Pendahuluan
Laporan Kasus
Seorang laki-laki 24 tahun, suku Bali, datang ke RSUD Wangaya pada tanggal 28
November 2017 dengan keluhan utama demam. Demam dirasakan mulai sejak 8 hari yang lalu,
awalnya sumer sumer dan perlahan semakin tinggi. Demam dirasakan sempat membaik
dengan pemberian obat penurun panas, namun tidak lama demam kembali datang. Demam
membuat penderita menjadi tidak dapat beraktifitas seperti biasa sehingga penderita harus
berbaring di rumah. Penderita juga mengeluhkan mual muntah selama 8 hari (tanggal 22 hingga
26 Juli 2015). Nyeri pada betis dan kedua paha dirasakan sepanjang hari. Mata kuning sejak 4
hari yang lalu, dan meluas hingga telapak kaki dan tangan.
Penderita juga sempat mengeluhkan BAK sedikit-sedikit yang dirasakan sejak 3 hari
sebelum datang ke RS. Dikatakan awalnya BAK tidak lebih dari 1gelas belimbing dan sejak 1
hari SMRS tidak bisa BAK, warna BAK dikatakan keruh seperti teh.
Keluhan keluhan diatas tidak pernah dirasakan oleh penderita sebelumnya. Penderita
merupakan seorang penyiar di sebuah radio swasta di kota Denpasar. Riwayat perdarahan
spontan disangkal. Riwayat keluhan serupa di keluarga disangkal. Penderita tidak pernah
dirawat di rumah sakit sebelumnya.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan kesan umum sakit sedang, dengan status gizi cukup
(berat badan 49 kg , tinggi badan 168 cm, indeks massa tubuh 17,36), kesadaran kompos
mentis, tekanan darah 110/90 mmHg, denyut nadi 108x/menit, laju respirasi 22x/menit, dan
temperature axila 38,70C. Pada pemeriksaan kepala ditemukan anemia, dengan JVP PR 0
cmH2O, tidak ditemukan pembesaran kelenjar getah bening pada leher, axilla, dan inguinal.
Pada pemeriksaan fisik paru, didapatkan inspeksi tampak simetris, pada palpasi tidak
ditemukan peningkatan taktil vokal fremitus, pada perkusi ditemukan sonor, auskultasi
ditemukan suara nafas vesikuler, tidak ditemukan ronki maupun wheezing. Pada pemeriksaan
fisik jantung iktus kordis tidak tampak dari inspeksi, pada perkusi ditemukan batas jantung
kanan 1 cm lateral parasternal kanan, serta batas kiri jantung 2 cm lateral garis midclavicula
kiri, pada auskultasi ditemukan suara jantung I dan II tunggal, denyut regular, dengan tidak
ditemukan adanya murmur jantung. Pemeriksaan abdomen tidak ditemukan distensi, bising
usus normal, hepar teraba 2 jari di bawah arcus costa, permukaan rata, konsistensi kenyal, tepi
tumpul, lien tidak teraba, tidak ditemukan ballottement, perkusi suara timpani. Pada keempat
ekstrimitas teraba hangat, tidak ditemukan edema, dan kekuatan otot keempat ekstrimitas
dalam batas normal.
Pemeriksaan laboratorium pada tanggal 3 Agustus 2015 (pada awal MRS) didapatkan
WBC 12,44 x 103/l, RBC 3,22 x 106/ l, Hb 5,4 gr/dl, HCT 17,47%, MCV 78,7 fL, MCH
23,4 g/dL, PLT 15 x 103/ l, LED I 20 mm, LED II 96mm, BUN 16 mg/dL, creatinin 0.95
mg/dL, total kolesterol 117,7 mg/dL, HDL kolesterol 24,65 mg/dL, LDL kolesterol 71,18
mg/dL, trigliserida 99,62 mg/dL, Natrium 135 mmol/L, Kalium 4,59 mmol/L, dan Albumin
2,46 g/dL Pada pemeriksaan urinalisis dalam batas normal. IgM Anti Salomonella dengan
hasil positif (skor 6). Pemeriksaan faal hemostasis dalam batas normal dengan PPT 15,4 detik
(kontrol 12,2), APPT 34,8 detik (kontrol 35,7) dan INR 1,41. Hasil EKG dengan irama sinus
dan tidak ditemukan perubahan patologis segmen ST atau gelombang T, menunjukkan
gambaran sinus takikardia. Hapusan darah tepi menunjukkan gambaran eritrosit hipokromik
mikrositer (mikrosit +, dan cigar cell +), gambaran leukosit yang normal, tidak ditemukan toxic
granule dan sel muda, dan jumlah trombosit kesan menurun.
