni
memerlukan waktu 8-12 hari. Dalam lambung nyamuk, makro dan mikrogametosit
berkembang menjadi makro dan mikrogamet yang akan membentuk zigot yang disebut
ookinet, yang selanjutnya menembus dinding lambung nyamuk membentuk ookista yang
membentuk banyak sporozoit. Kemudian sporozoit akan dilepaskan dan masuk ke dalam
kelenjar liur nyamuk. Siklus tersebut disebut masa tunas ekstrinsik. Secara umum, pada
dasarnya semua orang dapat terkena malaria; walaupun terdapat beberapa faktor yang
mempengaruhi, yaitu:
a. Rasa tau suku bangsa. Di Afrika, apabila prevalensi hemoglobin S (HbS) cukup tinggi,
penduduknya lebih tahan terhadap infeksi P. falciparum. Penyelidikan terakhir
menunjukkan bahwa HbS menghambat perkembangbiakan P. falciparum baik sewaktu
invasi maupun sewaktu berkembang biak.
b. Kurangnya suatu enzim tertentu. Kurangnya enzim G6PD (glucose 6-phosphat
dehydrogenase) memberikan perindungan terdapat infeksi P. falciparum yang berat.
Walaupun demikian, kurangnya enzim ini merugikan ditinjau dari segi pengobatan dengan
golongan sulfonamide dan primakuin oleh karena dapat terjadi hemolisis darah. Defisiensi
enzim G6PD ini merupakan penyakit genetic dengan manifestasi utama pada perempuan.
c. Kekebalan pada malaria terjadi apabila tubuh mampu menghancurkan Plasmodium yang
masuk atau menghalangi perkembangbiakannya.
Sumber: [Garna, Herry, et al. 2008. Buku Ajar Infeksi & Pediatri Tropis Edisi Kedua. Jakarta: IDAI.]
2. Memahami dan Menjelaskan Malaria
2.1 Definisi
Malaria adalah penyakit yang dapat bersifat akut maupun kronik, disebabkan oleh protozoa
genus Plasmodium ditandai dengan demam, anemia dan splenomegali.

3
Sumber: [Mansjoer, Arif. 2009. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media Aesculapius.]
2.2 Etiologi
Malaria disebabkan oleh protozoa dari genus Plasmodium. Pada manusia, Plasmodium terdiri
dari 4 spesies, yaitu Plasmodium falciparum, Plasmodium vivax, Plamodium malariae dan
Plasmodium ovale. Plasmodium falciparum merupakan penyebab infeksi berat bahkan dapat
menimbulkan kematian. Keempat spesies Plasmodium yang terdapat di Indonesia yaitu
Plasmodium falciparum yang menyebabkan malaria tropika, Plasmodium vivax yang
menyebabkan malaria tertian, Plasmodium malariae yang menyebabkan malaria kuartana dan
Plasmodium ovale yang menyebabkan malaria ovale.
Seorang dapat terinfeksi lebih dari satu jenis Plasmodium, dikenal sebagai infeksi
campuran/majemuk (mixed infection). Pada umumnya dua jenis Plasmodium yang paling
banyak dijumpai adalah campuran antara Plasmodium falciparum dan Plasmodium vivax atau
Plasmodium malariae. Kadang-kadang dijumpai tiga jenis Plasmodium sekaligus, meskipun hal
ini jarang sekali terjadi. Infeksi campuran biasanya terdapat di daerah dengan angka penularan
tinggi. Akhir-akhir ini di beberapa daerah dilaporkan kasus malaria yang telah resisten terhadap
klorokuin, bahkan juga resisten terhadap pirimetamin-sulfadoksin.
Penyakit ini jarang ditemui pada bulan-bulan pertama kehidupan, tetapi pada anak-anak yang
berumur beberapa tahun dapat terjadi serangan malaria tropika yang berat, bahkan tertian
dan kuartana dan dapat menyebabkan kematian terutama pada anak dengan gangguan gizi.
Sumber: [Garna, Herry, et al. 2008. Buku Ajar Infeksi & Pediatri Tropis Edisi Kedua. Jakarta: IDAI.]
2.3 Patofisiologi dan Patogenesis
PATOGENESIS DAN PATOLOGI
Selama skizogoni, sirkulasi perifer menerima pigmen malaria dan produk samping parasit,
seperti membrane dan isi sel-sel eritrosit. Pigmen malaria tidak toksik, tetapi menyebabkan
tubuh mengeluarkan produk-produk asing dan respon fagosit yang intensif. Makrofag dalam
system retikuloendotelial dan dalam sirkulasi menangkap pigmen dan menyebabkan warna
agak kelabu pada sebagian besar jaringan dan organ tubuh. Pirogen dan racun lain yang masuk
ke sirkulasi saat skizogoni, diduga bertanggung jawab mengaktifkan kinin vasoaktif dan
kaskade pembekuan darah.

