KONSEP IPS
Pertama kali Social Studies dimasukkan secara resmi ke dalam kurikulum sekolah
adalah di Rugby (Inggris) pada tahun 1827, atau sekitar setengah abad setelah Revolusi
Industri (abad 18), yang ditandai dengan perubahan penggunaan tenaga manusia menjadi
tenaga mesin. Alasan dimasukannya social studies (IPS) ke dalam kurikulum sekolah karena
berbagai ekses akibat industrialisasi di berbagai negara di belahan dunia juga terjadi, di
antaranya perubahan perilaku manusia akibat berbagai kemajuan dan ketercukupan.
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang mendorong industrialisasi telah menjadikan
bangsa semakin maju dan modern, tetapi juga menimbulkan dampak perilaku sosial yang
kompleks. Para ahli ilmu sosial dan pendidikan mengantisipasi berbagai kemungkinan ekses
negatif yang mungkin timbul di masyarakat akibat dampak kemajuan tersebut. Sehingga untuk
mengatasi berbagai masalah sosial di lingkungan masyarakat tidak hanya dibutuhkan kemajuan
ilmu dan pengetahuan secara disipliner, tetapi juga dapat dilakukan melalui pendekatan
program pendidikan formal di tingkat sekolah.
Oleh karenanya latar belakang perlu dimasukkannya Social studies dalam kurikulum
sekolah di beberapa negara lain juga memiliki sejarah dan alasan yang berbeda-beda. Amerika
Serikat berbeda dengan di Inggris karena situasi dan kondisi yang menyebabkannya juga
berbeda. Penduduk Amerika Serikat terdiri dari berbagai macam ras di antaranya ras Indian
yang merupakan penduduk asli, ras kulit putih yang datang dari Eropa dan ras Negro yang
didatangkan dari Afrika untuk dipekerjakan di perkebunan-perkebunan negara tersebut.
Konsep IPS untuk pertama kalinya masuk ke dunia persekolahan di Indonesia pada
tahun 1972-1973 yang diujicobakan dalam Kurikulum Proyek Perintis Sekolah Pembangunan
(PSSP) IKIP Bandung. Kemudian secara resmi dalam kurikulum 1975 program pendidikan
tentang masalah sosial dipandang tidak cukup diajarkan melalui pelajaran sejarah dan geografi
saja, maka dilakukan reduksi mata pelajaran di tingkat SD-SMA untuk beberapa mata pelajaran
ilmu sosial yang serumpun digabung ke dalam mata pelajaran IPS. Oleh karena itu,
pemberlakuan istilah IPS (social studies) dalam kurikulum 1975 tersebut, dapat dikatakan
sebagai kelahiran IPS secara resmi di Indonesia.
Oleh karena itu, upaya pembangunan sektor pendidikan oleh pemerintah menjadi
prioritas. Program pembangunan pendidikan bidang sosial semakin ditingkatkan untuk
mengatasi dan menanamkan kewarganegaraan serta cinta tanah air Indonesia. Upaya
memasukan materi ilmu-ilmu sosial dan humaniora ke dalam kurikulum sekolah di Indonesia
disajikan dalam mata pelajaran dan bidang studi/ jurusan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) secara
resmi pada kurikulum 1975. Kurikulum ini merupakan perwujudan dari perubahan orientasi
pada pelaksanaan UUD 1945 secara murni dan konsekuen, bertujuan bahwa pendidikan
ditekankan pada upaya untuk membentuk manusia Pancasila sejati, kuat, dan sehat jasmani,
mempertinggi kecerdasan dan keterampilan jasmani, moral, budi pekerti, dan keyakinan
beragama.
Konsep pendidikan IPS tersebut lalu memberi inspirasi terhadap kurikulum 1975 yang
menampilkan empat profil, yaitu :
1. Pendidikan Moral Pancasila menggantikan Kewargaan Negara sebagai bentuk pendidikan IPS
khusus.
2. Pendidikan IPS terpadu untuk SD
3. Pendidikan IPS terkonfederasi untuk SMP yang menempatkan IPS sebagai konsep peyung untuk
sejarah, geografi dan ekonomi koperasi.
4. Pendidikan IPS terisah-pisah yang mencakup mata pelajaran sejarah, ekonomi dan geografi
untuk SMA, atau sejarah dan geografi untuk SPG, dan IPS (ekonomi dan sejarah) untuk SMEA
/SMK..
Konsep pendidikan IPS seperti itu tetap dipertahankan dalam Kurikulum 1984 yang
secara konseptual merupakan penyempurnaan dari Kurikulum 1975 khususnya dalam
aktualisasi materi, seperti masuknya Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4)
sebagai materi pokok PMP. DalamKurikulum 1984, PPKn merupakan mata pelajaran sosial
khusus yang wajib diikuti semua siswa di SD, SMP dan SMU. Sedangkan mata pelajaran IPS
diwujudkan dalam :
1. Pendidikan IPS terpadu di SD kelas I-VI.
2. Pendidikan IPS terkonfederasi di SLTP yang mencakup geografi, sejarah dan ekonomi koperasi.
3. Pendidikan IPS terpisah di SMU yang meliputi Sejarah Nasional dan Sejarah Umum di kelas I-II;
Ekonomi dan Geografi di kelas I-II; Sejarah Budaya di kelas III program IPS.
Dimensi konseptual mengenai pendidikan IPS telah berulang kali dibahas dalam
rangkaian pertemuan ilmiah, yakni pertemuan HISPISI pertama di Bandung tahun 1989, Forum
Komunikasi Pimpinan HIPS di Yogyakarta tahun 1991, di Padang tahun 1992, di Ujung
Pandang tahun 1993, Konvensi Pendidikan kedua di Medan tahun 1992. Salah satu materi
yang selalu menjadi agenda pembahasan ialah mengenai konsep PIPS.
Dalam pertemuan Ujung Pandang, M. Numan Soemantri, pakar dan ketua HISPISI
menegaskan adanya dua versi PIPS sebagaimana dirumuskan dalam pertemuan di Yogyakarta,
yaitu :
a. Versi PIPS untuk Pendidikan Dasar dan Menengah. PIPS adalah penyederhanaan, adaptasi
dari disiplin Ilmu-ilmu Sosial dan humaniora, serta kegiatan dasar manusia yang duorganisir
dan disajikan secara ilmiah dan pedagogis/psikologis untuk tujuan pendidikan.
b. Versi PIPS untuk Jurusan Pendidikan IPS-IKIP. PIPS adalah seleksi dari disiplin Ilmu-ilmu Sosial
dan humaniora serta kegiatan dasar manusia yang diorganisir dan disajikan secara ilmiah dan
psikologis untuk tujuan pendidikan.
PIPS untuk tingkat perguruan tinggi pendidikan Guru IPS (eks IKIP, FKIP,
STKIP),direkonseptualisasikan sebagai pendidikan disiplin ilmu, sehingga menjadi Pendidikan
Disiplin Ilmu Pengetahuan Sosial, seperti pendidikan Geografi, Pendidikan Ekonomi,
Pendidikan Kewarganegaraan, Pendidikan sosiologi, Pendidikan Sejarah dsb).
Bentuk keseriusan ahli pendidikan dan ahli ilmu-ilmu sosial khususnya mereka yang
memiliki komitmen terhadap social studies atau pendidikan IPS sebagai program pendidikan di
tingkat sekolah, maka mereka berusaha untuk memasukkan ilmu-ilmu sosial ke dalam
kurikulum sekolah lebih jelas lagi. Namun karena tidak mungkin semua disiplin ilmu sosial
diajarkan di tingkat sekolah, maka kurikulum ilmu sosial itu disajikan secara terintegrasi atau
interdisipliner ke dalam kurikulum IPS (social studies). Jadi untuk program pendidikan ilmu-
ilmu sosial di tingkat pendidikan dasar dan menengah harus sudah mulai di ajarkan. Program
pendidikan dasar di SD dan SMP penyajiannya secara terpadu penuh, sementara itu untuk
pembelajaran IPS di tingkat SMA/MA dan SMEA penyajiannya bisa dilakukan secara terpisah
antar cabang ilmu-ilmu sosial, tetapi tetap memperhatikan keterhubungannya antara ilmu
sosial yang satu dengan ilmu sosial lainnya, terutama dalam rumpun jurusan IPS di SMA dan
juga di SMEA. Sementara itu, pada tingkat perguruan tinggi pendidikan ilmu-ilmu
sosial disajikan secara terpisah atau fakultatif, seperti FE, FH, FISIP dsb. Namun untuk
pendidikan IPS di FKIP/IKIP/STKIP yang mempersiapkan calon guru atau mendidik calon guru
di tingkat sekolah, maka pendidikan IPS di berikan secara interdisipliner dan juga secara
disipliner. Secara interdisipliner karena ilmu yang diperoleh nantinya untuk program
pembelajaran untuk usia anak sekolah, dan secara disipliner karena sebagai guru juga harus
menguasai ilmu yang diajarkan.
