Segala puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan
limpahan rahmatnya lah kami dapat menyelesaikan tugas ini dengan tepat waktu. Berikut ini penulis
mempersembahkan sebuah makalah tentang Sistemik Lupus Eritematosus (SLE), sebagai tugas kuliah
Keperawatan Dewasa. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Dosen Pembimbing dan juga
kepada berbagai pihak yang telah memberikan dorongan dan motivasi.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih terdapat banyak kekurangan dan
jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik serta saran yang membangun
guna menyempurnakan makalah ini dan dapat menjadi acuan dalam menyusun makalah-makalah atau
tugas-tugas selanjutnya.
Penulis juga mohon maaf apabila ada terdapat kekurangan dan ada kesalahan pengetikan.
Dengan ini saya mempersembahkan makalah ini dengan penuh terima kasih dan semoga Allah SWT
memberkahi makalah ini sehingga dapat memberikan manfaat bagi pembaca.
Penulis
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
3.1 KESIMPULAN
3.2 SARAN
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
Penyakit lupus adalah penyakit baru yang mematikan setara dengan kanker. Tidak sedikit pengindap
penyakit ini tidak tertolong lagi, di dunia terdeteksi penyandang penyakit Lupus mencapai 5 juta orang.
Arti kata lupus sendiri dalam bahasa Latin berarti anjing hutan. Awalnya, penderita penyakit ini dikira
mempunyai kelainan kulit, berupa kemerahan di sekitar hidung dan pipi . Bercak-bercak merah di bagian
wajah dan lengan, panas dan rasa lelah berkepanjangan , rambutnya rontok, persendian kerap bengkak
dan timbul sariawan. Penyakit ini tidak hanya menyerang kulit, tetapi juga dapat menyerang hampir
seluruh organ yang ada di dalam tubuh. Gejala-gejala penyakit dikenal sebagai Sistemik Lupus
Eritomatosusk (SLE) alias Lupus. Eritomatosus artinya kemerahan. sedangkan sistemik bermakna
menyebar luas keberbagai organ tubuh. Istilahnya disebut SLE atau Lupus. Dr. Rahmat Gunadi dari Fak.
Kedokteran Unpad/RSHS menjelaskan, penyakit lupus adalah penyakit sistem imunitas di mana jaringan
dalam tubuh dianggap benda asing. Reaksi sistem imunitas bisa mengenai berbagai sistem organ tubuh
seperti jaringan kulit, otot, tulang, ginjal, sistem saraf, sistem kardiovaskuler, paru-paru, lapisan pada
paru-paru, hati, sistem pencernaan, mata, otak, maupun pembuluh darah dan sel-sel darah.
Penyakit ini dapat mengenai semua lapisan masyarakat, 1-5 orang di antara 100.000 penduduk, bersifat
genetik, dapat diturunkan. Wanita lebih sering 6-10 kali daripada pria, terutama pada usia 15-40 tahun.
Timbulnya penyakit ini karena adanya faktor kepekaan dan faktor pencetus yaitu adanya infeksi,
pemakaian obat-obatan, terkena paparan sinar matahari, pemakaian pil KB, dan stress. Penyakit ini
justru kebanyakaan diderita wanita usia produktif sampai usia 50 tahun sekalipun ada juga pria yang
mengalaminya. Oleh karena itu dianggap diduga penyakit ini berhubungan dengan hormon estrogen.
Adapun tujuan dalam pembahasan makalah ini mengenai penyakit SLE antara lain:
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Sistemik Lupus Eritematosus (SLE) adalah penyakit autoimun ditandai dengan adanya inflamasi yang
tersebar luas di bagian tubuh, selain itu penyakit ini mempengaruhi setiap organ atau sistem dalam
tubuh. Penyakit ini berhubungan dengan deposisi autoantibodi dan kompleks imun, sehingga dapat
mengakibatan kerusakan jaringan.
Pada SLE tidak terdapat manifestasi imunopatologis tunggal, vaskulitis, koagulopati, inflamasi jaringan,
dan deposit kompleks imum semuanya ditemukan. Terdapat kelainan dalam:
System komplemen, yang dapat mendasari bersihan kompleks imun yang abnormal.
Apoptosis, yang mungkin menyebabkan pembentukan antibody antinuclear dan antifosfolipid yang
khas.
Self-antigen (protein/DNA nukleosomal, RNA/protein, fosfolipid) dapat ditemukan oleh sistem imun
pada gelembung permukaan sel apoptotik, sehingga antigen autoantibody, dan kompleks imun tersebut
dapat bertahan untuk beberapa jangka waktu yang panjang, menyebabkan inflamasi dan penyakit
berkembang.
