Anda di halaman 1dari 19

PENDAHULUAN

Kegawat daruratan medik dapat terjadi pada seseorang maupun sekelompok orang pada setiap saat
dan di mana saja. Hal ini dapat berupa serangan penyakit secara mendadak, kecelakaan atau
bencana alam. Keadaan ini membutuhkan pertolongan segera yang dapat berupa pertolongan
pertama sampai pada pertolongan selanjutnya secara mantap di rumah sakit. Tindakan tersebut
dimaksudkan untuk menyelamatkan jiwa mencegah dan membatasi cacat serta meringankan
penderitaan dari penderita

Keadaan ini selain membutuhkan pengetahuan dan ketrampilan yang baik dari penolong dan sarana
yang memadai, juga dibutuhkan pengorganisasian yang sempurna.
Pertolongan pertama biasanya diberikan oleh orang-orang di sekitar korban. Diantaranya akan
menghubungi petugas kesehatan atau dokter terdekat. Tidak jarang bahwa anggota Hansip, polisi
dan pemadam kebakaran terlibat dalam hal ini. Pertolongan ini harus diberikan secara tepat sebab
penanganan yang salah justeru dapat berakibat kematian atau cacat tubuh.
Pada penyakit kulit, dikenal beberapa penyakit yang dianggap sebagai suatu kasus kegawat
daruratan. Dimana kasus-kasus tersebut membutuhkan pertolongan yang cepat dan tepat agar tidak
menimbulkan kecacatan sampai kematian.

MACAM-MACAM KEGAWAT DARURATAN PADA PENYAKIT KULIT

Di klinik tidak jarang kita menemukan kasus-kasus emergensi yang memerlukan penanganan segera
dan tepat. Kasus-kasus tersebut adalah sebagai berikut:
1. Toxic Epidermal Nekrolisis
2. Steven Johnson Syndrome
3. Erythema Multiforme
4. Erythroderma
5. Angioedema
6. Reversal reaction
7. Erythema Nodosum Leprosum
8. Pemfigus Vulgaris
9. Purpura-Vaskulitis
10. Staphylococcus Scaled Skin Syndrome

1. Nekrolisis Epidermal Toxik


Definisi
Alan Lyell* mendeskripsikan nekrolisis epidermal toksik sebagai suatu erupsi yang menyerupai luka
bakar pada kulit.18,19 Nekrolisis epidermal toksik adalah kelainan kulit yang memerlukan
penanganan segera yang paling banyak disebabkan oleh obat-obatan. Meskipun begitu, etiologi
lainnya, termasuk infeksi, keganasan, dan vaksinasi, juga bisa menyebabkan penyakit ini. Nekrolisis
epidermal toksik merupakan varian yang paling berat dari penyakit bulosa seperti eritema
multiforme dan sindrom Stevens-Johnson. Semua kelainan tersebut memberikan gambaran lesi kulit
yang menyebar luas, dan terutama pada badan dan wajah yang melibatkan satu atau lebih membran
mukosa.18
Patofisiologi
Patofisiologi terjadinya nekrolisis epidermal toksik belum jelas, namun, dipercaya bahwa fenomena
immun kompleks yang bertanggung jawab. Salah satu teori menyatakan akumulasi metabolit obat
pada epidermis secara genetik dipengaruhi oleh proses imunologi setiap individu. Limfosit T CD8+
dan makrofag mengaktifkan proses inflamasi yang menyebabkan apoptosis sel epidermis.18

Gejala klinik
Pasien mungkin menampakkan gejala-gejala prodromal 2-3 hari seperti malaise, rash, demam,
batuk, arthralgia, mialgia, rhinitis, headache, anorexia, serta mual dan muntah, dengan atau tanpa
diare. Gejala dan tanda prodromal lainnya yang dapat berkembang seperti konjungtivitis (32%),
faringitis (25%), dan pruritus (28%). Pada fase akut (8-12 hari) terjadi demam yang persisten,
pengelupasan epidermis, dan terlibatnya membran mukosa. Komplikasi berupa stomatitis san
mukositis, nyeri pada saat menelan sehingga pasien beresiko tinggi untuk terjadinya dehidrasi dan
malnutrisi. Konjungtiva biasanya terlibat 1-3 hari sebelum munculnya lesi kulit. Erosi mukosa pipi,
hidung, faring, dan trakeobronkial dapat terjadi. Erosi juga dapat terjadi pada esofagus, perineum,
vagina, uretra serta mukosa usus.19
Tanda vital pasien dapat didapatkan hiperpireksia, hipotensi sekunder sampai hipovolemia dan
takikardi. Pada pameriksaan kulit didapatkan:
Lesi kulit dimulai dengan nyeri/rasa terbakar, panas, eritematous, macula morbiliform secara
simetris pada wajah dan dada sebelum menyebar ke seluruh badan.
Nikolsky sign positif
Krusta hemoragik pada bibir
Konjungtivitis umumnya ditemukan sebelum terjadi pengelupasan epidermis.
Pneumonia merupakan komplikasi yang paling berat dan merupakan kegagalan nafas akut dan
membutuhkan intubasi.19

pada TENGambar 1. krusta hemoragik membrane mukosa

Gambaran Histopatologi
Secara histologi, terdapat penebalan nekrosis epidermis dengan tanda inflamasi dermis atau
epidermis. Bisa terdapat pelepasan dan pengelupasan epidermis. Nekrosis sel satelit dapat terlihat,
sampai nekrosis eosinofil secara luas.19

Pemeriksaan dan Tes


Tes-tes laboratorium hanya bisa membantu dalam menentukan terapi simptomatik atau suportif.
Pemeriksaan radiologi tidak spesifik namun foto thoraks dapat dilakukan untuk mengetahui adanya
inflamasi trakeobronkial yang menyebabkan pneumonia.18

Terapi
Perawatan kegawatdaruratan: unit gawatdarurat harus mencegah kehilangan cairan dan elektrolit
dan mencegah infeksi sekunder. Pemberian cairan dan elektrolit secara agresif, mengatasi nyeri, dan
perawatan kulit dengan teliti merupakan tindakan yang sangat penting. Pasien dengan lesi kulit yang
luas memerlukan kamar isolasi dan lingkungan yang steril.18
Daerah erosi pada kulit harus di lindungi dengan pakaian pelindung nonadherent seperti
petroleum gauze
Distress pernapasan bisa mengakibatkan pengelupasan dan edema dan membutuhkan intubasi
endotrakeal dan ventilasi.18

Cairan dan elektrolit harus dimonitor. Menjaga keseimbangan cairan dan basa titrat dengan tekanan
vena sentral dan output urine. Sekitar 3-4 L dibutuhkan pada pasien dengan 50 % area kulit terlibat.
Nutirsi secara parentral atau secara enteral via selang nasogastrik biasanya dibutuhkan. Nutrisi
enteral secara awal dan kontinu mengurangi risiko stress ulcers, mengurangi translokasi bakteri dan
infeksi enterogenik.19

2. Sindrom Stevens-Johnson

Definisi
Stevens dan dr. Johnson, sindrom Stevens-Johnson, disingkatkan sebagai SSJ, adalah reaksi buruk
yang sangat gawat terhadap obat. Efek samping obat ini mempengaruhi kulit, terutama selaput
mukosa. Juga ada efek samping yang lebih buruk, yang disebut sebagai nekrolisis epidermis toksik (
toxic epidermal necrolysis/TEN). Ada juga bentuk yang lebih ringan, disebut sebagai eritema
multiforme (EM). Sekarang sindrom ini dikenal sebagai eritema multiforme mayor.20Sindrom
Stevens-Johnson pertama diketahui pada 1922 oleh dua dokter, dr. biasanya

