Anda di halaman 1dari 37

PRESENTASI KASUS

TUBERKULOSIS PARU

Disusun Oleh :
Anisa Carina
1102015028

Pembimbing :
dr. Edy Kurniawan, Sp.P

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM


PERIODE 8 APRIL – 22 JUNI 2019
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI
RSUD ARJAWINANGUN
CIREBON
BAB I
STATUS PASIEN

IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. V
Usia : 28 tahun
Alamat : Jatipura
Jenis Kelamin : Perempuan
Ruang Rawat : Cut Nyak Dien
Pekerjaan : Tidak bekerja
Agama : Islam
Tanggal Masuk RS : 2 Mei 2019
Tanggal Pemeriksaan : 6 Mei 201

Anamnesis : Alloanamnesis

Keluhan Utama : Batuk sejak 2 minggu sebelum masuk rumah sakit

Keluhan Tambahan : Mual (+), muntah (+), dahak (+), demam (+), nyeri
tenggorokan (+)

Riwayat Penyakit Sekarang :


Pasien datang ke IGD RSUD Arjawinangun dengan keluhan batuk sejak 2
minggu sebelum masuk rumah sakit. Pasien mengeluhkan terdapat batuk yang
berdahak. Dahak tidak selalu ada, dan berwarna kuning. Batuk diikuti dengan
refleks muntah. Pasien juga belum meminum obat untuk mengurangi batuk yang
dirasakan. Batuk dengan dahak berdarah disangkal.

Riwayat Penyakit Dahulu :


Riwayat asma (-)
Merokok (-)
Riwayat diabetes melitus (-)

2
Riwayat pengobatan TB paru (-)
Riwayat hipertensi (-)
Riwayat alergi obat (-)

Riwayat Pemakaian Obat :


Pasien belum minum obat apapun sebelum datang ke IGD

Riwayat Keluarga :
Keluarga menderita asma (-)

Status Generalis:
Keadaan umum : baik
Kesadaran : composmentis
Tekanan darah : 98/60 mmHg
Nadi : 68x/menit, kuat
Suhu : 35,9oC
Pernapasan : 16x/menit
Berat badan : 52 kg

Pemeriksaan Fisik:
1. Kulit
Warna : coklat sawo matang
Jaringan parut : pada kedua tungkai
Turgor : baik

2. Kepala
Bentuk : normocephal
Posisi : simetris
Muka : normal

3. Mata
Konjungtiva anemis : -/-

3
Skera ikterik : -/-
Exophtalmus : tidak ada
Enophtalmus : tidak ada
Edema kelopak : tidak ada

4. Telinga
Pendengaran : normal
Darah dan cairan : tidak ada

5. Mulut
Trismus : tidak ada
Bau pernapasan : tidak ada
Faring : dalam batas normal
Lidah : lidah bersih, tidak deviasi
Uvula : ditengah, tidak deviasi
Tonsil : T1-T1

6. Leher
Trachea : tidak ada deviasi
Kelenjar tiroid : tidak membesar dan ikut bergerak saat menelan
Kelenjar limfe : terdapat pembesaran kelenjar limfe pada regio colli

7. Paru-paru
Inspeksi : pergerakan dinding dada simetris statis dan dinamis
Palpasi : fremitus taktil dan vokal normal
Perkusi : sonor seluruh lapang paru
Auskultasi : suara nafas vesikuler +/+, ronkhi -/-, wheezing -/-

8. Jantung
Inspeksi : iktus kordis terlihat
Palpasi : iktus kordis teraba
Perkusi : batas jantung normal

4
Auskultasi : bunyi jantung I-II reguler, murmur (-), gallop (-)

9. Abdomen
Inspeksi : simetris, perut datar
Palpasi : terdapat nyeri tekan, hepar dan lien tidak membesar
Perkusi : timpani pada seluruh kuadran
Auskultasi : bising usus (+)

10. Ekstremitas
Akral hangat pada ekstermitas atas dan bawah kanan dan kiri
Tidak ditemukan adanya edema
Capillary Refill Time < 3 detik

Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium pada tanggal 2 Mei 2019 di Klinik IGD RSUD Arjawinangun
Nama Test Hasil Pemeriksaan Satuan Nilai Rujukan
Hematologi
Hemoglobin 13.1 g/dL 11.7 – 15.5
Leukosit H 12.9 10^3 / uL 3.6 – 11
Trombosit 369 10^3 / uL 150 – 440
Hematokrit 40.3 % 35 – 47
Eritrosit 4.93 10^6 / uL 3.8 – 5.2
MCV 81.7 fL 80 – 100
MCH 26.5 pg 26 – 34
MCHC 32.4 g/dL 32 – 36
RDW 11.5 % 11.5 – 14.5
MPV L 6.8 fL 7.0 – 11.0
Hitung Jenis (diff)
Segmen 67.1 % 28.0 – 78.0
Limfosit L 20.7 % 25 – 40
Monosit H 9.8 % 2–8
Eosinofil 1.0 % 2–4

5
Basofil 1.4 % 0–1
Luc 0 % 3–6
Kimia Klinik
Glukosa Sewaktu 99 Mg/dL 75 – 140
Urine
Tes Kehamilan Negatif

Laboratorium pada tanggal 4 Mei 2019


Nama Test Hasil Pemeriksaan Satuan Nilai Rujukan
Mikrobiologi
MTB MTB DETECTED LOW
Rif Resistance NOT DETECTED

Resume
Pasien perempuan berusia 28 tahun datang ke IGD RSUD Arjawinangun
dengan keluhan batuk sejak dua minggu sebelum masuk rumah sakit. Batuk
dirasakan sepanjang hari, dahak berwarna kuning dan tidak selalu ada. Keluhan lain
pasien juga mengaku mengalami demam, mual, muntah, nyeri tenggorokan dan
sulit menelan. Pasien belum meminum obat untuk mengurangi batuk yang
dirasakan.
Pemeriksaan tanda-tanda vital dalam batas normal. Pada pemeriksaan fisik
ditemukan pembesaran kelenjar limfe pada regio colli. Pada pemeriksaan fisik paru
dalam batas normal. Pada pemeriksaan laboratorium darah didapatkan peningkatan
kadar leukosit 12.900/uL dan monosit 9.8%. Selain itu terdapat penurunan MPV
6.8 fL dan limfosit 20.7%.