Aktivasi dari komplemen dan sel imun mengakibatkan pelepasan kemotaksin, sitokin, chemokin, peptide
vasoaktif, dan enzim perusak. Pada keadaan inflamasi kronis, akumulasi growth factors dan sel imun
akan memicu pelepasan keomtaxin, sitokin, chemokin, peptide vasoaktif, dan enzim perusak. Pada
peradangan yang kronis, akumulasi dari growth factor dan produk oksidase kronis berperan terhadap
kerusakan jaringan ireversibel pada glomerulus, arteri, paru-paru, dan jaringan lainnya.
a. Faktor genetik : Keluarga dari penderita penyakit SLE mempunyai insidens yang tinggi untuk
penyakit pada jaringan ikat.
b. Faktor obat : terutama hydrallazine yang digunakan secara luas untuk terapi pada hipertensi.
c. Jenis kelamin : lebih tinggi pada wanita (11,6%) dibanding pria (2,8%).
d. Radiasi sinar ultraviolet : dapat juga sebagai faktor pencetus pada onset SLE atau penyebab
kekambuhan pada perjalanan penyakit ini di mana dapat ditemukan antibodi terhadap radiasi
ultraviolet.
e. Faktor lain yang dapat sebagai pencetus adalah infeksi bakteri, dan stress baik fisik maupun mental.
Manifestasi klinis penyakit ini sangat beragam tergantung organ yang terlibat dimana dapat melibatkan
banyak organ dalam tubuh manusia dengan perjalanan klinis yang kompleks, sangat bervariasi, dapat
ditandai oleh serangan akut, periode aktif, kompleks, atau remisi dan seringkali pada keadaan awal tidak
dikenali sebagai SLE. Gejala konstitusi nonspesifik nyeri sendi, letargi, penurunan berat badan, dan
limfadenopati. Gangguan sistemik (demam dan malaise berat) biasnya sangat nyata pada lupus aktif dan
sering merupakan manifestasi yang dominan. Manifestasi yang paling dikenali pada lupus adalah ruam
muka kupu-kupu / malar, yang biasanya timbul setelah paparan sinar matahari.
a) Serangan tiba-tiba
b) Psikosis
c) Migren
d) Ansietas / depresi
e) Nyeri kepala
2) Manifestasi Paru
b) Fibrosis paru
3) Manifestasi Tangan
b) Raynaud 60%
b) Myositis 5%
a) Alopesia
6) Manifestasi Ginjal
7) Manifestasi Kehamilan
Keterlibatan Neuropsikiatri SLE sangat bervariasi, dapat berupa migrain, neuropati perifer, sampai
kejang dan psikosis. Kelainan tromboembolik dengan antibodi anti-fosfolipid dapat merupakan
penyebab terbanyak kelainan serebrovaskular pada SLE. Neuropati perifer, terutama tipe sensorik
ditemukan pada 10% kasus. Ketelibatan saraf otak, jarang ditemukan.Kelainan psikiatrik sering
ditemukan, mulai dari anxietas, depresi sampai psikosis. Kelainan psikiatrik juga dapat dipicu oleh terapi
steroid. Analisis cairan serebrospinal seringkali tidak memberikan gambaran yang spesifik, kecuali untuk
menyingkirkan kemungkinan infeksi. Elektroensefalografi (EEG) juga tidak memberikan gambaran yang
spesifik. CT scan otak kadang-kadang diperlukan untuk membedakan adanya infark atau perdarahan.
9) Manifestasi Neuropsikiatrik
SLE sangat bervariasi, dapat berupa migrain, neuropati perifer, sampai kejang dan psikosis. Keterlibatan
neuropsikiatrik akibat SLE sulit ditegakkan karena gambaran klinis yang begitu luas. Kelainan ini
dikelompokkan sebagai manifestasi neurologik dan psikiatrik. Diagnosis lebih banyak didasarkan pada
temuan klinis dengan menyingkirkan kemungkinan lain seperti sepsis, uremia, dan hipertensi berat.
Didapatkan pada 20% penderita SLE yang dapat mengenai palpebra, kornea, retina dan saraf optik.
Gambaran kelainan mata yang dapat ditemukan antara lain :
a. Palpebra
Kelainan palpebra inferior dapat merupakan bagian dari erupsi kulit yang tak jarang mengenai pipi dan
hidung.
b. Konjungtiva
Sindroma mata kering (konjungtivitis Sicca) dan konjungtivitis nonspesifik umum terjadi pada SLE namun
jarang membahayakan penglihatan.Pada permulaannya konjungtiva menunjukkan sedikit sekret yang
mukoid disusul dengan hiperemia yang intensif dan edema membran mukosa. Reaksi ini dapat lokal
atau difus. Reaksi konjungtiva yang berat dapat menyebabkan pengerutan konjungtiva.
c. Sklera
Pada sklera dapat ditemukan skleritis anterior yang difus atau noduler yang makin lama makin sering
kambuh dan setiap kali kambuh keadaan bertambah berat. Dengan bekembangnya penyakit, skleritis
berubah menjadi skleritis nekrotik yang melanjut dari temapat SLEi semula ke segala jurusan sampai
dihentikan dengan pengobatan.
d. Uvea
e. Retina
Dapat menimbulkan retinopati pada kira-kira 25% penderita. Retinopati merupakan kelainan pada retina
yang tidak disebabkan oleh proses peradangan. Keterlibatan retina pada SLE merupakan manifestasi
terbanyak kedua setelah keratokonjungtivitis sicca (KCS). 88% penderita retinopati SLE memiliki penyakit
sistemik yang aktif dan penurunan angka kesembuhan yang signifikan. Oleh karena itu, monitoring ketat
dan pengobatan yang aggresif pada pasien-pasien dengan retinopati SLE sangatlah penting.
a. Akibat SLE murni : pada retina ditemukan gambaran cotton wool patches yang merupakan gejala
utama yang dapat timbul pada masa toksis, perdarahan superfisial, eksudat putih abu-abu dan edema
papil.
b. Akibat hipertensi yang berlangsung lama : karena SLE menyebabkan nefropati yang kemudian dapat
menyebabkan hipertensi, maka pada penderita SLE yang lanjut dapat ditemukan gambaran fundus
hipertensi.
