Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
International pediatric sepsis consensus conference pada tahun 2005 mendefinisikan sepsis
sebagai systemic inflammatory response syndrome (SIRS) yang berhubungan dengan infeksi.
Lebih dari 4.400 kasus (10,3%) kematian pada anak disebabkan oleh sepsis berat, dengan rata-
rata lama rawat yang lebih lama ( 31 hari) dan menghabiskan biaya yang cukup besar. Syok
merupakan sindrom klinis akibat kegagalan sistem sirkulasi dalam mencukupi kebutuhan
nutrien dan oksigen baik dari segi pasokan maupun utilisasinya untuk metabolisme seluler
jaringan tubuh, sehingga terjadi defisiensi akut oksigen di tingkat seluler [1].Sepsis termasuk
ke dalam sepuluh penyebab utama kematian di Amerika Serikat, dengan peningkatan insidens
sekitar 9% per tahun. Angka mortalitas akibat syok septik pada anak lebih kecil (10%)
dibandingkan dengan dewasa (35-40%), tetapi angka morbiditas lebih tinggi pada anak. Jenis
kelamin, ras, penyakit penyerta, dan keadaan imunodefisiensi merupakan faktor risiko untuk
terjadinya sepsis berat dan syok septik [2].
Sepsis dan syok septik merupakan salah satu penyebab morbiditas dan mortalitas (50-60%)
anak yang dirawat di ruang rawat inap dan ruang gawat intensif. Angka kematian lebih tinggu
pada anak dengan imunidefisiensi [3]. Sepsis merupakan keadaan serius yang harus segera
ditatalaksana dengan optimal sehingga prognosis akan lebih baik, menurunkan angka kematian
dan mencegah sekuele di kemudian hari [2].
1.2 Tujuan
Penyajian laporan kasus ini bertujuan untuk menjelaskan Syok Sepsis pada Anak untuk
memenuhi sebagian syarat Program Pendidikan Profesi Kepanitraan Bagian Ilmu Kesehatan
Anak di RSUD Arjawinangun.

1
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 Identitas Pasien


- Nama : An. Ahis Izanah
- Jenis Kelamin : Perempuan
- Usia : 12 tahun 8 bulan 23 hari
- Berat Badan Lahir : 48 kg
- Tanggal Lahir : 12 Desember 2006
- Tanggal Pemeriksaan : 04 September 2019

2.2 Keluhan Utama


Penurunan kesadaran
2.3 Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien A datang dibawa oleh bapaknya ke IGD RSUD Arjawinangun pada tanggal 04
september 2019 pukul 09.10 WIB. Pasien ditemukan tidak sadarkan diri secara tiba-tiba di
pondok pesantren tempat ia sekolah. Pasien tidak sadarkan diri selama 30-60 menit SMRS.
Pasien ditemukan dalam keadaan berbaring di anak tangga pondok dengan wajah pucat dan
terdapat BAB cair yang mengenai seluruh celana pasien. Saat sampai di IGD pasien terbagun
dengan keadaan gelisah dan sedikit mengamuk. Pasien tidak dapat diajak komunikasi dan
pandangan pasien tidak fokus dan mengalami muntah sebanyak 3 kali berwarna kekuningan
yang tidak disertai dengan ampas makanan maupun darah. Menurut keterangan keluarga,
pasien mengalami demam 1 hari SMRS, BAB cair dan batuk  1 minggu.
Menurut keterangan keluarga, pasien sering telat makan hingga tidak makan sama sekali
karena jadwal sekolahnya yang sangat padat. Dalam 1 minggu pasien sering mengalami sakit
kepala, batuk, nyeri perut. Jika batuk dan demam, pasien hanya diberikan obat demam yaitu
parasetamol saja. Keluhan demam yang berkurang namun keluhan lainnya hanya sedikit
berkurang beberapa hari kemudian kambuh kembali.
2.4 Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien baru pertama kali mengalami keadaan seperti ini. Riwayat penurunan kesadaran, kejang
demam serta masuk rumah sakit disangkal.
2.6 Pemeriksaan Fisik

2
 Keadaan Umum: Tampak Sakit Berat
 Kesadaran: E3V2M4

2.6.1 Tanda-tandaVital:

 Tekanan Darah : 90/60 mmHg


 Heart Rate: 164 x/menit
 Respiratory Rate: 22 x/menit
 SpO2: 94%
 Suhu: 38,7 oC

2.6.2 Menilai Pertumbuhan

 Berat Badan: 48 kg
 Tinggi Badan :

2.6.3 PenampakanUmum

Kepala:

Simetris, sikatrik (-), hematom (-).

