Anda di halaman 1dari 18

1.

Memahami dan Menjelaskan Gangguan Defisiensi Imun

1.1 Definisi

Defisiensi dari respon imun atau gangguan dengan ciri khas defisiensi respon imun seperti sel B, sel T,
imunodefisiensi kombinasi, penyakit disfungsi fagositik.

1.2 Etiologi

Penyakit imunodefisiensi dapat disebabkan dari keturunan (herediter) yang memengaruhi perkembangan
sistem imun, atau dapat terjadi akibat efek sekunder penyakit lain (seperti infeksi, malnutrisi, penuaan,
imunosupresi, autoimunitas, atau kemoterapi). Secara klinis pasien imunodefisiensi mengalami kenaikan
kerentanan terhadap penyakit infeksi dan juga beberapa jenis kanker.
Pasien dengan kekurangan imunoglobulin, komplemen, atau sel fagosit biasanya mengalami infeksi
bakteri piogenik secara berulang; sebaliknya, pasien dengan gangguan pada imunitas yang diperantarai
oleh sel cenderung menderita infeksi yang disebabkan oleh virus, jamur, dan bakteri intrasel.

1.3 Klasifikasi

a. Defisiensi Imun Primer (kongenital)

Defisiensi imun primer jarang terjadi, kebanyakan dari penyakit ini diturunkan secara genetik dan
mempunyai pengaruh terhadap mekanisme imunitas spesifik (humoral maupun selular) atau mekanisme
imunitas bawaan, termasuk protein komplemen dan sel seperti fagosit dan sel NK. Kegagalan pada
mekanisme imunitas spesifik sering kali diklasifikasikan lebih lanjut berdasarkan pada komponen primer
yang terserang (sel B atau sel T atau keduanya). Defek sel T hampir selalu menyebabkan gangguan sintesis
antibodi, sehingga defisiensi sel T sendiri biasanya tidak dapat dibedakan dengan defisiensi kombinasi sel
T dan sel B. Sebagian besar imunodefisiensi primer membutuhkan perhatian diawal-awal (antara usia 6
bulan dan 2 tuhan, biasanya karena kerentanan janin terhadap infeksi berulang. Modern biologi molekular
sudah dapat mengidentifikasikan dasar genetik pada defisiensi imun primer, hal ini dapat menjadi dasar
terapi gene replacement pada masa mendatang.
Penyakit Etiologi
Penyakit Bruton Kelainan pada sel pra-B untuk -Pengurangan jumlah sel B di sirkulasi,
berdiferensiasi menjadi sel B dengan pengurangan jumlah Ig pada
serum.
-Jumlah sel pra-B pada sumsum tulang
normal atau dapat berkurang
-Pusat germinativum pada organ
limfoid tidak berkembang
-Tidak terdapat sel plasma pada tubuh
-Respon sel T normal
Imunodefisiensi Gangguan respons antibodi -Mempunyai sel B matur dalam jumlah
variabel umum terhadap infeksi atau vaksin normal
-Sel plasma tidak ditemukan
-Kurangnya bantuan sel T atau aktivitas
supresor sel T yang belebihan
Defisiensi IgA tersendiri Melemahnya pertahanan pada -Hambatan pada diferensiasi sel B yang
mukosa, memudahkan mereka menyekresi IgA menjadi sel plasma
mengalami infeksi sinopulmonal -IgM dan IgG terdapat dalam jumlah
dan diare berulang normal maupun diatas normal.
Sindrom DiGeorge Kelainan dalam perkembangan -Tidak ditemukan sel T dalam kelenjar
timus yang disertai dengan getah bening, limpa, serta darah
pematngan sel T yang tidak perifer.
sempurna. -Tidak kerusakan pada imunitas
(Delesi pada kromosom 22q11) dengan bantuan sel T
-Sel B dan Ig serum biasanya normal
Sindrom Hiper IgM Mutasi pada gen yang mengkode -Menghasilkan kadar antibodi IgM
CD40L pada kromosom X. Yang terhadap antigen secara normal/lebih
menyebabkan sel T tidak mampu dari normal.
menginduksi isotype switching sel -Kurang mampu menghasilkan IgG, IgA
B. atau IgE
Imunodefisiensi -Mutasi gen yang mengkode ADA -Mmenyebabkan penumpukan
kombinasi berat (SCID) (enzim yang membantu metabolit beracun pada maturasi dan
metabolisme purin) proliferasi limfosit
-Kegagalan ekspresi MHC kelas II
-Limfonodus dan jaringan limfoid
mengalami atopi
-limfopenia, kekurangan sel T dan sel B
-Kenaikan jumlah sel T imatur dan sel B
yang tidak berfungsi
b. Defisiensi Imun Sekunder (didapat)

Lebih sering terjadi daripada defisiensi imun primer. Defisiensi imun sekunder dapat ditemukan pada
penderita malnutrisi, infeksi, kanker, penyakit ginjal atau sarkoidosis. Penyebab yang paling sering terjadi
pada pasien yang menerima terapi untuk mensupres fungsi sumsum tulang belakang atau fungsi limfosit.

1.4 Pemeriksaan

Pemeriksaan defek produksi antibodi

a. Hitung darah komplit dan manual differential. Memudahkan untuk melihat jika ada jumlah yang
tidak normal pada limfosit, neutrofil dan trombisit

b. Quantitative serum immunoglobulin levels. Kuantisasi dari kadar imunoglobulin dapat dilakukan
dengan CLIA (Clinical Laboratories Improvement Act)

c. Pengukuran dari spesifik antibodi terhadap vaksin. Tes ini dilakukan untuk mengetahui apakah
penyakit kekurangan antibodi ini hanya terjadi jika imunoglobulin serum tidak terlalu rendah atau
terjadi saat ig serum rendah.

Pemeriksaan defek selular atau kombinasi

a. Hitung sel darah putih dengan manual differential harus diperoleh untuk menentukan apakah
pasien kekurangan limfosit(limfopenia).
Lahir 2500/L
5-6 bulan 1 tahun 4000/L
Dewasa 1000/L
Tes ini juga dapaat menentukan apakah pasien mempunyai jumlah neutrofil yangr endah atau
mempunyai jumlah neutrofil yang meningkat.

