Anda di halaman 1dari 37

5.

Pengobatan HIV/AIDS

Meskipun hingga kini dokter belum menemukan obat untuk


menyembuhkan orang yang menderita penyakit HIV/AIDS secara total,
namun berobat tetap dianjurkan sebagai bentuk ikhtiar. Agama Islam
memberikan tuntunan dalam pengobatan, berusaha secara lahiriah dengan
berobat kepada yang memiliki kemampuan mengobati, juga disarankan
melakukan upaya batiniah dengan cara mendekatkan diri kepada Allah
sebagai sumber sejati kesembuhan, karena Allah yang menurunkan penyakit
dan yang menyembuhkannya.
Dari Abi al-Darda’, ia berkata. “Rasulullah saw bersabda: bahwa Allah yang
menurunkan penyakit dan obatnya, menjadikan setiap penyakit ada obatnya,
berobatlah tetapi janganlah dengan yang haram.” (HR. Abu Dawud)

Juga tersirat dalam Hadis, ketika Nabi ditanya tentang manfaat dan perlunya ilmu
kedokteran, dijawab: “Allah yang menciptakan penyakit dan obatnya.” Antara
lain dinyatakan:

Sahabat bertanya: “Ya Rasulullah saw., apakah kami mesti berobat? Nabi
menjawab: Berobatlah, sebab, Allah tidak menurunkan penyakit kecuali juga
menurunkan obatnya, diketahui oleh orang yang mengetahuinya dan tidak
diketahui oleh orang yang tidak mengetahuinya.” (HR. Ahmad)
6. Menularkan HIV/AIDS

Menularkan HIV/AIDS dengan sengaja menularkannya kepada orang yang


sehat, hukumnya haram, termasuk perbuatan zalim yang dimurkai Allah,
banyak ayat Al-qur’an mengecam perbuatan zalim, dan termasuk perbuatan
mencelakakan orang lain. Hal ini berdasarkan hadis Rasulullah saw:

“Tidak boleh membahayakan diri sendiri, dan tidak boleh membahayakan


orang lain.” (Q.s. Ibnu Majah)
Majlis Majma’ al-Fiqh al-Islami pernah menetapkan hukum menularkannya
dengan sengaja secara khusus, bahwa dengan sengaja menularkannya kepada
orang lain hukumnya haram, tergolong tindakan hirabah dan melakukan
kerusakan di bumi yang sangat dikecam dalam Al-qur’an:

“Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan


Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau
disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau
dibuang dari negeri (tempat kediamannya) yang demikian itu (sebagai) suatu
penghinaan untuk mereka di dunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang
besar.” (Q.s. Al-Maidah (5):33)
7. Tuntunan Islam bagi ODHA
Islam menekankan agar memperhatikan dan memperlakukan dengan baik orang-
orang sakit, meliputi segala jenisnya, termasuk sakit terkena virus HIV/AIDS. Namun
demikian, perlakuan yang baik itu tidak sampai harus mengorbankan dirinya atau
orang lain yang tidak terkena HIV/AIDS menjadi terkena HIV/AIDS.
Karenanya, diperlukan upaya-upaya bijak agar pasien HIV/AIDS dapat dirawat,
diobati, dan diperlakukan secara manusiawi tetapi tidak mengorbankan pihak lain
sehingga menjadi pasien baru.
Kebijakan ini akan lebih diperlukan karena sebagai manusia, pasien akan selalu
berhubungan dengan orang lain dan terikat oleh berbagai etika dan hukum. Bagi
seseorang yang sudah terlanjur tertular atau mengidap virus HIV/AIDS atau ODHA,
ajaran Islam memberikan tuntunan umum sebagaimana dianjurkan pada mereka yang
sedang menunggu saat-saat kematian. Ada sejumlah tindakan yang seharusnya
dilakukan kepada mereka, baik yang kondisinya masih baru diketahui positif maupun
yang sudah sampai pada stadium lanjut, bahkan yang tanda-tanda kematiannya telah
dekat. Kepada orang yang berada di sekitarnya, baik keluarga, dokter, perawat atau
penjenguknya sangat dituntut untuk membimbing pasien, antara lain, agar tetap
optimis, bersabar, bersyukur, husnuzh zhan, bertawakal, bertobat, beramal shalih,
memperbanyak zikir dan istighfar, berwasiat, mentalqin, membimbing beribadah,
menjaga agar pakaiannya tetap bersih dan suci, menjaganya agar tidak terganggu
dan sebagainya.
6.1. Membangkitkan Rasa Optimisme
kepada Pasien
Penjenguk, keluarga, atau yang merawat pasien terminal, termasuk
ODHA yang sudah ada tanda-tanda kematiannya sudah dekat, hendaknya
berusaha membangkitkan rasa optimisnya untuk sembuh, jangan sampai
berputus asa dari rahmat Allah. Ada baiknya menyebutkan kisah-kisah orang
saleh dalam menghadapi cobaan sakit, karena jika bersabar, insya Allah
akan diberi kesehatan dan kekuatan. Ucapan yang sebaiknya diucapkan,
seperti ‘insya Allah Anda akan sembuh’, ‘mudah-mudahan Allah akan
memanjangkan umurmu’, dan yang sejenisnya. Sebaliknya, tidak baik
bercerita atau menyebut kisah (keburukan) orang sakit atau yang telah
meninggal di hadapan orang sakit yang sedang dijenguknya, karena hal itu
akan mengecilkan harapannya untuk sembuh. Namun, kepada orang yang
sudah tidak dapat diharapkan lagi kesembuhannya, hendaklah
mengucapkan dalam hati mudah-mudahan Allah meringankan
penderitaannya dan senantiasa mendapatkan rahmat-Nya.
Dengan tetap memperhatikan kondisi pasien, bagi penjenguk,
keluarga, atau yang merawatnya, juga dianjurkan amar makruf nahi
munkar. Misalnya, pasien tidak mengerti atau malas mengerjakan
shalat, hendaknya menuntunnya sehingga mau mengerjakan shalat
sesuai dengan kemampuan dan kondisi sakitnya. Kalau tidak boleh
terkena air atau tidak mampu berwudhu misalnya, hendaknya
dituntun bertayammum. Jika tidak mampu berdiri, shalat dikerjakan
dengan semampunya, berbaring, atau cukup dengan isyarat hati.
6.2. Bersabar dan Bersyukur