Wajah:

 Mata: Pupil Isokor, Pin Point +/+, RCTL +/+, RCL +/+, Anemis (-) Ikterik (-),
 Hidung: dalam batas normal
 Mulut: dalam batas normal

Thoraks:

 Inspeksi: Dinding dada simetris, sikatrik (-), hematom (-)


 Palpasi: Gerakan diding dada simetris
 Perkusi: Sonor di kedua lapang paru
 Auskultasi: Vesikuler +/+, rh -/-, wh -/-

Jantung:

 S1 S2 tunggal regular, mur-mur (-), gallop (-).

3
Abdomen:

 Inspeksi:Distensi (-), organomegali (-), kelainan kongenital (-)

 Auskultasi : Bising usus (+) Normal

 Palpasi : Massa (-), supel (+), hepar-lien tidak teraba.

 Perkusi : Timpani (+) diseluruh lapang abdomen

Ekstremitas:

 Akral hangat (+), Arteri dorsalis pedis teraba (+)

2.7 Pemeriksaan Penunjang :

Darah Lengkap (04 – 09 – 2019)

Hemoglobin : 13.0 g / dL (Low)

3
Leukosit : 40.6x 10 / uL (High)

3
Trombosit : 239 x 10 / uL

Hematokrit : 41.4%

6
Eritrosit : 4.82 x 10 / uL

MCV : 86.0 fl

MCH : 26.9 pg

MCHC : 31.3 g /dL (Low)

RDW : 12.2 %

MPV : 6.9 fl (Low)

Hitung Jenis (diff)

Segmen : 86.1 % (High)

4
Limfosit : 9.6 % (Low)

Monosit : 3.9 %

Eosinophil : 0.0 %

Basophil : 0.3 %

Luc :0%

Kimia Klinik (04 – 09 – 2019)

Glukosa Sewaktu : 102 mg/dL

Elektrolit (04 – 09 – 2019)

Natrium : 137 mmol/l

Kalium : 2.5 mmol/l (Low)

Chlorida : 101 mmol/l

Urine lengkap (05-09-19)

Makroskopis :

Warna : Kuning

Kejernihan : Jernih

Berat Jenis : 1.010 g/mL

pH/Reaksi : 7.5

Blood : Negatif

Leukosit Esterase : Negatif

Nitrit : Negatif

Protein : +1

5
Bilirubin : Negatif

Keton : +1

Glukosa : Negatif

Urobilinogen : Normal

Mikroskopis :

Eritrosit : (+) 2-3

Leukosit : (+) 1-3

Sel Epitel : (+) 1-2

Silinder : Negatif

Kristal : Negatif

Bakteri : Negatif

Lain-lain : Negatif

Elektrolit (05 – 09 – 2019)

Natrium : 141 mmol/l

Kalium : 3.9 mmol/l (Low)

Chlorida : 104 mmol/l

Darah Lengkap (07 – 09 – 2019)

Hemoglobin : 13.1 g / dL

3
Leukosit : 13.3 x 10 / uL (High)

3
Trombosit : 359 x 10 / uL

Hematokrit : 40.2%

6
6
Eritrosit : 4.76 x 10 / uL

MCV : 84.5 fl

MCH : 27.5 pg

MCHC : 32.6 g /dL

RDW : 11.9 %

MPV : 6.9 fl (Low)

Hitung Jenis (diff)

Segmen : 67.0 %

Limfosit : 28.4 %

Monosit : 3.6 %

Eosinophil : 0.3 %

Basophil : 0.7 %

Luc :0%

Faeces Lengkap (05-09-2019)

Makroskopis:

Warna : Kuning Coklat

Bau : Khas

Konsistensi : Padat

Lendir : Negatif

Darah : Negatif

Nanah : Negatif

7
Mikroskopis :

Leukosit : (+) 2-4/LPB

Eritrosit : (+) 0-1/LPB

Amoeba : Negatif

Bakteri : Positif

Telur Cacing : Negatif

Parasit : Negatif

Sel lemak : Negatif

Sisa Makanan : Negatif

2.8 Resume

Pasien An. A datang ke RSUD Arjawinangun dengan penurunan kesadaran pada


tanggal 04 september 2019 pukul 09.10 WIB. Pasien tidak sadarkan diri selama 30-60 menit
SMRS. Pasien ditemukan dalam keadaan berbaring di anak tangga pondok dengan wajah pucat
dan terdapat BAB cair yang mengenai seluruh celana pasien.