Diagnosis SLE, dapat ditegakkan berdasarkan gambaran klinik dan laboratorium. American College of
Rheumatology (ACR). Terkait dengan dinamisnya perjalanan penyakit SLE, maka diagnosis dini tidaklah
mudah ditegakkan. SLE pada tahap awal, seringkali bermanifestasi sebagai penyakit lain misalnya artritis
rheumatoid, gelomerulonefritis, anemia, dermatitis dan sebagainya. Dimana apabila didapatkan 4
kriteria, diagnosis SLE dapat ditegakkan. Kriteria tersebut adalah :
Kriteria
Batasan
Ruang malar
Eritema yang menetap, rata atau menonjol, pada daerah malar dan cenderung tidak melibatkan lipat
nasolabial
Ruam discoid
Plak eritema menonjol dengan karatorik dan sumbatan folikular. Pada LES lanjut dapat ditemukan parut
atrofik
Fotosensitivitas
Ruam kulit yang diakibatkan reaksi abnormal terhadap sinar matahri, baik dari anamnesis pasien atau
yang dilihat oleh dokter pemeriksa
Ulkus mulut
Ulkus mulut atau orofaring, umumnya tidak nyeri dan dilihat oleh dokter pemeriksa
Artritis
Arthritis non erosive yang melibatkan dua atau lebih sendi perifer,ditandai dengan nyeri tekan, bengkak
atau efusia
Serositis :
Pleuritis
Perikarditis
a. Riwayat nyeri pleuritik atau pleuritic friction rub yang didengar oleh dokter pemeriksa atau
terdapat bukti efusi pleura
b. Terbukti dengan rekaman EKG atau pericardial friction rub atau terdapat bukti efus pericardium
Gangguan renal
a. Proteinuria menetap >o.5 gram dari atau >3+ bila tidak dilakukan pemeriksaan kuantitatif
b. Silinder seluler : dapat berupa silinder eritrosit, hemoglobin, granular, tubular atau campuran
Gangguan neurologi
a. Kejang yang bukan disebabkan oleh obat-obatan atau gangguanmetabolik ( mislanya uremia,
ketoasidosis, atau ketidakseimbangan elektrolit )
b. Psikosis yang bukan disebabkan oleh obat-obatan atau gangguan metabolic ( misalnya uremia,
ketoasidosis, atau ketidakseimbangan elektrolit )
Gangguan hematologi
Gangguan imunologi
3. Hasil tes serologi positif palsu terhadap sifilis sekurang-kurangnya selama 6 bulan dan dikonfirmasi
dengan tes imobilisasi treponema pallidum atau tes fluoresensi absorpsi antibody terponema
Antibody antinuklear
Berdasarkan pemeriksaan imunoflooresensi atau pemeriksaan setingkat pada setaip kurun waktu
perjalanan penyakit tanpa keterlibatan obat yang diketahui berhubungan dengan sindroma lupus yang
diinduksi obat
Bila dijumpai 4 atau lebih kriteria diatas, diagnosis SLE memiliki sensitifitas 85% dan spesifisitas 95%.
Sedangkan bila hanya 3 kriteria dan salah satunya ANA positif, maka sangat mungkin SLE dan diagnosis
bergantung pada pengamatan klinik. Bila hasil tes ANA negatif, maka kemungkinan bukan SLE. Apabila
hanya tes ANA positif dan manifestasi klinik lain tidak ada, maka belum tentu SLE, dan observasi jangka
panjang diperlukan.
Diagnosis penyakit Systemic Lupus Erythematosus ditegakkan apabila terdapat empat atau lebih
menurut kriteria ARA (American Rheumatism Association), sebagai berikut:
a. Malar rash
b. Discoid rash
c. Photosensitivity
e. Non-erosive arthritis
g. Gangguan pada ginjal-persistent proteinuria (>0,5 g/hari) atau cellular casts yang mencakup
eritrosit, hemoglobin, granular, tubular atau gabungan semuanya.
i. Kelainan hematologi, yaitu anemia hemolytic dengan retikulosit atau leukopenia (<4.000/mm3)
atau trombositopenia (<100.000/mm3) atau lymphopenia (<1.500/mm3).
j. Kelainan imunologis dengan ditemukannya sel LE atau anti DNA dalam jumlah abnormal atau anti
Sn atau pemeriksaan serologis untuk syphilis memberikan hasil positif palsu minimal enam bulan yang
dikonfirmasi dengan pemeriksaan pergerakan treponema pallidum.
k. Antinuclear antibodies (ANA), suatu titer abnormal dari antinuclear antibody melalui pemeriksaan
immunofluorescence.
a) Amin aromatic
b) Hydrazine
2. Faktor makanan
3. Agen infeksi
a) Retrovirus
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada penyakit Lupus Eritematosus Sistemik ( SLE ) adalah
pemeriksaan darah rutin dan pemeriksaan urin. Hasil pemeriksaan darah pada penderita SLE
menunjukkan adanya anemia hemolitik, trombositopenia, limfopenia, atau leukopenia;
erytrocytesedimentation rate (ESR) meningkat selama penyakit aktif, Coombs test mungkin positif, level
IgG mungkin tinggi, ratio albumin-globulin terbalik, dan serum globulin meningkat. Selain itu, hasil
pemeriksaan urin pada penderita SLE menunjukkan adanya proteinuria, hematuria, peningkatan
kreatinin, dan ditemukannya Cast, heme granular atau sel darah merah pada urin.
