Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Penyakit vesiko bulosa atau penyakit kulit berlepuh adalah kelainan
kulit yang di tandai dengan timbulnya ruam primer berupa vesikel dan bula.
Vesikel atau bula terjadi akibat gangguan kohesi sel sel intradermal atau
adhesi dermo epidermal junction yang dapat menyebabkan terjadinya
influks cairan.1
Desmosome, hemidesmosom dan membrane basal epidermal
merupakan perlengkapan pada kohesi epidermal dan kohesi epidermal
dermal, dimana mereka mewakili kompleks molekul yang berbeda.
Komponen utama pada desmososm termasuk tiga family gen utama : plakins,
protein armadillo, dan kadherin desmosome. Komponen hemidesmosomal
meliputi homolog plakin, integrin, dan protein kolagen transmembran.
Sedangkan untuk semua membrane basal mengandung kolagen tipe VI,
laminin, nidogen dan perlesen. Fungsi spesifik dari membrane basal adalah
disediakan oleh glikoprotein spesifik jaringan tambahan. Disamping peran
structural mereka, desmosom, hemidesmosom, dan membrane basal
epidermal juga secara logis aktif dalam pensinyalan seluler.2
Mutase pada gen yang mengkode protein diatas menyebabkan
penyakit kulit turun temurun, mulai dari hypotrichosis dan ketoderma hingga
epidermiolisis bulosa dan kindler syndrome. Komponen protein desmosom,
hemidesmosom, dan membaran basal epidermal di targetkan pada penyakit
kulit melepuh autoimun pada kelompok pemphigus atau pemfigoid dan pada
epidermiolisis bullosa aquisita.2
Ada beberapa penyakit yang dapat memberikan gambaran berupa
vesikel dan bula, antara lain pemfisgus, dermatitis hepertiformis (penyakit
Duhring), pemfigoid bulus, epidermolysis bulosa, benign mucous membrane
pemphigoid, benign familial chronic pemphigus (hailey hailey disease) yang
merupakan genodermatosis, chronic bulous disease of children (CBDC), dan
herpes getationes yang timbul pada masa kehamilan dan pascapersalinan.1,3
Namun pada referat ini akan dibahas mengenai dermatitis hepertiformis.
Dermatitis herpetiformis (DH) adalah penyakit autoimun langka yang
terkait dengan kepekaan gluten dengan kekambuhan kronis. Saat ini dianggap
sebagai manifestasi kekambuhan khas penyakit celiac (CD). Kedua kondisi
tersebut dimediasi oleh IgA kelas autoantibodi, dan diagnosis DH bergantung
pada deteksi simpanan granular IgA di kulit. Ada predisposisi genetik yang
mendasari perkembangan DH, namun faktor lingkungan juga penting.4

1.2. Tujuan
Tujuan penulisan referat ini untuk menguraikan mengenai defenisi,
epidemiologi, etiologi, pathogenesis, gejal klinis, pemeriksaan penunjang,
diagnosis banding, penatalaksanaan dan prognosis Dermatitis Hepertiformis
untuk membantu menentukan diagnosis serta memberikan terapi yang tepat.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Dermatitis Hepertiformis


Dermatitis hepertiformis adalah penyakit residif menahun dengan ruam
polimorfik, terutama berupa vesikel yang tersusun berkelompok dan simetris,
disertai rasa gatal yang hebat.1,3,5
Dermatitis herpetiformis (DH) adalah penyakit bulosa autoimun ditandai
dengan vesikel yang sangat pruritus, kronis, dan berulang pada permukaan
ekstensor seperti siku, lutut, dan bokong. Koleksi neutrofil pada papil adalah
tipikal temuan histopatologis, dan ciri karakteristik diagnostiknya granular
immunoglobulin suatu deposisi pada papiler dermis oleh imunofluoresensi
langsung. DH berhubungan erat dengan gluten enteropati sensitif dan dianggap
sebagai manifestasi kutaneous sensitivitas gluten; yaitu presentasi pelepasan
penyakit celiac ekstra-intestinal.6

