PENDAHULUAN
1
diantara pasien TB diperkirakan sebesar 6,2%. Jumlah kasus MDR-TB
diperkirakan sebanyak 6700 kasus yang berasal dari 1,9% kasus MDR-TB dari
kasus baru TB dan ada 12% kasus MDR-TB dari TB dengan pengobatan ulang 1,2.
Penyakit TB biasanya menular melalui udara (airborne spreading) yang
tercemar dengan bakteri Mycobacterium tuberculosa yang dilepaskan saat
penderita TB batuk. Pasien dengan hasil BTA positif memiliki kemungkinan yang
lebih besar untuk menularkan TB saat batuk, bersin, atau bahkan saat berbicara
karena adanya pengeluaran droplet infeksi. Meskipun demikian, ada yang
dinamakan infeksi TB laten yaitu jika dalam tubuh seseorang terdapat bakteri
namun tidak aktif. Pada kondisi TB laten, tidak akan terjadi penularan. Hal-hal
yang memengaruhi kondisi infeksi tersebut adalah daya tahan tubuh penderita 3
Penularan penyakit ini melalui inhalasi droplet khususnya yang didapat
dari pasien TB paru dengan batuk berdarah atau berdahak yang mengandung BTA
positif. Pada waktu batuk atau bersin, penderita menyebarkan kuman ke udara
dalam bentuk droplet (percikan Dahak). Orang dapat terinfeksi kalau droplet
tersebut terhirup kedalam saluran pernapasan. Dalam 1 tahun, 1 penderita TB
BTA positif menularkan 10-15 orang. Selama kuman TB masuk kedalam tubuh
manusia melalui pernapasan, kuman TB tersebut dapat menyebar dari paru
kebagian tubuh lainnya, melalui sistem peredaran darah, sistem saluran limfe,
salura napas,atau penyebaran langsung kebagian-bagian tubuh lainnya.4,5
Berdasarkan data dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) angka Notifikasi
Kasus (Case Notification Rate/CNR) cenderung menurun dalam empat tahun
terakhir. Pada tahun 2012 terdapat 138 per 100.000 penduduk sedangkan tahun
2015 terdapat 129 per 100.000 penduduk. Angka notifikasi kasus TB wilayah
Sumatera Selatan sebesar 115 per 100.000 penduduk. 6 Data dari Profil Kesehatan
Kota Palembang tahun 2015 menunjukkan CNR kasus TB BTA+ sebesar 214 per
100.000 sedangkan CNR seluruh kasus TB sebesar 566 per 100.000 penduduk.7
Hanya sekitar 10% yang terinfeksi TB akan menjadi sakit TB. Dengan Annual
Risk of Tuberculosis Infection (ARTI) 1%, diperkirakan diantara 100.000 penduduk rata-
rata terjadi 1000 terinfeksi TB dan 10% diantaranya (100 orang) akan menjadi sakit TB
setiap tahun. Menurut WHO ARTI Indonesia setiap tahunnya adalah 1-3%. 8
Penanganan TB menjadi salah satu pokok permasalahan yang sering
dihadapi pada pelayanan fasilitas kesehatan di tingkat primer contohnya pada
puskesmas. Akan tetapi, dalam menunjang penanganan pelayanan TB perlu
2
dilakukan pendataan yang cukup akurat sehingga target dapat dicapai.
Berdasarkan alasan tersebut, Studi kasus ini bertujuan untuk mengetahui besarnya
angka kejadian suspek TB baru paru pada anggota keluarga dengan riwayat
kontak serumah dengan pasien TB paru dewasa yang terbukti secara bakteriologis
terdapat kuman TB (BTA +) di wilayah kerja Puskesmas Kampus.
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Menemukan kasus suspek TB paru baru pada anggota keluarga dengan riwayat
kontak serumah dengan pasien TB (BTA +) di wilayah kerja Puskesmas Kampus
Palembang pada periode 1 januari 2016 April 2017.
1.4.2 Puskesmas
Sebagai masukan dan pertimbangan dalam merencanakan program
pencegahan penyakit TB paru di wilayah kerja Puskesmas Kampus di
masa yang akan dating sehingga target yang diharapkan dapat tercapai.
3
1.4.3 Masyarakat
Dapat meningkatkan pengetahuan masyarakat mengenai penyakit TB paru
dan bagaimana cara pencegahan penyakit TB paru.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Tuberkulosis
2.1.1 Definisi
Tuberkulosis paru adalah suatu penyakit yang menyerang jaringan
paru disebabkan infeksi basil Mycobacterium tuberculosis (M.
tuberculosis). Tuberkulosis paru mencakup 80% dari keseluruhan kejadian
penyakit tuberkulosis, sedangkan 20% selebihnya merupakan tuberkulosis
ekstrapulmonar. Penyakit ini dapat juga menyebar ke bagian tubuh lain
seperti meningen, ginjal, tulang, dan nodus limfe.4,8,.
2.1.2 Etiologi
Kuman Mycobacterium tuberculosis mempunyai sifat khusus yaitu
tahan terhadap asam pada pewarnaan, oleh karena itu disebut basil tahan
4
asam (BTA). Kuman ini merupakan kuman aerob, berbentuk batang, kuman
tersebut cepat mati dengan sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan
hidup beberapa jam di tempat gelap dan lembab. Dalam jaringan tubuh
kuman ini dapat tidur lama selama beberapa tahun (dormant).9,10
5
melalui aliran darah atau getah bening dapat terjadi sebelum
penyembuhan lesi.
3. Faktor Risiko
Faktor risiko untuk menjadi sakit TB adalah tergantung dari:
- Konsentrasi atau jumlah kuman yang terhirup
- Lamanya waktu sejak terinfeksi
- Usia seseorang yang terinfeksi, semakin muda usia seseorang
maka akan makin mudah terinfeksi TB akibat dari system
imunitas yang belum matang
- Tingkat daya tahan tubuh seseorang. Seseorang dengan daya
tahan tubuh yang rendah diantaranya infeksi HIV AIDS dan
malnutrisi (gizi buruk) akan memudahkan berkembangnya TB
Aktif (sakit TB).
- Infeksi HIV. Pada seseorang yang terinfeksi TB, 10%
diantaranya akan menjadi sakit TB. Namun pada seorang
dengan HIV positif akan meningkatkan kejadian TB. Orang
dengan HIV berisiko 20-37 kali untuk sakit TB dibandingkan
dengan orang yang tidak terinfeksi HIV, dengan demikian
penularan TB di masyarakat akan meningkat pula.
4. Meninggal dunia
Faktor risiko kematian karena TB:
- Akibat dari keterlambatan diagnosis
- Pengobatan tidak adekuat.
- Adanya kondisi kesehatan awal yang buruk atau penyakit
penyerta
- Pada pasien TB tanpa pengobatan, 50% diantaranya akan
meninggal dan risiko ini meningkat pada pasien dengan HIV
positif. Begitu pula pada ODHA, 25% kematian disebabkan
oleh TB.
6
1-5 mikron yang dapat melewati atau menembus sistem mukosilier saluran
napas sehingga dapat mencapai dan bersarang di bronkiolus dan alveolus.
