Anda di halaman 1dari 56

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Tuberkulosis (TB) sampai dengan saat ini masih merupakan salah satu
masalah kesehatan masyarakat di dunia walaupun upaya penanggulangan TB telah
dilaksanakan di banyak negara sejak tahun 1995. TB merupakan salah satu
penyakit menular yang masih menjadi permasalahan di dunia hingga saat ini,
tidak hanya di negara berkembang tetapi juga di negara maju. WHO
memperkirakan sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi oleh TB. Hal ini
dibuktikan dengan masih banyaknya jumlah penderita TB yang ditemukan di
masyarakat dan sejak tahun 1993, WHO menyatakan bahwa TB merupakan
kedaruratan global bagi kemanusiaan1.
Pada 2015, diperkirakan ada 10,4 juta kejadian kasus TB baru di seluruh
dunia, dimana 5,9 juta (56%) diderita pria , 3,5 juta (34%) diderita wanita dan 1,0
juta (10%) diderita anak-anak. Orang yang hidup dengan HIV Menyumbang 1,2
juta (11%) dari semua kejadian kasus TB baru. Enam negara menyumbang 60%
kasus baru yaitu; India, Indonesia, China, Nigeria, Pakistan dan Afrika Selatan.
Kemajuan global dalam penanggulangan TB bergantung pada pencegahan dan
perawatan TBdi negara-negara ini. Di seluruh dunia, tingkat penurunan Pada
kejadian TB hanya 1,5% dari tahun 2014 sampai 2015. Penurunan perlu
dipercepat sampai ketingkat 4-5% pada tahun 2020 Untuk mencapai tonggak
pertama Strategi dalam mengakhiri TB. Pada tahun 2015, diperkirakan ada
480.000 kasus baru Multi Drug Resistance TB (MDR-TB) dan tambahan 100.000
orang dengan Rifampicin resistant TB (RR-TB) yang juga baru memenuhi syarat
untuk pengobatan MDR-TB.1,2
Jumlah kasus TB di Indonesia menurut Laporan WHO tahun 2015,
diperkirakan ada 1 juta kasus TB baru pertahun (399 per 100.000 penduduk)
dengan 100.000 kematian pertahun (41 per 100.000 penduduk). Diperkirakan
63.000 kasus TB dengan HIV positif (25 per 100.000 penduduk). Angka
Notifikasi Kasus (Case Notification Rate/CNR) dari semua kasus, dilaporkan
sebanyak 129 per 100.000 penduduk. Jumlah seluruh kasus 324.539 kasus,
diantaranya 314.965 adalah kasus baru. Secara nasional perkiraan prevalensi HIV

1
diantara pasien TB diperkirakan sebesar 6,2%. Jumlah kasus MDR-TB
diperkirakan sebanyak 6700 kasus yang berasal dari 1,9% kasus MDR-TB dari
kasus baru TB dan ada 12% kasus MDR-TB dari TB dengan pengobatan ulang 1,2.
Penyakit TB biasanya menular melalui udara (airborne spreading) yang
tercemar dengan bakteri Mycobacterium tuberculosa yang dilepaskan saat
penderita TB batuk. Pasien dengan hasil BTA positif memiliki kemungkinan yang
lebih besar untuk menularkan TB saat batuk, bersin, atau bahkan saat berbicara
karena adanya pengeluaran droplet infeksi. Meskipun demikian, ada yang
dinamakan infeksi TB laten yaitu jika dalam tubuh seseorang terdapat bakteri
namun tidak aktif. Pada kondisi TB laten, tidak akan terjadi penularan. Hal-hal
yang memengaruhi kondisi infeksi tersebut adalah daya tahan tubuh penderita 3
Penularan penyakit ini melalui inhalasi droplet khususnya yang didapat
dari pasien TB paru dengan batuk berdarah atau berdahak yang mengandung BTA
positif. Pada waktu batuk atau bersin, penderita menyebarkan kuman ke udara
dalam bentuk droplet (percikan Dahak). Orang dapat terinfeksi kalau droplet
tersebut terhirup kedalam saluran pernapasan. Dalam 1 tahun, 1 penderita TB
BTA positif menularkan 10-15 orang. Selama kuman TB masuk kedalam tubuh
manusia melalui pernapasan, kuman TB tersebut dapat menyebar dari paru
kebagian tubuh lainnya, melalui sistem peredaran darah, sistem saluran limfe,
salura napas,atau penyebaran langsung kebagian-bagian tubuh lainnya.4,5
Berdasarkan data dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) angka Notifikasi
Kasus (Case Notification Rate/CNR) cenderung menurun dalam empat tahun
terakhir. Pada tahun 2012 terdapat 138 per 100.000 penduduk sedangkan tahun
2015 terdapat 129 per 100.000 penduduk. Angka notifikasi kasus TB wilayah
Sumatera Selatan sebesar 115 per 100.000 penduduk. 6 Data dari Profil Kesehatan
Kota Palembang tahun 2015 menunjukkan CNR kasus TB BTA+ sebesar 214 per
100.000 sedangkan CNR seluruh kasus TB sebesar 566 per 100.000 penduduk.7
Hanya sekitar 10% yang terinfeksi TB akan menjadi sakit TB. Dengan Annual
Risk of Tuberculosis Infection (ARTI) 1%, diperkirakan diantara 100.000 penduduk rata-
rata terjadi 1000 terinfeksi TB dan 10% diantaranya (100 orang) akan menjadi sakit TB
setiap tahun. Menurut WHO ARTI Indonesia setiap tahunnya adalah 1-3%. 8
Penanganan TB menjadi salah satu pokok permasalahan yang sering
dihadapi pada pelayanan fasilitas kesehatan di tingkat primer contohnya pada
puskesmas. Akan tetapi, dalam menunjang penanganan pelayanan TB perlu

2
dilakukan pendataan yang cukup akurat sehingga target dapat dicapai.
Berdasarkan alasan tersebut, Studi kasus ini bertujuan untuk mengetahui besarnya
angka kejadian suspek TB baru paru pada anggota keluarga dengan riwayat
kontak serumah dengan pasien TB paru dewasa yang terbukti secara bakteriologis
terdapat kuman TB (BTA +) di wilayah kerja Puskesmas Kampus.

1.2 Rumusan Masalah


Berapa banyak suspek kasus TB paru baru pada anggota keluarga dengan riwayat
kontak serumah dengan pasien TB paru BTA + di wilayah kerja Puskesmas
Kampus Palembang Palembang pada periode 1 januari 2016 April 2017?

1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Menemukan kasus suspek TB paru baru pada anggota keluarga dengan riwayat
kontak serumah dengan pasien TB (BTA +) di wilayah kerja Puskesmas Kampus
Palembang pada periode 1 januari 2016 April 2017.

1.3.2 Tujuan Khusus


1. Mengetahui kasus kejadian TB paru di wilayah kerja Puskesmas Kampus
Palembang pada periode 1 januari 2016 April 2017
2. Mengidentifikasi karakteristik kasus kejadian TB paru di wilayah kerja
Puskesmas Kampus Palembang.
3. Mengetahui karakteristik kasus kejadian suspek TB paru baru dengan
riwayat kontak serumah di wilayah kerja Puskesmas Kampus Palembang.
4. Mengidentifikasi pengaruh faktor risiko terhadap penularan TB paru di
wilayah kerja Puskesmas Kampus Palembang
1.4. Manfaat Penelitian

1.4.1 Dinas Kesehatan


Sebagai bahan masukan dan informasi kepada Dinas Kesehatan dalam
pengendalian dan pencegahan penyakit TB paru dengan riwayat kontak
serumah di wilayah kerja Puskesmas Kampus.

1.4.2 Puskesmas
Sebagai masukan dan pertimbangan dalam merencanakan program
pencegahan penyakit TB paru di wilayah kerja Puskesmas Kampus di
masa yang akan dating sehingga target yang diharapkan dapat tercapai.

3
1.4.3 Masyarakat
Dapat meningkatkan pengetahuan masyarakat mengenai penyakit TB paru
dan bagaimana cara pencegahan penyakit TB paru.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tuberkulosis
2.1.1 Definisi
Tuberkulosis paru adalah suatu penyakit yang menyerang jaringan
paru disebabkan infeksi basil Mycobacterium tuberculosis (M.
tuberculosis). Tuberkulosis paru mencakup 80% dari keseluruhan kejadian
penyakit tuberkulosis, sedangkan 20% selebihnya merupakan tuberkulosis
ekstrapulmonar. Penyakit ini dapat juga menyebar ke bagian tubuh lain
seperti meningen, ginjal, tulang, dan nodus limfe.4,8,.

2.1.2 Etiologi
Kuman Mycobacterium tuberculosis mempunyai sifat khusus yaitu
tahan terhadap asam pada pewarnaan, oleh karena itu disebut basil tahan

4
asam (BTA). Kuman ini merupakan kuman aerob, berbentuk batang, kuman
tersebut cepat mati dengan sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan
hidup beberapa jam di tempat gelap dan lembab. Dalam jaringan tubuh
kuman ini dapat tidur lama selama beberapa tahun (dormant).9,10

2.1.3 Patogenesis dan Penularan TB4,9,10


Penularan TB
a. Sumber Penularan TB
Sumber penularan adalah pasien TB terutama pasien yang mengandung
kuman TB dalam dahaknya (BTA +). Pada waktu batuk atau bersin,
pasien menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk percikan dahak
(droplet nuclei atau percik renik). Infeksi akan terjadi apabila seseorang
menghirup udara yang mengandung percikan dahak yang infeksius.
Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak yang
mengandung kuman sebanyak 0-3500 M.tuberculosis. Sedangkan saat
bersin dapat mengeluarkan sebanyak 4500-1.000.000 M.tuberculosis.
b. Perjalanan Alamiah TB Pada Manusia.
Terdapat 4 tahapan perjalanan alamiah penyakit. Tahapan tersebut
meliputi tahap paparan, infeksi, menderita sakit, dan meninggal dunia,
yaitu sebagai berikut:
1. Paparan
Peluang peningkatan paparan terkait dengan:
- Jumlah kasus menular di masyarakat.
- Peluang kontak dengan kasus menular.
- Tingkat daya tular dahak sumber penularan.
- Intensitas batuk sumber penularan.
- Kedekatan kontak dengan sumber penularan.
- Lamanya waktu kontak dengan sumber penularan.
2. Infeksi
Reaksi daya tahan tubuh akan terjadi setelah 614 minggu setelah
infeksi. Lesi umumnya sembuh total namun dapat saja kuman tetap
hidup dalam lesi tersebut (dormant) dan suatu saat dapat aktif
kembali tergantung dari daya tahun tubuh manusia. Penyebaran

5
melalui aliran darah atau getah bening dapat terjadi sebelum
penyembuhan lesi.
3. Faktor Risiko
Faktor risiko untuk menjadi sakit TB adalah tergantung dari:
- Konsentrasi atau jumlah kuman yang terhirup
- Lamanya waktu sejak terinfeksi
- Usia seseorang yang terinfeksi, semakin muda usia seseorang
maka akan makin mudah terinfeksi TB akibat dari system
imunitas yang belum matang
- Tingkat daya tahan tubuh seseorang. Seseorang dengan daya
tahan tubuh yang rendah diantaranya infeksi HIV AIDS dan
malnutrisi (gizi buruk) akan memudahkan berkembangnya TB
Aktif (sakit TB).
- Infeksi HIV. Pada seseorang yang terinfeksi TB, 10%
diantaranya akan menjadi sakit TB. Namun pada seorang
dengan HIV positif akan meningkatkan kejadian TB. Orang
dengan HIV berisiko 20-37 kali untuk sakit TB dibandingkan
dengan orang yang tidak terinfeksi HIV, dengan demikian
penularan TB di masyarakat akan meningkat pula.
4. Meninggal dunia
Faktor risiko kematian karena TB:
- Akibat dari keterlambatan diagnosis
- Pengobatan tidak adekuat.
- Adanya kondisi kesehatan awal yang buruk atau penyakit
penyerta
- Pada pasien TB tanpa pengobatan, 50% diantaranya akan
meninggal dan risiko ini meningkat pada pasien dengan HIV
positif. Begitu pula pada ODHA, 25% kematian disebabkan
oleh TB.