Patofisiologi
SSJ adalah hipersensitifitas yang disebabkan oleh pembentukan sirkulasi kompleks imun yang
disebabkan oleh obat-obatan, infeksi virus, dan keganasan. Pada lebih dari setengah kasus, tidak
didapatkan adanya penyebab yang spesifik.20
Gejala klinik
Secara tipikal, penyakit ini dimulai dengan infeksi saluran pernapasan atas yang nonspesifik. Hal ini
merupakan bagian dari gejala prodromal yang berlangsung selama 1-14 hari yaitu demam, radang
tenggorokan, sakit kepala, dan malaise. Muntah dan diare kadang merupakan gejala prodromal. Lesi
mukokutaneus berkembang secara tiba-tiba. Lesinya bersifat nonpruritus. Riwayat demam bisa
terjadi akibat terkena infeksi, namun demam telah dilaporkan terjadi pada lebih 85% kasus.
Keterlibatan membrane mukosa oral bisa membuat pasien mengalami kesulitan dalam makan dan
minum. Pasien yang mempunyai keterlibatan dalam genitourinary bisa mengeluhkan disuria. Gejala
tipikal tersebut diatas diikuti dengan batuk produktif dengan sputum purulen tebal, sakit kepala,
mialgia dan artralgia. Rash dimulai dengan macula yang berkembang menjadi papul, vesikel, bulla,
plak urtikaria, atau eritema yang konfluen.20
Penyebab SJS berupa:
Obat-obatan dan keganasan merupakan etiologi pada dewasa dan orang tua.
Pada kasus anak proses infeksi merupakan penyebab yang etrsering dibandingkan keganasan atau
reaksi obat.
Obat-obatan seperti sulfa, fenitoin, atau penisilin telah diketahui sebagai penyebab pada dua
pertiga pasien dengan SSJ.
Lebih setengah pasien dengan SSJ melaporkan infeksi saluran napas bagian atas
Keempat kategori etiologi adalah (1)infeksi, (2)obat-obatab, (3)keganasan, dan (4)idiopatik.20
Pemeriksaan laboratorium:
Tidak didapatkan pemeriksaan laboratorium yang dapat membantu dalam penegakan diagnosis.
CBC (complete blood count) bisa didapatkan sel darah putih yang normal atau leukositosis
nonspesifik. Peningkatan jumlah leukosit kemungkinan disebakan karena infeksi bakteri.
Kultur darah, urin, dan luka merupakan indikasi bila dicurigai penyebab infeksi.20
Tes lainnya:
Biopsi kulit merupakan pemeriksaan diagnostik tapi bukan merupakan prosedur unit gawatdarurat.
Biopsi kulit memperlihatkan bulla subepidermal
Adanya nekrosis sel epidermis
Infiltrasi limfosit pada daerah perivaskular.20
Penatalaksanaan:
Perawatan prehospital: paramedis harus mengetahui adanya tanda-tand kehilangan cairan berat
dan mesti diterapi sebagai pasien SJS sama dengan pasien luka bakar.
Perawatan gawatdarurat:
Perawatan gawatdarurat harus diberikan penggantian cairan dan koreksi elektrolit.
Luka kulit diobati sebagai luka bakar.
Pasien SSJ semestinya diberikan perhatian khusus mengenai jalan nafas dan stabilitas
hemodinamik, status cairan, perawatn luka dan kontrol nyeri.
Penatalaksanaan SJS bersifat simtomatik dan suportif. Mengobati lesi pada mulut dangan
mouthwashes, anestesi topikal berguna untuk mengurangi rasa nyeri. daerah yang mengalami
pengelupasan harus dilindungi dengan kompres salin atau burrow solution
Penyakit yang mendasari dan infeksi sekunder perlu diidentifikasi dan diterapi. Obat penyebab
harus dihentikan.
Penggunaan obat-obat steroid sistemik masih kontroversial.

Gambar 2. Sindrom Stevens-Johnson (lesi vesiko-bulosa)

3. Erythema Multiforme

Definisi
Eryhtema multiforme merupakan suatu penyakit akut dan merupakan penyakit kulit yang self-
limiting dan merupakan erupsi kulit yang meradang. Bercak kemerahan terbentuk dari bintik-bintik
merah di kulit, yang kadang-kadang tampak keunguan atau berisi cairan di tengahnya. Ia juga
biasanya mengenai daerah mulut, mata dan permukaan-permukaan lain yang lembab. Dinamakan
erythema multiforme karena munculnya variasi bentuk multiforme dengan derajat tinggi dalam
presentasi klinisnya. Variasi ini menyebabkan erythema multiforme ini dibagi menjadi dua kelompok
yang saling tumpang tindih yaitu eritema multiforme minor dan eritema multiforme mayor atau
lebih dikenali dengan Stevens-Johnsons syndrome.2

Epidemiologi
Eritema multiforme secara predominan diteliti pada dewasa muda dan sangat jarang pada anak-
anak. Biasanya lebih mengenai pada pria tanpa mempedulikan ras dan warna kulit.2Peneliti lain
menganggap eritema multiforme ini merupakan penyakit yang biasa pada ahli kulit. Dari penelitian
mereka mendapatkan separuh dari kasus mengenai golongan muda (di bawah 20 tahun). Jarang
didapatkan mengenai anak-anak di bawah 3 tahun dan mereka yang berusia di atas 50 tahun. Laki-
laki biasanya lebih banyak mengenai eritema multiforme berbanding wanita tanpa ada predileksi
ras. Sepertiga dari eritema multiforme kambuh sementara musim biasanya mempengaruhi.2,4

Patofisiologi dan Penyebab


Patofisiologi penyakit ini belum terlalu dimengerti tetapi muncul pendapat yang mengatakan
penyakit ini melibatkan reaksi hipersensitivitas yang memicu berbagai stimulus, biasanya bakteri,
virus atau produk-produk kimia.
Penelitian prospektif internasional yang terbaru menunjukkan penyebab mayor dari eritema
multiforme ini adalah virus herpes. 4 Virus herpes yang paling sering menyerang adalah virus HSV I
dan II. Tercatat serangan herpes labialis pada penyakit ini diperkirakan sebesar 50%. Herpes labialis
biasanya menyerang pada lesi kutan (cutaneous lesion), muncul secara simultan dan juga muncul
setelah lesi target erythema multiforme muncul. Herpes labialis menyerang lesi target pada
erythema multiforme dalam waktu 3-14 hari. Dilaporkan kebanyakan kasus pada anak-anak dan
dewasa muda disebabkan oleh virus HSV tipe I, tetapi ada juga yang mengatakan golongan ini masih
bisa terkena erytheme multiforme akibat serangan virus HSV tipe II. Selain virys herpes (HSV),
erythema multiforme bisa disebabkan oleh orf, Histoplasma capsulatum, dan virus Epstein-Barr.2

Gambaran Klinis
1. Gambaran histopatologik
Gambaran histopatologik berupa infiltrate limfosit dermal-epidermal junction dan sekitar pembuluh
darah dermal, dermal edema, nekrosis keratinosit epidermal, dan pembentukan bulla subepidermal.
Penelitian histology dan immunokimia mendapati pada erytheme multiforme mempunyai densitas
tinggi pada infiltrate sel yang kaya dengan limfosit-T. 4

2. Kriteria diagnostik
Kriteria diagnostik untuk erythema multiforme ialah adanya lesi target pada kulit yang diameternya
kurang dari 3 cm, mengenai kurang dari 20% permukaan tubuh, dengan penglibatan minimal dari
membrane mukosa yang biasanya bisa dilihat lewat biopsi. Lesi kutaneus secara tipikal adalah
simetrik, dan melibatkan ekstremitas, yang biasanya predileksinya pada tangan bagian dorsal dan
ekstensor.4
Dari penelitian, hamper kesemua lesi muncul dalam waktu 24 jam dan muncul sempurna setelah 72
jam. Di dapatkan juga gatal dan rasa terbakar yang muncul diantara lesi-lesi. Lesi primer biasanya
berbentuk bundar, papul kemerahan yang biasanya menetap dikulit selama 7 hari atau lebih.
Beberapa papul-papul kemerahan ini biasanya berubah menjadi lesi target.
Lesi target berupa perubahan warna zona konsentrik, dengan tengahnya yang agak kehitaman atau
zona keunguan dengan zona kemerahan di bagian luarnya. Lesi target selalunya membentuk vesikel
atau krusta di zona tengah selepas beberapa hari. Beberapa lesi mempunyai tiga zona yang berbeda
warna dengan pinggir kemerahan, putih di tengah dan hitam di bagian yang paling dalam.
Kadangkala, ia membentuk lesi iris karena terdapat gambaran seperti pelangi (rainbow-like
appearance).2