B. Epidemiologi
Dermatitis hepertiformis (DH) biasanya mengenai penderita usia muda (20 -
40 tahun), walaupun awal penyakitnya dapat terjadi pada setiap umur, termasuk
anak anak. Frekuensi pada anak laki laki dua kali lebih banyak dari pada
wanita. Kebanyakan penderita disertai enteropati, oleh karena sensitive terhadap
glutein.1,
Penyakit ini dapat dengan jelas dibedakan dari erupsi melepuh sub
epidermal lainnya dengan kriteria histologi, imunologis, dan gastrointestinal.
Kehadiran DH di berbagai populasi kaukasia bervariasi antara 10 dan 39/100.000
orang. Hal ini mungkin dimulai dari usia berapa pun, termasuk masa anak anak.
Namun, dekade kedua, ketiga, dan keempat adalah yang paling umum. Setelah
presentasi, DH tetap bertahan tanpa batas waktu, meski dengan tingkat keparahan
yang bervariasi. Pasien dengan DH memiliki enteropati sensitive gluten terikat
yang biasanya tanpa gejala.2

C. Etiologi
Penyebab pasti DH belum dapat diketahui.1,2 Faktor yang mempengaruhi
timbulnya penyakit ini adalah sensitivitas terhadap gluten (protein gandum) dapat
menimbulkan penyakit. Dan pemeriksaan imunofluoresensi langsung, dapat
dibuktikan adanya perubahan bebrapa immunoglobulin (IgA, IgG, IgM) di ujung
papilla dermis. Karena itu, factor sensitivitas diduga berperan penting dalam
menimbulkan penyakit.5

D. Pathogenesis
Dermatitis herpetiformis adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh
pengendapan IgA pada dermis papiler, yang memicu kaskade imunologis, yang
mengakibatkan rekrutmen neutrofil dan aktivasi komplemen. Dermatitis
herpetiformis adalah hasil respons imunologis terhadap rangsangan kronis
mukosa usus oleh diet gluten.7
Predisposisi genetik yang mendasari perkembangan dermatitis herpetiformis
telah ditunjukkan. Pada dermatitis herpetiformis dan penyakit celiac (CD)
dikaitkan dengan peningkatan ekspresi haplotipe HLA-A1, HLA-B8, HLA-DR3,
dan HLA-DQ2. Faktor lingkungan juga penting; monozigot kembar mungkin
memiliki dermatitis herpetiformis, penyakit seliaka, dan / atau enteropati sensitif
gluten dengan simtomatologi bervariasi.1,7
Teori terdepan untuk dermatitis herpetiformis adalah predisposisi genetik
untuk sensitivitas gluten, ditambah dengan diet tinggi gluten, menyebabkan
pembentukan antibodi IgA terhadap glukosa jaringan transglutaminase (t-TG),
yang ditemukan di usus. Antibodi ini bereaksi silang dengan transglutaminase
epidermal (e-TG). eTG sangat homolog dengan t-TG. Serum dari pasien dengan
enteropati peka-gluten, dengan atau tanpa penyakit kulit, mengandung antibodi
IgA pada jenis kulit dan usus. Deposisi kompleks TG IgA dan epidermal pada
papiler dermis menyebabkan lesi dermatitis herpetiformis. Pada pasien dengan
enteropati peka-gluten, kadar antibodi yang beredar pada jaringan dan
transglutaminase epidermal telah ditemukan berkorelasi satu sama lain, dan
keduanya tampak berkorelasi dengan tingkat enteropati.7
Co-localized IgA dan deposit e-TG telah ditunjukkan pada papiler dermis
pada pasien dengan dermatitis herpetiformis dan pada tingkat yang lebih rendah,
pada kulit sehat pasien enteropati peka-gluten. TG belum ditunjukkan pada
papiler dermis normal, yang menunjukkannya adalah bagian dari kompleks
sirkulasi yang tersimpan dalam papiler dermis, bukan berasal dari Papiler dermis.
Deposito IgA kulit pada dermatitis herpetiformis telah terbukti berfungsi secara in
vitro sebagai ligan untuk migrasi neutrofil dan keterikatan. Meskipun deposisi
IgA sangat penting untuk penyakit, peningkatan IgA serum tidak diperlukan
untuk patogenesis; Sebenarnya, laporan kasus menggambarkan dermatitis
herpetiformis pada pasien dengan defisiensi IgA parsial. Bila penyakit ini aktif,
beredar neutrofil memiliki tingkat CD11b yang lebih tinggi dan peningkatan
kemampuan untuk mengikat IgA. Temuan histologis karakteristik dermatitis
herpetiformis adalah akumulasi neutrofil pada sambungan dermoepidermal, yang
sering dilokalisasi ke ujung papiler pada zona membran basal.7
kolagenase dan stromelysin 1 dapat diinduksi pada keratinosit basal baik oleh
sitokin yang dilepaskan dari neutrofil atau kontak dengan keratin dari matriks
membran dasar yang rusak. Stromelysin 1 dapat menyebabkan pembentukan
blister (melepuh).7
Satu studi menemukan tingkat ekspresi mRNA E-selectin pada kulit pasien
normal yang muncul dengan dermatitis herpetiformis menjadi 1271 kali lebih
besar dari kontrol. Selain itu, penelitian yang sama mengamati peningkatan E-
selectin yang mudah larut, antibodi antitissue transcutaminase IgA, tingkat
nekrosis faktor-alfa, dan serum interleukin 8 (IL-8) pada pasien dengan dermatitis
herpetiformis, memberikan bukti lebih lanjut tentang aktivasi sel endotel dan
inflamasi sistemik. respon sebagai bagian dari mekanisme patogen penyakit.7
Trauma ringan juga dapat menyebabkan pelepasan sitokin dan menarik
neutrofil yang sebagian prima atau aktif, yang sesuai dengan lokasi khas lesi
dermatitis herpetiformis pada area yang sering mengalami trauma, seperti lutut
dan siku.7
Faktor hormonal juga berperan dalam patogenesis dermatitis herpetiformis,
dan laporan menggambarkan dermatitis herpetiformis yang disebabkan oleh
pengobatan dengan leuprolide acetate, analog hormon pelepas gonadotropin.
Apoptosis dapat berkontribusi pada patogenesis perubahan epidermal pada
dermatitis herpetiformis, dan penelitian menunjukkan tingkat apoptosis yang
meningkat secara nyata di dalam kompartemen epidermis pada dermatitis
herpetiformis. Selain itu, protein Bax dan Bcl-2 meningkat di kompartemen
perivaskular dermal dan protein Fas menunjukkan pewarnaan epidermal pada lesi
dermatitis herpetiformis.7

