Anda di halaman 1dari 63

CASE REPORT

PSIKOSOMATIS

Disusun Oleh:

LISTIYANI
110.2012.145

Pembimbing:

dr. Didiet Pratignyo, SpPD-FINASIM

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH

KOTA CILEGON

2017

1
KATA PENGANTAR
Dengan mengucapkan segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah

memberikan rahmat dan hidayah-Nya kepada kita semua, penyusun menampilkan case

report yang berjudul PSIKOSOMATIS. Adapun kasus ini disusun untuk memenuhi salah

satu syarat mengikuti kepaniteraan klinik di bagian Ilmu Penyakit Dalam di RSUD Cilegon.

Terwujudnya referat ini merupakan berkat bantuan dan dorongan dari berbagai

pihak. Penyusun mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada dr. Didiet

Pratignyo, Sp.PD, FINASIMselaku konsulen pembimbing, yang telah meluangkan waktu

dalam membimbing dan memberi masukkan-masukkan kepada penyusun selama di

kepaniteraan klinik di bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUD Cilegon. Semoga Allah SWT

memberikan balasan yang sebesar-besarnya atas bantuan yang diberikan selama ini.

Penyusun menyadari pada referat ini masih jauh dari kata sempurna, oleh karena itu

penyusun mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun sehingga penyusunan

referat ini dapat menjadi lebih baik dan sesuai dengan hasil yang diharapkan.

Akhir kata dengan mengucapkan Alhamdulillah, semoga Allah SWT selalui

meridhoi kita semua dan semoga tulisan ini bermanfaat bagi kita semua.

Cilegon, November 2017

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................................. 2

DAFTAR ISI ................................................................................................................. 3

BAB I LATAR BELAKANG .................................................................................. 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................... 5

a. Definisi Psikosomatis ............................................................................. 5


b. Patofisiologi Psikosomatis ..................................................................... 7
c. Klasifikasi Psikosomatis ........................................................................ 9
d. Diagnosis Psikosomatis .......................................................................... 18
e. Penatalaksanaan Psikosomatis.. 20

BAB III KESIMPULAN ............................................................................................ 29

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................... 30

3
IDENTITAS PASIEN
ANAMNESIS
RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG
RIWAYAT PENYAKIT DAHULU
RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA
PEMERIKSAAN FISIK
STATUS GENERALIS
PEMERIKSAAN PENUNJANG
DIAGNOSIS
PROGNOSIS
FOLLOW UP
ANALISA KASUS

4
PRESENTASI KASUS
KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH CILEGON
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI

Topik : Psikosomatis
Penyusun : Listiyani

I. Identitas Pasien
Nama : Ny. U

Usia : 48 tahun

Pekerjaan : IRT

Agama : Islam

Alamat : Link. Kebanjiran

No. CM : 534***

Pembiayaan : BPJS

Tanggal Berobat : 29 Oktober 2017

Ruangan : Anggrek RSUD Cilegon

II. Anamnesa

Dilakukan secara auto-anamnesa pada tanggal 1 November 2017 di Ruang Anggrek pukul
13.00 WIB.

5
o Keluhan Utama:
Demam 7 hari.
o Keluhan Tambahan:
Batuk berdahak warna hijau, sesak, nyeri pada ulu hati, dan kepala terasa pusing.

o Riwayat Penyakit Sekarang:


Pasien datang ke IGD RSUD Cilegon pada tanggal 06/11/2017 pukul 15.45
dengan keluhan demam, disertai batuk berdahak warna hijau, sesak, nyeri ulu hati,
dan kepala terasa pusing. Pasien mengatakan keluhan tersebut dirasakan sudah 1
minggu. Keluhan lain seperti keringat pada malam hari dan penurunan berat badan
disangkal oleh pasien. Pasien mengaku tidak pernah memakai masker ketika
mengendarai motor. Pasien juga mengatakan teman di tempatnya bekerja dan berada
satu ruangan ada yang sering batuk.

o Riwayat Penyakit Dahulu:


Pasien mengaku waktu berumur 5 tahun pernah pengobatan paru-paru selama 6 bulan
(hingga tuntas)

Pasien mengaku memiliki riwayat penyakit gastritis


Riwayat penyakit asma disangkal
Riwayat penyakit hipertensi disangkal
Riwayat penyakit DM disangkal
Riwayat penyakit hepatitis disangkal
Riwayat penyakit jantung disangkal

o Riwayat Penyakit Keluarga:


Tidak ada anggota keluarga yang mengeluh keluhan yang sama dengan pasien
Riwayat DM pada keluarga disangkal
Riwayat TB paru pada keluarga disangkal
Riwayat asma dan alergi pada keluarga disangkal
Riwayat penyakit hipertensi pada keluarga disangkal

o Anamnesis Sistem:

6
Tanda checklist (+) menandakan keluhan pada sistem tersebut. Tanda strip (-)
menandakan keluhan di sistem tersebut disangkal oleh pasien.

Kulit
(-) Bisul (-) Rambut (-) Keringat malam
(-) Kuku (-) Ikterus (-) Sianosis
(-) Lain-lain

Kepala
(-) Trauma (-) Nyeri kepala
(-) Sinkop (-) Nyeri sinus

Mata
(-) Nyeri (-) Sekret
(-) Radang (-) Gangguan penglihatan
(-) Sklera Ikterus (-) Penurunan ketajaman penglihatan
(-) Congjungtiva Anemis

Telinga
(-) Nyeri (-) Tinitus
(-) Sekret (-) Gangguan pendengaran
(-) Kehilangan pendengaran

Hidung
(-) Trauma (-) Gejala penyumbatan
(-) Nyeri (-) Gangguan penciuman
(-) Sekret (-) Pilek
(-) Epistaksis

Mulut
(-) Bibir (-) Lidah
(-) Gusi (-) Gangguan pengecapan

7
(-) Selaput (-) Stomatitis

Tenggorokan
(-) Nyeri tenggorok (-) Perubahan suara

Leher
(-) Benjolan/ massa (-) Nyeri leher

Jantung/ Paru
(+) Nyeri dada (+) Sesak nafas
(-) Berdebar-debar (-) Batuk darah
(-) Ortopnoe (+) Batuk

Abdomen (Lambung / Usus)


(-) Rasa kembung (-) Perut membesar
(-) Mual (-) Wasir
(-) Muntah (-) Mencret
(-) Muntah darah (-) Melena
(-) Sukar menelan (-) Tinja berwarna dempul
(-) Nyeri perut (-) Tinja berwarna ter
(-) Benjolan

Saluran Kemih / Alat Kelamin


(-) Disuria (-) Kencing nanah
(-) Stranguri (-) Kolik
(-) Poliuria (-) Oliguria
(-) Polakisuria (-) Anuria
(-) Hematuria (-) Retensi urin
(-) Batu ginjal (-) Kencing menetes
(-) Ngompol (-) Kencing seperti air teh

Otot dan Syaraf

8
(-) Anestesi (-) Sukar menggigit
(-) Parestesi (-) Ataksia
(-) Otot lemah (-) Hipo/hiper-estesi
(-) Kejang (-) Pingsan / syncope
(-) Afasia (-) Kedutan (tick)
(-) Amnesis (-) Pusing (Vertigo)
(-) Lain-lain (-) Gangguan bicara (disartri)

Ekstremitas
(-) Bengkak (-) Deformitas
(-) Nyeri sendi (-) Sianosis

III. Pemeriksaan Fisik


Dilakukan pada tanggal 7 November 2017 pukul 09.00 WIB
VITAL SIGNS:
- Kesadaran : Compos mentis
- Keadaan Umum : Sakit Sedang
- Tekanan Darah : 120/80 mmHg
- Nadi : 84 kali/menit
- Respirasi : 24x kali/menit
- suhu : 36,80C

STATUS GENERALIS:
- Kulit : Berwarna coklat, dan turgor kulit baik.
- Kepala : Bentuk oval, simetris, ekspresi wajah terlihat lemah.
- Rambut : Hitam, lebat, tidak mudah dicabut.
- Alis : Hitam, tumbuh lebat, tidak mudah dicabut.
- Mata : Tidak exopthalmus, konjungtiva anemis, sklera tidak ikterik, pupil
bulat dan isokor, tidak terdapat benda asing, pergerakan bola mata baik.
- Hidung : Tidak terdapat nafas cuping hidung, tidak deviasi septum, tidak ada sekret,
dan tidak hiperemis.

9
- Telinga : Bentuk normal, liang telinga luas, tidak ada sekret, tidak ada darah, tidak
ada tanda radang, membran timpani intak.
- Mulut : Bibir tidak sianosis, gigi geligi lengkap, gusi tidak hipertropi, lidah tidak
kotor, mukosa mulut basah, tonsil T1-T1 tidak hiperemis.
- Leher : Tidak terdapat pembesaran kelenjar getah bening pada submentalis,
subklavikula, pre-aurikula, post-aurikula, oksipital,
sternokleidomastoideus, dan supraklavikula. Tidak terdapat pembesaran
tiroid, trakea tidak deviasi.
- Thoraks : Normal, Simetris kiri dan kanan, tidak terlihat pelebaran vena, tak terdapat
spider nevy.
- Paru-paru
- Inspeksi : Pergerakan dinding dada simetris kanan dan kiri pada saat statis dan
dinamis, perbandingan trasversal : antero posterior = 2:1, tidak terdapat
retraksi dan pelebaran sela iga.
- Palpasi : Tidak ada nyeri tekan dan nyeri lepas, tidak terdengar adanya krepitasi,
fremitus taktil dan vokal kiri simetri kanan dan kiri.
- Perkusi : Sonor pada seluruh lapangan paru kanan dan kiri .
- Auskultasi : Suara napas vesikuler, rhonki +/+, wheezing -/-.

- Jantung
- Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat.
- Palpasi : Iktus kordis teraba di ICS IV linea midklavikula sinistra, dan tidak terdapat
thrill.
- Perkusi : Batas jantung kanan pada ICS V linea para sternalis dextra, batas jantung
kiri pada 2cm lateral ICS V linea midklavikula sinistra.
- Auskultasi : Bunyi jantung I dan II normal, tidak terdapat murmur dan gallop
- Abdomen
- Inspeksi : Tampak simetris, datar, tidak tegang, tidak terdapat kelainan kulit, tidak
terlihat massa, tidak pelebaran vena, tidak terdapat caput medusa.
- Auskultasi : Bising usus(+), bising aorta abdominalis tidak terdengar.
- Palpasi : Supel, turgor baik, terdapat nyeri tekan pada epigastrium. Tidak terdapat
nyeri lepas, tidak teraba massa, hepatomegali (-) spleenomegali (-),
Ballotement (-), Undulasi (-).

10
- Perkusi : Suara timpani di semua lapang abdomen, terdapat nyeri ketuk pada
epigastrium, shifting dullness (-).
- Genitalia : Tidak dilakukan pemeriksaan.
- Ekstremitas : Akral hangat, cappilary refill kurang dari 2 detik,
- kekuatan otot 5 5
5 5
Tidak terdapat udem pada tungkai bawah, tidak terdapat palmar eritem,
tidak terdapat clubbing finger.

- Refleks Fisiologi dan Patologis : tidak dilakukan pemeriksaan

IV. Pemeriksaan Penunjang


Laboratorium :

PEMERIKSAAN 06/11/17 Nilai Normal

Hematologi

Hemoglobin 11,6 g/dl 13-17 g/dl

Hematokrit 34,4% 40-48 %

Eritrosit 4.04 10^6/uL 4.50- 5.50 10^6/uL

MCV/ VER 85,1 82.0 92.0 fL

Leukosit 13.67 uL 5000-10000 uL

Trombosit 356.000 Ul 150.000-450.000 uL

Elektrolit

Natrium 140,2 mEq/L 135-155 mEq/L

Kalium 2,95 3,6- 5,5 mEq/L

Chloride 111,3 mEq/L 95-107 mEq/L

Kimia Klinik

SGOT (AST) 17 U/L < 37 U/L

SGPT (ALT) 16 U/L < 41 U/L

11
Ureum darah 17 mg/dL 10 50 mg/dL

Kreatinin darah 0.64 mg/dL 0.70 1.30 mg/dL

Glukosa Sewaktu 95 mg/dL < 200 mg/dL

Mikrobiologi

BTA hari ke 1

Spesimen Sputum

Hasil Negatif

BTA hari ke 2

Spesimen Sputum

Hasil Negatif

Tes WIDAL Negatif

S. Typhi TO (+) 1/160 S. Typhi TH Negatif

S. Paratyphi
S. Paratyphi AO Negatif Negatif
AH

S. Paratyphi
S. Paratyphi BO Negatif Negatif
BH
S. Paratyphi
S. Paratyphi CO Negatif Negatif
CH

Rontgen thoraks :
Cor: CTR <50%,
Pulmo: tampak infiltrat di parakardial paru
kanan
Hilus kanan dan kiri baik
Kedua sinus dan diafragma baik
Tulang dan jaringan baik
Kesan : Pneumonia Dextra

12
Hasil pemeriksaan sputum BTA 2X dilakukan : NEGATIF

V. Diagnosis
Diagnosis Kerja : Community Acquired
Pneumonia
Dasar Diagnosis
Anamnesis : Pada anamnesis dan
pemeriksaan pada pasien ini di temukan
keluhan demam kurang lebih selama 7 hari,
batuk disertai dahak berwarna hijau, dan
sesak disertai nyeri dada, adanya keringat
malam disangkal. Pasien mengatakan tidak
pernah memakai masker ketika
mengendarai motor
Pemeriksaan radiologis : Kesan: Pneumonia Dextra
Pemeriksaan bakteriologis : staphylococcus sp

VI. Diagnosis Banding


- Pneumonia aspirasi isi lambung
- Atelektasis

13
USULAN PEMERIKSAAN

- Pemeriksaan sputum BTA ( sediaan langsung mikroskopis biasa, dengan mikroskop


florensens, kultur kuman, uji resistensi)
- Tes Tuberkulin (Mantoux)

VII. Terapi yang diberikan

IGD ALAMANDA

RL 20 tpm Ceftriaxon 1 x 2 gr
O2 3 lpm Ranitidin 2 x 1
Retaphyl 2x1 tab Metilprednisolon 3 x 1 amp
Salbutamol 3x2 tab Salbutamol 3 x 1
PCT 3x1 tab Ambroxol 3 x 1
Inj. Ceftriaxon Cetirizin 2 x 1
Ranitidin 2 x 1 amp Retaphyl 2 x 1
Ambroxol 3 x 2 Paracetamol 3 x 1 tab
Anjuran rawat alamanda non TB O2 3 lpm
IVFD RL 20 tpm

