Anda di halaman 1dari 45

Konsep IPS beberapa Negara

KONSEP IPS

A. Sejarah Pendidikan IPS

Pertama kali Social Studies dimasukkan secara resmi ke dalam kurikulum sekolah
adalah di Rugby (Inggris) pada tahun 1827, atau sekitar setengah abad setelah Revolusi
Industri (abad 18), yang ditandai dengan perubahan penggunaan tenaga manusia menjadi
tenaga mesin. Alasan dimasukannya social studies (IPS) ke dalam kurikulum sekolah karena
berbagai ekses akibat industrialisasi di berbagai negara di belahan dunia juga terjadi, di
antaranya perubahan perilaku manusia akibat berbagai kemajuan dan ketercukupan.
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang mendorong industrialisasi telah menjadikan
bangsa semakin maju dan modern, tetapi juga menimbulkan dampak perilaku sosial yang
kompleks. Para ahli ilmu sosial dan pendidikan mengantisipasi berbagai kemungkinan ekses
negatif yang mungkin timbul di masyarakat akibat dampak kemajuan tersebut. Sehingga untuk
mengatasi berbagai masalah sosial di lingkungan masyarakat tidak hanya dibutuhkan kemajuan
ilmu dan pengetahuan secara disipliner, tetapi juga dapat dilakukan melalui pendekatan
program pendidikan formal di tingkat sekolah.

Program pendidikan antar disiplin (interdiscipline) di tingkat sekolah merupakan salah


satu pendekatan yang dianggap lebih efektif dalam rangka membentuk perilaku sosial siswa ke
arah yang diharapkan. Bahkan program pendidikan ini di samping sebagai bentuk internalisasi
dan transformasi pengetahuan juga dapat digunakan sebagai upaya mempersiapkan
sumberdaya manusia yang siap menghadapi berbagai tantangan dan problematika yang makin
komplek di masa datang.

Oleh karenanya latar belakang perlu dimasukkannya Social studies dalam kurikulum
sekolah di beberapa negara lain juga memiliki sejarah dan alasan yang berbeda-beda. Amerika
Serikat berbeda dengan di Inggris karena situasi dan kondisi yang menyebabkannya juga
berbeda. Penduduk Amerika Serikat terdiri dari berbagai macam ras di antaranya ras Indian
yang merupakan penduduk asli, ras kulit putih yang datang dari Eropa dan ras Negro yang
didatangkan dari Afrika untuk dipekerjakan di perkebunan-perkebunan negara tersebut.

Memandang perlunya pendidikan IPS bagi setiap warga negara Apresiasi


terhadap social studies (pendidikan IPS) terus bertambah dari berbagai negara, terutama di
Amerika, Inggris, dan berbagai negara di Eropa, dan baru berkembang ke berbagai negara di
Australia dan Asia termasuk Indonesia.

Latar belakang dimasukkannya bidang studi IPS ke dalam kurikulum sekolah di


Indonesia juga hampir sama dengan di beberapa negara lain, di antaranya situasi kacau dan
pertentangan politik bangsa, kondisi keragaman budaya bangsa (multikultur) yang sangat
rentan terjadinya konflik. Sehingga, sebagai akibat konflik dan situasi nasional bangsa yang
tidak stabil, terlebih adanya pemberontakan G30S/PKI dan berbagai masalah nasional lainnya
di pandang perlu memasukan program pendidikan sebagai propaganda dan penanaman nilai-
nilai sosial budaya masyarakat, berbangsa dan bernegara ke dalam kurikulum sekolah. Oleh
karenanya, dalam beberapa pertemuan ilmiah dibahas Istilah IPS (Ilmu Pengetahuan Sosial)
sebagai program pendidikan tingkat sekolah di Indonesia, dan pertama kali muncul dalam
Seminar Nasional tentangCivic Education tahun 1972 di Tawangmangu Solo Jawa Tengah.
Dalam laporan seminar tersebut, muncul 3 istilah dan digunakan secara bertukar pakai, yaitu :
1. Pengetahuan Sosial
2. Studi Sosial
3. Ilmu Pengetahuan Sosial

Konsep IPS untuk pertama kalinya masuk ke dunia persekolahan di Indonesia pada
tahun 1972-1973 yang diujicobakan dalam Kurikulum Proyek Perintis Sekolah Pembangunan
(PSSP) IKIP Bandung. Kemudian secara resmi dalam kurikulum 1975 program pendidikan
tentang masalah sosial dipandang tidak cukup diajarkan melalui pelajaran sejarah dan geografi
saja, maka dilakukan reduksi mata pelajaran di tingkat SD-SMA untuk beberapa mata pelajaran
ilmu sosial yang serumpun digabung ke dalam mata pelajaran IPS. Oleh karena itu,
pemberlakuan istilah IPS (social studies) dalam kurikulum 1975 tersebut, dapat dikatakan
sebagai kelahiran IPS secara resmi di Indonesia.

Sejak pemerintahan Orde Baru keadaan tenang, pemerintah melancarkan Rencana


Pembangunan Lima Tahun (Repelita). Pada masa Repelita I (1969-1974) Tim Peneliti Nasional
di bidang pendidikan menemukan lima masalah nasional dalam bidang pendidikan. Kelima
masalah tersebut antara lain:
1. Kuantitas, berkenaan dengan perluasan dan pemerataan kesempatan belajar.
2. Kualitas, menyangkut peningkatan mutu lulusan
3. Relevansi, berkaitan dengan kesesuaian sistem pendidikan dengan kebutuhan pembangunan.
4. Efektifitas sistem pendidikan dan efisiensi penggunaan sumber daya dan dana.
5. Pembinaan generasi muda dalam rangka menyiapkan tenaga produktif bagi kepentingan
pembangunan nasional.

Oleh karena itu, upaya pembangunan sektor pendidikan oleh pemerintah menjadi
prioritas. Program pembangunan pendidikan bidang sosial semakin ditingkatkan untuk
mengatasi dan menanamkan kewarganegaraan serta cinta tanah air Indonesia. Upaya
memasukan materi ilmu-ilmu sosial dan humaniora ke dalam kurikulum sekolah di Indonesia
disajikan dalam mata pelajaran dan bidang studi/ jurusan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) secara
resmi pada kurikulum 1975. Kurikulum ini merupakan perwujudan dari perubahan orientasi
pada pelaksanaan UUD 1945 secara murni dan konsekuen, bertujuan bahwa pendidikan
ditekankan pada upaya untuk membentuk manusia Pancasila sejati, kuat, dan sehat jasmani,
mempertinggi kecerdasan dan keterampilan jasmani, moral, budi pekerti, dan keyakinan
beragama.

Isi pendidikan IPS diarahkan pada kegiatan mempertinggi kecerdasan dan


keterampilan, serta mengembangkan fisik yang sehat dan kuat. Kurikulum pendidikan 1975
menggunakan pendekatan-pendekatan di antaranya sebagai berikut :
1. Berorientasi pada tujuan
2. Menganut pendekatan integratif
3. Menekankan kepada efisiensi dan efektivitas dalam hal daya dan waktu.
4. Menganut pendekatan sistem instruksional yang dikenal dengan Prosedur
5. Pengembangan Sistem Instruksional (PPSI).
6. Dipengaruhi psikologi tingkah laku dengan menekankan kepada stimulus respon dan latihan.

Konsep pendidikan IPS tersebut lalu memberi inspirasi terhadap kurikulum 1975 yang
menampilkan empat profil, yaitu :
1. Pendidikan Moral Pancasila menggantikan Kewargaan Negara sebagai bentuk pendidikan IPS
khusus.
2. Pendidikan IPS terpadu untuk SD
3. Pendidikan IPS terkonfederasi untuk SMP yang menempatkan IPS sebagai konsep peyung untuk
sejarah, geografi dan ekonomi koperasi.
4. Pendidikan IPS terisah-pisah yang mencakup mata pelajaran sejarah, ekonomi dan geografi
untuk SMA, atau sejarah dan geografi untuk SPG, dan IPS (ekonomi dan sejarah) untuk SMEA
/SMK..

Konsep pendidikan IPS seperti itu tetap dipertahankan dalam Kurikulum 1984 yang
secara konseptual merupakan penyempurnaan dari Kurikulum 1975 khususnya dalam
aktualisasi materi, seperti masuknya Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4)
sebagai materi pokok PMP. DalamKurikulum 1984, PPKn merupakan mata pelajaran sosial
khusus yang wajib diikuti semua siswa di SD, SMP dan SMU. Sedangkan mata pelajaran IPS
diwujudkan dalam :
1. Pendidikan IPS terpadu di SD kelas I-VI.
2. Pendidikan IPS terkonfederasi di SLTP yang mencakup geografi, sejarah dan ekonomi koperasi.
3. Pendidikan IPS terpisah di SMU yang meliputi Sejarah Nasional dan Sejarah Umum di kelas I-II;
Ekonomi dan Geografi di kelas I-II; Sejarah Budaya di kelas III program IPS.

Dimensi konseptual mengenai pendidikan IPS telah berulang kali dibahas dalam
rangkaian pertemuan ilmiah, yakni pertemuan HISPISI pertama di Bandung tahun 1989, Forum
Komunikasi Pimpinan HIPS di Yogyakarta tahun 1991, di Padang tahun 1992, di Ujung
Pandang tahun 1993, Konvensi Pendidikan kedua di Medan tahun 1992. Salah satu materi
yang selalu menjadi agenda pembahasan ialah mengenai konsep PIPS.

Dalam pertemuan Ujung Pandang, M. Numan Soemantri, pakar dan ketua HISPISI
menegaskan adanya dua versi PIPS sebagaimana dirumuskan dalam pertemuan di Yogyakarta,
yaitu :
a. Versi PIPS untuk Pendidikan Dasar dan Menengah. PIPS adalah penyederhanaan, adaptasi
dari disiplin Ilmu-ilmu Sosial dan humaniora, serta kegiatan dasar manusia yang duorganisir
dan disajikan secara ilmiah dan pedagogis/psikologis untuk tujuan pendidikan.
b. Versi PIPS untuk Jurusan Pendidikan IPS-IKIP. PIPS adalah seleksi dari disiplin Ilmu-ilmu Sosial
dan humaniora serta kegiatan dasar manusia yang diorganisir dan disajikan secara ilmiah dan
psikologis untuk tujuan pendidikan.

PIPS untuk tingkat perguruan tinggi pendidikan Guru IPS (eks IKIP, FKIP,
STKIP),direkonseptualisasikan sebagai pendidikan disiplin ilmu, sehingga menjadi Pendidikan
Disiplin Ilmu Pengetahuan Sosial, seperti pendidikan Geografi, Pendidikan Ekonomi,
Pendidikan Kewarganegaraan, Pendidikan sosiologi, Pendidikan Sejarah dsb).

Bentuk keseriusan ahli pendidikan dan ahli ilmu-ilmu sosial khususnya mereka yang
memiliki komitmen terhadap social studies atau pendidikan IPS sebagai program pendidikan di
tingkat sekolah, maka mereka berusaha untuk memasukkan ilmu-ilmu sosial ke dalam
kurikulum sekolah lebih jelas lagi. Namun karena tidak mungkin semua disiplin ilmu sosial
diajarkan di tingkat sekolah, maka kurikulum ilmu sosial itu disajikan secara terintegrasi atau
interdisipliner ke dalam kurikulum IPS (social studies). Jadi untuk program pendidikan ilmu-
ilmu sosial di tingkat pendidikan dasar dan menengah harus sudah mulai di ajarkan. Program
pendidikan dasar di SD dan SMP penyajiannya secara terpadu penuh, sementara itu untuk
pembelajaran IPS di tingkat SMA/MA dan SMEA penyajiannya bisa dilakukan secara terpisah
antar cabang ilmu-ilmu sosial, tetapi tetap memperhatikan keterhubungannya antara ilmu
sosial yang satu dengan ilmu sosial lainnya, terutama dalam rumpun jurusan IPS di SMA dan
juga di SMEA. Sementara itu, pada tingkat perguruan tinggi pendidikan ilmu-ilmu
sosial disajikan secara terpisah atau fakultatif, seperti FE, FH, FISIP dsb. Namun untuk
pendidikan IPS di FKIP/IKIP/STKIP yang mempersiapkan calon guru atau mendidik calon guru
di tingkat sekolah, maka pendidikan IPS di berikan secara interdisipliner dan juga secara
disipliner. Secara interdisipliner karena ilmu yang diperoleh nantinya untuk program
pembelajaran untuk usia anak sekolah, dan secara disipliner karena sebagai guru juga harus
menguasai ilmu yang diajarkan.

Bertitik tolak dari pemikiran mengenai kedudukan konseptual Pendidikan IPS, dapat
diidentifikasi sekolah objek telaah dari system pendidikan IPS, yaitu :
1. Karakteristik potensi dan perilaku belajar siswa SD, SLTP dan SMU.
2. Karakteristik potensi dan perilaku belajar mahasiswa FPIPS-IKIP atau JPIPS-STKIP/FKIP.
3. Kurikulum dan bahan belajar IPS SD, SLTP dan SMU.
4. Disiplin ilmu-ilmu sosial, humaniora dan disiplin lain yang relevan.
5. Teori, prinsip, strategi, media serta evaluasi pembelajaran IPS.
6. Masalah-masalah sosial, ilmu pengetahuan dan teknilogi yang berdampak sosial.
7. Norma agama yang melandasi dan memperkuat profesionalisme.

Kurikulum 1994 dilaksanakan secara bertahap mulai ajaran 1994-1995 merupakan


pembenahan atas pelaksanaan kurikulum 1984 setelah memperhatikan tuntutan
perkembangan dan keadaan masyarakat saat itu, khususnya yang menyangkut perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi serta seni, kebutuhan pembangunan dan gencarnya arus
globalisasi, dan evaluasi pelaksanaan kurikulum 1984 itu sendiri. Upaya pembaharuan
kurikulum pendidikan nampak saat diadakannya serangkaian Rapat Kerja Nasional
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dari tahun 1986 sampai 1989.
Pembenahan kurikulum ini juga didorong oleh amanat GBHN 1988 yang intinya; 1) perlunya
diteruskan upaya peningkatan mutu pendidikan di berbagai jenis dan jenjang pendidikan, 2)
perlunya persiapan perluasan wajib belajar pendidikan dasar dari enam tahun menjadi
sembilan tahun, dan 3) perlunya segera dilahirkan undang-undang yang mengatur tentang
Sistem Pendidikan Nasional.

Pada tahun 2004, pemerintah melakukan perubahan kurikulum kembali yang dikenal
dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Namun pengembangan kurikulum IPS
diusulkan menjadi Pengetahuan Sosial untuk merespon secara positif berbagai perkembangan
informasi, ilmu pengetahuan, dan teknologi. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan relevansi
program pembelajaran Pengetahuan Sosial dengan keadaan dan kebutuhan setempat. Di
samping itu, khusus dalam kurikulum SD, IPS pernah diusulkan digabung dengan Pendidikan
kewarganegaraan yaitu menjadi pendidikan kewrganegaraan dan pengetahuan sosial (PKnPS),
namun akhirnya kurikulum disempurnakan ke dalam kurikulum tingkat satuan pendidikan
(KTSP) tahun 2006, antara IPS dan PKn dipisahkan kembali. Hal ini memperhatikan berbagai
masukan dan kritik ahli pendidikan serta kepentingan pendidikan nasional dan politik bangsa
yaitu perlunya pendidikan kewarganegaraan bangsa, maka antara IPS dan PKn meskipun
tujuan dan kajiannya adalah sama yaitu membentuk warganegara yang baik, maka PKn tetap
diajarkan sebagai mata pelajaran di sekolah secara terpisah dengan IPS. Jadi wajarlah kalau
mata pelajaran PKn hanya ada di Indonesia, sementara di negara lain disebut Civic education .
IPS (social studies) dalam kurikulum tingkat satuan pendidikan di Indonesia terus melakukan
beberapa tinjauan dan kritik terutama untuk perbaikan IPS sebagai program pendidikan ilmu
sosial di tingkat sekolah melalui seminar dan lokakarya serta pertemuan ilmiah bidang IPS
lainnya, terutama oleh kelompok pakar HISPISI (Himpunan sarjana pendidikan ilmu sosial
Indonesia) dalam kongresnya di beberapa tempat di Indonesia.

Mempelajari Konsep dasar IPS berisi tentang konsep, hakikat, dan karakteristik
pendidikan IPS. Dengan mempelajari materi Konsep dasar IPS ini, diharapkan dapat
menjelaskan konsep-konsep IPS yang berpengaruh terhadap kehidupan masa kini dan masa
yang akan datang secara kritis dan kreatif. Pembahasan materi ini menerapkan pendekatan
antar disiplin yang mengintegrasikan ilmu-ilmu sosial dan humaniora. Adapun media yang
digunakan adalah bahan ajar cetak dan non cetak (web).

Sebagai guru/calon guru hendaknya menguasai materi IPS sebagai program


pendidikan. Untuk membantu menguasai materi tersebut maka dalam Konsep Pendidikan IPS,
disajikan pembahasan hal-hal pokok dan latihan sebagai berikut :
1. konsep pendidikan IPS
2. hakikat pendidikan IPS
3. karakteristik pendidikan IPS

B. Perbedaan Pendidikan IPS

Perbedaan Pendidikan Indonesia dengan Negara lain Negara yang sudah mengembangkan
keterampilan dalam pendidikan IPS

1. Perbedaan pendidikan IPS Indonesia dengan Amerika Serikat

Pada awalnya penduduk Amerika Serikat yang multi ras itu tidak menimbulkan
masalah. Baru setelah berlangsung perang saudara antara utara dan selatan atau yang dikenal
dengan Perang Budak yang berlangsung tahun l861-1865 di mana pada saat itu Amerika
Serikat siap untuk menjadi kekuatan dunia, mulai terasa adanya kesulitan, karena penduduk
yang multi ras tersebut merasa sulit untuk menjadi satu bangsa.
Selain itu juga adanya perbedaan sosial ekonomi yang sangat tajam. Para pakar
kemasyarakatan dan pendidikan berusaha keras untuk menjadikan penduduk yang multi ras
tersebut menjadi merasa satu bangsa yaitu bangsa Amerika. Salah satu cara yang ditempuh
adalah dengan memasukkan social studies ke dalam kurikulum sekolah di negara bagian
Wisconsin pada tahun 1892. Setelah dilakukan penelitian, maka pada awal abad 20, sebuah
Komisi Nasional dariThe National Education Association memberikan rekomendasi tentang
perlunya social studiesdimasukkan ke dalam kurikulum semua sekolah dasar dan sekolah
menengah di Amerika Serikat. Adapun wujud social studies ketika lahir merupakan semacam
ramuan dari mata pelajaran sejarah, geografi dan civics.
Jadi Social studies yang dalam istilah Indonesianya disebut Pendidikan IPS, dalam
perjuangannya tentang eksistensi terdapat dalam The National Herbart Society papers of
1896-1897 yang menegaskan bahwa Social Studies sebagai delimiting the social sciences for
pedagogical use (upaya membatasi ilmu-ilmu sosial untuk kepentingan pedagogik/ mendidik).
Memperhatikan pentingnya social studies bagi generasi muda, istilah IPS ( social studies) ini
kemudian mulai digunakan oleh beberapa negara bagian di Inggris dan Amerika untuk
mengembangkan program pendidikan ilmu-ilmu sosial di tingkat sekolah. Pengertian ini juga
dipakai sebagai dasar dalam dokumen Statement of the Chairman of Commitee on Social
studies yang dikeluarkan oleh comittee on Social Studies (CSS) tahun 1913. Dalam dokumen
tersebut dinyatakan bahwa social studies sebagai specific field to utilization of social sciences
data as a force in the improvement of human welfare (bidang khusus dalam pemanfaatan data
ilmu-ilmu sosial sebagai tenaga dalam memperbaiki kesejahteraan umat manusia).
Sebagai upaya melestarikan program pendidikan IPS dalam kurikulum sekolah, maka
beberapa kelompok pakar yang memiliki kepedulian terhadap pendidikan ilmu-ilmu sosial di
tingkat sekolah mengembangkan usahanya agar social studies bisa diaplikasikan untuk program
pendidikan di tingkat sekolah dengan membentuk organisasi profesi social studies. Kemudian
pada tahun 1921, berdirilah National Council for the Social Studies (NCSS), sebuah organisasi
profesional yang secara khusus membina dan mengembangkan social studies pada tingkat
pendidikan dasar dan menengah serta keterkaitannya dengan disiplin ilmu-ilmu sosial dan
disiplin ilmu pendidikan sebagai program pendidikan syntectic.
Pada waktu berdirinya NCSS hanya bertugas sebagai organisasi yang akan
memaksimalkan hasil-hasil pendidikan bagi tujuan kewarganegaraan yang sudah dicapai oleh
CSS sebelumnya. Sehingga baru setelah 14 tahun kemudian NCSS mengeluarkan karya berbasis
intelektual-keilmuan. Dalam perkembangannya banyak naskah dan penelitian tentang social
studies, yang mengharapkan perlunya perhatian terhadap pendidikan anak tentang social
studies, dengan harapan dapat membantu anak didik menjadi warga negara yang baik. Pada
pertemuan pertama tahun 1935, lahirlah kesepakatan yang dikeluarkan NCSS dengan
menegaskan bahwa Social sciences as the core of the curriculum(kurikulum IPS bersumber
dari ilmu-ilmu sosial).
Pada perkembangan selanjutnya, terutama setelah berdirinya NCSS, pengertian social
studiesyang paling berpengaruh hingga akhir abad 20 adalah definisi yang dikemukakan oleh
Edgar Wesley pada tahun 1937. Wesley menyatakan bahwa the social studies are the social
sciences simplified for pedagogical purposes . Definisi ini menjadi lebih populer saat itu karena
kemudian dijadikan definisi resmi social studies oleh the united states of educations
standard terminology for curriculum and instruction hingga NCSS mengeluarkan definisi resmi
yang membawa social studies sebagai kajian yang terintegrasi, dan mencakup disiplin ilmu
yang semakin luas.
Sehingga pada tahun 1993 NCSS merumuskan social studies sebagai berikut:
Social studies is the integrated study of the social sciences and humanities to promote civic
competence. Within the school program,social studies provides coordinated,systematic study
drawing upon such diciplines as antrophology, archaeology, economics, geography, history,
law, philosophy, political science, psychology, religion, and sosiology, as well as appropriate
content from the humanities, mathematics, and natural sciences. The primary purpose of social
studies is to help young people develop the ability to make informed and reasoned decisions
for the public good as citiziens of a culturally diverse, democratic society in an interdependent
world.