Penjenguk, keluarga, atau yang merawat ODHA, hendaknya tetap


bersabar dan bersyukur. Secara bahasa, sabar berarti menahan dan
mencegah. Lawan katanya, keluh kesah, atau putus asa. Maksudnya secara
etimologis, tegar dan tidak berkeluh kesah, menunggu, menahan diri dan
mengekangnya. Makna sabar secara terminologis adalah mencegah dan
menahan diri dari berkeluh kesah, menahan diri dari mengeluh dan
mengamuk, seperti menampar pipi, merobek baju atau saku baju, dan
semisalnya. Sabar merupakan kekuatan jiwa yang dengannya jiwa menjadi
baik dan tingkah lakunya menjadi lurus.
Sabar tidak dapat dipisahkan dengan syukur dalam kehidupan orang
mukmin sejati, dua-duanya selalu disikapi dengan baik. Sebagaimana
disebutkan dalam hadis, dalam kondisi apapun selalu baik, selalu sabar dan
syukur. Jika ditimpa kemalangan ia bersabar dan itu baik baginya dan jika
mendapatkan kesenangan dia bersyukur dan itu baik baginya.
Kiat-kiat Islami agar dapat selalu bersabar, antara lain, dengan mengetahui
hakikat kehidupan dunia, kesulitan, kesusahan yang ada, sebab manusia memang
diciptakan berada dalam susah payah. Beriman bahwa dunia seluruhnya adalah
milik Allah, Dia memberi dan menahannya dari orang yang disukai-Nya.
Mengetahui besarnya pahala atas kesabaran tersebut.
Syukur sering disamakan dengan kata al-hamdu (pujian). Bedanya, kata syukur
lebih ditunjukkan pada pengucapan verbal, rasa terima kasih terhadap nikmat
Allah, sedangkan kata al-hamdu merupakan ungkapan rasa terima kasih dalam
bentuk umum. Secara aplikatif, syukur berarti menggunakan semua yang
dianugerahkan Allah swt sesuai dengan tujuan penciptaan anugerah itu.
Jika sakit, disikapi dengan sabar dan syukur, dibalik sakit ada rahmat, sebagaimana banyak
disebutkan dalam hadis Nabi, misalnya:
1. Sakit sebagai penebus dosa dan kesalahan,
2. Sakit sebagai balasan keburukan dari apa yang telah dilakukan, sehingga dosanya
dihapus dari catatan amalnya,
3. Sakit akan mengangkat derajat dan menambah kebaikan,
4. Tetapnya amal ibadah orang yang sakit bagi orang yang istiqamah, diganjar penuh
sungguhpun selama sakit tak mampu melakukannya,
5. Penyakit merupakan sebab untuk mencapai kedudukan yang tinggi,
6. Sakit merupakan bukti bahwa Allah menghendaki kebaikan terhadap hamba-Nya,
7. Sakit merupakan penyebab masuk surga dan selamat dari neraka,
8. Dan sebagainya.
Dengan tetap sabar dan syukur, seorang mukmin yang sakit dilarang berharap atas
kematian sungguh pun sakitnya sangat parah. Jika terpaksa harus melakukan karena
pedihnya sakit, sesuai dengan tuntunan Nabi, meminta diberikan yang terbaik.
6.3. Bertawakal
Juga disarankan agar pasien terus bertawakkal. Bertawakkal dan
berkeyakinan bahwa hakikat kesembuhan datangnya dari Allah,
dengan tidak menafikan usaha-usaha syar’I untuk kesembuhannya,
seperti berobat. Tawakkal berarti menyerah, mempercayakan, atau
mewakili urusan kepada orang lain. Menurut istilah, tawakkal adalah
menyerahkan segala urusan, berikhtiar dan berusaha, serta berserah
diri sepenuhnya kepada-Nya guna mendapatkan manfaat atau
menolak mudarat. Dalam definisi yang disebutkan, tawakkal adalah
menyerahkan segala urusan kepada Allah dengan penuh
kepercayaan kepada-Nya disertai melakukan sebab yang diizinkan
syariat. Meskipun tempat tawakkal itu dalam hati dan pekerjaan batin,
namun aktivitas lahiriah yang berbentuk usaha dan ikhtiar tidak
menafikannya. Manakala seseorang yakin bahwa takdir itu
datangnya dari Allah SWT., jika usahanya tidak tercapai, maka dia
melihat itulah ketentuan takdir yang berlaku kepadanya dan pasti
ada kebaikan di balik itu, dan jika berhasil, itu juga takdir, yang
berbentuk rahmat pertolongan dari Allah SWT.
Berdasarkan definisi dan batasan di atas, maka syarat tawakkal adalah adanya
kesungguhan hati bersandar kepada Allah dan melakukan sebab (hukum kausalitas) yang
