Anda di halaman 1dari 13

SEORANG PENDERITA DENGAN KECURIGAAN LEPTOSPIROSIS BERAT

Pendahuluan

Leptospirosis adalah penyakit zoonosis yang disebabkan oleh Leptospira interogans


tanpa memandang bentuk spesifik serotipenya. Penyakit ini dikenal dengan berbagai nama
yaitu mud fever, slime fever, swamp fever, autumnal fever, infectious jaundice, field fever.1
Penyakit ini disebabkan oleh ordo spirochaetales, famili leptospiraceae, genus leptospira yang
terdiri dari 2 spesies yaitu L. interrogans yang patogen dan L. biflexa bersifat non
patogen/saprofit.1,2 leptospira yang tersering menginfeksi manusia adalah L.
icterohaemorrhagica.
Leptospirosis merupakan penyakit zoonosis yang penting karena distribusinya yang
luas di seluruh dunia, mengenai paling sedikit 160 spesies mamalia. Kejadian luar biasa dalam
dekade terakhir di beberapa negara telah menjadikan penyakit ini sebagai salah satu the
emerging infectious disease.1 Reservoar adalah binatang pengerat khususnya tikus, dan
mamalia lain seperti anjing, babi.1,2 Transmisi leptospira terjadi melalui kontak dengan urine,
darah atau jaringan binatang yang terinfeksi atau terpapar dengan lingkungan yang
terkontaminasi, transmisi dari manusia ke manusia jarang. Leptospira diekskresikan dalam
urine, selanjutnya dapat hidup dalam air selama beberapa bulan, dan air merupakan rantai
penularan yang penting. Pada laporan kasus ini akan disajikan seorang laki-laki dengan
kecurigaan leptospirosis berat.