Diagnosis Kerja
Tuberkulosis Paru

Diagnosis Banding
Pneumonia
Bronchitis

6
Penatalaksanaan
RL 20 tetes/menit
Ranitidin 2x1 PO
Ondansentron 3x1 PO
Ceftriaxone 2x1 PO
Ambroxol 3x1 PO
OAT (RHZE) 3x1

Prognosis
Ad vitam : ad bonam
Ad Functionam : ad bonam
Ad Sanactionam : ad bonam

Follow Up
3 Mei 2019 6 Mei 2019
(Cut Nyak Dien) (Cut Nyak Dien)
S/ S/
- Batuk (+) - Batuk (+)
- Dahak (+) - Dahak (-)
- Mual (+) - Mual (-)
- Muntah (+) - Muntah (-)
- Nyeri tenggorokan (+) - Nyeri tenggorokan (+)
- Demam (+) - Demam (-)
O/ O/
Status generalis Status generalis
- KU: baik - KU: baik
- GCS 15, Composmentis - GCS 15, Composmentis
- TD : 110/60 - TD : 98/60
- Suhu 36.6oC - Suhu 35.9oC
- HR: 102/menit - HR: 68x/menit
- RR: 20x/menit - RR: 16x/menit

7
- Jantung : BJ I-II reguler, G(-), - Jantung : BJ I-II reguler, G(-),
M(-) M(-)
- Paru: vesikuler +/+, ronki -/-, - Paru: vesikuler +/+, ronki -/-,
wheezing -/- wheezing -/-
- Abdomen: BU (+), nyeri tekan - Abdomen: BU (+), nyeri tekan
(+) (+)
- Ektremitas: akral hangat - Ektremitas: akral hangat
A/ A/
- Bronchitis - Tuberkulosis Paru
P/ P/
- RL 20 tetes/menit - OAT (RHZE) 3x1
- Ambroxol 3x1 - Ambroxol 3x1
- Ceftriaxone 2x1 - Ondansentron 3x1
- Ondansentron 3x1 - Ranitidin 2x1
- Ranitidin 2x1

8
Pemeriksaan Penunjang

Kesan: Bronchitis dengan lymphadenopathy hiler bilateral ec. Specific proses


suspected
Besar cor normal

Hasil Interpretasi: Sinus tachycardia, right superior axis deviation, pulmonary


disease pattern, T wave abnormality, consider anterior ischemia, abnormal ECG.

9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Definisi
Tuberkulosis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium
tuberculosis complex1. Tuberkulosis merupakan penyakit kronik, menular, yang
ditandai dengan jaringan granulasi nekrotik (perkijuan) sebagai respons terhadap
kuman M. tuberculosis2.

Epidemiologi
Tuberkulosis (TB) merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting di
dunia ini. Pada tahun 1992 World Health Organization (WHO) telah
mencanangkan tuberkulosis sebagai Global Emergency. Jumlah terbesar kasus TB
terjadi di Asia tenggara yaitu 33 % dari seluruh kasus TB di dunia, namun bila
dilihat dari jumlah penduduk, terdapat 182 kasus per 100.000 penduduk. Jumlah
terbesar kematian akibat TB terdapat di Asia tenggara yaitu 625.000 orang atau
angka mortaliti sebesar 39 orang per 100.000 penduduk1. Meskipun jumlah
kematian akibat tuberkulosis menurun 22% antara tahun 2000 dan 2015, namun
tuberkulosis masih menempati peringkat ke-10 penyebab kematian tertinggi di
dunia pada tahun 2016 berdasarkan laporan WHO3.
Pasien TB paru dengan batuk produktif bersifat infeksius. Faktor lain yang
meningkatkan infektivitas seseorang adalah luasnya kavitas paru yang terkena,
adanya acid-fast bacilli (AFB) pada tes dahak, batuk sembarangan, dan kepadatan
orang dalam satu rumah4.

Etiologi
Mycobacterium tuberculosis berbentuk batang lurus atau sedikit melengkung, tidak
berspora dan tidak berkapsul. Bakteri ini berukuran lebar 0,3 – 0,6 μm dan panjang
1 – 4 μm. Dinding M.tuberculosis sangat kompleks, terdiri dari lapisan lemak cukup
tinggi (60%). Penyusun utama dinding sel M.tuberculosis ialah asam mikolat, lilin
kompleks (complex-waxes), trehalosa dimikolat yang disebut “cord factor”, dan

10
mycobacterial sulfolipids yang berperan dalam virulensi. Asam mikolat merupakan
asam lemak berantai panjang (C60–C90) yang dihubungkan dengan
arabinogalaktan oleh ikatan glikolipid dan dengan peptidoglikan oleh jembatan
fosfodiester. Unsur lain yang terdapat pada diniding sel bakteri tersebut adalah
polisakarida seperti arabinogalaktan dan arabinomanan. Struktur dinding sel yang
kompleks tersebut menyebebkan bakteri M.tuberculosis bersifat tahan asam, yaitu
apabila sekali diwarnai, tahan terhadap upaya penghilangan zat warna tersebut
dengan larutan asam – alkohol.
Komponen antigen ditemukan di dinding sel dan sitoplasma yaitu komponen lipid,
polisakarida dan protein. Karakteristik antigen M.tuberculosis dapat diidentifikasi
dengan menggunakan antibodi monoklonal. Saat ini telah dikenal purified antigens
dengan berat molekul 14 kDa (kiloDalton), 19 kDa, 38 kDa, 65 kDa yang
memberikan sensitiviti dan spesifisiti yang bervariasi dalam mendiagnosis TB. Ada
juga yang menggolongkan antigen M.tuberculosis dalam kelompok antigen yang
disekresi dan yang tidak disekresi (somatik). Antigen yang disekresi hanya
dihasilkan oleh basil yang hidup, contohnya antigen 30.000 α, protein MTP 40 dan
lain-lain.

Klasifikasi1,5

A. TUBERKULOSIS PARU
Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan paru, tidak
termasuk pleura (selaput paru)
Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak (BTA)
TB paru dibagi dalam:
a. Tuberkulosis Paru BTA (+)
 Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak menunjukkan hasil
BTA positif
 Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif
dan kelainan radiologik menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif
 Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif
dan biakan positif

11
b. Tuberkulosis Paru BTA (-)
 Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif,
gambaran klinik dan kelainan radiologik menunjukkan tuberkulosis
aktif serta tidak respons dengan pemberian antibiotik spektrum luas
 Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif dan
biakan M.tuberculosis positif
 Jika belum ada hasil pemeriksaan dahak, tulis BTA belum diperiksa

