1. Tuberkulosis
a. Dewasa
1) Pasien dengan sputum BTA (-), klinis (+) tapi tidak
menunjukkan perbaikan setelah pengobatan dalam jangka
waktu tertentu
2) Pasien dengan sputum BTA (-), klinis (-/ meragukan)
3) Pasien dengan sputum BTA tetap (+) setelah jangka waktu
tertentu
4) TB dengan komplikasi/keadaan khusus (TB dengan komorbid)
5) Suspek TB MDR harus dirujuk ke pusat rujukan TB-MDR.
b. Anak anak
1) Tidak ada perbaikan klinis dalam 2 bulan pengobatan.
2) Terjadi efek samping obat yang berat.
3) Putus obat yaitu bila berhenti menjalani pengobatan
selama >2 minggu.
2. TB dengan HIV
a. Pasien dengan sputum BTA (-), klinis (+) tapi tidak
menunjukkan perbaikan setelah pengobatan dalam jangka waktu
tertentu
b. Pasien dengan sputum BTA (-), klinis (-/ meragukan)
c. Pasien dengan sputum BTA tetap (+) setelah jangka waktu
tertentu
d. TB dengan komplikasi/keadaan khusus (TB dengan komorbid)
e. Suspek TBMDR harus dirujuk ke pusat rujukan TBMDR
3. Morbili
Perawatan di rumah sakit untuk campak dengan komplikasi
(superinfeksi bakteri, pneumonia, dehidrasi, croup,
ensefalitis)
4. Varisela
a. Terdapat gangguan imunitas
b. Mengalami komplikasi yang berat seperti pneumonia,
ensefalitis, dan hepatitis.
5. Malaria
a. Malaria dengan komplikasi
b. Malaria berat, namun pasien harus terlebih dahulu diberi
dosis awal Artemisinin atau Artesunat per Intra Muskular
atau Intra Vena dengan dosis awal 3,2mg /kg BB
6. Leptospirosis
Pasien segera dirujuk ke pelayanan sekunder (spesialis
penyakit dalam) yang memiliki fasilitas hemodialisa setelah
penegakan diagnosis dan terapi awal.
7. Filariasis
Pasien dirujuk bila dibutuhkan pengobatan operatif atau bila
gejala tidak membaik dengan pengobatan konservatif.
9. Kandidiasis Mulut
Bila kandidiasis merupakan akibat dari penyakit lainnya,
seperti HIV.
10. Lepra
a. Terdapat efek samping obat yang serius.
b. Reaksi kusta dengan kondisi:
1) ENL melepuh, pecah (ulserasi), suhu tubuh tinggi,
neuritis.
2) Reaksi tipe 1 disertai dengan bercak ulserasi atau
neuritis.
3) Reaksi yang disertai komplikasi penyakit lain yang berat,
misalnya hepatitis, DM, hipertensi, dan tukak lambung
berat.
13. Syok
Setelah kegawatan pasien ditangani, pasien dirujuk ke
pelayanan kesehatan sekunder.
19. Limfadenitis
a. Kegagalan untuk mengecil setelah 4-6 minggu dirujuk untuk
mencari penyebabnya (indikasi untuk dilaksanakan biopsi
kelenjar getah bening)
b. Biopsi dilakukan bila terdapat tanda dan gejala yang
mengarahkan kepada keganasan, KGB yang menetap atau
bertambah besar dengan pengobatan yang tepat, atau diagnosis
belum dapat ditegakkan.
31. Hepatitis B
a. Penegakan diagnosis dengan pemeriksaan penunjang
laboratorium di pelayanan kesehatan sekunder
b. Penderita hepatitis B dengan keluhan ikterik yang menetap
disertai keluhan yang lain
32. Kolesistitis
Pasien yang telah terdiagnosis kolesistitis dirujuk ke layanan
sekunder (spesialis penyakit dalam) sedangkan bila terdapat
indikasi untuk pembedahan pasien dirujuk pula ke spesialis
bedah.
34. Peritonitis
Rujuk ke layanan sekunder yang memiliki dokter spesialis bedah
35. Parotitis
a. Parotitis dengan komplikasi
b. Parotitis akibat kelainan sistemik, seperti HIV,
tuberkulosis, dan Sjogren syndrome.