Laporan Kasus
Seorang laki-laki 24 tahun, suku Bali, datang ke RSUD Wangaya pada tanggal 28
November 2017 dengan keluhan utama demam. Demam dirasakan mulai sejak 8 hari yang lalu,
awalnya sumer sumer dan perlahan semakin tinggi. Demam dirasakan sempat membaik
dengan pemberian obat penurun panas, namun tidak lama demam kembali datang. Demam
membuat penderita menjadi tidak dapat beraktifitas seperti biasa sehingga penderita harus
berbaring di rumah. Penderita juga mengeluhkan mual muntah selama 8 hari (tanggal 22 hingga
26 Juli 2015). Nyeri pada betis dan kedua paha dirasakan sepanjang hari. Mata kuning sejak 4
hari yang lalu, dan meluas hingga telapak kaki dan tangan.
Penderita juga sempat mengeluhkan BAK sedikit-sedikit yang dirasakan sejak 3 hari
sebelum datang ke RS. Dikatakan awalnya BAK tidak lebih dari 1gelas belimbing dan sejak 1
hari SMRS tidak bisa BAK, warna BAK dikatakan keruh seperti teh.
Keluhan keluhan diatas tidak pernah dirasakan oleh penderita sebelumnya. Penderita
merupakan seorang penyiar di sebuah radio swasta di kota Denpasar. Riwayat perdarahan
spontan disangkal. Riwayat keluhan serupa di keluarga disangkal. Penderita tidak pernah
dirawat di rumah sakit sebelumnya.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan kesan umum sakit sedang, dengan status gizi cukup
(berat badan 49 kg , tinggi badan 168 cm, indeks massa tubuh 17,36), kesadaran kompos
mentis, tekanan darah 110/90 mmHg, denyut nadi 108x/menit, laju respirasi 22x/menit, dan
temperature axila 38,70C. Pada pemeriksaan kepala ditemukan anemia, dengan JVP PR 0
cmH2O, tidak ditemukan pembesaran kelenjar getah bening pada leher, axilla, dan inguinal.
Pada pemeriksaan fisik paru, didapatkan inspeksi tampak simetris, pada palpasi tidak
ditemukan peningkatan taktil vokal fremitus, pada perkusi ditemukan sonor, auskultasi
ditemukan suara nafas vesikuler, tidak ditemukan ronki maupun wheezing. Pada pemeriksaan
fisik jantung iktus kordis tidak tampak dari inspeksi, pada perkusi ditemukan batas jantung
kanan 1 cm lateral parasternal kanan, serta batas kiri jantung 2 cm lateral garis midclavicula
kiri, pada auskultasi ditemukan suara jantung I dan II tunggal, denyut regular, dengan tidak
ditemukan adanya murmur jantung. Pemeriksaan abdomen tidak ditemukan distensi, bising
usus normal, hepar teraba 2 jari di bawah arcus costa, permukaan rata, konsistensi kenyal, tepi
tumpul, lien tidak teraba, tidak ditemukan ballottement, perkusi suara timpani. Pada keempat
ekstrimitas teraba hangat, tidak ditemukan edema, dan kekuatan otot keempat ekstrimitas
dalam batas normal.
Pemeriksaan laboratorium pada tanggal 3 Agustus 2015 (pada awal MRS) didapatkan
WBC 12,44 x 103/l, RBC 3,22 x 106/ l, Hb 5,4 gr/dl, HCT 17,47%, MCV 78,7 fL, MCH
23,4 g/dL, PLT 15 x 103/ l, LED I 20 mm, LED II 96mm, BUN 16 mg/dL, creatinin 0.95
mg/dL, total kolesterol 117,7 mg/dL, HDL kolesterol 24,65 mg/dL, LDL kolesterol 71,18
mg/dL, trigliserida 99,62 mg/dL, Natrium 135 mmol/L, Kalium 4,59 mmol/L, dan Albumin
2,46 g/dL Pada pemeriksaan urinalisis dalam batas normal. IgM Anti Salomonella dengan
hasil positif (skor 6). Pemeriksaan faal hemostasis dalam batas normal dengan PPT 15,4 detik
(kontrol 12,2), APPT 34,8 detik (kontrol 35,7) dan INR 1,41. Hasil EKG dengan irama sinus
dan tidak ditemukan perubahan patologis segmen ST atau gelombang T, menunjukkan
gambaran sinus takikardia. Hapusan darah tepi menunjukkan gambaran eritrosit hipokromik
mikrositer (mikrosit +, dan cigar cell +), gambaran leukosit yang normal, tidak ditemukan toxic
granule dan sel muda, dan jumlah trombosit kesan menurun.
Pada foto thorax didapatkan kesan jantung sulit dievaluasi karena kurang inspirasi,
pulmo terdapat kesan infiltrat di paracardial kanan dicurigai pneumonia. Telah dilakukan
tindakan MSCT Scan kepala irisan axial tanpa dan dengan kontras dengan hasil yang normal.
Penderita didiagnosis dengan diagnosis suspek leptospirosis berat, sepsis berat dengan
tromobositopenia dan transaminitis, Akut kidney injury grade III, anemia ringan
normokromik normositer oleh karena suspek pendarahan akut, hipoalbumin oleh karena
inflamasi kronis. Terapi yang diberikan adalah terapi IVFD NaCl 0.9% : aminoleban 20
tetes/menit, Diet rendah serat 1700 kkal, parasetamol 3 x 500 mg intraoral, Ceftriakson 1 gram
tiap 12 jam intravena, ondancentron 3 x 4 mg intraoral, Asam folat 2x 2 mg intraoral, UDCA
250 mg tiap 8 jam, curcuma 3x1 tablet. Dilakukan hemodialisis sebanyak 1x dengan durasi 2
jam pada tanggal 30 oktober 2017. Penegakan diagnostik dengan pemeriksaan serologi IgG,
IgM anti leptospira, pemeriksaan mikroskopis lapangan gelap, dan kultur darah.