Bertitik tolak dari pemikiran mengenai kedudukan konseptual Pendidikan IPS, dapat
diidentifikasi sekolah objek telaah dari system pendidikan IPS, yaitu :
1. Karakteristik potensi dan perilaku belajar siswa SD, SLTP dan SMU.
2. Karakteristik potensi dan perilaku belajar mahasiswa FPIPS-IKIP atau JPIPS-STKIP/FKIP.
3. Kurikulum dan bahan belajar IPS SD, SLTP dan SMU.
4. Disiplin ilmu-ilmu sosial, humaniora dan disiplin lain yang relevan.
5. Teori, prinsip, strategi, media serta evaluasi pembelajaran IPS.
6. Masalah-masalah sosial, ilmu pengetahuan dan teknilogi yang berdampak sosial.
7. Norma agama yang melandasi dan memperkuat profesionalisme.
Pada tahun 2004, pemerintah melakukan perubahan kurikulum kembali yang dikenal
dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Namun pengembangan kurikulum IPS
diusulkan menjadi Pengetahuan Sosial untuk merespon secara positif berbagai perkembangan
informasi, ilmu pengetahuan, dan teknologi. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan relevansi
program pembelajaran Pengetahuan Sosial dengan keadaan dan kebutuhan setempat. Di
samping itu, khusus dalam kurikulum SD, IPS pernah diusulkan digabung dengan Pendidikan
kewarganegaraan yaitu menjadi pendidikan kewrganegaraan dan pengetahuan sosial (PKnPS),
namun akhirnya kurikulum disempurnakan ke dalam kurikulum tingkat satuan pendidikan
(KTSP) tahun 2006, antara IPS dan PKn dipisahkan kembali. Hal ini memperhatikan berbagai
masukan dan kritik ahli pendidikan serta kepentingan pendidikan nasional dan politik bangsa
yaitu perlunya pendidikan kewarganegaraan bangsa, maka antara IPS dan PKn meskipun
tujuan dan kajiannya adalah sama yaitu membentuk warganegara yang baik, maka PKn tetap
diajarkan sebagai mata pelajaran di sekolah secara terpisah dengan IPS. Jadi wajarlah kalau
mata pelajaran PKn hanya ada di Indonesia, sementara di negara lain disebut Civic education .
IPS (social studies) dalam kurikulum tingkat satuan pendidikan di Indonesia terus melakukan
beberapa tinjauan dan kritik terutama untuk perbaikan IPS sebagai program pendidikan ilmu
sosial di tingkat sekolah melalui seminar dan lokakarya serta pertemuan ilmiah bidang IPS
lainnya, terutama oleh kelompok pakar HISPISI (Himpunan sarjana pendidikan ilmu sosial
Indonesia) dalam kongresnya di beberapa tempat di Indonesia.
Mempelajari Konsep dasar IPS berisi tentang konsep, hakikat, dan karakteristik
pendidikan IPS. Dengan mempelajari materi Konsep dasar IPS ini, diharapkan dapat
menjelaskan konsep-konsep IPS yang berpengaruh terhadap kehidupan masa kini dan masa
yang akan datang secara kritis dan kreatif. Pembahasan materi ini menerapkan pendekatan
antar disiplin yang mengintegrasikan ilmu-ilmu sosial dan humaniora. Adapun media yang
digunakan adalah bahan ajar cetak dan non cetak (web).
Perbedaan Pendidikan Indonesia dengan Negara lain Negara yang sudah mengembangkan
keterampilan dalam pendidikan IPS
Pada awalnya penduduk Amerika Serikat yang multi ras itu tidak menimbulkan
masalah. Baru setelah berlangsung perang saudara antara utara dan selatan atau yang dikenal
dengan Perang Budak yang berlangsung tahun l861-1865 di mana pada saat itu Amerika
Serikat siap untuk menjadi kekuatan dunia, mulai terasa adanya kesulitan, karena penduduk
yang multi ras tersebut merasa sulit untuk menjadi satu bangsa.
Selain itu juga adanya perbedaan sosial ekonomi yang sangat tajam. Para pakar
kemasyarakatan dan pendidikan berusaha keras untuk menjadikan penduduk yang multi ras
tersebut menjadi merasa satu bangsa yaitu bangsa Amerika. Salah satu cara yang ditempuh
adalah dengan memasukkan social studies ke dalam kurikulum sekolah di negara bagian
Wisconsin pada tahun 1892. Setelah dilakukan penelitian, maka pada awal abad 20, sebuah
Komisi Nasional dariThe National Education Association memberikan rekomendasi tentang
perlunya social studiesdimasukkan ke dalam kurikulum semua sekolah dasar dan sekolah
menengah di Amerika Serikat. Adapun wujud social studies ketika lahir merupakan semacam
ramuan dari mata pelajaran sejarah, geografi dan civics.
Jadi Social studies yang dalam istilah Indonesianya disebut Pendidikan IPS, dalam
perjuangannya tentang eksistensi terdapat dalam The National Herbart Society papers of
1896-1897 yang menegaskan bahwa Social Studies sebagai delimiting the social sciences for
pedagogical use (upaya membatasi ilmu-ilmu sosial untuk kepentingan pedagogik/ mendidik).
Memperhatikan pentingnya social studies bagi generasi muda, istilah IPS ( social studies) ini
kemudian mulai digunakan oleh beberapa negara bagian di Inggris dan Amerika untuk
mengembangkan program pendidikan ilmu-ilmu sosial di tingkat sekolah. Pengertian ini juga
dipakai sebagai dasar dalam dokumen Statement of the Chairman of Commitee on Social
studies yang dikeluarkan oleh comittee on Social Studies (CSS) tahun 1913. Dalam dokumen
tersebut dinyatakan bahwa social studies sebagai specific field to utilization of social sciences
data as a force in the improvement of human welfare (bidang khusus dalam pemanfaatan data
ilmu-ilmu sosial sebagai tenaga dalam memperbaiki kesejahteraan umat manusia).
Sebagai upaya melestarikan program pendidikan IPS dalam kurikulum sekolah, maka
beberapa kelompok pakar yang memiliki kepedulian terhadap pendidikan ilmu-ilmu sosial di
tingkat sekolah mengembangkan usahanya agar social studies bisa diaplikasikan untuk program
pendidikan di tingkat sekolah dengan membentuk organisasi profesi social studies. Kemudian
pada tahun 1921, berdirilah National Council for the Social Studies (NCSS), sebuah organisasi
profesional yang secara khusus membina dan mengembangkan social studies pada tingkat
pendidikan dasar dan menengah serta keterkaitannya dengan disiplin ilmu-ilmu sosial dan
disiplin ilmu pendidikan sebagai program pendidikan syntectic.
Pada waktu berdirinya NCSS hanya bertugas sebagai organisasi yang akan
memaksimalkan hasil-hasil pendidikan bagi tujuan kewarganegaraan yang sudah dicapai oleh
CSS sebelumnya. Sehingga baru setelah 14 tahun kemudian NCSS mengeluarkan karya berbasis
intelektual-keilmuan. Dalam perkembangannya banyak naskah dan penelitian tentang social
studies, yang mengharapkan perlunya perhatian terhadap pendidikan anak tentang social
studies, dengan harapan dapat membantu anak didik menjadi warga negara yang baik. Pada
pertemuan pertama tahun 1935, lahirlah kesepakatan yang dikeluarkan NCSS dengan
menegaskan bahwa Social sciences as the core of the curriculum(kurikulum IPS bersumber
dari ilmu-ilmu sosial).
Pada perkembangan selanjutnya, terutama setelah berdirinya NCSS, pengertian social
studiesyang paling berpengaruh hingga akhir abad 20 adalah definisi yang dikemukakan oleh
Edgar Wesley pada tahun 1937. Wesley menyatakan bahwa the social studies are the social
sciences simplified for pedagogical purposes . Definisi ini menjadi lebih populer saat itu karena
kemudian dijadikan definisi resmi social studies oleh the united states of educations
standard terminology for curriculum and instruction hingga NCSS mengeluarkan definisi resmi
yang membawa social studies sebagai kajian yang terintegrasi, dan mencakup disiplin ilmu
yang semakin luas.
Sehingga pada tahun 1993 NCSS merumuskan social studies sebagai berikut:
Social studies is the integrated study of the social sciences and humanities to promote civic
competence. Within the school program,social studies provides coordinated,systematic study
drawing upon such diciplines as antrophology, archaeology, economics, geography, history,
law, philosophy, political science, psychology, religion, and sosiology, as well as appropriate
content from the humanities, mathematics, and natural sciences. The primary purpose of social
studies is to help young people develop the ability to make informed and reasoned decisions
for the public good as citiziens of a culturally diverse, democratic society in an interdependent
world.
Jerman
Sebenarnya banyak sekali perbedaan antara pendidikan di Jerman dengan Indonesia.
Dari sisi sistem saja, pendidikan itu sudah berbeda. Di Jerman, jenjang pendidikan Pra
Perguruan Tinggi itu hanya ada 2 macam, yaitu pendidikan dasar ( Grundschule) dan
pendidikan lanjutan (Gymnasium, Realschule, atau Berufschule). Kalau di Indonesia,
pendidikan Pra Perguruan Tinggi ada 3 macam, yaitu SD-SMP-SMA. Dari sisi waktu juga
berbeda, di Indonesia memerlukan waktu 12 tahun (normal) sebelum ke jenjang Perguruan
Tinggi, sedangkan di Jerman butuh waktu 13 tahun.
