Anda di halaman 1dari 39

BAB I

PENDAHULUAN

Jati diri seseorang dan kemampuannya dalam menilai realita bergantung


kepada perasaan, pikiran, sensasi, persepsi dan ingatan yang dimiliki orang tersebut.
Jika suatu saat komponen-tersebut terganggu, pandangan orang tersebut terhadap
dirinya sendiri atau lingkungannya akan berubah. Hal tersebut terjadi saat seseorang
mengalami disosiasi.1,2
Disosiasi terkadang dapat terjadi pada keadaan normal. Contohnya ketika
seseorang melakukan meditasi untuk menenangkan diri, orang tersebut melepaskan
persepsi terhadap dunia sekelilingnya agar dapat fokus. Disosiasi juga merupakan
suatu mekanisme perlindungan diri, contohnya untuk melindungi kondisi
kejiwaannya, seseorang memilih untuk melepaskan ingatan yang traumatik. Namun,
disosiasi juga dapat terjadi secara tidak sadar, dengan cara yang tidak diinginkan
sehingga menyebakan penurunan fungsi yang dapat mengganggu kualitas hidup
seseorang.Bentuk-bentuk dari disosiasi bisa berupa amnesia, depersonalisasi,
derealisasi, kebingungan identitas dan pergantian identitas. Episode minimal dari
disosiasi umumnya dialami oleh individu normal. Gangguan disosiatif terjadi saat
seseorang mengalami episode disosiasi yang berulang atau berkepanjangan sehingga
mengganggu kehidupan sehari-harinya.1
Diperkirakan dari total populasi di Negara Amerika, terdapat 2% yang
mengalami gangguan disosiatif. Hampir setengah orang dewasa mengalami
setidaknya satu episode depersonalisasi atau derealisasi pada hidup mereka dengan
2% mengalami episode kronik.1 Sementara di Indonesia, belum terdapat data yang
menunjukkan presentasi populasi yang mengalami gangguan disosiatif. Oleh karena
itu, belum ada gambaran tentang beratnya gangguan disosiatif di Indonesia.1,2

1
Namun, seiring dengan berkembangnya jaman, stresor psikososial disekitar
semakin tinggi, sehingga resiko untuk mengalami gangguan disosiatif semakin tinggi.
Oleh karena itu, dibutuhkan pemahaman yang mendalam tentang gangguan
disosiatif.2

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Gangguan disosiatif adalah gangguan dengan terganggunya fungsi integrasi
kesadaran, ingatan, identitas atau persepsi terhadap lingkungan sekitar sebagai
karakteristiknya. Gangguan tersebut dapat terjadi secara mendadak atau gradual,
sementara (transien) atau kronik.3Gangguan disosiatif biasanya muncul sebagai
respon terhadap kejadian traumatik, untuk menjaga memori tersebut tetap
terkontrol. Tekanan dari lingkungan dapat memperburuk gangguan menyebabkan
terganggunya kemampuan melakukan kegiatan sehari-hari.1
Fitur penting dari gangguan disosiatif adalah gangguan fungsi terintegrasi
dalam kesadaran, memori, identitas, atau persepsi lingkungan. Gangguan dapat
tiba-tiba atau bertahap, sementara atau kronis. Gangguan disosiatif terdiri dari
gangguan identitas disosiatif, gangguan depersonalisasi, amnesia disosiatif, fugue
disosiatif, dan gangguan disosiatif yang tidak ditentukan.2

2.2 Epidemiologi
Instrumen penilaian psikiatri umum tidak mencakup gangguan disosiatif
DSM-IV. Banyak penelitian epidemiologi skala besar menyebabkan hasil yang
bias karena defisit ini dalam metodologi mereka. Namun demikian, penelitian
skrining yang menggunakan alat diagnostik yang dirancang untuk menilai
kelainan disosiatif menghasilkan tingkat prevalensi seumur hidup sekitar 10%
pada populasi klinis dan di masyarakat. Populasi khusus seperti pelamar darurat
psikiatri, pecandu narkoba, dan wanita dalam pelacuran menunjukkan tingkat
tertinggi. Data yang berasal dari studi epidemiologi juga mendukung temuan
klinis tentang hubungan antara pengalaman buruk masa kanak-kanak dan
gangguan disosiatif. Dengan demikian, gangguan disosiatif merupakan masalah
kesehatan masyarakat yang tersembunyi dan terbengkalai. Pengenalan gangguan

3
disosiatif yang lebih baik dan awal akan meningkatkan kesadaran tentang trauma
masa kanak-kanak di masyarakat dan mendukung pencegahannya bersamaan
dengan konsekuensi klinis mereka.3
2.2.1 Amnesia Disosiatif
Amnesia disosiatif dianggap lebih sering terjadi pada perempuan
dibandingkan laki – laki dan lebih sering pada dewasa muda
dibandingkan dewasa yang lebih tua tetapi gangguan ini dapat terjadi
pada semua usia. Insidennya mungkin meningkat selama waktu perang
dan bencana alam. Kasus amnesia disosiatif yang terkait lingkungan
rumah tangga mungkin jumlahnya konstan. Sebagian besar kasus
ditemukan di ruang gawat darurat rumah sakit, tempat pasien amnesia
dibawa setelah ditemukan dijalan.3
2.2.2 Fugue Disosiatif
Fugue disosiatif jarang ditemukan, dan seperti amnesia disosiatif,
paling sering terjadi selama perang, setelah bencana alam, dan akibat
krisis pribadi degan konflik internal yang hebat. Menurut DSM – IV – TR
, terdapat angka prevalensi 0,2% di dalam populasi umum.3
2.2.3 Gangguan Identitas Disosiatif
Perkiraan prevalensi gangguan ini bervariasi menurut laporan riset
maupun laporan tidak resmi mengenai gangguan identitats disosiatif.
Pada suatu titik, sejumlah peneliti yakin bahwa gangguan identitas
disosiatif sangat jarang; pada titik lain, beberapa peneliti yakin bahwa
gangguan identitas disosiatiif sangat banyak yang tidak dikenali. Studi
yang terkontrol baik melaporkan bahwa antaara 0,5 hingga 3% pasien
yang datang ke rumah sakit psikiatrik umum memenuhi kriteria
diagnostik gangguan identitas disosiatif. Pasien yang didiagnosis
gangguan identitas disosiatif sebagian besar adalah perempuan – rasio
perempuan dibanding laki – laki 5 : 1 hingga 9 : 1. Meskipun demikian,
banyak klinisi dan peneliti yakin bahwa laki –laki kurang dilaporkan

4
dalam sampel klinis karena mereka yakin bahwa sebagian bersar laki –
laki dengan gangguan ini memasuki sistem peradilan kriminal
dibandingkan dengan sistem kesehatan jiwa. Gangguan ini paling lazim
ditemukan pada masa remaja akhir dan dewasa muda, dengan usia
diagnosis rerata adalah 30 tahun, walaupun pasien biasanya mengalam
gejala selama 5 hingga 10 tahun sebelum diagnosis. Beberapa studi
menemukan bahwa gangguan ini lebih lazim ditemukan pada kerabat
biologis derajat pertama pada orang dengan gangguan ini dibandingkan
dengan populasi umum.3
2.2.4 Gangguan depersonalisasi
Sejumlah studi menunjukkan bahwa depersonalisasi singkat dapat
terjadi pada sebanyak 70% populasi tertentu tanpa perbedaan signifikan
antara laki –laki dan perempuan. Pada sejumlah kecil studi terkini,
depersonalisasi ditemukan terdapat pada perempuan sedikitnya 2x lebih
sering dibandingkan laki – laki ; gangguan ini jarang ditemukan pada
orang berusia diatas 40 tahun Awitan usia rerata kira – kira 16 tahun.4
2.3 Etiologi
Etiologi dari gangguan disosiatif belum dapat diketahui penyebab pastinya.
Biasanya terjadi akibat trauma masa lalu yang berat, namun tidak ada gangguan
organik yang dialami. Gangguan ini terjadi pertama pada saat anak-anak namun
tidak khas dan belum bisa teridentifikasikan, dalam perjalanan penyakitnya
gangguan disosiatif ini bisa terjadi sewaktu-waktu dan trauma masa lalu pernah
terjadi kembali, dan berulang-ulang sehingga terjadinya gejala gangguan
disosiatif. Dalam beberapa referensi menyebutkan bahwa trauma yang terjadi
berupa kepribadian yang labil, pelecehan seksual, pelecehan fisik, kekerasan
rumah tangga, lingkungan sosial yang sering memperlihatkan kekerasan.
Berikut adalah etiologi dari gangguan disosiatif berdasarkan jenisnya :4

5
2.3.1 Amnesia Disosiatif
Berikut ini adalah beberapa faktor yang dapat mengakibatkan amnesia
disosiatif.4