E. Manifestisi Klinis
Lesi primer dari DH adalah lesi terdiri dari eritematosa papula atau seperti
plak, vesikula, kadang-kadang hemorrhagik, sesekali terdapat rambut. Lesi diatur
dalam kelompok (dengan demikian namanya herpertiformis) lesi distribusinya
sangat simetris. Goresan hasilkan ekoriasi atau krusta. Pasca inflamasi hiper dan
hipopigmentasidi tempat lesi yang disembuhkan.8
Keadaan umum penderita baik, keluahan sangat gatal. Tempat predileksi ialah
di punggung, daerah sacrum, bokong, ekstensor lengan atas, sekitar siku, dan
lutut. Kelainan yang utama ialah vesikel, oleh karena itu disebut hepertiformis
yang berarti seperti herpes zoster. Vesikel vesikel tersebut dapat tersusun asinar
atau sirsinar. Dinding vesikel atau bula tegang.3
Setalah 2 minggu, erupsi kulit yang lama menghilang dengan meninggalkan
bercak bercak hiperpigmentasi dan jaringan parut superfisial yang hipopigmen.
Perjalanan penyakit biasanya kronis, dengan remisi dan eksaserbasi dapat dipicu
infeksi akut atau gangguan emosi. Penyakit dapat berlangsung sampai 10 tahun
atau lebih.1,8
Manifestasi klinis gastrointestinal gluten-Enteropati sensitif dapat terjadi pada
usia berapapun di masa kanak-kanak saat sereal diperkenalkan ke dalam oral diet,
atau di masa dewasa tanpa adanya reaksi intoleransi makanan sebelumnya.
Gejalanya meliputi diare, steatorrhea, malabsorpsi dengan anemia yang
dihasilkan, penyakit metabolik tulang, penurunan berat badan dan malnutrisi.
Namun beberapa pasien tidak memiliki tanda atau gejala gastrointestinal sama
sekali, karena mayoritas pasien DH adalah asimtomatik, karena hanya 20% di
antaranya yang mengalami gejala intestinal.9
Diagnosis berbasis DH pada gambaran klinis dan demonstrasi granular
endapan imunoglobulin A (IgA) pada papiler dermis.10