Jerman
Sebenarnya banyak sekali perbedaan antara pendidikan di Jerman dengan Indonesia.
Dari sisi sistem saja, pendidikan itu sudah berbeda. Di Jerman, jenjang pendidikan Pra
Perguruan Tinggi itu hanya ada 2 macam, yaitu pendidikan dasar ( Grundschule) dan
pendidikan lanjutan (Gymnasium, Realschule, atau Berufschule). Kalau di Indonesia,
pendidikan Pra Perguruan Tinggi ada 3 macam, yaitu SD-SMP-SMA. Dari sisi waktu juga
berbeda, di Indonesia memerlukan waktu 12 tahun (normal) sebelum ke jenjang Perguruan
Tinggi, sedangkan di Jerman butuh waktu 13 tahun.
Yang ingin saya bahas bukan masalah teknis pendidikan seperti di atas. Saya tertarik
dengan tulisan I Made Wiryana dalam sebuah milis tentang pendidikan di Jerman. Dia
menuliskan bahwa konsep pendidikan di Jerman adalah cenderung pemerataan hak
mendapatkan pendidikan. Ini berlaku untuk orang asing atau orang Jerman yang tinggal di
Jerman. Artinya secara konsep yang diutamakan adalah pemerataan pendidikan daripada
pencapaian puncak-puncak hasil pendidikan.
Dia memberikan contoh bahwa ketika hasil PISA rendah, seluruh Jerman panik. Akan
tetapi, ketika ada anak-anak Jerman yang dapat hadiah the best xxxx dalam lomba sains,
orang menganggap hal itu biasa saja. Hal ini terbalik dengan Indonesia yang sangat bangga
terhadap prestasi anak bangsa yang mengharumkan nama Indonesia di dunia.
Contoh lain adalah jika karier anda sebagai orang lembaga pendidikan ingin maju di
Jerman, anda harus pindah ke kampus-kampus kecil (di kota kecil). Beliau menjelaskan bahwa
prinsip ini membuat pemerataan kualitas pendidikan terjadi secara alami. Dan lagi-lagi, ini
berbeda dengan Indonesia. Orang Indonesia cenderung memiliki kebiasaan pintar kumpul
dengan pintar dan kaya kumpul dengan kaya.
Melihat kondisi di atas, membuat saya tersenyum. Saya yakin kualitas pendidikan
Indonesia bisa meningkat drastis. Syarat utama hanya 2 macam, pemeratan pendidikan dan
penghargaan terhadap prestasi pendidikan. Itu saja. Bila kedua syarat terpenuhi, saya yakin
semakin banyak anak-anak Indonesia yang berprestasi pada ajang internasional dan semua
anak-anak Indonesia bisa masuk ke bangku sekolah.

2. Perbedaan Pendidikan IPS Indonesia dengan Inggris


Sebagai reaksi para pakar Ilmu Sosial terhadap situasi sosial di Inggris dan Amerika
Serikat, pemasukan Social Studies ke dalam kurikulum sekolah juga dilatarbelakangi oleh
keinginan para pakar pendidikan, khususnya pakar social studies. Hal ini disebabkan mereka
ingin agar setelah meninggalkan sekolah dasar dan menengah, para siswa: menjadi warga
negara yang baik, dalam arti mengetahui dan menjalankan hak-hak dan kewajibannya;
dapat hidup bermasyarakat secara seimbang, dalam arti memperhatikan kepentingan pribadi
dan masyarakat. Untuk mencapai tujuan tersebut, para siswa tidak perlu harus menunggu
kuliah atau belajar Ilmu-ilmu Sosial di perguruan tinggi, tetapi sebenarnya mereka sudah
mendapat bekal pelajaran social studies di sekolah dasar dan menengah.
Pertimbangan lain dimasukkannya social studies ke dalam kurikulum sekolah adalah
karena kebutuhan siswa sekolah, di mana kemampuan siswa sangat menentukan dalam
pemilihan program pendidikan lanjut dan pengorganisasian materi social studies.
Agar materi pelajaran social studies lebih menarik dan lebih mudah dicerna oleh siswa
sekolah dasar dan menengah, bahan-bahannya diambil dari kehidupan nyata di lingkungan
masyarakat. Bahan atau materi yang diambil dari pengalaman pribadi, teman-teman sebaya,
serta lingkungan alam, dan masyarakat sekitarnya. Hal ini akan lebih mudah dipahami karena
mempunyai makna lebih besar bagi para siswa dari pada bahan pengajaran yang abstrak dan
rumit dari Ilmu-ilmu Sosial.
3. Perbedaan Pendidikan IPS Indonesia dengan Curriculum New Zealand
Kurikulum Berbasis Kompetensi dalam IPS di New Zealand menekankan pada
penguasaan disiplin ilmu sosial (Sejarah, geografi, ilmu politik, civics, ekonomi) juga
mengembangkan delapan ketrampilan penting (essensial skills) yang juga diajarkan pada
semua mata pelajaran dan pada semua jenjang pendidikan di New Zealand, meliputi :
a. komunikasi
b. kemampuan dalam matematika
c. informasi
d. pemecahan masalah
e. manajemen diri dan kompetitif
f. sosial dan koperasi
g. phisik
h. pekerjaan dan studi
Kedelapan kemampuan esensial (essential skills) tersebut diramu dalam proses belajar
PIPS melalui inkuiri, penggalian nilai (values exploration), dan pengambilan keputusan sosial
(social decision making).

4. Perbedaan Pendidikan IPS Indonesia dengan Curriculum Canada


Dasar perubahan kurikulum dalan studi sosial (IPS) dan sejarah Canada merupakan
bagian dari satu rangkaian perubahan kurikulumdalam studi sosial yang dikerjakan oleh
saskatchewan pendidikan. Proses pengembangan kurikulum dimulai dengan
penetapaan gugus tugas studi sosial (IPS) tahun 1981. Gugus tugas terdiri dari orang-orang
refresentatif dari berbagai sektor masyarakat skatchewan. Mereka mensurvei pendapat umum
dan atas dasar penemuan nya dihasilkan suatu laporan yang menguraikan suatu filosofi untuk
pendidikan IPS. Di dalam kurikulum Canada dikembangkan core curriculum yang merupakan
kemampuan dasar yang menjadi landasan pembentukan kurikulum sekolah di Kanada dari
jenjang Kidergarten, Elementery level, middle level sampai secondary level.
Terdapat dua komponen penting dalam core curicullum yaitu Required Areas of
Study danCommon Essential Learning. Pengembangan core curicullum menjadi Required Areas
of Studymenjadi tujuh yaitu : language Art, Mathematics, Science, Social studies, Health
education, art education dan physical education. Pengembangan Common essential learning
(CELS) atau kompetensi yag harus dikembangkan terus menerus dan oleh semua mata
pelajaran, yang meliputi enam kemampuan, yaitu komunikasi ( communication), kemampuan
dalam matematika (numeracy), berpikir kritis dan kreatif (critical and creative
thinking), melek teknologi (technology literacy), nilai dan keterampilan personal dan sosial
(personal and social values and skills), belajar mandiri (independent learning).
a. Komunikasi (communication), difokuskan pada meningkatkan pemahaman siswa terhadap
bahasa yang digunakan di dalam setiap bidang studi.
b. Kemampuan dalam matematika (numeracy), melibatkan dan membantu siswa
mengembangkan tingkatan kompetensi yang akan mendorong mereka untuk menggunakan
konsep matematika di dalam kehidupan sehari-hari.
c. Berpikir kritis dan kreatif (critical and creative thinking), dimaksudkan untuk membantu para
siswa mengembangkan kemampuan untuk menciptakan dan dengan kritis mengevaluasi
gagasan, proses, pengalaman, dan object berhubungan dengan area masing-masing bidang
studi.
d. Melek teknologi (technology literacy), membantu siswa mengapresiasi bahwa system teknologi
merupakan integral dalam system social dan tidak bisa dipisahkan dari budaya di dalamnya
yang mereka bentuk.
e. Nilai dan keterampilan personal dan sosial (personal and social values and skills berhadapan
dengan pribadi, moral, sosial, dan aspek budaya dari tiap sekolah dan mempunyai sasaran
utama mengembangkan warga negara yang penuh cinta kasih dan bertanggung jawab, yang
memahami dasar pemikiran (rasional) untuk pengakuan moral.
f. Belajar mandiri (independent learning), melibatkan siswa pada upaya untuk menciptakan
peluang/kesempatan dan pengalaman yang diperlukan siswa untuk menjadi mampu (capable),
percaya diri, motivasi diri, dan pembelajar sepanjang hayat yang melihat belajar sebagai
kegiatan pemberdayaan potensi diri dan sosial paling berharga.
Dalam kurikulum Kanada, Social Studies merupakan salah satu dari tujuh mata
pelajaran yang harus diajarkan di sekolah mulai dari TK sampai SMA ( Required Areas of
Study). Dimana dalam social studies ini pun harus dikembangkan keamampuan siswa untuk
berkomunikasi, matematika, berpikir kritis dan kreatif, melek teknologi, nilai dan
keterampilan personal dan sosial, dan belajar mandiri sebagai Common essential learning
(CELS).

5. Perbedaan Pendidikan IPS Indonesia dengan Curriculum Hongkong


Arti Pendidikan Kecakapan Hidup adalah pendidikan kemampuan,
kesanggupan dan keterampilan yang diperlukan oleh seseorang untuk menjaga kelangsungan
hidup dan pengembangan dirinya. Kemampuan mencakup daya pikir, daya kalbu, daya raga.
Kesanggupan sangat dipengaruhi oleh kepentingan yaitu sesuatu yang dianggap penting oleh
siapa dalam bentuk apa. Keterampilan adalah kecepatan, kecekatan, dan ketepatan orang
yang terampil mengerjakan sesuatu adalah orang cepat, cekat, dan tepat dalam mengerjakan
sesuatu.
Tujuan pendidikan Kecakapan hidup adalah untuk meningkatkan relevansi pendidikan
dengan nilai-nilai kehidupan nyata, baik nilai yang bersifat preservatif maupun progresif.
Tegasnya tujuan pendidikan kecakapan hidup adalah mempersiapkan peserta didik agar
memiliki kemampuan, kesanggupan, dan keterampilan yang diperlukan untuk menjaga dan
mengembangkan dirinya. Lebih spesifiknya, pendidikan kecakapan hidup dna kelangsungan
hidup memberdayakan aset kualitas batiniyah, sikap dan perbuatan lahiriyah peserta didik
melalui pengenalan nilai (logos), penghayatan nilai (etos), dan penerapan nilai (patos)
sehingga dapat digunakan untuk menjaga kelangsungan hidup dan memberi bekal dasar dan
latihan-latihan yang dilakukan secara benar mengenai kehidupan sehari-hari yang dapat
memapukan peserta didik untuk berfungsi menghadapi masa depan yang penuh persaingan
dan kolaborasi sekaligus; dan memfasilitasi peserta didik dalam memecahkan permasalahan
hidup yang dihadapi sehari-hari atau yang akan dihadapi , misal menjaga kesehatan mental
dan fisikm mencari nafkah, dan memilih serta mengembangkan karir.

B. Kurikulum IPS Berbasis Kompetensi


Secara teoritis atau konseptual, kurikulum berdasarkan kompetensi masuk ke dalam
kelompok yang dinamakan outcomes-based curriculum (Olivia, 1997:521). Dalam
bentuknya yang masih awal, Olia (1997:512) mengemukakan bahwa perkembangan ide
kurikulum berbasis kompetensi outcomes-based dapat ditelusuri sejauh pertengahan abad ke
XIX (sembilan belas) oleh seorang pendidik terkenal Herbert Spencer. Perkembangan ide
kurikulum berbasis outcomess di Amerika Serikat dapat dikatakan pada awal abad ke-XX
yaitu tahun 1918 atau menurut Tuxworth (Burke, 1995:10) pada tahu 1920-an. Pemikiran itu
kemudian diikuti oleh Ralph Tyler tahun 1950 yang mengembangkan proyek kurikulum yang
bertahap nasional dan menjadi terkenal dengan nama mastery learning and competency
based oleh Benjamin Bloom.
Dalam perkembangan pemikiran tentang kompetensi, lebih banyak digunakan untuk
kurikulum vokasional dan profesional sebagai jawaban atas tuntutan perkembangan dunia
industri, yaitu kebutuhan akan tenaga kerja yang mampu melakukan pekerjaan ketika yang
bersangkutan diterima di tempat kerja (Loon, 2001:2; Cinterfor, 2001:1; Tuxworth, 1995:11).
Sebenarnya tidak ada masalah dengan kurikulum IPS yang berdasarkan kompetensi sepajang
orientasi fislosofis kurikulum IPS berubah dari esensialisme dan perenialisme ke rekonstruksi
sosial. Kurikulum IPS harus mampu mengembangkan kompetensi yang dipelrukan peserta didik
untuk hidup di masyarakatnya berdasarkan permasalahan sosial yang ada.
Kata kompetensi diartikan sebagai kemampuan yang harus dikuasai seorang peserta
didik. Becker (1977) dan Gordon (1988) mengemukakan bahwa kompetensi meliputi
pengetahuan, pemahaman, keterampilan, nilai, sikap, dan minat. Dalam pengertian yang
lebih konseptual McAsham (1981) merumuskan kompetensi sebagai berikut: Competency is
knowledge, skills, and abilities that a person can learn and develop, which become parts of his
or her being ti the extent he or she can satisfactorily perform particular cognitive, affective,
and psychomotor behavior. Pengertian di atas sejalan dengan pendapat Wolf (1995), Debling
(1995, Kupper dan Palthe (wolf, 1995:40) mengatakan bahwa esensi dari pengertian is the
ability to perform . Debling (1995:80) mengatakan competence pertains to the ability to
perform the activities within a function or an occupational area to the level of performance
expected in employment. Kupper dan Palthe (Wolf, 1995:40) mengatakan competencies as
the ability of a student/worker enabling him to accomplish tasks adequately, to find solutions
and to realize them in work situations.
Dengan demikian kurikulum berbasis kompetensi adalah kurikulum yang pada tahap
perecanaan (terutama dalam tahap perkembangan ide) dipengaruhi oleh kemungkinan-
kemungkinan kemampuan pendekatan kompetensi dalam menjawab tantangan yang muncul
di masyarakat. Oleh karena itu terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan dalam
pengembangan kurikulum berbasis kompetensi, yaitu:
a. Pada waktu mengembangkan atau megadopsi pemikiran kurikulum berbasis kompetensi maka
pengembang kurikulkum harus mengenal benar landasan filosofis, kekuatan dan kelemahan
pendekatan kompetensi dalam menjawab tantangan serta jangkauan validitas pendekatan
tersebut ke masa depan. Qullen (2001) mengatakan the firs part of the process of integration
is to understand the theoritical and practical basis of a competency-based educational system.
b. Kompetensi bersifat terus berkembang sesuai dengan tuntutan dunia kerja dan perubahan
masyarakat. Perkembangan tuntutan dunia kerja atau permasalahan yang berkembang di
masyarakat menghendaki adanya kompetensi baru yang harus dikuasai oleh peserta
didik. Kupper dan Palthe (Wolf, 1995:45) mengingatkan hal ini dengan mengatakan bahwa
dalam penentuan kompetensi suatu lembaga pendidikan haruslah has regular contacts with
industry and busiess regarding the qualifications expected from our graduates. Sedangkan
Ferguson (2000:1) menyuarakan kepentingan masyarakat dan tidak membatasi diri pad dunia
industri, when designing a course or a program using an outcomes based curriculum
framework, the educator/designer begins by envisioning what students need to be able to do
in their lives and what part of that is the responsibility of the course or program . Kurikulum
IPS yang berdasarkan kompetensi harus mengarah kepada what the students need to be able
to do di masyarakat. Kompetensi bersifat dinamis dan berkembang terus sesuai dnegan
perkembangan dalam berbagai bidang kehidupan.
c. Memperhatikan prinsip no one course is strictly responsible for any one competency dalam
pengembangan program atau dokumen kurikulum (Indiana University Medical Science
Program). Artinya seperti yang dikembangkan oleh Canada, maka ada essential learning
abilities atau kompetensi yag harus dikembangkan terus menerus dan oleh banyak mata
pelajaran.
Kompetensi yang dikembangkan dalam kurikulum IPS harus bersifat terus menerus
(developmental) dan ini merupakan suatu prinsip penting ketika menerjemahkan dokumen
kurikulum menjadi suatu proses pembelajaran.

C. Model Pengembangan IPS


IPS merupakan seperangkat fakta, peristiwa, konsep, dan generalisasi yang berkaitan
dengan perilaku dan tindakan manusia untuk membangun dirinya, masyarakatnya, bangsanya,
dan lingkungannya berdasarkan pada pengalaman masa lalu yang dapat dimaknai untuk masa
kini, dan diantisiapsi untuk masa yang akan datang. Tujuan Pengembangan IPS adalah sebagai
berikut :
a. Mengembangkan pengetahuan kesosilogian, kegeografian, keekonomian, dan kesejarahan.
b. Mengembngkan kemampuan berpikir, inquiri, pemecahana masalah, dan keterampilan sosial
c. Membangun komitmen dan kesadaran terhadap nilai-nilai sosial dan kemanusiaan.
d. Meningkatkan kemampuan berkomuniaksi dan bekerjasama dalam masyarakat yang
majemuk, di tingkat lokal, nasional, dan global.

Untuk mencapai tujuan tersebut dikembangkan standar kompetensi lintas kurikulum


yang merupakan kecakapan untuk hidup ( lifeskills) dan belajar sepanjang hayat yang
dibakukan dan harus dicapai oleh peserta didik melalui pengalaman belajar. Standar
kompetensi lintas kurikulum ini meliputi:
a. memiliki keyakinan, menyadari serta menjalankan hak dan kewajiban, saling menghargai dan
memberi rasa aman, sesuai dengan agama yang dianutnya.
b. Menggunakan bahasa untuk memahami, mengembangkan, dan mengkomuniaksikan gagasan
dan informasi, serta untuk berinteraksi dengan orang lain.
c. Memilih, memadukan, dan menerapkan konsep-konsep, teknik-teknik, pola, struktur, dan
hubungan.
d. Memilih, mencari, dan menerapkan teknologi dan informasi yang diperlukan dari berbagai
sumber.
e. Memahami dan menghargai lingkungan fisik, makhluk hidup, dan teknologi, dna
menggunakan pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai untuk mengambil keputusan yang
tepat.
f. Beraprtisipasi, berinteraksi, dan berkontribusi aktif dalam masyarakat dan budaya global
berdasarkan pemahaman kontkes budaya, geografis, dan historis.
g. Berkreasi dan menghargai karya artistik, budaya, dan intelektual, serta menerapkan nilai-nilai
luhur untuk meningkatkan kematangan pribadi menuju masyarakat beradab.
h. Berpikir logis, kritis, dan lateral dengan mempertimbangkan potensi dan peluang untuk
menghadapi berbagai kemungkinan.
i. Menunjukkan motivasi belajar, percaya diri, bekerja amndiri, dna bekerja sama dengan orang
lain.

D. Standar Kompetensi Bahan kajian IPS


1) Kemampuan memahami fakta, konsep, dan generalisasi tentang sistem sosial dan budaya serta
menerapkannya untuk :
a. Mengembangkan sikap kritis dalam situasi sosial yang timbul sebagai akibat perbedaan yang
ada di masyarakat.
b. Menentukan sikap terhadap proses perkembangan dan perubahan sosial
c. Menghargai keanekaragaman sosial budaya dalam masyarakat multikultur.
2) Kemampuan memahami fakta, konsep, dan generalisasi tentang manusia, tempat dan
lingkungan serta menerapkannya untuk:
a. Menganalisis proses kejadian, interaksi dan saling ketergantungan antara gejala alam dan
kehidupan di muka bumi dalam dimensi ruang dan waktu.
b. Terampil dalam memperoleh, mengolah, dan menyajikan informasi geografis.
3) Kemampuan memahami fakta, konsep, dan generalisasi tentang perilaku ekonomi
dan Kejahteraan serta menerapkannya untuk:
a. Berperilaku yang rasional dan manusiawi dalam memanfaatkan sumber daya ekonomi.
b. Menumbuhkan jiwa, sikap, dan perilaku kewirausahaan
c. Menganalisis sistem informasi keuangan lembaga-lembaga ekonomi.
d. Terampil dalam praktik usaha ekonomi sendiri.
4) Kemampuan memahami fakta, konsep, dan generalisasi tentang waktu, keberlanjutan, dan
perubahan serta menerapkannya untuk:
a. Menganalisis keterkaitan antara manusia, waktu, tempat, dan kejadian.
b. Merekonstruksi masa lalu, memaknai masa kini, dan memprediksi amsa depan.
c. Menghargai berbagai erbedaan serta keragaman sosial, kulturan, agama, etnis, dan politik
dalam masyarakat dari pengalaman belajar peristiwa sejarah.