Berdasarkan Tipe Penderita1


Tipe penderita ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya. Ada
beberapa tipe penderita yaitu:
a. Kasus baru
Adalah penderita yang belum pernah mendapat pengobatan dengan OAT
atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (30 dosis harian)
b. Kasus kambuh (relaps)
Adalah penderita tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat
pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan
lengkap, kemudian kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan dahak
BTA positif atau biakan positif. Bila hanya menunjukkan perubahan
pada gambaran radiologik sehingga dicurigai lesi aktif kembali, harus
dipikirkan beberapa kemungkinan:
 Infeksi sekunder
 Infeksi jamur
 TB paru kambuh
c. Kasus pindahan (Transfer In)
Adalah penderita yang sedang mendapatkan pengobatan di suatu
kabupaten dan kemudian pindah berobat ke kabupaten lain. Penderita
pindahan tersebut harus membawa surat rujukan/pindah
d. Kasus lalai berobat
Adalah penderita yang sudah berobat paling kurang 1 bulan, dan berhenti
2 minggu atau lebih, kemudian datang kembali berobat. Umumnya
penderita tersebut kembali dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif

12
e. Kasus Gagal
 Adalah penderita BTA positif yang masih tetap positif atau kembali
menjadi positif pada akhir bulan ke-5 (satu bulan sebelum akhir
pengobatan)
 Adalah penderita dengan hasil BTA negatif gambaran radiologik
positif menjadi BTA positif pada akhir bulan ke-2 pengobatan dan
atau gambaran radiologik ulang hasilnya perburukan
f. Kasus kronik
Adalah penderita dengan hasil pemeriksaan dahak BTA masih positif
setelah selesai pengobatan ulang kategori 2 dengan pengawasan yang
baik
g. Kasus bekas TB
 Hasil pemeriksaan dahak mikroskopik (biakan jika ada fasilitas)
negatif dan gambaran radiologik paru menunjukkan lesi TB inaktif,
terlebih gambaran radiologik serial menunjukkan gambaran yang
menetap. Riwayat pengobatan OAT yang adekuat akan lebih
mendukung
 Pada kasus dengan gambaran radiologik meragukan lesi TB aktif,
namun setelah mendapat pengobatan OAT selama 2 bulan ternyata
tidak ada perubahan gambaran radiologik

B. TUBERKULOSIS EKSTRA PARU


Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya pleura,
selaput otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar limfe, tulang, persendian,
kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dll. TB di luar paru dibagi
berdasarkan pada tingkat keparahan penyakit, yaitu:
1. TB di luar paru ringan
Misalnya: TB kelenjar limfe, pleuritis eksudativa unilateral, tulang (kecuali
tulang belakang), sendi dan kelenjar adrenal.
2. TB diluar paru berat

13
Misalnya: meningitis, millier, perikarditis, peritonitis, pleuritis eksudativa
bilateral, TB tulang belakang, TB usus, TB saluran kencing dan alat
kelamin.

Gambar 1. Klasifikasi Tuberkulosis

Berdasarkan Hasil Pemeriksaan Uji Kepekaan Obat5


Pengelompokan pasien disini berdasarkan hasil uji kepekaan contoh uji
Mycobacterium tuberculosis terhadap OAT dan dapat berupa:
1) Mono resistan (TB MR): Mycobacterium tuberculosis resistan terhadap
salah satu jenis OAT lini pertama saja.

2) Poli resistan (TB PR): Mycobacterium tuberculosis resistan terhadap lebih


dari satu jenis OAT lini pertama selain Isoniazid (H) dan Rifampisin (R)
secara bersamaan.

3) Multi drug resistan (TB MDR): Mycobacterium tuberculosis resistan


terhadap Isoniazid (H) dan Rifampisin (R) secara bersamaan, dengan atau
tanpa diikuti resitan OAT lini pertama lainnya.

4) Extensive drug resistan (TB XDR): adalah TB MDR yang sekaligus juga
Mycobacterium tuberculosis resistan terhadap salah satu OAT golongan
fluorokuinolon dan minimal salah satu dari OAT lini kedua jenis suntikan
(Kanamisin, Kapreomisin dan Amikasin).

5) Resistan Rifampisin (TB RR): Mycobacterium tuberculosisresistan


terhadap Rifampisin dengan atau tanpa resistensi terhadap OAT lain yang

14
terdeteksi menggunakan metode genotip (tes cepat molekuler) atau metode
fenotip (konvensional)

Patogenesis1
A. TUBERKULOSIS PRIMER
Kuman tuberkulosis yang masuk melalui saluran napas akan bersarang di jaringan
paru, dimana ia akan membentuk suatu sarang pneumonik, yang disebut sarang
primer atau afek primer. Sarang primer ini mugkin timbul di bagian mana saja
dalam paru, berbeda dengan sarang reaktivasi. Dari sarang primer akan kelihatan
peradangan saluran getah bening menuju hilus (limfangitis lokal). Peradangan
tersebut diikuti oleh pembesaran kelenjar getah bening di hilus (limfadenitis
regional). Afek primer bersama-sama dengan limfangitis regional dikenal sebagai
kompleks primer. Kompleks primer ini akan mengalami salah satu nasib sebagai
berikut:
1. Sembuh dengan tidak meninggalkan cacat sama sekali (restitution ad
integrum)
2. Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas (antara lain sarang Ghon, garis
fibrotik, sarang perkapuran di hilus)
3. Menyebar dengan cara :
a. Perkontinuitatum, menyebar kesekitarnya
Salah satu contoh adalah epituberkulosis, yaitu suatu kejadian dimana
terdapat penekanan bronkus, biasanya bronkus lobus medius oleh
kelenjar hilus yang membesar sehingga menimbulkan obstruksi pada
saluran napas bersangkutan, dengan akibat atelektasis. Kuman
tuberkulosis akan menjalar sepanjang bronkus yang tersumbat ini ke
lobus yang atelektasis dan menimbulkan peradangan pada lobus yang
atelektasis tersebut, yang dikenal sebagai epituberkulosis.
b. Penyebaran secara bronkogen, baik di paru bersangkutan maupun ke
paru sebelahnya. Penyebaran ini juga terjadi ke dalam usus.
c. Penyebaran secara hematogen dan limfogen. Kejadian penyebaran ini
sangat bersangkutan dengan daya tahan ditimbulkan dapat sembuh
secara spontan, akan tetapi bila tidak terdapat imunitas yang adekuat,
penyebaran ini akan menimbulkan keadaan cukup gawat seperti

15
tuberkulosis milier, meningitis tuberkulosa, typhobacillosis Landouzy.
Penyebaran ini juga dapat menimbulkan tuberkulosis pada alat tubuh
lainnya, misalnya tulang, ginjal, anak ginjal, genitalia dan sebagainya.
Komplikasi dan penyebaran ini mungkin berakhir dengan :
 Sembuh dengan meninggalkan sekuele (misalnya pertumbuhan
terbelakang pada anak setelah mendapat ensefalomeningitis,
tuberkuloma ), atau
 Meninggal
Semua kejadian diatas adalah perjalanan tuberkulosis primer.