Yang ingin saya bahas bukan masalah teknis pendidikan seperti di atas. Saya tertarik
dengan tulisan I Made Wiryana dalam sebuah milis tentang pendidikan di Jerman. Dia
menuliskan bahwa konsep pendidikan di Jerman adalah cenderung pemerataan hak
mendapatkan pendidikan. Ini berlaku untuk orang asing atau orang Jerman yang tinggal di
Jerman. Artinya secara konsep yang diutamakan adalah pemerataan pendidikan daripada
pencapaian puncak-puncak hasil pendidikan.
Dia memberikan contoh bahwa ketika hasil PISA rendah, seluruh Jerman panik. Akan
tetapi, ketika ada anak-anak Jerman yang dapat hadiah the best xxxx dalam lomba sains,
orang menganggap hal itu biasa saja. Hal ini terbalik dengan Indonesia yang sangat bangga
terhadap prestasi anak bangsa yang mengharumkan nama Indonesia di dunia.
Contoh lain adalah jika karier anda sebagai orang lembaga pendidikan ingin maju di
Jerman, anda harus pindah ke kampus-kampus kecil (di kota kecil). Beliau menjelaskan bahwa
prinsip ini membuat pemerataan kualitas pendidikan terjadi secara alami. Dan lagi-lagi, ini
berbeda dengan Indonesia. Orang Indonesia cenderung memiliki kebiasaan pintar kumpul
dengan pintar dan kaya kumpul dengan kaya.
Melihat kondisi di atas, membuat saya tersenyum. Saya yakin kualitas pendidikan
Indonesia bisa meningkat drastis. Syarat utama hanya 2 macam, pemeratan pendidikan dan
penghargaan terhadap prestasi pendidikan. Itu saja. Bila kedua syarat terpenuhi, saya yakin
semakin banyak anak-anak Indonesia yang berprestasi pada ajang internasional dan semua
anak-anak Indonesia bisa masuk ke bangku sekolah.
Definisi IPS menurut National Council for Social Studies (NCSS), mendifisikan IPS sebagai
berikut: social studies is the integrated study of the science and humanities to promote civic
competence. Whitin the school program, socisl studies provides coordinated, systematic study
drawing upon such disciplines as anthropology, economics, geography, history, law,
philosophy, political science, psychology, religion, and sociology, as well as appropriate
content from the humanities, mathematics, and natural sciences. The primary purpose of social
studies is to help young people develop the ability to make informed and reasoned decisions
for the public good as citizen of a culturally diverse, democratic society in an interdependent
world.
Pada dasarnya Mulyono Tj. (1980:8) memberi batasan IPS adalah merupakan suatu
pendekatan interdsipliner (Inter-disciplinary Approach) dari pelajaran Ilmu-ilmu Sosial. IPS
merupakan integrasi dari berbagai cabang Ilmu-ilmu Sosial, seperti sosiologi, antropologi
budaya, psikologi sosial, sejarah, geografi, ekonomi, ilmu politik, dan sebagainya. Hal ini lebih
ditegaskan lagi oleh Saidiharjo (1996:4) bahwa IPS merupakan hasil kombinasi atau hasil
pemfusian atau perpaduan dari sejumlah mata pelajaran seperti: geografi, ekonomi, sejarah,
sosiologi, antropologi, politik.
Dalam rangka memenuhi tuntutan tersebut, materi IPS harus berwawasan global, yaitu
meliputi:
1. Kesadaran diri; sebagai makhluk Tuhan, eksistensi, potensi dan jati diri sebagai warga dari
sebuah bangsa yang berbudaya dan bermartabat dengan bangsa lain di dunia (tidak lebih
rendah dari bangsa lain)
2. Tentang kecakapan berpikir seperti kecakapan berpikir kritis, menggali informasi, mengolah
informasi, mengambil keputusan dan memecahkan masalah.
3. Tentang kecakapan akademik; tentang ilmu-ilmu sosial seperti kemampuan memahami fakta,
konsep dan generalisasi tentang sistem sosial budaya, lingkungan hidup, perilaku ekonomi dan
kesejahteraan serta tentang waktu dan keberlanjutan perubahan yang terjadi di dunia.
4. Mengembangkan sosial skill dengan maksud supaya pada masa mendatang kita tidak hanya
menjadi obyek penguasaan globalisasi belaka.
Menurut Marsh Colin dalam Nana Supriatna (2002: 15), keterampilan sosial adalah
keterampilan memperoleh informasi, berkomunikasi, pengendalian diri, bekerjasama,
menggunakan angka, memecahkan masalah serta keterampilan membuat keputusan. Hal ini
diperkuat oleh Ancss (1984: 249) dalam Rahmania (2006) yang menyatakan bahwa
keterampilan sosial adalah keterampilan dalam memperoleh informasi (keterampilan
membaca, keterampilan belajar, mencari informasi dan keterampilan menggunakan alat-alat
teknologi), keterampilan yang berkaitan dengan hubungan sosial serta partisipasi dalam
masyarakat.
Keterampilan sosial tersebut sangat relevan untuk dikembangkan dalam mata
pelajaran IPS di Indonesia, agar diharapkan para peserta didik dapat hidup sebagai warga
negara , warga masyarakat dan warga dunia yang dapat berperan dalam masyarakatnya.
Untuk mencapai sasasaran tersebut, menurut Wiraatmadja (2002: 276), guru harus
selalu memperbaharui kemahiran profesionalnya ( professional skill) yaitu meliputi kemampuan
mengajar (teaching skill) melalui loka karya, seminar, pertemuan MGMP (musyawarah guru
mata pelajaran) atau dengan mendatangkan nara sumber.
Nana Supriatna (2002: 18) menyebutkan ada beberapa strategi dalam mengajarkan
keterampilan sosial kepada peserta didik melalui IPS, di antaranya:
1. Guru IPS harus menyajikan pembelajaran IPS dengan menggunakan pendekatan-pendekatan
dan model-model pembelajaran yang relevan dengan tujuan pembelajarannya. Salah satu
model pembelajaran yang relevan adalah cooperative learning. Dengan pembelajaran
cooperative learning, maka siswa tidak saja menghafal fakta, konsep dan pengetahuan yang
bersifat kognitif rendah dan guru sebagai satu-satunya sumber informasi, melainkan akan
membawa siswa untuk berpartisipasi aktif karena siswa akan diminta melakukan tugas-tugas
seperti bekerja kelompok, melakukan inkuiri dan melaporkan hasil kegiatannya kepada kelas.
Ini artinya guru bukan satu-satunya sumber informasi karena siswa akan mencari sumber yang
beragam dan terlibat dalam berbagai kegiatan belajar yang beragam pula. Guru selain
berperan sebagai fasilitator dalam semua kegiatan siswa, juga harus mengamati proses
pembelajaran untuk memberikan penilaian (assessment) baik untuk pengetahuan ke-IPS-an
juga menilai keterampilan social (social skill) selama kegiatan pembelajaran berlangsung.
2. Strategi serta pendekatan konstruktivisme yang menempatkan siswa sebagai mitra
pembelajaran dan pengembangan materi pelajaran dapat digunakan oleh guru IPS dalam
mengembangkan keterampilan social. Keterampilan siswa dalam hal memperoleh, mengolah
dan memanfaatkan informasi untuk memiliki, berdayakan dirinya dapat dilakukan melalui
proses pembelajaran di kelas. Guru IPS konstruktivis harus dapat memfasilitasi para siswanya
dengan kesempatan untuk berlatih dalam mengklasifikasi, menganalisis, dan mengolah
informasi berdasarkan sumber-sumber yang mereka terima. Sikap kritis siswa terhadap
informasi harus dapat dikembangkan dalam proses pembelajaran di kelas. Guru juga harus
selalu membiasakan siswa untuk memprediksi, mengklasifikasi dan menganalisis dengan
demikian aspek kognitif siswa yang dikembangkan tidak hanya keterampilan dalam menghafal
dan mengingat melainkan juga menganalisis, memprediksi, mengkritisi dan mengevaluasi
informasi yang diterima.
3. Strategi inkuiri yaitu stratgei yang menekankan peserta didik menggunkan keterampilan social
dan intelektual dalam memperoleh pengalaman baru atau informasi baru melalui investigasi
yang sifatnya mandiri. Menurut Supriatna ada beberapa keuntungan dari strategi ini, yaitu:
a. Strategi ini memungkinkan peserta didik melihat isi pelajaran lebih realistic dan positif ketika
menganalisis dan mengklasifikasikan data dalam memcahkan masalah.
b. Memberi kesempatan kepada siswa untuk merefleksikan isu-isu tertentu, mencari data yang
relevan serta membuat keputusan yang bermakna bagi mereka secara pribadi.
c. Menempatkan guru sebagai fasilitator belajar sekaligus mengurangi perannya sebagai pusat
kegiatan belajar.