Standar kompetensi tersebut dijabarkan ke dalam kompetensi dasar. Untuk menjamin


bahwa kompentensi dasar yang telah ditentukan dapat dicapai maka perlu prinsip ketuntasan
belajar (mastery learning) dalam pembelajaran dan penilaian. Sebenarnya KBK itu sendiri
adalah kurikulum ideal yang tidak saja akan berhasil meningkatkan kualitas pendidikan di
negara kita, tetapi juga menuntut para praktisi pendidikan khususnya para guru untuk
mempersiapkan seluruh potensi Guru itu sendiri. Tujuan diterapkannya kurikulum berbasis
kompetensi ini adalah untuk menghasilkan terjadinya demokratisasi pendidikan.Diharapkan
hasil keluaran KBK dapat menciptakan lulusan yang menghargai keberagaman (misalnya dalam
perbedaan pendapat, agama, ras maupun budaya). Pengkonstuksian dan penyusunan
pengetahuan berlangsung dan dilakukan dari, oleh dan untuk para peserta didik. Dengan
demikian, dalam penyusunan rencana pembelajaran, seorang guru harus mampu
menyusunnya sehingga kelas dapat berlangsung dalam
Susana fun (menyenangkan) demokratis dan terbuka.
Pendekatan pembelajaran yang dapat dilakukan adalah pendekatan
kontruktivisme, sains, teknologi dan pendekatan inkuiri secara utuh. Keutuhan suatu materi
pelajaran tentu parameternya harus komprehensif. Misalnya guru harus cerdas , tepat seta
efektif dalam menafsirkan dan mengimplementasikan KBK yang menjamin tercapainya
kompetensi-kompetensi lulusan. Dengan ketiga pola pendekatan tersebut di atas, para peserta
didik diberikan kesempatan untuk menemukan suatu konsep dengan menggunakan
kompetensi yang dimiliki. Ketercapaian penggalian dan penemuan kompetensi , dilakukan
oleh peserta didik itu sendiri sehingga mereka mampu menghayati dan mengamalkan untuk
bertaqwa kepada Tuhan Yyang Maha Esa , rasa ingin tahu, toleransi, berfikir terbuka, percaya
diri, kasih sayang, peduli sesama, kebersamaan, kekeluargaan dan persahabatan.

E. Perkembangan IPS di Indonesia


IPS merupakan suatu program pendidikan dan bukan sub-disiplin ilmu tersendiri,
sehingga tidak akan ditemukan baik dalam nomenklatur filsafat ilmu, disiplin ilmu-ilmu sosial
(social science), maupun ilmu pendidikan (Sumantri. 2001:89). Social Scence Education Council
(SSEC) dan National Council for Social Studies (NCSS), menyebut IPS sebagai Social Science
Education dan Social Studies. Dengan kata lain, IPS mengikuti cara pandang yang bersifat
terpadu dari sejumlah mata pelajaran seperti: geografi, ekonomi, ilmu politik, ilmu hukum,
sejarah, antropologi, psikologi, sosiologi, dan sebagainya
Dalam bidang pengetahuan sosial, ada banyak istilah. Istilah tersebut
meliputi : Ilmu Sosial (Social Sciences), Studi Sosial (Social Studies) dan Ilmu Pengetahuan Sosial
(IPS).

1. Sosial (Social Science)


Achmad Sanusi memberikan batasan tentang Ilmu Sosial (Saidihardjo,1996.h.2) adalah
sebagai berikut: Ilmu Sosial terdiri disiplin-disiplin ilmu pengetahuan sosial yang bertarap
akademis dan biasanya dipelajari pada tingkat perguruan tinggi, makin lanjut makin ilmiah.
Menurut Gross (Kosasih Djahiri,1981.h.1), Ilmu Sosial merupakan disiplin intelektual
yang mempelajari manusia sebagai makluk sosial secara ilmiah, memusatkan pada manusia
sebagai anggota masyarakat dan pada kelompok atau masyarakat yang ia bentuk.
Nursid Sumaatmadja, menyatakan bahwa Ilmu Sosial adalah cabang ilmu pengetahuan
yang mempelajari tingkah laku manusia baik secara perorangan maupun tingkah laku
kelompok. Oleh karena itu Ilmu Sosial adalah ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia
dan mempelajari manusia sebagai anggota masyarakat.
2. Studi Sosial (Social Studies).
Perbeda dengan Ilmu Sosial, Studi Sosial bukan merupakan suatu bidang keilmuan atau
disiplin akademis, melainkan lebih merupakan suatu bidang pengkajian tentang gejala dan
masalah social. Tentang Studi Sosial ini, Achmad Sanusi (1971:18) memberi penjelasan sebagai
berikut : Sudi Sosial tidak selalu bertaraf akademis-universitas, bahkan merupakan bahan-bahan
pelajaran bagi siswa sejak pendidikan dasar.
3. Pengetahuan Sosial (IPS)
Harus diakui bahwa ide IPS berasal dari literatur pendidikan Amerika Serikat. Nama asli
IPS di Amerika Serikat adalah Social Studies. Istilah tersebut pertama kali dipergunakan
sebagai nama sebuah komite yaitu Committee of Social Studies yang didirikan pada tahun
1913. Tujuan dari pendirian lembaga itu adalah sebagai wadah himpunan tenaga ahli yang
berminat pada kurikulum Ilmu-ilmu Sosial di tingkat sekolah dan ahli-ahli Ilmu-ilmu Sosial yang
mempunyai minat sama.

Definisi IPS menurut National Council for Social Studies (NCSS), mendifisikan IPS sebagai
berikut: social studies is the integrated study of the science and humanities to promote civic
competence. Whitin the school program, socisl studies provides coordinated, systematic study
drawing upon such disciplines as anthropology, economics, geography, history, law,
philosophy, political science, psychology, religion, and sociology, as well as appropriate
content from the humanities, mathematics, and natural sciences. The primary purpose of social
studies is to help young people develop the ability to make informed and reasoned decisions
for the public good as citizen of a culturally diverse, democratic society in an interdependent
world.
Pada dasarnya Mulyono Tj. (1980:8) memberi batasan IPS adalah merupakan suatu
pendekatan interdsipliner (Inter-disciplinary Approach) dari pelajaran Ilmu-ilmu Sosial. IPS
merupakan integrasi dari berbagai cabang Ilmu-ilmu Sosial, seperti sosiologi, antropologi
budaya, psikologi sosial, sejarah, geografi, ekonomi, ilmu politik, dan sebagainya. Hal ini lebih
ditegaskan lagi oleh Saidiharjo (1996:4) bahwa IPS merupakan hasil kombinasi atau hasil
pemfusian atau perpaduan dari sejumlah mata pelajaran seperti: geografi, ekonomi, sejarah,
sosiologi, antropologi, politik.

F. Sejarah Pertumbuhan Ilmu Pengetahuan Sosial


Bidang studi IPS yang masuk ke Indonesia adalah berasal dari Amerika Serikat, yang di
negara asalnya disebut Social Studies. Pertama kali Social Studies dimasukkan dalam kurikulum
sekolah adalah di Rugby (Inggris) pada tahun 1827, atau sekitar setengah abad setelah Revolusi
Industri (abad 18), yang ditandai dengan perubahan penggunaan tenaga manusia menjadi
tenaga mesin.
Latar belakang dimasukkannya Social studies dalam kurikulum sekolah di Amerika
Serikat berbeda dengan di Inggris karena situasi dan kondisi yang menyebabkannya juga
berbeda. Penduduk Amerika Serikat terdiri dari berbagai macam ras diantaranya ras Indian
yang merupakan penduduk asli, ras kulit putih yang datang dari Eropa dan ras Negro yang
didatangkan dari Afrika untuk dipekerjakan di perkebunan-perkebunan negara tersebut.
Pada awalnya penduduk Amerika Serikat yang multi ras itu tidak menimbulkan masalah.
Baru setelah berlangsung perang saudara antara utara dan selatan atau yang dikenal dengan
Perang Budak yang berlangsung tahun l861-1865 dimana pada saat itu Amerika Serikat siap
untuk menjadi kekuatan dunia, mulai terasa adanya kesulitan, karena penduduk yang multi ras
tersebut merasa sulit untuk menjadi satu bangsa.
Selain itu juga adanya perbedaan sosial ekonomi yang sangat tajam. Para pakar
kemasyarakatan dan pendidikan berusaha keras untuk menjadikan penduduk yang multi ras
tersebut menjadi merasa satu bangsa yaitu bangsa Amerika. Salah satu cara yang ditempuh
adalah dengan memasukkan social studies ke dalam kurikulum sekolah di negara bagian
Wisconsin pada tahun 1892. Setelah dilakukan penelitian, maka pada awal abad 20, sebuah
Komisi Nasional dari The National Education Association memberikan rekomendasi tentang
perlunya social studies dimasukkan ke dalam kurikulum semua sekolah dasar dan sekolah
menengah Amerika Serikat. Adapun wujud social studies ketika lahir merupakan semacam
ramuan dari mata pelajaran sejarah, geografi dan civics.
Di samping sebagai reaksi para pakar Ilmu Sosial terhadap situasi sosial di Inggris dan
Amerika Serikat, pemasukan Social Studies ke dalam kurikulum sekolah juga dilatarbelakangi
oleh keinginan para pakar pendidikan. Hal ini disebabkan mereka ingin agar setelah
meninggalkan sekolah dasar dan menengah, para siswa: (1) menjadi warga negara yang baik,
dalam arti mengetahui dan menjalankan hak-hak dan kewajibannya; (2) dapat hidup
bermasyarakat secara seimbang, dalam arti memperhatikan kepentingan pribadi dan
masyarakat. Untuk mencapai tujuan tersebut, para siswa tidak perlu harus menunggu belajar
Ilmu-ilmu Sosial di perguruan tinggi, tetapi sebenarnya mereka sudah mendapat bekal
pelajaran IPS di sekolah dasar dan menengah. Pengembangan Pendidikan IPS SD
Pertimbangan lain dimasukkannya social studies ke dalam kurikulum sekolah adalah
kemampuan siswa sangat menentukan dalam pemilihan dan pengorganisasian materi IPS. Agar
materi pelajaran IPS lebih menarik dan lebih mudah dicerna oleh siswa sekolah dasar dan
menengah, bahan-bahannya diambil dari kehidupan nyata di lingkungan masyarakat. Bahan
atau materi yang diambil dari pengalaman pribadi, teman-teman sebaya, serta lingkungan
alam, dan masyarakat sekitarnya. Hal ini akan lebih mudah dipahami karena mempunyai
makna lebih besar bagi para siswa dari pada bahan pengajaran yang abstrak dan rumit dari
Ilmu-ilmu Sosial.
Latar belakang dimasukkannya bidang studi IPS ke dalam kurikulum sekolah di
Indonesia sangat berbeda dengan di Inggris dan Amerika Serikat. Pertumbuhan IPS di
Indonesia tidak terlepas dari situasi kacau, termasuk dalam bidang pendidikan, sebagai akibat
pemberontakan G30S/PKI, yang akhirnya dapat ditumpas oleh Pemerintahan Orde Baru.
Setelah keadaan tenang pemerintah melancarkan Rencana Pembangunan Lima Tahun
(Repelita). Pada masa Repelita I (1969-1974) Tim Peneliti Nasional di bidang pendidikan
menemukan lima masalah nasional dalam bidang pendidikan. Kelima masalah tersebut antara
lain:
1. Kuantitas, berkenaan dengan perluasan dan pemerataan kesempatan belajar.
2. Kualitas, menyangkut peningkatan mutu lulusan
3. Relevansi, berkaitan dengan kesesuaian sistem pendidikan dengan kebutuhan pembangunan.
4. Efektifitas sistem pendidikan dan efisiensi penggunaan sumber daya dan dana.
5. Pembinaan generasi muda dalam rangka menyiapkan tenaga produktif bagi kepentingan
pembangunan nasional.
Pada tahun 2004, pemerintah melakukan perubahan kurikulum kembali yangn dikenal
dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Dalam kurikulum SD, IPS berganti nama
menjadi Pengetahuan Sosial. Pengembangan kurikulum Pengetahuan Sosial merespon secara
positif berbagai perkembangan informasi, ilmu pengetahuan, dan teknologi. Hal ini dilakukan
untuk meningkatkan relevansi program pembelajaran Pengetahuan Sosial dengan keadaan dan
kebutuhan setempat.
Rasional Mempelajari IPS.
Rasionalisasi mempelajari IPS untuk jenjang pendidikan dasar dan menengah adalah
agar siswa dapat:
1. Mensistematisasikan bahan, informasi, dan atau kemampuan yang telah dimiliki tentang
manusia dan lingkungannya menjadi lebih bermakna.
2. Lebih peka dan tanggap terhadap berbagai masalah sosial secara rasional dan bertanggung
jawab.
3. Mempertinggi rasa toleransi dan persaudaraan di lingkungan sendiri dan antar manusia.
IPS atau disebut Pengetahuan Sosial pada kurikulum 2004, merupakan satu mata
pelajaran yang diberikan sejak SD dan MI sampai SMP dan MTs. Untuk jenjang SD dan MI
Pengetahuan Sosial memuat materi Pengetahuan Sosial dan Kewarganegaraan.
Pada haikatnya, pengetahuan Sosial sebabagi suatu mata pelajaran yang menjadi
wahana dan alat untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan, antara lain:
1. Siapa diri saya?
2. Pada masyarakat apa saya berada?
3. Persyaratan-persyaratan apa yang diperlukan diri saya untuk menjadi anggota suatu
kelompok masyarakat dan bangsa?
4. Apa artinya menjadi anggota masyarakat bangsa dan dunia?
5. Bagaimanakah kehidupan manusia dan masyarakat berubah dari waktu ke waktu?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut harus dijawab oleh setiap siswa, dan jawabannya telah
dirancang dalam Pengetahuan sosial secara sistematis dan komprehensip. Dengan demikian,
Pengetahuan Sosial diperlukan bagi keberhasilan siswa dalam kehidupan di masyarakat dan
proses menuju kedewasaan.

G. Hasil belajar curikulum KTSP Indonesia


1. Kurikulum KTSP
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) merupakan revisi dan pengembangan
dari kurikulum KBK. KTSP lahir karena dianggap masih sarat dengan beban belajar dan
pemerintah pusat dalam hal ini Depdiknas masih dipandang terlalu intervensi dalam
pengembangan kurikulum. Oleh karena itu dalam KTSP beban belajar siswa sedikit berkurang
dan tingkat satuan pendidikan (sekolah, guru, dan komite sekolah) diberi kewenangan untuk
mengembangkan kurikulum , seperti membuat indikator, silabus, dan beberapa komponen
kurikulum lainnya.
Dari perubahan kurikulum di atas terlihat adanya inovasi-inovasi untuk menjawab
tantangan perkembangan zaman. Seperti kita melihat adanya perubahan sifat kurikulum, mulai
dariCorrelated Subject Curriculum (1968), Integrated Curriculum Organization (1975), Content
Based Curriculum (1984), Objective Based Curriculum (1994), sampai Competency Based
Curriculum(2004).

IPS dalam Standar Nasional Pendidikan


Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan Pasal 7
menyebutkan bahwa:

Konsep Dasar Pembelajaran IPS


Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) merupakan salah satu mata pelajaran yang diberikan
mulai dari SD/MI/SDLB sampai SMP/MTs/SMPLB. IPS mengkaji seperangkat peristiwa, fakta,
konsep, dan generalisasi yang berkaitan dengan isu sosial. Pada jenjang SMP/MTs mata
pelajaran IPS memuat materi Geografi, Sejarah, Sosiologi, dan Ekonomi. Melalui mata
pelajaran IPS, peserta didik diarahkan untuk dapat menjadi warga negara Indonesia yang
demokratis, dan bertanggung jawab, serta warga dunia yang cinta damai.
Mata pelajaran IPS terpadu pada jenjang pendidikan dasar dan menengah termasuk
rumpun ilmu sosial, seharusnya merupakan mata pelajaran yang menarik, apabila disajikan
oleh guru dengan menggunakan teknik-teknik pembelajaran yang dapat memotivasi siswa.
Namun dalam kenyataannya banyak para siswa mengeluh karena bahan-bahan materi
pelajaran disajikan kurang menarik serta membosankan di samping guru kurang mampu
memilih metode pembelajarannya.
Akar masalah dari problem mata pelajaran sosial tersebut adalah bahwa
pembelajaran pengetahuan sosial lebih menekankan pada aspek pengetahuan, fakta dan
konsep-konsep yang bersifat hapalan belaka. Hal ini sejalan dengan pendapat Somantri, 2001
yang menyatakan bahwa pembelajaran IPS di sekolah selalu disajikan dalam bentuk faktual,
konsep yang kering, guru hanya mengejar target pencapaian kurikulum, tidak mementingkan
proses. Hal ini menyebabkan pembelajaran IPS selalu menjenuhkan dan membosankan dan
dianggap oleh peserta didik sebagai pelajaran kelas dua.
Standar kompentensi dari mata pelajaran IPS menurut Depdiknas (2003: 5) adalah
peserta didik diarahkan, dibimbing dan dibantu untuk menjadi warga negara Indonesia dan
warga dunia yang baik. Hal ini merupakan tantangan yang berat karena masyarakat global
selalu mengalami perubahan yang besar setiap saat.
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi menambah pengetahuan kita tentang bumi.
Namun demikian kemajuan teknologi yang mendorong industrialisasi telah menghasilkan
dampak negatif berupa polusi dan limbah industri yang mengotori tanah, air serta udara baik
secara lokal, regional bahkan secara global.
Untuk menanamkan betapa berharganya bumi, dan bagaimana memelihara serta
melestarikannya sebaiknya dalam materi yang akan diberikan kepada para siswa dimasukan
pengetahuan dan pemahaman tentang bumi berserta substansinya seperti terbentunya dan
evolusi bumi sebagai salah satu planet dalam sistem alam semesta, siklus iklimnya, kekayaan
alam dan lain-lain. Selanjutnya perlu juga dipelajari tentang kesehatan masyarakat,
kependudukan, kekayaan alam, ilmu pengetahuan dan teknologi serta tantangan lokal,
regional, nasional dan global.
Perubahan-perubahan yang terjadi sebagai dampak kemajuan ilmu dan teknologi serta dengan
masuknya arus globalisasi, membawa pengaruh yang multidimensional. Di bidang pendidikan
perubahan itu dituntut oleh kebutuhan siswa, masyarakat, dan lapangan kerja. Salah satu
bentuk perubahan yang dituntut dari kurikulum IPS adalah menyesuaikan dengan perubahan
yang terjadi secara global tersebut. Oleh karena itu, pendidikan IPS harus berkualitas
internasional seperti yang dikatakan oleh Alfin Tofler yaitu harus berpikir global dan bertindak
lokal.

Dalam rangka memenuhi tuntutan tersebut, materi IPS harus berwawasan global, yaitu
meliputi:
1. Kesadaran diri; sebagai makhluk Tuhan, eksistensi, potensi dan jati diri sebagai warga dari
sebuah bangsa yang berbudaya dan bermartabat dengan bangsa lain di dunia (tidak lebih
rendah dari bangsa lain)
2. Tentang kecakapan berpikir seperti kecakapan berpikir kritis, menggali informasi, mengolah
informasi, mengambil keputusan dan memecahkan masalah.
3. Tentang kecakapan akademik; tentang ilmu-ilmu sosial seperti kemampuan memahami fakta,
konsep dan generalisasi tentang sistem sosial budaya, lingkungan hidup, perilaku ekonomi dan
kesejahteraan serta tentang waktu dan keberlanjutan perubahan yang terjadi di dunia.
4. Mengembangkan sosial skill dengan maksud supaya pada masa mendatang kita tidak hanya
menjadi obyek penguasaan globalisasi belaka.