IX. Prognosis
- Quo ad vitam : dubia ad bonam

- Quo ad functionam : dubia ad bonam

- Quo ad sanactionam : dubia ad bonam

Follow Up 7 November 2017

S: O: A: P:

14
Os mengeluh masih KU : TSS - Pneumonia Ceftriaxon 1 x 2 gr
batuk berdahak, (CAP) Dextra Salbutamol 3 x 1
KS : CM
namun demam sudah Ambroxol 3 x 1
tidak ada, dan sesak
TD : 120/80 mmHg Cetirizine 2 x 1
serta nyeri dada Retaphyl 2 x 1
sudah berkurang. N : 84x/menit Ranitidin 2 x 1
BAB dan BAK
Metilprednisolon 2 x 8
normal S : 36,8C
mg
R : 24 x/menit
Saturasi O2 : 96%
Status generalis
Kepala :
normocephal
Mata : CA -/- SI -/-
THT : dbn
Wajah : deformitas (-
)
Leher : pembesarn
KGB (-)
Dada : simetris
Cor : BJ I-II regular
gallop (-) murmur (-)
Pulmo : Vesikuler
ka-ki , Rhonki (-)
Wheezing (-)
Abdomen : BU (+)
normal, NTE (-)
Extremitas : Akral
hangat

Follow up 8 November 2017

S: O: A: P:

15
Os mengeluh masih KU : TSS - Pneumonia - Ceftriaxon 1 x 2 gr
batuk berdahak, (CAP) Dextra - Salbutamol 3 x 1
namun demam, dan KS : CM - Ambroxol 3 x 1
sesak serta nyeri dada - Cetirizine 2 x 1
TD : 110/80 mmHg
sudah tidak ada. BAB - Retaphyl 2 x 1
dan BAK normal N : 82x/menit - Ranitidin 2 x 1
- Metilprednisolon 2
S : 36,4C x 4 mg
R : 22 x/menit
Saturasi O2 : 96%
Status generalis
Kepala :
normocephal
Mata : CA -/- SI -/-
THT : dbn
Wajah : deformitas
(-)
Leher : pembesarn
KGB (-)
Dada : simetris
Cor : BJ I-II regular
gallop (-) murmur
(-)
Pulmo : Vesikuler
ka-ki , Rhonki (-)
Wheezing (-)
Abdomen : BU (+)
normal, NTE (+)
Extremitas : Akral
hangat

Follow up 9 November 2017

16
S O A P

Os mengatakan masih KU : TSS Pneumonia (CAP) Cefixime 2 x 200 mg


batuk berdahak, Dextra
namun sudah KS : CM Salbutamol 3 x 1
berkurang. Keluhan
yang lain sudah tidak
TD : 120/70mmHg Ambroxol 3 x 1
ada. BAB dan BAK N : 80x/menit Cetirizine 2 x 1
normal.
S : 36 C Retaphyl 2 x 1
R : 20x/menit Ranitidin 2 x 1
Status generalis Metilprednisolon 2 x
Kepala : normocephal 4 mg

Mata : CA -/- SI -/-


THT : dbn
Wajah :deformitas (-)
Leher : pembesaran
KGB (-)
Dada : simetris
Cor : BJ I-II regular
gallop (-) murmur (-)
Pulmo : Vesikuler ka-
ki , Rhonki (-)
Wheezing (-)
Abdomen : BU (+)
normal
Extremitas : Akral
hangat

ANALISA KASUS

17
1. Apakah penegakan diagnosis pada pasien sudah benar ?
Ya sudah benar, karena sesuai dengan gejala pada pasien tersebut.
Pada anamnesis dan pemeriksaan pada pasien ini di temukan keluhan demam kurang
lebih selama 7 hari, batuk disertai dahak berwarna hijau, dan sesak disertai nyeri dada, adanya
keringat malam disangkal. Pasien mengatakan tidak pernah memakai masker ketika
mengendarai motor.
Pada pemeriksaan penunjang didapatkan peningkatan jumlah leukosit > 10.000, pada
gambaran radiologis terdapat tampak infiltrat di parakardial paru kanan

2. Bagaimana pathogenesis terjadinya pneumonia ?


Pneumonia disebabkan oleh adanya proliferasi dari mikroorganisme patogen
pada tingkat alveolar dan bagaimana respon individu terhadap patogen yang
berproliferasi tersebut. Hal ini erat kaitannya dengan 3 faktor yaitu keadaan individu,
utamanya imunitas (humoral dan seluler), jenis mikroorganisme pathogen yang
menyerang pasien, dan lingkungan sekitar yang berinteraksi satu sama lain. Ketiga
faktor tersebut akan menentukan klasifikasi dan bentuk manifestasi dari pneumonia,
berat ringannya penyakit, diagnosis empirik, rencana terapi secara empiris, serta
prognosis dari pasien.
Mikroorganisme menyerang traktus respiratorius paling banyak adalah
melalui aspirasi sekret orofaringeal. Aspirasi terjadi sering pada saat tidur, terutama
pada lansia, dan pada pasien dengan tingkat kesadaran yang menurun. Beberapa
patogen menyerang melalui inhalasi dalam bentuk droplet, misal Streptococcus
pneumoniae.Pada kasus yang jarang, pneumonia disebabkan penyebaran infeksi via
hematogen, misal tricuspidal endocarditis atau melalui penyebaran infeksi yang
meluas dari infeksi pleura atau infeksi rongga mediastinum.

18
Patogenenesis pneumonia secara skematis dapat dilihat pada gambar sebagai
berikut:29,30

3. Apakah penatalaksanaan pada pasien ini sudah sesuai ?


Sudah sesuai, untuk pneumonia (CAP) diberikan antibiotik spectrum luas
bila penyebabnya belum di ketahui, dan pemberian paracetamol untuk menurunkan
suhu tubuh bila terjadi demam, dan diberikan anti nyeri untuk perbaikan
simptomatis. Pemberian mukolitik dan ekspektoran untuk memudahkan
pengeluaran dahak., Pemasangan infuse untuk rehidrasi dan koreksi elektrolit,
pemberian obat takikardi atau kelainan jantung.

19
4. Apakah prognosis pada pasien ini ?
Secara umumnya prognosis adalah baik, tergantung dari kuman penyebab
dan penggunaan antibiotika yang tepat serta adekuat. Perawatan yang baik dan
intensif sangat mempengaruhi prognosis penyakit pada penderita yang dirawat.

5. Apa yang menyebabkan sesak nafas pada pasien ini ?


Terjadinya infeksi pada paru-paru, sehingga memincu proses terjadinya
reaksi inflamasi di bagian kantong udara, baik di satu sisi atau kedua paru-paru.
Cairan akan mengisi kantong-kantong kecil tersebut sehingga terjadilah
pembengkakan, yang mengakibatkan berkurangnya ruang oksigen di dalam paru-
paru.

6. Bagaimana pencegahan pada pneumonia ?


Untuk mencegah pneumonia perlu partisipasi aktif dari masyarakat atau keluarga
terutama ibu rumah tangga, karena pneumonia sangat dipengaruhi oleh kebersihan
di dalam dan di luar rumah. Pencegahan pneumonia bertujuan untuk menghindari
terjadinya penyakit pneumonia pada balita. Berikut adalah upaya untuk mencegah
terjadinya penyakit pneumonia :
1. Memeriksakan sedini mungkin apabila terserang batuk. Seseorang yang
menderita batuk harus segera diberi pengobatan yang sesuai untuk mencegah
terjadinya penyakit batuk pilek biasa menjadi batuk yang disertai dengan napas
cepat/sesak napas.
2. Mengurangi polusi di dalam dan di luar rumah. Untuk mencegah pneumonia
disarankan agar kadar debu dan asap diturunkan dengan cara mengganti bahan
bakar kayu dan tidak membawa balita ke dapur serta membuat lubang ventilasi
yang cukup. Selain itu asap rokok, lingkungan tidak bersih, cuaca panas, cuaca
dingin, perubahan cuaca dan dan masuk angin sebagai faktor yang memberi
kecenderungan untuk terkena penyakit pneumonia.
3. Tidak terlalu lama kontak dari penderita batuk. Udara napas seperti batuk dan
bersin-bersin dapat menularkan pneumonia pada orang lain. Karena bentuk
penyakit ini menyebar dengan droplet, infeksi akan menyebar dengan mudah.

20
Perbaikan rumah akan menyebabkan berkurangnya penyakit saluran napas yang
berat.

TINJAUAN PUSTAKA

1. Definisi Pneumonia
Pneumonia adalah penyakit saluran napas bawah (lower respiratory tract (LRT)) akut,
biasanya disebabkan oleh infeksi (Jeremy, 2007). Sebenarnya pneumonia bukan penyakit
tunggal. Penyebabnya bisa bermacam-macam dan diketahui ada sumber infeksi, dengan
sumber utama bakteri, virus, mikroplasma, jamur, berbagai senyawa kimia maupun
partikel. Penyakit ini dapat terjadi pada semua umur, walaupun manifestasi klinik terparah
muncul pada anak, orang tua dan penderita penyakit kronis (Elin, 2008)

Community Acquired Pneumonia


- Pneumonia yang terjadi akibat infeksi diluar rumah sakit.
- Infeksi akut pada parenkim paru yang berhubungan dengan setidaknya beberapa gejala
infeksi akut, disertai adanya gambaran infiltrate akut pada radiologi toraks atau temuan
auskultasi yang sesuai dengan pneumonia (perubahan suara nafas atau rhonki setempat)
pada orang yang tidak dirawat dirumah sakit atau tidak berada pada fasilitas perawatan
jangka panjangselama 14 hari sebelum timbulnya gejala.

2. Etiologi

21
Pneumonia dapat disebabkan oleh berbagai macam mikroorganisme yaitu bakteri,
virus, jamur, dan protozoa. Pada tabel memuat daftar mikroorganisme dan masalah
patologis yang menyebabkan pneumonia (Jeremy, 2007). Daftar mikroorganisme yang
menyebabkan pneumonia Infeksi Bakteri Infeksi Atipikal Infeksi Jamur Streptococcus
pneumoniae Mycoplasma pneumoniae Aspergillus Haemophillus influenza Legionella
pneumophillia Histoplasmosis Klebsiella pneumoniae Coxiella burnetii Candida
Pseudomonas aeruginosa Chlamydia psittaci Nocardia Gram-negatif (E. Coli) Infeksi
Virus Infeksi Protozoa Penyebab Lain Influenza Pneumocytis carinii Aspirasi Coxsackie

Toksoplasmosis Pneumonia lipoid Adenovirus Amebiasis Bronkiektasis Sinsitial


respiratori Fibrosis kistik (Jeremy, 2007)

3. Patogenesis
Paru paru memiliki mekanisme pertahanan yang cukup kompleks dan bertahap.
Mekanisme pertahanan paru yang sudah diketahui hingga kini, antara lain: ( Pokja, 2003 )
Mekanisme pembersihan di saluran napas penghantar.
Reepitelisasi saluran napas, flora normal, faktor humoral lokal (IgG dan IgA), sistem
transport mukosilier, refleks bersin dan batuk, aliran lendir.

Mekanisme pembersihan di bagian pergantian udara pernapasan


Adanya surfaktan, imunitas humoral lokal IgG, makrofag alveolar dan mediator
inflamasi.

22
Mekanisme pembersihan di saluran udara subglotik
Terdiri dari anatomik, mekanik, humoral, dan seluler. Merupakan pertahanan utama
dari benda asing di orofaring, seperti adanya penutupan dan reflek batuk.

Pneumonia disebabkan oleh adanya proliferasi dari mikroorganisme patogen pada


tingkat alveolar dan bagaimana respon individu terhadap patogen yang berproliferasi
tersebut. Hal ini erat kaitannya dengan 3 faktor yaitu keadaan individu, utamanya imunitas
(humoral dan seluler), jenis mikroorganisme pathogen yang menyerang pasien, dan
lingkungan sekitar yang berinteraksi satu sama lain. Ketiga faktor tersebut akan
menentukan klasifikasi dan bentuk manifestasi dari pneumonia, berat ringannya penyakit,
diagnosis empirik, rencana terapi secara empiris, serta prognosis dari pasien. ( Dahlan, dkk
2006 )

Mikroorganisme menyerang traktus respiratorius paling banyak adalah melalui


aspirasi sekret orofaringeal. Aspirasi terjadi sering pada saat tidur, terutama pada lansia,
dan pada pasien dengan tingkat kesadaran yang menurun. Beberapa patogen menyerang
melalui inhalasi dalam bentuk droplet, misal Streptococcus pneumoniae.Pada kasus yang
jarang, pneumonia disebabkan penyebaran infeksi via hematogen, misal tricuspidal
endocarditis atau melalui penyebaran infeksi yang meluas dari infeksi pleura atau infeksi
rongga mediastinum. ( Mendell, 2006 )

23
Patogenenesis pneumonia secara skematis dapat dilihat pada gambar sebagai berikut:
( Sylvia. 2002, Lynch 2009 )

4. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Terjadinya Pneumonia


Diketahui beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya pneumonia yaitu:
a. Mekanisme pertahanan paru
Paru berusaha untuk mengeluarkan berbagai mikroorganisme yang terhirup seperti
partikel debu dan bahan-bahan lainnya yang terkumpul di dalam paru. Beberapa
bentuk mekanisme ini antara lain bentuk anatomis saluran napas, reflex batuk, sistem
mukosilier, juga sistem fagositosis yang dilakukan oleh sel-sel tertentu dengan
memakan partikel-partikel yag mencapai permukaan alveoli. Bila fungsi ini berjalan
baik, maka bahan infeksi yang bersifat infeksius dapat dikeluarkan dari saluran

24
pernapasan, sehingga pada orang sehat tidak akan terjadi infeksi serius.. Infeksi saluran
napas berulang terjadi akibat berbagai komponen sistem pertahanan paru yang tidak
bekerja dengan baik.

b. Kolonisasi bakteri di saluran pernapasan


Di dalam saluran napas atau cukup banyak bakteri yang bersifat komnesal. Bila jumlah
mereka semakin meningkat dan mencapai suatu konsentrasi yang cukup, kuman ini
kemudian masuk ke saluran napas bawah dan paru, dan akibat kegagalan mekanisme
pembersihan saluran napas, keadaan ini bermanifestasi sebagai penyakit.
Mikroorganisme yang tidak menempel pada permukaan mukosa saluran napas akan
ikut dengan sekresi saluran napas dan terbawa bersama mekanisme pembersihan,
sehingga tidak terjadi kolonisasi.

c. Pembersihan saluran napas terhadap bahan infeksius.