4
Mengenai pathogenesis malaria lebih ditekankan pada terjadinya peningkatan
permeabilitas pembuluh darah daripada koagulasi intravascular. Oleh karena skizogoni
menyebabkan kerusakan eritrosit maka akan terjadi anemia. Beratnya anemia yang tidak
sebanding dengan parasitemia menunjukkan adanya kelainan eritrosit selain yang
mengandung parasite. Pada percobaan binatang dibuktikan adanya gangguan transportasi
natrium sehingga keluar dari eritrosit yang mengandung parasite dan tanpa parasite malaria.
Diduga terdapat toksin malaria yang menyebabkan gangguan fungsi eritrosit dan sebagian
eritrosit pecah saat melalui limpa dan keluarlah parasite. Faktor lain yang menyebabkan
terjadinya anemia mungkin karena terbentuknya antibody terhadap eritrosit. Suatu bentuk
khusus anemia hemolitik pada malaria adalah black water fever, yaitu bentuk malaria berat
yang disebabkan oleh Plasmodium falciparum, ditandai oleh hemolysis intravascular berat,
hemoglobinuria, kegagalan ginjal akut akibat nekrosis tubulus, disertai angka kematian yang
tinggi. Telah lama dicurigai bahwa kina dapat memprovokasi terjadinya black water fever.
Sebagai tambahan, kasus meninggal yang disebabkan malaria selalu menunjukkan adanya
perubahan yang menonjol dari system retikuloendotelial dan mungkin juga melibatkan
berbagai system organ.
Pada infeksi malaria, limpa akan membesar, mengalami pembendungan dan pigmentasi
sehingga mudah pecah. Dalam limpa dijumpai banyak parasite dalam makrofag dan sering
terjadi fagositosis dari eritrosit yang terinfeksi maupun yang tidak terinfeksi. Pada malaria
kronis terjadi hiperplasi dari reticulum disertai peningkatan makrofag. Pada sindrom
pembesaran limpa di daerah tropis atau penyakit pembesaran limpa pada malaria kronis
biasanya dijumpai bersama dengan peningkatan kadara IgM. Peningkatan antibody terhadap
malaria ini mungkin menimbulkan respon imunologis yang tidak lazim pada malaria kronis.
Pada malaria juga terjadi pembesaran hepar, sel Kupferr seperti sel dalam system
retikuloendotelial terlibat dalam respon fagositosis. Sebagai akibatnya hati menjadi
berwarna kecoklatan dan agak kelabu atau kehitaman. Pada malaria kronis terjadi infiltrasi
difus oleh sel mononukleus pada periportal yang meningkat sejalan dengan berulangnya
serangan malaria. Hepatomegali dengan infiltrasi sel mononukleus merupakan bagian dari
sindrom pembesaran hati di daerah tropis. Nekrosis sentrilobulus terjadi pada syok.

5
Organ lain yang sering diserang oleh malaria adalah otak dan ginjal. Pada malaria serebral,
otak berwarna kelabu akibat pigmen malaria, sering disertai edema dan hiperemis.
Perdarahan berbentuk petekia tersebar pada substansi putih otak dan dapat menyebar
sampai ke sumsum tulang belakang. Pada pemeriksaan mikroskopik, sebagian besar dari
pembuluh darah oleh malaria tidak saja terbatas pada otak tetapi juga dapat dijumpai pada
jantung atau saluran cerna atau di tempat lain dari tubuh, yang berakibat pada berbagai
manifestasi klinis.
Pada ginjal selain terjadi pewarnaan oleh pigmen malaria juga dijumpai salah satu
atau dua proses patologis yaitu nekrosis tubulus akut dan/atau membranoproliverative
glomerulonephritis. Nekrosis tubulus akut dapat terjadi bersama dengan hemolysis massif
dan hemoglubinuria pada black water fever tetapi dapat juga terjadi tanpa hemolysis,
akibat berkurangnya aliran darah karena hypovolemia dan hiperviskositas darah.
Plasmodium falciparum menyebabkan nefritis sedangkan Plasmodium malariae
menyebabkan glomerulonephritis kronik dan sindrom nefrotik.
Sumber: [Garna, Herry, et al. 2008. Buku Ajar Infeksi & Pediatri Tropis Edisi Kedua. Jakarta: IDAI.]
2.4 Manifestasi Klinis
Secara klinis, gejala malaria infeksi tunggal pada pasien non-imun terdiri atas beberapa
serangan demam dengan interval tertentu (paroksisme), yang diselingi oleh suatu periode
(periode laten) bebas demam. Sebelum demam pasien biasanya merasa lemas, nyeri kepala,
tidak ada nafsu makan, mual atau muntah. Pada pasien dengan infeksi majemuk/campuran
(lebih dari satu jenis Plasmodium atau satu jenis Plasmodium tetapi infeksi berulang dalam
waktu berbeda), maka serangan demam terus menerus (tanpa interval), sedangkan pada
pejamu yang imun gejala klinisnya minimal.
Periode paroksisme biasanya terdiri dari tiga stadium yang berurutan yakni stadium dingin
(cold stage), stadium demam (hot stage) dan stadium berkeringat (sweating stage).
Paroksisme ini biasanya jelas terlihat pada orang dewasa namun jarang dijumpai pada usia
muda. Pada anak di bawah umur lima tahun, stadium dingin seringkali bermanifestasi sebagai
kejang. Serangan demam yang pertama didahului oleh masa inkubasi (intrinsic). Masa inkubasi
bervariasi antara 9-30 hari tergantung pada spesies parasite, paling pendek pada Plasmodium