Menurut Marsh Colin dalam Nana Supriatna (2002: 15), keterampilan sosial adalah
keterampilan memperoleh informasi, berkomunikasi, pengendalian diri, bekerjasama,
menggunakan angka, memecahkan masalah serta keterampilan membuat keputusan. Hal ini
diperkuat oleh Ancss (1984: 249) dalam Rahmania (2006) yang menyatakan bahwa
keterampilan sosial adalah keterampilan dalam memperoleh informasi (keterampilan
membaca, keterampilan belajar, mencari informasi dan keterampilan menggunakan alat-alat
teknologi), keterampilan yang berkaitan dengan hubungan sosial serta partisipasi dalam
masyarakat.
Keterampilan sosial tersebut sangat relevan untuk dikembangkan dalam mata
pelajaran IPS di Indonesia, agar diharapkan para peserta didik dapat hidup sebagai warga
negara , warga masyarakat dan warga dunia yang dapat berperan dalam masyarakatnya.
Untuk mencapai sasasaran tersebut, menurut Wiraatmadja (2002: 276), guru harus
selalu memperbaharui kemahiran profesionalnya ( professional skill) yaitu meliputi kemampuan
mengajar (teaching skill) melalui loka karya, seminar, pertemuan MGMP (musyawarah guru
mata pelajaran) atau dengan mendatangkan nara sumber.
Nana Supriatna (2002: 18) menyebutkan ada beberapa strategi dalam mengajarkan
keterampilan sosial kepada peserta didik melalui IPS, di antaranya:
1. Guru IPS harus menyajikan pembelajaran IPS dengan menggunakan pendekatan-pendekatan
dan model-model pembelajaran yang relevan dengan tujuan pembelajarannya. Salah satu
model pembelajaran yang relevan adalah cooperative learning. Dengan pembelajaran
cooperative learning, maka siswa tidak saja menghafal fakta, konsep dan pengetahuan yang
bersifat kognitif rendah dan guru sebagai satu-satunya sumber informasi, melainkan akan
membawa siswa untuk berpartisipasi aktif karena siswa akan diminta melakukan tugas-tugas
seperti bekerja kelompok, melakukan inkuiri dan melaporkan hasil kegiatannya kepada kelas.
Ini artinya guru bukan satu-satunya sumber informasi karena siswa akan mencari sumber yang
beragam dan terlibat dalam berbagai kegiatan belajar yang beragam pula. Guru selain
berperan sebagai fasilitator dalam semua kegiatan siswa, juga harus mengamati proses
pembelajaran untuk memberikan penilaian (assessment) baik untuk pengetahuan ke-IPS-an
juga menilai keterampilan social (social skill) selama kegiatan pembelajaran berlangsung.
2. Strategi serta pendekatan konstruktivisme yang menempatkan siswa sebagai mitra
pembelajaran dan pengembangan materi pelajaran dapat digunakan oleh guru IPS dalam
mengembangkan keterampilan social. Keterampilan siswa dalam hal memperoleh, mengolah
dan memanfaatkan informasi untuk memiliki, berdayakan dirinya dapat dilakukan melalui
proses pembelajaran di kelas. Guru IPS konstruktivis harus dapat memfasilitasi para siswanya
dengan kesempatan untuk berlatih dalam mengklasifikasi, menganalisis, dan mengolah
informasi berdasarkan sumber-sumber yang mereka terima. Sikap kritis siswa terhadap
informasi harus dapat dikembangkan dalam proses pembelajaran di kelas. Guru juga harus
selalu membiasakan siswa untuk memprediksi, mengklasifikasi dan menganalisis dengan
demikian aspek kognitif siswa yang dikembangkan tidak hanya keterampilan dalam menghafal
dan mengingat melainkan juga menganalisis, memprediksi, mengkritisi dan mengevaluasi
informasi yang diterima.
3. Strategi inkuiri yaitu stratgei yang menekankan peserta didik menggunkan keterampilan social
dan intelektual dalam memperoleh pengalaman baru atau informasi baru melalui investigasi
yang sifatnya mandiri. Menurut Supriatna ada beberapa keuntungan dari strategi ini, yaitu:
a. Strategi ini memungkinkan peserta didik melihat isi pelajaran lebih realistic dan positif ketika
menganalisis dan mengklasifikasikan data dalam memcahkan masalah.
b. Memberi kesempatan kepada siswa untuk merefleksikan isu-isu tertentu, mencari data yang
relevan serta membuat keputusan yang bermakna bagi mereka secara pribadi.
c. Menempatkan guru sebagai fasilitator belajar sekaligus mengurangi perannya sebagai pusat
kegiatan belajar.

Wiraatmadja (2002: 205-306) mengatakan belajar mengajar ilmu-ilmu social agar


menjadi berdaya apabila proses pembelajarannya bermakna (meaningfull), yaitu:
a. Siswa belajar menjalin pengetahuan, keterampilan, kepercayaan dan sikap yang mereka anggap
berguna bagi kehidupannya di sekolah atau di luar sekolah.
b. Pengajaran ditekankan kepada pendalaman gagasan penting yang terdapat dalam topic-topik
yang dibahas, demi pemahaman, apresiasi dan aplikasi siswa.
c. Kebermaknaan dan pentingnya materi pelajaran ditekankan bagaimana cara penyajiaannya
dan dikembangkannya melalui kegiatan aktif.
d. Interaksi di dalam kelas difokuskan pada pendahuluan topic-topik terpilih dan bukan pada
pembahasan sekilas sebanyak mungkin materi.
e. Kegiatan belajar yang bermakna dan strategi assessment hendaknya difokuskan pada perhatian
siswa terhadap pikiran-pikiran atau gagasan-gagasan yang penting dan terpateri dalam apa
yang mereka pelajari.
f. Guru hendaknya berpikir reflektif dalam melakukan perencanaan/ persiapan, perberlakuan dan
assessment pembelajaran.

Namun tugas besar dari pembelajaran IPS tersebut ternyata tidak berjalan sesuai
dengan harapan. Hal ini Karena adanya beberapa hambatan yang menjadikan pembelajaran
IPS tidak berhasil bahkan cenderung membosankan, yaitu:
1. Sebagian besar guru IPS belum terampil menggunakan beberapa model mengajar yang dapat
merangsang motivasi belajar siswa
2. Ketersediaan alat dan bahan belajar di sebagian besar sekolah ikut mempengaruhi proses
belajar IPS
3. Proses belajar mengajar IPS masih dilakukan dalam bentuk pembelajaran konvensional,
sehingga peserta didik hanya memperoleh hasil faktual saja dan tidak mendapat hasil proses.
4. Dalam hal implementasi atau proses pelaksanaan kurikulum ini guru yang mendapat sosialisasi
dalam bentuk penataran atau diklat sangat terbatas sekali, sehingga faktor ini juga
menyebabkan mereka masih belum memahami hakekat kurikulum baru ini sebagaimana
mestinya.

Salah satu tugas sekolah adalah memberikan pengajaran kepada siswa. Mereka harus
memperoleh kecakapan dan pengetahuan dari sekolah, di samping mengembangkan
pribadinya. Pemberian kecakapan dan pengetahuan kepada siswa, yang merupakan proses
belajar-mengajar dilakukan oleh guru di sekolah dengan menggunakan cara-cara atau metode-
metode tertentu (B. Suryosubroto, 1997:148).
Mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) di SD dan SMP/MTs berfungsi untuk
mengembangkan pengetahuan, nilai, sikap, dan keterampilan siswa tentang masyarakat,
bangsa, dan negara Indonesia (Puskur Balitbang Depdiknas, 2003:2). Terkait dengan tujuan
mata pelajaran IPS yang sedemikian fundamental maka guru dituntut untuk memiliki
pemahaman yang holistik dalam upaya mewujudkan pencapaian tujuan tersebut. Ranah Hasil
Belajar IPS
Pemerintah indikator dalam pembelajaran mengacu pada hasil belajar yang harus
dikuasai siswa. Dalam pencapaian hasil belajar siswa, guru dituntut untuk memadukan ranah
kognitif, afektif, dan psikomotor secara proporsional. Horward Kingsly membagi tiga macam
hasil belajar,yakni (a)ketrampilanda kebiasaan, (b) pengetahuan dan pengertian, (c) sikap
dan cita-cita. Masing-masing jenis hasil belajar dapat diisi dengan bahan yang telah ditetapkan
dalam kurikulum. Sedangkan Gagne membagi lima hasil belajar, yakni (a) informasi verbal, (b)
keterampilan verbal, (c) strategi kognitif, (d) sikap, dan (e) ketrampilan motoris.
Dalam dalam sistem pendidikan nasional rumusan tujuan pendidikan, baik tujuan
kurikuler maupun tujuan instraksional, menggunakan klasikfikasi hasil belajar dari Benyamin
Bloom yang secara garis besar membaginya menjadi tiga ranah yakni ranah kognitif, ranah
efektif, dan ranah pisikmotoris (Nana Sudjana, 2002:22).
Ranah kognitif berkenan dengan hasil belajar intelektual yang terdiri dari enam aspek,
yakni pengetahuan atau ingatan, pemahaman, aplikasi, analisis sintensis, dan evaluasi. Ranah
efektif berkenan dengan sikap yang terdiri dari lima aspek, yakni penerimaan, jawaban atau
reaksi, penilaian, organisasi, dan internalisasi. Ranah psikomotoris berkenan dengan hasil
belajar ketrampilan dan kemampuan bertindak. Ada enam aspek ranah psikmotoris,(a)
gerakan refleks, (b) keterampilan gerakan dasar, (c) kemampuan perseptual, (d) keharmonisan
atau ketepataan, (e) gerakan keterampilan, (f) gerakan ekspresif dan interpretatif.
Berdasarkan konsep di atas maka dapat diperoleh suatu pengertian bahwa hasil
belajar IPS adalah kemampuan yang dimiliki oleh siswa setelah belajar, yang wujudnya berupa
kemampuan kognitif, afektif, dan psikomotor. Derajat kemampuan yang diperoleh siswa
diwujudkan dalam bentuk nilai hasil belajar IPS.

5.2 Kurikulum IPS di Perancis


Semua siswa di akhir pelajaran pokok di Perancis, dalam seconde kelas the lyce
d'enseignement gnrale et technologique (LEGT ), mengikuti suatu kurikulum umum; karena
yang akhir tahun kedua (post-compulsory) siswa memilih kuliah pokok spesialis yang
tergantung pada kecakapan yang spesifik yang mereka putuskan. Pelajaran di seconde pada
umumnya meliputi pokok / wajib. para siswa memilih pelajaran pokok yang disajikan.
Mata pelajaran pokok
Bahasa Perancis;
Matematika;
Ilmu fisika Dan Ilmu kimia;
Ilmu pengetahuan Bumi;
Bahasa asing modern;
Sejarah dan geografi;
Pendidikan jasmani dan olahraga; an
Pendidikan Kewarganegaraan, Hukum, dan Pendidikan social (Social Studies)
Ditambah dengan:
Dukungan Individual (Individual support)
Teknologi Informasi (Information technology)
Jam Kelas (Class hours)
Workshop Ekspresi Seni/Artistik (Artistic expression workshops)
Praktek sosial budaya Social and cultural practices)

Pendidikan Kewarganegaraan
Pada tingkat sekolah menengah dinamakan "education civique, juridique et sociale" (civic, legal
and social education). Ini mengarahkan untuk mencerminkan arti penting Pemerintahan pada
warganegara nya mempunyai suatu pengetahuan hukum dan sistem yang undang-undang
yang sah. Silabus dirancang untuk memungkinkan para siswa untuk berdebat sosial dari sudut
pandang pelajaran sebelumnya mereka. Di seconde, pelajaran kewarga negaraan pendidikan
mempunyai empat tema utama:
Kewarga negaraan Dan Civility/Incivilas
Kewarga negaraan Dan Integration/Exclusion (dengan tema kebangsaan)
Kewarganegaraan, hukum dan hubungan di tempat kerja
Kewarga negaraan dan kehidupan keluarga
Karena yang akhir tahun ke dua pendidikan sekunder tema yang luas di dalam tem
diskusi adalah 'institutions and citizenship in practice' and 'citizenship in a changing world'.

Pendidikan religius
Di Perancis pelajaran agama tidaklah diajar sebagai pokok disekolah walaupun mungkin saja di
lain area kurikulum. Satu-Satunya perkecualian adalah di Upper Rhine, Lower Rhine, and
Moselledpartements , yang sudah bertahan sejak tahun 1918. Pendidikan Perancis
mengumumkan program acara baru untuk pelajaran religius untuk sekolah. Program acara
yang baru tidak memperkenalkan studi religius sebagai pokok tetapi lebih memperkuat topik
pengintegrasian seluruh kurikulum. diarahkan untuk memperluas pemahaman dan
pengetahuan peristiwa dunia siswa dan budaya.

5.3 New Jersey (Standar Isi Core Curriculum New Jersey)


Tujuan IPS
Menyediakan para siswa dengan pengetahuan, ketrampilan dan sikap yang
diperlukan untuk menjadi aktif, menguasai informasi, warganegara bertanggung jawab dan
berkontribusi terhadap masyarakatnya.

Kompetensi yang harus dimiliki siswa dari IPS


a. Memperoleh suatu pemahaman dan apresiasi dasar tentang Tradisi dan nilai Amerika
berdasarkan pada pengetahuan sejarah dan pengembangan dan berfungsinya sistem
pemerintah konstitusional Amerika
b. Mengembangkan keterampilan berpikir kritis yang memungkinkan mereka melaksanakan
fungsi pembelajaran sepanjang hayat dan menguji serta mengevaluasi isu penting untuk
seluruh Amerika.
c. Memperoleh literacy dasar di dalam disiplin inti social studies dan memiliki pemahaman yang
dasar yang diperlukan untuk menerapkan pengetahuan ini untuk hidup mereka sebagai warga
negara.
d. Memahami sejarah dunia sebagai konteks untuk sejarah amerika serikat dan sebagai record/
catatan kultur dan peradaban yang besar masa lalu dan sekarang
e. Berpartisipasi dalam aktivitas yang meningkatkan kebaikan umum dan meningkatkan
kesejahteraan umum

Keterampilan IPS
Semua siswa akan menggunakan pemikiran historis, pemecahan masalah, suatu ketrampilan
riset untuk memaksimalkan pemahaman terhadap pelajaran kewarganegaraan, sejarah,
geografi, dan ekonomi.
1. Pada Akhir Kelas 2, Para Siswa Akan:
a. menjelaskan konsep panjang/lama yang lalu dan jauh sekali
b. menerapkan terminologi berhubungan dengan waktu termasuk masa lampau, kini/hadir, dan
masa depan
c. mengidentifikasi sumber informasi terpasang lokal, nasional dan internasional peristiwa
d. menceritakan kembali peristiwa atau cerita dengan ketelitian dan peruntunan
e. mengembangkan timelines sederhana
2. Pada Akhir Kelas 4, Para Siswa Akan
a. menjelaskan bagaimana peristiwa [kini/hadir] dihubungkan terhadap masa lampau
b. menerapkan terminologi berhubungan dengan waktu meliputi tahun, dekade, berabad-abad,
dan generasi.
c. menempatkan sumber untuk informasi yang sama i (ramalan cuaca di tv,internet atau surat
kabar)
d. mengorganisir peristiwa di (dalam) suatu garis waktu
e. membedakan antara suatu sumber langsung dan sumber sekunder dari suatu peristiwa
f. membedakan fakta dari fiksi
3. Pada Akhir Kelas 6, Para Siswa Akan
a. meneliti bagaimana peristiwa terkait dari waktu ke waktu
b. menggunakan keterampilan berpikir kritis berpikir ketrampilan untuk menginterpretasikan
peristiwa, mengenali penyimpangan, pandangan, dan konteks
c. menilai kredibilitas sumber utama (primar) dengan sumber sekunder

d. menganalisis data dalam rangka melihat orang dan peristiwa di dalam konteks
e. menguji isu, peristiwa, atau tema sekarang dan menghubungkannya dengan peristiwa yang
lampau
4. Pada Akhir Kelas 8, Para Siswa Akan
a. merumuskan pertanyaan mendasarkan pada kebutuhan informasi
b. menggunakan strategi efektif untuk menempatkan informasi
c. membandingkan dan mengkontraskan penafsiran ttg peristiwa sekarang dan peristiwa historis
5. Pada Akhir Kelas 10, Para Siswa Akan
a. menginterpretasikan peristiwa dengan mempertimbangkan kesinambungan dan perubahan,
kekhilafan dan kesalahan, dan mengubah penafsiran sejarawan
b. menciri fakta dari fiksi dengan membandingkan sumber tentang figur dan peristiwa dengan
karakter fictionalized dan peristiwa
c. meringkas informasi dalam tulisan, grafis, dan format lisan
6. Pada Akhir Nilai/Kelas 12, Para Siswa Akan
a. meneliti bagaimana peristiwa historis membentuk dunia modern
b. merumuskan pertanyaan dan hipotesis
c. menyatukan, menganalisis informasi dari sumber primer dan sekunder untuk mendukung atau
menolak hipotesis
d. menguji data sumber di dalam konteks historis, sosial, politis, mengenai ilmu bumi, atau
konteks ekonomi di mana dikreasikan, menguji kredibilitas dan mengevaluasi bias.it apakah
e. engevaluasi isu sekarang, peristiwa, atau tema dan melacak evolusi mereka melalui periode
historis
f. menerapkan keterampilan problem-solving untuk memecahkanmasalah nasional, negara, atau
lokal
g. menganalisis perubahan sosial, politis, dan budaya dan mengevaluasi dampak masing-masing
pada peristiwa dan isu lokal, negara, nasional dan internasional
h. mengevaluasi komunikasi historis dan kontemporer untuk mengidentifikasi akurasi
fakta, ketelitian bukti, dan ketidakhadiran bias dan mendiskusikan strategi yang digunakan
oleh pemerintah, politis calon, dan media untuk komunikasi dengan masyarakat.
Dari grade 2 sampai 12 keterampilan atau kompetensi social studies menunjukkan
kontinuitas atau kesinambungan antar level dalam esensial komptenesi yang diharapkan.
Disamping itu menunjukkan semakin tinggi level, semakin tinggi dan mendalam pula
keterampilan yang diharapkan siswa pada pelajaran social studies. Social Studies diajarkan di
Amerika Serikat pada semua jenjang pendidikan. Pada jejang sekolah menengah meliputi
Civics, Ekonomi, Geografi, dan Sejarah yang diajarkan pada semua jenjang kelas.
Proses pembelajaran menuntut keterlibatan peserta didik secara aktif dan bertujuan
agar penguasaan dari kognitif , afektif, serta psi-komotorik terbentuk pada diri siswa (Moh.
Amin, 1987:42), maka alat ukur hasil belajarnya tidak cukup jika hanya dengan tes obyektif
atau subyektif saja. Dengan cara penilaian tersebut keterampilan siswa dalam melakukan
aktivitas baik saat melakukan percobaan maupun menciptakan hasil karya belum dapat
diungkap. Demikian pula tentang aktivitas siswa selama mengerjakan tugas dari guru. Baik
berupa tugas untuk melakukan perco-baan, peragaan maupun pengamatan.
Penilaian merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari tujuan pendidikan dasar
maupun penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar. Tujuan pembelajaran yang dirumuskan
pada langkah awal pembelajaran digunakan sebagai acuan dalam kegiatan pem-belajaran dan
proses penilaian yang akan dilakukan. Menurut Davis (dalam Sudarsono Sudirdjo dkk.,
1991:94) tujuan tidak hanya merupakan arah yang dapat membentuk atau mewarnai
kurikulum dan memimpin kegiatan pen-gajaran, tetapi juga dapat menyediakan spesifikasi
secara terperinci bagi penyusunan dan penggunaan teknik-teknik penilaian. Dengan demikian
dapat disimpulkan bahwa tujuan pembelajaran yang dirumuskan secara je-las dan spesifik akan
menunjang proses penilaian yang tepat dan dapat membantu di dalam menetapkan kualitas
dan efektivitas pengalaman belajar siswa.

