Anda di halaman 1dari 27

DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA

KOINFEKSI TUBERKULOSIS DAN HIV

Oleh :

Anisa Carina (1102015028)

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM

RSUD ARJAWINANGUN

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI

PERIODE 10 SEPTEMBER – 17 NOVEMBER 2018


DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA

KOINFEKSI TUBERKULOSIS DAN HIV

Definisi Tuberkulosis

Penyebab tuberkulosis adalah Mycobacterium tuberculosis, sejenis kuman berbentuk


batang dengan ukuran panjang 1-4/um dan tebal 0,3-0,6/um. Yang tergolong dalam
kuman Mycobacterium tuberculosae complex adalah: 1) M. tuberculosae, 2) Varian
Asian, 3) Varian African I, 4) Varian African II, dan 5) M. bovis. Pembagian tersebut
berdasarkan perbedaan secara epidemiologi.

Sebagian besar dinding kuman terdiri atas asam lemak (lipid), kemudian peptidoglikan
dan arabinomannan. Lipid inilah yang membuat kuman lebih tahan terhadap asam
(BTA) dan ia juga lebih tahan terhadap gangguan kimia dan fisis. Kuman dapat tahan
hidup pada udara kering maupun dalam keadaan dingin (dapat tahan bertahun-tahun
dalam lemari es). Hal ini terjadi karena kuman berada dalam sifat dormant. Dari sifat
dormant ini kuman dapat bangkit kembali dan menjadikan penyakit tuberkulosis
menjadi aktif lagi.

Di dalam jaringan, kuman hidup sebagai parasit intraselular yakni dalam sitoplasma
makrofag. Makrofag yang semula memfagositasi malah kemudian disenanginya karena
banyak mengandung lipid.

Sifat lain kuman ini adalah aerob. Sifat ini menunjukkan bahwa kuman lebih
menyenangi jaringan yang lebih tinggi kandungan oksigennya. Dalam hal ini, tekanan

2
oksigen pada bagian apikal paru-paru lebih tinggi dari bagian lain, sehingga bagian
apikal ini merupakan tempat predileksi penyakit tuberkulosis.

Klasifikasi Tuberkulosis

A. Tuberkulosis Paru

Tuberkulosis paru adalah tuberculosis yang menyerang jaringan paru, tidak


termasuk pleura.

1. Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak (BTA)


TB paru dibagi dalam:
a. Tuberkulosis Paru BTA (+)
 Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak menunjukkan hasil BTA
positif
 Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan
kelainan radiologis menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif
 Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan
biakan positif.
b. Tuberkulosis Paru BTA (-)
 Hasil pemerikskaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif,
gambaran klinik dan kelainan radiologik menunjukkan tuberkulosis
aktif serta tidak respons dengan pemberian antibiotik spektrum luas.
 Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif dan
biakkan M. tuberculosis positif.
 Jika belum ada hasil pemeriksaan dahak, tulis BTA belum diperiksa.
2. Berdasarkan Tipe Penderita
Tipe penderita ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya. Ada
beberapa tipe penderita yaitu:
a. Kasus baru

3
Penderita yang belum pernah mendapat pengobatan dengan OAT atau
sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (30 dosis harian).
b. Kasus kambuh (relaps)
Penderita tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan
tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap,
kemudian kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan dahak BTA
positif atau biakan positif.
c. Kasus pindahan (transfer in)
Penderita yang sedang mendapatkan pengobatan di suatu kabupaten dan
kemudian pindah berobat ke kabupaten lain. Penderita pindahan
tersebut harus membawa surat rujukan/pindah.
d. Kasus lalai berobat
Penderita yang sudah berobat paling kurang 1 bulan, dan berhenti 2
minggu atau lebih, kemudian datang kembali berobat. Umumnya
penderita tersebut kembali dengan hasil pemeriksaan dahak BTA
positif.
e. Kasus gagal
Penderita BTA positif yang masih tetap positif atau kembali menjadi
positif pada akhir bulan ke-5 (satu bulan sebelum akhir pengobatan).
Penderita dengan hasil BTA negatif gambaran radiologik positif
menjadi BTA positif pada akhir bulan ke-2 pengobatan dan atau
gambaran radiologik ulang hasilnya perburukan.
f. Kasus kronik
Penderita dengan hasil pemeriksaan dahak BTA masih positif setelah
selesai pengobatan ulang kategori 2 dengan pengawasan yang baik
g. Kasus bekas TB
Hasil pemeriksaan dahak mikroskopik negatif dan gambaran radiologik
paru menunjukkan lesi TB inaktif, terlebih gambaran radiologik serial

4
menunjukkan gambaran yang menetap. Riwayat pengobatan OAT yang
adekuat akan lebih mendukung.
Pada kasus dengan gambaran radiologik meragukan lesi TB aktif,
namun setelah mendapat pengobatan OAT selama 2 bulan ternyata tidak
ada perubahan gambaran radiologik.