diizinkan syariat. Secara normatif, sekurangnya ada empat hal yang mesti dilakukan oleh
orang yang bertawakkal:
1. Berusaha memperoleh sesuatu yang dapat memberi manfaat kepadanya,
2. Berusaha memelihara manfaat sesuatu yang dimilikinya,
3. Berusaha menolak dan menghindarkan diri dari hal-hal yang akan menimbulkan
mudarat (bahaya),
4. Berusaha menghilangkan mudarat yang menimpa dirinya.
Terhadap pasien ODHA, jika penyakitnya diderita akibat tertular bukan karena
kesalahannya, hendaknya bersabar dan bertawakkal kepada Allah dan menerimanya
sebagai cobaan, musibah, dan ujian atas kualitas keimanannya. Sikap demikian dianjurkan
Allah dalam firman-Nya, antara lain dalam Q.s. Al-Baqarah (2):156-157. Tidak boleh berputus
asa dari rahmat Allah, apalagi ingin melakukan euthanasia, hukumnya haram. Di samping
itu, dalam keadaan apapun dengan tujuan apapun, tindakan euthanasia tidak dapat
dibenarkan dalam syariat Islam.
6.4. Segera Bertobat dan Beramal
Shalih
Juga disarankan agar pasiien segera bertobat dan beramal shalih. Kata
tobat berasal dari akar kata “t-w-b” dalam Bahasa Arab menunjukkan
pengertian: Pulang dan kembali. Tobat kepada Allah Swt berarti pulang dan
kembali ke haribaan-Nya serta tetap di pintu-Nya. Definisi lain, tobat adalah
pengakuan atas dosa, penyesalan, berhenti, dan bertekad untuk tidak
mengulanginya lagi di masa yang akan datang. Kembali (kepada Allah) dari
berbuat dosa, kembali mendekatkan diri kepada Allah setelah menjauh dari-
Nya (istilah). Menyesal terhadap apa yang telah terjadi, meninggalkan
perbuatan tersebut saat itu juga, dan bertekad kuat untuk tidak
mengulanginya di masa yang akan datang, dan melakukan kebaikan-
kebaikan. Tujuan bertobat adalah untuk memohon diampuni dosa-dosanya
dan masuk surga.
Bagi pasien terminal, dianjurkan agar segera bertobat dengan bentuk tobat
nasuha (tobat yang sungguh-sungguh), dengan cara menyucikan diri dari
kekhilafan, kesalahan, dan dosa yang pernah dilakukannya, sebagaimana
dianjurkan dalam sejumlah ayat Al-Qur’an (Q.s. al-Nur (24):31, al-Tahrim (66):8 al-
Baqarah: 222) dan lain-lain.
Tobat nasuha berarti sungguh-sungguh menyesal dalam hati, meminta ampunan
dengan lisan, meninggalkannya dengan prilaku dan berniat untuk tidak
mengulanginya.
Realisasi bentuk tobat mesti dibuktikan dengan hal-hal berikut:
1. Mengingat-ingat kesalahan dan dosa masa lalu
2. Menyesal atas kesalahan dan dosa yang pernah dilakukannya
3. Berjanji dalam hati untuk tidak akan mengulangi lagi kesalahan dan dosa yang
pernah dilakukan
4. Minta maaf kepada orang yang pernah disalahinya dan mohon ampun
kepada Allah
5. Memperbanyak ibadah dan amal kebajikan
Dilihat dari segi obyek hubungan kesalahan, tobat terbagi atas dua obyek:
Hubungannya dengan Allah, hubungannya dengan sesama manusia, dan keduanya. Jika
mempunyai kesalahan yang menyangkut hak orang lain, bentuk tobatnya, segera meminta
kehalalan atas kesalahan yang pernah dilakukannya, dan segera menunaikan hak-hak
serta kewajiban kepada yang berhak, menyampaikan amanat kepada yang berhak
menerimanya jika masih hidup, atau kekpada pewarisnya jika telah mati. Ghibah dan
celaan misalnya, dengan meminta maaf dan diganti dengan memuji serta menampilkan
kebaikan mereka dan orang-orang semacamnya.
Dosa atas kezaliman kepada manusia, di dalamnya terdapat kemaksiatan dan
pelanggaran terhadap hak Allah SWT, karena Allah SWT juga melarang melakukan
kezaliman kepada manusia. Dosa yang berkaitan dengan hak Allah SWT dapat dihapuskan
dengan penyesalan, merasakan kerugian, serta tidak akan melakukan perbuatan semacam
itu lagi nantinya. Kemudian ia mengerjakan kebaikan yang menjadi lawan dari keburukan
tersebut.
Jika berzina, minum minuman keras, mencuri, korupsi, atau melakukan tindakan yang
mewajibkannya menanggung hak Allah SWT. Bentuk tobatnya, tidak harus membuka