Gambar3. erythema multiforme


4. Erythroderma

Definisi
Erythroderma dan dermatitis exfoliative biasanya dipakai untuk menjelaskan penyakit yang sama
dalam literatur. Terma sebelumnya menjelaskan eryhtroderma sebagai dilatasi yang menyebar dari
penbuluh darah kutaneus. Apabila proses inflamasi disertai dengan erythroderma secara substantial
akan meningkatkan proliferasi sel epidermal dan mengurangi waktu transitsel epidermal melalui
epidermis yang bisa menimbulkan sisik bertanda. 1
Istilah red man syndrome biasanya digunakan pada dermatitis exfoliatif yang idiopatik yang mana
tidak ditemukan penyebab primer walaupun telah menjalani beberapa serial pemeriksaan dan tes.
Erythroderma idiopatik ini ditandai dengan keratoderma palmoplantar, limfadenopati dermatopati
dan peningkatan kadar serum immunoglobulin E (IgE). Istilah Ihomme rouge merujuk kepada
dermatitis exfoliatif yang merupakan limfoma sel-T sekunder.3

Epidemiologi
Pada orang dewasa, penyakit kulit dini, beberapa keganasan atau malignancy dan allergi obat-
obatan bisa menyebabkan erythroderma, namun pada variabel, beberapa pasien mengalami
erythroderma tanpa penyebab yang jelas (Abrahams et al, 1963; Nicolis dan Helwig, 1973; Sehgal
dan Srivastava, 1986; Thestrup-Padersen et al, 1988). Kecuali apabila kondisi ini menyangkut atau
disebabkan oleh dermatitis atopik, dermatitis seborrhoeic, atau ichtyosis herediter, erythroderma
biasanya muncul selepas usia 40 tahun. Laki-laki dikatakan berpotensi untuk terkena erythroderma
dua kali lipat berbanding wanita.1

Etiologi
Erythroderma bisa muncul akibat berbagai penyebab, yang paling sering lanjutan dari tahap dini
suatu gangguan kulit. Eryhtroderma juga bisa disebabkan oleh suatu efek samping dari reaksi obat-
obatan. Walaubagaimanapun, sebanyak 30% dari semua kasus erythroderma yang dilaporkan, tidak
ada panyebab yang jelas ditemukan. Iniuyang dinamakan erythroderma idiopatik.
Penyebab-penyebab yang paling sering ditemukan pada tahap awal suatu gangguan kulit yang
menyebabkan erythroderma ialah:
Dermatitis terutama dermatitis atopik, dermatiti kontak (allergi atau iritan) dan dermatitis stasis
(gravitational eczema) dan pada bayi, dermatitis seborrhoiec.
Psoriasis
Pityriasis rubra pilaris
Penyakit-penyakit blister termasuk pemphigug dan pemphigoid bullosa.
Limfoma sel-T kutaneus (Sezary Syndrome)
Erythroderma juga bisa merupakan simtom atau gejala dari penyakit sistemik seperti:
Kaganasan interna seperti karsinoma rektum, paru-paru, tuba fallopi, kolon.
Keganasan hematologi seperti limfoma dan leukaemia.
Penyakit Graft vs Host
Infeksi HIV.7

Patofisiologi
Peningkatan perfusi darah kulit mundul pada erythroderma yang menyebabkan disregulasi
temperatur (menyebabkan kehilangan pabas dan hipotermia) dan kegagalan output jantung. Kadar
metabolik basal meningkat sebagai kompensasi dari kehilangan suhu tubuh.3
Epidermis yang matur secara cepat kegagalan kulit untuk menghasilkan barier permeabilitas efektif
di stratum korneum. Ini akn menyebabkan kehilangan cairan transepidermal yang berlebihan.
Normalnya kehilangan caira dari kulit diperkirakan 400 ml setiap hari dengan dua pertiga dari
hilangnya cairan ini dari proses transpirasi epidermis manakala sepertiga lagi dari perspirasi basal.
Kekurangan barier pada erythroderma ini menyebabkan peningkatan kehilangan cairan ekstrarenal.
Kehilangan cairan transepidermal sangat tinggi ketika proses pembentukan sisik (scaling) memuncak
dan menurun 5-6 hari sebelum sisik menghancur.1
Hilangnya sisik eksfoliatif yang bisa mencapai 20-30g/hr memicu kepada timbul keadaan
hipoalbuminemia yang biasa dijumpai pada dermatitis exfoliative. Hipoalbuminemia muncul akibat
menurunnya sintesis atau meningkatnya metabolisme albumin. Edema biasanya paling sering
ditemukan, biasanya akibat peralihan cairan ke ekstrasel. Respon imun mungkin bisa berubah,
seiring adanya peningkatan gamma-globulins, peningkatan serum IgE pada beberapa kasus, dan
CD4+ sel-T limfositopenia pada infeksi HIV.3
Gambaran Klinis
1. Gambaran histologis
a) Penyakit kutaneus tahap awal (pre-existing cutaneuous disease)
Psoriasis mempunyai spongiosis minimal dengan infiltrate neutrofil dan limfosit pada dermal, tetapi
bukan eosinofil atau sel plasma. Mikroabses Munro di epidermis, menyebabkan parakeratosis,
penipisan epidermis suprapapillary dan edema dari papillae dermal disertai dilatasi kapiler papilari.
b) Penyakit sistemik
Allergi obat-obatan bisa memaparkan eosinofil diantara infiltrate eosinofil. Mikosis fungoides /
Sezary syndrome bisa membentuk gambaran infiltrat seperti monotonous band (monotonous band-
like infiltrate), terdiri dari sel mononuclear cerebriform yang besar, sepanjang dermoepidermal
junction atau sekitar pembuluh darah di dalam dermis papillary, epidermitropism tanpa spongiosis
dan mikroabses Pautrier tanpa epidermis (Sentis et al, 1986)*
c) Idiopatik
Specimen histologik tidak spesifik, walau bagaimanapun, ulangan biopsy bisa menunjukkan bukti
dari mikosis fungiodes.
2. Gambaran klinik
Erythroderma biasanya muncul pada mereka yang berusia diatas 40 tahun. Biasanya lebih banyak
mengenai laki-laki berbanding wanita. Ia bisa berlaki sangat cepat. Gejala dan simtom erythroderma
termasuklah:7
Kemerahan kulit ganeral (erythema) dam pembengkakan yang meliputi 90% atau lebih dari seluruh
permukaan kulit.
Serous ooze, hasil dari pakaian yang melekat di kulit dan bau yang tidak menyenangkan.
Penyisikan 2-6 hari selepas onset erythema, seperti empingan yang besar.
Berbagai derajat kegatalan yang kadang-kala tidak bisa di toleransi.
Penebalan sisik pada kepala dengan berbagai derajat keguguran rambut termasuk kebotakan total.
Penebalan telapak tangan dan kaki (keratoderma)
Pembengkakan kelopak mata bisa menyebabkan ectropion ( permukaan dalam kelopak mata
bawah terpapar keluar)
Kuku menjadi pecah dan menebal bahkan sampai tercabut.
Erythroderma yang lama bisa menyebabkan perubahan pigmen (bercak coklat dan / atau putih
pada kulit)
Infeksi sekunder bisa menyebabkan munculnya pustul dan krusta
Pembesaran kelenjar limfe (lifadenopati)
Kontrol temperatur yang abnormal yang mengakibatkan demam dan menggigil atau hipotermia
Meningkatkan denyut jantung sebagai akibat dari gagal jantung yang tidak ditangani atau kasus-
kasus berat yang biasanya terjadi pada orang tua.
Kadar elektrolit yang abnormal serta dehidrasi akibat kehilangan cairan lewat kulit.
Kadar serum albumin yang rendah akibat kehilangan protein dan peningkatan kadar metabolik.