2.1.4 Patogenesis TB pada Anak11,12


Penularan pada anak biasanya melalui udara, yaitu dengan inhalasi
droplet nukleus yang mengandung basil TB. Hanya droplet nukleus ukuran

6
1-5 mikron yang dapat melewati atau menembus sistem mukosilier saluran
napas sehingga dapat mencapai dan bersarang di bronkiolus dan alveolus.
Basil tuberkulosis berkembang biak dalam alveolus dan menyebar melalui
saluran limfe dan aliran darah tanpa perlawanan yang berarti dari pejamu
karena belum ada kekebalan awal. Makrofag di dalam alveolus akan
memfagositosis sebagian basil tuberkulosis tersebut tetapi belum mampu
membunuhnya sebagian basil TB dalam makrofag umumnya dapat tetap
hidup dan berkembang biak. Basil TB dapat menyebar melalui saluran limfe
regional, sedangkan penyebaran melalui aliran darah akan mencapai
berbagai organ tubuh. Salah satunya yang paling sering yaitu meningen,
ginjal, dan tulang.Hipersensitivitas terhadap beberapa komponen basil TB
dapat dilihat pada uji kulit dengan tuberkulin yang biasanya terjadi 2-10
minggu setelah infeksi. Pada individu normal respons imunologik terhadap
infeksi tuberkulosis cukup memberi perlindungan terhadap infeksi tambahan
berikutnya. Risiko terjadinya reinfeksi tergantung pada intensitas
terpaparnya dan sistem imun individu yang bersangkutan (host=pejamu).
Masa inkubasi TB berlangsung dalam waktu 4-8 minggu dengan jangka
waktu antara 2-12 minggu. Dalam masa inkubasi tersebut, kuman tumbuh
hingga mencapai 103-104 yakni jumlah yang cukup untuk merangsang
respon imunitas seluler. Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya
imunitas seluler, dapat terjadi penyebaran limfogen dan hematogen. Pada
penyebaran limfogen, kuman menyebar ke kelenjar limfe regional
membentuk kompleks primer. Sedangkan penyebaran hematogen, kuman
TB masuk ke dalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh tubuh. Adanya
penyebaran hematogen inilah yang menyebabkan TB disebut sebagai
penyakit sistemik.

2.1.5 Faktor Risiko1,13,14,15

7
Gambar 1. Faktor Risiko TB13

Hanya sekitar 10% yang terinfeksi TB akan menjadi sakit TB. Dengan
Annual Risk of Tuberculosis Infection (ARTI) 1%, diperkirakan diantara
100.000 penduduk rata-rata terjadi 1000 terinfeksi TB dan 10% diantaranya
(100 orang) akan menjadi sakit TB setiap tahun. Sekitar 50 diantaranya
adalah pasien TB BTA positif. Adapun beberapa faktor risiko yang dianggap
berperan dalam mencetuskan TB adalah;
a. Jenis kelamin
Menurut hasil survei prevalensi TB, Laki-laki lebih banyak terkena
TB dari pada wanita.
b. Usia
Kelompok paling rentan tertular TB adalah kelompok usia dewasa
muda yang juga merupakan kelompok usia produktif.
c. Kondisi sosial ekonomi.
TB umumnya banyak menyerang kelompok sosial ekonomi lemah.
d. Daya tahan tubuh
Kuman tuberkulosis paru akan mudah menyebabkan penyakit
tuberkulosis paru jika orang yang terinfeksi memiliiki sistem kekebalan
tubuh yang lemah.
e. Status gizi
Kualitas dan kuantitas gizi yang masuk dalam tubuh akan
berpengaruh pada daya tahan tubuh sehingga tubuh akan tahan terhadap
infeksi kuman tuberkulosis paru. Keadaan gizi buruk maka akan

8
mengurangi daya tahan tubuh terhadap penyakit ini yang menyebabkan
rentan terjadinya infeksi tuberkulosis.
f. Penyakit infeksi HIV
Infeksi HIV mengakibatkan kerusakan luas sitem daya tahan tubuh
seluler (cellular immunity) sehingga jika terjadi infeksi oportunistik seperti
tuberkulosis, maka yang bersangkutan akan menjadi sakit parah bahkan
mengakibatkan kematian. Bila jumlah orang terinfeksi HIV meningkat,
maka jumlah penderita tuberkulosis paru akan meningkat, dengan
demikian penularan tuberkulosis paru di masyarakat akan meningkat pula.
g. Lingkungan14
Faktor lingkungan memegang peranan penting dalam penularan,
terutama lingkungan rumah yang tidak memenuhi syarat. Lingkungan
rumah merupakan salah satu faktor yang memberikan pengaruh besar
terhadap status kesehatan penghuninya. Adapun syarat-syarat yang
dipenuhi oleh rumah sehat secara fisiologis yang berpengaruh terhadap
kejadian tuberkulosis paru antara lain:
- Kepadatan Penghuni Rumah
Semakin padat penghuni rumah akan semakin cepat pula udara
di dalam rumah tersebut mengalami pencemaran. Karena jumlah
penghuni yang semakin banyak akan berpengaruh terhadap kadar
oksigen dalam ruangan tersebut, begitu juga kadar uap air dan suhu
udaranya. Dengan meningkatnya kadar CO2 di udara dalam rumah,
maka akan member kesempatan tumbuh dan berkembang biak lebih
bagi Mycobacterium tuberculosis. Dengan demikian akan semakin
banyak kuman yang terhisap oleh penghuni rumah melalui saluran
pernafasan. Menurut dinas kesehatan, kepadatan di perkotaan sebesar 6
m2 orang dan di pedesaan sebesar 10 m2.
- Kelembaban Rumah
Kelembaban udara dalam rumah minimal 40% 70 % dan
suhu ruangan yang ideal antara 180C 300C.22) Bila kondisi suhu
ruangan tidak optimal, misalnya terlalu panas akan berdampak pada
cepat lelahnya saat bekerja dan tidak cocoknya untuk istirahat.
Sebaliknya, bila kondisinya terlalu dingin akan tidak menyenangkan
dan pada orangorang tertentu dapat menimbulkan alergi. Hal ini perlu

9
diperhatikan karena kelembaban dalam rumah akan mempermudah
berkembangbiaknya mikroorganisme antara lain bakteri spiroket,
ricketsia dan virus.
- Ventilasi
Jendela dan lubang ventilasi selain sebagai tempat keluar
masuknya udara juga sebagai lubang pencahayaan dari luar, menjaga
aliran udara di dalam rumah tersebut tetap segar. Menurut indikator
pengawasan rumah , luas ventilasi yang memenuhi syarat kesehatan
adalah 10% luas lantai rumah dan luas ventilasi yang tidak
memenuhi syarat kesehatan adalah < 10% luas lantai rumah. Luas
ventilasi rumah yang <10% dari luas lantai (tidak memenuhi syarat
kesehatan) akan mengakibatkan berkurangnya konsentrasi oksien dan
bertambahnya konsentrasi karbondioksida yang bersifat racun bagi
penghuninya. Di samping itu tidak cukupnya ventilasi akan
menyebabkan peningkatan kelembaban ruangan karena terjadinya
proses penguapan cairan dai kulit dan penyerapan. Kelembaban
ruangan yan tinggi akam menjadi media yang baik untuk tumbuh dan
berkembangbiaknya bakteri-bakteri patogen termasuk kuman
tuberkulosis. Tidak adanya ventilasi yang baik pada suatu ruangan
makin membahayakan kesehatan atau kehidupan, jika dalam ruangan
tersebut terjadi pencemaran oleh bakteri seperti oleh penderita
tuberkulosis atau berbagai zat kimia organik atau anorganik.
Ventilasi berfungsi juga untuk membebaskan uadar ruangan
dari bakteribakteri, terutama bakteri patogen seperti tuberkulosis,
karena di situ selalu terjadi aliran udara yang terus menerus. Bakteri
yang terbawa oleh udara akan selalu mengalir. Selain itu, luas ventilasi
yang tidak memenuhi syarat kesehatan akan mengakibatkan
terhalangnya proses pertukaran udara dan sinar matahari yang masuk
ke dalam rumah, akibatnya kuman tuberkulosis yang ada di dalam
rumah tidak dapat keluar dan ikut terhisap bersama udara pernafasan.
a. Pencahayaan Sinar Matahari
Cahaya matahari selain berguna untuk menerangi ruang juga
mempunyai daya untuk membunuh bakteri. Hal ini telah dibuktikan

10
oleh Robert Koch (1843-1910). Sinar matahari dapat dimanfaatkan
untuk pencegahan penyakit tuberkulosis paru, dengan mengusahakan
masuknya sinar matahari pagi ke dalam rumah. Cahaya matahari
masuk ke dalam rumah melalui jendela atau genteng kaca. Diutamakan
sinar matahari pagi mengandung sinar ultraviolet yang dapat
mematikan kuman.
Kuman tuberkulosis dapat bertahan hidup bertahun-tahun
lamanya, dan mati bila terkena sinar matahari, sabun, lisol, karbol dan
panas api. Rumah yang tidak masuk sinar matahari mempunyai resiko
menderita tuberkulosis 3-7 kali dibandingkan dengan rumah yang
dimasuki sinar matahari.
b. Lantai rumah
Komponen yang harus dipenuhi rumah sehat memiliki lantai
kedap air dan tidak lembab. Jenis lantai tanah memiliki peran terhadap
proses kejadian Tuberkulosis paru, melalui kelembaban dalam
ruangan. Lantai tanah cenderung menimbulkan kelembaban, pada
musim panas lantai menjadi kering sehingga dapat menimbulkan debu
yang berbahaya bagi penghuninya.
c. Dinding
Dinding berfungsi sebagai pelindung, baik dari gangguan hujan
maupun angin serta melindungi dari pengaruh panas dan debu dari luar
serta menjaga kerahasiaan (privacy) penghuninya. Beberapa bahan
pembuat dinding adalah dari kayu, bambu, pasangan batu bata atau
batu dan sebagainya. Tetapi dari beberapa bahan tersebut yang paling
baik adalah pasangan batu bata atau tembok (permanen) yang tidak
mudah terbakar dan kedap air sehingga mudah dibersihkan.

2.1.6 Klasifikasi Penyakit dan Tipe Pasien TB9


TB paru diklasifkasikan atas:9
a. Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak (BTA)
1. TB paru BTA(+)
2. TB paru BTA (-)
b. Berdasarkan lokasi

11
1. TB paru
2. TB ekstra paru
c. Berdasarkan tipe pasien
1. Kasus baru, bila pasien belum pernah mendapat pengobatan dengan
OAT atau sudah pernah menelan obat kurang dari satu bulan.
2. Kasus relaps (kambuh), bila pasien sebelumnya pernah mendapat
pengobatan TB dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap,
kemudian kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan sputum BTA
(+).
3. Kasus defaulted atau drop out , bila pasien telah menjalani pengobatan
1 bulan dan tidak mengambil obat 2 bulan berturut-turut atau lebih
sebelum masa pengobatan selesai.
4. Kasus gagal, bila pasien BTA positif yang masif tetap positif atau
kembali positif pada akhir bulan ke 5 atau akhir pengobatan.
5. Kasus kronik, bila pasien dengan hasil pemeriksaan BTA masih positif
setelah selesai pengobatan ulang dengan pengobatan kategori 2 dengan
pengawasan yang baik.
6. Kasus bekas TB, bila hasil pemeriksaan BTA negatif dan gambaran
radiologi paru menunjukkan lesi TB yang tidak aktif.

2.1.8 Diagnosis TB
Diagnosis TB ditetapkan berdasarkan keluhan, hasil anamnesis,
pemeriksaan klinis, pemeriksaan labotarorium dan pemeriksaan penunjang
lainnya.
1. Keluhan dan hasil anamnesis meliputi:
Keluhan yang disampaikan pasien, serta wawancara rinci berdasar keluhan

pasien. Pemeriksaan klinis berdasarkan gejala dan tanda TB yang meliputi:


a. Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2 minggu
atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak
bercampur darah, batuk darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan
menurun, berat badan menurun, malaise, berkeringat malam hari tanpa
kegiatan fisik, demam meriang lebih dari satu bulan. Pada pasien dengan

12
HIV positif, batuk sering kali bukan merupakan gejala TB yang khas,
sehingga gejala batuk tidak harus selalu selama 2 minggu atau lebih.

b. Gejala-gejala tersebut diatas dapat dijumpai pula pada penyakit paru


selain TB, seperti bronkiektasis, bronkitis kronis, asma, kanker paru, dan
lain-lain. Mengingat prevalensi TB di Indonesia saat ini masih tinggi,
maka setiap orang yang datang ke fasyankes dengan gejala tersebut diatas,
dianggap sebagai seorang terduga pasien TB, dan perlu dilakukan
pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung.

c. Selain gejala tersebut, perlu dipertimbangkan pemeriksaan pada orang


dengan faktor risiko, seperti : kontak erat dengan pasien TB, tinggal di
daerah padat penduduk, wilayah kumuh, daerah pengungsian, dan orang
yang bekerja dengan bahan kimia yang berisiko menimbulkan paparan
infeksi paru.