Pembahasan
Leptospira masuk ke tubuh host melalui kulit yang mengalami abrasi atau membran
mukosa yang masih intak seperti konjungtiva, orofarings maupun nasofarings. Minum air yang
terkontaminasi menyebabkan leptospira masuk melalui mulut, farings, esofagus. Leptospira
kemudian masuk ke aliran darah (leptospiremia) dan menyebar ke seluruh organ. Multiplikasi
terjadi di darah dan jaringan, sehingga leptospira dapat diisolasi dari darah dan cairan
serebrospinal selama 4-10 hari pertama sakit.1,2 Leptospira dapat menimbulkan kerusakan pada
dinding pembuluh darah kecil; kerusakan ini menimbulkan vaskulitis, dengan kebocoran
plasma dan ekstravasasi sel termasuk perdarahan. Secara patologi didapatkan adesi leptospira
dengan permukaan sel dan terjadi toksisitas selular. Vaskulitis adalah manifestasi terpenting
dari penyakit ini. 1
Leptospira terutama menginfeksi ginjal dan hepar, tetapi juga dapat mengenai organ
lain. Pada ginjal, leptospira bermigrasi ke interstitium ginjal, tubulus renalis, dan lumen
tubulus, menimbulkan nefritis interstitialis dan nekrosis tubulus yang dapat menyebabkan
gagal ginjal. Pada hepar terjadi nekrosis sentrilobuler dan proliferasi sel kuppfer. Keterlibatan
paru sebagai akibat dari perdarahan, bukan karena inflamasi. Invasi ke otot skelet
menyebabkan pembengkakan, vakuolisasi miofibril, dan nekrosis fokal. Pada leptospirosis
berat, vaskulitis dapat menyebabkan kegagalan mikrosirkulasi dan peningkatan permeabilitas
kapiler, yang menyebabkan kebocoran cairan dan hipovolemia.
Pada kasus didapatkan adanya tanda infeksi akut seperti demam tinggi, dan nyeri pada
otot dan sendi, infeksi leptospira dicurigai dengan adanya keterlibatan gangguan ginjal pada
kasus ini yaitu ditandai dengan penurunan produksi kencing hingga anuria, dan infeksi pada
hepar yang ditandai dengan pembesaran hati hingga muncul ikterus yang menandakan adanya
peningkatan kadar bilirubin.
Bila telah terbentuk antibodi, leptospira dapat dieliminasi dari semua tempat kecuali
mata menyebabkan terjadinya uveitis berulang, tubulus proksimal (leptospiuri berlangsung 1-
4 minggu) dan mungkin otak yang menetap selama beberapa minggu atau bulan. 1,2 Respon
imun sistemik efektif mengeliminasi leptospira namun menimbulkan reaksi inflamasi. Setelah
terapi antimikroba juga dapat terjadi reaksi Jarisch-Herxheimer, seperti spirochaeta yang lain.2
Gambar 2. perjalanan alamiah leptospira.1,2,3 Masa inkubasi biasanya 1-2 minggu dengan range
2-20 hari. Manifestasi klinisnya bifasik yaitu 2 fase yang khas meliputi : fase akut/septikemia
1 minggu, diikuti fase imun yang ditandai dengan terbentuknya antibodi dan ekskresi
leptospira di urin. 3 Spektrum gejala leptospirosis sangat luas, 15-40% asimptomatik.2,3 Kasus
yang simptomatik manifestasi klinisnya bervariasi antara ringan (>90%) sampai berat dan
bahkan fatal. Weils disease terjadi pada 5-10% kasus adalah bentuk leptospirosis yang sangat
berat ditandai dengan ikterus, disfungsi ginjal dan kecenderungan perdarahan.2

Tabel 1. gambaran klinis pada leptospirosis


Sering: demam, menggigil, sakit kepala, meningismus, anoreksia, mialgia,
conjunctival suffusion, mual, muntah, nyeri abdomen, ikterus, hepaomegali, ruam
kulit, fotopobi
Jarang: pneumonitis, hemoptoe, delirium, perdarahan, diare, edema, splenomegali,
artralgia, gagal ginjal, peripheral neuritis, pankreatitis, parotitis, epididimytis, ascites,
miokarditis

Tabel 2. Gambaran klinis Leptospirosis di RSUP Sanglah Denpasar (N=12).12


Gambaran klinis N Persentase
Demam (>380 C) 11 91.7
Ikterus 8 66.7
Nyeri otot 8 66.7
Conjunctival suffusion 6 50
Oligouria/anuria 4 33.3
Nyeri kepala mendadak 6 50
Perdarahan mayor 1 8.3
Mual-muntah dan diare 6 50
Hepatomegali 3 25
Azotemia 11 91.7
Protenria 2 16.7

Komplikasi leptospirosis dapat berupa gagal ginjal, disseminated intravascular coagulation


(DIC), ARDS dan miokarditis. Pada kasus ini telah terjadi komplikasi gagal ginjal akut yang
ditandai dengan produksi urin yang menurun dan peningkatan serum creatinin hingga
memerlukan renal support.