Gambar 4. Erytroderma

5. Angioedema

Definisi
Angioedema dan urtikaria memberikan manifestasi yang berbeda dengan proses patologi yang
sama.Kedua-dua kondisi menunjukkan terdapat kebocoran cairan dan edema pada hasil
postcap.Walaubagaimanapun,angioedema melibatkan pembuluh darah pada superficial dermis di
lapisan kulit.Hasil ini menunjukkan gambaran klinis yang berbeda.Respon diatas diperantarai oleh
histamine,serotonin dan kinin(contohnya;bradikinin) yang menyebabkan dilatasi arteriol dimana
junction diantara sel endotel longgar dari kapilari dan arteriol.10Angioedema muncul sebagai
gambaran klinis dari mekanisme imunologi dan inflamasi atau bisa juga idiopatik.Angioedema bisa
muncul selepas terjadi reaksi IgE- atau IgE reseptor dengan disertai abnormality sistem komplemen
dan sistem efektor plasma setelah degranulasi mast sel dan berhubung dengan aktivasi asam
arakidonat seluler pada metabolic pathways .11Angioedema adalah penyakit biasa dimana
tergantung kepada faktor usia,bangsa,sex,pekerjaan dan lokasi geografi serta musim,angioedema
bisa mungkin menjadi proses akut jika kurang dari 6 minggu.Angioedema dengan urtikaria atau tidak
diklasifikasikan kepada alergik,hereditary atau idiopatik.11

Gambaran Klinik
Edema pada muka,extremitas,mungkin sedikit nyeri tanpa pruritus,bisa terjadi beberapa
hari.Melibatkan juga bibir,dagu,area periorbital,lidah dan laring.11
Angioedema bisa juga pada system organ vital contohnya traktus respiratorius.12
Pembengkakan superficial dermis dengan wheals yang ditandai dengan warna pink dan pruritus
dimana area angioderma sering pucat dan nyeri.13

Penatalaksanaan
a) Penjagaan prehospital
Menjaga jalan nafas
Intubasi nasofaringeal
Steroids epeniferin subcutaneous
b) Emergency department care
Menjaga jalan nafas
Intubasi nasofaringeal
Steroids epeniferin subcutaneous
Angioedema kronik merespon baik pada steroids dan H2 blockers.
subcutaneous,antihistamin dan steroid.Angioedema herediter lebih melawan kepada penggunaan
epineferin
Stanozolol,anabolic steroid,danazol,inhibitor gonadotropin.
Asam aminocaproic untuk seimbangkan pregantian C11NH untuk mengelakkan serangan.Fresh
frozen plasma mungkin bisa digunakan untuk sementara.

c) Konsultasi
Ahli imunologi bisa bertemu dengan penderita yang tidak diketahui history angioedemanya.
Pada penderita dengan tipe heriditer follow up dengan ahli imunologis sangat penting.

Gambar 5.Angioedema;bengkak pada bibir


6. Reaksi reversal
Reaksi tipe 1 menampakkan bertambahnya respon kompleks imun terhadap m. leprae, dan pada
umumnya terjadi setelah dimulainya terapi. Bila reaksi terjadi dengan antibiotic kemoterapi, maka
disebut reaksi reversal, dan bila terjadi pada tipe borderline dan lepromatous (downgrading), maka
disebut reaksi downgrading.17
Reaksi tipe 1 secara klinik menunjukkan adanya inflamasi dari lesi. Tidak terdapat gejala sistemik
(seperti demam, ataupun artralgia). Lesi membengkak, menjadi eritema dan kadang nyeri
menyebabkan selulitis. Pada kasus berat, ulserasi bisa terjadi. Komplikasi yang berat dari reaksi tipe
1 adalah kerusakan saraf. 17
Reaksi ini juga bisa terjadi setelah kemoterapi tapi berbeda dengan ENL. Masa onset lebih lambat
daripada ENL (beberapa minggu sampai bulan), dan bisa terjadi selama berbulan-bulan jika tidak di
obati dengan cepat. 17
Sebagai inflamasi mediasi sel menyerang antigen m.leprae, adanya infeksi maka dapat merusak
kompartmen jaringan. Karena basil ke saraf, maka gejala saraf sserinf didapatkan. Reaksi reversal
yang terjadi pada saraf mungkin menyebabkan kehilangan fungsi saraf secara tiba-tiba dan
kerusakan permanent saraf tersebut. Hal ini menyebabkan reaksi tipe 1 merupakan kasus
emergensi. Secara histology, lesi kulit menampakkan edema perivaskular dan perineural serta
banyaknya jumlah limfosit. Pada kasus yang hebat mungkin terdapat nekrosis jaringan.17
Meskipun reaksi muncul setelah diberikan obat antileprosi, namun tidak dibenarkan untuk
menghentikan obat tersebut karena terjadinya reaksi. Pada reaksi ringan, tanpa komplikasi
neurology atau gejala sistemik berat, terapi hanya bersifat suportif. Tirah baring dan pemberian
aspirin atau agen anti inflamasi steroid bisa digunakan.17
Reaksi tipe 1 biasanya diterapi dengan kortikosteroid sistemik. Prednisone diberikan peroral, dimulai
dengan dosis 40-60 mg/hari. Neuritis dan luka pada mata merupakan indikasi penting untuk terapi
steroid sistemik. Abses pada saraf mungkin butuh pembedahan segera untuk melindungi fungsi
saraf. Saat reaksi terkontrol prednisone perlu di tapering pelrlahan. Clofazimine menunjukkan efek
perlawanan yang sama terhadap reaksi tipe 1. 17

Gambar 6. reaksi reversal


7. Eritema nodosum leprosum

Definisi
Eritema nodosum merupakan penyakit akut, noduler, erursi eritematoua yang biasanya terbatas
pada bagian extensor kaki. EN jarang kronik dan rekuren tapi bisa saja terjadi. EN dianggap sebagai
reaksi hipersensitivitas dan bisa terjadi oleh karena beberapa penyakit sistemik atau karena terapi
obat, atau mungkin saja idiopatik. Wanita lebih sering terkena dibandingkan dengan pria dengan
rasio 4:1. EN bisa terjadi pada anak-anak dan pada pasien dengan usia lebih dari 70 tahun, tapi lebih
sering terjadi pada dewasa muda yaitu pada usia 18-34 tahun.22

Patofisiologi
EN mungkin merupakan suatu reaksi hipersensitivitas yang lambat terhadap berbagai jenis antigen,
complex imun dalam sirkulasi belum ditemukan pada jenis idiopatik atau kasus-kasus biasa tapi
mungkin ditemukan pada pasien dengan penyakit inflamasi saluran cerna. 22