6
falciparum dan paling panjang pada Plasmodium malariae. Masa inkubasi ini juga tergantung
pada intensitas infeksi, pengobatan yang pernah didapat sebelumnya, dan derajat imunitas
pejamu. Pada malaria akibat transfuse darah, masa inkubasi Plasmodium falciparum adalah 10
hari, Plasmodium vivax 16 hari dan Plasmodium malariae 40 hari atau lebih setelah transfuse.
Masa inkubasi pada penularan secara alamiah bagi masing-masing spesies parasite, untuk
Plasmodium falciparum 12 hari, Plasmodium vivax dan Plasmodium ovale 13-17 hari, dan
Plasmodium malariae 28-30 hari. Setelah lewat masa inkubasi, pada anak besar dan orang
dewasa timbul gejala demam yang terbagi dalam tiga stadium yaitu:
STADIUM DINGIN
Stadium ini diawali dengan gejala menggigil atau perasaan yang sangat dingin. Gigi
gemeretak dan pasien biasanya menutup tubuhnya dengan segala macam pakaian dan selimut
yang tersedia. Nadi cepat tapi lemah, bibir dan jari-jari pucat atau sianosis, kulit kering dan
pucat, pasien mungkin muntah dan pada anak sering terjadi kejang. Stadium ini berlangsung
antara 15 menit sampai 1 jam.
STADIUM DEMAM
Setelah merasa kedinginan, pada stadium ini pasien merasa kepanasan. Muka merah, kulit
kering dan terasa sangat panas seperti terbakar, nyeri kepala, seringkali terjadi mual dan
muntah, nadi menjadi lebih kuat lagi. Biasanya pasien menjadi sangat haus dan suhu badan
dapat meningkat sampai 41C atau lebih. Stadium ini berlangsung antara 2-12 jam. Demam
disebabkan oleh karena pecahnya skizon dalam sel darah merah yang telah matang dan
masuknya merozoit darah ke dalam aliran darah. Pada Plasmodium vivax dan Plasmodium
ovale, skizon dari tiap generasi menjadi matang setiap 48 jam sekali, sehingga timbul demam
setiap hari ketiga terhitung dari serangan demam sebelumnya. Pada Plasmodium malariae,
demam terjadi pada 72 jam (setiap hari keempat), sehingga disebut malaria kuartana. Pada
Plasmodium falciparum, setiap 24-48 jam.
STADIUM BERKERINGAT
Pada stadium ini pasien berkeringat banyak sekali, tempat tidurnya basah, kemudian
suhu badan menurun dengan cepat, kadang-kadang sampai di bawah normal.

7
Gejala tersebut di atas tidak selalu sama pada setiap pasien, tergantung pada spesies parasite,
berat infeksi dan usia pasien. Gejala klinis yang berat biasanya terjadi pada malaria tropika
yang disebabkan oleh adanya kecenderungan parasite (bentuk tropozoit dan skizon) untuk
berkumpul pada pembuluh darah organ tubuh tertentu seperti otak, hati dan ginjal, sehingga
menyebabkan tersumbatnya pembuluh darah organ-organ tubuh tersebut. Gejala mungkin
berupa koma, kejang sampai gangguan fungsi ginjal. Kematian paling banyak disebabkan oleh
malaria jenis ini. Black water fever merupakan komplikasi berat, adalah munculnya hemoglobin
pada urin sehingga menyebabkan warna urin berwarna tua atau hitam. Gejala lain dari black
water fever adalah icterus dan muntah berwarna seperti empedu. Black water fever biasanya
dijumpai pada mereka yang menderita infeksi Plasmodium falciparum berulang dengan infeksi
yang cukup berat.
Di daerah yang tinggi endemisitasnya (hiper atau holoendemik), pada orang dewasa seringkali
tidak dijumpai gejala klinis walaupun darahnya mengandung parasite malaria. Hal ini
disebabkan imunitas yang telah timbul pada mereka karena infeksi berulang. Limpa biasanya
membesar pada serangan pertama yang berat atau setelah beberapa serangan dalam periode
yang cukup lama. Dengan pengobatan yang baik, limpa secara berangsur-angsur akan
mengecil kembali.
Sumber: [Garna, Herry, et al. 2008. Buku Ajar Infeksi & Pediatri Tropis Edisi Kedua. Jakarta: IDAI.]
Pada anamnesis ditanyakan gejala penyakit dan riwayat berpergian ke daerah endemic
malaria. Gejala dan tanda yang dapat ditemukan adalah:
a. Demam. Demam periodic yang berkaitan dengan saat pecahnya skizon matang (sporulasi).
Pada malaria tertian (P. vivax dan P. ovale), pematangan skizon tiap 48 jam maka periodisiti
demamnya setiap hari ke-3, sedangkan malaria kuartana (P. malariae) pematangannya tiap
72 jam dan periodisitas demamnya tiap 4 hari. Tiap serangan ditandai dengan beberapa
serangan demam periodik. Demam khas malaria terdiri atas 3 stadium, yaitu menggigil (15
menit-1 jam), puncak demam (2-6 jam), dan berkeringat (2-4 jam). Demam akan mereda
secara bertahap karena tubuh dapat beradaptasi terhadap parasite dalam tubuh dan ada
respon imun.
b. Splenomegali.

8
Splenomegali merupakan gejala khas malaria kronik. Limpa mengalami kongesti,
menghitam, dan menjadi keras karena timbunan pigmen eritrosit parasite dan jaringan ikat
yang bertambah.
c. Anemia
Derajat anemia tergantung pada spesies penyebab, yang paling berat adalah anemia
karena P. falciparum. Anemia disebabkan oleh:
Penghancuran eritrosit yang berlebihan.
Eritrosit normal tidak dapat hidup lama (reduced survival time)
Gangguan pembentukan eritrosit karena depresi eritropoesis dalam sumsum tulang
(diseritropoesis)
d. Ikterus
Ikterus disebabkan karena hemolysis dan gangguan hepar. Malaria laten adalah masa
pasien di luar masa serangan demam. Periode ni terjadi bila parasite tidak dapat ditemukan
dalam darah tepi, tetapi stadium ekso-eritrosit masih bertahan dalam jaringan hati.
Relaps adalah timbulnya gejala infeksi setelah serangan pertama. Relaps dapat bersifat:
Relaps jangka pendek (rekrudesensi), dapat timbul 8 minggu setelah serangan pertama
hilang karena parasite dalam eritrosit yang berkembangbiak.
Relaps jangka panjang (rekurens), dapat muncul 24 minggu atau lebih setelah serangan
pertama hilang karena parasite ekso-eritrosit hati masuk ke darah dan
berkembangbiak.
Sumber: [Mansjoer, Arif. 2009. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media Aesculapius.]
2.5 Diagnosis dan Diagnosis Banding
Diagnosis pasti infeksi malaria dilakukan dengan menemukan parasite dalam darah yang
diperiksa dengan mikroskop. Diagnosis laboratorium dilakukan dengan berbagai cara:
1. Diagnosis dengan mikroskop cahaya
Sediaan darah dengan pulasan Giemsa merupakan dasar untuk pemeriksaan dengan
mikroskop dan sampai sekarang masih digunakan sebagai baku emas dan diagnosis rutin.
Sediaan darah malaria dapat digunakan untuk identifikasi spesies maupun menghitung
jumlah parasite.