2. Pemeriksaan Laboratorium
a. Pemeriksaan Bakteriologi
1) Pemeriksaan dahak mikroskopis langsung
Pemeriksaan dahak selain berfungsi untuk menegakkan
diagnosis, juga untuk menentukan potensi penularan dan menilai
keberhasilan pengobatan. Pemeriksaan dahak untuk penegakan
diagnosis dilakukan dengan mengumpulkan 2 contoh uji dahak
yang dikumpulkan berupa dahak Sewaktu-Pagi (SP):
- S (Sewaktu): dahak ditampung di fasyankes.

- P (Pagi): dahak ditampung pada pagi segera setelah bangun tidur.


Dapat dilakukan dirumah pasien atau di bangsal rawat inap
bilamana pasien menjalani rawat inap.
2) Pemeriksaan Tes Cepat Molekuler (TCM) TB
Pemeriksaan tes cepat molekuler dengan metode Xpert
MTB/RIF. TCM merupakan sarana untuk penegakan diagnosis,
namun tidak dapat dimanfaatkan untuk evaluasi hasil pengobatan.
3) Pemeriksaan Biakan
Pemeriksaan biakan dapat dilakukan dengan media padat
(Lowenstein-Jensen) dan media cair (Mycobacteria Growth

13
Indicator Tube) untuk identifikasi Mycobacterium tuberkulosis
(M.tb). Pemeriksaan tersebut diatas dilakukan disarana
laboratorium yang terpantau mutunya. Dalam menjamin hasil
pemeriksaan laboratorium, diperlukan contoh uji dahak yang
berkualitas. Pada faskes yang tidak memiliki akses langsung
terhadap pemeriksaan TCM, biakan, dan uji kepekaan, diperlukan
sistem transportasi contoh uji. Hal ini bertujuan untuk menjangkau
pasien yang membutuhkan akses terhadap pemeriksaan tersebut
serta mengurangi risiko penularan jika pasien bepergian langsung
ke laboratorium.
Pemeriksaan Penunjang Lainnya seperti foto toraks dan
Pemeriksaan histopatologi pada kasus yang dicurigai TB
ekstraparu.
b. Pemeriksaan uji kepekaan obat
Uji kepekaan obat bertujuan untuk menentukan ada tidaknya
resistensi M.tb terhadap OAT (MDR-TB). Uji kepekaan obat tersebut
harus dilakukan di laboratorium yang telah lulus uji pemantapan
mutu/Quality Assurance (QA), dan mendapatkan sertifikat nasional
maupun internasional.
c. Pemeriksaan serologis
Sampai saat ini belum direkomendasikan.

2.1.8.1 Alur Diagnosis TB


Diagnosis TB Paru pada orang dewasa harus ditegakkan terlebih dahulu
dengan pemeriksaan bakteriologis. Pemeriksaan bakteriologis yang
dimaksud adalah pemeriksaan mikroskopis, tes cepat molekuler TB dan
biakan.

Pemeriksaan TCM digunakan untuk penegakan diagnosis TB, sedangkan


pemantauan kemajuan pengobatan tetap dilakukan dengan pemeriksaan
mikroskopis.

Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan foto


toraks saja. Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang spesifik

14
pada TB paru, sehingga dapat menyebabkan terjadi overdiagnosis ataupun
underdiagnosis.

Tidak dibenarkan mendiagnosis TB dengan pemeriksaan serologis.

a. Faskes yang mempunyai Alat Tes Cepat Molukuler (TCM) TB:

1) Faskes yang mempunyai akses pemeriksaan TCM, penegakan diagnosis


TB pada terduga TB dilakukan dengan pemeriksaan TCM. Pada kondisi
dimana pemeriksaan TCM tidak memungkinkan (misalnya alat TCM
melampui kapasitas pemeriksaan, alat TCM mengalami kerusakan, dll),
penegakan diagnosis TB dilakukan dengan pemeriksaan mikroskopis.

2) Jika terduga TB adalah kelompok terduga MDR-TB dan terduga TB


HIV +, harus tetap diupayakan untuk dilakukan penegakan diagnosis TB
dengan TCM TB, dengan cara melakukan rujukan ke layanan tes cepat
molekuler terdekat, baik dengan cara rujukan pasien atau rujukan contoh
uji.

3) Jumlah contoh uji dahak yang diperlukan untuk pemeriksaan TCM


sebanyak 2 (dua) dengan kualitas yang bagus. Satu contoh uji untuk
diperiksa TCM, satu contoh uji untuk disimpan sementara dan akan
diperiksa jika diperlukan (misalnya pada hasil indeterminate, pada hasil
Rif Resistan pada terduga TB yang bukan kriteria terduga MDR TB, pada
hasil Rif Resistan untuk selanjutnya dahak dikirim ke Laboratorium LPA
untuk pemeriksaan uji kepekaan Lini-2 dengan metode cepat)
4) Contoh uji non-dahak yang dapat diperiksa dengan MTB/RIF terdiri
atas cairan serebrospinal (Cerebro Spinal Fluid/CSF), jaringan biopsi,
bilasan lambung (gastric lavage), dan aspirasi cairan lambung (gastric
aspirate).

5) Pasien dengan hasil TB Resistan Rifampisin tetapi bukan berasal dari


kriteria terduga MDR TB harus dilakukan pemeriksaan TCM ulang. Jika
terdapat perbedaan hasil, maka hasil pemeriksaan TCM yang terakhir yang
menjadi acuan tindakan selanjutnya.

6) Jika hasil TCM indeterminate, lakukan pemeriksaan TCM ulang. Jika


hasil tetap sama, berikan pengobatan TB Lini 1, lakukan biakan dan uji
kepekaan.

15
7) Pengobatan standar TB MDR segera diberikan kepada semua pasien TB
RR, tanpa menunggu hasil pemeriksaan uji kepekaan OAT lini 1 dan lini 2
keluar. Jika hasil resistensi menunjukkan MDR, lanjutkan pengobatan TB
MDR. Bila ada tambahan resistensi terhadap OAT lainnya, pengobatan
harus disesuaikan dengan hasil uji kepekaan OAT.

8) Pemeriksaan uji kepekaan menggunakan metode LPA (Line Probe


Assay) Lini-2 atau dengan metode konvensional

9) Pengobatan TB pre XDR/ TB XDR menggunakan paduan standar TB


pre XDR atau TB XDR atau menggunakan paduan obat baru.

10) Pasien dengan hasil TCM M.tb negatif, lakukan pemeriksaan foto
toraks. Jika gambaran foto toraks mendukung TB dan atas pertimbangan
dokter, pasien dapat didiagnosis sebagai pasien TB terkonfirmasi klinis.
Jika gambaran foto toraks tidak mendukung TB kemungkinan bukan TB,
dicari kemungkinan penyebab lain.

b. Faskes yang tidak mempunyai Alat Tes Cepat Molukuler (TCM) TB

1) Faskes yang tidak mempunyai alat TCM dan kesulitan mengakses


TCM, penegakan diagnosis TB tetap menggunakan mikroskop.

2) Jumlah contoh uji dahak untuk pemeriksaan mikroskop sebanyak 2


(dua) dengan kualitas yang bagus. Contoh uji dapat berasal dari dahak
Sewaktu-Sewaktu atau Sewaktu-Pagi.

3) BTA (+) adalah jika salah satu atau kedua contoh uji dahak
menunjukkan hasil pemeriksaan BTA positif. Pasien yang menunjukkan
hasil BTA (+) pada pemeriksaan dahak pertama, pasien dapat segera
ditegakkan sebagai pasien dengan BTA (+)

4) BTA (-) adalah jika kedua contoh uji dahak menunjukkan hasil BTA
negatif. Apabila pemeriksaan secara mikroskopis hasilnya negatif, maka
penegakan diagnosis TB dapat dilakukan secara klinis menggunakan hasil
pemeriksaan klinis dan penunjang (setidak-tidaknya pemeriksaan foto
toraks) yang sesuai dan ditetapkan oleh dokter.

5) Apabila pemeriksaan secara mikroskopis hasilnya negatif dan tidak


memilki akses rujukan (radiologi/TCM/biakan) maka dilakukan pemberian

16
terapi antibiotika spektrum luas (Non OAT dan Non kuinolon) terlebih
dahulu selama 1-2 minggu. Jika tidak ada perbaikan klinis setelah
pemberian antibiotik, pasien perlu dikaji faktor risiko TB.

c) Tinggal di wilayah berisiko

Gambar 2. Alur diagnosis TB menurut Pedoman Penanggulangan TB tahun

2.1.9 Diagnosis TB Ekstra Paru1


Pada diagnosis TB ekstra paru gejala dan keluhan tergantung pada
organ yang terkena, misalnya kaku kuduk pada Meningitis TB, nyeri dada

17
pada TB pleura (Pleuritis), pembesaran kelenjar limfe superfisialis pada
limfadenitis TB serta deformitas tulang belakang (gibbus) pada spondilitis
TB dan lain-lainnya. Diagnosis pasti pada pasien TB ekstra paru
ditegakkan dengan pemeriksaan klinis, bakteriologis dan atau
histopatologis dari contoh uji yang diambil dari organ tubuh yang terkena.
Pemeriksaan mikroskopis dahak wajib dilakukan untuk memastikan
kemungkinan TB Paru. Pemeriksaan TCM pada beberapa kasus curiga TB
ekstraparu dilakukan dengan contoh uji cairan serebrospinal (Cerebro
Spinal Fluid/CSF) pada kecurigaan TB meningitis, contoh uji kelenjar
getah bening melalui pemeriksaan Biopsi Aspirasi Jarum Halus/BAJAH
(Fine Neddle Aspirate Biopsy/FNAB) pada pasien dengan kecurigaan TB
kelenjar, dan contoh uji jaringan pada pasien dengan kecurigaan TB
jaringan lainnya.

2.1.10 Diagnosis MDR-TB1


Seperti juga pada diagnosis TB maka diagnosis TB-RO juga diawali
dengan penemuan pasien terduga TB-RO
- Terduga TB-RO
Terduga TB-RO adalah pasien yang memiliki risiko tinggi resistan
terhadap OAT, yaitu pasien yang mempunyai gejala TB yang
memiliki riwayat satu atau lebih di bawah ini:
a Pasien TB gagal pengobatan Kategori 2.

b) Pasien TB pengobatan kategori 2 yang tidak konversi setelah 3


bulan pengobatan.

c) Pasien TB yang mempunyai riwayat pengobatan TB yang tidak


standar serta menggunakan kuinolon dan obat injeksi lini kedua
paling sedikit selama 1 bulan.

d) Pasien TB gagal engobatan kategori 1

18
e) Pasien TB pengobatan kategori 1 yang tidak konversi setelah 2
bulan pengobatan.
f) Pasien TB kasus kambuh (relaps), dengan pengobatan OAT
kategori 1 dan kategori 2.

g) Pasien TB yang kembali setelah loss to follow-up (lalai


berobat/default).

h) Terduga TB yang mempunyai riwayat kontak erat dengan pasien


TB- RO, termasuk dalam hal ini warga binaan yang ada di
Lapas/Rutan, hunian padat seperti asrama, barak, buruh pabrik.

i) Pasien ko-infeksi TB-HIV yang tidak respons secara


bakteriologis maupun klinis terhadap pemberian OAT, (bila pada
penegakan diagnosis awal tidak menggunakan TCM TB).