2.3.2 Fugue Disosiatif


Walupun penyalahgunaan alkohol berat dapat menjadi predisposisi
orang untuk mengalami fugue Disosiatif, penyebab gangguan ini pada
dasarnya dianggap psikologis. Faktor motivasi yang tampaknya berupa
keinginan menarik diri dari pengalaman yang menyakitkan secara emosi.
Pasien dengan gangguan mood dan gangguan kepribadian tertentu (cth.,
gangguan kepribadian ambang, histrionic, dan schizoid) memiliki
predisposisi mengalami fugue disosiatif.3
Berbagai stressor dan faktor pribadi menjadi predisposisi bagi orang
– orang untuk mengalami fugue disosiatif. Faktor psikososial mencakup
stressor perkawinan, keuangan, pekerjaan, dan stressor akibat perang. Ciri
predisposisi terkait lainnya mencakup depresi, upaya bunuh diri, gangguan
organic (terutama epilepsy), serta riwayat penyalahgunaan zat. Riwayat
trauma kepala juga merupakan predisposisi bagi seseorang untuk
mengalami fugue disosiatif.3

6
2.3.3 Gangguan Identitas Disosiatif
Gangguan identitas disosiatif adalah sangat terkait dengan ekstrim,
kronis, dan penganiayaan anak usia dini, dalam semua studi-di Barat dan
budaya non-Barat-yang sistematis mengkaji pertanyaan ini. Tingkat
melaporkan trauma masa kecil yang berat untuk anak dan identitas
gangguan disosiatif rentang dewasa pasien 85-97 persen kasus di berbagai
studi. Kekerasan fisik dan seksual, biasanya dalam kombinasi, adalah
sumber yang paling sering dilaporkan dari trauma masa kecil dalam studi
penelitian klinis, meskipun jenis trauma lain telah dilaporkan, seperti
beberapa prosedur medis dan bedah yang menyakitkan masa kanak-kanak
dan trauma perang. Kritikus telah mengangkat pertanyaan tentang
validitas pasien gangguan disosiatif identitas 'laporan diri dari trauma
masa kecil. Penelitian terbaru, termasuk sampel besar anak-anak dengan
gangguan disosiatif dianiaya dan studi kasus secara intensif divalidasi,
telah memberikan pembuktian independen ketat laporan pasien
penganiayaan. Studi-studi ini terus sangat mendukung perkembangan
hubungan antara trauma masa kecil dan gangguan identitas disosiatif. Di
sisi lain, hampir tidak ada data empiris dalam penelitian klinis atau
populasi ada untuk mendukung sociocognitive atau teori iatrogenesis dari
etiologi gangguan identitas disosiatif.3
2.3.4 Gangguan Depersonalisasi
Formulasi psikodinamik tradisional telah menekankan disintegrasi
ego atau depersonalisasi dilihat sebagai respon afektif dalam pertahanan
ego. Penjelasan ini menekankan peran pengalaman yang menyakitkan atau
impuls yang luar biasa sebagai peristiwa memicu konflik. Tingkat yang
tinggi pada remaja normal dan pada pasien dikonseptualisasikan sebagai
organisasi memiliki kepribadian borderline atau narsistik dikutip sebagai
bukti bahwa ego atau ego ketidakdewasaan defisit merupakan faktor
predisposisi. Baru-baru ini, perhatian telah ditarik ke kesamaan antara

7
depersonalisasi dan gejala obsesif-kompulsif. Depersonalisasi pasien
gangguan obsesif-sering menampilkan perilaku seperti sehubungan
dengan gejala mereka. Perpecahan antara mengamati dan berpartisipasi
diri disamakan dengan pembagian intelek dan pengalaman emosional pada
pasien obsesif. Kedua kelompok menanggapi serotonin reuptake inhibitor,
meskipun respon terapi untuk pasien gangguan depersonalisasi biasanya
kurang kuat.3,4
Dalam dekade terakhir, perhatian meningkat telah tertarik pada aspek
kognitif dan perilaku depersonalisasi kronis, pada dasarnya memposisikan
bahwa respon, awal disosiatif relatif jinak, dan mungkin transien
diperkuat, dipertahankan, dan diperburuk oleh lingkaran setan kognisi dan
perilaku disfungsional. E.C.M. Hunter dan rekan di Inggris telah
menempatkan sebagainya seperti model kognitif-perilaku, mengusulkan
bahwa pemicu awal (trauma, kecemasan, depresi, stres, kelelahan,
intoksikasi) dapat menginduksi gejala-gejala transien dari depersonalisasi,
yang kemudian diproses oleh kognitif individu baik sebagai situasional
atau bencana. Jika atribusi yang situasional, dan karena itu lebih jinak,
gejala depersonalisasi akan cenderung memudar sebagai faktor situasional
meringankan. Namun, jika atribusi adalah bencana, mereka
membangkitkan ketakutan luar biasa seperti pergi gila, kehilangan
kendali, menjadi tidak terlihat, atau memiliki disfungsi otak permanen.
Pada gilirannya, ketakutan tersebut dapat menyebabkan peningkatan
kecemasan ditambah dengan penurunan paradoks dalam gairah,
mengakibatkan peningkatan intensitas gejala depersonalisasi sebagai
individu memasuki fase pemeliharaan. Selama fase ini, individu dapat
mulai untuk menghindari situasi yang mereka persekutukan dengan
provokasi gejala, menjadi sibuk dengan perilaku keselamatan (seperti
akting normal), dan mengembangkan bias kognitif sehingga mereka
overmonitor gejala mereka dan memiliki ambang batas untuk mengurangi

8
persepsi ancaman. Faktor-faktor pemeliharaan sehingga berfungsi untuk
mengabadikan atau memperburuk gejala-gejala dari waktu ke waktu.4

Gambar 2.1. Faktor yang mempengaruhi terjadinya gangguan depersonalisasi


(Diambil dari American Psychiatric Association,2013)
2.4. Patofisiologi
Penyebab dari gangguan cemas masih belum jelas diketahui , terdapat
beberapa teori yang sering digunakan dalam menentukan diagnosis dan memberi
terapi pada pasien :3
1. Teori Psikodinamik
Menurut teori ini, cemas merupakan suatu signal bahwa terdapat
gangguan atau kelainan pada keseimbangan psikologika interna. Hal ini
disebut sebagai “signal cemas”. Signal ini meningkatkan ego untuk
melakukan aksi pertahanan dimana biasanya pertahanan ini disebut
mekanisme represi pada keadaan normal. Pada cemas, mekanisme represi
gagal dan mekanisme pertahanan keduapun tidak dapat berfungsi sehingga
tidak ada lagi yang dapat melawan atau menghentikan signal cemas tersebut.
Dalam perkembangannya, cemas primitive akan memunculkan gejala

9
somatic saat signal cemas tersebut terus berkembang menjadi mentally
advanced anxiety. Cemas panik, menurut teori ini sangat erat kaitannya
dengan cemas dimasa anak – anak.
2. Teori Perilaku
Menurut teori ini, kecemasan dipandang sebagai suatu respon inheren
(berhubungan erat) pada suatu organisme (individu) terhadap rangsangan
yang menyakitkan atau berbahaya. Dalam keadaan cemas dan fobia, hal ini
menjadi respon yang dapat menetralkan keadaan tersebut.3
1. Teori Perilaku – Kognitif
Menurut teori perilaku kognitif, dalam keadaan cemas terdapat
kelainan proses pemilihan informasi (dengan perhatian lebih diberikan
pada ancaman yang terkait informasi tersebut), distorsi kognitif,
dimana pikiran dan persepsi negatif akan mengkontrol kedua rangsang
baik internal maupun eksternal.3
2. Teori Biologikal3
 Bukti genetik: Sekitar 15-20% keturunan pertama keluarga pasien
dengan gangguan kecemasan menunjukkan gangguan kecemasan.
Tingkat konkordansi pada pasien kembar monozigot pasien
dengan gangguan cemas setinggi 80% (4 kali lebih banyak jika
dibanding kembar dizigotik).
 Kecemasan yang disebabkan secara kimia: Infus bahan kimia
(seperti natrium laktat, isoproterenol dan kafein), konsumsi
yohimbine dan inhalasi CO2 5% Dapat menghasilkan episode
cemas pada individu yang memiliki kecenderungan terjadi cemas.
Administrasi peroral dari MAOI sebelum diberikan infus laktat
untuk melindungi seorang individu dari serangan panik, sehingga
dapat dijadikan suatu petunjuk model biologis mekanisme cemas.