B. Tuberkulosis Ekstra Paru


Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya pleura,
selaput otak, selaput jantung (perikardium), kelenjar limfe, tulang, persendian,
kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dll. Diagnosis sebaiknya
didasarkan atas kultur spesimen positif atau histologi, atau bukti klinis kuat
konsisten dengan TB ekstraparu aktif, yang selanjutnya dipertimbangkan oleh
klinisi untuk diberikan obat anti tuberkulosis siklus penuh. TB di luar paru dibagi
berdasarkan pada tingkat keparahan penyakit, yaitu:
a. TB di luar paru ringan
Misalnya: TB kelenjar limfe, pleuritis eksudativa unilateral, tulang (kecuali
tulang belakang), sendi dan kelenjar adrenal.
b. TB di luar paru berat
Misalnya: meningitis, milier, perikarditis, peritonitis, pleuritis eksudativa
bilateral, TB tulang belakang, TB usus, TB saluran kencing dan alat kelamin.

5
Gambar 1. Klasifikasi tuberkulosis

Patogenesis Tuberkulosis

 Tuberkulosis Primer
Penularan tuberkulosis paru terjadi karena kuman dibatukkan atau dibersinkan
keluar menjadi droplet nuclei dalam udara sekitar kita. Partikel infeksi ini dapat
menetap dalam udara bebas selama 1-2 jam, tergantung pada ada tidaknya sinar
ultraviolet, ventilasi yang buruk dan kelembapan. Dalam suasana lembap dan
gelap, kuman dapat tahan berhari-hari sampai berbulan-bulan. Bila partikel
infeksi ini terisap oleh orang sehat, ia akan menempel pada saluran napas atau
jaringan paru. Partikel dapat masuk ke alveolar bila ukuran partikel <5
mikrometer. Kuman akan dihadapi pertama kali oleh neutrophil, kemudian baru
oleh makrofag. Kebanyakan partikel ini akan mati atau dibersihkan oleh
makrofag keluar dari percabangan trakeobronkial bersama gerakan silia dengan
sekretnya.
Bila kuman menetap di jaringan paru, berkembang biak dalam sitoplasma
makrofag. Di sini ia dapat terbawa masuk ke organ tubuh lainnya. Kuman yang
bersarang di jaringan paru akan berbentuk sarang tuberculosis pneumonia kecil
dan disebut sarang primer atau afek primer atau sarang (fokus) Ghon. Sarang

6
primer ini dapat terjadi di setiap bagian jaringan paru. Bila menjalar sampai ke
pleura, maka terjadilah efusi pleura. Kuman dapat juga masuk melalui saluran
gastrointestinal, jaringan limfe, orofaring, dan kulit, terjadi limfadenopati
regional kemudian bakteri masuk ke dalam vena dan menjalar ke seluruh organ
seperti paru, otak, ginjal, tulang. Bila masuk ke arteri pulmonalis maka terjadi
penjalaran ke seluruh bagian paru menjadi TB milier.
Dari sarang primer akan timbul peradangan saluran getah bening menuju hilus
(limfangitis lokal), dan juga diikuti pembesaran kelenjar getah bening hilus
(limfadenitis regional). Sarang primer limfangitis lokal + limfadenitis regional
= kompleks primer (Ranke). Semua proses ini memakan waktu 3-8 minggu.
Kompleks primer ini selanjutnya dapat menjadi:
 Sembuh ssama sekali tanpa meninggalkan cacat. Ini yang banyak
terjadi.
 Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas berupa garis-garis fibrotik,
kalsifikasi di hilus, keadaan ini terdapat pada lesi pneumonia yang
luasnya >5 mm dan + 10% di antaranya dapat terjadi reaktivasi lagi
karena kuman yang dormant.
 Berkomplikasi dan menyebar secara: a) perkontinuitatum, yakni
menyebar ke sekitarnya, b) secara bronkogen pada paru yang
bersangkutan maupun paru di sebelahnya. Kuman juga dapat tertelan
bersama sputum dan ludah sehingga menyebar ke usus, c) secara
limfogen, d) secara hematogen.
 Tuberkulosis Pasca Primer (Tuberkulosis Sekunder)
Kuman yang dormant pada tuberkulosis primer akan muncul bertahun-tahun
kemudian sebagai infeksi endogen menjadi tuberkulosis dewasa (tuberkulosis
post primer = TB pasca primer = TB sekunder). Mayoritas reinfeksi mencapai
90%. Tuberkulosis sekunder terjadi karena imunitas menurun seperti
malnutrisi, alkohol, penyakit maligna, diabetes, AIDS, gagal ginjal.