19
2.1.11 Diagnosis TB pada Anak11
Pada anak-anak batuk bukan merupakan gejala utama. Pengambilan
dahak pada anak-anak biasanya sulit, maka diagnosis TB anak perlu kriteria
lain dengan menggunakan sistem skor. Ikatan Dokter Anak Indonesia
(IDAI) telah membuat Pedoman Nasional Tuberkulosis anak dengan
menggunakan sistem scoring system (skor), yaitu pembobotan terhadap
gejala dan tanda klinis yang dijumpai. Pedoman tersebut secara resmi
digunakan oleh program nasional pengendalian TB untuk diagnosis TB
anak. Berikut adalah sistem skoring TB pada anak:

Tabel 1. Sistem Skoring Tabel 1 . Skoring TB untuk anak

Diagnosis TB pada anak dengan sistem skoring sebaiknya


ditegakkan oleh dokter. Apabila di fasilitas pelayanan kesehatan tidak ada

20
dokter, pelimpahan wewenang terbatas dapat diberikan kepada petugas
kesehatan lainnya. Namun demikian, seharusnya hanya kepada petugas
yang sudah dilatih tentang strategi DOTS, untuk menegakkan diagnosis
dan tatalaksana TB anak. Dalam sistem skoring ini, anak didiagnosis TB
jika jumlah skor 6, dengan skor maksimal 13.
Anak dengan skor 6 yang diperoleh dari poin kontak dengan pasien
BTA positif dan hasil uji tuberkulin positif, tetapi TANPA gejala klinis,
maka pada anak tersebut belum perlu diberikan OAT. Anak tersebut cukup
dilakukan observasi atau diberi INH profilaksis, tergantung dari umur
anak.
Pasien usia balita yang mendapat skor 5, dengan gejala klinis yang
meragukan, maka pasien tersebut dirujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan
rujukan, untuk evaluasi lebih lanjut . Anak dengan skor 5 yang terdiri dari
poin kontak BTA positif dan 2 gejala klinis lain, pada fasilitas pelayanan
kesehatan yang tidak tersedia uji tuberkulin, maka dapat didiagnosis,
diterapi ,dan dipantau sebagai TB anak. Pemantauan dilakukan selama 2
bulan terapi awal, dan apabila terdapat perbaikan klinis, maka terapi OAT
dilanjutkan sampai selesai 6 bulan. Semua bayi dengan reaksi cepat (<2
minggu) setelah pemberian imunisasi BCG, seharusnya dicurigai telah
terinfeksi TB, dan harus dievaluasi dengan sistem skoring TB anak.

21
Gambar 3. Alur Diagnosis TB anak menurut Pedoman Penanggulangan TB tahun 2016

2.1.10. Pengobatan TB paru1,9,18


Proses penyembuhan dan pencegahan penularan penyakit TB
menjadi titik berat dalam menanggulangi kasus TB di Indonesia. Pada

22
dasarnya pencegahan dan pengobatan TB paru dilakukan dengan cara
memberikan obat anti TB yang baik dan cukup diikuti dengan kepatuhan
dalam mengonsumsi obat secara teratur. Terapi OAT yang diberikan terdiri
dari antibiotik dan anti infeksi sintetis.Mekanisme kerja obat ini adalah
membunuh bakteri, mensterilisasi dan mencegah terjadinya resistensi.Oleh
karena itu, kepatuhan pasien dalam mengonsumsi obat menjadi hal yang
membutuhkan pengawasan tingkat tinggi. Obat Anti Tuberkulosis (OAT)
adalah komponen terpenting dalam pengobatan TB. Pengobatan TB
merupakan salah satu upaya paling efisien untuk mencegah penyebaran
lebih lanjut kuman TB. Pengobatan yang adekuat harus memenuhi prinsip:
Pengobatan diberikan dalam bentuk paduan OAT yang tepat mengandung
minimal 4 macam obat untuk mencegah terjadinya resistensi.

Diberikan dalam dosis yang tepat.

Ditelan secara teratur dan diawasi secara langsung oleh PMO (Pengawas
Menelan Obat) sampai selesai pengobatan.

Pengobatan TB terdiri dari 2 tahap, yaitu tahap intensif (awal) dan


tahap lanjutan. Pada tahap awal pengobatan diberikan setiap hari. Paduan
pengobatan pada tahap ini adalah dimaksudkan untuk secara efektif
menurunkan jumlah kuman yang ada dalam tubuh pasien dan meminimalisir
pengaruh dari sebagian kecil kuman yang mungkin sudah resistan sejak
sebelum pasien mendapatkan pengobatan. Pengobatan tahap awal pada
semua pasien baru, harus diberikan selama 2 bulan. Pada umumnya dengan
pengobatan secara teratur dan tanpa adanya penyulit, daya penularan sudah
sangat menurun setelah pengobatan selama 2 minggu pertama. Pada tahap
lanjutan pengobatan bertujuan membunuh sisa sisa kuman yang masih ada
dalam tubuh, khususnya kuman persister sehingga pasien dapat sembuh dan
mencegah terjadinya kekambuhan
Pada tahap lanjutan inilah pasien sering lalai dalam mengonsumsi
obat. Umumnya mereka merasa sudah membaik setelah pengobatan tahap
intensif, padahal tahap lanjutan ini berperan penting untuk membunuh
bakteri dormant yang dapat menyebabkan terjadinya relaps atau
kekambuhan pada pasien.1,22

23
Terapi OAT lini pertama yang umum dipakai adalah isoniazid,
pyrazinamid, ethambutol, rifampisin, dan streptomisin. Untuk lini kedua
OAT adalah golongan florokuionolon (Levofloxacin, Moksifloxacin,
Gatifloxacin), OAT suntik lini ke (Kanamisin, Amikasin, Kapreomisin),
OAT oral lini ke-2 (Etionamid, sikloserin, Clofazimin, Linezolid), D1, D2
(Bedaquiline,Delamanid,Pretonamid),dan D3(Asam paraaminosalisilat,
imipenem-silastatin, meropenem, amoksilin klavulanat, dan thioasetazon.
Paduan OAT yang digunakan di Indonesia adalah sebagai berikut;
Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3 atau 2(HRZE)/4(HR).

Kategori2 : 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3 atau 2(HRZE)S/


(HRZE)/5(HR)E.
Kategori Anak : 2(HRZ)/4(HR) atau 2HRZE(S)/4-10HR.

Paduan OAT untuk pasien TB Resistan Obat: terdiri dari


OAT lini ke-2 yaitu Kanamisin, Kapreomisin,
Levofloksasin, Etionamide, Sikloserin, Moksifloksasin,
PAS, Bedaquilin, Clofazimin, Linezolid, Delamanid dan
obat TB baru lainnya serta OAT lini-1, yaitu pirazinamid
dan etambutol.

Pengobatan TB dengan paduan OAT Lini Pertama yang digunakan


di Indonesia dapat diberikan dengan dosis harian maupun dosis intermiten
(diberikan 3 kali perminggu) dengan mengacu pada dosis terapi yang telah
direkomendasikan.
Paduan OAT kategori-1 dan kategori-2 disediakan dalam bentuk
paket obat kombinasi dosis tetap (OAT-KDT). Tablet OAT KDT ini terdiri
dari kombinasi 2 dan 4 jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan
dengan berat badan pasien. Paduan ini dikemas dalam 1 (satu) paket untuk
1 (satu) pasien untuk 1 (satu) masa pengobatan.

Paket Kombipak adalah paket obat lepas yang terdiri dari Isoniasid
(H), Rifampisin (R), Pirazinamid (Z) dan Etambutol (E) yang dikemas
dalam bentuk blister. Paduan OAT ini disediakan program untuk pasien
yang tidak bisa menggunakan paduan OAT KDT.

24
Paduan OAT kategori anak disediakan dalam bentuk paket obat
kombinasi dosis tetap (OAT-KDT). Tablet OAT KDT ini terdiri dari
kombinasi 3 jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan
berat badan pasien. Paduan ini dikemas dalam satu paket untuk satu pasien
untuksatu (1) masa pengobatan.
Paduan OAT disediakan dalam bentuk paket, dengan tujuan untuk
memudahkan pemberian obat dan menjamin kelangsungan (kontinuitas)
pengobatan sampai selesai. Satu (1) paket untuk satu (1) pasien untuk satu
(1) masa pengobatan.
Obat Anti Tuberkulosis dalam bentuk paket KDT mempunyai
beberapa keuntungan dalam pengobatan TB, yaitu:
Mencegah penggunaan obat tunggal sehinga menurunkan
risiko terjadinya resistensi obat ganda dan mengurangi
kesalahan penulisan resep.

Dosis obat dapat disesuaikan dengan berat badan sehingga


menjamin efektifitas obat dan mengurangi efek samping.

Jumlah tablet yang ditelan jauh lebih sedikit sehingga


pemberian obat menjadi sederhana dan meningkatkan
kepatuhan pasien.
Pengobatan TB dengan paduan OAT Lini Pertama yang digunakan
di Indonesia dapat diberikan dengan dosis harian maupun dosis intermiten
(diberikan 3 kali perminggu) dengan mengacu pada dosis terapi yang telah
direkomendasikan.

Obat Dosis Rekomendasi


Harian 3 kali per minggu
Dosis (mg/kgBB) Maksimum(mg) Dosis (mg/KgBB) Maksimum(mg)
Isoniazid (H) 5(4-6) 300 10 (8-12) 900

Rifampisin (R) 10 (8-12) 600 10 (8-12) 600


Pirazinamid (Z) 25 (20-30) 35 (30-40)

Etambutol (E) 15 (15-20) 30 (25-35)


Streptomisin (S) 15 (12-18) 15 (12-18)
Tabel 2. Dosis Rekomendasi OAT lini pertama

Pengobatan Kategori-1:

25
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru:
- Pasien TB paru terkonfirmasi bakteriologis.
- Pasien TB paru terdiagnosis klinis.
- Pasien TB ekstra paru

a) Dosis harian Kategori 1

Berat Badan Tahap Intensif Tahap Lanjutan


Setiap hari Setiap hari
RHZE(150/75/400/275) RH (150/75)
selama 56 hari selama 16 minggu

30 37 kg 2 tablet 4KDT 2 tablet

38 54 kg 3 tablet 4KDT 3 tablet

55 70 kg 4 tablet 4KDT 4 tablet

71 kg 5 tablet 4KDT 5 tablet

Tabel 3. Dosis Paduan OAT KDT Kategori 1 (2(HRZE)/4(HR))

b) Dosis harian fase awal dan dosis intermiten fase lanjutan (2(HRZE)/4(HR)3)
Tabel 4. Dosis Paduan OAT KDT Kategori 1 (2(HRZE)/4(HR)3)
Berat Badan Tahap Intensif Tahap Lanjutan
Setiap hari 3 kali seminggu
RHZE(150/75/400/275) RH (150/150)
Tahap Lama selama 56Dosis
hari per hari / kali selama 16 minggu Jumlah
Pengobatan Pengobatan hari/kali
menelan
30 37 kg 2 tablet 4KDT 2 tablet 2KDT obat
Tablet Kaplet Tablet Tablet
Isoniasid Rifampisin Pirazinamid Etambutol
38 54 kg @300
3 tablet 4KDT @450 mgr @3 tablet
500 mgr2KDT @ 250
mgr mgr
55 70 kg 4 tablet 4KDT 4 tablet 2KDT
Intensif 2 bulan 1 1 3 3 56
71 kg 5 tablet 4KDT 5 tablet 2 KDT
Lanjutan 4 bulan 2 1 - - 48

Tabel 5. Dosis Paduan OAT Kombipak Kategori 1

Pengobatan Kategori -2
- Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang pernah
diobati sebelumnya (pengobatan ulang) yaitu:
- Pasien kambuh.
- Pasien gagal pada pengobatan dengan paduan OAT kategori 1
sebelumnya.
- Pasien yang diobati kembali setelah putus berobat (lost to follow-
up).

26
a) Dosis harian {2(HRZE)S/(HRZE)/5(HRE)}

Berat badan Tahap Intensif Tahap Lanjutan


Setiap hari Setiap hari
RHZE (150/75/400/275) + S RHE (150/75/275)

Selama 56 hari Selama 28 hari selama 20 minggu

30-37 kg 2 tab 4KDT 2 tab 4KDT 2 tablet


+ 500 mg Streptomisin inj.

38-54 kg 3 tab 4KDT 3 tab 4KDT 3 tablet


+ 750 mg Streptomisin inj.

55-70 kg 4 tab 4KDT 4 tab 4KDT 4 tablet


+ 1000 mg Streptomisin
inj.

71 kg 5 tab 4KDT 5 tab 4KDT 5 tablet


+ 1000mg Streptomisin
inj.