Basil tuberkulosis berkembang biak dalam alveolus dan menyebar melalui
saluran limfe dan aliran darah tanpa perlawanan yang berarti dari pejamu
karena belum ada kekebalan awal. Makrofag di dalam alveolus akan
memfagositosis sebagian basil tuberkulosis tersebut tetapi belum mampu
membunuhnya sebagian basil TB dalam makrofag umumnya dapat tetap
hidup dan berkembang biak. Basil TB dapat menyebar melalui saluran limfe
regional, sedangkan penyebaran melalui aliran darah akan mencapai
berbagai organ tubuh. Salah satunya yang paling sering yaitu meningen,
ginjal, dan tulang.Hipersensitivitas terhadap beberapa komponen basil TB
dapat dilihat pada uji kulit dengan tuberkulin yang biasanya terjadi 2-10
minggu setelah infeksi. Pada individu normal respons imunologik terhadap
infeksi tuberkulosis cukup memberi perlindungan terhadap infeksi tambahan
berikutnya. Risiko terjadinya reinfeksi tergantung pada intensitas
terpaparnya dan sistem imun individu yang bersangkutan (host=pejamu).
Masa inkubasi TB berlangsung dalam waktu 4-8 minggu dengan jangka
waktu antara 2-12 minggu. Dalam masa inkubasi tersebut, kuman tumbuh
hingga mencapai 103-104 yakni jumlah yang cukup untuk merangsang
respon imunitas seluler. Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya
imunitas seluler, dapat terjadi penyebaran limfogen dan hematogen. Pada
penyebaran limfogen, kuman menyebar ke kelenjar limfe regional
membentuk kompleks primer. Sedangkan penyebaran hematogen, kuman
TB masuk ke dalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh tubuh. Adanya
penyebaran hematogen inilah yang menyebabkan TB disebut sebagai
penyakit sistemik.
7
Gambar 1. Faktor Risiko TB13
Hanya sekitar 10% yang terinfeksi TB akan menjadi sakit TB. Dengan
Annual Risk of Tuberculosis Infection (ARTI) 1%, diperkirakan diantara
100.000 penduduk rata-rata terjadi 1000 terinfeksi TB dan 10% diantaranya
(100 orang) akan menjadi sakit TB setiap tahun. Sekitar 50 diantaranya
adalah pasien TB BTA positif. Adapun beberapa faktor risiko yang dianggap
berperan dalam mencetuskan TB adalah;
a. Jenis kelamin
Menurut hasil survei prevalensi TB, Laki-laki lebih banyak terkena
TB dari pada wanita.
b. Usia
Kelompok paling rentan tertular TB adalah kelompok usia dewasa
muda yang juga merupakan kelompok usia produktif.
c. Kondisi sosial ekonomi.
TB umumnya banyak menyerang kelompok sosial ekonomi lemah.
d. Daya tahan tubuh
Kuman tuberkulosis paru akan mudah menyebabkan penyakit
tuberkulosis paru jika orang yang terinfeksi memiliiki sistem kekebalan
tubuh yang lemah.
e. Status gizi
Kualitas dan kuantitas gizi yang masuk dalam tubuh akan
berpengaruh pada daya tahan tubuh sehingga tubuh akan tahan terhadap
infeksi kuman tuberkulosis paru. Keadaan gizi buruk maka akan
8
mengurangi daya tahan tubuh terhadap penyakit ini yang menyebabkan
rentan terjadinya infeksi tuberkulosis.
f. Penyakit infeksi HIV
Infeksi HIV mengakibatkan kerusakan luas sitem daya tahan tubuh
seluler (cellular immunity) sehingga jika terjadi infeksi oportunistik seperti
tuberkulosis, maka yang bersangkutan akan menjadi sakit parah bahkan
mengakibatkan kematian. Bila jumlah orang terinfeksi HIV meningkat,
maka jumlah penderita tuberkulosis paru akan meningkat, dengan
demikian penularan tuberkulosis paru di masyarakat akan meningkat pula.
g. Lingkungan14
Faktor lingkungan memegang peranan penting dalam penularan,
terutama lingkungan rumah yang tidak memenuhi syarat. Lingkungan
rumah merupakan salah satu faktor yang memberikan pengaruh besar
terhadap status kesehatan penghuninya. Adapun syarat-syarat yang
dipenuhi oleh rumah sehat secara fisiologis yang berpengaruh terhadap
kejadian tuberkulosis paru antara lain:
- Kepadatan Penghuni Rumah
Semakin padat penghuni rumah akan semakin cepat pula udara
di dalam rumah tersebut mengalami pencemaran. Karena jumlah
penghuni yang semakin banyak akan berpengaruh terhadap kadar
oksigen dalam ruangan tersebut, begitu juga kadar uap air dan suhu
udaranya. Dengan meningkatnya kadar CO2 di udara dalam rumah,
maka akan member kesempatan tumbuh dan berkembang biak lebih
bagi Mycobacterium tuberculosis. Dengan demikian akan semakin
banyak kuman yang terhisap oleh penghuni rumah melalui saluran
pernafasan. Menurut dinas kesehatan, kepadatan di perkotaan sebesar 6
m2 orang dan di pedesaan sebesar 10 m2.
- Kelembaban Rumah
Kelembaban udara dalam rumah minimal 40% 70 % dan
suhu ruangan yang ideal antara 180C 300C.22) Bila kondisi suhu
ruangan tidak optimal, misalnya terlalu panas akan berdampak pada
cepat lelahnya saat bekerja dan tidak cocoknya untuk istirahat.
Sebaliknya, bila kondisinya terlalu dingin akan tidak menyenangkan
dan pada orangorang tertentu dapat menimbulkan alergi. Hal ini perlu
9
diperhatikan karena kelembaban dalam rumah akan mempermudah
berkembangbiaknya mikroorganisme antara lain bakteri spiroket,
ricketsia dan virus.
- Ventilasi
Jendela dan lubang ventilasi selain sebagai tempat keluar
masuknya udara juga sebagai lubang pencahayaan dari luar, menjaga
aliran udara di dalam rumah tersebut tetap segar. Menurut indikator
pengawasan rumah , luas ventilasi yang memenuhi syarat kesehatan
adalah 10% luas lantai rumah dan luas ventilasi yang tidak
memenuhi syarat kesehatan adalah < 10% luas lantai rumah. Luas
ventilasi rumah yang <10% dari luas lantai (tidak memenuhi syarat
kesehatan) akan mengakibatkan berkurangnya konsentrasi oksien dan
bertambahnya konsentrasi karbondioksida yang bersifat racun bagi
penghuninya. Di samping itu tidak cukupnya ventilasi akan
menyebabkan peningkatan kelembaban ruangan karena terjadinya
proses penguapan cairan dai kulit dan penyerapan. Kelembaban
ruangan yan tinggi akam menjadi media yang baik untuk tumbuh dan
berkembangbiaknya bakteri-bakteri patogen termasuk kuman
tuberkulosis. Tidak adanya ventilasi yang baik pada suatu ruangan
makin membahayakan kesehatan atau kehidupan, jika dalam ruangan
tersebut terjadi pencemaran oleh bakteri seperti oleh penderita
tuberkulosis atau berbagai zat kimia organik atau anorganik.
Ventilasi berfungsi juga untuk membebaskan uadar ruangan
dari bakteribakteri, terutama bakteri patogen seperti tuberkulosis,
karena di situ selalu terjadi aliran udara yang terus menerus. Bakteri
yang terbawa oleh udara akan selalu mengalir. Selain itu, luas ventilasi
yang tidak memenuhi syarat kesehatan akan mengakibatkan
terhalangnya proses pertukaran udara dan sinar matahari yang masuk
ke dalam rumah, akibatnya kuman tuberkulosis yang ada di dalam
rumah tidak dapat keluar dan ikut terhisap bersama udara pernafasan.
a. Pencahayaan Sinar Matahari
Cahaya matahari selain berguna untuk menerangi ruang juga
mempunyai daya untuk membunuh bakteri. Hal ini telah dibuktikan
10
oleh Robert Koch (1843-1910). Sinar matahari dapat dimanfaatkan
untuk pencegahan penyakit tuberkulosis paru, dengan mengusahakan
masuknya sinar matahari pagi ke dalam rumah. Cahaya matahari
masuk ke dalam rumah melalui jendela atau genteng kaca. Diutamakan
sinar matahari pagi mengandung sinar ultraviolet yang dapat
mematikan kuman.