7
Tuberkulosis pasca-primer ini dimulai dengan sarang dini yang berlokasi di
regio atas paru (bagian apikal-posterior lobus superior atau inferior). Invasinya
adalah ke daerah parenkim paru-paru dan tidak ke nodus hilus paru.
Sarang dini ini mula-mula juga berbentuk sarang pneumonia kecil. Dalam 3-10
minggu sarang ini menjadi tuberkel yakni suatu granuloma yang terdiri dari sel-
sel histiosit dan sel datia Langerhans (sel besar dengan banyak inti) yang
dikelilingi oleh sel-sel limfosit dan berbagai jaringan ikat.
TB pasca primer juga dapat berasal dari infeksi eksogen dari usia muda menjadi
TB usia tua (elderly tuberculosis). Tergantung dari jumlah kuman, virulensinya
dan imunitas pasien, sarang dini ini dapat menjadi:
 Direabsorbsi kembali dan sembuh tanpa meninggalkan cacat.
 Sarang yang mula-mula meluas, tetapi segera menyembuh dengan
serbukan jaringan fibrosis. Ada yang membungkus diri menjadi keras,
menimbulkan perkapuran. Sarang dini yang meluas sebagai granuloma
berkembang menghancurkan jaringan ikat sekitarnya dan bagian
tengahnya mengalami nekrosis, menjadi lembek membentuk jaringan
keju.
 Bila jaringan keju dibatukkan keluar akan terjadi kavitas. Kavitas ini
mula-mula berdinding tipis, lama-lama dindingnya menebal karena
infiltrasi jaringan fibroblast dalam jumlah besar, sehingga menjadi
kavitas sklerotik (kronik). Terjadinya perkijuan dan kavitas adalah
karena hidrolisis protein lipid dan asam nukleat oleh enzim yang
diproduksi oleh makrofag, dan proses yang berlebihan sitokin dengan
TNF-nya. Bentuk perkijuan lain yang jarang adalah cryptic disseminate
TB yang terjadi pada imunodefisiensi dan usia lanjut.
 Sarang pneumonik meluas, membentuk jaringan keju (jaringan
kaseosa). Kaviti akan muncul dengan dibatukannya jaringan keju

8
keluar. Kaviti awalnya berdinding tipis, kemudian dindingnya akan
menjadi tebal (kaviti sklerotik). Nasib kaviti ini:
 Mungkin meluas kembali dan menimbulkan sarang pneumonik
baru. Sarang pneumonik ini akan mengikuti pola perjalanan seperti
yang disebutkan di atas.
 Dapat pula memadat dan membungkus dirii (encapsulated), dan
disebut tuberkuloma. Tuberkuloma dapat mengapur dan
menyembuh, tapi mungkin pula aktif kembali, mencair lagi dan
menjadi kaviti lagi.
 Kaviti bisa pula menjadi bersih dan menyembuh yang disebut open
healed cavity, atau kaviti menyembuh dengan membungkus diri,
akhirnya mengecil. Kemungkinan berakhir sebagai kaviti yang
terbungkus, dan menciut sehingga kelihatan seperti bintang (stellate
shaped).

Gambar 2. Skema perkembangan sarang tuberculosis post primer dan perjalanan


penyembuhannya

9
Diagnosis Tuberkulosis

1. Gejala klinik
Gejala klinik tuberculosis dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala
respiratorik (atau gejala organ yang terlibat) dan gejala sistemik.
 Gejala respiratorik:
Batuk > 3 minggu
Batuk darah
Sesak napas
Nyeri dada
 Gejala sistemik:
Demam
Gejala sistemik lain: malaise, keringat malam, anoreksia, berat badan
menurun
2. Pemeriksaan Jasmani
Pada tuberkulosis paru, kelainan yang didapat tergantung luas kelainan struktur
paru. Pada permulaan (awal) perkembangan penyakit umumnya tidak (atau
sulit sekali) menemukan kelainan. Kelainan paru pada umumnya terletak di
daerah lobus superior terutama daerah apex dan segmen posterior, serta daerah
apex lobus inferior. Pada pemeriksaan jasmani dapat ditemukan: suara napas
bronkial, amforik, suara napas melemah, ronki basah, tanda-tanda
penarikan paru, diafragma dan mediastinum.
Pada pleuritis tuberkulosa, kelainan pemeriksaan fisik tergantung dari
banyaknya cairan di rongga pleura. Pada perkusi ditemukan pekak, pada
auskultasi suara napas yang melemah sampai tidak terdengar pada sisi yang
terdapat cairan.
Pada limfadenitis tuberkulosa, terlihat pembesaran kelenjar getah bening,
tersering di daerah leher, kadang-kadang di daerah ketiak. Pembesaran kelenjar
tersebut dapat menjadi “cold abscess”.

10
3. Pemeriksaan bakteriologik
 Bahan pemeriksaan
Bahan untuk pemeriksaan bakteriologik ini dapat berasal dari dahak,
cairan pleura, liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung,
kurasan bronkoalveolar (bronchoalveolar lavage/BAL), urin, feses dan
jaringan biopsi (termasuk biopsi jarum halus/BJH).
 Cara pengumpulan dan pengiriman bahan
Cara pengambilan dahak 3 kali, setiap pagi 3 hari berturut-turut dengan
cara SPS:
Sewaktu (waktu kunjungan), Pagi (keesokan harinya), Sewaktu (saat
mengantarkan dahak pagi) atau setiap selama 3 hari berturut-turut.
Proses pengiriman dahak dapat ditaruh di pot dengan mulut lebar, tutup
berulir, penampang 6 cm atau dibuat sediaan apus di gelas objek atau
menggunakan kertas saring.
Pemeriksaan spesimen ini dilakukan secara mikroskopis dan biakan.
Pemeriksaan mikroskopis biasa dengan Ziehl-Nielsen sedangkan
fluoresens dengan auramin-rhodamin. Kultur M. tuberculosis dapat
menggunakan metode Lowenstein-Jensen.
4. Pemeriksaan serologis
 Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA)
Teknik ini merupakan salah satu uji serologi yang dapat mendeteksi
respon humoral berupa proses antigen-antibodi yang terjadi.
 Mycodot
Uji ini mendeteksi antibodi antimikrobakterial di dalam tubuh manusia.
Uji ini menggunakan antigen lipoarabinomannan (LAM) yang
direkatkan pada suatu alat yang berbentuk sisir plastik. Sisir plastik ini
kemudian dicelupkan ke dalam serum penderita, dan bila di dalam
serum tersebut terdapat antibodi spesifik anti LAM dalam jumlah yang

