Anda di halaman 1dari 83

SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015

ORAL PRESENTATION

Standardisasi Prosedur Pengambilan Foto Udara dengan Pesawat LSA


untuk Pengembangan Payload Inderaja
Dinari Nikken Sulastrie Sirin1,*), Noriandini Dewi Salyasari1, Ahmad Maryanto1 ,
dan Ayom Widipaminto1
1
Pusat Teknologi dan Data Penginderaan Jauh, LAPAN
*)
E-mail: dinari.nss@lapan.go.id

ABSTRAK - Telah dilakukan suatu kajian pembuatan prosedur operasi standar untuk pengambilan foto udara dengan
pesawat LSA (Light Surveillance Aircraft) dalam rangka mendukung kegiatan pengembangan teknologi rancang
bangun payload inderaja. Pengembangan teknologi rancang bangun payload inderaja yang dilakukan Bidang Teknologi
Akuisisi dan Stasiun Bumi, Pusat Teknologi dan Data Penginderaan Jauh LAPAN telah sampai pada tahap pengujian
prototipe. Tahap pengujian dilakukan dengan menerbangkan prototipe payload inderaja menggunakan pesawat LSA.
Selama diterbangkan payload diprogram untuk melakukan pengambilan gambar foto udara secara otomatis sesuai
dengan yang telah direncanakan. Agar diperoleh produk yang memiliki kualitas geometri dan radiometri yang lebih
baik atau setara dengan citra yang dihasilkan oleh satelit, maka diperlukan suatu prosedur standar untuk memenuhi
kebutuhan pengguna. Prosedur operasi standar dalam pengambilan foto udara dengan LSA ini dilakukan dengan
merunut kepada tahapan-tahapan yang akan dijelaskan pada paper ini. Diharapkan, paper ini dapat menjadi acuan
standar dalam pengambilan foto udara dengan LSA yang akan berkontribusi dalam pengembangan teknologi dan
pengolahan data penginderaan jauh nasional.

Kata kunci: prosedur standar, foto udara, LSA

ABSTRACT - A study of the arrangement of standard operating procedures for aerial photography by LSA (Light
Surveillance Aircraft) in order to support the development of remote sensing payload engineering technology has been
conducted. Development of remote sensing payload engineering technology carried out by Acquisition and Ground
Station Technology Affair, LAPAN Remote Sensing and Technology Data Center has reached the stage of prototype
testing. The testing phase is done by flying the prototype remote sensing payload using LSA aircraft. During flown, the
payload is programmed to capture aerial images automatically in accordance with the planned. In order to obtain a
product which has a geometric and radiometric quality better or equal to that generated by the satellite image, we need
a standard procedure to meet the needs of the user. Standard operating procedures in an aerial photography with the
LSA is done by tracing the stages that are described in this paper. Hopefully, this paper can be a standard reference in
an aerial photo with the LSA that will give contribution in development of national technology and remote sensing data
processing.

Keywords: standard procedure, aerial photography, LSA

1. PENDAHULUAN
Foto udara adalah teknik pengambilan foto permukaan bumi dari ketinggian tertentu yang merupakan
metode penginderaan jauh yang paling tua dan paling banyak digunakan. Foto udara memberikan
inventarisasi visual dari sebagian permukaan bumi dengan cepat dan dapat digunakan untuk membuat peta
rinci (Eastman, 2001). Kamera yang akan digunakan untuk foto udara dipasangkan pada wahana udara
(Gambar 1), seperti pesawat tanpa awak (Unmanned Aerial Vehicleatau UAV), pesawat ringan (Light
Surveillance Aircraft atau LSA), helikopter, balon udara, roket, parasut, dan wahana udara lainnya, yang
kemudian diterbangkan hingga mencapai ketinggian. Penggunaan dan pemanfaatan foto udara pun semakin
meningkat seiring dengan perkembangan teknologi sensor penginderaan jauh dan teknologi wahana udara
(Maryanto et al., 2014), yang antara lain dimanfaatkan untuk penyelidikan penggunaan lahan dan pertanian,
kehutanan, perencanaan kota dan wilayah, pemetaan daerah bencana, dan sebagainya.
Pembuatan paper ini dilatarbelakangi oleh kegiatan pengembangan teknologi rancang bangun payload
penginderaan jauh yang dilakukan Bidang Teknologi Akuisisi dan Stasiun Bumi, Pusat Teknologi dan Data
Penginderaan Jauh LAPAN yang telah memasuki tahap pengujian prototipe. Prototipe yang dikembangkan
berupa kamera udara pushbroom multispektrum visible-NIR1 (KU-PBMS-VN1), yang terdiri dari satu
kamera 4-channel visble-NIR pushbroom dan satu kamera natural color area array.

-1-
Standardisasi Prosedur Pengambilan Foto Udara dengan Pesawat LSA untuk Pengembangan Payload Inderaja (Sirin, D.N.S., et al.)

Gambar 1. Salah Satu Contoh Foto Udara dengan Menggunakan UAV Flight Hexacopter (http://waindo.co.id/)

Tahapan pengujian atau uji terbang prototipe yang dilakukan ini merupakan salah satu langkah dasar
dalam meningkatkan kemampuan rancang bangun dan rekayasa payload penginderaan jauh untuk sistem
satelit, yang saat ini sedang dikembang oleh LAPAN. Oleh karena itu, diperlukan suatu prosedur standar
dalam pelaksanaan uji terbang payload ini sehingga data citra yang dihasilkan dapat memenuhi standar data
penginderaan jauh, yang selanjutnya dapat dimanfaatkan oleh pengguna data penginderaan jauh.
Paper ini diharapkan dapat menjawab kebutuhan akan suatu prosedur standar dalam pelaksanaan uji
terbang payload penginderaan jauh. Dengan demikian, produk data citra yang dihasilkan dari foto udara
dapat melengkapi produk data citra yang dihasilkan satelit penginderaan jauh, sehingga semakin
mempermudah pengguna data penginderaan jauh dalam menginterpretasi data citra penginderaan jauh.

2. METODE
Metode yang dilakukan dalam penulisan paper ini berupa studi pustaka dan eksperimen.

2.1 Diagram Alir

Mulai

Perencanaan Selesai
(Menentukan lokasi,
ketinggian terbang)

Pengolahan citra hasil


foto udara

Persiapan (Seting
kamera, pembuatan
rencana jalur terbang,
pemasangan kamera Pengambilan foto
pada wahana terbang) udara

Kalibrasi kamera
Pengujian (Internal dan
(Ground test) eksternal)

Gambar 2. Diagram Alir Pembuatan Prosedur Standar Foto Udara

Gambar 2 di atas memperlihatkan diagram alir pembuatan prosedur standar pengambilan foto
udara. Penentuan lokasi, ketinggian terbang dan kecepatan pesawat ditentukan di awal perencanaan
pengambilan foto udara. Selanjutnya, pemeriksaan sistem kamera yang antara lain meliputi seting
IMU, GPS, mounting, dan sebagainya, serta pembuatan peta jalur terbang dan teknik pemasangan
sistem kamera pada wahana terbang yang akan digunakan. Sebelum sistem kamera diterbangkan,
maka dilakukan pengujian di darat terlebih dahulu (ground test). Setelah itu, data citra yang dihasilkan
dari ground test digunakan untuk mengkalibrasi sistem kamera. Kemudian sistem kamera siap

-2-
SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015

diterbangkan dengan wahana udara. Data citra atau foto udara yang dihasilkan kemudian diolah
sehingga diperoleh data citra standar yang sesuai dengan data citra dari penginderaan jauh satelit.

2.2 Perencanaan
Langkah pertama yang dilakukan pada pelaksanaan pengambilan foto udara adalah perencanaan.
Pada saat perencanaan ini, dilakukan pembahasan mengenai lokasi tempat pengambilan foto udara,
jenis wahana udara yang digunakan, ketinggian terbang yang diinginkan, kecepatan terbang dan
sebagainya.

2.3 Persiapan
Selanjutnya, yang dilakukan pada pelaksanaan pengambilan foto udara adalah persiapan. Hal ini
tidak hanya mencakup sistem kamera udaranya saja, tetapi berkaitan pula dengan rencana jalur
terbang yang akan dilalui, serta pemasangan kamera udara pada wahana udara yang akan digunakan.
Adapun persiapan yang dilakukan pada kamera udara antara lain meliputi:
Instalasi pemrograman pada sistem kamera, sehingga kamera dapat mengambil foto permukaan
bumi secara otomatis pada saat kamera diterbangkan.
Integrasi sistem IMU (Inertial Measurement Unit) dan GPS (Global Positioning System)
Pembuatan dudukan kamera (mounting), yang memungkinkan kamera dapat dipasang pada
wahana udara.
Menentukan panjang fokus kamera.
Perhitungan besarnya Ground Swath Width (GSW), Ground Sample Distance (GSD) dan dwell-
time kamera.
Tahap berikutnya adalah mempersiapkan rencana jalur terbang yang akan dilalui atau difoto. Pada
daerah yang ditetapkan sebagai jalur terbang, dilakukan pengamatan untuk menetapkan titik-titik
lokasi pengambilan gambar atau foto udara dengan menggunakan GoogleMaps atau peta referensi
lokasi tersebut. Kemudian, dilakukan pembuatan ground truth di sepanjang jalur terbang sesuai titik-
titik lokasi pengambilan gambar (foto) yang telah ditetapkan sebelumnya.
Setelah itu dilakukan pemasangan kamera udara pada wahana udara yang akan digunakan.
Terkait hal ini, maka harus diperhatikan dengan seksama hal-hal sebagai berikut:
Bobot kamera udara secara keseluruhan.
Daya muat maksimal wahana udara yang digunakan.
Lokasi penempatan kamera udara pada wahana udara, yang akan mempengaruhi tata letak kamera
udara.

2.4 Ground Test


Setelah semua persiapan selesai dilaksanakan, langkah selanjutnya adalah pengujian sistem
kamera di darat (ground test). Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui kinerja sistem kamera secara
keseluruhan, seperti misalnya daya tahan kamera terhadap guncangan, kesesuaian kecepatan
pengambilan gambar dengan shutterspeed kamera, ketepatan koordinat pada citra hasil ground test,
dan sebagainya.

2.5 Kalibrasi Kamera


Hasil yang diperoleh pada saat ground test, selanjutnya digunakan untuk mengkalibrasi ulang
sistem kamera, baik secara internal atau pun eksternal. Secara internal berarti melakukan
penyesuaian ulang pada internal kamera, seperti panjang fokus, bilangan fokus, shutter speed
kamera, exposure time, dan sebagainya. Sedangkan secara eksternal berarti melakukan penyesuaian
ulang terhadap tata letak kamera atau dudukan kamera pada wahana.

2.6 Pengambilan Foto Udara


Langkah berikutnya yang dilakukan adalah pengambilan foto udara. Untuk pengambilan foto
udara ini, selain memastikan kamera udara bekerja dengan baik, maka harus dipastikan pula keadaan
cuaca pada saat pengambilan foto. Langit yang berawan atau pun matahari yang sangat terik, tentu
akan mempengaruhi citra hasil foto udara.

-3-
Standardisasi Prosedur Pengambilan Foto Udara dengan Pesawat LSA untuk Pengembangan Payload Inderaja (Sirin, D.N.S., et al.)

2.7 Pengolahan Citra Hasil Foto Udara


Agar citra hasil foto udaradapat dimanfaatkan oleh pengguna data citra penginderaan jauh, maka
citra hasil foto udara tersebut harus melalui proses pengolahan (koreksi) terlebih dahulu. Dengan
demikian, data citra hasil foto udara telah sesuai dengan citra standar penginderaan jauh satelit, yaitu
citra yang telah terkoreksi sistematik geometrik.

3. HASIL PEMBAHASAN
Prototipe kamera udara KU-PBMS-VN1 yang dikembangkan Bidang Teknologi Akuisisi dan Stasiun
Bumi, Pustekdata, LAPAN, memiliki dua buah kamera (Gambar 3). Satu kamera 4-channel visble-NIR
pushbroom (line scanning) dengan lensa fokus tetap 35 mm dan satu kamera natural color area array (area
scanning) dengan lensa fokus tetap 25 mm. Kedua kamera ini diintegrasikan dengan sensor sikap (IMU) dan
sensor posisi (GPS) serta catu daya (baterai) dalam satu dudukan kamera.

Gambar 3. Prototipe Kamera Udara KU-PBMS-VN1

Sedangkan wahana udara yang digunakanadalah pesawat ringan LAPAN (LAPAN Surveillance Aircraft
atau LSA-01) jenis Stemme S-15 yang merupakan hasil program pengembangan pesawat Pusat Teknologi
Penerbangan (Pustekbang) LAPAN bekerja sama dengan TU-Berlin. Dengan digunakannya pesawat jenis ini
maka prototipe kamera udara KU-PBMS-VN1 akan diletakkan pada bagian bawah sayap (underwing pod)
sebagaimana yang terlihat pada Gambar 4 berikut.

(a) (b)
Gambar 4. (a) Pesawat Ringan LSA-01 yang digunakan sebagai Wahana Terbang Foto Udara, dan
(b) Lokasi Penempatan Prototipe Kamera Udara KU-PBMS-VN1

Setelah melewati serangkaian kegiatan persiapan, perhitungan, dan uji coba, pada akhirnya tanggal 10
Juni 2015 lalu bekerja sama dengan Pustekbang LAPAN dan Balai Kalibrasi Fasilitas Penerbangan
(BKFP) Kementerian Perhubungan (Maryanto et al., 2015) pengujian prototipe kamera udara KU-PBMS-
VN1 untuk pengambilan foto udara di kawasan bandara Budiarto, Curug, Tangerang telah berhasil
dilaksanakan.
Walau secara umum pelaksanaan uji terbangprototipe kamera udara KU-PBMS-VN1 telah mengikuti
prosedur pengambilan foto udara sesuai diagram alir yang telah dijabarkan di atas, akan tetapi masih terdapat
beberapa kendala pada saat pelaksanaan uji terbang. Meskipun demikian, citra atau gambar yang dihasilkan
dari foto udara tersebut menunjukkan bahwa sistem kamera udara bekerja dengan baik sesuai dengan yang
telah direncanakan. Citra hasil foto udara selanjutnya diolah dengan menggunakan software pengolahan yang
-4-
SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015

dikembangkan secara mandiri yang akan merekonstruksi citra mentah hasil akuisisi menjadi citra yang
bergeoreferensi ataupun citra geocoded (Maryanto et al., 2015).

4. KESIMPULAN
Pembuatan prosedur standar pengambilan foto udara yang dilatarbelakangi oleh pengujian prototipe
kamera udara yang dikembangkan Bidang Teknologi Akuisisi dan Stasiun Bumi, Pustekdata, LAPAN masih
jauh dari sempurna. Hal ini dapat dilihat dari masih adanya kendala pada saat pelaksanaan pengambilan foto
udara, kendati telah mengikuti langkah-langkah prosedur pengambilan foto udara.
Untuk perbaikan pembuatan prosedur standar pengambilan foto udara yang akan datang, dapat
dipertimbangkan untuk menambahkan langkah pendokumentasian Quality Control (QC) dan Quality
Assurance (QA) dari setiap proses yang dijalankan.

DAFTAR PUSTAKA
Eastman, J.R. (2001). Guide to GIS and Image Processing Volume 1. Clark Labs, Massachusetts.
Maryanto, A., Jatmiko, N.W., Bagdja, I.W., dan Adiningsih, E.S. (2015). Rancang Bangun Prototipe Sistem Kamera
Udara Prushbroom Multispektrum. Bidang Pengembangan Bank Data Penginderaan Jauh Pustekdata LAPAN,
Jakarta.
Maryanto, A., Jatmiko, N.W., dan Sunarmodo, W. (2015). LAPAN Uji Coba Mengembangkan Prototype Kamera
Udara Pushbroom Multispektrum Visible-NIRV.1. Dikutip dari http://www.inderaja.lapan.go.id/. [15 Oktober
2015].
Inc, W. (2006) Aerial Photography Standards GIS Implementation. Geographic Information System Implementation
Project. Phoenix Sky Harbor International Airport, City of Phoenix. Arizona.
Pusat Pemetaan Rupabumi dan Toponimi (2012) Standard Operating Procesures Bagian III Pengumpulan Sumber Data
Rupabumi. Lampiran 3 Keputusan Deputi Bidang Informasi Geospasial Dasar. BIG. Bogor.

*) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukan pada saat diskusi presentasi ilmiah

BERITA ACARA
PRESENTASI ILMIAH SINAS INDERAJA 2015

Moderator : Ir. Dedi Irawadi


Judul Makalah : Standarisasi Prosedur Pengambilan Foto Udara dengan Pesawat LSA untuk Pengembangan
Payload Inderaja
Pemakalah : Dinari Nikken Sulastrie Sirin
Jam : 09.00-10.00
Tempat : Meeting Room E-F
Diskusi :

Tuti Gantini (Pustekdata LAPAN):


Dalam area yang luas biasanya terdiri dari blok-blok, untuk itu perlu dipertimbangkan berapa sidelap dan overlapnya
dalam satu blok pemotretan, sehingga dapat digunakan untuk pemetaan daerah tersebut.

Jawaban:
Hal tersebut akan dipertimbangkan dalam uji terbang berikutnya. Sebenarnya sidelap dan overlap sudah dilakukan
perhitungan namun belum dapat dilaksanakan pada uji terbang pertama kemarin.

Wikan Jaya P. (Geografi UGM):


Apakah rute terbang yang diujikan emang direncanakan seperti huruf S, apakah sudah diuji stabilitas dari pesawat
untuk mendapatkan target tersebut?
Seperti apa kalibrasi internal dan eksternal yang dimaksud? Dan bagaimana spesifikasi kamera pushbroom yang
digunakan?

Jawaban:
Perlu digaris bawahi dalam makalah ini, hanya merupakan masalah SOP, bukan menjabarkan perhitungan detail. Uji
coba hanya mengikuti arah terbang tanpa dilakukan perhitungan gcp terlebih dahulu. Dari hasil yang di dapat, diplot ke
google map dan diolah sedemikian rupa oleh tim sehingga mendapat jalur S tersebut.
Karena keterbatasan waktu, dan alat, maka kalibrasi pada kamera hanya dilakukan penyetelan ulang kecepatan
kendaraan dengan shutter speed kamera.

-5-
Standardisasi Prosedur Pengambilan Foto Udara dengan Pesawat LSA untuk Pengembangan Payload Inderaja (Sirin, D.N.S., et al.)

Daniel Sande Bona (LAPAN):


Area memanjang pada jalur terbang biasanya dipengaruhi oleh arah angin. Seperti apa perencanaan sebelum pesawat
diterbangkan apakah memperhitungkan arah tekanan angin?

Jawaban:
Idealnya dari awal perencanaan selain kecepatan dan ketinggian terbang perlu dipertimbangkan juga arah angin. Namun
pada dasarnya saat ini, pemotretan foto udara masih uji pertama dan fokusnya pada uji pertama tersebut adalah kamera
line scanning yang dikembangkan dapat beroperasi pada pesawat LSA.

-6-
SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015

ORAL PRESENTATION

Eksperimen Foto Udara Digital Warna Semu Format Kecil untuk


Pemetaan Kerusakan Tanaman Padi (Oryza Sativa)
Wikan Jaya Prihantarto1,*)
1
Program Studi Pascasarjana Peginderaan Jauh, Fakultas Geografi, Universitas Gadjah Mada
*)
E-mail: prihantarto@gmail.com

ABSTRAK - Tujuan penelitian ini adalah melihat sejauh mana foto udara digital warna semu format kecil yang diambil
dengan menggunakan sistem kamera digital standar estetik termodifikasi dan diterbangkan dengan wahana balon gas
dapat digunakan untuk pemetaan kerusakan tanaman padi akibat serangan hama tikus sawah. Selain itu, fokus kajian
lain adalah membangun kunci interpretasi untuk kasus kerusakan tanaman padi. Lokasi penelitian dikontrol pada petak
sawah yang memiliki variasi kerusakan padi. Pengujian karakteristik spektral, radiometrik, dan geometrik secara relatif
dilakukan untuk melihat kemampuan sistem foto. Hasil perekaman melewati serangkaian koreksi serta penyesuaian
visual, spasial dan geometrik sebelum selanjutnya digunakan sebagai dasar pemetaan. Peta hasil diuji dengan
membandingkan hasil interpretasi dengan pengamatan lapangan. Hasil penelitian ini menujukkan citra foto udara digital
warna semu format kecil yang diambil dari wahana aerostatis sederhana dapat digunakan untuk pemetaan kasus
kerusakan tanaman padi akibat serangan tikus sawah. Unsur interpretasi tekstur dan pola menjadi kunci interpetasi
utama yang dapat dimaksimalkan dalam interpretasi kerusakan tanaman padi. Sekalipun kemampuan sensor diperluas
hingga mampu mengindera panjang gelombang inframerah, namun tidak terdapat signifikansi yang mampu menunjang
intepretasi dari segi rona dan warna.

Kata kunci: foto udara digital warna semu format kecil, kerusakan tanaman padi, tikus sawah

ABSTRACT - The aim of this research is to explore the capability of false color infrared digital aerial photograph that
flown using baloon as a data for rice plant damage mapping, especially due to the ricefield rat pest. Built the
inpretation key for ricepland damage case also analized as the second aim. The research area controlled in the some
extent of ricefield that has a rice damage variation due to the rat raid. Researcher using a helium balloon as a platform
to capture the phenomenon. Resulted image quality relatively tested in some aspects; spectral characteristic,
radiometric characteristic and geometric characteristic. Visual and geometric correction also applied to the image
before it used as mapping source data. The interpretation accuracy test did by comparing the resulted interpretation
sample with field observation data. The result of this research shows false color infrared digital aerial photograph can
used for rice plant damage mapping due to the ricefield rat raid. Texture and pattern are the main interpretation keys in
riceplant damage identification. Altough the sensor capability enhanced so it can sense not only visible spectrum, but
also near infrared spectrum, there is no significant difference in tonal an color aspect that gain the image
interpretability for this case

Keywords: false color infrared digital aerial photograph, riceplant damage, ricefield rat

1. PENDAHULUAN
Perkembangan teknologi telah mengantarkan penginderaan jauh sistem fotografi ke era digital. Kamera
mengalami satu evolusi penting dimana sensor film yang digunakan sebelumnya, digantikan oleh sensor
digital (Kodak) (Jensen, 1999). Inovasi penggunaan kamera format kecil yang bukan standar pemetaan pun
juga dikembangkan dan trend penggunaan pesawat model dengan pengendali jarak jauh sebagai wahana
alternatif memperlihatkan peningkatan. Hal tersebut menjadi jawaban dari kekurangan sistem fotografi
konvensional terkait pembiayaan tinggi dan teknis yang relatif rumit.
Kamera yang format kecil dan ringan dianggap dapat meningkatkan efisiensi dari segi teknis dan
pembiayaan hingga 80% (Warner et al., 1996). Pesawat model tanpa awak (aeromodelling), baik wahana
aerostatis maupun aerodinamis semakin memperjelas jarak pembeda dengan fotografi konvensional saat
pemanfaatannya diintegrasikan dengan sistem fotografi udara digital format kecil.
Kemampuan sensor kamera digital standar estetik (bukan standar survei) berformat kecil dalam
mengindera julat gelombang elektromagnetik cukup luas, mulai dari spektrum tampak hingga perluasan
inframerah dekat (400 - 1000 nm) (Sadidge, 2009). Modifikasi sederhana dengan mengganti filter pada
sensor digital kamera mampu membentuk foto udara digital warna semu dan memberikan visualisasi yang
berbeda dengan kamera pankromatik akibat diizinkannya gelombang inframerah dekat masuk (Wrotniak,

-7-
Eksperimen FotoUdara Digital WarnaSemu Format Kecil untuk Pemetaan Kerusakan Tanaman Padi (Oryza Sativa) (Prihantarto,
W.J.)

2008). Memaksimalkan kemampuan sensor digital tersebut, dapat memperbesar pemanfaatan daya gunanya
untuk kebutuhan khusus, salah satunya untuk pemetaan karakteristik vegetasi.
Foto udara digital warna semu format kecil, yang diambil dengan wahana tanpa awak dengan pengedali
jarak jauh, membutuhkan pengujian terkait kemampuanya sebagai sumber data pemetaan karakteristik
vegetasi. Pengujian eskperimen tersebut dapat dilakukan dengan membatasi objek pemotretan (vegetasi)
pada satu kasus. Kerusakan tanaman padi akibat serangan hama tikus sawah adalah kasus yang potensial
untuk pengujian karena kerusakan yang diakibatkan oleh serangan hama ini menghasilkan pola yang nyata,
baik secara visual, maupun fisiologis. Alasan lainya adalah serangan hama tikus sawah (Rattus
Argentiventer) pada tanaman padi juga terjadi pada lingkungan yang terkontrol secara spasial (Rochman dan
Sukarna, 1990) dan terjadi setiap tahunya (Singleton dan Sudarmaji, 2003).
Penelitian eksperimen ini diarahkan untuk mendapatkan gambaran kelebihan dan kekurangan dari sistem
Foto udara digital warna semu format kecil yang diterbangkan dengan wahana pesawat model tanpa awak
berupa balon udara untuk pembedaan kondisi tanaman padi, khususnya pada kasus serangan hama tikus
sawah. Selain itu, fokus kajian lain adalah membangun kunci interpretasi untuk kasus kerusakan tanaman
padi yang diakibatkan oleh serangan tikus sawah.

2. METODE
2.1 Pra Akuisisi Data
Tahapan pra akusisi data dimaksudkan untuk merencanakan kegiatan pemotretan yang akan dilakukan.
Tahap ini dibagi lagi menjadi perancangan sistem kamera dan wahana, perencanaan penerbangan, dan survei
pendahuluan. Perancangan kamera merupakan salah satu hal yang paling menentukan dalam kajian dimana
kamera SLR Canon 1000D dimodifikasi untuk mampu menyerap gelombang IR hingga panjang gelombang
1000 nm. Sebelum memulai tahapan pemotretan, dilakukan serangkaian pengujian pemotretan pada berbagai
objek utama meliputi, vegetasi, tanah dan air dengan tujuan melihat kemampuan kamera dalam membedakan
karakter spektral objek yang berdasarkan variabel rona dan warna.
Wahana yang digunakan untuk pemotretan adalah model aerostatis berupa balon gas yang diterbangkan
dengan pengendali jarak jauh manual berupa tali pancang. Terkait kesederhanaan teknis tersebut,
perencanaan pemotretan dan penerbangan mutlak dilakukan dengan perhitungan-perhitungan yang detail
pada beberapa variabel meliputi ketinggian terbang, luas cakupan, dan resolusi spasial yang diharapkan.
Survei pendahuluan dilakukan untuk melihat kondisi umum dari dearah yang akan diteliti dan melihat
kemungkinan-kemungkinan yang dapat dilakukan di lapangan. Tahapan ini meliputi prosedur-prosedur
teknis diantaranya; memastikan kondisi tanaman padi telah memenuhi persyaratan studi kasus yang
diinginkan, menentukan titik kontrol tanah (GCP) untuk koreksi geometrik dan menentukan luas daerah
kajian secara umum.

2.2 Akuisisi Data


Akuisisi data (pemotretan) dilakukan setelah tahapan-tahapan yang ada dalam kegiatan pra-akuisisi data
telah terselesaikan. Pemotretan dilakukan dengan mempertimbangkan waktu-waktu khusus setelah menerima
laporan terjadinya kasus serangan hama tikus sawah.

2.3 Pasca Akuisisi Data


Hasil perekaman melewati serangkaian penyesuaian visual untuk meningkatkan interpretabilitas, serta
penyesuaian spasial dan koreksi geometrik untuk menghasilkan citra dengan geometri yang ideal dan
memiliki referensi spasial.Selanjutnya, citra diinterpretasi secara visual dan didelineasi menjadi region-
region dengan kenampakan visual yang sama ke dalam dua kelas kerusakan tanaman padi.

Tabel 1. Kelas Kerusakan Tanaman Padi


(Sumber: Wikan Jaya Prihatarto, 2011)

Kelas kerusakan Ciri fisik


Rusak Tumbuhan rebah, layu
Tidak rusak Tumbuhan tegak, tidak layu

Pengamatan lapangan dilakukan sebagai dasar validasi dengan mengambil sampel lapangan. Pengambilan
sampel menggunakan metode purposive sampling. Tipe sampel yang diambil merupakan sampel titik, yaitu
rumpun padi. Tingkat akurasi interpretasi dianalisis dengan menggunakan confussion matrix. Nilai akurasi

-8-
SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015

interpretasi digunakan sebagai rujukan dalam analisis kemampuan citra foto berdasarkan aspek visual yang
mencerminkan karakteristik spektral, spasial, dan geometrik citra foto.

2.4 Lokasi Penelitian


Penelitian dikondisikan dalam satu lokasi yang terkontrol oleh kebutuhan penelitian yang mensyaratkan
terdapatnya serangan tikus sawah, petak sawah yang tidak terlalu besar, memiliki keseragaman umur dan
jenis padi, serta terdapatnya variasi kerusakan yang nyata. Lokasi penelitian berada di Dusun Nyamplung,
Desa Balecatur, Kecamatan Gamping.

Gambar 1. Citra Sekitar Lokasi Pemotretan. Lokasi ditunjukkan Kotak Merah pada Peta (Atas)
dan Petak Sawah yang Menjadi Target Pemotretan ditunjukkan dalam Kotak Kuning (Bawah)
(sumber: Google Earth, 2010)

Lahan sawah yang menjadi fokus pemotretan adalah sawah pribadi seluas 922 m2. Varietas padi yang
ditanam pada periode tanam tersebut adalah Inpari 15 dengan umur tanam 55 hari dan telah mamasuki fase
bunting. Jarak tanam padi adalah 20 cm x 20 cm.

3. HASIL PEMBAHASAN
3.1 Deskripsi Spesifikasi dan Karakterisitik Sistem Fotografi
Penilaian kemampuan citra foto untuk kebutuhan pemetaan didasarkan pada empat aspek; karakteristik
visual (rona dan warna) yang melambangkan karakteristik spektral sensor, radiometrik, geometrik dan
spasial. Nilai piksel setiap channel yang membentuk citra merepresentasikan karakter spektral sensor yang
dilambangkan oleh rona dan warna. Peneliti melakukan prosedur pra-akuisisi data berupa pengujian
pemotretan objek vegetasi, tanah dan air dalam berbeagai variasi untuk mendeskipsikan karakter visualisasi
citra yang mewakili karakter respon spektral sensor.

Gambar 2. Kurva nilai piksel rata-rata ternormalisasi objek.