Kuman tuberkulosis dapat bertahan hidup bertahun-tahun
lamanya, dan mati bila terkena sinar matahari, sabun, lisol, karbol dan
panas api. Rumah yang tidak masuk sinar matahari mempunyai resiko
menderita tuberkulosis 3-7 kali dibandingkan dengan rumah yang
dimasuki sinar matahari.
b. Lantai rumah
Komponen yang harus dipenuhi rumah sehat memiliki lantai
kedap air dan tidak lembab. Jenis lantai tanah memiliki peran terhadap
proses kejadian Tuberkulosis paru, melalui kelembaban dalam
ruangan. Lantai tanah cenderung menimbulkan kelembaban, pada
musim panas lantai menjadi kering sehingga dapat menimbulkan debu
yang berbahaya bagi penghuninya.
c. Dinding
Dinding berfungsi sebagai pelindung, baik dari gangguan hujan
maupun angin serta melindungi dari pengaruh panas dan debu dari luar
serta menjaga kerahasiaan (privacy) penghuninya. Beberapa bahan
pembuat dinding adalah dari kayu, bambu, pasangan batu bata atau
batu dan sebagainya. Tetapi dari beberapa bahan tersebut yang paling
baik adalah pasangan batu bata atau tembok (permanen) yang tidak
mudah terbakar dan kedap air sehingga mudah dibersihkan.
11
1. TB paru
2. TB ekstra paru
c. Berdasarkan tipe pasien
1. Kasus baru, bila pasien belum pernah mendapat pengobatan dengan
OAT atau sudah pernah menelan obat kurang dari satu bulan.
2. Kasus relaps (kambuh), bila pasien sebelumnya pernah mendapat
pengobatan TB dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap,
kemudian kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan sputum BTA
(+).
3. Kasus defaulted atau drop out , bila pasien telah menjalani pengobatan
1 bulan dan tidak mengambil obat 2 bulan berturut-turut atau lebih
sebelum masa pengobatan selesai.
4. Kasus gagal, bila pasien BTA positif yang masif tetap positif atau
kembali positif pada akhir bulan ke 5 atau akhir pengobatan.
5. Kasus kronik, bila pasien dengan hasil pemeriksaan BTA masih positif
setelah selesai pengobatan ulang dengan pengobatan kategori 2 dengan
pengawasan yang baik.
6. Kasus bekas TB, bila hasil pemeriksaan BTA negatif dan gambaran
radiologi paru menunjukkan lesi TB yang tidak aktif.
2.1.8 Diagnosis TB
Diagnosis TB ditetapkan berdasarkan keluhan, hasil anamnesis,
pemeriksaan klinis, pemeriksaan labotarorium dan pemeriksaan penunjang
lainnya.
1. Keluhan dan hasil anamnesis meliputi:
Keluhan yang disampaikan pasien, serta wawancara rinci berdasar keluhan
12
HIV positif, batuk sering kali bukan merupakan gejala TB yang khas,
sehingga gejala batuk tidak harus selalu selama 2 minggu atau lebih.
2. Pemeriksaan Laboratorium
a. Pemeriksaan Bakteriologi
1) Pemeriksaan dahak mikroskopis langsung
Pemeriksaan dahak selain berfungsi untuk menegakkan
diagnosis, juga untuk menentukan potensi penularan dan menilai
keberhasilan pengobatan. Pemeriksaan dahak untuk penegakan
diagnosis dilakukan dengan mengumpulkan 2 contoh uji dahak
yang dikumpulkan berupa dahak Sewaktu-Pagi (SP):
- S (Sewaktu): dahak ditampung di fasyankes.
13
Indicator Tube) untuk identifikasi Mycobacterium tuberkulosis
(M.tb). Pemeriksaan tersebut diatas dilakukan disarana
laboratorium yang terpantau mutunya. Dalam menjamin hasil
pemeriksaan laboratorium, diperlukan contoh uji dahak yang
berkualitas. Pada faskes yang tidak memiliki akses langsung
terhadap pemeriksaan TCM, biakan, dan uji kepekaan, diperlukan
sistem transportasi contoh uji. Hal ini bertujuan untuk menjangkau
pasien yang membutuhkan akses terhadap pemeriksaan tersebut
serta mengurangi risiko penularan jika pasien bepergian langsung
ke laboratorium.
Pemeriksaan Penunjang Lainnya seperti foto toraks dan
Pemeriksaan histopatologi pada kasus yang dicurigai TB
ekstraparu.
b. Pemeriksaan uji kepekaan obat
Uji kepekaan obat bertujuan untuk menentukan ada tidaknya
resistensi M.tb terhadap OAT (MDR-TB). Uji kepekaan obat tersebut
harus dilakukan di laboratorium yang telah lulus uji pemantapan
mutu/Quality Assurance (QA), dan mendapatkan sertifikat nasional
maupun internasional.
c. Pemeriksaan serologis
Sampai saat ini belum direkomendasikan.
14
pada TB paru, sehingga dapat menyebabkan terjadi overdiagnosis ataupun
underdiagnosis.
15
7) Pengobatan standar TB MDR segera diberikan kepada semua pasien TB
RR, tanpa menunggu hasil pemeriksaan uji kepekaan OAT lini 1 dan lini 2
keluar. Jika hasil resistensi menunjukkan MDR, lanjutkan pengobatan TB
MDR. Bila ada tambahan resistensi terhadap OAT lainnya, pengobatan
harus disesuaikan dengan hasil uji kepekaan OAT.
10) Pasien dengan hasil TCM M.tb negatif, lakukan pemeriksaan foto
toraks. Jika gambaran foto toraks mendukung TB dan atas pertimbangan
dokter, pasien dapat didiagnosis sebagai pasien TB terkonfirmasi klinis.
Jika gambaran foto toraks tidak mendukung TB kemungkinan bukan TB,
dicari kemungkinan penyebab lain.
3) BTA (+) adalah jika salah satu atau kedua contoh uji dahak
menunjukkan hasil pemeriksaan BTA positif. Pasien yang menunjukkan
hasil BTA (+) pada pemeriksaan dahak pertama, pasien dapat segera
ditegakkan sebagai pasien dengan BTA (+)
4) BTA (-) adalah jika kedua contoh uji dahak menunjukkan hasil BTA
negatif. Apabila pemeriksaan secara mikroskopis hasilnya negatif, maka
penegakan diagnosis TB dapat dilakukan secara klinis menggunakan hasil
pemeriksaan klinis dan penunjang (setidak-tidaknya pemeriksaan foto
toraks) yang sesuai dan ditetapkan oleh dokter.
16
terapi antibiotika spektrum luas (Non OAT dan Non kuinolon) terlebih
dahulu selama 1-2 minggu. Jika tidak ada perbaikan klinis setelah
pemberian antibiotik, pasien perlu dikaji faktor risiko TB.
17
pada TB pleura (Pleuritis), pembesaran kelenjar limfe superfisialis pada
limfadenitis TB serta deformitas tulang belakang (gibbus) pada spondilitis
TB dan lain-lainnya. Diagnosis pasti pada pasien TB ekstra paru
ditegakkan dengan pemeriksaan klinis, bakteriologis dan atau
histopatologis dari contoh uji yang diambil dari organ tubuh yang terkena.
