Referat DVT
Referat DVT
PENDAHULUAN
Trombosis adalah terjadinya bekuan darah di dalam sistem kardiovaskuler termasuk arteri,
vena, ruangan jantung dan mikrosirkulasi. Menurut Robert Virchow, terjadinya trombosis adalah
sebagai akibat kelainan dari pembuluh darah, aliran darah dan komponen pembekuan darah
(Virchow triat).
Kematian terjadi sebagai akibat lepasnya trombus vena, membentuk emboli yang dapat
menimbulkan kematian mendadak apabila sumbatan terjadi pada arteri di dalam paru-paru
(emboli paru). Insidens trombosis vena di masyarakat sangat sukar diteliti, sehingga tidak ada
dilaporkan secara pasti. Banyak laporan-laporan hanya mengemukakan data-data penderita yang
di rawat di rumah sakit dengan berbagai diagnosis.
Di Amerika Serikat, dilaporkan 2 juta kasus trombosis vena dalam yang di rawat di rumah
sakit dan di perkirakan pada 600.000 kasus terjadi emboli paru dan 60.000 kasus meninggal
karena proses penyumbatan pembuluh darah.
Pada kasus-kasus yang mengalami trombosis vena perlu pengawasan dan pengobatan yang
tepat terhadap trombosisnya dan melaksanakan pencegahan terhadap meluasnya trombosis dan
terbentuknya emboli di daerah lain, yang dapat menimbulkan kematian.
DVT merupakan kelainan kardiovaskular tersering nomor tiga setelah penyakit koroner
arteri dan stroke (Patterson, 2011). DVT terjadi pada kurang lebih 0,1% orang/tahun. Insidennya
meningkat 30 kali lipat dibanding dekade yang lalu. Insiden tahunan DVT di Eropa dan Amerika
Serikat kurang lebih 50/100.000 populasi/tahun (JCS Guidelines, 2011). Faktor resiko DVT
antara lain faktor demografi/lingkungan (usia tua, imobilitas yang lama), kelainan patologi
(trauma, hiperkoagulabilitas kongenital, antiphospholipid syndrome, vena varikosa ekstremitas
bawah, obesitas, riwayat tromboemboli vena, keganasan), kehamilan, tindakan bedah, obat-
obatan (kontrasepsi hormonal, kortikosteroid) (JCS Guidelines, 2011; Goldhaber, 2010; Sousou,
2009; Bailey, 2009). Meskipun DVT umumnya timbul karena adanya faktor resiko tertentu,
DVT juga dapat timbul tanpa etiologi yang jelas (idiopathic DVT) (Bates, 2004; Hirsh, 2002).
Untuk meminimalkan resiko fatal terjadinya emboli paru diagnosis dan panatalaksanaan yang
tepat sangat diperlukan. Kematian dan kecacatan dapat terjadi sebagai akibat kesalahan diagnosa,
kesalahan terapi dan perdarahan karena penggunaan antikoagulan yang tidak tepat, oleh karena
1
itu penegakan diagnosa dan penatalaksanaan yang tepat sangat diperlukan (Bates, 2004; Hirsh,
2002).
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
DEFINISI
Deep vein thrombosis (DVT) merupakan pembentukan bekuan darah pada lumen vena dalam
(deep vein) yang diikuti oleh reaksi inflamasi dinding pembuluh darah dan jaringan perivena
(Wakefield, 2008). DVT disebabkan oleh disfungsi endotel pembuluh darah, hiperkoagulabilitas
dan gangguan aliran darah vena (stasis) yang dikenal dengan trias virchow (JCS Guidelines,
2011; Bailey, 2009; Hirsh, 2002).
PATOGENESIS
Faktor yang sangat berperan terhadap timbulnya suatu trombosis vena adalah statis aliran darah
dan hiperkoagulasi.