Pemeriksaan defek sel imun fagositik

a. Hitung darah komplit dan differential dibutuhkan untuk menentukan apakah sel fagostik (neutrofil)
dalam jumlah normal. Tes ini dinamakan absolut neutrophil count (ANC) yang dilakukan berkali kali
(co, 2 kali per minggu selama 1 bulan)

b. Respiratory burst assay. Dilakukan untuk menentukan jika sel fagositik dapat memproduksi oksigen
radikal yang dibutuhkan untuk membunuh bakteri dan jamur. Neutrofil dari pasien dengan CGD
(chronic granulomatosus disease) tidak memproduksi oksigen radikal itu.

Pemeriksaan defek komplemen. Pemeriksaan CH50 adalah pemeriksaan yang tepat untuk defisiensi
komplemen. Untuk defek alternative pathway dapat dilihat dengan uji AH50

2. Memahami dan Menjelaskan HIV

2.1. Definisi

AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) dapat diartikan sebagai kumpulan gejala atau penyakit yang
disebabkan oleh menurunnya kekebalan tubuh akibat infeksi oleh virus HIV (Human Immunodeficiency
Virus) yang termasuk family retroviridae.

HIV (Human Immunodeficiency Virus) merupakan retrovirus bersifat limfotropik khas yang menginfeksi
sel-sel dari system kekebalan tubuh, menghancurkan atau merusak sel darah putih spesifik yang disebut
limfosit T-helper atau limfosit pembawa faktor T4 (CD4). Virus ini diklasifikasikan dalam family
Retroviridae, subfamily Lentiviridae, genus Lentivirus. Selama infeksi berlangsung, system kekebalan
tubuh menjadi lemah dan orang menjadi lebih rentan terhadap infeksi. Tingkat HIV dalam tubuh dan
timbulnya berbagai infeksi tertentu merupakan indicator bahwa infeksi HIV telah berkembang menjadi
AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome).

Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah blood-borne virus yang biasanya ditransmisikan melalui
hubungan seksual, penggunaan obat intravena bersama dan penularan dari ibu ke anak (Mother to Child
Transmission MTCT), yang dapat terjadi selama proses kelahiran atau selama menyusui. Penyakit HIV
disebabkan oleh infeksi HIV-1 atau HIV-2, yang masuk dalam family Retroviridae, genus Lentivirus.

[Sumber: Medscape author: Nicholas John Bennett]

2.2. Struktur

HIV merupakan suatu virus RNA bentuk sferis dengan diameter 1000 angstrom yang termasuk retrovirus
dari family Lentivirus. Strukturnya terdiri dari lapisan luar atau envelop ysng terdiri atas glikoprotein gp120
yang melekat pada glikoprotein gp 4. Di bagian dalamnya terdapat lapisan kedua yang terdiri dari protein
p17. Setelah itu terdapat inti HIV yang dibentuk oleh protein p24. Di dalam inti terdapat komponen
penting berupa dua buah rantai RNA dan enzim reverse transcriptase.

Sumber: IPD

2.3. Klasifikasi

Dikenal dua tipe HIV, yaitu HIV-1 yang ditemukan pada tahun 1983, dan HIV-2 yang ditemukan pada tahun
1986 pada pasien AIDS di Afrika Barat. Epidemi HIV secara global terutama disebabkan oleh HIV-1,
sedangkan tipe HIV-2 tidak terlalu luas penyebarannya, hanya terdapat di Afrika Barat dan beberapa
negara Eropa yang mempunyai hubungan erat dengan Afrika Barat.

HIV-1 maupun HIV-2 mempunyai struktur yang hampir sama, HIV-1 mempunyai gen vpu tetapi tidak
mempunyai vpx, sedangkan sebaliknya HIV-2 mempunyai vpx tetapi tidak mempunyai vpu. Perbedaan
struktur genom ini walaupun sedikit, diperkirakan mempunyai peranan dalam menentukan patogenitas
dan perbedaan perjalanan penyakit diantara kedua tipe HIV tersebut. Karena HIV-1 yang lebih sering
ditemukan, maka penelitian-penelitian klinis dan laboratoris lebih sering dilakukan terhadap HIV-1.

Sumber: IPD

2.4. Etiologi

HIV merupakan virus ribonucleid acid (RNA) yang termasuk dalam subfamily Lentivirus dari family
Retrovirus. Struktur HIV dapat dibedakan menjadi dua tipe: HIV-1 yang menyebar luas ke seluruh dunia;
dan HIV-2 yang hanya ada di Afrika Barat dan beberapa negara Eropa.

Sumber: Kapita Selekta Kedokteran Edisi IV.

2.5. Cara Penularan

1. Hubungan seksual, dengan risiko penularan 0,1-1% tiap hubungan seksual.


2. Melalui darah, yaitu:
Transfusi darah yang mengandung HIV, risisko penularan 90-98%
Tertusuk jarum yang mengandung HIV, risiko penularan 0,03%
Terpapar mukosa yang mengandung HIV, risiko penularan 0,0051%
3. Transmisi dari ibu ke anak
Selama kehamilan
Saat persalinan, risiko penularan 50%
Melalui air susu ibu (ASI) 14%

[Sumber: Mansjoer, Arif. 2009. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 1 Edisi Ketiga. Jakarta: Media
Aesculapius FKUI.]

2.6. Patogenesis

Setelah HIV masuk tubuh, virus menuju ke kelenjar limfe dan berada dalam sel dendritic selama beberapa
hari. Kemudian terjadi sindrom retroviral akut semacam flu (serupa infeksi mononucleosis), disertai
Viremia hebat dengan keterlibatan berbagai kelenjar limfe. Pada tubuh timbul respons imun humoral
maupun selular. Sindrom ini akan hilang sendiri setelah 1-3 minggu. Kadar virus yang tinggi dalam darah
dapat diturunkan oleh system imun tubuh. Proses ini berlangsung berminggu-minggu sampai terjadi
keseimbangan antara pembentukan virus baru dan upaya eliminasi oleh respons imun. Titik
keseimbangan disebut set point dan amat penting karena menentukan perjalanan penyakit selanjutnya.
Bila tinggi, perjalanan penyakit menuju acquired immunodeficiency syndrome (sindrom defisiensi imun
yang didapat, AIDS) akan berlangsung lebih cepat.