Namun tugas besar dari pembelajaran IPS tersebut ternyata tidak berjalan sesuai
dengan harapan. Hal ini Karena adanya beberapa hambatan yang menjadikan pembelajaran
IPS tidak berhasil bahkan cenderung membosankan, yaitu:
1. Sebagian besar guru IPS belum terampil menggunakan beberapa model mengajar yang dapat
merangsang motivasi belajar siswa
2. Ketersediaan alat dan bahan belajar di sebagian besar sekolah ikut mempengaruhi proses
belajar IPS
3. Proses belajar mengajar IPS masih dilakukan dalam bentuk pembelajaran konvensional,
sehingga peserta didik hanya memperoleh hasil faktual saja dan tidak mendapat hasil proses.
4. Dalam hal implementasi atau proses pelaksanaan kurikulum ini guru yang mendapat sosialisasi
dalam bentuk penataran atau diklat sangat terbatas sekali, sehingga faktor ini juga
menyebabkan mereka masih belum memahami hakekat kurikulum baru ini sebagaimana
mestinya.
Salah satu tugas sekolah adalah memberikan pengajaran kepada siswa. Mereka harus
memperoleh kecakapan dan pengetahuan dari sekolah, di samping mengembangkan
pribadinya. Pemberian kecakapan dan pengetahuan kepada siswa, yang merupakan proses
belajar-mengajar dilakukan oleh guru di sekolah dengan menggunakan cara-cara atau metode-
metode tertentu (B. Suryosubroto, 1997:148).
Mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) di SD dan SMP/MTs berfungsi untuk
mengembangkan pengetahuan, nilai, sikap, dan keterampilan siswa tentang masyarakat,
bangsa, dan negara Indonesia (Puskur Balitbang Depdiknas, 2003:2). Terkait dengan tujuan
mata pelajaran IPS yang sedemikian fundamental maka guru dituntut untuk memiliki
pemahaman yang holistik dalam upaya mewujudkan pencapaian tujuan tersebut. Ranah Hasil
Belajar IPS
Pemerintah indikator dalam pembelajaran mengacu pada hasil belajar yang harus
dikuasai siswa. Dalam pencapaian hasil belajar siswa, guru dituntut untuk memadukan ranah
kognitif, afektif, dan psikomotor secara proporsional. Horward Kingsly membagi tiga macam
hasil belajar,yakni (a)ketrampilanda kebiasaan, (b) pengetahuan dan pengertian, (c) sikap
dan cita-cita. Masing-masing jenis hasil belajar dapat diisi dengan bahan yang telah ditetapkan
dalam kurikulum. Sedangkan Gagne membagi lima hasil belajar, yakni (a) informasi verbal, (b)
keterampilan verbal, (c) strategi kognitif, (d) sikap, dan (e) ketrampilan motoris.
Dalam dalam sistem pendidikan nasional rumusan tujuan pendidikan, baik tujuan
kurikuler maupun tujuan instraksional, menggunakan klasikfikasi hasil belajar dari Benyamin
Bloom yang secara garis besar membaginya menjadi tiga ranah yakni ranah kognitif, ranah
efektif, dan ranah pisikmotoris (Nana Sudjana, 2002:22).
Ranah kognitif berkenan dengan hasil belajar intelektual yang terdiri dari enam aspek,
yakni pengetahuan atau ingatan, pemahaman, aplikasi, analisis sintensis, dan evaluasi. Ranah
efektif berkenan dengan sikap yang terdiri dari lima aspek, yakni penerimaan, jawaban atau
reaksi, penilaian, organisasi, dan internalisasi. Ranah psikomotoris berkenan dengan hasil
belajar ketrampilan dan kemampuan bertindak. Ada enam aspek ranah psikmotoris,(a)
gerakan refleks, (b) keterampilan gerakan dasar, (c) kemampuan perseptual, (d) keharmonisan
atau ketepataan, (e) gerakan keterampilan, (f) gerakan ekspresif dan interpretatif.
Berdasarkan konsep di atas maka dapat diperoleh suatu pengertian bahwa hasil
belajar IPS adalah kemampuan yang dimiliki oleh siswa setelah belajar, yang wujudnya berupa
kemampuan kognitif, afektif, dan psikomotor. Derajat kemampuan yang diperoleh siswa
diwujudkan dalam bentuk nilai hasil belajar IPS.
Pendidikan Kewarganegaraan
Pada tingkat sekolah menengah dinamakan "education civique, juridique et sociale" (civic, legal
and social education). Ini mengarahkan untuk mencerminkan arti penting Pemerintahan pada
warganegara nya mempunyai suatu pengetahuan hukum dan sistem yang undang-undang
yang sah. Silabus dirancang untuk memungkinkan para siswa untuk berdebat sosial dari sudut
pandang pelajaran sebelumnya mereka. Di seconde, pelajaran kewarga negaraan pendidikan
mempunyai empat tema utama:
Kewarga negaraan Dan Civility/Incivilas
Kewarga negaraan Dan Integration/Exclusion (dengan tema kebangsaan)
Kewarganegaraan, hukum dan hubungan di tempat kerja
Kewarga negaraan dan kehidupan keluarga
Karena yang akhir tahun ke dua pendidikan sekunder tema yang luas di dalam tem
diskusi adalah 'institutions and citizenship in practice' and 'citizenship in a changing world'.
Pendidikan religius
Di Perancis pelajaran agama tidaklah diajar sebagai pokok disekolah walaupun mungkin saja di
lain area kurikulum. Satu-Satunya perkecualian adalah di Upper Rhine, Lower Rhine, and
Moselledpartements , yang sudah bertahan sejak tahun 1918. Pendidikan Perancis
mengumumkan program acara baru untuk pelajaran religius untuk sekolah. Program acara
yang baru tidak memperkenalkan studi religius sebagai pokok tetapi lebih memperkuat topik
pengintegrasian seluruh kurikulum. diarahkan untuk memperluas pemahaman dan
pengetahuan peristiwa dunia siswa dan budaya.
Keterampilan IPS
Semua siswa akan menggunakan pemikiran historis, pemecahan masalah, suatu ketrampilan
riset untuk memaksimalkan pemahaman terhadap pelajaran kewarganegaraan, sejarah,
geografi, dan ekonomi.
1. Pada Akhir Kelas 2, Para Siswa Akan:
a. menjelaskan konsep panjang/lama yang lalu dan jauh sekali
b. menerapkan terminologi berhubungan dengan waktu termasuk masa lampau, kini/hadir, dan
masa depan
c. mengidentifikasi sumber informasi terpasang lokal, nasional dan internasional peristiwa
d. menceritakan kembali peristiwa atau cerita dengan ketelitian dan peruntunan
e. mengembangkan timelines sederhana
2. Pada Akhir Kelas 4, Para Siswa Akan
a. menjelaskan bagaimana peristiwa [kini/hadir] dihubungkan terhadap masa lampau
b. menerapkan terminologi berhubungan dengan waktu meliputi tahun, dekade, berabad-abad,
dan generasi.
c. menempatkan sumber untuk informasi yang sama i (ramalan cuaca di tv,internet atau surat
kabar)
d. mengorganisir peristiwa di (dalam) suatu garis waktu
e. membedakan antara suatu sumber langsung dan sumber sekunder dari suatu peristiwa
f. membedakan fakta dari fiksi
3. Pada Akhir Kelas 6, Para Siswa Akan
a. meneliti bagaimana peristiwa terkait dari waktu ke waktu
b. menggunakan keterampilan berpikir kritis berpikir ketrampilan untuk menginterpretasikan
peristiwa, mengenali penyimpangan, pandangan, dan konteks
c. menilai kredibilitas sumber utama (primar) dengan sumber sekunder
d. menganalisis data dalam rangka melihat orang dan peristiwa di dalam konteks
e. menguji isu, peristiwa, atau tema sekarang dan menghubungkannya dengan peristiwa yang
lampau
4. Pada Akhir Kelas 8, Para Siswa Akan
a. merumuskan pertanyaan mendasarkan pada kebutuhan informasi
b. menggunakan strategi efektif untuk menempatkan informasi
c. membandingkan dan mengkontraskan penafsiran ttg peristiwa sekarang dan peristiwa historis
5. Pada Akhir Kelas 10, Para Siswa Akan
a. menginterpretasikan peristiwa dengan mempertimbangkan kesinambungan dan perubahan,
kekhilafan dan kesalahan, dan mengubah penafsiran sejarawan
b. menciri fakta dari fiksi dengan membandingkan sumber tentang figur dan peristiwa dengan
karakter fictionalized dan peristiwa
c. meringkas informasi dalam tulisan, grafis, dan format lisan
6. Pada Akhir Nilai/Kelas 12, Para Siswa Akan
a. meneliti bagaimana peristiwa historis membentuk dunia modern
b. merumuskan pertanyaan dan hipotesis
c. menyatukan, menganalisis informasi dari sumber primer dan sekunder untuk mendukung atau
menolak hipotesis
d. menguji data sumber di dalam konteks historis, sosial, politis, mengenai ilmu bumi, atau
konteks ekonomi di mana dikreasikan, menguji kredibilitas dan mengevaluasi bias.it apakah
e. engevaluasi isu sekarang, peristiwa, atau tema dan melacak evolusi mereka melalui periode
historis
f. menerapkan keterampilan problem-solving untuk memecahkanmasalah nasional, negara, atau
lokal
g. menganalisis perubahan sosial, politis, dan budaya dan mengevaluasi dampak masing-masing
pada peristiwa dan isu lokal, negara, nasional dan internasional
h. mengevaluasi komunikasi historis dan kontemporer untuk mengidentifikasi akurasi
fakta, ketelitian bukti, dan ketidakhadiran bias dan mendiskusikan strategi yang digunakan
oleh pemerintah, politis calon, dan media untuk komunikasi dengan masyarakat.