1. Statis Vena
Aliran darah pada vena cendrung lambat, bahkan dapat terjadi statis terutama pada daerah-
daerah yang mengalami immobilisasi dalam waktu yang cukup lama.
Statis vena merupakan predisposisi untuk terjadinya trombosis lokal karena dapat
menimbulkan gangguan mekanisme pembersih terhadap aktifitas faktor pembekuan darah
sehingga memudahkan terbentuknya trombin.
3
2. Kerusakan pembuluh darah
Kerusakan pembuluh darah dapat berperan pada pembentukan trombosis vena, melalui :
a. Trauma langsung yang mengakibatkan faktor pembekuan.
b. Aktifitasi sel endotel oleh cytokines yang dilepaskan sebagai akibat kerusakan jaringan
dan proses peradangan.
Permukaan vena yang menghadap ke lumen dilapisi oleh sel endotel. Endotel yang utuh
bersifat non-trombo genetik karena sel endotel menghasilkan beberapa substansi seperti
prostaglandin (PG12), proteoglikan, aktifator plasminogen dan trombo-modulin, yang dapat
mencegah terbentuknya trombin.
Apabila endotel mengalami kerusakan, maka jaringan sub endotel akan terpapar. Keadaan ini
akan menyebabkan sistem pembekuan darah di aktifkan dan trombosir akan melekat pada
jaringan sub endotel terutama serat kolagen, membran basalis dan mikro-fibril. Trombosit
yang melekat ini akan melepaskan adenosin difosfat dan tromboksan A2 yang akan
merangsang trombosit lain yang masih beredar untuk berubah bentuk dan saling melekat.
Kerusakan sel endotel sendiri juga akan mengaktifkan sistem pembekuan darah.
4
FAKTOR RESIKO
Faktor utama yang berperan terhadap terjadinya trombosis vena adalah status aliran darah dan
meningkatnya aktifitas pembekuan darah.
Faktor kerusakan dinding pembuluh darah adalah relatif berkurang berperan terhadap timbulnya
trombosis vena dibandingkan trombosis arteri. Sehingga setiap keadaan yang menimbulkan statis
aliran darah dan meningkatkan aktifitas pembekuan darah dapat menimbulkan trombosis vena.
2. Tindakan operatif
Faktor resiko yang potensial terhadap timbulnya trombosis vena adalah operasi dalam
bidang ortopedi dan trauma pada bagian panggul dan tungkai bawah.
Pada operasi di daerah panggul, 54% penderita mengalami trombosis vena, sedangkan
pada operasi di daerah abdomen terjadinya trombosis vena sekitar 10%-14%.
Beberapa faktor yang mempermudah timbulnya trombosis vena pada tindakan operatif,
adalah sebagai berikut :
a. Terlepasnya plasminogen jaringan ke dalam sirkulasi darah karena trauma pada
waktu di operasi.
b. Statis aliran darah karena immobilisasi selama periode preperatif, operatif dan
post operatif.
c. Menurunnya aktifitas fibrinolitik, terutama 24 jam pertama sesudah operasi.
d. Operasi di daerah tungkai menimbulkan kerusakan vena secara langsung di
daerah tersebut.
5
3. Kehamilan dan persalinan
Selama trimester ketiga kehamilan terjadi penurunan aktifitas fibrinolitik, statis vena
karena bendungan dan peningkatan faktor pembekuan VII, VIII dan IX.
Pada permulaan proses persalinan terjadi pelepasan plasenta yang menimbulkan lepasnya
plasminogen jaringan ke dalam sirkulasi darah, sehingga terjadi peningkatkan koagulasi
darah.
6
8. Proses keganasan
Pada jaringan yang berdegenerasi maligna di temukan tissue thrombo plastin-like
activity dan factor X activiting yang mengakibatkan aktifitas koagulasi meningkat.