Gambar 2.1. Tempat predileksi yang umum terjadi pada Dermatitis


Hepertiformis.
a b

Gamabr 2.2. (a) Erupsi luas dengan kelompok papul, vesikel dan krusta di
bagian punggung dan (b) Papul, vesikel, dan krusta di bagian lutut.

F. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan laboratorium
Pada darah tepi terdapat hipereosinofilia, dapat melebihi 40%.
Demikian pula cairan vesikel atau bula terdapat banyak eosinophil (20
90%).3
2. Pemeriksaan Histopatologi
Terdapat kumpulan neutrofil di papil dermal yang membentuk
mikroabses neutrofilik. Kemudian terbentuk edema papilar, celah
subepidermal, dan vesikel multiokular dan subepidermal. Terdapat pula
infiltrat eosinofilil pada dermal, juga di vairan vesikel.
.
Gambar 2.3. Lesi awal menunjukkan kumpulan neutrofil dan eosinofil pada
papilla dermis.
3. Immunofluorescence
Perilesi kulit, terbaik pada region gluteus. Deposit IgA granular di
ujung papilla yang berkolerasi baik dengan penyakit usus kecil (Small bowel
disease). IgA granular ditemukan hampir di kulit normal pada kebanyakan
pasien dan bersifat diagnostik. Juga yang dapat ditemukan adalah pelengkap
komponen jalur alternatif C3 dan C5.8

Gambar 2.4. Terlihat adanya deposit IgA granular pada papilla


dermis.
G. Diagnosis Banding
1. Herpes Zoster
Herpes zoster atau shingles adalah penyakit neurokutan dengan
manifestasi erupsi vesicular berkelompok dengan dasar eritematosa disertai
nyeri radikular unilateral yang umumnya terbatas di satu dermatom. Herpes
zoster merupakan manifestasi reaktivasi infeksi laten endogen virus varisela
zoster di dalam neuron ganglion sensoris radiks dorsalis, ganglion saraf
kranialis atau ganglion saraf autonomik yang menyebar ke jaringan saraf dan
kulit dengan segmen yang sama. Lebih dari setengah jumlah keseluruhan
kasus dilaporkan terjadi pada usia lebih dari 60 tahun dan komplikasi terjadi
hampir 50% di usia tua. Jarang di jumpai pada usia dini (anak dan dewasa
muda). Herpes zozter dapat dimulai dengan timbulnya gejala prodromal
berupa sensasi abnormal atau nyeri otot local, nyeri tulang, pegal, paresthesia
sepanjang dermatom, gatal, rasa terbakar dari ringan sampai berat. Gejala
prodromal dapat berlangsung beberapa hari (1 10 hari rata rata 2 hari).
Setelah awitan gejala prodromal, timbul erupsi kulit yang biasanya gatal atau
nyeri terlokalisata (terbatas di 1 dermatom) berupa makula kemerhan.
Kemudian berkembang menjadi papul, vesikel jernih berkelompok selama 3
5 hari.3
a b

Gambar 2.3. a). Kelompok dermatom dan vesikel yang bertemu pada bagian
punggung kanan atas dan lengan kanan; b). Vesikel yang bertemu pada bagian
dada.