9
2. Teknik mikroskopis lain
Berbagai upaya telah dilakukan untuk meningkatkan sensitivitas teknik mikroskopis yang
konvensional:
Teknik quantitative buffy coat (QBC) berdasarkan kemampuan jingga akridin (acridine
orange) memulas asam nukleat yang berada dalam sel. Darah dari ujung jari penderita
dikumpulkan dalam tabung mikrohematokrit yang berisi zat warna jingga akridin dan
antikoagulan. Kemudian tabung tersebut disentrifugasi pada 12.000 x g selama 5
menit. Parasit yang berfluoresensi dengan pemeriksaan mikroskop fluoresen
merupakan salah satu hasil usaha ini, tetapi cara ini tidak dapat digunakan secara luas
seperti pemeriksaan sediaan darah tebal dengan pulasan Giemsa.
Teknik Kawamoto merupakan modifikasi teknik QBC yang memulas sediaan darah
dengan jingga akridin dan diperiksa dengan mikroskop cahaya dengan lampu halogen.
3. Metode lain tanpa menggunakan mikroskop
Beberapa metode untuk mendeteksi parasit malaria tanpa menggunakan mikroskop telah
dikembangkan dengan maksud untuk mendeteksi parasite lebih mudah daripada dengan
mikroskop cahaya. Metode ini mendeteksi protein atau asam nukleat yang berasal dari
parasite.
Rapid antigen detection test (RDT), dasarnya adalah immunochomatography pada
kertas nitrocellulose. Dengan cara ini berbagai protein parasite yang spesifik dapat
dideteksi dalam darah dari ujung jari penderita. Protein kaya histidine II (histidine rich
protein II) yang spesifik P. falciparum digunakan sebagai marker adanya infeksi
tersebut. Enzim lactate dehydrogenase yang dihasilkan berbagai spesies plasmodium
dapat digunakan untuk menyatakan infeksi non-falciparum seperti P. vivax.
Kelemahan rapid test adalah:
a. Kurang sensitive bila jumlah parasite dalam darah rendah (kurang dari 100 parasit/L
darah)
b. Tidak dapat mengukur densitas parasite (secara kuantitatif)
c. Antigen yang masih beredar beberapa hari-minggu setelah parasite hilang memberikan
reaksi positif palsu

10
d. Gametosit muda (immature), bukan yang matang (mature) mungkin masih dapat
dideteksi
e. Biaya test ini masih cukup mahal
f. Tidak stabil pada suhu ruang di atas 30C
Hasil positif palsu (false positive) yang disebabkan antigen residual yang beredar dan gametosit
muda dalam darah biasanya ditemukan pada penderita tanpa gejala. Selain itu juga pada orang
yang mengandung faktor rheumatoid. Seharusnya tidak mengakibatkan over treatment bila
tes ini digunakan untuk menunjang diagnosis klinis pada penderita dengan gejala.
Sumber: [Sungkar, Saleha. 2011. Buku Ajar Parasitologi Kedokteran Edisi Keempat. Jakarta: Badan
Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.]
2.6 Tatalaksana
Pengobatan dan Pencegahan Penyakit Malaria
Klasifikasi biologi obat malaria
Berdasarkan suseptibilitas berbagai stadium parasite malaria terhadap obat malaria maka obat
malaria dibagi dalam 5 golongan :
1. Skizontosida jaringan primer: proguanil, pirimetamin, dapat membasmi parasit praeritrosit
sehingga mencegah masuknya parasit ke dalam eritrosit; digunakan sebagai profilaksis
kausal.
2. Skizontosida jaringan sekunder: primakuin, dapat membasmi parasite daur eksoeritrosit
atau bentuk-bentuk jaringan P.vivax dan P.ovale dan digunakan untuk pengobatan radikal
infeksi ini sebagai obat anti relaps.
3. Skizontosida darah: membasmi parasit stadium eristrosit, yang berhubungan dengan
penyakit akut disertai gejala klinis. Skizontosida ini dapat mencapai penyembuhan klinis
supresif bagi ke empat spesies Plasmodium. Skizontosida darah juga membunuh bentuk-
bentuk eritrosit seksual P.vivax, P.ovale dan P.malariae, tetapi tidak efektif terhadap
gametosit P.falciparum yang matang. Skizontosida darah yang ampuh adalah kina,
klorokuin dan amodiakuin, sedangkan yang efeknya terbatas adalah proguanil dan
pirimetamin.