C. STUDI KOMPARATIF PENDIDIKAN IPS

3.1 Studi Komparatif pendidikan IPS


Pendidikan IPS adalah pendidikan yang penuh tantangan tetapi tetap kerdil karena
landasan filosofis esensialisme dan perenialisme yang digunakan. Berdasarkan filosofi ini maka
peserta didik IPS hanya belajar pengetahuan yang sudah jadi sebagaimana terdapat di dalam
buku teks, terpisah dari sumber informasi primer yaitu masyarakat, dan tidak berorientasi
kepada lingkungan masyarakat terdekat. Model ECA yang kental dengan prinsip dan
dikembangkan Hanna tidak pernah mendapatkan perhatian dan kajian lebih lanjut karena
orientasi pendidikan yang lebih mementingkan disiplin ilmu sebagai alat pengembangan
intellectual skills. Desain kurikulum transfer of information yang digunakan pendidikan IPS
memang sesuai dengan kedua filosofi tersebut tetapi sangat tidak sesuai dengan filosofi yang
menghendaki peserta didik mengembangkan berbagai social skills, communicative skills, dan
citizenship education
Sejak dikembangkan sistem pendidikan sekolah formal di Amerika, setidak-tidaknya ada
empat paradigma pendidikan yang saling bersaing dan mengkritik, tetapi juga saling silang-kait
antara yang satu dengan yang lainnya (Lapp:1975). Salah satu paradigma yang dikenal adalah
paradigma klasik yaitu perennialisme dan esensialisme yang berasumsi bahwa pendidikan
sebagai aktivitas enkulturasi, pelestarian dan pewarisan gagasan dan nilai-nilai lama dari
generasi ke generasi, dikritik karena memposisikan anak sebagai penerima pasif tanpa memiliki
hak dan kebebasan memilih dan tidak lebih dari sekedar tunnel education yang hanya
menyampaikan pengetahuan yang sudah fixed dan taken for granted sebagai kebenaran.
Persoalan yang dihadapi oleh PIPS sejak awal perkembangannya sampai sekarang berada
pada tataran paradigmatik (Lybarger, 1991; Fullinwider 1991; Brophy & Alleman, 1991; Hursh
& Ross, 2000; Winataputra, 2001) yaitu belum tercapainya visi bersama atau konsensus
profesional dan akademik di kalangan pakar tentang fitrah PIPS sebagai salah satu model
pendidikan untuk anak (social studies as education for children). Beberapa pakar bidang PIPS
melihat bahwa munculnya persoalan dilematis yang berkaitan dengan konflik internal
komunitas PIPS tersebut melahirkan berbagai spekulasi diantaranya:
Bidang kajian PIPS sendiri sudah lama sekali disadari dalam keadaan carut marut.
Pertentangan dalam definisi di antara para pakar, fungsi yang tumpang tindih, kekaburan
dalam landasan filosofis, serta distorsikonseptual di kalangan para pemraktik PIPS di lapangan
sehingga ada indikasi kuat bahwa praktik PIPS sudah keluar dari jalur. (Barr, Shermis, & Barth;
1978,1987).
Konseptualisasi PIPS sarat kepentingan (very Interested), tidak lepas dari perjuangan
berbagai kelompok kepentingan[2] di dalam masyarakat agar gagasan, aspirasi dan
kepentingannya dimasukkan sebagi inti kurikulum PIPS di sekolah. (Kliebard dalam Lybarger,
1991; Brophy & Alleman, 1996).
Sistem pendidikan yang berlaku (Rogers, 1989:11-17) gagal mempertemukan kebutuhan-
kebutuhan nyata siswa dan masyarakatnya karena sekolah umumnya masih sangat tradisional,
konservatif, kaku, birokratis, dan resisten terhadap perubahan. Dilema yang dihadapi oleh
dunia pendidikan, kata Rogers, juga akibat dari:
a) aturan-aturan sekolah yang birokratis, sehingga para guru terikat oleh pendekatan tradisional
dan konvensional,
b) mengembangkan sistem pertahanan diri ( self-defeating system),
c) takut membuat kejutan (fear making waves),
d) tidak tahu langkah-langkah yang harus diambil untuk mengimplementasikan alternatif-
alternatif yang praktis.
Kalaupun ada sebagian guru yang mau bersikap terbuka dan humanistik, mereka justru
merasa sebagai orang yang teralinasi dalam realitas sistem pendidikan yang masih
konvensional. Hal ini tentu saja menimbulkan keprihatinan dan juga pertanyaan di kalangan
pakar PIPS luar dan dalam negeri, seperti:
Burke & Hill (1990:1)
Sejauh ini, para guru PIPS senantiasa diingatkan perlunya memahami kecenderungan-
kecenderungan mutakhir di dalam disiplin mereka (PIPS). Reformasi kurikulum, pelatihan dan
pelatihan ulang bagi guru, serta perubahan sekuensi bidang kajian pun sudah diikhtiarkan
untuk memecahakan masalah kejenuhan, kesalahan persepsi dan relevansi (akan tetapi)
mengapa pula hingga sejauh ini masih begitu banyak siswa sekolah dasar yang melihat PIPS
sebagai kajian yang tidak relevan tentang fakta-fakta, data-data dan peristiwa-peristiwa?
Stopsky & Lee (1994:xvii-xviii)
Mengapa gagasan-gagasan pembaharuan PIPS yang telah dilakukan selama ini tidak juga
membangkitkan minat dan harapan siswa bahkan sejak masuknya PIPS dalam kurikulum
sekolah masih ditemukan 10 mitos tentang PIPS.[3]
Fouts (1990:418)
Fakta dari perspektif gender, baik siswa laki-laki maupun perempuan secara ekstrem sama-
sama memiliki pandangan negatif terhadap PIPS. Dari 1.174 siswa sampel, maksimal hanya 20-
an persen saja yang menjadikan PIPS sebagai mata pelajaran yang disukai. Penyebabnya
antara lain karena materi kurikulum, metodologi pembelajaran dan lingkungan kelas yang
kurang menarik, pasif, kurang menantang siswa untukbelajar dan terlalu sarat beban.
Sumantri (2001)
Dari aspek proses, praktik PIPS baru sebatas transfer informasi dan bahan hafalan, peranbuku
teks dan guru sangat dominan (masih menggunakan pendekatan ekspositorik/ teacher talk
oriented).
Al-Muchtar (1991)
Dari aspek materi, PIPS dipandang kurang memuat masalah sosial, budaya dana nilai dalam
hidup keseharian anak, kurang dikemas sebagai problematic statement, lebih berorientasi
pada penguasaan struktur keilmuan daripada realitas sosial budaya keseharian sebagai sumber
nilai ajukan bagi anak, terlalu sarat beban muatan, kurang sesuai dengan motivasi dan
orientasi belajar anak.
Hasan (1996)
PIPS belum sepenuhnya mampu mengembankan kemampuan berpikir tingkat tinggi dan
pembentukan karakter atau kepribadian umum, sebagai dua hal yang seharusnya menjadi
kepedulian dalam pengembangan PIPS pada masa mendatang.
Drost (2001:251-255)
Terjadi proses ideologisasi yang disebabkan oleh kondisi internal mikro PIPS[4] dan kondisi
eksternal makro yaitu politik pendidikan nasional yang terlalu berorientasi pada sains dan
teknologi, serta mentalitas masyarakat Indonesia yang juga amat mementingkan ilmu eksakta
dan teknologi. Kondisi ini akhirnya berpengaruh pula terhadap minat dan hasrat siswa untuk
memilih PIPS sebagai bidang studi atau jurusan yang layak ditekuni.

Oleh karena itu PIPS perlu dirumuskan dan dikembangkan dengan


mempertimbangkan eksistensi siswa dan segala kapasitas yang dimilikinya. Pengembangan
dasar-dasar pemikiran dan program PIPS juga sudah menjadi komitmen bersama di kalangan
komunitas PIPS di berbagai negara. HISPIPSI misalnya, sejak tahun 1989 hingga seminar
nasionalnya tahun 2001 di Semarang, telah menjadikan pertimbangan minat, kepentingan,
kebutuhan atau tahapan perkembangan anak (psikologis) sebagai prinsip pedagogis utama
dalam pengembangan IPS-SD (Somantri, 2001). Sementara komunitas PIPS di Amerika sebagai
centre of excellence dalam pengembangan pemikiran PIPS juga menegaskan bahwa anak
perlu dijadikan sebagai salah satu basis pengembangannya (psikologis, etis, moral) untuk
mencapai tujuan-tujuan PIPS (pengetahuan, sikap-nilai dan keterampilan) yang diharapkan.
Dalam dokumen PIPS pertama, Statements of Chairman of the Social Studies , Thomas
Jesse Jones selaku pimpinan Komisi PIPS (Committee on Social Studies = CSS) 1913
menegaskan bahwa:
(PIPS) tidak dimaksudkan memberikan pengetahuan lengkap atau mendetail kepada setiap
anak, melainkan lebih pada upaya memberikan kepada mereka arahan betapa signifikan
materi tersebut bagi mereka,sehingga dalam diri mereka bangkit hasrat untuk mengerti
lingkungannya. Juga membantu mereka agar mampu berpikir sebagai warganegara ( to think
civically), dan jika mungkin hidup sebagai layaknya warganegara ( to live civically) (Saxe,
1991: 182, 184 dalam lampiran)
Komisi PIPS, NCSS dan Pakar PIPS, sepakat bahwa konstruksi program PIPS perlu
diorganisasi secara sekuensial bermula dari lingkungan (institusi dan komunitas) sekitar, yang
paling dekat atau akrab dengan anak, hingga ke lingkungan yang paling jauh dan luas
(mendunia). Gagasan ini melahirkan sebuah konsepsi kurikulum dari Hanna yang dikenal
sebagai expanding communities approach atau Model ECA (Hasan, 1996:145-146). Model
ini digunakan untuk pendidikan sosial yang mempersiapkan siswa terutama untuk berkiprah
dalam masyarakat sebgai anggota biasa suatu masyarakan dan bukan sebagai calon untuk
dididik sebagai ilmuwan atau tenaga kerja tingkat perguruan tinggi. Fokus kajiannya adalah
sembilan aktivitas dasar manusia ( the nine basic human activities).
Namun model Hanna walaupun diakui dan diformalkan oleh NCSS sebagai model
kurikulum nasional PIPS, mendapat kritik dari Ravitch (1996). Ravitch mengkritik bahwa
model Hanna telah menjadikan PIPS semacam tot sociology (sosiologi untuk anak-anak)
dan mengalami pengosongan (vuocusness) dan penyucian (sterility) dari materi lokal. Atas
keberatan dan penolakan Ravicth terhadap kurikulum model Hanna di atas, Brophy &
Alleman (1996) berasumsi bahwa kegagalan PIPS sebagai program pendidikan sesungguhnya
bukan pada kerangka berpikir yang meletakkan konstruksi PIPS dalam konteks expanding
communities of men, melainkan lebih pada cara topik-topik PIPS tersebut dipikirkan.
Maksudnya, kekeliruan tadi terletak pada cara pandang para pakar cenderung
meletakkan topik-topik PIPS menurut cara-cara berpikir ilmuwan sosial yang menganut prinsip
cultural universals dengan asumsi bahwa kebutuhan-kebutuhan dasar dan pengalaman-
pengalaman sosial manusia selalu ada dalam semua kelompok masyarakat sehingga para pakar
beranggapan bahwa siswa bisa mendapatkan pengertian mendasar atas konsep-konsep atau
prinsip-prinsip universalitas tersebut. Padahal yang esensial bagi siswa adalah bagaimana
memahamkan mereka tentang kerja sistem sosial berlangsung, mengapa pula terdapat
perbedaan-perbedaan dalam konteks geografis dan waktu, serta bagaimana pula signifikansi
kerja sistem sosial tersebut terhadap keputusan-keputusan sosial yang harus diambil sebagai
pribadi, anggota masyarakat atau sebagai warga negara.
Untuk itu jika model Hanna akan dikembangkan kembali dalam kurikulum PIPS, model
tersebut memerlukan berbagai modifikasi, elaborasi, dan pengayaan. Diperlukan pula
perpaduan dengan suatu pendekatan yang disebut holistic-interactive approach, agar anak
dapat lebih memperoleh suatu pandangan yang kompleks dan utuh atas dunianya (Parker,
1991:108). Diharapkan anak ada dalam posisi being itself sehingga muncul pemikiran radikal
dari aluran interksional yang mengasumsikan pendidikan sebagai aktivitas interdependensi dan
dialogis antara siswa dengan dunia nyata untuk suatu kehidupan bersama yang lebih baik
sebagai rumah budayanya (cultural home), juga perlu mendapat perhatian. Tujuan akhirnya
adalah pembentukan meaning and identity bagi anak sendiri sebagai makhluk yang memiliki
kesadaran sosial dan kesadaran diri (Lapp, 1975). Program-program PIPS haruslah
dikembangkan berpusat pada diri siswa dan memberikan berbagai peluang bagi mereka untuk
menjadi partisipan aktif dan telibat dalam pembelajaran, serta membelajarkan anak tentang
keterampilan-keterampilan kewarganegaraan secara aktif dan bertanggung jawabbukan hanya
mendidik mereka untuk sekedar menerima peran-peran sebagai warga negara pasif (Cleaf,
1991:ix).
Hal ini penting agar mereka bisa mencapai tingkat pengertian yang sangat dibutuhkan
agar mereka bisa berfungsi secara efektif sebagai orang dewasa nanti yang mengharuskan
mereka mengembangkan karakter dasar kewarganegaraan agar bisa menjadi warganegara
efektif dan bertanggung jawab sebagai atribut mendasar bagi kelangsungan sebuah masyarakat
demokrasi dan sesuai dengan apa yang diharapkan oleh PIPS.
Pembelajaran IPS akan dimulai dengan pengenalan diri (self), kemudian keluarga, tetangga,
lingkungan RT, RW, kelurahan/desa, kecamatan, kota/kabupaten, propinsi, negara, negara
tetangga, kemudian dunia. Anak bukanlah sehelai kertas putih yang menunggu untuk ditulisi,
atau replika orang dewasa dalam format kecil yang dapat dimanipulasi sebagai tenaga buruh
yang murah, melainkan, anak adalah entitas yang unik, yang memiliki berbagai potensi yang
masih latent dan memerlukan proses serta sentuhan-sentuhan tertentu dalam
perkembangannya. Mereka yang memulai dari egosentrisme dirinya kemudian belajar, akan
menjadi berkembang dengan kesadaran akan ruang dan waktu yang semakin meluas, dan
mencoba serta berusaha melakukan aktivitas yang berbentuk intervensi dalam dunianya. Maka
dari itu, pendidikan IPS adalah salah satu upaya yang akan membawa kesadaran terhadap
ruang, waktu, dan lingkungan sekitar bagi anak (Farris and Cooper, 1994 : 46).
Pendidikan IPS disajikan dalam bentuk synthetic science, karena basis dari disiplin ini
terletak pada fenomena yang telah diobservasi di dunia nyata. Konsep, generalisasi, dan
temuan-temuan penelitian dari synthetic science ditentukan setelah fakta terjadi atau
diobservasi, dan tidak sebelumnya, walaupun diungkapkan secara filosofis. Para peneliti
menggunakan logika, analisis, dan keterampilan (skills) lainnya untuk melakukan inkuiri
terhadap fenomena secara sistematik. Agar diterima, hasil temuan dan prosedur inkuiri harus
diakui secara publik (Welton and Mallan, 1988 : 66-67). Hal ini dikemukakan oleh Jhon
Dewey, (dalam Numan, S, dkk, 1997: 23) mengungkapkan bahwa: Masalah yang utama
dalam pengajaran sosial ialah bagaimana menemukan bahwa pelajaran yang dapat
memberikan dorongan siswa untuk melakukan kegiatan-kegiatan yag cocok dengan waktu,
kebutuhan serta cita-cita peserta didik, karenanya guru seyogyanya berusaha mencari dan
merumuskan stimuli-stimuli yang mampu membina respon murid ke arah terciptanya
kecakapan intelektual dan pertumbuhan rasa yang dikehendaki. Untuk itu program pengajaran
harus mampu menyajikan masalah lingkungan kehidupan anak.
Kalau kita perhatikan, banyak sekali sumber daya potensial yang berada di sekolah
yang dapat kita jadikan sebagai sumber belajar. Di sekitar sekolah kita terdapat masjid, toko,
pasar, kolam, tempat rekreasi, kebun, pabrik, grup seni, dan lain-lainnya. Secara fungsional itu
semua dapat dimanfaatkan untuk kepentingan dalam proses belajar mengajar siswa. Secara
umum, proses belajar mengajar dengan mengaplikasikan lingkungan alam sekitar adalah upaya
pengembangan kurikulum dengan mengikutsertakan segala fasilitas yang ada di lingkungan
alam sekitar sebagai sumber belajar. (Lily Barlia. 2002 : 2).
Penggunaan lingkungan sebagai sumber belajar, akan memberikan pengetahuan nyata
bagi siswa, juga dimaksudkan untuk menghindari verbalisme, sebab menurut Piaget, anak usia
SD pada umumnya yaitu pada taraf anak belajar mengenal sesuatu melalui benda yang nyata
terlihat di lingkungan sekitarnya.
Pemanfaatan lingkungan sebagai sumber belajar dapat mempermudah siswa
menyerap bahan pelajaran, lebih mengenal kondisi lingkungannya, menerapkan pengetahuan
dan keterampilan yang dipelajarinya, serta akrab dengan lingkungannya.
Dalam hal ini Lily Barlia (2002: 1) menyatakan bahwa: Kebiasaan untuk
memanfaatkan fasilitas yang tersedia di lingkungan sekitar dalam proses belajar mengajar
merupakan wujud proses belajar mengajar dengan pendekatan ekologi.
Salah satu tantangan mendasar dalam pengajaran IPS saat ini adalah bagaimana mecari
strategi pembelajaran yang inovatif yang memungkinkan meningkatnya mutu proses
pembelajaran. Perkembangan dan kemajuan IPTEK membuka kemungkinan siswa tidak hanya
belajar di dalam kelas akan tetapi peserta didik dapat belajar di luar kelas. Dengan belajar di
luar kelas peserta didik akan lebih leluasa menemukan ide-ide yang diperoleh dari informasi
berbagai sumber, melatih siswa utuk memecahkan suatu masalah yang ada di masyarakat.
Maka dengan demikian siswa bisa secara kritis dan kreatif serta dapat melakukan aktivitas
dalam belajar.
JJ. Rouseau, (dalam Lily, B 2002: 3) menyatakan bahwa: Anak-anak sebaiknya
belajar langsung dari pengalamannya sendiri, dari pada hanya mengandalkan perolehan
informasi dari buku-buku, guru pertamaku adalah kakiku, tanganku dan mataku, karena
dengan inderaku itu mengajariku berpikir.
Hubungan timbal balik antara isi bahan pengajaran dengan fakta, konsep dan
generalisasi. Isi bahan pengajaran memberi makna kepada fakta, konsep dan generalisasi, isi
bahan pengajaran akan lebih mudah dipahami dan lama diingat jika berfokus kepada gagasan
kunci, seperti konsep dan generalisasi. Dalam perkembangan IPS dewasa ini diakui bahwa
kekuatan pengajaran IPS itu terletak di dalam kemampuannya untuk mengungkapkan sesuatu
yang terintegrasi, menantang dan aktiv. Artinya materi IPS harus berlandaskan nilai,
mengungkapkan fakta, dan materi secara keseluruhan yang esensial, terpadu (sebagaimana
aspek-aspek dalam kehidupan manusia dan melibatkan segenap potensi aktif siswa). Dengan
demikian, IPS berkontribusi kepada pengembangan keterampilan siswa (intelektual, personal,
dan sosial) adalah tanggung jawab guru sebagai pengembang kurikulum untuk mengolah
materi IPS ini agar memenuhi harapan seperti dikemukakan di atas.

3.2 Social skills, communicative skills, dan citizenship education.


Keterampilan Sosial (Social Skills) dalam NCSS (1984:249) adalah
a) Keterampilan dalam memperoleh informasi, (keterampilan membaca, keterampilan belajar,
mencari informasi, dan keterampilan dalam menggunakan alat-alat teknologi),
b) Keterampilan yang berkaitan dengan hubungan sosial serta partisipasi dalam masyarakat
(keterampilan diri yang sesuai dengan kemampuan dan bakat, bekerja sama, berpartisipasi
dalam masyarakat).

Keterampilan sosial yang perlu dimiliki oleh peserta didik (Marsh Colin dalam Nana
Supriatna (2002:15) adalah: keterampilan memperoleh informasi, berkomunikasi,
pengendalian diri, bekerja sama, menggunakan angka, memecahkan masalah, serta
keterampilan dalam membuat keputusan.

Keterampilan berkomunikasi (communicative skills)


adalah Kemampuan untuk menyampaikan informasi dari komunikator kepada
komunikan dengan menggunakan media dan cara penyampaian informasi yang dipahami oleh
kedua pihak, serta saling memiliki kesamaan arti lewat trasnsmisi pesan secara simbolik.
(Marpaung, 2001:5). Di dalam komunikasi hal ini diperlukan karena manusia memiliki naluri
untuk berinteraksi, berhubungan dan bergaul dengan sesamanya sejak dilahirkan sampai
sepanjang hidupunya. Interaksi dapat semakin bertambah sejalan dengna semakin meluasnya
pergaulan dan seiring dengan bertambahnya usia.
Mengkomunikasikan pokok pikiran maupun hasil temuan dalan PIPS dapat dilakukan
secara langsung secara lisan dan dapat pula melalui pemanfaatan media melalui latihan yang
rutin (Hasan, 1996:230). Seseorang akan dikatakan berhasil dalam komunikasi jika dapat
memperhatikan dua hal berikut:
1. Kemauan dan keberanian untuk mengemukakan hasil.
2. Kemampuan untuk mengemukakan hasil
Suatu kenyataan yang harus disadari oleh guru-guru IPS melihat kenyataan budaya yang
berlaku di Indonesia bahwa guru selalu benar, orang tua harus dihormati dan tidak boleh
bersilang pendapat dengan orang yang lebih tua.