2. Pemvigus Vulgaris
Pemfigus adalah kumpulan penyakit kulit autoimun berbula kronik,
menyerang kulit dan membrane mukosa yang secara histologik ditandai
dengan bula intraepidermal akibat proses akantolisis dan secara
imunopatologik ditemukan antibody terhadap komponen desmosome pada
permukaan keratinosit jenis IgG, yang terikat maupun beredar dalam srikulasi
darah. Pemfigus vulgaris merupakan bentuk yang tersering dijumpai,
frekuensinya pada kedua jenis kelamin sama. Umumnya mengenai umur
pertengahan (dekade ke 4 dan ke 5), tetapi dapat juga mengenai semua
umur, termasuk anak. Penyebab pemphigus adalah autoimun, karena pada
serum penderita ditemukan autoantibodi, juga dapat disebabkan oleh obat
(drug induced pemphigus), misalnya D penisilin dan kaptopril. Keadaan
umum penderita biasanya buruk. Penyakit dapat mulai sebagai lesi dikulit
kepala yang berambut atau di rongga mulut kira kira 60% kasus, lesi
ditempat tersebut dapat berlangsung berbulan bulan sebelum timbul bula
generalisata. Semua selaput lender dengan epitel skuamosa dapat diserang,
yakni selaput lender konjungtiva, hidung, faring, larings, esophagus, uretra,
vulva, dan serviks. Bula yang timbul berdinding kendur, mudah pecah dengan
meninggalkan kulit terkelupas, dan diikuti oleh pembentukan krusta yang
lama bertahan diatas kulit yang tampak normal atau yang eritematosa dan
generalisata. Tanda niskolsky positif disebabkan oleh adanya akantosis.3

Gambar 2.4. Lesi awal klasik, lembek, vesikel ruptur atau bulla pada kulit
normal. Vesikel yang pecah kemudian menyebabkan erosi dan menjadi kerak.

Gambar 2.5. Lesi berupa bulla yang lembek, dapat terjadi pada kulit kepala
dan selaput lendir.
3. Pemfigoid Bulosa
Pemfigoid bulosa ialah penyakit autoimun kronik, ditandai adanya
bula subepidermal yang besar dan berdinding tegang, dan pada pemeriksaan
imunopatologik ditemukan komponen komplemen ke 3 pada epidermal
basement membrane zone. Keadaan umum baik. Terdapat pada semua umur
terutama pada orang tua. Kelainan kulit terutama terdiri atas bula dapat
bercampur dengan vesikel berdinding tegang dan sering disertai eritema.
Tempat predileksi adalah di ketiak, lengan bagian fleksor, dan lipatan paha.
Jika bula bula pecah terdapat daerah erosive yang luas, tetapi tidak
bertambah seperti pada pemfigus vulgaris.3

Gambar 2.6. Lesi awal pada pemfigoid bulosa, plak urtikaria dan kecil, bula
tegang dengan kandungan serosa yang jernih.
Gambar 2.7. Pemfigoid bulosa dengan bulla umum, plak urtikaria dan bula
yang tegang.

H. Penatalaksanaan
1. Medikamentosa
Obat pilihan untuk dermatitis hepertiformis adalah preparat sulfon,
yakni DDS (diaminodifenisulfon). Pilihan yang kedua yakni sulfapiridin.
Dosis DSS 200 300 mg sehari, dosis awal 200 mg sehari. Jika ada perbaikan
akan tampak dalam 3 4 hari. Bila belum ada perbaikan dosis dapat
dinaikkan. Dosis yang efektif ialah 200 mg atau 300 mg. efek samping ialah
agranulositosis, anemia hemolitik, dan methemoglobinemia. Kecuali itu juga
neuritis perifer dan bersifat hepatotoksik. Dengan dosis 100 mg sehari
umumnya tidak ada efek samping.3
Pada pemeriksaan laoratorium yang harus diperkirakan ialah kadar Hb,
jumlah leukosit, dan hitung jenis leukosit, sebelum pengobatan dan 2 minggu
sekali. Jika klinis menunjukkan tanda tanda anemia atau sianosis segera
dilakukan pemeriksaan laboratorium. Kontraindikasi pemberian DSS ialah
defisiensi G6PD karena dapat terjadi anemia hemolitk. Bila telah sembuh
dosis diturunkan perlahan lahan setiap minggu 50 mg sehari, kemudian 2
hari sekali, lalu menjadi seminggu 1 kali.3
Sulfapiridin sukar didapat (jarang diproduksi), sebab efek toksiknya
lebih banyak dibandingkan dengan preparat sulfa yang lain. Obat tersebut
kemungkinan akan menyebabkan terjadinya nefrolitiasis karena sukar larut
dalam air. Efek samping hematologic seperti pada dapson, hanya lebih ringan.
Khasiatnya kurang dibandingkan dapron. Dosis deberikan antara 1 4 gram
sehari.3
2. Non-medikamentosa
Diet bebas gluten, diet ini harus dilakukan secara ketat, perbaikan pada
kulit tampak setelah beberapa minggu. Dengan diet ini penggunaan obat dapat
ditiadakan atau dosisnya dapat dikurangi. Kelainan intestinal juga mengalami
perbaikan, sedangkan dengan obat obat kelianan ini tidak mengalami
perbaikan.3