Pemeriksaan mikroskopis dahak wajib dilakukan untuk memastikan
kemungkinan TB Paru. Pemeriksaan TCM pada beberapa kasus curiga TB
ekstraparu dilakukan dengan contoh uji cairan serebrospinal (Cerebro
Spinal Fluid/CSF) pada kecurigaan TB meningitis, contoh uji kelenjar
getah bening melalui pemeriksaan Biopsi Aspirasi Jarum Halus/BAJAH
(Fine Neddle Aspirate Biopsy/FNAB) pada pasien dengan kecurigaan TB
kelenjar, dan contoh uji jaringan pada pasien dengan kecurigaan TB
jaringan lainnya.
18
e) Pasien TB pengobatan kategori 1 yang tidak konversi setelah 2
bulan pengobatan.
f) Pasien TB kasus kambuh (relaps), dengan pengobatan OAT
kategori 1 dan kategori 2.
19
2.1.11 Diagnosis TB pada Anak11
Pada anak-anak batuk bukan merupakan gejala utama. Pengambilan
dahak pada anak-anak biasanya sulit, maka diagnosis TB anak perlu kriteria
lain dengan menggunakan sistem skor. Ikatan Dokter Anak Indonesia
(IDAI) telah membuat Pedoman Nasional Tuberkulosis anak dengan
menggunakan sistem scoring system (skor), yaitu pembobotan terhadap
gejala dan tanda klinis yang dijumpai. Pedoman tersebut secara resmi
digunakan oleh program nasional pengendalian TB untuk diagnosis TB
anak. Berikut adalah sistem skoring TB pada anak:
20
dokter, pelimpahan wewenang terbatas dapat diberikan kepada petugas
kesehatan lainnya. Namun demikian, seharusnya hanya kepada petugas
yang sudah dilatih tentang strategi DOTS, untuk menegakkan diagnosis
dan tatalaksana TB anak. Dalam sistem skoring ini, anak didiagnosis TB
jika jumlah skor 6, dengan skor maksimal 13.
Anak dengan skor 6 yang diperoleh dari poin kontak dengan pasien
BTA positif dan hasil uji tuberkulin positif, tetapi TANPA gejala klinis,
maka pada anak tersebut belum perlu diberikan OAT. Anak tersebut cukup
dilakukan observasi atau diberi INH profilaksis, tergantung dari umur
anak.
Pasien usia balita yang mendapat skor 5, dengan gejala klinis yang
meragukan, maka pasien tersebut dirujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan
rujukan, untuk evaluasi lebih lanjut . Anak dengan skor 5 yang terdiri dari
poin kontak BTA positif dan 2 gejala klinis lain, pada fasilitas pelayanan
kesehatan yang tidak tersedia uji tuberkulin, maka dapat didiagnosis,
diterapi ,dan dipantau sebagai TB anak. Pemantauan dilakukan selama 2
bulan terapi awal, dan apabila terdapat perbaikan klinis, maka terapi OAT
dilanjutkan sampai selesai 6 bulan. Semua bayi dengan reaksi cepat (<2
minggu) setelah pemberian imunisasi BCG, seharusnya dicurigai telah
terinfeksi TB, dan harus dievaluasi dengan sistem skoring TB anak.
21
Gambar 3. Alur Diagnosis TB anak menurut Pedoman Penanggulangan TB tahun 2016
22
dasarnya pencegahan dan pengobatan TB paru dilakukan dengan cara
memberikan obat anti TB yang baik dan cukup diikuti dengan kepatuhan
dalam mengonsumsi obat secara teratur. Terapi OAT yang diberikan terdiri
dari antibiotik dan anti infeksi sintetis.Mekanisme kerja obat ini adalah
membunuh bakteri, mensterilisasi dan mencegah terjadinya resistensi.Oleh
karena itu, kepatuhan pasien dalam mengonsumsi obat menjadi hal yang
membutuhkan pengawasan tingkat tinggi. Obat Anti Tuberkulosis (OAT)
adalah komponen terpenting dalam pengobatan TB. Pengobatan TB
merupakan salah satu upaya paling efisien untuk mencegah penyebaran
lebih lanjut kuman TB. Pengobatan yang adekuat harus memenuhi prinsip:
Pengobatan diberikan dalam bentuk paduan OAT yang tepat mengandung
minimal 4 macam obat untuk mencegah terjadinya resistensi.
Ditelan secara teratur dan diawasi secara langsung oleh PMO (Pengawas
Menelan Obat) sampai selesai pengobatan.
23
Terapi OAT lini pertama yang umum dipakai adalah isoniazid,
pyrazinamid, ethambutol, rifampisin, dan streptomisin. Untuk lini kedua
OAT adalah golongan florokuionolon (Levofloxacin, Moksifloxacin,
Gatifloxacin), OAT suntik lini ke (Kanamisin, Amikasin, Kapreomisin),
OAT oral lini ke-2 (Etionamid, sikloserin, Clofazimin, Linezolid), D1, D2
(Bedaquiline,Delamanid,Pretonamid),dan D3(Asam paraaminosalisilat,
imipenem-silastatin, meropenem, amoksilin klavulanat, dan thioasetazon.
Paduan OAT yang digunakan di Indonesia adalah sebagai berikut;
Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3 atau 2(HRZE)/4(HR).
Paket Kombipak adalah paket obat lepas yang terdiri dari Isoniasid
(H), Rifampisin (R), Pirazinamid (Z) dan Etambutol (E) yang dikemas
dalam bentuk blister. Paduan OAT ini disediakan program untuk pasien
yang tidak bisa menggunakan paduan OAT KDT.
24
Paduan OAT kategori anak disediakan dalam bentuk paket obat
kombinasi dosis tetap (OAT-KDT). Tablet OAT KDT ini terdiri dari
kombinasi 3 jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan
berat badan pasien. Paduan ini dikemas dalam satu paket untuk satu pasien
untuksatu (1) masa pengobatan.
Paduan OAT disediakan dalam bentuk paket, dengan tujuan untuk
memudahkan pemberian obat dan menjamin kelangsungan (kontinuitas)
pengobatan sampai selesai. Satu (1) paket untuk satu (1) pasien untuk satu
(1) masa pengobatan.
Obat Anti Tuberkulosis dalam bentuk paket KDT mempunyai
beberapa keuntungan dalam pengobatan TB, yaitu:
Mencegah penggunaan obat tunggal sehinga menurunkan
risiko terjadinya resistensi obat ganda dan mengurangi
kesalahan penulisan resep.
Pengobatan Kategori-1:
25
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru:
- Pasien TB paru terkonfirmasi bakteriologis.
- Pasien TB paru terdiagnosis klinis.
- Pasien TB ekstra paru
b) Dosis harian fase awal dan dosis intermiten fase lanjutan (2(HRZE)/4(HR)3)
Tabel 4. Dosis Paduan OAT KDT Kategori 1 (2(HRZE)/4(HR)3)
Berat Badan Tahap Intensif Tahap Lanjutan
Setiap hari 3 kali seminggu
RHZE(150/75/400/275) RH (150/150)
Tahap Lama selama 56Dosis
hari per hari / kali selama 16 minggu Jumlah
Pengobatan Pengobatan hari/kali
menelan
30 37 kg 2 tablet 4KDT 2 tablet 2KDT obat
Tablet Kaplet Tablet Tablet
Isoniasid Rifampisin Pirazinamid Etambutol
38 54 kg @300
3 tablet 4KDT @450 mgr @3 tablet
500 mgr2KDT @ 250
mgr mgr
55 70 kg 4 tablet 4KDT 4 tablet 2KDT
Intensif 2 bulan 1 1 3 3 56
71 kg 5 tablet 4KDT 5 tablet 2 KDT
Lanjutan 4 bulan 2 1 - - 48
Pengobatan Kategori -2
- Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang pernah
diobati sebelumnya (pengobatan ulang) yaitu:
- Pasien kambuh.