38. Skistosomiasis
Pasien yang didiagnosis dengan skistosomiasis (kronis)
disertai komplikasi.
39. Taeniasis
Bila ditemukan tanda-tanda yang mengarah pada sistiserkosis.
40. Strongiloidiasis
Pasien strongyloidiasis dengan keadaan imunokompromais seperti
penderita AIDS
43. Hordeolum
a. Bila tidak memberikan respon dengan pengobatan konservatif
b. Hordeolum berulang
44. Konjungtivitis
a. Jika terjadi komplikasi pada kornea
b. Bila tidak ada respon perbaikan terhadap pengobatan yang
diberikan
45. Blefaritis
Pasien dengan blefaritis perlu dirujuk ke layanan sekunder
(dokter spesialis mata) bila terdapat minimal satu dari
kelainan di bawah ini:
a. Tajam penglihatan menurun
b. Nyeri sedang atau berat
c. Kemerahan yang berat atau kronis
d. Terdapat keterlibatan kornea
e. Episode rekuren
f. Tidak respon terhadap terapi
48. Astigmatisme
Pasien perlu dirujuk ke layanan sekunder bila: 1. koreksi
dengan kacamata tidak memperbaiki visus, atau 2. ukuran lensa
tidak dapat ditentukan (misalnya astigmatisme berat)
49. Hipermetropia
Rujukan dilakukan jika timbul komplikasi.
51. Presbiopia
-
55. Trikiasis
a. Bila tatalaksana di atas tidak membantu pasien, dapat
dilakukan rujukan ke layanan sekunder
b. Bila telah terjadi penurunan visus
c. Bila telah terjadi kerusakan kornea
d. Bila pasien menghendaki tatalaksana langsung di layanan
sekunder
56. Episkleritis
58. Hifema
Semua pasien yang didiagnosis dengan hifema perlu
dirujuk ke dokter
spesialis mata
67. Takikardia
Segera rujuk setelah pertolongan pertama dengan
pemasangan infus dan
oksigen.
77. Lipoma
a. Ukuran massa > 6 cm dengan pertumbuhan yang cepat.
b. Ada gejala nyeri spontan maupun tekan.
c. Predileksi di lokasi yang berisiko bersentuhan dengan
pembuluh darah atau saraf.
79. Migren
80. Vertigo
a. Vertigo vestibular tipe sentral harus segera dirujuk.
b. Tidak terdapat perbaikan pada vertigo vestibular
setelah diterapi farmakologik dan non farmakologik.
81. Tetanus
a. Bila tidak terjadi perbaikan setelah penanganan pertama.
b. Terjadi komplikasi, seperti distres sistem pernapasan.
c. Rujukan ditujukan ke fasilitas pelayanan kesehatan
sekunder yang memiliki dokter spesialis neurologi
82. Rabies
a. Penderita rabies yang sudah menunjukkan gejala rabies.
b. Dirujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan sekunder
yang memiliki dokter spesialis neurolog
84. Epilepsi
Setelah diagnosis epilepsi ditegakkan maka pasien segera
dirujuk ke pelayanan sekunder yang memiliki dokter spesialis
saraf
86. Stroke
Semua pasien stroke setelah ditegakkan diagnosis secara
klinis dan diberikan penanganan awal, segera mungkin
harus dirujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan sekunder
yang memiliki dokter spesialis saraf, terkait dengan
angka kecacatan dan kematian yang tinggi. Dalam hal
ini, perhatian terhadap therapeutic window untuk
penatalaksanaan stroke akut sangat diutamakan
89. Delirium
Bila gejala agitasi telah terkendali, pasien dapat segera
dirujuk ke fasilitas pelayanan rujukan sekunder untuk
memperbaiki penyakit utamanya.
94. Insomnia
Apabila setelah 2 minggu pengobatan tidak menunjukkan
perbaikan, atau apabila terjadi perburukan walaupun belum
sampai 2 minggu, pasien dirujuk kefasilitas kesehatan
sekunder yang memiliki dokter spesialis kedokteran jiwa.