B. TUBERKULOSIS POST-PRIMER
Dari tuberkulosis primer ini akan muncul bertahun-tahun kemudian tuberkulosis
post-primer, biasanya pada usia 15-40 tahun. Tuberkulosis post primer mempunyai
nama yang bermacam macam yaitu tuberkulosis bentuk dewasa, localized
tuberculosis, tuberkulosis menahun, dan sebagainya. Bentuk tuberkulosis inilah
yang terutama menjadi problem kesehatan rakyat, karena dapat menjadi sumber
penularan. Tuberkulosis post-primer dimulai dengan sarang dini, yang umumnya
terletak di segmen apikal dari lobus superior maupun lobus inferior. Sarang dini ini
awalnya berbentuk suatu sarang pneumonik kecil. Nasib sarang pneumonik ini akan
mengikuti salah satu jalan sebagai berikut:
1. Diresopsi kembali, dan sembuh kembali dengan tidak meninggalkan cacat
2. Sarang tadi mula mula meluas, tapi segera terjadi proses penyembuhan
dengan penyebukan jaringan fibrosis. Selanjutnya akan membungkus diri
menjadi lebih keras, terjadi perkapuran, dan akan sembuh dalam bentuk
perkapuran. Sebaliknya dapat juga sarang tersebut menjadi aktif kembali,
membentuk jaringan keju dan menimbulkan kaviti bila jaringan keju
dibatukkan keluar.
3. Sarang pneumonik meluas, membentuk jaringan keju (jaringan kaseosa).
Kaviti akan muncul dengan dibatukkannya jaringan keju keluar. Kaviti
awalnya berdinding tipis, kemudian dindingnya akan menjadi tebal
(kaviti sklerotik). Nasib kaviti ini:

16
 Mungkin meluas kembali dan menimbulkan sarang pneumonik baru.
Sarang pneumonik ini akan mengikuti pola perjalanan seperti yang
disebutkan diatas.
 Dapat pula memadat dan membungkus diri (encapsulated), dan disebut
tuberkuloma. Tuberkuloma dapat mengapur dan menyembuh, tapi
mungkin pula aktif kembali, mencair lagi dan menjadi kaviti lagi.
 Kaviti bisa pula menjadi bersih dan menyembuh yang disebut open
healed cavity, atau kaviti menyembuh dengan membungkus diri,
akhirnya mengecil. Kemungkinan berakhir sebagai kaviti yang
terbungkus, dan menciut sehingga kelihatan seperti bintang (stellate
shaped).

Gambar 2. Skema perkembangan sarang tuberculosis post primer dan perjalanan


penyembuhannya

Patologi1

Batuk yang merupakan salah satu gejala tuberkulosis paru, terjadi karena
kelainan patologik pada saluran pernapasan akibat kuman M.tuberculosis. Kuman
tersebut bersifat sangat aerobik, sehingga mudah tumbuh di dalam paru, terlebih di
daerah apeks karena pO2 alveolus paling tinggi.
Kelainan jaringan terjadi sebagai respons tubuh terhadap kuman. Reaksi
jaringan yang karakteristik ialah terbentuknya granuloma, kumpulan padat sel
makrofag. Respons awal pada jaringan yang belum pernah terinfeksi ialah berupa
sebukan sel radang, baik sel leukosit polimorfonukleus (PMN) maupun sel fagosit

17
mononukleus. Kuman berproliferasi dalam sel, dan akhirnya mematikan sel fagosit.
Sementara itu sel mononukleus bertambah banyak dan membentuk agregat. Kuman
berproliferasi terus, dan sementara makrofag (yang berisi kuman) mati, sel fagosit
mononukleus masuk dalam jaringan dan menelan kuman yang baru terlepas. Jadi
terdapat pertukaran sel fagosit mononukleus yang intensif dan berkesinambungan.
Sel monosit semakin membesar, intinya menjadi eksentrik, sitoplasmanya
bertambah banyak dan tampak pucat, disebut sel epiteloid. Sel-sel tersebut
berkelompok padat mirip sel epitel tanpa jaringan diantaranya, namun tidak ada
ikatan interseluler dan bentuknya pun tidak sama dengan sel epitel.
Sebagian sel epiteloid ini membentuk sel datia berinti banyak, dan sebagian
sel datia ini berbentuk sel datia Langhans (inti terletak melingkar di tepi) dan
sebagian berupa sel datia benda asing (inti tersebar dalam sitoplasma). Lama
kelamaan granuloma ini dikelilingi oleh sel limfosit, sel plasma, kapiler dan
fibroblas. Di bagian tengah mulai terjadi nekrosis yang disebut perkijuan, dan
jaringan di sekitarnya menjadi sembab dan jumlah mikroba berkurang. Granuloma
dapat mengalami beberapa perkembangan, bila jumlah mikroba terus berkurang
akan terbentuk simpai jaringan ikat mengelilingi reaksi peradangan. Lama
kelamaan terjadi penimbunan garam kalsium pada bahan perkijuan. Bila garam
kalsium berbentuk konsentrik maka disebut cincin Liesegang. Bila mikroba virulen
atau resistensi jaringan rendah, granuloma membesar sentrifugal, terbentuk pula
granuloma satelit yang dapat berpadu sehingga granuloma membesar. Sel epiteloid
dan makrofag menghasilkan protease dan hidrolase yang dapat mencairkan bahan
kaseosa. Pada saat isi granuloma mencair, kuman tumbuh cepat ekstrasel dan terjadi
perluasan penyakit.
Reaksi jaringan yang terjadi berbeda antara individu yang belum pernah
terinfeksi dan yang sudah pernah terinfeksi. Pada individu yang telah terinfeksi
sebelumnya reaksi jaringan terjadi lebih cepat dan keras dengan disertai nekrosis
jaringan. Akan tetapi pertumbuhan kuman tertahan dan penyebaran infeksi
terhalang. Ini merupakan manifestasi reaksi hipersensitiviti dan sekaligus imuniti.