Pada foto thorax didapatkan kesan jantung sulit dievaluasi karena kurang inspirasi,
pulmo terdapat kesan infiltrat di paracardial kanan dicurigai pneumonia. Telah dilakukan
tindakan MSCT Scan kepala irisan axial tanpa dan dengan kontras dengan hasil yang normal.
Penderita didiagnosis dengan diagnosis suspek leptospirosis berat, sepsis berat dengan
tromobositopenia dan transaminitis, Akut kidney injury grade III, anemia ringan
normokromik normositer oleh karena suspek pendarahan akut, hipoalbumin oleh karena
inflamasi kronis. Terapi yang diberikan adalah terapi IVFD NaCl 0.9% : aminoleban 20
tetes/menit, Diet rendah serat 1700 kkal, parasetamol 3 x 500 mg intraoral, Ceftriakson 1 gram
tiap 12 jam intravena, ondancentron 3 x 4 mg intraoral, Asam folat 2x 2 mg intraoral, UDCA
250 mg tiap 8 jam, curcuma 3x1 tablet. Dilakukan hemodialisis sebanyak 1x dengan durasi 2
jam pada tanggal 30 oktober 2017. Penegakan diagnostik dengan pemeriksaan serologi IgG,
IgM anti leptospira, pemeriksaan mikroskopis lapangan gelap, dan kultur darah.
Pembahasan
Leptospira masuk ke tubuh host melalui kulit yang mengalami abrasi atau membran
mukosa yang masih intak seperti konjungtiva, orofarings maupun nasofarings. Minum air yang
terkontaminasi menyebabkan leptospira masuk melalui mulut, farings, esofagus. Leptospira
kemudian masuk ke aliran darah (leptospiremia) dan menyebar ke seluruh organ. Multiplikasi
terjadi di darah dan jaringan, sehingga leptospira dapat diisolasi dari darah dan cairan
serebrospinal selama 4-10 hari pertama sakit.1,2 Leptospira dapat menimbulkan kerusakan pada
dinding pembuluh darah kecil; kerusakan ini menimbulkan vaskulitis, dengan kebocoran
plasma dan ekstravasasi sel termasuk perdarahan. Secara patologi didapatkan adesi leptospira
dengan permukaan sel dan terjadi toksisitas selular. Vaskulitis adalah manifestasi terpenting
dari penyakit ini. 1
Leptospira terutama menginfeksi ginjal dan hepar, tetapi juga dapat mengenai organ
lain. Pada ginjal, leptospira bermigrasi ke interstitium ginjal, tubulus renalis, dan lumen
tubulus, menimbulkan nefritis interstitialis dan nekrosis tubulus yang dapat menyebabkan
gagal ginjal. Pada hepar terjadi nekrosis sentrilobuler dan proliferasi sel kuppfer. Keterlibatan
paru sebagai akibat dari perdarahan, bukan karena inflamasi. Invasi ke otot skelet
menyebabkan pembengkakan, vakuolisasi miofibril, dan nekrosis fokal. Pada leptospirosis
berat, vaskulitis dapat menyebabkan kegagalan mikrosirkulasi dan peningkatan permeabilitas
kapiler, yang menyebabkan kebocoran cairan dan hipovolemia.