10
 GABA-benzodiazepin reseptor: Ini adalah salah satu kemajuan
terbaru dalam pencarian etiologi dari gangguan cemas.
Benzodiazepin Reseptor didistribusikan secara luas di pusat sistem
saraf. Saat ini, dua jenis reseptor benzodiazepine telah
diidentifikasi. Tipe I (D1 ) adalah GABA dan chloride
independen, sementara Tipe II (D2 ) adalah GABA dan chloride
dependen. GABA (Gamma amino butyric acid) adalah
neurotransmiter inhibitor yang paling banyak terdapat di sistem
saraf pusat. Perubahan jumlah GABA pada sistem saraf pusat
dapat menimbulkan gejala cemas. Fakta bahwa Benzodiazepin
(yang mempermudah transmisi GABA, sehingga menyebabkan
efek penghambatan transmisi neurotransmiter lain pada SSP)
mengurangi kecemasan dan Benzodiazepin-antagonis (misalnya
flumazenil) dan reverse Agonis (misalnya β carbo lines)
menyebabkan munculnya gejala cemas, yang kemudian
memberikan hasil yang signifikan untuk hipotesis ini.3
 Neurotransmiter lainnya: Norepinefrin, 5-HT, Dopamin, reseptor
opioid dan disfungsi neuroendokrin juga menunjukkan menjadi
suatu penyebab gangguan kecemasan.
 Dasar Neuroanatomis: Locus coeruleus, sistem limbik, dan
korteks prefrontal adalah beberapa area yang terlibat dalam
etiologi gangguan kecemasan. Pada kondisi cemas arus darah
serebral regional (rCBF) meningkat, meskipun vasokonstriksi
juga terjadi dalam kegelisahan.
 Gangguan kecemasan organik: Kelainan ini ditandai oleh adanya
kegelisahan sekunder akibat berbagai gangguan media (mis.
Hipertiroidisme, mocytoma phaeochro, penyakit arteri koroner).
Jika gejala kecemasan juga terjadi kelainan medis, hal ini

11
menunjukkan bahwa cemas juga dapat disebabkan oleh dasar
biologis.
2.4.1 Amnesia Dissosiatif
Menurut DSM-IV kriteria B untuk amnesia disosiatif, gangguan
tersebut bukan karena kondisi medis atau neurologis atau akibat
penyalahgunaan zat. Amnesia disosiatif menyingkirkan semua
penyebab organik dan adanya peran trauma pada gangguan kognitif.
Meskipun penelitian sistematis yang spesifik terhadap etiologi
amnesia disosiatif terbatas, banyak peneliti berikutnya telah mencatat
hubungan penyebab antara trauma emosional dan amnesia disosiatif.
Episode amnestik dianggap sebagai pertahanan intrapsiki, tidak
termasuk kenangan menyakitkan dari kesadaran sadar, dan dapat
dihasilkan dari satu peristiwa traumatik yang luar biasa atau dari
serangkaian presipitan yang lebih kecil. Keadaan termasuk
penganiayaan masa kecil, penculikan, pemerkosaan, pengalaman
tempur masa perang masa lalu ("kejutan guncangan"), dan ancaman
kematian atau kekerasan fisik lainnya, dan bahkan menjadi saksi
kekerasan. Intensitas, durasi, dan usia keterpaparan pada kejadian
traumatis tampaknya merupakan faktor penting dalam perkembangan
amnesia disosiatif. Umumnya semakin kuat, lebih lama, dan lebih
awal terkena eksposur, semakin buruk amnesia. Penelitian oleh
penulis melaporkan bahwa episode amnesia disosiatif berulang sering
terjadi pada individu yang menderita berbagai gejala disosiatif
lainnya, dan sering terjadi pada gangguan disosiatif yang paling
parah, gangguan identitas disosiatif.3

2.4.2 Fugue dissosiatif


Fugue dissosiatif dianggap berkaitan dengan peristiwa kehidupan
yang traumatis atau sangat menegangkan dan dengan demikian dapat

12
dimulai setelah terpapar bencana alam atau pertempuran militer.
Fugue ambisiatif mungkin juga terkait dengan stres yang luar biasa
seperti kebangkrutan atau perceraian yang akan terjadi. Dalam
banyak kasus, fikiran disosiatif terkait dengan penghindaran
tanggung jawab mengenai masalah hukum atau keuangan,
ketidaksopanan seksual, atau ketakutan akan pertempuran. Banyak
individu yang menderita fugue disosiatif memiliki riwayat pelecehan
atau pengabaian masa kanak-kanak, walaupun temuan ini belum
dipelajari secara ketat. Dalam beberapa kasus, fikiran disosiatif dapat
dipahami sebagai keadaan amnesia di mana hasrat terlarang dapat
dinyatakan secara simbolis. Di negara-negara fobia disosiatif lainnya,
amnesia dapat melindungi dari keinginan terlarang, seperti bunuh
diri. Seringkali, disforia atau depresi yang mendasari hadir dengan
rasa malu atau rasa bersalah yang menyertainya. Dalam kebanyakan
kasus, fikiran disosiatif tampaknya merupakan jalan keluar simbolis
dari situasi yang penuh tekanan. Seperti pada semua gangguan
disosiatif lainnya, proses disosiasi tampaknya memainkan peran
sentral dan menyebabkan gejala amnesia dan perubahan identitas.3,4

2.4.3 Gangguan Identitas dissosiatif


a. Otak dan gangguan identitas disosiatif
Karena tidak banyak yang telah ditulis tentang
patofisiologi. Dalam ulasan ini, mengumpulkan beberapa studi
yang relevan yang membahas kemungkinan patofisiologi DID.
Beberapa penelitian menarik telah ditemukan dan termasuk
dalam ulasan ini. Kami menemukan beberapa penelitian
tentang gangguan bipolar, skizofrenia dan kemungkinan
berhubunga dengan DID.5

13
Seperti yang dapat kita lihat bahwa dalam penelitian
terbaru, Ross, dkk. bahwa ada koeksistensi yang kuat dari DID
dan gangguan bipolar, studi semacam ini hanya memberikan
petunjuk kemungkinan asosiasi antara dua kondisi dan setiap
perubahan dalam struktur otak. Upaya untuk mempelajari
kemungkinan patologi yang terlibat dalam DID adalah tidak
baru. Pada tahun 1995, Ellason dkk. Menyatakan “Sejumlah
besar pasien dengan gangguan identitas disosiatif telah
memiliki diagnosa skizofrenia sebelumnya, karena adanya
gejala positif skizofrenia. ”Mereka mencari pola positif dan
gejala negatif dengan pasien gangguan identitas disosiatif, dan
membandingkannya dengan yang lain tanpa gejala seperti itu.
Hasil menunjukkan bahwa gejala positif dan psikopatologi
umum skor lebih buruk pada kelompok identitas disosiatif
daripada normal untuk skizofrenia, sedangkan gejala
negatifnya luar biasa lebih parah pada skizofrenia. Mereka
selanjutnya menyatakan, “Sejak pasien dengan gangguan
identitas disosiatif melaporkan gejala yang lebih positif
skizofrenia daripada skizofrenia, sementara laporan skizofrenia
lebih banyak gejala negatif, penekanan utama pada gejala
positif dapat menghasilkan diagnosis positif palsu skizofrenia
dan falsenegatif diagnosa gangguan identitas disosiatif.5
b. Studi neuroimaging dan perubahan di otak: Limbik
sistem dan korteks
Pada tahun 2003, Brunson dkk. Mengemukakan bahwa
stres adalah salah satu yang utama faktor yang berkontribusi
mempengaruhi volume hippocampus. Ini lebih lanjut
menekankan pada tinjauan yang menunjukkan DID dan
asosiasinya dengan stres dini dan perubahan volume stres yang

14
mengatur daerah otak. Banyak penelitian yang mengusulkan
trauma masa kecil sebagai yang paling umum mencetuskan
penyebab DID. Tetapi apakah trauma masa kanak-kanak
cenderung mengubah volume hippocampus atau amygdala?
tetap tidak terjawab. Banyak penelitian neurologis dalam
kolaborasi dengan radiologi harus dilakukan untuk
mendapatkan jawaban.5
Sebuah penelitian MRI oleh Vermetten, dkk.
dibandingkan dengan struktur otak perempuan pasien DID
dengan subyek sehat. Pembelajaran menunjukkan perubahan
dalam sistem limbik-hippocampus dan amygdala pasien DID
ditemukan jauh lebih kecil (19,2% dan 31,6%, masing-
masing). Amydala mengontrol emosi sementara hippocampus
mengontrol memori jangka panjang, sehingga studi Vermetten
melakukannya memberikan logika yang baik dalam
menjelaskan patofisiologi DID. Namun, penelitian MRI lain
menunjukkan penurunan hippocampal dan volume amygdalar
pada pasien PTSD, tetapi tidak banyak perbedaan pada
hippocampus dan amygdala pasien DA / DID dan subyek
normal. Vermetten membantah penelitian oleh Wenigeret al.
dengan mengklaim bahwa "pasien dengan gangguan identitas
disosiatif sejati tanpa PTSD pada dasarnya tidak ada ”.5
Elzinga dkk. Mempelajari memori kerja pada 16 pasien
dengan DID atau dissociative disorder not otherwise specified
(DDNOS). Daerah korteks prefrontal dan parietalis
dorsolateral ditemukan diaktifkan pada pasien dan kelompok
kontrol (wilayah yang sama terlibat dalam memori kerja).
Perbedaannya adalah pasien menunjukkan peningkatan
aktivasi di wilayah ini dan dibuat lebih rendah kesalahan

