Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah

Obat puyer sebagai alternatif bagi pengobatan masyarakat menengah ke bawah di

Indonesia telah digunakan selama berpuluh-puluh tahun. Obat puyer merupakan obat racikan

yang berasal dari beberapa campuran obat. Dalam ilmu kedokteran, obat tentu dipergunakan

untuk menyembuhkan penyakit, namun bila telah dicampur dengan beberapa jenis obat

lainnya, akankah khasiatnya bertambah?

Sesuai ilmu kimia, setiap bahan kimia yang dicampur akan menyebabkan reaksi satu

sama lain. Hal inilah yang menjadi salah satu penyebab timbulnya kontroversi seputar praktek

polemik puyer di tengah masyarakat Indonesia yang hangat diperbincangkan dalam beberapa

pekan terakhir ini.

Berbagai tanggapan dari berbagai pihak telah muncul seiring dengan maraknya

perbincangan tentang polemik puyer ini. Ada yang pro dan ada juga kontra. Sebagian

masyarakat menganggap puyer tidak higienis sehingga tidak aman untuk dikonsumsi. Di lain

pihak, ada yang berpendapat puyer aman dikonsumsi asal diracik sesuai dengan prosedur.

Obat puyer sangat mudah diperoleh di apotek-apotek manapun. Harganya yang

terjangkau bagi keluarga berpenghasilan rendah juga menjadi salah satu alasan mengapa obat

puyer masih dipergunakan sampai saat ini.Pemerintah pun sampai saat ini belum menetapkan

adanya larangan beredarnya obat puyer. Hal ini karena puyer masih menjadi andalan dalam hal

pengobatan di Indonesia. Selain itu perekonomian Indonesia masih belum cukup memadai bila

harus mengganti obat puyer dengan obat lain. Tak heran hingga saat ini puyer masih dipakai

walaupun banyak yang meragukan higienitas obat tersebut.


BAB II
LANDASAN TEORI

Puyer merupakan salah satu bentuk sediaan farmasi (selain sirup, tablet, cream, dsb)

yang terdiri atas dua atau lebih campuran homogen obat yang digerus yang dibagi dalam bobot

kurang lebih sama, dibungkus dengan kertas perkamen atau bahan pengemas. Racikan puyer

itu bisa langsung dikonsumsi dengan dicampur air, biasanya untuk anak anak atau bisa juga

dimasukkan kapsul untuk orang dewasa.

Awal mula terjadinya polemik adalah adanya fakta bahwa selama ini puyer cenderung

lebih banyak memiliki sisi negatif dibanding positifnya. Beberapa sisi negatif yang disorot antara

lain karena puyer merupakan wujud pengobatan tidak rasional, rentan sebagai media

polifarmasi, pembuatannya tidak sesuai dengan CPOB dan sebagainya. Akhirnya, muncullah

desakan agar puyer dilarang secara resmi. Sayang karena kelalaian apoteker, puyer

dieksploitasi sedemikian rupa demi menggapai beberapa tujuan sekaligus. Kasus polifarmasi,

penggunaan obat yang tidak rasional, munculnya interaksi obat atau masalahmasalah lain

dalam bentuk sediaan puyer sangat mungkin karena ketidaktahuan dokter yang meresepkan

dikombinasi dengan kelalaian apoteker dalam menjalankan tugasnya. Kasus tersebut sifatnya

situasional. Sepanjang dokter memegang teguh prinsip pengobatan yang rasional dan apoteker

menerapkan good pharmacy practise dalam menjalankan profesinya maka sisi negatif puyer

tidak akan muncul.


BAB III
PEMBAHASAN

Puyer merupakan salah satu bentuk sediaan farmasi (selain sirup, tablet, cream, dsb)

yang terdiri atas dua atau lebih campuran homogen obat yang digerus yang dibagi dalam bobot

kurang lebih sama, dibungkus dengan kertas perkamen atau bahan pengemas.

Awal mula terjadinya polemik adalah adanya fakta bahwa selama ini puyer cenderung

lebih banyak memiliki sisi negatif dibanding positifnya. Beberapa sisi negative yang disorot

antara lain karena puyer merupakan wujud pengobatan tidak rasional, rentan sebagai media

polifarmasi, pembuatannya tidak sesuai dengan CPOB dan sebagainya. Namun, sepanjang

dokter memegang teguh prinsip pengobatan yang rasional dan apoteker menerapkan good

pharmacy practise dalam menjalankan profesinya maka sisi negative puyer tidak akan muncul.