2) Pemeriksaan Autoantibodi
Proses patogenik setiap penyakit tidak terlepas kaitannya dengan berbagai proses imunologik, baik yang
non spesifik atau spesifik. Kaitan tersebut tentunya terlihat lebih nyata pada penyakit-penyakit
autoimun termasuk di dalamnya SLE, Arthritis Reumatoid, sindroma Sjogren dan sebagainya. Adanya
antibodi termasuk autoantibodi sering dipakai dalam upaya membantu penegakkan diagnosis maupun
evaluasi perkembangan penyakit dan terapi yang diberikan.
Pembentukan autoantibodi cukup kompleks dan belum ada satu kajian yang mampu menjelaskan secara
utuh mekanisme patofisiologiknya. Demikian pula halnya dengan masalah otoimunitas. Pada masalah
yang terakhir, dikatakan terdapat kekacauan dalam sistim toleransi imun dengan sentralnya pada T-
helper dan melahirkan banyak hipotesis, antara lain modifikasi autoantigen, kemiripan atau mimikri
molekuler antigenik terhadap epitop sel-T, cross reactive peptide terhadap epitop sel-B, mekanisme
bypass idiotipik, aktivasi poliklonal dan sebaginya. Mekanisme lain juga dapat dilihat dari sudut adanya
gangguan mekanisme regulasi sel baik dari tingkat thymus sampai ke peripher. Kekacauan ini semakin
besar kesempatan terjadinya sejalan dengan semakin bertambahnya usia seseorang. Umumnya,
autoantibodi itu sendiri tidak segera menyebabkan penyakit.
Oleh karenanya, lebih baik autoantibodi dipandang sebagai petanda (markers) proses patologik daripada
sebagai agen patologik. Kadarnya yang dapat naik atau turun dapat berkaitan dengan aktivitas penyakit
atau sebagai hasil intervensi terapi. Kompleks autoantigen dan autoantibodilah yang akan memulai
rangkaian penyakit autotoimun. Hingga saat ini hipotesis yang dianut adalah autoantibodi baru
dikatakan memiliki peran dalam perkembangan suatu penyakit reumatik autoimun apabila ia berperan
dalam proses patologiknya.
a) Antibodi Antinuklear
Antinuklear antibodi (ANA) merupakan suatu kelompok autoantibodi yang spesifik terhadap asam
nukleat dan nukleoprotein, ditemukan pada connective tissue disease seperti SLE, sklerosis sistemik,
Mixed Connective Tissue Disease (MCTD) dan sindrom sjogrens primer. ANA pertama kali ditemukan
oleh Hargreaves pada tahun 1948 pada sumsum tulang penderita SLE. Dengan perkembangan
pemeriksaan imunodifusi dapat ditemukan spesifisitas ANA yang baru seperti Sm, nuclear
ribocleoprotein (nRNP), Ro/SS-A dan La/SS-B. ANA dapat diperiksa dengan menggunakan metode
imunofluoresensi.
ANA digunakan sebagai pemeriksaan penyaring pada connective tissue disease. Dengan pemeriksaan
yang baik, 99% penderita SLE menunjukkan pemeriksaan yang positif, 68% pada penderita sindrom
Sjogrens dan 40% pada penderita skleroderma.ANA juga pada 10% populasi normal yang berusia > 70
tahun.
Antibodi terhadap DNA (Anti ds-DNA) dapat digolongkan dalam antibody yang reaktif terhadap DNA
natif ( double stranded-DNA). Anti ds-DNA positif dengan kadar yang tinggi dijumpai pada 73% SLE dan
mempunyai arti diagnostik dan prognostik. Kadar anti ds-DNA yang rendah ditemukan pada sindrom
Sjogrens, arthritis reumatoid. Peningkatan kadar anti ds-DNA menunjukkan peningkatan aktifitas
penyakit. Pada SLE,anti ds-DNA mempunyai korelasi yang kuat dengan nefritis lupus dan aktifitas
penyakit SLE. Pemeriksaan anti ds-DNA dilakukan dengan metode radioimmunoassay, ELISA dan
C.luciliae immunofluoresens.