Dari grade 2 sampai 12 keterampilan atau kompetensi social studies menunjukkan
kontinuitas atau kesinambungan antar level dalam esensial komptenesi yang diharapkan.
Disamping itu menunjukkan semakin tinggi level, semakin tinggi dan mendalam pula
keterampilan yang diharapkan siswa pada pelajaran social studies. Social Studies diajarkan di
Amerika Serikat pada semua jenjang pendidikan. Pada jejang sekolah menengah meliputi
Civics, Ekonomi, Geografi, dan Sejarah yang diajarkan pada semua jenjang kelas.
Proses pembelajaran menuntut keterlibatan peserta didik secara aktif dan bertujuan
agar penguasaan dari kognitif , afektif, serta psi-komotorik terbentuk pada diri siswa (Moh.
Amin, 1987:42), maka alat ukur hasil belajarnya tidak cukup jika hanya dengan tes obyektif
atau subyektif saja. Dengan cara penilaian tersebut keterampilan siswa dalam melakukan
aktivitas baik saat melakukan percobaan maupun menciptakan hasil karya belum dapat
diungkap. Demikian pula tentang aktivitas siswa selama mengerjakan tugas dari guru. Baik
berupa tugas untuk melakukan perco-baan, peragaan maupun pengamatan.
Penilaian merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari tujuan pendidikan dasar
maupun penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar. Tujuan pembelajaran yang dirumuskan
pada langkah awal pembelajaran digunakan sebagai acuan dalam kegiatan pem-belajaran dan
proses penilaian yang akan dilakukan. Menurut Davis (dalam Sudarsono Sudirdjo dkk.,
1991:94) tujuan tidak hanya merupakan arah yang dapat membentuk atau mewarnai
kurikulum dan memimpin kegiatan pen-gajaran, tetapi juga dapat menyediakan spesifikasi
secara terperinci bagi penyusunan dan penggunaan teknik-teknik penilaian. Dengan demikian
dapat disimpulkan bahwa tujuan pembelajaran yang dirumuskan secara je-las dan spesifik akan
menunjang proses penilaian yang tepat dan dapat membantu di dalam menetapkan kualitas
dan efektivitas pengalaman belajar siswa.
Keterampilan sosial yang perlu dimiliki oleh peserta didik (Marsh Colin dalam Nana
Supriatna (2002:15) adalah: keterampilan memperoleh informasi, berkomunikasi,
pengendalian diri, bekerja sama, menggunakan angka, memecahkan masalah, serta
keterampilan dalam membuat keputusan.
Life skills tersebut merupakan keterampilan yang harus dikuasai oleh peserta didik
sebagai bekal bagi kelangsungan hidup. Dalam kurikulum berbasis kompetensi tidak secara
tegas dikembangkan common essential learnings seperti di Canada atau life skills kurikulum
Hongkong, tetapi menggunakan istilah lain yaitu standar kompetensi lintas kurikulum yang
sebenarnya hampir sama dengan common essensial learning Canada, Life Skills di Hongkong
merupakan kecakapan untuk hidup (lifeskills) dan belajar sepanjang hayat yang dibakukan dan
harus dicapai oleh peserta didik melalui pengalaman belajar.
Perbedaannya, dalam implementasi KBK di Indonesia, setiap mata pelajaran seolah-
olah membawa kompetensinya sendiri-sendiri terpisah dengan kompetensi mata pelajaran lain
dan juga terpisah dari tujuan mengembangkan kemampuan dasar yang penting bagi hidup
siswa sehari-hari. Misalnya dalam kurikulum IPS kurang dikembangkan kemampuan
dasar reading habits (kebiasaan membaca), keterampilan berpikir kritis dan kreatif, melek
teknologi. kemampuan numerik, dan motivasi belajar mandiri. Di samping itu IPS tidak
menerapkan pendekatan Science, Technology, and Society (sains, teknologi, dan masyarakat),
dimana dalam pembelajaran IPS seolah terjauh dari materi sains dan teknologi karena
dianggap bukan garapan IPS tetapi garapan IPA dan pelajaran TIK. Sebaliknya dalam mata
pelajaran lain, misalnya IPA terjauh dari upaya mengembangkan pengetahuan, sikap dan
keterampilan sosial. Sebenarnya kemampuan tersebut hendaknya dikembangkan oleh seluruh
mata pelajaran.
Akan tetapi, KBK di Indonesia memiliki kelebihan karena lebih menerapkan rancangan
kurikulum yang didasarkan pada konsep kompetensi secara luas yaitu bertujuan
mengembangkan kemampuan pendidikan meliputi : kecakapan, kebiasaan, keterampilan yang
diperlukan seseoramg dalam kehidupannya, baik sebagai pribadi, warga masyarakat, siswa dan
karyawan. Sehingga bertujuan menerapakan pedidikan sebagai Life Skill. Sehingga KBK
bertujuan tidak sekedar sebagai seperangat kemampuan semata namun menerapkan
kompetensi secara luas. Namun kelemahan KBK di indonesia ini adalah kurang feasible-nya
untuk penerapan di Indonesia dikarenakan : kultur dan adminisrasi kurikulum sebelumnya
yang belum diterapkan secara konsisten, kelemahan yang lain adalah tidak disiapkan secara
bertahap sehingga kesiapan guru dalam melakukan kreatifitas pernacangan kurilukulum belum
siap. Dikarenakan ketidaksiapan guru dalam menyusun kurikulum sehingga pada akhirnya
lebih untuk statis dan menggunakan content-content lama dalam pengajarannya. Sehingga ada
paradigma baru yang menyatakan bahwa KBK merupakan kurikulum lama, padahal ini semua
terjadi karena ketidakmengertian GURU dan implementasi yang terlalu prontal.
3.4 Hahikat dan tujuan pendidikan IPS
Hakikat IPS, adalah telaah tentang manusia dan dunianya. Manusia sebagai makhluk
sosial selalu hidup bersama dengan sesamanya. Dengan kemajuan teknologi pula sekarang ini
orang dapat berkomunikasi dengan cepat di manapun mereka berada melalui handphone dan
internet. Kemajuan Iptek menyebabkan cepatnya komunikasi antara orang yang satu dengan
lainnya, antara negara satu dengan negara lainnya. Dengan demikian maka arus informasi
akan semakin cepat pula mengalirnya. Oleh karena itu diyakini bahwa orang yang menguasai
informasi itulah yang akan menguasai dunia.
Suatu tempat atau ruang dipermukaan bumi, secara alamiah dicirikan oleh kondisi
alamnya yang meliputi iklim dan cuaca, sumber daya air, ketinggian dari permukaan laut, dan
sifat-sifat alamiah lainnya. Jadi bentuk muka bumi seperti daerah pantai, dataran rendah,
dataran tinggi, dan daerah pegunungan akan mempengaruhi terhadap pola kehidupan
penduduk yang menempatinya. Lebih jelasnya Anda dapat mencermati contoh berikut ini.
Corak kehidupan masyarakat di tepi pantai utara Jawa yang bentuknya landai dengan laut yang
tenang dan tidak begitu tinggi serta arus angin yang tidak begitu kencang, sangat
menguntungkan bagi masyarakat untuk mencari ikan. Hal ini disebabkan ikan banyak
berkumpul di kawasan laut yang dangkal yang masih tertembus sinar matahari. Oleh karena
itu mayoritas masyarakatnya bermata pencaharian sebagai nelayan. Hampir semua pelabuhan-
pelabuhan besar di pulau Jawa sebagian besar terletak di pantai utara Jawa.
Dataran rendah yang meliputi daerah pantai sampai ketinggian 700 meter di atas permukaan
laut merupakan kawasan yang cadangan airnya cukup, didukung oleh iklimnya yang cocok,
merupakan potensi alam yang cocokuntuk dikembangkan sebagai areal pertanian, misalnya
Karawang, Bekasi, Indramayu, Subang dan sebagainya. Dataran tinggi yang beriklim sejuk,
dengan cadangan air yang sudah semakin berkurang maka sistem pertanian yang
dikembangkan adalah pertanian lahan kering dan holtikultura seperti sayuran, buah-buahan,
da tanaman hias.
Lain dengan daerah pegunungan yang memiliki corak tersendiri. Karena sedikitnya persediaan
air tanah, mengakibatkan pemukiman penduduk terpusat di lembah-lembah atau mendekati
alur sungai. Hal ini dikarenakan mereka berusaha untuk mendapatkan sumber air yang relatif
mudah. Ladang yang mereka usahakan biasanya terletak di lembah pegunungan.
