Anda di halaman 1dari 3

Unlearn ISIS

PICTURE: BY WESLEY BEDROSIAN

HTTPS://WWW.BOSTONGLOBE.COM/IDEAS/2015/04/11/DEPROGRAMMING-ISIS-RECRUITS-COMES-WITH-HIGH-

STAKES/2VXNP55IAJ6PZRPY1PQBII/STORY.HTML

Unlearn artinya, kurang lebih, melepaskan diri dari apa yang sudah dipelajari selama ini. Manusia lahir
dengan kebahagiaan, penuh prasangka baik. Namun lambat laun dia belajar untuk bersedih dan
mencurigai orang lain. Seseorang tidak terlahir untuk membenci orang yang berbeda dari diri dan
kelompoknya, apalagi membunuhnya. Dia belajar (learn) untuk itu.

Lama-lama, manusia pun ‘ahli’ dalam hal itu. Dia ahli dalam bersedih dan galau, sehingga lupa cara untuk
bahagia. Ada pula yang sedemikian ahlinya dalam membenci sehingga ia menganggap benar
pembunuhan kepada orang yang tak seideologi dengannya. Lalu, bagaimana caranya untuk melepaskan
hal-hal yang sudah dikuasai? Caranya adalah dengan unlearn.

Ketika ISIS sudah terusir dari Suriah tahun 2017, beberapa LSM berupaya melatih masyarakat di kawasan
Raqqa dan Deir el Zour yang selama 3 tahun dikuasai ISIS untuk unlearn ideologi yang sudah ditanamkan
oleh ISIS kepada mereka selama tiga tahun terakhir.

Di masa ‘jayanya’, total populasi yang berada di bawah kontrol ISIS di Irak-Suriah mencapai 10 juta orang.
ISIS secara masif mendiseminasi ideologi mereka. Mereka mendirikan sekolah, kamp pelatihan, lengkap
dengan kurikulum yang sejalan dengan ideologi mereka.
Dalam buku-buku sekolah, termasuk dalam pelajaran matematika dan kimia, ISIS memasukkan konsep
mengenai orang ‘kafir’ dan jihad melawan mereka. Mereka menerbitkan koran, majalah, serta mendirikan
stasiun radio yang isinya memprovokasi kekerasan terhadap kaum ‘kafir’.

Upaya unlearn yang dilakukan oleh LSM bernama “Sound and Picture Organization” antara lain dengan
mengadakan seminar di kamp-kamp pengungsi Suriah dan “mengingatkan mereka atas nilai-nilai sosial
asli Suriah dan dampak dari ekstrimisme”. [1]

Karena kegiatan itu sifatnya sporadik dan sularela, masih belum terukur dampak dari upaya unlearn ini.

Sementara itu, di Perancis juga pernah didirikan pusat pelatihan deradikalisasi. Uniknya, atau anehnya,
peserta pelatihan ini adalah sukarela. Sulit dimengerti, bagaimana berharap orang yang teradikalisasi
sadar bahwa mereka teradikalisasi lalu dengan sukarela datang ke lembaga training itu untuk di-
deradikalisasi? Namun faktanya ada 9 orang yang datang bergabung dan mengikuti pendidikan yang
diasuh 25 pekerja sosial, psikolog, pendidik khusus, dan seorang ustadz.

Mereka dilatih untuk memeluk lagi nasionalisme Perancis, disuruh menggunakan seragam, lalu
menyanyikan lagu kebangsaan La Marseillaisesetiap pagi, belajar sejarah dan sastra Perancis, musik,
seni, filsafat, dll, dengan tujuan “to muscle their intellectual immune systems” (memperkuat sistem imunitas
intelektual mereka). Apakah cara ini bisa berhasil? Masih jadi tanda tanya karena program ini dihentikan
tengah jalan akibat protes warga sekitar yang ketakutan atas berkumpulnya orang-orang radikal di daerah
mereka. [2]

Tapi apa sesungguhnya deradikalisasi itu? Orang yang teradikalisasi jelas tidak menderita penyakit fisik
yang bisa diobati. Radikalisasi ada dalam pikiran. Seperti diungkapkan Bronner, sosiolog di pusat
deradikalisasi Perancis itu, “Deradicalization means that we are going to withdraw the beliefs of a
spirit.”(deradikalisasi artinya kita menarik kembali keyakinan seseorang).

Apakah bisa?

Michael Hall, Ph.D, founder dan pakar Neuro-Semantics menulis (saat mengomentari pengeboman di
Masjid Rawdah, Sinai, Mesir), “The problem are the meanings they have constructed— meanings that are
pathological.”(problemnya adalah makna yang mereka [para teroris] konstruksi; dan makna tersebut adalah
makna yang’sakit’).

Maksudnya begini, manusia sepanjang hidupnya akan mengkontruksi (membentuk) makna untuk dirinya.
Saat dia melihat orang beragama atau bermazhabnya berbeda dari dirinya, dia akan membentuk makna,
misalnya, “dia manusia, sama sepertiku”, atau, “orang itu berbeda denganku”, atau “orang itu kafir, harus
aku jauhi”, atau “dia kafir, pasti jahat”, atau bahkan, “dia kafir, sesat, harus dibunuh supaya kesesatan tidak
ada lagi di muka bumi.”

Darimana makna ini lahir? Tak lain dari dari proses belajarnya selama ini (learn), dari doktrin-doktrin yang
diterima dan di-iya-kannya, sehingga menjadi keyakinan (belief). Dia meyakini bahwa manusia, apapun
agamanya adalah sesama manusia yang harus dihormati; ataukah dia meyakini bahwa manusia ‘kafir’
boleh dibunuh demi menyelamatkan ‘agama’ Tuhan?

Keyakinan itu kemudian membangun frame of mind-nya, bagaimana pikirannya menyikapi dunia. Karena
itu, sebenarnya, berdebat dengan orang yang sudah teradikalisasi, yang jelas berbeda frame of mind-nya
dengan kita, sebenarnya tidak bermanfaat (tetapi mungkin bermanfaat bagi mereka yang sedang ‘mencari’,
yang membaca perdebatan tersebut).
Yang perlu dilakukan untuk deradikalisasi adalah proses unlearn: menarik kembali keyakinan-keyakinan
yang salah. Caranya adalah dengan terus mengajukan pertanyaan: apakah kamu benar-benar yakin
bahwa yang kamu yakini adalah benar? Apakah keyakinan seperti itu bermanfaat buat dirimu? Apakah
keyakinan itu membawa kedamaian bagimu? Apakah kamu yakin bahwa Tuhan menyukai kebencianmu?
Dst. Lalu, dia dilatih untuk membangun makna-makna baru yang lebih sehat dan bermanfaat bagi dirinya,
dan bagi masyarakat.

Mantan tahanan Guantanamo, Mourad Benchellali, berkata, “Anda bisa kembali [tidak radikal lagi],
memikirkan kembali apa yang sudah Anda lakukan. Namun Anda butuh bantuan untuk melakukan itu.” []

Teriring Alfatihah untuk korban pembantaian di Masjid Rawda, Sinai.

[1] https://www.newsdeeply.com/syria/articles/2017/11/17/unlearning-isis-the-battle-to-reclaim-hearts-and-
minds

[2] https://www.theatlantic.com/international/archive/2017/09/france-jihad-deradicalization-macron/540699/

Gambar: karya Wesley Bedrosian (Boston Globe)

Anda mungkin juga menyukai