Anda di halaman 1dari 13

LEARNING OBJECTIVE :

1. Patofisiologi avian influenza !


2. Patofisiologi pneumonia !
3. Regulasi pemberian antibiotic !
4. Pengobatan untuk komplikasi avian influenza (bronkhitis, sinusitis dan batuk
berdahak) !
5. Diagnosis banding pada skenario !
JAWABAN
1. Patofisiologi Avian Influenza
Penyebaran virus Afian Influenza terjadi melalui udara dimana virus dapat
tertanam pada membrane mukosa yang melapisi saluran napas atau langsung
memasuki alveoli (tergantung dari ukuran droplet). Virus yang tertanam pada
membrane mukosa akan terpajan mukoproterin yang mengandung asam sialat
yang dapat mengikat virus. Reseptor spesifik yang dapat berikatan dengan virus
influenza berikatan dengan spesies darimana virus berasal.
Virus avian influenza manusia dapat berikatan dengan alpha 2,6
Sialiloligosakarida yang berasal dari membrane sel dimana didapatkan residu
galaktosa melalui ikatan 2,6 linkage. Virus Avian Influenza dapat berikatan
dengan membrane sel mukosa melalui ikatan yang berbeda yaitu ikatan 2,3
linkage. Adanya perbedaan pada reseptor yang terdapat pada membrane mukosa
diduga sebagai penyebab mengapa virus AI tidak dapat mengadakan replikasi
secara efisien pada manusia.
Mukoprotein yang mengandung reseptor ini akan mengikat virus sehingga
perlekatan virus yang mengandung protein neuraminidase pada permukaannya
dapat memecah ikatan tersebut. Replikasi virus terjadi selama 4 6 jam sehingga
dalam waktu singkat virus dapat menyebar ke sel didekatnya. Masa inkubasi
virus 18 jam sampai 4 g=hari, lokasi utama dari infeksi yaitu pada sel sel
kolumnar yang bersilia. Sel sel yang terinfeksi akan bersamaan dengan
terjadinya disintegrasi dan kemudian mengalami piknosis. Bersamaan dengan
terjadinya disintegrasi dan hilangnya silia selanjutnya akan terbentuk badan
inklusi.
(Sumber : Sudoyo. A. W. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi
V. Interna Publishing; Jakarta).
2. Patofisiologi pneumonia
Proses pathogenesis pneumonia terkait 3 faktor yaitu keadaan (imunitas)
inang, mikroorganisme yang menyerang pasien dan lingkungan yang berinteraksi

1
satu sama lain. Interaksi ini akan menentukan klasifikasi dan bentuk manifestasi
dari pneumonia, berat ringannya penyakit, diagnosis empirik, rencana terapi
secara empiris serta prognosis dari pasien.
Cara terjadinya penularan berkaitan dengan jenis kuman, misalnya infeksi
melalui droplet sering disebabkan Streptococcus pneumonia, melalui selang
infus oleh Sthaphylococcus aureus sedangkan infeksi pada pemakaian ventilator
oleh P. aeruginosa dan enterobacter.
(Sumber : Sudoyo. A. W. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi
V. Interna Publishing; Jakarta).

Pneumonia Komunitas (PK)


Gambaran interaksi dari ketiga faktor tersebut tercermin pada kecenderungan
terjadinya infkesi oleh kuman tertentu oleh faktor perubah :

2
Pneumonia di Rumah Perawatan (PN)
Pathogen yang sampai ke trachea terutama dari aspirasi bahan orofaring,
kebocoran melalui mulut saluran endotracheal, inhalasi, dan sumber bahan
pathogen yang mengalami kolonisasi di pipa endotracheal.
PN terjadi akibat proses infeksi bila pathogen yang masuk saluran napas
bagian bawah tersebut mengalami kolonisasi setelah dapat melewati hambatan
mekanisme pertahanan inang berupa daya tahan mekanik (epitel silia dan
mucus), humoral (antibody dan komplemen) dan seluler (leukosit polinuklir,
makrofag, limfosit, dan sitokinnya). Kolonisasi terjadi akibat adanya berbagai
faktor inang dan terapi yang telah dilakukan yaitu adanya penyakit penyerta yang
berat, tindakan bedah, pemberian antibiotic, obat obatan lain dan tindakan
invasive pada saluran pernapasan. Mekanisme lain adalah pasisi bakteri
pencernaan ke paru, penyebaran hematogen, dan akibat tindakan intubasi.
Patogenesis pneumonia nosokomial pada prinsipnya sama dengan pneumonia
komuniti. Pneumonia terjadi apabila mikroba masuk ke saluran napas bagian
bawah. Ada empat rute masuknya mikroba tersebut ke dalam saluran napas
bagian bawah yaitu :
- Aspirasi, merupakan rute terbanyak pada kasus-kasus tertentu seperti kasus
neurologis dan usia lanjut
- Inhalasi, misalnya kontaminasi pada alat-alat bantu napas yang digunakan
pasien.
- Hematogenik