I. Prognosis
DH adalah penyakit kronis yang membutuhkan kepatuhan GFD jangka
panjang. Mereka yang bisa mematuhi respon yang baik cenderung telah
mengurangi kematian dan mungkin bisa menghentikan perawatan dapson.
Meskipun Pasien dengan CD yang merespons GFD dengan buruk mungkin
memiliki angka kematian tinggi dan mempersingkat waktu bertahan hidup, pasien
DH yang tidak responsive ke GFD memiliki prognosis yang relatif baik. DH
Remisi diketahui pada sekitar 10% pasien, sebagian besaryang mengembangkan
DH pada usia 39 tahun atau lebih.6
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dermatitis herpetiformis (DH) adalah penyakit autoimun langka yang terkait
dengan kepekaan gluten dengan kekambuhan kronis. Saat ini dianggap sebagai
manifestasi kekambuhan khas penyakit celiac (CD). Kedua kondisi tersebut
dimediasi oleh IgA kelas autoantibodi, dan diagnosis DH bergantung pada deteksi
simpanan granular IgA di kulit. Ada predisposisi genetik yang mendasari
perkembangan DH, namun faktor lingkungan juga penting.

B. Saran
Penting untuk mengetahui cara mendiagnosa pasien Dermatitis Hepertiformis
dengan tepat, dengan cara mengenali tanda dan gejal awal yang ditimbulkan
sehingga dengan demikian penangan dapat diatasi dengan cepat dan tepat.
Dengan memperhatikan keterbatasan yang ada pada referat ini, maka dapat
dikembangkan untuk penulisan lebih lanjut.
DAFTAR PUSTAKA

1. Harahap Marwali. Ilmu Penyakit Kulit. EGC. Jakarta: 2015.

2. Wolff Klaus, Goldsmith AL, Katz IS, Gilcherst AB, Paller SA, Leffell JD.
Dermatitis Hepertiformis in Fitzpattricks Dermatology in General Medicine.
Seventh edition. New York: McGraw Hill. 2012.

3. Menaidi SL. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Badan Penerbit Fakultas
Kedokteran Indonesia. Jakarta: 2015.

4. Bonciani D, et al. Rivew Article Dermatitis Hepertiformis : From the Genetick to


the Development of Skin Lesions. Clinical and Developmental Immunology.
2012. Volume. 2012. Pp : 1 7.

5. Siregar SR. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Edisi 3. EGC. Jakarta: 2015.

6. Ohata Chika. Dermatitis Hepertiformis : A Cutaneous Gluten Related Disorder


with Possible Expection in Asian Patients. Journal of Dermatology Research and
Therapy. 2016. Volume. 2. Number. 6. Pp: 1 5.

7. Prasant Jigura. A Riview Dermatitis Hepertiformis. International Journal of


Pharma Research and Rivew. 2014. Volume.3. Number.3. Pp : 72 78.

8. Johnson RA, Wolff K. Dermatitis Hepertiformis in Fitzpatricks Color Atlas and


Synopsis of Clinical Dermatology. Sixth edition. New York: McGrow Hill.
2012.
9. Mendes Rocha BF, et al. Rivew : Dermatitis Hepertiformis. An Bras Dermatol.
2013. Volume.88. Number. 4. Pp: 594 599.

10. Hervonen K, et al. Clinical Report : Dermatitis Hepertiformis Refractory to


Gluten Free Dietary Treatment. Acta Derm Venereol. 2016. Volume. 2016.
Number. 96. Pp: 82 86.

Anda mungkin juga menyukai