Tabel 6. Dosis Paduan OAT KDT Kategori 2 {2(HRZE)S/(HRZE)/5(HRE)}

b) Dosis harian fase awal dan dosis intermiten fase lanjutan {2(HRZE)S/
(HRZE)/5(HR)3E3)}

Berat Badan Setiap hari 3 kali seminggu


RHZE (150/75/400/275) + S RH (150/150) +
E(400)

Selama 56 hari Selama 28 hari selama 20 minggu

30-37 kg 2 tab 4KDT 2 tab 4KDT 2 tab 2KDT


+ 500 mg Streptomisin inj. + 2 tab Etambutol
.
38-54 kg 3 tab 4KDT 3 tab 4KDT 3 tab 2KDT
+ 750 mg Streptomisin inj. + 3 tab Etambutol

55-70 kg 4 tab 4KDT 4 tab 4KDT 4 tab 2KDT


+ 1000 mg Streptomisin + 4 tab Etambutol
inj.

71 kg 5 tab 4KDT 5 tab 4KDT 5 tab 2KDT


+ 1000mg Streptomisin + 5 tab Etambutol
inj.

Tabel 7. Dosis Paduan OAT KDT Kategori 2 {2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3)

27
Tahap Lama Tablet Kaplet Tablet Etambutol Streptom Jumlah
Pengobata Pengobata Isoniasi Rifampisi Pirazinami isin hari/kal
n n d @300 n @450 d @ 500 injeksi i
mgr mgr mgr Tablet Tablet menela
@250 @400 n obat
mgr mgr

Tahap 2 bulan 1 1 3 3 - 0,75 gr 56


Awal
(dosis
harian)

1 bulan 1 1 3 3 - - 28

Tahap 2 1 - 1 2 - 60
Lanjutan
(dosis 3x 5 bulan
semiggu)

Tabel 11. Dosis Paduan OAT Kombipak Kategori 2 2HRZES/HRZE/ 5H3R3E3

2.1.11 Pencegahan1
Salah satu upaya pencegahan mencegah kesakitan atau sakit yang berat
adalah dengan memberikan kekebalan berupa vaksinasi dan pengobatan
pencegahan (profilaksis).
- Pemberian Kekebalan (Imunisasi) BCG
Vaksin BCG (Bacille Calmette-Gurin) adalah vaksin hidup
yang dilemahkan yang berasal dari Mycobacterium bovis.
Pemberian vaksinasi BCG berdasarkan Program Pengembangan
Imunisasi diberikan pada bayi 0-2 bulan. Pemberian vaksin BCG
pada bayi > 2 bulan harus didahului dengan uji tuberkulin.
Petunjuk pemberian vaksinasi BCG mengacu pada Pedoman
Program Pemberian Imunisasi Kemenkes. Secara umum
perlindungan vaksin BCG efektif untuk mencegah terjadinya TB
berat seperti TB milier dan TB meningitis yang sering didapatkan
pada usia muda. Vaksinasi BCG ulang tidak direkomendasikan
karena tidak terbukti memberi perlindungan tambahan.
Perhatian khusus pada pemberian vaksinasi BCG yaitu :
1. Bayi terlahir dari ibupasien TB BTA positif
2. Bayi terlahir dari ibu pasien infeksi HIV/AIDS

28
3. Limfadenitis BCG
- Pengobatan Pencegahan dengan INH
Sebagai salah satu upaya pencegahan TB aktif pada ODHA,
pemberian pengobatan pencegahan dengan Isoniazid (PP INH)
dapat diberikan pada ODHA yang tidak terbukti TB aktif dan tidak
ada kontraindikasi terhadap INH. Dosis INH yang diberikan adalah
300 mg per hari dengan dosis maksimal 600 mg per hari, ditambah
Vitamin B6 25 mg per hari selama 6 bulan. Pemberian Pengobatan
Pencegahan dengan Isoniazid (PP INH) pada anak PP INH
diberikan kepada anak umur dibawah lima tahun (balita) yang
mempunyai kontak dengan pasien TB tetapi tidak terbukti sakit
TB.
- Dosis INH adalah 10 mg/kg BB/hari (maksimal 300 mg/hari).

- Obat dikonsumsi satu kali sehari, sebaiknya pada waktu yang sama
(pagi, siang, sore atau malam) saat perut kosong (1 jam sebelum
makan atau 2 jam setelah makan).

- Lama pemberian PP INH adalah 6 bulan (1 bulan = 28 hari


pengobatan), dengan catatan bila keadaan klinis anak baik. Bila
dalam follow up timbul gejala TB, lakukan pemeriksaan untuk
penegakan diagnosis TB. Jika anak terbukti sakit TB, PP INH
dihentikan dan berikan OAT.

- Obat tetap diberikan sampai 6 bulan, walaupun kasus indeks


meninggal, pindah atau BTA kasus indeks sudah menjadi negatif.

- Dosis obat disesuaikan dengan kenaikan BB setiap bulan.

- Pengambilan obat dilakukan pada saat kontrol setiap 1 bulan, dan


dapat disesuaikan dengan jadwal kontrol dari kasus indeks.

- Pada pasien dengan gizi buruk atau infeksi HIV, diberikan Vitamin
B6 10 mg untuk dosis INH 200 mg/hari, dan 2x10 mg untuk dosis
INH >200 mg/hari

- Yang berperan sebagai pengawas minum obat adalah orang tua


atau anggota keluarga pasien.

29
BAB III
PROFIL PUSKESMAS KAMPUS PALEMBANG

3.1. Gambaran Umum


3.1.1 Letak dan Batas Wilayah kerja Puskesmas Kampus
Puskesmas Kampus terletak di Kecamatan Ilir barat I Kelurahan Lorok
Pakjo dengan luas wilayah 227 Ha.

30
Batas wilayah kerja Puskesmas Kampus ;
Sebelah Utara berbatasan dengan Kelurahan Demang Lebar Daun
Sebelah Selatan berbatasan dengan Kelurahan Bukit Lama
Sebelah Barat berbatasan dengan Kelurahan Demang Lebar daun
Sebelah Timur berbatasan dengan Kelurahan 26 Ilir DI
Wilayah kerja Puskesmas Kampus meliputi 1 kelurahan yaitu Kelurahan
Lorok Pakjo dengan luas wilayah kerjanya 227 Ha. Terbagi lagi menjadi 15 RW
dan 62 RT. Pada Tahun 2016 jumlah penduduk wilayah kerja Puskesmas Kampus
mencapai 30.652 jiwa.

3.1.2 Pustu (Puskesmas Pembantu)


Puskesmas Kampus memiliki 2 pustu (Puskesmas Pembantu) yaitu :
a. Pustu Puncak Sekuning
b. Pustu Sei sahang
Pustu Puncak sekuning terletak di jalan puncak sekuning berdiri pada
tahun 1983 dengan luas tanah 247m2, sedangkan pustu sei sahang terletak di jalan
Sei Sahang No. 3497 berdiri pada tahun 1991 dengan luas tanah + 100 m 2.
Masing-masing pustu di pimpin oleh seorang bidan.
Pustu adalah unit pelayanan kesehatan yang sederhana dan berfungsi
menunjang dan membantu memperluas jangkauan puskesmas dengan
melaksanakan kegiatan-kegiatan yang dilakukan puskesmas dalam ruang lingkup
wilayah yang lebih kecil serta jenis dan kompetensi pelayanan yang disesuaikan
dengan kemampuan tenaga dan sarana yang tersedia.

3.2. Gambaran Sejarah Perkembangan Puskesmas Kampus


Puskesmas Kampus berdiri sejak tahun 1978 dengan nama Puskesmas
Kampus, dimana bangunannya berada diatas tanah hibah dari Pemerintah Provinsi
Sumatera Selatan dengan luas tanah 1560 m2 dengan wilayah kerja Kecamatan Ilir
Barat I. Pada waktu pertama berdiri Puskesmas Kampus memberikan
pelayanan/pengobatan umum, pengobatan gigi dan KIA.
Puskesmas Kampus terletak di Jalan Golf Blok G-5 RT. 31 Kampus
Palembang. Masyarakat yang ingin berobat dapat menjangkaunya dengan berjalan

31
kaki maupun menggunakan kendaraan bermotor karena Puskesmas Kampus tidak
dilewati kendaraan umum.
Adapun Pimpinan Puskesmas Kampus yang pernah bertugas di Puskesmas
Kampus sebagai berikut :
1. dr. Ratna
2. dr. Eddy Sarkati
3. dr. Jin Tetahilo
4. dr. Habibah
5. dr. Susilawati
6. dr. Desty Aryani 1998 Agustus 2002
7. dr. Indrayati Agustus 2002 Januari 2003
8. dr. Salilul Hulwan.M Januari 2003 Mei 2009
9. dr.Yulifa Mei 2009 Mei 2010
10. dr. Cindy Tiaranita Mei 2010 Oktober 2011
11.dr. Yuliarni, M.Kes Oktober 2011 Sekarang

Secara fisik Puskesmas Kampus mengalami perbaikan total pada tahun


2015, sehingga tampak seperti penampilan saat ini. Dengan penampilan yang
menarik dan SDM yang memadai, Puskesmas Kampus akan memberikan
pelayanan yang terbaik kepada masyarakat.
Dalam rangka implementasi Pengelolaan Keuangan Badan Layanan
Umum Daerah (PPKBLUD), maka Puskesmas Kampus perlu disesuaikan
berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2005
tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum. Maka struktur organisasi
Puskesmas Kampus dikembangkan dari organisasi yang saat ini ada. Perubahan
paling mendasar dilakukan untuk membenahi aspek pengelolaan keuangan,
pengawasan, monitoring dan evaluasi. Sedangkan bagian lain hanya akan berubah
secara minor atau tidak dilakukan perubahan sama sekali. Penguatan dalam
akuntabilitas dan transparansi organisasi menjadi tujuan utama dalam
pembenahan organisasi.
Berdasarkan Peraturan Walikota Palembang Nomor 3 tahun 2013 tanggal
15 Januari 2013, tantang Pembentukan Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD)

32
Pusat Kesehatan Masyarakat), struktur organisasi Puskesmas Kampus Palembang
adalah sebagai berikut:
a. Unsur Pimpinan, yaitu Kepala Puskesmas
b. Unsur Pembantu Pimpinan yaitu Sub Bagian Tata Usaha
c. Unsur Pelaksana, yaitu Koordinator Program
d. Kelompok Jabatan Fungsional
Puskesmas Kampus baru ditetapkan menjadi Badan Layanan Umum
Daerah (BLUD) Penuh pada tahun 2014, dan belum dibentuk Dewan Pengawas.
Dewan Pengawas bisa dibentuk jika omzet penerimaan Puskesmas Kampus telah
mencapai 15 Milyar atau nilai aset telah mencapai 75 Milyar.
Puskesmas Kampus mendapatkan sertifikat iso 9001: 2008 dari NQA pada
tahun 2016.