Serokonversi (perubahan antibody negative menjadi positif) terjadi 1-3 bulan setelah infeksi, tetapi
pernah juga dilaporkan sampai 8 bulan. Kemudian pasien akan memasuki masa tanpa gejala. Dalam masa
ini terjadi penurunan terhadap jumlah CD4 (jumlah normal 800-1.000) yang terjadi setelah replikasi
persisten HIV dengan kadar RNA virus relative konstan. CD4 adalah reseptor pada limfosit T yang menjadi
target sel utama HIV. Mula-mula penurunan jumlah CD4 sekitar 30-60/tahun, tapi pada 2 tahun terakhir
penurunan jumlah menjadi cepat, 50-100/tahun, sehingga tanpa pengobatan, rata-rata masa dari infeksi
HIV sampai masa AIDS adalah 8-10 tahun, dimana jumlah CD4 akan mencapai di bawah 200.

[Sumber: Mansjoer, Arif. 2009. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 1 Edisi Ketiga. Jakarta: Media
Aesculapius FKUI.]

2.7. Patofisiologi

Pada individu dewasa, masa jendela infeksi HIV sekitar 3 bulan. Seiring pertambahan replikasi virus dan
perjalanan penyakit, jumlah sel limfosit CD4 akan terus menurun. Umumnya, jarak antara infeksi HIV dan
timbulnya gejala klinis pada AIDS berkisar antara 5-10 tahun.

Infeksi primer HIV dapat memicu gejala infeksi akut yang tidak spesifik, seperti demam, nyeri kepala,
faringitis dan nyeri tenggorokan, limfadenopati, dan ruam kulit. Fase akut tersebut dilanjutkan dengan
periode laten yang asimtomatis, tetapi pada fase inilah terjadi penurunan jumlah sel limfosit CD4 selama
bertahun-tahun hingga terjadi manifestasi klinis AIDS akibat defisiensi imun (berupa infeksi oportunistik).
Berbagai manifestasi klinis lain dapat timbul akibat reaksi autoimun, reaksi hipersensitivitas, dan potensi
keganasan.

[Sumber: Kapita Selekta Kedokteran Edisi IV]

2.8. Manifestasi Klinis

Gambaran klinis infeksi HIV dapat disebabkan HIV-nya sendiri (sindrom retroviral akut, demensia HIV),
infeksi oportunistik, atau kanker yang terkait AIDS. Perjalanan penyakit HIV dibagi dalam tahap-tahap
berdasarkan keadaan klinis dan jumlah CD4.

Infeksi Retroviral Akut

Frekuensi gejala infeksi retroviral akut sekitar 50-90%. Gambaran klinis menunjukkan demam,
pembesaran kelenjar, hepatosplenomegaly, nyeri tenggorok, myalgia, rash seperti morbili, ulkus pada
mukokutan, diare, leukopenia, dan limfosit atipik. Sebagian pasien mengalami gangguan neurologi seperti
meningitis aseptic, sindrom Guillain Barre, atau psikosis akut. Sindrom ini biasanya sembuh sendiri tanpa
pengobatan.

Masa Asimptomatik

Pada masa ini pasien tidak menunjukkan gejala, tetapi dapat terjadi limfadenopati umum. Penurunan
jumlah CD4 terjadi bertahap, disebut juga masa jendela (window period).
Masa Gejala Dini

Pada masa ini jumlah CD4 berkisar antara 100-300. Gejala yang timbul adalah akibat infeksi pneumonia
bacterial, kandidosis vagina, sariawan, herpes zoster, leukoplakia, ITP, dan tuberculosis paru. Masa ini
dulu disebut AIDS Related Complex (ARC).

Masa Gejala Lanjut

Pada masa ini jumlah CD4 di bawah 200. Penurunan daya tahan yang lanjut ini menyebabkan risiko tinggi
terjadinya infeksi oportunistik berat atau keganasan.

[Sumber: Mansjoer, Arif. 2009. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 1 Edisi Ketiga. Jakarta: Media
Aesculapius FKUI.]

2.9. Diagnosis

Pada masa jendela, bila beruntung, kita mungkin mengenal manifestas sindrom retroviral akut.
Pemeriksaan antibody HIV pada masa ini masih negative sehingga perlu dilakukan pemeriksaan
polymerase chain reaction (PCR) atau biakan virus.

Indikasi tes antibody HIV adalah kecurigaan kemungkinan risiko penularan seperti melakukan hubungan
seks yang taka man, pecandu narkotika suntikan, pasien penyakit menular seksual (PMS), pasien
hemophilia (yang sering mendapat infus faktor pembekuan sebelum tahun 1985), tusukan jarum yang
telah digunakan pada orang terinfeksi HIV, serta bayi yang lahir dari ibu terinfeksi HIV. Tes ini bisa
dilakukan pada masa tanpa gejala (asimtomatik). Meski tes ini dappat dilakukan di laboratorium yang
mempunyai fasilitas sederhana sebaliknya kita mengirim bahan ke laboratorium yang telah
berpengalaman.

Pada fase AIDS, manifestasi klinis dapat berupa demam, sariawan, penurunan berat badan, batuk kronik,
diare kronik, pembesaran kelenjar limfe, serta kelainan kulit. Anamnesis tentang perilaku berisiko amat
penting, tetapi sering kali baru dapat dilakukan bila hubungan dokter-pasien telah terbina baik.
Berdasarkan kecurigaan klinis, maka dokte dapat melakukan pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan.
Pemeriksaan penunjang yang sederhana, murah dan mudah dilakukan adalah pemeriksaan anti HIV.

Diagnosis infeksi HIV berdasar kemungkinan penularan dan pemeriksaan antibody HIV positif (telah
dikonfirmasi dengan tes Western Blot). Diagnosis AIDS didasarkan adanya penyakit infeksi oportunistik
atau kanker terkait yang telah ditetapkan dan antibody HIV positif. Pada revisi kriteria keadaan yang
berhubungan dengan AIDS tahun 1993, ditambahkan jumlah CD4 dibawah 200 sebagai salah satu kriteria
sehingga meski belum ada infeksi oportunistik atau kanker terkait, bila jumlah CD4 telah di bawah 200
digolongkan dalam AIDS.