Aspek pengaturan dan kebijakan ini termasuk aspek politik
Marilah kita cermati kembali apa yang sudah kita pelajari di atas. Setelah kita pelajari ternyata
kehidupan itu banyak aspeknya, meliputi aspek-aspek:
1. hubungan sosial: semua hal yang berhubungan dengan interaksi manusia tentang proses, faktor-
faktor, perkembangan, dan permasalahannya dipelajari dalam ilmu sosiologi
2. ekonomi: berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan manusia, perkembangan, dan
permasalahannya dipelajari dalam ilmu ekonomi
3. psikologi: dibahas dalam ilmu psikologi
4. budaya: dipelajari dalam ilmu antropologi
5. sejarah: berhubungan dengan waktu dan perkembangan kehidupan manusia dipelajari dalam
ilmu sejarah
6. geografi: hubungan ruang dan tempat yang sangat berpengaruh terhadap kehidupan manusia
dipelajari dalam ilmu geografi
7. politik: berhubungan dengan norma, nilai, dan kepemimpinan untuk mencapai kesejahteraan
masyarakat dipelajari dalam ilmu politik
1. Materi IPS
Ada 5 macam sumber materi IPS antara lain:
a. Segala sesuatu atau apa saja yang ada dan terjadi di sekitar anak sejak dari keluarga, sekolah,
desa, kecamatan sampai lingkungan yang luas negara dan dunia dengan berbagai
permasalahannya.
b. Kegiatan manusia misalnya: mata pencaharian, pendidikan, keagamaan, produksi, komunikasi,
transportasi.
c. Lingkungan geografi dan budaya meliputi segala aspek geografi dan antropologi yang terdapat
sejak dari lingkungan anak yang terdekat sampai yang terjauh.
d. Kehidupan masa lampau, perkembangan kehidupan manusia, sejarah yang dimulai dari sejarah
lingkungan terdekat sampai yang terjauh, tentang tokoh-tokoh dan kejadian-kejadian yang
besar.
e. Anak sebagai sumber materi meliputi berbagai segi, dari makanan, pakaian, permainan,
keluarga.
2. Strategi Penyampaian Pengajaran IPS
Strategi penyampaian pengajaran IPS, sebagaian besar adalah didasarkan pada suatu
tradisi, yaitu materi disusun dalam urutan: anak (diri sendiri), keluarga, masyarakat/tetangga,
kota, region, negara, dan dunia. Tipe kurikulum seperti ini disebut The Wedining Horizon or
Expanding Enviroment Curriculum (Mukminan, 1996:5).
Sebutan Masa Sekolah Dasar, merupakan periode keserasian bersekolah, artinya
anak sudah matang untuk besekolah. Adapun kriteria keserasian bersekolah adalah sebagai
berikut.
1. Anak harus dapat bekerjasama dalam kelompok dengan teman-teman sebaya, tidak boleh
tergantung pada ibu, ayah atau anggota keluarga lain yang dikenalnya.
2. Anak memiliki kemampuan sineik-analitik, artinya dapat mengenal bagian-bagian dari
keseluruhannya, dan dapat menyatukan kembali bagian-bagian tersebut.
3. Secara jasmaniah anak sudah mencapai bentuk anak sekolah.
Menurut Preston (dalam Oemar Hamalik. 1992 : 42-44), anak mempunyai ciri-ciri
sebagai berikut :
1. Anak merespon (menaruh perhatian) terhadap bermacam-macam aspek dari dunia
sekitarnya.Anak secara spontan menaruh perhatian terhadap kejadian-kejadian-peristiwa,
benda-benda yang ada disekitarnya. Mereka memiliki minat yang laus dan tersebar di sekitar
lingkungnnya.
2. Anak adalah seorang penyelidik, anak memiliki dorongan untuk menyelidiki dan menemukan
sendiri hal-hal yang ingin mereka ketahui.
3. Anak ingin berbuat, ciri khas anak adalah selalu ingin berbuat sesuatu, mereka ingin aktif,
belajar, dan berbuat
4. Anak mempunyai minat yang kuat terhadap hal-hal yang kecil atau terperinci yang seringkali
kurang penting/bermakna
5. Anak kaya akan imaginasi, dorongan ini dapat dikembangkan dalam pengalaman-pengalaman
seni yang dilaksanakan dalam pembelajaran IPS sehingga dapat memahami orang-orang di
sekitarnya. Misalnya pula dapat dikembangkan dengan merumuskan hipotesis dan
memecahkan masalah.
Berkaitan dengan atmosfir di sekolah, ada sejumlah karakteristik yang dapat
diidentifikasi pada siswa SD berdasarkan kelas-kelas yang terdapat di SD.
1. Karakteristik pada Masa Kelas Rendah SD (Kelas 1,2, dan 3)
a. Ada hubungan kuat antara keadaan jasmani dan prestasi sekolah
b. Suka memuji diri sendiri
c. Apabila tidak dapat menyelesaikan sesuatu, hal itu dianggapnya tidak penting
d. Suka membandingkan dirinya dengan anak lain dalam hal yang menguntungkan dirinya
e. Suka meremehkan orang lain
2. Karakteristik pada Masa Kelas Tinggi SD (Kelas 4,5, dan 6).
a. Perhatianya tertuju pada kehidupan praktis sehari-hari
b. Ingin tahu, ingin belajar, dan realistis
c. Timbul minat pada pelajaran-pelajaran khusus
d. Anak memandang nilai sebagai ukuran yang tepat mengenai prestasi belajarnya di sekolah.
Menurut Jean Piagiet, usia siswa SD (7-12 tahun) ada pada stadium operasional konkrit.
Oleh karena itu guru harus mampu merancang pembelajaran yang dapat membangkitkan
siswa, misalnya penggalan waktu belajar tidak terlalu panjang, peristiwa belajar harus
bervariasi, dan yang tidak kalah pentingnya sajian harus dibuat menarik bagi siswa.
Berdasarkan pada apa yang menjadi focus pengajaran, sekurang-kurangnya dikenal tiga
pola desain kurikulum, (Sukmadinata,2004:113-124; Tilaar, 2003: 240-243) yaitu:
o Subject centered design, suatu desain kurikulum yang berpusat pada bahan ajar.
o Learner centered design, suatu desain kurikulum yang mengutamakan peranan siswa.
o Problem centered design, desain kurikulum yang berpusat pada masalah-masalah yang dihadapi
dalam masyarakat.
Berdasarkan uraian di atas, maka ide atau pemikiran kurikulum IPS yang harus
dikembangkan dalam era global adalah rekonstruksionisme sehingga tentunya proses
pembelajaran IPS yang dikendaki pun harus mengejawantahkan ide-ide
rekonstruksionisme. Di Indonesia sendiri dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi dan
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan IPS lebih cenderung ke arah rekonstruksionisme. Secara
tegas dinyatakan dalam kurikulum Pendidikan IPS dalam rambu-rambu pembelajaran, bahwa
pembelajaran Pendidikan IPS hendaknya merupakan pendekatan pembelajaran konstekstual,
yang dapat dilaksanakan diantaranya melalui metode inquiry, problem solving,
dan portfolio yang sebenarnya didengungkan pula oleh para global reformis dalam
pendidikan IPS.
Di Ohama dan Newyork sudah pendidikan lebih diarahkan kepada kemampuan siswa
tersebut sehingga siswa dapat lebih berfikir kritis dan kreatif dalam menjalankan pembelajaran
mereka.
Materi yang di dapat mayoritas sama antara negara yang satu dengan negara lainnya
hanya di Indonesia, pemberian materi hanya sekedar transfer ilmu saja sementara di Ohama
dan NewYork materi yang diajarkan lebih kepada arahan berfikir global bertindak lokal
sehingga pembahasan perekonomian di kedua negara tersebut dimulai dari perekonomian
negara sampai ke perekonomian dunia.
Di ketiga kurikulum di atas, dampak kurikulum ekonomi untuk generasi muda adalah
siswa diharapkan dapat mengetahui kebutuhan hidup mereka. Kita harus sadar dengan
kesulitan-kesulitan dan peluang yang datang yang dapat kita manfaatkan dengan
maksimal. Hanya saja di Indonesia, dilihat dari kompetensi yang dikembangkan, masih
sebatas pada wacana teori saja tidak pada prakteknya. Siswa tidak belajar untuk langsung
mengaplikasikan pada kehidupan sehari-hari, sehingga pada waktu ilmu tersebuta akan
dipakai, siswa merasa bingung karena teori yang di dapatkan tidak dapat diterapkan di
lapangan. Sementara itu, factor lingkungan pun lebih lengkap.
IPS merupakan bidang studi baru, karena dikenal sejak diberlakukan kurikulum
1975. Dikatakan baru karena cara pandangnya bersifat terpadu, artinya bahwa IPS merupakan
perpaduan dari sejumlah mata pelajaran sejarah, geografi, ekonomi, sosiologi, antropologi.
Adapun perpaduan ini disebabkan mata pelajaran-mata pelajaran tersebut mempunyai kajian
yang sama yaitu manusia.