Terlihat kecenderungan kenaikan nilai piksel pada channel merah (3) untuk setiap objek
(Sumber: Analisis Laboratorium, 2012)

Berdasarkan rangkaian pengujian dan analisis karakteristik visual (rona dan warna) yang dilakukan,
terdapat perubahan yang signifikan pada respon spektral sensor kamera CMOS Canon 1000D yang
termodifikasi, khususnya pada channel merah dimana terjadi kenaikan nilai piksel yang tinggi akibat
-9-
Eksperimen FotoUdara Digital WarnaSemu Format Kecil untuk Pemetaan Kerusakan Tanaman Padi (Oryza Sativa) (Prihantarto,
W.J.)

masuknya gelombang IR dekat. Namun, terdapat inkonsistensi pola nilai piksel objek bila dibandingkan
dengan teori respon spektral objek. Misal nilai piksel rata-rata objekair keruh penuh alga lebih tinggi
daripada rumput kering pada channel merah (3) (gambar 2). Sekalipun demikian, visualisasi citra yang
diwakili oleh rona dan warna (dominasi warna merah) dapat dijadikan sebagai argumen bahwasanya
karakter sensor kamera memiliki sensitifitas yang tinggi terhadap gelombang inframerah dekat.
Pengujian juga dilakukan pada objek padi kering dan segar yang diperbandingkan dengan tumbuhan
(vegetasi) lain. Hasil menunjukkan, tidak terdapat perbedaan pola visualisasi padi kering dengan rumput
kering, dan sebaliknya sekalipun terdapat kenaikan nilai yang tinggi pada channel merah. Hasil deskripsi dan
pengenalan karakterisitk visual ini nantinya dijadikan dasar logika dalam membangun kunci interpetasi
untuk membedakan objek padi rusak dan tidak rusak.
Karakter radiometrik citra foto tidak menunjukkan kekurangan untuk kebutuhan pemetaan pada skala
besar dimana citra foto memiliki resolusi radiometrik 8 bit dengan format RAW (sistem penyimpanan BIL).
Adapun karakter spasial dan geometrik ditentukan oleh perencanaan penerbangan dimana citra ditargetkan
memiliki resousi spasial 5,78 mm per piksel dengan luas cakupan 337,5 m2 /foto pada pemotretan tegak
lurus. Nilai tersebut didapatkan berdasarakan perhitungan pra akuisisi data.

3.2 Perencanaan dan Pelaksanaan Pemotretan


Kegiatan pemotretan (akuisisi data) dilakukan berdasarkan sistematika pemotretan seperti yang telah
direncanakan. Untuk mendapatkan eksposur yang tepat, kamera diatur pada kombinasi ISO 100, kecepatan
rana 1/4000 dan diafragma 5,6 serta dengan pengaturan white balance daylight (5000 - 5600 K). Kamera
mengambil gambar dengan interval 5s atau 1 foto setiap 5 detik secara otomatis. Sebanyak 7 citra foto
terbaik dipilih berdasarkan penilaian kualitatif pada aspek luas area yang mampu dicakup citra, ketajaman
visual citra, dan geometri citra.

3.3 Pemrosesan Citra Foto


Pemrosesan visual yang pertama kali dilakukan adalah penyesuaian white balance citra foto. Hasil
menunjukkan, visualisasi citra yang sebelumnya memiliki kecenderungan merah dengan variasi warna yang
tidak begitu nyata berubah menjadi relatif heterogen dari segi warna. Hal ini membuktikan proses
penyesuaian visual (white balance) mampu memberikan peningkatan interpretabilitas citra foto berdasarkan
variasi yang muncul pada unsur interpretasi warna.
Pemrosesan selanjutnya adalah perentangan kontras citra dengan mengunakan metode linear stretching.
Citra foto ditajamkan dengan meratakan julat nilai piksel yang ada ke julat piksel yang lebih lebar (0-255).
Setiap citra memiliki perbedaan julat nilai piksel untuk setiap channel sekalipun diambil pada pengaturan
eksposur yang sama. Hal ini berimplikasi pada visualisasi dimana variasi kontras foto yang ada terbatas.
Perentangan kontras linear dapat memperbaiki variasi rona dari citra foto.

Gambar 3. Perbandingan Citra Asli (a) dengan Citra setelah melalui Penyesuaian White Balance (b)
dan Perentangan Kontras Linear (c)
(Sumber: Analisis Laboratorium, 2013)
- 10 -
SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015

Koreksi distorsi yang disebabkan oleh efek kelengkungan lensa termasuk dalam tahap pemrosesan pasca
pemotretan yang ditujukan untuk mengembalikan geometri foto akibat distorsi barrel dan pincushion. Hasil
menunjukkan, tidak terdapat efek visual yang berbeda jauh dengan citra asli. Citra foto hasil idealisasi ini
direkonstruksi menggunakan perangkat lunak Photomodeler Scanner untuk mengetahui aspek-aspek terkait
pemotretan. Hasil rekonstuksi ketujuh citra foto menunjukkan, nilai kecondongan pada sumbu X () yang
menunjukkan anggukan dari wahana termasuk kecil dengan range 0,4 hingga 5,43. Berbeda dengan
kecondongan pada sumbu X, nilai kecondongan pada sumbu Y () memiliki range yang lebih lebar namun
dengan tingkat kecondongan rata-rata yang lebih kecil, yaitu -0,027 hingga -5,52. Nilai rata-rata sangat
jauh berbeda dan relatif besar dibandingkan dengan dua nilai sudut lainya. Range nilai dari ketujuh citra foto
adalah 0,04 hingga 20,41. Besarnya nilai kecondongan pada sumbu Z memperlihatkan besarnya
ketidakstabilan wahana terhadap jalur terbang yang dihasilkan. Ketinggian penerbangan (pemotretan)
berkisar anatara 19,616 m hingga 21,578 m dari rata-rata permukaan tanah. Resolusi spasial yang dihasilkan
berkisar antara 2,010 mm hingga 2,211 mm.

Tabel 2. Aspek Orientasi Dalam dan Geometri Dalam Setiap Foto Tunggal
(Sumber: Analisis Studio, 2013)

Kode Citra Omega() Phi() Kappa () Ketinggian (m) Resolusi (mm)


IMG 9344 2,28 -3,39 0,04 19,61 2,01
IMG 9345 5,43 -0,46 2,54 21,57 2,21
IMG 9346 3,42 -2,45 15,35 17,98 1,84
IMG 9347 2,35 -0,02 19,80 16,59 1,7
IMG 9348 2,08 -5,55 20,41 15,41 1,57
IMG 9349 0,40 -3,87 17,24 14,98 1,53
IMG 9353 0,49 -2,57 4,76 13,48 1,38

Ketujuh citra dimosaik tidak terkontrol untuk mendapatkan luasan yang mampu mencakup variasi
kenampakan objek. Selanjutnya, rektifikasi (georeferencing) dilakukan pada citra mosaik menggunakan
GCP yang sudah diukur di lapangan. Total RMS error hasil georeferencing ini adalah 0,005. Resampling
yang dipilih adalah nearest neighbor pada orde 1.

3.4 Interpretasi Citra Foto dan Pemetaan


Interpretasi citra foto dilakukan untuk mengidentifikasi kerusakan tanaman padi yang diakibatkan oleh
serangan hama tikus. Kendati kemungkinan kerusakan tanaman padi oleh hama lain mungkin saja terjadi,
namun asumsi bahwa serangan tikus menghasilkan perubahan yang paling signifikan pada rumpun padi
menjadi dasar generalisasi tematik.
Unit pemetaan dalam kajian ini adalah kerusakan padi dengan skala data biner dimana peta akan memuat
dua kelas, yaitu padi rusak dan padi tidak rusak. Kunci interpretasi yang digunakan untuk memetakan
kerusakan adalah rona, warna, bayangan, tekstur, pola, situs dan asosiasi. Rona dan warna merupakan kunci
intrepretasi utama yang diuji dalam penelitian ini.
Rumpun padi didefinisikan ke dalam kelas padi tidak rusak bilamana memiliki rona yang lebih gelap jika
dibandingkan dengan padi kering. Secara teoritis, hal ini dikarenakan pada padi sehat, terdapat kandugan air
(lengas daun) yang mampu menyerap gelombang inframerah dekat. Selain itu, kandungan klorofil yang
tinggi membutuhkan gelombang biru dan merah untuk fotosistesis, sehingga akan berimplikasi pada rona
yang cenderung gelap. Sekalipun terdapat kecenderungan rona gelap lebih menunjukkan objek rumpun padi
tidak rusak, terdapat inkonsistensi dimana pada rumpun yang benar-benar tidak rusak rona tidak gelap,
melainkan sedang. Hal ini menjelaskan rona cukup sulit untuk dijadikan kunci interpretasi karena perubahan
rona memiliki kemungkinan tidak linear dengan kelas kerusakan padi.
Warna padi tidak rusak (sehat) juga dapat dibedakan dengan padi rusak (tidak sehat). Faktanya,
perbedaan rona dan warna relatif kecil sehingga pembedaan karakter objek yang akan dibedakan dengan
mengandalkan dua unsur interpretasi tersebut masih belum dapat dikatakan baik.

- 11 -
Eksperimen FotoUdara Digital WarnaSemu Format Kecil untuk Pemetaan Kerusakan Tanaman Padi (Oryza Sativa) (Prihantarto,
W.J.)

Tabel 3. Contoh Variasi Visual Objek Rumpun Padi


dan Penggunaan Beberapa Unsur Interpretasi dalam Pendefinisian Kelas Kerusakan
(Sumber: Analisis studio, 2013)

Contoh
Rona Warna Tekstur Pola Situs dan Asosiasi Keterangan
visual

Sangat Sangat Tepi petak, dekat dgn


sedang Ungu muda Tidak rusak
kasar teratur pematang

Merah Tepi petak, dekat dgn


gelap Kasar teratur Tidak rusak
keunguan pematang

Merah Kurang
gelap Sedang tengah petak Tidak rusak
keunguan teratur

Sangat Tidak
Ungu jingga Sedang Tengah petak Rusak
cerah teratur

Merah- Sangat Tengah petak, dekat


Cerah Sedang Rusak
kekuningan tidak teratur dgn parit

Sangat Merah muda Sangat Tengah petak, jauh


Halus rusak
cerah kekuningan tidak teratur dari pematang

Berbeda dengan dua unsur interpretasi sebelumnya, tekstur memberikan gambaran perbedaan yang cukup
baik. Hal yang menjadikan tekstur dinilai dapat menguatkan identifikasi adalah karakteristik kerusakan yang
diakibatkan oleh hama tikus berimbas langsung terhadap fisiologis (rumpun) padi. Berbeda dengan hama
lain, tikus mengakibatkan dampak nyata pada struktur fisologis tanaman karena keratan pada batang padi.
Terpotongnya batang menjadikannya rebah dan terlihat berserakan bila dilihat dari atas. Ketidakberaturan
rebahan ini menghasilkan tekstur yang relatif halus bila dibandingkan dengan padi yang tidak rusak (sehat).
Padi tidak rusak (sehat) dapat mudah dibedakan dengan padi rusak beradasarkan pola tegakan yang ada.
Pola padi tidak rusak cukup teratur karena penanaman yang ditata sedemikain rupa. Saat padi tidak
mengalami gangguan sepanjang masa tumbuhnya, pola teratur ini akan terjaga. Hal yang berkebalikan
ditunjukkan pada padi rusak dimana akibat rebahnya rumpun, maka pola dari rumpun padi tidak beraturan.
Unsur interpretasi pola memiliki konsistensi hubungan yang linear dengan kerusakan tanaman padi, dimana
padi rusak akan memiliki kecenderungan pola yang tidak teratur dan sebaliknya. Hal ini menjadikan pola
adalah kunci interpretasi yang paling tepat untuk pendefinisian kelas kerusakan padi.
Peneliti melakukan delineasi dengan metode onscreen digitation untuk membedakan region rumpun yang
rusak dan tidak rusak. Generalisasi grafis diterapkan dalam pembedaan kelas secara kualitatif hingga batasan
terkecil, yaitu rumpun secara individual. Peta yang dihasilkan memiliki dua kelas kerusakan (biner), yaitu
rusak dan tidak rusak (Gambar 4). Setiap unit disimbolkan dengan variabel visual warna sesuai dengan data
kelas data nominal.
Peneliti menentukan sejumlah sampel berdasarkan hasil interpretasi dengan atribut koordinat dan kelas
kerusakan. Desain pengambilan sampel yang dipilih adalah purposive sampling dengan 33 sampel untuk dua
kelas.

- 12 -
SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015

Gambar 4. Peta Citra Mosaik Foto Udara Digital Warna Semu dan Peta Kerusakan Tanaman Padi
(Sumber : Analisis studio, 2013)

Pengujian akurasi interpretasi dilakukan dengan menggunakan matriks kesalahan (confussion matrix).
Pengamatan lapangan menunjukkan, dari 16 rumpun rusak tersebut, tiga rumpun menunjukkan gejala tidak
rusak. Akurasi pengguna untuk kelas ini adalah sebesar 81,25 % dengan komisi (penambahan) kesalahan
sebesar 18,75 %. Akurasi pembuat lebih rendah sebesar 68,42 % dengan omisi (penghilangan) sebesar 31,57
%.
Tabel 4. Perhitungan Akurasi Pembuat dan Pengguna Peta Hasil Interpretasi
(Sumber: Analisis Studio, 2013)

Akrasi Pembuat Akurasi Pengguna


Kelas
Akurasi % % Omisi Akurasi % % Komisi
Rusak 13/19 68,42 31,57 13/16 81,25 18,75
Tidak Rusak 11/14 78,57 21,42 11/17 84,7 35,29

Kelas padi tidak rusak memiliki 11 sampel yang cocok antara pengamatan lapangan dan interpretasi.
Terdapat 6 sampel yang dianggap salah menurut pengamatan lapangan. Akurasi pengguna pada kelas
rumpun tidak rusak adalah 64,70% dengan penambahan (komisi) kesalahan sebesar 35, 29%. Nilai akurasi
pembuat untuk kelas ini lebih tinggi sebesar 78,57% dengan pengurangan (omisi) kesalahan sebesar 21,42%.
Akurasi keseluruhan yang diambil dari 33 sampel memiliki nilai sebesar 72,7 % dimana 24 sampel dari
kedua kelas dianyatakan sesuai antara interpretasi dengan pengamatan lapangan.

4. KESIMPULAN
Berdasarkan serangkaian analisis yang dilakukan peneliti mengambil kesimpulan foto udara digital warna
semu format kecil dapat digunakan sebagai sumber data pemetaan kerusakan tanaman padi akibat serangan
tikus sawah sejauh catatan teknis terkait kualitas geometrik dan spektral terkondisikan secara
cermat.Identifikasi kerusakan tanaman padi akibat serangan tikus sawah menggunakan citra foto udara
digital warna semum dapat dilakukan dengan menitikberatkan pada kunci interpretasi tekstur dan pola,
sedangkan unsur interpretasi rona dan warna yang berkaitan dengan kerakteristik sensor yang spesifik tidak
memberikan peningkatan interpretabilitas citra.

- 13 -
Eksperimen FotoUdara Digital WarnaSemu Format Kecil untuk Pemetaan Kerusakan Tanaman Padi (Oryza Sativa) (Prihantarto,
W.J.)

5. POTENSI PENGEMBANGAN RISET


Penelitian ini memiliki potensi pengembangan yang sangat besar, utamanya dalam analisis kemampuan
sensor dalam pendeteksian kondisi tanaman dalam lingkup yang lebih detail. Pegembangan juga dapat
dilakukan dengan menerapkan metode analisis digital, yaitu mempertimbangkan nilai piksel sehingga
kekuatan dari resolusi spasial dan spektral yang tinggi dapat dioptimalkan.
Tantangan pengembangan penelitian ini tentunya juga cukup besar dimana pengujian terkait parameter
intrinsik dan ekstrinsik dari sistem perlu dilakukan dengan lebih cermat. Pengujian karakteristik spektral
sensor harus dilakukan dengan lebih detail dengan menggunakan monokromator untuk menjamin akurasi
dan objektifitas penelitian. Perencanaan penerbangan harus mempertimbangkan fluktuasi cuaca dan keadaan
lapangan yang mungkin saja terjadi secara mendadak.Penggunaan wahana aerodinamis seperti pesawat fixed
wing sangat disarankan bila dibandingkan dengan wahana aerostatis untuk kebutuhan pemetaan yang
mensyaratkan konsistensi geometrik yang tinggi.Pemrosesan citra, khususnya rekonstruksi geometrik untuk
penelitian kedepan sangat disarankan menggunakan refenresi yang objektif, terutama untuk pemetaan kasus
yang membutuhkan presisi pemetaan yang tinggi, misal menggunakan GCP yang mencukupi dan tersebar
penuh dalam scene serta terdefinisikan berdasarakan pengukuran koordinat dengan metode terbaik.

DAFTAR PUSTAKA
Aber, James, S., Aber, S.W., dan Firooza, P. (2002). Unmanned Small Format Aerial Photography From Kites for
Aquiring Large-Scale High-Resolution and Multi-angle Imagery. Pecora 15/ Land Satellite Information IV/ ISPRS
Commission I/ FIEOS Conference Proceeding. Kansas.
Azwar, dan Fajar, Y. (2006). Klasifikasi Pesawat Model. Artikel online. Federasi Aeromodeling Seluruh Indonesia.
Jakarta.
Guptill, Stephen, C., dan Morrisson, J.L. (1995). Element of Spatial Data Quality. International Cartographic
Association. United Kingdom.
Harintaka (2004). Pemanfaatan teknologi Small Format Aerial Photograph untuk Keperluan Pembangunan Daerah
(Studi Kasus:Aplikasi Bidang Pertanian). Jurusan Teknik Geodesi fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada.
Yogyakarta.
Jensen, dan John, R. (2005). Introductory Digital Image Processing: A Remote Sensing Prespective. Pearson Prentice
Hall. United States of America.
Noam, L. (1999) Fundamentals of Remote Sensing. International Maritime Academy. Trieste.
Loveless, A.R. (1991). Prinsip-prinsip Biologi Tumbuhan untuk Daerah Tropik. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Martins, Luis, M., Lufinha, M.I., Marques, C.P., dan Arbeu, C.G. (2001). Small Format Aerial Photography for Asses
Chestnut Ink Dissease. Universidade de Tras-os-Montes e Alto Douro. Dept. Prot. Plantas. Ept. 202. 5000-911.
Pages 357-380. Vila Real.
Sadidge, D. (2009) Digital Infrared Photography.Wilay Publishing. Indanapolis.
Sudarmaji, dan Herawati, N.A. (2006). Ekologi Tikus Sawah dan Teknologi Pengendalianya. Balai Besar Penelitian
Tanaman Padi. Jakarta.
Tristiani, Harsiwi, Murakami, O., dan Kuno, E. (2000). Rice Plant Damage Distribution and Home Range Distribution
of the Ricefield Rat Rattus Argentiventer (Rodentia: Muridae). Belg. J. Zool., 300(2):83-91.
Warner, G. (1996). Small Format Aerial Photography. Whittles Publishing. United Kingdom.
Wurdram, D., dan Loffler, J. (2007). Kite Aerial Photography in High Mountain Evironment. Grazer Schriften der
Geographie und Raumforchung. Intitute Of Geography. Bonn.

*) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukan pada saat diskusi presentasi ilmiah

BERITA ACARA
PRESENTASI ILMIAH SINAS INDERAJA 2015

Moderator : Ir. Dedi Irawadi


Judul Makalah : Eksperimen Foto Udara Digital Warna Semu Format Kecil untuk Pemetaan Kerusakan
Tanaman Padi (Oryza Sativa)
Pemakalah : Wikan Jaya Prihatarto
Jam : 09.00-10.00
Tempat : Meeting Room E-F
Diskusi :

- 14 -
SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015

Ahmad Maryanto (Pustekdata, LAPAN):


Apa spesifikasi dari item-item dari kamera?
Modifikasi seperti apa yang dilakukan pada kamera? Dengan menambah fitur di infrared atau membuang fitur infrared
di kamera?
Analisis yang digunakan masih menggunakan analisis visual, bagaimana dengan digital?

Jawaban:
Kamera sebelumnya diuji untuk memotret berbagai macam objek dan tampak terjadi kurva kenaikan pada band merah.
Misal memotret objek putih, warnanya nanti akan menjadi kemerahan.
Modifikasi dilakukan dengan mengambil salah satu layer, sensornya dilepas, filter didalamnya diambil, maka akan
tampak panjang gelombang biru hingga infra merah, full masuk dan telah diuji di LAB yang ada di Jakarta
Analisis masih dilakukan secara visual, karena ini masih eksperimen. Untuk kedepannya maka akan diadakan analisis
lebih lanjut.

Tuti Gantini (Pustekdata, LAPAN):


Bisa dilihatkah dari foto udara yang merupakan format kecil kerusakan padi oleh hama tikus dan hama lainnya?
Bagaimana proses koreksi geometric, sedangkan yang difoto hanya ada petak?

Jawaban:
(Belum dijawab karena waktu habis)

Budhi Gustiandi (Pustekdata, LAPAN):


Apakah ada rencana pengembangan di masa mendatang?
Parameter-pareter baku apakah yang harus disesuaikan jika ingin diterapkan untuk tanaman lain, apakah sensornya
yang akan dirubah atau spectral radiometric atau cukup perangkat lunaknya?

Jawaban:
(Belum dijawab karena waktu habis)

- 15 -
SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015

ORAL PRESENTATION

Simulasi Direct Georeferencing untuk


Koreksi Geometrik Sistematik Citra Pushbroom Imager
Muchammad Soleh1,*), Wismu Sunarmodo1, dan Ahmad Maryanto1
1
Pusat Teknologi dan Data Penginderaan Jauh - LAPAN
*)
E-mail: msoleh76@gmail.com

ABSTRAK Direct georeferencing (georeferensi langsung) citra inderaja (penginderaan jauh) pada intinya adalah
suatu proses pemberian label koordinat (kalibrasi posisi) citra inderaja dengan koordinat yang sebenarnya pada sistem
bumi. Secara sederhana, proses ini dapat dilakukan dengan bantuan rumusan geometris yang menghubungkan titik
tersebut pada sistem satelit yang sedang mengorbit dan sistem bumi. Proses ini merupakan sebuah tahap awal untuk
menghasilkan data atau citra yang terkoreksi secara geometrik sistematik dan terkode kepada sebuah peta (geocoded
image). Pushbroom imager adalah sistem detektor dengan larik lurus yang prinsip pencitraannya dilakukan dengan
teknik line scanning (pushbroom). Citra pushbroom imager 2-D diperoleh melalui ratusan hingga ribuan kali
pemotretan dengan menggeser kamera secara tepat terhadap obyek pada tiap-tiap pemotretan dengan selang
pengambilan disesuaikan dengan kecepatan terbang satelit relatif terhadap bumi dan ukuran lebar garis gambar (resolusi
spasial) yang ditentukan. Makalah ini bertujuan mengulas implementasi algoritma dan melakukan simulasi direct
georeferencing untuk perhitungan koreksi geometrik sistematik citra pushbroom imager dengan prinsip membangun
relasi antara sistem koordinat sensor pushbroom pada wahana terhadap koordinat pada permukaan bumi. Relasi ini
dibangun dengan cara memproyeksikan setiap titik sensor (piksel) pada permukaan bumi melalui prinsip interseksi.
Namun untuk melakukan proses interseksi, posisi sensor dan permukaan bumi harus berada pada suatu sistem koordinat
yang sama. Untuk itu operasi sensor terhadap sikap (roll, pitch, yaw) dilakukan pada sistem koordinat wahana (SKW)
sedangkan operasi interseksi dilakukan pada sistem koordinat bumi (SKB). Hasil simulasinya berupa pelabelan
koordinat geodetik latitude longitude untuk tiap-tiap piksel citra pushbroom dalam satu baris/larik.

Kata kunci: direct georeferencing, pushbroom imager, koreksi geometrik sistematik

ABSTRACT - Direct georeferencing for remote sensing imagery is essentially a process of labeling the remote sensing
imagery coordinate (position calibration) with real coordinates on the earth system. Simply, this process could be done
with geometric formula which connecting the point to satellite orbitsystemand earth sistem. This process is a first step
to generates geometrically sistematic corrected data or image and geocoded image. Pushbroom imager is a detector
system with straight lines which performed by line scanning technique (pushbroom). 2-D imager pushbroom image
obtained through hundreds to thousands times shooting by shifting the camera appropriately to the object at each
interval shooting by making adapted to flying speed of the satellite relative to the earth and the size of the width of the
line images (spatial resolution) were determined. This paper aims to review the implementation of the algorithm and
simulating direct georeferencing for a sistematic geometric correction calculation of pushbroom imager image with the
principle of building a relationship between the pushbroom sensor coordinate systemon the vehicle to the earth
coordinate system. This relationship is built by projecting each sensor point (pixel) on the surface of the earth through
the intersection principle. But to make intersection, sensor position and the earth's surface must be on a similar
coordinate system. For the operation of the attitude sensor (roll, pitch, yaw) performed on the vehicle coordinate
system (SKW) while the intersection operation performed on earth coordinate system (SKB). The simulation results in
the form of geodetic latitude longitude coordinates labeled for each pushbroom image pixel in an array.

Keywords: direct georeferencing, pushbroom imager, systematic geometric correction

1. PENDAHULUAN
Proses georeferensi langsung citra inderaja pada intinya adalah suatu proses pemberian label koordinat
(kalibrasi posisi) citra inderaja dengan koordinat yang sebenarnya pada sistem bumi. Secara sederhana,
proses ini dapat dilakukan dengan bantuan rumusan geometris yang menghubungkan titik tersebut pada
sistem satelit yang sedang mengorbit dan sistem bumi sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 1 (Maryanto,
2012).
Seperti dilukiskan pada Gambar 1 di bawah ini direct georeferencing melakukan penghitungan vektor
dengan mengeksplorasi relasi geometrik yang dibangun oleh relasi fisik dari perangkat-perangkat akuisisi
citra yang terlibat di dalamnya. Masing-masing perangkat akuisisi secara geometris dapat dipandang sebagai
satu entitas sistem referensi dengan kerangka acuannya sendiri. Oleh karena itu eksplorasi relasi geometrik

- 16 -
SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015

pada direct georeferencing pada umumnya dimulai dari estraksi orientasi citra (arah pandang masing-masing
piksel citra ke obyek pasangannya) menurut perangkat fisik yang membentuknya, yaitu kamera. Karena
hanya meninjau secara internal di dalam kamera itu sendiri, maka arah pandang yang teridentifikasi
dinamakan juga dengan orientasi internal atau orientasi intrinsik (Maryanto, 2012).

Gambar 1. Formasi Geometrik Titik Pusat Bumi, Titik Satelit pada Suatu Saat, dan Titik Obyek
atau Titik Target yang Membentuk Sebuah Relasi Vektor

Secara metodologis, perumusan orientasi internal untuk semua kamera adalah sama yaitu
mengidentifikasi lokasi titik citra (piksel pada file citra) pada sel detektor (piksel detektor) yang
memproduksi dirinya, mengidentifikasi titik pusat pandang atau pusat perspektif yang berada di dalam
sistem lensa sebagai titik asal (origin) sistem koordinat, mendefinisikan sumbu koordinat yang tepat untuk
ruang 3-D yang berpusat pada titik asal tersebut, kemudian menghitung vektor posisi dari masing-masing
piksel detektor yang mewakili piksel citra tersebut pada sistem koordinat kamera yang telah didefinisikan
(Maryanto, 2012).
Rumusan orientasi internal (vektor pandang intrinsik) bersifat tetap karena struktur dalam kamera pada
umumnya merupakan suatu konstruksi fisik yang tetap. Perbedaan rumusan vektor pandang terjadi pada
tataran teknis oleh cara kamera memperoleh citra atau teknologi scanning yang dianut dan nilai besaran-
besaran fisis komponen kamera yang digunakan (Maryanto, 2012).
Dengan terdefinisinya vektor pandang internal pada perangkat fisik yang memproduksinya, yaitu kamera,
maka langkah berikutnya di dalam proses eksplorasi relasi geometrik secara direct georeferencing adalah
mengidentifikasi relasi fisik kamera dengan perangkat fisik (sistem) berikutnya, misalnya kamera dipasang
secara mati pada satelit, dan merumuskan transformasi geometrik yang tepat dari sistem referensi kamera ke
sistem tersebut sehingga dapat didefinisikan vektor pandang menurut sistem dimaksud (satelit). Demikian
seterusnya dilakukan langkah yang sama untuk sistem yang menghubungkan satelit dengan sistem bumi
sehingga diperoleh orientasi luar akhir di dalam sistem referensi bumi (Maryanto, 2012).
Makalah ini membahas rumusan relasi geometris citra-obyek secara direct georeferencing dengan asumsi
data citra diperoleh dari sensor pushbroom yang diikat secara tetap (mati) pada sebuah wahana pembawa
sensor penginderaan jauh tipe pushbroom linescan. Proses georeferensi adalah sebuah tahap awal yang harus
dilalui dalam proses koreksi geometrik citra inderaja untuk menghasilkan data atau citra yang terkode kepada
sebuah peta (geocoded image). Untuk sampai kepada tahap ini, satu tahap proses yang harus dilakukan
adalah resampling, yang tidak dibahas pada makalah ini.

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sensor Pushbroom Pada Sebuah Wahana


Dalam konteks geometri akuisisi, sensor pushbroom dapat digambarkan secara sederhana sebagai sebuah
sistem lensa yang pada bidang fokusnya dipasang detektor larik lurus (linear array detector, misalnya CCD)
sebagai perekam citra yang dibentuk oleh sistem lensa. Karena pendeteksi hanya berupa larik sel atau piksel
- 17 -
Simulasi Direct Georeferencing untuk Koreksi Geometrik Sistematik Citra Pushbroom Imager (Soleh, M., et al.)

detektor yang membentuk sebuah garis lurus, maka gambar yang akan diberikan hanyalah berupa satu
elemen garis gambar saja yang lebarnya sangat kecil sehingga dapat dianggap sebagai gambar satu dimensi.
Gambar 2 dimensi pada pushbroom imager hanya akan terbentuk jika kamera digeser secara teratur pada tiap
kali kamera mengambil gambar sesuai dengan ukuran lebar dari masing-masing garis gambar seperti
ditunjukkan pada Gambar 2.

Gambar 2. Prinsip Pencitraan dengan Teknik Line Scanning (Pushbroom). Citra 2-D diperoleh melalui Ratusan hingga
Ribuan Kali Pemotretan dengan Menggeser Kamera secara Tepat terhadap Obyek pada Tiap-Tiap Pemotretan.

Pada sistem penginderaan jauh satelit, satelit-satelit dengan sensor pushbroom melakukan pengambilan
gambar (pemotretan) ratusan hinga ribuan kali dengan selang pengambilan disesuaikan dengan kecepatan
terbang satelit relatif terhadap bumi dan ukuran lebar garis gambar (resolusi spasial) yang ditentukan
(Maryanto, 2012).

2.2 Orientasi Internal Sensor Pushbroom


Orientasi internal pada pushbroom imager dapat dirumuskan melalui mapping (transformasi) lokasi
piksel citra pada larik detektor dan identifikasi struktur fisik kamera secara keseluruhan, di mana terletak
larik detektor di dalamnya. Dalam hal ini melibatkan sistem koordinat citra (SKC) yang menjadi parameter
input terhadap sistem koordinat detektor (SKD). Dan SKD juga menjadi parameter input terhadap sistem
koordinat kamera (SKK). SKK dalam hal ini adalah data posisi (latitude, longitude) dan attitude/sikap
kamera (roll, pitch, yaw) atau disingkat menjadi LLA (latitude, longitude, attitude). Parameter LLA pada
SKK diperoleh dari hasil geolokasi menggunakan perangkat sensor GPS receiver dan sensor sikap IMU
(Inertial Measurement Unit) yang terpasang pada sistem kamera (Poli, 2005). Detail penjelasan tentang
masing-masing relasi internal terkait sensor pushbroom imager disampaikan pada Bab 3 makalah ini.