Proses keganasan juga menimbulkan menurunnya aktifitas fibriolitik dan infiltrasi ke
dinding vena. Keadaan ini memudahkan terjadinya trombosis. Tindakan operasi terhadap
penderita tumor ganas menimbulkan keadaan trombosis 2-3 kali lipat dibandingkan
penderita biasa.
MANIFESTASI KLINIK
Trombosis vena terutama mengenai vena-vena di daerah tungkai antara lain vena tungkai
superfisialis, vena dalam di daerah betis atau lebih proksimal seperti v poplitea, v femoralis dan
viliaca. Sedangkan vena-vena di bagian tubuh yang lain relatif jarang di kenai.
Trombosis v superfisialis pada tungkai, biasanya terjadi varikositis dan gejala klinisnya ringan
dan bisa sembuh sendiri. Kadang-kadang trombosis v tungkai superfisialis ini menyebar ke vena
dalam dan dapat menimbulkan emboli paru yang tidak jarng menimbulkan kematian.
Manifestasi klinik trombosis vena dalam tidak selalu jelas, kelainan yang timbul tidak selalu
dapat diramalkan secara tepat lokasi / tempat terjadinya trombosis.
Trombosis di daerah betis mempunyai gejala klinis yang ringan karena trombosis yang terbentuk
umumnya kecil dan tidak menimbulkan komplikasi yang hebat.
Sebagian besar trombosis di daerah betis adalah asimtomatis, akan tetapi dapat menjadi serius
apabila trombus tersebut meluas atau menyebar ke lebih proksimal.
Trombosis vena dalam akan mempunyai keluhan dan gejala apabila menimbulkan :
- bendungan aliran vena.
- peradangan dinding vena dan jaringan perivaskuler.
- emboli pada sirkulasi pulmoner.
7
Keluhan dan gejala trombosis vena dalam dapat berupa :
1. Nyeri
Intensitas nyeri tidak tergantung kepada besar dan luas trombosis. Trombosis vena di daerah
betis menimbulkan nyeri di daerah tersebut dan bisa menjalar ke bagian medial dan anterior
paha.
Keluhan nyeri sangat bervariasi dan tidak spesifik, bisa terasa nyeri atau kaku dan
intensitasnya mulai dari yang enteng sampai hebat. Nyeri akan berkurang kalau penderita
istirahat di tempat tidur, terutama posisi tungkai ditinggikan.
2. Pembengkakan
Timbulnya edema dapat disebabkan oleh sumbatan vena di bagian proksimal dan peradangan
jaringan perivaskuler.
Apabila pembengkakan ditimbulkan oleh sumbatan maka lokasi bengkak adalah di bawah
sumbatan dan tidak nyeri, sedangkan apabila disebabkan oleh peradangan perivaskuler maka
bengkak timbul pada daerah trombosis dan biasanya di sertai nyeri. Pembengkakan
bertambah kalau penderita berjalan dan akan berkurang kalau istirahat di tempat tidur dengan
posisi kaki agak ditinggikan.
4. Sindroma post-trombosis.
Penyebab terjadinya sindroma ini adalah peningkatan tekanan vena sebagai konsekuensi dari
adanya sumbatan dan rekanalisasi dari vena besar. Keadaan ini mengakibatkan meningkatnya
tekanan pada dinding vena dalam di daerah betis sehingga terjadi imkompeten katup vena
dan perforasi vena dalam.
8
Semua keadaan di atas akan mengkibatkan aliran darah vena dalam akan membalik ke daerah
superfisilalis apabila otot berkontraksi, sehingga terjadi edema, kerusakan jaringan subkutan,
pada keadaan berat bisa terjadi ulkus pada daerah vena yang di kenai.
Manifestasi klinis sindroma post-trombotik yang lain adalah nyeri pada daerah betis yang
timbul/bertambah waktu penderitanya beraktivitas (venous claudicatio), nyeri berkurang
waktu istirahat dan posisi kaki ditinggikan, timbul pigmentasi dan indurasi pada sekitar lutut
dan kaki sepertiga bawah.