Dalam konteks pemikiran PIPS sebagai Pendidikan Kewarganegaraan (citizenship


education) dalam Sunal (1991:290) berargumentasi bahwa di rumah, anak belajar menjadi
warga masyarakatnya. Tatkala dia masuk sekolah mereka sudah siap mengembangkan
pengertiannya tentang peran-peran sosial di rumahnya, berhubung dengan teman-temannya,
dan sebagai warga masyarakatnya. Rumah memberikan pengaruh pertama dalam
pembentukan pengertian anak tentang peran-peran yang saling berkaitan, keragaman di dalam
intensitas dan arti pentingnya sesuai dengan usia anak .... pengaruh rumah sangat kuat .... di
rumah anak belajar bagaimana mencapai sesuatu ; berhubungan dengan orang lain ;
berinisiatif dan mengukuhkan hubungan-hubungan sosialnya ; berhubungan dengan yang lain
dari anggota keluarga mereka secara rasial, ekonomi, atau budaya ; hidup sebagai pribadi
bermoral ; ..... ini menegaskan bahwa para pendidik PIPS memahami dan menyadari betapa
kuat dan berlanjutnya pengaruh keluarga, saudara-saudara mereka, serta lingkungan rumah,
dalam menciptakan konsepsi anak mengenai peran-peran dirinya sebagai seorang warga
negara.
Pendidikan ilmu-ilmu sosial perlu mengembangkan aspek sikap, nilai, dan moral,
dasarnya adalah tidak ada disiplin ilmu yang bekerja dalam suasana value and moral
free (Nagel, 1961 ; Hasan, 1977 ; Lincoln dan Guba, 1985 ; Trigg, 1991). Bahwa selama ilmu itu
dikembangkan, maka tidak mungkin ilmu bebas dari orang yang mengembangkannya. Sebagai
manusia selalu terikat nilaidanmoral yangberlaku di masyarakat. selain itu kedudukan ilmu-
ilmu sosial sebagai wahana untuk menarik perhatian generasi muda sehing ga bagaimana
mereka tertarik belajar ilmu sosial. Khususnya berhubungan dengan kedudukan ilmu-ilmu
sosial sebagai wahan pendidikan, ia memiliki tugas mengembangkan kepribadian siswa yang
utuh dan sesuai dengan tuntutan masyarakat. Yang pada akhirnya sikap, nilai, danmoral dapat
dikembangkan pendidikan ilmu-ilmu sosial adalah (Hasan, 1996:114-116):
1. Pengetahuan dan pemahaman tentang nilai dan moral yang berlaku dalam
masyarakat seperti religius, penghormatan terhadap keteladanan, prestasi, sifat
kepedulian sosial, menghormati orang tua, kepedulian terhadap tetangga, dan
sebagainya.
2. Toleransi.
3. Kerja sama / gotong royong.
4. Hak azasi manusia

3.3 Jenis Kecakapan Hidup


Kecakapan hidup dapat dikategorikan menjadi dua yaitu kecakapan dasar dan
kecakapan instrumental/fungsional Kecakapan dasar adalah ekcakapan yang bersifat universal
dan merupakan fondasi/pilar bagi peserta didik untuk bisa mengembangkan kecakapan hidup
yang bersifat instrumental/fungsional. Sedang kecakapan hidup yang bersifat instrumental
adalah ekcakapan hidup yang bersifat kondisional dan dapat berubah-ubah sesuai dengan
derap perubahan waktu, situasi, dan harus diperbarui secara terus menerus sesuai dengan
perubahan . Mengingat perubahan kehidupan berlangsung secara terus menerus, maka
kecakapan yang mutakhir, adaptif dan antisiaptif. Oleh karena itu prinsip belajar sekali tidak
perlu belajar algi, sudah tidak relevan.
Slamet (http://pelangi.dit-plp.go.id/artikelmbs.htm) mengidentifikasi kategori dimensi hidup
bersifat dasar dan instrumental yang dirinci sebagai berikut:
a. kecakapan dasar
a. Kecakapan belajar terus menerus
b. Kecakapan membaca, menulis, dan mendengar
c. Kecakapan berkomunikasi secara lisan, tertulis, tergambar.
d. Kecakapan berfikir induktif, deduktif, ilmiah, nalar, kritis, kreatif, literal, eksploratif,
diskoveri, dan berpikir sistem.
e. Kecakapan kalbu: spiritual, emosional, rasa, moral, dsb.
f. Kecakapan mengelola kesehatan badan
g. Kecakapan merumuskan kepentingan dan upaya-upaya yang diperlukan untuk memenuhinya,
dan
h. Kecakapan berkeluarga dan bersosial.
b. Kecakapan Instrumental/Fungsional
1) Kecakapan menggunakan dan memanfaatkan teknologi dalam kehidupan
2) Kecakapan mengelola sumber daya manusia dan sumber daya selebihnya, (peralatan,
perlengkapan, bahan, dsb)
3) Kecakapan bekerjasama dnegan orang lain
4) Kecakapan memanfaatkan informasi
5) Kecakapan menggunakan sistem dalam kehidupan
6) Kecakapan berwirausaha
7) Kecakapan keterampilan kejuruan, termasuk olah raga dan seni (cita rasa).
8) Kecakapan memilih, menyiapkan, dan mengembangkan karir
9) Kecakapan menjaga harmoni dengan lingkungan (fisik dan nirpisik)
10) Kecakapan menyatukan bangsa berdasarkan nilai-nilai Pancasila
3.4 Model Pengembangan
Berdasarkan hasil kajian terhadap dapat dideskripsikan beberapa hal yang berkaitan
dengan life skills Kurikulum Hongkong sebagai berikut:
Terdapat sebelas tema yang berkaitan dengan lifeskills kurikulum Hongkong , yaitu:
1. Ikhtisar Perubahan Kurikulum Refleksi Kekuatan dan menjadi siap untuk tindakan
2. Seluruh perencanaan kurikulum sekolah Menuju keberhasilan mencapai tujuan belajar dan
target jangka pendek pengembangan kurikulum sekolah
3. Empat tugas pokok Menuju keberhasilan pembelajaran untuk belajar
4. Belajar dan Mengajar efektif Akting untuk mencapai
5. Kebijakan Sekolah atas penilaian Mengubah praktek penilaian.
6. Belajar Life-Wide Memperkaya pelajaran melalui pengalaman asli
7. Mutu sumber belajar dan mengajar dan pengembangan perpustakaan sekolah- membawa
pembelajaran efektif
8. Pekerjaan rumah penuh arti Memperkuat pelajaran, memperdalam pemahaman dan
membangun pengetahuan.
9. Hubungkan pada berbagai tingkatan pendidikan yang diterima di sekolahmendukung transisi
10. Pengembangan professional pengembangan dan pengembangan kurikulum berbasis sekolah,
menopang dan meningkatkan kapasitas untuk perubahan.
11. Kontribusi dari pesta yang berbeda Partnerships untuk pertumbuhan.

Ikhtisar Perubahan Kurikulum Refleksi Kekuatan dan menjadi siap untuk


tindakan,meliputi:
Kurikulum sekolah terdiri drai:
Tujuh tujuan belajar:
a. Tanggung jawab
b. identitas nasional
c. kebiasaan membaca
d. keterampilan bahasa
e. keterampilan belajar
f. pengetahuan luas
g. gaya hidup sehat.
Lima pengalaman belajar, meliputi:
a. Pendidikan Moral dan kewarganegaraan
b. Pengembangan intelektual
c. Pelayanan masyarakat
d. Pengembangan fisik dan estetik, dan
e. Karir berkaitan pengalaman
Delapan kunci area belajar, meliputi :
a. Pendidikan Fisik
b. Pendidikan Seni
c. Pendidikan Teknologi
d. Pendidikan Sains,
e. Pendidikan Personal, Sosial, dan Humanities
f. Pendidikan matematika
g. Pendidikan Bahasa Inggris, dan
h. Pendidikan bahasa Cina.
Tujuh tujuan belajar, 5 pengalaman belajar, dan 8 kunci area belajar semuanya dalam upaya
mengembangkan:
a. Generic skills, yaitu :
1) Keterampilan komunikasi
2) Keterampilan berpikir kritis dan kreatif,
3) Keterampilan kolaborasi
4) Teknologi informasi
5) Numeracy
6) Problem solving,
7) Manajemen diri, dan
8) Studi (belajar);
b. Nilai dan Sikap, yaitu:
1) Ketekunan
2) Respect terhadap orang lain
3) Tanggung jawab
4) Identitas nasional
5) Komitmen
2. Empat tugas kunci, meliputi:
a. Pendidikan Moral & Kewarganegaraan
b. Membaca untuk belajar,
c. Teknologi Informasi untuk belajar interaktif,
d. Belajar project.

Penguatan sekolah Hongkong, refleksi dan praktek, meliputi :


a. penguatan budaya dan masyarakat, meliputi: usaha belajar adalah usaha bersama dan nilai
dalam masyarakat, ekspektasi tinggi untuk mutu pendidikan, prioritas utama pendidikan, nilai
orang tua terhadap pendidikan sekolah, lebih banyak sumber masyarakat untuk pendidikan,
mengekspose beberapa stimulus eksternal dan ide.
b. Penguatan Departemen pendidikan, sekolah, dan guru, meliputi penguatan sekolah itu sendiri;
guru bekerja dengan rajin, guru sangat baik dalam membuat yang terbaik untuk pengajaran di
kelas, guru dengan rajin mengetahui dengan baik subjek kurikulum, masing-masing inovasi
kurikulum memperkenalkan di masa lalu telah menyajikan pengalaman bermanfaat untuk
perubahan untuk membangun, masyarakat peneliti pendidikan membuat langkah cepat dalam
output penelitian selama 10 tahun terakhir.
c. Penguatan siswa , meliputi: kemampuan akademik tinggi dan pengembangan seluruh
aspek,berkeinginan belajar dan mempunyai potensi luar biasa untuk belajar
d. Belajar dan Mengajar efektif Akting untuk mencapai, meliputi Prinsip untuk tindakan &
mengacu pada KLA spesifik, memperhatikan keanekaragaman siswa, menyediakan layanan
khasus untuk siswa yang kemampuannya di bawah rata-rata dan yang berbakat.
e. Kebijakan Sekolah atas penilaian Mengubah praktek penilaian, meliputi hubungkan dengan
prioritas golongan, selektif untuk menilai, model penilai beraneka ragam, umpan
balik kualitatif yang lebih banyak
f. Belajar Life-Wide Memperkaya pelajaran melalui pengalaman asli, meliputi Life-Wide belajar
dan 5 belajar pengalaman, emphases pada Langkah Kunci masing-masing,
memeprtimbangkan Kunci untuk perencanaan LWL, dna isu
g. Mutu sumber belajar dan mengajar dan pengembangan perpustakaan sekolah- membawa
pembelajaran efektif, meliputi seleksi buku teks, pengoperasian perpustakaan sekolah, peran
guru perpustakaan.
h. Pekerjaan rumah penuh arti Memperkuat pelajaran, memperdalam pemahaman dan
membangun pengetahuan, meliputi hubungan antara Pekerjaan Rumah, belajar mengajar dan
penilaian, PR efektif, frekuensi dan kuantitasnya, petunjuk dan umpan balik PR, kebijakan
sekolah, dan peran orang tua.
i. Hubungkan pada berbagai tingkatan pendidikan yang diterima di sekolahmendukung transisi,
meliputi peningkatan praktek kurikulum, dan pendekatan kooperatif dan komprehensif,
program acara menyeluruh, induksi sebelum istilah mulai, mata rantai kurikulum sesuai,
informasi komprehensif untuk siswa, pilihan subject sesuai dengan minat dan kemampuan
siswa.
j. Pengembangan professional pengembangan dan pengembangan kurikulum berbasis sekolah,
menopang dan meningkatkan kapasitas untuk perubahan. Hal ini meliputi pengetahuan guru:
untuk praktek, di dalam praktek, dan tentang praktek, auditing, rencana pengembangan staff
strategis, kursus yang ditetapkan;perbaiki, wktu persiapan pelajaran kolaboratif, penelitian
tindakan dan praktek reflektif.
k. Kontribusi dari pihak yang berbeda Partnerships untuk pertumbuhan, meliputi siswa, guru,
kepala sekolah, guru perpustakaan, orang tua, dan masyarakat.
l. Jika membandingkan core curriculum Canada, Life Skills kurikulum Hongkong dengan
Kurikulum Berbasis Kompetensi IPS, maka diperoleh persamaan, bahwa ketiganya
mengembangkan kompetensi tertentu yang harus dikuasai siswa, artinya menggunakan model
outcome-based curriculum.

Akan tetapi terdapat perbedaan dalam pengembangan struktur kurikulum, di Canada


disamping dikembangkan kompetensi untuk 7 mata pelajaran yang diajarkan di sekolah yaitu
bahasa, matematika, sains, pendidikan kesehatan, pendidikan seni dan pendidikan olah
raga, juga dikembangkan core curriculum atau common essential learnings (C.E.L.S) yang
perlu dikembangkan dan disatukan ke dalam tujuh bidang studi tersebut. Keenam common
essential learnings ini merupakan area yang saling berhubungan yang berisi pengetahuan,
ketrampilan, sikap, dan kemampuan dasar yang harus dimiliki siswa dalam kehidupan sehari-
hari, meliputi komunikasi (communication), kemampuan dalam matematika
(numeracy), berpikir kritis dan kreatif (critical and creative thinking), melek teknologi
(technology literacy), nilai dan keterampilan personal dan sosial (personal and social values
and skills), belajar mandiri (independent learning). Sehingga pada setiap mata pelajaran,
disamping mengembangkan kompetensi mata pelajarannya juga harus dipadukan dengan
pengembangan common essential learnings yang berguna bagi kehidupan siswa sehari-hari.
Dalam life skills kurikulum Hongkong, struktur kurikulum meliputi 8 mata pelajaran
yaitu :Pendidikan Fisik , Pendidikan Seni, Pendidikan Teknologi, Pendidikan Sains, Pendidikan
Personal, Sosial, dan Humanities, Pendidikan matematika, Pendidikan Bahasa Inggris, dan
Pendidikan bahasa Cina. Di dalam kedelapan mata pelajaran tersebut selain mengembangkan
tujuan masing-masing mata pelajaran, juga hendaknya mengusung tujuan belajar meliputi
tanggung jawab, identitas nasional, kebiasaan membaca, keterampilan bahasa, keterampilan
belajar, pengetahuan luas, dan gaya hidup sehat. Dan melalui lima pengalaman
belajar meliputi: Pendidikan Moral dan kewarganegaraan, Pengembangan intelektual,
Pelayanan masyarakat, Pengembangan fisik dan estetik, dan Karir berkaitan pengalaman.
Kesemua itu dalam upaya mengembangkan life skills peserta didik yang meliputi:
a. Generic skills, yaitu :
Keterampilan komunikasi
Keterampilan berpikir kritis dan kreatif,
Keterampilan kolaborasi
Teknologi informasi
Numeracy
Problem solving,
Manajemen diri, dan
Studi (belajar);
b. Nilai dan Sikap, yaitu:
Ketekunan
Respect terhadap orang lain
Tanggung jawab
Identitas nasional
Komitmen

Life skills tersebut merupakan keterampilan yang harus dikuasai oleh peserta didik
sebagai bekal bagi kelangsungan hidup. Dalam kurikulum berbasis kompetensi tidak secara
tegas dikembangkan common essential learnings seperti di Canada atau life skills kurikulum
Hongkong, tetapi menggunakan istilah lain yaitu standar kompetensi lintas kurikulum yang
sebenarnya hampir sama dengan common essensial learning Canada, Life Skills di Hongkong
merupakan kecakapan untuk hidup (lifeskills) dan belajar sepanjang hayat yang dibakukan dan
harus dicapai oleh peserta didik melalui pengalaman belajar.
Perbedaannya, dalam implementasi KBK di Indonesia, setiap mata pelajaran seolah-
olah membawa kompetensinya sendiri-sendiri terpisah dengan kompetensi mata pelajaran lain
dan juga terpisah dari tujuan mengembangkan kemampuan dasar yang penting bagi hidup
siswa sehari-hari. Misalnya dalam kurikulum IPS kurang dikembangkan kemampuan
dasar reading habits (kebiasaan membaca), keterampilan berpikir kritis dan kreatif, melek
teknologi. kemampuan numerik, dan motivasi belajar mandiri. Di samping itu IPS tidak
menerapkan pendekatan Science, Technology, and Society (sains, teknologi, dan masyarakat),
dimana dalam pembelajaran IPS seolah terjauh dari materi sains dan teknologi karena
dianggap bukan garapan IPS tetapi garapan IPA dan pelajaran TIK. Sebaliknya dalam mata
pelajaran lain, misalnya IPA terjauh dari upaya mengembangkan pengetahuan, sikap dan
keterampilan sosial. Sebenarnya kemampuan tersebut hendaknya dikembangkan oleh seluruh
mata pelajaran.
Akan tetapi, KBK di Indonesia memiliki kelebihan karena lebih menerapkan rancangan
kurikulum yang didasarkan pada konsep kompetensi secara luas yaitu bertujuan
mengembangkan kemampuan pendidikan meliputi : kecakapan, kebiasaan, keterampilan yang
diperlukan seseoramg dalam kehidupannya, baik sebagai pribadi, warga masyarakat, siswa dan
karyawan. Sehingga bertujuan menerapakan pedidikan sebagai Life Skill. Sehingga KBK
bertujuan tidak sekedar sebagai seperangat kemampuan semata namun menerapkan
kompetensi secara luas. Namun kelemahan KBK di indonesia ini adalah kurang feasible-nya
untuk penerapan di Indonesia dikarenakan : kultur dan adminisrasi kurikulum sebelumnya
yang belum diterapkan secara konsisten, kelemahan yang lain adalah tidak disiapkan secara
bertahap sehingga kesiapan guru dalam melakukan kreatifitas pernacangan kurilukulum belum
siap. Dikarenakan ketidaksiapan guru dalam menyusun kurikulum sehingga pada akhirnya
lebih untuk statis dan menggunakan content-content lama dalam pengajarannya. Sehingga ada
paradigma baru yang menyatakan bahwa KBK merupakan kurikulum lama, padahal ini semua
terjadi karena ketidakmengertian GURU dan implementasi yang terlalu prontal.
3.4 Hahikat dan tujuan pendidikan IPS
Hakikat IPS, adalah telaah tentang manusia dan dunianya. Manusia sebagai makhluk
sosial selalu hidup bersama dengan sesamanya. Dengan kemajuan teknologi pula sekarang ini
orang dapat berkomunikasi dengan cepat di manapun mereka berada melalui handphone dan
internet. Kemajuan Iptek menyebabkan cepatnya komunikasi antara orang yang satu dengan
lainnya, antara negara satu dengan negara lainnya. Dengan demikian maka arus informasi
akan semakin cepat pula mengalirnya. Oleh karena itu diyakini bahwa orang yang menguasai
informasi itulah yang akan menguasai dunia.
Suatu tempat atau ruang dipermukaan bumi, secara alamiah dicirikan oleh kondisi
alamnya yang meliputi iklim dan cuaca, sumber daya air, ketinggian dari permukaan laut, dan
sifat-sifat alamiah lainnya. Jadi bentuk muka bumi seperti daerah pantai, dataran rendah,
dataran tinggi, dan daerah pegunungan akan mempengaruhi terhadap pola kehidupan
penduduk yang menempatinya. Lebih jelasnya Anda dapat mencermati contoh berikut ini.
Corak kehidupan masyarakat di tepi pantai utara Jawa yang bentuknya landai dengan laut yang
tenang dan tidak begitu tinggi serta arus angin yang tidak begitu kencang, sangat
menguntungkan bagi masyarakat untuk mencari ikan. Hal ini disebabkan ikan banyak
berkumpul di kawasan laut yang dangkal yang masih tertembus sinar matahari. Oleh karena
itu mayoritas masyarakatnya bermata pencaharian sebagai nelayan. Hampir semua pelabuhan-
pelabuhan besar di pulau Jawa sebagian besar terletak di pantai utara Jawa.
Dataran rendah yang meliputi daerah pantai sampai ketinggian 700 meter di atas permukaan
laut merupakan kawasan yang cadangan airnya cukup, didukung oleh iklimnya yang cocok,
merupakan potensi alam yang cocokuntuk dikembangkan sebagai areal pertanian, misalnya
Karawang, Bekasi, Indramayu, Subang dan sebagainya. Dataran tinggi yang beriklim sejuk,
dengan cadangan air yang sudah semakin berkurang maka sistem pertanian yang
dikembangkan adalah pertanian lahan kering dan holtikultura seperti sayuran, buah-buahan,
da tanaman hias.
Lain dengan daerah pegunungan yang memiliki corak tersendiri. Karena sedikitnya persediaan
air tanah, mengakibatkan pemukiman penduduk terpusat di lembah-lembah atau mendekati
alur sungai. Hal ini dikarenakan mereka berusaha untuk mendapatkan sumber air yang relatif
mudah. Ladang yang mereka usahakan biasanya terletak di lembah pegunungan.
Aspek pengaturan dan kebijakan ini termasuk aspek politik
Marilah kita cermati kembali apa yang sudah kita pelajari di atas. Setelah kita pelajari ternyata
kehidupan itu banyak aspeknya, meliputi aspek-aspek:
1. hubungan sosial: semua hal yang berhubungan dengan interaksi manusia tentang proses, faktor-
faktor, perkembangan, dan permasalahannya dipelajari dalam ilmu sosiologi
2. ekonomi: berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan manusia, perkembangan, dan
permasalahannya dipelajari dalam ilmu ekonomi
3. psikologi: dibahas dalam ilmu psikologi
4. budaya: dipelajari dalam ilmu antropologi
5. sejarah: berhubungan dengan waktu dan perkembangan kehidupan manusia dipelajari dalam
ilmu sejarah
6. geografi: hubungan ruang dan tempat yang sangat berpengaruh terhadap kehidupan manusia
dipelajari dalam ilmu geografi
7. politik: berhubungan dengan norma, nilai, dan kepemimpinan untuk mencapai kesejahteraan
masyarakat dipelajari dalam ilmu politik

1. Tujuan Pendidikan IPS


Berdasarkan pada falsafah negara tersebut, maka telah dirumuskan tujuan pendidikan
nasional, yaitu: membentuk manusia pembangunan yang ber-Pancasila dan untuk membentuk
manusia yang sehat jasmani dan rokhaninya, memiliki pengetahuan dan keterampilan, dapat
mengembangkan kreativitas dan tanggung jawab, dapat menyuburkan sikap demokrasi dan
penuh tenggang rasa, dapat mengembangkan kecerdasan yang tinggi dan disertai budi pekerti
yang luhur, mencintai bangsanya, dan mencintai sesama manusia sesuai ketentuan yang
termaksud dalam UUD 1945.
Berkaitan dengan tujuan pendidikan di atas, kemudian apa tujuan dari pendidikan IPS
yang akan dicapai? Tentu saja tujuan harus dikaitkan dengan kebutuhan dan disesuaikan
dengan tantangan-tantangan kehidupan yang akan dihadapi anak. Berkaitaan dengan hal
tersebut, kurikulum 2004 untuk tingkat SD menyatakan bahwa, Pengetahuan Sosial (sebutan
IPS dalam kurikulum 2004), bertujuan untuk:
1. mengajarkan konsep-konsep dasar sosiologi, geografi, ekonomi, sejarah, dan kewarganegaraan,
pedagogis, dan psikologis.
2. mengembangkan kemampuan berpikir kritis dan kreatif, inkuiri, memecahkan masalah, dan
keterampilan sosial
3. membangun komitmen dan kesadaran terhadap nilai-nilai sosial dan kemanusiaan
4. meningkatkan kemampuan bekerja sama dan berkompetisi dalam masyarakat yang majemuk,
baik secara nasional maupun global.
Sejalan dengan tujuan tersebut tujuan pendidikan IPS menurut (Nursid Sumaatmadja.
2006) adalah membina anak didik menjadi warga negara yang baik, yang memiliki
pengetahuan, keterampilan, dan kepedulian social yang berguna bagi dirinya serta bagi
masyarakat dan negara Sedangkan secara rinci Oemar Hamalik merumuskan tujuan
pendidikan IPS berorientasi pada tingkah laku para siswa, yaitu : (1) pengetahuan dan
pemahaman, (2) sikap hidup belajar, (3) nilai-nilai sosial dan sikap, (4) keterampilan (Oemar
hamalik. 1992 : 40-41).
Untuk lebih jelasnya akan dibahas satu persatu.