15
dengan meningkatnya tugas dan lebih banyak kecemasan dan
kurang konsentrasi, dalam dibandingkan dengan kontrol.5

2.4.4 Depersonalisasi dissosiatif


Beberapa teori biologis dan psikodinamik telah diajukan.
Pertama, depersonalisasi dapat terjadi akibat disfungsi lobus temporal
dan berbagai keadaan metabolik dan toksik. Teori ini telah
menghubungkan depersonalisasi dengan epilepsi dan penyakit lain
dari sistem saraf pusat, serta konsumsi obat-obatan psikotimimetik
seperti mescaline dan lysergic acid diethylamide (LSD). Kedua,
depersonalisasi dapat berakibat dari respons otak fungsional yang
telah ditentukan yang disesuaikan dengan trauma yang luar biasa,
yang dibuktikan dengan terjadinya berbagai gangguan kejiwaan
lainnya dan populasi nonpsikiatri. Ketiga, depersonalisasi mungkin
merupakan pembelaan terhadap pengaruh konflik yang menyakitkan
seperti rasa bersalah, kecemasan fobia, kemarahan, paranoid,
identifikasi ego yang bertentangan, fantasi fusi primitif, dan
eksibisionisme. Penelitian sistematis terhadap teori-teori ini terbatas,
dan penelitian lebih lanjut diperlukan untuk mengklarifikasi dan
memberikan dukungan konklusif untuk teori etiologi terkini.
Penelitian telah mendokumentasikan pemicu psikologis
depersonalisasi. Depersonalisasi sering muncul sebagai respons
terhadap bahaya yang mengancam jiwa seperti kecelakaan, penyakit
serius, penangkapan jantung, reaksi anafilaksis, dan komplikasi
pembedahan, serta respons terhadap tekanan emosional dari berbagai
situasi seperti kegelisahan, kemarahan, atau Konflik parah.
Depersonalisasi tampaknya terjadi secara umum bersamaan dengan
gangguan stres posttraumatic, gangguan identitas disosiatif dan
gangguan persepsi yang halusinogen (kilas balik) dan sering

16
dilaporkan oleh orang yang selamat dari pelecehan fisik, emosional,
atau seksual yang parah; Penjara politik; penyiksaan; Dan
indoktrinasi kultur.3,4
2.5 Diagnosis (Anamnesa)
Menurut North, pada orang dengan gangguan disoaistif akan ditemukan
gangguan-gangguan, yaitu gangguan identitas, gangguan amnesia, fugue
disosiatif, depersonalisasi, dan derealisasi. Gangguan identitas disosiatif adalah
gangguan disosiatif dimana seseorang memiliki dua atau lebih kepribadian yang
berbeda atau kepribadian pengganti (alter). Gagguan amnesia disosiatif yaitu
kehilangan memori karena penyebab psikologik. Paling sering amnesia
anterograde secara tiba-tiba setelah suatu stres fisik atau psikososial. Fugue
disosiatif, memori yang hilang lebih luas dari pada amnesia disosiatif, individu
tidak hanya kehilangan seluruh ingatanya (misalnya nama, keluarga atau
pekerjaanya), mereka secara mendadak meninggalkan rumah dan pekerjaanya
serta memiliki identitas yang baru (parsial atau total). Depersonalisasi yaitu
kehilangan atau perubahan temporer dalam perasaan yang biasa mengenai
realitas diri sendiri. Dalam suatu tahap depersonalisasi, orang merasa terpisah
dari dirinya sendiri dan lingkungan sekitarnya. Dan derealisasi yaitu perasaan
tidak nyata mengenai dunia luar yang mencakup perubahan yang aneh dalam
persepsi mengenai lingkungan sekitar, atau dalam perasaan mengenai periode
waktu juga dapat muncul.6,7
2.6 Pedoman Diagnosis dan Klasifikasi
Disosiatif diartikan sebagai mekanisme pertahanan secara tidak sadar yang
melibatkan segregasi dari beberapa kelompok proses mental dan tingkahlaku
seseorang yang mungkin membawa pemecahan dari tonus emosi.7
Sebagian besar orang melihat diri mereka sendiri sebagai seseorang dengan
kepribadian dasar; mereka mengalami rasa kesatuan diri. Meskipun demikian,
orang dengan gangguan disosiatif kehilangan rasa memiliki kesadaran. Mereka
merasa seolah – seolah tidak memiliki identitas, bingung mengenai siapa diri

17
mereka, atau mengalami identitas majemuk. Apapun yang biasanya memberikan
seseorang kepribadian khas – pikiran, perasaan, dan tindakan yang terintegrasi –
menjadi abnormal pada orang dengan gangguan disosiatif.3
a. Amnesia Disiosiatif
Kriteria diagnostik amnesia disosiatif pada revisi teks Diagnostic and
Statistical Manual of Mental Disorder (DSM – IV – TR) menekankan bahwa
informasi yang dilupakan biasanya memiliki sifat traumatik atau penuh
tekanan. Amnesia disosiatif dapat didiagnosis hanya ketika gejalanya tidak
terbatas pada amnesia yang terjadi selama perjalanan gangguan identitas
disosiatif dan bukan merupakan akibat keadaan medis umum (contohnya
trauma kepala) atau konsumsi zat.3
Terdapat beberapa perbedaan antara amnsesia disosiatif dengan
amnesia dikarenakan penyakit organik yaitu:

Gambar 2.1. Perbedaan amnesia disosiatif dan amnesia organik.8

18
Kriteria diagnostic DSM – IV – TR Amnesia Disosiatif :3
 Gangguan yang dominan adalah satu atau lebih episode ketidakmampuan
mengingat kembali informasi pribadi yang penting, biasanya dengan sifat
traumatic atau penuh tekanan, yang terlalu luas untuk dijelaskan dengan
keadaan lupa yang biasa.
 Gangguan ini tidak hanya terjadi selama perjalanan gangguan identitas
disosiatif, fugue disosiatif, gangguan stres pascatrauma, gangguan stress
akut, atau gangguan somatisasi, (cth., penyalahgunaan obat, pengobatan)
atau keadaan neurologis atau medis umum lain (cth., gangguan amnestic
akibat trauma kepala).
 Gejala menimbulkan penderitaan yang secara klinis bermakna atau
hendaya fungsi social, pekerjaan, dan area fungsi penting.
b. Fugue disosiatif
Fugue disosiatif merupakan kombinasi kegagalan antara beberapa
aspek dari memori personal dengan identitas bentukan dan perilaku motorik
secara automatis. Pasien dapat tampil normal dan biasanya tidak menunjukan
gejala defisit kognitif atau psikopatologi. Fugue disosiatif melibatkan satu
atau lebih episode yang mendadak, tidak diduga, dan secara bertujuan
melakukan perjalanan pergi dari rumah, disertai dengan ketidak mampuan
mengingat sebagian atau seluruh bagian dari masa lalu seseorang. Biasanya
terjadi setelah kejadian traumatic.3
Kriteria diagnostic DSM – IV – TR fugue disosiatif :3
 Gangguan yang dominan adalah bepergian jauh dari ru,ah atau tempat
kerja yang biasa secara mendadak dan tidak disangka, dengan
ketidakmampuan mengingat kembali masa lalu.
 Gangguan mengenai identitas pribadi atau mengambil identitas baru
(parsial atau utuh).

19
 Gangguan tidak hanya terjadi selama perjalanan gangguan identitas
disosiatif dn tidak disebabkan efek fisiologis langsung suatu zat (cth.,
penyalahgunaan obat, pengobatan) atau keadaan medis umum (cth.,
epilepsy lobus temporalis).
 Gejala menimbulkan penderitaan yang secara klinis bermakna atau
hendaya fungsi social, pekerjaan, dana tau fungsi penting lain.
c. Gangguan Identitas Disosiatif
Gangguan identitas disosiatif biasanya dianggap sebagai gangguan
disosiatif yang paling serius walaupun beberapa klinisi yang mendiagnosis
berbagai pasien dengan gangguan ini telah memberikan kesan bahwa mungkin
terdapat keparahan dalam rentang yang lebih luas daripada yang sebelumnya.
Kriteria diagnostic DSM – IV – TR Gangguan Identitas Disosiatif :3
 Adanya dua atau lebih identitas atau keadaan kepribadian yang berada
(masing – masing dengan pola penerima, berikatan dengan, dan berpikir
mengenai lingkungan dan diri sendiri masing – masing relative
berlangsung lama).
 Sedikitnya dua dari identitas atau keadaan kepribadian ini mengambil
kendali prilaku seseorang secara berulang.
 Ketidakmampuan mengingat kembali informasi prinadi yang penting dan
terlalu luas untuk dijelaskan dengan keadaan lupa yang biasa.
 Gangguan ini tidak disebabkan efek fisiologis langsung suatu zat (cth.,
hilang kesadaran atau perilaku kacau selama intoksikasi alkohol) atau
keadaan medis umum (cth., bangkitan parsial kompleks). Catatan : pada
anak, gejalanya tidak dikaitkan dengan teman main khayalanan atau
permainan khayalan lain.