DIAGNOSIS
Diagnosis trombosis vena dalam berdasarkan gejala klinis saja kurang sensitif dan kurang
spesifik karena banyak kasus trombosis vena yang besar tidak menimbulkan penyumbatan dan
peradangan jaringan perivaskuler sehingga tidak menimbulkan keluhan dan gejala.
Ada 3 jenis pemeriksaan yang akurat, yang dapat menegakkan diagnosis trombosis vena dalam,
yaitu:
1. Venografi
Sampai saat ini venografi masih merupakan pemeriksaan standar untuk trombosis vena.
Akan tetapi teknik pemeriksaanya relatif sulit, mahal dan bisa menimbulkan nyeri dan
terbentuk trombosis baru sehingga tidak menyenangkan penderitanya.
Prinsip pemeriksaan ini adalah menyuntikkan zat kontras ke dalam di daerah dorsum pedis
dan akan kelihatan gambaran sistem vena di betis, paha, inguinal sampai ke proksimal ke v
iliaca.
2. Flestimografi impendans
Prinsip pemeriksaan ini adalah mengobservasi perubahan volume darah pada tungkai.
Pemeriksaan ini lebih sensitif pada tombosis vena femoralis dan iliaca dibandingkan vena di
betis.
9
3. Ultra sonografi (USG) Doppler
Pada akhir abad ini, penggunaan USG berkembang dengan pesat, sehingga adanya
trombosis vena dapat di deteksi dengan USG, terutama USG Doppler.
Pemeriksaan ini memberikan hasil sensivity 60,6% dan spesifity 93,9%.
Metode ini dilakukan terutama pada kasus-kasus trombosis vena yang berulang, yang sukar
di deteksi dengan cara objektif lain.
DVT dibagi menjadi 2 tipe yaitu tipe sentral (iliac DVT dan femoral DVT) dan tipe
perifer (DVT pada vena poplitea dan daerah distal). Berdasarkan gejala dan tanda klinis serta
derajat keparahan drainase vena DVT dibagi menjadi DVT akut dan kronis. Diagnosis DVT
ditegakkan berdasarkan anamnesis, gejala dan tanda yang ditemukan pada pemeriksaan fisik
serta ditemukannya faktor resiko (Bates, 2004). Tanda dan gejala DVT antara lain edema, nyeri
dan perubahan warna kulit (phlegmasia alba dolens/milk leg, phlegmasia cerulea dolens/blue
leg) (JCS Guidelines, 2011). Skor dari Wells (tabel 1) dapat digunakan untuk stratifikasi (clinical
probability) menjadi kelompok resiko ringan, sedang atau tinggi (JCS Guidelines, 2011; Hirsh,
2002).
10
Pasien dengan DVT dapat memiliki gejala dan tanda yang minimal dan tidak khas
karenanya pemeriksaan tambahan seringkali diperlukan untuk menegakkan diagnosa (Hirsh,
2002). Pemeriksaan D-dimer <0,5 mg/ml dapat menyingkirkan diagnosis DVT. Nilai prediktif
negatif pemeriksaan D-dimer pada DVT lebih dari 95%, pemeriksaan ini bersifat sensitif tapi
tidak spesifik, sehingga tidak dapat dipakai sebagai tes tunggal untuk diagnosis DVT (Adam,
2009; Wolberg, 2009). Angiografi (venografi atau flebografi) merupakan pemeriksaan baku yang
paling bermakna (gold standard), namun pemeriksaan non invasive ultrasound (USG Doppler)
dapat menggantikan peran angiografi pada kondisi tertentu. USG Doppler memberikan
sensitivitas 95% dan spesifisitas 96% untuk mendiagnosa DVT yang simptomatis dan terletak
pada bagian proksimal akan tetapi pada isolated calf vein thrombosis sensitivitasnya hanya 60%
dan spesifisitasnya kurang lebih 70% (JCS Guidelines, 2011; Righini, 2007; Hirsh, 2002: Ramzi,
2004). Jika dengan metode pemeriksaan USG doppler dan D-dimer diagnosis DVT belum dapat
ditegakkan maka magnetic resonance venography (MRV) harus dilakukan (JCS Guidelines,
2011). Algoritme diagnosis DVT dapat dilihat sebagai berikut :
11
PENATALAKSANAAN
Pengobatan trombosis vena diberikan pada kasus-kasus yang diagnosisnya sudah pasti dengan
menggunakan pemeriksaan yang objektif, oleh karena obat-obatan yang diberikan mempunyai
efek samping yang kadang-kadang serius.