Saluran napas bawah dan paru berulangkali dimasuki oleh berbagai mikroorganisme
dari saluran napas atas, akan tetapi tidak menimbulkan sakit, ini menunjukkan adanya
suatu mekanisme pertahanan paru yang efisien sehingga dapat menyapu bersih
mikroorganisme sebelum mereka bermultiplikasi dan menimbulkan penyakit.
Pertahanan paru terhadap bahan- bahan berbahaya dan infeksius berupa reflex batuk,
penyempitan saluran napas, juga dibantu oleh respon imunitas humoral (Supandi,
1992).

5. Epidemiologi
Insidensi tahunan: 5-11 kasus per 1.000 orang dewasa; 15-45% perlu di rawat dirumah
sakit (1-4 kasus), dan 5-10% diobati di ICU. Insidensi paling tinggi pada pasien yang
sangat muda dan usia lanjut. Mortalitas: 5-12% pada pasien yang dirawat di rumah sakit;
25-50% pada pasien ICU (Jeremy, 2007). Di United States, insidensi untuk penyakit ini
mencapai 12 kasus tiap 1.000 orang dewasa. Kematian untuk pasien rawat jalan kurang
dari 1%, tetapi kematian pada pasien yang dirawat di rumah sakit cukup tinggi yaitu sekitar
14% (Alberta Medical Association, 2002). Di negara berkembang sekitar 10-20% pasien
yang memerlukan perawatan di rumah sakit dan angka kematian diantara pasien tersebut
lebih tinggi, yaitu sekitar 30-40% (Sajinadiyasa, 2011). Di Indonesia sendiri, insidensi

25
penyakit ini cukup tinggi sekitar 5-35% dengan kematian mencapai 20-50% (Farmacia,
2006).
Setiap tahun di Amerika Serikat, ada sekitar 1-2.000.000 kasus Community Acquired
Pneumonia mengarah ke sebanyak 1,1 juta pasien di rawat inap dan 45.000 mengalami
kematian. Insidens CAP adalah yang tertinggi pada kelompok usia ekstrim, yaitu sekitar
915.900 kasus pada pasien berusia > 65 tahun setiap tahun di Amerika Serikat.

6. Klasifikasi Pneumonia
a. Pneumonia yang didapat dari komunitas (community acquired pneumonia, CAP):
pneumonia yang didapatkan di masyarakat yaitu terjadinya infeksi di luar lingkungan
rumah sakit. Infeksi LRT yang terjadi dalam 48 jam setelah dirawat di rumah sakit pada
pasien yang belum pernah dirawat di rumah sakit selama > 14 hari (Jeremy, 2007).

b. Pneumonia yang didapat dari rumah sakit (nosokomial): pneumonia yang terjadi selama
atau lebih dari 48 jam setelah masuk rumah sakit. jenis ini didapat selama penderita
dirawat di rumah sakit (Farmacia, 2006). Hampir 1% dari penderita yang dirawat di
rumah sakit mendapatkan pneumonia selama dalam perawatannya. Demikian pula
halnya dengan penderita yang dirawat di ICU, lebih dari 60% akan menderita
pneumonia (Supandi, 1992).

c. Pneumonia aspirasi/anaerob: infeksi oleh bakteroid dan organisme anaerob lain setelah
aspirasi orofaringeal dan cairan lambung. Pneumonia jenis ini biasa didapat pada pasien
dengan status mental terdepresi, maupun pasien dengan gangguan refleks menelan
(Jeremy, 2007).

d. Pneumonia oportunistik: pasien dengan penekanan sistem imun (misalnya steroid,


kemoterapi, HIV) mudah mengalami infeksi oleh virus, jamur, dan mikobakteri, selain
organisme bakteria lain (Jeremy, 2007).

e. Pneumonia rekuren: disebabkan organisme aerob dan aneorob yang terjadi pada fibrosis
kistik dan bronkietaksis (Jeremy, 2007).

26
Klasifikasi dan penentuan tingkat keparahan pada CAP ditentukan terutama ditentukan untuk
mengetahui rekomendasi rawat inap dan untuk menentukan prognosis dari CAP ini. Ada 2
macam grading yang digunakan pada CAP yaitu CURB 65 / CRB 65 dan Pneumonia
Severity Index (PSI)

7. Faktor Risiko
Faktor-faktor risiko yang berhubungan dengan peningkatan risiko pneumonia antara lain
usia > 65 tahun; dan usia < 5 tahun, penyakit kronik (misalnya ginjal, dan paru), diabetes
mellitus, imunosupresi (misalnya obat-obatan, HIV), ketergantungan alkohol, aspirasi
(misalnya epilepsi), penyakit virus yang baru terjadi (misalnya influenza), malnutrisi,
ventilasi mekanik, pascaoperasi, lingkungan, pekerjaan, pendingin ruangan (Jeremy, 2007;
Misnadirly, 2008).

8. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis dari pneumonia komunitas dibagi menjadi dua yaitu gejala dan
tanda diakibatkan pneumonia komunitas tipikal, dan akibat pneumonia atipikal. Berikut
merupakan ciri ciri gejala dan tanda klinis pada pneumonia.

Gambaran klinis yang muncul dapat berbeda pada pasien lansia dengan pasien usia
remaja atau dewasa. Dapat dalam bentuk lebih halus, atau muncul lebih sedikit
dibandingkan gejala yang muncul di dewasa atau remaja. Status mental yang berubah,
penurunan mendadak kapasitas fungsional, dan semakin buruknya penyakit yang
mendasari dapat hanya menjadi temuan klinis yang terlihat, sehingga perlu diwaspadai
walaupun tidak menunjukkan gejala pneumona komunitas ( Simonetti, 2014 )

9. Pemeriksaan penunjang dan Diagnosis

27
9.1. Diagnosis
Anamnesis
Keluhan utama yang sering terjadi pada pasien pneumonia adalah sesak napas,
peningkatan suhu tubuh, dan batuk. Pada pasien dengan pneumonia, keluhan batuk
biasanya timbul mendadak dan tidak berkurang setelah meminum obat batuk yang
biasanya tersedia di pasaran. Pada awalnya keluhan batuk yang tidak produktif, tapi
selanjutnya akan berkembang menjadi batuk produktif dengan mucus purulen
kekuning-kuningan, kehijau-hijauan, dan seringkali berbau busuk. Pasien biasanya
mengeluh mengalami demam tinggi dan menggigil. Adanya keluhan nyeri dada,
sesak napas, peningkatan frekuensi pernapasan, lemas, dan kepala nyeri (Supandi,
1992; Jeremy, 2007; Alberta Medical Assosiation, 2011).
Penegakan diagnosis pneumonia komunitas dapat dilakukan dengan melihat hasil
dari namnesis, gejala dan tanda klinis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan radiologi,
laboratorium, dan mikrobiologi. Menurut Pedoman Diagnosis dan Penatalaksaan
Pneumonia Komunitas, diagnosis pneumonia komunitas dapat ditegakkan apabila
pada foto thoraks ditemukan infiltrat baru atau progresif ditambah dengan 2 atau
lebih gejala di bawah ini : ( Pokja 2003 )
1) Batuk batuk bertambah
2) Perubahan karakteristik dahak / purulen
3) Demam >38oC
4) Adanya tanda konsolidasi paru, suara napas bronkial dan ronki
5) Jumlah leukosit >10.000/ul atau <4000/u

9.2. Pemeriksaan Penunjang


9.2.1. Pemeriksaan Laboratorium
Pada pemeriksaan laboratorium terdapat peningkatan jumlah leukosit,
biasanya lebih dari 10.000/mm3, kadang kadang mencapai 30.000/mm3, dan
pada hitung jenis terdapat pergeseran ke kiri, disertai peningkatan Laju Endap
Darah. Ureum darah dapat meningkat, dengan kreatinin masih dalam batas
normal. Asidosis respiratorik dapat terjadi pada stadium lanjut akibat
hipoksemia dan hipokarbia yang ditunjukkan melalui pemeriksaan analisis gas
darah. ( Priyanti, 2014 )
9.2.2. Pemeriksaan Radiologi

28
Pnumonia komunitas dapat didiagnosis berdasarkan manifestasi klinis
yang muncul, misal batuk, demam, produksi sputum dan nyeri dada pleuritis,
disertai pemeriksaan imejing paru, biasanya dengan radiografi dada. Temuan
pada pemeriksaan radiografi dada dapat berkisar dari suatu bercak infiltrat kecil
di area udara sebagai konsolidasi lobar dengan bronkogram udara hingga
infiltrat alveolar difus atau infiltrat interstisial. Efusi pleura dan kavitasi juga
dapat ditemukan. Hasil radiografi dada juga dapat digunakan untuk menentukan
derajat keparahan penyakit, dan terkadang juga dapat menentukan dugaan
etiologi, misal pneumatoceles pada infeksi akibat S.aureus.( Lawrwnce. 2002,
Priyanti. 2014, Mandell 2006 )
Hubungan antara patogen penyebab dengan pola gambaran radiologi
dapat dilihat pada tabel 6 dan tabel sebagai berikut : ( Sharma, 2014. Boersma
2006 )

9.2.3. Pemeriksaan Mikrobiologi


Pemeriksaan ini bertujuan untuk dapat mengidentifikasi etiologi lebih
pasti, mengetahui jenis patogen yang sering menjadi penyebab infeksi di suatu
daerah, mengetahui tingkat resistensi suatu patogen, serta dapat
memperkirakan jenis terapi empirik apa yang perlu diberikan.
Pengecatan gram pada sputum dapat membantu untuk pemberian obat
pada terapi empirik. Panduan IDSA/ATS juga merekomendasikan agar
specimen sputum dapat diperoleh sebelum pemberian antibiotik. sebelum
pemberian antibiotik untuk pertama kalinya. Pengecatan gram itu sendiri juga
dapat mengidentifikasi patogen tertentu melalui karakteristik khasnya, misal
Streptococcus pneumoniae, Staphylococcus aureus, dan bakteri gram negatif.
Tujuan lain dari pengecatan gram pada sputum adalah untuk memastikan

29
sputum sudah cocok atau belum untuk dijadikan kultur. ( Mandell 2007,
Mandell, 2006. Schmitt 2014 ).
Kultur dapat dihasilkan dari spesimen sputum maupun darah.Kultur
sputum dapat membantu untuk mengidentifikasi patogen penyebab pneumonia
komunitas kaitannya dengan signifikansi epidemiologi, pola transmisi yang
sering terjadi, atau adanya resistensi. Kultur darah sebaiknya dilakukan pada
pasien pneumonia komunitas derajat berat, dikarenakan kemungkinan
terjadinya multiinfeksi lebih tinggi dibandingkan infeksi pneumonia
komunitas pada umumnya. Cairan pleura atau cairan pada serebrospinal
sebaiknya juga dijadikan sampel apabila terdapat dugaan terjadi infeksi di
rongga yang diisi cairan tersebut. ( Mandell. 2007, Schmitt. 2014 )

10. Penatalaksanaan
a. Terapi antibiotika awal: menggambarkan tebakan terbaik berdasarkan pada klasifikasi
pneumonia dan kemungkinan organisme, karena hasil mikrobiologis tidak tersedia
selama 12-72 jam. Tetapi disesuaikan bila ada hasil dan sensitivitas antibiotika (Jeremy,
2007).

b. Tindakan suportif: meliputi oksigen untuk mempertahankan PaO2 > 8 kPa (SaO2 2.2
Antibiotika < 90%) dan resusitasi cairan intravena untuk memastikan stabilitas
hemodinamik. Bantuan ventilasi: ventilasi non invasif (misalnya tekanan jalan napas
positif kontinu (continous positive airway pressure), atau ventilasi mekanis mungkin
diperlukan pada gagal napas. Fisioterapi dan bronkoskopi membantu bersihan sputum
(Jeremy, 2007).

c. Antibiotik merupakan pilihan utama untuk terapi farmakologis pneumonia komunitas.


Hal ini dikarenakan data epidemiologis pada penelitian - penelitian sebelumnya
menyatakan bahwa bakteri merupakan patogen yang sering ditemukan, dan menjadi
penyebab utama pneumonia komunitas. Terapi antibiotik pada pneumonia komunitas
dapat diberikan secara empiris maupun menyesuaikan berdasarkan patogen
penyebabnya. Pada salah satu studi prospektif, tidak ada perbedaan signifikan antara
inisiasi pemberian terapi empirik dengan pemberian terapi sesuai dengan patogen
penyebabnya. ( Eerden. 2005 )

30
Panduan IDSA/ATS merekomendasikan pemberian Drotrecogin alfa yang
teraktivasi dari golongan imunomodulator pada pasien pneumonia komunitas dengan
komplikasi sepsis berat dan memiliki resiko mortalitas yang tinggi. Pemberian steroid
tidak direkomendasikan pada pasien pneumonia komunitas, dan di sebuah penelitan
menunjukkan bahwa pemberian prednisolone selama satu minggu tidak mempengaruhi
hasil terapi secara signifikan. Pada pasien yang sudah membaik dapat dilakukan alih
terapi dari terapi secara intravena ke oral. ( Mendell. 2007, Snijders. 2010, Blasi. 2013
)

31
11. Komplikasi dan Penyebab Kematian
Pneumonia komunitas yang gagal diterapi dapat menyebabkan berbagai
komplikasi, bahkan berujung kematian. Gagal napas, yang dalam bentuk berat dapat
terjadi Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS) dan sepsis merupakan
komplikasi yang dimungkinkan dapat terjadi. ( Dahlan. 2006, American 2014 )

32
Penelitian yang dilakukan oleh MJ Fine,dkk menunjukkan bahwa kebanyakan
pasien yang masih hidup memiliki 1 atau lebih komplikasi medis, sedangkan dari
semua pasien yang meninggal, penyebab utamanya adalah gagal napas (42,5%),
aritmia jantung (8%), dan sepsis (5,3%).33Hasil pada penelitian lain menunjukkan
komplikasi gagal napas, sepsis atau bakteremia, dan aritmia jantung merupakan
penyebab kematian paling banyak. ( Almirall. 2000 )
Penyakit komorbiditas dapat mempengaruhi perjalanan penyakit pneumonia
komunitas itu sendiri, bahkan juga dapat menyebabkan kematian apabila tidak
ditangani dengan benar. Pada salah satu penelitian disebutkan bahwa jumlah pasien
yang memiliki 1 atau 2 komorbiditas lebih banyak dibandingkan yang tidak memiliki
penyakit komorbiditas, dengan komorbiditas paling banyak yaitu penyakit pulmonal.
( Almirall. 2000 ) Penelitian lain tentang penyakit komorbiditas menyatakan bahwa
penyakit bronkopulmonal merupakan komorbiditas yang sering ditemukan, diikuti
dengan kardiovaskuler, keganasan, dan gangguan neurologis.42 Pada penelitian yang
lain disebutkan bahwa gangguan neurologis (29%), kanker paru (13%), dan iskemik
jantung (13%) merupakan penyebab paling sering kematian oleh karena penyakit
komorbiditas. ( Mortensen. 2002 )