Maka dari itu melarang peresepan puyer bukanlah tindakan bijaksana jika dokter

penulis resep tidak mengubah kebiasaan meresepkan obat secara tidak rasional dan apoteker

tidak menerapkan good pharmacy practise. Bagaimanapun, sebagai bentuk sediaan yang

sifatnya darurat, puyer masih diperlukan agar tujuan pengobatan tercapai. Bila mengacu pada

good pharmacy practise , apoteker - atas permintaaan dokter melalui resep -

bertanggungjawab penuh dalam proses pembuatan/peracikan puyer dan mengeluarkan

jaminan terhadap kualitas termasuk stabilitasnya sehingga aman dikonsumsi oleh pasien.

Dalam konteks ini apoteker berkewajiban untuk melakukan screening resepagar kemungkinan

adanya ketidakrasionalan penggunaan, polifarmasi maupun interaksi obat dapat diminimalkan.

Namun dalam prakteknya kerap terjadi penyimpangan. Apoteker tidak selalu berada di
apotek atau dokter melakukan dispensing obat langsung kepada pasien meski ditengah

kerumunan apotek. Ketidakhadiran apoteker di apotek menyebabkan tidak terselenggaranya

good pharmacy practise secara optimal dan dokter yang melakukan pekerjaan kefarmasian

(dipensing) luput dari mekanisme kontrol yang seharusnya tidak boleh terlewatkan dalam

proses pengobatan.

Polemik tentang puyer hanya sebuah permukaan dari gunung es. Ruang lingkup

pekerjaan kefarmasian demikian luas dan selama ini banyak pihak yang tidak kompeten

melakukannya. Sebut saja misalnya penjualan obat daftar G di toko obat, dokter dispensing

diluar ketentuan, pencampuran bahan kimia obat dalam jamu dan masih banyak lagi lainnya.

Berikut ini adalah sejumlah sisi negatif dan bahaya puyer:

1. Bentuk pengobatan tidak rasional

2. Tidak sesuai dengan CPOB (Cara Pembuatan Obat yang Baik)

3. Rentan Polifarmasi

4. Proses peracikan tidak higienis

5. Potensi Human Error sangat besar

6. Stabilitas obat terganggu

7. Sejumlah jenis obat mudah rusak jika digerus

8. Kemungkinan terjadi toksid atau jamur

9. Ketepatan takaran diragukan

10. Sebagian bubuk terbuang

11. Resiko kontaminasi tinggi


Dengan mendudukkan masalah pada proporsi yang semestinya, polemik tentang puyer

menyadarkan kita bahwa pekerjaan kefarmasian memang perlu diatur lebih kongkrit. Sesuai

pasal 63 UU No 23/1992 tentang Kesehatan dikatakan bahwa pekerjaan kefarmasian harus

dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untukitu dan

Pemerintah perlu menetapkan peraturan mengenai pelaksanaan pekerjaan kefarmasian.

Sebenarnya, rancangan Peraturan Pemerintah tentang Pekerjaan Kefarmasian (PP-PK) sudah

persiapkan sejak lebih dari 4 tahun yang lalu. Pembahasannya juga telah berulang kali dilakukan

dengan melibatkan apoteker dan pihak-pihak lain yang terkait. Tapi entah mengapa sampai saat

ini tanda-tanda akan disyahkannya peraturan tersebut belum juga nampak.

Menteri Kesehatan menyatakan bahwa puyer masih merupakan bentuk sediaan yang

masih dibutuhkan di Indonesia, hari ini pemberitaan tentang polemik puyer menegaskan

pentingnya keberadaan apoteker untuk menjamin kualitas dan rasionalitas puyer. Sementara

itu dalam Undang Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan Pasal 80 Ayat b: Barang

siapa dengan sengaja memproduksi dan atau mengedarkan sediaan farmasi berupa obat atau

bahan obat yang tidak memenuhi syarat farmakope Indonesia dan atau buku standar lainnya

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 15

tahun dan pidana denda paling banyak Rp300 juta.

Terdapat beberapa hal yang kami rangkum dalam kontroversi yang disampaikan oleh

para klinisi dalam suatu seminar dan opini di media tentang masalah kelemahan puyer yang

ternyata tidak pada substansi masalah utama bahaya obat puyer itu sendiri.

1. Menurunnya kestabilan obat karena obat-obatan yang dicampur tersebut punya

kemungkinan berinteraksi satu sama lain.