18
Manifestasi Klinis1
Gejala klinik tuberkulosis dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala
respiratorik (atau gejala organ yang terlibat) dan gejala sistemik.
1. Gejala respiratorik
 Batuk > 3 minggu
 Batuk darah
 Sesak napas
 Nyeri dada
Gejala respiratorik ini sangat bervariasi, dari mulai tidak ada gejala sampai
gejala yang cukup berat tergantung dari luas lesi. Kadang penderita
terdiagnosis pada saat medical check up. Bila bronkus belum terlibat dalam
proses penyakit, maka penderita mungkin tidak ada gejala batuk. Batuk
yang pertama terjadi karena iritasi bronkus, dan selanjutnya batuk
diperlukan untuk membuang dahak ke luar.
Gejala tuberkulosis ekstra paru tergantung dari organ yang terlibat,
misalnya pada limfadenitis tuberkulosa akan terjadi pembesaran yang
lambat dan tidak nyeri dari kelenjar getah bening, pada meningitis
tuberkulosa akan terlihat gejala meningitis, sementara pada pleuritis
tuberkulosa terdapat gejala sesak napas & kadang nyeri dada pada sisi yang
rongga pleuranya terdapat cairan.
2. Gejala sistemik
 Demam
 Gejala sistemik lain: malaise, keringat malam, anoreksia, berat badan
menurun.
Diagnosis
a. Anamnesis
Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2 minggu
atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak
bercampur darah, batuk darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan
menurun, berat badan menurun, malaise, berkeringat malam hari tanpa
kegiatan fisik, demam meriang lebih dari satu bulan. Pada pasien dengan

19
HIV positif, batuk sering kali bukan merupakan gejala TB yang khas,
sehingga gejala batuk tidak harus selalu selama 2 minggu atau lebih5.

b. Pemeriksaan Fisik
Pada tuberkulosis paru, kelainan yang didapat tergantung luas kelainan
struktur paru. Pada permulaan (awal) perkembangan penyakit umumnya
tidak (atau sulit sekali) menemukan kelainan. Kelainan paru pada umumnya
terletak di daerah lobus superior terutama daerah apex dan segmen
posterior, serta daerah apex lobus inferior. Pada pemeriksaan jasmani dapat
ditemukan antara lain suara napas bronkial, amforik, suara napas melemah,
ronki basah, tanda-tanda penarikan paru, diafragma & mediastinum.
Pada pleuritis tuberkulosa, kelainan pemeriksaan fisik tergantung dari
banyaknya cairan di rongga pleura. Pada perkusi ditemukan pekak, pada
auskultasi suara napas yang melemah sampai tidak terdengar pada sisi yang
terdapat cairan.
Pada limfadenitis tuberkulosa, terlihat pembesaran kelenjar getah
bening, tersering di daerah leher (pikirkan kemungkinan metastasis tumor),
kadang-kadang di daerah ketiak. Pembesaran kelenjar tersebut dapat
menjadi “cold abscess”1.
c. Pemeriksaan Penunjang1
1) Pemeriksaan Bakteriologik
a. Bahan pemeriksaan
Pemeriksaan bakteriologik untuk menemukan kuman tuberkulosis
mempunyai arti yang sangat penting dalam menegakkan diagnosis.
Bahan untuk pemeriksaan bakteriologik ini dapat berasal dari dahak,
cairan pleura, liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung,
kurasan bronkoalveolar (bronchoalveolar lavage/BAL), urin, faeces dan
jaringan biopsi (termasuk biopsi jarum halus/BJH).
b. Cara pengumpulan dan pengiriman bahan
Cara pengambilan dahak 3 kali, setiap pagi 3 hari berturut-turut atau
dengan cara:
 Sewaktu/spot (dahak sewaktu saat kunjungan)

20
 Dahak Pagi (keesokan harinya)
 Sewaktu/spot (pada saat mengantarkan dahak pagi)
Bahan pemeriksaan yang berbentuk cairan ditampung dalam pot yang
bermulut lebar, berpenampang 6 cm atau lebih dengan tutup berulir, tidak
mudah pecah dan tidak bocor. Apabila ada fasilitas, spesimen tersebut
dapat dibuat sediaan apus pada gelas objek (difiksasi) sebelum dikirim
ke laboratorium.
c. Cara pembuatan dan pengiriman dahak dengan kertas saring:
 Kertas saring dengan ukuran 10 x 10 cm, dilipat empat agar terlihat
bagian tengahnya
 Dahak yang representatif diambil dengan lidi, diletakkan di bagian
tengah dari kertas saring sebanyak + 1 ml
 Kertas saring dilipat kembali dan digantung dengan melubangi pada
satu ujung yang tidak mengandung bahan dahak
 Dibiarkan tergantung selama 24 jam dalam suhu kamar di tempat
yang aman, misal di dalam dus
 Bahan dahak dalam kertas saring yang kering dimasukkan dalam
kantong plastik kecil
 Kantong plastik kemudian ditutup rapat (kedap udara) dengan
melidahapikan sisi kantong yang terbuka dengan menggunakan lidi
 Di atas kantong plastik dituliskan nama penderita dan tanggal
pengambilan dahak
 Dimasukkan ke dalam amplop dan dikirim melalui jasa pos ke
alamat laboratorium.
d. Cara pemeriksaan dahak dan bahan lain
Pemeriksaan bakteriologik dari spesimen dahak dan bahan lain (cairan
pleura, liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan
bronkoalveolar (BAL), urin, faeces dan jaringan biopsi, termasuk BJH)
dapat dilakukan dengan cara:
 Mikroskopik
 Biakan
Pemeriksaan mikroskopik:

21
Mikroskopik biasa : Pewarnaan Ziehl-Nielsen
Pewarnaan Kinyoun Gabbet
Mikroskopik fluoresens : Pewarnaan auramin-rhodamin
(khususnya untuk screening)
lnterpretasi hasil pemeriksaan mikroskopik dari 3 kali pemeriksaan ialah
bila :
 2 kali positif, 1 kali negatif → Mikroskopik positif
 1 kali positif, 2 kali negatif → ulang BTA 3 kali, kemudian
 bila 1 kali positif, 2 kali negatif → Mikroskopik positif
 bila 3 kali negatif → Mikroskopik negatif
Interpretasi pemeriksaan mikroskopik dibaca dengan skala bronkhorst
atau IUATLD.
2) Tes Cepat Molekuler (TCM)
Pemeriksaan tes cepat molekuler dengan metode Xpert MTB/RIF. TCM
merupakan sarana untuk penegakan diagnosis, namun tidak dapat
dimanfaatkan untuk evaluasi hasil pengobatan5.