12. Prognosis
Secara umumnya prognosis adalah baik, tergantung dari kuman penyebab dan
penggunaan antibiotika yang tepat serta adekuat. Perawatan yang baik dan intensif sangat
mempengaruhi prognosis penyakit pada penderita yang dirawat.
Angka kematian penderita pneumonia komuniti kurang dari 5 % pada penderita rawat
jalan , sedangkan penderita yang dirawat di rumah sakit menjadi 20 % . Menurut Infectious
Disease Society Of America ( IDSA ) Angka kematian pneumonia komuniti pada rawat
jalan berdasarkan kelas yaitu kelas I 0,1 % dan kelas II 0,6 % dan pada rawat inap kelas
III sebesar 2,8 % , kelas IV 8,2 % dan kelas V 29, 2 %. Hal ini menunjukkan bahwa
meningkatnya risiko kematian penderita pneumonia komuniti dengan peningkatan risiko
kelas.
KESIMPULAN
CAP adalah Pneumonia yang terjadi akibat infeksi diluar rumah sakit. Namun,
memiliki arti lain yaitu infeksi akut pada parenkim paru yang berhubungan dengan
setidaknya beberapa gejala infeksi akut, disertai adanya gambaran infiltrate akut pada

33
radiologi toraks atau temuan auskultasi yang sesuai dengan pneumonia (perubahan suara
nafas atau rhonki setempat) pada orang yang tidak dirawat dirumah sakit atau tidak berada
pada fasilitas perawatan jangka panjangselama 14 hari sebelum timbulnya gejala.
Penyebaran penyakit pneumonia di Indonesia sendiri, insidensi penyakit ini cukup
tinggi sekitar 5-35% dengan kematian mencapai 20-50%. Namun, setiap tahun di Amerika
Serikat, ada sekitar 1-2.000.000 kasus Community Acquired Pneumonia mengarah ke
sebanyak 1,1 juta pasien di rawat inap dan 45.000 mengalami kematian. Insidens CAP
adalah yang tertinggi pada kelompok usia ekstrim, yaitu sekitar 915.900 kasus pada pasien
berusia > 65 tahun setiap tahun di Amerika Serikat.
Klasifikasi utama pneumonia saat ini adalah pneumonia komuniti dan pneumonia
nosokomial. Klasifikasi dan penentuan tingkat keparahan pada CAP ditentukan terutama
ditentukan untuk mengetahui rekomendasi rawat inap dan untuk menentukan prognosis
dari CAP ini. Ada 2 macam grading yang digunakan pada CAP yaitu CURB 65 / CRB
65 dan Pneumonia Severity Index (PSI)
Dengan manifestasi klinis Batuk batuk bertambah, perubahan karakteristik dahak /
purulen, demam >38oC, adanya tanda konsolidasi paru, suara napas bronkial dan ronki,
jumlah leukosit >10.000/ul atau <4000/u
Secara umum progonosis penyakit ini baik, dan menjadi buruk bila ada faktor yang
memperberat penyakit

DAFTAR PUSTAKA
A. Mandell L, Wunderink R. Pneumonia. Harrison's Principles of Internal Medicine. 2.
18th Edition ed. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2006. 957 90p

34
Alberta Clinical Practice Guidelines Steering Committee. 2002. Guideline for the
diagnosis and management of community acquired pneumonia: pediatric. Accessed online
June 1, 2004, at:
http://www.albertadoctors.org/bcm/ama/amawebsite.nsf/AllDocSearch/87256DB000705
C3F87256E0500553605/$File/pneumoniapediatrics.df

Almirall J, Bolibar I, Vidal J, Sauca G, Coll P, Niklasson B, et al. Epidemiology of


community-acquired pneumonia in adults: a population-based study. European
Respiratory Journal. 2000;15(4):757- 63

American Lung Association(Internet). Chicago : Understanding Pneumonia;c2014(cited


2014 Januari 10).Available from : www.lung.org/lung-disease/pneumonia/understanding-
pneumonia.html

Ana. (2006). Strategi Terapi Antibiotika Untuk Pneumonia. 26 (6): 6 www.farmacia.com


Blasi F, Garau J, Medina J, vila M, McBride K, Ostermann H. Current management of
patients hospitalized with community-acquired pneumonia across Europe: outcomes from
REACH. Respir Res. 2013;14:44

Boersma WG, Daniels J, Lwenberg A, Boeve W-J, van de Jagt EJ. Reliability of
radiographic findings and the relation to etiologic agents in community-acquired
pneumonia. Respiratory medicine. 2006;100(5):926- 32

Dahlan Z. Pneumonia.Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 2. 4 ed. In: W.Sudoyo A,


Setiyohadi B, Alwi I, K. MS, Setiati S, editors. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2006. p. 964 - 71.

F.Simonetti A, Viasus D, Garcia-Vidal C, Carratala J. Management of community-


acquired pneumonia in older adults. Therapeutic Advances in Infectious Disease.
2014;2(1):3-16.

Jeremy, P.T. (2007). At Glance Sistem Respirasi. Edisi Kedua. Jakarta: Erlangga Medical
Series. Hal. 76-77.

Lawrence M T, Jr., J.McPhee S, A.Papadakis M. Diagnosis dan Terapi Kedokteran


Penyakit Dalam. 1 ed. Jakarta: Salemba Medika; 2002. 100 - 10p.

Lynch JP, Zhanel GG. Streptococcus pneumoniae: Epidemiology, Risk Factors, and
Strategies for Prevention. Seminars in Respiratory and Critical Care Medicine Thieme
Medical Publishers 2009. p. 189-209

Mandell LA, Wunderink RG, Anzueto A, Bartlett JG, Campbell GD, Dean NC, et al.
Infectious Diseases Society of America/American Thoracic Society consensus guidelines
on the management of community-acquired pneumonia in adults. Clinical infectious
diseases. 2007;44(Supplement 2):S27-S72.

Misnadirly. (2008). Penyakit Infeksi Saluran Napas Pneumonia Pada Anak Balita, Orang
Dewasa, Usia Lanjut. Jakarta: Pustaka Popular Obor. Hal. 55-58.

35
Mortensen EM, Coley CM, Singer DE, Marrie TJ, Obrosky DS, Kapoor WN, et al. Causes
of death for patients with community-acquired pneumonia: results from the Pneumonia
Patient Outcomes Research Team cohort study. Archives of Internal Medicine.
2002;162(9):1059-64.

Pokja Infeksi Perhimpunan Dokter Paru Indonesia.Pneumonia Komunitas: Pedoman


Diagnosis dan Penatalaksanaan Di Indonesia.2003

Sajinadiyasa, 2010. Prevalensi dan Risiko Merokok Terhadap Penyakit Paru Di Poliklinik
Paru Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar. Jurnal Respirologi Indonesia. Divisi
Pulmonologi/SMF Ilmu Penyakit Dalam : FK UNUD/ RSUP Sanglah Denpasar.

Schmitt, Steven.Cleveland : Community Acquired Pneumonia (Internet); c2014 (cited


2014 Januari 5). Available from :
www.clevelandclinicmed.com/medicalpubs/diseasemanagement/infectious-
disease/community-acquired-pneumonia/#bib10

Sharma Sat, Maycher Bruce, Eschun Gregg.Radiological Imaging in Pneumonia : Recent


Innovations Imaging of Bacterial Pneumonia(Internet); c2014(cited 2014 Januari 5).
Available from : www.medscape.org/viewarticle/556344_2

Snijders D, Daniels JM, de Graaff CS, van der Werf TS, Boersma WG. Efficacy of
corticosteroids in community-acquired pneumonia: a randomized double-blinded clinical
trial. Am J Respir Crit Care Med. 2010;181(9):975982.

Sukandar, Elin Yulinah dkk. ISO Farmakoterapi. Jakarta : PT ISFI. Penerbitan.2008

Supandi, P.Z. (1992). Pulmonologi Klinik. Jakarta: Bagian Pulmonologi FKUI. Hal. 87-
91.

Sylvia A.Price LMW. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses - Proses Penyakit. In:
dr.Huriawati Hartanto dNS, dr.Pita Wulansari ,dr.Dewi Asih Mahanani, editor. 2. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC.2002. p. 804 10

Van der Eerden M, Vlaspolder F, De Graaff C, Groot T, Bronsveld W, Jansen H, et al.


Comparison between pathogen directed antibiotic treatment and empirical broad spectrum
antibiotic treatment in patients with community acquired pneumonia: a prospective
randomised study. Thorax. 2005;60(8):672-8.

ZS, Priyanti.Bagian Pulmonologi FK UI/RSUP Persahabatan Jakarta : Konsensus


Pneumonia (Internet); c2014 (cited 2014 Januari 5). Available from:
www.klikpdpi.com/konsensus/Xsip/konsensus-pneumon ia/pneumonia.htm

BAB II

36
TINJAUAN PUSTAKA

I. DEFINISI

Hubungan antara psikis (jiwa) dan soma (badan) telah menjadi perhatian para ahli dan
para peneliti sejak dahulu. Keduanya (psikis dan soma) saling terkait secara erat dan tidak
bisa dipisahkan antara satu dengan lainnya. Kedua aspek saling mempengaruhi yang
selanjutnya tercermin dengan jelas dalam ilmu kedokteran psikosomatik.
Di masa prasejarah masyarakat percaya bahwa penyakit disebabkan oleh kekuatan roh
jahat. Oleh karena itu pengobatannya harus dilakukan dengan mantera-mantera. Di masa
peradaban kuno kemudian dipercaya bahwa pikiran memiliki kekuatan besar untuk
mempengaruhi badan, sehingga gangguan pada badan tidak bisa disembuhkan tanpa
mengobati kepalanya (pikiran).
Dalam perkembangannya tidak hanya aspek fisis dan psikis saja yang menjadi titik
perhatian, tetapi juga aspek spiritual (agama) dan lingkungan merupakan faktor yang harus
diperhatikan untuk mencapai keadaan kesehatan yang optimal. Hal ini sesuai dengan definisi
WHO tentang pengertian sehat yang meliputi kesehatan fisis, psikologis, sosial, dan spiritual.
Jadi mempunyai 4 dimensi yaitu bio-psiko-sosio-spiritual.
Dalam pengertian kedokteran psikosomatik secara luas, aspek bio-psiko-sosio-spiritual
tersebut sangat perlu dipahami untuk melakukan pendekatan dan pengobatan terhadap pasien
secara holistic (menyeluruh) dan ekliktik (rinci) yaitu pendekatan psikosomatik.
Gangguan psikosomatik ialah gangguan atau penyakit dengan gejala-gejala yang
menyerupai penyakit fisis dan diyakini adanya hubungan yang erat antara suatu peristiwa
psikososial tertentu dengan timbulnya gejala-gejala tersebut. Ada juga yang memberikan
batasan bahwa gangguan psikosomatik merupakan suatu kelainan fungsional suatu alat atau
sistem organ yang dapat dinyatakan secara obyektif, misalnya adanya spasme, hipo atau
hipersekresi, perubahan konduksi saraf dan lain-lain. Keadaan ini dapat disertai adanya
organik/struktural sebagai akibat gangguan fungsional yang sudah berlangsung lama.
Menurut JC. Heinroth yang dimaksud dengan gangguan psikosomatik ialah adanya
gangguan psikis dan somatik yang menonjol dan tumpang tindih. Berdasarkan pengertian dan
kenyataan diatas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan gangguan psikosomatik
adalah gangguan atau penyakit yang ditandai oleh keluhan-keluhan psikis dan somatik yang
dapat merupakan kelainan fungsional suatu organ dengan ataupun tanpa gejala objektif dan

37
dapat pula bersamaan dengan kelainan organik/ struktural yang berkaitan dengan stressor atau
peristiwa psikososial tertentu.
Gangguan fungsional yang ditemukan bersamaan dengan gangguan struktural organis
dapat berhubungan sebagai berikut:
Gangguan fungsional yang lama dapat menyebabkan atau mempengaruhi timbulnya
gangguan struktural seperti asma bronchial, hipertensi, penyakit jantung koroner, arthritis
rheumatoid dan lain-lain
Gangguan atau kelainan struktural dapat menyebabkan gangguan psikis dan
menimbulkan gejala-gejala gangguan fungsional seperti pada pasien penyakit jantung,
penyakit kanker, gagal ginjal dan lain-lain.
Gangguan fungsional dan struktural organik berada bersamaan oleh sebab yang berbeda.

Dalam kenyataannya, di klinik jarang sekali faktor psikis/emosi seperti frustasi, konflik,
ketegangan dan sebagainya dikemukakan sebagai keluhan utama oleh pasien. Justru keluhan-
keluhan fisis yang beraneka ragam yang selalu ditonjolkan oleh pasien. Keluhan-keluhan
yang dirasakan pasien umumnya terletak di bidang penyakit dalam seperti keluhan sitem
kardiovaskuler, sistem pernapasan, saluran cerna, saluran urogenital, dan sebagainya.
Keluhan-keluhan tersebut adalah manifestasi adanya ketidakseimbangan sistem saraf
otonom vegetatif, seperti sakit kepala, pusing, serasa mabuk, cenderung untuk pingsan,
banyak keringat, jantung berdebar-debar, sesak napas, gangguan pada lambung, dan usus,
diare, anoreksia, kaki dan tangan dingin, kesemutan, merasa panas atau dingin seluruh tubuh
dan banyak lagi gejala lainnya. Terdapat multiaxial evaluation system pada psikosomatik.
Dikenal 5 aksis yang ada:
Aksis 1. Faktor-faktor psikologis yang mempengaruhi malfungsi atau kondisi fisis,
sindrom klinis.
Aksis 2. Gangguan personality (kepribadian) dan derajat beratnya gangguan tersebut.
Aksis 3. Gangguan penyakit fisik.
Aksis 4. Stresor psikososial dan derajat beratnya.
Aksis 5. Sosio-kultural, kemampuan fungsi adaptasi yang tertinggi, didapatkan dalam satu
tahun terakhir.

38
Dengan mempergunakan evaluasi multiaksis ini pada setiap pasien psikosomatik dapat
dipandang secara luas dari berbagai aspek, yaitu aspek psikologis, sosial, fisik, dan beratnya
faktor stresor dan derajat fungsi adaptasinya.