Tabel 3. Komplikasi Leptospirosis di RSUP Sanglah Denpasar (N=12).12


Komplikasi N Persentase
Gagal ginjal akut 8 66.7
Hepatitis akut 8 66.7
Perdarahan mayor 1 8.3
Hipoalbuminemia 1 8,3

Penegakan diagnosis berdasarkan gejala klinis dan laboratorium yang meliputi :


Isolasi organisme:
- Pemeriksaan mikroskop lapangan gelap darah dan urine
- kultur darah, cairan serebrospinal, urine
- PCR
Serologis:
- MAT (microscopic agglutination test)
- ELISA
- Haemaglutinasi
Hematologis: leukositosis, lekosit normal atau sedikit menurun, disertai netrofilia dan
laju endap darah (LED) yang meninggi, trombositopenia
- urinalisis: proteinuri, lekosituri atau torak/cast
- Fungsi hati: bilirubin direk meningkat tanpa peningkatan transaminase.
- Fungsi ginjal: BUN, ureum dan kreatinin meningkat bila terjadi komplikasi
ginjal.1
- Pemeriksaan lain sesuai dengan indikasi untuk mengetahui komplikasi yang
terjadi atau menyingkirkan diagnosis banding
Presentasi klinis leptospirosis luas dari yang ringan sampai mengancam nyawa.
Leptospirosis dapat diagnosis hanya dengan tes laboratorium karena presentasi klinisnya yang
tidak spesifik, akan tetapi tes laboratorium komplek sehingga panduan pasti diagnosis
leptospirosis diperlukan.5 Beberapa panduan yang ada adalah:
1. Kriteria Faine (Panduan WHO 1982)
Pada panduan ini, diagnosis dibuat berdasarkan 3 kategori: klinis (bagian A),
epidemiologi (bagian B) dan laboratoium (bagian C). Skor A + B + C = 25 atau lebih
merupakan diagnostik leptospirosis (Tabel 1). Kriteria ini hanya dapat digunakan di RS
yang mempunyai fasilitas untuk melakukan pemeriksaan kultur dan MAT, ditambah
lagi titer MAT belum didefiniskan walaupun AM Bal dkk., dalam penelitiannya
menggunakan kriteria Faine menemukan bahwa sensitivitas, spesifisitas, nilai ramal
positif dan negatif dari MAT adalah 81.8%, 72.9%, 40.9% dan 94.5% berturut-turut.5

Tabel 1. Kriteria Faine

2. Modifikasi kriteria Faine (2004)


Kriteria ini merupakan modifikasi dari kriteria WHO yang asli (Kriteria Faine).
Modifikasi yang paling penting adalah adanya tes yang sederhana dan mudah seperti
Elisa dan macroscopic slide agglutination test (MSAT) yang ditambahkan pada bagian
laboratorium (Tabel 2). Tujuan dari modifikasi kriteria Faine adalah konfirmasi
diagnosis leptospirosis dengan pemeriksaan laboratorium. Presentasi klinis
leptospirosis tidak spesifik sehingga konfirmasi dengan pemeriksaan laboratorium
sangat penting. Pemeriksaan yang sederhana dan cepat seperti Elisa dan MSAT
ditambahkan dengan MAT dan kultur untuk konfirmasi diagnosis dengan skor yang
memadai (A + B + C = 25 atau lebih). Tes ini positif hanya setelah setelah 1 minggu
pertama, maka skor berdasarkan klinis dan epidemiologi digunakan pada minggu
pertama (A + B = 26 atau lebih). Kriteria A + B seharusnya digunakan untuk memulai
terapi empiris walaupun untuk possible leptospirosis (A + B = 20 25).5

Tabel 2. Modifikasi kriteria Faine 2004

3. Modifikasi kriteria Faine (dengan amandemen) 2012


Beberapa tambahan dibuat pada kriteria modifikasi Faine 2004 untuk membuatnya
lebih mudah digunakan (Tabel 3).5
Tabel 3. Modifikasi kriteria Faine 2012
Gambar 2. Kinetika infeksi leptospira

Pemeriksaan laboratorium untuk mediagnosis dilakukan berdasarkan kinetika bakteri


dan antibody di dalam tubuh. Pada minggu pertama setelah onset masih terjadi septicemia
sehingga untuk mendiagnosis leptospirosis dilakukan pemeriksaan isolasi maupun kultur
sedangkan mulai minggu kedua dilakukan pemeriksaan serologi karena pada minggu kedua
sudah memasuki fase respon antibody (Gambar 2 ). Diagnosis pasti leptospirosis dibuat
berdasarkan (Tabel 4):
1) Isolasi organisme
a. Darah : organisme dapat diidentifikasi dengan pemeriksaan mikroskop
medan gelap dari darah pasien atau kultur pada media setengah padat (Mis.
Fletchers EMJH (Ellinghausen-McCullough-Johnson- Harris)), bila
diambil sebelum hari ke 10. Kultur membutuhkan 1-6 minggu untuk
mendapatkan hasil.
b. Urin : organisme dapat diisolasi dari urin dengan pemeriksaan mikroskop
medan gelap setelah hari ke 10, dan pada pasien yang tidak diterapi, dapat
ditumbuhkan dengan kultur urin sampai beberapa bulan.2
2) Pemeriksaan PCR
Metode PCR sensitive dan spesifik, positif pada awal perjalanan penyakit dan dapat
mendeteksi DNA leptospira di darah, urin, cairan serebrospinal dan aqueous humor.
Salah satu keterbatasan penting dari metode ini adalah metode ini spesifik genus tapi
tidak spesifik serovar.2