Berbeda dengan trombosis arteri, trombosis vena dalam adalah suatu keadaan yang jarang
menimbulkan kematian.
12
Penyesuaian dosis untuk mencapai target dilakukan pada hari ke 1 tiap 6 jam, hari ke 2 tiap 2
- 4 jam. Hal ini di lakukan karena biasanya pada 6 jam pertama hanya 38% yang mencapai
nilai target dan sesudah dari ke 1 baru 84%.
Heparin dapat diberikan 710 hari yang kemudian dilanjutkan dengan pemberian heparin
dosis rendah yaitu 5000 iu/subkutan, 2 kali sehari atau pemberian anti koagulan oral, selama
minimal 3 bulan.
Pemberian anti koagulan oral harus diberikan 48 jam sebelum rencana penghentian heparin
karena anti koagulan orang efektif sesudah 48 jam.
13
Mingguan : kurang 5 150 dari dosis total mingguan
Kembali : 2 minggu
4,0 5,0 hari 1: tidak dapat obat
mingguan : kurang 10%-20% TDM
kembali : 1 minggu
> 50 :
Stop pemberian warfarin.
Pantau sampai INR : 3,0
Mulai dengan dosis kurangi 20%-50%.
kembali tiap hari.
Lama pemberian anti koagulan oral adalah 6 minggu sampai 3 bulan apabila trombosis vena
dalam timbul disebabkan oleh faktor resiko yang reversible. Sedangkan kalau trombosis vena
adalah idiopatik di anjurkan pemberian anti koagulan oral selama 3-6 bulan, bahkan biasa lebih
lama lagi apabila ditemukan abnormal inherited mileculer.
Kontra indikasi pemberian anti koagulan adalah :
1. Hipertensi : sistilik > 200 mmHg, diastolik > 120 mmHg.
2. Perdarahan yang baru di otak.
3. Alkoholisme.
4. Lesi perdarahan traktus digestif.
Pemberian trombolitik selama 12-14 jam dan kemudian di ikuti dengan heparin, akan
memberikan hasil lebih baik bila dibandingkan dengan hanya pemberian heparin tunggal.
Peranan terapi trombolitik berkembang dengan pesat pada akhir abad ini, terutama sesudah
dipasarkannya streptiknase, urokinase dan tissue plasminogen activator (TPA).
TPA bekerja secara selektif pada tempat yang ada plasminon dan fibrin, sehingga efek samping
perdarahan relatif kurang. Brenner menganjurkn pemberian TPA dengan dosis 4
ugr/kgBB/menit, secara intra vena selama 4 jam dan Streptokinase diberikan 1,5 x 106 unit intra
vena kontiniu selama 60 menit. Kedua jenis trombolitik ini memberikan hasil yang cukup
memuaskan. Efek samping utama pemberian heparin dan obat-obatan trombolitik adalah
perdarahan dan akan bersifat fatal kalau terjadi perdarahan serebral. Untuk mencegah terjadinya
14
efek samping perdarahan, maka diperlukan monitor yang ketat terhadap waktu trombo plastin
parsial dan waktu protombin, jangan melebihi 2,5 kali nilai kontrol.