Pemeriksaan Radiologik1
Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA dengan atau tanpa foto lateral.
Pemeriksaan lain atas indikasi: foto apiko-lordotik, oblik, CT-Scan. Pada
pemeriksaan foto toraks, tuberkulosis dapat memberi gambaran bermacam-macam
bentuk (multiform). Gambaran radiologik yang dicurigai sebagai lesi TB aktif:
 Bayangan berawan / nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas paru
dan segmen superior lobus bawah
 Kaviti, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan
atau nodular
 Bayangan bercak milier
 Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang)
Gambaran radiologik yang dicurigai lesi TB inaktif:
 Fibrotik pada segmen apikal dan atau posterior lobus atas
 Kalsifikasi atau fibrotik

22
 Kompleks ranke
 Fibrotoraks/Fibrosis parenkim paru dan atau penebalan pleura
Luluh Paru (Destroyed Lung):
 Gambaran radiologik yang menunjukkan kerusakan jaringan paru yang
berat, biasanya secara klinis disebut luluh paru. Gambaran radiologik luluh
paru terdiri dari atelektasis, multikaviti dan fibrosis parenkim paru. Sulit
untuk menilai aktiviti lesi atau penyakit hanya berdasarkan gambaran
radiologik tersebut.
 Perlu dilakukan pemeriksaan bakteriologik untuk memastikan aktiviti
proses penyakit
Luas lesi yang tampak pada foto toraks untuk kepentingan pengobatan dapat
dinyatakan sbb (terutama pada kasus BTA dahak negatif):
 Lesi minimal, bila proses mengenai sebagian dari satu atau dua paru dengan
luas tidak lebih dari volume paru yang terletak di atas chondrostemal
junction dari iga kedua depan dan prosesus spinosus dari vertebra torakalis
4 atau korpus vertebra torakalis 5 (sela iga 2) dan tidak dijumpai kaviti
 Lesi luas
Bila proses lebih luas dari lesi minimal.

Pemeriksaan Penunjang1
Dalam perkembangan kini ada beberapa teknik baru yang dapat mengidentifikasi
kuman tuberkulosis secara lebih cepat.
1. Polymerase chain reaction (PCR):
Pemeriksaan PCR adalah teknologi canggih yang dapat mendeteksi DNA,
termasuk DNA M.tuberculosis. Salah satu masalah dalam pelaksanaan
teknik ini adalah kemungkinan kontaminasi.
Hasil pemeriksaan PCR dapat membantu untuk menegakkan diagnosis
sepanjang pemeriksaan tersebut dikerjakan dengan cara yang benar dan
sesuai standar. Apabila hasil pemeriksaan PCR positif sedangkan data lain
tidak ada yang menunjang kearah diagnosis TB, maka hasil tersebut tidak
dapat dipakai sebagai pegangan untuk diagnosis TB.

23
Pada pemeriksaan deteksi M.tb tersebut diatas, spesimen pemeriksaan dapat
berasal dari paru maupun luar paru sesuai dengan organ yang terlibat.
2. Pemeriksaan serologi, dengan berbagai metoda a.1:
a. Enzym linked immunosorbent assay (ELISA)
Teknik ini merupakan salah satu uji serologi yang dapat mendeteksi
respon humoral berupa proses antigen-antibodi yang terjadi. Beberapa
masalah dalam teknik ini antara lain adalah kemungkinan antibodi
menetap dalam waktu yang cukup lama.
b. Mycodot
Uji ini mendeteksi antibodi antimikobakterial di dalam tubuh manusia.
Uji ini menggunakan antigen lipoarabinomannan (LAM) yang
direkatkan pada suatu alat yang berbentuk sisir plastik. Sisir plastik ini
kemudian dicelupkan ke dalam serum penderita, dan bila di dalam
serum tersebut terdapat antibodi spesifik anti LAM dalam jumlah yang
memadai yang sesuai dengan aktiviti penyakit, maka akan timbul
perubahan warna pada sisir yang dapat dideteksi dengan mudah
c. Uji peroksidase anti peroksidase (PAP)
Uji ini merupakan salah satu jenis uji yang mendeteksi reaksi serologi
yang terjadi
d. ICT
Uji Immunochromatographic tuberculosis (ICT tuberculosis) adalah uji
serologik untuk mendeteksi antibodi M.tuberculosis dalam serum. Uji
ICT tuberculosis merupakan uji diagnostik TB yang menggunakan 5
antigen spesifik yang berasal dari membran sitoplasma M.tuberculosis,
diantaranya antigen M.tb 38 kDa. Ke-5 antigen tersebut diendapkan
dalam bentuk 4 garis melintang pada membran immunokromatografik
(2 antigen diantaranya digabung dalam 1 garis) disamping garis kontrol.
Serum yang akan diperiksa sebanyak 30 μl diteteskan ke bantalan
warna biru, kemudian serum akan berdifusi melewati garis antigen.
Apabila serum mengandung antibodi IgG terhadap M.tuberculosis,
maka antibodi akan berikatan dengan antigen dan membentuk garis

24
warna merah muda. Uji dinyatakan positif bila setelah 15 menit
terbentuk garis kontrol dan minimal satu dari empat garis antigen pada
membran. Dalam menginterpretasi hasil pemeriksaan serologi yang
diperoleh, para klinisi harus hati hati karena banyak variabel yang
mempengaruhi kadar antibodi yang terdeteksi.
Saat ini pemeriksaan serologi belum bisa dipakai sebagai pegangan
untuk diagnosis.
3. Pemeriksaan BACTEC
Dasar teknik pemeriksaan biakan dengan BACTEC ini adalah metode
radiometrik. M. tuberculosis memetabolisme asam lemak yang kemudian
menghasilkan CO2 yang akan dideteksi growth indexnya oleh mesin ini.
Sistem ini dapat menjadi salah satu alternatif pemeriksaan biakan secara
cepat untuk membantu menegakkan diagnosis.
4. Pemeriksaan Cairan Pleura
Pemeriksaan analisis cairan pleura & uji Rivalta cairan pleura perlu
dilakukan pada penderita efusi pleura untuk membantu menegakkan
diagnosis. Interpretasi hasil analisis yang mendukung diagnosis
tuberkulosis adalah uji Rivalta positif dan kesan cairan eksudat, serta pada
analisis cairan pleura terdapat sel limfosit dominan dan glukosa rendah
5. Pemeriksaan histopatologi jaringan
Bahan histopatologi jaringan dapat diperoleh melalui biopsy paru dengan
trans bronchial lung biopsy (TBLB), trans thoracal biopsy (TTB), biopsi
paru terbuka, biopsi pleura, biopsi kelenjar getah bening dan biopsi organ
lain diluar paru. Dapat pula dilakukan biopsi aspirasi dengan jarum halus
(BJH). Pemeriksaan biopsy dilakukan untuk membantu menegakkan
diagnosis, terutama pada tuberkulosis ekstra paru.
Diagnosis pasti infeksi TB didapatkan bila pemeriksaan histopatologi pada
jaringan paru atau jaringan diluar paru memberikan hasil berupa granuloma
dengan perkejuan.
6. Pemeriksaan darah
Hasil pemeriksaan darah rutin kurang menunjukkan indikator yang spesifik
untuk tuberkulosis. Laju endap darah (LED) jam pertama dan kedua sangat