Tabel 4. Peran pemeriksan laboratorium dalam diagnosis leptospirosis.

3) Serologi
Respon tubuh terhadap infeksi oleh leptospira adalah memproduksi antibodi
yang spesifik terhadap leptospira. Serokonversi mungkin timbul pada hari ke 5-7 onset
akan tetapi mungkin dapat terjadi setelah hari ke 10. IgM biasanya timbul lebih awal
dibandingkan IgG dan masih dapat dideteksi sampai beberapa bulan bahkan tahun
dalam titer yang rendah, sedangkan IgG mungkin tidak terdeteksi atau terdeteksi dalam
periode yang singkat akan tetapi mungkin juga menetap selama beberapa tahun.6
Diagnosis biasanya dibuat berdasarkan pemeriksaan serologi, beberapa yang tersedia
adalah:
a. Pemeriksaan MAT menjadi positif setelah hari ke 7-10, puncaknya pada
minggu 3-4 dan tetap ada dalam titer yang tinggi sampai beberapa tahun, oleh
karena itu untuk menegakan diagnosis dibutuhkan bukti peningkatan titer 4
kali atau lebih. Pemeriksaan MAT rumit dan membutuhkan tenaga terlatih.2
Hal ini dikarenakan pemeriksan ini membutuhkan mikroskop medan gelap
dan kultur dari berbagai serovar yang mungkin tidak tersedia di beberapa
laboratorium. Sehgal dkk., 1999 melaporkan bahwa MAT mempunyai
sensitifitas 41% selama minggu pertama dan meningkat menjadi 82% selama
minggu ke 2-4 dan lebih dari 96% setelah minggu ke 4. Beberapa pasien yang
hasil MAT nya negatif pada minggu 2-4 menjadi positif setelah hari ke 30
onset. Hal ini mengindikasikan untuk menyingkirkan diagnosis sampel
ketiga harus diambil setelah 1 bulan onset, akan tetapi hal ini tidak praktis
untuk praktek klinis. Dengan mempertimbangkan keterbatasan ini, MAT
digunakan pada single sample untuk diagnosis presumtif walaupun cut off
titer untuk single bervariasi tergantung darah masing-masing.1
b. ELISA IgM dan slide agglutination tests (SAT) juga tersedia. Pemeriksaan
IgM Elisa khusunya berguna dalam membuat diagnosis dini, karena posiitif
pada hari ke 2, pada saat manifestasi klinis belum spesifik.2
c. Rapid test (The SD BIOLINE LEPTOSPIRA IgG/IgM) merupakan solid
phase immunochromatographic assay untuk deteksi kualitatif IgG dan/atau
IgM terhadap Leptospira interrogansi pada serum atau plasma. Pemeriksaan
ini hanya merupakan pemeriksan awal oleh karena itu pemeriksaan serologi
yang lain juga harus diperiksa untuk konfirmasi diagnosis.7

Diagnosis banding leptospirosis meliputi :


1. Infeksi virus: influenza, HIV serokonversi, Dengue virus, Hepatitis virus, Hantavirus.
2. Bakteri: Tifoid
3. Parasit: Malaria
4. Pankreatitis
Penatalaksaan leptospira tergantung pada berat dan lamanya gejala. Tindakan suportif
diberikan sesuai dengan beratnya penyakit dan komplikasi yang timbul. 1 Pemberian antibiotik
dimulai sesegera mungkin, dan biasanya efektif setelah 4 hari pemberian dan diberikan selama
7 hari. Pilihan antibiotik seperti pada tabel 2.1,2
Tabel 2. Pengobatan dan kemoprofilaksis leptospirosis.2
Indikasi Regimen Dosis
Terapi
Leptospirosis ringan Doksisiklin 2 x 100 mg
Ampisilin 4 x 500-750 mg
Amoksisilin 4 x 500 mg
Leptospirosis sedang/berat Penisilin G 1,5 juta U/6jam (iv)
Ampisilin 1 gram/6jam (iv)
Amoksisilin 1 gram/6jam (iv)
Eritromisin 4 x 500 mg
Kemoprofilaksis Doksisiklin 200 mg/minggu