2. Pengetahuan dan Pemahaman


Salah satu fungsi pengajaran IPS adalah mentransmisikan pengetahuan dan
pemahaman tentang masyarakat berupa fakta-fakta dan ide-ide kepada anak.
1) Sikap belajar
IPS juga bertujuan untuk mengembangkan sikap belajar yang baik. Artinya dengan belajar IPS
anak memiliki kemampuan menyelidiki (inkuiri) untuk menemukan ide-ide, konsep-konsep
baru sehingga mereka mampu melakukan perspektif untuk masa yang akan datang.
2) Nilai-nilai sosial dan sikap
Anak membutuhkan nilai-nilai untuk menafsirkan fenomena dunia sekitarnya, sehingga
mereka mampu melakukan perspektif. Nilai-nilai sosial merupakan unsur penting di dalam
pengajaran IPS. Berdasar nilai-nilai sosial yang berkembang dalam masyarakat, maka akan
berkembang pula sikap-sikap sosial anak. Faktor keluarga, masyarakat, dan pribadi/tingkah
laku guru sendiri besar pengaruhnya terhadapa perkembangan nilai-nilai dan sikap anak.
3) Keterampilan dasar IPS
Anak belajar menggunakan keterampilan dan alat-alat studi sosial, misalnya mencari
bukti dengan berpikir ilmiah, keterampilan mempelajari data masyarakat, mempertimbangkan
validitas dan relevansi data, mengklasifikasikan dan menafsirkan data-data sosial, dan
merumuskan kesimpulan.
4) Karakteristik Pendidikan IPS
Untuk membahas karakteristik IPS, dapat dilihat dari berbagai pandangan. Berikut
ini dikemukakan karakteristik IPS dilihat dari materi dan strategi penyampaiannya.

1. Materi IPS
Ada 5 macam sumber materi IPS antara lain:
a. Segala sesuatu atau apa saja yang ada dan terjadi di sekitar anak sejak dari keluarga, sekolah,
desa, kecamatan sampai lingkungan yang luas negara dan dunia dengan berbagai
permasalahannya.
b. Kegiatan manusia misalnya: mata pencaharian, pendidikan, keagamaan, produksi, komunikasi,
transportasi.
c. Lingkungan geografi dan budaya meliputi segala aspek geografi dan antropologi yang terdapat
sejak dari lingkungan anak yang terdekat sampai yang terjauh.
d. Kehidupan masa lampau, perkembangan kehidupan manusia, sejarah yang dimulai dari sejarah
lingkungan terdekat sampai yang terjauh, tentang tokoh-tokoh dan kejadian-kejadian yang
besar.
e. Anak sebagai sumber materi meliputi berbagai segi, dari makanan, pakaian, permainan,
keluarga.
2. Strategi Penyampaian Pengajaran IPS
Strategi penyampaian pengajaran IPS, sebagaian besar adalah didasarkan pada suatu
tradisi, yaitu materi disusun dalam urutan: anak (diri sendiri), keluarga, masyarakat/tetangga,
kota, region, negara, dan dunia. Tipe kurikulum seperti ini disebut The Wedining Horizon or
Expanding Enviroment Curriculum (Mukminan, 1996:5).
Sebutan Masa Sekolah Dasar, merupakan periode keserasian bersekolah, artinya
anak sudah matang untuk besekolah. Adapun kriteria keserasian bersekolah adalah sebagai
berikut.
1. Anak harus dapat bekerjasama dalam kelompok dengan teman-teman sebaya, tidak boleh
tergantung pada ibu, ayah atau anggota keluarga lain yang dikenalnya.
2. Anak memiliki kemampuan sineik-analitik, artinya dapat mengenal bagian-bagian dari
keseluruhannya, dan dapat menyatukan kembali bagian-bagian tersebut.
3. Secara jasmaniah anak sudah mencapai bentuk anak sekolah.
Menurut Preston (dalam Oemar Hamalik. 1992 : 42-44), anak mempunyai ciri-ciri
sebagai berikut :
1. Anak merespon (menaruh perhatian) terhadap bermacam-macam aspek dari dunia
sekitarnya.Anak secara spontan menaruh perhatian terhadap kejadian-kejadian-peristiwa,
benda-benda yang ada disekitarnya. Mereka memiliki minat yang laus dan tersebar di sekitar
lingkungnnya.
2. Anak adalah seorang penyelidik, anak memiliki dorongan untuk menyelidiki dan menemukan
sendiri hal-hal yang ingin mereka ketahui.
3. Anak ingin berbuat, ciri khas anak adalah selalu ingin berbuat sesuatu, mereka ingin aktif,
belajar, dan berbuat
4. Anak mempunyai minat yang kuat terhadap hal-hal yang kecil atau terperinci yang seringkali
kurang penting/bermakna
5. Anak kaya akan imaginasi, dorongan ini dapat dikembangkan dalam pengalaman-pengalaman
seni yang dilaksanakan dalam pembelajaran IPS sehingga dapat memahami orang-orang di
sekitarnya. Misalnya pula dapat dikembangkan dengan merumuskan hipotesis dan
memecahkan masalah.
Berkaitan dengan atmosfir di sekolah, ada sejumlah karakteristik yang dapat
diidentifikasi pada siswa SD berdasarkan kelas-kelas yang terdapat di SD.
1. Karakteristik pada Masa Kelas Rendah SD (Kelas 1,2, dan 3)
a. Ada hubungan kuat antara keadaan jasmani dan prestasi sekolah
b. Suka memuji diri sendiri
c. Apabila tidak dapat menyelesaikan sesuatu, hal itu dianggapnya tidak penting
d. Suka membandingkan dirinya dengan anak lain dalam hal yang menguntungkan dirinya
e. Suka meremehkan orang lain
2. Karakteristik pada Masa Kelas Tinggi SD (Kelas 4,5, dan 6).
a. Perhatianya tertuju pada kehidupan praktis sehari-hari
b. Ingin tahu, ingin belajar, dan realistis
c. Timbul minat pada pelajaran-pelajaran khusus
d. Anak memandang nilai sebagai ukuran yang tepat mengenai prestasi belajarnya di sekolah.
Menurut Jean Piagiet, usia siswa SD (7-12 tahun) ada pada stadium operasional konkrit.
Oleh karena itu guru harus mampu merancang pembelajaran yang dapat membangkitkan
siswa, misalnya penggalan waktu belajar tidak terlalu panjang, peristiwa belajar harus
bervariasi, dan yang tidak kalah pentingnya sajian harus dibuat menarik bagi siswa.
Berdasarkan pada apa yang menjadi focus pengajaran, sekurang-kurangnya dikenal tiga
pola desain kurikulum, (Sukmadinata,2004:113-124; Tilaar, 2003: 240-243) yaitu:
o Subject centered design, suatu desain kurikulum yang berpusat pada bahan ajar.
o Learner centered design, suatu desain kurikulum yang mengutamakan peranan siswa.
o Problem centered design, desain kurikulum yang berpusat pada masalah-masalah yang dihadapi
dalam masyarakat.
Berdasarkan uraian di atas, maka ide atau pemikiran kurikulum IPS yang harus
dikembangkan dalam era global adalah rekonstruksionisme sehingga tentunya proses
pembelajaran IPS yang dikendaki pun harus mengejawantahkan ide-ide
rekonstruksionisme. Di Indonesia sendiri dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi dan
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan IPS lebih cenderung ke arah rekonstruksionisme. Secara
tegas dinyatakan dalam kurikulum Pendidikan IPS dalam rambu-rambu pembelajaran, bahwa
pembelajaran Pendidikan IPS hendaknya merupakan pendekatan pembelajaran konstekstual,
yang dapat dilaksanakan diantaranya melalui metode inquiry, problem solving,
dan portfolio yang sebenarnya didengungkan pula oleh para global reformis dalam
pendidikan IPS.
Di Ohama dan Newyork sudah pendidikan lebih diarahkan kepada kemampuan siswa
tersebut sehingga siswa dapat lebih berfikir kritis dan kreatif dalam menjalankan pembelajaran
mereka.
Materi yang di dapat mayoritas sama antara negara yang satu dengan negara lainnya
hanya di Indonesia, pemberian materi hanya sekedar transfer ilmu saja sementara di Ohama
dan NewYork materi yang diajarkan lebih kepada arahan berfikir global bertindak lokal
sehingga pembahasan perekonomian di kedua negara tersebut dimulai dari perekonomian
negara sampai ke perekonomian dunia.
Di ketiga kurikulum di atas, dampak kurikulum ekonomi untuk generasi muda adalah
siswa diharapkan dapat mengetahui kebutuhan hidup mereka. Kita harus sadar dengan
kesulitan-kesulitan dan peluang yang datang yang dapat kita manfaatkan dengan
maksimal. Hanya saja di Indonesia, dilihat dari kompetensi yang dikembangkan, masih
sebatas pada wacana teori saja tidak pada prakteknya. Siswa tidak belajar untuk langsung
mengaplikasikan pada kehidupan sehari-hari, sehingga pada waktu ilmu tersebuta akan
dipakai, siswa merasa bingung karena teori yang di dapatkan tidak dapat diterapkan di
lapangan. Sementara itu, factor lingkungan pun lebih lengkap.
IPS merupakan bidang studi baru, karena dikenal sejak diberlakukan kurikulum
1975. Dikatakan baru karena cara pandangnya bersifat terpadu, artinya bahwa IPS merupakan
perpaduan dari sejumlah mata pelajaran sejarah, geografi, ekonomi, sosiologi, antropologi.
Adapun perpaduan ini disebabkan mata pelajaran-mata pelajaran tersebut mempunyai kajian
yang sama yaitu manusia.
Pendidikan IPS penting diberikan kepada siswa pada jenjang pendidikan dasar dan
menengah, karena siswa sebagai anggota masyarakat perlu mengenal masyarakat dan
lingkungannya. Untuk mengenal masyarakat siswa dapat beljar melalui media cetak, media
elektronika, maupun secara langsung melalui pengalaman hidupnya ditengah-tengah
msyarakat. Dengan pengajaran IPS, diharapkan siswa dapat memiliki sikap peka dan tanggap
untuk bertindak secara rasional dan bertanggungjawab dalam memecahkan masalah-masalah
sosial yang dihadapi dalam kehidupannya.
Latar belakang dimasukkannya bidang studi IPS ke dalam kurikulum sekolah di
Indonesia sangat berbeda dengan di Inggris dan Amerika Serikat. Pertumbuhan IPS di
Indonesia tidak terlepas dari situasi kacau, termasuk dalam bidang pendidikan, sebagai akibat
pemberontakan G30S/PKI, yang akhirnya dapat ditumpas oleh Pemerintahan Orde Baru.
Setelah keadaan tenang pemerintah melancarkan Rencana Pembangunan Lima Tahun
(Repelita). Pada masa Repelita I (1969-1974) Tim Peneliti Nasional di bidang pendidikan
menemukan lima masalah nasional dalam bidang pendidikan. Kelima masalah tersebut antara
lain:
1. Kuantitas, berkenaan dengan perluasan dan pemerataan kesempatan belajar.
2. Kualitas, menyangkut peningkatan mutu lulusan
3. Relevansi, berkaitan dengan kesesuaian sistem pendidikan dengan kebutuhan pembangunan.
4. Efektifitas sistem pendidikan dan efisiensi penggunaan sumber daya dan dana.
5. Pembinaan generasi muda dalam rangka menyiapkan tenaga produktif bagi kepentingan
pembangunan nasional.
Dalam berbagai literatur, kurikulum diartikan sebagai suatu dokumen atau rencana
tertulis mengenai kualitas pendidikan yang harus dimiliki oleh peserta didik melalui suatu
pengalaman belajar. Pengertian ini mengandung arti bahwa kurikulum harus tertuang dalam
satu atau beberapa dokumen atau rencana tertulis, yang berisikan pernyataan mengenai
kualitas yang harus dimiliki seorang peserta didik yang mengikuti kurikulum tersebut. Kualitas
pendidikan di atas mengandung arti bahwa kurikulum sebagai dokumen merencanakan
kualitas hasil belajar yang harus dimiliki peserta didik, kualitas bahan/konten pendidikan yang
harus dipelajari peserta didik, kualitas proses pendidikan yang harus dialami peserta didik .

Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial ( IPS ) dapat memberikan kontribusi yang cukup
besar dalam mengatasi masalah sosial, sebab pendidikan IPS memiliki fungsi dan peran dalam
meningkatkan Sumber Daya Insani untuk memperoleh bekal pengetahuan tentang harkat dan
martabat manusia sebagai mahluk sosial, keterampilan menerapkan pengetahuan tersebut dan
mampu bersikap berdasarkan nilai dan norma sehingga mampu hidup bermasyarakat.
Kondisi real yang dihasilkan oleh pembelajaran IPS , dalam hal ini yang
diselenggarakan secara formal di persekolahan, sering kali dianggap belum sesuai dengan yang
diharapkan, bahkan beberapa temuan penelitian dan pengamatan para ahli pendidikan
memperkuat kesimpulan bahwa pendidikan IPS di Indonesia belum maksimal karena
perwujudan nilai-nilai sosial yang dikembangkan dalam pembelajaran IPS masih belum begitu
nampak aplikasinya dalam kehidupan sehari-hari siswa. Keterampilan sosial para siswa lulusan
masih memprihatinkan, terbukti dengan partisipasi siswa dalam berbagai kegiatan
kemasyarakatan semakin menyusut (Syaodih, 2008:2).
Berkaca dari hasil penelitian tersebut, perlulah kiranya dicari penyebab yang
melatarbelakangi mengapa pembelajaran IPS belum mengarah pada tujuan sebenarnya.
Beberapa diantaranya dapat berpangkal pada kurikulum, rancangan, pelaksana, pelaksanaan
ataupun faktor-faktor pendukung pembelajaran lainnya. (Soemantri, 1998), Sumaatmadja
(1996) dalam Syaodih (2008:4).
Ada juga yang menyoroti latar belakang tak tercapainya tujuan pembelajaran IPS di
persekolahan di Indonesia adalah faktor Sistem Pembelajarannya. Lim (2008:1) berpendapat,
sistem pembelajaran IPS di Indonesia jauh ketinggalan dibandingkan dengan negara-negara
lain, misalnya di Jepang. Di Negara Matahari Terbit itu, pembelajaran IPS yang diberikan
kepada siswa diberikan melalui hasil survei lapangan terlebih dahulu, sehingga sesuai dengan
permasalahan dan aktual yang terjadi di masyarakat. Apa yang terjadi di Indonesia ? IPS masih
sebatas pengetahuan, bahkan sifatnya historical murni, yang kadang tak jelas relevansinya
dengan apa yang dihadapi atau dibutuhkan oleh peserta didik. Permasalahan yang diajarkan
adalah permasalahan standard yang ada di buku teks pelajaran, tidak dicoba dikaitkan dengan
permasalahan yang memiliki tingkat urgensi dan relevansi yang tinggi bagi siswa.
Mata pelajaran IPS masih dipandang siswa sebagai pelajaran yang membosankan dan
dirasa kurang relevan dengan kehidupan mereka seperti yang ditulis dari hasil penelitian Stahl
(2008:3) bahwa: studies classes are dull, boring, and irrelevant to their lives. If the
curriculum in social studies is to continue to have support from school administrators,
politicians, and the general public, it is desirable to have positive student attitudes towards the
subject matter. For it is quite possible that negative attitudes toward social studies could
ultimately result in a sharp decline in the allocation of resources for this subject area
Faktor lainnya ditengarai muncul dari fasilitator, yaitu guru IPS itu sendiri. Hasil
penelitian Nursid Sumaatmadja (Soesetyo, 2004;2) diperoleh data sebanyak 60% guru IPS di
Indonesia memiliki background pendidikan di luar pendidikan IPS. Haladyna and Shaughnessy
dalam Stahl (2008:8) mengindikasi bahwa guru dan lingkungan pembelajaran memegang
peranan yang kuat dalam membentuk sikap siswa terhadap IPS. Guru dapat menciptakan
lingkungan belajar yang positif dalam kelas. Iklim kelas dan sikap siswa dapat diubah melalui
intervensi guru dalam membangun image terhadap social studies, oleh karena itu
pembelajaran IPS perlu diupayakan dengan memperhatikan prinsip-prinsip pembelajaran IPS
yang bermakna. Prinsip pembelajaran IPS (social studies) dalam jurnal NCSS pada sebuah
penelitian berjudul A Vision of Powerful Teaching and Learning in the Social Studies: Building
Social Understanding and Civic Efficacy yang ditulis oleh Stahl (2008:2), bahwa ada beberapa
prinsip yang harus dipedomani dalam pembelajaran IPS sehingga pembelajaran IPS
memberikan hasil yang maksimal, yaitu:
1. Pembelajaran IPS yang baik jika bermakna (Social studies teaching and learning are powerful
when they are meaningful). Siswa belajar menghubungkan pengetahuan, keyakinan dan sikap
yang manfaatnya mereka peroleh baik di dalam kelas maupun di luar kelas. Pembelajaran
lebih ditekankan pada pengembangan ide-ide yang penting dalam memahami,
mengapresiasikan dan menerapkannya dalam kehidupan. Kebermaknaan dari isi materi
diarahkan pada bagaimana menyajikannya pada siswa dan bagaimana mengembangkannya
melalui serangkaian kegiatan. Sedangkan interkasi dalam kelas difokuskan pada pencapaian
kompetensi yang penting. Aktivitas pembelajaran yang bermakna dan strategi penilaian
difokuskan pada perhatian siswa terhadap ide-ide penting dari yang mereka pelajari. Dengan
demikian guru merefleksi perencanaan, pelaksanaan dan penilaian pembelajaran dengan
mudah
2. Pembelajaran IPS yang baik adalah pembelajaran yang terintegrasi (Social studies teaching and
learning are powerful when they are integrative) Pembelajaran IPS dalam penyampaian topik
dilakukan melalui upaya mengintegrasikan dalam hal: a) lintas ruang dan waktu, b)
pengetahuan, keterampilan, keyakinan, nilai dan sikap untuk dilaksanakan, c) teknologi secara
efektif, d) melalui lintas kurikulum
3. Pembelajaran IPS yang baik adalah pembelajaran yang berbasis nilai (Social studies teaching and
learning are powerful when they are value-based). Kekuatan pembelajaran IPS dengan
mempertimbangkan berbagai dimensi atau topik-topik maupun isu-isu yang kontroversi,
pengembangan dan penerapan nilai-nilai sosial. Pembelajaran IPS membentuk siswa menjadi:
a) peka terhadap implementasi kebijakan sosial yang potensial serta keputusan berdasarkan
nilai, b) sadar akan nilai-nilai, kompleksitas dan dilemma isu-isu, c) mempertimbang kan biaya
dan keuntungan dari berbagai tindakan, d) mengembangkan rasional yang baik terhadap nilai-
nilai sosial demokratis dan politik. Dengan demikian kekuatan pembelajaran sosial studies
mendorong pengenalan pandangan yang berbeda, sensitivitas terhadap persamaan dan
perbedaan budaya dan komitmen terhadap tanggung jawab sosial.
4. Pembelajaran IPS yang baik adalah pembelajaran yang menantang (Social studies teaching and
learning are powerful when they are challenging). Siswa diharapkan mencapai tujuan
pembelajaran secara individu dan kelompok melalui aktivitas berfikir siswa yang menantang.
5. Pembelajaran IPS yang baik adalah pembelajaran yang aktif (Social studies teaching and
learning are powerful when they are active). Pembelajaran IPS yang aktif mengharapkan
adanya kemampuan berfikir reflektif dan membua keputusan (decision making) selama
pembelajaran. Siswa mengembangkan pemahaman baru melalui sebuah proses pembelajaran
aktif dengan mengkonstruk pengetahuan sosial yang penting. Guru mengawali kegiatan
dengan memberikan bimbingan melalui modeling, penjelasan, untuk membangun
pengetahuan siswa menjadi independent dan menjadi pembelajar yang memiliki kebijakan
sendiri. Pembelajaran IPS ini menekankan pada kegiatan otentik yang diperuntukkan pada
penerapan kehidupan nyata dengan menggunakan keterampilan dan konteks materi di
bidangnya.