rahasia pribadinya itu kemudian meminta kepada pihak yang berwenang untuk
menunaikan hak Allah SWT. Namun sebaliknya, ia harus menutupi dirinya itu, dan melakukan
hukum Allah atas dirinya sendiri dengan berbagai macam kebajikan.
6.5. Berdoa dan Taqarrub Ilallah
Juga disarankan agar pasien banyak berdoa, memohon kepada
Allah untuk memperoleh rahmat dan segala sesuatu yang diridhai-
Nya, tercapai harapan yang diinginkannya, serta mendapatkan
perlindungan dari segala bala bencana. Allah menganjurkan agar
berdoa antara lain terdapat dalam Q.s. Ghafir (40):60, al-Baqarah
(2):186). Berdoa bagi dirinya sendiri dan bagi kaum muslimin, agar ia
dimasukkan dalam kelompok mereka, sehingga Allah SWT.,
menyayangi dan mengampuni semuanya.
Sebaiknya berdoa dengan redaksi yang disebutkan dalam Al-
Qur’an dan Sunnah, karena redaksinya yang terbaik, paling besar
nilainya, paling luas maknanya serta paling merasuk dalam relung hati
sanubari. Berdoa dengan Al-Qur’an dan hadis akan mendapatkan
dua balasan sekaligus, yaitu balasan doa serta balasan mengikuti Al-
Qur’an dan Sunnah. Berdoa dengan rasa takut (khauf) serta harapan
(raja’), takut akan siksaan Allah karena adanya dosa-dosa yang telah
dilakukan, serta berharap akan rahmat Allah.
Selain berdoa, juga disarankan banyak Taqarrub Ilallah, yang berarti mendekatkan diri
kepada Allah, antara lain, dengan cara memperbanyak ibadah-ibadah Sunnah, shalat, zikr
Allah (ingat dan menyebut Asma Allah), membaca istighfar, tasbih, tahmid, membaca Al-
Qur’an, dan sebagainya, sebagaimana dianjurkan dalam firman Allah dalam Al-Qur’an
(Q.s. Al-Ahzab (33):41-4, al-Baqarah (2):152, al-Ra’d (13):28).
Untuk kesempurnaan doa, ada sejumlah adab yang sebaiknya dilakukan, antara lain:
1. Memilih waktu dan keadaan yang utama, tengah malam, saat sujud, ketika azan,
antara azan dan iqamat, hari Jum’at, doa seseorang untuk orang lain tanpa
sepengetahuannya (zhahr al-Ghaib).
2. Berdoa menghadap kiblat dan mengangkat kedua tangan.
3. Berdoa dengan suara pelan, tidak keras dan tidak terlalu pelan.
4. Tidak berlebih-lebihan atau melampaui batas dalam berdoa.
5. Rendah diri dan khusyu’.
6. Sadar ketika berdoa, yakin akan dikabulkan dan benar-benar dalam pengharapan.
7. Berdoa dengan ekspresif, menganggap besar apa yang akan didoakan dan diulang-
ulang beberapa kali.
8. Dimulai dengan zikir kepada Allah dan memujinya dan agar mengakhirinya dengan
shalawat atas Nabi SAW.
6.6. Memperbanyak Zikir dan Istighfar
Istighfar adalah meminta ampunan, atau memohon
dihapus dosanya dan menghilangkan bekasnya, serta
menjaga dari keburukannya. Cara dan bentuk zikir
meliputi tiga cara, yaitu dengan lisan, dengan kalbu (hati,
akal), dan dengan perbuatan. Zikir lisan dengan cara
memperbanyakan melafalkan kalimat-kalimat thayyibah
seperti istighfar, tasbih, tahmid, takbir, tahlil dan
sebagainya. Zikir dengan kalbu (hati, akal) dengan cara
senantiasa memperbanyak tafakkur (berpikir), muraqabah
(merenung), dan muhasabah (introspeksi diri). Zikir dengan
perbuatan dengan cara menyelaraskan ucapan dan
tindakan pada hukum-hukum Allah SWT., dan melakukan
amal yang baik (hasan al-a’mal).
Istighfar yang diterima Allah SWT harus memenuhi syarat-syarat dan etikanya,
antara lain:
1. Niat yang benar dan ikhlas semata ditujukan kepada Allah SWT., karena Allah
SWT tidak menerima amal perbuatan manusia kecuali jika amal itu dilakukan
dengan ikhlas semata untuk-Nya.
2. Hati dan lidah secara serempak ber-istighfar.
3. Berada dalam keadaan suci, sehingga ia berada dalam kondisi yang paling
sempurna, lahir dan batin.
4. Ber-istighfar dalam kondisi takut dan mengharap.
5. Memilih waktu yang utama, seperti saat menjelang subuh (di waktu sahur),
atau sepertiga terakhir dari waktu malam.
6. Ber-istighfar dalam shalat, pada saat bersujud, sebelum salam atau setelah
salam.
6.7. Tetap Husnuzh Zhan dan Berusaha
menjadi Husnul Khatimah