20
d. Gangguan Depersonalisasi
Kriteria diagnostic DSM – IV – TR Gangguan Depersonalisasi :3
 Pengalaman berulang atau menetap mengenai rasa terlepas dari, dan
seolah – olah seseorang adalah seorang pengamat luar dari proses mental
atau tubuh seseorang (cth., rasa seperti ia berada di dalam mimpi).
 Selama pengalaman depersonalisasi, uji realitas tetap baik.
 Depersonalisasi menimbulkan penderitaan yang secara klinis bermakna
atau hendaya fungsi sosial, pekerjaan, dan area fungsi penting lain.
 Pengealaman depersonalisasi tidak hanya terjadi selama perjalanan
gangguan jiwa lain, seperti skizofrenia, gangguan panic, gangguan stress
akut, atau gangguan disosiatif lain, dan tidak disebabkan efek fisiologis
langsung suatu zat (cth., penyalahgunaan zat, pengobatan) atau keadaan
medis umum (cth., epilepsy lobus temporalis).
e. Gangguan trans dan kesurupan
Kriteria riset DSM – IV – TR Gangguan Trance Disosiatif :3
A. Baik (1) atau (2)
(1) Trance, yi., perubahan sementara yang jelas pada keadaan kesadaran
dan hilangnya rasa identitas pribadi yang biasa tanpa pengganti oleh
identitas pengganti, disertai sedikitnya salah satu berikut ini :
 Penyempitan kesadaran akan sekeliling, atau focus selektif dan
sangat sempit yang tidak biasa terhadap stimulus lingkungan.
 Prilaku atau gerakan strereotipik yang dialami seolah – olah
berbeda diluar kendali seseorang
(2) Trance “kemasukan”, perubahan tunggal atau episodic keadaan
kesadaran yang ditandai dengan pergantian rasa identitas pribadi biasa
oleh identitas baru. Hal ini dikaitkan dengan pengaruh roh, kekuatan,
dewa, atau orang lain, seperti yang dibuktikan oleh satu (atau lebih)
keadaan diabawah ini :

21
 Prilaku atau gerakan stereotipik dan ditentukan oleh budaya yang
dialami solah – olah dikendalikan oleh agen yang “memasuki”
 Amnesia penuh atau sebagian untuk peristiwa tersebut.
B. Keadaan trance atau trance “kemasukan” tidak diterima sebagai bagian
praktik budaya kolektif atau praktik religious.
C. Keadaan trance atau trance “kemasukan” menimbulkan penderitaan yang
secara klinis bermakna atau hendaya fungsi social, pekerjaan, dan area
fungsi penting lain.
D. Keadaan trance atau trance “kemasukan” tidak hanya terjadi selama
perjalanan gangguan psikotik (termasuk gangguan mood dengan ciri
psikotik dan gangguan psikotik singkat) atau gangguan identitas disosiatif
dan tidak disebabkan oleh efek fisiologis langsung suatu zat atau keadaan
medis umum.
f. Gangguan Disosiatif yang Tidak Tergolongkan
Kriteria diagnostic DSM – IV – TR Gangguan Disosiatif yang Tak
Tergolongkan :3
Kategori ini dimasukkan untuk gangguan yang gambaran dominannya adalah
gejala disosiatif (yi., gangguan fungsi kesadaran, daya ingat, identitas, atau
persepsi lingkungan yang biasanya terintegrrasi) yang tidak memenuhi kriteria
diagnostic gangguan disosiatif spesifik. Contohnya mencakup :
1. Gambaran klinis serupa dengan gangguan identitas disosiatif tetapi tidak
memenuhi kriteria diagnostic gangguan ini. Contohnya mencakup
tampilan yang (1) tidak terdapat dua atau lebih keadaan kepribadian yang
berbeda atau (b) tidak terdapat amnesia untuk informasi pribadi.
2. Derealisasi yang tidak disertai depersonalisasi pada orang dewasa.
3. Keadaan disosiasi yang terjadi pada seseorang yang mengalami periode
persuasi yang panjang dan sangat memaksa (cth., pencucian otak,
pembentukan kembali pikiran, atau indoktrinasi saat ditahan).

22
4. Gangguan trance disosiatif; gangguan tunggal atau episodic keadaan
kesadaran, identitas, atau daya ingat yang khas pada lokasi atau
kebudayaan tertentu. Trance disosiatif melibatkan penyempitan kesadaran
di sekeliling atau prilaku atau gerakan streotipik yang dialami yaitu berada
diluar kendali seseorang. Trance “kemasukan” melibatkan penggantian
rasa identitas pribadi yang biasanya oleh identitas baru, dikaitkan dengan
pengaruh roh, kekuatan, dewa, atau orang lain, dan disertai gerakan
“involuntary” streotipik atau amnesia dan mungkin merupakan gangguan
yang paling lazim ditemukan di Asia. Contohnya mencakup amok
(Indonesia), bebainan (Indonesia), latah (Malaysia), piblokto (Artik),
ataque de nervios (Amerika Latin), dan “kemasukan” (india). Gangguan
disosiatif atau trace bukan merupakan bagian normal praktik religious
atau budaya kolektif yang diterima luas.
5. Hilang kesadaran, stupor, atau koma yang tidak tidak disebabkan oleh
keadaan medis umum.
6. Sindrom Genser : pemberian jawaban yang tidak akurat terhadap
pertanyaan – pertanyaan (cth., “2 ditambah 2 sama dengan 5”) yang tidak
disebabkan oleh amnesia disosiatif atau fugue disosiatif.

2.6 Differential Diagnosis


2.6.1 Amnesia Disosiatif
Diagnosis banding untuk amnesia disosiatif melibatkan suatu
pertimbangan kondisi medis umum dan gangguan mental lainnya.
Suatu riwayat medis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium,
riwayat psikiatrik, dan pemeriksaan status mental harus dilakukan.3
Amnesia yang disertai dengan demensia dan delirium biasanya
berhubungan dengan gejala kognitif lainyang mudah dieknali. Jika
pasien memiliki amnesia untuk informasi informasi personal dalam
kondisi tersebut, dimensia atau delirium biasanya lanjut lanjut dan

23
mudah dibedakan dari amnesia disosiatif. Khususnya pada kasus
delirium, pasien mungkin menunjukkan konfabulasi selama
wawancara. Pada umumnya, pemulihan daya ingat menyatakan
amnesia disosiatif.3
Pada amnesia pascagegar (postconcussion amnesia) gangguan
daya ingat yang terjadi setelah trauma kepala, sering kali retrograde
(berlawanan dengan gangguan anterograde pada amnesia disosiatif)
dan biasanya tidak lebih dari satu minggu. Pemeriksaaan klinis pada
pasien amnesia pascagegar dapat didapatkan riwayat ketidaksadaran,
bukti-bukti eksternal adanya truma, atau bukti lain adanya cedera
otak. Beberapa peneliti telah menghipotensikan bahwa suatu riwayat
trauma kepala dapat mempredisposisikan seseorang pada gangguan
disosiatif. Epilepsy dapat menyebabkan gangguan daya ingat yang
tiba-tiba yang disertai dengan kelainan motoric dan
elektroensefalogram (EEG). Pasien dengan epilepsy adalah rentan
terhadap kejang selama periode stress dan beberapa peneliti telah
menghipotesiskan bahwa suatu patologi mirip epilepsy dapat terlibat
pada gangguan disosiatif . riwayat adanya aura, trauma kepala atau
inkontinensia dapat membantu klinis mengenali amnesia yang
berhubungan dengan epilepsy.3,4
Amnesia global transien adalah suatu amnesia retrograde yang
akut dan transien yang telah mempengaruhi daya ingat segera
dibandingkan daya ingat jauh. Walaupun pasien biasanya menyadari
amnesia, mereka mungkin masih dapat melakukan kerja mental dan
fisik yang sangat kompleks selama 6 sampai 24 jam dimana episode
amnesia global transien biasanya berlangsung. Pemulihan dari
gangguan biasanya lengkap. Amnesia global transien paling sering
disebabkan oleh serangan iskemik transien (TIA) yang mengenai
struktur limbik garis tengah otak. Amnesia global transien juga dapat