3) Pemeriksaan Komplemen
Komplemen adalah suatu molekul dari sistem imun yang tidak spesifik. Komplemen terdapat dalam
sirkulasi dalam keadaan tidak aktif. Bila terjadi aktivasi oleh antigen, kompleks imun dan lain lain, akan
menghasilkan berbagai mediator yang aktif untuk menghancurkan antigen tersebut. Komplemen
merupakan salah satu sistem enzim yang terdiri dari 20 protein plasma dan bekerja secara berantai (self
amplifying) seperti model kaskade pembekuan darah dan fibrinolisis. Pada SLE, kadar C1,C4,C2 dan C3
biasanya rendah, tetapi pada lupus kutaneus normal. Penurunan kadar kompemen berhubungan
dengan derajat beratnya SLE terutama adanya komplikasi ginjal. Observasi serial pada penderita dengan
eksaserbasi, penurunan kadar komplemen terlihat lebih dahulu dibanding gejala klinis.
a) Pleuritis
b) Pericarditis
c) Efusi pleura
d) Efusi pericard
f) Gagal jantung
Cognitive dysfunction
Sindrom anti-phospholipid
Sindrom otak
Fibromyalgia
Gangguan suplai darah ke otak dapat menyebabkan kerusakan jaringan otak, dapat menyebabkan
kematian sel-sel otak dan kerusakan otak yang sifatnya permanen (stroke). Stroke dapat menimbulkan
pengaruh sistem saraf otonom
a) Lesi parut berbentuk koin pada daerah kulit yang terkena langsung cahaya disebut lesi discoid.
b) Ciri-ciri lesi spesifik ditemukan oleh Sonthiemer dan Gilliam pada akhir 70-an :
a. Berparut, berwarna merah (erythematosus), berbentuk koin sangat sensitif terhadap sengatan
matahari. Jenis lesi ini berupa lupus kult subakut/cutaneus lupus subacute. Kadang menyerupai luka
psoriasis atau lesi tidak berparut berbentuk koin.
b. Lesi dapat terjadi di wajah dengan pola kupu-kupu atau dapat mencakup area yang luas di bagian
tubuh
e) Vaskullitis : berupa garis kecil warna merah pada ujung lipatan kuku dan ujung jari. Selain itu, bisa
berupa benjolan merah di kaki yang dapat menjadi borok
f) Fotosensitivitas : pipi menjadi kemerahan jika terkena matahari dan kadang di sertai pusing.
a) Anemia
b) Trombositopenia
c) Gangguan pembekuan
d) Limfositopenia
Pasien Diagnostik:
a) Urinalisis
c) BUN
d) Sinar X
e) Biopsi ginjal
f) Therapi :
c. Hemodialisa
a) Semua pasien lupus mengalami serangan batuk secara tiba-tiba atau rasa sakit di dada harus segera
memberitahu dokter.
b) Masalah jantung dan paru yang berkaitan dengan lupus dapat di obati namun, tetap harus ditindak
lanjuti secara seksama
c) Pada banyak pasien lupus, keterlibatan sistem saraf tidak bisa disembuhkan sama sekali
a) Pengobatan penyakit kulit akibat lupus eritematosus sistemik dapat menggunakan : cream steroid,
plester steroid untuk menutup luka lupus, atau dengan suntikan steroid dosis tinggi.
b) Untuk luka akibat lupus yang menyebar luas, sering diobati dengan hidroksikhloroquin (plaquenil)
atau di kombinasi dengan steroid oral dosis tinggi untuk waktu yang singkat.
d) Sebaiknya odapus menghindari paparan sinar matahari secara langsung dalam waktu yang lama
a) Radang sendi pada lupus dapat diobati : NSAIDs, seperti aspirin, ibuprofen, dan naproxen.
b) Bila tidak efektif dapat digunakan obat-obatan anti malaria seperti hidroksihloroquin (plaquenil)
efektif untuk mengobati gejala kulit dan sendi yang biasa terjadi pada lupus eritematosus sistemik.
c) Anti malaria juga dapat meredakan gejala ruam kulit dan sendi pada pasien lupus
Seringkali terjadi kebingungan dalam proses pengolaan SLE, terutama menyangkut obat yang
akan diberikan, beberapa dosis, lama pemberian dan pemantauan efek samping obat yang diberikan
pada pasien. Salah satu upaya yang dilakukan untuk memperkecil berbagai kemungkinan kesalahan
adalah dengan ditetapkannya gambaran tingkat keparahan SLE.
Penyakit SLE dapat dikategorikan ringan atau berat sampai mengancam nyawa.
c. fungsi organ normal atau stabil, yaitu: ginjal, paru, jantung, gastrointestinal, susunan saraf pusat,
sendi hematologi dan kulit
c. Serositis mayor
Penyakit SLE berat atau mengancam nyawa apabila ditemukan keadaan sebagaimana tercantum di
bawah ini, yaitu:
b. Paru-paru: hipertensi pulmonal, perdarahan paru, pneumonitis, emboli paru, infark paru, ibrosis
interstisial, shrinking lung.
e. Kulit: vaskulitis berat, ruam difus disertai ulkus atau melepuh (blister).
f. Neurologi: kejang, acute confusional state, koma, stroke, mielopati transversa, mononeuritis,
polineuritis, neuritis optik, psikosis, sindroma demielinasi.
Baik untuk SLE ringan atau sedang dan berat, diperlukan gabungan strategi pengobatan atau disebut
pilar pengobatan. Pengobatan SLE ini dilakukan secara bersamaan dan berkesinambungan agar tujuan
pengobatan tercapai. Perlu dilakukan upaya pemantauan penyakit mulai dari dokter umum di perifer
sampai ke tingkat dokter konsultan, terutama ahli reumatologi.