Revisi kriteria menurut Centers for Disease Control (CDC) Amerika Serikat tahun 1993 untuk keadaan yang
berhubungan dengan HIV:

Kandidosis bronkus, trakea, paru


Kandidosis esophagus
Kanker serviks invasive
Koksidiodomikosis diseminata atau ekstrapulmonal
Kriprokokosis ekstrapulmonal
Kriptosprodiosis intestinal kronik (>1 bulan)
Infeksi sitomegalovirus (kecuali di hati, limpa, atau kelenjar getah bening)
Rinitis sitomegalovirus dengan gangguan pengelihatan
Ensefalopati yang terkait HIV
Herpes simpleks, ulkus kronik (>1 bulan) atau bronchitis, pneumonia, atau esofagitis
Histoplasmosis diseminata atau ekstrapulmonal
Isosporiasis intestinal kronik (>1 bulan)
Sarkoma Kaposi
Limfoma Burkitt (atau terminology yang sesuai)
Limfoma imunoblastik (atau terminology yang sesuai)
Limfoma primer pada otak
Mycobacterium avium kompleks atau M. kansasii diseminata atau ekstrapulmonal
Mycobacterium tuberculosis, pulmoner atau ekstrapulmonal
Pneumonia Pneumocystis carinii
Pneumonia rekurens
Leukoensefalopati multifocal progresif
Seprikemia salmonella rekurens
Ensfalitis toksoplasma
Wasting syndrome yang terkait HIV

[Sumber: Mansjoer, Arif. 2009. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 1 Edisi Ketiga. Jakarta: Media
Aesculapius FKUI.]

Konseling dan Tes HIV

1. Konseling
Terdapat dua macam pendekatan untuk tes HIV:
a. Konseling dan tes HIV sukarela (voluntary counseling & testing/VCT)
b. Tes HIV dan konseling atas inisiatif petugas kesehatan (provider-initiated testing and
counsling/PITC)

Hingga saat ini, PITC merupakan kebijakan pemerintah untuk dilaksanakan di layanan kesehatan. Petugas
kesehatan harus menganjurkan tes HIV setidaknya pada ibu hamil, pasien TB, pasien yang menunjukkan
gejala dan tanda klinis diduga terinfeksi HIV, pasien dari kelompok berisiko (penasun, PSK-pekerja seks
komersial, lelaki yang berhubungan seks dengan lelaki, pasien infeksi menular seksual dan seluruh
pasangan seksualnya).

2. Tes HIV
Prosedur pemeriksaan laboratorium untuk HIV sesuai dengan panduan nasional yang berlaku
pada saat ini, yaitu dengan menggunakan tiga pemeriksaan dan selalu didahului dengan konseling
pra-test atau informasi singkat. Ketiga tes tersebut dapat menggunakan reagen tes cepat atau
dengan ELISA. Untuk pemeriksaan pertama (A1) harus digunakan tes dengan sensitifitas yang
tinggi (>99%), sedang untuk pemeriksaan selanjutnya (A2 dan A3) menggunakan tes dengan
spesifitas tinggi (>99%)

Hasil Interpretasi Tindak Lanjut


Bila yakin tidak ada faktor risiko
dan atau perilaku berisiko
dilakukan lebih dari tiga bulan
sebelumnya maka pasien diberi
konseling cara menjaga tetap
A1 (-) atau
Non-reaktif negative.
A1 (-), A2 (-), dan A3 (-)
Bila belum yakin ada tidaknya
faktor risiko dan atau perilaku
berisiko dilakukan dalam tiga
bulan terakhir maka dianjurkan
untuk tes ulang dalam 1 bulan
Ulang tes dalam 1 bulan;
A1 (+), A2 (+), dan A3 (-), atau A1
Indeterminate Konseling cara menjaga agar
(+), A2 (-), dan A3 (-)
tetap negative ke depannya
Lakukan konseling hasil tes
A1 (+), A2 (+), dan A3 (+) Reaktif atau Positif positif dan rujuk untuk
mendapatkan pengobatan.
Pemeriksaan A1 umumnya menggunakan ELISA atau EIA sebagai skrining dasar. ELISA mendeteksi
antibody terhadap antigen HIV-1 dan HIV-2; tes ELISA terbaru dapat mendeteksi sekaligus antibody HIV
dan antigen p-24 HIV.

Hasil ELISA dapat berupa: positif (sangat reaktif), negative (nonreaktif), indeterminate (reaktif
parsial). Jika hasilnya negative, pasien tidak diperiksakan lagi kecuali ada indikasi atau kecurigaan
kuat bahwa pasien berada dalam infeksi HIV awal (3 bulan pertama).
Jika hasilnya positif atau indeterminate, tes ELISA harus diulang.
Setelah tes diulang 2 kali dan hasil keduanya negative, pasien dikatakan negative HIV.
Setelah diulang, hasilnya positif/indeterminate, harus dilakukan pemeriksaan dengan Western
Blot untuk HIV-1:
- Jika Western Blot hasilnya negative, diagnosis HIV-1 dapat disingkirkan
- Jika Western Blot hasilnya indeterminate, pemeriksaan harus diulang dalam 4-6 minggu.

Antibodi biasanya baru dapat terdeteksi dalam waktu 2 minggu hingga 3 bulan setelah terinfeksi HIV yang
disebut masa jendela. Bila tes HIV yang dilakukan dalam masa jendela menunjukkan hasil negative,
maka perlu dilakukan tes ulang, terutama bila masih terdapat perilaku yang berisiko.

Pemeriksaan HIV lainnya:

Pemeriksaan antigen p-24 (p-24 antigen capture assay): deteksi protein virus p-24 berbentuk
antigen yang bebas, atau yang terikat dengan antibody p-24 dalam darah pasien yang terinfeksi
HIV.
Hitung CD4. CD4 sebagai indicator keadaan system imun pada pasien dengan HIV.
Jumlah virus HIV (viral load) dengan PCR-RNA.

Sumber: Kapita Selekta Kedokteran Edisi IV.