24
berhubungan dengan nyeri kepala migrain, kejang dan intoksikasi
dengan obat sedative-hipnotik.
Amnesia global transien dapat dibedakan dari amnesia disosiatif
dengan beberapa cara. Amnesia global transien adalah disertai dengan
amnesia anterograde selama periodenya, amnesia disosiatif tidak.
Pasien dengan amnesia global transien cenderung lebih ketakutan
prihatin akan gejalanya dibandingkan pada pasien dengan amnesia
disosiatif. Identitas pribadi pada pasien dengan amnesia disosiatif
adalah hilang, tetapi identitas pribadi pada pasien amnesia global
transien adalah dipertahankan. Kehilangan daya ingat pada seorang
pasien dengan amnesia disosiatif adalah selektif untuk bidang tertentu
dan tidak menunjukkan suatu gradient temporal, kehilangan daya
ingat pada pasien dengan amnesia global transien adalah menyeluruh
dan peristiwa yang juga diingat dengan lebih baik dibandingkan
dengan peristiwa yang belum lama. Karena hubungan amnesia global
transien dengan masalah vascular, gangguan yang paling sering
ditemukan pada pasien dalam usia 20 sampai 40 tahunan, suatu
periode yang berhubungan dengan stressor psikologis tipe umum
yang terlihat pada pasien tersebut.3
Gangguan mental lainnya, gangguan berajalan saat tidur
(sleepwalking) dalam DSM-IV diklasifikasikan sebagai parasomnia,
tipe gangguan tidur. Pasien yang menderita gangguan berjalan saat
tidur berkelakuan dengan cara aneh yang menyerupai perilaku
seseorang dengan keadaan disosiatif. Gangguan stress
pascatraumatik, gangguan stress akut dan gangguan somatoform
(khususnya gangguan somatisasi dan gangguan konversi) harus
dipertimbangkan di dalam diagnosis banding dan dapat menyertai
amnesia disosiatif.3

25
2.6.2 Fugue Disosiatif
Diagnosis banding untuk fuga disosiatif adalah serupa dengan
amnesia disosiatif. Berkelana yang terlihat pada amnesia atau delirium
biasanya dibedakan dari bepergian pada pasien fuga disosiatif oleh tidak
adanya tujuan pada yang pertama dan tidak adanya perilaku kompleks
dan adaptif secara social. Epilepsy parsial kompleks mungkin disertai
dengan episode bepergian, tetapi pasien biasanya tidak mengambil
identitas baru, dan episode biasanya tidak dicetuskan oleh stress
psikologis. Amnesia disosiatif tampak dengan kehilangan daya ingat
sebagai akibat stress psikologis, tetapi tidak terdapat episode bepergian
yang bertujuan atau identitas baru. Berpura-pura mungkin susah untuk
dibedakan dengan fuga disosiatif. Tetapi bukti adanya tujuan sekunder
yang jelas harus meningkatkan kecurigaan klinis. Hypnosis dan
wawancara amobarbital mungkin berguna dalam memperjelas diagnosis
klinis.3
2.6.3 Gangguan Identitas Disosiatif
Epilepsi lobus temporal, disosiasi lebih sering terjadi pada pasien
dengan epilepsi lobus temporal daripada gangguan neurologis lainnya.
Dokter harus merujuk pasien dengan gejala disosiatif untuk pemeriksaan
neurologis menyeluruh untuk menyingkirkan adanya epilepsi lobus
temporal atau proses organik lainnya. EEG standar sedikit membantu
dalam membedakan gangguan disosiasi dari epilepsi lobus temporal
karena tingkat kelainan nonspesifik yang tinggi telah terdeteksi pada
pasien dengan gangguan disosiasi, lobus temporal bilateral yang paling
umum terjadi.7
Pasien dengan skizofrenia, mendengar suara yang berasal dari dunia
luar, sedangkan pasien dengan gangguan disosiasi mendengar suara yang
berasal dari dalam kepala individu sendiri. Pasien dengan skizofrenia
mungkin mengalami halusinasi visual, meskipun kurang terbentuk dengan

26
baik dibandingkan dengan yang diamati dengan gangguan otak tertentu
lainnya. Pasien dengan gangguan disosiasi kadang-kadang mengalami
fenomena hypnagogic. Pengujian realitas yang buruk diamati dengan
skizofrenia, sedangkan pasien dengan gangguan disosiasi pada dasarnya
memiliki pengujian realitas yang sesungguhnya. Asosiasi tangensial atau
longgar yang disertai oleh pengaruh yang tidak tepat umumnya diamati
dengan skizofrenia.6,7
Gangguan kepribadian borderline, telah didiagnosis pada 70%
sampel dari 33 pasien dengan gangguan disosiatif dan pada 23% dari 70
pasien dengan gangguan disosiatif. Putnam mengakui bahwa sejumlah
besar kasusnya mirip dengan sindrom Briquet atau gangguan somatisasi,
namun, seperti peneliti lainnya, dia mengusulkan agar begitu kriteria
diagnostik untuk gangguan disosiasi terpenuhi, gangguan disosiasi harus
dianggap sebagai diagnosis yang lebih baik karena bekerja dengan
alternatif dapat memberikan terapi.7
Gangguan Amnesia Disosiatif, gangguan disosiasi mungkin terbukti
sulit dibedakan dari gangguan amnesia disosiatif lainnya. Dengan
gangguan amnesia disosiatif lainnya, perilaku mungkin rumit, namun
pemulihan seringkali lengkap, kekambuhan jarang terjadi.7

2.7 Tatalaksana
Tujuan pengobatan untuk gangguan konversi adalah untuk
menghilangkan gejala, untuk memastikan pasien dan orang-orang disekitarnya
aman, dan untuk "menyambungkan kembali" orang tersebut dengan kenangan
yang hilang. Pengobatan juga bertujuan untuk membantu orang tersebut :9

1. Dapat menangani dan mengelola kejadian yang menyakitkan;

2. Mengembangkan keterampilan dan keterampilan hidup baru;

27
3. Kembali berfungsi semaksimal mungkin; dan

4. Memperbaiki hubungan.

Wawancara diberikan sebagai terapi sekaligus untuk menyimpulkan


apakah ada pengalaman yang bersifat traumatik pada diri pasien. Terkadang
dapat dilakukan terapi hipnosis agar pasien memasuki fase relaksasi sehingga
dapat mengingat kembali hal-hal yang dilupakan. Terdapat juga psikoterapi
untuk untuk membantu pasien menyatukan kenangan yang terpisah-pisah
menjadi ingatan yang runtut serta rehabilitasi pasien pada kehidupan sehari-
hari.9

Pada gangguan disosiatif yang disertai dengan amnesia, dasar pemberian


terapi adalah bila pasien dalam keadaan somnolen, maka inhibisi mental
hilang dan bahan amnestik akan muncul ke dalam kesadaran. Pendekatan
pengobatan terbaik tergantung pada orang, jenis amnesia, dan seberapa parah
gejalanya. Jika ingatan hanya dalam jangka waktu yang sangat singkat hilang,
pengobatan suportif biasanya cukup, terutama jika pasien tidak memiliki
kebutuhan untuk memulihkan ingatan akan kejadian yang menyakitkan.
Pengobatan untuk kehilangan ingatan yang lebih parah dimulai dengan
menciptakan lingkungan yang aman dan suportif. Pemulihan ingatan
dilakukan dengan psikoterapi secara bertahap. Penggunaan obat-obatan bius
(barbiturat atau benzodiazepin) dan hipnosis dapat digunakan untuk
memulihkan ingatan. Menanyai pasien saat berada di bawah hipnosis atau
dalam keadaan semihypnotic yang disebabkan obat bisa berhasil. Strategi ini
harus dilakukan dengan hati-hati karena keadaan traumatis yang merangsang
kehilangan ingatan kemungkinan akan diingat dan sangat menjengkelkan.
Penanya juga harus secara hati-hati menguraikan pertanyaan agar tidak
memberi kesan adanya suatu kejadian dan risiko menciptakan memori palsu.3

28
Gejala amnesia pada gangguan disosiatif biasanya berespon pengobatan
dengan baik. Namun, kemajuan dan kesuksesan bergantung pada banyak hal,
termasuk situasi kehidupan seseorang dan jika dia mendapat dukungan dari
keluarga dan teman.3,9

Setelah ingatan pulih pada gangguan disosiatif dengan amnesia atau pada
gangguan disosiatif lain tanpa adanya amnesia, pengobatan bertujuan untuk
memberikan makna pada trauma atau konflik yang mendasarinya,
menyelesaikan masalah sebagai stressor munculnya gejala. Mengaktifkan
pasien untuk melanjutkan hidup mereka. Seorang psikiater dapat membantu
pasien untuk mengeksplorasi bagaimana mereka menangani jenis situasi,
konflik, dan emosi yang memicu gejala dan dengan demikian
mengembangkan tanggapan yang lebih baik terhadap kejadian tersebut dan
membantu mencegah agar tidak berulang.10