Sebenarnya bila dicermati interaksi obat tidak hanya pada pemberian puyer pemberian

sediaan kapsul atau sirup mempunyai resiko interaksi obat satu dengan yang lain. Dokter

dibekali limu farmasi tentang masalah interaksi dan kestabilan obat. Kalaupun ada interaksi

obat mungkin, dokter sudah memperhitungkan hal tertsebut tidak terlalu berbahaya. Bila

dokter tidak memahami farmakoterapi dari suatu jenis obat, sebaiknya dokter tidak menuliskan

resep obat baik puyer maupun sirup.

2. Pemberian puyer beresiko terjadi pemberian polifarmasi.

Sebenarnya penggunaan polifarmasi bisa juga terjadi pada penggunaan obat kapsul dan

sirup. Seorang dokter ada juga yang meresepkan berbagai macam botol sirup dalam satu kali

pemberian. Bahkan seorang ibu sempat mengeluh ketakutan karena anaknya dalam sekali

berobat diberikan sekaligus 6 botol sirup. Padahal dalam satu botol sirup itu juga kadang terdiri

dari dua atau lebih kandungan obat. Pengalaman lain beberapa penderita yang berobat di luar

negeri khususnya Singapura, penderita memang tidak mendapatkan puyer tetapi membawa

segepok obat sirup dan kapsulkalo dijumlah lebih dari 7 macam. Masalah pemberian

polifarmasi ini juga tergantung pengetahuan dan pengalaman dokter.

3. Sulitnya mendeteksi obat mana yang menimbulkan efek samping - karena berbagai obat

digerus jadi satu dan terjadi reaksi efek samping terhadap pasien, akan sulit untuk melacak

obat mana yang menimbulkan reaksi.

Hal ini juga tidak akan terjadi, karena dalam penulisan obat puyer pasien dapat meminta

kopi resep dari apoteker atau apotik tempat pembelian obat. Di Puskesmas memang menjadi

masalah karena seringkali tidak disertai kopi resep, tetapi bila pasien meminta hal itu pasti akan
diberikan oleh dokter yang memberikan di puskesmas. Adalah sesuatu yang tidak etis bila

dokter tidak mau memberikan kopi resepnya.

4. Pembuatan puyer dengan cara digerus atau diblender, sehingga akan ada sisa obat yg

menempel di alatnya.

Hal itu wajar terjadi, dalam ilmu meracik obat itu sudah diperhitungkan dengan

menambah sekian prosen untuk kemungkinan hal tersebut. Kalaupun ada kekurangan dan

kelebihannya sebenarnya hanya dalam jumlah kecil yang tidak terlalu bermakna, kecuali pada

obat tertentu. Dalam pemakaian obat sirup pun pasti wajar bila kelebihan atau kekurangan

seperti terjadi sisa sedikit sewaktu memberikan obat dalam sendok sirupnya atau kelebihan

sedikit dalam menuangobat dalam sendok. Bahkan seorang peneliti pernah melaporkan bahwa

sekitar 20% obat paten ternyata sewaktu diteliti lebih cermat sering membulatkan jumlah dosis

seperti yang tercantum dalam kemasannya atau tidak sesuai dengan kandungan yang ada,

seperti pesudoefedrin yang seharusnya dikapsul 17 mg dibulatkan menjadi 20 mg.

5. Proses pembuatan obat itu harus steril.

Memang dalam penyajian dan penyediaan obat harus higenis dan bersih, dan itu sudah

merupakan prosedur tetap yang harus dilakukan oleh semua apoteker. Meskipun dalam

penyediaan obat oral tidak harus super steril seperti penyediaan obat suntik. Obat oral mungkin

relatif sama seperti penyajian makanan lain yang masuk ke mulut, beda dengan obat injeksi

yang harus melalui pembuluh darah yang harus sangat steril.


6. Bisa jadi obatnya sudah rusak sebelum mencapai sasaran karena proses penggerusan.

Masalah tersebut sebenarnya masalah knowledge (pengetahuan) dan ketrampilan dokter. Hal

itu juga tidak akan terjadi karena dokter sudah diberikan ilmu farmasi bahwa terdapat

beberapa obat yang tidak boleh digerus. Kalaupun ada yang tidak boleh digerus tapi digerus,

mungkin tidak membahayakan tetapi hanya membuat khasiat obat tidak optimal.

7. Dosis yang berlebihan karena dokter tidak mungkin hafal setiap merek obat. Jadi akan ada

kemungkinan dokter meresepkan 2 merek obat yang berbeda, namun kandungan aktifnya

sama.