Saat sampai di IGD pasien terbagun dengan keadaan gelisah dan sedikit mengamuk.
Pasien mengalami muntah sebanyak 3 kali berwarna kekuningan yang tidak disertai dengan
ampas makanan maupun darah. Menurut keterangan keluarga, pasien mengalami demam 1 hari
SMRS, BAB cair dan batuk  1 minggu.

Saat dilihat keadaan umum pasien tampak sakit berat , penurunan kesadaran dengan
GCS E3V2M4. Menurut pemeriksaan, hasilnya yaitu pasien. Pada pemeriksaan berarti pasien
mengalami syok.

2.9 Diagnosis Kerja

Syok septik

3.0 Rencana Terapi

8
- RL Loading 1000 cc 24 tpm
- O2 NK 3-5 lpm
- PCT Infus 3x1
- Ranitidin 2x1
- Ondansentron 3x1
- Ceftriaxone syrup 2x1

FOLLOW UP

Tgl/Bln/Thn S O A P
05/09/19 Sadar KU : Sedang Syok Sepsis ICU
sepenuhnya Kesadaran: CM
RL 500 cc+ KCL 22
sejakn pukul TD : 99/60 mmHg
tts
22.00, sudah HR : 110 x / menit
dapat diajak RR : 24x / menit Cefotaxim 3x1
komunikasi, Suhu : 36,3oC
mual (-), SPO2 : 98% Dexametason 3x 7,5

muntah (-), Akral hangat


Ranitidin 2x1
batuk
kadang- Ondansentron 3x1
kadang,
KCL Stop
demam (-),
sakit kepala
(-), BAB (-)
sejak
kemarin,
makan dan
minum (+)

9
06/09/19 Mual (-), KU : Sedang Syok Sepsis RL 500 cc 22 tts
Muntah (-), Kesadaran: CM Cefotaxim 3x1gr
Batuk TD : 100/90 mmHg
Dexametason 3x 7,5
kadang- HR : 115x / menit
kadang, RR : 26 x / menit Ranitidin 2x1
o
Demam (-), Suhu : 36,5 C
Sakit kepala SPO2 : 99% Ondansentron 3x1

(-), makan Akral hangat


dan minum
(+)
07/09/19 Batuk KU : Sedang Syok Sepsis KDN-1 20 tpm
dengan Kesadaran: CM Cefotaxim 3x1gr
dahak (+), TD : 100/90 mmHg
demam (-), HR : 96 x / menit
Mual (-), RR : 24 x / menit
Muntah (-), Suhu : 36,5 oC
Sesak (-), SPO2 : 99%
Nyeri perut
(-), BAB 1
kali, BAK
pasang DC
600 ml

09/09/19 Lemas (-), KU : Sedang Syok Sepsis KDN-1 20 tpm


Batuk Kesadaran: CM Cefotaxim stop
masih, HR : 100 x / menit Kotrimoksazol oral
demam (-), RR : 24 x / menit 2x1 tab

10
Mual (-), Suhu : 36,5 oC
Muntah (-), SPO2 : 98%
Urine output 300
cc sejak jam 7 pagi
10/09/19 (-) KU : Ringan Syok Sepsis Cefixime 200 mg
Kesadaran: CM 2x1
HR : 100 x / menit
RR : 24 x / menit
Suhu : 36,5 oC
SPO2 : 99%

11
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 DEFINISI
Sepsis merupakan suatu kesatuan penyakit yang bersifat sistemik sebagai manifestasi klinis
sepsis pada fase awal didapatkan gejala seperti demam atau hipotermia, takikardia dan
takipnea, leukositosis atau leukopenia serta perubahan status mental. International pediatric
sepsis consensus conference pada tahun 2005 mendefinisikan sepsis sebagai systemic
inflammatory response syndrome (SIRS) yang berhubungan dengan infeksi. Systemic
inflammatory response syndrome (SIRS) dapat ditegakkan jika memenuhi dua dari empat
kriterian berikut, suhu tubuh > 38C atau < 36C, takikardia yang didefinisikan sebagai rata-
rata frekuensi denyut jantung > 2 standar deviasi (SD) atau diatas nilai normal menurut umur.