II. PATOFISIOLOGI

STRES, STRESOR DAN GANGGUAN PSIKOSOMATIK


Stres menurut Hans Selye adalah respon tubuh yang tidak spesifik terhadap aksi atau tuntutan
atasnya. Jadi merupakan respon autonomik tubuh bersifat adaptif pada tiap perlakuan yang
menimbulkan perubahan fisis atau emosi yang bertujuan untuk mempertahankan kondisi fisik
optimal suatu organisme. Reaksi fisiologis ini disebut general adaptation syndrome. Respons
tubuh terhadap perubahan dibagi menjadi 3 fase :
1. Alarm reaction (reaksi peringatan)
Tubuh dapat mengatasi stresor (perubahan) dengan baik
2. The stage of resistance (reaksi pertahanan)
Reaksi terhadap stresor sudah melampaui kemampuan tubuh, timbul gejala psikis dan
somatik.
3. Stage of exhaustion (reaksi kelelahan)
Gejala psikosomatik tampak jelas
Dari sudut pandang psikologis, stress didefinisikan sebagai keadaan internal yang disebabkan
oleh kebutuhan psikologis tubuh, atau oleh situasi lingkungansosial yang potensial
berbahaya, memberikan tantangan, menimbulkan perubahan-perubahan atau memerlukan
pertahanan seseorang. Dalam keadaan stress dapat terjadi perubahan psikis, fisiologis,
biokemis dan lain-lain reaksi tubuh di samping adanya proses adaptasi.
Stresor psikososial adalah keadaan/peristiwa yang menyebabkanperubahan dalam kehidupan
seseorang. Karena adanya stresor terpaksa seseorang menyesuaikan diri untuk
menanggulangi stres yang timbul. Stresor ialah keadaan yang menimbulkan stres, contohnya
masalah perkawinan, keluarga, hubungan interpersonal, pekerjaan, lingkungan hidup, hukum,
keuangan, perkembangan, penyakit fisik, dan lain-lain. Pembagian lain yaitu stresor fisis,
stresor sosial, stresor psikis.

39
DASAR PSIKOFISIOLOGI DAN PSIKOPATOLOGI
Patofisiologi timbulnya kelainan fisis yang berhubungan dengan gangguan psikis/emosi
belum seluruhnya dapat diterangkan namun sudah terdapat banyak bukti dari hasil penelitian
para ahli yang dapat dijadikan pegangan. Gangguan psikis/konflik emosi yang menimbulkan
gangguan psikosomatik ternyata diikuti oleh perubahan-perubahan fisiologis dan biokimia
pada tubuh seseorang. Perubahan fisiologi ini berkaitan erat dengan adanya gangguan pada
sistem saraf autonom vegetatif, sistem endokrin dan sistem imun.
Patofisiologi gangguan psikosomatik dapat diterangkan melalui beberapa teori sebagai
berikut:
a. Gangguan Keseimbangan Saraf Autonom Vegetatif
Dua komponen pengatur yang saling berlawanan pada sistem vegetatif:
Sistem simpatik ergotrop untuk melakukan effort, prestasi dengan mempergunakan
dan melepaskan energi
Sistem parasimpatik trofotrop untuk istirahat dan pemulihan kembali cadangan energi
di badan.
Dengan kerja sama kedua sistem ini terpeliharalah keseimbangan yang dinamik, suatu
keseimbangan vegetatif, yang secara optimal dapat menghadapi dan menyesuaikan diri
terhadap perubahan kebutuhan setiap saat. Pada keadaan ini konflik emosi yang timbul
diteruskan melalui korteks serebri ke sistem limbik kemudian hipotalamus dan akhirnya
ke sistem saraf autonom vegetatif. Gejala klinis yang timbul dapat berupa hipertoni
parasimpatik, ataksi vegetatif yaitu bila koordinasi antara simpatik dan parasimpatik
sudah tidak ada lagi dan amfotoni bila gejala hipertoni simpatik dan parasimpatik terjadi
silih berganti.
b. Gangguan Konduksi Impuls Melalui Neurotransmitter
Gangguan konduksi ini disebabkan adanya kelebihan atau kekurangan neurotransmitter
di presinaps atau adanya gangguan sensitivitas pada reseptor-reseptor postsinaps.
Beberapa neurotransmitter yang telah diketahui berupa amin biogenik antara lain
noradrenalin, dopamine, dan serotonin.
c. Hiperalgesia Alat Viseral
Meyer dan Gebhart (1994) mengemukakan konsep dasar terjadinya gangguan
fungsional pada organ visceral yaitu adanya visceral hyperalgesia. Keadaan ini
mengakibatkan respon reflex yang berlebihan pada beberapa bagian alat visceral tadi.

40
Konsep ini telah dibuktikan pada kasus-kasus non-cardiac chest pain, non-ulcer
dyspepsia dan irritable bowel syndrome.
d. Gangguan Sistem Endokrin/Hormonal
Perubahan-perubahan fisiologi tubuh yang disebabkan adanya stress dapat terjadi
akibat gangguan sistem hormonal. Perubahan tersebut terjadi melalui hypothalamic-
pitutary-adrenal axis (jalur hipotalamus-pituitari-adrenal). Hormone yang berperan pada
jalur ini antara lain: hormon pertumbuhan (growth hormone), prolactin, ACTH,
katekolamin.
e. Perubahan dalam Sistem Imun
Perubahan tingkah laku dan stress selain dapat mengaktifkan sistem endokrin melalui
hypothalamus-pituitary axis (HPA) juga dapat mempengaruhi imunitas seseorang
sehingga mempermudah timbulnya infeksi dan penyakit neoplastik. Fungsi imun menjadi
terganggu karena sel-sel imunitas merupakan immunotransmitter mengalami berbagai
perubahan.Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi imunitas adalah sebagai berikut:
Kualitas dan kuantitas stress yang timbul
Kamampuan individu dalam mengatasi suatu stress secara efektif
Kualitas dan kuantitas rangsang imunitas
Lamanya stress
Latar belakang lingkungan sosio-kultural pasien
Faktor pasien sendiri (umur, jenis kelamin, status gizi)

III. KLASIFIKASI

Berdasarkan ada tidaknya patologi sistem organ, gangguan psikosomatik dibagi menjadi:
a. Gangguan psikosomatik fungsional (malfungsi fisiologis) atau gangguan psikosomatik
primer
b. Gangguan psikosomatik struktural (malfungsi fisiopatologis) atau gangguan
psikosomatik sekunder
Kasus-kasus psikosomatik di bagian penyakit dalam dapat dibedakan beberapa kelompok,
yaitu:
Tanpa dijumpai kelainan organik (kasus psikosomatik murni)

41
Terdapat kelainan organik disebabkan karena gangguan psikosomatiknya sudah
berlangsung lama. Misalnya dispepsia non ulkus menjadi ulkus peptikum
Kelainan organik terjadi bersama-sama gangguan psikosomatiknya dan tidak saling
berhubungan (koinsidensi). Dalam hal ini keluhan-keluhan pasien tidak sesuai dengan
kelainan yang ditemukan. Mereka terlampau banyak mempunyai keluhan yang tak cocok
dengan keluhan organiknya
Kelainan organik yang ada baru disadarkan oleh orang atau dokternya. Misalnya kelainan
jantung bawaan, tuberkulosis, tumor ganas, infark miokard, dan sebagainya.

JENIS GANGGUAN PSIKOSOMATIK


Untuk klasifikasi jenis gangguan psikosomatik, maka jenis gangguan dibagi menurut
organ yang paling sering terkena, yaitu gangguan gastrointestinal, gangguan kardiovaskular,
gangguan pernapasan, gangguan endokrin, gangguan kulit, gangguan muskuloskeletal, psiko-
onkologi.
1. Gangguan Gastrointestinal
a. Dispepsia Fungsional
Merupakan perasaan tidak enak dan sakit pada daerah epigastrium, sering
disebabkan karena kelainan fungsi lambung: sekresi asam lambung yang berlebihan,
motilitas dan tonus yang meninggi pada otot-otot dinding lambung. Legarde dan Spiro
(1984) mengatakan bahwa keluhan tidak enak pada perut bagian atas yang bersifat
intermitten sedangkan pada pemeriksaan tidak didapatkan kelainan organis. Gejala-
gejala yang sering dikeluhkan pasien berupa rasa penuh pada ulu hati sesudah makan,
kembung, sering bersendawa, cepat kenyang, anoreksia, nausea, vomitus, rasa
terbakar pada daerah ulu hati dan regurgitasi.
Peran faktor psikososial pada dispepsia fungsional sangat penting karena dapat
menyebabkan hal-hal di bawah ini:
- Menimbulkan perubahan fisiologi saluran cerna
- Perubahan penyesuaian terhadap gejala-gejala yang timbul
- Mempengaruhi karakter dan perjalanan penyakitnya
- Mempengaruhi prognosis

42
Rangsangan psikis/emosi sendiri secara fisiologi dapat mempengaruhi lambung
dengan dua cara:
- Jalur Neurogen: rangsangan konflik emosi pada korteks serebri mempengaruhi
kerja hipotalamus anterior dan selanjutnya ke nucleus vagus, dan kemudian ke
lambung
- Jalur Neurohormonal: rangsangan pada korteks serebri diteruskan ke hipotalamus
anterior selanjutnya ke hipofisis anterior yang mengeluarkan kortikotropin.
Hormon ini merangsang korteks adrenal dan kemudian menghasilkan hormon
adrenal yang selanjutnya merangsang produksi asam lambung.
Pengobatan melalui pendekatan psikosomatis yaitu dengan memperhatikan aspek-
aspek fisik, psikososial, dan lingkungan. Terhadap keluhan-keluhan dispepsia dapat
diberikan pengobatan simptomatis seperti antasida, obat-obat H2 antagonis seperti
Cimetidin, ranitidine. Obat inhibitor pompa proton seperti omeprazole, lansoprazole.
Yang tidak kalah pentingnya ialah melakukan psikoterapi dengan beberapa edukasi
dan saran agar dapat mengatasi atau mengurangi stress dan konflik psikososial.
b. Konstipasi Psikogenik
Buang air besar biasanya terjadi setelah timbul rangsangan di hipotalamus yang
diteruskan ke kolon dan sfingter ani melalui susunan saraf autonom. Pada waktu
tertentu kemungkinan rangsangan tersebut tidak timbul. Hal ini dapat terjadi pada
seseorang yang sedang murung, kecewa, putus asa, dan gangguan jiwa lain. Pasien
sering mempunyai keluhan tidak dapat atau mengalami kesulitan buang air besar.
Akibat kelainan tersebut, rangsangan di hipotalamus ikut menurun sampai tidak ada,
sehingga rangsangan di usus besar pun sangat berkurang. Bila berlangsung terus-
menerus akan terjadi atoni kolon dan konstipasi kronik yang selanjutnya disebut
konstipasi psikogenik.
Pengelolaan pasien konstipasi psikogenik lebih menitikberatkan pada psikoterapi.
Perlu pendekatan psikomatik dengan memperdulikan faktor-faktor psikis sebagai
penyebabnya.
c. Diare Psikogenik
Seseorang yang sedang mengalami ketegangan jiwa, sedang emosi, atau sedang
dalam keadaan stress , hidupnya tidak teratur. Keadaan demikian akan menyebabkan
terangsangnya hipotalamus terus-menerus secara tidak teratur. Rangsangan di
hipotalamus ini akan diteruskan ke susunan saraf autonom. Susunan saraf yang

43
berulang kali terangsang ini akan menyebabkan timbulnya hiperperistaltik kolon,
sehingga bolus makanan terlalu cepat dikeluarkan karena hiperperistaltik tersebut,
reabsorpsi air di kolon terganggu, dan timbullah diare. Bila terjadi berulang kali,
timbul diare kronik. Keadaan demikian disebut diare psikogenik kronik.
Sifat diare psikogenik pada umumnya memperlihatkan sering buang air besar
yang bersifat lembek, hampir tidak pernah bersifat cair, jarang disertai lender dan
darah, dan tidak pernah disertai demam. Diare yang timbul biasanya berlangsung
beberapa hari, selama masih ada gangguan psikis.
d. Obesitas
Pada obesitas yang hebat sering didapati faktor psikologik. Tidak dapat
diterangkan secara memuaskan dengan teori: efisiensi otot-otot yang tinggi,
respiratory quotient yang rendah, specific dynamic action dari makanan atau
penyimpanan yang abnormal oleh orang gemuk itu.
Faktor psikologik, mulai dari ketegangan yang ringan sampai dengan suatu nerosa
yang hebat dapat menyebabkan makan berlebihan. Kadang-kadang orang yang
merasa tidak bahagia mencari kesenangan dalam makanan. Mungkin bila ia
mengalami banyak kekecewaan dalam pekerjaan atau kehidupan seksual, makanan
bukan saja daoat merupakan pembelaan atau hiburan, tetapi juga dapat merupakan
substitusi.
Pengobatan ialah meyakinkan penderita bahwa berat badan itu perlu diturunkan,
mengatur tabiat makanan, diet yang pantas, dan psikoterapi bila terdapat konflik;
dapat juga diberikan obat-obat untuk menekan nafsu makan beserta vitamin supaya
tidak kekurangan bila makan berkurang.
2. Gangguan Kardiovaskular
a. Hipertensi
Hipertensi oleh banyak peneliti dianggap sebagai suatu penyakit yang
multifaktorial. Selain faktor psikis yang menstimulasi efek simpatikotonik, pengaruh
lingkungan sekitar dan sosio-kultural juga ikut berperan. Faktor-faktor psikis
stuasional yang menyebabkan kenaikan tekanan darah, merupakan model outlet yang
aman sebagai reaksi normal fisiologis.
Menurut Groen, mekanisme utama perkembanghan menjadi hipertensi yaitu
perubahan suatu reaksi fisiologis yang dihubungkan dengan behavior readiness, oleh
suatu reaksi neuroviseral; sebagai ganti aktivitas neuromuscular yang kuat dan

44
volume semenit jantung yang meningkat, serta resistensi pembuluh darah yang
meningkat pula.
Karena sifat etiologi yang multifaktorial, kebanyakan pasien membutuhkan terapi
kombinasi. Terapi dengan obat seringkali perlu diberikan, namun efek samping harus
diperhatikan. Reserpine, misalnya, juga mempunyai efek samping depresif. Latihan
autogen (autogenic training) sebagai latihan rileks pada hakikatnya sangat baik,
namun seringkali menambah rasa takut dan kegelisahan, karena aktivitas defense yang
menutup-nutupi rasa takut dihilangkan, sehingga konflik internal malah dialami lebih
jelas.
b. Gangguan Irama Jantung
Mekanisme regulasi jantung mudah bereaksi terhadap rangsangan psikis dan
penilaiannya dalam hal khayalan dan pengalaman merupakan faktor-faktor yang
menentukan dalam terjadinya penyakit. Faktor-faktor emosional dapat bekerja dengan
3 cara:
a. Afek seperti rasa takut, sedih, gembira atau ketegangan jiwa mempengaruhi fungsi
somatik secara tidak khas. Emosi agresif mempercepat frekuensi jantung.
Pengalaman depresif menekan dan memperlambatnya.
b. Bila dalam keadaan normal, jantung berdenyut teratur, maka persepsi gangguan
irama dapat menimbulkan kecemasan atau ketidakseimbangan vegetatif.
Faktor-faktor psikis berpengaruh pada timbulnya gangguan frekuensi denyut dan
disaritmia jantung. Pada gangguan frekuensi jantung, pengaruh fisis, toksik, infeksi
dan degenerasi, juga faktor piskis.
Aritmia psikogenik tanpa adanya gangguan struktural pada umumnya tidak akan
menyebabkan kematian, namun dapat memberikan impilkasi yang buruk terhadap
kondisi psikis pasien. Maka psikoterapi suportif dan pemberian ansiolitik dapat
mencegah perburukan kondisi psikis dan menghilangkan ritma.
3. Gangguan Pernapasan
a. Sindrom Hiperventilasi
Sindrom hiperventilasi didefinisikan sebagai suatu keadaan ventilasi berlebihan
yang menyebabkan perubahan hemodinamik dan kimia sehingga menimbulkan
berbagai gejala. Mekanisme yang mendasari hingga terjadi sindrom hiperventilasi
belum jelas diketahui.