11
4. Gametositosida: menghancurkan semua bentuk seksual termasuk stadium gametosit
P.falciparum, juga mempengaruhi stadium perkembangan parasit malaria dalam nyamuk
Anopheles betina. Beberapa obat gametosida bersifat sporontosida. Primakuin adalah
gametositosida untuk ke empat spesies; sedangkan kina, klorokuin, amodiakuin adalah
gametositosida untuk P.vivax, P.malariae dan P.ovale.
5. Sporontosida: mencegah menghambat gametosit dalam darah untuk membentuk ookista
dan sporozoit dalam nyamuk Anopheles. Obat ini mencegah transmisi penyakit malaria dan
disebut juga obat anti sporogonik. Obat-obat yang termasuk dalam golongan ini ialah:
primakuin dan proguanil.

Obat-obat malaria yang ada, dapat dibagi dalam 9 golongan menurut rumus kimianya :
1. alkaloid cinchona (kina)
2. 8-aminokuinolin (primakuin)
3. 9-aminoakridin (mepakrin)
4. 4-aminokuinolin (klorokuin, amodiakuin)
5. Biguanida (proguanil, kloproguanil)
6. Diaminopirimidin (pirimetamin, trimethoprim)
7. Sulfon dan sulfonamid (antara lain sulfadoksin)
8. Antibiotic (tetrasiklin, doksisiklin, minosiklin, klindamisin)
9. Kuinolinmetanol dan fenantrenmetanol (meflokuin)

Obat malaria yang terdaftar di Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan (Dit Jen
POM) dan sudah memenuhi standar untuk digunakan sesuai dengan pedoman Program
Pemberantasan Penyakit Malaria, Departemen Kesehaltan, adalah klorokuin, S-P, kina,
primakuin, beberapa macam antibiotic yang beredar di Indonesia. Antibiotik yang
harganya mahal tidak termasuk dalam daftar Program Pemerintah untuk pengobatan
malaria. Meflokuin belum beredar di Indonesia dan belum termasuk dalam daftar tersebut.
Obat malaria baru antara lain adalah: halofantrin, artemisinin (qinghaosu) dan derivatnya:
artesunat, artemeter, serta arte-eter, pironaridin, atovakuon, yinghaosu (arteflen) yang
masih dalam penelitian dan belum beredar di Indonesia.
Penggunaan Obat Malaria
12
Suatu obat mempunyai beberapa kegunaan yang dapat dipengaruhi oleh beberapa factor,
seperti spesies parasit malaria, respons terhadap obat tersebut, adanya kekebalan parsial
manusia, risiko efek toksik, juga sebab lain yang sederhana seperti ada tidaknya obat
tersebut di pasaran, pilihan dan harga obat. Penggunaan obat malaria yang utama ialah
sebagai pengobatan pencegahan (profilaksis), pengobatan kuratif (terapeutik) dan
pencegahan transmisi (Tabel 3)
1. Pengobatan pencegahan (profilaksis). Obat diberikan dengan tujuan mencegah
terjadinya infeksi atau timbulnya gejala. Pencegahan absolut terhadap infeksi adalah
dengan membasmi sporozoit, segera setelah sporozoit tersebut masuk dengan gigitan
nyamuk Anopheles yang infektif. Tetapi tidak ada obat yang dapat segera membunuh
sporozoit. Obat yang ada ialah obat yang dapat membasmi parasite stadium dini dalam
jaringan hati, sebelum merozoit dilepaskan ke dalam peredaran darah perifer. Obat
tersebut adalah obat kasual profilaksis. Obat yang mengurangi jumlah parasite malaria
dalam darah sedemikian rendahnya hingga tidak menimbulkan gejala klinis disebut
obat supresif atau profilaksis klinis, selama obat tersebut diminum terus oleh penderita
dalam dosis yang adekuat. Bila obat tersebut berhenti diminum, maka parasite dalam
darah mulai berkembangbiak lagi dan dapat menyebabkan timbulnya serangan baru.
Semua skizontosida darah adakah obat profilaksis klinis atau supresif dan ternyata bila
pengobatan diteruskan cukup lama, infeksi malaria dapat lenyap. Penyembuhan
karena obat supresif ini dapat terjadi pada infeksi P.falciparum, karena P.falciparum
tidak mempunyai daur eksoeritrosit.
2. Pengobatan terapeutik (kuratif). Obat digunakan untuk penyembuhan infeksi yang
telah ada, penganggulangan serangan akut dan pengobatan radikal. Pengobatan
serangan akut dapat dilakukan dengan skizontosida. Hasilnya, dapat terjadi
penyembuhan sementara atau penyembuhan permanen. Pada infeksi spesies parasite
malaria yang dapat menyebabkan relaps, penyembuhan permanen dapat dicapai
dengan pengobatan radikal, yang memerlukan obat yang efektif terhadap parasite
daur eritrosit dan daur eksoeritrosit, yakni skizontosida darah dan skizontosida hati
sebagai kombinasi.

