Pengobatan HIV/AIDS
Juga tersirat dalam Hadis, ketika Nabi ditanya tentang manfaat dan perlunya ilmu
kedokteran, dijawab: “Allah yang menciptakan penyakit dan obatnya.” Antara
lain dinyatakan:
Sahabat bertanya: “Ya Rasulullah saw., apakah kami mesti berobat? Nabi
menjawab: Berobatlah, sebab, Allah tidak menurunkan penyakit kecuali juga
menurunkan obatnya, diketahui oleh orang yang mengetahuinya dan tidak
diketahui oleh orang yang tidak mengetahuinya.” (HR. Ahmad)
6. Menularkan HIV/AIDS
Dari Abu Hurairah ra., dari Nabi saw, beliau bersabda: “Seorang wanita tidak halal
memohon kepada suaminya agar menceraikan madunya, agar ia mengurus habis
ini bejana madunya, jatah yang ia dapatkan adalah apa yang telah ditetapkan
untuknya.” (HR. al-Bukhari)
Atau meminta diperlakukan lebih dari madunya, yang berarti tidak adil, padahal
adil merupakan syarat wajib bagi pasangan poligamis.
Tindakan tersebut termasuk bentuk tanggung jawab dari wali kepada putrinya
agar tidak tertular penyakit yang mematikan ini, tidak terjadi mudarat, termasuk
bentuk menjaga nyawa (hifzh al-Nafs) dan menjaga keturunan (hifzh al-Nasl),
menjauhkan diri dari mudarat.
9. Perkawinan Pasien ODHA
Ulama berbeda pendapat tentang hukum perkawinan bagi pasien
HIV/AIDS dengan orang yang tidak menderita HIV/AIDS. Sebagian ulama
menentukan hukumnya berdasarkan pada jenis dan kadar penyakitnya. Jika
HIV/AIDS itu dianggap sebagai penyakit yang tidak dapat disembuhkan
(maradl daim), maka hukumnya makruh.
Merujuk pada batasan dalam kitab fikih konvensional, jika laki-laki yang
mempunyai biaya perkawinan, namun ia tidak perlu nikah, baik karena tidak
mampu melakukan hubungan seksual sebab kemaluannya putus atau
impoten maupun karena sakit kronik dan lain sebagainya, maka hukum
menikah bagi laki-laki tersebut adalah makruh.
Wahbah al-Zuhaili dalam bukunya, al-Fiqh al-Islamiy wa Ad’illatuh
menyatakan, menurut Mazhab Syafi’i, orang yang sakit seperti lanjut usia, sakit
kronis, penderita impotensi yang tidak bisa sembuh, lelaki yang hilang batang
zakar dan atau buah zakarnya sehingga tidak mempunyai nafsu birahi seksual
baginya, hukumnya makruh menikah. HIV/AIDS selain dianggap sebagai
penyakit yang sulit disembuhkan (maradh daim), juga diyakini
membahayakan orang lain (tayaqqun al-idlrar), maka hukumnya haram.
Apabila seorang laki-laki yang akan menikah yakin bahwa perkawinannya
akan mengzalimi dan menimpakan kemudaratan atas perempuan yang akan
dinikahinya, maka hukum pernikahannya adalah haram. Dasarnya tercakup dalam
keumuman hadis Nabi yang menyebutkan:
Namun demikian, menurut fatwa MUI, perkawinan antara dua orang (laki-laki dan
wanita) yang sama-sama menderita HIV/AIDS hukumnya boleh. Hukum menikah
bagi ODHA, dengan sesame pengidap maupun bukan, menurut Lajnah Bahsul
Masail NU hukumnya sah, namun makruh.
Merujuk pada fatwa diatas, maka pasangan ODHA boleh
melanjutkan pernikahan mereka dan boleh bercerai. Seperti halnya
batasan para fukaha, melihat dampak dan jenis penyakitnya,
HIV/AIDS dapat dijadikan sebagai alasan untuk dapat menuntut
perceraian. Disebutkan dalam kitab al-Majmu’, susunan Imam An-
Nawawi yang menyatakan: Apabila suami mendapatkan istrinya gila
atau menderita penyakit kusta (lepra) atau al-barash atau rutqa’
(kemaluannya tertutup) atau qarna’ (pada kemaluannya terdapat
daging) sehingga menghalangi melakukan persetubuhan, maka ia
(pihak suami) mempunyai hak memilih fasakh (membatalkan
pernikahan/cerai) atau tetap mempertahankan dengan konsekuensi
tidak dapat melakukan persetubuhan.