2.3 Orientasi Eksternal Sensor Pushbroom


Orientasi eksternal pada pushbroom imager dapat dirumuskan sebagai relasi-relasi yang dibangun antara
sensor kamera terhadap dirinya dengan bumi sebagai acuan antara lain yaitu: relasi antara sensor kamera
terhadap wahana pembawa sensor (spaceborne/airborne), relasi sensor kamera terhadap sistem acuan lokal
orbital, relasi lokal orbital terhadap bumi dan interseksi/perpotongan arah pandang wahana pembawa sensor
pada permukaan bumi yang menghasilkan koordinat obyek. Seluruh parameter relasi yang disebutkan di atas
akan diperhitungkan untuk memperoleh koordinat citra pada wahana atau Sistem Koordinat Wahana (SKW)
pembawa sensor pushbroom imager. Berikutnya yang juga diperhitungkan adalah relasi antara SKW
terhadap pergerakan bumi (rotasi), sehingga faktor rotasi bumi akan mengubah SKW menjadi Sistem
Koordinat Wahana ter-Rotasi (SKWR). Dan terakhir adalah orientasi SKWR terhadap permukaan bumi
untuk mengubah orientasi SKWR menjadi Sistem Koordinat Bumi (SKB) pada setiap piksel data citra
melalui proses perhitungan interseksi/perpotongan antara koordinat pada citra dengan koordinat di
permukaan bumi (Poli, 2005). Detail penjelasan tentang masing-masing relasi eksternal yang dibangun pada
sensor pushbroom imagerdisampaikan pada Bab 3 makalah ini.

2.4 Transformasi Koordinat Geosentrik ke Geodetik


Untuk memperoleh koordinat geosentrik dilakukan dengan cara memperhitungkan orientasi internal dan
eksternal sensor terhadap bumi. Setelah koordinat geosentrik diperoleh maka tahapan akhir adalah
melakukan transformasi koordinat geosentrik ke geodetik dengan cara menghitung titik potong vektor arah
- 18 -
SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015

piksel citra dengan ellipsoid bumi sebagai acuan untuk menentukan vektor posisi titik citra pada permukaan
bumi. Proses transformasi ini akan mengubah vektor posisi ke koordinat geografis lintang bujur geosentrik
dan selanjutnya mengubah koordinat geografis geosentrik ke koordinat geografis lintang bujur geodetik
(Rizaldy dan Firdaus, 2012).
Banyak cara untuk melakukan transformasi dari koordinat geosentrik ke geodetik, ataupun sebaliknya.
Salah satu cara yang popular adalah dengan melibatkan komponen tangensial dari geosentrik latitude
(lintang) terhadap ellipsoidal bumi (Jacobsen, 2002). Dalam hal ini diberlakukan proses
interseksi/perpotongan vektor arah piksel citra dengan ellipsoid bumi sebagai acuan untuk menentukan
vektor posisi setiap titik citra pada permukaan bumi dimana vektor permukaan bumi ditentukan dengan
rumus ellipsoidal bumi sesuai parameter kepepatan bumi standar WGS-84. Pada tahapan ini akan diperoleh
hasil koordinat SKB dalam format ECEF (Jacobsen dan Helge, 2004).
Dan terakhir, setelah diperoleh vektor perpotongan pointing masing-masing piksel dengan permukaan
bumi, maka selanjutnya adalah mengubah kembali vektor tersebut yang berada dalam sistem koordinat
ECEF menjadi koordinat LLA (longitude, latitude, altitude) (Schroth, 2004). Namun pada simulasi kali ini
diasumsikan bahwa ketinggian (altitude) setiap piksel pada data citra adalah 0 (nol) meter. Detail penjelasan
tentang transformasi koordinat geosentrik sensor pushbroom imager menjadi koordinat geodetik akan
disampaikan pada Bab 3 makalah ini.

3. METODOLOGI
Algoritma yang umum digunakan dalam proses direct georeferencingditunjukkan pada Gambar 3. Dalam
hal ini data posisi (latitude, longitude) dan attitude/sikap kamera (roll, pitch, yaw) atau disingkat menjadi
LLA (latitude, longitude, attitude) diperoleh dari hasil geolokasi menggunakan perangkat sensor GPS
receiver dan sensor IMU (Inertial Measurement Unit) yang terpasang pada sistem kamera.

Posisi &
Atitude

LLA ->SKB (ECEF)

Operasi SKW -> SKWR = Operasi


SKB -> SKW Rotasi Pitch, Roll, Yaw
per-line

Operasi
Invers SKW->SKB SKWR ->SKB (ECEF) per-pixel

Interseksi pointing pixel dengan


permukaan bumi (ECEF)

Interseksi (ECEF)
-> Lat. Long.

Gambar 3. Algoritma Umum Direct Georeferencing untuk Memperoleh Data Citra yang Geocorrected dan Geocoded

Setelah parameter LLA (latitude, longitude, attitude) diketahui dari sensor GPS receiver, maka nilainya
dikonversi ke dalam koordinat ECEF (Earth Centered Earth Fixed) yaitu acuan terrestrial konvensional
sebagai kerangka acuan yang berpusat pada titik pusat bumi (geosentris) yang ikut berputar dengan putaran
bumi dengan titik origin pada pusat massa bumi dengan arah X positif adalah titik potong garis
ekuator/katulistiwa dengan garis bujur nol, dan arah sumbu putar bumi menuju kutub utara sebagai arah
sumbu Z positif sementara perkalian cross arah sumbu Z positif dengan sumbu X positif sebagai arah sumbu
Y positif sesuai kaidah tangan kanan. Sistem koordinat ECEF ini telah didefinisikan oleh Bureau
International de lHeure (BIH), dan sama dengan sistem referensi geosentris U.S. Department of Defense
- 19 -
Simulasi Direct Georeferencing untuk Koreksi Geometrik Sistematik Citra Pushbroom Imager (Soleh, M., et al.)

World Geodetic System 1984 atau yang dikenal dengan sebutan WGS-84. Tujuan LLA diubah menjadi
ECEF adalah untuk memperoleh nilai koordinat yang mengacu pada Sistem Koordinat Bumi (SKB). Output
tersebut nantinya digunakan sebagai pusat koordinat dari sensor untuk setiap garis pada linescan. Dan untuk
mentransformasikan nilai koordinat LLA menjadi koordinat ECEF ditunjukkan pada Gambar 4.

Gambar 4. Perhitungan untuk Mengkonversi Parameter LLA menjadi ECEF sesuai dengan SKB

Setelah diperoleh koordinat ECEF (Earth Centered Earth Fixed) yang mengacu pada Sistem Koordinat
Bumi (SKB), maka SKB tersebut diterapkan untuk mengitung posisi wahana terhadap bumi. Maka dilakukan
konversi SKB menjadi Sistem Koordinat Wahana (SKW). Dalam hal ini pusat koordinat bumi menjadi pusat
koordinat wahana (sensor). SKW merupakan representasi untuk menentukan posisi wahana yang membawa
sensor terhadap bumi dimana sumbu X mengarah ke true north, sumbu Y mengarah ke timur dan sumbu Z
mengarah ke pusat geosentris bumi sesuai kaidah tangan kanan. Proses mengkonversi SKB menjadi SKW
dilakukan dengan sebuah matriks transformasi seperti digambarkan pada Gambar 5. Matriks koordinat ini
nantinya digunakan sebagai inverse dari Sistem Koordinat Wahana ter-Rotasi (SKWR) menjadi Sistem
Koordinat Bumi (SKB).

Gambar 5. Perhitungan Matriks Transformasi untuk Menerapkan Koordinat SKB Menjadi SKW

- 20 -
SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015

Dikarenakan posisi sensor berdasarkan SKW bersifat relatif terhadap bumi, dimana dalam hal ini bumi
bergerak melakukan rotasi dengan kecepatan tertentu. Maka selanjutnya perlu dilakukan operasi rotasi dari
SKW menjadi SKW yang dipengaruhi oleh rotasi bumi (SKWR). Pada tahap ini dilakukan koreksi pitch dari
koordinat geosentrik menjadi koordinat geodetik melalui sebuah matrik rotasi dengan asumsi arah yaw
0adalahtrue north sedangkan pitch dan roll 0 mengarah ke pusat geodetik bumi sebagaimana ditunjukkan
pada Gambar 6. Operasi rotasi pada sistem koordinat wahana (SKW) berdasarkan input dari sensor
sikap/attitude (IMU).

Gambar 6. Perhitungan SKW terhadap Rotasi Bumi Menjadi SKWR

Gambar 7. Operasi Rotasi pada Sensor Kamera Pushbroom Linescan Mengacu pada SKWR

- 21 -
Simulasi Direct Georeferencing untuk Koreksi Geometrik Sistematik Citra Pushbroom Imager (Soleh, M., et al.)

Seperti ditunjukkan pada Gambar 7 di atas, setelah diperoleh SKWR maka dilakukan operasi rotasi(pitch
(), roll (), yaw()) pada sensor kamera pushbroom linescan. Dalam hal ini scan piksel dalam satu baris
terjadi dalam waktu yang bersamaan dan berlangsung pada perputaran sumbu X (roll) tegak lurus terhadap
arah gerak wahana. Jika roll sudut positif maka wahana berputar ke kanan dan jika pitch sudut positif maka
wahana mendongak ke atas.
Operasi rotasi pada sistem koordinat wahana berdasarkan input dari sensor sikap (IMU). Prinsip yang
digunakan adalah dengan sudut roll () positif adalah rotasi sudut pada sumbu x berlawan arah jarum jam,
sudut pitch () positif adalah rotasi sudut pada sumbu y berlawanan arah jarum jam, dan sudut yaw () positif
adalah rotasi sudut pada sumbu z berlawanan arah jarum jam. Dalam hal ini asumsi setiap piksel pada satu
line menerapkan operasi rotasi roll seperti ditunjukkan pada Gambar 8.

Gambar 8. Orientasi Sensor Kamera Pushbroom Linescan terhadap Bumi Mengacu pada SKWR

Setelah diperoleh nilai koordinat tiap piksel pada sensor maka tahap selanjutnya adalah melakukan
inverse atau mengembalikan nilai koordinat SKWR tersebut ke dalam koordinat SKB atau ECEF lagi. Hal
ini dilakukan untuk mentrasnformasikan balik nilai yang koordinat yang pada sensor terhadap bumi dengan
cara melakukan vektor pointing dari setiap piksel pada sensor dan menemukan kesesuaian nilainya terhadap
koordinat di bumi dalam kerangka acuan ECEF seperti ditunjukkan pada Gambar 9.

Gambar 9. Inverse Nilai Koordinat Sensor pada SKWR ke dalam Sistem Koordinat SKB (ECEF)
- 22 -
SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015

Jika mengacu pada bentuk permukaan bumi yang berbentuk ellipsoid maka perlu dilakukan interseksi
atau perpotongan vektor pointing tiap piksel pada sensor dengan pemukaan bumi yang berbentuk ellipsoid
ini dengan mengacu pada persamaan ellipsoidal bumi untuk menghasilkan nilai perpotongan yang terdekat
dengan bidang ellipsoidal bumi seperti ditunjukkan pada Gambar 10.

Gambar 10. Interseksi Vektor Pointing Per Piksel pada Sensor terhadap Permukaan Bumi Ellipsoid

Tahapan akhir pada proses direct georeferencing yang dilakukan adalah memperoleh koordinat bumi
yang geocoded yaitu koordinat yang sesuai dengan kaidah-kaidah pemetaan. Untuk memperoleh koordinat
bumi yang geocoded maka tahapan selanjutnya adalah mengubah hasil vektor interseksi dalam koordinat
ECEF yang diperoleh ke dalam koordinat latitude dan longitude untuk setiap piksel pada citra. Dalam hal ini
diasumsikan bahwa ketinggian intekseksi adalah 0 (nol) meter diatas permukaan ellipsoidal bumi. Sehingga
dengan persamaan matematis tangensial bisa diperoleh koordinat latitude dan longitude untuk setiap piksel
pada citra seperti ditunjukkan pada Gambar 11.

Gambar 11. Mengubah Vektor Interseksi (ECEF) Menjadi Koordinat Latitude dan Longitude untuk Setiap Piksel
- 23 -
Simulasi Direct Georeferencing untuk Koreksi Geometrik Sistematik Citra Pushbroom Imager (Soleh, M., et al.)

Dari uraian geometri analitis penentuan titik potong arah pandang pada permukaan ellipsoid bumi
sebagaimana telah dijelaskan di atas, maka dapat dirangkum sebuah algoritma proses kalibrasi geometrik
citra inderaja secara langsung (direct georeferencing) antara lain sebagai berikut :
1. Menetapkan rumusan atau definisi orientasi internal piksel citra pada sistem kamera
2. Menetapkan rumusan atau hubungan yang menyatakan orientasi piksel citra di dalam sistem acuan satelit
3. Menghitung penanggalan pada saat sebuah piksel citra diperoleh
4. Menghitung posisi dan sikap satelit pada saat pengambilan piksel citra dilakukan
5. Menghitung vektor arah piksel citra pada sistem acuan orbital
6. Menghitung vektor arah piksel citra pada sistem acuan bumi
7. Menghitung titik potong vektor arah pisel citra dengan ellipsoid bumi acuan untuk menentukan vektor
posisi titik citra pada permukaan bumi yaitu :
Mengubah vektor posisi ke koordinat geografis lintang bujur geosentrik
Mengubah koordinat geografis geosentrik ke koordinat geografis lintang bujur geodetik

4. HASIL PEMBAHASAN
Program direct georeferencing yang dibuat memiliki alur proses seperti ditunjukkan pada Gambar 8.
Secara umum proses direct georeferencing merupakan proses memproyeksikan setiap titik sensor (piksel)
pada permukaan bumi dengan prinsip interseksi. Namun untuk menggunakan interseksi, posisi sensor dan
permukaan bumi harus berada pada suatu sistem koordinat yang sama. Maka operasi sensor terhadap sikap
(roll,pitch,yaw) dilakukan pada sistem koordinat wahana (SKW) sedangkan operasi interseksi dilakukan
pada sistem koordinat bumi (SKB).
Proses direct georeferencing diawali dengan melakukan transformasi koordinat LLA menjadi SKB
(ECEF) dilakukan dengan cara mengubah sistem koordinat input GPS sensor yang berupa LLA menjadi
SKB yang berupa sistem koordinat ECEF dengan parameter bumi yang digunakan adalah WGS-84.
Koordinat output yang dihasilkan adalah dalam koordinat kartesian (X,Y,Z) dengan pusat bumi (geosentris)
sebagai pusat koordinat, sumbu Z mengarah pada zenith sumbu geografis bumi, sumbu x mengarah pada
longitude 0, dan sumbu Y melengkapi sumbu Z dan X sesuai kaidah tangan kanan. Output tersebut nantinya
digunakan sebagai pusat koordinat dari sensor untuk setiap garis pada linescan.
Selanjutnya dilakukan transformasi koodinat SKB menjadi SKW dilakukan dengan cara
mentransformasikan koordinat dengan pusat koordinat stasiun bumi menjadi pusat koordinat wahana
(sensor). Sumbu Z SKW mengarah pada pusat geosentris bumi, sumbu x mengarah pada true north, dan
sumbu Y melengkapi sumbu Z dan X sesuai kaidah tangan kanan. Matriks koordinat ini nantinya digunakan
sebagai inverse dari Sistem Koordinat Wahana ter-Rotasi (SKWR) menjadi Sistem Koordinat Bumi (SKB).
Tahapan berikutnya adalah melakukan transformasi koodinat SKW menjadi SKWR adalah operasi rotasi
pada sistem koordinat wahana berdasarkan input dari sensor sikap (IMU) dengan prinsip sudut roll ()
positifadalah rotasi sudut pada sumbu X berlawan arah jarum jam, sudut pitch () positif adalah rotasi sudut
pada sumbu Y berlawanan arah jarum jam, dan sudut yaw () positif adalah rotasi sudut pada sumbu Z
berlawanan arah jarum jam dan dengan posisi awal pointing piksel pada sumbu Z (0,0,1). Dengan asumsi
setiap piksel pada satu line merupakan operasi rotasi roll.
Setelah diperoleh SKWR, maka dilakukan penyamaan sistem koordinat wahana dengan sistem koordinat
bumi dengan sistem koordinat bumi sebagai acuan. Operasi ini mengubah dari SKWR menjadi SKB untuk
setiap piksel dalam satu line. Dalam hal ini setiap piksel pada sensor sudah terproyeksi dengan sistem
koordinat bumi. Langkah selanjutnya adalah melakukan interseksi untuk menyesuaikan nilai koordinat SKB
terhadap ellipsoidal bumi (dengan parameter kepepatan bumi menggunakan standar WGS-84 untuk setiap
piksel dalam 1 baris sensor sehingga diperoleh hasil interseksi/perpotongan antara posisi piksel pada
permukaan bumi yang berbentuk ellips. Tahap terakhir adalah mengubah nilai koordinat SKB (ECEF) yang
diperoleh menjadi koordinat latitude dan longitude untuk setiap piksel. Dalam hal ini disumsikan bahwa
ketinggian setiap piksel adalah 0 (nol) meter.
Simulasi direct georeferencing yang dilakukan adalah programming menggunakan bahasa pemrograman
Phyton 2.7 dengan memasukan parameter input sensor yang akan disimulasikan yaitu jumlah piksel linescan,
panjang fokus lensa (focal length), image lengthdan panjang baris sensor. Dalam hal ini default nilai untuk
piksel linescan adalah 2048, panjang fokus lensa (focal length) 35 mm, image length 512, dan panjang baris
sensor 28.672 mm). Adapun parameter WGS-84 yang dimasukan adalah nilai radius ekuator (a) sebesar
6378137 km, radius kutub bumi (b) sebesar 6356752.3142 km dan eccentricity (e2) sebesar
0.00669437999014. Diasumsikan sensor berada di ketinggian (altitude) 1500 meter, koordinat input berupa
longitude, latitude, altitude, roll, pitch, yaw berturut-turut (106.859102,-6.337270,1500,0,0,0). Output akhir

- 24 -
SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015

yang dihasilkan adalah berupa koordinat latitude dan longitude untuk setiap piksel pada citra.Dari hasil
simulasi dengan tahapan seperti diuraikan diatas maka diperoleh hasil sebagai berikut :

Input (1 baris): 106.859102,-6.337270,1500,0,0,0

Keterangan:Longitude,Latitude,Altitude,Roll,Pitch,Yaw

Output (dengan sampel berjumlah 2048 piksel):

106.86465236,-6.33728989072,0,0
106.864646937,-6.33728989078,1,0
106.864641514,-6.33728989083,2,0
106.864636091,-6.33728989089,3,0
106.864630668,-6.33728989095,4,0
106.864625245,-6.337289891,5,0
106.864619821,-6.33728989106,6,0
106.864614398,-6.33728989112,7,0
106.864608975,-6.33728989117,8,0
106.864603552,-6.33728989123,9,0



106.853595025,-6.33728989117,2039,0
106.853589602,-6.33728989112,2040,0
106.853584179,-6.33728989106,2041,0
106.853578755,-6.337289891,2042,0
106.853573332,-6.33728989095,2043,0
106.853567909,-6.33728989089,2044,0
106.853562486,-6.33728989083,2045,0
106.853557063,-6.33728989078,2046,0
106.85355164,-6.33728989072,2047,0

Keterangan: Longitude, Latitude, Row (nomor piksel dalam 1 line), Column (nomor line)

Gambar 12 berikut adalah hasil plotting output koordinat longitude, latitude, row (nomor piksel dalam 1
line), dan column (nomor line) pada google maps yang merupakan hasil simulasi direct georeferencing.

1 larik/baris = 2048 piksel

Titik Input :
Kantor Pustekdata LAPAN

Gambar 12. Plotting koordinat longitudedanlatitudepada google maps hasil simulasi direct georeferencing
untuk 1 baris sensor linescan dengan jumlah piksel 2048 buah
- 25 -
Simulasi Direct Georeferencing untuk Koreksi Geometrik Sistematik Citra Pushbroom Imager (Soleh, M., et al.)

Seperti ditunjukkan pada Gambar 12 di atas, hasil simulasi direct georeferencing diperoleh dengan
memasukan 1 baris input koordinat longitude, latitude, altitude, roll, pitch, yaw berturut-turut (106.859102,-
6.337270,1500,0,0,0) kemudian di-plot pada google maps menghasilkan koordinat output untuk 1 baris
dengan jumlah piksel sebanyak 2048 piksel berupa koordinat longitude, latitude, row(nomor piksel dalam 1
line),column (nomor line) berturut-turut (106.86465236,-6.33728989072,0,0 ...... s.d ...... 106.85355164,-
6.33728989072,2047,0). Titik lokasi pada input merupakan center atau pusat data citra dalam 1 baris/line,
dalam hal ini titik yang dimaksud adalah lokasi kantor Pustekdata LAPAN Jl. Lapan No. 70 Pekayon Pasar
Rebo Jakarta Timur.
Dari koordinat output yang dihasilkan terlihat bahwa sebanyak 2048 piksel dalam 1 baris sensor telah
memiliki koordinat geodetik longitude dan latitude. Hal ini terbentuk karena piksel detektor yang
membentuk sebuah garis lurus (an array), maka gambar yang akan diberikan hanyalah berupa satu elemen
garis gambar saja yang lebarnya sangat kecil ataubisa dianggap sebagai gambar 1 dimensi. Namun jika
sensor diinginkan untuk memperoleh citra 2 dimensi, maka hal yang sama juga dapat disimulasikan untuk
memperoleh nilai koordinat geodetik longitude dan latitude pada baris/line ke-2, ke-3 ... dst jika sensor
kamera pushbroom imager digeser secara teratur pada tiap kali kamera mengambil gambar sesuai dengan
ukuran lebar dari masing-masing garis gambar hingga bisa dibangun dan diperoleh data citra 2 dimensi. Hal
ini menunjukkan bahwa simulasi direct georeferencing yang dilakukan telah mampu menghasilkan data citra
yang georeferenced atau tertranformasi dari koordinat geografis geosentrik pada wahana sensor ke dalam
bentuk koordinat geografis lintang bujur geodetik pada permukaan bumi. Seluruh tahapan dilakukan hingga
memperoleh koordinat geodetik longitude dan latitude (bujur, lintang) citra pada permukaan bumi. Maka
untuk selanjutnya dapat dikatakan bahwa direct georeferencing bisa dijadikan sebagai sebuah tahap awal
untuk menghasilkan data atau citra yang terkoreksi secara geometrik sistematik dan terkode kepada sebuah
peta (geocoded image).

5. KESIMPULAN
Telah dilakukan simulasi program direct georeferencing untuk menghasilkan data citra penginderaan jauh
yang terkoreksi secara geometrik (georeferenced) dan terproyeksi pada permukaan bumi berdasarkan kaidah
pemetaan (geocoded). Secara umum proses direct georeferencing merupakan proses memproyeksikan setiap
titik sensor (piksel) pada permukaan bumi dengan prinsip interseksi. Namun untuk menggunakan interseksi,
posisi sensor dan permukaan bumi harus berada pada suatu sistem koordinat yang sama. Maka operasi sensor
terhadap sikap (roll, pitch, yaw) dilakukan pada sistem koordinat wahana (SKW) sedangkan operasi
interseksi dilakukan pada sistem koordinat bumi (SKB). Dalam hal ini parameter input sensor dimasukan
adalah jumlah piksel linescan, panjang fokus lensa (focal length), image length dan panjang baris sensor.
Sedangkan parameter WGS-84 yang dimasukan adalah radius ekuator, radius kutub bumi dan eccentricity
(e2). Output akhir yang dihasilkan adalah berupa koordinat geodetik latitude dan longitude untuk setiap
piksel pada data citra. Hasil simulasi direct georefencing yang dilakukan telah mampu menghasilkan data
citra yang georeferenced atau tertranformasidari koordinat geografis geosentrik pada wahana sensor ke
dalam bentuk koordinat geografis lintang bujur geodetik pada permukaan bumi. Proses ini merupakan
sebuah tahap awal yang bermanfaat untuk menghasilkan data atau citra yang terkoreksi secara geometrik
sistematik dan terkode kepada sebuah peta (geocoded image).

DAFTAR PUSTAKA
Jacobsen, K. (2002). Calibration Aspects in Direct Georeferencing of Frame Imagery. Pecora 15/Land Satellite
Information, Denver, USA.
Jacobsen, K., dan Helge, W. (2004). Dependencies and Problems of Direct Sensor Orientation. Proceedings of ISPRS
Congress Commission III.
Maryanto, A. (2012). Konsep Georeferensi Langsung (Direct Georeferencing) Citra Pushbroom Sebagai Dasar
Pengembangan Model Koreksi Geometrik Sistematik Citra LAPAN A-3.
Poli, D. (2005). Modelling of spaceborne Linear Array Sensors, Dissertation, Swiss Federal Institute Of Technology
Zurich.
Rizaldy, A., dan Firdaus, W. (2012). Direct Georeferencing: A New Standard In Photogrammetry For High Accuracy
Mapping, International Archives of the Photogrammetry, Remote Sensing and Spatial Information Sciences.
Schroth, R. (2004). Direct Geo-Referencing in Practical Applications, ISPRS workshop WG 1/5 about Theory,
Technology and Realities ofInertial/GPS Sensor Orientation, Barcelona, Spain.

- 26 -
SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015

*) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukan pada saat diskusi presentasi ilmiah

BERITA ACARA
PRESENTASI ILMIAH SINAS INDERAJA 2015

Moderator : Ir. Dedi Irawadi


Judul Makalah : Simulasi Direct Georeferencing untuk Koreksi Geometrik Sistematik Citra Pushbroom
Imager
Pemakalah : Wismu Sunarmodo
Jam : 09.00-10.00
Tempat : Meeting Room E-F
Diskusi :

Fadilla Muchsin (Pustekdata, LAPAN):


Bisakah simulasi dilakukan di citra mosaic SPOT6/7? Bagaimana jika ingin dilihat akurasi geometriknya?
Kenapa menggunakan sensor pushbroom?

Jawaban:
Bisa, syaratnya harus ada data rawnya. Semua data citra satelit pada prinsipnya sama menggunakan direct
georeferencing. Pada data raw terdapat data citra dan data ancillary. Data ancillary seperti data posisi dan sikap. Dari
hal tersebut bisa diturunkan dan dimodifikasi.
Sensor selain pushbroom:
Matrik kamera : sudah banyak dilakukan
Whiskbroom: susah dilakukan, pesawat harus goyang kanan dan kiridan ketelitiannya sangat tinggi, citra yang
menggunakan whiskbroom biasanya stripping.
Linescan : metode yang sudah tua
Kelebihan pushbroom memiliki dwell time yang memudahkan data dari sensor ke pengumpulnya dapat cepat, sehingga
pushbroom cocok digunakan untu resolusi menengah tinggi.

Wikan Jaya P. (UGM):


Apakah sudah diteliti tentang batas threshold, yang bias menjamin hasil akurasi yang bagus?

Jawaban:
Ini merupakan model matematis, jika ideal maka dikatakan tidak ada error sama sekali. Seberapa error yang
diperbolehkan tergantung dengan requirement. Pertama berapa spasial threshold yang dibuthkan dan berapa banyak
term yang harus diketahui.

- 27 -
SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015

ORAL PRESENTATION

Rancang Bangun Sistem Penerimaan dan Perekaman Data Satelit Berbasis


NOAA Automatic Picture Transmission (APT) sebagai Sarana Edukasi
Nurmajid Setyasaputra1,*), Fakhmi Kemal Islamy2, dan Sutan Takdir Ali Munawar1
1
Balai Penginderaan Jauh Parepare, LAPAN
2
ARC Telkom University
*)
E-mail: nurmajid.setyasaputra@lapan.go.id

ABSTRAK - Data penginderaan jauh sangat dibutuhkan dalam berbagai aspek kehidupan. Terutama data gambar satelit
cuaca yang menggambarkan kondisi secara nyata dari kondisi bumi. Data cuaca yang dimaksud meliputi cuaca itu
sendiri dan iklim dari kondisi bumi. Pada umumnya data satelit cuaca diterima atau direkam oleh stasiun bumi milik
suatu lembaga yang memiliki fasilitas lengkap dan menghasilkan kualitas data yang sangat baik atau detil. Tetapi disisi
lain data cuaca juga diperlukan untuk diketahui semua pihak termasuk untuk sarana edukasi bagi dunia pendidikan baik
skala sekolah maupun universitas dimana keterbatasan fasilitas perangkat lengkap menjadi kendala. Oleh karena itu,
diperlukan suatu sistem penerimaan dan perekaman untuk menerima data satelit cuaca yang efisien dan mudah
digunakan oleh semua pihak. Sehingga dibuat suatu rancang bangun alat yang sederhana, mudah dipahami dan dapat
digunakan sebagai sarana edukasi untuk mengenalkan data cuaca yang dapat dilihat langsung dalam bentuk gambar.
Adapun data cuaca yang digunakan adalah Automatic Picture Transmission (APT) dari data satelit NOAA yang dapat
menerima data berupa suara yang kemudian diubah menjadi gambar resolusi rendah. Sistem yang dibangun
mengintegrasikan antena Lindenblad, Software Define Radio (SDR), dan komputer.

Kata kunci: Integrasi, Antena Lindenblad, SDR, NOAA APT

ABSTRACT - Remote sensing data is needed in many aspects of life. Especially weather satellite image data that
describes the real conditions of the condition of the earth. Weather data may include weather itself and the climate of
the earth conditions. In general, the weather satellite data is received or recorded by the earth station owned by
institution which has full facilities and produce excellent data quality or detail. But on the other hand weather data are
also required to be known to all parties, including for an educational tool for both scale education schools and
universities where limitation of full facilities becomes their obstacles. Therefore, we need a system for receiving and
recording to receive weather satellite data efficiently and easy to use for all parties. Thus created a design tool that is
simple, easily understood and used as an educational tool to introduce the weather data that can be viewed directly in
the form of images. The weather data used is the Automatic Picture Transmission (APT) from NOAA satellite data can
that receive the data in the form of sound which is then converted into low-resolution images. The system built integrate
Lindenblad antenna, Software Define Radio (SDR), and computer.

Keywords: Integration, Lindenblad Antenna, SDR, NOAA APT

1. PENDAHULUAN
Penginderaan jauh adalah pengukuran atau akuisisi data dari satu objek atau fenomena oleh sebuah alat
yang tidak secara fisik melakukan kontak dengan objek tersebut atau dari jarak jauh seperti pesawat, pesawat
luar angkasa, kapal, atau satelit. Satelit penginderaan jauh juga bermacam-macam bentuk, sensor yang
dibawa, dan keperluan atau kebutuhan dibuatnya berdasarkan penggunaannya. Pengunaan satelit
penginderaan jauh adalah untuk perekaman citra permukaan bumi.Salah satu manfaat dari penginderaan jauh
adalah untuk meteorologi dan klimatologi. Meteorologi adalah ilmu yang mempelajari proses fisis dan gejala
cuaca yang terjadi di lapisan atmosfer (troposfer), sedangkan klimatologi adalah ilmu yang mencari
gambaran dan penjelasan sifat iklim untuk mengetahui perbedaan dan keterkaitan dengan aktivitas manusia.
Menurut Sutanto (1994) menyatakanbahwa Penggunaan penginderaan jauh baik diukur dari jumlah
bidang penggunaannya maupun dari frekuensi penggunaannya pada tiap bidang mengalami peningkatan
dengan pesat. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor antara lain :
Citra menggambarkan obyek, daerah, dan gejala di permukaan bumi dengan; wujud dan letak obyek
yang mirip ujud dan letak di permukaan bumi, relatif lengkap, meliputi daerah yang luas, serta bersifat
permanen.
Dari jenis citra tertentu dapat ditimbulkan gambaran tiga dimensional apabila pengamatannya dilakukan
dengan alat yang disebut stereoskop.