Pada kasus diberikan antibiotik cefalosporin generasi ke 3 yaitu ceftriaxon dengan dosis
1 gram tiap 12 jam iv, diberikan selama 14 hari yang sesuai dengan penatalaksanaan
leptospirosis berat. Hemodialisis dilakukan bertujuan untuk terapi pemulihan ginjal (renal
support).
Sebagian besar penderita leptospirosis akan sembuh. Angka kematiannya meningkat
dengan bertambahnya umur. Mortalitas tinggi pada penderita tua dan dengan Weils disease.2,9
Pada penderita dengan ikterus angka kematian 5% pada usia <30 tahun dan usia lanjut
mencapai 30-40%.1 Kematian pada kasus yang berat, 10-15% kasus yang disebabkan
perdarahan paru atau gagal jantung dan aritmia akibat sekunder dari miokarditis.10 Seguro et al
melaporkan 50% kematian terjadi pada pasien oliguri dan hanya 5 % pada nonoliguri.8

DAFTAR PUSTAKA

1. Zein U. Leptospirosis. Dalam: Sudoyo A.W., Setiyohadi B., Alwi I., Simadibrata M.,
Setiati S. ed. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi IV. Pusat penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Jakarta. 2014. hal. 1845-8.
2. Speelman P. Leptospirosis. In: Kasper DL., Braunwald E., Fauci AS., Hauser SL., Longo
DL., Jameson JL. eds. Harrisons Principles of Internal Medicine. 16th ed. Volume 1. Mc.
Grow-Hill companies. 2005. p.988-91.

3. Levett P.N., Leptospirosis. Clinical Microbiology Reviews. 2001; 14(2):296-326.

4. Haake D.A. Spirochaetal lipoproteins and pathogenesis. Microbiology. 2000; 146: 1491-
1504.

5. Evans T. Infectious disease and acute renal failure. In: Glynne P., Allen A., Pusey C. eds.
Acute Renal Failure in Practice. Imperial College Press. 2002. p.401-14.
6. Edwards CN, Nicholson GD, Everard CO. Thrombocytopenia in leptospirosis. Am J Trop
Med Hyg. 1982. 31(4): 827-9.
7. Edwards CN, Nicholson GD, Hassel TA, Everard CO, Callender J. Thrombocytopenia in
leptospirosis: the absence of evidence for disseminated intravascular coagulation. Am J
Trop Med Hyg. 1986. 35(2): 352-4.
8. Im J.G., Yeon K.M., Han M.C., Kim C.W., Webb W.R., Lee J.S. Leptospirosis of the lung:
radiographic findings in 58 patients. AJR. 1989; 152:955-9.
9. Daher E., Zanetta D.M.T., Cavalcante M.B., Abdulkader R.C.R.M. Risk factors for death
and changing patterns in leptospirosis acute renal failure. Am.J.Trop.Med.Hyg. 1999;
61(4): 630-4.
10. Edwards CN. Leptospirosis. In: Cohen J., Powderly W.G., Berkley S.F., Holland S.M.,
Opal S.M., Callandra T. Infectious disease. Mosby. London. 2004. p. 1669-70.
11. Dupont H, Dupont-Perdrizet D, Perie JL, Zehner-Hansen S, Jarrige B, Daijardin JB.
Leptospirosis: prognostic factors associated with mortality. Clin Infect Dis. 1997.
25(3):720-4.
12. Mangatas SM,Biran SI, Merati TP. Profil Penderita Leptospirosis yang di Rawat Inap di
RSUP Sanglah Denpasar.

1. Vijayachari P, Sugunan AP, Shriram AN. Leptospirosis: an emerging global


public health problem. J Biosci. 2008;33(November):55769.
3. Cinco M. New insights into the pathogenicity of leptospires: evasion of host
defences. New Microbiol. 2010;33:28392.
4. Marinho M, Cardoso TC. Pathogenesis of Leptospirosis: Important Issues.
J Med Microb Diagn. 2014.
5. Kumar SS. Indian Guidelines for the Diagnosis and Management of Human
Leptospirosis. APICON Medicine Update. 2012. p. 239

Anda mungkin juga menyukai