- Pasien gagal pada pengobatan dengan paduan OAT kategori 1
sebelumnya.
- Pasien yang diobati kembali setelah putus berobat (lost to follow-
up).
26
a) Dosis harian {2(HRZE)S/(HRZE)/5(HRE)}
b) Dosis harian fase awal dan dosis intermiten fase lanjutan {2(HRZE)S/
(HRZE)/5(HR)3E3)}
27
Tahap Lama Tablet Kaplet Tablet Etambutol Streptom Jumlah
Pengobata Pengobata Isoniasi Rifampisi Pirazinami isin hari/kal
n n d @300 n @450 d @ 500 injeksi i
mgr mgr mgr Tablet Tablet menela
@250 @400 n obat
mgr mgr
1 bulan 1 1 3 3 - - 28
Tahap 2 1 - 1 2 - 60
Lanjutan
(dosis 3x 5 bulan
semiggu)
2.1.11 Pencegahan1
Salah satu upaya pencegahan mencegah kesakitan atau sakit yang berat
adalah dengan memberikan kekebalan berupa vaksinasi dan pengobatan
pencegahan (profilaksis).
- Pemberian Kekebalan (Imunisasi) BCG
Vaksin BCG (Bacille Calmette-Gurin) adalah vaksin hidup
yang dilemahkan yang berasal dari Mycobacterium bovis.
Pemberian vaksinasi BCG berdasarkan Program Pengembangan
Imunisasi diberikan pada bayi 0-2 bulan. Pemberian vaksin BCG
pada bayi > 2 bulan harus didahului dengan uji tuberkulin.
Petunjuk pemberian vaksinasi BCG mengacu pada Pedoman
Program Pemberian Imunisasi Kemenkes. Secara umum
perlindungan vaksin BCG efektif untuk mencegah terjadinya TB
berat seperti TB milier dan TB meningitis yang sering didapatkan
pada usia muda. Vaksinasi BCG ulang tidak direkomendasikan
karena tidak terbukti memberi perlindungan tambahan.
Perhatian khusus pada pemberian vaksinasi BCG yaitu :
1. Bayi terlahir dari ibupasien TB BTA positif
2. Bayi terlahir dari ibu pasien infeksi HIV/AIDS
28
3. Limfadenitis BCG
- Pengobatan Pencegahan dengan INH
Sebagai salah satu upaya pencegahan TB aktif pada ODHA,
pemberian pengobatan pencegahan dengan Isoniazid (PP INH)
dapat diberikan pada ODHA yang tidak terbukti TB aktif dan tidak
ada kontraindikasi terhadap INH. Dosis INH yang diberikan adalah
300 mg per hari dengan dosis maksimal 600 mg per hari, ditambah
Vitamin B6 25 mg per hari selama 6 bulan. Pemberian Pengobatan
Pencegahan dengan Isoniazid (PP INH) pada anak PP INH
diberikan kepada anak umur dibawah lima tahun (balita) yang
mempunyai kontak dengan pasien TB tetapi tidak terbukti sakit
TB.
- Dosis INH adalah 10 mg/kg BB/hari (maksimal 300 mg/hari).
- Obat dikonsumsi satu kali sehari, sebaiknya pada waktu yang sama
(pagi, siang, sore atau malam) saat perut kosong (1 jam sebelum
makan atau 2 jam setelah makan).
- Pada pasien dengan gizi buruk atau infeksi HIV, diberikan Vitamin
B6 10 mg untuk dosis INH 200 mg/hari, dan 2x10 mg untuk dosis
INH >200 mg/hari
29
BAB III
PROFIL PUSKESMAS KAMPUS PALEMBANG
30
Batas wilayah kerja Puskesmas Kampus ;
Sebelah Utara berbatasan dengan Kelurahan Demang Lebar Daun
Sebelah Selatan berbatasan dengan Kelurahan Bukit Lama
Sebelah Barat berbatasan dengan Kelurahan Demang Lebar daun
Sebelah Timur berbatasan dengan Kelurahan 26 Ilir DI
Wilayah kerja Puskesmas Kampus meliputi 1 kelurahan yaitu Kelurahan
Lorok Pakjo dengan luas wilayah kerjanya 227 Ha. Terbagi lagi menjadi 15 RW
dan 62 RT. Pada Tahun 2016 jumlah penduduk wilayah kerja Puskesmas Kampus
mencapai 30.652 jiwa.
31
kaki maupun menggunakan kendaraan bermotor karena Puskesmas Kampus tidak
dilewati kendaraan umum.
Adapun Pimpinan Puskesmas Kampus yang pernah bertugas di Puskesmas
Kampus sebagai berikut :
1. dr. Ratna
2. dr. Eddy Sarkati
3. dr. Jin Tetahilo
4. dr. Habibah
5. dr. Susilawati
6. dr. Desty Aryani 1998 Agustus 2002
7. dr. Indrayati Agustus 2002 Januari 2003
8. dr. Salilul Hulwan.M Januari 2003 Mei 2009
9. dr.Yulifa Mei 2009 Mei 2010
10. dr. Cindy Tiaranita Mei 2010 Oktober 2011
11.dr. Yuliarni, M.Kes Oktober 2011 Sekarang
32
Pusat Kesehatan Masyarakat), struktur organisasi Puskesmas Kampus Palembang
adalah sebagai berikut:
a. Unsur Pimpinan, yaitu Kepala Puskesmas
b. Unsur Pembantu Pimpinan yaitu Sub Bagian Tata Usaha
c. Unsur Pelaksana, yaitu Koordinator Program
d. Kelompok Jabatan Fungsional
Puskesmas Kampus baru ditetapkan menjadi Badan Layanan Umum
Daerah (BLUD) Penuh pada tahun 2014, dan belum dibentuk Dewan Pengawas.
Dewan Pengawas bisa dibentuk jika omzet penerimaan Puskesmas Kampus telah
mencapai 15 Milyar atau nilai aset telah mencapai 75 Milyar.
Puskesmas Kampus mendapatkan sertifikat iso 9001: 2008 dari NQA pada
tahun 2016.