Pendidikan IPS penting diberikan kepada siswa pada jenjang pendidikan dasar dan
menengah, karena siswa sebagai anggota masyarakat perlu mengenal masyarakat dan
lingkungannya. Untuk mengenal masyarakat siswa dapat beljar melalui media cetak, media
elektronika, maupun secara langsung melalui pengalaman hidupnya ditengah-tengah
msyarakat. Dengan pengajaran IPS, diharapkan siswa dapat memiliki sikap peka dan tanggap
untuk bertindak secara rasional dan bertanggungjawab dalam memecahkan masalah-masalah
sosial yang dihadapi dalam kehidupannya.
Latar belakang dimasukkannya bidang studi IPS ke dalam kurikulum sekolah di
Indonesia sangat berbeda dengan di Inggris dan Amerika Serikat. Pertumbuhan IPS di
Indonesia tidak terlepas dari situasi kacau, termasuk dalam bidang pendidikan, sebagai akibat
pemberontakan G30S/PKI, yang akhirnya dapat ditumpas oleh Pemerintahan Orde Baru.
Setelah keadaan tenang pemerintah melancarkan Rencana Pembangunan Lima Tahun
(Repelita). Pada masa Repelita I (1969-1974) Tim Peneliti Nasional di bidang pendidikan
menemukan lima masalah nasional dalam bidang pendidikan. Kelima masalah tersebut antara
lain:
1. Kuantitas, berkenaan dengan perluasan dan pemerataan kesempatan belajar.
2. Kualitas, menyangkut peningkatan mutu lulusan
3. Relevansi, berkaitan dengan kesesuaian sistem pendidikan dengan kebutuhan pembangunan.
4. Efektifitas sistem pendidikan dan efisiensi penggunaan sumber daya dan dana.
5. Pembinaan generasi muda dalam rangka menyiapkan tenaga produktif bagi kepentingan
pembangunan nasional.
Dalam berbagai literatur, kurikulum diartikan sebagai suatu dokumen atau rencana
tertulis mengenai kualitas pendidikan yang harus dimiliki oleh peserta didik melalui suatu
pengalaman belajar. Pengertian ini mengandung arti bahwa kurikulum harus tertuang dalam
satu atau beberapa dokumen atau rencana tertulis, yang berisikan pernyataan mengenai
kualitas yang harus dimiliki seorang peserta didik yang mengikuti kurikulum tersebut. Kualitas
pendidikan di atas mengandung arti bahwa kurikulum sebagai dokumen merencanakan
kualitas hasil belajar yang harus dimiliki peserta didik, kualitas bahan/konten pendidikan yang
harus dipelajari peserta didik, kualitas proses pendidikan yang harus dialami peserta didik .
Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial ( IPS ) dapat memberikan kontribusi yang cukup
besar dalam mengatasi masalah sosial, sebab pendidikan IPS memiliki fungsi dan peran dalam
meningkatkan Sumber Daya Insani untuk memperoleh bekal pengetahuan tentang harkat dan
martabat manusia sebagai mahluk sosial, keterampilan menerapkan pengetahuan tersebut dan
mampu bersikap berdasarkan nilai dan norma sehingga mampu hidup bermasyarakat.
Kondisi real yang dihasilkan oleh pembelajaran IPS , dalam hal ini yang
diselenggarakan secara formal di persekolahan, sering kali dianggap belum sesuai dengan yang
diharapkan, bahkan beberapa temuan penelitian dan pengamatan para ahli pendidikan
memperkuat kesimpulan bahwa pendidikan IPS di Indonesia belum maksimal karena
perwujudan nilai-nilai sosial yang dikembangkan dalam pembelajaran IPS masih belum begitu
nampak aplikasinya dalam kehidupan sehari-hari siswa. Keterampilan sosial para siswa lulusan
masih memprihatinkan, terbukti dengan partisipasi siswa dalam berbagai kegiatan
kemasyarakatan semakin menyusut (Syaodih, 2008:2).
Berkaca dari hasil penelitian tersebut, perlulah kiranya dicari penyebab yang
melatarbelakangi mengapa pembelajaran IPS belum mengarah pada tujuan sebenarnya.
Beberapa diantaranya dapat berpangkal pada kurikulum, rancangan, pelaksana, pelaksanaan
ataupun faktor-faktor pendukung pembelajaran lainnya. (Soemantri, 1998), Sumaatmadja
(1996) dalam Syaodih (2008:4).
Ada juga yang menyoroti latar belakang tak tercapainya tujuan pembelajaran IPS di
persekolahan di Indonesia adalah faktor Sistem Pembelajarannya. Lim (2008:1) berpendapat,
sistem pembelajaran IPS di Indonesia jauh ketinggalan dibandingkan dengan negara-negara
lain, misalnya di Jepang. Di Negara Matahari Terbit itu, pembelajaran IPS yang diberikan
kepada siswa diberikan melalui hasil survei lapangan terlebih dahulu, sehingga sesuai dengan
permasalahan dan aktual yang terjadi di masyarakat. Apa yang terjadi di Indonesia ? IPS masih
sebatas pengetahuan, bahkan sifatnya historical murni, yang kadang tak jelas relevansinya
dengan apa yang dihadapi atau dibutuhkan oleh peserta didik. Permasalahan yang diajarkan
adalah permasalahan standard yang ada di buku teks pelajaran, tidak dicoba dikaitkan dengan
permasalahan yang memiliki tingkat urgensi dan relevansi yang tinggi bagi siswa.
Mata pelajaran IPS masih dipandang siswa sebagai pelajaran yang membosankan dan
dirasa kurang relevan dengan kehidupan mereka seperti yang ditulis dari hasil penelitian Stahl
(2008:3) bahwa: studies classes are dull, boring, and irrelevant to their lives. If the
curriculum in social studies is to continue to have support from school administrators,
politicians, and the general public, it is desirable to have positive student attitudes towards the
subject matter. For it is quite possible that negative attitudes toward social studies could
ultimately result in a sharp decline in the allocation of resources for this subject area
Faktor lainnya ditengarai muncul dari fasilitator, yaitu guru IPS itu sendiri. Hasil
penelitian Nursid Sumaatmadja (Soesetyo, 2004;2) diperoleh data sebanyak 60% guru IPS di
Indonesia memiliki background pendidikan di luar pendidikan IPS. Haladyna and Shaughnessy
dalam Stahl (2008:8) mengindikasi bahwa guru dan lingkungan pembelajaran memegang
peranan yang kuat dalam membentuk sikap siswa terhadap IPS. Guru dapat menciptakan
lingkungan belajar yang positif dalam kelas. Iklim kelas dan sikap siswa dapat diubah melalui
intervensi guru dalam membangun image terhadap social studies, oleh karena itu
pembelajaran IPS perlu diupayakan dengan memperhatikan prinsip-prinsip pembelajaran IPS
yang bermakna. Prinsip pembelajaran IPS (social studies) dalam jurnal NCSS pada sebuah
penelitian berjudul A Vision of Powerful Teaching and Learning in the Social Studies: Building
Social Understanding and Civic Efficacy yang ditulis oleh Stahl (2008:2), bahwa ada beberapa
prinsip yang harus dipedomani dalam pembelajaran IPS sehingga pembelajaran IPS
memberikan hasil yang maksimal, yaitu:
1. Pembelajaran IPS yang baik jika bermakna (Social studies teaching and learning are powerful
when they are meaningful). Siswa belajar menghubungkan pengetahuan, keyakinan dan sikap
yang manfaatnya mereka peroleh baik di dalam kelas maupun di luar kelas. Pembelajaran
lebih ditekankan pada pengembangan ide-ide yang penting dalam memahami,
mengapresiasikan dan menerapkannya dalam kehidupan. Kebermaknaan dari isi materi
diarahkan pada bagaimana menyajikannya pada siswa dan bagaimana mengembangkannya
melalui serangkaian kegiatan. Sedangkan interkasi dalam kelas difokuskan pada pencapaian
kompetensi yang penting. Aktivitas pembelajaran yang bermakna dan strategi penilaian
difokuskan pada perhatian siswa terhadap ide-ide penting dari yang mereka pelajari. Dengan
demikian guru merefleksi perencanaan, pelaksanaan dan penilaian pembelajaran dengan
mudah
2. Pembelajaran IPS yang baik adalah pembelajaran yang terintegrasi (Social studies teaching and
learning are powerful when they are integrative) Pembelajaran IPS dalam penyampaian topik
dilakukan melalui upaya mengintegrasikan dalam hal: a) lintas ruang dan waktu, b)
pengetahuan, keterampilan, keyakinan, nilai dan sikap untuk dilaksanakan, c) teknologi secara
efektif, d) melalui lintas kurikulum
3. Pembelajaran IPS yang baik adalah pembelajaran yang berbasis nilai (Social studies teaching and
learning are powerful when they are value-based). Kekuatan pembelajaran IPS dengan
mempertimbangkan berbagai dimensi atau topik-topik maupun isu-isu yang kontroversi,
pengembangan dan penerapan nilai-nilai sosial. Pembelajaran IPS membentuk siswa menjadi:
a) peka terhadap implementasi kebijakan sosial yang potensial serta keputusan berdasarkan
nilai, b) sadar akan nilai-nilai, kompleksitas dan dilemma isu-isu, c) mempertimbang kan biaya
dan keuntungan dari berbagai tindakan, d) mengembangkan rasional yang baik terhadap nilai-
nilai sosial demokratis dan politik. Dengan demikian kekuatan pembelajaran sosial studies
mendorong pengenalan pandangan yang berbeda, sensitivitas terhadap persamaan dan
perbedaan budaya dan komitmen terhadap tanggung jawab sosial.