13
3. Pengobatan pencegahan transmisi. Obat yang efektif terhadap gametosit, sehingga
dapat mencegah infeksi pada nyamuk atau mempengaruhi perkembangan sporogonik
pada nyamuk, adalah gametositosida atau sporontosida
2.7 Pencegahan
Pada pemberantasan penyakit malaria, penggunaan obat secara operasional tergantung pada
tujuannya. Bila obat malaria digunakan oleh beberapa individu untuk pencegahan infeksi,
maka disebut proteksi individu atau profialksis individu. Bila obat digunakan untuk sebagian
atau seluruh penduduk disebut proteksi dengan obat secara kolektif (collective drug
protection). Dalam program pemberantasan malaria cara pengobatan yang terpenting adalah
pengobatan presumtif, pengobatan radikal dan pengobatan masal. Pengobatan presumtif
adalah pengobatan kasus malaria pada waktu darahnya diambil untuk kemduian dikonfirmasi
infeksi malarianya. Biasanya terdiri dari dosis tunggal skizontosida dan tujuannya ialah untuk
meringankan gejala klinis, yang mungkin disebabkan oleh penyakit malaria. Pengobatan
presumtif adalah tindakan pencegahan yang terbatas pada beberapa individu. Sekarang
pengobatan presumtif tidak dilakukan lagi, karena tidak efektif (compliance rendah) dan dapat
menyebabkan resistensi terhadap obatnya.
Pengobatan radikan dilakukan dengan tujuan membasmi semua parasir yang ada dan
mencegah timbulnya relaps.
Pengobatan massal dilakukan di daerah dengan endemisitas tinggi. Tiap orang harus mendapat
pengobatan secara teratur dengan dosis yang telah ditentukan. Salah satu cara pengobatan
massal ialah dengan menambahkan obat dalam garam dapur yang pernah dilakukan di Irian
Jaya (metoda Pinotti), tetapi cara inipun tidak efektif dan parasitnya menjadi resisten terhadap
obat sehingga cara ini sekarang tidak dipakai lagi.
Dosis obat malaria
Dosis obat malaria tanpa keterangan khusus berarti bahwa dosis tersebut diberikan kepada
orang dewasa dengan berat badan kurang lebih 60kg. Dosis tersebut dapat diseuaikan
menurut berat badannya (25 mg/kg berat badan dosis total)
Obat malaria sintetik, biasa dibuat dalam bentuk garam dengan senyawa basanya, tetapi
dosisnya selalu dinyatakn dalam jumlah basanya, misalnya tablet klorokuin difosfat 250mg

14
mengandung 150 mg klorokuin bentuk basa. Etiket obat biasanya menyatakan isi garamnya,
tetapi hal ini harus diteliti untuk mencegah kesalahan dosis. Dosis klorokuin dapat diberikan
menurut cara yang ditentukan oleh Subdirektorat Malaria, Dit Jen PPM dan PLP, Departemen
Kesehatan, sebagai berikut :
Jumlah tablet yang harus diminum per hari menurut kelompok
Hari pengobatan umur
dengan klorokuin 15 tahun
0-11 bulan 1-4 tahun 5-9 tahun 10-14 thaun
ke atas
Hari Pertama 0.5 1 2 3 4
Hari Kedua 0.5 1 2 3 4
Hari Ketiga 0.25 0.5 1 1.5 2

Sumber: [Sungkar, Saleha. 2011. Buku Ajar Parasitologi Kedokteran Edisi Keempat. Jakarta: Badan
Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.]
2.8 Komplikasi
Hampir semua kematian akibat malaria disebabkan oleh Plasmodium falciparum. Pada infeksi
Plasmodium falciparum dapat menimbulkan malaria berat dengan komplikasi umumnya
digolongkan sebagai malaria berat, yang menurut WHO didefinisikan sebagai infeksi
Plasmodium falciparum stadium aseksual dengan satu atau lebih komplikasi sebagai berikut:
a. Malaria serebral
Kejang pada anak dengan malaria dapat merupakan permulaan serangan malaria
serebral.Tanda neurologic yang penting pada malaria serebral adalah gangguan upper
motor neuron yang simetris dan batang otak.Pendarahan dan eksudat pada retina
dijumpai pada beberapa kasus namun lebih jarang dibandingkan orang dewasa.
Delirium, halusinasi atau mengamuk sangat jarang dijumpai pada anak, dapat dijumpai
parasitemia berat disertai anemia berat.Malaria serebral adalah malaria falciparum yang
disertai kejang dan koma,tanpa penyebab lain dari koma. Gejala paling dini malaria
serebral pada anak-anak umumnya adalah demam (37,5-41oC), selanjutnya tidak bisa
makan atau minum, sering mengalami rasa mual dan batuk, jarang diare.

15
Riwayat gejala yang mendahului koma dapat sangat singkat, umumnya 1-2 hari.Anak-anak
yang sering kehilangan kesadaran setelah demam harus diperkirakan mengalami malaria
serebral, terutama jika koma menetap lebih dari setengah jam setelah kejang. Dalamnya
koma dapat dinilai sesuai dengan skala koma Glasgow atau respon rangsangan bunyi atau
rasa nyeri yang standar, ketukan (knuckle) iga pada dada anak dan jika tidak ada respon
lakukan tekanan kuat pada kuku ibu jari dengan pensil pada posisi mendatar.Sekelompok
anak-anak yang dapat bertahan hidup setelah menderita malaria serbral kurang lebih 10%
mengalami gejala sisa neurologic yang menetap. Selama periode penyembuhan, gejala sisa
dapat berbentuk hemiparesis, ataksia, serebelar, kebutaan kortikal, hipotonia berat,
retasdasi mental, kekakuan yang menyeluruh (afasia)
b. Anemia berat
Derajat anemia tergantung dari derajat dan lama parasitemia terjadi.Pada beberapa
pasien, serangan malaria berulang yang tidak diobati secara adekuat akan menyebabkan
anemia normokrom sebagai akibat perubahan eritropoetik di dalam sumsum tulang.
Anemia dapat terjadi pula terjadi akibat penghancuran eritrosit yang mengandung
parasite.Anak dengan anemia berat dapat menderita takikardia. Anemia juga turut
berperan dalam gejala serebral seperti bingung, gelisah, koma, pendarahan retina dan juga
gejala kardiopulmonal seperti irama derap, gagal jantung, hepatomegaly dan edema paru.
c. Dehidrasi,gangguan asam basa dan gangguan elektrolit
Gejala klinis dehidrasi sedang sampai berat adalah penurunan perfusi perifer,rasa
haus,penurunan berat badan 3-4%,nafas cepat dan dalam (asidosis), penurunan turgor
kulit, peningkatan kadar ureum darah (6,5 mmol/L atau 40 mg/dl), asidosis metabolik pada
pemeriksaan urin, kadar natrium urin rendah dan sedimen normal, merupakan tanda
terjadinya dehidrasi dan bukan gagal ginjal.
d. Hipoglukemia berat
Hipoglikemia berhubungan dengan hiperinsulinemia yang diinduksi oleh malaria dan kina.
Gejala hipoglikemia ini serupa dengan malaria serebral. Hipoglikemia pada anak adalah
keadaan di mana kadar glukosa darah turun menjadi 40 mg/dL atau lebih rendah. Adapun
gejalanya yakni rasa cemas, berkeringat, dilatasi pupil, sesak nafas, pernafasan sulit dan