Nyeri dan pembengkakan biasanya akan berkurang sesudah 24 48 jam serangan trombosis.
Apabila nyeri sangat hebat atau timbul flagmasia alba dolens di anjurkan tindakan
embolektomi.
Pada keadaan biasa, tindakan pembedahan pengangkatan thrombus atau emboli, biasanya
tidak di anjurkan.
15
Tujuan terapi jangka pendek DVT adalah mencegah pembentukan trombus yang makin luas dan
emboli paru. Tujuan jangka panjangnya adalah mencegah kekambuhan dan terjadinya sindrom
post trombotik. Kombinasi heparin dan antikoagulan oral merupakan terapi inisial dan drug of
choice DVT (Key, 2010; Scarvelis , 2006; Ramzi, 2004; Bates, 2004).
16
Tabel-2. Dosis heparin berdasarkan berat badan dan APTT
(Ramzi, 2004)
Efek samping trombositopeni dan osteoporosis LMWH lebih jarang terjadi dibanding
penggunaan UFH. Kontraindikasi terapi antikoagulan antara lain kelainan darah, riwayat stroke
perdarahan, metastase ke central nervous system (CNS), kehamilan peripartum, operasi abdomen
atau ortopedi dalam tujuh hari dan perdarahan gastrointestinal. Penggunaan LMWH pada pasien
rawat jalan aman dan efektif terutama jika pasien edukatif serta ada sarana untuk memonitor.
Penggunaan LMWH pada pasien rawat jalan sebaiknya tidak dilakukan pada pasien dengan
trombosis masif, memiliki kecenderungan perdarahan yang tinggi seperti usia tua, baru saja
menjalani pembedahan, riwayat penyakit ginjal dan liver serta memiliki penyakit penyerta yang
berat (Hirsh, 2002; Bates, 2004; Ramzi, 2004). LMWH diekskresikan melalui ginjal, oleh karena
itu pada penderita ganguan fungsi ginjal perannya dapat digantikan oleh UFH (Mackman, 2011;
Key, 2010).
Seperti UFH pemberian LMWH juga dikombinasikan dengan warfarin selama empat
sampai lima hari dan dihentikan jika kadar INR setelah penggunaanya bersama warfarin
mencapai 2 atau lebih. Enoxaparin (lovenox) adalah LMWH pertama yang dikeluarkan oleh U.S.
Food and Drug Administration (FDA) untuk terapi DVT dengan dosis 1 mg/kgBB, dua kali
sehari. Dalteparin (Fragmin) hanya digunakan untuk terapi profilaksis dengan dosis 200
IU/kgBB/hari dalam dosis terbagi dua kali sehari. Tinzaparin (Innohep) diberikan dengan dosis
17
175 IU/kgBB/hari (Ramzi, 2004). Pilihan lain adalah penggunaan fondaparinux (Arixtra).
Fondaparinux adalah pentasakarida sintetik yang bekerja menghambat faktor Xa dan trombin
(Mackman, 2011). Dapat digunakan sebagai profilaksis dan terapi pada kondisi akut dengan
dosis 5 mg (BB <50 kg), 7,5 mg (BB 50-100 kg), atau 10 mg (BB >100 kg) secara subkutan,
satu kali perhari (Mackman, 2011; Buller, 2004).
18
ketat. Oleh karenanya dibutuhkan agen antikoagulan oral yang baru dan lebih baik untuk
menggantikannya. Ada beberapa macam antikoagulan baru yang telah banyak dipakai sebagai
profilaksis DVT seperti rivaroxaban (inhibitor faktor Xa), apixaban (inhibitor faktor Xa) dan
dabigatran etexilate (inhibitor trombin) tetapi belum ada yang digunakan sebagai terapi pada
DVT akut. Secara teori obat antikoagulan baru memiliki kelebihan dibanding warfarin antara
lain onset of action yang cepat dan tidak membutuhkan terapi inisial dengan antikoagulan
parenteral, tapi belum ada penelitian tentang hal ini. Kekurangan obat antikoagulan baru adalah
tidak adanya antidotum yang spesifik terehadap efek samping perdarahan sehingga penggunaan
obat-obat ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut, selain itu harganya jauh lebih mahal dari
warfarin (Key, 2010; Garcia, 2010; Mackman, 2010).