PENCEGAHAN INFEKSI OPORTUNISTIK YANG DIREKOMENDASIKAN

Infeksi Oportunistik Indikasi Obat Profilaksis


Tuberkulosis PPD lebih 5 mm INH 300mg/hari
Penderita dengan + 50 mg vit B6/hari, atau INH 900
riwayat PPD positif mg 2x/minggu
tanpa kemoprofilaksis + 50 mg vit B6/hari sedikitnya
Risiko kontak dengan selama 1 tahun
penderita TB aktif
Pneumonia P. carinii Penderita PCP TMP-SMX 1 DS/hari seumur
Belum pernah PCP hidup
dengan CD4 <200
FUO atau trush
Toksoplasmosis CD4 <100 + IgG positif TMP-SMX 1 DS/hari
M. avium kompleks CD4 < 50 Klaritromisin 2x500mg
Azitromisin 1200 mg/minggu
Pneumonia, Streptokokus Semua pasien Vaksin pneumokokus 0,5ml IM

Varisela Terpapar varisela atau herpes VZIG 625 U IM <96 hari setelah
zoster paparan

PENGOBATAN INFEKSI OPORTUNISTIK DAN KANKER TERKAIT HIV

Infeksi Oportunistik/Kanker Pengobatan


Tuberkulosis Sesuai dengan panduan pengobatan TB
Kandidiasis mulut Nistatin 500.000 U/hari dikumur-kumur
Esofagus/sistemik Fluknazol 100 mh/hari
Vagina Mikonazol 200 mg intravaginal atau krim 2% seminggu
Aspergilosis Amfoterisin B 1-1,4 mg/kg BB/hari atau trakonazol 2x200 mg
M. avium kompleks Klaritromisin 2x500 mg + 2 dari:
Etambutol 15 mg/kg BB/hari
Rifabutin 300 mh/hari
Siproflokasasin 2x500-750 mg
Pneumonia P. carinii TM-SMX 2x DS selama 21 hari dilanjutkan dengan dosis
pemeliharaan
Toksoplasma ensefalitis Pirimetamin 100-200 mg loading dose, dilanjutkan 50-100 mg/hari
oral + asam folat 10 mg/hari + sulfadiazine 4-8 g/hari selama 6
minggu, atau Klindamisin 900-1200 mg tiap 6 jam ditambah
Pirimetamin dan asam folat
CMV Ansiklovir 2x100 mg IV selama 14-21 hari, atau Foscarnet 60 mg IV
tiap 8 jam 14-21 hari
Retinitis CMV Gansiklovir implant untuk 6-8 bulan
Herpes simpleks Asiklovir 5x800 mg sedikitnya seminggu (sampai lesi menyembuh)
Herpes zoster Asiklovir 5x800 mg sedikitnya 7 hari
Kriptokokosis Amfoterisin B 0,5-1 mg/kg BB sampai total dosis 0,7-1 g atau 15
mg/kg BB
Histoplasmosis Amfoterisin B 0,5-1 mg/kg BB IV/hari selama 1-2 minggu, atau
Itrakonazol 3x200 mg tiga hari dan dilanjutkan 2x200 mg
Koksidiodomikosis Amfoterisin B 0,5-1 mg/kg BB IV/hari selama lebih dari 8 minggu
Siprofloksasin 2x500 mg 2-4 minggu
Salmonella septicemia

Sarkoma Kaposi Vinblastin intralesi (0,01-0,02 mg/lesi)/2 minggu


Lokal Kemoterapi (Adriamisin, Bleomisin, Vinkristin/Vinblastin)
Sistemik
Limfoma malignum Kemoterapi + radiasi (pada limfoma di SSP)

JENIS OBAT ANTIRETROVIRAL

Golongan Dosis Efek Samping Monitoring


1. Inhibitor reverse Transcriptase
500 mg/hari, 5x100 mg Nyeri kepala, lemah,
atau 200-100-200 intoleransi saluran
mg/hari, dosis minimal cerna, insomnia,
3x100 mg, dosis anemia, neutropenia,
demensia HIV 1.000- penekanan sumsum
Zidovidin (AZT) Darah lengkap
1.200 mg/hari dosis tulang, tergantung dosis
Retrovir 3x/bulan
pencegahan penularan Miopati, peningkatan
Avirzid LFT/3-6 bulan
perinatal: enzim CPK, hepatitis,
Dosis pasca paparan kardiomiopati,
HIV: perubahan warna kuku.
Pada gagal ginjal
diberikan > dosis
Neuropati perifer, Amilase 1-2 bulan
Didanosin (ddl) pankreatitis, sekali
2x125 mg
Videx hiperurisemia, hepatitis, Pemeriksaan
kemerahan neurologik/bulan
Neuropati perifer, Pemeriksaan
Stavudin (d4T)
2x30 mg pankreatitis, hepatitis, neurologic/bulan
Zerit
neutropenia Amilase/bulan
Sakit kepala, nausea,
Lamivudin (3TC) 2x150 mg, dikurangi
diare, nyeri abdomen,
Epivir pada gagal ginjal
insomnia
2. Inhibitor enzim protease
Intoleransi saluran
Saquinavir 3x200 mg cerna, nyeri abdomen,
Invrase diare
Peningkatan bilirubin,
nefrolitiasis,
Indinavir
3x800 mg peningkatan
Crixivan
transaminase
Intoleransi saluran
cerna, paresthesia
Ritonavir
2x600 mg sekitar mulut,
Norvir
peningkatan kolesterol
dana trigliserida
2.10. Tatalaksana

Penatalaksanaan infeksi HIV/AIDS meliputi penatalaksanaan fisik, psikologis, dan social.

Penatalaksanaan medik terdiri atas:

1. Pengobatan suportif
Nutrisi dan vitamin yang cukup
Bekerja
Pandangan hidup yang positif
Hobi
Dukungan psikologis
Dukungan social
2. Pencegahan serta pengobatan infeksi oportunistik dan kanker.
3. Pengobatan antiretroviral
Saat memulai pengobatan:
Asimtomatik, CD4 >500 tapi RNA HIV (viral load) tinggi (lebih dari 30.000 kopi/ml)
Asimtomatik, CD4 >350 (boleh ditunda bila CD4 >350 dan viral load rendah <10.000)
Infeksi HIV dengan gejala

Sekarang yang dianut adalah pengobatan kombinasi dengan kombinasi tiga obat, terdiri dari dua inhibitor
reverse transcriptase dan satu inhibitor enzim protease. Monoterapi (ddl atau d4T) hanya
dipertimbangkan bila pengobatan kombinasi tak dapat dilakukan atau pasien telah menggunakan
monoterapi dalam waktu yang lama dan hasil klinis maupun pemantauan laboratorium tetap baik (CD4
baik).