Wawancara psikiatrik, wawancara yang dibantu dengan obat, dan


hipnosis dapat membantu mengungkapkan kepada terapis dan pasien
mengenai stresor psikologis yang mencetuskan munculnya gejala. Psikoterapi
diindikasikan untuk membantu pasien menyatukan stressor pencetus ke dalam
jiwa mereka dengan cara yang sehat dan terintergrasi. Terapi pilihan
gangguan konversi adalah psikoterapi, psikodinamik, dan ekspresif suportif.
Teknik yang paling banyak digunakan adalah psikoterapi berorientasi tilikan,
abreaksi trauma masa lalu, dan integrasi trauma tersebut ke dalam diri yang
menyatu yang tidak lagi membutuhkan pemisahan untuk menghadapi trauma
tersebut.3. Selanjutnya pengobatan dilakukan disesuaikan dengan gejala.
Terapi mencakup beberapa kombinasi metode:

2.7.1 Amnesia Disosiatif


Terapi Amnesia disosiatif terbagi menjadi 4, antara lain:9,10
1. Terapi Kognitif

29
Terapi kognitif memiliki manfaat spesifik pada orang-
orang yang memiliki trauma. Dengan menggali lebih dalam
soal trauma pasien, ingatan pasien yang hilang dapat muncul
kembali. Hal yang harus diperhatikan adalah dengan seiringnya
ingatan yang kembali maka ingatan akan peristiwa yang
traumatik bisa memunculkan keluhan lainnya seperti cemas
dan depresi.
2. Hipnotis
Hipnosis dapat digunakan dalam sejumlah cara berbeda
dalam pengobatan amnesia disosiatif. Secara khusus, hipnotis
dapat digunakan untuk menampung, memodulasi, dan
mentitrasi intensitas gejala; untuk memfasilitasi ingatan
terkontrol terhadap ingatan yang terpisah; untuk memberikan
dukungan dan penguatan ego bagi pasien; dan untuk
menyatukan integrasi ingatan yang terpisah. Selain itu, pasien
bisa diajari self-hypnosis untuk menerapkan teknik penahanan
dan penenang dalam kehidupan kesehariannya.
3. Terapi Somatik
Tidak ada farmakoterapi yang diketahui untuk amnesia
disosiatif selain wawancara yang difasilitasi secara
farmakologis. Obat-obatan yang digunakan antara lain
golongan sodium amobarbital, thiopental (Pentothal),
benzodiazepin oral, dan amfetamin. Wawancara farmakologis
yang difasilitasi dengan menggunakan amobarbital intravena
atau diazepam (Valium) digunakan terutama dalam bekerja
dengan akut amnesia dan reaksi konversi. Prosedur ini juga
kadang-kadang berguna dalam kasus refrakter amnesia
disosiatif kronis saat pasien tidak menanggapi intervensi
lainnya. Ingatan yang muncul saat pasien dalam keadaan

30
memakai obat harus diproses kembali oleh pasien yang dalam
keadaan sadar sepenuhnya.
4. Psikoterapi kelompok
Psikoterapi jangka penek maupun jangka panjang
dilaporkan telah berhasil memberikan manfaat pada veteran
tempur dengan PTSD dan untuk korban penyiksaan masa kecil.
Selama sesi kelompok, pasien dapat memulihkan ingatan bagi
yang mengalami amnesia. Sesama anggota kelompok dan
terapis harus memberikan dukungan unuk memberikan hasil
yang signifikan.
2.7.2 Gangguan Depersonalisasi / Derealisasi

Beberapa bukti sistematis menunjukkan bahwa antidepresan


SSRI, seperti Suoxetine (Prozac), dapat membantu pasien dengan
gangguan depersonalisasi. Terapi menggunakan Suvoxamine
(Luvox) dan Lamotrigin (Lamictal) tidak memberikan manfaat
dari dua studi double-blind dan placebo-controlled baru-baru ini.
Pasien-pasien dengan gangguan depersonalisasi jarang memiliki
respon yang baik terhadap kelompok obat antidepresan, mood
stabilizer, tipikal dan atipikal neuroleptik, antikonvulsan, dan
sebagainya. Banyak tipe psikoterapi yang telah digunakan seperti
psikodinamik, kognitif, perilaku kognitif, hypnotherapeutic, dan
suportif namun banyak pasien yang tidak memiliki respon kuat.
Strategi manajemen stres, teknik pengalih perhatian, pengurangan
stimulasi sensorik, latihan relaksasi, dan latihan fisik berespon
baik pada beberapa pasien.3,9

2.7.3 Fugue Disosiatif

31
Fugue disosiatif biasanya diobati dengan psikodinamik yang
berfokus untuk membantu pasien memulihkan ingatan akan
identitas dan pengalaman, teknik yang digunakan berorientasi
tilikan. Wawancara hipnoterapi dan wawancara dengan
farmakologis merupakan teknik tambahan untuk mengembalikan
memori penderita. Pasien akan memerlukan perawatan medis,
makanan, dan kebutuhan tidur selama periode fugue, sehingga
harus dirawat inapkan. Dokter juga harus bersiap menghadapi
kemunculan ide bunuh diri atau ide-ide merusak diri sendiri dan
impuls trauma maupun stres. Masalah keluarga, seksual,
pekerjaan, atau hukum yang merupakan penyebab episode fugue
akan muncul seiring dengan ingatan yang pulih sehungga
dukungan keluarga dan sosial diperlukan.3

Identitas baru yang diciptakan penderita biasanya merupakan


identitas yang melindunginya dari trauma-trauma di masa lampau.
Sehingga tujuan terapeutik bukanlah menyalahkan identitas yang
baru atau menjelaskan bahwa selama ini yang dialami penderita
tidak nyata, tetapi menghargai pentingnya informasi psikodinamik
yang terkandung di dalam kepribadian yang berubah. Hasil
terapeutik yang paling diinginkan adalah perpaduan identitas baru
dengan mengintegrasikan kenangan akan pengalaman yang
memicu fugue.3

2.7.4 Gangguan Identitas Disosiatif

Gangguan Identitas Disosiatif menurut Saddock etc (2015),


Saddock etc (2007) dibagi menjadi 5 terapi utama dan 4 terapi
tambahan

1. Psikoterapi

32
Psikoterapi yang sukses untuk pasien dengan gangguan
identitas disosiatif mengharuskan dokter merasa nyaman
dengan berbagai intervensi psikoterapeutik dan bersedia untuk
secara aktif bekerja untuk menyusun pengobatan.
Modalitasnya terdiri atas: psikoterapi psikoanalitik, terapi
kognitif, terapi perilaku, hipnoterapi, penatalaksanaan
psikofarmakologis penderita dengan trauma. Dokter harus
memberikan kenyamanan, menganggap pasien seperti
keluarganya sendiri karena pasien secara subjektif mengalami
dirinya sebagai sistem kompleks diri dengan aliansi, hubungan
keluarga, dan konflik intragroup.
2. Terapi Kognitif
Banyak gangguan identitas disosiatif yang hanya
responsif terhadap kognitif terapi, namun intervensi kognitif
yang sukses dapat menyebabkan disforia tambahan. Kognitif
terapi fokus pada pengendalian gejala dan pengelolaan aspek-
aspek kehidupan yang memilikki disfungsi
3. Hipnosis
Intervensi hypnotherapeutic seringkali dapat meredakan
impuls yang merusak diri sendiri atau mengurangi gejala,
seperti kilas balik, halusinasi disosiatif, dan pengalaman
pengaruh pasif. Mengajarkan self-hypnosis pasien dapat
membantu mengatasi gejala yang muncul sewaktu-waktu.
Hipnosis dapat berguna untuk mengakses kepribadian pasien
yang disembunyikan dan ingatan yang hilang. Hipnosis juga
digunakan untuk menciptakan keadaan mental yang rileks
dimana kejadian kehidupan negatif dapat diperiksa tanpa
kegelisahan yang luar biasa.

33
4. Intervensi Psikofarmakologis
Obat antidepresan seringkali penting dalam mengurangi
depresi dan stabilisasi mood. Antidepresan SSRI, trisiklik, dan
monamin oksidase (MAO), β-blocker, clonidine (Catapres),
antikonvulsan, dan benzodiazepin berhasil dalam mengurangi
gejala intrusif, hiperperousal, dan kegelisahan pada pasien
dengan gangguan identitas disosiatif. Penelitian terbaru
menunjukkan bahwa α1 Antagonis antagonis prazosin
(Minipress) sangat membantu untuk mimpi buruk PTSD.
Beberapa laporan kasus menunjukkan karbamazepin (Tegretol)
berespon pada beberapa individu dengan kelainan EEG. Pasien
dengan gejala obsesif-kompulsif dapat merespons antidepresan
dengan khasiat antiobsesif. Studi label terbuka menunjukkan
bahwa naltrexone (ReVia) dapat membantu untuk
memperbaiki perilaku merugikan diri secara berulang pada
pasien yang mengalami trauma. Neuroleptik atipikal, seperti
risperidone (Risperdal), quetiapine (Seroquel), ziprasidone
(Geodon), dan olanzapine (Zyprexa) lebih efektif dan lebih
baik ditoleransi daripada neuroleptik khas untuk kecemasan
yang berlebihan dan gejala PTSD yang mengganggu pada
pasien dengan gangguan identitas disosiatif. Untuk pasien
dengan gangguan identitas disosiatif yang parah dan tidak
berespon dengn berbagai obat dapat berhasil dengan clozapine
(Clozaril)
5. Terapi Electroconvulsive
Bagi beberapa pasien, ECT sangat membantu dalam
memperbaiki gangguan mood refrakter dan tidak memperburuk
gangguan memorinya. ECT juga merupakan terapi paling
ampuh untuk menghilangkan gejala somatik pasien dengan

34
ganggi=uan identitas disosiatif, meskipun respon hanya
parsial.