Namun sebaiknya bagi pasangan suami-istri ODHA tetap melanjutkan tali
pernikahan mereka, tercakup dalam hadis Nabi yang menyatakan bahwa “Orang-
orang Islam terikat dengan perjanjian mereka, kecuai perjanjian yang
menghalalkan yang hahram atau mengharamkan yang halal” namun seyogyanya
mereka berusaha untuk tidak memperoleh keturunan. Agar tidak terjadi penularan,
jika oasangan suami-istri, atau salah satunya menderita HIV/AIDS. Dalam urusan
hubungan seksual, diwajibkan memakai alat pencegah penularan HIV/AIDS,
menggunakan alat, obat atau metode yang dapat mencegah penularan
HIV/AIDS. Hal ini sejalan dengan batasan dalam Hadits Nabi:
“Tidak boleh membahayakan diri sendiri, dan tidak boleh membahayakan orang
lain.” (HR. Ibnu Majah)
10. Berbagai Hukum Islam Terkait
dengan ODHA
Meskipun para pengidap HIV/AIDS potensial menularkan
penyakitnya kepada orang lain, bukan berarti akan menggugurkan
ketentuan-ketentuan hukum yang dapat dialami atau dilakukan oleh
atau kepada yang bersangkutan, misalnya dalam bidang
pernikahan, hubungan seksual suami-istri, khitan, pertolongan karena
kecelakaan, hamil dan melahirkan, perawatan jenzah, dan lain
sebagainya.
Apabila seorang Ibu menderita HIV/AIDS hamil maka ia tidak
boleh menggugurkan kandungannya. Dalilnya, antara lain, tercakup
dalam firman Allah SWT:
“Dan sungguh Kami telah memuliakan anak cucu Adam…” (Q.s. al Isra’ (17):70)
Juga berdasarkan pada hadits Nabi yang mengkisahkakn tentang wanita dari Kabilah
al-Ghamidiyyah yang hamil karena berzina, atau menurut riwayat lain, dari Kabilah
Juhainah, menghadap Nabi mengatakan: “Saya sedang hamil”. Rasulullah saw memanggil
walinya dan mengatakan kepada walinya: “Perlakukanlah perempuan ini dengan sebaik-
baiknya. Setelah ia melahirkan bayinya kelak, maka bawalah ia kembali kepada saya.”
Setelah melahirkan dan menyerahkan bayi yang orang yang bersedia mengasuhnya
setelah masa penyapihan, wanita tersebut minta dilakukan hukuman rajam, Nabi dan para
shabat menyalatkan jenazahnya.
Demikian juga kepada wanita hamil yang menderita HIV/AIDS akibat suntikan
penyalahgunaan obat-obatan terlarang yang tercemar HIV/AIDS juga harus diperlakukan
secara manusiawi, didasarkan atas perbuatan dosa-dosanya dan dibimbing untuk berobat.
Dianjurkan pula kepada setiap orang yang anggota keluarganya menderita HIV/AIDS,
agar merawatnya di tengah keluarga, dan perlu diadakan penyuluhan secara medis
kepada mereka agar dapat merawat dan dapat menghindarkan diri dari penularan.
Demikian juga ODHA yang mengalami kecelakaan, tetap wajib ditolong dan dengan tetap
mewaspadai adanya penularan dengan mengenakan alat pencegah. Anjuran
memperlakukan mereka secara manusiawi, antara lain, juga tercakup dalam keumuman
hadits Rasulullah saw:
Dari Abdillah bin ‘Amr ia berkata, Rasulullah saw, bersabda “Orang yang menebar kasih
sayang akan dikasihsayangi oleh Yang Maha Rahman, kasih sayanglah kepada orang-
orang yang di atas bumi, maka yang ada di langit akan kasih sayang kepada kamu. (HR. al-
Turmudzi dan Abu Dawud)
Proses kelahiran bayi pasien HIV/AIDS seharusnya dibantu dan ditangani oleh tim medis
yang terlatih untuk menghindari kemungkinan penularan. Bantu-membantu dalam kebaikan
sangat dianjurkan dalam Islam, sebagaimana disebutkan dalam hadis Nabi:
“Allah membantu hamba-Nya selama hamba-Nya membantu saudaranya.” (HR. Muslim, al-
Turmudzi, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Ahmad)
Khitan bagi anak yang termasuk ODHA tetap wajib dikhitan, sepanjang hal itu tidak
membahayakan dirinya, dan proses khitannya seyogyanya dilakukan oleh tim medis yang
terlatih.
Jika pasien HIV/AIDS meninggal dunia, maka tetap wajib diurus sebagaimana layaknya
jenazah, jika muslim maka harus dimandikan, dikafani, dishalati, dan dikuburukan. Menurut
lembaga Lajnah Bahsul Masail NU, jenazah pengidap HIV/AIDS tetap dimandikan, kecuali
ada petunjuk dari dokter/ahlinya, maka cukup ditayammumkan. Cara memandikannya
sebagaimana disarankan oleh para ahli kesehatan, seharusnya mengikuti petunjuk
Departemen Kesehatan tentang pengurusan jenazah tidak dapat dimandikan seperti
termaksud dalam petunjuk Departemen Kesehatan, mayat tersebut tetap dimandikan
sedapat mungkin dengan cara menyemprotkan air.