11
memadai yang sesuai dengan aktivitas penyakit, maka akan timbul
perubahan warna pada sisir.
 Uji peroksidase anti peroksidase (PAP)
 ICT
Uji Immunochromatographic tuberculosis (ICT tuberculosis) adalah uji
serologis untuk mendeteksi antibodi M. tuberculosis dalam serum. Uji
ICT tuberculosis merupakan uji diagnostik TB yang menggunakan 5
antigen spesifik yang berasal dari membran sitoplasma M. tuberculosis.
5. Pemeriksaan BACTEC
Dasar teknik pemeriksaan biakan dengan BACTEC ini adalah metode
radiometrik. M. tuberculosis memetabolisme asam lemak yang kemudian
menghasilkan CO2 yang akan dideteksi growth indexnya oleh mesin ini.
Sistemini dapat menjadi salah satu alternatif pemeriksaan biakan secara cepat
untuk membantu menegakkan diagnosis.

Interpretasi hasil dahak

1. BTA (+): 3x positif atau 2x positif, 1x negatif;


2. BTA (-): 3x negatif;
3. Jika hasil 1x (+), 2x (-) diulang pemeriksaan BTA 3x lagi, bila hasil:
 1x positif dan 2x negatif, BTA (-)
 3x negatif, BTA (-)

Interpretasi pembacaan dengan mikroskop dengan skala IUATLD:

1. Tidak ada BTA dalam 100 lapang pandang, negatif.


2. Ditemukan 1-9 BTA dalam 100 lapang pandang, ditulis jumlah kuman yang
dilihat.
3. Ditemukan 10-99 BTA dalam 100 lapang pandang, 1+.
4. Ditemukan 1-10 BTA dalam 1 lapang pandang, 2+.

12
5. Ditemukan >10 BTA dalam 1 lapang pandang, 3+.

Gambar 3. Mycobacterium tuberculosis dengan pewarnaan Ziehl-Neelsen


(Sumber: en.wikipedia.org)

Gambar 4. Alur diagnosis P2TB

13
Tatalaksana Tuberkulosis

Terdapat 2 fase pengobatan, yaitu intensif (2-3 bulan) dan lanjutan (4-7 bulan).
Evaluasi pengobatan dilakukan setiap 2 minggu sekali selama bulan pertama
pengobatan. Selanjutnya, 1 bulan sekali. Pengobatan untuk pasien TB selain OAT,
boleh diberikan pengobatan suportif lainnya untuk meningkatkan daya tahan tubuh
atau mengatasi keluhan lainnya, contoh: vitamin. Indikasi rawat inap pada pasien TB:
hemaptoe massif, kondisi umum buruk, pneumonia toraks, empyema, efusi pleura
massif/bilateral, sesak napas berat, TB milier, meningitis TB.

Panduan Pemberian OAT di Indonesia

Tabel 1. Pengelompokan OAT (Sumber: Pedoman Nasional Pengendalian


Tuberkulosis 2011)

Golongan Obat Obat


Pirazinamid (Z)
Isoniazid (H)
Golongan 1 Lini 1 Rifampicin (R)
Etambutol (E)
Streptomisin (S)
Amikasin (Am)
Golongan 2 Lini 2 Kanamisin (Km)
Capreomycin (Cm)
Golongan 3. Ofloxacin (Ofx)
Moxifloxacin (Mfx)
Golongan floroquinolone Levofloxacin (Lfx)
Etionamid
Golongan 4. Paraaminosalisilat
Prothionamid
Obat bakteriostatik lini 2 Terizidon
Sikloserin
Golongan 5. Clofazim Tioacetazon
Obat yang belum terbukti Linezolid Clarithromycin
efikasinya dan tidak Amoksisilin-klavulanat Imipenem

14
direkomendasikan oleh
WHO

1. Kategori I
Diberikan untuk pasien baru:
Pasien baru dengan BTA positif
Pasien TB paru BTA (-), gambaran radiologi (+)
Pasien TB ekstraparu
Pada kategori I ini, regimen yang digunakan adalah 2RHZE/4RH,
2RHZE/6HE, atau 2RHZE/4R3H3
2. Kategori II
Diberikan untuk pasien BTA (+) dan telah diobati sebelumnya:
Pasien kambuh
Pasien gagal
Pasien default
Pada kategori II ini, regimen yang digunakan adalah 2RHZES/1RHZE untuk
fase intensif selama menunggu hasil uji resistensi. Jika hasil sudah ada, untuk
fase lanjutan mengikuti hasil uji resistensi. Bila tidak ada uji resistensi,
diberikan 5RHE. Untuk kasus gagal pengobatan, paling baik sebelum hasil uji
resistensi keluar dibeerikan OAT lini ke-2.
3. Kategori Anak
2HRZ/4HR