3.3. Keadaan Kependudukan


Pada tahun 2016, jumlah penduduk di wilayah kerja Puskesmas Kampus adalah
30.652 jiwa , terdiri dari 15.491 jiwa laki-laki dan 15. 161 jiwa Perempuan.
Tabel. 1.
Data Penduduk Puskesmas Kampus Tahun 2016
NO URAIAN LOROK PAKJO
1. Luas Wilayah (KM) 227 Ha

2. Penduduk 30.652
Laki-laki 15.491
Perempuan 15.161

3. KK 6121
RT 62
RW 15
Rumah 5681

4. Data Penduduk Sasaran


a. Bayi 0 11 bulan 601
b. Balita 12 59 bulan 2225
c. Bumil 680
d. Bulin 680
e. Bufas 650
f. WUS 8282
g. PUS 4638
h. Lansia 6985
i. Remaja 5278

5. Penduduk berdasarkan Pekerjaan


a. PNS 4397
b. ABRI 1987

33
c. Swasta 1871
d. BUMN 1126
e. Tani -
f. Dagang 879
g. Pensiunan 1089
h. Warakawuri 590
i. Jasa (Buruh) 8317
j. Pelajar 691
k. Mahasiswa 8138
l. Wiraswasta 1567
m. Lain

6. Penduduk berdasarkan agama


a. Islam 27940
b. Kristen Protestan 618
c. Kristen Katholik 396
c. Budha 1676
d. Hindu 22

7. Fasilitas Kesehatan
a. Rumah sakit 3
b. Rumah bersalin 1
c. Balai Pengobatan 2
d. Dokter umum praktek 4
e. Bidan Praktek 8
f. Apotik 5
g. Optik 9
h. Puskesmas Pembantu 2
i. Toko Obat 1
j. Pengobatan tradisional 5
k. Dokter gigi Praktek 3

8. Fasilitas Pendidikan
a. Pra Sekolah 888
b. SD/MI 2528
c. SMP/MT 1308
d. SMU/MA 2908
e. Pesantren -
f. Jumlah murid seluruh 7778

9. UKGMD
a. Posyandu 17
b. Posyandu aktif 17
c. Jumlah kader 88
d. Dukun bayi -

10. KESLING
a. Jumlah rumah 5681
b. Sumber air bersih 5681
* Sumur pompa tangan 0
* PDAM 5681
* Sumur gali 9

34
* Jamban keluarga 5681
* SPAL -
* TPS 0

c. Tempat-tempat umum
* Masjid 15
* Musholla 7
* Salon 5
* Pasar 0
*Kelenteng 7
*Pesantren 1

d. Tempat industri
* Pengelolahan tempe/tahu -
* Kerupuk 15
* Roti -
* Lain-lain 0

e. Tempat-tempat makan
* Restoran 29
* Warung nasi 9
* Warung kopi 0

3.4. Sosial Ekonomi


Pembiayaan kesehatan di Indonesia secara garis besar berasal dari
pemerintah, swasta (masyarakat) dan bantuan luar negeri. Di sektor pemerintah,
pembiayaan kesehatan digunakan untuk pembangunan dan pengadaan fisik dan
non-fisik.
Dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatannya, Puskesmas Kampus
mendapatkan pembiayaan dari berbagai sumber pembiayaan. Sumber pembiayaan
kesehatan yang terbesar di Puskesmas Kampus pada tahun 2015 bersumber dari
dana Kapitasi BPJS yang merupakan klaim terhadap pelayanan kesehatan bagi
masyarakat yang menggunakan BPJS. Berdasarkan Perwako Kota Palembang,
dana klaim untuk BPJS dimanfaatkan untuk biaya pelayanan sebesar 100 % dari
nilai kapitasi yang terdiri dari 60% untuk jasa layananan, 15% untuk biaya
pengadaan obat, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai, 23% untuk biaya
operasional pelayanan kesehatan lainnya meliputi belanja barang, jasa, dan
belanja modal, dan 2% untuk biaya pembinaan. Untuk Klaim Jamsoskes dan
Umum terdiri dari 60% untuk jasa layanan, 15 % untuk biaya pengadaan obat, alat
kesehatan, dan bahan medis habis pakai, 23% untuk biaya operasional pelayanan

35
kesehatan lainnya meliputi belanja barang, jasa, dan belanja modal, dan 2% untuk
biaya pembinaan. Dana tetap di rekening dan dikelola masing-masing Pusat
Kesehatan Masyarakat yang dalam perencanaan serta pelaksanaannya di fasilitasi
dan dikoordinasikan oleh Dinas Kesehatan Kota Palembang.

3.5. Sosial Budaya


Penduduk yang mempunyai pendidikan SMA ke atas setiap tahun semakin
meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah institusi pendidikan baik negeri
maupun swasta. Penduduk yang tergolong tingkat ekonomi menengah keatas
memberikan gambaran yang cenderung meningkat. Hal ini ditopang oleh kegiatan
perdagangan, perindustrian serta perkebunan. Preferensi terhadap tempat
pelayanan kesehatan menunjukan kecenderungan kearah pemilihan tempat
pelayanan yang menyediakan tenaga medis.

3.6. Politik
Dengan adanya pemekaran wilayah Kota Palembang melalui Peraturan
Pemerintah No.23 Tahun 1998 tanggal 6 Desember 1998 dan pemekaran
Kecamatan dalam kota Palembang melalui Peraturan Daerah No.23 tahun 2000
tanggal 5 Desember 2000, maka perkembangan pemukiman penduduk, sarana
umum, dan sarana sosial akan terjadi dimana-mana. Perkembangan tersebut
tentunya akan juga menambah luas jangkauan pelayanan kesehatan.
Aspek legal dan regulasi antara lain adalah Peraturan Pemerintah di bidang
kesehatan maupun diluar bidang tersebut yang mempunyai pengaruh terhadap
organisasi Puskesmas Kampus. Peraturan-peraturan tersebut akan berpengaruh
terhadap Puskesmas Kampus dalam mengembangkan segala kebijakan termasuk
pemasaran.

3.7. Kesehatan dan Teknologi


Sarana kesehatan yang tersedia di wilayah Kelurahan Lorok Pakjo dinilai
cukup memadai. Dalam proyeksi meningkatnya jumlah penduduk kelurahan
Lorok Pakjo dan sekitarnya akan berbanding setara dengan peningkatan
kebutuhan pelayanan kesehatan.

36
Puskesmas sering kali dikaitkan dengan bisnis yang mengikuti teknologi,
terutama teknologi kedokteran, sehingga mudah dimengerti adanya teknologi baru
yang lebih baik akan membuat manajemen mempertimbangkan menggunakannya
untuk kepentingan pelanggan Puskesmas Kampus.

3.8. Fasilitas Pelayanan Kesehatan


Di Puskesmas Kampus terdapat berbagai fasilitas dan sarana pelayanan
kesehatan, berikut akan disajikan sarana dan fasilitas yang ada dan yang belum
terdapat di Puskesmas Kampus
Didalam Puskesmas Kampus ada beberapa ruangan sebagai pusat kegiatan:
Ruang Loket
Ruang Apotik
Ruang Balai pengobatan Umum/MTBS/Ruang Tindakan
Ruang Balai pengobatan Gigi/Ruang koordinator UKS/UKGS
Ruang Tata Usaha/ Ruang Data/ Ruang arsip/ perpustakaan
Ruang KIA
Ruang KB
Ruang Gudang Obat
Ruang Pimpinan Puskesmas
Ruang Tunggu
Ruang Pertemuan
Ruang Laboratorium
Kamar Mandi/WC

3.9. Pelayanan Kesehatan Tingkat Puskesmas


Untuk mencapai visi pembangunan kesehatan melalui Puskesmas Kampus yakni
Mewujudkan kelurahan Lorok Pakjo sehat yang optimal dengan bertumpu pada
pelayanan prima dan pemberdayaan masyarakat. Puskesmas Kampus memberikan
pelayanan kepada masyarakat Kecamatan Ilir barat I Kelurahan Lorok Pakjo dan
masyarakat diperbatasan sekitarnya, meliputi:
Pelayanan Kesehatan Wajib
a. Upaya Promosi Kesehatan

37
Meliputi penyebarluasan informasi kepada masyarakat wilayah binaan
Puskesmas Kampus.
Kegiatan tersebut adalah
1) Penyuluhan langsung
2) Penyebaran leafletleaflet
3) Pemasangan spanduk
4) Screening siswa SD, SMP, dan SMU (17 Sekolah)

b. Upaya Kesehatan Lingkungan


1) Pengawasan kesehatan TTU, TPM/ Rumah tanggga
2) Pengawasan dan pembinaan rumah yang memenuhi standar kesehatan
3) Konseling kesehatan lingkungan
4) Pengawasan & pembinaan SAB (Sarana Air bersih), jamban, TPS (tempat
pembuangan sampah)
5) Pengawasan & pembinaan DAMIU (Depot air minum isi ulang)

c. Upaya Kesehatan Ibu dan Anak serta Keluarga Berencana


1) KIA
a) Kunjungan Bumil, Nifas, Neonatal yang beresiko
b) Pelayanan KIA di Posyandu
c) Deteksi Intelegensia di Posyandu
d) Kegiatan kelas ibu hamil
e) BIAS (Bulan Imunisasi anak sekolah)
f) DDTK / Pemantauan perkembangan intelegensia
2) KB
a) Pelayanan KB bagi ibu Nifas

d. Upaya Perbaikan Gizi Masyarakat


1) Pemantauan Pertumbuhan ke TK/ PAUD
1) Distribusi Vit. A
2) Kunjungan pendamping gizi buruk, kurang dan bumil KEK
3) Pemantauan pertumbuhan balita (operasi timbang)
4) Konfirmasi Gizi Buruk
5) Sweeping Vit. A
6) Pemantauan Garam Yodium di Rt & sekolah
7) Sosialisasi pemberian Fe pada remaja putri

e. Upaya Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit Menular


1) Kegiatan Imunisasi
2) Pelacakan kasus Tb dan kunjungan rumah kasus pneumonia.

38
Pelayanan Kesehatan Pengembangan
Upaya kesehatan pengembangan Puskesmas Kampus dapat pula bersifat upaya
inovasi, yakni upaya lain diluar upaya Puskesmas Kampus tersebut diatas yang sesuai
dengan kebutuhan. Pengembangan dan pelaksanaan upaya inovatif ini adalah dalam
rangka mempercepat tercapainya visi Puskesmas Kampus. Penetapan upaya kesehatan
pengembangan pilihan Puskesmas Kampus ini dilakukan oleh Dinas Kesehatan Kota.
Upaya kesehatan pengembangan yang ada di Puskesmas Kampus yang telah ada yaitu
Upaya Kesehatan Sekolah/ UKGS, Upaya Kesehatan Olahraga, Upaya Perawatan
Kesehatan Masyarakat, Upaya Kesehatan Gigi dan Mulut, Upaya Kesehatan Jiwa,
Upaya Kesehatan Mata, Upaya Kesehatan Usia Lanjut dan Upaya Pembinaan
Pengobatan Tradisional.

3.10 Permasalahan di Puskesmas Kampus


Puskesmas sudah membuat berbagai upaya kesehatan perorangan dan upaya
kesehatan masyarakat yang sesuai dengan azas penyelenggaraan puskesmas,
namun hal ini perlu ditunjang oleh manajemen puskesmas yang baik. Perencanaan
Tingkat Puskesmas (PTP) merupakan inti kegiatan manajemen puskesmas, karena
semua kegiatan manajemen diatur dan diarahkan melalui perencanaan. PTP akan
memberikan pandangan menyeluruh terhadap semua tugas, fungsi, dan peranan
yang akan dijalankan dan menjadi tuntunan dalam proses pencapaian tujuan
puskesmas secara efektif dan efisien. Berikut permasalahan yang dihadapi
Puskesmas Kampus tahun 2016 beserta penetapan prioritasnya seperti yang
tertuang dalam PTP Puskesmas Kampus tahun 2016.

No Uraian Masalah Hasil Analisis Skoring USG

Urgent Serious Growth Total Keterangan


Kepatuhan berobat Masalah dg nilai
1 pasien hipertensi 23% 5 5 5 15 USG 15,
kurang Prioritas 1
Pemanfataan posyandu
untuk pemantauan
2 83% 5 5 5 15
balita masih rendah (83
%)
Kenakalan remaja yang
3 4 5 4 13
meningkat
Antri di poli umum yang
4 4 4 4 12
lama
Proses di pendaftaran
5 4 4 4 12
yang lama
6 Cakupan Tb paru belum 42,80% 5 5 5 15
mencapai target

39

Kespro
Masih ada kesenjangan
7 3,50% 4 5 4 13
antara K1 dan K4
Masih tingginya angka
8 20% 5 5 5 15
bumil resti
Masih tingginya
9 65% 5 5 5 15
kejadian DBD

Dari Matriks Penilaian didapatkan masalah utama Puskesmas Kampus adalah


sebagai berikut :
1. Kepatuhan berobat pasien hipertensi 23% kurang dari target 100%
2. Pemanfaatan posyandu untuk pemantauan balita 83% kurang dari target
100%
3. Cakupan TB Paru 42,80% kurang dari target 70%
4. Masih tingginya angka bumil resti 20% kurang dari target 20%
5. Masih tingginya kejadian DBD 65% lebih target dari 49%

Salah satu permasalahan yang masih dihadapi di Puskesmas Kampus adalah


masih rendahnya cakupan penemuan kasus baru TB paru. Berikut penetapan
rumusan masalah yang mencakup apa masalahnya, siapa yang terkena
masalahnya, berapa besar masalahnya, dimana masalah itu terjadi dan bilamana
masalah itu terjadi. ( what, who,when,where, dan how).
Rumusan
What Who When Where How
Masalah

Akan
Cakupan Tb
meningkatkan
paru belum Target Pasien TB Setiap
Puskesmas angka
mencapai kurang Paru saat
kesakitan TB
target
Paru

Selanjutnya, dilakukan analisis untuk mengetahui akar dari permasalahan tersebut


dengan menggunakan metode Ishikawa (Fish Bone Diagram). Berikut rincian
akar permasalahan rendahnya cakupan penemuan kasus baru TB paru di
Puskesmas Kampus Palembang.