Terapi Tambahan (Adjunctive) :

1. Terapi kelompok (Group Theraphy)


Pada terapi kelompok, munculnya kepribadian lain bisa
muncul dengan adanya integrasi kelompok dengan keinginan
untuk diperhatikan maupun keinginan untuk mengintimidasi
pasien lain. Kelompok terapi hanya terdiri dari pasien dengan
gangguan disosiatif.
2. Terapi Keluarga (Family Theraphy)
Terapi keluarga atau pasangan seringkali penting untuk
stabilisasi jangka panjang. Dengan edukasi cara penanganan
penderita gangguan identitas disosiatif, keluarga dapat
memberikan mekanisme coping yang lebih pada penderita atas
dasar cinta anggota keluarga. Terapi seks juga merupakan
bagian penting dari terapi, karena pasien dengan gangguan
identitas
3. Terapi Ekspresif dan Occupational
Terapi ekspresif dan pekerjaan, seperti terapi seni dan
gerakan, telah terbukti sangat membantu dalam perawatan
pasien dengan gangguan identitas disosiatif. Terapi seni dapat
digunakan untuk membantu penahanan dan penataan gangguan
identitas disosiatif yang parah dan gejala PTSD, serta
memungkinkan pasien ini mengekspresikan pikiran dengan
lebih aman, perasaan, citra mental, dan konflik sehingga
mereka mengalami kesulitan untuk verbalisasi. Terapi gerakan
dapat memfasilitasi normalisasi rasa tubuh dan gambar tubuh
untuk pasien yang sangat trauma ini

35
4. Desensitisasi Gerakan Mata dan Proses Ulang (EMDR)
EMDR adalah pengobatan yang baru saja dianjurkan
untuk PTSD. Ada ketidaksepakatan dalam literatur tentang
kegunaan dan keefektifan modalitas pengobatan ini, namun
beberapa pihak berwenang percaya bahwa EMDR dapat
digunakan sebagai tambahan yang membantu untuk tahap
pengobatan selanjutnya. Pedoman pengobatan gangguan
disosiatif menunjukkan bahwa EMDR hanya digunakan pada
klinisi yang telah telah terlatih menggunakan EMDR,
berpengetahuan dan terlatih mengatasi pasien dengan
gangguan identitas disosiatif.
2.7.5 Gangguan Disosiatif yang Tidak Tergolongkan
Tidak ada studi pengobatan yang sistematis yang dilakukan,
mengingat kelangkaan kondisi ini. Dalam kebanyakan laporan
kasus, pasien Dirawat inap di rumah sakit dan telah dilengkapi
dengan lingkungan yang protektif dan suportif. Dalam beberapa
kasus, obat antipsikotik dosis rendah telah dilaporkan bermanfaat.
Hypnosis dan amfosintesis amobarbital juga telah berhasil
digunakan untuk membantu. Biasanya, kembalinya fungsi normal
yang relatif cepat terjadi dalam beberapa hari, walaupun beberapa
kasus mungkin memerlukan waktu satu bulan atau lebih.3

2.8 Komplikasi

Orang-orang dengan gangguan disosiatif beresiko besar mengalami


komplikasi seperti:3,7
1. Melukai diri sendiri (self-harm)
Pasien dengan kondisi gangguan disosiatif sering melakukan kegiatan
melukai diri sendiri dengan menggunakan benda tajam.

36
2. Pikiran untuk bunuh diri (suicidal thought)
Seperti dijelaskan dalam DSM edisi V, pada kondisi gangguan identitas
disosiatif didapatkan lebih dari 70% penderita telah melakukan beberapa
kali percobaan bunuh diri. Hal ini juga berkaitan dengan metode
melukai diri sendiri dengan benda tajam.
3. Gangguan seksual
Kondisi ini berkaitan dengan faktor predisposisi gangguan disosiatif
berupa pelecehan seksual yang dialami pasien pada masa lalu. Trauma
yang terjadi bisa memunculkan gangguan orientasi seksual maupu
fungsi seksual pada pasien.
4. Psychogenic non-epileptic seizure
Psychogenic non-epileptic seizure (PNES) merupakan episode kejang
yang menyerupai epilepsi yang berasal dari emosional dibandingkan
organik. Dalam penelitian yang dilakukan oleh kruijs et al (2014),
pasien dengan PNES menunjukkan adanya peningkatan pada skor
dissosiasi, penurunan kemampuan kognitif, serta peningkatan kontribusi
dari kortex orbitofrontal, insular, dan subcallosal.
5. Komplikasi lain yang dapat terjadi pada gangguan disosiatif adalah
gangguan saat tidur,mimpi buruk, insomnia atau berjalan sambil tidur,
gangguan kecemasan, serta gangguan makan.

37
BAB III
PENUTUP

Gangguan disosiatif adalah gangguan dengan terganggunya fungsi integrasi


kesadaran, ingatan, identitas atau persepsi terhadap lingkungan sekitar sebagai
karakteristiknya. Gangguan tersebut dapat terjadi secara mendadak atau gradual,
sementara (transien) atau kronik.3
Etiologi dari gangguan disosiatif belum dapat diketahui penyebab pastinya.
Biasanya terjadi akibat trauma masa lalu yang berat, namun tidak ada gangguan
organik yang dialami. Gangguan ini terjadi pertama pada saat anak-anak namun tidak
khas dan belum bisa teridentifikasikan, dalam perjalanan penyakitnya gangguan
disosiatif ini bisa terjadi sewaktu-waktu dan trauma masa lalu pernah terjadi kembali,
dan berulang-ulang sehingga terjadinya gejala gangguan disosiatif. Dalam beberapa
referensi menyebutkan bahwa trauma yang terjadi berupa kepribadian yang labil,
pelecehan seksual, pelecehan fisik, kekerasan rumah tangga, lingkungan sosial yang
sering memperlihatkan kekerasan.4
Tujuan pengobatan untuk gangguan konversi adalah untuk menghilangkan
gejala, untuk memastikan pasien dan orang-orang disekitarnya aman, dan untuk
"menyambungkan kembali" orang tersebut dengan kenangan yang hilang.9

38
DAFTAR PUSTAKA

1. Mind. Understanding Dissosiative Disorders. Edisi Revisi. London: Mind


(National Association for Mental Health). 2016. Hal 3-4.
https://www.nami.org/Learn-More/Mental-Health-Conditions/Dissociative-
Disorders . September 2018.
2. Sar, V. Epidemiology of Dissociative Disorders: An Overview. Epidemiology
Research International. Article ID 404538, 8 pages, 2012. vol. 2012
3. Sadock, Benjamin James & Virginia Alcott Sadock. Buku Ajar Psikiatri Klinis.
Ed. 2. EGC; Jakarta ;2017.
4. American Psychiatric Association. Diagnostic and Statistical Manual of Mental
Disorders, Fifth Edition (DSM-5). Arlington, VA: American Psychiatric
Publishing, 2013.
5. Ashraf A., et al. Dissociative Identity Disorder: A Pathophysiological
Phenomenon. Journal of Cell Science & Therapy. 2016. Vol. 7. No. 5. Pp :1-3
6. North, C. S. (2015). The Classification of Hysteria and Related Disorders:
Histrorical and Phenomenological Consideration. Behavioral Sciences , 496-517.

7. Tada at al, Dissociative Stupor Mimicking Consciousness Disorder in an


Advanced Lung Cancer Patient. Tokyo : Japanese Journal of clinical oncology.
Jpn J Clin Oncol 2012;42(6)548 – 551

8. Staniloiu. Dissociative amnesia. Germany: Physiological Psychology, University


of Bielefeld, Bielefeld journal. Lancet Psychiatry 2014; 1: 226–41
9. Cleveland Clinic Foundation (CCF). Dissociative Amnesia. Tidak diterbitkan.
https://my.clevelandclinic.org/health/articles/dissociative-amnesia.2016.Diakses
tanggal 09 - 09 - 2018
10. Spiegel, David, Jack Lulu, Sam Wilson. Dissociative Amnesia. Unpublished.
https://www.merckmanuals.com/professional/psychiatric-disorders/dissociative-
disorders/dissociative-amnesia. Diakses tanggal 09 - 09 – 2018.

39

Anda mungkin juga menyukai