15
Definisi Infeksi HIV

HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah sejenis virus yang menyerang sistem
kekebalan tubuh manusia dan dapat menimbulkan AIDS. Virus HIV merupakan
retrovirus yang termasuk golongan virus RNA. Disebut retrovirus karena memiliki
enzim reverse transcriptase yang memungkinkan virus mengubah informasi
genetiknya yang berada dalam RNA ke dalam bentuk DNA yang kemudian
diintegrasikan ke dalam informasi genetik sel limfosit yang diserang. Dengan
demikian, HIV dapat memanfaatkan mekanisme sel limfosit untuk mengopi dirinya
menjadi virus baru yang memiliki ciri-ciri HIV. HIV menyerang salah satu jenis dari
sel-sel darah putih yang bertugas menangkal infeksi. Sel darah putih tersebut terutama
limfosit memiliki CD4 sebagai sebuah marker atau penanda yang berada di permukaan
sel limfosit. Karena berkurangnya nilai CD4 dalam tubuh manusia menunjukkan
berkurangnya sel limfosit yang seharusnya berperan dalam mengatasi infeksi yang
masuk ke tubuh manusia.

Patofisiologi Infeksi HIV

Dalam tubuh ODHA, partikel virus bergabung dengan DNA sel pasien, sehingga satu
kali seseorang terinfeksi HIV, seumur hidup ia akan tetap terinfeksi.

Infeksi HIV tidak akan langsung memperlihatkan tanda atau gejala tertentu. Sebagian
memperlihatkan gejala tidak khas pada infeksi HIV akut, 3-6 minggu setelah terinfeksi.
Gejala yang terjadi adalah demam, nyeri menelan, pembengkakan kelenjar getah
bening, ruam, diare dan batuk. Setelah infeksi akut, dimulailah infeksi HIV
asimptomatik. Masa tanpa gejala ini umumnya berlangsung selama 8-10 tahun.

Pada waktu orang dengan infeksi HIV masih merasa sehat, klinis tidak menunjukkan
gejala, pada waktu itu terjadi replikasi HIV yang tinggi, 10 partikel setiap hari.
Replikasi yang cepat ini disertai dengan mutase HIV dan seleksi, muncul HIV yang
resisten. Bersamaan dengan replikasi HIV, terjadi kehancuran limfosit CD4 yang

16
tinggi, untungnya tubuh masih bisa mengkompensasi dengan memproduksi limfosit
CD4 sekitar 109 sel setiap hari.

Kriteria Diagnosis HIV

Seseorang dinyatakan terinfeksi HIV apabila dengan pemeriksaan laboratorium


terbukti terinfeksi HIV, baik dengan metode pemeriksaan antibodi atau pemeriksaan
untuk mendeteksi adanya virus dalam tubuh.

Diagnosis AIDS untuk kepentingan surveilans ditegakkan apabila terdapat infeksi


oportunistik atau limfosit CD4+ kurang dari 350 sel/mm3.

Diagnosis Infeksi HIV

Terdapat beberapa jenis pemeriksaan laboratorium untuk memastikan diagnosis infeksi


HIV. Secara garis besar dapat dibagi menjadi pemeriksaan serologis untuk mendeteksi
adanya antibodi terhadap HIV dan pemeriksaan untuk mendeteksi keberadaan virus
HIV. Deteksi adanya virus HIV dalam tubuh dapat dilakukan dengan isolasi dan biakan
virus, deteksi antigen, dan deteksi materi genetik dalam darah pasien.

Pemeriksaan yang lebih mudah dilaksanakan adalah pemeriksaan terhadap antibodi


HIV. Sebagai penyaring biasanya digunakan teknik ELISA (enzyme-linked
immunosorbent assay), aglutinasi atau dot-blot immunobinding assay. Metode yang
biasanya digunakan di Indonesia adalah dengan ELISA.

Hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan tes terhadap antibody HIV ini yaitu
adanya masa jendela. Masa jendela adalah waktu sejak tubuh terinfeksi HIV sampai
mulai timbulnya antibodi yang dapat dideteksi dengan pemeriksaan. Antibodi mulai
terbentuk pada 4-8 minggu setelah infeksi. Jika curiga adanya risiko terinfeksi cukup
tinggi, perlu dilakukan pemeriksaan ulangan 3 tahun kemudian.

17
World Health Organization (WHO) menganjurkan pemakaian salah satu dari 3 strategi
pemeriksaan antibodi terhadap HIV di bawah ini, tergantung pada tujuan penyaringan
keberadaan populasi dan keadaan pasien.