16
berbunyi, oliguria, rasa kedinginan, takikardia dan pening. Gambaran klinis ini dapat
berkembang menjadi penurunan kesadaran, kejang umum, sikap tubuh ekstensi, syok dan
koma
e. Gagal ginjal
Kadar ureum sedikit meningkat kira-kira 10% pada anak lebih dari 5 tahun, seringkali gagal
ginjal disebabkan oleh dehidrasi yang tidak diobati adekuat. Pada orang dewasa dapat pula
disertai nekrosis tubular akut
f. Edema paru akut
Gejala edema paru seringkali timbul beberapa hari setelah pemberian obat antimalaria,
pada umumnya terjadi bersamaan dengan hiperparasitemia, gagal ginjal, hipoglikemia dan
asidosis
g. Kegagalan sirkulasi (agrid malaria)
Malaria agrid adalah malaria falciparum yang disertai syok oleh karena adanya septicemia
kuman gram negative.
h. Kecenderungan terjadi pendarahan
Pendarahan yang sering dijumpai adalah pendarahan gusi, epitaksis, petekia dan
perdarahan subkonjungtiva. Apabila terjadi koagulasi intravascular diseminata (KID) akan
timbul perdarahan yang lebih hebat yaitu melena dan hematemesis.
i. Hiperpireksia
Hiperpireksia lebih banyak dijumpai pada anak daripada dewasa dan seringkali
berhubungan dengan kejang, delirium dan koma, maka pada malaria monitor suhu berkala
sangat dianjurkan.
j. Hemoglobinuria/Black water fever
Hampir seluruh kasus hemoglubinuria berkaitan dengan defisiensi G6PD pada pasien
dengan infeksi malaria. Pada kasus ini, hemolysis akan berhenti setelah pecahnya eritrosit
tua
k. Hiperparasitemia

17
Umumnya penderita yang non-imun,densitas parasite >5% dan adanya skizotaemia sering
berhubungan dengan malaria berat.Penderita dengan parasitemia berat akan
meningkatkan resiko terjadinya komplikasi berat.
Sumber: [Longo, Dan. et al. 2011. Harrisons Principles of Internal Medicine. McGraw-Hill
Professional.]
2.9 Prognosis
Prognosis malaria vivaks biasanya baik, tidak menyebabkan kematian. Bila tidak diberi
pengobatan, serangan pertama dapat berlangsung 2 bulan atau lebih. Rata-rata infeksi malaria
vivaks tanpa pengobatan berlangsung 3 tahun, tetapi pada beberapa kasus dapat berlangsung
lebih lama, oleh karena sifat relapsnya, yaitu rekrudesensi dan rekurens.
3. Memahami dan Menjelaskan Epidemiologi Malaria
Malaria merupakan penyakit endemis atau hiperendemis di daerah tropis maupun subtropics
dan menyerang Negara dengan penduduk padat. Kini malaria terutama dijumpai di Meksiko,
sebagian Karibia, Amerika Tengah dan Selatan, Afrika Sub-sahara, Timur Tengah, India, Asia
Selatan, Indo Cina, dan pulau-pulau di Pasifik Selatan. Diperkirakan prevalensi malaria di
seluruh dunia berkisar antara 160-400 juta kasus. Batas dari penyebaran malaria adalah 64
lintang utara (Rusia) dan 32 lintang selatan (Argentina). Ketinggian yang memungkinkan
parasite hidup adalah 400 meter dibawah permukaan laut (Laut Mati) dan 2600 meter di atas
permukaan laut (Bolivia). Plasmodium vivax mempunyai distribusi geografis yang paling luas,
mulai dari daerah yang beriklim dingin, subtropik sampai ke daerah tropis, kadang-kadang
dijumpai di Pasifik Barat. Plasmodium falciparum terutama menyebabkan malaria di Afrika dan
daerah-daerah tropis lainnya.
Di Indonesia, malaria tersebar di seluruh pulau dengan derajat endemisitas yang berbeda-beda
dan dapat berjangkit di daerah dengan ketinggian sampai 1800 meter di atas permukaan laut.
Angka Annual Parasite Incidence (API) malaria di pulau Jawa dan Bali pada tahun 1997 adalah
0,120 per 1000 penduduk, sedangkan di luar pulau Jawa angka Parasite Rate (PR) tetap tinggi
yaitu 4,78% pada tahun 1997, tidak banyak berbeda dengan angka PR tahun 1990 (4,84%).
Spesies yang terbanyak dijumpai adalah Plasmodium falciparum dan Plasmodium vivax.
Plasmodium malariae dijumpai di Indonesia bagian timur, Plasmodium ovale pernah