- 28 -
SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015

Karaktersitik obyek yang tidak tampak dapat diwujudkan dalam bentukcitra sehingga dimungkinkan
pengenalan obyeknya.
Citra dapat dibuat secara cepat meskipun untuk daerah yang sulit dijelajahi secara terestrial.
Merupakan satu-satunya cara untuk pemetaan daerah bencana.
Citra sering dibuat dengan periode ulang yang pendek.
Begitu banyak satelit penginderaan jauh yang digunakan termasuk satelit penginderaan jauh yang
digunakan untuk pengamatan cuaca. Satelit ini lebih melihat tentang awan selain lampu perkotaan,
kebakaran, polusi, aurora, pasir dan debu, salju, pemetaan es, batas arus laut, dan lain sebagainya. Salah satu
contoh satelit cuaca adalah NOAA. Nama ini diambil dari pemilik satelit yaitu National Oceanic and
Atmospheric Administration (NOAA) yaitu suatu lembaga ilmiah dalam Departemen perdagangan Amerika
Serikat yang fokus pada pemantauan kondisi lautan dan atmosfer. Satelit NOAA yang beroperasi sekarang
ini adalah NOAA-18 dan NOAA-19 pada seri TEROS-N berdasar pada Tabel 1.

Tabel 1.Seri TIROS-N Satelit Operasional


(Sumber: Davis, 2011 Dengan Perubahan Seperlunya)

End of Useful
Name Launch Date Orbit Features
Life

TIROS-Ne 13-Oct-78 1-Nov-80 PM AVHRR,f HIRS,g MSU,h SSU,i DCSj

NOAA-6 27-Jun-79 19-Sep-83 AM same

NOAA-B 29-May-80 launch failure

NOAA-7 23-Jun-81 7-Feb-85 PM same

NOAA-8 28-Mar-83 26-May-84 AM same

NOAA-9 24-Dec-84 13-Feb-98 PM same

NOAA-10 17-Sep-86 17-Sep-91 AM same, except no SSU

NOAA-11 24-Sep-88 16-Jun-04 PM same, with SSU

same, except successfully flew developmental model


NOAA-12 14-May-91 10-Aug-07 AM
non-flight SSU that was provided by the UK

same, with SSU, carried a DoD Space Test


NOAA-13 9-Aug-93 21-Aug-93 PM experimental aurora imager Program (MAXIE)
Spacecraft failed on 13th day of flight

NOAA-14 30-Dec-94 23-May-07 AM same, with SSU

1st of series to support dedicated microwave


NOAA-15 13-May-98 Secondary AM instruments-suite of three Advanced Microwave
sounding Units-AMSU-A1, AMSU-A2, AMSU-B

NOAA-16 21-Sep-00 9-Jun-14 PM Same

NOAA-17 24-Jun-02 10-Apr-13 AM Same

NOAA-18 20-May-05 Secondary PM HIRS LW channels/imagery improved

NOAA-19 4-Feb-09 Operational PM ADCS and SARP-3 upgrades

- 29 -
Rancang Bangun Sistem Penerimaan dan Perekaman Data Satelit Berbasis NOAA Automatic Picture Transmission (APT) sebagai
Sarana Edukasi (Setyasaputra, N., et al.)

a All spacecraft placed in near-polar, sun-synchronous orbits


b Various sensors and other units have degraded or failed before the satellite was turned off.
d Primary sensors of high priority in the current modernization of the NWS, that is, imagers and atmospheric
sounders
e TIROS-N, the prototype of this new series of satellites, was funded, named, and operated by NASA. The
subsequent operational satellites were funded and named by NOAA.
f Advanced very high resolution radiometer.
g High resolution infrared radiation sounder.
h Microwave sounding unit.
i Stratospheric sounding unit (provided by the United Kingdom).
j Data collection system (provided by France).

Begitu banyak manfaat yang diberikan oleh penginderaan jauh. Oleh karena itu, sebagai bentuk
pengenalan dan edukasi untuk menyebarluaskan hasil penginderaan jauh, maka diperlukan suatu sistem
penerimaan dan perekaman satelit penginderaan jauh dalam hal ini untuk keperluan satelit cuaca yang
sederhana dan portable bisa dibawa kemana saja.

2. DESAIN DAN INTEGRASI


Desain dan integrasi yang di maksud adalah dengan mendesain sistem yang akan diintegrasikan. Sistem
yang dirancang adalah sistem penerimaan dan perekaman untuk satelit NOAA-18 (137.9125 MHz) dan
NOAA-19 (137.1000 MHz). Adapun tahapan adalah dengan membangun sistem penerimaan dan perekaman
yaitu terdiri dari antena, SDR (Software Define Radio), komputer dengan aplikasi perekamannya.

Aplikasi

Antena
Lindenblad
SDR

Gambar 1. Diagram Blok Sistem yang Dibangun

2.1 Antena
Antena merupakan salah satu kunci penting dalam komunikasi propagasi radio. Dalam beberapa
aplikasinya dikenal berbagai jenis antena yang kita kenal, salah satunya adalah antena Lindenblad.
Antena Lindenblad pada dasarnya adalah modifikasi dari antena dipole sederhana yang disusun
sedemikian rupa agar menghasilkan pola pancar antena omnidirectional dengan polarisasi sirkular.
Penggunaan antena lindenblad sangat lazim dan mudah digunakan dalam implementasi sistem
penerimaan komunikasi satelit dengan orbit LEO seperti satelit NOAA karena pola pancarnya yang
unik. Pola pancar antena Lindenblad yang bersifat omnidirectional memudahkan dalam menerima
komunikasi satelit dalam posisi satelit yang sangat cepat bergerak di orbit LEO. Polarisasi nya yang
mempunyai sifat sirkular juga membantu dalam mengurangi loss power karena polarization
mismatch mengingat posisi satelit yang tidak selalu dalam kondisi yang tetap.

- 30 -
SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015

Gambar 2. Pola Radiasi Omni dan Sirkular RHCP pada Antena Lindenblad (Sumber: Monterio T, 2006)

Pada rancang bangun kali ini dibuat antena lindenblad dengan spesifikasi sebagai berikut:

= ( )
(feet) atau = (
(meter) .............................................................................. (1)
)

Persamaan 1 di atas adalah rumus untuk menghitung panjang lambda.


Dipole Lambda pada frekuesni kerja 137.9125 MHz = 1,087 meter

Gambar 3. Skema rancang bangun Dipole Lambda

- 31 -
Rancang Bangun Sistem Penerimaan dan Perekaman Data Satelit Berbasis NOAA Automatic Picture Transmission (APT) sebagai
Sarana Edukasi (Setyasaputra, N., et al.)

Sudut kemiringan dipole susunan masing-masing 30 derajat.

Gambar 4. Posisi Susunan Dipole yang Dipasang dengan Kemiringan 30 Derajat (Sumber: Monterio T, 2006)

Gambar 5. Contoh Antena Lindenblad yang Sudah Jadi (Sumber: Monterio T, 2006)

2.2 Software Define Radio


Software Define Radio (SDR) merupakan sistem komunikasi radio yang menggunakan software sebagai
perangkat utama. Walaupun software digunakan sebagai perangkat utama, namun RF Front End tetap
dibutuhkan untuk dapat menjalankan SDR ini. SDR lebih menerapkan fungsi-fungsi pada software, sehingga
perangkat yang menggunakan SDR sebagai platformnya memiliki hardware akan lebih sederhana.
Kesederhanaan ini memberikan peluang bagi SDR untuk dikembangkan dalam semua aspek teknologi
komunikasi, termasuk dalam aplikasinya sepbagai penerimaan dan perekaman data satelit.
Pada umumnya suatu receiver mempunyai integrated circuit untuk menjalankan proses demodulasi
sinyal-sinyal tertentu yang telah dimodulasi. Perubahan pada skema modulasi juga akan menyebabkan
perubahan integrated circuit pada receiver. Oleh karena itu, agar sinyal-sinyal dengan skema modulasi yang

- 32 -
SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015

berbeda-beda tersebut dapat didemodulasi dengan baik oleh receiver sehingga dibutuhkan jumlah circuit
yang lebih banyak. Metode ini sangat tidak efektif karena memakan biaya sangat mahal dan menghabiskan
ruang. Sistem SDR dapat mengkonversi fungsi demodulasi dari hardware tersebut ke dalam sebuah realisasi
software dan tidak diperlukan perubahan pada integrated circuit di sisi receiver.
Dalam sebuah system receiver SDR, bagian RF Front End secara bersamaan masih mungkin digunakan.
Sinyal dari antena akan dikuatkan, kemudian di-filter, dan didijitalisasi menggunakan ADC (Analog to
Digital Converter). Sinyal dijital kemudian diproses oleh bagian software, termasuk juga proses konversi
intermediate frequency ke baseband dan proses demodulasi sinyal. Alat-alat seperti DSPs (Digital Signal
Processors) dan FPGA (Field Programmable Gate Arrays) dipakai dalam SDR untuk melakukan fungsi
software processing.

Gambar 6. Blok Diagram Sederhana RF Front End pada Receiver

Pada desain yang diintegrasikan pada sistem kali ini adalah dengan menggunakan SDR pabrikan produksi
G6LVB Howard Long yang bernama FUNCube dongle. FUNCube dongle adalah sebuah desain proyek
ground station berupa SDR yang memiliki frekuensi kerja yang dapat diubah-ubah dalam rentang 64-
1,700MHz dan memiliki sampling rate sebesar 80-96kHz. Frekuensi kerja yang dipakai untuk menangkap
satelit NOAA akan digeser kedalam frekuensi kerja komunikasi downstream NOAA APT yaitu sebesar 137
MHz.

Gambar 7. FUNCube Dongle Receiver

2.3 Komputer dan Aplikasi


Komputer dan aplikasi digunakan untuk melakukan penerimaan dan perekaman secara visual.
Sinyal yang diterima dari antena selanjutnya diteruskan ke SDR lalu masuk ke dalam komputer.
Adapun aplikasi yang digunakan adalah software Orbitron untuk melihat Orbit Predict satelit dan
aplikasi WXtoImg untuk menerjemahkan sinyal audio dari SDR, sehingga menjadi gambar citra
resolusi rendah.

- 33 -
Rancang Bangun Sistem Penerimaan dan Perekaman Data Satelit Berbasis NOAA Automatic Picture Transmission (APT) sebagai
Sarana Edukasi (Setyasaputra, N., et al.)

3. IMPLEMENTASI ALAT
Adapun implementasi alat yang dibuat adalah dengan membuat antenna Lindenblad sesuai dengan desain.
Kemudian setiap bagian dirakit satu sama lain, sehingga membentuk seperti pada Gambar 8.

Gambar 8. Tampilan Antena Lindenblad

Software yang digunakan untuk mengetahui lintasan satelit adalah dengan menggunakan aplikasi
Orbitron. Lalu sistem penerima dan perekam menyimpan data .wav melalui SDR Funcube. Data tersebut lalu
diterjemahkan oleh aplikasi WXtoImg agar dapat menampilkan data citra.

Gambar 9. Tampilan Aplikasi Orbitron

- 34 -
SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015

Gambar 10. Tampilan Aplikasi WXtoImg

4. KESIMPULAN
NOAA APT dapat diterima dan direkam dengan menggunakan alat sederhana yaitu antena Lindenblad,
SDR Funcube, dan aplikasi komputer, sehingga dapat digunakan sebagai sarana edukasi sederhana untuk
menampilkan hasil citra satelit penginderaan jauh yang mudah digunakan dan mudah dibawa atau portable.

UCAPAN TERIMAKASIH
Penulis mengucapkan terimakasih kepada seluruh personil Balai Penginderaan Jauh Parepare dan seluruh
tim Amatir Radio Club Universitas Telkom yang telah memberikan masukan dan bantuan dalam penulisan
karya tulis ilmiah ini. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada seluruh panitia atas masukan dan
koreksinya

DAFTAR PUSTAKA
Andika, G. (2008). Klasifikasi Tutupan Awan menggunakan Data Sensor Satelit NOAA/AVHRR APT. Skripsi
Program Studi Teknik Elektro Fakultas Teknik Universitas Indonesia.
Sutanto (1994) Pengetahuan Dasar Interpretasi Citra. Gajah Mada University Press, Yogyakarta.
Monterio, T. (2006). A Parasitic Lindenblad Antenna for 70cm. AMSAT Proceedings. Amateur Radio Satellite
Corporation. USA.

*) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukan pada saat diskusi presentasi ilmiah

BERITA ACARA
PRESENTASI ILMIAH SINASINDERAJA 2015

Moderator : Muchamad Soleh, S.T., M.Eng.


Judul Makalah : Rancang Bangun Sistem Penerimaan dan Perekaman Data Satelit Berbasis NOAA Automatic
Picture Transmission (APT) sebagai Sarana Edukasi
Pemakalah : Nurmajid Setyaputra
Jam : 15.30 16.30 WIB
Tempat : Meeting Room E-F
Diskusi :

Budhi Gustiandi (Pustekdata, LAPAN)


Solusi yang digunakan jika ada kunjungan dan satelit NOAA tidak dalam orbit sehingga tidak memungkin kan untuk
melakukan akusisi atau kah menambahkan simulator?

Nugroho Widi Jatmiko (Pustekdata, LAPAN)


SDR pengembangan dimulai dari antenna atau hanya di software ?

- 35 -
Rancang Bangun Sistem Penerimaan dan Perekaman Data Satelit Berbasis NOAA Automatic Picture Transmission (APT) sebagai
Sarana Edukasi (Setyasaputra, N., et al.)

WxtoImg merupakan open source atau desain sendiri?

Erna Sri Adiningsih (Pustekdata, LAPAN)


Apakah system ini bisa membantu menjelaskan kepada orang yang memiliki minat secara teknis?
Data atau sensor darisatelit NOAA mana yang bisaditerimakarena NOAA memilikibeberapa sensor?
Apakah pengolahan datanya sama mudah nya atau lebih sulit?

Dony Kushardono (Pustekdata, LAPAN)


Besar biaya pembuatan untuk dapat dipakai di sekolah sebagai sarana edukasi?
Apakahakan di kembangkan sehingga pada satelit Metop sebagai pengati NOAA yang sebentar lagi akan habis masa
orbitnya?

Jawaban:
Pada umumnya kunjungan siswa sekolah di LAPAN pare-pare dilakukan pada saat sebelum dan sesudah jam hari
sehingga bertepatan dengan lewatnya satelit NOAA 18 dan NOAA 19 di Indonesia pada pagi dan sore hari
Pengembangan antenna berdasarkan referensi dari radio amatir untuk software merupakan open source baik APT
maupun WXtoImg. Untuk SDR masih beli untuk kedepannya akan mengembankan sendiri dengan ukuran yang sama.
Karena tujuan untuk edukasi sehingga alat ini memperlihatkan secara teknis sederhana seperti pada perekaman dan
seperti apa preview citra di computer. Sensor APT NOAA sama tapi dengan resolusi yang lebih kecil sedangkan
pengolahannya pada prosesnya cukup cepat dan menggunakan software open source.
Biaya pembuatan paling mahal pada pembelian SDR sekitar 3 juta rupiah dan perlengkapan lain sekitar 100 ribu rupiah
dan satelit NOAA sudah akan berakhir tetap kita masih tetap dapat menerima data hingga 5 tahun ke depan

- 36 -
SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015

ORAL PRESENTATION

Evaluasi Ketelitian Citra Satelit Pansharpening Resolusi Tinggi Level


ORStandar2A (Studi Kasus : Kota Surabaya Dan Kota Tasikmalaya)
Jali Octariady1,*), dan Elyta Widyaningrum1
1
Pusat Pemetaan Rupabumi dan Toponim, Badan Informasi Geospasial (BIG)
*)
E-mail: jalioctariady@gmail.com

ABSTRAK - Citra satelit resolusi tinggi terdiri dari berbagai level citra. Variasi dari level citra menunjukkan berbagai
koreksi yang telah di aplikasikan pada citra tersebut. Citra satelit resolusi tinggi level ORStandar2A merupakan citra
satelit yang telah terkoreksi radiometri dan tergeorektifikasi. Adanya georektifikasi menandakan bahwa citra tersebut
telah memiliki sistem koordinat dan terikat suatu sistem referensi tertentu. Penelitian ini bertujuan untuk mereview
seberapa besar ketelitian dari citra satelit resolusi tinggi level ORStandar2A yang sudah pansharpened. Data citra yang
digunakan adalah data citra Quickbird ORStandar2A pada daerah Kota Tasikmalaya dan data citra Worldview2
ORStandar2A pada daerah Kota Surabaya. Evaluasi ketelitian dilakukan dengan menggunakan beberapa titik uji yang
tersebar secara merata di seluruh cakupan citra. Hasil evaluasi ketelitian berdasarkan pada posisi menunjukkan bahwa
data citra Quickbird dan data citra Worldview2 masing-masing memiliki akurasi horisontal sebesar 10.88m dan 7.93m.
Mengacu pada standar BIG, citra tersebut bisa digunakan untuk pembuatan peta skala 1 : 25000 dan 1 : 16000.

Kata kunci: citra pansharpened, ketelitian, ORStandar2A

ABSTRACT - High resolution satellite imagery consists of various imagery levels. The variation of imagery levels
showed the various corrections that have been applied to the imagery. High resolution satellite imagery ORStandar2A
level is a satellite imagery that have been corrected radiometric and georectified. Georectified indicated that the
imagery already has a coordinate system and bound to the specific reference system. This study was aimed to review
how large the accuracy of High resolution satellite ORStandar2A pansharpening imagery data. Imagery data used is
Quickbird ORStandar2A imagery data in the area of Tasikmalaya town and Worldview2 ORStandar2A imagery data in
the area of Surabaya town. Evaluation of accuracy performed by using several check point are spread throughout the
image coverage. The results based on positional accuracy showed that the Quickbird imagery data dan Worldview2
imagery data have horizontal accuracy of 10.88m and 7.93m respectively. With regard to the BIG standard, the
imagery can be used for making a map scale of 1 : 25000 and 1 : 16000.

Keywords: pansharpened imagery, accuracy, ORStandar2A

1. PENDAHULUAN
Ada 3 macam citra satelit yakni citra satelit resolusi rendah, menengah dan tinggi (Campbell & Wynne,
2011; Republik, 2013). Citra satelit resolusi tinggi mulai diperkenalkan secara publik sejak
diluncurkannya satelit IKONOS pada tahun 1999. Satelit ini mampu untuk menghasilkan citra dengan
resolusi spasial 1m. Semenjak itu, mulai banyak satelit-satelit lain yang juga diluncurkan seperti EROS-A
dengan resolusi spasial 1.8m, Quickbird dengan resolusi spasial 0.61m, Orbview-3 dengan resolusi spasial
1m, World-view 2 dengan resolusi spasial 0.5m dan terakhir Pleiades dengan resolusi spasial 0.5m
(Brovelli et al., 2008). Citra resolusi tinggi, terutama yang dibuat oleh Digital globe memiliki 3 level data
yakni basic imagery, standart imagery dan ortorektified imagery. Perbedaan level pada citra menunjukkan
perbedaan koreksi yang telah dilakukan pada citra. Berikut ini deskripsi mengenai masing-masing level
data citra tersebut (DigitalGlobe, 2014):
a. Basic Imagery
Citra ini di desain untuk pengguna yang telah mahir melakukan prosessing data citra. Citra ini
dilengkapi dengan informasi sikap satelit, efemeris satelit, dan informasi model kamera yang
kesemuanya dibutuhkan untuk proses fotogrametri. Citra level ini tersedia dalam mode Pankromatik,
multispektral dan bundle. Pan-sharpening tidak tersedia pada level basic imagery. Citra level basic
telah di koreksi radiometri dan koreksi sensor namun belum tergeoreferensi pada suatu sistem
koordinat tertentu. GSD yang dihasilkan pada citra ini memiliki resolusi yang berbeda-beda
dikarenakan sudut pengambilan yang secara lambat berubah dalam proses perekaman data. Proses data
citra level basic dengan menggunakan DEM dan TKT menunjukkan citra level basic memiliki

- 37 -
Evaluasi Ketelitian Raw Data Citra SatelitResolusi Tinggi Level ORStandar2A (Studi Kasus : Kota Surabaya Dan Kota
Tasikmalaya)(Octariady, J., Widyaningrum, E.)

ketelitian global secara rata-rata untuk seluruh cakupan yang diliputnya sebesar 4m pada rentang
kepercayaan 90%.
b. Standard Imagery
Citra ini sangat cocok untuk pengguna yang membutuhkan akurasi absolut atau cakupan area yang
luas. Citra level ini sudah terkoreksi radiometri, terkoreksi sensor, dan sudah tergeoreferensi pada suatu
sistem koordinat yang penggunana pilih atau butuhkan. Citra ini tersedia dalam bentuk hitam putih
dengan resolusi spasial 50cm, 60cm, dan 2m, bentuk pan-sharpening dengan resolusi spasial 50cm dan
60cm, dan bentuk multispektral dengan resolusi spasial 2m dan 2.4m tergantung sensor dari citra.
Semua citra pada level standard imagery memiliki resolusi spasial yang seragam pada seluruh cakupan
citra. Citra level ini tersedia dalam 2 macam yakni Standard Imagery dan Ortho Ready Standard
Imagery. Standart Imagery telah dikoreksi permukaan dengan menggunakan DEM kasaran.Namun
koreksi yang dilakukan tidak termasuk ortorektifikasi. Sedangkan citra level Ortho Ready Standard
sudah tidak memiliki kesalahan relief.Citra Standard dan Ortho Ready Standard memiliki akurasi yang
berbeda-beda tergantung sensor citranya. Citra Quickbird memiliki akurasi 23m pada rentang
kepercayaan 90% berdasarkan spesifikasi akurasi geologi. WorldView-1 dan WorldView-2 memiliki
akurasi 5m pada rentang kepercayaan 90% pada citra dengan sudut off-nadir kurang dari 30 off-nadir
tanpa menggunakan data GCP untuk seluruh daerah yang sudah di liputnya.
c. Orthorectified Imagery
Merupakan citra yang siap digunakan untuk berbagai aplikasi. Citra ini bisa digunakan untuk
membuat ataupun update peta dan GIS database. Citra ini juga biasa digunakan untuk deteksi
perubahan dan aplikasi analisis lainnya yang membutuhkan ketelitian absolut yang tinggi.
Banyak penelitian mengenai citra satelit dilakukan mulai saat itu, mulai dari penelitian mengenai
metode proses data, evaluasi ketelitian citra, algoritma klasifikasi citra, hingga tinjauan mengenai
pemanfaatan citra satelit untuk pembuatan peta. Beberapa penelitian yang pernah dilakukan terkait
evaluasi keteltian citra satelit di antaranya: penelitian mengenai evaluasi ketelitian terhadap citra resolusi
tinggi yang diorientasikan dengan metode leave-one-out (Brovelli et al., 2008), penelitian mengenai
evaluasi ketelitian citra resolusi tinggi dengan berbagai sudut perekaman data menggunakan metode RPC
(Aguilar et al., 2013) penelitian mengenai evaluasi ketelitian citra tegak resolusi tinggi yang di proses
dengan berbagai derajad polinomial (Aguilar et al., 2007), penelitian mengenai evaluasi ketelitian pada
citra terortorektifkasi dengan menggunakan DEM Terrasar X (Reinartz et al., 2011), penelitian mengenai
evaluasi ketelitian citra terortorektifikasi dari berbagai sensor citra (Chmiel et al., 2004), penelitian
mengenai ortorektifikasi citra dan pembuatan DEM dengan menggunakan citra stereo pair Cartosat-1
(Singh et al., 2010), Penelitian mengenai ortorektifikasi dan evaluasi ketelitian citra terortorektifikasi yang
di proses menggunakan data DEM IFSAR (Mercer et al., 2003), penelitian mengenai ketelitian citra
terortorektifikasi menggunakan berbagai kualitas DEM dan berbagai jumlah titik kontrol tanah (Octariady,
2014; Octariady et al., 2014). Penelitian-penelitian terdahulu tidak ada yang melakukan evaluasi ketelitian
terhadap citra mentah dari vendor. Tidak ada yang pernah melakukan evaluasi akan kebenaran akurasi
yang diclaim oleh vendor. Penelitian ini dilakukan untuk mengecek dan mengetahui ketelitian posisi dari
citra pansharpening level ORStandar2A keluaran DigitalGlobe. Berdasarkan pada ketelitian posisi tersebut
maka bisa diketahui berbagai aplikasi yang memenuhi untuk dilakukan menggunakan data tersebut.

2. METODE
Penelitian ini menggunakan 2 buah citra yakni citra Quickbird dan citra Worldview 2. Selain citra, data
yang digunakan pada penelitian ini adalah titik ICP, titik ICP digunakan untuk evaluasi ketelitian citra.

2.1 Citra Quickbird

Citra Quickbird yang digunakan meliputi kawasan Kota Tasikmalaya. Citra ini diambil pada bulan
April 2012. Untuk mengcover seluruh area Kota Tasikmalaya dibutuhkan 2 scene citra Quickbird.
Resolusi spasial dari citra Quickbird yang digunakan adalah 0.6m. Luas Area cakupan dari Kota
Tasikmalaya adalah 228.57 km2. Level citra Quickbird Kota Tasikmalaya adalah ORStandar2A. Kota
Tasikmalaya memiliki permukaan yang relatif bervariasi. Pada bagian selatan citra, relatif dipenuhi
pepohonan dengan permukaan yang relatif miring. Sedangkan pada bagian utara citra, relatif dipenuhi
bangunan-bangunan dengan permukaan yang relatif datar. Gambar 1 menunjukkan kenampakan Kota
Tasikmalaya pada citra Quickbird. Kenampakan permukaan bumi untuk daerah kota Tasikmalaya
divisualisasikan secara 3D pada Gambar 2. Terlihat pada gambar 2 bahwa kondisi permukaan Kota

- 38 -
SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015

Tasikmalaya bervariasi dengan adanya gunung pada sisi timur dan variasi permukaan miring dan datar
pada sisi barat

Gambar 1. Citra Quickbird daerah Kota Tasikmalaya

Gambar 2. Kenampakan 3D permukaan bumi pada daerah Kota Tasikmalaya

2.2 Citra Worldview-2

Penelitian selanjutnya dilakukan pada daerah Kota Surabaya. Daerah ini di cover oleh citra Worldview-
2 dengan resolusi spasial 0.5m. Citra Worldview-2 yang digunakan merupakan hasil perekaman Juni 2012.
Sebanyak 3 scene citra worldview 2 digunakan untuk mengcover daerah Kota Surabaya. Luas Area
surabaya secara menyeluruh adalah 396.63 km2. Level citra Worldview-2 daerah Kota Surabaya adalah
ORStandar2A. Daerah Kota Surabaya lebih luas daripada daerah Kota Tasikmalaya. Namun dari segi
kemiringan lereng, permukaan bumi pada daerah Kota Surabaya relatif lebih datar. Hal ini di tunjukkan
dari kecilnya perbedaan tinggi yang ada di kota Surabaya. Gambar 3 menunjukkan kenampakan Kota
Surabaya pada citra Worldview-2. Gambar 4 menunjukkan penampang melintang dan kenampakan 3D
permukaan bumi di Kota Surabaya berdasarkan DEM Terrasar X. Terlihat jelas pada gambar 4 bahwa
daerah Surabaya adalah daerah yang datar hal ini dibuktikan dengan tampilan 3D yang hanya
menampilkan permukaan yang datar.

- 39 -
Evaluasi Ketelitian Raw Data Citra SatelitResolusi Tinggi Level ORStandar2A (Studi Kasus : Kota Surabaya Dan Kota
Tasikmalaya)(Octariady, J., Widyaningrum, E.)

Gambar 3. Citra Worldview-2 daerah Kota Surabaya

Gambar 4. Penampang melintang dan Kenampakan 3D daerah Kota Surabaya

2.3 ICP Daerah Kota Tasikmalaya dan Kota Surabaya

ICP dihasilkan dari pengukuran GPS metode Statik dengan ketelitian fraksi mm. ICP dibuat
sedemikian rupa sehingga mencakup seluruh cakupan citra yang digunakan. Berikut ini aturan yang kami
terapkan dalam pemilihan titik-titik ICP:
a. Obyek yang dijadikan ICPdapat diidentifikasi secara jelas dan akurat pada citra dan lapangan
b. Obyek berada pada permukaan tanah.
c. Obyek bukan merupakan bayangan.
d. Obyek tidak memiliki pola yang sama.
e. Obyek merupakan permanen dan diam serta diyakini tidak akan mengalami perubahan atau
pergeseran pada saat pengukuran GNSS.
f. Bentuk obyek jelas dan tegas.
g. Warna obyek kontras dengan warna disekitarnya.
h. Terdapat akses yang mudah menuju lokasi ICP.
i. Bukan berada di sudut atau pojok bangunan.
ICP yang digunakan untuk evaluasi ketelitian sebanyak 20 titik untuk daerah Kota Tasikmalaya dan 21
ICP untuk daerah Kota Surabaya. Gambar 4 menunjukkan beberapa contoh titik ICP yang digunakan
dalam penelitian ini. Gambar 5 menunjukkan sebaran ICP pada daerah Kota Surabaya dan daerah Kota
Tasikmalaya.
- 40 -
SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015

Gambar 4. Objek-objek yang dijadikan sebagai ICP

Gambar 5. Sebaran ICP pada Kota Tasikmalaya dan Kota Surabaya

2.4 Metode Evaluasi ketelitian

Mengacu pada satandar NMAS (CE90), evaluasi ketelitian didasarkan pada ketelitian posisi
berdasarkan sejumlah titik uji. Perhitungan ketelitian diawali dengan cara mencari titik ICP hasil ukuran
lapangan pada citra. Selisih koordinat citra terhadap koordinat ICP lapangan dijadikan sebagai dasar
perhitungan ketelitian. Akar kuadrat jumlah total selisih dibagi banyaknya selisih dikalikan nilai koefisien
rentang kepercayaan (90%) digunakan sebagai dasar perhitungan ketelitian. Persamaan 1 dan 2
menunjukkan perhitungan ketelitian yang dilakukan (FGDC, 1998) . Berdasarkan nilai ketelitian itulah
kemudian ditentukan skala peta yang memenuhi.

( _ _) ( _ _)
RMSEhorizontal = ................................................(1)

HXlapangan_i = Nilai koordinat X titik ke i hasil ukuran lapangan dalam satuan meter.
HXcitra_i = Nilai koordinat X titik ke i pada citra yang diuji dalamsatuan meter.
HYlapangan_i = Nilai koordinat Y titik ke i hasil ukuran lapangan dalamsatuan meter.
HYcitra_i = Nilai koordinat Y titik ke i pada citra yang diuji dalam satuan meter.
n = jumlah titik uji

Ketelitian = 1,51750 * RMSEhorisontal (2)


- 41 -
Evaluasi Ketelitian Raw Data Citra SatelitResolusi Tinggi Level ORStandar2A (Studi Kasus : Kota Surabaya Dan Kota
Tasikmalaya)(Octariady, J., Widyaningrum, E.)