[Sumber: Mansjoer, Arif. 2009. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 1 Edisi Ketiga. Jakarta: Media
Aesculapius FKUI.]

1. Pemeriksaan setelah Diagnosis HIV ditegakkan


a. Pemeriksaan stadium klinis setiap kali kunjungan
b. Pemeriksaan hitung CD4. Rata-rata penurunan CD4 adalah sekitar 70-100
sel/mm3/tahun, dengan peningkatan setelah pemberian ARV antara 50-100
sel/mm3/tahun. Jumlah limfosit total tidak dapat menggantikan pemeriksaan CD4.
c. Pemeriksaan laboratorium. Idealnya sebelum memulai terapi antiretrovirus (ARV)
dilakukan pemeriksaan berikut:
Darah lengkap, SGOT dan SGPT, kreatinin serum, urinalisis;
HBsAg, anti-HCV, profil lipid serum, gula darah, VDRL/TPHA/PRP, Rontgen toraks;
Tes kehamilan pada perempuan usia reproduksi (perlu anamnesis menstruasi
terakhir)
PAP smear atau IVA untuk menyingkirkan keganasan serviks; serta
Jumlah virus (viral load RNA HIV).
2. Pencegahan Infeksi Opportunistik dengan kotrimoksasol. Pencegahan dengan kotrimoksasol
diberikan sebagai profilaksis primer (untuk mencegah infeksi yang belum pernah dialami) maupun
profilaksis sekunder (untuk mencegah berulangnya suatu infeksi).
Bila tidak tersedia pemeriksaan hitung CD4, kortimoksasol diberikan pada semua pasien
segera setelah dinyatakan HIV positif. Dosis 1x960 mg/hari dosis tunggal. Terapi
kortimoksasol dihentikan setelah 2 tahun penggunaan bila mendapatkan ARV.
Bila tersedia pemeriksaan hitung CD4, kotrimoksasol diberikan pada semua pasien HIV
dengan CD4 <200 sel/mm3. Dosis 1x960 mg/haro dosis tunggal. Terapi kortimoksasol
dihentikan bila sel CD4 meningkat >200 sel/mm3 pada pemeriksaan dua kali interval 6
bulan berturut-turut jika mendapat ARV.
Kotrimoksasol untuk pencegahan sekunder diberikan setelah terapi PCP atau
Toxoplasmosis selesai dan diberikan selama 1 tahun.
3. Terapi Antiretroviral (ARV)
Tujuan terapi ARV adalah untuk menurunkan jumlah RNA virus (viral load) hingga tidak terdeteksi,
mencegah komplikasi HIV, menurunkan transmisi HIV, serta menurunkan angka mortalitas. Pada
prinsipnya, terapi ARV menggunakan kombinasi tiga obat sesuai rekomendasi dan kondisi pasien,
memastikan kepatuhan minum obat pasien, dan menjaga kesinambungan ketersediaan ARV.
a. Inisiasi ARV pada pasien remaja dan dewasa diberikan pada: (WHO, 2014)
I. Seluruh individu dengan infeksi HIV derajat berat (severe) atau tahap lanjut (stadium
klinis 3-4);
II. Seluruh individu terinfeksi HIV dengan hitung CD4 < 350 sel/mm3.
III. Seluruh individu dengan hitung CD4 >350 sel/mm3 tanpa melihat stadium klinis
WHO.
IV. Tanpa melihat hitung CD4:
Pasien HIV dengan penyakit TB aktif;
Pasien HIV dengan koinfeksi hepatitis B dengan penyakit hati kronis;
Perempuan HIV yang sedang hamil atau menyusui;
Pada pasien HIV yang memiliki pasangan serodiscordant (berbeda status
HIV; satu orang positif dan pasangan negative) dapat dipertimbangkan
untuk pemberian ARV untuk mengurangi transmisi pada pasangan yang
belum terinfeksi.
b. Anjuran Pemilihan ARV Lini Pertama, berupa kombinasi 2 nucleoside reverse-
transcriptase inhibitors (NRTIs) + 1 non-nucleoside reverse-transcriptase inhibitor (NNRTI):
TDF + 3TC (atau FTC) + EFV; bila regimen ini dikontraindikasikan, maka
alternatifnya:
AZT + 3TC + EFV
AZT + 3 TC +NVP
TDF + 3TC (atau FTC) + NVP

Tidak direkomendasikan menggunakan d4T sebagai regimen lini pertama karena efek
samping toksisitas metabolic yang berat. Perlu diingat, baik sebagai lini pertama maupun
kedua, terdapat beberapa kombinasi ARV yang tidak dianjurkan, antara lain:

Mono atau dual terapi, karena cepat menimbulkan resistensi;


d4T + ACT (bersifat antagonis);
d4T + ddI (toksisitas tumpeng tindih);
3TC + FTC (bisa saling menggantikan, tetapi tidak boleh digunakan secara
bersamaan);
TDF + 3TC + ABC atau TDF + 3TC + ddI (meningkatkan mutase K65R dan sering
terjadi kegagalan virologis);
TDF + ddI + NNRTI apapun (sering terjadi di kegagalan virologis secara dini)
c. Pemantauan Terapi ARV
Pemantauan klinis pada minggu ke-2 , 4, 6, 8, 12, dan 24 setelah memulai ARV;
dilanjutkan setiap 6 bulan bila pasien mencapai kondisi stabil. Penilaian klinis
termasuk evaluasi tanda-gejala efek samping obat, kegagalan terapi ARV, frekuensi
infeksi, serta konseling untuk membantu pasien memahami terapi ARV dan dukungan
kepatuhan.
Pemeriksaan hitung CD4 rutin setiap 6 bulan;
Pemeriksaan jumlah RNA virus (viral load) di Indonesia belum dianjurkan untuk
pemantauan rutin terapi ARV. Namun, viral load digunakan untuk mendeteksi
kegagalan terapi. Idealnya, viral load diperiksa pada 6 bulan setelah inisiasi ARV,
dilanjutkan setiap 12 bulan. Diharapkan, viral load menjadi tidak terdeteksi
setelah 6 bulan terapi ARV.
Pemeriksaan laboratorium spesifik terkait efek samping obat:
Terapi AZT: pemeriksaan Hb sebelum terapi dan pada minggu ke-4, 8, dan 12
setelah terapi;
Terapi TDF: pemeriksaan kretinin serum dan urinalisis;
Terapi NVP: pemeriksaan SGPT (ALT) pada minggu ke-2, 4, 8, dan 12 setelah
terapi;
Terapi d4T: deteksi kejadian asidosis laktat;
Meski tidak rutin, penggunaan protease inhibitor (PI) dapat mempengaruhi
metabolisme glukosa dan lipid.
d. Sindrom Pulih Imun (Immune Reconstitution Syndrome/IRIS)
Merupakan perburukan kondisi klinis akibat respons inflamasi berlebihan saat pemulihan
respons imun pasca pemberian terapi ARV. IRIS dapat bermanifestasi dalam bentuk
penyakit infeksi maupun noninfeksi. Mekanisme IRIS belum diketahui dengan jelas,
namun respons imun yang berlebihan.
Kriteria diagnosis sindrom pulih imun menurut Internatuonal Network Study og HIV-
associated IRIS (INSHI), sebagai berikut:
Menunjukkan respons terhadap terapi ARV dengan:
- Mendapat terapi ARV;
- Penurunan viral load > 1 loh kopi/mL
Perburukan gejala klinis infeksi atau timbul reaksi inflamasi yang terkait dengan
inisiasi terapi ARV
Gejala kinis tersebut bukan disebabkan oleh:
- Gejala klinis dari infeksi yang ddiketahui sebelumnya yang telah berhasil
disembuhkan;
- Efek samping obat atau toksisitas;
- Kegagalan terapi, dan
- Ketidakpatuhan menggunakan ARV
Sumber: Kapita Selekta Kedokteran Edisi IV