18
ditemukan di Irian Jaya dan Nusa Tenggara Timur. Angka kesakitan malaria untuk Jawa Bali di
ukur dengan API dan untuk luar Jawa Bali diukur dengan PR. Air tergenang dan udara panas
masing-masing diperlukan untuk pembiakan nyamuk menunjang resistensi Plasmodium
falciparum terhadap klorokuin telah menyebar ke berbagai Negara endemis malaria termasuk
Indonesia. Resistensi ini mungkin karena munculnya gen yang telah mengalami mutasi. Akhir-
akhir ini juga dijumpai resistensi. Plasmodium falciparum terhadap pirimetamin-sulfadoksin
meningkat di negara-negara Asia Tenggara, Amerika Selatan dan Afrika Sub-sahara.
Sumber: [Garna, Herry, et al. 2008. Buku Ajar Infeksi & Pediatri Tropis Edisi Kedua. Jakarta: IDAI.]

Keputusan Menteri Kesehatan


Nomor : 293/MENKES/SK/IV/2009
Tanggal : 28 April 2009
ELIMINASI MALARIA DI INDONESIA
KEBIJAKAN
Eliminasi Malaria dilakukan secara menyeluruh dan terpadu oleh Pemerintah, Pemerintah
Daerah bersama mitra kerja pembangunan termasuk LSM, dunia usaha, lembaga donor,
organisasi profesi, organisasi kemasyarakatan dan masyarakat.

19
Eliminasi Malaria dilakukan secara bertahap dari kabupaten/kota, provinsi, dan dari satu pulau
atau ke beberapa pulau sampai ke seluruh wilayah Indonesia menurut tahapan yang
didasarkan pada situasi malaria dan kondisi sumber daya yang tersedia.
Situasi yang dicapai pada masing-masing tahap Eliminasi Malaria adalah sebagai berikut :
1. Tahap Pemberantasan
a. Belum semua unit pelayanan kesehatan mampu memeriksa kasus secara laboratorium
(Mikroskopis).
b. Cakupan pelayanan dan sumber daya terbatas.
c. Bila semua penderita demam di unit pelayanan kesehatan sudah dilakukan pemeriksaan
sediaan darah, maka Slide Positif Rate (SPR) masih > 5%.
d. Adanya upaya pengendalian malaria secara intensif untuk mencapai SPR < 5 %.
e. Adanya keterlibatan pemerintah, pemerintah daerah, swasta, LSM, organisasi Profesi,
Lembaga Internasional dan lembaga donor lainnya (pembentukan Tim Gebrak Malaria atau
forum kerja sama lain yang sudah ada di Provinsi dan Kabupaten/kota).
2. Tahap Pra Eliminasi
a. Semua unit pelayanan kesehatan sudah mampu memeriksa kasus secara laboratorium
(mikroskopis).
b. Semua penderita malaria klinis di unit pelayanan kesehatan sudah dilakukan pemeriksaan
sediaan darah dan SPR mencapai < 5%.
c. Adanya peningkatan kualitas dan cakupan upaya pengendalian malaria (Surveilans,
penemuan dan pengobatan, pemberantasan vektor) untuk mencapai Annual Parasite
Incidence (API) < 1/1000 penduduk berisiko.
d. Adanya peningkatan keterlibatan pemerintah, pemerintah daerah, swasta, LSM, organisasi
profesi, lembaga internasional, lembaga donor dan lain-lain (Tim Gebrak Malaria atau
forum kerja sama lain yang sudah ada di Provinsi dan Kabupaten/Kota).
e. Tersedianya peraturan perundangan di tingkat Provinsi/Kabupaten/Kota yang mendukung
kebijakan dan sumber daya untuk pelaksanaan eliminasi malaria.
3. Tahap Eliminasi

20
a. API sudah mencapai < 1/1000 penduduk berisiko dalam satuan wilayah minimal setara
dengan Kabupaten/Kota.
b. Surveilans sudah berjalan dengan baik termasuk Active Case Detection (ACD).
c. Re-orientasi program menuju Tahap Eliminasi kepada semua petugas kesehatan
pemerintah maupun swasta yang terlibat dalam eliminasi sudah dicapai dengan baik.
d. Lintas sektor terkait telah berperan secara penuh dan sinergis mulai dari pemerintah,
pemerintah daerah, LSM, organisasi profesi, lembaga internasional, lembaga donor dan
lain-lain dalam eliminasi malaria yang tertuang didalam Peraturan Perundangan daerah.
e. Upaya penanggulangan malaria dilakukan secara intensif sehingga kasus dengan penularan
setempat (indigenous) tidak ditemukan dalam periode waktu satu tahun terakhir.
4. Tahap Pemeliharaan (Pencegahan Penularan Kembali)
a. Mempertahankan Kasus indigenous tetap nol.
b. Kegiatan surveilans yang baik masih dipertahankan.
c. Re-orientasi program menuju Tahap Pemeliharaan kepada semua petugas kesehatan,
pemerintah maupun swasta yang terlibat dalam eliminasi sudah dicapai dengan baik.
d. Adanya konsistensi tanggung jawab pemerintah daerah dalam tahap pemeliharaan secara
berkesinambungan dalam kebijaksanaan, penyediaan sumber daya baik sarana dan
prasarana serta sumber daya lainnya yang tertuang dalam Peraturan Daerah atau
Peraturan Perundangan yang diperlukan di Provinsi/Kabupaten/Kota.

21

Anda mungkin juga menyukai