40
Berikut alternatif
pemecahan
masalah terpilih yang
ditetapkan
dalam upaya

41
pengendalian penyebaran dan menurunkan angka kasus baru tuberculosis di
Puskesmas Kampus Palembang

BAB IV

METODE PENELITIAN

42
4.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian deskriptif yang dilakukan melalui
pengamatan langsung terhadap para anggota keluarga yang kontak serumah dengan
penderita TB paru BTA (+) di wilayah kerja Puskesmas Kampus Palembang.

4.2 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan pada bulan April 2017 di Puskesmas Kampus Palembang.

4.3 Populasi dan Sampel

4.3.1 Populasi

Populasi pada penelitian ini adalah semua anggota keluarga yang kontak serumah
dengan penderita TB paru BTA (+) di wilayah kerja Puskesmas Kampus Palembang.

4.3.2 Sampel

Sampel pada penelitian ini adalah semua anggota keluarga yang kontak serumah
dengan penderita TB paru BTA (+) dari tanggal 1 Januari 2016 - April 2017 di Puskesmas
Kampus Palembang.

4.3.3 Cara Pemilihan Sampel

Pemilihan sampel dilakukan dengan metode total sampling, yaitu semua anggota
keluarga yang kontak serumah dengan penderita TB paru dari tanggal 1 Januari 2016 -
April 2017 di Puskesmas Kampus Palembang dan memenuhi kriteria-kriteria yang telah
dipertimbangkan peneliti akan dijadikan sebagai subjek penelitian.

4.3.4 Kriteri Inklusi dan Eksklusi

1. Kriteria Inklusi
a. Anggota keluarga penderita TB paru BTA (+) yang memiliki riwayat
kontak lama dengan penderita.
b. Anggota keluarga belum pernah menderita TB paru sebelumnya.
2. Kriteria Eksklusi
a. Pasien tidak bersedia diwawancarai dan dikunjungi rumahnya.

4.4 Variabel Penelitian

Variabel dalam penelitian ini adalah jumlah anggota keluarga yang menunjukkan
gejala TB paru akibat penularan dari penderita TB paru dan kondisi lingkungan hunian

43
sebagai faktor resiko penularan TB paru. Kondisi lingkungan hunian yang dinilai meliputi
kepadatan hunian, kondisi lantai rumah, kondisi dinding rumah, dan pencahayaan rumah.

4.5 Definisi Operasional


1. Kepadatan Hunian Rumah
Definisi : Perbandingan antara luas lantau rumah dengan jumlah anggota
keluarga yang tinggal di rumah tersebut.

Cara Ukur : Observasi

Hasil Ukur : 0. Hunian memenuhi Syarat (6m2/orang)

1. Hunian Tidak memenuhi Syarat (<6/m2/orang)

Skala Ukur : Nominal

2. Dinding Rumah
Definisi : Bagian pelindung sisi rumah, baik dari gangguan hujan dan
angin serta melindungi dari pengaruh panas dan debu luar
ruangan.
Cara Ukur : Observasi
Hasil Ukur : 0. Dinding permanen
1. Dinding tidak permanen atau semi permanen
Skala Ukur : Nominal

3. Lantai Rumah
Definisi : Tempat individu dalam rumah untuk berpijak dan melakukan
aktivitasnya.
Cara Ukur : Observasional
Hasil Ukur : 0. Semen atau keramik
1. Tanah atau kayu
Skala Ukur : Nominal
4. Pencahayaan Rumah
Definisi : Banyaknya cahaya matahari yang masuk dari luar.
Cara Ukur : Observasi
Hasil Ukur : 0. Pencahayaan cukup (melebihi pencahayaan 10 lilin)
1.Pencahayaan kurang (pencahayaan kurang dari 10 lilin)
Skala Ukur : Nominal

4.5 Cara Kerja/Cara Pengumpulan Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer. Data diperoleh
melalui kunjungan rumah dan pengamatan langsung semua anggota keluarga yang kontak
serumah dengan penderita TB paru. Pengamatan dan wawancara dilakukan dengan
berpedoman pada panduan penegakan diagnosis TB paru untuk anggota keluarga yang

44
sudah dewasa dan sistem skoring untuk anggota keluarga yang berusia kurang dari 5
tahun. Anggota keluarga penderita TB yang menunjukkan gejala tertular TB paru akan
segera dirujuk ke Puskesmas Kampus Palembang untuk diperiksa secara lebih lanjut.

4.6 Cara Pengolahan dan Penyajian Data

Data yang telah didapatkan akan diolah dan disajikan secara deskriptif untuk
melihat angka insidensi kasus baru TB paru BTA (+) dan gambaran faktor resiko
lingkungan hunian penderita dalam penularan TB di wilayah kerja Puskesmas Kampus
Palembang.

4.7 Kerangka Operasional

Semua anggota keluarga yang tinggal serumah


dengan penderita TB paru BTA (+) dari Januari
2016 April 2017 di Puskesmas Kampus
Palembang.

Pendataan melalui
kunjungan rumah dan
pengamatan langsung

Usia< 5 tahun 5 14 Tahun > 14 Tahun

Sistem scoring TB Panduan penegakan Panduan penegakan


anak diagnosis TB paru diagnosis TB paru

Gejala TB Gejala TB Gejala TB Gejala TB Gejala TB Gejala TB


(-) (+) (-) (+) (-) (+)

Disarankan
Dirujuk ke Puskesmas Kampus untuk
pemberian 45
diperiksa secara lebih lanjut
profilaksis Data diolah dan disajikan
Isoniazid (INH) secara deskriptif
BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Hasil Penelitian

Penelitian yang dilakukan adalah penelitian observasional dengan yang


dilakukan melalui pengamatan langsung terhadap para anggota keluarga yang
tinggal serumah dengan penderita TB paru di wilayah kerja Puskesmas Kampus
Palembang.

Penelitian dilakukan pada bulan April 2017 dengan pengambilan sampel


dilakukan selama kurang lebih satu tahun, yaitu pada bulan Januari 2016 hingga
April 2017. Subjek penelitian ini adalah semua anggota keluarga yang tinggal
serumah dengan penderita TB paru BTA (+) di wilayah kerja Puskesmas Kampus
Palembang. Data diperoleh melalui observasi langsung dan wawancara yang
dilakukan pada saat kunjungan rumah.

5.1.1 Gambaran penderita TB paru di Puskesmas Kampus Palembang sejak


Januari 2016 - April 2017

46
Tabel 5.1. Gambaran penderita TB paru di Puskesmas Kampus secara umum.

Tuberculosis Jumlah

TB Paru BTA (+) 16

TB Paru BTA (-) 8

Total 24

Tabel 5.1 menunjukkan jumlah pasien TB pada wilayah kerja Puskesmas


Kampus sebanyak 24 orang, dengan 16 orang menderita TB paru BTA (+) dan 8 orang
menderita TB paru BTA (-).

Tabel 5.2. Gambaran Penderita TB paru BTA (+) berdasarkan sebaran usia dan jenis
kelamin.

< 5 Tahun 5-14 Tahun > 14 Tahun

Laki-laki Perempuan Laki-laki Perempuan Laki-laki Perempuan

1 orang 0 orang 0 orang 0 orang 9 orang 6 orang

Tabel 5.2 menunjukkan terdapat 1 penderita TB BTA positif (6,25%) berusia < 5
tahun dan terdapat 15 penderita TB BTA positif (93,75%) berusia > 14 tahun.
Dari pasien TB paru BTA positif berusia >14 tahun, 9 penderita (60%) berjenis
kelamin laki-laki dan 6 penderita (40%) berjenis kelamin perempuan.

Tabel 5.3 Gambaran Penderita TB paru BTA (-) berdasarkan sebaran usia dan jenis
kelamin.

< 5 Tahun 5-14 Tahun >14 Tahun

Laki-laki Perempuan Laki-laki Perempuan Laki-laki Perempuan

0 orang 0 orang 0 orang 0 orang 5 orang 3 orang

Tabel 5.3 menunjukkan semua penderita TB BTA negatif (100%) berusia > 14
tahun, dengan rincian 5 penderita (62,5%) berjenis kelamin laki-laki dan 3
penderita (37,5%) berjenis kelamin perempuan.

47
5.1.2 Gambaran penderita TB ekstra paru di Puskesmas Kampus Palembang
sejak Januari 2016-April 2017

Tabel 5.4.Gambaran Penderita TB ekstra paru berdasarkan sebaran usia dan jenis kelamin.

< 5 Tahun 5-14 Tahun >14 Tahun

Laki-laki Perempuan Laki-laki Perempuan Laki-laki Perempuan

0 orang 0 orang 0 orang 0 orang 1 orang 4 orang

Tabel 5.4 menunjukkan terdapat 5 orang yang menderita TB ekstra paru dan
semua penderita TB ekstra paru (100%) berusia > 14 tahun, dengan rincian 1
penderita (20%) berjenis kelamin laki-laki dan 4 penderita (80%) berjenis kelamin
perempuan.

5.1.3 Gambaran anggota keluarga penderita TB paru di Puskesmas Kampus


Palembang sejak Januari 2016-April 2017

Hasil penelitian ini memiliki subjek sebesar 56 orang yang merupakan


semua anggota keluarga yang kontak serumah dengan penderita TB paru BTA (+)
dari tanggal 1 Januari 2016 - April 2017 di Puskesmas Kampus Palembang.

Tabel 5.5. Karakteristik Subjek Penelitian (n = 56 orang)

Variabel Frekuensi (n) Persentase (%)

Usia
< 5 Tahun
4 7,1 %
5 14 Tahun 10 17,9 %
> 14 Tahun 42 75 %

Jenis Kelamin
Laki-laki 22 39,3 %
Perempuan 34 60,7 %

Tabel 5.5 menunjukkan dari 56 orang yang merupakan anggota keluarga penderita TB
paru BTA (+) di Puskesmas Kampus, paling banyak berusia > 14 tahun (75%) dan
berjenis kelamin perempuan (60,7%).

5.1.4 Gambaran tanda penularan dan temuan TB baru pada Subjek Penelitian

48
Tabel 5.6 menunjukkan tanda penularan penyakit TB pada anggota
keluarga penderita TB paru BTA (+) di wilayah kerja Puskesmas Sekip
Palembang bulan Januari 2016 April 2017.

Tabel 5.6 Distribusi subjek berdasarkan ada tidaknya gejala klinis akibat penularan TB
paru

Tanda Penularan Frekuensi (n) Persentase (%)

Gejala Klinis (+) 0 0

Gejala Klinis (-) 56 100

Total 56 100.0

Tabel 5.6 menunjukkan semua anggota keluarga yang kontak serumah


dengan penderita TB (100%) tidak menunjukkan tanda penularan TB
parudaripenderita.

5.1.5 Gambaran Lingkungan Rumah pada Subjek Penelitian

Gambaran lingkungan rumah juga dianalisis pada penelitian kali ini untuk
menilai faktor lingkungan rumah sebagai faktor resiko penularan TB. Tabel 8
menunjukkan gambaran lingkungan rumah pada subjek penelitian, meliputi
kepadatan hunian, dinding rumah, lantai rumah, dan pencahayaan rumah.

Tabel 5.7 Gambaran lingkungan rumah pada anggota keluarga yang menunjukkan gejala klinis

Usia
Faktor Risiko <5 5-14 Total
15 tahun
tahun tahun

Kepadatan Hunian Rumah


6 m2/orang 1 7 25 33 (59%)
<6 m2/orang 3 3 17 23 (41%)

Dinding Rumah

49
Permanen 1 8 37 46 (82,1%)
Tidak permanen 3 2 5 10 (17,9%)

Lantai Rumah
Semen atau keramik 1 8 37 46 (82,1%)
Tanah atau kayu 3 2 5 10 (17,9%)

Pencahayaan Rumah
Cukup 4 9 30 43 (76,7%)
Kurang 0 1 12 13 (23,3%)

Tabel 5.7 menunjukkan sebagian besar anggota keluarga memiliki


lingkungan rumah yangcukup baik.

4.2 Pembahasan

Tuberculosis merupakan penyakit infeksi yang ditularkan oleh bakteri


berbentuk batang yang dikenal dengan nama Mycobacterium tuberculosis.
Penyakit tuberculosis merupakan penyakit paru yang sangat rentan untuk tertular
terutama untuk anggota keluarga yang kontak serumah dengan penderita. Pada
saat penderita batuk, butir-butir droplet akan beterbangan di udara yang
mengandung basil TBC dan terhisap oleh orang lain18.