Obat antikoagulan baru dapat dibagi menjadi 3 kelompok berdasarkan target tempat bekerja
1. Inhibitor langsung thrombin (atau faktor lIa) , seperti dabigatran etexilate (Pradaxa )
dan AZD0837;
2. Oral inhibitor faktor Xa
Mmeliputi Rivaroxaban (Xarelto ), apixaban, betrixaban , edoxabandan eribaxaban, dan
3. Inhibitor faktor Xa parenteral, yang meliputi idrabiotaparinux (idraparinux terbiotinilasi,
turunan darifondaparinux) dan semuloparin.
19
Secara umum antikoagulan diberikan selama minimal 3 bulan. Pasien dengan faktor
resiko reversibel memiliki resiko rekurensi yang rendah setelah terapi antikoagulan selama 3
bulan, sebaliknya pada pasien DVT idiopatik/unprovoked yang hanya diterapi selama 3 bulan
memiliki resiko rekurensi sekitar 10-27%. Berdasarkan hasil penelitian prospektif dan
ekstrapolasi dari penelitian terhadap resiko rekurensi setelah episode awal trombosis, pasien
dapat diklasifikasikan menjadi kelompok resiko rendah, sedang, tinggi dan sangat tinggi (Bates,
2004; Hirsh, 2002)
Tabel-4. Kategori resiko rekurensi dan rekomendasi durasi terapi (Hirsh, 2002)
TERAPI TROMBOLITIK
Trombolitik memecah bekuan darah yang baru terbentuk dan mengembalikan patensi
vena lebih cepat daripada antikoagulan (Bates, 2004). Trombolitik dapat diberikan secara
sistemik atau lokal dengan catheter-directed thrombolysis (CDT). Terapi trombolitik pada
episode akut DVT dapat menurunkan resiko terjadinya rekurensi dan post thrombotic
syndrome (PTS) (Key, 2010; Kahn, 2009). Serine protease inhibitor endogen seperti urokinase
dan rekombinan tissue plasminogen activator (r-TPA) menggantikan fungsi streptokinase
sebagai obat pilihan pada terapi trombolitik sistemik dengan efek samping yang lebih minimal,
akan tetapi banyak pusat-pusat kesehatan lebih memilih menggunakan alteplase (Patterson,
2010). Trombolitik sistemik dapat menghancurkan bekuan secara cepat tapi resiko perdarahan
juga tinggi. Penggunaan trombolitik dengan CDT akan menghasilkan konsentrasi lokal yang
20
lebih tinggi daripada secara sistemik dan secara teori seharusnya dapat meningkatkan efikasinya
dan menurunkan resiko perdarahan (Patterson, 2010; Scarvelis, 2006; Bates, 2004).
Resiko terjadinya perdarahan pada penggunaan trombolitik lebih besar dibanding
penggunaan heparin (Bates, 2004; Patterson, 2010). Indikasi dilakukan trombolisis antara lain
trombosis luas dengan resiko tinggi terjadi emboli paru, DVT proksimal,threatened limb
viability, adanya predisposisi kelainan anatomi, kondisi fisiologis yang baik (usia 18-75 tahun),
harapan hidup lebih dari 6 bulan, onset gejala <14 hari, tidak ada kontraindikasi dilakukan
trombolisis (Patterson, 2010; Scarvelis, 2006). Kontraindikasi trombolisis antara lain bleeding
diathesis/trombositopeni, resiko perdaraham spesifik organ (infark miokard akut, trauma
serebrovaskular, perdarahan gastrointestinal, pembedahan, trauma), gagal hati atau gagal ginjal,
keganasan (metastase otak), kehamilan, stroke iskemi dalam waktu 2 bulan, hipertensi berat yang
tidak terkontrol (SBP>180 mmHg, DBP>110 mmHg) (JCS Guiedelines, 2011; Patterson, 2010).