3
- Penyebaran langsung.
Pasien yang mempunyai faktor predisposisi terjadi aspirasi mempunyai risiko
mengalami pneumonia nosokomial. Apabila sejumlah bakteri dalam jumlah
besar berhasil masuk ke dalam saluran napas bagian bawah yang steril, maka
pertahanan pejamu yang gagal membersihkan inokulum dapat menimbulkan
proliferasi dan inflamasi sehingga terjadi pneumonia. Interaksi antara faktor
pejamu (endogen) dan faktor risiko dari luar (eksogen) akan menyebabkan
kolonisasi bakteri patogen di saluran napas bagian atas atau pencernaan
makanan. Patogen penyebab pneumonia nosokomial ialah bakteri gram negatif
dan Staphylococcus aureus yang merupakan flora normal sebanyak < 5%.
Kolonisasi di saluran napas bagian atas karena bakteri-bakteri tersebut
merupakan titik awal yang penting untuk terjadi pneumonia.

(Sumber : Sudoyo. A. W. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi
V. Interna Publishing; Jakarta
Pedomana Diagnosis & Penatalaksanaan Di Indonesia. 2003. Pneumonia
Nosokomial).

4
3. Regulasi Pemberian Antibiotik
Kebijakan penggunaan antibiotik di rumah sakit, berisi hal berikut ini :
a. Kebijakan Umum
Kebijakan penanganan kasus infeksi secara multidisiplin.
Kebijakan pemberian antibiotik terapi meliputi antibiotik empirik dan
definitive.
Terapi antibiotik empiris adalah penggunaan antibiotik pada kasus infeksi
atau diduga infeksi yang belum diketahui jenis bakteri penyebab dan pola
kepekaannya.
Terapi antibiotik definitif adalah penggunaan antibiotik pada kasus
infeksi yang sudah diketahui jenis bakteri penyebab dan pola
kepekaannya.
Kebijakan pemberian antibiotik profilaksis bedah meliputi antibiotik
profilaksis atas indikasi operasi bersih dan bersih terkontaminasi
sebagaimana tercantum dalam ketentuan yang berlaku. Antibiotik
Profilaksis Bedah adalah penggunaan antibiotik sebelum, selama, dan
paling lama 24 jam pascaoperasi pada kasus yang secara klinis tidak
memperlihatkan tanda infeksi dengan tujuan mencegah terjadinya infeksi
luka daerah operasi.
Pemberian antibiotik pada prosedur operasi terkontaminasi dan kotor
tergolong dalam pemberian antibiotik terapi sehingga tidak perlu
ditambahkan antibiotik profilaksis
b. Kebijakan Khusus
Pengobatan awal
- Pasien yang secara klinis diduga atau diidentifikasi mengalami
infeksi bakteri diberi antibiotik empirik selama 48-72 jam.
- Pemberian antibiotik lanjutan harus didukung data hasil pemeriksaan
laboratorium dan mikrobiologi.
- Sebelum pemberian antibiotik dilakukan pengambilan spesimen
untuk pemeriksaan mikrobiologi.
Antibiotik empirik ditetapkan berdasarkan pola mikroba dan kepekaan
antibiotik setempat.
Prinsip pemilihan antibiotic :
- Pilihan pertama (first choice).
- Pembatasan antibiotik (restricted/reserved).

5
- Kelompok antibiotik profilaksis dan terapi.
Pengendalian lama pemberian antibiotik dilakukan dengan menerapkan
automatic stop ordersesuai dengan indikasi pemberian antibiotik yaitu
profilaksis, terapi empirik, atau terapi definitive.
Pelayanan laboratorium mikrobiologi :
- Pelaporan pola mikroba dan kepekaan antibiotik dikeluarkan secara
berkala setiap tahun.
- Pelaporan hasil uji kultur dan sensitivitas harus cepat dan akurat.
- Bila sarana pemeriksaan mikrobiologi belum lengkap, maka
diupayakan adanya pemeriksaan pulasan gram dan KOH.
(Sumber : Peraturan Mentri Kesehatan republik Indonesia Nomor 8 tahun 2015.
Tentang Program pengendalian Resistensi Antimikroba Di Rumah Sakit).