Terdapat dua faktor penting dalam terjadinya penularan TB yaitu penderita


yang menimbulkan droplet nuclei dan lingkungan di sekitar penderita. Droplet
nuclei di udara disebabkan karena perilaku penderita yang meludah di sembarang
tempat dan ketidakteraturan berobat. Faktor perilaku lainnya meliputi personal
hygiene, kebiasaan menggunakan alat pelindung diri (masker), dan kebiasaan
membuka jendela setiap pagi20. Seorang penderita TB dengan BTA positif yang
derajat positifnya tinggi berpotensi menularkan penyakit TB. Setiap satu BTA
positifakan menularkan kepada 10-15 orang lainnya, sehingga kemungkinan
setiap kontak untuk tertular TBC adalah 17%. Hasil studi lainnya melaporkan
bahwa kontak terdekat (misalnya keluarga serumah) akan dua kali lebih berisiko
dibandingkan kontak biasa dengan orang lain yang tidak tinggal serumah19. Faktor
lingkungan rumah seperti luas ventilasi, kepadatan hunian, intensitas

50
pencahayaan, jenis lantai, kelembaban rumah, suhu dan jenis dinding juga
berpengaruh terhadap penularan TB20.
Berdasarkan hasil kunjungan rumahyang dilakukan peneliti, tidak
ditemukan adanya tanda penularan TB paru pada anggota keluarga yang kontak
serumah dengan penderita TB paru BTA (+) di wilayah kerja Puskesmas Kampus.
Ada banyak faktor yang dapat menyebabkan hal ini terjadi. Pada penelitian ini,
penulis lebih menganalisis lingkungan hunian sebagai faktor resiko penularan TB.
Ada beberapa faktor lingkungan hunian yang dianalisis pada penelitian kali ini,
meliputi kepadatan hunian, dinding rumah, lantai rumah, dan pencahayaan rumah.
Kepmenkes RI No. 829/MENKES/SK/VII/1999 menyatakan bahwa
intensitas pencahayaan minimum yang diperlukan sebuah rumah yaitu 10 kali lilin
atau kurang lebih 60 lux dan tidak menyilaukan, kelembaban yang menghasilkan
udara yang nyaman yaitu berkisar antara 40-70%, suhu ruangan dalam rumah
yang ideal yaitu berkisar antara 18-30C, sirkulasi yang baik diperlukan paling
sedikit luas lubang ventilasi sebesar 10% dari luas lantai, luas ruang tidur minimal
8 m2 dan tidak dianjurkan digunakan lebih dari dua orang tidur dalam satu ruang
tidur, kecuali anak di bawah umur 5 tahun, lantai rumah yang memenui syarat
kesehatan adalah yang kedap air dan mudah dibersihkan, jenis dinding tidak
terbuat dari bahan yang dapat menjadi tumbuh dan berkembangnya
mikroorganisme patogen21.
Hasil observasi lingkungan hunian penderita TB menunjukkan bahwa
lingkungan hunian penderita dapat dikatakan cukup baik. Lebih banyak subjek
penelitian yang tinggal dalam rumah yang tidak padat huniannya (59%) dibanding
yang padat (41%). Sebagian besar subjek penelitian juga lebih banyak (82,1%)
yang memiliki rumah dengan dinding permanen dan berlantai semen/keramik
daripada dinding semi permanen dan berlantai tanah (17,9%). Hasil observasi juga
menunjukkan sebagian besar (76,7%) rumah dari subjek penelitian memiliki
pencahayaan dan sirkulasi yang baik.
Lingkungan mempunyai peranan yang penting dalam penyebaran kasus TB.
Hasil observasi menunjukkan bahwa sebagian besar hunian anggota keluarga
cukup baik dan memiliki kepadatan yang minimal. Lingkungan yang padat
huniannya akan memudahkan penularan melalui udara semakin cepat, apalagi
dalam satu rumah terdapat anggota keluarga yang terkena TB sehingga akan

51
sangat rentan terpapar langsung, namun resiko tertular akan menurun jika tingkat
kepadatan hunian rumah mencapai >6m2/orangnya. Kondisi rumah juga dapat
menjadi salah satu faktor resiko penularan penyakit TB. Atap, dinding dan lantai
dapat menjadi tempat perkembangbiakan kuman. Pada observasi, sebagian besar
anggota keluarga penderita TB paru tinggal di rumah yang memiliki dinding
permanen dan lantai keramik. Lantai keramik dan dinding permanen bersifat lebih
mudah dibersihkan sehingga akan sulit untuk berkembangbiaknya kuman
Mycobacterium tuberculosis20. Hasil observasi juga menunjukkan sebagian besar
rumah memiliki pencahayaan yang baik. TB juga lebih mudah tertular pada
mereka yang tinggal di lingkungan yang kurang sinar matahari dan sirkulasi udara
rumah yang buruk22. Kondisi rumah yang mempunyai sirkulasi buruk dapat
meningkatkan resiko penularan TB yang disebabkan oleh adanya aliran udara
yang statis, sehingga menyebabkan udara yang mengandung kuman terhirup oleh
orang lain yang berada dalam rumah. Di sisi lain, sirkulasi rumah merupakan
salah satu jalan masuk sinar matahari dimana bakteri M. tuberculosis sangat
rentan terhadap sinar ultraviolet. Pada umumnya, kuman M. tuberculosis dapat
bersarang di dalam rumah dalam waktu yang lama jika tidak terkena sinar
ultraviolet dan dapat terhirup oleh anggota keluarga yang sehat. Pada rumah
dengan cukup cahaya dan sirkulasi, maka kuman TB hanya akan bertahan selama
1-2 jam sehingga kemungkinan terhirup oleh orang lain menjadi lebih kecil 23.
Selain itu, kegiatan membuka jendela setiap pagi juga sering dilakukan subjek
penelitian. Dengan membuka jendela setiap pagi, maka dimungkinkan sinar
matahari dapat masuk ke dalam rumah atau ruangan. Selain itu jendela dapat juga
berfungsi sebagai ventilasi untuk pertukaran udara sehingga resiko penularan TB
paru menjadi menurun24.

BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

52
Berdasarkan penelitan yang dilakukan pada anggota keluarga yang kontak
serumah dengan penderita TB paru BTA (+) di Puskesmas Kampus Palembang,
dapat disimpulkan:
1. Terdapat 24 kasus TB paru di wilayah kerja Puskesmas Kampus dengan
rincian 16 kasus TB paru BTA (+) dan 8 kasus TB paru BTA (-).
2. Dari 16 kasus TB paru BTA (+), terdapat 1 penderita TB BTA positif
(6,25%) berusia < 5 tahun berjenis kelamin laki-laki dan 15 penderita TB
BTA positif (93,75%) berusia > 14 tahun. Dari pasien TB paru BTA
positif berusia >14 tahun, 9 penderita (60%) berjenis kelamin laki-laki dan
6 penderita (40%) berjenis kelamin perempuan.
3. Berdasarkan hasil kunjungan rumah yang dilakukan peneliti, tidak
ditemukan penderita suspek TB paru baru dengan riwayat kontak serumah
dengan penderita TB di wilayah kerja Puskesmas Kampus.
4. Hasil observasi lingkungan hunian penderita TB menunjukkan bahwa
lingkungan hunian penderita dapat dikatakan cukup baik. Sebagian besar
subjek penelitian yang tinggal dalam rumah yang tidak padat huniannya
(59%), memiliki rumah dengan dinding permanen dan berlantai
semen/keramik (82,1%), dan penelitian memiliki pencahayaan dan
sirkulasi yang baik (76,7%). Lingkungan mempunyai peranan yang
penting dalam penyebaran kasus TB. Resiko penularan TB akan menurun
jika ditunjang dengan kondisi lingkungan rumah yang baik.

6.2 Saran
Berdasarkan hasil penelitian ini, saran yang dapat peneliti sampaikan berupa:
1. Perlunya emberian profilaksis Isoniazid (INH) dengan dosis 5-10
mg/kgBB per hari selama 6 bulan pada anak-anak usia < 5 tahun yang
beresiko tinggi tertular penyakit TB.
2. Perlunya dilakukan penyuluhan atau edukasi secara rutin mengenai
perilaku penderita maupun kondisi lingkungan penderita dengan tujuan
mencegah penularan TB pada kelompok resiko tinggi, serta pengenalan
gejala klinis TB agar penderita dapat berobat sesegera mungkin.
3. Berdasarkan keterbatasan pada penelitian ini, peneliti lain diharapkan
dapat melakukan penelitian lebih lanjut dengan menganalisis faktor resiko
penularan TB lainnya.

53
DAFTAR PUSTAKA

1. Kemenkes RI. 2016. Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis. Jakarta:


Kementrian Kesehatan RI.
2. WHO. 2016. Global Tuberculosis Report 2016 (diakses dari
whqlibdoc.who.int)
3. Zumla A et al, 2013, Tuberculosis, Journal of medicine : England
4. Raviglion MC, OBrien RJ. Tuberculosis. In: Harrisons Principles of internal
medicine. 15th Edition. USA: McGraw-Hill, 2001.
5. Jawetz E, Melnick JL, Adelberg EA, Brooks GF, Butel JS, Ornston LN.
Mikrobiologi Kedokteran, Buku II Edisi I Jakarta: Salemba Medika, 2005.

54
6. Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan RI. 2016. Tuberkulosis
Temukan Obati Sampai Sembuh. Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Jakarta
7. Dinas Kesehatan Kota Palembang. 2015. Profil Kesehatan Kota Palembang
Tahun 2015.
8. Kemenkes RI. 2011. Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis Direktorat
Jenderal Pengendalian Penyakit dan penyehatan lingkungan: Jakarta
9. Novak, PD. 2002. Kamus Saku Kedokteran Dorland/Alih Bahasa, edisi 25.
EGC. Jakarta
10. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editors. Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi V. Jakarta: Interna Publishing.
11. Asril Bahar, Tuberkulosis Paru, dalam ilmu penyakit dalam, balai penerbit
FKUI, Jakarta 1987
12. Rahajoe NN, Basir D, Kartasasmita CB, editor. Pedoman nasional tuberculosis
anak. Jakarta : UKK Pulmonologi PP IDAI; 2005.
13. Purdy K. Tuberculosis. In: Osborn, Dewitz, editors. Pediatrics. 1st ed.
Philadelphia:Elsevier;2005. p.811-18.
14. Departemen Kesehatan Indonesia dan Ikatan Dokter Indonesia. 2010. Panduan
Tatalaksana Tuberkulosis edisi ke-1. Departemen Kesehatan Indonesia dan
Ikatan Dokter Indonesia, Jakarta.
15. Fatimah, Siti. 2008. Faktor Kesehatan Lingkungan Rumah yang berhubungan
dengan Kejadian TB Paru di Kabupaten Cilacap Tahun 2008. Universitas
Diponegoro: Semarang.
16. Aditama TY, et al. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Tuberkulosis di
Indonesia. Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2006
17. Alsagaff H, Mukty A. Tuberkulosis paru. Dalam: Dasar-Dasar Ilmu Penyakit
Paru. Jakarta: Airlangga, 2002. 73-108
18. Martiana, T., Isfandiari, M.A., Sulistyowati, M., Nurmala, I. 2007. Analisis
Risiko Penularan Tuberculosis Paru Akibat Faktor Perilaku dan Faktor
Lingkungan pada Tenaga Kerja di Industri. Fakultas Kesehatan Masyarakat,
Universitas Negeri Semarang, Indonesia.
19. Widoyono. 2008, Penyakit Tropis Epidemiologi, Penularan, Pencegahan,
Pemberantasannya, Jakarta: Erlangga.
20. Fitriani, E. 2013. Faktor Risiko yang Berhubungan dengan Kejadian
Tuberkulosis Paru. Ilmu Kesehatan Masyarakat, Universitas Negeri Semarang,
Indonesia.
21. Kepmenkes RI No. 829/MENKES/SK/VII/1999. Persyaratan Kesehatan
Perumahan. Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

55
22. Tjandra Yoga (2007). Diagnosis TB pada Anak. Media Komunikasi: Info
Sehat untuk Semua. Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
23. Manalu, S.P.M. 2010. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kejadian TB Paru
dan Upaya Penanggulangannya. Jurnal Ekologi Kesehatan Vol 9(4).
24. Permenkes RI No.13 Tahun 2015. Penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan
Lingkungan di Puskesmas. Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

56

Anda mungkin juga menyukai