Pasien juga disarankan untuk berprasangka baik (husnuzh zhan)


kepada Allah SWT., dalam arti, pengharapannya kepada rahmat
Allah melebihi perasaan takutnya kepada azab. Diupayakan kepada
pasien ODHA, bila ajal akan tiba tetap dalam keadaan iman dan
Islam, penghujung kehidupan yang baik (Husnul khatimah),
sebagaimana ditekankan dalam firman Allah:

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-


benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati
melainkan dalam keadaan beragama Islam.” (Q.s. Ali ‘Imran (3):102)
7. Tindakan Saat ODHA Mengalami
Sakaratul Maut
Sakaratul maut adalah sesuatu yang ditakuti manusia. Digambarkan dalam Al-
Qur’an, bahwa sakaratul maut merupakan sesuatu yang hak, dan orang ingin lari
darinya (Q.s. Qaf (50):19). Dalam hadis Nabi yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzi
disebutkan, bahwa sakaratul maut itu sakitnya sama dengan tusukan 300 pedang. Rasa
sakit sakaratul maut dialami setiap manusia, dengan berbagai macam tingkat rasa
sakit. Sakit ini tidak terkait dengan tingkat keimanan atau kezaliman seseorang selama
ia hidup.
Apabila keadaan pasien ODHA dan yang lain telah memasuki fase sakaratul maut,
pintu gerbang ihtidhar (detik-detik kedatangan tanda kematian), seyogyanya pihak
keluarganya mengajarinya atau menuntunnya mengucapkan kalimat tauhid, atau
mentalkinnya dengan kalimat: laa ilaaha illallah (Tidak ada tuhan selain Allah). Kalimat
inilah yang seharusnya diikrarkan oleh seorang muslim pada saat dilahirkan dan kalimat
ini pula yang diucapkan untuk mengakhiri kehidupan dunia. Sesuai dengan pesan Nabi
SAW., agar akhir ucapan ketika seseorang meninggal dunia adalah kalimat tersebut,
baginya dijanjikan masuk surga. Dicukupkannya dengan kalimat laa ilaaha illallah
karena pengakuan atas isi kalimat ini berarti pengakuan terhadap yang lain, disamping
itu, agar jangan terlalu banyak ucapan yang diajarkan kepadanya.
Sebaiknya pula, karena beratnya kondisi pasien, secara bersamaan dianjurkan
membasahi tenggorokannya dengan meneteskan air atau meminumnya dan
membasahi kedua bibirnya dengan kapas, sehingga memudahkannya
mengucapkan kalimat tauhid tersebut.
Ulama berbedapa pendapat tentang hukum mentalqin ini. Mayoritas ulama
berpendapat hukumnya Sunnah. Seyogyanya dalam mentalqinkan kalimat
tersebut tidak diperbanyak dan tidak diulang-ulang, karena dikhawatirkan pasien
merasa dibentak sehingga merasa jenuh, atau mengucapkan perkataan lain yang
tidak layak. Boleh juga mengucapkan zikir tasbih: “Subhanallah walhamdulillah, wa
laa ilaaha illallah.” Apabila pasien sudah mengucapkannya, maka sudah cukup
dan tidak perlu diulang, kecuali jika pasien mengucapkan perkataan lain sesudah
itu, maka perlu diulang mentalqinnya dengan lemah lembut dan dengan persuasif.
Pengulangan ini bertujuan agar perkataan terakhir yang diucapkannya benar-
benar kalimat laa ilaaha illallah. Anjuran mengucapkan kalimat tauhid ini dengan
syarat pada saat orang yang sakit itu masih dapat diajak berbicara, pada pasien
yang tidak lagi mampu diajak berbicara, maka tidak disunnahkan, karena
dikhawatirkan akan terucap kalimat yang tidak benar akibat terputus, atau akan
keseleo lidah pada saat melafalkannya.
Sebagian ulama menyarankan pula dibacakan surat Yasin, berdasarkan hadis Nabi.
Namun peringkat hadis ini tidak sahih, bahkan tidak mencapai peringkat hasan, sehingga
tidak dapat dijadikan hujjah (dalil)
Sebaiknya menghadapkan pasien ke arah kiblat jika memungkinkan, berdasarkan dalil
hadis Nabi. Ada dua pendapat para ulama tentang teknik menghadapkan pasien ke arah
kiblat ini:
1. Ditelentangkan, kedua telapak kakinya ke arah kiblat, dan kepalanya sedikit diangkat
di atas bantal agar mukanya menghadap ke arah kiblat, seperti posisi orang yang
dimandikan. Pendapat ini dipilih oleh beberapa imam dari mazhab Syafi’i, dan ini
merupakan pendapat dalam mazhab Ahmad.
2. Miring ke kanan dengan menghadapkannya ke kiblat, seperti posisi dalam liang lahat.
Ini merupakan pendapat mazhab Abu Hanafiah dan Imam Malik, dan nash Imam Syafi’i
dalam ak-Buwaithi, dan pendapat yang valid dalam mazhab Imam Ahmad.
Sebagian ulama memperbolehkan kedua cara tersebut, mana yang lebih mudah. Imam
an-Nawawi membenarkan pendapat yang kedua, kecuali jika tidak memungkinkan karena
sempitnya tempat atau faktor lainnya, maka boleh dimiringkan ke kiri dengan menghadap
kiblat. Menurut Imam Syaukani, cara yang lebih cocok adalah menghadapkan ke kiblat
dengan cara miring ke kanan berdasarkan hadis Shahihain.
8. Tes HIV/AIDS Pra-Nikah
Sebelum seseorang melangsungkan akad nikah, satu pihak atau
dua orang calon suami-istri diperbolehkan menuntut dilakukan tes,
baik datang dari wali atau pihak calon pengantin itu sendiri,
melakukan tes kesehatan, termasuk kepastian tertular HIV/AIDS atau
tidak, demi kemaslahatan mereka, dengan catatan dalam praktiknya
tidak bertentangan dengan syariat Islam. Tuntutan sejenis ini termasuk
persyaratan yang diperkenankan dalam syariat Islam, tercakup dalam
hadits Nabi:

Rasulullah saw berkata: Perdamaian di antara kaum Muslimin itu


boleh, kecuali dalam perdamaian yang mengharamkan yang halal
atau menghalalkan yang haram, dan kaum Muslimin itu tergantung
pada persyaratan di antara mereka, kecuali yang mengharamkan
yang halal dan menghalalkan yang haram.” (HR. al-Turmudzi)
Tuntutan yang bertentangan dengan syarak, misalnya, pihak wali meminta
kepada calon menantunya boleh menikahi anaknya dengan syarat mau
menceraikan dulu istrinya, karena meminta menceraikan istri dilarang dalam Islam,
sebagaimana disebutkan dalam Hadits:

Dari Abu Hurairah ra., dari Nabi saw, beliau bersabda: “Seorang wanita tidak halal
memohon kepada suaminya agar menceraikan madunya, agar ia mengurus habis
ini bejana madunya, jatah yang ia dapatkan adalah apa yang telah ditetapkan
untuknya.” (HR. al-Bukhari)

Atau meminta diperlakukan lebih dari madunya, yang berarti tidak adil, padahal
adil merupakan syarat wajib bagi pasangan poligamis.
Tindakan tersebut termasuk bentuk tanggung jawab dari wali kepada putrinya
agar tidak tertular penyakit yang mematikan ini, tidak terjadi mudarat, termasuk
bentuk menjaga nyawa (hifzh al-Nafs) dan menjaga keturunan (hifzh al-Nasl),
menjauhkan diri dari mudarat.
9. Perkawinan Pasien ODHA
Ulama berbeda pendapat tentang hukum perkawinan bagi pasien
HIV/AIDS dengan orang yang tidak menderita HIV/AIDS. Sebagian ulama
menentukan hukumnya berdasarkan pada jenis dan kadar penyakitnya. Jika
HIV/AIDS itu dianggap sebagai penyakit yang tidak dapat disembuhkan
(maradl daim), maka hukumnya makruh.
Merujuk pada batasan dalam kitab fikih konvensional, jika laki-laki yang
mempunyai biaya perkawinan, namun ia tidak perlu nikah, baik karena tidak
mampu melakukan hubungan seksual sebab kemaluannya putus atau
impoten maupun karena sakit kronik dan lain sebagainya, maka hukum
menikah bagi laki-laki tersebut adalah makruh.
Wahbah al-Zuhaili dalam bukunya, al-Fiqh al-Islamiy wa Ad’illatuh
menyatakan, menurut Mazhab Syafi’i, orang yang sakit seperti lanjut usia, sakit
kronis, penderita impotensi yang tidak bisa sembuh, lelaki yang hilang batang
zakar dan atau buah zakarnya sehingga tidak mempunyai nafsu birahi seksual
baginya, hukumnya makruh menikah. HIV/AIDS selain dianggap sebagai
penyakit yang sulit disembuhkan (maradh daim), juga diyakini
membahayakan orang lain (tayaqqun al-idlrar), maka hukumnya haram.
Apabila seorang laki-laki yang akan menikah yakin bahwa perkawinannya
akan mengzalimi dan menimpakan kemudaratan atas perempuan yang akan
dinikahinya, maka hukum pernikahannya adalah haram. Dasarnya tercakup dalam
keumuman hadis Nabi yang menyebutkan:

“Barang siapa yang mempunyai kemampuan maka menikahlah, sebab dapat


menahan pandangan dan menjaga kemaluan, adapun laki-laki yang tidak
mempunyai kemampuan dari segi biaya pernikahan dan kewajiban-kewajibannya,
hendaklah puasa, karena puasa dapat memutus keinginannya kepada menikah.”
(HR. al-Bukhari, Muslim, al-Nasai, al-Turmudzi, Ahmad, dan al-Darimi)