2.11. Epidemiologi

Infeksi HIV dan AIDS secara global. Infeksi HIV/AIDS adalah pandemik global, dengan laporan kasus pada
setiap negara. Perkiraan sementara infeksi HIV pada dewasa di seluruh dunia adalah 37 juta, 2/3
diantaranya penduduk di sub-sahara afrika; 50% kasusnya adalah wanita. Dengan perkiraan 2.5 juta
diantaranya adalah anak-anak dibawah 15 tahun. Menurut Joint United Nations Programee terhadap
HIV/AIDS pada tahun 2003, terdapat 5juta kasus baru di seluruh dunia (>14.000 kasus baru setiap harinya)
dan 3juta kematian yang disebabkan oleh AIDS, hal ini menempatkan penyakit ini menjadi penyakit ke-4
yang menyebabkan kematian secara global.

[Sumber: Kasper, Dennis L et al. Harrisons Principles of Internal Medicine 16th Ed. McGraw-Hill. 2005]

2.12. Prognosis

Prognosis pada pasien dengan infeksi HIV yang tidak diobati buruk, dengan tingkat kematian secara
keseluruhan lebih dari 90%. Rata-rata waktu dari infeksi sampai mati adalah 8-10 tahun, meskipun
variabilitas individu berkisar kurang dari 1 tahun untuk long-term non progression. Banyak variable telah
terlibat dalam tingkat perkembangan HIV, termasuk CCR5delta32 heterozigositas , kesehatan mental,
penyalahgunaan obat bersamaan atau alcohol, superinfeksi dengan HIV strain yang lain, gizi, dan usia.

3. Memahami dan Menjelaskan Etika dalam Menangani Pasien Khusus HIV

Jika dokter menemukan pasien yang terdiagnosis HIV positif, dokter diwajibkan untuk merahasiakan hal
tersebut seperti yang sudah disebutkan dalam sumpah dokter menurut SK Menkes RI
434/Menkes/SK/X/1983 pada poin 5 disebutkan, saya akan merahasiakan segala sesuatu yang saya
ketahui karena pekerjaan saya dan keilmuan saya sebagai dokter. Dalam KODEKI yang diputuskan PB IDI,
tentang kewajiban dokter terhadap pasien pada pasal 12 berbunyi, setiap dokter wajib merahasiakan
segala sesuatu yang diketahuinya tentang seorang pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal
dunia.

Selain menjaga kerahasiaan pasien, dokter juga diwajibkan untuk memberikan pelayanan kesehatan,
seperti yang disebutkan pada KODEKI Pasal 10 berbunyi, setiap dokter wajib bersikap tulus ikhlas dan
mempergunakan segala ilmu dan keterampilannya untuk kepentingan pasien. Dalam hal ia tidak mampu
melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan, maka atas persetujuan pa sien, ia wajib merujuk pasien
kepada dokter yang mempunyai.keahlian dalam penyakit tersebut. Sikap tulus ikhlas yang dilandasi sikap
profesional seorang dokter dalam melakukan tugasnya sangat diperlukan karena sikap ini akan
menegakkan wibawa dokter, memberikan kepercayaan dan ketenangan bagi pasien, sehingga pasien
bersikap kooperatif yang memudahkan dokter dalam membuat diagnosis dan memberikan terapi. Dokter
perlu pula bersikap ramah tamah dan sopan santun terhadap pasien. Pendekatan yang dilakukan dokter
dalam upaya penyembuhan hendaknya selalu holistik sifatnya, dengan mempertimbangkan tidak hanya
aspek fisik, tetapi juga aspek psikis, spiritual, dan intelektual pasiennya. Selain itu, dalam pasal 25 (1)
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia mennyatakan: Setiap manusia mempunyai hak atas standar
kehidupan yang cukup, bagi kesehatan dirinya sendiri dan keluarganya, yang mencakup makanan tempat
tinggal, pakaian dan pelayanan kesehatan serta pelayanan sosial yang penting

Rahasia kedokteran merupakan hak pasien yang wajib dihormati. Rahasia kedokteran hanya dapat dibuka
untuk kepentingan kesehatan pasien, memenuhi aparatur penegak hukum, permintaan pasien sendiri,
atau berdasarkan ketentuan undang-udang

HIV dalam kehamilan.