Tabel 2. Strategi pemeriksaan Anti-HIV

Strategi Pemeriksaan Anti-HIV


Prevalensi Infeksi Strategi
Tujuan Pemeriksaan
HIV Pemeriksaan
Keamanan
transfusi dan Semua prevalensi I
transplantasi
>10% I
Surveillance
<10% II
Bergejala infeksi
Diagnosis >30% I
HIV/AIDS
<30% II
Tanpa gejala >10% II
<10% III

Pada keadaan yang memenuhi dilakukannya Strategi I, hanya dilakukan 1 kali


pemeriksaan. Bila hasil pemeriksaan reaktif, maka dianggap sebagai kasus terinfeksi
HIV dan bila hasil pemeriksaan non-reaktif dianggap tidak terinfeksi HIV. Reagensia
yang dipakai untuk pemeriksaan pada strategi ini harus memiliki sensitivitas yang
tinggi (>99%).

Strategi II menggunakan 2 kali pemeriksaan jika serum pada pemeriksaan pertama


memberikan hasil reaktif. Jika pada pemeriksaan pertama hasilnya non-reaktif, maka
dilaporkan hasil tesnya negatif. Pemeriksaan pertama menggunakan reagensia dengan
sensitivitas tertinggi dan pada pemeriksaan kedua dipakai reagensia yang lebih spesifik

18
serta berbeda jenis antigen atau tekniknya dari yang dipakai pada pemeriksaan pertama.
Bila hasil pemeriksaan kedua juga reaktif, maka disimpulkan sebagai terinfeksi HIV.
Namun jika hasil pemeriksaan yang kedua adalah non-reaktif, maka pemeriksaan harus
diulang dengan ke-2 metode. Bila hasil tetap tidak sama, maka dilaporkan sebagai
indeterminate.

Strategi III menggunakan 3 kali pemeriksaan. Bila hasil pemeriksaan pertama, kedua,
dan ketiga reaktif, maka dapat disimpulkan bahwa pasien tersebut memang terinfeksi
HIV. Bila hasil pemeriksaan tidak sama, misalnya hasil tes pertama reaktif, kedua
reaktif dan ketiga non-reaktif, maka keadaan ini disebut sebagai equivocal atau
indeterminate bila pasien yang diperiksa memiliki riwayat pemaparan terhadap HIV
atau berisiko tinggi tertular HIV. Sedangkan bila hasil seperti yang disebut sebelumnya
terjadi pada orang tanpa riwayat pemaparan terhadap HIV atau tidak berisiko tertular
HIV, maka hasil pemeriksaan dilaporkan sebagai non-reaktif. Perlu diperhatikan juga
bahwa pada pemeriksaan ketiga dipakai reagensia yang berbeda asal antigen atau
tekniknya, serta memiliki spesifisitas yang lebih tinggi.

Jika pemeriksaan penyarik menyatakan hasil yang reaktif, pemeriksaan dapat


dilanjutkan dengan pemeriksaan konfirmasi untuk memastikan adanya infeksi oleh
HIV, yang paling sering dipakai saat ini adalah teknik Western Blot (WB).

Seseorang yang ingin menjalani tes HIV untuk keperluan diagnosis harus mendapatkan
konseling pra test. Hal ini harus dilakukan agar ia dapat mendapat informasi yang
sejelas-jelasnya mengenai infeksi HIV/AIDS sehingga dapat mengambil keputusan
yang terbaik untuk dirinya serta lebih siap menerima apapun hasil tesnya nanti.

Untuk memberitahu hasil tes juga diperlukan konseling pasca tes, baik hasil tes positif
maupun negatif. Jika hasilnya positif akan diberikan informasi mengenai pengobatan
untuk memperpanjang masa tanpa gejala serta cara pencegahan penularan. Jika

19
hasilnya negatif, konseling tetap perlu dilakukan untuk memberikan informasi
bagaimana mempertahankan perilaku yang tidak berisiko.

Manifestasi Klinis Infeksi HIV

Sindroma HIV akut adalah istilah untuk tahap awal infeksi HIV. Gejalanya meliputi
demam, lemas, nafsu makan turun, sakit tenggorokan (nyeri saat menelan), batuk, nyeri
persendian, diare, pembengkakan kelenjar getah bening, bercak kemerahan pada kulit
(makula/ruam).

Penatalaksanaan Infeksi HIV

Secara umum, penatalaksanaan ODHA terdiri atas beberapa jenis, yaitu: a) pengobatan
untuk menekan replikasi virus HIV dengan obat antiretroviral (ARV), b) pengobatan
untuk mengatasi berbagai penyakit infeksi dan kanker yang menyertai HIV/AIDS,
seperti jamur, tuberkulosis, hepatitis, toksoplasma, sarcoma kaposi, limfoma, kanker
serviks, c) pengobatan suportif, yaitu makanan yang mempunyai nilai gizi yang lebih
baik dan pengobatan pendukung lain seperti dukungan psikososial dan dukungan
agama serta juga tidur yang cukup dan perlu menjaga kebersihan.

Terapi Antiretroviral (ARV)

Manfaat pemberian ARV, yaitu:

1. Menurunkan angka kematian.


2. Menurunkan risiko perawatan di Rumah Sakit.
3. Menekan viral load.
4. Memulihkan kekebalan.
5. Menurunkan risiko penularan.

Saat ini, regimen pengobatan ARV yang dianjurkan WHO adalah kombinasi dari 3
obat ARV. Kombinasi obat ARV lini pertama yang umumnya digunakkan di Indonesia

20
adalah kombinasi zidovudine (ZDV)/lamivudine (3TC), nevirapin (NVP), stavudin
(d4T), dan efavirenz (Efv).