Gejala klinik
Fase erupsi EN dimulai dengan flulike symptoms dengan demam dan nyeri seluruh badan. Artralgia
bisa terjadi dan mendahului erupsi atau muncul selama fase erupsi. Lasi yang timbul oleh karena
infeksi akibat EN banyak yang sembuh dalam 7 minggu, tapi bentuk aktif mungkin bisa sampai 18
minggu. Namun, pada 30 % EN yang idiopatik bisa bertahan sampai lebih dari 6 bulan. Demam
dengan penemuan kelainan kulit seperti tiba-tiba sakit dengan demam yang diikuti dengan nyeri
rash selama 1-2 hari. 22
Pada penemuan fisik, kelainan kulit didapatkan terbatas pada kulit dan sendi. Lesi mulai dengan
bentuk nodul merah yang nyeri tekan. Batas lesi sulit ditentukan, dan berukuran 2-6 cm. Selama
minggu pertama lesi menjadi keras, tegang, dan nyeri, pada minggu kedua, lesi menjadi fluktuan
sepeti pada abses, tapi tidak bersifat supuratif atau ulseratif. Lesi ada selama hamper 2 minggu, tapi
kadang, lesi baru selanjutnya muncul selama 3-6 minggu. Sakit pada kaki dan bengkak pada
pergelangan kaki bisa berlangsung selama berminggu-minggu. Distribusi lesi kulit: lesi muncul pada
kaki bagian anterior, walapun demikian, lesi tersebut juga bisa muncul pada tempat lain. Lesi
berubah warna pada minggu kedua dari merah terang menjadi biru pucat. Lesi akan menghilang
pada 1 atau 2 minggu karena deskuamasi kulit. Adenopati hiler bisa berkembang karena reaksi
hipersensitifitas EN. Limfadenopati hiler bilateral berhubungan dengan sarkoidosis, dengan
perubahan umilateral bisa terjadi dengan infeksi dan keganasan. Artralgia terjadi pada lebih dari 50
% pasien dan mulai selama fase erupsi atau mendahului erupsi selama 2-4 minggu. Eritema, bengkak
dan nyeri terjadi pada sendi, kadang dengan efusi. Nyeri sendi dankaku pada pagi hari dapat terjadi.
Beberapa sendi dapat terlibat, namun pergelangan kaki, lutut, dan pergelangan tangan adalah sendi
yang paling sering terlibat.
22

(A) (B)

(C) (D)
pergelangan kaki. Pasien in menderita colitis ulseratif.Gambar 7. (A) Lesi awal EN
menampakkan nodulsubkutan berwarna merah. (B) Nodul yang menjadi confluent yang menghsilkan
plak eritematous. (C) Lesi stage lanjut EN menunjukkan plak datar keunguan. Pasien in juga
mnederita sarkoidosis. (D) Lesi stage lanjut EN yang mengenai

Pemeriksaan penunjang

1. Pemeriksaan laboratorium
2. Pemeriksaan radiology
3. Tes-tes lainnya: skin test epidermal
4. Histopatologi: gembaran klasik EN yaitu penniculitis septal dengan infiltrate inflammatory
limfositik perivaskuler superfisial tipis dan dalam. 22

Penatalaksanaan

Pada banyak pasien, EN merupakan penyakit yang bisa sembuh sendiri dan hanya membutuhkan
terapi simptomatik dengan obat anti inflamasi non steroid (OAINS), kompres dingin, elevasi dan tirah
baring. Konsultasi dan kerjasama mungkin diperlukan antara:
Ahli penyakit kulit dan kelamin untuk evaluasi penyebab EN
Ahli penyakit dalam untuk evaluasi penyebab EN.22

8. Pemfigus vulgaris

Definisi
diberi nama oleh Wichman pada tahun 1791. dalam kelompok penyakit melepuh autoimun pada
kulit dan membrane mukosa yang ditandai oleh adanya lepuhan intradermal dan ditemukannya
antibody immunoglobulin G (IgG) dalam sirkulasi yang melawan permukaan sel keratinosit. Yang
termasuk dalam penyakit pemfigus adalah pemfigus vulgaris (PV), pemfigus folliaceus dan
paraneoplastik pemfigus dengan kasus pemfigus vulgaris yang terbanyak yaitu sekitar 70
%.25Pemfigus berasal dari bahasa Yunani pemphix yang berarti gelembung atau melepuh.
Pemfigus dideskripsikan sebagai kelompok penyakit bullosa kronik, yang Istilah pemfigus masuk

Patofisiologi
PV adalah penyakit autoimun, intraepithelial, penyakit melepuh yang menyerang kulit dan
membrane mukosa yang ditandai dengan didapatkannya antibodi dalam sirkulasi yang menyerang
permukaasn sel keratinosit. Pada tahun 1964, autoantibodi menyerang permukaan keratinosit
digambarkan pada pasien pemfigus. Observasi klinik dan experimental menunjukkan autoantibody
dalam sirkulasi merupakan pathogen. Predisposisi immunogenetik tak bisa dipungkiri. Lepuhan yang
terjadi pada PV berehubungan dengan ikatan autoantibody IgG pada permukaan molekul sel
keratinosit. Antibodi interseluler atau PV ini berikatan dengan desmosom keratinosit dan dengan
area bebas desmosom pada membran sel keratinosit. Ikatan autoantibody menyebabkan kehilangan
adhesi sel, disebut akantolisis.25
PV antigen: adhesi intraseluler pada epidermis melibatkan beberapa molekul permukaan sel
keratinosit. Antibodi pemfigus mengikat molekul permukaan sel keratinosit desmoglein 1 dan
desmoglein 3. ikatan antibodi dengan desmoglein menyebabkan efek langsung terhadap adheren
desmosomal atau mungkin memacu proses seluler yang menghasilkan akantolisis. Antibodi spesifik
untuk antigen desmosomal juga didapatkan pada pasien PV, meskipun begitu, peran antigen pada
patogenesis penyakit masih belum diketahui. Antibodi: pasien dengan penyakit aktif mempunyai
autoantibodi dalam sirkulasi dan terikat pada jaringan dari subklas IgG1 dan G4.25

Gejala klinis
PV menunjukkan lesi pada mulut pada 50-70% pasien, dan hampir semua pasien mengalami lesi
pada mukosa. Lesi mukosa mungkin merupakan tanda awal sekitar 5 bulan sebelum lesi kulit
berkembang. Pada kulit, terjadi lesi kutaneus. Lesi pada PV adalah lepuhan yang kaku, yang bisa
terdapat pada kulit normal tapi bisa ditemukan pada kulit eritematous. Kulit yang terlibat sering
terasa nyeri tapi jarang gatal.25
Pada pemeriksaan fisik didapatkan mukosa merupakan tempat yang pertama kali terserang. Pasien
dengan lesi mukosa mungkin didaptkan oleh dokter gigi, dokter bedah oral, atau ahli ginekologi.
Pada membran mukosa didapatkan
Bulla yang intak jarang pada mulut. Biasanya ditemukan berbentuk tidak teratur, erosi pada
ginggiva, buccal, atau palatin yang nyeri dan lambat membaik.
Membrane mukosa yang paling sering adalah cavum oral yang terlibat pada hampir semua pasien
PV dan kadang merupakan satu-satunya area yang terlibat. Erosi mungkin bisa terlihat di suatu
daerah cavum oral. Erosi mungkin menyebar sampai ke laring yang menyebakan serak. Pasien sering
tidak bisa makan atau minum secara adekuat karena erosi.
Permukaan mukosa lainnya dapat terlibat termasuk konjungtiva, esofagus, labia, vagina, serviks,
penis, uretra, dan anus.25

Gambar 8 (A)Pemfigus vulgaris pada cavum oral. (B) Pemfigus vulgaris pada kulit

Pada kulit: lesi primer PV adalah lepuhan flaccid yang berisi cairan yang tumbuh pada kulit normal
atau pada kulit eritematous. Lepuhannya rapuh, sehingga, intak lepuhan mungkin tipis. Cairannya
keruh, atau lepuhan yang ruptur akan menghasilkan erosi yang nyeri, yang paling banyak ditemukan
di kulit. Erosi sering besar karena cenderung meluas secara perifer dengan peragntian epitel. Pada
kuku didapatkan peronikia akut, subungual hematom, dan distrofi kuku. 25

Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan laboratorium
Dalam menegakkan diagnosis dilakukan: histopatologi, direct immunofluorescence (DIF), dan
indirect immunofluorecence (IDIF)
Biopsi kulit25

Penemuan histologi: histopatologi menggambarkan lepuhan intradermal. Perubahan awal terdiri


dari edema dengan kehilangan ikatan interseluler pada lapisan basal. Lepuhan kulit mengandung sel
akantolitik. Pemeriksaan histopatologi dapat dilakukan untuk membedakan PV dengan pemfigus
folliaceus.25

Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan PV sama dengan penyakit bullosa autoimun yang lain, yaitu dengan
mengurangi formasi blister, mempercepat penyembuhan blister(lepuhan) dan erosi , dan
mnentukan dosis obat minimal dalam mengontrol proses penyakit.
Konsulatsi dan kerjasama dapat dilakukan antara:
Ahli penyakikt mata
Ahli THT
Penyakit dalam subdivisi endokrinalogi25

9. Purpura-Vaskulitis6
Definisi
Purpura adalah ekstravasasi sel darah merah (eritrosit) ke kulit dan selaput lendir(mukosa) dengan
manifestasi berupa makula kemerahan yang tidak hilang pada penekanan.Kadang-kadang purpura
dapat diraba(palpable purpura).Purpura secara perlahan-lahan mengalami perubahan warna,mula-
mula merah kemudian menjadi kebiruan,disusul warna coklat kekuningan dan akhirnya memudar
dan menghilang.Purpura bisa diklasifikasikan kepada dua yaitu,purpura tanpa inflamasi dan purpura
dengan inflamasi(vaskulitis).
Purpura dengan inflamasi terbagi:
1. Vaskulitis leukositoklastik(purpura anafilaksis)
2. Krioglobulinemia campuran(vaskulitis neutrofilik)
3. Pitiriasis likenoides et varioliformis akuta(Mucha Haberman)
4. Purpura pigmentasi kronik(vaskulitis limfositik)
5. Purpura infeksiosa(meningokok,gonokok,M.leprae,riketsia)
6. Purpura akibat alergi obat.

1.Vaskulitis leukositoklasik(purpura anafilaksis)


Disebut juga sebagai purpura alergik.Kelainan ini diakibatkan karena reaksi antigen antibody di dekat
endotel pembuluh darah yang mengakibatkan perubahan permeabilitas pada dindingnya dan dilatasi
pembuluh darah.
Klinis didapatkan adanya purpura yang dapat diraba ,eritema,edema,urtikaria,dan bula.Tempat
predileksi adalah tempat yang berhubungan dengan tekanan hidrostatik.Apabila kelainan terbatas
disebut sebagai purpura simpleks.Bilamana disertai nyeri sendi dinamai sindrom SCHOLEIN dan bila
disertai gejala saluran cerna serta saluran kemoh disebut sindrom HENOCH.

2.Krioglobulinemia campuran(vaskulitis neutrofilik)


Krioglobulin adalah immunoglobulin yang mengendap pada suhu dingin dan mencair lagi pada suhu
panas.Ada dua jenis yaitu krioglobulinemia monoclonal dan
campuran(multikomponen).Krioglobulinemia campuran merupakan imunukompleks IgG dan
IgM,dapat ditemukan pada lupus eritematosus sistemik dan arthritis rheumatoid,infeksi hepatitis
B,dan vaskulitis leukositoklastik.Secara klonik dijumpai adanya purpura yang dapat diraba.atralgia
dan glomerulonefritis.

3.Ptiriasis likenoides et varioliformis akuta(PLEVA)


Keadaan akut ini sering dikenal sebagai penyakit MUCHA HABERMAN,klinis terdapat erupsi kulit
yang luas terutama di badan ditandai dengan papul-papul yang berkembang menjadi papulonekrotik
disertai perdarahan dan meninggalkan bekas sikatriks ringan.
4.Purpura pigmentasi kronik(vaskulitis limfositik)
Menurut LEVER ada 4 penyakit yang termasuk didalamnya,yaitu:
a) Purpura anularis telangiektoides(MAJOCHI)
Kelainan ini dapat mengenai usia dewasa muda,tetapi juga dapat pada semua golongan umur,tidak
terdapat perbedaan jenis kelamin.Lesi dimulai dengan macula eritematosa karena dilatasi kapiler
pada seluruh tubuh.MACKEE (1915) menyatakan ada tiga fase penyakit yaitu fase
telangiektasis,perdarahan,serta pigmentasi dan atrofi.Fase telangiektasis diikuti timbulnya titik
merah hitam di tepi lesi.Lesi secara perlahan-lahan meluas berukuran 1-2cm.Penyembuhan dimulai
dari bagian tengah sehingga membentuk lesi anular.Lesi anularis akan bersatu membentuk arkus
yang sirsinar.Lesi ini akan menetap beberapa bulan sampai beberapa tahun dan akan meninggalkan
atrofi.
b)Dermatosis pigmentosa progresif(SCHAMBERG)
Kelainan ini berupa dermatosis yang kronik dimulai dengan lesi merah kecoklatan disebabkan
adanya endapan hemosiderin di kulit tampak bercak-bercak merah disebut cayene pepper, terutama
pada anggota badan bagian bawah. Pada umumnya lesi timbul tanpa disertai rasa gatal. Kelainan ini
menetap selama bertahun-tahun meninggalkan bercak hiperpigmentasi.
c)Dermatosis purpura pigmentosa likenoides (GOUGEROT dan BLUM)
Lebih dikenal dengan nama sindrom GOUGEROT-BLUM.Biasanya timbul pada usia sekitar 40-60
tahun.Lokalisasi di mana saja tetapi tersering di tungkai berbentuk papul likenoid yang bersatu
membentuk plakat,lesi dapat simetris dan menetap dan mempunyai warna yang bermacam-macam.
Seringkali dihubungkan dengan liken aureus.
d)Purpura ekzematoid(DOUCAS dan KAPENTANIS)
Keadaan ini terdapat pada ekstremitas bawah biasanya gatal ditandai adanya papul, skuama dan
likenifikasi. Purpura ekzematoid, pigmentosa purpura di ekstremitas bawah dan itching purpura sulit
dibedakan dengan SCHAMBERG. Karena itu keempatnya secara klinis baik disebutkan sebagai
purpura pigmentosa kronika.

5.Purpura infeksiosa
Lebih sering terjadi kerusakan vaskuler baik langsung atau melalui reaksi alergi. Terdapat kelainan
laboratorium yaitu trombositopenia. Infeksi tersering adalah oleh meningokok yang mengakibatkan
terjadinya sepsis, endokarditis bacterial, infeksi virus misalnya morbili dan lain-lain. Purpura dapat
timbul sebagai gejala prodromal.

6.Purpura akibat alergi obat


Berbagai obat dapat menimbulkan purpura.
Obat yang menekan sumsum tulang misalnya benzol dan nitrogen mustard.
Obat yang merusak sumsum tulang misalnya kliramfenikol
Obat yang merusak/menimbulkan trombositopenia misalnya kina dan sedermid.
Obat lain yang menyebabkan purpura antara
lain;fenobarbital,yodida.streptomisin,salisilat,tolbutamid,klorpropamid dan antimetabolik.

10. Staphylococcal scalded skin syndrome


Definisi
Staphylococcal scalded skin syndrome (SSSS) merupakan suatu penyakit yang ditandai dengan
bengkak kemerahan pada kulit yang tampak seperti terbakar (scald), makanya ia dinamakan
staphylococcal scalded skin syndrome.1 SSSS disebabkan oleh pelepasan dua eksotoksin (toksin
epidermolitik A dan B) yang berasal dari strain toksigenik bakteri Staphylococcus aureus. Desmosom
adalah merupakan sebagian dari sel kulit yang bertanggungjawab sebagai perekat kepada sel-sel
kulit. Toksin yang mengikat pada molekil di antara desmosom dikenali sebagai Desmoglein 1 dan
kemudiannya memisah sehingga kulit menjadi tidak utuh. 2
SSSS juga dikenali sebagai Penyakit Ritters atau Penyakit Lyells apabila ia muncul pada bayi atau
anak-anak.1,2

Epidemiologi
SSSS lebih sering muncul pada anak-anak dibawah 5 tahun, biasanya pada neonatus. Antibody
pelindung terhadap eksotoksin staphylococcal biasanya didapat ketika usia anak-anak yang
menjadikan SSSS lebih jarang terjadi pada remaja dan dewasa. Kurangnya imunitas spesifik terhadap
toksin dan system renal clearance yang immature (toksin biasanya dikeluarkan dari tubuh lewat
ginjal) menjadikan neonatus sebagai yang palin berisiko.
Individu dengan immunokompromi dan individu dengan gagal ginjal, tanpa mengira umur, bisa juga
berisiko menndapat SSSS.1,2