3. HASIL PEMBAHASAN

Berdasarkan penelitian yang sudah dilakukan maka diketahuilah nilai ketelitian dari masing-masing
citra berdasarkan hasil evaluasi ketelitian citra Quickbird, dan hasil evaluasi ketelitian citra Worldview-2.

3.1 Hasil evaluasi ketelitian citra Quickbird

Evaluasi ketelitian citra Quickbird daerah Kota Tasikmalaya dilakukan dengan menggunakan 20 ICP.
Hasil evaluasi menunjukkan selisih yang terjadi pada sumbu X berada pada kisaran 0-3m sedangkan pada
sumbu Y berada pada kisaran 6-9m, bahkan ada yang mencapai 13m. Hasil ini menunjukkan besarnya
selisih pada sumbu X jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan selisih pada sumbu Y. Kesalahan pada
sumbuY lebih besar 3x lipat kesalahan pada sumbu X. Tabel 1 menunjukkan besarnya selisih pada
masing-masing titik ICP.

Tabel 1. Selisih koordinat hasil ukuran GPS dengan koordinat citra pada citra Quickbird

(D X) (D Y)

0.4220 5.3280
0.4600 7.0740
1.1010 10.1730
2.7200 -4.6910
-2.3760 10.9380
-2.3550 5.3330
-1.4210 -1.0780
-2.3970 5.6210
0.3370 1.8450
-2.8630 3.9920
0.0390 6.9780
-0.7400 3.7960
-3.8920 13.2320
1.2070 5.5300
-0.8450 0.4330
2.8900 -7.7280
3.6520 -8.7150
0.3890 4.7310
3.1900 6.5820
-7.1060 4.2170

Berdasarkan nilai tersebut maka secara grafis bisa di plot arah kesalahan dari masing-masing titik
Seperti yang ditampilkan pada gambar 6. Gambar 6 secara jelas menunjukkan adanya pola kesalahan
sistematik yang terjadi pada citra Quickbird. Pada sisi scene citra sebelah atas kesalahan condong bergerak
ke arah utara, sedangkan pada sisi scene citra sebelah selatan kesalahan condong bergerak ke arah selatan
data. Jenis kesalahan sistematik seperti ini, salah satunya disebabkan karena perbedaan kondisi sudut
perekaman data antar 2 scene citra dikarenakan perbedaan lintasan satelit dan perbedaan waktu
perekaman. Kesalahan ini dapat diminimalisir dengan cara melakukan ortorektifikasi dengan
menggunakan data titik kontrol tanah (TKT)

- 42 -
SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015

Gambar 6.Vektor pergeseran pada citra Quickbird dari selisih koordinat citra terhadap koordinat lapangan

Mengacu pada rumus 1 dan 2, maka diketahuilah ketelitian peta Quickbird adalah 10.88m. Citra
dengan skala ini bisa digunakan untuk membuat peta skala 1 : 25000 atau skala menengah.

3.2 Hasil evaluasi ketelitian citra Worldview

Evaluasi ketelitian citra Worldview-2 daerah Kota Surabaya dilakukan dengan menggunakan 21 ICP.
Hasil evaluasi menunjukkan selisih yang terjadi pada sumbu X berada pada kisaran (-1)-(-3)m sedangkan
pada sumbu Y berada pada kisaran 3-6m. Nilai ini jauh lebih baik dibandingkan hasil evaluasi citra
Quickbird daerah Kota Tasikmalaya. Pada citra ini besarnya nilai selisih koordinat pada sumbu X dan Y
tidak berbeda jauh seperti citra sebelumnya, yakni 2x lipat kesalahan pada sumbu X.

Tabel 1. Selisih koordinat hasil ukuran GPS dengan koordinat citra pada citra Quickbird

(DX) (DY)

-2.1564152 5.2176123
-3.4461137 4.4959906
-2.8434325 4.9702350
-1.9191902 5.1106077
-1.2327309 5.0457780
-1.6179280 5.5164034
-1.7749380 6.4110670
-1.9513854 4.4257596
-1.7519648 5.7035098
3.1279994 3.5302565
3.5925393 2.9526974
2.5607575 3.5725343
2.9525964 4.5436305
3.5933145 4.9857061
1.9642197 3.1222162
2.4499295 3.7470981
- 43 -
Evaluasi Ketelitian Raw Data Citra SatelitResolusi Tinggi Level ORStandar2A (Studi Kasus : Kota Surabaya Dan Kota
Tasikmalaya)(Octariady, J., Widyaningrum, E.)

3.3335782 3.4055857
3.2330138 3.9853425
3.4704496 3.7317788
2.9042728 4.2621220
2.6223131 3.2786478

Berdasarkan nilai tersebut maka secara grafis bisa diplot arah kesalahan dari masing-masing titik
seperti yang ditampilkan pada Gambar 7. Gambar 7 secara jelas menunjukkan kondisi kesalahan
sistematik yang sama seperti yang terjadi pada citra Quickbird daerah Kota Tasikmalaya. Namun pada
citra Worldview-2 ini arah kesalahan yang terjadi ke arah barat daya untuk scene citra sebelah kiri dan
arah tenggara untuk scene citra sebelah kanan. Sama seperti sebelumnya, kesalahan ini juga bisa
diminimalisir dengan menggunakan data TKT.

Gambar 7. Vektor pergeseran dari selisih koordinat citra terhadap koordinat lapangan

Mengacu pada rumus 1 dan 2, maka diketahuilah ketelitian peta Quickbird adalah 7.93m. Citra dengan
skala ini bisa digunakan untuk membuat peta skala 1 : 16000 atau skala menengah.

4. KESIMPULAN

Berdasarkan penelitian tersebut, maka dapat diambil kesimpulan bahwa:


1. Citra Quickbird level ORStandar2A pada daerah Kota Tasikmalaya memiliki ketelitian 10.88m.
Besarnya kesalahan bervariasi, pada sumbu X kesalahan yang terjadi berada pada kisaran 0-3m,
sedangkan pada sumbu Y besarnya nilai kesalahan berada pada kisaran 6-9m. Nilai ini jauh lebih
besar jika dibandingkan dengan nilai ketelitian yang di claim oleh vendor (DigitalGlobe) yakni 5m.
Mengacu pada standar yang diterapkan di BIG, citra dengan ketelitian ini bisa di buat untuk
membuat peta skala 25000.
2. Citra Wordlview-2 level ORStandar2A pada daerah Kota Surabaya memiliki ketelitian 7.93m.
Nilai ini jauh lebih baik daripada keteilitian citra sebelumnya. Besarnya kesalahan bervariasi, pada
sumbu X kesalahan yang terjadi berada pada kisaran 1-3m (minus), sedangkan pada sumbu Y
besarnya nilai kesalahan berada pada kisaran 3-6m. Nilai ini relatif mendekati nilai ketelitian yang
di claim oleh vendor yakni DigitalGlobe. Mengacu pada standar yang diterapkan di BIG, citra
dengan ketelitian ini bisa di buat untuk membuat peta skala 16000.
3. Jenis kesalahan yang terjadi pada citra Quickbird dan Worldview-2 adalah kesalahan sistematik,
yang salah satu penyebabnya berasal dari perbedaan sudut perekaman data dikarenakan perbedaan
waktu perekaman dan perbedaan lintasan satelit

- 44 -
SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015

DAFTAR PUSTAKA
Aguilar, M.A., Aguilar, F.J., Agera, F., dan Snchez, J.A. (2007). Geometric Accuracy Assessment of QuickBird
Basic Imagery Using Different Operational Approaches. Photogrammetric Engineering & Remote Sensing,
73(12): 13211332.
Aguilar, M.A., Mar, S.M.D., dan Aguilar, F.J. (2013). Assessing Geometric Accuracy of the Orthorectification
Process From GeoEye-1 and WorldView-2 Panchromatic Images. International Journal of Applied Earth
Observation and Geoinformation, 21:427435.
Brovelli, M.A., Crespi, M., Fratarcangeli, F., Giannone, F., dan Realini, E. (2008). Accuracy Assessment of High
Resolution Satellite Imagery Orientation by Leave-One-Out Method. ISPRS Journal of Photogrammetry &
Remote Sensing, 63:427440.
Chmiel, J., Kay, S., dan Spruyt, P. (2004). Orthorectification and Geometric Quality Assessment of Very High
Spatial Resolution Satellite Imagery for Common Agricultural Policy Purposes.XXth ISPRS Congress Technical
Commission IV, 35:1019-1024.
Mercer, J.B., Allan, J., Glass, N., Rasmussen, J., dan Wollersheim, M. (2003). Orthorectification of Satellite Images
Using External DEMs from IFSAR.Proceedings Joint ISPRS Workshop High Resolution Mapping from Space.
Octariady J, Djurdjani, dan Sutanta H (2014b) Ortorektifikasi Citra Quickbird Menggunakan Berbagai Ketelitian
Data DEM dan Berbagai Jumlah Titik Kontrol Tanah. Proceeding of Conference on Geospatial Information
Science and Engineering, II.
Reinartz, P., Mller, R., Schwind, P., Suri, S., dan Bamler, R. (2011). Orthorectification of VHR Optical Satellite
Data Exploiting the Geometric Accuracy of TerraSAR-X Data. ISPRS Journal of Photogrammetry and Remote
Sensing, 66:124132.
Singh, V.K., Ray, P.K.C., dan Jeyaseelan, A.P.T. (2010). Orthorectification and Digital Elevation Model (DEM)
Generation Using Cartosat-1 Satellite Stereo Pair in Himalayan Terrain. Journal of Geographic Information
System, 2:85-92.
Campbell, J.B., dan Wynne, R.H. (2011). Introduction to Remote Sensing, New York, The Guilford Press.
DigitalGlobe (2014) DigitalGlobe Core Imagery Product Guide, Proprietary & Confidential
FGDC (1998). Geospatial Positioning Accuracy Standards.National Standard for Spatial Data Accuracy.
Octariady, J. (2014). Ortorektifikasi Citra Quickbird Menggunakan Model Elevasi Digital Dengan Berbagai
Ketelitian Dan Berbagai Jumlah Titik Kontrol Tanah. Master Degree, Universitas Gadjah Mada.

*) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukan pada saat diskusi presentasi ilmiah

BERITA ACARA
PRESENTASI ILMIAH SINASINDERAJA 2015

Moderator : MuchamadSholeh, M.Eng.


Judul Makalah : EvaluasiKetelitian Raw Data Citra SatelitResolusiTinggi Level Or2 Standart (Studikasus:
Kota Surabaya dan Kota Tasikmalaya).
Pemakalah : Jali Octariady
Jam : 11.00 12.00 WIB
Tempat : Meeting Room E-F
Diskusi :

Fadilah (LAPAN)
Alasan dipilih 2 daerah berdasarkan topografi wilayah baiknya disebutkan topografi wilayah tersebut atau ada
visualisasi (masukan). Kesalahan posisi berada pada ketinggian berapa pada titik? Untuk product Ortho ready di
masukkan koefisien revisi apakah sudah dilakukan atau tidak lakukan?
Ketelitian yang dikeluarkan vendor tidak sesuai harus di cek dulu ketelitian tersebut untuk wilayah yang bagaimana?
RMS error berapa yang digunakan?

Ahmad M (UGM)
Acuan yang digunakan bahwa image cocok untuk skala berapa itu berdasarkan ketepatan geolokasinya atau Ground
sampling distancenya?
Kerancuan di judulevaluasi raw data citraklo raw itumerupakan data yang belum di olah sedangkan kalo level
Or2Standart merupakan hasil dari pengolahan (Opini).

Jawaban:
Dem dan terrain tidak di masukin. Citra sudah di pansharp ketika diperoleh dan citra tersebut di evaluasi dengan
pengukuran dilapangan berapa ketelitian. Ketelitan RMS ada 2 dan penelitian ini menggunakan yang CE 90 Class 3
atau skala peta 2 kali kesalahannya, Skala berdasarkan ketelitian posisinya.

- 45 -
SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015

ORAL PRESENTATION

Analisis Feasibilitas Pesawat Terbang Tanpa Awak (PTTA) Skala Kecil


Berbasis Open Source dan Open Hardware untuk Aplikasi Pemetaan
Partisipatif Desa (Studi Kasus: Kabupaten Biak Numfor, Papua)
Daniel Sande Bona1,*), dan Eko Yunianto1
1
Balai Penjejakan dan Kendali Wahana Antariksa Biak, LAPAN
*)
E-mail: daniel.sande@lapan.go.id

ABSTRAK Penggunaan PTTA sebagai wahana untuk memperoleh data penginderaan jauh meningkat signifikan
dalam lima tahun terakhir. PTTA skala kecil dengan muatan kamera saku dapat menghasilkan data penginderaan jauh
dengan resolusi spasial sangat tinggi. Di samping itu data inderaja yang diperoleh oleh PTTA memiliki resolusi
temporal yang cukup tinggi. Selain itu data inderaja yang diperoleh melalui PTTA memiliki keunggulan utama yaitu
bebas tutupan awan yang sulit diperoleh di daerah tropis seperti Indonesia dengan citra satelit Makalah ini secara
objektif dan komprehensif mengkaji dan melakukan analisis aspek-aspek potensi dan tantangan PTTA untuk aplikasi
pemetaan partisipatif berdasaran pengalaman penelitian dan studi lapangan di Biak. Aspek-aspek yang menjadi lingkup
analisis dalam makalah ini antara lain aspek teknis seperti pembuatan wahana PTA skala kecil berbasis open source dan
open hardware yang terdiri dari dua jenis wahana multirotor dan fixed-wing, pengoperasian, keselamatan, perencanaan
misi, image processing. Kemudian makalah ini juga membahas aspek lain seperti aspek regulasi dan kebijakan tentang
PTA, dan aspek sosial. Makalah ini juga membahas peranan PTA dan mengoptimalkan penggunaan PTA sebagai
wahana untuk memperoleh data inderaja untuk aplikasi pemetaan partisipatif di tengah peraturan pengadaan data
inderaja lisensi pemerintah.

Kata kunci: Pesawat Tanpa Awak (PTA), teknologi inklusif, pemetaan partisipatif, foto udara format kecil

ABSTRACT The utiliziation of Unmanned Aerial Vehicle (UAV) as means to obtain remote sensing data is increasing
significantly in the last five years. Small scale UAV equipped with payload such as pocket camera, is capable to capture
remote sensing imagery with ultra high spatial resolution. In addition, UAV based remote sensing could produce
remote sensing with high temporal resolution. Moreover, the main advantage of UAV based remote sensing is the
capability to capture cloud-free remote sensing data which is hard to obtain by satellite in tropical area such as
Indonesia. This paper review and analyse aspects that may be a potential and challenges for UAV as tool to assisst
participatory mapping based on hands-on experience and field study in Biak. Aspects that are being scope of the
analysis include technical aspects such as building process of small scale open source UAV that consists of two types
multirotor and fixed-wing, operating, safety, mission planning, image processing. Furthemore this paper also discuss
other aspects such as rules and regulation regarding UAV operation and social aspect.This paper also address the role
of small scale UAV and how to optimize utilization of UAV as means to obtain remote sensing data for participatory
mapping in relations with policy such as remote sensing data provision with government license.

Keywords: Unmmaned Aerial Vehicle (UAV), inclusive technology, participatory mapping, small format aerial
photography

1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kemiskinan, ketertinggalan infrastruktur, konflik lahan, masalah lingkungan adalah permasalahan yang
sering dijumpai di daerah pedesaan di Indonesia. Permasalahan ini memerlukan data geospasial sebagai
dasar pertimbangan dalam perumusan strategi penanganan dan pengambilan kebijakan. Ketersediaan dan
aksesibilitas terhadap data geospasial yang lengkap, terkini dan detail sangat penting untuk dapat
menghasilkan perencanaan dan keputusan yang tepat dan akuntabel (Sutanta et al., 2010)
Pada negara berkembang ketersediaan dan aksesibilitas data geospasial sangat terbatas dan sangat sulit
diperoleh baik antar instansi pemerintah terutama oleh publik. Di samping itu ketersediaan data Informasi
Geospasial Dasar (IGD) skala besar terutama pada level desa berdasarkan data dari Badan Informasi
Geospasial (BIG) hampir tidak ada seperti ditunjukkan pada Tabel 1 (Sukmayadi, 2013). Kondisi ini
memerlukan kolaborasi lintas instansi dan region terutama partisipasi publik melalui pemetaan partisipatif
terutama untuk pemetaan desa.

- 46 -
SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015

Tabel 1. Status Ketersediaan Peta Dasar BIG di Tahun 2013.


(Sumber: Sukmayadi, 2013)

Skala Total Tersedia Akan dikerjakan


1:1.000.000 37 37 (100%) 0

Kecil
1:500.000 103 103 (100%) 0
1:250.000 309 309 (100%) 0
1:100.000 1.245 0 (0%) 1.245

Menengah
1:50.000 3.899 2.417 (62%) 1.471

1:25.000 13.020 1.774 (14%) 11.246


1:10.000 91.547 658 (0.7%) 90.889
1:5.000 379.014 128 (0.003%) 378.458
Besar

1:2.500 880.206 0 (0%) 880.206


1:1.000 2.729.319 0 (0%) 2.729.319

Citra satelit penginderaan jauh merupakan salah satu sumber primer untuk menghasilkan data geospasial
yang telah digunakan selama puluhan tahun (Kushardono, 2014). Untuk keperluan pembuatan informasi
geospasial skala menengah hingga besar diperlukan citra satelit resolusi menengah seperti Landsat, SPOT
dan citra satelit resolusi tinggi WorldView, QuickBird, Ikonos. Satelit penginderaan jauh tersebut dapat
merekam citra suatu area dengan cakupan wilayah yang luas.
Kendala utama dari citra satelit penginderaan jauh berbasis sensor optis di wilayah tropis seperti
Indonesia ialah tutupan awan (cloud cover) yang terus menerus (persistent) (Kustiyo et al., 2014). Beberapa
studi menunjukan contohnya data citra satelit Landsat di daerah tropis mengalami tutupan awan secara rata-
rata 40 persen (Butler dan Moser, 2007). Hal ini menimbulkan gap (blind spot) yang cukup luas dan dapat
menyulitkan untuk menghasilkan informasi geospasial yang utuh dan akurat.
Di samping kendala awan satelit penginderaan jauh memiliki resolusi temporal yang tidak terlalu tinggi,
rata-rata satelit penginderaan jauh seperti Landsat, SPOT (off-nadir), IKONOS memiliki resolusi temporal 4-
16 hari (Suwargana, 2014). Resolusi temporal ini menyebabkan sulit untuk memperoleh spasial di waktu
yang tepat (timely) untuk kasus atau aplikasi tertentu seperti contohnya bencana alam, pemantauan
infrastruktur (Kushardono, 2014).
Dengan kekurangan atau kendala yang tersebut sering kali diperlukan sumber lain untuk memperoleh cita
penginderaan jauh selain citra dari satelit inderaja. Salah satu alternatif adalah dengan menggunakan pesawat
terbang berawak untuk foto udara. Meskipun wahana pesawat terbang berawak mampu memotret area yang
luas dan bebas tutupan awan namun biaya operasionalnya sangat tinggi dan rawan kecelakaan yang dapat
mengancam nyawa pilot dan operator.
Komersialiasi GPS dan miniaturisasi sistem avionik dan sensor membuka kesempatan untuk menciptakan
Pesawat Terbang Tanpa Awak (PTTA) skala mikro (< 5 kg) dan mini (< 30 kg) untuk misi penginderaan
jauh (Kushardono, 2014; Whitehead dan Hugenholtz, 2014). PTTA skala mikro dan mini dengan muatan
kamera kecil seperti kamera saku atau action cam mampu menghasilkan foto udara dengan resolusi spasial
yang sangat tinggi 5-25 cm. Saat ini resolusi spasial tertinggi untuk citra satelit dihasilkan oleh Satelit
WorldView-3 dengan resolusi spasial 30 cm. Di samping itu karena pengambilan foto udara dengan PTTA
diambil secara stereo (overlapping) dapat menghasilkan model data 3 dimensi seperti Digital Surface Model
(DSM) (Kushardono, 2014).

1.1.1 Pemetaan Partisipatif (PP)


Pemetaan partisipatif ialah proses pembuatan peta dengan menempatkan masyarakat lokal atau
masyarakat adat sebagai pelaku pemetaan sebagai pelaku pemetaan wilayahnya. Dalam proses pemetaan
partisipatif menggunakan metoda dan kaidah kartografi yang dapat dipahami oleh orang awam. Hasil dari
pemetaan partisipatif digunakan sebagai penentu perencanaan tata ruang dan pengembangan wilayah oleh
masyrakat setempat (Corbett, 2009; JKPP, 2014).
Pemetaan partisipatif memiliki karakteristik yang membedakan dengan proses pembuatan peta
umumnya. Karakterisitik tersebut antara lain (Corbett, 2009):
Proses

- 47 -
Analisis Feasibilitas Pesawat Terbang Tanpa Awak (PTTA) Skala Kecil Berbasis Open Source dan Open Hardware untuk Aplikasi
Pemetaan Partisipatif Desa (Studi Kasus: Kabupaten Biak Numfor, Papua) (Bona, D.S., Yunianto, E.)

Perencanaan pemetaan partisipatif biasanya membawa misi atau tujuan dari seluruh anggota kelompok
masyarakat. Maka proses pemetaan partisipatif mengedepankan prinsip keterbukaan, inklusif dan
gotong royong.
Produk Pemetaan
Produk atau hasil dari pemetaan partisipatif mewakili agenda atau misi masyarakat yang terlibat.
Konten (content)
Peta hasil pemetaan partisipatif mengandung informasi yang menunjukan budaya atau aset lokal
seperti lokasi wilayah adat, simbol adat.
Kaidah Kartografi
Proses pemetaan partisipatif biasanya tidak terlalu terpaku atau mengikuti peraturan kartografi yang
baku.
Pemetaan Partisipatif di Indonesia bermula di awal tahun 1990-an di Kalimantan Barat sebagai bentuk
pemetaan perlawanan (counter mapping) oleh masyarakat Dayak terhadap perusahaan-perusahaan kayu
untuk mempertahankan wilayah adat masyarakat Dayak yang dikuasai oleh perusahaan tersebut (Peluso,
1995). Seiring perkembangan zaman kegiatan pemetaan partisipatif di Indonesia tidak hanya dalam
bentuk gerakan Counter Mapping namun juga sudah mulai digunakan untuk perencanaan tata ruang dan
pengembangan wilayah desa, hal ini merupakan implikasi dengan disahkannya UU Desa Nomor 6 Tahun
2014 yang mensyaratkan partisipasi masyarakat desa sebesar-besarnya dalam setiap tahap pembangunan
desa (Bona, 2015).

1.1.2 PTTA Skala Kecil Berbasis Open Source dan Pemanfaatannya untuk Pemetaan
Partisipatif
Penggunaan pesawat tanpa awak untuk aplikasi sipil dan penelitian penginderaan jauh meningkat
secara signifikan dalam lima tahun terakhir (Whitehead dan Hugenholtz, 2014). Di kalangan hobbyist
merk PTTA skala mikro seperti DJi Phantom mendominasi pangsa pasar dan seiring waktu mulai
menjadi barang konsumsi publik (consumer goods). Di industri survey dan pemetaan PTTA skala mini
dengan merk seperti SenseFly, Trimble Gatewing, Aeromapper adalah beberapa merk yang mendominasi.
Produk PTTA tersebut merupakan produk built-up dan bersifat tertutup (propietary) dan berharga relatif
mahal berkisar antara 12.000 70.000 USD.
Selain PTTA yang bersifat built-up dan tertutup (propietary) terdapat juga PTTA yang bersifat terbuka
(open source). PTTA bersifat terbuka terutama ditinjau dari sisi sistem avionik dalam hal ini Flight
Controller (FC) atau Autopilot. FC bersifat terbuka yang paling banyak digunakan saat ini adalah yang
berbasis microcontroller AVR yang dikenal dengan merk Ardupilot Mega (APM). Pengembangan APM
ini dimulai sejak tahun 2009 melalui forum penggiat RC Aeromodelling www.diydrones.com yang
diinisiasi oleh Chris Anderson dan Jorge Munoz dan dikembangkan oleh puluhan programmer dan
developer. Saat ini produk APM dipasarkan oleh perusahaan 3DRobotics dan versi terakhir APM yakni
APM 2.6. Suksesor APM saat ini adalah Pixhawk yang memiliki perkembangan signifikan yaitu
menggunakan microprocessor ARM 32 bit dibandingkan APM yang hanya memiliki 8 bit. PTTA
berbasis Open Source dengan tingkat teknologi dan kemampuan saat ini sudah matang (mature) telah
banyak dipakai untuk misi pemetaan dan survey dengan biaya yang jauh lebih murah dibanding PTTA
bersifat tertutup dan menghasilkan citra yang tidak jauh berbeda kualitasnya (Bona, 2015; Glvez et al.,
2014).
Penggunaan PTTA skala kecil berbasis Open Source untuk Pemetaan Partisipatif di Indonesia pernah
dilakukan oleh LSM Swandiri Insitute di Pontianak. PTTA ini digunakan untuk mengambil foto udara
untuk menghasilkan orthophoto dalam aksi Counter Mapping untuk advokasi masyarakat adat menggugat
pelanggaran wilayah konsesi perusahaan sawit yang mengambil wilayah adat (Radjawali dan Pye, 2015).
Selain itu PTTA juga digunakan untuk pemetaan pencemaran perusahaan bauksit yang mencemari Sungai
Kapuas (Radjawali dan Pye, 2015).
Inisiatif penggunaan PTTA untuk pemetaan partisipatif umumnya menggunakan model
pendampingan. Proses teknis foto udara dengan PTTA dilakukan oleh LSM atau fasilitator dan
masyarakat menerima produk akhir berupa citra orthophoto. Namun juga terdapat contoh penggunaan
PTTA untuk membantu proses pemetaan partisipatif dimana pengoperasian dan penguasaan teknologi
dilakukan oleh komunitas masyarakat setempat. Salah satu contohnya adalah oleh Suku Wapishana di
Guyana yang atas pelatihan dan transfer teknologi dari lembaga NGO mampu menerapakan PTTA untuk
kegiatan pemetaan partisipatif untuk memantau pertambangan ilegal dan pemetaan batas properti mulai
dari proses perakitan, pengoperasian, pengolahan data (MacLennan, 2014).

- 48 -
SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015

1.2 Tujuan Penelitian


Penelitian ini mengevaluasi dan Analisis feasibiltitas penggunaan PTTA skala kecil (mini) berbasis open
source yang terdiri dari dua tipe wahana PTTA yaitu quadcopter dan fixed-wing (glider). Aspek ditinjau
antara lain aspek teknis seperti: proses pembuatan/perakitan, pengoparasian, pengolahan data, kualitas data,
keselamatan (safety). Kemudian juga menganalisis faktor lain berupa potensi, kesempatan dan hambatan dari
aspek regulasi dan juga mendiskusikan penggunaan PTTA yang optimal untuk kegiatan pemetaan partisipatif
di tengah peraturan pengadaan data lisensi pemerintah.

2. METODE
2.1 Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian di Kampung Samofa, Distrik Samofa, Kabupaten Biak Numfor, Papua.

2.2 Data yang digunakan


Data yang digunakan antara lain: Peta Administratif Kabupaten Biak Numfor, OrthoPhoto dan Digital
Surface Model (DSM) yang dihasilkan dari foto udara menggunakan PTTA.

2.3 Alat dan Bahan


2.3.1 Peralatan dan Komponen untuk Perakitan PTTA Jenis Quadcopter
2x Fiberglass Main frame boards
4x Aluminum arms (2Black,2Blue)
2x Fiberglass Carrier boards
Fiberglass Landing gear
Female T plug - Male XT60 adapter
Power distribution board, power cables and signal cables for PDB-APM
4x Motors (850kv)
4x Propeler (10x4.7)
4x 20A ESCs
APM Power Module (XT60)
Li-Po Battery 3S 11.1v 5000mAh
Radio Turnigy 9X firmware open er9. Module TX:Frsky DJT. Module RX: FrSky V8FRII 8
Channel
HKPilot 2.7 Flight Controller (APM 2.6 Clone)
GPS Ublox LEA-6 With Compass Module
Telemetry 3Drobotics 915Mhz

(a) (b)
Gambar 1. Komponen PTTA Quadcopter. (a) Sebelum Perakitan (b) Sesudah Perakitan
(Sumber: Bona, 2015)

PTTA quadcopter disusun berdasarkan konfigurasi X pada quadcopter di atas orientasi depan
yakni frame berwarna biru.

- 49 -
Analisis Feasibilitas Pesawat Terbang Tanpa Awak (PTTA) Skala Kecil Berbasis Open Source dan Open Hardware untuk Aplikasi
Pemetaan Partisipatif Desa (Studi Kasus: Kabupaten Biak Numfor, Papua) (Bona, D.S., Yunianto, E.)

Gambar 2. Quadcopter Konfigurasi X (Sumber: http://copter.ardupilot.com/)

2.3.2 Peralatan dan Komponen untuk Perakitan PTTA Jenis Fixed-wing (Glider)
Skywalker frame version 2014 wingspan 188 Cm EPO Foam
Brushless Motor Sunnysky 2820 800kv
Hi Efficient propeller size 12x6
Hobbywing Platinum Pro V3 50A
3pcs Emax Servo ES08MAII
1pcs Corona Servo CS-939MG
3D robotics APM 2.6
3DR uBlox GPS with Compass Kit
RFD 900+ Long Range Radio Modem Telemetry
Tiger Battery 4s1p 6000 mAh
Radio Transmitter: Turnigy 9X with DJT TX Module, D8R RX 8 Channel

Gambar 3. PTTA Skala Mini Model Fixed-Wing Sesudah Dirakit


(Sumber: Bona, 2015)

2.3.3 Sensor Kamera


Kamera yang digunakan adalah jenis kamera saku Canon PowerShot SX230HS dengan built-
inGPS yang telah diinstalasi dengan firmware Canon Hack Development Kit (CHDK) untuk
mengaktifkan fungsi auto-trigger intervalerometer yang diatur untuk mengambil gambar setiap 2
detik.

- 50 -
SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015

Sensor size: 6.17 x 4.55 mm


Pixel Resolution: 4000x3000,
Focal length: 5 mm
GPS Built-in
SD Card 8 Gb Class 10

Gambar 4. Camera Canon SX230HS


(Sumber: Dpreview, 2011)

Kamera dipasang pada mounting camera yang terbuat dari papan PCB dan diletakkan di
fuselage pada titik Center of Gravity (CoG).