2. Penduduk 30.652
Laki-laki 15.491
Perempuan 15.161
3. KK 6121
RT 62
RW 15
Rumah 5681
33
c. Swasta 1871
d. BUMN 1126
e. Tani -
f. Dagang 879
g. Pensiunan 1089
h. Warakawuri 590
i. Jasa (Buruh) 8317
j. Pelajar 691
k. Mahasiswa 8138
l. Wiraswasta 1567
m. Lain
7. Fasilitas Kesehatan
a. Rumah sakit 3
b. Rumah bersalin 1
c. Balai Pengobatan 2
d. Dokter umum praktek 4
e. Bidan Praktek 8
f. Apotik 5
g. Optik 9
h. Puskesmas Pembantu 2
i. Toko Obat 1
j. Pengobatan tradisional 5
k. Dokter gigi Praktek 3
8. Fasilitas Pendidikan
a. Pra Sekolah 888
b. SD/MI 2528
c. SMP/MT 1308
d. SMU/MA 2908
e. Pesantren -
f. Jumlah murid seluruh 7778
9. UKGMD
a. Posyandu 17
b. Posyandu aktif 17
c. Jumlah kader 88
d. Dukun bayi -
10. KESLING
a. Jumlah rumah 5681
b. Sumber air bersih 5681
* Sumur pompa tangan 0
* PDAM 5681
* Sumur gali 9
34
* Jamban keluarga 5681
* SPAL -
* TPS 0
c. Tempat-tempat umum
* Masjid 15
* Musholla 7
* Salon 5
* Pasar 0
*Kelenteng 7
*Pesantren 1
d. Tempat industri
* Pengelolahan tempe/tahu -
* Kerupuk 15
* Roti -
* Lain-lain 0
e. Tempat-tempat makan
* Restoran 29
* Warung nasi 9
* Warung kopi 0
35
kesehatan lainnya meliputi belanja barang, jasa, dan belanja modal, dan 2% untuk
biaya pembinaan. Dana tetap di rekening dan dikelola masing-masing Pusat
Kesehatan Masyarakat yang dalam perencanaan serta pelaksanaannya di fasilitasi
dan dikoordinasikan oleh Dinas Kesehatan Kota Palembang.
3.6. Politik
Dengan adanya pemekaran wilayah Kota Palembang melalui Peraturan
Pemerintah No.23 Tahun 1998 tanggal 6 Desember 1998 dan pemekaran
Kecamatan dalam kota Palembang melalui Peraturan Daerah No.23 tahun 2000
tanggal 5 Desember 2000, maka perkembangan pemukiman penduduk, sarana
umum, dan sarana sosial akan terjadi dimana-mana. Perkembangan tersebut
tentunya akan juga menambah luas jangkauan pelayanan kesehatan.
Aspek legal dan regulasi antara lain adalah Peraturan Pemerintah di bidang
kesehatan maupun diluar bidang tersebut yang mempunyai pengaruh terhadap
organisasi Puskesmas Kampus. Peraturan-peraturan tersebut akan berpengaruh
terhadap Puskesmas Kampus dalam mengembangkan segala kebijakan termasuk
pemasaran.
36
Puskesmas sering kali dikaitkan dengan bisnis yang mengikuti teknologi,
terutama teknologi kedokteran, sehingga mudah dimengerti adanya teknologi baru
yang lebih baik akan membuat manajemen mempertimbangkan menggunakannya
untuk kepentingan pelanggan Puskesmas Kampus.
37
Meliputi penyebarluasan informasi kepada masyarakat wilayah binaan
Puskesmas Kampus.
Kegiatan tersebut adalah
1) Penyuluhan langsung
2) Penyebaran leafletleaflet
3) Pemasangan spanduk
4) Screening siswa SD, SMP, dan SMU (17 Sekolah)
38
Pelayanan Kesehatan Pengembangan
Upaya kesehatan pengembangan Puskesmas Kampus dapat pula bersifat upaya
inovasi, yakni upaya lain diluar upaya Puskesmas Kampus tersebut diatas yang sesuai
dengan kebutuhan. Pengembangan dan pelaksanaan upaya inovatif ini adalah dalam
rangka mempercepat tercapainya visi Puskesmas Kampus. Penetapan upaya kesehatan
pengembangan pilihan Puskesmas Kampus ini dilakukan oleh Dinas Kesehatan Kota.
Upaya kesehatan pengembangan yang ada di Puskesmas Kampus yang telah ada yaitu
Upaya Kesehatan Sekolah/ UKGS, Upaya Kesehatan Olahraga, Upaya Perawatan
Kesehatan Masyarakat, Upaya Kesehatan Gigi dan Mulut, Upaya Kesehatan Jiwa,
Upaya Kesehatan Mata, Upaya Kesehatan Usia Lanjut dan Upaya Pembinaan
Pengobatan Tradisional.
39
Kespro
Masih ada kesenjangan
7 3,50% 4 5 4 13
antara K1 dan K4
Masih tingginya angka
8 20% 5 5 5 15
bumil resti
Masih tingginya
9 65% 5 5 5 15
kejadian DBD
Akan
Cakupan Tb
meningkatkan
paru belum Target Pasien TB Setiap
Puskesmas angka
mencapai kurang Paru saat
kesakitan TB
target
Paru
40
Berikut alternatif
pemecahan
masalah terpilih yang
ditetapkan
dalam upaya
41
pengendalian penyebaran dan menurunkan angka kasus baru tuberculosis di
Puskesmas Kampus Palembang
BAB IV
METODE PENELITIAN
42
4.1 Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian deskriptif yang dilakukan melalui
pengamatan langsung terhadap para anggota keluarga yang kontak serumah dengan
penderita TB paru BTA (+) di wilayah kerja Puskesmas Kampus Palembang.
4.3.1 Populasi
Populasi pada penelitian ini adalah semua anggota keluarga yang kontak serumah
dengan penderita TB paru BTA (+) di wilayah kerja Puskesmas Kampus Palembang.
4.3.2 Sampel
Sampel pada penelitian ini adalah semua anggota keluarga yang kontak serumah
dengan penderita TB paru BTA (+) dari tanggal 1 Januari 2016 - April 2017 di Puskesmas
Kampus Palembang.
Pemilihan sampel dilakukan dengan metode total sampling, yaitu semua anggota
keluarga yang kontak serumah dengan penderita TB paru dari tanggal 1 Januari 2016 -
April 2017 di Puskesmas Kampus Palembang dan memenuhi kriteria-kriteria yang telah
dipertimbangkan peneliti akan dijadikan sebagai subjek penelitian.
1. Kriteria Inklusi
a. Anggota keluarga penderita TB paru BTA (+) yang memiliki riwayat
kontak lama dengan penderita.
b. Anggota keluarga belum pernah menderita TB paru sebelumnya.
2. Kriteria Eksklusi
a. Pasien tidak bersedia diwawancarai dan dikunjungi rumahnya.
Variabel dalam penelitian ini adalah jumlah anggota keluarga yang menunjukkan
gejala TB paru akibat penularan dari penderita TB paru dan kondisi lingkungan hunian
43
sebagai faktor resiko penularan TB paru. Kondisi lingkungan hunian yang dinilai meliputi
kepadatan hunian, kondisi lantai rumah, kondisi dinding rumah, dan pencahayaan rumah.
2. Dinding Rumah
Definisi : Bagian pelindung sisi rumah, baik dari gangguan hujan dan
angin serta melindungi dari pengaruh panas dan debu luar
ruangan.
Cara Ukur : Observasi
Hasil Ukur : 0. Dinding permanen
1. Dinding tidak permanen atau semi permanen
Skala Ukur : Nominal
3. Lantai Rumah
Definisi : Tempat individu dalam rumah untuk berpijak dan melakukan
aktivitasnya.
Cara Ukur : Observasional
Hasil Ukur : 0. Semen atau keramik
1. Tanah atau kayu
Skala Ukur : Nominal
4. Pencahayaan Rumah
Definisi : Banyaknya cahaya matahari yang masuk dari luar.
Cara Ukur : Observasi
Hasil Ukur : 0. Pencahayaan cukup (melebihi pencahayaan 10 lilin)
1.Pencahayaan kurang (pencahayaan kurang dari 10 lilin)
Skala Ukur : Nominal
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer. Data diperoleh
melalui kunjungan rumah dan pengamatan langsung semua anggota keluarga yang kontak
serumah dengan penderita TB paru. Pengamatan dan wawancara dilakukan dengan
berpedoman pada panduan penegakan diagnosis TB paru untuk anggota keluarga yang
44
sudah dewasa dan sistem skoring untuk anggota keluarga yang berusia kurang dari 5
tahun. Anggota keluarga penderita TB yang menunjukkan gejala tertular TB paru akan
segera dirujuk ke Puskesmas Kampus Palembang untuk diperiksa secara lebih lanjut.