Definisi lain juga menyebutkan bahwa sepsis adalah disfungsi organ yang mengancam
kehidupan (life-threatening organ dysfunction) yang disebabkan oleh disregulasi imun
terhadap infeksi. Selain itu, Syok merupakan sindrom klinis yang terjadi akibat perfusi jaringan
yang tidak adekuat. Pada syok septik dapat ditemukan tanda gangguan sirkulasi seperti
penurunan kesadaran, penurunan tekanan darah, akral dingin, sianosis, perabaan nadi lemah
dan peningkatan waktu pengisian kapiler, serta oliguria.

Tabel 1. Kriteria disfungsi organ2


Kardiovaskular
(Terlepas dari pemberian bolus cairan isotonik intravena 40mL/kgBB dalam 1
jam)
1. Penurunan tekanan darah (hipotensi) < persentil 5 sesuai usia atau
tekanan darah sistolik < 2 SD sesuai usia, ATAU

2. Memerlukan obat vasoaktif untuk menjaga tekanan darah dalam


kisaran normal (dopamin >5µg/kgBB/min atau dobutamin,
epinefrin, atau norepinefrin), ATAU
3. Dua dari kriteria dibawah ini :
o Asidosis metabolik yang tidak dapat dijelaskan (defisit basa
lebih besar dari 5,0 mEq/L)
o Peningkatan laktat arteri > 2 kali diatas batas atas nilai normal
o Oliguria (produksi urin kurang dari 0,5 mL/KgBB/jam)
o Capillary refil time (CRT) memanjang, lebih dari 5 detik
o Perbedaan antara suhu inti dan perifer lebih dari 3oC
Respirasi

12
1. PaO2 (tekanan pasrsial oksigen arteri)/FIO2 (fraksi inspirasi
oksigen) <300 tanpa penyakit jantung sianotik atau sudah adanya
penyakit paru, ATAU
2. PaCO2 (tekanan pasrisal karbondioksia arteri) > 65 torr atau 20
mmHg diatas PaCO2 awal, ATAU
3. Memerlukan Fi02 diatas 50% FiO2 untuk mempertahankan oksigen
≥92%, ATAU
4. Memerlukan ventilasi mekanik
Neurologi
1. Glasgow Coma Scale (GCS) < 11, ATAU
2. Perubahan akut pada status mental dengan penurunan GCS ≥ 3 poin
dari nilai awal.
Hematologi
1. Trombosit < 80,000/mm3 atau penurunan sebesar 50% dari nilai
trombosit tertinggi yang tercatat selama 3 hari terakhir (pada pasien
dengan penyakit hematologi/onkologi)
2. International normalized Ratio (INR) > 2
Renal
1. Kadar serum kreatinin mengalami kenaikan ≥ 2 kali dari batas nilai
normal sesuai usia atau peningkatan 2 kali lipat dari nilai kreatinin
awal.
Hepar
1. Total bilirubin ≥ 4mg/dL (tidak bisa digunakan untuk neonatus),
ATAU
2. Kadar Alanine aminotransferase (ALT) meningkat 2 kali dari batas
atas nilai normal sesuai usia.

3.2 EPIDEMIOLOGI

Insidens sepsis lebih tinggi pada kelompok neonatus dan bayi < 1 tahun dibandingkan dengan
usia > 1-18 tahun ( 9,7 versus 0,23 kasus per 1000 anak). Pasien sepsis berat, sebagian besar
dari infeksi saluran nafas (36-42%), bacteremia, dan infeksi saluran kemih. Di unit perawatan
intensif anak Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), sejumlah 19,3% dari 502 pasien
anak yang dirawat mengalami sepsis dengan angka mortalitas 54%. Sepsis berat lebih sering
dialami oleh anak dengan komorbiditas yang mengakibatkan penurunan sistem imunitas
seperti keganasan, transplantasi, penyakit respirasi dan defek jantung bawaan.

Angka mortalitas akibat syok septik pada anak lebih kecil (10%) dibandingan dengan dewasa
(35-40%), tetapi angka morbiditas lebih tinggi pada anak. Usia rerata penderita sepsis berat

13
adalah 3,0 tahun (0,7-11,0), infeksi terbanyak pada respirasi (40%) dan 67% dengan kasus yang
mengalami disfungsi organ. Jenis kelamin, ras, penyakit penyerta, dan keadaan
imunodefisiensi merupakan faktor risiko untuk terjadinya sepsis berat dan syok septik. Jenis
kelamin laki-laki lebih sering mengalami syok septik dibandingan dengan perempuan dengan
perbandingan 1,5:1, namun mekanisme secara pasti tidak diketahui [3].