Patofisiologi
SSSS bermula dari infeksi staphylococcus yang memproduksi 2 eksotoksin (toksin epidermolitik A
dan B). kedua-dua toksin ini menyebabkan pemisahan intraepidermal ke lapisan granular oleh
desmoglein 1 yang merupakan protein desmosomal yang memediasi pelekatan sel-sel keratinosit
dalan lapisan granular sehingga akhirnya menyebabkan kulit menjadi tidak utuh.1
Pembawa dewasa yang asimtomatik memaparkan bakteri kausatif ini di tempat penjagaan anak.
Pembawa S aureus lewat nasal yang asimtomatik muncul 20-40% pada orang sehat, yang mana
organisma tersebut terisolasi di tangan, perineum dan axilla dalam proporsi kecil dari seluruh
populasi.1,2

Gambaran Klinik
SSSS biasanya dimulai dengan demam, gelisah dan kemerahan meluas pada kulit. Dalm wakti 24-48
jam terbentuk benjolan-benjolan berisi cairan. Benjilan-benjolan ini mudah pecah, dan
meninggalkan kesan yang tampak seperti terbakar.2
Karakteristik lesi termasuklah:
Bulla-bulla besar di axilla, skrotum dan lubang-lubang tubuh seperti hidung dan telinga.
Bintik-bintik kemerahan menyebar ke bagian tubuh yang lain seperti lengan, kaki dan trunkus.
Pada neonatus, lesi sering pada area popok atau sekeliling tali pusat.
Lapisan atas kulit mulai mengelupas, meninggalkan luka terbuka yang lembab, merah dan nyeri.
Simptom-simtom lain adal seperti nyeri di area sekitar tempat infeksi, kelemahan dan dehidrasi.

Pengobatan
Pengobatan biasanya memerlukan perawatan inap, antibiotik intravena umumnya diperlukan untuk
mengeradikasi infeksi staphylococcal. Antibiotik yang biasa digunakan adalah flucloxacillin.
Berdasarkan respon terapi, antibiotik oral bisa diganti setelah beberapa hari. Terapi suportif lain
adalah :
Paracetamol bila perlu untuk demem dan nyeri
Mempertahankan intake cairan dan elektrolit
Penjagaan kulit1

Keracunan adalah masuknya zat racun ke tubuh, baik melalui saluran cerna, napas,
maupun kulit dan mukosa sehingga menimbulkan gejala keracunan. Keracunan masih
sering terjadi pada anak.

Organofosfat adalah zat kimia sintesis yang terkandung pada pestisida untuk
membunuh hama (serangga, jamur, atau gulma). Organofosfat juga digunakan dalam
produk rumah tangga, seperti pembasmi nyamuk, kecoa, dan hewan pengganggu
lainnya.

Organofosfat dapat menimbulkan keracunan karena menghambat enzim kolinesterase.


Enzim ini berfungsi agar asetilkolin terhidrolisis menjadi asetat dan dan kolin.
Organofosfat mampu berikatan dengan sisi aktif kolinesterase sehingga kerja enzim ini
terhambat. Asetilkolin terdapat di seluruh sistem saraf. Asetilkolin berperan penting pada
sistem saraf autonom yang mengatur berbagai kerja, seperti pupil mata, jantung,
pembuluh, darah. Asetilkolin juga merupakan neurotransmiter yang langsung
memengaruhi jantung serta berbagai kelenjar dan otot polos saluran napas.

Keracunan organofosfat dapat terjadi melalui kulit, mata, mulut jika tertelan, dan hidung
jika terhirup dengan dosis berlebih. Keracunan organofosfat melalui kulit terjadi jika zat
ini berbentuk cairan dan tumpah di kulit, atau melalui pakaian yang terpapar
organofosfat. Gas dan partikel semprotan yang sangat halus (<10 mikron) dapat masuk
ke paru, sedangkan partikel yang lebih besar (>50 mikron) akan menempel di selaput
lendir atau kerongkongan. Keracunan melalui saluran pencernaan dapat terjadi karena
makanan terpapar organofosfat atau jika zat ini terbawa angin masuk ke mulut.

Gejala keracunan organofosfat akan timbul dalam waktu 6-12 jam setelah paparan.
Gejalanya bervariasi, dari yang ringan hingga kematian. Gejala awal adalah ruam dan
iritasi pada kulit, mual/rasa penuh di perut, muntah, lemas, sakit kepala, dan gangguan
penglihatan. Gejala lanjutan, seperti keluar ludah berlebihan, keluar lendir dari hidung
(terutama pada keracunan melalui hidung), berkemih berlebihan dan diare, keringat
berlebihan, air mata berlebihan, kelemahan yang disertai sesak napas, dan akhirnya
kelumpuhan otot rangka, sukar berbicara, hilangnya refleks, kejang, dan koma.

Pertolongan pertama keracunan organofosfat yang mengenai kulit adalah mencuci


bagian yang terpapar dengan sabun dan air dingin. Lebih baik lagi jika mandi,
mengganti pakaian, mencuci pakaian yang terpapar dengan menggunakan sarung
tangan. Jika mata yang terkena maka harus dicuci dengan air mengalir paling tidak
selama 15 menit.

Jika organofosfat tertelan, pertolongan awal adalah melegakan saluran napas dengan
membersihkan sisa muntahan dan lendir yang berlebih di dalam rongga mulut korban.
Kemudian miringkan korban. Pastikan korban masih bernapas. Jika tidak, segera
berikan bantuan hidup dasar, tetapi gunakan masker atau kain untuk menghindari
organofosfat meracuni penolong. Sebaiknya upayakan untuk mengetahui jenis racun
penyebabnya.

Pencegahan adalah tindakan relatif sederhana dan mudah dilakukan. Hal penting yang
harus diperhatikan, antara lain bahan rumah tangga yang mengandung organofosfat
harus dijauhkan dari jangkauan anak atau tempatkan pada wadah yang tidak dapat
dibuka oleh anak.

Hipertermia maligna dikenal sebagai suatu kondisi yang terjadi setelah pembiusan pada saat
operasi yang ditandai dengan peningkatan suhu secara ekstrem. Namun, sebenarnya hipertermia
maligna merupakan kondisi terjadinya hiperkontraktur otot yang tanda awalnya berupa kekakuan
atau rigiditas otot. Peningkatan suhu justru merupakan tanda yang muncul di akhir. Selain itu,
kondisi tersebut tidaklah khas akibat pembiusan semata melainkan juga beberapa penyebab
lainnya.

Hipertermia maligna merupakan kelainan genetik yang melibatkan otot rangka atau skeletal.
Kelainan tersebut diturunkan secara autosomal dominan. Pada penderita hipertermia maligna,
pajanan ryanodine pada sel otot skeletal dapat menyebabkan terjadinya hiperkontraktur akibat
pelepasan Ca2+ yang berlebihan dari reticulum sarkoplasma ke sitosol. Normalnya, memang pada
saat terjadi aktivasi reseptor yang kita sebut sebagai reseptor ryanodine (RyR) yang berhubungan
dengan sisterna terminalis reticulum sarkoplasma akan terjadi pelepasan Ca 2+ yang berfungsi
untuk menyebabkan otot dapat berkontraksi. Pada penderita hipertermia maligna, pelepasan
tersebut terjadi secara berlebihan setelah pajanan berbagai pemicu, yang mana salah satunya
adalah zat anestetik inhalasi. Ketidaknormalan reseptor ryanodine yang ada baru dapat
bermanifestasi apabila terdapat pajanan dengan zat pemicunya.
Pemicu terjadinya hipertermia maligna antara lain adalah zat anestetik inhalasi, kafein, teofilin,
aminofilin, milrinone, suksinilkolin, suhu panas, fenotiazin, aktivitas berlebih otot skeletal, dan
m-klorokresol (zat kimia pengawet pada beberapa obat medis).