Data yang telah didapatkan akan diolah dan disajikan secara deskriptif untuk
melihat angka insidensi kasus baru TB paru BTA (+) dan gambaran faktor resiko
lingkungan hunian penderita dalam penularan TB di wilayah kerja Puskesmas Kampus
Palembang.
Pendataan melalui
kunjungan rumah dan
pengamatan langsung
Disarankan
Dirujuk ke Puskesmas Kampus untuk
pemberian 45
diperiksa secara lebih lanjut
profilaksis Data diolah dan disajikan
Isoniazid (INH) secara deskriptif
BAB V
46
Tabel 5.1. Gambaran penderita TB paru di Puskesmas Kampus secara umum.
Tuberculosis Jumlah
Total 24
Tabel 5.2. Gambaran Penderita TB paru BTA (+) berdasarkan sebaran usia dan jenis
kelamin.
Tabel 5.2 menunjukkan terdapat 1 penderita TB BTA positif (6,25%) berusia < 5
tahun dan terdapat 15 penderita TB BTA positif (93,75%) berusia > 14 tahun.
Dari pasien TB paru BTA positif berusia >14 tahun, 9 penderita (60%) berjenis
kelamin laki-laki dan 6 penderita (40%) berjenis kelamin perempuan.
Tabel 5.3 Gambaran Penderita TB paru BTA (-) berdasarkan sebaran usia dan jenis
kelamin.
Tabel 5.3 menunjukkan semua penderita TB BTA negatif (100%) berusia > 14
tahun, dengan rincian 5 penderita (62,5%) berjenis kelamin laki-laki dan 3
penderita (37,5%) berjenis kelamin perempuan.
47
5.1.2 Gambaran penderita TB ekstra paru di Puskesmas Kampus Palembang
sejak Januari 2016-April 2017
Tabel 5.4.Gambaran Penderita TB ekstra paru berdasarkan sebaran usia dan jenis kelamin.
Tabel 5.4 menunjukkan terdapat 5 orang yang menderita TB ekstra paru dan
semua penderita TB ekstra paru (100%) berusia > 14 tahun, dengan rincian 1
penderita (20%) berjenis kelamin laki-laki dan 4 penderita (80%) berjenis kelamin
perempuan.
Usia
< 5 Tahun
4 7,1 %
5 14 Tahun 10 17,9 %
> 14 Tahun 42 75 %
Jenis Kelamin
Laki-laki 22 39,3 %
Perempuan 34 60,7 %
Tabel 5.5 menunjukkan dari 56 orang yang merupakan anggota keluarga penderita TB
paru BTA (+) di Puskesmas Kampus, paling banyak berusia > 14 tahun (75%) dan
berjenis kelamin perempuan (60,7%).
5.1.4 Gambaran tanda penularan dan temuan TB baru pada Subjek Penelitian
48
Tabel 5.6 menunjukkan tanda penularan penyakit TB pada anggota
keluarga penderita TB paru BTA (+) di wilayah kerja Puskesmas Sekip
Palembang bulan Januari 2016 April 2017.
Tabel 5.6 Distribusi subjek berdasarkan ada tidaknya gejala klinis akibat penularan TB
paru
Total 56 100.0
Gambaran lingkungan rumah juga dianalisis pada penelitian kali ini untuk
menilai faktor lingkungan rumah sebagai faktor resiko penularan TB. Tabel 8
menunjukkan gambaran lingkungan rumah pada subjek penelitian, meliputi
kepadatan hunian, dinding rumah, lantai rumah, dan pencahayaan rumah.
Tabel 5.7 Gambaran lingkungan rumah pada anggota keluarga yang menunjukkan gejala klinis
Usia
Faktor Risiko <5 5-14 Total
15 tahun
tahun tahun
Dinding Rumah
49
Permanen 1 8 37 46 (82,1%)
Tidak permanen 3 2 5 10 (17,9%)
Lantai Rumah
Semen atau keramik 1 8 37 46 (82,1%)
Tanah atau kayu 3 2 5 10 (17,9%)
Pencahayaan Rumah
Cukup 4 9 30 43 (76,7%)
Kurang 0 1 12 13 (23,3%)
4.2 Pembahasan
50
pencahayaan, jenis lantai, kelembaban rumah, suhu dan jenis dinding juga
berpengaruh terhadap penularan TB20.
Berdasarkan hasil kunjungan rumahyang dilakukan peneliti, tidak
ditemukan adanya tanda penularan TB paru pada anggota keluarga yang kontak
serumah dengan penderita TB paru BTA (+) di wilayah kerja Puskesmas Kampus.
Ada banyak faktor yang dapat menyebabkan hal ini terjadi. Pada penelitian ini,
penulis lebih menganalisis lingkungan hunian sebagai faktor resiko penularan TB.
Ada beberapa faktor lingkungan hunian yang dianalisis pada penelitian kali ini,
meliputi kepadatan hunian, dinding rumah, lantai rumah, dan pencahayaan rumah.
Kepmenkes RI No. 829/MENKES/SK/VII/1999 menyatakan bahwa
intensitas pencahayaan minimum yang diperlukan sebuah rumah yaitu 10 kali lilin
atau kurang lebih 60 lux dan tidak menyilaukan, kelembaban yang menghasilkan
udara yang nyaman yaitu berkisar antara 40-70%, suhu ruangan dalam rumah
yang ideal yaitu berkisar antara 18-30C, sirkulasi yang baik diperlukan paling
sedikit luas lubang ventilasi sebesar 10% dari luas lantai, luas ruang tidur minimal
8 m2 dan tidak dianjurkan digunakan lebih dari dua orang tidur dalam satu ruang
tidur, kecuali anak di bawah umur 5 tahun, lantai rumah yang memenui syarat
kesehatan adalah yang kedap air dan mudah dibersihkan, jenis dinding tidak
terbuat dari bahan yang dapat menjadi tumbuh dan berkembangnya
mikroorganisme patogen21.
Hasil observasi lingkungan hunian penderita TB menunjukkan bahwa
lingkungan hunian penderita dapat dikatakan cukup baik. Lebih banyak subjek
penelitian yang tinggal dalam rumah yang tidak padat huniannya (59%) dibanding
yang padat (41%). Sebagian besar subjek penelitian juga lebih banyak (82,1%)
yang memiliki rumah dengan dinding permanen dan berlantai semen/keramik
daripada dinding semi permanen dan berlantai tanah (17,9%). Hasil observasi juga
menunjukkan sebagian besar (76,7%) rumah dari subjek penelitian memiliki
pencahayaan dan sirkulasi yang baik.
Lingkungan mempunyai peranan yang penting dalam penyebaran kasus TB.