Pada dasarnya pasien SLE memerlukan informasi yang benar dan dukungan dari sekitar dengan maksud
agar dapat hidup mandiri. Pasien memerlukan pengetahuan akan masalah aktivitas fisik, mengurangi
atau mencegah kekambuhan antara lain melindungi kulit dari paparan sinar matahari (ultra violet)
dengan memakai tabir surya, payung atau topi; melakukan latihan secara teratur. Pasien harus
memperhatikan bila mengalami infeksi. Perlu pengaturan diet agar tidak kelebihan berat badan,
osteoporosis atau terjadi dislipidemia. Diperlukan informasi akan pengawasan berbagai fungsi organ,
baik berkaitan dengan aktivitas penyakit ataupun akibat pemakaian obat-obatan. Edukasi keluarga
diarahkan untuk memangkas dampak stigmata psikologik akibat adanya keluarga dengan SLE,
memberikan informasi perlunya dukungan keluarga yang tidak berlebihan. Hal ini dimaksudkan agar
pasien dengan SLE dapat dimengerti oleh pihak keluarganya dan mampu mandiri dalam kehidupan
kesehariannya.
Program Rehabilitasi
Pada program rehabilitasi perlu diperhatikan bahwasannya akan turunnya masa otot sehingga 30%
apabila pasien dengan SLE dibiarkan dalam kondisi imobilitas selama lebih dari 2 minggu. Berbagai
latihan diperlukan untuk mempertahankan kestabilan sendi. Modalitas isik seperti pemberian panas
atau dingin diperlukan untuk mengurangi rasa nyeri, menghilangkan kekakuan atau spasme otot.
Demikian pula modalitas lainnya seperti transcutaneous electrical nerve stimulation (TENS) memberikan
manfaat yang cukup besar pada pasien dengan nyeri atau kekakuan otot. Secara garis besar, maka
tujuan, indikasi dan tekhnis pelaksanaan program rehabilitasi yang melibatkan beberapa maksud di
bawah ini, yaitu:
a. Istirahat
b. Terapi isik
d. Ortotik
3. Kortikosteroid
Kortikosteroid (KS) digunakan sebagai pengobatan utama pada pasien dengan SLE. Meski memunculkan
banyak efek samping, KS tetap merupakan obat yang banyak dipakai sebagai antiinflamasidan
imunosupresi. Dosis KS yang digunakan juga bervariasa. Untuk meminimalkan masalah interpretasi dari
pembagian ini maka dilakukanlah standarisasi berdasarkan patofisiologi dan farmakokinetiknya.
Dosis sedang : >7.5 mg, tetapi < 30 mg prednison atau setara perhari
Dosis tinggi : >30 mg, tetapi < 100 mg prednison atau setara perhari
Terapi pulse : >250 mg prednison atau setara perhari untuk 1 hari atau beberapa hari
Pilar pengobatan pada SLE ringan dijalankan secara bersamaan dan berkesinambungan serta ditekankan
pada beberapa hal yang penting agar tujuan di atas tercapai, yaitu:
Obat-obatan
- Obat anti in lamasi non steroidal (OAINS), sesuai panduan diagnosis dan pengelolaan nyeri dan in
lamasi.
- Glukokortikoid topikal untuk mengatasi ruam (gunakan preparat dengan potensi ringan)
- Klorokuin basa 3,5-4,0 mg/kg BB/hari (150-300 mg/hari) (1 tablet klorokuin 250 mg mengandung 150
mg klorokuin basa) catatan periksa mata pada saat awal akan pemberian dan dilanjutkan setiap 3 bulan,
sementara hidroksiklorokuin dosis 5- 6,5 mg/kg BB/ hari (200-400 mg/hari) dan periksa mata setiap 6-
12 bulan.
- Kortikosteroid dosis rendah seperti prednison < 10 mg / hari atau yang setara.
Tabir surya: Gunakan tabir surya topikal dengan sun protection factor sekurang- kurangnya 15 (SPF 15)
Pilar penatalaksanaan SLE sedang sama seperti pada SLE ringan kecuali pada pengobatan. Pada SLE
sedang diperlukan beberapa rejimen obat-obatan tertentu serta mengikuti protokol pengobatan yang
telah ada. Misal pada serosistis yang refrakter: 20 mg / hari prednison atau yang setara.
Pilar pengobatan sama seperti pada SLE ringan kecuali pada penggunaan obatobatannya.Pada SLE berat
atau yang mengancam nyawa diperlukan obat-obatan.
Lupus adalah penyakit seumur hidup, karenanya pemantauan harus dilakukan selamanya. Tujuan
pengobatan SLE adalah mengontrol manifestasi penyakit, sehingga anak dapat memiliki kualitas hidup
yang baik tanpa eksaserbasi berat, sekaligus mencegah kerusakan organ serius yang dapat
menyebabkan kematian (Hockenberry & Wilson, 2009). Tatalaksana primer pada SLE meliputi:
Mengurangi inflamasi dan meminimalisir komplikasi Adapun obat-obatan yang dibutuhkan seperti:
Antiinflamasi non steroid (NSAIDs), untuk mengobati simptomatik artralgia nyeri sendi.
Antimalaria, Diberikan untuk lupus diskoid. Pemakaian jangka panjang memerlukan evaluasi retina
setiap 6 bulan.