4. Pembelajaran IPS yang baik adalah pembelajaran yang menantang (Social studies teaching and
learning are powerful when they are challenging). Siswa diharapkan mencapai tujuan
pembelajaran secara individu dan kelompok melalui aktivitas berfikir siswa yang menantang.
5. Pembelajaran IPS yang baik adalah pembelajaran yang aktif (Social studies teaching and
learning are powerful when they are active). Pembelajaran IPS yang aktif mengharapkan
adanya kemampuan berfikir reflektif dan membua keputusan (decision making) selama
pembelajaran. Siswa mengembangkan pemahaman baru melalui sebuah proses pembelajaran
aktif dengan mengkonstruk pengetahuan sosial yang penting. Guru mengawali kegiatan
dengan memberikan bimbingan melalui modeling, penjelasan, untuk membangun
pengetahuan siswa menjadi independent dan menjadi pembelajar yang memiliki kebijakan
sendiri. Pembelajaran IPS ini menekankan pada kegiatan otentik yang diperuntukkan pada
penerapan kehidupan nyata dengan menggunakan keterampilan dan konteks materi di
bidangnya.
Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) disebut juga sebagai synthetic science, karena
konsep, generalisasi, dan temuan-temuan penelitian ditentukan atau diobservasi setelah fakta
terjadi (Welton dan Mallan, 1988 : 66-67).
Hingga saat ini, Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) hanyalah sebuah program pendidikan
dan bukan sub-disiplin ilmu tersendiri, sehingga tidak akan ditemukan baik dalam nomenklatur
filsafat ilmu, disiplin ilmu-ilmu sosial (social sciences), maupun ilmu pendidikan (Somantri,
2001 : 89).
Social Science Education Council (SSEC) dan National Council for Social Studies (NCSS)
menyebut IPS sebagai "Social Science Education" dan "Social Studies". Pada tahun 1992, NCSS
telah mendefinisikan IPS sebagai berikut :
Social studies is the integrated study of the social sciences and humanities to promote civic
competence. Within the school program, social studies provides coordinated, systematic study
drawing upon such disciplines as anthropology, archaeology, economics, geography, history,
law, philosophy, political science, psychology, religion, and sociology, as well as appropriate
content from the humanities, mathematics, and natural sciences. The primary purpose of social
studies is to help young people develop the ability to make informed and reasoned decisions
for the public good as citizens of a culturally diverse, democratic society in an interdependent
world . (Stahl dan Hartoonian, 2003)
Sebagai sumber pembelajaran IPS, media pendidikan diperlukan untuk membantu guru dalam
menumbuhkan pemahaman siswa terhadap materi pelajaran IPS. Diversifikasi aplikasi media
atau multi media, sangat direkomendasikan dalam proses pembelajaran IPS, misalnya melalui :
pengalaman langsung siswa di lingkungan masyarakat; dramatisasi; pameran dan kumpulan
benda-benda; televisi dan film; radio recording; gambar; foto dalam berbagai ukuran yang
sesuai bagi pembelajaran IPS; grafik, bagan, chart, skema, peta; majalah, surat kabar, buletin,
folder, pamflet dan karikatur; perpustakaan, learning resources, laboratorium IPS; serta
ceramah, tanya jawab, cerita lisan, dan sejenisnya (Rumampuk, 1988 : 23-27; Mulyono, 1980
: 10-12).
Dari sisi kurikulum, Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar IPS menggunakan tiga dimensi
dalam mengkaji dan memahami fenomena sosial serta kehidupan manusia secara holistik.
Ketiga dimensi tersebut terlihat pada tabel berikut.
Muhammad Numan Somantri sendiri merumuskan bahwa tujuan Pendidikan IPS pada
tingkat sekolah adalah :
1. Menekankan tumbuhnya nilai kewarganegaraan , moral, ideologi negara dan
agama.
2. Menekankan pada isi dan metode berfikir ilmuwan
3. Menekankan reflective inquiry
Point (a), (e) dan (f) dari SKL Mata Pelajaran IPS cenderung berkesesuaian dengan point (1)
menurut Numan Somantri yaitu menekankan tumbuhnya nilai kewarganegaraa, moral,
ideologi negara dan agama. Point (b), (c) erat keselarasannya dengan point (2) menekankan
pada dan metode berfikir ilmuwan. Point (d) menekankan reflective inquiry yang Berpikir
logis dan kritis, rasa ingin tahu, memecahkan masalah, dan keterampilan dalam kehidupan
sosial ekonomi.
Dapat kita nilai bahwa tujuan pembelajaran IPS memiliki arah yang serupa dengan
teori-teori mengenai tujuan pembelajaran IPS di persekolahan. Implementasi kurikulum
pembelajaran IPS. Kurikulum Pendidikan IPS harus memuat bahan pelajaran yang sesuai
dengan tujuan institusional dan tujuan pendidikan nasional. Di dalamnya hendaknya berisikan
bahan yang memungkinkan siswa untuk berfikir kritis.
Sebagai implikasi dari maksud dan tujuannya , maka kurikulum Pendidikan IPS hendaknya
berisikan garis-garis besar struktur disiplin ilmu dan model perilaku manusia yang tumbuh
dalam masyarakat, sehingga isi kurikulumnya akan terdiri atas :
1. Model inquiry, masing-masing disipliln ilmu yang terdiri atas pertanyaan-pertanyaan pokok
dan metode research setiap disipliln ilmu-ilmu sosial, psikologi dan agama.
2. Batang tubuh pengetahuan (body of knowledge) yang terdiri atas beberapa konsep. Konsep-
konsep psikologi, filsafat dan agama akan sangat berguna untuk menghidupkan dan
memperkuat kurikulum PIPS.
3. Generalisasi, dari konsep-konsep dalam butir 2 tersebut, hendaknya meningkat kesukarannya
dalam bentuk generalisasi.
Martorella (1994) menekankan 9 kategori yang harus dimasukan dalam kurikulum IPS
pendidikan dasar , yakni ; expressing, producing, transform, communicating, educating,
recreating, protecting, governing, dan creating. Di Amerika kurikulum PIPS untuk pendidikan
dasar dan menengah telah memasukan beberapa permasalahan yang sederhana mulai dari
rumah, komunitas, hingga negara dan dunia. Pendidikan IPS bukan sekedar bertujuan
membuat siswa berperilaku atau menjadi warga negara yang baik, tetapi sekaligus menjadi
warga negara yang mampu menyelesaikan berbagai permasalahan yang ada, sesuai dengan
tingkatannya.
Kurikulum yang diterapkan di SMK Sangkuriang 1 Cimahi pada Tahun Pelajaran
2009/2010 adalah Kurikulum yang berbasis pada Kurikulum 2006 atau yang biasa disebut
dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan ( KTSP ) dengan mengambil bentuk dalam
Spektrum terbaru yang mulai diadopsi pada Tahun Pelajaran 2008/2009. Sebagian dari
Standard Kompetensi dan Kompetensi Dasar (SKKD) yang diterapkan, dengan fokus terhadap
mata pelajaran IPS, adalah sebagai berikut :
DAFTAR PUSTAKA
Asmawi, Z. dan Nasution, N. (1994). Penilaian Hasil Belajar. Jakarta: Dirjen Dikti Depdikbud.
Buchari Alma, 2007, Apa dan Bagaimana Studi Sosial Diajarkan, Makalah pada Seminar Revitalisasi
Ilmu Pengetahuan Sosial dalam Perspektif Global, 21 Novwmbwr 2007, Bandung: Program
Studi PIPS Sekolah Pascasarjana UPI
Carin, A.A. & Sund, R.B. (1989). Teaching Science Through Discovery. Columbus: Merrill Publishing
Company.
Cavendish, S. et al. (1990). Observing Activities: Assessing Science in the Primary Class-
room.London: Paul Chapman Publishing Ltd.
Course Standards for Omaha Public Schools Required 10th Grade Semester Course in Economics
(OPS), http://ecedweb.unomaha.edu/standards/OPSstandards10.cfm
Collins,A, 1992. Potofolio for Science Education: Issues in Purpose, Structure, and Authenticity.
Science Eduducation. 76(4): 451-463.
Departemen Pendidikan Nasional. (2003). Kurikulum 2004 : Kompetensi Standar Mata Pelajaran
Sains. Jakarta: DepdiknasRepublik Indonesia.
Dipdiknas, 2006, Panduan Pengembangan Silabus Mata Pelajaran IPS SMP/Mts, Jakarta: Direktorat
Pembinaan SMP.
Departemen Pendidikan Nasional. (2002). Pedoman Pengembangan Silabus.
Jakarta:DepdiknasRepublik Indonesia.
Doran, R. et al., 1998. Science Educators Guide to Assesment. Virginia: NSTA
Depdiknas. 2001. Buku 1 Manajemen Peningkatan Mutu Pendidikan Berbasis Sekolah .
Jakarta: Depdiknas.