Namun demikian, menurut fatwa MUI, perkawinan antara dua orang (laki-laki dan
wanita) yang sama-sama menderita HIV/AIDS hukumnya boleh. Hukum menikah
bagi ODHA, dengan sesame pengidap maupun bukan, menurut Lajnah Bahsul
Masail NU hukumnya sah, namun makruh.
Merujuk pada fatwa diatas, maka pasangan ODHA boleh
melanjutkan pernikahan mereka dan boleh bercerai. Seperti halnya
batasan para fukaha, melihat dampak dan jenis penyakitnya,
HIV/AIDS dapat dijadikan sebagai alasan untuk dapat menuntut
perceraian. Disebutkan dalam kitab al-Majmu’, susunan Imam An-
Nawawi yang menyatakan: Apabila suami mendapatkan istrinya gila
atau menderita penyakit kusta (lepra) atau al-barash atau rutqa’
(kemaluannya tertutup) atau qarna’ (pada kemaluannya terdapat
daging) sehingga menghalangi melakukan persetubuhan, maka ia
(pihak suami) mempunyai hak memilih fasakh (membatalkan
pernikahan/cerai) atau tetap mempertahankan dengan konsekuensi
tidak dapat melakukan persetubuhan.
Namun sebaiknya bagi pasangan suami-istri ODHA tetap melanjutkan tali
pernikahan mereka, tercakup dalam hadis Nabi yang menyatakan bahwa “Orang-
orang Islam terikat dengan perjanjian mereka, kecuai perjanjian yang
menghalalkan yang hahram atau mengharamkan yang halal” namun seyogyanya
mereka berusaha untuk tidak memperoleh keturunan. Agar tidak terjadi penularan,
jika oasangan suami-istri, atau salah satunya menderita HIV/AIDS. Dalam urusan
hubungan seksual, diwajibkan memakai alat pencegah penularan HIV/AIDS,
menggunakan alat, obat atau metode yang dapat mencegah penularan
HIV/AIDS. Hal ini sejalan dengan batasan dalam Hadits Nabi:

“Tidak boleh membahayakan diri sendiri, dan tidak boleh membahayakan orang
lain.” (HR. Ibnu Majah)
10. Berbagai Hukum Islam Terkait
dengan ODHA
Meskipun para pengidap HIV/AIDS potensial menularkan
penyakitnya kepada orang lain, bukan berarti akan menggugurkan
ketentuan-ketentuan hukum yang dapat dialami atau dilakukan oleh
atau kepada yang bersangkutan, misalnya dalam bidang
pernikahan, hubungan seksual suami-istri, khitan, pertolongan karena
kecelakaan, hamil dan melahirkan, perawatan jenzah, dan lain
sebagainya.
Apabila seorang Ibu menderita HIV/AIDS hamil maka ia tidak
boleh menggugurkan kandungannya. Dalilnya, antara lain, tercakup
dalam firman Allah SWT:

“Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut


kemiskinan…”(Q.s. al-Isra’ (17):31)
Bagi wanita ODHA yang hamil karena berzina, tetap perlu dirawat dengan baik dalam
rangka menyadarkannya untuk bertobat, tetap harus dihormati secara manusiawi, baik dari
keluarganya, masyarakat, dokter, atau pihak tenaga medis yang mengobatinya. Anjuran ini
tercakup dalam firman Allah:

“Dan sungguh Kami telah memuliakan anak cucu Adam…” (Q.s. al Isra’ (17):70)

Juga berdasarkan pada hadits Nabi yang mengkisahkakn tentang wanita dari Kabilah
al-Ghamidiyyah yang hamil karena berzina, atau menurut riwayat lain, dari Kabilah
Juhainah, menghadap Nabi mengatakan: “Saya sedang hamil”. Rasulullah saw memanggil
walinya dan mengatakan kepada walinya: “Perlakukanlah perempuan ini dengan sebaik-
baiknya. Setelah ia melahirkan bayinya kelak, maka bawalah ia kembali kepada saya.”
Setelah melahirkan dan menyerahkan bayi yang orang yang bersedia mengasuhnya
setelah masa penyapihan, wanita tersebut minta dilakukan hukuman rajam, Nabi dan para
shabat menyalatkan jenazahnya.
Demikian juga kepada wanita hamil yang menderita HIV/AIDS akibat suntikan
penyalahgunaan obat-obatan terlarang yang tercemar HIV/AIDS juga harus diperlakukan
secara manusiawi, didasarkan atas perbuatan dosa-dosanya dan dibimbing untuk berobat.
Dianjurkan pula kepada setiap orang yang anggota keluarganya menderita HIV/AIDS,
agar merawatnya di tengah keluarga, dan perlu diadakan penyuluhan secara medis
kepada mereka agar dapat merawat dan dapat menghindarkan diri dari penularan.
Demikian juga ODHA yang mengalami kecelakaan, tetap wajib ditolong dan dengan tetap
mewaspadai adanya penularan dengan mengenakan alat pencegah. Anjuran
memperlakukan mereka secara manusiawi, antara lain, juga tercakup dalam keumuman
hadits Rasulullah saw:

Dari Abdillah bin ‘Amr ia berkata, Rasulullah saw, bersabda “Orang yang menebar kasih
sayang akan dikasihsayangi oleh Yang Maha Rahman, kasih sayanglah kepada orang-
orang yang di atas bumi, maka yang ada di langit akan kasih sayang kepada kamu. (HR. al-
Turmudzi dan Abu Dawud)
Proses kelahiran bayi pasien HIV/AIDS seharusnya dibantu dan ditangani oleh tim medis
yang terlatih untuk menghindari kemungkinan penularan. Bantu-membantu dalam kebaikan
sangat dianjurkan dalam Islam, sebagaimana disebutkan dalam hadis Nabi:

“Allah membantu hamba-Nya selama hamba-Nya membantu saudaranya.” (HR. Muslim, al-
Turmudzi, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Ahmad)