25
dibutuhkan. Data ini sangat penting sebagai indikator tingkat kestabilan
keadaan nilai keseimbangan biologik penderita, sehingga dapat digunakan
untuk salah satu respon terhadap pengobatan penderita serta kemungkinan
sebagai predeteksi tingkat penyembuhan penderita. Demikian pula kadar
limfosit bisa menggambarkan biologik / daya tahan tubuh penderita, yaitu
dalam keadaan supresi / tidak. LED sering meningkat pada proses aktif,
tetapi laju endap darah yang normal tidak menyingkirkan tuberkulosis.
Limfositpun kurang spesifik.
7. Uji tuberkulin
Di Indonesia dengan prevalensi tuberkulosis yang tinggi,
pemeriksaan uji tuberkulin sebagai alat bantu diagnostik kurang berarti,
apalagi pada orang dewasa1. Pemeriksaan ini masih banyak digunakan
untuk screening dan penegakkan diagnosis TB, pada anak umumnya.
Biasanya dipakai tes Mantoux dengan menyuntikkan 2 TU dalam 0,1 ml
PPD RT-23 secara intrakutan. Setelah 48-72 jam dilihat indurasi ditempat
suntikan. Positif bila ≥ 10 mm. Dasar pemeriksaan ini adalah rekasi alergi
tipe lambat. Pemeriksaan ini tidak selalu akurat dan dapat memberikan nilai
negatif palsu dan positif lemah6.
Sebenarnya secara tidak langsung reaksi yang ditimbulkan hanya
menunjukkan gambaran reaksi tubuh yang analog dengan;
a) reaksi peradangan dari lesi yang berada pada target organ yang terkena
infeksi, atau
b) status respon imun individu yang tersedia bila menghadapi agent dari
basil tahan asam yang bersangkutan (M.tuberculosis)1.
8. Tes Cepat Molekuler5
Pemeriksaan tes cepat molekuler dengan metode Xpert MTB/RIF. TCM
merupakan sarana untuk penegakan diagnosis, namun tidak dapat
dimanfaatkan untuk evaluasi hasil pengobatan.

26
Gambar 3. Alur diagnosis P2TB

27
Gambar 4. Alur Diagnosis Tuberkulosis Paru Berdasarkan Permenkes No. 67
tahun 2016

Diagnosa Banding
1) Pneumonia
2) PPOK
3) Infeksi mycobacterium atipikal yang lain (Mycobacterium avium complex
atau M. kansasii) and infeksi virus4
Tatalaksana

28
Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian,
mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya
resistensi kuman terhadap OAT. Dalam pengobatan TB digunakan OAT dengan
jenis, sifat dan dosis sebagaimana pada tabel 1

Tabel 1. Jenis, sifat, dan dosis OAT5


Dosis yang direkomendasikan
Jenis OAT Sifat (mg / kgBB)
Harian 3x seminggu
Isoniazid (H) Bakterisid 5 (4-6) 10 (8-12)
Rifampisin (R) Bakterisid 10 (8-12) 10 (8-12)
Pyrazinamide (Z) Bakterisid 25 (20-30) 35 (30-40)
Streptomycin (S) Bakterisid 15 (12 - 18)
Ethambutol (E) Bakteriostatik 15 (15-20) 30 (20-35)

Prinsip pengobatan TB dilakukan dengan prinsip-prinsip sebagai berikut:


a. OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam
jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan
gunakan OAT tunggal (monoterapi). Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis
Tetap (OAT-KDT) lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan.
b. Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan
langsung (DOTS = Directly Observed Treatment Shortcourse) oleh
seorang Pengawas Menelan Obat (PMO).
c. Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap awal (intensif) dan
lanjutan.5,6

Paduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional Penanggulangan TB di


Indonesia terdiri dari:
1) Kategori 1: 2HRZE)/4(HR)3 atau 2(HRZE)/4(HR).
2) Kategori 2: 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3 atau
2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)E.
3) Kategori OAT TB Resisten Obat: terdiri dari OAT lini 2 yaitu, Kanamisin,
Kapreomisin, Levofloksasin, Etionamide, Sikloserin, Moksifloksasin,

29
PAS, Bedaquilin, Clofazimin, Linezolid, Delamanid dan obat TB baru
lainnya serta OAT lini 1, yaitu Pirazinamid dan Etambutol.

Terbagi dalam 2 jenis pemilihan jenis sediaan obat, obat kombinasi dan obat
lepas. Obat tersebut disediakan dalam bentuk paket obat kombinasi dosis tetap
(OAT -KDT) dengan jenis 2 obat atau 4 obat dalam satu tablet dan dosisnya
disesuaikan dengan berat badan pasien. Kemudian disediakan juga dalam
bentuk kombipak, yaitu sediaan obat lepas yang dikemas dalam 1 blister berisi
Isoniasid (H), Rifampisin (R), Pirazinamid (Z) dan Etambutol (E)5
1. Kategori 1
Panduan OAT ini diberikan untuk pasien dengan kriteria:
 Pasien baru terkonfirmasi bakteriologis
 Pasien TB paru terdiagnosis klinis
 Pasien TB ekstra paru

Tabel 2. Dosis Paduan OAT sedian KDT Kategori 1 dengan terapi


lanjutan dosis harian (2(HRZE)/4(HR))5.
Tahap Intensif Tahap Lanjutan
2 Bulan 4 Bulan
(56 hari) (16 minggu)
Berat Badan Setiap hari Setiap hari
RHZE RH
Tablet 4KDT Tablet 2KDT
(150/75/400/275) (150/75)
30 – 37 kg 2 tablet 2 tablet
38 – 54 kg 3 tablet 3 tablet
55 – 70 kg 4 tablet 4 tablet
≥ 71 kg 5 tablet 5 tablet

30
Tabel 3. Dosis Paduan OAT sediaan KDT Kategori 1 dengan terapi
lanjutan dosis intermiten (2(HRZE)/4(HR)3).5
Tahap Intensif Tahap Lanjutan
2 Bulan 4 Bulan
(56 hari) (16 minggu)
Berat Badan Setiap hari 3x seminggu
RHZE RH
Tablet 4KDT Tablet 2KDT
(150/75/400/275) (150/150)
30 – 37 kg 2 tablet 2 tablet
38 – 54 kg 3 tablet 3 tablet
55 – 70 kg 4 tablet 4 tablet
≥ 71 kg 5 tablet 5 tablet

Tabel 4. Dosis Paduan OAT sediaan lepas/kombipak Kategori 1 dengan


terapi dosis harian5.
Dosis per hari / kali Jumlah
Tablet Tablet Tablet Tablet hari /
Tahap
Isoniazid Rifampisin Pirazinamid Etambutol kali
Pengobatan
@300 mg @450 mg @500 mg @250 mg menelan
obat
Intensif
1 tablet 1 tablet 3 tablet 3 tablet 56
(2 bulan)
Lanjutan
2 tablet 1 tablet - - 48
(4 bulan)