Pada kasus didapatkan adanya tanda infeksi akut seperti demam tinggi, dan nyeri pada
otot dan sendi, infeksi leptospira dicurigai dengan adanya keterlibatan gangguan ginjal pada
kasus ini yaitu ditandai dengan penurunan produksi kencing hingga anuria, dan infeksi pada
hepar yang ditandai dengan pembesaran hati hingga muncul ikterus yang menandakan adanya
peningkatan kadar bilirubin.
Bila telah terbentuk antibodi, leptospira dapat dieliminasi dari semua tempat kecuali
mata menyebabkan terjadinya uveitis berulang, tubulus proksimal (leptospiuri berlangsung 1-
4 minggu) dan mungkin otak yang menetap selama beberapa minggu atau bulan. 1,2 Respon
imun sistemik efektif mengeliminasi leptospira namun menimbulkan reaksi inflamasi. Setelah
terapi antimikroba juga dapat terjadi reaksi Jarisch-Herxheimer, seperti spirochaeta yang lain.2
Gambar 2. perjalanan alamiah leptospira.1,2,3 Masa inkubasi biasanya 1-2 minggu dengan range
2-20 hari. Manifestasi klinisnya bifasik yaitu 2 fase yang khas meliputi : fase akut/septikemia
1 minggu, diikuti fase imun yang ditandai dengan terbentuknya antibodi dan ekskresi
leptospira di urin. 3 Spektrum gejala leptospirosis sangat luas, 15-40% asimptomatik.2,3 Kasus
yang simptomatik manifestasi klinisnya bervariasi antara ringan (>90%) sampai berat dan
bahkan fatal. Weils disease terjadi pada 5-10% kasus adalah bentuk leptospirosis yang sangat
berat ditandai dengan ikterus, disfungsi ginjal dan kecenderungan perdarahan.2
3) Serologi
Respon tubuh terhadap infeksi oleh leptospira adalah memproduksi antibodi
yang spesifik terhadap leptospira. Serokonversi mungkin timbul pada hari ke 5-7 onset
akan tetapi mungkin dapat terjadi setelah hari ke 10. IgM biasanya timbul lebih awal
dibandingkan IgG dan masih dapat dideteksi sampai beberapa bulan bahkan tahun
dalam titer yang rendah, sedangkan IgG mungkin tidak terdeteksi atau terdeteksi dalam
periode yang singkat akan tetapi mungkin juga menetap selama beberapa tahun.6
Diagnosis biasanya dibuat berdasarkan pemeriksaan serologi, beberapa yang tersedia
adalah:
a. Pemeriksaan MAT menjadi positif setelah hari ke 7-10, puncaknya pada
minggu 3-4 dan tetap ada dalam titer yang tinggi sampai beberapa tahun, oleh
karena itu untuk menegakan diagnosis dibutuhkan bukti peningkatan titer 4
kali atau lebih. Pemeriksaan MAT rumit dan membutuhkan tenaga terlatih.2
Hal ini dikarenakan pemeriksan ini membutuhkan mikroskop medan gelap
dan kultur dari berbagai serovar yang mungkin tidak tersedia di beberapa
laboratorium. Sehgal dkk., 1999 melaporkan bahwa MAT mempunyai
sensitifitas 41% selama minggu pertama dan meningkat menjadi 82% selama
minggu ke 2-4 dan lebih dari 96% setelah minggu ke 4. Beberapa pasien yang
hasil MAT nya negatif pada minggu 2-4 menjadi positif setelah hari ke 30
onset. Hal ini mengindikasikan untuk menyingkirkan diagnosis sampel
ketiga harus diambil setelah 1 bulan onset, akan tetapi hal ini tidak praktis
untuk praktek klinis. Dengan mempertimbangkan keterbatasan ini, MAT
digunakan pada single sample untuk diagnosis presumtif walaupun cut off
titer untuk single bervariasi tergantung darah masing-masing.1
b. ELISA IgM dan slide agglutination tests (SAT) juga tersedia. Pemeriksaan
IgM Elisa khusunya berguna dalam membuat diagnosis dini, karena posiitif
pada hari ke 2, pada saat manifestasi klinis belum spesifik.2
c. Rapid test (The SD BIOLINE LEPTOSPIRA IgG/IgM) merupakan solid
phase immunochromatographic assay untuk deteksi kualitatif IgG dan/atau
IgM terhadap Leptospira interrogansi pada serum atau plasma. Pemeriksaan
ini hanya merupakan pemeriksan awal oleh karena itu pemeriksaan serologi
yang lain juga harus diperiksa untuk konfirmasi diagnosis.7
Pada kasus diberikan antibiotik cefalosporin generasi ke 3 yaitu ceftriaxon dengan dosis
1 gram tiap 12 jam iv, diberikan selama 14 hari yang sesuai dengan penatalaksanaan
leptospirosis berat. Hemodialisis dilakukan bertujuan untuk terapi pemulihan ginjal (renal
support).