11. Bersikap, Bergaul dan Merawat
ODHA
Terkait dengan perlakuan kepada ODHA, Majlis Majma al-Fiqh al-Islami pada tahun 1995
mengeluarkan fatwa khusus. Disebutkan, sesuai dengan penjelasan para dokter ahli bahwa
penularan HIV/AIDS tidak melalui aktivitas hidup seperti berpakaian, bersentuhan kulit napas,
makan atau minum bersama, renang, duduk berdampingan, atau penggunaan alat makan,
karena itu tidak ada alasan menjauhkan mereka dari bersosialisasi dan bermasyarakat
Sebagai agama rahmat bagi penghuni dunia ini (rahmatan lil-’alamiin), syariat Islam
memberikan tuntunan-tuntunan dalam semua bidang hidup dan kehidupan, termasuk
kepada penderita HIV/AIDS. Dalam ajaran Islam terdapat tuntunan khusus agar menjenguk
dan merawat serta memperlakukan orang yang sakit dengan baik. Mengunjungi oranng sakit,
juga berarti merawat dan mengobati orang yang sakit. Orang sakit, apapun sebab dan
jenisnya, harus diperlakukan secara manusiawi dan Islami dalam masyarakat muslim. Dalam
hadis Qudsi disebutkan: “Wahai hamba-Ku, Aku ini “sakit” tapi kau tidak mau menjenguk dan
merawat-Ku. Hamba menjawab, “Bagaimana aku dapat menjenguk dan merawat-Mu
sedangkan Engkau adalah Rabbul ’Alamin”. Allah menjawab: “Seorang hamba-Ku sakit,
apabila kamu menjenguk dan merawatnya tentu kamu akan menjumpai-Ku di sana.”
Kedudukan orang-orang yang sakit dalam hadits di atas seolah-olah Allah SWT sendiri
yang sakit. Maksudnya, manusia dituntut agar selalu memperhatikan orang-orang yang sakit
dengan memberikan bantuan, sehingga mereka tidak terkucil dan dikucilkan masyarakat.
12. Kesimpulan
1. Penjangkitan virus HIV/AIDS dapat dianggap sebagai azab (fitnah) Allah
di satu sisi dan dianggap sebagai ujian di sisi yang lain. Dianggap azab
jika terjadi akibat perbuatan keji atau kezaliman yang dilakukannya, dan
dianggap ujian jika penularannya bukan akibat kezalimannya yang
dapat menimpa orang baik.
2. Pasien HIV/AIDS tetap harus diperlakukan dengan baik, dimanusiakan
sesuai dengan tuntunan akhlak Islami dan hukum Islam. Mereka
mempunyai hak dan kewajiban syar’i yang harus ditegakkan
sebagaimana hak dan kewajiban orang mukallaf.
3. Bagi pasien yang sudah dipastikan terjangkit HIV/AIDS, tidak ada pilihan
lain kecuali segera melupakan sakitnya dan tetap mengisi hari-harinya
dengan aktivitas positif. Dari sisi Islam agar tetap optimis, bersabar,
bersyukur, husnuzh zhan, bertawakkkal, bertobat, beramal shalih,
memperbanyak zikir dan istighfar, berwasiat, istiqamah, rajin dan lebih
giat beribadah, dijaga performa dirinya dan pakaiannya tetap bersih
dan suci, dan sebagainya.
4. Kepada penderita HIV/AIDS tetap mempunyai kewajiban sebagai mukallaf.
Berbagai hak dan kewajiban tetap berlaku bagi mereka, seperti khitan,
berkeluarga, bersosialisasi, dan kewajiban lainnya, namun perbedaannya yang
bersangkutan dituntut untuk lebih hati-hati menjaga agar tidak terjadi
penularan penyakitnya.
5. Jenazah penderita HIV/AIDS, sesuai dengan batasan dalam Islam, jika
jenazahnya muslim tetap harus diurus sebagaimana mestinya, dimandikan,
dikafani, dishalatkan, dan dikubur. Perbedaannya, karena mempertimbangkan
efek dari tindakan tersebut dimungkinkan akan terjadi penularan penyakitnya,
maka peran pakar kesehatan dalam pelaksanaannya sangat dituntut demi
menjaga kemaslahatan dan menghindari. Jika kondisinya tidak memungkinkan
sebagaimana direkomendasikan oleh pihak yang ahli, dapat berlaku rukhshah,
bahkan dapat menjadi gugur.
Daftar Pustaka