45
Menurut Arautigam (1973) secara psikologis penyebab yang mencetuskan
penyakit ini ialah perubahan pernapasan, yang ia namakan sindrom pernapasan
nervous yang biasanya disebabkan oleh faktor emosional/stress psikis. Terdapat 2
jenis pernapasan yang dapat ditemukan, yaitu:
Pernapasan yang tidak teratur yang dianggap sebagai pengutaraan rasa takut yang
khas.
Pernapasan yang dangkal yang diselingi dengan penarikan napas dalam sebagai
pengutaraan situasi pribadi yang bersifat keletihan dan pasrah, yaitu pertanda
tujuan tidak dapat dicapai kendati sudah diusahakan.
Gejala klinis yang dapat ditemukan pada pasien adalah napas sesak, napas pendek,
dada tertekan, nyeri pada epigastrium, pusing, sakit kepala,mulut dan tenggorokan
kering, disfagi, dan rasa penuh pada lambung.penyebab paling sering untuk
hiperventilasi ialah emosi rasa takut dan kegelisahan.
Terapi untuk pasien dengan sindrom hiperventilasi:
Pasien bernapas (inspirasi dan ekspirasi) ke dalam sungkup kantong plastic bila
didapatkan tanda alkalosis agar PCO2 dalam darah naik.
Suntikkan 10 cc larutan kalsium glukonas 10% intravena mempunyai efek
placebo. Pasien merasa hangat dan enak, tetapi kadar ion kalsium tidak akan naik.
Belajar bernapas torako-abdominal dengan menggerakkan diafragma.
Psikoterapi: membantu menyelesaikan problem-problem emosional pada pasien,
termasuk melakukan terapi pelaku (Cogntive Behavioral Teraphy)
Karena hiperventilasi sering merupakan bagian dari serangan panik (panic
disorder), maka pemberian obat yang tepat adalah golongan benzodizepin atau
golongan SSRI (Selective Serotonin Reuptake Inhibitor)
b. Asma Bronkial
Asma merupakan suatu gangguan karena hiperaktivitas yang diikuti
bronkokontriksi yang reversible serta adanya reaksi inflamasi kronik serta kerusakan
epitel. Dalam perkembangannya, pathogenesis asma dipengaruhi oleh 3 faktor, yaitu
faktor genetik (atopi dan hiperaktivitas bronkus pada keluarga), faktor lingkungan,
allergen seperti debu rumah, serbuk sari bunga, virus dan bakteri, polusi udara; faktor
individu, adanya stressor dan kemampuan untuk mengatasi asma.
Beberapa keadaan yang merupakan stressor psikososial, sebagai berikut:

46
- Pengalaman luar biasa: permulaan masuk sekolah, ujian, pertama masuk kerja,
menderita penyakit, berpisah dengan orang tua, dll
- Kejadian-kejadian traumatik: perkelahian/pertentangan dengan orang tua,
permusuhan, kejengkelan dalam kerja.
- Pengalaman yang menyedihkan: kematian orang tua, atau anak, kehilangan harta
benda, dan musibah lainnya
Terhadap gejala asma secara fisik diberikan pengobatan standar yang sudah baku
sesuai dengan tingkat beratnya penyakit (bronkodilator, kortikosteroid). Sedangkan
untuk gangguan psikosomatik seperti adanya anxietas atau depresi secara bersamaan
dilakukan psikoterapi dan psikoedukasi serta psiokfarmaka yang sesuai. Pada
gangguan anxietas yang menyertai atau mencetuskan asma dapat diberikan golongan
benzodiazepine seperti alprazolam, klobazam. Bila dijumpai adanya presi, maka dapat
diberikan antidepresan yang aman misalnya golongan SRI seperti sertraline,
fluoksetin.
Cara pengobatan psikosomatik yang khusus pada asma memang belum ada
standar, namun pada umumnya pengobatan meliputi psikoterapi superfisial, edukasi,
instruksi.
- Psikoterapi individual dan psikoterapi kelompok. Mereka diberikan edukasi
mengenai perjalanan penyakit asma, mekanisme timbul, faktor resiko, pengobatan
dan pencegahan. Psikoterapi ini diberikan untuk meningkatkan daya adaptasi dan
kemampuan untuk menyelesaikan atau menghilangkan stressor psikososial yang
dialami pasien.
- Instruksi tentang penatalaksanaan mandiri dengan monitoring PEFR (Peak
Expiratory Flow Rate) di rumah.
- Autogrnic training yaitu latihan untuk dapat bersantai dengan memahami bahwa
faktor psikis dapat menimbulkan reaksi bronkospasme.
- Cara sugestif yaitu mengalihkan atau mencurahkan perhatian diri sendiri kepada
hal-hal yang bermanfaat.
- Psikoterapi analisis yang sederhana.

4. Gangguan Endokrin
a. Kelainan Tiroid

47
Pasien tirotoksikosis umumnya datang dengan keluhan yang dianggap bersifat
psiksi belaka. Misalnya rasa cemas, mudah marah, paranoid, rasa seperti leher
tercekik atau terikat, rasa takut tanpa sebab yang jelas, insomnia dengan mimpi buruk,
dan gugup. Keluhan ini sering diikuti dengan hiperaktivitas saraf otonom seperti
keringat banyak, mulut kering, pupil lebar, kulit pucat, nadi cepat, dan sebagainya.
Pengobatan ialah usaha untuk mengendalikan metabolism dengan obat-obat dan
bila perlu dioperasi. Transquilaizer dapat sangat membantu. Psikoterapi perlu,
terutama pada penderita dengan konflik yang mendalam dan yang tidak dapat
menyesuaikan diri.
b. Diabetes Melitus
Diabetes Melitus adalah suatu kelompok penyakit meabolik yang ditandai dengan
adanya defek pada sekresi insulin, kerja insulin, atau keduanya. Hipetglikemia kronik
pada pasien diabetes berhubungan dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi atau
kegagalan berbagai organ seperti mata, ginjal, saraf, jantung, dan pembuluh darah
serta mempengaruhi kondisi psikis. Gangguan psikis yang biasa terjadi pada penderita
diabetes mellitus adalah depresi.
Depresi terjadi akibat faktor psikologis dan psikososial yang berhubungan dengan
penyakit atau terapinya. Depresi pada diabetes terjadi akibat meningkatnya tekanan
pasien yang dialami dari penyakitnya yang kronik. Hubungan ketidakmampuan
adaptasi dengan gejala depresi ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu:
a. Pandangan terhadap penyakit yang diderita.
b. Dukungan sosial yang kurang baik
c. Coping strategy, mencegah pikiran untuk lari dari kenyataan dan adaptasi
psikologis menjadi lebih baik sehingga mengurangi kemungkinan gejala depresi.
Pengobatan depresi dan diabetes dilakukan bersama-sama dengan psikoterapi,
psikoedukasi, psikofarmaka secara serentak. Cognitive Behavioral Theraphy (CBT)
sangat bermanfaat diberikan pada pasien depresi dengan diabetes mellitus dan
dikombinasikan dengan edukasi diabetes. Teknik CBT tersebut adalah:
a. Merubah perilaku dengan mengembalikan aktuvitas fisik dan kehidupan sosial
yang menyenangkan pasien.
b. Upaya pemecahan masalah atau stress yang dihadapi.
c. Teknik kognitif dengan mengidentifikasi adanya maldaptasi dan menggantinya
dengan pandangan yang akurat, adaptif dan akurat.

48
Beberapa golongan obat antidepresan yang biasa diberikan untuk penderita
diabetes melitus adalah golongan SSRI (Selective Serotonin Reuptake Inhibitor) dapat
mengurangi resistensi insulin sehingga gula darah dapat lebih terkontrol. Beberapa
golongan obat SSRI seperti fluoksetin memiliki efek menurunkan berat badan
sehingga baik diberikan pada penderita diabetes yang gemuk. Efek samping yang
perlu diperhatikan adalah kemungkinan terjadinya hipoglikemia, disfungsi seksual
dan pasien yang disertai gangguan ginjal.
5. Gangguan Muskuloskeletal
Arthritis rheumatoid adalah penyakit inflamasi kronik dengan pathogenesis autoimun
dan etiologi yang multikompleks. Berbagai faktor yang dapat berperan penting seperti
immunogenetik, kelamin, umur dan stress. Hubungan stress dengan AR masih belum
jelas, meskipun pada berbagai penelitian terdapat perkembangan bahwa faktor stressor
lingkungan, psikologis, dan biologis menjadi faktor predisposisi.
Sebelum timbulnya penyakit AR, pasien menunjukkan ciri-ciri psikodinamik dan
kepribadian yang khas, yaitu:
- Ketelitian yang berlebihan, perfeksionisme, kepatuhan, dengan kecenderungan
menekan semua dorongan agresi dan permusuhan.
- Ciri mesokistis-depresif dengan tendensi pengorbanan diri, sifat menolong yang
berlebihan, bermoral tinggi dan cenderung depresif.
- Kebutuhan aktivitas badaniah seperti olahraga, kerja di rumah dan berkebun sebagai
penyaluran agresi.
Kepribadian, stressor psikologis, ancaman terserang AR, kemampuan menanggulangi
nyeri dan menanggulagi ketidakmampuan serta dukungan sosial telah terbukti
berhubungan dengan derajat nyeri, disabilitas dn aktivitas penyakit AR. Faktor
psikososial seperti stress psikologis, penyesuaian, depresi, keyakinan dalam kemampuan
menanggulangi penyakit dan dukungan sosial berperan pada keadaan sakit dengan
mempengaruhi pelepasan hormone stress, yang selanjutnya berpengaruh pada mekanisme
dalam tubuh termasuk kerentanan dan kekambuhan penyakit AR.
6. Gangguan Urologi
Irritable bladder, yang bukan disebabkan oleh kelainan organik terutama pada wanita
hingga klimakterium, jarang pada pria. Secara psikofisiologis yang mendasari terjadinya
irritable bladder ialah sensibilitas fungsi kandung kemih yang berlebihan atau ambang
rangsang yang rendah yang bersifat psikovegetatif, yang dapat ditemukan dengan

49
pengukuran tegangan intravesikal. Dengan demikian perubahan-perubahan pengisian
kandung kemih yang berlebihan. Secara psikodinamik hal ini dapat terjadi pada situasi
konflik seksual, rasa malu dan takut pada percobaan koitus, rasa segan terhadap pasangan.
Beberapa contoh lain gangguan psikosomatik saluran kemih:
- Fobia mengenai buang air kecil yang tak diinginkan
- Polakisuria tanpa ada kelainan organ
- Retensio urin tidak organik yang sepintas lalu atau residivans
- Bercampur aduknya fungsi berkemih dengan fungsi seksual

IV. DIAGNOSIS

Menegakkan diagnosis pasien dengan gangguan psikosomatik tidak berbeda dengan


menegakkan diagnosis penyakit lain pada umumnya yaitu dengan cara anamnesis,
pemeriksaan fisis dan pemeriksaan laboratorium atau pemeriksaan penunjang lain yang
diperlukan. Pada umumnya pasien dengan gangguan psikosomatik datang ke dokter dengan
keluhan somatiknya. Jarang sekali keluhan psikis atau konfliknya dikeluhkan secara spontan.
Keluhan psikis yang menjadi stressornya baru akan muncul setelah dilakukan anamnesis yang
baik dan mendalam. Keluhan somatisnya sangat beraneka ragam dan sering berpindah-pindah
dari satu sistem organ ke organ lain.
Gangguan psikosomatik pada orang yang tidak stabil, dapat disebabkan bukan saja oleh
stress yang luar biasa, tetapi juga oleh kejadian-kejadian dan keadaan sehari-hari, umpamanya
rumah tangga yang sibuk, terlalu banyak orang di dalam satu rumah, suami atau isteri yang
tidak dapat menyesuaikan diri atau tidak mengindahkan keinginan satu sama lain.Untuk itu,
penting ditanyakan beberapa pertanyaan berikut dalam proses anamnesis:
Faktor sosial dan ekonomi: kepuasan dalam pekerjaan; kesukaran ekonomi; pekerjaan
yang tidak tentu; hubungan dengan keluarga dan orang lain; minatnya; pekerjaan yang
terburu-buru; kurang terbiasa
Faktor perkawinan: perselisihan, perceraian, dan kekecewaan dalam hubungan sexual;
anak-anak yang nakal dan menyusahkan.
Faktor kesehatan: penyakit-penyakit yang menahun; pernah masuk rumah sakit; pernah
dioperasi; adiksi terhadap obat-obatan, tembakau, dan lain-lain
Faktor psikologik: stress psikologik; keadaan jiwa waktu operasi; status dalam keluarga.