2. Kategori 2

Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang pernah
diobati sebelumnya (pengobatan ulang), yaiitu:

31
 Pasien kambuh
 Pasien gagal dalam pengobatan dengan panduan OAT kategori
1 sebelumnya
 Pasien yang diobati kembali setelah putus berobat (lost to
follow up)

Tabel 5. Dosis Paduan OAT sediaan KDT Kategori 2 dengan terapi


intermiten (2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3)5.
Tahap Intensif Tahap Lanjutan
Setiap hari 3x seminggu
RHZE + S RH + E
Berat Badan
(150/75/400/275) (150/150) + (400)
56 hari 28 hari 20 minggu
pertama kedua berikutnya
30 – 37 kg 2 tablet 4KDT 3 tablet 2KDT
+ 2 tablet +
500 mg 4KDT 3 tablet
Streptomisin inj. Etambutol
38 – 54 kg 3 tablet 4KDT 3 tablet 2KDT
+ 3 tablet +
750 mg 4KDT 3 tablet
Streptomisin inj. Etambutol
55 – 70 kg 4 tablet 4KDT 4 tablet 2KDT
+ 4 tablet +
1000 mg 4KDT 4 tablet
Streptomisin inj. Etambutol
≥ 71 kg 5 tablet 4KDT 5 tablet 2KDT
+ 5 tablet +
1000 mg 4KDT 5 tablet
Streptomisin inj. Etambutol

Tabel 6. Dosis Paduan OAT sediaan lepas/kombipak Kategori 1 dengan


terapi dosis intermiten (2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3).3

32
Setelah dilakukan pengobatan dilakukan pemantauan kemajuan dan
hasil pengobatan pada orang dewasa dilaksanakan dengan pemeriksaan
ulang dahak secara mikroskopis. Pemantauan kemajuan pengobatan
dilakukan dengan pemeriksaan dua contoh uji dahak (sewaktu dan pagi).
Semua pasien TB pada akhir 2 bulan pengobatan tahap awal, tanpa
pemberian paduan sisipan, pengobatan dilanjutkan ke paduan tahap
lanjutan. Pemeriksaan dahak diulang pada akhir bulan-3 pengobatan. Bila
hasil teteap BTA positif, pasien ditetapkan sebagai pasien terduga TB
Resisten Obat (TB RO), jika BTA negatif pengobatan tetap dilanjutkan
sampai pemeriksaan ulang dahak selanjutnya dilakukan pada akhir bulan ke
5 pengobatan, pabila hasilnya negatif, pengobatan dilanjutkan hingga
seluruh dosis pengobatan selesai dan dilakukan pemeriksaan ulang dahak
kembali pada akhir pengobatan. Bilamana hasil pemeriksaan mikroskopis
nya positif pasien dianggap gagal pengobatan dan dimasukkan kedalam
kelompok terduga TB RO5.

33
Tabel 7. Pemeriksaan dahak ulang untuk pemantuan hasil pengobatan5

Tabel 8. Hasil Pengobatan Pasien TB5


Hasil pengobatan Definisi
Sembuh Pasien TB paru dengan hasil pemeriksaan bakteriologis
positif pada awal pengobatan yang hasil pemeriksaan
bakteriologis pada akhir pengobatan menjadi negatif dan
pada salah satu pemeriksaan sebelumnya. Kemudian pada
pemeriksaan radiologi didapatkan foto perbaikan.
Pengobatan Pasien TB yang telah menyelesaikan pengobatan secara
lengkap lengkap dimana pada salah satu pemeriksaan sebelum akhir
pengobatan hasilnya negatif namun tanpa ada bukti hasil
pemeriksaan bakteriologis pada akhir pengobatan.
Gagal Pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau
kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih
selama masa pengobatan; atau kapan saja dalam masa
pengobatan diperoleh hasil laboratorium yang
menunjukkan adanya resistensi OAT.
Meninggal Pasien TB yang meninggal oleh sebab apapun sebelum
memulai atau sedang dalam pengobatan

34
Putus Obat Pasien TB yang tidak memulai pengobatannya atau yang
pengobatannya terputus terus menerus selama 2 bulan atau
lebih
Tidak dievaluasi Pasien TB yang tidak diketahui akhir pengobatannya.
Termasuk kriteria ini pasien pindah (transfer out) ke
kabupaten / kota lain dimana hasil akhir pengobatannya
tidak diketahui kabupaten kota yang yang ditinggalkan.

EFEK SAMPING OBAT

35
Prognosis7
Prognosis tuberkulosis (TB) tergantung pada diagnosis dini dan
pengobatan. Seorang yang terinfeksi kuman TB memiliki 10% risiko dalam
hidupnya jatuh sakit karena TB. Namun penderita gangguan sistem kekebalan
tubuh, seperti orang yang terkena HIV, malnutrisi, diabetes, atau perokok, memiliki
risiko lebih tinggi jatuh sakit karena TB.
Rekurensi pengidap TB yang mendapat terapi DOT (Directly Observed Treatment)
berkisar 0-14%.
Di negara-negara dengan angka TB yang tinggi, rekurensi biasanya terjadi setelah
pengobatan tuntas, hal ini cenderung dikarenakan oleh reinfeksi daripada relaps.
Prognosis buruk terdapat pada penderita TB extra pulmonary, gangguan kekebalan
tubuh, lanjut usia, dan riwayat terkena TB sebelumnya. Prognosis baik bila
diagnosis dan pengobatannya dilakukan sedini mungkin.

36
DAFTAR PUSTAKA

1. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI). 2004. Konsensus Tb. Pedoman


Diagnosis dan Penatalaksanaan Tuberkulosis di Indonesia.
2. Sejati, Ardhitya dan Liena Sofiana. 2015. Faktor-Faktor Terjadinya
Tuberkulosis. Jurnal Kesehatan Masyarakat, 10(2), pp. 122–128.
3. WHO. 2016. Top 10 Causes of Death.
(www.who.int/gho/mortality_burden_disease/cause_death/top10/en/ diakses:
6 Mei 2019)
4. Wilson, Walter R, et al. 2001. Current Diagnosis & Treatment in Infectious
Disease 1st Edition. McGraw Hill.
5. Kemenkes RI. 2016. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
67 Tahun 2016 Tentang Penanggulangan Tuberkulosis. Jakarta: Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia.
6. Amin, Zulkifli dan Asril Bahar. 2014. “Tuberkulosis Paru” dalam Siti Setiadi
(Editor). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi Keenam Jilid 1. Jakarta:
Interna Publishing.
7. Van Rie, A., et al. Exogenous reinfection as a cause of recurrent tuberculosis
after curative treatment. N Engl J Med, 1999. 341(16): p. 1174-9.

37

Anda mungkin juga menyukai