Hal seperti ini juga sebenarnya masalah knowledge (pengetahuan) dan ketrampilan

dokter. Setiap dokter tidak boleh menuliskan resep obat bila tidak hafal dosis dan merek

obatnya. Kekhawatiran inipun juga terjadi pada penulisan resep sediaan sirup.

8. Kesalahan dalam peracikan obat - bisa jadi tulisan dokter bisa jadi tidak terbacaoleh

apoteker, sehingga bisa membuat salah peracikan.

Hal inipun juga terjadi pada sediaan sirup. Penulisan dokter tidak jelas memang sering

terjadi, dalam hal ini apoteker harus menanyakan lagi kepada dokter Lalu apakah obat jadi

lainnya juga tidak sama saja? Semua berpulang pada pengetahuan dan keterampilan dokter

serta apoteker. Dua profesi kesehatan itu telah cukup dibekali dan tidak ada larangan untuk

berkomunikasi. Sudah jamak jika apotek kesulitan membaca resep, ragu-ragu tentang dosis

obat, akan langsung menghubungi dokter penulis resep. Satu lagi yang sangat penting adalah

komunikasi ke pasien terkait dengan aturan pakai obat, cara pakai (ada puyer yang tidak boleh
dicampur dengan susu), serta cara penyimpanan (menyangkut stabilitas obat). Jika semua

sudah dilakukan sesuai tatanan norma hukum dan etika profesi, tidak ada lagi yang perlu

dikhawatirkan. Maka, sebagaimana dikatakan dr Widodo Judarwanto (lihat tulisan lain di

halaman ini), perdebatan soal puyer tidak pada substansinya. Juga, sudah ditegaskan oleh

Ketua IDAI dr. Badriul Hegar Sp.A. (K) dan Ketua Umum IDI Fahmi Idris, puyer adalah bentuk

sediaan obat yang tidak berbahaya selama syarat ketentuan serta prosedur dilakukan secara

baik dan benar. Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari juga mengamini. Tidak semua obat puyer

berbahaya.

Mengapa sih dokter kok perlu memberikan puyer?

1. Dengan sediaan puyer dokter bisa memberikan obat yang dosisnya disesuaikan dengan berat

badan anak. Karena dengan dosis sesuai berat badan itulah yang paling tepat dalam pemberian

obat.

2. Dengan pemberian puyer dokter bisa mencampurkan beberapa obat sekaligus, yang memang

diperlukan untuk kesembuhan pasien.

3. Dengan puyer anak tidak perlu meminum banyak obat (misal : sirup a, sirup b, sirup c, dan

seterusnya). Dengan sediaan puyer anak tersebut tidak perlu minum terlalu banyak, dokter

cukup dengan mencampurkan obat dengan kandungan spt sirup a, sirp b, dan sirup c, menjadi

satu puyer. Yang tentunya bisa mempermudah pemberian obat kepada anak.

4. Dengan pemberian puyer, dokter bisa memberikan dosis yang lebih rendah dari seharusnya,

tapi memberikan efek yang sama dengan dosis normal. Hal itu dikarenakan adanya interaksi

antar obat yang ada didalam puyer tersebut.

5. Dengan pemberian obat puyer maka dokter bisa menerapkan tarif yang jauh lebih
murah.

Siapa saja yang harusnya bertanggung jawab tentang pembuatan puyer ?

1. Dokter selaku pembuat resep. Dokter harus meresepkan obat-obat yang rasional, dan harus

menjelaskan kepada pasien obat apa saja yang akan diberikan, baik manfaat ataupun efek

samping yang kemungkinan bisa timbul. Dan sebaiknya dokter tidak melakukan Polifarmasi.

2. Apoteker selaku pembuat sediaan. Apoteker harus melaksanakan pembuatan sediaan puyer

dengan higienis dan dosis yang benar sesuai dengan perintah dokter. Higienis tempat, alat, dan

bahan, serta petugas pembuatnya tidak sedang sakit.

3. Industri Farmasi sebagai produsen obat. Pabrik farmasi harus dapat menyediakan obat yang

terjangkau baik dari harga yang murah maupun ketersediaannya di seluruh pelosok indonesia.

Tanpa ketersediaan dan harga yang mahal, tentunya puyer masih tetap digunakan.

4. Masyarakat sebagai konsumen. Masyrakat harusnya berperan aktif dalam mencari tahu jenis

obat apa saja yang diberikan dan kegunaan obatnya apa, serta efek samping dari obat itu apa

saja? Tapi kenyataannya masyarakat indonesia cenderung untuk pasif dan percaya apa saja

yang diberikan dokter.