Pada pemeriksaan antenatal (ANC), pada ibu hamil biasanya dilakukan pemeriksaan laboratorium
terhadap penyakit menular seksual. Namun, ibu hamil memiliki otonomi untuk menyetujui atau menolak
pemeriksaan terhadap HIV, setelah diberikan penjelasan yang memuaskan mereka dan dokter harus
menghormati otonomi pasiennya. Bagi ibu hamil yang diperiksa dan ternyata HIV seropositif perlu diberi
kesempatan untuk konseling mengenai pengaruh HIV terhadap kehamilan dan sebaliknya pengaruh
kehamilan terhadap HIV, risiko penularan dari ibu ke anah tentang pemeriksaan dan terapi selama hamil,
rencana persalinan, masa nifas dan masa menlrrsui. Kerahasiaan perlu dijaga dalam melaporkan kasus-
kasus HIV sero-positif. Dalam hal ini diserahkan kepada ibu bersangkutan untuk menyampaikan hasilnya
kepada pasangannya atau pihak ketiga lainnya karena ia memiliki hak dan tanggung jawab untuk itu. Jika
keadaan ibu hamil tersebut membahayakan pasangannya, perlu dipertimbangkan'untung ruginya
membuka rahasia pekerjaan dokter.

Dokter dengan HIV positif tidak pdrlu memberitahukan pasiennya tentang dirinya, tetapi harus berhati-
hati melakukan tindakan-tindakan medik yang mengandung risiko, seperti pembedahan obstetrik dan
ginekologik, serta berhati-hati dengan alat-alat yang digunakan.

[Sumber: Jusuf Hanafiah, M & Amri Amir. 2008. Etika Kedokteran & Hukum Kesehatan Edisi 4. Jakarta:
EGC.]

4. Memahami dan Menjelaskan Pandangan Islam Tentang Kasus HIV

Tindakan Preventif
Sumber penyakit AIDS ini jelas, yaitu gonta-ganti pasangan seks, atau perzinaan, dan seks bebas. Maka,
pintu ini harus ditutup rapat-rapat. Karena itu, dengan tegas Islam mengharamkan perzinaan dan seks
bebas. Allah SWT berfirman: Janganlah kalian mendekati perzinaan, karena sesungguhnya perzinaan itu
merupakan perbuatan yang keji, dan cara yang buruk. (QS. Al-Isra [17]:32)

Islam bukan hanya mengharamkan perzinaan, tetapi semua jalan menuju perzinahan pun diharamkan.
Islam, misalnya, mengharamkan pria dan wanita berkhalwat (menyendiri/berduaan). Sebagaimana sabda
Nabi SAW, Hendaknya salah seorang di antara kalian tidak berdua-duaan dengan seorang wanita, tanpa
disertai mahram, karena pihak yang ketiga adalah setan. (HR. Ahmad dan an-Nasai).

Tidak hanya berduaan, memandang lawan jenis dengan syahwat juga dilarang. Dengan tegas Nabi
menyatakan, bahwa zina mata adalah melihat (HR. Ahmad) Nabi juga melarang pandangan kedua
(pandangan yang disertai dengan syahwat) (HR. Ahmad,at-Tirmidzi dan Abu Dawud). Bahkan Nabi pernah
memalingkan kepala Fadhal bin Abbas ketika memandangi wajah perempuan Khasamiyah, seraya
bersabda, Pandangan yang bersumber dari syahwat itu merupakan busur panah setan. Dalam riwayat
lain Nabi menyatakan, Dua mata berzina, ketika keduanya sama-sama melihat. Dua tangan berzina,
ketika keduanya meraba. (as-Sarakhshi, al-Mabsuth, X/145).

Tindakan Kuratif

Jika seluruh hukum dan ketentuan diterapkan, maka praktis pintu zina telah tertutup rapat. Dengan
begitu, orang yang melakukan zina, bisa dianggap sebagai orang-orang yang benar-benar nekat. Maka
terhadap orang-orang seperti ini, Islam memberlakukan tindakan tegas. Bagi yang telah menikah
(muhshan), maka Islam memberlakukan sanksi rajam (dilempari batu) hingga mati. Ketika Maiz Al-Aslami
dan al-Ghamidiyyah melakukan zina, maka keduanya dirajam oleh Nabi SAW hingga mati.

Bagi yang belum menikah (ghair muhshan), Islam memberlakukan sanksi jild (cambuk) hingga 100 kali.
Dengan tegas Allah menyatakan, Pezina perempuan dan laki-laki, cambuklah masing-masing di antara
mereka dengan 100 kali cambukan. (QS. An-Nur [24]:02)

Maslahat dari penerapan seluruh ketentuan dan hukum ini adalah terbebasnya masyarakat dari perilaku
seks yang tidak sehat. Tidak hanya itu, perilaku seks yang menjadi sumber penyakit AIDS pun benar-benar
telah ditutup rapat. Jika pelaku zina muhshan dirajam sampai mati, maka salah satu sumber penyebaran
penyakit AIDS ini pun dengan sendirinya bisa dihilangkan.

Lalu, bagaimana dengan mereka yang tertular penyakit AIDS, dan bukan pelaku zina? Seperti ibu rumah
tangga yang tertular dari suaminya yang heteroseksual, atau anak-anak balita, dan orang lain yang
tertular, misalnya, melalui jarum suntuk dan sebagainya?

Karena ini merupakan jenis virus yang berbahaya dan mematikan, maka para penderitanya bisa
dikarantina. Ini didasarkan pada hadits Nabi, Larilah kamu dari yang terkena lepra, sebagaimana kamu
melarikan diri dari (kejaran) singa. (HR. Abdurrazaq, al-Mushannaf, X/405). Nabi memerintahkan kita lari
dari penderita lepra, karena lepra merupakan penyakit menular.

Dari hadits ini bisa ditarik dua hukum: Pertama, perintah melarikan diri, yang berarti penderitanya harus
dijauhkan dari orang sehat. Dalam konteks medis, tindakan ini bisa diwujudkan dalam bentuk karantina.
Artinya, penderita lepra harus dikarantina. Kedua, lepra sebagai jenis penyakit menular bukan lepra
sebagai penyakit tertentu. Berarti, ini bisa dianalogikan kepada penyakit menular yang lain. Karena itu,
berdasarkan hadits ini, penderita AIDS bisa disamakan dengan penyakit lepra, karena sama-sama
menderita penyakit menular. Tindakannya juga sama, yaitu sama-sama harus dikarantinakan.

Sumber: Rosyidah, F. 2011. Kritik Islam terhadap Strategi Penanggulangan HIV-AIDS Berbasis Paradigma
Sekuler-Liberal dan Solusi Islam dalam Menangani Kompleksitas Problematika HIV-AIDS.

Anda mungkin juga menyukai