4. Pengobatan untuk komplikasi avian influenza (bronkhitis, sinusitis dan


batuk berdahak)
a. Sinusitis

6
(Sumber : Buku Saku EPOS. 2007.
http://www.ep3os.org/pdf/pocketguide/indonesia.pdf).
b. Bronitis
Penatalaksanaan secara umum PPOK meliputi :
1. Edukasi

7
2. Obat obatan
Bronkodilator
Diberikan secara tunggal atau kombinasi dari ketiga jenis
bronkodilator dan disesuaikan dengan klasifikasi derajat berat
penyakit ( lihat tabel 2 ). Pemilihan bentuk obat diutamakan inhalasi,
nebuliser tidak dianjurkan pada penggunaan jangka panjang. Pada
derajat berat diutamakan pemberian obat lepas lambat (slow release)
atau obat berefek panjang (long acting).
Macam - macam bronkodilator :
- Golongan antikolinergik : Digunakan pada derajat ringan sampai
berat, disamping sebagai bronkodilator juga mengurangi sekresi
lendir (maksimal 4 kali perhari ).
- Golongan agonis beta 2 Bentuk inhaler digunakan untuk
mengatasi sesak, peningkatan jumlah penggunaan dapat sebagai
monitor timbulnya eksaserbasi. Sebagai obat pemeliharaan
sebaiknya digunakan bentuk tablet yang berefek panjang. Bentuk
nebuliser dapat digunakan untuk mengatasi eksaserbasi akut,
tidak dianjurkan untuk penggunaan jangka panjang.Bentuk
injeksi subkutan atau drip untuk mengatasi eksaserbasi berat.
- Kombinasi antikolinergik dan agonis beta 2 : Kombinasi kedua
golongan obat ini akan memperkuat efek bronkodilatasi, karena
keduanya mempunyai tempat kerja yang berbeda. Disamping itu

8
penggunaan obat kombinasi lebih sederhana dan mempermudah
penderita.
- Golongan xantin : Dalam bentuk lepas lambat sebagai
pengobatan pemeliharaan jangka panjang, terutama pada derajat
sedang dan berat. Bentuk tablet biasa atau puyer untuk mengatasi
sesak ( pelega napas ), bentuk suntikan bolus atau drip untuk
mengatasi eksaserbasi akut. Penggunaan jangka panjang
diperlukan pemeriksaan kadar aminofilin darah.
Antiinflamasi :Digunakan bila terjadi eksaserbasi akut dalam bentuk
oral atau injeksi intravena, berfungsi menekan inflamasi yang terjadi,
dipilih golongan metilprednisolon atau prednison. Bentuk inhalasi
sebagai terapi jangka panjang diberikan bila terbukti uji
kortikosteroid positif yaitu terdapat perbaikan
VEP1pascabronkodilator meningkat > 20% dan minimal 250 mg.
Antibiotika
Hanya diberikan bila terdapat infeksi. Antibiotik yang digunakan :
- Lini I : amoksisilin, makrolid
- Lini II : amoksisilin dan asam klavulanat, sefalosporin, kuinolon,
makrolid baru.
- Perawatan di Rumah Sakit :
dapat dipilih :
Amoksilin dan klavulanat
Sefalosporin generasi II & III injeksi
Kuinolon per oral ditambah dengan yang anti pseudomonas
Aminoglikose per injeksi
Kuinolon per injeksi
Sefalosporin generasi IV per injeks
3. Terapi oksigen
4. Ventilasi mekanik
5. Nutrisi
6. Rehabilitasi
(Sumber : Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Di Indonesia. 2003.
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)

9
c. Batuk Berdahak

Pengobatan Batuk:
- Antitusif : Obat antitusif berfungsi menghambat atau menekan batuk
dengan menekan pusat batuk serta meningkatkan ambang rangsang
sehinggaakan mengurangi iritasi. Secara umum berdasarkan tempat
kerja obat, antitusif dibagi atas antitusif yang bekerja di perifer dan
antitusif yang bekerja di sentral. Antitusif yang bekerja di sentral dibagi
atas golongan narkotik dan nonnarkotik.Contoh : Kodein, DMP,
Noskapin dan Uap Menthol.
- Ekspektoran : Obat ini digunakan untuk meningkatkan sekresi mukus di
saluran napas sehingga bermanfaat untuk mengurangi iritasi dan
batuknya akan berkurang dengan sendirinya. Contoh : Amonium
klorida, potasium sitrat, guaifenesin dan gliseril guaiakolat.
- Mukolitika : Infeksi pernapasan menyebabkan munculnya mukus yg
bersifat purulen atau menyebabkan infeksi, oleh karena itu harus segera
dikeluarkan secara alamiah. Obat golongan ini berkhasiat melarutkan
danmengencerkan dahak yg kental sehingga lebih mudah dikeluarkan

10
melalui batuk dan sering digunakan pada penderita Bronkhitis. Contoh :
Asetilsistein , Bromheksin.
(Sumber : Kemenkes RI Bangka Belitung. 2013. Obat Obat Saluran
Pernapasan.https://tintusfar.files.wordpress.com/2013/04/obat-saluran-
pernafasan-poltekes-kemenkes-ri.pdf).