Ringkasnya, pembelajaran IPS di persekolahan perlu diupayakan secara optimal dengan


memperhatikan prinsip-prinsip pembelajaran IPS sebagai berikut :
Social studies teaching and learning are powerful when they are : 1)meaningful, 2) integrative,
3) value-based, 4) challenging, and 5) active. (Stahl, 2008:2)

Tujuan utama Ilmu Pengetahuan Sosial


ialah untuk mengembangkan potensi peserta didik agar peka terhadap masalah sosial
yang terjadi di masyarakat, memiliki sikap mental positif terhadap perbaikan segala
ketimpangan yang terjadi, dan terampil mengatasi setiap masalah yang terjadi sehari-hari baik
yang menimpa dirinya sendiri maupun yang menimpa masyarakat. Tujuan tersebut dapat
dicapai manakala program-program pelajaran IPS di sekolah diorganisasikan secara baik.

Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) disebut juga sebagai synthetic science, karena
konsep, generalisasi, dan temuan-temuan penelitian ditentukan atau diobservasi setelah fakta
terjadi (Welton dan Mallan, 1988 : 66-67).

Hingga saat ini, Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) hanyalah sebuah program pendidikan
dan bukan sub-disiplin ilmu tersendiri, sehingga tidak akan ditemukan baik dalam nomenklatur
filsafat ilmu, disiplin ilmu-ilmu sosial (social sciences), maupun ilmu pendidikan (Somantri,
2001 : 89).

Social Science Education Council (SSEC) dan National Council for Social Studies (NCSS)
menyebut IPS sebagai "Social Science Education" dan "Social Studies". Pada tahun 1992, NCSS
telah mendefinisikan IPS sebagai berikut :

Social studies is the integrated study of the social sciences and humanities to promote civic
competence. Within the school program, social studies provides coordinated, systematic study
drawing upon such disciplines as anthropology, archaeology, economics, geography, history,
law, philosophy, political science, psychology, religion, and sociology, as well as appropriate
content from the humanities, mathematics, and natural sciences. The primary purpose of social
studies is to help young people develop the ability to make informed and reasoned decisions
for the public good as citizens of a culturally diverse, democratic society in an interdependent
world . (Stahl dan Hartoonian, 2003)

Sementara itu berdasarkan hasil rumusan Forum Komunikasi II HISPIPSI di Yogyakarta


(1991) dan menurut versi FPIPS dan Jurusan Pendidikan IPS, dapat diformulasikan pengertian
IPS sebagai berikut :
Pendidikan IPS adalah penyederhanaan adaptasi, seleksi, dan modifikasi dari disiplin
akademis ilmu-ilmu sosial yang diorganisasikan dan disajikan secara ilmiah dan pedagogis-
psikologis untuk tujuan institusional pendidikan dasar dan menengah dalam kerangka
mewujudkan tujuan pendidikan nasional yang berdasarkan Pancasila Pendidikan IPS adalah
seleksi dari struktur disiplin akademik ilmu-ilmu sosial yang diorganisasikan dan disajikan secara
ilmiah dan psikologis untuk mewujudkan tujuan pendidikan dalam kerangka pencapaian
tujuan pendidikan nasional yang berdasarkan Pancasila Somantri,(2001:103).

Menurut Depdikbud (1994), IPS yang diajarkan di jenjang pendidikan menengah


didasarkan pada bahan kajian pokok Geografi, Ekonomi, Sosiologi, Antropologi, Tata Negara,
dan Sejarah
Undang-Undang No. 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 35,
menyatakan bahwa : "Setiap satuan pendidikan jalur pendidikan sekolah, baik yang
diselenggarakan oleh pemerintah maupun masyarakat harus menyediakan sumber belajar" .
Pendidikan tidak mungkin dapat terselenggara dengan baik bilamana para tenaga
kependidikan maupun para peserta didik tidak didukung oleh sumber belajar yang diperlukan
untuk penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar yang bersangkutan.

Tujuan Pembelajaran IPS di Persekolahan


Menurut Schnuncke (1988) tujuan IPS didasarkan atas tiga karakteristik, yaitu :
manusia mampu berpengetahuan, manusia mampu mengatur kehidupannya, dan manusia
mampu memelihara nilai-nilai. Atas dasar ketiga karakteristik tersebut tujuan pengembangan
mencakup tujuan : pengetahuan (knowing), proses (doing), dan afektif (caring). Tiga tujuan
IPS, yaitu meliputi aspek : (1) pengertian (understanding) yang berkenaan dengan pemberian
latar pengetahuan dan informasi tentang dunia dan kehidupan, (2) Sikap dan Nilai (attitudes
and values), dimensi rasa (feeling) yang berkenaan dengan pemberian bekal mengenai
dasar-dasar etika masyarakat yang nantinya menjadi orientasi nilai dalam kehidupan dirinya,
(3) Keterampilan (skills), khususnya yang berkenaan dengan kemampuan dan keterampilan
IPS, yaitu meliputi keterampilan sosial, keterampilan belajar dan kebiasaan kerja, keterampilan
kelompok, dan intelektual.

Muhammad Numan Somantri (Somantri,2001:259) mengemukakan setidaknya


terdapat 4 pendapat mengenai tujuan pengajaran IPS di sekolah ;
a. Pendapat pertama, tujuan pengajaran IPS di sekolah ialah untuk mendidik para siswa menjadi
ahli ekonomi, politik, hukum, sosiologi, dan pengetahuan sosial lainnya. Golongan yang
diwakili oleh Charles Keller dan Barelson (Massialas & Smith,1965:13) ini lebih menyetujui
pembelajaran IPS di persekolahan disebut dengan istilah social sciences daripada istilah
social studies
b. Pendapat kedua, berpendapat bahwa tujuan pengajaran IPS di persekolahan ialah untuk
menumbuhkan warga negara yang baik. Pengajaran di sekolah harus merupakan : a unified
coordinated holistic study of men living in societies(Hanna, 1962:63).
c. Pendapat ketiga, merupakan kompromi dari pendapat pertama dan pendapat kedua. Tujuan
program pengajaran IPS merupakan simplifikasi dan distilasi dari berbagai ilmu-ilmu sosial
untuk kepentingan pendidikan (Wesley,1964:3)
d. Pendapat keempat, berpendapat bahwa pengajaran IPS di sekolah dimaksudkan untuk
mempelajari bahan pengajaran yang sifatnya tertutup (closed area). Maksudnya ialah bahwa
dengan mempelajari bahan pelajaran yang tabu untuk dibicarakan, para siswa akan
memperoleh kesempatan untuk memecahkan konflik intrapersonal maupun antar-personal.
Muhammad Numan Somantri sendiri merumuskan bahwa tujuan Pendidikan IPS pada
tingkat sekolah adalah :
1.Menekankan tumbuhnya nilai kewarganegaraan , moral, ideologi negara dan agama.
2.Menekankan pada isi dan metode berfikir ilmuwan
3.Menekankan reflective inquiry

Media Pendidikan dan Sumber Pembelajaran IPS


Association for Educational Communications and Technology (AECT, 1977)
menyatakan bahwa sumber pembelajaran adalah segala sesuatu atau daya yang dapat
dimanfaatkan oleh guru, baik secara terpisah maupun dalam bentuk gabungan, untuk
kepentingan belajar mengajar dengan tujuan meningkatkan efektivitas dan efisiensi tujuan
pembelajaran.

Sumber pembelajaran dapat dikelompokan menjadi dua bagian, yaitu :


1. Sumber pembelajaran yang sengaja direncanakan (learning resources by design), Sumber
pembelajaran kategori ini memang telah disiapkan dan didesain untuk digunakan dalam
pembelajaran yang akan dilaksanakan.
2. Sumber pembelajaran yang karena dimanfaatkan (learning resources by utilization), yakni
sumber belajar yang tidak secara khusus didisain untuk keperluan pembelajaran namun dapat
ditemukan, diaplikasikan, dan dimanfaatkan untuk keperluan belajar.

Sumber pembelajaran yang dapat digunakan dalam kegiatan pembelajaran IPS di


persekolahan adalah dengan mengoptimalkan media pendidikan. Media pendidikan adalah
alat, metode dan teknik yang digunakan dalam rangka lebih mengefektifkan komunikasi dan
interaksi antara guru dan siswa dalam proses pembelajarannya(Hamalik,1985:23).

Sebagai sumber pembelajaran IPS, media pendidikan diperlukan untuk membantu guru dalam
menumbuhkan pemahaman siswa terhadap materi pelajaran IPS. Diversifikasi aplikasi media
atau multi media, sangat direkomendasikan dalam proses pembelajaran IPS, misalnya melalui :
pengalaman langsung siswa di lingkungan masyarakat; dramatisasi; pameran dan kumpulan
benda-benda; televisi dan film; radio recording; gambar; foto dalam berbagai ukuran yang
sesuai bagi pembelajaran IPS; grafik, bagan, chart, skema, peta; majalah, surat kabar, buletin,
folder, pamflet dan karikatur; perpustakaan, learning resources, laboratorium IPS; serta
ceramah, tanya jawab, cerita lisan, dan sejenisnya (Rumampuk, 1988 : 23-27; Mulyono, 1980
: 10-12).
Dari sisi kurikulum, Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar IPS menggunakan tiga dimensi
dalam mengkaji dan memahami fenomena sosial serta kehidupan manusia secara holistik.
Ketiga dimensi tersebut terlihat pada tabel berikut.

Tabel 1. Dimensi IPS Dalam Kehidupan Manusia

Dimensi Ruang Waktu Nilai/Norma


Area dan substansi pembelajaran Alam sebagai tempat dan penyedia potensi sumber
daya Alam dan kehidupan yang selalu berproses, masa lalu, saat ini, dan yang akan datang
Kaidah atau aturan yang menjadi perekat dan penjamin keharmonisan kehidupan manusia dan
alam
Contoh Kompetensi Dasar yang dikembangkan Adaptasi spasial dan eksploratif
Berpikir kronologis, prospektif, antisipatif Konsisten dengan aturan yang disepakati dan kaidah
alamiah masing-masing disiplin ilmu
Tujuan utama Ilmu Pengetahuan Sosial ialah untuk mengembangkan potensi peserta
didik agar peka terhadap masalah sosial yang terjadi di masyarakat, memiliki sikap mental
positif terhadap perbaikan segala ketimpangan yang terjadi, dan terampil mengatasi setiap
masalah yang terjadi sehari-hari baik yang menimpa dirinya sendiri maupun yang menimpa
masyarakat. Tujuan tersebut dapat dicapai manakala program-program pelajaran IPS di
sekolah diorganisasikan secara baik. Dari rumusan tujuan tersebut dapat dirinci sebagai berikut
(Awan Mutakin, 1998).
1. Memiliki kesadaran dan kepedulian terhadap masyarakat atau lingkungannya, melalui
pemahaman terhadap nilai-nilai sejarah dan kebudayaan masyarakat.
2. Mengetahui dan memahami konsep dasar dan mampu menggunakan metode yang diadaptasi
dari ilmu-ilmu sosial yang kemudian dapat digunakan untuk memecahkan masalah-masalah
sosial.
3. Mampu menggunakan model-model dan proses berpikir serta membuat keputusan untuk
menyelesaikan isu dan masalah yang berkembang di masyarakat.
4. Menaruh perhatian terhadap isu-isu dan masalah-masalah sosial, serta mampu membuat analisis
yang kritis, selanjutnya mampu mengambil tindakan yang tepat.
5. Mampu mengembangkan berbagai potensi sehingga mampu membangun diri sendiri agar
survive yang kemudian bertanggung jawab membangun masyarakat.

Muhammad Numan Somantri sendiri merumuskan bahwa tujuan Pendidikan IPS pada
tingkat sekolah adalah :
1. Menekankan tumbuhnya nilai kewarganegaraan , moral, ideologi negara dan
agama.
2. Menekankan pada isi dan metode berfikir ilmuwan
3. Menekankan reflective inquiry
Point (a), (e) dan (f) dari SKL Mata Pelajaran IPS cenderung berkesesuaian dengan point (1)
menurut Numan Somantri yaitu menekankan tumbuhnya nilai kewarganegaraa, moral,
ideologi negara dan agama. Point (b), (c) erat keselarasannya dengan point (2) menekankan
pada dan metode berfikir ilmuwan. Point (d) menekankan reflective inquiry yang Berpikir
logis dan kritis, rasa ingin tahu, memecahkan masalah, dan keterampilan dalam kehidupan
sosial ekonomi.

Dapat kita nilai bahwa tujuan pembelajaran IPS memiliki arah yang serupa dengan
teori-teori mengenai tujuan pembelajaran IPS di persekolahan. Implementasi kurikulum
pembelajaran IPS. Kurikulum Pendidikan IPS harus memuat bahan pelajaran yang sesuai
dengan tujuan institusional dan tujuan pendidikan nasional. Di dalamnya hendaknya berisikan
bahan yang memungkinkan siswa untuk berfikir kritis.

Sebagai implikasi dari maksud dan tujuannya , maka kurikulum Pendidikan IPS hendaknya
berisikan garis-garis besar struktur disiplin ilmu dan model perilaku manusia yang tumbuh
dalam masyarakat, sehingga isi kurikulumnya akan terdiri atas :
1. Model inquiry, masing-masing disipliln ilmu yang terdiri atas pertanyaan-pertanyaan pokok
dan metode research setiap disipliln ilmu-ilmu sosial, psikologi dan agama.
2. Batang tubuh pengetahuan (body of knowledge) yang terdiri atas beberapa konsep. Konsep-
konsep psikologi, filsafat dan agama akan sangat berguna untuk menghidupkan dan
memperkuat kurikulum PIPS.
3. Generalisasi, dari konsep-konsep dalam butir 2 tersebut, hendaknya meningkat kesukarannya
dalam bentuk generalisasi.
Martorella (1994) menekankan 9 kategori yang harus dimasukan dalam kurikulum IPS
pendidikan dasar , yakni ; expressing, producing, transform, communicating, educating,
recreating, protecting, governing, dan creating. Di Amerika kurikulum PIPS untuk pendidikan
dasar dan menengah telah memasukan beberapa permasalahan yang sederhana mulai dari
rumah, komunitas, hingga negara dan dunia. Pendidikan IPS bukan sekedar bertujuan
membuat siswa berperilaku atau menjadi warga negara yang baik, tetapi sekaligus menjadi
warga negara yang mampu menyelesaikan berbagai permasalahan yang ada, sesuai dengan
tingkatannya.
Kurikulum yang diterapkan di SMK Sangkuriang 1 Cimahi pada Tahun Pelajaran
2009/2010 adalah Kurikulum yang berbasis pada Kurikulum 2006 atau yang biasa disebut
dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan ( KTSP ) dengan mengambil bentuk dalam
Spektrum terbaru yang mulai diadopsi pada Tahun Pelajaran 2008/2009. Sebagian dari
Standard Kompetensi dan Kompetensi Dasar (SKKD) yang diterapkan, dengan fokus terhadap
mata pelajaran IPS, adalah sebagai berikut :

Standard Kompetensi Kompetensi Dasar


1. Memahami kehidupan sosial manusia
2. Mengidentifikasi interaksi sebagai proses sosial
3. Mendeskripsikan sosialisasi sebagai proses pembentukan kepribadian
4. Mengidentifikasi bentuk-bentuk interaksi sosial
5. Memahami proses kebangkitan nasional
6. Menjelaskan proses perkembangan kolonialisme dan imperialisme Barat, serta pengaruh
7. ditimbulkannya di berbagai daerah
8. Menguraikan proses terbentuknya kesadaran nasional, identitas Indonesia, dan perkembangan
pergerakan kebangsaan Indonesia
9. Memahami permasalahan ekonomi dalam kaitannya dengan kebutuhan manusia, kelangkaan
dan sistem ekonomi 3. 1 Mengidentifikasi kebutuhan manusia
10. Mendeskripsikan berbagai sumber ekonomi yang langka dan kebutuhan manusia yang tidak
terbatas
Mengidentifikasi masalah pokok ekonomi, yaitu tentang apa, bagaimana, dan untuk siapa
barang dan jasa diproduksi
11. Memahami konsep ekonomi dalam kaitannya dengan kegiatan ekonomi konsumen dan
produsen termasuk permintaan, penawaran, keseimbangan harga, dan pasar
12. Mendeskripsikan berbagai kegiatan ekonomi dan pelaku-pelakunya
13. Membedakan prinsip ekonomi dan motif ekonomi
14. Mendeskripsikan peran konsumen dan produsen
15. Mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan dan penawaran
16. Menjelaskan hukum permintaan dan hukum penawaran serta asumsi yang mendasarinya
17. Mendeskripsikan pengertian keseimbangan dan harga
18. Mendeskripsikan berbagai bentuk pasar, barang dan jasa
19. Memahami struktur sosial serta berbagai faktor penyebab konflik dan mobilitas sosial
20. Mendeskripsikan bentuk-bentuk struktur sosial dalam fenomena kehidupan
21. Menganalisis faktor penyebab konflik sosial dalam masyarakat
22. Mendeskripsikan kelompok sosial dalam masyarakat multikultural
23. Mendeskripsikan berbagai kelompok sosial dalam masyarakat multikultural
24. Mendeskripsikan perkembangan kelompok sosial dalam masyarakat multikultural
25. Mendeskripsikan keanekaragaman kelompok sosial dalam masyarakat multikultural
26. Memahami kesamaan dan keberagaman budaya
27. Mengidentifikasi berbagai budaya lokal, pengaruh budaya asing, dan hubungan antarbudaya
28. Mendeskripsikan potensi keberagaman budaya yang ada di masyarakat setempat dalam
29. kaitannya dengan budaya nasional
30. Mengidentifikasi berbagai alternatif penyelesaian masalah akibat adanya keberagaman budaya
31. Menunjukkan sikap toleransi dan empati sosial terhadap keberagaman budaya

Menurut Young (Lybarger,1991) Kelompok kepentingan tersebut adalah (1) sejarawan


dan ilmuwan sosial (1920an); (2) Rekonstruksi sosial dan penentangnya (1030-an-1950an); (3)
Pengembang program dan para guru (1960 awal 1970an) dan (4) tradisionalis dan
kelompok yang menyarankan perlunya kurikulum PIPS yang lebih relevan tetapi lebih tersebar
(1980an).
Mitos tersebut adalah: (1) masih berkutat pada studi tentang nama, fakta, data mati
dari berbagai kisah manusiadari setiap masyarakat; (2) menjemukan, membosankan; (3) tidak
praktis; (4) begitu sarat materi; (5) kurang menyentuh realitas kehidupan masyarakat
setempat; (6) sangat bersifat memorizing terhadap isi buku teks belaka; (7) sangat teoritis
tetapi tidak paham praktek; (8) hanya menyajikan berbagai informasi, sementara siswa tidak
satupun memahaminya; (9) kurang membelajarkan keterampilan berfikir; (10) cenderung
untuk mengindoktrinasi nilai-nilai dari guru sendiri daripada hidden curriculum yang ada
pada diri siswa yang sebenarnya juga sarat nilai.
Melanjutkan ke bidang ilmu-ilmu sosial kurang bergengsi, merendahkan diri dan tidak
menjanjikan masa depan yang cerah. Bidang ilmu-ilmu sosial dipandang sebagi keranjang
penampungan bagi siswa yang gagal di bidang ilmu-ilmu alam dan teknologi. PIPS dianggap
kurang memberikan basis bagi siswa untuk berefleksi kritis dalam memecahkan persoalan yang
dihadapi masyarakat yang sesungguhnya lebih diminati oleh banyak siswa, daripada hanya
menghafal setumpuk pengetahuan. (Hasan, 1996; Subianto dan Pelly dalam Al-Muchtar,
1991:7; Kneedler, dalam Fouts, 1990:418)

DAFTAR PUSTAKA

Asmawi, Z. dan Nasution, N. (1994). Penilaian Hasil Belajar. Jakarta: Dirjen Dikti Depdikbud.
Buchari Alma, 2007, Apa dan Bagaimana Studi Sosial Diajarkan, Makalah pada Seminar Revitalisasi
Ilmu Pengetahuan Sosial dalam Perspektif Global, 21 Novwmbwr 2007, Bandung: Program
Studi PIPS Sekolah Pascasarjana UPI
Carin, A.A. & Sund, R.B. (1989). Teaching Science Through Discovery. Columbus: Merrill Publishing
Company.
Cavendish, S. et al. (1990). Observing Activities: Assessing Science in the Primary Class-
room.London: Paul Chapman Publishing Ltd.
Course Standards for Omaha Public Schools Required 10th Grade Semester Course in Economics
(OPS), http://ecedweb.unomaha.edu/standards/OPSstandards10.cfm
Collins,A, 1992. Potofolio for Science Education: Issues in Purpose, Structure, and Authenticity.
Science Eduducation. 76(4): 451-463.
Departemen Pendidikan Nasional. (2003). Kurikulum 2004 : Kompetensi Standar Mata Pelajaran
Sains. Jakarta: DepdiknasRepublik Indonesia.
Dipdiknas, 2006, Panduan Pengembangan Silabus Mata Pelajaran IPS SMP/Mts, Jakarta: Direktorat
Pembinaan SMP.
Departemen Pendidikan Nasional. (2002). Pedoman Pengembangan Silabus.
Jakarta:DepdiknasRepublik Indonesia.
Doran, R. et al., 1998. Science Educators Guide to Assesment. Virginia: NSTA
Depdiknas. 2001. Buku 1 Manajemen Peningkatan Mutu Pendidikan Berbasis Sekolah .
Jakarta: Depdiknas.

Anda mungkin juga menyukai