3.4 ETIOLOGI

Sepsis disebabkan oleh respon imun yang dipicu oleh infeksi. Bakteri merupakan penyebab
infeksi paling sering, tetapi dapat juga berasal dari jamur, virus, dan parasite. Respon imun
terhadap bakteri dapat menyebabkan disfungsi organ atau sepsis dan syok septik dengan angka
moertalitas relatif tinggi. Organ tersering yang terkena atau yang merupakan infeksi primer
adalah paru-paru, otak, saluran kemih, kulit dan abdomen. Faktor risiko terjadinya sepsis antara
lain usia sangat muda, kelemahan sistem imun seperti pada gangguan keganasan dan diabetes
melitus, trauma atau luka bakar mayor [3].

Mikroorganisme pathogen penyebab sepsis, sangat tergantung pada usia dan respons tubuh
terhadap infeksi itu sendiri (tabel 1) [3].

3.5 PATOFISIOLOGI

Patogenesis sepsis memperlihatkan adanya proses aktivasi seluler yang kompleks, yaitu
terjadinya pelepasan mediator inflamasi seperti produksi sitokin, aktivasi neutrophil, aktivasi

14
komplemen, kaskade koagulasi dan sistem fibrinolysis. Pada sepsis terjadi kerusakan sel
endothelial mikrovaskular serta pelepasan mediator inflamasi oleh sel endotel. Disfungsi
endotel menyeluruh mempunyai peran penting dalam pathogenesis syok septik, dengan akibat
terjadinya peningkatan permeabilitas sehingga timbul edema dan kehilangan cairan yang
cukup banyak ke jaringan interstisial. Hal ini menimbulkan efek hipotensi yang diperberat oleh
vasodilatasi perifer akibat dilepaskannya kinin, histamin, dan peptide vasoaktif lainnya selama
aktivasi kaskade inflamasi. Kegagalan multiorgan ini bervariasi pada setiap individu dan
biasanya organ yang tersering terkena adalah gastrointestinal, paru, hati, ginjal dan. Jantung.
Kegagalan organ ini dapat dideteksi secara klinis, sehingga dapat dilakukan pengobatan segera
[2].

Gambar 1. Patofisiologi sepsis dan kegagalan multi organ.

3.6 MANIFESTASI KLINIS


Sepsis merupakan kesatuan penyakit yang bersifat sistemik sehingga manifestasi klinis sepsis
pada fase awal dapat memeperlihatkan gejala seperti demam atau hipotermia, takikardia dan
takipnea, leukositosis atau leukopenia serta perubahan status mental. Hipotensi tidak selalu
terjadi pada anak, karena mekanisme kompensasi hemodinamik yang berbeda dengan dewasa.
Syok merupakan proses progresif yang ditandai dengan 3 stadium berbeda. Pada fase dini (
fase kompensasi) terdapat mekanisme neurohormonal yang bersifat kompensatorik dan
fisiologis yang bekerja untuk mempertahankan tekanan darah dan memelihara kecukupan