Sebagian besar penderita leptospirosis akan sembuh. Angka kematiannya meningkat
dengan bertambahnya umur. Mortalitas tinggi pada penderita tua dan dengan Weils disease.2,9
Pada penderita dengan ikterus angka kematian 5% pada usia <30 tahun dan usia lanjut
mencapai 30-40%.1 Kematian pada kasus yang berat, 10-15% kasus yang disebabkan
perdarahan paru atau gagal jantung dan aritmia akibat sekunder dari miokarditis.10 Seguro et al
melaporkan 50% kematian terjadi pada pasien oliguri dan hanya 5 % pada nonoliguri.8
DAFTAR PUSTAKA
1. Zein U. Leptospirosis. Dalam: Sudoyo A.W., Setiyohadi B., Alwi I., Simadibrata M.,
Setiati S. ed. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi IV. Pusat penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Jakarta. 2014. hal. 1845-8.
2. Speelman P. Leptospirosis. In: Kasper DL., Braunwald E., Fauci AS., Hauser SL., Longo
DL., Jameson JL. eds. Harrisons Principles of Internal Medicine. 16th ed. Volume 1. Mc.
Grow-Hill companies. 2005. p.988-91.
4. Haake D.A. Spirochaetal lipoproteins and pathogenesis. Microbiology. 2000; 146: 1491-
1504.
5. Evans T. Infectious disease and acute renal failure. In: Glynne P., Allen A., Pusey C. eds.
Acute Renal Failure in Practice. Imperial College Press. 2002. p.401-14.
6. Edwards CN, Nicholson GD, Everard CO. Thrombocytopenia in leptospirosis. Am J Trop
Med Hyg. 1982. 31(4): 827-9.
7. Edwards CN, Nicholson GD, Hassel TA, Everard CO, Callender J. Thrombocytopenia in
leptospirosis: the absence of evidence for disseminated intravascular coagulation. Am J
Trop Med Hyg. 1986. 35(2): 352-4.
8. Im J.G., Yeon K.M., Han M.C., Kim C.W., Webb W.R., Lee J.S. Leptospirosis of the lung:
radiographic findings in 58 patients. AJR. 1989; 152:955-9.
9. Daher E., Zanetta D.M.T., Cavalcante M.B., Abdulkader R.C.R.M. Risk factors for death
and changing patterns in leptospirosis acute renal failure. Am.J.Trop.Med.Hyg. 1999;
61(4): 630-4.
10. Edwards CN. Leptospirosis. In: Cohen J., Powderly W.G., Berkley S.F., Holland S.M.,
Opal S.M., Callandra T. Infectious disease. Mosby. London. 2004. p. 1669-70.
11. Dupont H, Dupont-Perdrizet D, Perie JL, Zehner-Hansen S, Jarrige B, Daijardin JB.
Leptospirosis: prognostic factors associated with mortality. Clin Infect Dis. 1997.
25(3):720-4.
12. Mangatas SM,Biran SI, Merati TP. Profil Penderita Leptospirosis yang di Rawat Inap di
RSUP Sanglah Denpasar.