50
Untuk menentukan gangguan fungsional, maka anmanesa penting sekali. Bila kita
sudah menentukan bahwa penderita itu mempunyai gangguan fungsional, maka selanjutnya
kita harus menetapkan apakah sebabnya itu gangguan psikogenik atau non-psikogenik.
Apabila kita sudah menduga bahwa hal itu merupakan gangguan psikogenik, sebaiknya harus
dicari juga korelasi antara gejala-gejala dan stress psikologik.
Untuk mempertajam diagnosis dan untuk membatasi dari gangguan psikiatris nyata
(misalnya psikosis), gangguan psikosomatik memiliki ciri-ciri dan kriteria klinis sebagai
berikut:
Tidak didapatkan kelainan psikiatris (distorsi realita, waham, dan sebagainya)
Keluhan yang timbul selalu berhubungan dengan emosi tertentu
Keluhan berganti-ganti dari satu sistem ke sistem lain
Ditemukan adanya ketidakseimbangan vegetatif
Riwayat hidup pasien penuh dengan konflik atau stress
Terdapat perasaan negatif (cemas, sedih, dongkol, cemburu, dan sebagainya)
Adanya faktor predisposisi (biologis atau perkembangan kejiwaan)
Terdapat faktor presitipasi/pencetus (fisis ataupun psikis)
Tidak semua kriteria harus ada, tetapi apabila terdapat beberapa kriteria yang sesuai sudah
merupakan indikasi ke arah gangguan psikosomatik. Selain itu, Lewis memberikan beberapa
kriteria untuk diagnosa gangguan psikomatik:
1. Gejala-gejala yang didapat mempunyai permulaan, akibat, manifestasi dan jalannya yang
sangat mencurigakan akan adanya gangguan psikosomatik
2. Dengan pemeriksaan fisis dan laboratorium tidak didapati penyakit organik yang dapat
menyebabkan gejala-gejala (atau sebagian gejala-gejala)
3. Adanya suatu stress atau konflik yang menyukarkan penderita
4. Reaksi penderita terhadap stress ini banyak hubungannya dengan gejala-gejala yang
dikeluhkannya, yaitu bahwa gejala-gejala itu secara psikosomatik merupakan manifestasi
badaniah dari konflik atau penyelesaian masalah yang tidak memuaskan
5. Terjadinya stress itu harus mempunyai korelasi antara waktu dan timbulnya keluhan,
bertambah beratnya ataudan menahunnya penyakit yang ada.

V. PENATALAKSANAAN

51
Di Amerika Serikat 1/3 penderita yang datang berobat pada dokter umum tidak
mempunyai gangguan organik, 1/3 yang lain mempunyai gangguan organik tetapi keluhannya
berlebihan.
Dengan kesabaran dan simpati banyak penderita dengan gangguan psikosomatik dapat
ditolong. Kita dapat menerangkan kepada penderita tidak dapat sesuatu dalam tubuhnya yang
rusak atau yang kurang, tidak terdapat infeksi dan kanker, hanya anggota tubuhnya bekerja
tidak teratur. Untuk menerangkan bagaimana emosi dapat mengganggu tubuh dapat diambil
contoh sehari-hari seperti orang yang malu mukanya akan menjadi merah, orang yang takut
menjadibergemetar dan pucat. Dapat dipakai perumpamaan menurut pendidikan dan
pengetahuan penderita.
Setelah dibuat diagnosis gangguan psikosomatis, terdapat 3 fase terapi yaitu:
Fase 1 : ialah fase pemeriksaan dan pemberian ketenangan, penderita dan dokter bersama-
sama berusaha dan saling membantu melalui anamnesis yang baik, pemeriksaan fisik yang
teliti dan tes laboratorium bila perlu. Diusahakan membuktikan bahwa tidak terdapat penyakit
organik dan dijelaskan kepada penderita tentang mekanisme fisiologik serta keterangan
tentang gejala-gejala. Berikan kesempatan kepada penderita untuk bertanya.
Fase 2 : merupakan fase pendidikan, fase ini dokter lebih banyak bicara. Untuk memberi
keterangan tentang keluhan, meyakinkan serta menenangkan pasien, dapat dikatakan antara
lain :
Bahwa gejala-gejalanya benar ada, dapat dimengerti kalau ia mengeluh dan menderita
Bahwa gejala-gejalanya sering terdapat juga pada orang lain yang sudah kita obati
Bahwa tidak ada kanker atau penyakit berbahaya lain
Bahwa gejala-gejala itu timbul karena ketegangan sehari-hari dan gangguan emosional
Bahwa gejala itu tidak akan segera hilang, diperlukan beberapa waktu, tetapi akan hilang
atau berkurang bila diobati dengan baik
Bahwa kita semua mengalami ketegangan, kekecewaan, godaan dan kecemasan
Bahwa kelelahan fisik atau jiwa dapat mengurangi daya tahan tubuh sehingga timbul
gejala
Bahwa kita apabila terlalu terburu-buru akan timbul ketegangan jiwa
Bahwa tubuh kita bereaksi terhadap ketegangan yang terlalu berat. Sering gejala
merupakan pekerjaan alat tubuh yang bekerja berlebihan
Bahwa ini akan lebih baik bila pasien mengerti akan penyebab gejala.

52
Fase 3 : ialah fase keinsafan intelektual dan emosional. Pada fase ini pasien yang lebih banyak
bicara. Terjadi pengakuan, katarsis dan wawancara psikiatrik. Hal ini harus berjalan sangat
pribadi, rahasia, tanpa sering terganggu dan dalam suasana penuh kepercayaaan dan
pengertian. Dokter menjelaskan saja agar pembicaraan berjalan dengan baik, tidak terlalu
menyimpang dari pokok pembicaraan.
Tujuan terapi adalah kesembuhan, maksudnya adalah resolusi gangguan, reorganisasi
gangguan, rerganisasi kepribadian, adaptasi yang lebih matang, meningkatkan kapasitas fisik
dan okupasi serta proses penyembuhan, perbaikan penyakit, mengurangi secondary gain
terhadap kondisi medisnya, serta menjadi patuh dengan pengobatan.
1. Aspek Psikiatrik
Terapi gangguan psikosomatik dari pandangan psikiatrik merupakan suatu tugas yang
sulit. Psikiater harus memusatkan terapi pada pemahaman motivasi dan mekanisme fungsi
yang terganggu serta membantu pasien menyadari sifat penyakit mereka serta kaitan pola
adaptif yang merugikan tersebut. Tilikan ini harus menghasilkan pola perilaku yang berubah
dan lebih sehat.
Pasien dengan gangguan psikosomatik biasanya lebih enggan menghadapi masalah
emosional daripada pasien dengan masalah psikiatrik lain. Pasien psikosomatik mencoba
menghindari tanggung jawab untuk penyakitnya dengan mengisolasi organ yang sakit serta
datang ke dokter untuk didiagnosis dan disembuhkan. Mereka mungkin memuaskan
kebutuhan infantil untuk dirawat secara pasif, sambil menyangkal kalau mereka dewasa,
dengan semua stres dan konflik yang ada.

53
2. Aspek Medis
Terapi internis gangguan psikosomatik harus mengikuti peraturan
pengelolaan medis yang telah ditegakkan. Umumnya, internis harus menghabiskan sebanyak
mungkin waktu dengan pasien dan mendengarkan banyak keluhan dengan simpatik; mereka
harus bersikap menenangkan dan suportif. Sebelum melakukan prosedur yang memanipulasi
fisik-terutama jika menyakitkan, seperti kolonoskopi-internis harus menjelaskan pada pasien
apa yang akan dihadapi. Penjelasan akan menghilangkan ansietas pasien, membuat pasien
lebih kooperatif, dan akhirnya memudahkan pemeriksaan.
Sikap pasien terhadap minum obat juga dapat memengaruhi hasil terapi psikosomatik.
Contohnya, pasien dengan diabetes yang tidak menerima penyakitnya dan memilikiimpuls
merusak diri yang tidak mereka sadari dapat dengan sengaja tidak mengendalikan diet
mereka, akibatnya akan mengalami koma hiperglikemik. Pasien lain menggunakan penyakit
mereka sebagai hukuman untuk rasa bersalah atau sebagai cara untuk menghindari tanggung
jawab. Terapi pada kasus seperti ini hams berusaha membantu pasien meminimalkan rasa
takut mereka dan berfokus pada perawatan diri sendiri serta pembentukan kembali citra tubuh
yang sehat.
3. Perubahan Perilaku
Peran penting psikiater dan dokter lain yang bekerja dengan pasien psikosomatik
adalah memobilisasi pasien untuk mengubah perilaku dengan cara yang mengoptimalkan
proses penyembuhan. Hal ini memerlukan perubahan umum gaya hidup (cth., berlibur) atau
perubahan perilaku spesifik (cth., berhenti merokok). Terjadi atau tidaknya ini bergantung
pada ukuran besar kualitas hubungan antara dokter dan pasien. Kegagalan dokter
menciptakart rapport yang baik menyebabkan ketidakefektivan untuk membuat pasien
berubah.
Rapport adalah perasaan disadari dan spontan mengenai responsivitas yang harmonis
antara pasien dan dokter. Rapport mengesankan pengertian dan kepercayaan di antara
keduanya. Dengan rapport, pasien merasa diterima, meskipun mereka dapat berpikir aset
mereka melebihi kewajiban mereka. Yang sering, dokter adalah orang yang dapat diajak
bicara oleh pasien mengenai hal-hal yang tidak dapat ia bicarakan dengan orang lain.
Sebagian besar pasien merasa bahwa mereka dapat percaya pada dokter, terutama psikiater
untuk menyimpan rahasia. Kepercayaan ini tidak boleh dikhianati. Perasaan yang diketahui,
dimengerti seseorang, dan menerimanya adalah sumber kekuatan yang dapat memungkinkan

54
pasien memulai perilaku yang sehat, seperti mengikuti Alcoholics Anonymous (AA) atau
mengubah kebiasaan makan.
4. Terapi Spesifik
Sistem kardiovaskular. Pada penyakit arteri koroner, untuk menghilangkan
ketegangan psikis yang berhubungan dengan penyakit, klinisi menggunakan obat
psikotropika, contohnya diazepam. Terapi yang digunakan untuk membantu melindungi
terhadap aritmia akibat emosi adalah psikotropika dan obat penghambat Beta seperti
propanolol. Pengobatan psikofarmaka ditujukan bila terdapat gejala yang menonjol pada
penyakit jantung psikogenik. Obat antiansietas dapat digunakan bila kecemasan yang timbul
berat. Derivat benzodiazepin digunakan untuk menimbulkan sedasi, menghilangkan rasa
cemas, dan keadaan psikosomatik yang ada hubungan dengan rasa cemas.
Sebagai antiansietas, klordiazepoksid dapat diberikan secara oral atau bila sangat
diperlukan, suntikan dapat diulang 2-4 jam dengan dosis 25-100 mg sehari dalam 2 atau 4
pemberian. Dosis diazepam adalah 2-20 mg sehari; pemberian suntikan dapat diulang tiap 3-
4 jam. Klorazepam diberikan secara oral 30 mg sehari dalam dosis terbagi. Klordiazepoksid
tersedia sebagai tablet 5 dan 10 mg.Diazepam berbentuk tablet 2 dan 5 mg. Diazepam tersedia
sebagai larutan untuk pemberian rektal pada anak dengan kejang demam.
Terapi medis harus suportif dan menentramkan, dengan suatu penekanan psikologis
untuk menghilangkan stres psikis, kompulsivitas dan ketegangan. Psikoterapi supotif dan dan
teknik perilaku (biofeedback, meditasi, terapi relaksasi) telah dilaporkan berguna dalam
pengobatan.
Sistem Pernapasan. Pasien asmatik harus diterapi dengan melibatkan berbagai
disiplin ilmu antara lain menghilangkan stres, penyesuaian diri, menghilangkan alergi serta
mengatur kerja sistem saraf vegetatif dengan obat-obatan. Pada penderita tuberkulosis, faktor
psikologis mempengaruhi sistem kekebalan dan mungkin mempengaruhi daya tahan pasien
terhadap penyakit. Psikoterapi suportif adalah berguna karena peranan stres dan situasi
psikososial yang rumit.
Sistem gastrointestinal. Pada penyakit Crohn terapi mencakup penggunaan agen
antibiotik, obat imunosupresan, dan kortikosteroid. Penggunaan obat psikotropika umum
dalam pengobatan berbagai gangguan GI. Pengobatan pada pasiendengan penyakit GI
dipersulit oleh gangguan motilitas lambung dan penyerapan, dan metabolisme berkaitan
dengan gangguan GI yang mendasarinya. Efek GI pada obat psikotropika dapat digunakan
untuk efek terapi dengan gangguan GI fungsional. Sebuah contoh dari efek samping

55
menguntungkan dari penggunaan TCA untuk mengurangi motilitas lambung pada IBS
dengan diare. Psikotropikaefek samping GI, bagaimanapun, dapat memperburuk gangguan
GI. Sebuah contoh dari efek samping potensial yang merugikan akan meresepkan sebuah
TCA untuk mengobati pasien depresi dengan refluks gastroesophageal.
Terapi obat psikotropika yang rumit oleh penyakit hati akut dan kronis. Sebagian besar agen
psikotropika dimetabolisme oleh hati. Banyak dari agen dapat dikaitkan dengan
hepatotoksisitas. Ketika perubahan akut pada tes fungsi hati terjadi dengan TCA,
carbamazepine, atau antipsikotik, mungkin perlu untuk menghentikan obat. Selama periode
penghentian, lorazepamatau lithium dapat digunakan, karena mereka diekskresikan oleh
ginjal. Terapi electroconvulsive (ECT) juga dapat digunakan pada pasien dengan penyakit
hati, meskipun ahli anestesi perluhati-hati memilih agen anestesi dengan risiko minimal untuk
hepatotoksisitas.
Psikoterapi bisa menjadi komponen kunci dalam pendekatan melangkah perawatan
untuk pengobatan IBS dan gangguan GI fungsional. Beberapa model yang berbeda dari
psikoterapi telah digunakan. Ini termasuk jangka pendek, berorientasi dinamis, psikoterapi
individu, psikoterapi suportif, hipnoterapi, teknik relaksasi, dan terapi kognitif.
Sistem neurologis. Migrain dan cluster headache paling baik diterapi selama periode
prodromal dengan ergotamine tartrate (Cafergot) dan analgesik. Pemberian propranolol atau
verapamil (Isoptin) profilaktik berguna jika sakit kepala sering terjadi. Sumatriptan (Imitrex)
diindikasikan untuk terapi jangka pendek migrain dan dapat menghentikan serangan.
Selective serotonin reuptake inhibitor (SSRI) juga berguna untuk profilaksis. Psikoterapi
untuk menghilangkan efek konflik dan stres serta teknik perilaku tertentu (cth., biofeedback)
telah dilaporkan berguna.
5. Psikofarmaka
Terapi penyakit psikosomatik pada dasarnya harus dilakukan dengan beberapa cara.
Komponen-komponen yang harus dibedakan, ialah:
a. Terapi somatik
Hanya bersifat somanya saja dan pengobatan ini bersifat simtomatik.
b. Psikoterapi dan sosioterapi
Pengobatan dengan memperhatikan factor psikisnya atau kepribadian secara keseluruhan.
c. Psikofarmakoterapi
Pengobatan psikosomatik dengan menggunakan obat-obat psikotrop yang bekerja pada
system saraf sentral. Efek samping yang timbul dari penggunaan obat-obat psikofarmaka:

56
Mudah terjadi ketergantungan psikologis dan fisis, mungkin terjadi ketergantungan
obat.
Depresi atau kehilangan sifat menahan diri dapat terjadi, yang akhirnya dapat
menimbulkan kekacauan pikir.
Semua depresan system saraf sentral merupakan kontraindikasi pada payah paru
(asma, emfisema, dispnea oleh sebab-sebab lain).
Gangguan psikomotorik
Lekasmarah, kegelisahan dan ansietas serinng terjadi bila obat dihentikan.
Tiga golongan senyawa psikofarmaka:
1) Obattidur (hipnotik)
Diberikan dalam jangka waktu pendek 2-4 minggu. Obat yang dianjurkan adalah
senyawa benzodiazepine berkhasiat pendek seperti nitrazepam, flurazepam, dan
triazolam. Pada insomnia dengan kegelisahan dapat diberikan senyawa fenotiazin
seperti tioridazin, prometazin.
2) Obatpenenang minor dan obatpenenang mayor (neuroleptik)
Obat penenang minor
Diazepam merupakan obat yang efektif yang dapat digunakan pada anxietas,
agitasi, spasme otot, delirium, epilepsi. Benzodiazepine hanya diberikan pada
anxietas hebat maksimal 2 bulan sebelum dicoba dihentikan secara perlahan
(tapering off) untuk menghindari toleransi dan adiksi.
Obat penenang mayor
Kegagalan fungsi otak menimbulkan gangguan-gangguan kelakuan berupa rasa
takut, penderitaan batin, atau menimbulkan kegelisahan, keluyuran, kegaduhan,
agresi hingga kekerasan karena halusinasi dan khayalan. Hal ini bisa diatasi
dengan menggunakan sedatif walaupun pemberian sedatif tidak dianjurkan karena
sering timbul imobilitas. Yang paling sering digunakan adalah senyawa fenotiazin
dan butirofenon seperti clorpromazin, tioridazin dan haloperidol. Diberikan hanya
pada kasus gejala agitasi, kegelisahan yang berlebihan, agresi dan kegaduhan.

3) Antidepresan
Gejala-gejala psikosomatik sering ditemukan pada depresi. Depresi sering
merupakan komplikasi penyakit fisis. Yang dianjurkan ialah senyawa-senyawa

57
trisiklik dan tetrasiklik, yaitu Amitriptilin (Laroxyl), Imipramin (Tofranil), Mianserin
(Tolvon), dan Maprotilin (Ludiomil). Obat-obat ini harus diberikan dimulai dengan
dosis kecil yang kemudian ditingkatkan. Saat ini, golongan trisiklik sudah jarang
digunakan karena efek samping yang banyak akibat kerja anti kolinergiknya. Anti
depresan baru dengan efek samping yang minimal adalah golongan:
- SSRI (Selective Serotonin Reuptake Inhibitor): sertalin, paroksetin, fluoksetin,
fluvoksamin
- SSRE (Selective Serotonin Reuptake Enhancer): Tianeptin
- SNRI (Serotonin Nor Epinephrin Reuptake Inhibitor): Venlafaksin
- RIMA (Reversible Inhibitory Monoamine Oxidose type A): Moklobemid
- NaSSA (Nor-adrenalin ang Serotonin Anti Depressant): Mitrazapin
- Atipik: Trazodon, Nefazodon
Golongan benzodiazepine umumnya bermanfaat pada gangguan ansietas, yaitu
pada ansietas menyeluruh (Generalized Anxiety Disorder - GAD) obat pilihannya
ialah Buspiron. Pada ansietas panik, obat pilihannya ialah alprazolam namun ada
beberapa penelitian ansietas panic dapat diobati dengan antidepresan golongan SSRI
(Selective Serotonin Re-uptake Inhibitor).
Obsessive Compulsive Disorder (OCD) ialah varian gangguan cemas namun
obat yang efektif untuk gangguan ini adalah golongan antidepresan misalnya
Klomipramin maupun golongan SSRI seperti Sertralin, Paroksetin, Fluoksetin, dan
sebagainya.
Fobia juga varian gangguan cemas dan berespons baik pada pengobatan
antidepresan. Misalnya fobia social membaik dengan pemberian Moklobemid
(golongan RIMA-Reversible Inhibitory Monoamine Oksidase type A). Gangguan
campuran ansietas-depresi juga memberikan perbaikan dengan obat-obat
antidepresan.
Penggunaan psikofarmaka hendaknya bersama-sama dengan psikoterapi yang efektif
sehingga hasilnya akan lebih baik.

6. Jenis Terapi Lain


Psikoterapi Kelompok dan Terapi Keluarga. Pendekatan kelompok memberikan
kontak interpersonal dengan orang lain yang menderita penyakit yang sama dan memberikan
dukungan untuk pasien yang takut akan ancaman isolasi dan pengabaian. Terapi keluarga

58
memberikan harapan perubahan hubungan antar anggota keluarga yang sering mengalami
stres dan bersikap bermusuhan pada anggota keluarga yang sakit.
Teknik Relaksasi. Edmund Jacobson pada tahun 1983 mengembangkan suatu
metode yang dinamakan relaksasi otot progresif untuk mengajarkan relaksasi tanpa
menggunakan instrumentasi seperti yang digunakan di dalam biofeedback. Pasien diajari
untuk merelaksasikan kelompok otot seperti yang terlibat di dalam "tension headache".
Ketika mereka menghadapi dan menyadari situasi yang menyebabkan tegangan pada otot
mereka, pasien dilatih untuk relaksasi. Metode ini adalah suatu tipe desensitisasi sistematik-
suatu tipe terapi perilaku.
Herbert Benson pada tahun 1975 menggunakan konsep yang dikembangkan dari
meditasi transcendental, di sini pasien dipertahankan pada perilaku yang lebih pasif,
memungkinkan relaksasi terjadi dengan sendirinya. Benson menciptakan tekniknya dari
berbagai praktik dan agama Timur, seperti yoga. Semua teknik ini memiliki kesamaan posisi
nyaman, lingkungan yang damai, pendekatan pasif, dan citra mental yang menyenangkan
tempat seseorang dapat berkonsentrasi.
Hipnosis. Hipnosis efektif untuk menghentikan merokok dan menguatkan perubahan
diet. Hipnosis digunakan dalam kombinasi dengan perumpamaan yang tidak disukai (cth.,
rokok terasa menjijikkan). Beberapa pasien menunjukkan angka relaps yang cukup tinggi dan
dapat memerlukan pengulangan program terapi hipnotik (biasanya tiga hingga empat sesi).
Biofeedback. Neal Miller pada tahun 1969 mempublikasikan tulisan pelopornya
"Learning of Visceral and Glandular Response", yang melaporkan bahwa pada hewan,
berbagai respons viseral yang diatur oleh sistem saraf otonom involuntar dapat dimodifikasi
dengan pencapaian pembelajaran melalui operant conditioning yang dilakukan di
laboratorium. Hal ini membuat manusia mampu mempelajari cara mengendalikan respons
fisiologis involuntar tertentu (disebut biofeedback),seperti vasokonstriksi pembuluh darah,
irama jantung, dan denyut jantung. Perubahan fisiologis ini tampak memainkan peranan yang
bermakna di dalam perkembangan dan terapi atau penyembuhan gangguan psikosomatik
tertentu. Studi seperti itu, faktanya, mengonfirmasi bahwa pembelajaran yang disadari dapat
mengendalikan denyut jantung dan tekanan sistolik pada manusia.
Biofeedback dan teknik-teknik terkait telah berguna pada tension headache, sakit
kepala migrain, dan penyakit Raynaud. Meskipun teknik biofeedback awalnya memberikan
hasil yang menyokong di dalam menerapi hipertensi esensial, terapi relaksasi telah
menghasilkan efek jangka-panjang yang lebih signifikan daripada biofeedback.

59
Acupressure dan Akupuntur. Acupressure dan akupuntur adalah teknik
penyembuhan Cina yang disebutkan di dalam teks medis kuno pada tahun 3000 SM.
Keyakinan dasar pengobatan Cina adalah keyakinan bahwa energi vital (qi atau chi) mengalir
sepanjang jalur khusus (meridian), kira-kira memiliki 350 titik (acupoints), yang
manipulasinya memperbaiki ketidakseimbangan dengan merangsang atau membuang
hambatan terhadap aliran energi. Konsep fundamental lainnya adalah gagasan mengenai dua
medan energi yang berlawanan (yin dan yang), yang harus seimbang untuk mempertahankan
kesehatan. Di dalam acupressure, acupoints dimanipulasi dengan jari; di dalam akupuntur,
jarum perak atau emas yang steril (berdiameter rambut manusia) dimasukkan ke dalam kulit
dengan kedalaman yang bervariasi (0,5 mm hingga 1,5 cm) dan diputar atau ditinggalkan di
tempatnya selama berbagai periode waktu untuk memperbaiki setiap ketidakseimbangan qi.
Teknik akupuntur telah digunakan pada hampir semua gangguan yang disebutkan di bagian
ini dengan hasil yang beragam.

BAB III

KESIMPULAN

Psikosomatik adalah gangguan atau penyakit yang ditandai oleh keluhan-keluhan psikis
dan somatik yang dapat merupakan kelainan fungsional suatu organ dengan ataupun tanpa

60
gejala objektif dan dapat pula bersamaan dengan kelainan organik atau struktural yang
berkaitan dengan stressor atau peristiwa psikososial tertentu.
Proses psikosomatik berawal dari emosi yang terdapat di otak dan disalurkan melalui
susunan saraf otonom vegetatif ke alat-alat viseral yang banyak dipersarafi oleh saraf-saraf
otonom vegetatif, seperti kardiovaskular, traktus digestivus, respiratorius, sistem endokrin
dan traktus urogenital. Stres akan merubah neurotransmiter, respon imun dan endokrin yang
akan mempengaruhi saraf-saraf otonom vegetatif dan menimbulkan gangguan spesifik pada
alat-alat viseral. Manifestasi klinis dari gangguan psikosomatis terdiri dari suatu kondisi
medis umum dan faktor psikologis yang merugikan mempengaruhi kondisi medis umum.
Terapi tidak hanya ditujukan kepada penyakit, tetapi gangguan psikologis yang diderita.
Pemahaman motivasi, membantu pasien menyadari sifat penyakit dan mobilisasi pasien untuk
mengubah perilaku dapat mengoptimalkan proses penyembuhan pasien.

DAFTAR PUSTAKA

61
1. Mudjaddid, E. Shatri, Hamzah. Gangguan Psikosomatik: Gambaran Umum dan
Patofisiologinya. Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid II FK UI. Jakarta: Pusat
Penerbitan FKUI. 2006. p896-8.
2. Maramis, W.F. Gangguan Psikosomatik. Dalam Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa.
Surabaya: Airlangga University Press. p339-72.
3. Elvira, Sylvia D., Hadisukanto, Gitayanti. Faktor Psikologik Yang Mempengaruhi
Kondisi Medis (d/h Gangguan Psikosomatik). Dalam Buku Ajar Psikiatri. Jakarta: Badan
Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.2010.p287-93.
4. Mudjaddid, E. Dispepsia Fungsional. Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid II FK
UI. Jakarta: Pusat Penerbitan FKUI. 2006. p906.
5. Hadi, Sujeno. Psikosomatik Pada Saluran Cerna Bagian Bawah. Dalam Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam jilid II FK UI. Jakarta: Pusat Penerbitan FKUI. 2006. p907-9.
6. Halim, S. Budi, dkk. Aspek Psikosomatik Hipertensi. Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam jilid II FK UI. Jakarta: Pusat Penerbitan FKUI. 2006. p913-4.
7. Putranto, Rudi. Mudjaddid, E. shatri, Hamzah. Sindrom Hiperventilasi. Dalam Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam jilid II FK UI. Jakarta: Pusat Penerbitan FKUI. 2006. p920-1.
8. Mudjaddid, E. Aspek Psikosomatik pada Asma Brokhial. Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam jilid II FK UI. Jakarta: Pusat Penerbitan FKUI. 2006. p922-3.
9. Djokomoeljanto, R. Psikosomatik Pada Kelainan Tirod. Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam jilid II FK UI. Jakarta: Pusat Penerbitan FKUI. 2006. p937-8.
10. Mudjaddid, E. Putranto, Rudi. Aspek Pikosomatik Pasien Diabetes Melitus. Dalam Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid II FK UI. Jakarta: Pusat Penerbitan FKUI. 2006. p939-40.
11. Sukatman, D. Budihalim, S. Putranto, Rudi. Gangguan Psikosomatik Pada Penyakit
Reumatik dan Sistem Muskuloskeletal. Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid II FK
UI. Jakarta: Pusat Penerbitan FKUI. 2006. p924-5.
12. Budihalim, S. Sukatman, D. Mudjaddid, E. Gangguan Psikosomatik Saluran Kemih.
Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid II FK UI. Jakarta: Pusat Penerbitan FKUI.
2006. p953.
13. Mudjaddid, E. Budihalim, S. Sukatman, D. Psikofarmaka dan Psikosomatik. Dalam Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid II FK UI. Jakarta: Pusat Penerbitan FKUI. 2006. p901-2.
14. Chuang L. Mental disorders secondary to general medical conditions. Diunduh dari
http://emedicine.medscape.com/article/294131-overview#aw2aab6b3.
15. Sadock BJ, Sadock VA. Kaplan & Sadock: buku ajar psikiatri klinis. Edisi ke-2. Jakarta:

62
EGC; 2010.h.387-97.
16. Arozal W., Gan S. Psikotropik. Dalam: Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI.
Farmakologi dan Terapi. Edisi ke-5. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2008.h. 169-71.
17. Sadock BJ, Sadock VA. Kaplan & Sadock's Synopsis of Psychiatry: Behavioral
Sciences/Clinical Psychiatry. 10th ed. New York: Lippincott Williams & Wilkins;
2007.h.814-28.

63

Anda mungkin juga menyukai