Kortikosteroid, Dosis rendah, untuk mengatasi gejala klinis seperti demam, dermatitis, efusi pleura.
Diberikan selama 4 minggu minimal sebelum dilakukan penyapihan. Dosis tinggi, untuk mengatasi krisis
lupus, gejala nefritis, SSP, dan anemi hemolitik.
Obat imunosupresan/sitostatika, Imunosupresan diberikan pada SLE dengan keterlibatan SSP, nefritis
difus dan membranosa, anemia hemolitik akut, dan kasus yang resisten terhadap pemberian
kortikosteroid.
Kalsium, Semua pasien SLE yang mengalami artritis serta mendapat terapi prednison berisiko untuk
mengalami mosteopenia, karenanya memerlukan suplementasi kalsium.
2. Dialisis atau transplantasi ginjal Pasien dengan stadium akhir lupus nefropati, dapat dilakukan dialisis
atau transplantasi ginjal
3. Diet Restriksi diet ditentukan oleh terapi yang diberikan. Sebagian besar pasien memerlukan
kortikosteroid, dan saat itu diet yang diperbolehkan adalah yang mengandung cukup kalsium, rendah
lemak, dan rendah garam. Pasien disarankan berhati-hati dengan suplemen makanan dan obat
tradisional.
4. Aktivitas Pasien lupus sebaiknya tetap beraktivitas normal. Olah raga diperlukan untuk
mempertahankan densitas tulang dan berat badan normal. Tetapi tidak boleh berlebihan karena lelah
dan stress sering dihubungkan dengan kekambuhan. Pasien disarankan untuk menghindari sinar
matahari, bila terpaksa harus terpapar matahari harus menggunakan krim pelindung matahari
(waterproof sunblock) setiap 2 jam. Lampu fluorescence juga dapat meningkatkan timbulnya SLEi kulit
pada pasien SLE.
5. Penatalaksanaan infeksi Pengobatan segera bila ada infeksi terutama infeksi bakteri. Setiap kelainan
urin harus dipikirkan kemungkinan pielonefritis.
A. Pengkajian
1. Anamnesis riwayat kesehatan sekarang dan pemeriksaan fisik difokuskan pada gejala sekarang dan
gejala yang pernah dialami seperti keluhan mudah lelah, lemah, nyeri, kaku, demam/panas, anoreksia
dan efek gejala tersebut terhadap gaya hidup serta citra diri pasien.
2. Kulit
Ruam eritematous, plak eritematous pada kulit kepala, muka atau leher.
3. Kardiovaskuler
Friction rub perikardium yang menyertai miokarditis dan efusi pleura. SLE eritematous papuler dan
purpura yang menjadi nekrosis menunjukkan gangguan vaskuler terjadi di ujung jari tangan, siku, jari
kaki dan permukaan ekstensor lengan bawah atau sisi lateral tanga.
4. Sistem Muskuloskeletal
Pembengkakan sendi, nyeri tekan dan rasa nyeri ketika bergerak, rasa kaku pada pagi hari.
5. Sistem integumen
SLE akut pada kulit yang terdiri atas ruam berbentuk kupu-kupu yang melintang pangkal hidung serta
pipi. Ulkus oral dapat mengenai mukosa pipi atau palatum durum
6. Sistem pernafasan
7. Sistem vaskuler
Inflamasi pada arteriole terminalis yang menimbulkan SLEi papuler, eritematous dan purpura di ujung
jari kaki, tangan, siku serta permukaan ekstensor lengan bawah atau sisi lateral tangan dan berlanjut
nekrosis.
8. Sistem Renal
9. Sistem saraf
Sering terjadi depresi dan psikosis, juga serangan kejang-kejang, korea ataupun manifestasi SSP lainnya.
B. Diagnosa Keperawatan
3. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan penurunan rentang gerak, kelemahan otot, rasa
nyeri pada saat bergerak, keterbatasan daya tahan fisik.
4. Kerusakan mobilitas fisik berhubungqan dengan perubahan dan ketergantungan fisaik serta
psikologis yang diakibatkan penyakit kronik.
5. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan perubahan fungsi barier kulit, penumpukan kompleks
imun.
C. Intervensi
Intervensi :
a) Laksanakan sejumlah tindakan yang memberikan kenyamanan (kompres panas /dingin, masase,
perubahan posisi, istirahat; kasur busa, bantal penyangga, bidai, teknik relaksasi, aktivitas yang
mengalihkan perhatian)
c) Sesuaikan jadwal pengobatan untuk memenuhi kebutuhan pasien terhadap penatalaksanaan nyeri.
d) Dorong pasien untuk mengutarakan perasaannya tentang rasa nyeri serta sifat kronik penyakitnya.
e) Jelaskan patofisiologik nyeri dan membantu pasien untuk menyadari bahwa rasa nyeri sering
membawanya kepada metode terapi yang belum terbukti manfaatnya.
f) Bantu dalam mengenali nyeri kehidupan seseorang yang membawa pasien untuk memakai metode
terapi yang belum terbukti manfaatnya.