97. Influenza
Bila didapatkan tanda-tanda pneumonia (panas tidak turun
5 hari disertai batuk purulen dan sesak napas)
105. Pneumotoraks
Segera rujuk pasien yang terdiagnosis pneumotoraks,
setelah dilakukan
penanggulangan awal.
107. Epistaksis
a. Bila perlu mencari sumber perdarahan dengan modalitas
yang tidak tersedia di layanan primer, misalnya naso-
endoskopi.
b. Pasien dengan epistaksis yang curiga akibat tumor di
rongga hidung atau nasofaring.
c. Epistaksis yang terus berulang atau masif
120. Skabies
Pasien skabies dirujuk apabila keluhan masih dirasakan
setelah 1 bulan paska terapi.
125. Pioderma
Pasien dirujuk apabila terjadi:
a. Komplikasi mulai dari selulitis.
b. Tidak sembuh dengan pengobatan selama 5-7 hari.
c. Terdapat penyakit sistemik (gangguan metabolik endokrin dan
imunodefisiensi)
126. Erisipelas
Jika terjadi komplikasi
140. Urtikaria
a. Rujukan ke dokter spesialis bila ditemukan fokus infeksi.
b. Jika urtikaria berlangsung kronik dan rekuren.
c. Jika pengobatan first-line therapy gagal.
d. Jika kondisi memburuk, yang ditandai dengan makin
bertambahnya patch eritema, timbul bula, atau bahkan
disertai sesak.
147. Obesitas
a. Konsultasi pada dokter spesialis penyakit dalam bila pasien
merupakan obesitas dengan risiko tinggi dan risiko absolut
b. Jika sudah dipercaya melakukan modifikasi gaya hidup
(diet yang telah diperbaiki, aktifitas fisik yang
meningkat dan perubahan perilaku) selama 3 bulan, dan tidak
memberikan respon terhadap penurunan berat badan, maka
pasien dirujuk ke spesialis penyakit dalam untuk
memperoleh obat-obatan penurun berat badan
148. Tirotoksikosis
Pasien dirujuk untuk penegakan diagnosis dengan
pemeriksaan laboratorium ke layanan sekunder.
149. Diabetes Mellitus Tipe 2
Untuk penanganan tindak lanjut pada kondisi berikut:
1. DM tipe 2 dengan komplikasi
2. DM tipe 2 dengan kontrol gula buruk
3. DM tipe 2 dengan infeksi berat
151. Hipoglikemia
a. Pasien hipoglikemia dengan penurunan kesadaran harus
dirujuk ke layanan nsekunder (spesialis penyakit dalam)
setelah diberikan dekstrose 40% bolus dan infus dekstrose
10% dengan tetesan 6 jam per kolf.
b. Bila hipoglikemi tidak teratasi setelah 2 jam tahap pertama
protokol penanganan
153. Dislipidemia
1. Terdapat penyakit komorbid yang harus ditangani oleh
spesialis.
2. Terdapat salah satu dari faktor risiko PJK
157. Fimosis
Bila terdapat komplikasi dan penyulit untuk tindakan
sirkumsisi maka dirujuk ke layanan sekunder
158. Parafimosis 4A
Bila terjadi tanda-tanda nekrotik segera rujuk ke layanan
sekunder.
163. Eklampsia
Eklampsia merupakan indikasi rujukan yang wajib di lakukan.
164. Abortus
Abortus Insipiens, Abortus Inkomplit, perdarahan yang
banyak, nyeri perut, ada pembukaan serviks, demam, darah
cairan berbau dan kotor
169. Mastitis
Jika terjadi komplikasi abses mammae dan sepsis.
173. Sifilis
Semua stadium dan klasifikasi sifilis harus dirujuk ke
fasilitas pelayanan kesehatan yang memiliki dokter spesialis
kulit dan kelamin.
174. Gonore
a. Apabila tidak dapat melakukan tes laboratorium.
b. Apabila pengobatan di atas tidak menunjukkan perbaikan
dalam jangka waktu 2 minggu, penderita dirujuk ke
dokter spesialis karena kemungkinan terdapat
resistensi obat.
175. Vaginitis
176. Vulvitis
Pasien dirujuk ke dokter spesialis kulit dan kelamin
jika pemberian salep kortison tidak memberikan respon.