Penggunaan d4T (stavudin) dalam waktu tidak terlalu lama karena efek samping jangka
panjang yaitu lipodisatropi dan efek metabolik. Pada pengobatan ARV lini 2
digunakkan tenofovir, lopi/ritonavir. Efek samping tenofovir yaitu gangguan fungsi
ginjal, osteoporosis, sedangkan efek samping PI adalah gangguan metabolik.

Tabel 3. Kombinasi obat ARV untuk terapi inisial

Kombinasi obat ARV untuk terapi inisial


Kolom A Kolom B
Lamivudin + zidovudin Efavirenz⁕
Lamivudin + didanosin
Lamivudin + stavudin
Lamivudin + zidovudin Nevirapin
Lamivudin + stavudin
Lamivudin + didanosin
Lamivudin + zidovudin Nellfinavir
Lamivudin + stavudin
Lamivudin + didanosin
⁕ Tidak dianjurkan bagi wanita hamil trimester pertama atau wanita yang berpotensi
tinggi untuk hamil.
Catatan: kombinasi yang sama sekali tidak boleh adalah: zidovudin + stavudin

21
Koinfeksi TB-HIV

Epidemiologi

Tuberkulosis (TB) masih menjadi penyebab utama kematian pada orang dengan
HIV/AIDS. Pada tahun 2012, diperkirakan terdapat 1,1 juta (13%) kasus baru TB pada
pasien HIV dan jumlah pasien meninggal akibat TB pada pasien HIV mencapai 350
ribu. Di Indonesia, koinfeksi HIV/TB pada pasien TB maupun pada pasien HIV/AIDS
mengalami peningkatan. Pada tahun 2012 dilaporkan terdapat 3,3% koinfeksi HIV
pada pasien TB dan meningkat menjadi 7,5% pada tahun 2013. Koinfeksi TB pada
pasien HIV/AIDS pada tahun 2012 dilaporkan sebanyak 30,9% meningkat menjadi
31,8% pada tahun 2013.

Semakin tinggi prevalensi HIV di suatu daerah, semakin tinggi juga prevalensi
koinfeksi TB-HIV di daerah tersebut. Konsekuensi ko-infeksi HIV dan M. tuberculosis
adalah infeksi HIV akan memudahkan terjadinya infeksi M. tuberculosis.

Manifestasi Klinis Koinfeksi TB-HIV

Gejala klinis pasien TB dengan HIV/AIDS tergantung derajat penyakitnya. Pada pasien
terinfeksi HIV/AIDS dengan kadar CD4 >350 sel/mm3 maka gejala klinis TB sama
dengan pasien TB tanpa HIV/AIDS.

Pemeriksaan radiologi dilakukan sebagai pemeriksaan penunjang, terutama bila


pemeriksaan sputum BTA 3 kali negatif. Gambaran radiologi juga tergantung pada
berat ringannya HIV. Pada tahap awal ketika kadar CD4 masih normal, gambaran
radiologi masih tipikal, seperti infiltrat, fibrosis kavitas dan kalsifikasi dengan lokasi
yang masih di apeks. Bila imunitas sudah menurun atau pada HIV tahap lanjut,
gambaran radiologi dapat berubah menjadi atipikal dengan bayangan infiltrat di
inferior atau berupa pembesaran kelenjar hilus.

Terdapat perbedaan manifestasi klinis antara pasien TB-HIV dengan infeksi HIV dini
dan infeksi lanjut. Selain itu, apabila dibandingkan dengan pasien TB non-HIV, hasil

22
BTA lebih sering negatif, foto polos lebih sering atipikal, dan TB lebih sering
ekstraparu. Hal ini diakibatkan oleh sistem imun yang sudah terganggu sehingga reaksi
imun terhadap TB berbeda dari orang biasa. Apabila seorang pasien sudah didiagnosis
menderita TB, maka terdapat juga gambaran klinis penderita HIV, seperti yang tertera
pada tabel berikut.

Riwayat faktor risiko Tanda Gejala


Penurunan berat badan
PMS (>10 kg atau >20% berat Scar pada herpes zoster
badan semula)
Herpes zoster Diare (>1 bulan) Sarkoma kaposi
Nyeri retrosternal saat
Pneumonia
menelan (candidiasis Kandidiasis oral
(rekurens/tidak)
esophageal)
Sensasi terbakar pada kaki Limfadenopati
Infeksi bakteri yang parah
(neuropati sensori perifer) generalisata simetris
TB yang baru Ulkus genital persisten
ditatalaksana

Gambaran penderita TB-HIV dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

TB-HIV Infeksi Dini (CD4 Infeksi Lanjut (CD4


>200/mm3) <200/mm3)
Dahak mikroskopis Sering positif Sering negatif
TB ekstraparu Jarang Umum / banyak
Mikrobakterimia Tidak ada Ada
Tuberkulin Positif Negatif
Foto toraks Reaktivasi TB, kavitas di Tipikal primer TB milier
puncak

23
Adenopati hilus / Tidak ada Ada
mediastinum
Efusi pleura Tidak ada Ada

Diagnosis TB pada HIV/AIDS

Diagnosis TB paru dan TB ekstra paru ditegakkan sebagai berikut:

1. TB paru BTA (+), yaitu minimal 1x hasil pemeriksaan dahak positif.


2. TB paru BTA (-), yaitu hasil dahak negatif dan gambaran klinis-radiologis ke
arah TB atau BTA (-) dengan kultur TB (+).
3. TB ekstra paru ditegakkan dengan pemeriksaan klinis, bakteriologis, dan/atau
histopatologis.