5. Diagnosis banding pada skenario


Avian Influenza (D) Pneumonia (DD)
Manifestasi Klinis : Manifestasi Klinis :
- Secara umum manisfestasi mirip a. PK
gejala ILI (Influenza Like Anamnesis : Gambaran klinik
Illness) : batuk, pilek, dan biasanya ditandai dengan
demam (> 38 C).0 demam, menggigil, suhu tubuh
- Gejala lain berupa : sefalgia, meningkat dapat melebihi 400C,
nyeri tenggorokkan, myalgia, batuk dengan dahak mukoid
dan malaise. atau purulen kadang-kadang
disertai darah, sesak napas dan
- Keluhan gastrointestinal : diare nyeri dada.
- Dan keluhan lain konjungtivitis Pemeriksaan fisik : Temuan
Pemeriksaan laboratorium : pemeriksaan fisis dada
leukopenia, lomfopenia dan tergantung dari luas lesi di paru.
trombositipenia. Pada inspeksi dapat terlihat
Pemeriksaan kimia darah : bagian yang sakit tertinggal
Penurunan albumin, peningkatan waktu bernapas,pasa palpasi
SGOT/SGPT, peningkatan ureum fremitus dapat mengeras, pada
dan kreatinin, peningkatan perkusi redup, pada auskultasi
kreatinkinase, analasis gas darah terdengar suara napas
dapat normal atau abnormal bronkovesikuler sampai
Uji Serologi : bronkial yang mungkin disertai
- Imunofluoresencence (IFA) test : ronki basah halus, yang
ditemukan antigen + dengan kemudian menjadi ronki basah
menggunakan antibody kasar pada stadium resolusi.
monoclonal influenza A H5N1. Gambaran radiologis : Foto
- Uji netralisasi : didapatkan toraks (PA/lateral) merupakan
kenaikan titer antibody spesifik pemeriksaan penunjang utama
influenza A/ H5N1 sebanyak 4x untuk menegakkan diagnosis.
dalam paried serum. Gambaran radiologis dapat
Pemeriksaan radiologi : Pemeriksaan berupa infiltrat sampai
Foto Thorax PA dan Lateral konsolidasi dengan " air
ditemukan Infiltrat bilateral luas broncogram", penyebab
infiltrate difus, multilokal atau bronkogenik dan

11
tersebar atau berupa kolaps lobar. interstisialserta gambaran kaviti.
Foto toraks saja tidak dapat
secara khas menentukan
penyebab pneumonia, hanya
merupakan petunjuk ke arah
diagnosis etiologi, misalnya
gambaran pneumonia lobaris
tersering disebabkan oleh
Steptococcus pneumoniae,
Pseudomonas aeruginosa sering
memperlihatkan infiltrat
bilateral atau gambaran
bronkopneumonia sedangkan
Klebsiela pneumonia sering
menunjukkan konsolidasi yang
terjadi pada lobus atas kanan
meskipun dapat mengenai
beberapa lobus.
Pemeriksaan labolatorium :
Pada pemeriksaan labolatorium
terdapat peningkatan jumlah
leukosit, biasanya lebih dari
10.000/ul kadang-kadang
mencapai 30.000/ul, dan pada
hitungan jenis leukosit terdapat
pergeseran ke kiri serta terjadi
peningkatan LED. Untuk
menentukan diagnosis etiologi
diperlukan pemeriksaan dahak,
kultur darah dan serologi.
Kultur darah dapat positif pada
20-25% penderita yang tidak
diobati. Analisis gas darah
menunjukkan hipoksemia dan
hikarbia, pada stadium lanjut
dapat terjadi asidosis
respiratorik.
b. PN
Menurut kriteria dari The Centers
for Disease Control (CDC-
Atlanta),diagnosis pneumonia
nosokomial adalah sebagai

12
berikut : Onset pneumonia yang
terjadi 48 jam setelah dirawat di
rumah sakit dan menyingkirkan
semua infeksi yang inkubasinya
terjadi pada waktu masuk rumah
sakit.Diagnosis pneumonia
nosokomial ditegakkan atas dasar
:
Foto toraks : terdapat infiltrat
baru atau progresif
Ditambah 2 diantarakriteria
berikut:suhu tubuh > 380 C,
sekret purulent,leukositosis.

(Sumber : (Sumber : Sudoyo. A. W. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid
III. Edisi V. Interna Publishing; Jakarta
Pedomana Diagnosis & Penatalaksanaan Di Indonesia. 2003. Pneumonia
Nosokomial
Pedomana Diagnosis & Penatalaksanaan Di Indonesia. 2003. Pneumonia
Kontaminan)

13

Anda mungkin juga menyukai