15
perfusi jaringan. Apabila mekanisme kompensasi ini terlampaui maka akan terjadi keadaan
hipoksia jaringan dan iskemia sehingga memacu terjadinya penimbunan asam laktat, asidosis
metabolik dan kerusakan jaringan. Stadium dekompensasi ini dapat berlanjut menjadi
irrevesibel yang menyebabkan gangguan multi organ yang berat dan berujung pada kematian.
Pada syok septik dapat ditemukan gangguan pada sirkulasi seperti penurunan kesadaran,
penurunan tekanan darah, akral dingin, sianosis, perabaan nadi yang lemah, peningkatan waktu
pengisian kapiler serta oliguria. Selain itu, juga dijumpai gangguan respirasi seperti takipnea,
asidosis metabolik, serta edema paru. Manifestasi perdarahan dapat ditemukan juga pada kulit
berupa petekie, ekimosis dan purpura. Selain gejala umum di atas terdapat istilah lain yang
dapat ditemukan pada 20% kasus anak dengan syok septik, yaitu syok septik hangat (warm
shock) yang ditandai dengan gejala demam, penurunan kesadaran, takikardia, perabaan nadi
yang kuat, tekanan nadi melebar (tekanan diastolik menurun), perfusi menurun, produksi urin
menurun, pengisian kapiler melambat, ekstremitas hangat (predominan vasodilatasi).
Sedangkan pada syok septik dingin (cold shock) predominan adalah vasokontriksi dengan
gejala demam, penurunan kesadaran, tekanan nadi sempit, perfusi menurun, pengisian kapiler
lambat dan ekstremitas dingin.
The Pediatric Assesment Triangle (PAT) dapat digunakan sebagai salah satu instrumen
yang dapat membantu secara cepat dalam evaluasi awal. Evaluasi status peredaran darah anak
dan mengenali tanda-tanda tidak memadai perfusi jaringan sulit ditemukan. Tidak seperti pada
orang dewasa, hipotensi sering ditemukan terlambat pada anak. Takikardia dan bradikardia
serta takipnu meskipun menunjukkan hal yang tidak spesifik, namun tidak boleh diabaikan.
Takikardia persisten tidak hanya disebabkan oleh demam, gelisah, nyeri, dehidrasi atau
anemia, namun harus dianggap sebagai tanda potensi sepsis dini dan syok. Pemeriksaan
seksama dari kulit anak dapat memberikan petunjuk penting mengenai sirkulasi anak. Bayi dan
anak-anak dengan sepsis berat dan syok sepsis dapat mempertahankan atau meningkatkan
tekanan darah sebagai akibat dari mekanisme kompensasi berupa, takikardia dan peningkatan
tahanan vaskular resisten. Pada pasien dengan syok dingin (cold shock), terdapat pemanjangan
waktu pengisian kapiler, sianosis, atau pucat. Di sisi lain anak-anak dengan syok hangat (warm
shock) memiliki tanda berupa kulit memerah dan pengisian kapiler cepat.9

16
Gambar 2. The Pediatric Assesment Triangle (PAT)9

Pemantauan terus-menerus adalah hal yang sangat penting dalam merawat pasien anak
dengan syok. Parameter yang harus dipantau meliputi denyut jantung, tekanan darah sistolik,
rerata tekanan arteri (MAP), urin output, tekanan vena sentral (CVP), saturasi oksigen, laktat
dan curah jantung.9
Penanda lain untuk menilai anoksia jaringan umum dan metabolisme anaerobik adalah
kadar laktat dalam darah. Laktat dibentuk oleh pengurangan asam piruvat melalui membran
sel. Laktat dapat meningkat pada beberapa kondisi misalnya gangguan metabolisme dan gagal
hati. Resiko kematian meningkat jika serum laktat lebih tinggi dari 2,0mmol/L.2 Laktat dapat
digunakan sebagai target hemodinamik yang baik, yaitu level laktat kurang dari 2,0mmol/L.2
Terdapat beberapa biomarker yang dapat digunakan untuk mendiagnosa dan
memonitor sepsis, antara lain C-reactive protein (CRP) dan prokalsitonin (PCT). Biomarker
CRP merupakan protein fase akut yang disintesis oleh hati dan meningkat 4-6 jam setelah onset
peradangan, mencapai puncak pada 36-50 jam. Prokalsitonin diproduksi oleh kelenjar tiroid
sebagai prekursor untuk kalsitonin, namun jaringan lain memproduksi PCT selama peradangan
atau sepsis.10 Lipopolisakarida bakteri telah terbukti sebagai pemicu pelepasan prokalsitonin
ke dalam sirkulasi sistemik. Konsentrasi prokalsitonin mulai naik 3-4 jam setelah terpapar
endotoksin, mencapai puncak 6 jam dan terus meningkat hingga 24 jam. Pemeriksaan
prokalsitonin lebih berperan dalam membedakan infeksi bakteri dengan penyebab lainnya.
3.7 Diagnosis
Anamnesis

17
Terdapat faktor risiko renjatan
Demam, terdapat sumber infeksi, mengalami hipovolemia, trauma dengan
perdarahan masif, riwayat defisiensi imun, pemakaian obat-obatan
imunosupresif, muntah, diare, ↓ asupan makanan p.o., dan derajat kesadaran
↓. Hal lain yang juga penting untuk diketahui adalah riwayat kontak dengan
lingkungan, menelan obat-obatan, penyakit kronik seperti penyakit jantung
bawaan dan alergi

Pemeriksaan Fisik
Umum
Tanda gangguan otak, ginjal, dan kardiovaskular
Takikardia dan takipnea berlanjut
Takipnea menjadi lebih berat dengan asidosis ↑ Kulit
mungkin bebercak (mottled) atau pucat
Ekstremitas dingin karena vasokonstriksi dan aliran darah ke kulit ↓
Pengisian kembali kapiler makin lambat (>4 detik)
Hipotensi, curah jantung ↓, vasokonstriksi memengaruhi
perfusi ginjal → oliguria
Saluran cerna mengalami hipoperfusi distensi,
pengeluaran mediator vasoaktif, dan akumulasi cairan di rongga ketiga
(third space)
Pada penderita renjatan septik dapat timbul hipertermia (≥38,3
°C rektal) atau hipotermia (≤35,6 °C rektal), karena gangguan perfusi otak
iritabel melanjut menjadi agitasi, konfusi, halusinasi, agitasi, dan stupor yang
bergantian, serta akhirnya koma.