(a) (b)

Gambar 5. (a) Mounting Camera (b) Posisi Peletakan Camera di dalam Fuselage
(Sumber: Bona, 2015)

2.3.4 Perangkat Pengolah Citra


a. Perangkat keras
Spesifikasi PC pengolah citra:
Processor: Intel I5-4690
Memory: 8GB
VGA: NVIDIA GeForce GTX 960
HDD: 500GB
Operating System: Windows 7 64 Bit
b. Perangkat lunak pengolah citra:
Pix4D Trial Edition

2.3.5 Ground Control Segment


Perangkat keras:
Laptop ASUS X455L
Mission Planner

2.3.6 Perangkat Simulasi Terbang dan Pesawat Latihan Terbang


Perangkat simulasi terbang dan pesawat latihan terbang sebagai berikut:
RealFlight G6 simulator
Skysurfer plane trainer

2.4 Alur Penelitian


Alur penelitian terdiri dari tiga tahap yaitu:
1. Tahap Persiapan
Pada tahap ini kegiatan yang dilakukan antara lain:
Studi literatur

- 51 -
Analisis Feasibilitas Pesawat Terbang Tanpa Awak (PTTA) Skala Kecil Berbasis Open Source dan Open Hardware untuk Aplikasi
Pemetaan Partisipatif Desa (Studi Kasus: Kabupaten Biak Numfor, Papua) (Bona, D.S., Yunianto, E.)

Mempelajari cara kerja dan konsep dasar RC Aeromodelling


Mempelajari manual dan tutorial Flight Controller APM
Mempelajari konsep photogramettry untuk foto udara
Melakukaan simulasi terbang dengan simulator seperti RealFlight G6
Mengoperasikan pesawat trainerRC Plane/fixed wing hingga memperoleh jam terbang 3
jam
Persiapan alat dan bahan untuk perakitan PTTA skala mini jenis quadcopter dan fixed-
wing
2. Tahap Perakitan PTTA
Pada tahap ini proses/kegiatan yang dilakukan antara lain:
Merakit body/frame PTTA
Pengkabelan dan koneksi perangkat elektronik seperti motor, servo, ESC, GPS, Telemetri
ke modul Flight Controller
Melakukan initial setup terhadap sistem elektronik dengan tahapan: Instalasi firmware ke
dalam modul APM, kalibrasi sensor (kompas, accelerometer), kalibrasi radio, kalibrasi
ESC, pengaturan mode terbang (flight mode), pengaturan failsafe
3. Tahap Pengoperasian PTTA
Pada tahap ini proses yang dilakukan antara lain:
Perencanaan misi: menentukan tinggi terbang dengan memperhitungkan resolusi spasial
(GSD) yang diinginkan dan kondisi topografi area yang dipetakan, luas area dengan
memperhitungkan daya baterai dan konsumsi daya, arah jalur terbang dengan
mempertimbangkan arah angin, jalur terbang dengan memperhitungkan sidelap dan
overlap untuk menghasilkan data DSM.
Preflight checklist: periksa propeller tidak longgar, periksa servo berfungsi baik, periksa
radio, periksa mode terbang (flight mode) APM berfungsi normal, pastikan GPS sudah
lock, pastikan kamera sudah diaktifkan.
Proses peluncuran dan proses terbang: throttle 80% setting, flight mode stabilize
(quad)/FBWA (plane) setting, terbang hingga ketinggian 50-100 meter, flight mode setting
menjadi auto untuk menjalankan misi foto udara.
Proses pendaratan: Turunkan throttle sampai 20%, mendarat, flight mode manual setting
dan cut throttle, matikan motor (disarm), lepaskan baterai.
Post-Flight processing: manual cek hasil foto, analisis flight-log di modul APM,
pengolahan citra hasil foto udara untuk menghasilkan orthophoto dan DSM.

3. HASIL PEMBAHASAN

Gambar 6. Orthophoto dan DSM Kampung Samofa Hasil Pengolahan Citra Foto Udara dengan PTTA Skala Mini
Open Source (Sumber: Bona, 2015)

- 52 -
SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015

Gambar 7. Sebagian Report Hasil Pengolahan Citra Hasil Foto Udara dengan Perangkat Lunak Pix4D
(Sumber: Bona, 2015)

PTTA tipe quadcopter relatif lebih mudah dioperasikan dibandingkan fixed-wing plane terutama di
daerah minim area terbuka yang bebas halangan (obstacle). Hal ini karena sifat terbang quadcopter yang
mampu terbang dan mendarat secara vertikal (VTOL). Di samping itu quadcopter memiliki kemampuan
hover sehingga lebih mudah dikendalikan. Luas area yang dapat dipetakan dengan PTTA tipe quadcopter
relatif kecil yaitu kurang dari < 100 ha dengan durasi terbang 20 menit. Dengan ketinggian terbang yang
sama (200 meter) PTTA tipe fixed-wing plane mampu memetakan area dengan luas 300 ha untuk tiap misi
pemetaan.
Berdasarkan karakteristik masing-masing tipe wahana quadcopter lebih cocok digunakan untuk
pemantauan pembanguan infrastuktur seperti jalan, rumah, jembatan. Quadcopter juga dapat digunakan
untuk pemetaan batas properti/kepemilikan tanah warga desa dengan luas kurang dari 100 ha, validasi data.
Sedangkan fixed-wing plane dapat digunakan untuk pemetaan batas wilayah kampung dengan luas kurang
dari 10 km2.
Material EPO Foam pada fixed-wing plane tergolong memiliki durabilitas yang rendah ketika terjadi
hard-landing atau crash. Meskipun EPO Foam dapat diperbaiki menggunakan lem dan dipanaskan namun
jika kerusakan terlalu parah sudah tidak dapat diperbaiki. Berdasarkan pengalaman penelitian durabilitas
material EPO Foam sekitar 5 kali misi pemetaan.
Proses pengolahan citra (penggabungan) citra hasil foto udara memerlukan perangkat keras dengan
spesifikasi tinggi dan dengan spesifikasi yang digunakan pada penelitian ini memerlukan waktu 8 jam untuk
memproses citra hasil foto udara dengan PTTA. Secara observasi visual kualitas citra yang dihasilkan cukup
baik dan detailnamun dari pengalaman penelitian ditemukan beberapa gangguan yang membuat kualitas citra
menurun yaitu antara lain menempelnya kotoran di lensa kamera sehingga merusak foto hasil udara.
Kemudian di beberapa lokasi citra hasil foto udara kabur (blur) yang kemungkinan disebabkan pengaturan
shutter speed yang kurang tepat dan faktor angin yang kencang.
Meskipun secara teoritis PTTA dapat menghasilkan citra penginderaan jauh dengan resolusi temporal
yang lebih tinggi namun PTTA tidak dapat dioeperasikan kapan saja. Beberapa faktor dapat menyebabkan
PTTA tidak dimungkinkan untuk dioperasikan antara-lain angin kencang, cuaca mendung/kurang
pencahayaan matahari. Berdasarkan pengalaman penelitian waktu ideal untuk melakukan misi ialah di pagi
hari atau di siang menjelang sore hari. Fitur failsafe yang ada belum mampu menjamin operasi yang
sepenuhnya aman (safety). Perlu dikembangkan dan diterapkan alat pengamanan tambahan seperti parasut.
Selain aspek teknis di atas terdapat aspek regulasi yang berpotensi menjadi rintagan atau hambatan yaitu
Permenhub No. 90 Tahun 2015. Beberapa butir yang menghambat ialah peraturan ketinggian terbang
maksimum PTTA ialah 150 meter. Hal ini dapat mengurangi luas area yang mampu dipetakan oleh PTTA.
Selain itu prosedur perizinan yang rumit, kurang jelas dan sentralistis mampu menghambat penggunaan
PTTA untuk foto udara terutama di daerah.

- 53 -
Analisis Feasibilitas Pesawat Terbang Tanpa Awak (PTTA) Skala Kecil Berbasis Open Source dan Open Hardware untuk Aplikasi
Pemetaan Partisipatif Desa (Studi Kasus: Kabupaten Biak Numfor, Papua) (Bona, D.S., Yunianto, E.)

4. KESIMPULAN
Secara teknis PTTA skala kecil berbasis open source telah terbukti dapat menghasilkan citra
penginderaan jauh dengan resolusi spasial yang sangat tinggi. Namun faktor teknis yang cukup sulit dan
memerlukan sumber daya (resources) yang tidak sedikit menjadikan penggunaan PTTA skala kecil untuk
pemetaan partisipatif secara luas memerlukan pertimbangan yang seksama untuk agar tidak terjadi
pemborosan sumber daya (resources) dan melalui penelitian ini bahwa dengan kemampuan yang dimiliki
PTTA terutama dari daya jelajah (coverage). Peran PTTA untuk mengkomplemen atau mengisi gap dari
citra satelit masih terbilang cukup minim. Sehingga sebelum memutuskan untuk mengoperasikan (deploy)
PTTA untuk memetakan suatu wilayah desa perlu merujuk terlebih dahulu ketersediaan data di bank data
penginderaan jauh nasional. Permintaan data citra satelit untuk keperluan pemetaan partisipatif desa dapat
difasilitasi oleh pemerintah kabupaten/kota melalui dinas terkait seperti yang telah diatur melalui undang-
undang (Bona, 2015).

UCAPAN TERIMAKASIH

Terima kasih kepada AusAID yang mendanai penelitian ini melalui studi penulis.

DAFTAR PUSTAKA
Bona, D.S. (2015). Participatory Mapping for Village Information System in Indonesia: Relation With Current Policies
and Feasibility of Small Scale Open Source Drones. Master, The University of Melbourne.
Butler, J.S., dan Moser, C. (2007). Cloud Cover and Satellite Images of Deforestation. Land Economics, 83(2):166-173.
doi: http://le.uwpress.org/content/by/year.
Corbett, J. (2009) Good Practices in Participatory Mapping: A Review Prepared For The International Fund For
Agricultural Development (IFAD).
Dpreview (2011) Canon PowerShot SX230 HS, from http://www.dpreview.com/products/canon/compacts
/canon_sx230hs.
Radjawali, I., dan Pye, O. (2015). Counter-mapping Land Grabs with Community Drones in Indonesia. Paper presented
at the Land grabbing, conflict and agrarian environmental transformations: perspective from East and Southeast
Asia Chiang Mai University.
Kushardono, D. (2014). Teknologi Akuisisi Data Pesawat Tanpa Awak dan Pemanfaatannya untuk Mendukung
Produksi Informasi Penginderaan Jauh.
Kustiyo, Roswintiarti, O., Tjahjaningsih, A., Dewanti, R., Furby, S., dan Wallace, J. (2014). Annual forest monitoring
as pasrt of the Indonesia National Carbon Accounting. Paper presented at the 36th International Symposium on
Remote Sensing of Environment, Berlin, Germany.
MacLennan, G. (2014). We Built A Drone, from https://www.digital-democracy.org/blog/we-built-a-drone/.
Glvez, P.J., McCall, M.K., Napoletano, B.M., Wich, S.A., dan Pin, K.L. (2014). Small Drones for Community-Based
Forest Monitoring: An Assessment of Their Feasibility and Potential in Tropical Areas. Forests (19994907),
5(6):1481-1507. doi: 10.3390/f5061481.
Peluso, N.L. (1995). Whose Woods Are These? Counter-Mapping Forest Territories in Kalimantan, Indonesia.
Antipode.
Pradana, R.A. (2014). Curtailing Deforestation in Indonesia: Improving Forest Mapping and Monitoring using Drones
Technology.
Sutanta, H., Rajabifard, A., dan Aditya, T. (2010). Implementing Spatially Enabled Government (SEG) Concept in
Indonesian Local Government, Challenges and Opportunities: Aura.
Suwargana, N. (2013). Resolusi Spasial, Temporal dan Spektral pada Citra Satelit Landsat, SPOT dan Ikonos. Jurnal
Ilmiah Widya, Volume 1(2):167-174.
Whitehead, K., dan Hugenholtz, C.H. (2014). Remote Sensing of The Environment with Small Unmanned Aircraft
Systems (UASS), Part 1: A Review of Progress and Challenges.

*) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukan pada saat diskusi presentasi ilmiah

BERITA ACARA
PRESENTASI ILMIAH SINAS INDERAJA 2015

Moderator : Ir. Dedi Irawadi


Judul Makalah : Analisis Feasibilitas Pesawat Terbang Tanpa Awak (PTTA) Skala Kecil Berbasis Open
Source dan Open Hardware untuk Aplikasi Pemetaan Partisipatif Desa
(Studi Kasus: Kabupaten Biak Numfor, Papua)

- 54 -
SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015

Pemakalah : Daniel Sande Bona


Jam : 09.00-10.00
Tempat : Meeting Room E-F
Diskusi :

Fadila Muchsin (Pustekdata, LAPAN):


Untuk mengklarifikasi, istilah drone dan LSA, apakah memang sama atau ada perbedaan dari sisi teknisnya?
Bagaimana akurasi geometric untuk pemetaan desa, karena dari praktisnya di daerah menggunakan GPS navigasi,
bagaimana jika dari GPS sederhana tersebut di-overlay ke data hasil drone ini?
Bagaimana sisi akurasi dan kepraktisan penggunaan pemanfaatan drone untuk pemetaan komoditi unggulan seperti lada
untuk pemerintah daerah?
Apa feasibilitas yang dimaksud atau kaitannya dari judul yang diberikan?

Jawaban:
LSA adalah pesawat yang mempunyai pilot satu orang.
Tidak mengkaji akurasi, tapi bisa dioptimalkan akurasi geometriknya, bisa menggunakan GPS geodetic untuk software
pengolahan bisa dimasukkan koordinat GCP tersebut , berdasarkan studi UGM dibanding lidar cukup bagus.
LAPAN belum melayani untuk PEMDA, namun jika swasta dan perguruan tinggi banyak yang menjual jasa seperti ini
Feasibilitas dikaji dari cost effective nya., seperti program Jokowi satu desa satu drone. Drone itu memang murah tapi
pada pengolahannya yang akan timbul cost-cost lainnya. Maka dari itu saya lebih merekomendasikan, bagaimana
menggunakan data yang ada di Pemda untuk didistribusikan, jika tidak ada data baru menggunakan drone

Wahyu (TNI AL):


Bagaimana kemampuan UAV untuk digunakan di laut, yang dibatasi dengan cuaca , untuk mendapatkan data yang
akurat mengenai kapal?

Jawaban:
Aplikasi ini tidak bisadigunakan untuk angkatan laut yang perlu menggunakan peralatan canggih, karena jangkauan dari
stasiun bumi tidak boleh jauh, optimal 20 km. Infrared juga ada namun bukan untuk pesawat ini.

Budhi Gustiandi (Pustekdata, LAPAN):


Cakupan open source, mulai operating system atau hanya aplikasi pengolahan data saja, apa nama aplikasi yang open
source tersebut?
Ada kendala ketinggian 150 m, dari ketinggian tersebut berapa dapat resolusi spasialnya?
Mana yang lebih baik diterapkan untuk lingkungan perkotaan, dan berapa lama operasinya antra quadcopter dan drone?
Pengembangan yang direncanakan di masa depan?

Jawaban:
Open source untuk hardware dan pengolahan menggunakan aplikasi Pic4D Trial dan software ground station
Resolusi dengan terbang ketinggian m/h (focus kamera/ketinggian). Terbang 320m resolusinya 6.5 cm
Quadcopter operasinya mudah bisa terbang vertical, tidak membutuhkan open space untuk take off dan landing. Plane
susah untuk open space take off landing rekomendasi 100 x 100 m, kecuali dimodifikasi jd vertical take off dan landing
atau bisa menggunakan parasut. Kekuatan terbang quadcopter 5000MH dapat 30 menit, sedangkan plane 6000MH
dapat sejam.
Pengembangan akan ditambahkan parasut untuk emergency landing.

- 55 -
SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015

ORAL PRESENTATION

Sistem Otomatisasi Operasional Penerimaan Data MODIS Terra-Aqua


di Stasiun Bumi Rumpin
Hasna Apriliyah1,*), Widya Eka Prativi1, Anisa Rahmandhani1, dan Kurnia Robiansyah1
1
Pusat Teknologi dan Data Penginderaan Jauh - LAPAN
*)
E-mail: hasnalia27@gmail.com

ABSTRAK Telah dibuat sistem otomatisasi untuk kegiatan operasional penerimaan data sensor MODIS satelit Terra-
Aqua oleh stasiun bumi penginderaan jauh Lembaga Penerbangan Antariksa Nasional (LAPAN) di Rumpin (Jawa
Barat) untuk mempermudah kerja operator sehingga lebih efektif dan efisien. Dengan adanya proses akusisi di stasiun
bumi Rumpin, maka ketersedian data citra MODIS Terra-Aqua menjadi lengkap untuk seluruh wilayah Indonesia
termasuk Aceh. Mengingat wilayah bagian Barat terutama Aceh tidak termasuk wilayah cakupan akuisisi stasiun bumi
Lapan di Parepare (Sulawesi Selatan). Penerimaan data MODIS di stasiun bumi Rumpin sebelumnya dilakukan secara
manual oleh tim operasional sehingga beresiko pada hilang atau terlambatnya data karena kesalahan manusia. Selain itu
dengan sistem otomatisasi dapat mempermudah untuk mendapatkan data malam hari. Makalah ini menguraikan sistem
penerimaan data MODIS Terra-Aqua di Stasiun Bumi Rumpin yang dilakukan secara otomatis dari penerimaan hingga
terkirimnya data ke dalam sistem pengolahan. Sistem otomatisasi ini meliputi penerimaan, transfer data, dan rename
data untuk pengolahan.

Kata kunci: MODIS Terra-Aqua, Stasiun Bumi, Otomatisasi

ABSTRACTHave been created automation system for operational activities Terra-Aqua MODIS satellite data
reception by Indonesian National Institute of Aeronautics and Space (LAPAN) remote sensing ground stationin Rumpin
(West Java) to facilitate the operators more effectively and efficiently. With the acquisition process in Rumpin ground
station, the availability of image data Terra-Aqua MODIS to be complete for the whole of Indonesia including Aceh.
Considering the region of Western Indonesia especially Aceh not include the coverage area of the acquisition LAPAN
ground station in Parepare (South Sulawesi). Terra-Aqua MODIS data reception in Rumpin ground stations was
previously done manually by operational team, so that the risk of loss or delay data because human error. In addition,
the automation system can make it easier to get the data evenings. This paper explain about Terra-Aqua MODIS data
system acceptance on Rumpin grouns stations that performed automatically from the reception until data delivered into
the processing system. The automation system includes data reception, data transfer, and rename the data for
processing.

Key Word: MODIS Terra-Aqua, Ground Station, Automation

1. PENDAHULUAN
Pemanfaatan data MODIS Terra-Aqua oleh LAPAN menjadi penting karena MODIS merupakan salah
satu sensor dari satelit Terra-Aqua yang dipergunakan oleh LAPAN untuk menyediakan informasi tematik
yang diturunkan dari data penginderaan jauh. MODIS Terra-Aqua memiliki dua keunggulan utama yaitu (a)
revisit time yang sangat tinggi yang memungkinkan kajian deret waktu (fenologi) terkait lingkungan dapat
dilaksanakan pada skala makro, serta (b) perolehan data (baik data asli maupun turunan) yang dapat
diperoleh secara gratis dari internet (Kementrian Lingkungan Hidup, 2009).
Data dari sensor MODIS yang merupakan instrumen operasi satelit Terra dan Aqua telah diterima oleh
stasiun bumi penginderaan jauh LAPAN secara real time menggunakan tracking antenna. LAPAN memiliki
2 buah antena yang terletak di stasiun bumi Parepare dan Rumpin. Sejak bulan Mei 2012 stasiun bumi
Parepare (Sulawesi Selatan) menerima data MODIS Terra-Aqua secara direct broadcast dengan cakupan
wilayah seluruh Indonesia kecuali wilayah Indonesia bagian barat terutama Aceh. Dikarenakan kurangnya
cakupan wilayah data dari Parepare maka dilakukan proses penerimaan data di stasiun bumi Rumpin, Bogor
(Jawa Barat) sejak bulan September 2015.
Umumnya proses penerimaan data satelit dimulai dengan akuisisi oleh antena, secara simultan sinyal
yang diterima antena masuk demodulator untuk diolah menjadi data mentah (raw data), kemudian data
mentah tersebut diolah menjadi data level 1 pada suatu sistem pengolahan sistematis. Sistem penerimaan
data MODIS Terra-Aqua di Stasiun Bumi Rumpin, antara akuisisi data oleh antena dan pengolahan secara
sistematis berada pada lokasi yang berbeda. Antena penerima atau AWS (acquisition workstation) berada di
Rumpin, Kabupaten Bogor dan pengolahan sistematis atau DPWS (data processing workstation) berada di
- 56 -
Sistem Otomatisasi Operasional Penerimaan Data Modis di Stasiun Bumi Rumpin (Apriliyah, H., et al.)

Pasar Rebo, Jakarta. Kedua subsistem tersebut terhubung oleh jaringan Virtual Private Network (VPN) dan
internet. Selanjutnya seorang operator melakukan pengoperasian penerimaan data diawali dengan
penjadwalan penerimaan pada antena, menjalankan perangkat lunak demodulator sesuai dengan konfigurasi
satelit, melakukan transfer data dari AWS ke DPWS, hingga data siap diolah (Sunarmodo, et al., 2015).
Pengoperasian penerimaan data MODIS Terra-Aqua di stasiun bumi Rumpin, Bogor (Jawa Barat)
awalnya dilakukan secara manual. Pengoperasian secara manual selain menyita waktu dan tenaga juga
beresiko menyebabkan hilangnya data terutama data malam hari, kurangnya keakuratan dataatau
terlambatnya data karena faktor kesalahan manusia (human error). Tidak adanya bukti rekaman proses
pengoperasian penerimaan data MODIS Terra-Aqua juga berdampak pada sulitnya menelusuri kesalahan
yang terjadi saat proses penerimaan data berlangsung. Untuk mengoptimalkan keberhasilan proses
pengoperasian penerimaan data MODIS Terra-Aqua di Stasiun bumi Rumpin, maka penulis
mengembangkan sistem otomatisasi operasional penerimaan data MODIS Terra-Aqua di stasiun bumi
Rumpin yang akan diuraikan pada makalah ini.
Menurut Williams (2009), otomatisasi adalah suatu cara yang dilakukan oleh manusia untuk
meningkatkan kemampuan dari peralatan-peralatan dan perangkat-perangkat yang digunakannya. Pada
umumnya otomatisasi mencakup pengoperasian atau perlakuan atau pengaturan oleh diri sendiri, secara
independen, dan tanpa intervensi manusia. Mesin, peralatan, perangkat, instalasi, dan sistem terlibat di
dalam otomatisasi yang semuanya merupakan wahana-wahana yang dikembangkan oleh manusia untuk
melaksanakan serangkaian aktifitas tanpa keterlibatan manusia dalam aktifitas-aktifitas tersebut (Nof, 2009).
Sistem otomatisasi penerimaan data MODIS Terra-Aqua di stasiun bumi Rumpin telah diaplikasikan pada
kedeputian penginderaan jauh LAPAN. Sistem otomatisasi meliputi beberapa rangkaian proses yang saling
terintegrasi mulai dari proses penjadwalan pada antena, menjalankan perangkat lunak demodulator, proses
pengiriman data (transfer data) dari server Rumpin ke server pengolahan data di Pekayon, hingga proses
pre-processing. Sistem otomatisasi yang penulis lakukan merujuk pada sistem otomatisasi penerimaan data
Landsat-8 di stasiun bumi Rumpin (Sunarmodo, et al., 2015).

2. METODE
2.1 Desain Sistem Secara Umum Sistem Otomatisasi Operasional Penerimaan Data MODIS
Terra-Aqua di Stasiun Bumi Rumpin
Diagram blok tugas dan proses otomatisasi operasional diperlihatkan pada Gambar 1. Pada sistem AWS
(acquisition workstation) terdapat 3 program yang berjalan, yaitu: program penjadwalan antena yang
berfungsi untuk menentukan waktu akuisisi satelit Terra dan Aqua, kendali demodulator untuk pengendalian
perangkat lunak dan pengaturan konfigurasi demodulator, sedangkan data hasil akuisisi merupakan data
misi yang berhasil diterima setiap akuisisi untuk selanjutnya dipersiapkan untuk diterima oleh DPWS (Data
Processing Workstation).

Gambar 1. Sistem Otomatisasi Operasional Penerimaan Data MODIS di Stasiun Bumi Rumpin

Pada DPWS terdapat 3 program yang berjalan, yaitu data yang diterima server NAS yang bertugas
melakukan transfer data dari AWS ke DPWS yang selanjutnya dipersiapkan untuk diterima di server
MODIS Terra-Aqua, sedangkan data diterima di server MODIS Terra-Aqua bertugas melakukan transfer
- 57 -
Sistem Otomatisasi Operasional Penerimaan Data Modis Terra-Aqua di Stasiun Bumi Rumpin (Apriliyah, H., et al.)

data dari server NAS ke server MODIS Terra-Aqua. Pada tahap pre-processing bertugas menyiapkan data
untuk dilakukan pengolahan.

2.2 Pengaturan Jadwal


Seperti ditunjukkan pada Gambar 2 di bawah, proses penjadwalan antena awalnya dilakukan dengan
mengunduh jadwal waktu akuisisi dari Celestrak yang dapat digunakan hingga 3 hari kedepan. Setelah
jadwal diunduh, kemudian menjalankan program untuk memperbaharui ephemeris. Ephemeris ini berguna
mengoreksi ketepatan lokasi satelit. Kemudian dilakukan penjadwalan kontak antara satelit Terra dan Aqua
dengan Stasiun Bumi Rumpin pada antena penerima. Jadwal yang digunakan adalah apabila elevasi satelit
lebih dari 5.

Gambar 2. Diagram Alir Operasional Pengaturan Jadwal Antena

Alasan mendasar pengaturan jadwal menggunakan elevasi lebih dari 5 merujuk pada hasil uji coba
akuisisi data Landsat-8 di stasiun bumi Rumpin (Nasution, et al. 2014). Hasil uji coba tersebut
menyimpulkan bahwa sistem antena bekerja sangat baik pada saat elevasi tinggi (elevasi maksimum 86,70)
dimana level sinyal yang diterima kuat dan kesalahan penerimaan data rendah. Sedangkan pada saat elevasi
rendah (elevasi maksimum 6,79) level sinyal yang diterima rendah dan kesalahan penerimaan data tinggi.

2.3 Demodulator
Kendali demodulator penerimaan data MODIS Terra-Aqua dan penerimaan data Landsat-8 di stasiun
bumi rumpin pada prinsipnya sama, perbedaannya hanya terletak pada saat konfigurasi satelit (Sunarmodo,
et al. 2015). Jika pada penerimaan data Landsat-8 dilakukan konfigurasi untuk penerimaan data satelit
Landsat-8, sedangkan untuk penerimaan data MODIS Terra-Aqua dilakukan konfigurasi satelit Terra dan
Aqua disertai dengan pengaturan cakupan wilayah akuisisi data. Apabila kode konfigurasi satelit 0 maka
satelit Terra atau Aqua melalui statiun bumi rumpin akan mengakuisisi data MODIS Terra-Aqua dengan
cakupan wilayah seluruh Indonesia, dan apabila kode konfigurasi satelit B maka satelit Terra atau Aqua
melalui stasiun bumi Rumpin akan mengakuisisi data dengan cakupan wilayah hanya bagian barat Indonesia.
Gambar 3 berikut menunjukkan diagram alir program kendali demodulator. Program akan membaca
jadwal perharinya, dengan menentukan jumlah lintas satelit dan waktunya. Kemudian ketika sudah masuk
waktu 4 menit sebelum waktu akuisisi, program akan membuka perangkat lunak demodulator dan
melakukan konfigurasi. Perangkat lunak demodulator berbentuk graphical user interface (GUI), sehingga
program kendali demodulator menggunakan GUI controller untuk menggerakan mouse dan memilih menu.
Apabila perangkat lunak demodulator mengalami masalah, maka secara otomatis program akan me-restart
perangkat lunak demodulator. Setiap selesai satu lintasan (akuisisi) program akan kembali membaca jadwa
lintasan selanjutnya. Apabila tidak ada lintasan lagi pada hari itu, program akan masuk kedalam mode
standby hingga komputer restart. Program dirancang untuk dapat dijalankan kapanpun tanpa konfigurasi,

- 58 -
Sistem Otomatisasi Operasional Penerimaan Data Modis di Stasiun Bumi Rumpin (Apriliyah, H., et al.)

artinya, ketika akuisisi sedang berjalan kemudian program baru dijalankan, maka program dapat langsung
menjalankan perangkat lunak demodulator (Sunarmodo, et al. 2015).

Gambar 3. Diagram Alir Kendali Demodulator (Sumber: Sunarmodo, et al., 2015)

2.4 Transfer Data


Terdapat dua proses operasional transfer data atau copy data, tahap pertama adalah proses transfer data
Raw dari demodulator di Rumpin ke server NAS operator di Pekayon. Tahap kedua transfer data dari server
NAS operator Pekayon ke server pengolahan data MODIS Terra-Aqua di Pekayon.

2.4.1 Transfer Data ke Server Pekayon


Program ini akan secara rekursif membaca direktori record data misi yang ada di PC demodulator
rumpin melalui jaringan VPN network untuk membaca file data misi yang berhasil diakuisisi. Record
direktori data misi difilter berdasarkan format extention finish. Jika record data misi yang berada di
rumpin tidak ada dalam record data misi yang berada di pekayon maka raw data akuisisi di rumpin
tersebut akan langsung di-copy atau di transfer ke dalam folder data misi yang berada di pekayon dan
dibuat recordnya. Diagram alir program peng-copy-an dapat dilihat pada Gambar 4 berikut:

Gambar 4. Diagram Alir Transfer atau Copy Data MODIS ke Server Pekayon

- 59 -
Sistem Otomatisasi Operasional Penerimaan Data Modis Terra-Aqua di Stasiun Bumi Rumpin (Apriliyah, H., et al.)

2.4.2 Transfer Data ke Server Pengolahan Data MODIS

Program peng-copy-an atau transfer data ini membaca seluruh file yang berada di dalam direktori
record data misi. Selanjutnya file-file yang berada di dalam direktori record data misi di filter
berdasarkan format extention finish. Extention finish tersebut menandakan raw data MODIS Terra-Aqua
hasil akuisisi stasiun bumi Rumpin berhasil di-transfer dari demodulator ke NAS. Selain akuisisi Terra
dan Aqua stasiun bumi Rumpin mengakuisisi data Landsat oleh karena itu program peng-copy-an
memfilter hanya data record Terra dan Aqua saja yang akan dibaca dan diolah. Setelah mendapatkan
data-data file yang akan diolah terkahir sebelum di copy ke folder pengolahan data MODIS Terra-Aqua
dibandingkan dahulu waktu akuisisi stasiun bumi Rumpin apakah ada yang berdekatan dengan waktu
pengolahan data MODIS Terra-Aqua dari akuisi stasiun bumi Parepare dengan asumsi waktu yang
berdekatan 600 detik atau 10 menit yaitu merupakan selang waktu antara stasiun bumi Rumpin dan
stasiun bumi Parepare dalam melakukan akuisisi satelit Terra dan Aqua. Jika ada maka akan dicek raw
data misi akuisisi Rumpin bila ada maka akan dibuat dibuat record-nya saja. Akan tetapi jika tidak ada
yang berdekatan waktunya maka akan dicek raw data misi akuisisi rumpin bila ada maka akan di-copy ke
dalam pengolahan data MODIS Terra-Aqua dan dibuat recordnya. Diagram alir program peng-copy-an
data ke server pengolahan MODIS Terra-Aqua dapat dilihat pada Gambar 5 berikut :

Gambar 5. Diagram Alir Transfer atau Copy Data MODIS ke Server Pengolahan Data

3. HASIL PEMBAHASAN

Penerapan otomatisasi sistem operasional penerimaan data MODIS Terra-Aqua di stasiun bumi Rumpin,
Bogor, Jawa Barat sudah berjalan sebagaimana yang diharapkan. Berikut uraian hasil pengujian sistem
otomatisasi operasional penerimaan data MODIS Terra-Aqua di stasiun Bumi Rumpin:

3.1 Efisiensi Waktu Operasional Penerimaan Data MODIS Terra-Aqua di Stasiun Bumi
Rumpin
Sistem operasional penerimaan data MODIS Terra-Aqua di stasiun bumi rumpin dilakukan melalui
beberapa tahapan. Tahap pertama adalah penjadwalan antena yang dilakukan di komputer operator antena.
Tahap kedua merupakan tahap terpenting karena pada tahap ini melibatkan program demodulator yang
terhubung langsung dengan antena untuk proses akuisisi data dan pengiriman data MODIS dari satelit Terra
- 60 -
Sistem Otomatisasi Operasional Penerimaan Data Modis di Stasiun Bumi Rumpin (Apriliyah, H., et al.)

dan Aqua, operasional pada tahap ini menggunakan demodulator Single Board Computer (SBC) Avtec,
Jaringan VPN 12 Mbps. Gambar 6 memperlihatkan program monitoring yang digunakan untuk operasional
akuisisi data yang dilakukan di sistem kendali demodulator.