Terapi ARV untuk Koinfeksi HIV/Tuberkulosis

Terapi ARV direkomendasikan pada semua pasien koinfeksi HIV/TB berapapun


jumlah CD4 nya. Namun bagaimanapun terapi TB sendiri yaitu obat anti tuberkulosis
(OAT) tetap menjadi prioritas utama. Sehingga untuk memulai terapinya, OAT
diberikan terlebih dahulu, kemudian diikuti dengan ARV dalam waktu delapan minggu
pertama. Berdasarkan Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran 2011, rekomendasi
terapi ARV untuk pasien koinfeksi HIV/TB dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel Rekomendasi Terapi ARV untuk Pasien Koinfeksi HIV/TB


Regimen terapi ARV
Regimen terapi ARV
lini pertama atau lini Pilihan
saat muncul TB
kedua
Lanjutkan dengan 2
2 NRTI + EFV
NNRTI + EFV
Terapi ARV lini pertama
Ganti NVP ke EFVa,b atau
2 NRTI + NVP
ganti ke regimen 3 NRTI

24
Atau lanjutkan dengan 2
NRTI + NVPc
Ganti ke atau lanjutkan
(bila sudah mulai)
Terapi ARV lini kedua 2 NRTI + PI
regimen yang berisi LPV/r
dengan dosis gandaa,d
a
bisa dipertimbangkan untuk mengembalikan ke NVP setelah terapi TB yang berisi
Rifampicin selesai. Bila mengembalikan ke NVP tidak perlu lead-in-dose.
b
penggunaan regimen yang berisi EFV tidak dianjurkan untuk perempuan hamil
(terutama trimester pertama) berpotensi untuk hamil dan tidak menggunakan
kontrasepsi.
c
perlunya dilakukan monitoring klinis dan laboratoris (ALT) bila menggunakan
NVP atau boosted PI bersamaan dengan rifampicin.
d
dosis LVP/r dinaikkan dua kali lipat sehingga LPV 800 / ritonavir 200 dua kali
sehari

Interaksi OAT dengan ARV

Pada prinsipnya, pemberian OAT pada ODHA tidak berbeda dengan pasien HIV
negatif. Interaksi antar OAT dan ARV, terutama efek hepatotoksisitasnya, harus sangat
diperhatikan. Pada ODHA yang telah mendapat obat ARV sewaktu diagnosis TB
ditegakkan, maka obat ARV tetap diteruskan dengan evaluasi yang lebih ketat. Pada
ODHA yang belum mendapat terapi ARV, waktu pemberian obat disesuaikan dengan
kondisinya.

Tidak ada interaksi bermakna antara OAT dengan ARV golongan nukleosida, kecuali
ddl yang harus diberikan selang 1 jam dengan OAT karena bersifat sebagai buffer
antasida.

25
Interaksi dengan OAT terutama terjadi pada ARV golongan non-nukleosida dan
inhibitor protease. Obat ARV yang dianjurkan digunakan pada ODHA dengan TB
adalah evafirenz. Rifampisin dapat menurunkan kadar nelfinavir sampai 82% dan dapat
menurunkan kadar nevirapin sampai 7%. Namun, jika evafirenz tidak memungkinkan
diberikan pada pemberian bersama rifampisin dan nevirapin, dosis nevirapin tidak
perlu dinaikkan.

26
Daftar Pustaka

Amin, Zulkifli dan Asril Bahar. 2014. “Tuberkulosis Paru” dalam Siti Setiadi (Editor).
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi Keenam Jilid 1. Jakarta: Interna Publishing.

Djoerban, Zubairi dan Samsuridjal Djauzi. 2014. “HIV/AIDS di Indonesia” dalam Siti
Setiadi (Editor). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi Keenam Jilid 1. Jakarta:
Interna Publishing.

Hirsch HH, Kaufmann G SP. Immune reconstitution in HIV-infected patients. Clin


Infect Dis. 2004;38(8):1159-66.

Nelwan, Erni J dan Rudi Wisaksana. 2014. “Gejala dan Diagnosis HIV” dalam Siti
Setiadi (Editor). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi Keenam Jilid 1. Jakarta:
Interna Publishing.

Riadi A. 2012. Tuberkulosis dan HIV/AIDS. Jurnal Tuberkulosis Indonesia. 8:22-9.

Tuberkulosis Indonesia. TB/HIV [Internet]. 2014. Diakses pada: 19 April 2019.


Available from: http://www.tbindonesia.or.id/tb-hiv/

UNAIDS. 2013. Global reports UNAIDS report on the global AIDS epidemic.

World Health Organization. 2004. pp. 1–55.

27

Anda mungkin juga menyukai