Penilaian kecukupan curah jantung berdasarkan gejala klinis saja sering sulit
dan salah. Anak yang mengalami renjatan sering menunjukkan gejala tidak
jelas. Tidak ditemukan hipotensi belum dapat menyingkirkan renjatan pada
anak; bila timbul hipotensi, renjatan yang terjadi biasanya berat. Hipotensi
merupakan manifestasi renjatan yang sangat kasip. Bila renjatan tidak segera
ditangani akan terjadi disfungsi organ multipel, meliputi gagal ginjal (nekrosis
tubular akut), gagal jantung, perdarahan saluran cerna, dan sindrom distres

18
pernapasan akut (SDPA)
Pemeriksaan Penunjang
AGD
Penilaian hemodinamik
Tekanan baji kapiler pulmonal (pulmonal capillary wedge pressure/ PCWP) yang
dipertahankan 10–18 mmHg (bila ada)
Tekanan vena sentral (central venous pressure/CVP) kurang akurat pada
anak disfungsi miokardia. CVP normal 5–12 mmHg
Lain-lain
Darah: rutin, elektrolit, glukosa, urea-N, kreatinin,
kultur, trombosit, PT, PTT, fibrinogen, dan FDPs

Derajat Berat Renjatan


Renjatan secara klinis mulai muncul bila terjadi kehilangan volume intravaskular
sebanyak 15–30%. Tanpa melihat etiologinya, secara umum derajat berat renjatan
dibagi menjadi tiga tingkatan:
Renjatan awal (renjatan kompensata)
Penurunan kesadaran awal (gelisah, agitasi), takikardia, takip- nea, akral
dingin dan lembap, pemanjangan waktu pengisian kapiler >2 detik, belum
hipotensi (terkompensasi), kehilangan volume intravaskular sebanyak 15–
30%.
Renjatan lanjut (renjatan dekompensata)
Penurunan kesadaran lanjut (mengantuk diselingi agitasi), takikardia,
takipnea, akral dingin bebercak (mottled) dan lembap, pemanjangan waktu
pengisian kapiler >5 detik, nadi lemah dan cepat, hipotensi, oliguria (urin <1
mL/kgBB/jam), kehilangan volume intravaskular sebanyak 40–60%.
Renjatan ireversibel
Derajat paling berat, penurunan kesadaran dalam, nadi tidak teraba, tekanan darah
tidak terukur, sulit pulih walaupun dengan tatalaksana maksimal.

3.8 Tatalaksana
Sepsis dan kegagalan multi organ merupakan keadaan serius yang harus segera ditatalaksana
dengan optimal sehingga prognosis akan lebih baik, menurunkan angka kematian dan

19
mencegah sekuele di kemudian hari. Terdapat enam hal utama yang perlu diperhatikan dalam
menatalaksana pasien dengan sepsis dan kegagalan multi organ yaitu:
1. Resusitasi cairan
2. Terapi antimikroba
3. Inotropik dan vasopresor
4. Monitoring invasif dan non invasif
5. Terapi spesifik, dan
6. Terapi suportif.
Sepuluh langkah implementasi Early goal-directed therapy (EGDT) tatalaksana sepsis
berat dan renjatan sepsis di emergensi: (Garna H dan Nataprawira HM, 2014. Diagnosis
dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak, Ed. 5, hal 155-169. Departemen Ilmu Kesehatan
Anak Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran, RSUP Dr. Hasan Sadikin, Bandung.)
1. Pengenalan renjatan di ruang triase
Hipotensi dengan nadi kuat pada renjatan hangat
Perfusi perifer berkurang (tekanan perifer berkurang
dibandingkan dengan tekanan sentral dan pengisian kapiler
>2 detik pada renjatan dingin terkompensasi