Khitan bagi anak yang termasuk ODHA tetap wajib dikhitan, sepanjang hal itu tidak
membahayakan dirinya, dan proses khitannya seyogyanya dilakukan oleh tim medis yang
terlatih.
Jika pasien HIV/AIDS meninggal dunia, maka tetap wajib diurus sebagaimana layaknya
jenazah, jika muslim maka harus dimandikan, dikafani, dishalati, dan dikuburukan. Menurut
lembaga Lajnah Bahsul Masail NU, jenazah pengidap HIV/AIDS tetap dimandikan, kecuali
ada petunjuk dari dokter/ahlinya, maka cukup ditayammumkan. Cara memandikannya
sebagaimana disarankan oleh para ahli kesehatan, seharusnya mengikuti petunjuk
Departemen Kesehatan tentang pengurusan jenazah tidak dapat dimandikan seperti
termaksud dalam petunjuk Departemen Kesehatan, mayat tersebut tetap dimandikan
sedapat mungkin dengan cara menyemprotkan air.
11. Bersikap, Bergaul dan Merawat
ODHA
Terkait dengan perlakuan kepada ODHA, Majlis Majma al-Fiqh al-Islami pada tahun 1995
mengeluarkan fatwa khusus. Disebutkan, sesuai dengan penjelasan para dokter ahli bahwa
penularan HIV/AIDS tidak melalui aktivitas hidup seperti berpakaian, bersentuhan kulit napas,
makan atau minum bersama, renang, duduk berdampingan, atau penggunaan alat makan,
karena itu tidak ada alasan menjauhkan mereka dari bersosialisasi dan bermasyarakat
Sebagai agama rahmat bagi penghuni dunia ini (rahmatan lil-’alamiin), syariat Islam
memberikan tuntunan-tuntunan dalam semua bidang hidup dan kehidupan, termasuk
kepada penderita HIV/AIDS. Dalam ajaran Islam terdapat tuntunan khusus agar menjenguk
dan merawat serta memperlakukan orang yang sakit dengan baik. Mengunjungi oranng sakit,
juga berarti merawat dan mengobati orang yang sakit. Orang sakit, apapun sebab dan
jenisnya, harus diperlakukan secara manusiawi dan Islami dalam masyarakat muslim. Dalam
hadis Qudsi disebutkan: “Wahai hamba-Ku, Aku ini “sakit” tapi kau tidak mau menjenguk dan
merawat-Ku. Hamba menjawab, “Bagaimana aku dapat menjenguk dan merawat-Mu
sedangkan Engkau adalah Rabbul ’Alamin”. Allah menjawab: “Seorang hamba-Ku sakit,
apabila kamu menjenguk dan merawatnya tentu kamu akan menjumpai-Ku di sana.”
Kedudukan orang-orang yang sakit dalam hadits di atas seolah-olah Allah SWT sendiri
yang sakit. Maksudnya, manusia dituntut agar selalu memperhatikan orang-orang yang sakit
dengan memberikan bantuan, sehingga mereka tidak terkucil dan dikucilkan masyarakat.
12. Kesimpulan
1. Penjangkitan virus HIV/AIDS dapat dianggap sebagai azab (fitnah) Allah
di satu sisi dan dianggap sebagai ujian di sisi yang lain. Dianggap azab
jika terjadi akibat perbuatan keji atau kezaliman yang dilakukannya, dan
dianggap ujian jika penularannya bukan akibat kezalimannya yang
dapat menimpa orang baik.
2. Pasien HIV/AIDS tetap harus diperlakukan dengan baik, dimanusiakan
sesuai dengan tuntunan akhlak Islami dan hukum Islam. Mereka
mempunyai hak dan kewajiban syar’i yang harus ditegakkan
sebagaimana hak dan kewajiban orang mukallaf.
3. Bagi pasien yang sudah dipastikan terjangkit HIV/AIDS, tidak ada pilihan
lain kecuali segera melupakan sakitnya dan tetap mengisi hari-harinya
dengan aktivitas positif. Dari sisi Islam agar tetap optimis, bersabar,
bersyukur, husnuzh zhan, bertawakkkal, bertobat, beramal shalih,
memperbanyak zikir dan istighfar, berwasiat, istiqamah, rajin dan lebih
giat beribadah, dijaga performa dirinya dan pakaiannya tetap bersih
dan suci, dan sebagainya.
4. Kepada penderita HIV/AIDS tetap mempunyai kewajiban sebagai mukallaf.
Berbagai hak dan kewajiban tetap berlaku bagi mereka, seperti khitan,
berkeluarga, bersosialisasi, dan kewajiban lainnya, namun perbedaannya yang
bersangkutan dituntut untuk lebih hati-hati menjaga agar tidak terjadi
penularan penyakitnya.
5. Jenazah penderita HIV/AIDS, sesuai dengan batasan dalam Islam, jika
jenazahnya muslim tetap harus diurus sebagaimana mestinya, dimandikan,
dikafani, dishalatkan, dan dikubur. Perbedaannya, karena mempertimbangkan
efek dari tindakan tersebut dimungkinkan akan terjadi penularan penyakitnya,
maka peran pakar kesehatan dalam pelaksanaannya sangat dituntut demi
menjaga kemaslahatan dan menghindari. Jika kondisinya tidak memungkinkan
sebagaimana direkomendasikan oleh pihak yang ahli, dapat berlaku rukhshah,
bahkan dapat menjadi gugur.
Daftar Pustaka

Zuhroni. 2012. Hukum Islam Terhadap Berbagai Masalah


Kedokteran dan Kesehatan Kontemporer. Jakarta:
Kharisma Globalindo.

Anda mungkin juga menyukai