Gambar 6. Sistem Kendali Demodulator

Gambar 7. Program Otobot1.3.Exe Memberikan Informasi Akuisisi Data Terra 23 Oktober 2015
Pass (024109-025430) Berhasil Diterima dan 1 File akan dicopy

Gambar 7 merupakan screen shoot gambar program otobot1.3.exe. Program otobot1.3.exe digunakan
untuk mengendalikan otomatisasi operasional di demodulator (lihat Gambar 3) diagram alir kendali
demodulator.
Tahap ketiga melibatkan operasional pengiriman data (transfer file) MODIS Terra-Aqua dari server
Rumpin ke server Pekayon, proses transfer file ini bertujuan untuk menampung data MODIS Terra-Aqua
yang akan digunakan sebagai data cadangan (backup), data MODIS Terra-Aqua tertransfer merupakan data
Raw yang diperoleh dari hasil akuisisi data yang dilakukan di demodulator SBC Avtec. Perhatikan Gambar 8
Screen shoot program pengcopyyang digunakan untuk mengcopy data raw dari demodulator di server
Rumpin ke server NAS di Pekayon. (lihat Gambar 4) diagram alir program transfer file ke server Pekayon
sebagai backup.

- 61 -
Sistem Otomatisasi Operasional Penerimaan Data Modis Terra-Aqua di Stasiun Bumi Rumpin (Apriliyah, H., et al.)

Gambar 8. Screen Shoot Program Transfer Data ke Server Pekayon

Tahap keempat merupakan tahap terakhir dari keseluruhan rangkaian proses operasional, tahap ini
menggunakan server NAS, dimana data yang telah tertampung di server Pekayon akan dikirim ke server
pengolahan data MODIS Terra-Aqua yang ada di Pekayon (lihat Gambar 5. Diagram alir transfer file ke
server pengolahan data MODIS Terra-Aqua).

Gambar 9. Screen shoot program copy atau transfer data ke server pengolahan data MODIS

Keseluruhan sub sistem pada tahapan proses operasional tergambar dalam Gambar 10 skema jaringan
stasiun bumi Rumpin.

Gambar 10. Skema Jaringan Operasional Penerimaan Data MODIS di Stasiun Bumi Rumpin

- 62 -
Sistem Otomatisasi Operasional Penerimaan Data Modis di Stasiun Bumi Rumpin (Apriliyah, H., et al.)

Dalam rangkaian proses operasional penerimaan data MODIS Terra-Aqua di stasiun bumi Rumpin pasti
melibatkan waktu dan tenaga dari seorang operator untuk menjalankan sistem tersebut. Tabel 1 dibawah
merupakan hasil perbandingan antara operasi secara manual dengan sistem otomatisasi data dengan total data
1,17 GB. Pada tabel tersebut bisa kita liat penerimaan data akuisisi MODIS Terra-Aqua dengan sistem
otomatisasi lebih efisien dibanding dengan sistem manual sehingga operator bisa lebih cepat dalam membuat
laporan penerimaan data.

Tabel 1. Perbandingan Lamanya Waktu Operasional Penerimaan Data MODIS Secara Manual dan Otomatis

No Proses Manual Otomatis


1 Penjadwalan Antenna 103 s 17 s
2 Open Program Demodulator 47 s 7s
3 File Transfer ke Server NAS Pekayon 869 s 643 s
4 File Preparation 161 s 22 s
Total 1170 s 689 s

Tabel 2. Tingkat Keberhasilan Penerimaan Data MODIS Secara Manual Dan Otomatis

Keberhasilan Bulan September Keberhasilan Bulan Oktober


No Nama Satelit
(Masih Manual) (Otomatis)
1 AQUA 67 % 96 %
2 TERRA 80 % 96 %

3.2 Cakupan wilayah perolehan data MODIS

Berdasarkan data pada Tabel 3 mengenai perbandingan hasil perolehan data MODIS Terra-Aqua untuk
cakupan wilayah Indonesia pada stasiun bumi Parepare dan Rumpin maka dapat disimpulkan bahwa
operasional penerimaan data MODIS Terra-Aqua di stasiun bumi Rumpin memang perlu dilakukan agar
perolehan data MODIS Terra-Aqua menjadi lengkap untuk seluruh wilayah Indonesia termasuk wilayah
Indonesia bagian barat terutama Aceh.

Tabel 3. Perbandingan Hasil Perolehan Data MODIS Terra-Aqua untuk Cakupan Wilayah Indonesia
Pada Stasiun Bumi Parepare Dan Rumpin

No. Tanggal Waktu Citra MODIS dari Stasiun Citra MODIS dari Stasiun
(UTC) Bumi Parepare Bumi Rumpin

1. 23-10-2015 01:05

- 63 -
Sistem Otomatisasi Operasional Penerimaan Data Modis Terra-Aqua di Stasiun Bumi Rumpin (Apriliyah, H., et al.)

No. Tanggal Waktu Citra MODIS dari Stasiun Citra MODIS dari Stasiun
(UTC) Bumi Parepare Bumi Rumpin

2. 23-10-2015 02:40

3. 21-10-2015 04.11

4 23-10-2015 13:23

5 23-10-2015 14:59

- 64 -
Sistem Otomatisasi Operasional Penerimaan Data Modis di Stasiun Bumi Rumpin (Apriliyah, H., et al.)

Gambar 11. Lokasi dan Cakupan Stasiun Bumi Penginderaan Jauh LAPAN (Nasution, et al., 2014)

Pada Gambar 11 tergambar bahwa stasiun bumi di Parepare mampu mencakup wilayah timur hingga
barat Indonesia, namun tidak sampai wilayah Aceh. Oleh karena itu stasiun bumi di Rumpin dibangun untuk
dapat mencakup wilayah Aceh dan sekitarnya (Nasution, et al., 2014).

3.3 Bukti Rekaman Proses Operasional Penerimaan Data MODIS Terra-Aqua di Stasiun
Bumi Rumpin
Agar dapat menelusuri kesalahan yang terjadi saat proses operasional penerimaan data MODIS Terra-
Aqua, maka dibuat sistem logging yang merekam keseluruhan proses otomatisasi mulai dari loading
configuration hingga proses transfer data atau copy data ke sistem pengolahan seperti ditunjukkan pada
Gambar 12 berikut:

Gambar 12. Catatan Logging Operasional Penerimaan Data MODIS Terra-Aqua di Stasiun Bumi Rumpin

4. KESIMPULAN
Dengan dioperasikannya sistem otomatis pada sistem penerimaan data MODIS Terra-Aqua maka penulis
menyimpulkan beberapa keuntungan, yaitu: lebih efisien (cepat), dapat melakukan akuisisi data malam,
meminimalisir kesalahan akibat human error, mengurangi beban kerja operator, termonitor lebih baik dan
mudah, dan keseluruhan proses operasional terekam dalam logging sehingga mudah untuk menelusuri
kesalahan yang terjadi.

UCAPAN TERIMAKASIH
Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas limpahan rahmat dan
karunia-Nya sehingga makalah ini dapat terselesaikan. Tak lupa pula penulis mengirimkan salam dan
shalawat kepada Nabi Besar Muhammad SAW yang telah membawa umat Islam ke jalan yang diridhoi Allah
SWT.
- 65 -
Sistem Otomatisasi Operasional Penerimaan Data Modis Terra-Aqua di Stasiun Bumi Rumpin (Apriliyah, H., et al.)

Terwujudnya makalah yang berjudul Sistem Otomatisasi Operasional Penerimaan Data MODIS di
Stasiun Bumi Rumpin ini tidak lepas dari partisipasi dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu,
penulis ingin menyampaikan terima kasih secara khusus kepada Ibu Noriandini Dewi Salyasari, S.Kom
selaku penanggung jawab bidang operasional, Bapak Wismu Sunarmodo, S.T selaku pembimbing
pengembangan program dan Bapak Budhi Gustiandi, S.T dan Andy Indradjad, S.Si., M.Eng selaku
Pembimbing dalam penulisan makalah.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis
mohon maaf apabila ada kesalahan dalam penulisan makalah ini. Kritik dan saran kami terima demi
penyempurnaan penulisan dimasa yang akan datang. Besar harapan penulis, semoga makalah ini dapat
bermanfaat dan dapat bernilai positif bagi pihak yang membutuhkan.

DAFTAR PUSTAKA
Kementrian Lingkungan Hidup (2009). Kajian Manajemen Data Spasial dalam Unit Kerja KNLH. Cited in
http://geospasial.menlh.go.id/assets/EnterpriseGIS/KajianManajemenDataSpasialKNLH.pdf [21 Oktober 2015].
Nof, S.Y. (2009). Automation: What It Means to Us Around The World. In S.Y. Nof (ed), Springer Handbook of
Automation (Berlin Heidelberg: Springer Verlag), 3:13-52.
Sunarmodo, W., Sirin, D.N.S., Gunawan, H., dan Widipaminto, A. (2014). Rancang Bangun Sistem Otomatisasi
Penerimaan Data Satelit Landsat 8 di Stasiun Bumi Rumpin.
Nasution, A.S., Sirin, D.N.S., Gunawan, H., dan Widipaminto, A. (2014). Sertifikasi Sistem Stasiun Bumi Pengindraan
Jauh Lapan untuk Penerimaan Data Landsat-8. Seminar Nasional Pengindraan Jauh.
Williams, T.J. (2009). Advances In Industrial Automation: Historical Perspectives. In S.Y. Nof (ed). Springer
Handbook of Automation (Berlin Heidelberg: Springer Verlag), 2:5-11.

*) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukan pada saat diskusi presentasi ilmiah

BERITA ACARA
PRESENTASI ILMIAH SINASINDERAJA 2015

Moderator : Ayom Widipaminto, S.T., M.T.


Judul Makalah : Sistem Otomatisasi Operasional Penerimaan Data MODIS Terra-Aqua di Stasiun Bumi Rumpin
Pemakalah : Hasna Apriliyah, A.Md.
Jam : 15.30 16.30 WIB
Tempat : Meeting Room E-F
DISKUSI :

Marendra Eko B (Pustekdata, LAPAN)


Mengapa terdapat dua data yang sama, dengan jeda 10 menit, dan hanya salah satu yang diambil?
Apakah software yang digunakan merupakan software yang dikembangkan sendiri atau software yang sudah ada dan
diotomatisasi?

Jawaban:
10 menit itu merupakan selang waktu (jeda) antara Stasiun Bumi Parepare dengan Stasiun Bumi Rumpin dalam
mengakuisisi data satelit Terra/Aqua. Jika salah satu stasiun bumi sudah mengirimkan data hasil akuisisi, maka secara
otomatis software akan memblok pengiriman dari stasiun bumi lainnya. Sehingga tidak terdapat dua data yang sama.
Software ini merupakan pengembangan dari software yang sudah diterapkan untuk akuisisi data Landsat (yang
dilakukan oleh Wismu dkk), dengan menambahkan sistem transfer file hingga ke pengolahan. Dengan .rename,
.aqua, .MODIS, dan .transfer untuk pengolahan berikutnya.

Rahmat Arief (Pustekdata, LAPAN)


Mohon jelaskan kembali perbedaan antara pengolahan manual dan pengolahan otomatis?
Jelaskan apa saja yang termasuk dalam human error?

Jawaban:
Pengolahan secara manual adalah pengolahan yang dilakukan oleh operator untuk mengerjakan setiap tahapannya, yaitu
update ephimeris, cek tle, jadwal satelit yang akan diakuisisi. Sedangkan, pada pengolahan secara otomatis adalah
semua langkah tersebut diubah dalam satu script menggunakan GUI sehingga secara otomatis komputer (kursor) akan
bergerak sesuai langkah yang telah diprogram. Human error atau kesalahan manusia yang bisa terjadi pada saat akuisisi
antara lain, terlewatnya waktu akuisisi dikarenakan operator sedang berhalangan, misal sedang di luar ruangan, makan,
dsb.

- 66 -
SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015

ORAL PRESENTATION

Konversi Hamburan Balik Terkalibrasi Radiometrik untuk Data


ALOS-PALSAR dan Pengembangan Modul Plugin QGIS
untuk Otomatisasi Pengolahannya
Katmoko Ari Sambodo1,*)
1
Pusat Teknologi dan Data Penginderaan Jauh - LAPAN
*)
E-mail: katmoko_ari@lapan.go.id

ABSTRAK - Beberapa tahun terakhir ini data penginderaan jauh SAR (Synthetic Aperture Radar) menjadi sumber data
yang sangat penting dalam berbagai aplikasi penginderaan jauh karena sifatnya yang dapat menembus awan dan dapat
beroperasi siang-malam dalam segala kondisi cuaca. Pada sistem sensor aktif SAR seperti ini, seberapa besar energi
yang akan mengenai target dapat diatur, dan seberapa besar bagian energi yang dihamburbalikkan oleh objek dan
diterima kembali oleh sensor dapat diukur. Untuk menyatakan besarnya proporsi energi yang dihamburbalikkan
tersebut ada berbagai metode, salah satunya adalah dengan Gamma Naught yang banyak direkomendasikan terutama
untuk aplikasi kehutanan. Gamma Naught didefinisikan sebagai besaran hamburan balik sinyal radar (radar
backscatter) per unit area terhadap arah datang sinyal radar (tegak lurus dengan arah slant/slant range) dan dinyatakan
dengan desibel. Penelitian ini bertujuan untuk melakukan konversi hamburan balik yang terkalibrasi secara radiometrik
tersebut untuk data ALOS PALSAR mosaik yang didistribusikan oleh JAXA. Lebih jauh mengingat belum tersedianya
perangkat lunak non-komersial untuk keperluan tersebut, penelitian ini juga merancang suatu modul perangkat lunak
yang dapat diintegrasikan ke dalam open source software QGIS yang sudah sangat banyak dipakai oleh masyarakat
luas. Modul yang dikembangkan dikemas dengan antarmuka (user interface) yang menarik dan dapat diaplikasikan
untuk pengolahan data tunggal atau data multi-year baik secara manual maupun otomatis. Modul tersebut telah
diujicobakan dengan menggunakan data ALOS PALSAR mosaik dengan resolusi 25 meter untuk sebagian area
Sumatera dan rencananya akan didistribusikan secara luas kepada masyarakat yang ingin menggunakannya.

Kata kunci: Synthetic Aperture Radar, kalibrasi radiometrik, gamma naught, ALOS PALSAR, plugin QGIS

ABSTRACT In recent years, Synthetic Aperture Radar (SAR) has become a very important data source in various
remote sensing applications because it can penetrate clouds and can operate day and night in all weather conditions. In
active systems like SAR, how much energy is incident upon target area can be controlled, and what proportion of that
energy is returned to the sensor can be quantified. To quantify the proportion of returned energy, various methods have
been proposed. Gamma Naught was widely recommended primarily for forestry applications. Gamma Naught is
defined as radar backscatter per unit area of the incident wavefront (perpendicular to slant range ) and expressed in
decibels. This study aims to do the radiometricallycalibrated backscatter conversion for ALOS PALSAR mosaic data
distributed by JAXA. Furthermore, we also developed a software module that can be integrated into QGISopen source
software. Module developed with an interactive GUI (graphical user interface) and can be applied to process both a
single datasetand multi-year dataset, manually or automatically. The module was tested using ALOS PALSAR mosaic
data with 25m resolution which cover most areas of Sumatra and will be distributed widely to the public users.

Keywords: Synthetic Aperture Radar, radiometric calibration, gamma naught, ALOS PALSAR, QGIS plugin

1. PENDAHULUAN
Penginderaan jauh SAR (Synthetic Aperture Radar) merupakan salah satu penginderaan jauh sistem aktif
yang menggunakan daerah gelombang mikro dari spektrum gelombang elektromagnetik dengan frekuensi
antara 0.3 GHz - 300 GHz (atau sama dengan panjang gelombang antara 1 m - 1 mm). Beberapa tahun
terakhir ini data penginderaan jauh SAR (Synthetic Aperture Radar) menjadi sumber data yang sangat
penting dalam berbagai aplikasi penginderaan jauh karena sifatnya yang dapat menembus awan dan dapat
beroperasi siang-malam dalam segala kondisi cuaca (Tso dan Mather, 2001; Woodhouse, 2006; JAXA,
2010; Hoekman et al., 2010). Hal ini dapat menjadi solusi yang tepat khususnya bagi sebagian daerah
Indonesia yang sering diliputi oleh awan, asap ataupun kabut, yang mengakibatkan penginderaan jauh sistem
optis sering terkendala.
Sebelum dipergunakan dalam berbagai aplikasi selanjutnya, data SAR perlu dilakukan berbagai kalibrasi
terlebih dahulu baik geometrisnya maupun radiometrisnya. Tulisan ini lebih memfokuskan pada pembahasan
kalibrasi radiometrik data SAR. Tujuan dari kalibrasi data SAR adalah untuk menghasilkan citra SAR yang
mana nilai-nilai piksel yang terkandung di dalamnya terkait secara langsung dengan hamburan balik radar

- 67 -
Konversi Hamburan Balik Terkalibrasi Radiometrik untuk Data ALOS-PALSAR dan Pengembangan Modul Plugin QGIS untuk
Otomatisasi Pengolahannya (Sambodo, K.A.)

(radar backscattter) dari objek-objek dalam citra tersebut. Meskipun citra SAR yang tidak terkalibrasi sudah
dapat dipakai untuk penggunaan/analisis secara kualitatif, namun citra SAR yang terkalibrasi menjadi sangat
penting dalam penggunaan/analisis secara kuantitatif (S1TBX, 2014).
Pemrosesan data SAR secara tipikal yang memproduksi citra level 1, tidak termasuk koreksi-koreksi
radiometrik dan karenanya menyisakan bias radiometrik yang signifikan. Oleh karena itu, perlu dilakukan
koreksi radiometrik terhadap cita SAR sedemikian hingga benar-benar merepresentasikan hamburan balik
dari objek-objek permukaan yang merefleksikannya. Koreksi radiometrik juga diperlukan apabila dilakukan
komparasi citra-citra SAR yang diakuisisi dengan menggunakan sensor SAR yang berbeda, atau yang
diakuisisi dari sensor yang sama namun berbeda waktu, dalam mode yang berbeda, atau yang diproses
menggunakan prosesor yang berbeda (S1TBX, 2014).
Penelitian ini mencoba untuk melakukan pemrosesan konversi dari nilai Digital Number (DN) data SAR
menjadi nilai hamburan balik yang terkalibrasi secara radiometrik (radiometrically calibrated backscatter)
dengan menggunakan data ALOS-PALSAR. Bersamaan dengan itu, penelitian ini juga mengemas metode
pemrosesan awal ALOS-PALSAR tersebut ke dalam suatu modul plugin QGIS. QGIS merupakan salah satu
software open source yang banyak digunakan untuk pengolahan data-data SIG (Sistem Informasi Geografis)
dan citra penginderaan jauh. Namun demikian, khususnya untuk data-data SAR plugin yang tersedia saat ini
masih sangat terbatas. Sehingga dengan adanya modul tambahan yang dihasilkan dari penelitian ini dapat
lebih memperkaya dan melengkapi kemampuan QGIS dalam melakukan pengolahan data SAR. Dan
rencananya akan didistribusikan secara luas kepada masyarakat yang ingin menggunakannya.

2. METODE
2.1 Metode Konversi Hamburan Balik yang Terkalibrasi Radiometrik (Radiometrically
Calibrated Backscatter) Data ALOS PALSAR Mosaik
Kalibrasi data SAR adalah suatu proses untuk mengkonversikan data amplitudo linear SAR menjadi
suatu data energi (power) yang terkalibrasi secara radiometrik. Input datanya adalah berupa Digital Number
(DN) dan outputnya berupa 0 , 0 , atau 0 yang merupakan rasio antara energi yang dihamburbalikkan
oleh sebidang permukaan objek dengan energi yang dikirimkan oleh antena SAR ke bidang permukaan objek
tersebut (Gambar 1) (ASF Engineering, 2015).

Gambar 1. Diagram Kalibrasi Data SAR

Untuk data ALOS-PALSAR mosaik yang didistribusikan oleh JAXA (Japan Aerospace Exploration
Agency), nilai Digital Number (DN) tersebut direpresentasikan dalam 16 bit (JAXA, 2012). Nilai DN
- 68 -
SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015

tersebut perlu dikonversi lebih lanjut salah satunya menjadi nilai Gamma Naught yang merepresentasikan
besaran hamburan balik sinyal radar (radar backscatter) per unit area terhadap arah datang sinyal radar
(tegak lurus dengan arah slant /slant range) dengan satuannya adalah desibel [dB] (Shimada, et al., 2009;
JAXA, 2012; Motohka, 2012; Sambodo dan Indriasari, 2013):

0 10 * log10 DN 2 CF [dB] (1)


Dimana:
CF 83.0 [dB] adalah faktor kalibari (calibration factor), dan ... merepresentasikan nilai rata-rata di
dalam ukuran jendela (window size) 3x3.

2.2 Metode Pengembangan Plugin QGIS


Diagram alir plugin QGIS yang dikembangkan dalam penelitian ini ditunjukkan pada Gambar 2. Dalam
plugin ini, diberikan 2 opsi pengolahan data yakni pengolahan data tahun tunggal dan pengolahan data tahun
jamak. Pengolahan data tahun jamak terutama akan mempermudah pengguna yang akan melakukan berbagai
analisis multi-temporal seperti misalnya perubahan kondisi hutan, perkebunan, pertanian, dan lain-lain.
Pertama-tama data-data input ditentukan baik itu data citra SAR maupun data masking-nya. Data masking ini
berisi informasi yang menyatakan bahwa nilai-nilai piksel yang terkandung dalam citra SAR terkait adalah
nilai hasil pengukuran yang valid atau tidak valid/tidak ada data (seperti misalnya area lautan dan area lain
yang kemiringannya sangat ekstrem).

INPUT DATA :
- Data ALOS PALSAR tahun pertama
- Data ALOS PALSAR tahun kedua
- Data Mask

Penggunamemilihulang data

Beritanda Error pada


pasangan data tersebut

Cekketigatipe file
tersebutmencakup area
yang sama ? tidak

ya

Pengguna menentukan lokasi dan format file


output

Konversi Digital Number ke Gamma Naught

Mosaik data

Hasil KonversiHamburanBalik
yang TerkalibrasiRadiometrikdan
TelahTermosaik

Gambar 2. Diagram Alir Plugin QGIS yang Dikembangkan

Selanjutnya program akan mengecek apakah file-file yang dipilih tersebut merupakan file yang valid (data
ALOS PALSAR yang valid) dan apakah ketiga tipe file tersebut (data tahun pertama, data tahun kedua, dan
- 69 -
Konversi Hamburan Balik Terkalibrasi Radiometrik untuk Data ALOS-PALSAR dan Pengembangan Modul Plugin QGIS untuk
Otomatisasi Pengolahannya (Sambodo, K.A.)

data mask) mencakup area yang sama. Apabila terdapat error, maka akan diberi tanda dan memberikan
kesempatan kepada pengguna untuk memperbaiki pilihan file-file tersebut. Selanjutnya pengguna dapat
menentukan format file (format GeoTIFF, ENVI, atau ERS), nama dan lokasi file output hasil
pengolahannya. Proses selanjutnya adalah melakukan konversi hamburan balik yang terkalibrasi radiometrik
dengan menggunakan rumus (1) dan memosaik hasil-hasilnya sehingga menjadi satu kesatuan yang akan
memudahkan pengguna melakukan analisis selanjutnya dalam berbagai aplikasi penginderaan jauh.
Bahasa pemrograman yang dipergunakan dalam mengembangkan plugin QGIS ini menggunakan Python
versi 3.4 dengan menggunakan beberapa library tambahan yakni NumPy dan GDAL (Geospatial Data
Abstraction Library) (QGIS Project, 2015; GDAL/OGR in Python, 2015).

2.3 Data yang Dipergunakan


Data sampel SAR yang dipergunakan untuk melakukan eksperimen konversi hamburan balik yang
terkalibrasi radiometrik ditunjukkan pada Gambar 3. Data ini merupakan data citra ALOS-PALSAR,
L-band, resolusi 25 meter, polarisasi HV, pada sebagian wilayah Provinsi Riau dan Sumatera Barat. Data
ALOS-PALSAR yang digunakan adalah hasil perekaman tahun 2009 dan 2010 dan telah melalui proses
orthorektifikasi dan koreksi slope yang dilakukan oleh JAXA-EORC (Japan Aerospace Exploration Agency
Earth Observation Research Center) (Shimada dan Ohtaki, 2010).

a) Data ALOS-PALSAR Tahun 2009

- 70 -
SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015

b) Data ALOS-PALSAR Tahun 2010

c) Data Mask

Gambar 3. Data ALOS-PALSAR yang Dipergunakan


- 71 -
Konversi Hamburan Balik Terkalibrasi Radiometrik untuk Data ALOS-PALSAR dan Pengembangan Modul Plugin QGIS untuk
Otomatisasi Pengolahannya (Sambodo, K.A.)

3. HASIL PEMBAHASAN
3.1 Hasil Konversi Hamburan Balik yang Terkalibrasi Radiometrik (Radiometrically
Calibrated Backscatter) Data ALOS PALSAR Mosaik

Hasilkonversi hamburan balik yang terkalibrasi radiometrik (Radiometrically Calibrated Backscatter)


data ALOS PALSAR Mosaik dengan menggunakan data input pada Gambar 3 ditunjukkan pada Gambar 4.
Selain proses konversi, data tersebut telah secara otomatis dimosaik sehingga memudahkan penggunaan
selanjutnya. Dari hasil tersebut juga dapat dilihat bahwa perbedaan (bias) kenampakan antar citra terutama
citra sebelah kanan atas dengan citra lainnya dapat dihilangkan sehingga menghasilkan mosaik yang mulus
(seamless).

a) Hasil Tahun 2009

- 72 -
SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015

b) Hasil Tahun 2010

c) Hasil Mask

Gambar 4. Hasil Konversi Hamburan Halik Yang Terkalibrasi Radiometrik


(Radiometrically Calibrated Backscatter) data ALOS-PALSAR dan Mosaiknya

- 73 -
Konversi Hamburan Balik Terkalibrasi Radiometrik untuk Data ALOS-PALSAR dan Pengembangan Modul Plugin QGIS untuk
Otomatisasi Pengolahannya (Sambodo, K.A.)

Untuk lebih memahami bagaimana perubahan nilai-nilai piksel antara citra sebelum dan sesudah
kalibrasi, maka dilakukan evaluasi dengan cara mengambil beberapa sampel tutupan lahan seperti yang
ditunjukkan pada Gambar 5. Sampel tutupan lahan yang diambil di area sekitar propinsi Riau diantaranya
adalah hutan, perkebunan akasia, perkebunan sawit, perkebunan karet, kelapa, area bekas terbakar, dan area
tanah terbuka. Di samping itu, untuk mengamati kestabilan nilai hasil kalibrasi, pemilihan sampel tersebut
dilakukan dengan memperhatikan lokasi-lokasi tutupan lahan dari data kedua tahun tersebut yang relatif
sama (tidak mengalami perubahan jenis tutupan lahannya).
Nilai-nilai statistik dari beberapa sampel tutupan lahan sebelum dan sesudah kalibrasi dirangkum dalam
Tabel 1. Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa nilai Digital Number (16 bit) pada citra input telah
dikonversi menjadi Gamma Naught dalam kisaran -30 (dB) ~ -5 (dB). Nilai rata-rata tanah terbuka di
kisaran -20 (dB) merupakan nilai rata-rata terendah dari ketujuh tutupan lahan yang diamati dan dalam
citranya ditunjukkan dengan warna yang gelap. Nilai rata-rata bekas terbakar menunjukkan nilai yang
lebih tinggi dibanding tanah terbuka karena biasanya pada area tersebut telah ditumbuhi vegetasi yang
tidak terlalu tinggi seperti rumput ataupun semak belukar sehingga menimbulkan efek hamburan balik ke
arah sensor yang lebih besar. Nilai rata-rata Gamma Naught pada vegetasi seperti kelapa dan sawit
relatif lebih tinggi dan keduanya dekat nilainya mengingat keduanya memiliki karakteristik kanopi yang
hampir sama. Kenampakan pada citranya untuk kedua tutupan lahan ini juga hampir serupa. Tutupan lahan
hutan dan akasia memiliki nilai rata-rata gamma naught yang hampir sama dan lebih tinggi dibanding
sawit dan kelapa. Hal ini disebabkan proses hamburan balik sinyal radar yang lebih kompleks dan lebih
besar pada kedua jenis tutupan lahan tersebut. Tutupan lahan karet memiliki nilai Gamma Naught yang
paling tinggi diantara ketujuh tutpan lahan yang diamati dan hal ini dapat pula dikonfirmasikan dalam
citranya yakni memiliki kecerahan yang tertinggi.
Apabila dilihat dan dibandingkan nilai statistik dari data dua tahun tersebut (tahun 2009 dan tahun 2010),
dapat diketahui bahwa terjadi sedikit perbedaan nilai rata-ratanya. Hal ini kemungkinan dapat disebabkan
memang telah terjadi sedikit perubahan tutupan lahan ataupun perubahan kondisi musiman dari kedua data
tersebut. Perbedaan terkecil pada hutan yakni naik berkisar 0.03 (dB), sedangkan yang terbesar pada
bekas terbakar yakni naik berkisar 0.69 (dB).