Kombinasi hipotensi dan perfusi perifer berkurang pada renjatan dingin


dekompensasi
2. Transpor penderita segera ke ruangan renjatan/trauma dan aktifkan tim
resusitasi
3. Mulai pemberian oksigen kanul nasal dan pasang jalur i.v. perifer dalam 90
detik
4. Bila tidak berhasil setelah 2× tusukan vena perifer, pertimbang- kan akses i.o.
5. Palpasi terdapat hepatomegali dan auskultasi paru (ronki)
6. a. Jika hepar tidak membesar dan tidak terdapat ronki, berikan bolus 20
mL/kgBB dalam 15 mnt dengan salin isotonis atau albumin 5% sampai 60
mL/kgBB hingga terjadi perbaikan perfusi atau pembesaran hati atau
timbul ronki. Berikan 20 mL/kgBB PRC jika renjatan hemoragis yang
tidak berespons dengan terapi cairan
b. Jika hepar membesar, waspadai renjatan kardiogenik, bolus kristaloid
isotonis hanya diberikan 10 mL/kgBB. Mulai berikan PGE1 pada semua
neonatus untuk mempertahankan duktus arteriosus

20
7. Jika pengisian kapiler >2 detik dan atau hipotensi menetap selama resusitasi
cairan, mulai berikan epinefrin i.v. perifer/i.o., dosis 0,05 ug/kgBB/mnt
8. Jika terdapat risiko insufisiensi adrenal (riwayat terapi steroid sebelumnya,
sindrom waterhouse Friederichsen, atau anomali hipofise), berikan
hidrokortison bolus (50 mg/kgBB) dilanjutkan dengan titrasi 2–50
mg/kgBB/hr
9. Jika renjatan berlanjut, berikan atropin (0,2 mg/kgBB) dan ketamin (2
mg/kgBB) sebagai sedasi untuk pemasangan akses vena sentral. Jika diperlukan
ventilasi mekanis, gunakan atropin dan ketamin serta penghambat
neuromuskular (oleh tenaga terampil) untuk induksi intubasi
10. Tujuan direct therapy adalah waktu pengisian kapiler <3 detik (≤2 detik),
tekanan darah normal sesuai usia, dan indeks renjatan (denyut jantung/tekanan
nadi) membaik.

21
Gambar 2. Algoritme Tatalaksana Renjatan Sepsis

Pemakaian antibiotik
Pasien sepsis dan syok septik memperlihatkan karakteristik yang berbeda dengan pasien infeksi
lain sehingga diperlukan pemberian segera antimikroba empiris walaupun data kuman dan
sensitivitasnya belum diketahui. Antibiotika empiris harus mempunyai spektrum luas
mencakup berbagai mikroorganisme termasuk kuman anaerob, dan diberikan secara intravena
dengan dosis yang cukup untuk memperoleh level terapeutik optimal. Kombinasi

22
terapi antibiotika biasanya diperlukan pada saat awal sampai didapatkan jenis kuman sehingga
dapat diganti dengan spektrum yang lebih sempit dalam 48-72 jam pemberian antibiotika
empiris.
Tabel 2. Pemberian Antibiotik pada Renjatan Septik

Usia Antibiotik
<4 mgg Ampisilin 200 mg/kgBB/hr i.v. tiap 6 jam +
gentamisin 7,5 mg/kgBB/hr tiap 8 jam
4 mgg–3 bl Ampisilin 200–400 mg/kgBB/hr i.v. tiap 6 jam +
sefotaksim 150 mg/kgBB/hr tiap 8 jam
3 bl–6 th Ampisilin 200–400 mg/kgBB/hr i.v. tiap 6 jam +
kloramfenikol 100 mg/kgBB/hr i.v. tiap 6 jam
atau sefotaksim seperti di atas
>6 th Sefotaksim 150 mg/kgBB/hr i.v. tiap 8 jam

3.9 Prognosis
Pada studi yang dilakukan oleh Wolfler dkk, didapatkan angka kejadian sepsis pada
anak sebesar 7,9%, sepsis berat 1,6% ,dan syok septik 2,1%. Tingkat mortalitas pada sepsis
berat dan syok septik berkisar antara 20-50%. Terlepas dari terapi adekuat, angka mortalitas
anak yang mengalami sepsis berat sebesar 17,7% dan syok sepsis sebesar 50,8%. Anak dengan
penyakit komorbid lainnya memiliki angka mortalitas lebih tinggi dibandingkan dengan anak
yang tidak memiliki komorbiditas. 22

23

Anda mungkin juga menyukai