CDT dilakukan dengan tuntunan ultrasound sehingga dapat meminimalkan terjadinya
komplikasi dan punksi multipel pembuluh darah (Patterson, 2010). Protokol tindakan trombolisis
dapat dilihat pada tabel 3.
Pemilihan untuk dilakukan trombolisis atau tidak, pemilihan agen trombolitik,
penggunaan venous stenting tambahan dan inferior vena cava filter (IVC) berbeda-beda pada
tiap pusat kesehatan. IVC tidak rutin dilakukan dan umumnya hanya dipakai sementara,
penggunaannya dilakukan pada kondisi tertentu seperti adanya kontraindikasi penggunaan
antikoagulan dan timbulnya DVT pada penggunaan rutin antikoagulan. Penggunaanya harus
melalui diskusi tim multidisiplin dan kasus per kasus (Patterson, 2010; Scarvelis, 2006; Bates,
2004). Pemasangan stent endovaskular pada saat dilakukan CDT dapat dilakukan pada kasus
tertentu seperti adanya kelainan anatomi yang mendasari timbulnya DVT (May-Thurner
syndrome). Pada sindrom ini vena iliaka komunis ditekan oleh arteri iliaca komunis sehingga
terjadi tekanan dan kerusakan pembuluh darah. Penyebab lain yaitu kompresi oleh tumor daerah
pelvis, osteofit, retensi urin kronik, aneurisma arteri iliaka, endometriosis, kehamilan, tumor
uterus (Patterson, 2010). Aspiration thrombectomy juga dapat dilakukan bersama CDT pada
kasus tertentu. Terapi antikoagulan tetap harus dilakukan setelah tindakan trombolisis untuk
mencegah progresivitas dan munculnya kembali trombus (JCS Guidelines, 2011; Patterson,
2010).
21
Tabel-3. Protokol trombolisis pada DVT (Patterson, 2010)
22
Peranan compression stockings atau intermitten pneumatic compression (IPC) dalam
mencegah PTS belum sepenuhnya dimengerti, namun penggunaannya telah digunakan secara
luas. Compression stockingssebaiknya digunakan pada pasien dengan gejala berat dan mereka
yang memiliki fungsi vena yang jelek (JCS Guidelines, 2011; Kahn, 2009; Bates, 2004).
TROMBEKTOMI
Indikasi open surgical thrombectomy antara lain DVT iliofemoral akut tetapi terdapat
kontraindikasi trombolitik atau gagal dengan trombolitik maupun mechanical thrombectomy, lesi
yang tidak dapat diakses oleh kateter, lesi dimana trombus sukar dipecah dan pasien yang
dikontraindikasikan untuk penggunaan antikoagulan. Trombus divena iliaka komunis dipecah
dengan kateter embolektomi fogarty dengan anestesi lokal. Trombus pada daerah perifer harus
dihilangkan dengan cara antegrade menggunakan teknik milking dan esmarch
bandage. Kompresi vena iliaka harus diatasi dengan dilatasi balon dan atau stenting. Setelah
tindakan pembedahan, heparin diberikan selama 5 hari dan pemberian warfarin harus dimulai 1
hari setelah operasi dan dilanjutkan selama 6 bulan setelah pembedahan. Untuk hasil yang
maksimal tindakan pembedahan sebaiknya dilakukan kurang dari 7 hari setelah onset DVT.
Pasien dengan phlegmasia cerulea dolens harus difasiotomi untuk tujuan dekompresi
kompartemen dan perbaikan sirkulasi (JCS Guidelines, 2011).
23
Daftar Pustaka
24