Tujuan : mengikutsertakan tindakan sebagai bagian dari aktivitas hidup sehari-hari yang
diperlukan.Intervensi :
- Mengembangkan dan mempertahankan tindakan rutin unutk tidur (mandi air hangat dan teknik
relaksasi yang memudahkan tidur)
- Menjelaskan pentingnya istirahat untuk mengurangi stres sistemik, artikuler dan emosional
f) Dorong nutrisi adekuat termasuk sumber zat besi dari makanan dan suplemen.
otot, rasa nyeri pada saat bergerak, keterbatasan daya tahan fisik.
Intervensi :
4. Gangguan citra tubuh berhubungqan dengan perubahan dan ketergantungan fisik serta psikologis
yang diakibatkan penyakit kronik.
Tujuan : mencapai rekonsiliasi antara konsep diri dan erubahan fisik serta psikologik
a) Bantu pasien untuk mengenali unsur-unsur pengendalian gejala penyakit dan penanganannya.
5. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan perubahan fungsi barier kulit, penumpukan kompleks
imun. Tujuan : pemeliharaan integritas kulit.
Intervensi :
Jaga dengan cermat terhadap resiko terjadinya sedera termal akibat penggunaan kompres hangat
yang terlalu panas.
Evaluasi adalah merupakan salah satu alat untuk mengukur suatu perlakuan atau tindakan keperawatan
terhadap pasien. Dimana evaluasi ini meliputi evaluasi formatif / evaluasi proses yang dilihat dari setiap
seSLEai melakukan implementasi yang dibuat setiap hari sedangkan evaluasi sumatif / evaluasi hasil
dibuat sesuai dengan tujuan yang dibuat mengacu pada kriteria hasil yang diharapkan. Adapun evaluasi
yang di harapkan pada klien dengan kasus SLE (Sistemisc lupus erythematosus) ialah :
b) Aktivitas sehari hari teratur sesuai kebutuhan dan di sesuaikan dengan kondisi klien.
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Berdasarkan materi dalam makalah ini tim penulis dapat menyimpulkan sebagai berikut:
1) Penyakit lupus merupakan salah satu penyakit berbahaya selain AIDS dan kanker. Penyakit ini
merupakan salah satu penyakit autoimun, dimana sistem imun terbentuk secara berlebihan sehingga
kelainan ini lebih dikenal dengan nama autoimunitas.
2) Penyebab penyakit ini belum diketahui secara pasti apa yang menyebabkannya tetapi diduga yang
menjadi penyebabnya adalah factor genetik, infeksi (kuman dan virus) sinar ultraviolet, obat-obatan
tertentu, dan lingkungan. Para ilmuwan menduga penyakit ini ada kaitannya dengan hormon estrogen.
3) Manifestasi klinis penyakit ini sangat beragam tergantung organ yang terlibat dimana dapat
melibatkan banyak organ dalam tubuh manusia dengan perjalanan klinis yang kompleks, sangat
bervariasi, dapat ditandai oleh serangan akut, periode aktif, kompleks, atau remisi dan seringkali pada
keadaan awal tidak dikenali sebagai SLE.
4) Diagnosis SLE, dapat ditegakkan berdasarkan gambaran klinik dan laboratorium. American College of
Rheumatology (ACR). Terkait dengan dinamisnya perjalanan penyakit SLE, maka diagnosis dini tidaklah
mudah ditegakkan. Dimana apabila didapatkan 4 kriteria, diagnosis SLE dapat ditegakkan.
3.2 SARAN
Sebagai tenaga propesional tindakan perawat dalam penanganan masalah keperawatan khususnya
sistemics lupus erythematosus ( SLE ) harus di bekali dengan pengetahuan yang luas dan tindakan yang
di lakukan harus rasional sesuai gejala penyakit.
DAFTAR PUSTAKA
Chang, Esther, dkk. 2009. Patofisiologi Aplikasi Praktik Keperawatan. Jakarta: EGC.
Engram, Barbara. 1998. Rencana Asuhan Keperawatan Medikal-Bedah Volume 2. Jakarta: EGC.
Doenges, Marilyn E. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman untuk Perencanaan dan
Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta : EGC
DW Rindhi. 2011. Lupus Eritematosus Sistemik (SLE) (Jurnal artikel). Semarang. Semarang: Fakultas
Kedokteran. Universitas Diponegoro.
Estiasari, Riwanti. 2009. Disfungsi Kognitif pada penderita Lupus Eritematosus Sistemik (Tesis). Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Kurnianingsih, Penerj. Jakarta, DKI Jakarta, Salemba: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Smeltzer, Suzanne C. 2007. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner dan Suddart edisi 8 volume
3. Jakarta : EGC
Yanti, G., SLEtari, I. D., Christiana, R., & Sunarsi. 2010. Gambaran faktor- faktor yang mempengaruhi
ketidakdisiplinan perawat dalam melakukan pendokumentasian asuhan keperawatan di Rumah Sakit
Asri Jakarta. Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan; Universitas Indonesia.
Sumber lain :
Editor : Prof. DR. Adhi Juanda. Anggota Editor : dr. Mochtar hamzah, DR. Siti Aisah. Ilmu Penyakit Kulit
dan Kelamin, Edisi Ketiga. Bagian Penyakit Kulit dan Kelamin FKUI. Jakarta, 1999.
Charles D. Forbes, William F. Jackson in : Illustrated Pocket Guide to Clinical Medicine. Second Edition
2004. Mosby