Anda di halaman 1dari 3

26

BAB IV
ANALISA KASUS

Pasien, bayi laki-laki, berusia 1 bulan 19 hari datang ke IGD RSUD


Palembang BARI dengan keluhan sesak nafas sejak kurang lebih 1 hari SMRS. Dari
alloanamnesis didapatkan bahwa anaknya demam sejak 3 hari SMRS. Keluhan
tersebut muncul bersamaan dengan batuk yang disertai dahak berwarna putih, namun
dahak sulit dikeluarkan. Batuk tidak disertai darah dan tidak ada pilek. Kemudian, Ibu
pasien juga mengatakan bahwa aktivitas pasien menurun sejak 1 hari SMRS. Satu
hari SMRS pasien dibawa ke Puskesmas dan diberi obat batuk dan penurun panas.
Demam pun menurun, namun batuk masih ada, malah pasien semakin terlihat sesak
dalam 1 hari SMRS. Mual-muntah tidak ada, BAB dan BAK normal.

Pada pemeriksaan fisik melalui inspeksi didapatkan adanya nafas cepat


(68x/menit), NCH (+) dan retraksi interkostal, suprasternal, dan subkostal. Pada saat
auskultasi kedua lapang dada didapatkan bunyi vesikuler yang meningkat dan
terdengar ronkhi basah halus nyaring (RBHN) di ke dua basal paru.
Hasil pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan rontgen thorax
memperlihatkan adanya gambaran jantung tidak membesar, tampak infiltrat pada
perikondrial kanan, sinus kostofrenikus lancip, diafragma licin, dan tulang-tulang
kesan intak. Dari hasil tersebut kesan yang didapat yaitu pasien mengalami
pneumonia dikarenakan gambaran infiltrat pada basal paru bagian kanan.
Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan penunjang
tersebut maka dapat disimpulkan untuk diagnosa kerjanya mengarah ke
bronkopneumonia karena sesuai dengan teori bahwa manifestasi klinis penyakit
bronkopneumonia yang diperoleh dari anamnesis dan terdapat pada kasus ini yaitu
demam, batuk, sesak nafas. Dari pemeriksaan fisik didapatkan pernafasan cepat
(takipneu), nafas cuping hidung, retraksi subcostal, dan terdapat suara nafas
26

tambahan berupa RBHN di kedua basal paru. Selain itu, diagnosa banding
bronkiolitis juga dapat disingkirkan karena pada saat auskultasi tidak didapatkan
adanya wheezing di ke dua lapang paru.
Sesuai dengan teori, etiologi terbanyak penyebab pneumonia pada neonatus
dan bayi kecil disebabkan oleh Streptococcus grup B dan bakteri gram negatif seperti
E.colli, pseudomonas sp, atau Klebsiella sp. Oleh sebab itulah pasien ini diterapi
dengan antibiotik yang pada praktiknya mengambil acuan sesuai rekomendasi dari
UKK respirologi IDAI bahwa neonatus 2 bulan diterapi dengan kombinasi
ampicilin dan gentamicin masing-masing dengan dosis ampicilin 100mg/kgBB/hari
atau 230mg/hari pada kasus yang dibagi dalam 4 dosis menjadi 4 x 60 mg dan
gentamicin dengan dosis 5-7mg/kgBB/hari atau 11,5 16,1 (dibulatkan 12 - 16 mg
tiap kali pemberian atau dibagi dua dosis, yaitu 6-8 mg).
Selain terapi kausatif berupa antibiotik, pasien ini juga diberikan terapi
suportif berupa cairan IVFD D5% NS dengan jumlah tetesan 10x/menit (mikro)
atau sama dengan 240cc/hari. Pemberian maintenance cairan tersebut apabila ditinjau
dari kebutuhan pasien sudah mencukupi kebutuhan total cairannya per hari.
Kebutuhan cairan total pasien tersebut ialah 230 cc/hari atau 9,5 cc/jam. Selain
maintenance cairan tersebut, ditambah dengan pemberian ASI/PASI 5cc tiap 3 jam
(8x pemberian dalam 1 hari). Maka hal tersebut telah mencukupi kebutuhan
cairannya perhari dan membantu mengoptimalkan kesembuhan pasien.
Pada kasus ini, pasien juga termasuk ke dalam indikasi rawat inap karena usia
pasien kurang dari 6 bulan dan membutuhkan suplementasi oksigen. Setelah hari ke 3
pemantauan terapi pada pasien, belum ditemukan tanda-tanda perbaikan (dyspneu,
takipneu dan masih sering batuk) maka terapi kombinasi diganti menjadi ampicilin
dan antibiotik lini ke dua (ceftazidim dengan dosis 3 x 100 mg). Hal ini sesuai dengan
Panduan Praktik Klinik (PPK) Departemen Kesehatan Anak RSUP Dr. MOH Hoesin
Palembang tahun 2016. Setelah terapi kombinasi antibiotik diganti, didapatkan
perbaikan pada pasien ini yang ditandai dengan frekuensi nafas (RR: <60x/menit) dan
batuk yang sudah minimal.
26

Prognosis pada pasien ini adalah dubia ad bonam, dikarenakan pasien


mengalami menunjukkan perbaikan saat penggantian terapi antibiotik dari ampicilin
+ gentamicin menjadi ampicilin + ceftazidim, selain itu tidak ditemukan gejala
komplikasi yang dapat memperberat keadaan pasien. Pemilihan tatalaksana yang
tepat dan edukasi yang baik dapat mempercepat proses penyembuhan pada pasien ini.

Anda mungkin juga menyukai