Hasil observasi menunjukkan bahwa sebagian besar hunian anggota keluarga
cukup baik dan memiliki kepadatan yang minimal. Lingkungan yang padat
huniannya akan memudahkan penularan melalui udara semakin cepat, apalagi
dalam satu rumah terdapat anggota keluarga yang terkena TB sehingga akan
51
sangat rentan terpapar langsung, namun resiko tertular akan menurun jika tingkat
kepadatan hunian rumah mencapai >6m2/orangnya. Kondisi rumah juga dapat
menjadi salah satu faktor resiko penularan penyakit TB. Atap, dinding dan lantai
dapat menjadi tempat perkembangbiakan kuman. Pada observasi, sebagian besar
anggota keluarga penderita TB paru tinggal di rumah yang memiliki dinding
permanen dan lantai keramik. Lantai keramik dan dinding permanen bersifat lebih
mudah dibersihkan sehingga akan sulit untuk berkembangbiaknya kuman
Mycobacterium tuberculosis20. Hasil observasi juga menunjukkan sebagian besar
rumah memiliki pencahayaan yang baik. TB juga lebih mudah tertular pada
mereka yang tinggal di lingkungan yang kurang sinar matahari dan sirkulasi udara
rumah yang buruk22. Kondisi rumah yang mempunyai sirkulasi buruk dapat
meningkatkan resiko penularan TB yang disebabkan oleh adanya aliran udara
yang statis, sehingga menyebabkan udara yang mengandung kuman terhirup oleh
orang lain yang berada dalam rumah. Di sisi lain, sirkulasi rumah merupakan
salah satu jalan masuk sinar matahari dimana bakteri M. tuberculosis sangat
rentan terhadap sinar ultraviolet. Pada umumnya, kuman M. tuberculosis dapat
bersarang di dalam rumah dalam waktu yang lama jika tidak terkena sinar
ultraviolet dan dapat terhirup oleh anggota keluarga yang sehat. Pada rumah
dengan cukup cahaya dan sirkulasi, maka kuman TB hanya akan bertahan selama
1-2 jam sehingga kemungkinan terhirup oleh orang lain menjadi lebih kecil 23.
Selain itu, kegiatan membuka jendela setiap pagi juga sering dilakukan subjek
penelitian. Dengan membuka jendela setiap pagi, maka dimungkinkan sinar
matahari dapat masuk ke dalam rumah atau ruangan. Selain itu jendela dapat juga
berfungsi sebagai ventilasi untuk pertukaran udara sehingga resiko penularan TB
paru menjadi menurun24.
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
52
Berdasarkan penelitan yang dilakukan pada anggota keluarga yang kontak
serumah dengan penderita TB paru BTA (+) di Puskesmas Kampus Palembang,
dapat disimpulkan:
1. Terdapat 24 kasus TB paru di wilayah kerja Puskesmas Kampus dengan
rincian 16 kasus TB paru BTA (+) dan 8 kasus TB paru BTA (-).
2. Dari 16 kasus TB paru BTA (+), terdapat 1 penderita TB BTA positif
(6,25%) berusia < 5 tahun berjenis kelamin laki-laki dan 15 penderita TB
BTA positif (93,75%) berusia > 14 tahun. Dari pasien TB paru BTA
positif berusia >14 tahun, 9 penderita (60%) berjenis kelamin laki-laki dan
6 penderita (40%) berjenis kelamin perempuan.
3. Berdasarkan hasil kunjungan rumah yang dilakukan peneliti, tidak
ditemukan penderita suspek TB paru baru dengan riwayat kontak serumah
dengan penderita TB di wilayah kerja Puskesmas Kampus.
4. Hasil observasi lingkungan hunian penderita TB menunjukkan bahwa
lingkungan hunian penderita dapat dikatakan cukup baik. Sebagian besar
subjek penelitian yang tinggal dalam rumah yang tidak padat huniannya
(59%), memiliki rumah dengan dinding permanen dan berlantai
semen/keramik (82,1%), dan penelitian memiliki pencahayaan dan
sirkulasi yang baik (76,7%). Lingkungan mempunyai peranan yang
penting dalam penyebaran kasus TB. Resiko penularan TB akan menurun
jika ditunjang dengan kondisi lingkungan rumah yang baik.
6.2 Saran
Berdasarkan hasil penelitian ini, saran yang dapat peneliti sampaikan berupa:
1. Perlunya emberian profilaksis Isoniazid (INH) dengan dosis 5-10
mg/kgBB per hari selama 6 bulan pada anak-anak usia < 5 tahun yang
beresiko tinggi tertular penyakit TB.
2. Perlunya dilakukan penyuluhan atau edukasi secara rutin mengenai
perilaku penderita maupun kondisi lingkungan penderita dengan tujuan
mencegah penularan TB pada kelompok resiko tinggi, serta pengenalan
gejala klinis TB agar penderita dapat berobat sesegera mungkin.
3. Berdasarkan keterbatasan pada penelitian ini, peneliti lain diharapkan
dapat melakukan penelitian lebih lanjut dengan menganalisis faktor resiko
penularan TB lainnya.
53
DAFTAR PUSTAKA
54
6. Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan RI. 2016. Tuberkulosis
Temukan Obati Sampai Sembuh. Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Jakarta
7. Dinas Kesehatan Kota Palembang. 2015. Profil Kesehatan Kota Palembang
Tahun 2015.
8. Kemenkes RI. 2011. Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis Direktorat
Jenderal Pengendalian Penyakit dan penyehatan lingkungan: Jakarta
9. Novak, PD. 2002. Kamus Saku Kedokteran Dorland/Alih Bahasa, edisi 25.
EGC. Jakarta
10. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editors. Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi V. Jakarta: Interna Publishing.
11. Asril Bahar, Tuberkulosis Paru, dalam ilmu penyakit dalam, balai penerbit
FKUI, Jakarta 1987
12. Rahajoe NN, Basir D, Kartasasmita CB, editor. Pedoman nasional tuberculosis
anak. Jakarta : UKK Pulmonologi PP IDAI; 2005.
13. Purdy K. Tuberculosis. In: Osborn, Dewitz, editors. Pediatrics. 1st ed.
Philadelphia:Elsevier;2005. p.811-18.
14. Departemen Kesehatan Indonesia dan Ikatan Dokter Indonesia. 2010. Panduan
Tatalaksana Tuberkulosis edisi ke-1. Departemen Kesehatan Indonesia dan
Ikatan Dokter Indonesia, Jakarta.
15. Fatimah, Siti. 2008. Faktor Kesehatan Lingkungan Rumah yang berhubungan
dengan Kejadian TB Paru di Kabupaten Cilacap Tahun 2008. Universitas
Diponegoro: Semarang.
16. Aditama TY, et al. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Tuberkulosis di
Indonesia. Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2006
17. Alsagaff H, Mukty A. Tuberkulosis paru. Dalam: Dasar-Dasar Ilmu Penyakit
Paru. Jakarta: Airlangga, 2002. 73-108
18. Martiana, T., Isfandiari, M.A., Sulistyowati, M., Nurmala, I. 2007. Analisis
Risiko Penularan Tuberculosis Paru Akibat Faktor Perilaku dan Faktor
Lingkungan pada Tenaga Kerja di Industri. Fakultas Kesehatan Masyarakat,
Universitas Negeri Semarang, Indonesia.
19. Widoyono. 2008, Penyakit Tropis Epidemiologi, Penularan, Pencegahan,
Pemberantasannya, Jakarta: Erlangga.
20. Fitriani, E. 2013. Faktor Risiko yang Berhubungan dengan Kejadian
Tuberkulosis Paru. Ilmu Kesehatan Masyarakat, Universitas Negeri Semarang,
Indonesia.
21. Kepmenkes RI No. 829/MENKES/SK/VII/1999. Persyaratan Kesehatan
Perumahan. Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
55
22. Tjandra Yoga (2007). Diagnosis TB pada Anak. Media Komunikasi: Info
Sehat untuk Semua. Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
23. Manalu, S.P.M. 2010. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kejadian TB Paru
dan Upaya Penanggulangannya. Jurnal Ekologi Kesehatan Vol 9(4).
24. Permenkes RI No.13 Tahun 2015. Penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan
Lingkungan di Puskesmas. Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
56