5. Pemerintah Indonesia yang harus mengontrol penggunaan obat dan puyer, dalam hal ini

Departemen Kesehatan dan Badan POM. Apa kedua instansi itu sudah bekerja dengan baik?

Berikut merupakan tanggapan tentang puyer dari sudut pandang asisten apoteker :
Polemik puyer semakin ramai dan membingungkan banyak masyarakat awam apalagi

setelah membaca banyaknya sumber yang mengatakan puyer tidak aman, berbahaya dan

sebagainya. Sebagai salah satu yang berkecimpung di dunia per-puyer-an setiap hari saya ingin

ikut memberi masukan yang semoga bisa menenangkan hati masyarakat yang masih bingung

dan pro kontra. Tentang hal higienis atau tidaknya, semua kembali pada si pembuat puyer yang

dalam hal ini adalah apoteker dan asisten apoteker. Bila memang dari manusianya memiliki hati

dan tidak hanya asal bekerja, pastilah semua peralatan dipastikan higienis sebelum dipakai.

Tentang harus memakai timbangan khusus, kami merasa hal itu harus disesuaikan

dengan kondisi dulu. Lagipula, puyer itu sudah berisi campuran berbagai obat yang dosisnya

sudah dihitung dokter berdasar umur, berat badan, dan masalah alergi atau tidaknya tubuh

terhadap campuran obat tersebut. Jadi mau dibagi berapapun, tiap bungkusnya sudah

mengandung jumlah dan isi yang sama.

Memang diakui masih banyak dokter yang meresepkan puyer berisi lebih dari enam

macam dan dengan dosis tinggi. Hal itu tentunya bukan masalah dari puyernya tapi dari

komunikasi dokter dengan pasien sedikit menyimpang dari jalur. Namun, karena banyak

mengetahui dari cerita orang dan pengalaman pribadi, masalah komunikasi dengan dokter

memang sering diperbicangkan.

Sekali lagi semua kembali pada pribadi masing-masing. Ada dokter yang siap dihubungi

dan ditanya bila kami susah membaca resep, tapi ada pula dokter yang susah diajak bicara

bahkan sering tidak mau memberitahukan nomor teleponnya. Saya sangat mendukung semua

opini dari dokter, apoteker yang lebih berpengalaman dan tahu kesehariannya bagaimana

pembuatan puyer ini karena itu saya juga memohon dengan sangat pada salah satu stasiun
televisi swasta agar tidak memberitakannya dengan sangat tidak berimbang hingga masyarakat

percaya saja bahwa puyer berbahaya bagi anak.

Seperti sudah dikatakan para profesional tentang apa itu puyer yang berisi campuran

beberapa obat yang tidak mungkin bisa didapat dalam sebuah sirup apalagi bila harus

menghitung dosis sudah pasti puyer lebih bisa dipercaya karena puyer menggunakan

perhitungan umur, berat badan dan juga memikirkan apakah pasien ini akan alergi atau tidak

dengan tiap komponen puyer.

Dengan kata lain, dalam puyer dokter bisa membuat berbagai pilihan obat yang jelas

tidak bisa dilakukan sirup. Lalu soal obat berinteraksi dengan metal, bukankah semua obat

bahkan sirup sendiri juga dibuat di tempat-tempat yang berbahan metal dan logam. Untuk

masyarakat awam tidak perlu takut puyer itu aman selama apoteknya menjaga kehigienisan

pembuatan puyer.
BAB IV
PENUTUP

4.1. Kesimpulan

Jadi, yang dapat kami simpulkan dari semua yang tersebut diatas adalah bentuk sediaan

puyer sebenarnya tidak bermasalah, yang bermasalah adalah polifarmasi (pemberian obat yang

berlebihan/dobel dalam satu puyer), pembuatannya (baik dari segi higienis, dan ketepatan

dosis), ketersediaan obat (ada tidaknya obat sirup), harga (mahalnya harga sirup). Jadi,

pemberitaan yang sering diliput di berbagai media tidak salah, hanya saja pemberitaan itu tidak

dilakukan riset terlebih dahulu dan pemberitaannya tidak seimbang yang akibatnya

menimbulkan keresahan di masyarakat. Tapi dari semua itu, yang menentukan segalanya

adalah anda sendiri, jadi pikirkanlah dengan sebaik-baiknya, pertimbangkan masak-masak,

pelajari dengan sejelas-jelasnya.

Anda mungkin juga menyukai