Gambar 5. Lokasi Sampel Tutupan Lahan yang Digunakan untuk Mengevaluasi Hasil

Tabel 1. Nilai Statistik pada Beberapa Sampel Tutupan Lahan Sebelum dan Sesudah
Konversi Hamburan Halik yang Terkalibrasi Radiometrik (Radiometrically Calibrated Backscatter)

Sampel Nilai Data Tahun 2009 Data Tahun 2010


Tutupan Statistik Sebelum Sebelum
Lahan (Digital Number) Sesudah (dB) (Digital Number) Sesudah (dB)
Hutan Minimum 1795 -14.44 1773 -14.19
Maksimum 6186 -9.29 6959 -9.76
Rata-rata 3544.36 -11.96 3557.91 -11.93
Std. Deviasi 499.29 0.54 499.50 0.55
- 74 -
SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015

Sampel Nilai Data Tahun 2009 Data Tahun 2010


Tutupan Statistik Sebelum Sebelum
Lahan (Digital Number) Sesudah (dB) (Digital Number) Sesudah (dB)
Akasia Minimum 1512 -16.78 1513 -15.74
Maksimum 5719 -11.05 5066 -10.79
Rata-rata 3005.94 -13.40 3164.02 -12.95
Std. Deviasi 426.61 0.61 438.03 0.56
Sawit Minimum 1097 -18.13 1159 -17.34
Maksimum 4477 -12.34 4391 -11.80
Rata-rata 2434.65 -15.24 2620.35 -14.60
Std. Deviasi 364.02 0.75 387.03 0.71
Karet Minimum 1606 -17.17 1710 -16.11
Maksimum 7622 -8.12 7095 -7.77
Rata-rata 3761.12 -11.45 3902.59 -11.13
Std. Deviasi 674.74 0.91 712.63 0.93
Kelapa Minimum 1540 -16.47 1404 -18.14
Maksimum 5516 -11.32 5253 -10.34
Rata-rata 2792.81 -14.04 2822.54 -13.95
Std. Deviasi 418.25 0.72 432.87 0.75
Bekas
terbakar Minimum 1229 -18.09 1305 -16.41
Maksimum 4702 -11.30 4890 -11.45
Rata-rata 2625.63 -14.67 2817.97 -13.98
Std. Deviasi 544.36 1.46 439.52 0.85
Tanah
Terbuka Minimum 606 -23.60 672 -23.25
Maksimum 2211 -18.15 2561 -17.11
Rata-rata 1292.45 -20.73 1339.66 -20.43
Std. Deviasi 211.27 0.85 217.81 0.84

3.2 Hasil Pengembangan Plugin QGIS


Hasil pengembangan plugin QGIS ditunjukkan pada Gambar 6. Setelah proses instalasi plugin, plugin
tersebut dapat dipanggil dari menu Plugins- Convert PALSAR DN to Gamma Mosaic. Pengguna
kemudian dapat menginput dataset (data tahun pertama, data tahun kedua, dan data mask) baik secara satu
persatu dengan memilih masing-masing file tersebut dari hardisk maupun dengan menyiapkan suatu file teks
yang berisi daftar lokasi pasangan file-file tersebut dalam hardisk. Setelah itu program akan mengecek
apakah file-file yang dipilih tersebut merupakan file yang valid dan apakah ketiga tipe file tersebut (data
tahun pertama, data tahun kedua, dan data mask) mencakup area yang sama. Apabila terdapat error, maka
akan ditampilkan dalam warna merah dan memberikan kesempatan kepada pengguna untuk memperbaiki
pilihan file-file tersebut. Selanjutnya pengguna dapat menentukan format file, nama dan lokasi file output
hasil pengolahannya. Dalam hal ini disediakan tiga format file yang dapat dipilih, yakni format GeoTIFF,
format ENVI, atau format ERS. Pengguna dapat juga menentukan apakah file-file individual yang belum
dimosaik akan tetap disimpan di dalam hardisk atau dihapus. Setelah semuanya ditentukan, pengguna dapat
menekan tombol Apply dan mendapatkan file hasil konversi dan mosaiknya pada lokasi yang telah dipilih.
Selain dengan menggunakan antarmuka dalam plugin QGIS, program ini dapat pula dieksekusi dengan
menggunakan command-line sehingga keseluruhan pemrosesan dapat dilakukan secara otomatis tanpa
membuka aplikasi QGIS.

- 75 -
Konversi Hamburan Balik Terkalibrasi Radiometrik untuk Data ALOS-PALSAR dan Pengembangan Modul Plugin QGIS untuk
Otomatisasi Pengolahannya (Sambodo, K.A.)

Gambar 6. Antarmuka Pengguna (Graphical User Interface) Plugin QGIS yang Telah Dikembangkan

4. KESIMPULAN
Konversi hamburan halik yang terkalibrasi radiometrik (Radiometrically Calibrated Backscatter) data
ALOS-PALSAR dengan menggunakan representasi Gamma Naught dapat menghasilkan nilai besaran
hamburan balik sinyal radar (radar backscatter) per unit area terhadap arah datang sinyal radar dan
cenderung relatif konstan untuk objek tutupan lahan yang tidak terlalu mengalami perubahan tahunan
(meminimalisasikan bias radiometrik antar data yang beda waktu akuisisinya). Hasil dari proses tersebut
selanjutnya dapat dipakai dalam berbagai aplikasi penginderaan jauh khususnya yang membutuhkan analisis
secara kuantitatif.
Penelitian ini juga menghasilkan suatu plugin QGIS yang interaktif dan mudah dipergunakan. Plugin
QGIS tersebut sementara ini hanya dapat dipergunakan untuk data ALOS PALSAR Mosaik saja, namun
untuk selanjutnya akan terus dikembangkan sehingga apat dipergunakan untuk data-data SAR dari
satelit/sensor yang lainnya (seperti ALOS PALSAR-2, Sentinel-1, dan lain-lain). Untuk selanjutnya plugin
tersebut dapat diperoleh pengguna yang mana sementara ini dengan cara mengirimkan e-mail ke penulis
(katmoko_ari@lapan.go.id).

UCAPAN TERIMAKASIH
Ucapan terimakasih disampaikan kepada JAXA yang telah menyediakan mosaik data ALOS PALSAR
resolusi 25 meter dalam kerangka kerjasama JAXA Kyoto & Carbon Initiative.

DAFTAR PUSTAKA
ASF Engineering (2015). ASF Radiometric terrain corrected products. Algorithm Theoritical Basis Document. Revision
1.2.
GDAL/OGR in Python (2015). http://gdal.org/python/. [Diakses 1 Oktober 2015].

- 76 -
SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015

Hoekman, D.H., Vissers, M.A.M., dan Wielaard, N. (2010). PALSAR Wide-Area Mapping of Borneo: Methodology
and Map Validation. IEEE Journal of Selected Topics in Applied Earth Observations and Remote Sensing,
3(4):605-617.
JAXA (2010) Global Environmental Monitoring by ALOS PALSAR-- Science Results from the ALOS Kyoto &
Carbon Initiative. Japan Aerospace Exploration Agency, Tsukuba Space Center.
JAXA (2012) ALOS/PALSAR 25m Mosaic Product Format Description, First edition. Japan Aerospace Exploration
Agency, Earth Observation Research Center.
Motohka, T. (2012). Introduction On Forest Change Mapping Using PALSAR Gamma-Naught Change. International
Workshop and Training on Pi-SAR-L2 Data Analysis for Forest Carbon Monitoring, Ship Detection, Disaster
Monitoring, Geometric Evaluation, and Crop Monitoring (JAXA Training Materials).
QGIS Project (2015). PyQGIS developer cookbook.
S1TBX (2014) Sentinel-1 Toolbox. Array Systems Computing Inc, and contributors.
Sambodo, K.A., dan Indriasari, N. (2013). Land Cover Classification of ALOS PALSAR Data using Support Vector
Machine. International Journal of Remote Sensing and Earth Sciences, 10(1): 9-18.
Shimada, M., Isoguchi, O., Tadono, R., dan Isono, K. (2009). PALSAR radiometric and geometric calibration. IEEE
Transactions of Geoscience and Remote Sensing, 47(12):3915-3932.
Shimada, M., dan Ohtaki, T. (2010). Generating Large-Scale High-Quality SAR Mosaic Datasets: Application to
PALSAR Data for Global Monitoring. IEEE Journal of Selected Topics in Applied Earth Observations and Remote
Sensing, 3(4):637-656.
Tso, B., dan Mather, P.M. (2001). Classification Methods for Remotely Sensed Data, Taylor & Francis Inc.
Woodhouse, I.H. (2006). Introduction to Microwave Remote Sensing. Boca Raton: CRC Press Taylor & Francis.

*) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukan pada saat diskusi presentasi ilmiah

BERITA ACARA
PRESENTASI ILMIAH SINAS INDERAJA 2015

Moderator : Ir. Dedi Irawadi


Judul Makalah : Koreksi Radiometric Data ALOS PALSAR dan Pengembangan Modul Plugin QGIS untuk
Otomatisasi Pengolahannya
Pemakalah : Katmoko Ari Sambodo
Jam : 10.15-10.30
Tempat : Meeting Room E-F IPB-ICC
Diskusi :

Wikan Jaya Prihartanto (UGM)


Bagaimana kalibrasi data radar di lapangan, kalau multi-spectral menggunakan spektrofotometer, bagaimana dengan
data radar itu sendiri?

Jawaban:
Di radar kalibrasi dilakukan dengan menggunakan corner reflector, sehingga ketika ada sinyal datang bisa
memantulkan seluruh gelombang kembali ke sinyal. Corner reflector ada aktif dan ada pasif. Pasif semacam logam
yang diletakkan di permukaan bumi. Aktif, mendapatkan sinyal terkuat lalu dipantulkan. Kalibrasi dari radiometrik
berdasarkan kekuatan sinyal. Kalibrasi dari geometrik didasarkan posisi corner reflector sendiri yang diketahui.

Rossi Hamzah (Pusfatja, LAPAN)


Koreksi radiometrik yang digunakan hanya untuk ALOS PALSAR, apakah bisa digunakan untuk ALOS PALSAR 2
juga? Bagaimana dengan adanya karakteristik yang berbeda?

Jawaban:
Bisa juga untuk ALOS PALSAR2, plugin tinggal dirubah atau dimasukkan rumusnya. Hal yang berbeda mungkin
calibration factor-nya.

- 77 -
SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015

POSTER PRESENTATION

Analisis Kebutuhan Integrasi Antena Orbital Diameter 3.0


dengan Sistem yang Telah Beroperasi di Stasiun Bumi
Balai Penginderaan Jauh Parepare
Nurmajid Setyasaputra1,*), Arif Hidayat1, Ahmad Luthfi Hadiyanto1 ,
dan Sutan Takdir Ali Munawar1
1
Balai Penginderaan Jauh Parepare, LAPAN
*)
E-mail: nurmajid.setyasaputra@lapan.go.id

ABSTRAK - Kebutuhan kontinuitas data satelit penginderaan jauh resolusi rendah (Terra, Aqua dan Suomi NPP)
diperlukan near real time dan kontinu. Availability perangkat untuk melakukan penerimaan data adalah 97%. Untuk
mendukung tuntutan data near real time tersebut, maka pada tahun 2015 dilakukan pengadaan antena, akuisisi, dan
pengolahan data satelit MODIS Terra-Aqua beserta satelit cuaca lainnya. Pengadaan ini dilakukan untuk menambah
kemampuan perangkat sehinga didapatkan sistem penerimaan yang stabil dan redundan. Sehingga ketergantungan
terhadap salah satu perangkat dapat dikurangi. Analisis teknis diperlukan agar sistem penerimaan dan perekaman data
dapat terintegrasi ke dalam sistem penerimaan dan perekaman data yang telah beroperasi di Balai Penginderaan Jauh.
Penggunaan analisis terdiri dari jenis antena, metode penerimaan, gain dan diameter antena, frekuensi kerja antena,
redaman kabel, distribusi serta kebutuhan daya dan metode kontrol. Sistem perekaman berdasarkan kebutuhan data
yang disimpan beserta pengolahan level hasil pengolahan data. Dengan adanya analisis tersebut diharapkan tidak terjadi
masalah pada saat implementasi integrasi.

Kata kunci: integrasi, antena, gain, daya, sistem kontrol

ABSTRACT - Continuity needs of satellite remote sensing data low resolution (Terra, Aqua and Suomi NPP) is
required near real time and continuous. Availability devices to perform data reception is 97%. To support near real-
time data demands, then in 2015 made the antenna procurement, acquisition and processing of satellite data and the
other weather satellites. Procurement is done to increase the ability of the device so that the sistem gained acceptance
stable and redundant. So that dependence on one device can be reduced. Technical analysis is necessary so that the
sistem for receiving and recording data can be integrated into the sistem for receiving and recording data that has been
operating at the Center for Remote Sensing. The use of the analysis consists of an antenna types, methods of
acceptance, gain and antenna diameter, the working frequency of the antenna, cable attenuation, distribution and
power requirements and methods of control. Recording sistem based on the needs of data that is stored along with the
level of processing of the data processing. Given this analysis are expected to avoid problems during the
implementation of the integration.

Keywords: integration, antenna, gain, power, control sistem

1. PENDAHULUAN
Perubahan lingkungan global telah menjadi perhatian seluruh dunia. Satelit pengamatan bumi digunakan
untuk mengamati perubahan. Untuk mengamati perubahan lingkungan maka dibuatlah sebuah penelitian
untuk mengembangkan Earth Observation Satellite (EOS). EOS seri dikembangkan untuk tujuan memantau
lingkungan bumi menggunakan teknologi penginderaan jauh dari ruang angkasa. Terra, Aqua, dan Suomi
NPP adalah satelit kedua dari seri EOS tersebut.
Stasiun bumi Balai Penginderaan Jauh Parepare diharapkan memiliki kemampuan penerimaan dan
pengolahan data penginderaan jauh satelit dengan standar internasional. Kontinuitas penerimaan dan
ketersediaan data wilayah Indonesia merupakan keharusan dan memberikan dukungan bagi penguatan
Sistem Bank Data Penginderaan Jauh Nasional (BDPJN) di Pusat Teknologi dan Data Penginderaan Jauh
(Pustekdata) LAPAN. Sebagai unit teknis di bawah Pustekdata, kegiatan yang dilaksanakan di Balai
Penginderaan Jauh Parepare harus mengacu kepada program yang dimiliki Pustekdata. Pengadaan peralatan
stasiun bumi pada Tahun Anggaran 2015 dimaksudkan untuk memperkuat sistem pengelolaan data dan
infrastruktur yang ada di Balai Penginderaan Jauh Parepare. Peralatan tersebut harus dapat diintegrasikan
dengan sistem penerimaan dan pengolahan yang sudah ada sehingga memudahkan pengoperasian dan
pemeliharaan peralatan yang akan menjamin kontinuitas operasional penyediaan data.
Kemampuan stasiun bumi BPJP saat ini dapat menerima dan mengolah data inderaja satelit resolusi
rendah, menengah dan resolusi tinggi, yaitu data satelit Terra, Aqua, Suomi NPP, Landsat-7, Landsat-8,

- 78 -
SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015

SPOT-6 dan SPOT-7. Kemampuan ini meningkatkan kompleksitas operasional di Balai Penginderaan Jauh
Parepare. Redundansi peralatan, integrasi peralatan, konektivitas dengan operator satelit, kecepatan
pengolahan, dan transmisi data merupakan beberapa faktor penting yang menjadi perhatian. Pengadaan
peralatan di tahun anggaran 2015 terdiri dari peralatan infrastruktur antena serta PC dan peralatan pengolah
data. Aliran proses dalam operasional secara internal memerlukan kemampuan redudansi sistem dan
availabilitas yang tinggi. Selanjutnya Pustekdata yang akan mendistribusikan data tersebut ke pengguna.
Kemampuan pengolahan/produksi data near real time sudah menjadi tuntutan. Kebutuhan pengguna data
satelit inderaja dalam hal monitoring lingkungan dan cuaca memerlukan informasi yang cepat dan dinamis.
Stasiun bumi sebagai sumber penerimaan data memegang peranan yang sangat penting. Adapun analisis
kebutuhan yang diperlukan adalah untuk menerima dan merekam satelit-satelit sebagai berikut:
1. Terra adalah salah satu satelit NASA dengan nama lain EOS AM-1 karena melintas pada pagi hari atau
pada waktu AM. Terra yang berarti untuk bumi ini diluncurkan pada tanggal 18 Desember 1999. Satelit
ini merupakan satelit Direct Broadcastyang memancarkan data satelit setiap waktu. Satelit ini membawa
beberapa sensor antara lain ASTER, CERES, MISR, MOPIIT, dan MODIS.
2. Aqua adalah salah satu satelit NASA dengan nama lain EOS PM-1 karena melintas pada siang hari atau
waktu PM. Aqua yang berarti air ini diluncurkan pada 4 Mei 2002. Satelit ini adalah satelit direct
broadcast pada lintasan A Train dengan beberapa satelit lain (Aura, Calipso, CloudSat, OCO-2,
Perancis Parasol, dan Jepang GCOM W1). Satelit ini membawa beberapa sensor antara lain AIRS,
AMSR-E, AMSU-A, CERES, HSB dan MODIS.
3. Suomi NPP yang sebelumnya dikenal sebagai National Polar-orbiting Operational Environmental
Satellite Sistem Preparatory Project (NPP) and NPP-Bridge adalah satelit cuaca yang dioperasikan oleh
Amerika Serikat National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA).Satelit ini diluncurkan pada
tanggal 28 Oktober 2011 dan dinamai Verner E. Suomi, seorang ahli meteorologi di University of
Wisconsin-Madison, diumumkan pada 24 Januari, 2012, tiga bulan setelah peluncuran satelit. Suomi NPP
adalah yang pertama dalam generasi baru satelit dimaksudkan untuk menggantikan satelit EOS, yang
diluncurkan dari tahun 1997 sampai 2011. Satelit ini membawa beberapa sensor antara lain ATMS, CRIS,
OMPS, CERES, dan VIIRS.

2. KEBUTUHAN PERANGKAT AKUISISI


Langkah awal yang dilakukan adalah dengan merancang desain sistem antena yang dibutuhkan agar
sesuai dan dapat diintegrasikan dengan sistem yang telah beroperasi. Desain yang dirancang adalah dengan
menentukan kebutuhan apa saja yang dibutuhkan di Balai Penginderaan Jauh Parepare. Adapun kebutuhan
yang dibutuhkan terdiri dari kebutuhan antena, kebutuhan demodulator, dan kebutuhan sistem ingest.

2.1 Kebutuhan Antena


Ada begitu banyak vendor antena penginderaan jauh yang ada didunia ini dan begitu banyak spesifikasi
yang ditawarkan. Oleh karena itu diperlukan pendataan kebutuhan spesifikasi yang dibutuhkan dan
diinginkan dengan mempertimbangkan sistem yang telah beroperasi.

Tabel 1. Jenis Satelit dan Kebutuhan G/T

No Satelit G/T Minimum Frekuensi Referensi


1 Suomi NPP 22.70 (5 derajat) 7812 MHz (Ball Aerospace, 2000)
2 AQUA 23.4 (0 derajat) 8160 MHz (NASA Goddard Space Flight Center,1998)
3 TERRA 23.53 (0 derajat) 8212.5 MHz (NASA Goddard Space Flight Center,2002)

Hal pertama yang dibutuhkan untuk menentukan kebuthan antena adalah dengan menentukan G/T
(Antenna Gain to Noise Temperature) minimum untuk akuisisi data satelit. G/T dimaksudkan untuk
menentukan karakteristik kinerja antena dengan G adalah gain antenna yaitu satuan desibel yang diterima
frekuensi dan T adalah suhu Noise dari sistem penerima dengan satuan Kelvin. Tabel 1 menunjukkan G/T
minimum yang dibutuhkan untuk akuisisi data satelit Suomi NPP, Aqua, dan Terra dengan frekuensi tengah
masing-masing satelit.
Sistem yang akan dibutuhkan ini akan menjadi redundansi atau backup dari sistem yang telah beroperasi.
Adapun dari ketiga satelit tersebut di Tabel 1, Suomi NPP menjadi prioritas karena hanya diterima oleh satu
antena yang beroperasi. Oleh karena itu dibutuhkan analisis kebutuhan untuk akuisisi satelit Suomi NPP
dengan menentukan analisis link satelit agar sesuai dengan kebutuhan antena. Penentuan analisis ini

- 79 -
Analisis Kebutuhan Integrasi Antena Orbital Diameter 3.0 dengan Sistem yang Telah Beroperasi di Stasiun Bumi Balai Pengideraan
Jauh Parepare (Setyasaputra, N., et al.)

dilakukan dengan cara mempelajari datasheet yang diberikan oleh vendor satelit. Suomi NPP dengan vendor
Ball Aerospace memberikan parameter-parameter yang harus dipenuhi agar sistem akuisisi dapat berjalan
dengan baik. Adapun parameter-parameter yang dibutuhkan dengan nilai-nilai tertentu yang harus dipenuhi
sesuai dengan yang tertulis pada Tabel 2.

Tabel 2.Parameter Link Satelit Suomi NPP


(Sumber: Ball Aerospace, 2000 dan Arif Hidayat, 2014)

Parameter Value Unit Source


Frequency 7.812 Ghz Input parameter
Transmit Power 38.5 dBm 10 log (7)+30
Gain Satelit Antenna 5.9 dB Worst case for +/- 1 pointing
Passive loss -1.3 dB 7 ft coaxial cable loss & switch
Ls=-92.44-20log (S)-20log(f) at 2835 km at 5
Space Loss -179.3545 dB
degree angel

Rain & Atmosferic Loss -3.65 dB Wors case conditional

Pointing Loss -2 dB Pointing Error at 1 degree


G/T Antenna 25 dB Last time measurement

IF cable Loss -8 dB 100 meter from antenna to demodulator

Total Recived Power -117.093 dB Total power from space

Bolzmant Konstanta -198.6 dBm/Hz-K k= 1- log (1.38E-23)

Power Transmitted 81.5075 Total power-K


Data Channel OQPSK
Noise Bandwidth 74.77121 dB 10xlog bw frequency used
Available S/N 6.736287 dB Total power-Noise all bw
EB/No Required 4.4 dB From link analisis using viterbi

Margin 2.336287 dB Margin power from miss calculation

2.2 Kebutuhan Demodulator dan Sistem Ingest


Selanjutnya yang dibutuhkan setelah kebutuhan antena adalah kebutuhan demodulator dan sistem ingest.
Jika antena dibutuhkan untuk melakukan penerimaan sinyal untuk data satelit, maka demodulator digunakan
untuk melakukan mengambilan data dari sinyal informasi yang diterima oleh antenna yaitu dengan
melakukan demodulasi dan decoding sinyal yang diterima dan sistem ingest digunakan untuk menerima data
RAW yang telah terdemodulasi dan decoding yang selanjutkan akan direkam atau disimpan pada media
penyimpanan seperti hard disk. Oleh karena itu, pada Tabel 3 dijelaskan modulasi apa saja yang digunakan
dan encoding apa saja yang dilakukan pada sistem pengiriman satelit yang selanjutkan akan diterjemahkan
pada sistem penerima dan perekaman yang ada di stasiun bumi, sehingga data citra satelit dapat tersaji
dengan baik pada sistem penyimpanan yang ada dan dapat digunakan informasinya untuk berbagai keperluan
dan penggunaan.

Tabel 3. Jenis Satelit Modulasi dan Metode Encoding

No Satelit Modulasi Encoding Referensi


Viterbi&Reed-
1 Suomi NPP QPSK (Ball Aerospace, 2003)
Solomon
2 AQUA SQPSK Reed-Solomon (NASA Goddard Space Flight Center, 2002)
Viterbi&Reed-
3 TERRA SQPSK (Lockheed Martin Corporation, 1998)
Solomon

- 80 -
SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015

3. HASIL PEMBAHASAN PERANCANGAN SISTEM


Analisis diperlukan untuk melakukan integrasi dan mendapatkan sistem yang handal serta menghindari
agar sistem tidak mudah down. Adapun sistem yang dianalisis adalah sistem antena Orbital. Analisis tersebut
antara lain kebutuhan daya perangkat, kebutuhan kabel coaxial, kebutuhan sistem proteksi dan kebutuhan
kontrol jaringan.

Gambar 1. Sistem Diagram EOS-DB Sistem Orbital (Sumber: 2.4XLC EOS-DB Sistem Diagram, 2014)

Gambar 2. Isi Rack EOS-FES dari Sistem Orbital (Sumber: EOS-FES Rack Diagram, 2014)

- 81 -
Analisis Kebutuhan Integrasi Antena Orbital Diameter 3.0 dengan Sistem yang Telah Beroperasi di Stasiun Bumi Balai Pengideraan
Jauh Parepare (Setyasaputra, N., et al.)

3.1 Kebutuhan Daya Perangkat


Operasional kebutuhan daya perangkat perlu dilakukan kalkulasi hal ini agar persiapan integrasi dengan
UPS existing. Untuk antena sendiri karena jarak perangkat di ruang kantrol stasiun bumi dengan antena
kurang lebih 80 meter maka UPS yang mencatu daya di menggunakan UPS sendiri. Hal ini di lakukan
dengan pertimbangan loss daya dan tegangan jatuh dapat dikurangi.

Tabel 4.Kebutuhan Daya Perangkat


(Sumber: Orbital Sistem, 2010)
No Nama Perangkat Arus Beban (A) Tegangan (V)
1 Antena Positioner 15 208 -240
2 Demodulator 5 100-240
3 Ingest Sistem 6 200-240

Untuk perangkat indoor UPS yang digunakan adalah UPS existing dengan pertimbangan UPS existing
masih memiliki sisa daya. Berdasasarkan arus beban yang digunakan maka untuk antena digunakan kabel
dengan diameter 2.5 mm (tabel PUIL, 2000).

3.2 Kebutuhan Kabel Coaxial


Berdasarkan perhitungan link budget di tabel 2 loss kabel yang diijinkan hanya 8 dB per 100 meter. Pihak
Orbital menggunakan kabel tipe coaxial RG 8 sebagai media transmisi. Dari hasil datasheet kabel RG 8
memiliki redaman 11 dB. Selisih dari redaman tersebut adalah 3 dB. Untuk menghindari loss yang berlebih
maka tipe kabel yang digunakan diganti dengan tipe kabel yang bermutu tinggi.

Tabel 5. Kebutuhan Kabel RF


No Tipe Kabel Redaman per 100 meter (dB)
1 Belden Coaxial RG 8 11
2 Heliax Andrew 0.5 cm 6.01

Dari hasil pencarian tipe kabel yang memiliki redaman kurang dari atau sama dengan 8 dB adalah kabel
tipe heliax. Kabel ini dilindungi dinding tembaga sebagai outer-nya. Selain itu kabel ini memiliki inner lebih
besar sehingga gelombang elektromagnet pada frekuensi 720 MHz lebih terjaga dari loss.

3.3 Sistem Proteksi dari Gangguan Tegangan Spike dan Petir


Agar mencegah kerusakan perangkat dari sambaran petir dan induksi tegangan berlebih dari luar, maka
dilakukan proteksi. Metode proteksi yang dilakukan adalah menggunakan metode Faraday. Metode ini
menggunakan kawat tembaga melintang di atas antena. Instalasi juga di integrasikan dengan sistem
penangkal petir yang sudah terpasang. Hambatan tanah pada sistem penangkal petir diharuskan kurang dari 1
Ohm. Pentanahan body perangkat dan pentanahan penangkal petir dipisahkan. Pemasangan arester dilakukan
pada titik titik penyambungan listrik di panel box. Arester ini dihubungkan dengan pentanahan sehingga
apabila terjadi tegangan berlebih dapat dibuang.

Gambar 3. Perancangan Pemasangan Sistem Pertanahan dan Penangkal Petir

- 82 -
SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015

3.4 Kebutuhan Kontrol Perangkat


Seluruh perangkat dikontrol menggunakan IP Versi 4. Kabel yang digunakan adalah kabel cat6 yang
memiliki mutu terbaik di kelas kabel ethernet yaitu kabel STP (Shielded Twisted Pair). IP address
diintegrasikan dengan IP address lokal sehingga kontrol seluruh perangkat dapat berkomunikasi.

4. KESIMPULAN
Seluruh sistem pada sistem stasiun bumi perlu dilakukan analisis agar dapat diintegrasikan. Pada makalah
ini dilakukan analisis power, kebutuhan kabel coaxial, kebutuhan penangkal petir dan kebutuhan kontrol IP.
Power yang dibutuhkan oleh antena di penuhi dengan UPS baru dan UPS existing. Kabel coaxial dari orbital
disarankan untuk diganti karena redaman yang ada terlalu besar. Sistem penangkal petir dibuat menggunakan
metode Faraday dan diintegrasikan dengan sistem yang sudah ada. Kontrol perangkat menggunakan IP,
alokasi IP disesuaikan dengan jaringan yang sudah ada.

UCAPAN TERIMAKASIH
Penulis mengucapkan terimakasih kepada seluruh personil Balai Penginderaan Jauh Parepare yang telah
memberikan masukan dan bantuan dalam penulisan karya ini. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada
segenap panitia atas masukan dan koreksinya.

DAFTAR PUSTAKA
Hidayat, A., Munawar, S.T.A., Suprijanto, A., dan Setyasaputra, N. (2014). Integration Sistem for Receiving and
Recording NPP Satellite Data at Remote Sensing Ground Station. Proceeding of IEEE-2014 Makassar
International Conference on Electrical Engineering and Informatics (MICEEI). UNHAS. Makassar.
Datasheet (2014). 2.4XLC EOS-DB Sistem Diagram. Orbital Sistem Ltd., Irving TX.
Datasheet (2014). 2.4XLC EOS-FES Half Rack Diagram. Orbital Sistem Ltd., Irving TX.
Datasheet (2003). Interface Control Document, NPP Spacecraft High Rate Data (HRD) RFICD to the Direct-Downlink
Stations. Ball Aerospace & Technologies Corporation, Colorado.
Datasheet (2002). Interface Description Documentfor EOS Aqua X-Band Direct Broadcast. NASA Goddard Space
Flight Center, Maryland.
Datasheet (2002). Direct Access Sistem Users Guide for the EOSAM Spacecraft. Lockheed Martin Corporation,
Philadelphia.
Davis, G. (2011). History of the NOAA Satellite Program. NOAA Satellite and Information Service, Maryland. Cited in
http://www.osd.noaa.gov/download/JRS012504-GD.pdf. [1 Oktober 2015]
Maurer, J. (2001). Overview of NASAs Terra satellite. University of HawaiI, Hawaii. Cited in
http://www2.hawaii.edu/~jmaurer/terra/. [1 Oktober 2015]

*) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukan pada saat diskusi presentasi ilmiah

BERITA ACARA POSTER


PRESENTASI ILMIAH SINAS INDERAJA 2015

Judul Makalah : Analisis Kebutuhan Integrasi Antena Orbital Diameter 3.0 dengan Sistem yang Telah
Beroperasi di Stasiun Bumi Balai Penginderaan Jauh Parepare
Pemakalah : Nurmajid Setyasaputra
Jam : 10.30-15.00 WIB
Tempat : Ball Room 2 & 3
Diskusi :

Syarif Budhiman (Pusfatja, LAPAN):


Bagi orang awam, mungkin tidak mengerti apa yang dimaksud dengan antena orbital diameter 3.0, apa kelebihannya
sehingga alat tersebut dibutuhkan?

Jawaban:
Antena orbital diameter 3.0 merupakan antena pabrikan yang memiliki kemampuan untuk melakukan penerimaan dan
perekaman dengan sistem lengkap, mudah, dan otomatis. Antena ini memiliki kelebihan mudah dalam
pengoperasiaannya dan mudah dalam perawatannya. Pada kasus ini antena digunakan untuk melakukan akuisisi satelit
penginderaan jauh resolusi rendah seperti TERRA, AQUA, dan Suomi NPP.

- 83 -

Anda mungkin juga menyukai