Sayangnya, kencenderungan seseorang untuk mengalami hipertermia maligna hampir semua


diketahui setelah terjadi serangan, terutama ketika menjalani anestesia umum inhalasi. Oleh
karena itu, penting diketahui apakah seseorang memiliki kerabat atau anggota keluarga yang
pernah mengalami hipertermia maligna sebelumnya.

Bila diperlukan suatu tindakan pembiusan, pada penderita MH dipilih penggunaan anestetika
intravena yang mana lebih aman dibandingkan inhalasi. Anestesi regional juga dapat
direkomendasikan. Sementara itu, apabila diperlukan pelumpuh otot, dipilih obat selain
suksinilkolin. Pelumpuh otot non depolarisasi aman digunakan kecuali tubokurarin.

Pada kejadian hipertermia maligna pada pemberian anestesi inhalasi, gejala klinis dapat terdeteksi
dalam beberapa menit hingga jam sejak pajanan gas anestesi. Tanda pertama yang dapat dikenali
adalah peningkatan tonus simpatis berupa takikardia dan hipertensi yang tidak dapat diatasi
dengan analgesik. Selain itu, pasien mengalami kekakuan otot yang tidak dapat dilawan dengan
pelumpuh otot.

Hiperkotraktur otot skeletal terjadi di seluruh tubuh, yang mana paling pertama dapat dideteksi
adalah kekakuan otot maseter. Hal tersebut dikarenakan pada sel otot maseter banyak terdapat
miofilamen tipe I yang mana afinitasnya terhadap Ca 2+ lebih tinggi daripada tipe II. Lambat laun
pasien akan tampak kaku.
Kontraksi berlebihan pada kejadian hipertermia maligna menyebabkan metabolisme sel yang
berlebihan sehingga konsumsi O2 meningkat. Akibatnya, sisa metabolisme seperti CO2 pun akan
meningkat. Oleh karena itu, jika terjadi hiperkarbia progresif yang penyebabnya tidak diketahui,
kemungkinan besar penyebabnya adalah hipertermia maligna. CO2 dapat dipantau melalui nilai
end-tidal CO2 (ETCO2). Hal terpenting yang perlu dilakukan adalah periksa CO2 absorber, yang
aman akan jenuh dengan cepat dan panas. Kemudian, gas anestesi dihentikan serta hiperventilasi
dengan O2 tinggi. Jika didukung dengan adanya kekakuan otot maseter, dapat dipastikan bahwa
penyebabnya adalah hipertermia maligna.
Peningkatan suhu yang terjadi pada hipertermia maligna juga diakibatkan oleh metabolism yang
berlebihan. Peningkatan suhu terjadi secara progresif, tetapi lambat terdeteksi. Kondisi lain yang
terjadi berkaitan dengan peningkatan metabolisme antara lain adalah penumpukan laktat dan
asidosis serta aktivasi saraf simpatis (hipertensi, takikardia, dan aritmia).

Hiperkontraktur otot yang terjadi menyebabkan terhambatnya aliran darah ke otot sehingga
penghantaran oksigen dan pengangkutan sisa metabolism akan terganggu. Akibatnya, terjadi
rabdomiolisis yang dapat dideteksi dengan tingginya kadar kreatinin kinase (CK) serum dan
myoglobin urin dan serum. Lisis sel dapat menyebabkan kalium intrasel keluar menuju plasma
sehingga hiperkalemia dapat terjadi juga.

Terapi pada hipertermia maligna, terutama yang terjadi pada saat penggunaan zat anestesi
inhalasi adalah sebagai berikut. Zat anestetika inhalasi harus segera dihentikan. Untuk
menurunkan ETCO2 , ventilasi semenit dinaikan. Berikan dantrolen sodium dosis awal 2.5 mg/kg.
Dosis selanjutnya dititrasi berdasarkan ETCO2 dan takikardia. Dosis total maksimal 10 mg/kg,
tetapi boleh ditambah jika dianggap perlu.
Pasien didinginkan dengan menggunakan ice pack pada regio inguinal, aksila, dan leher. Lavage
lambung dengan cairan dingin. Pendinginan dihentikan jika suhu sudah 38.5 C. Pemeriksaan
lab yang diperlukan antara lain adalah AGD, elektrolit, CK, darah rutin dan urin. Hiperkalemia di
atasi dengan hiperventilasi, insulin dan glukosa.

Jika krisis teratasi, dantrolen dilanjutkan dengan dosis 1 mg/kg setiap 4-8 jam, selama 24-48 jam.
Produksi urin ditargetkan 2 ml/kg/jam (dua kali lipat normal), bila perlu diberikan mannitol,
furosemide dan terapi cairan. Pasien perlu dievaluasi apakah perlu mendapatkan pemantauan
invasive dan ventilasi mekanik lanjutan. Observasi dilakukan di ICU hingga setidaknya 36 jam.
Terapi dantrolen dilanjutkan secara oral setelah pasien membaik, tetapi tidak lebih dari 45 hari
karena terdapat risiko hepatotoksisitas.

Pasien dan keluarga disarankan untuk menjalani tes kontraktur dana tau pemeriksaan kromosom
untuk menegakan diagnosis pasti hipertermia maligna serta mengetahui kecenderungan untuk
mengalami kondisi tersebut. Hingga kini baku emas diagnosis hipertermia maligna adalah IVCTs
(in vitro muscle contracture tests) atau dikenal juga sebagai CHCT (caffein-halothane contracture
test).

Kondisi lain yang dapat menyerupai hipertermia maligna antara lain adalah

1. Malignant hyperthermia-like syndrome. Tidak ada bukti mutase genetic pada kromosom
yang sesuai MH. Gejala tidak seberat dan selengkap MH. Dapat terjadi pada operasi pembedahan
otot skeletal atau penarikan otot skeletal
2. Neuroleptic malignant syndrome. Pemicu utamanya adalah hambatan pada reseptor
dopamine (D2). Pada pasien yang mendapatkan pengobatan antipsikosis atau neurologic tertentu.
Terjadi rigiditas ekstrapiramidal serta hambatan hilangnya panas akibat gangguan pengaturan di
hipotalamus posterior. Contoh obat paling sering haloperidol, klorpromazin, metoclopramide.
Pasien yang biasa mendapatkan obat dopaminergic (misal pada parkinsonism) yang dosisnya
diturunkan mendadak. Gambaran klinis seperti MH, terapi juga serupa, termasuk pemberian
dantrolen atau bromokriptin.
3. Serotonin Syndrome. Peningkatan aktivitas serotonin karena overdosis obat atau interaksi
antar obat yang sinergis. Contoh obat antara lain: agonis 5HT (golongan triptan), antidepresan
(inhibitor MAO), opioid, stimulan otak (amfetamin), metamfetamin, kokain, MDMA, MDA),
halusinogen (LSD), obat herbal (gingseng, Yohimbe), kolinergik (metoclopramide), antagonis
5HT (ondansetron, granisetron). Pada serotonin syndrome terdapat hipermetabolisme, agitasi
peningkatan tonus simpatis, tetapi tidak terjadi rigiditas otot melainkan tremor, hiperefleks atau
mioklonus. Terapi serotonin sindrom adalah siproheptadin atau klorpromazin. Selain itu
diberikan juga terapi penunjang dan simptomatik.
4. Thyroid Storm. Krisis hipertiroid yang mana terjadi hipermetabolisme akibat pelepasan
hormone tiroid (T3 dan T4) pada pasien tirotoksikosis. Gejala mirip hipertermia maligna, tetapi
yang paling utama adalah peningkatan tonus simpatis. Pasien mengalami hipertensi, takikardi,
gangguan neurologik dan pencernaan serta peningkatan suhu tubuh. Terapinya antara lain adalah
propil tiourasol (PTU), sodium iodide atau potassium iodide (lugol). Terapi penunjang seperti
pendinginan, beta blocker kerja cepat (esmolol, metoprolol), dan kortikosteroid.

Anda mungkin juga menyukai