Anda di halaman 1dari 2

Pasar Bebas VS Keimanan

Di grup WA/FB berseliweran tulisan yang tesis intinya melawan pasar bebas dengan
keimanan dan menjauhi kemalasan. Tadinya mau diam saja, tapi lama-lama yang ga tahan
juga. Maaf kalau ada teman-teman yang tersinggung dengan tulisan ini. Tapi saya merasa
perlu menyampaikan pendapat saya, kebetulan disertasi saya ya seputar masalah ini juga.

Begini, kalau mau bicara globalisasi, itu bahasan ekonomi-politik, kok malah kita diceramahi
soal keimanan, menjauhi rasa malas, dll? Di pasar di daerah saya, jam 2 dini hari para
pedagangnya sudah jualan (baca: 2 dini hari!), baik yang jual maupun yang beli, apa pantas
disebut pemalas? Mereka bekerja keras mencari nafkah, tapi karena modal yang kecil, barang
yg dijualbelikan impor (misal, bwbg putih, cabe, bahkan garam, impor), keuntungan terbesar
diraih importir, bukan penjual di pasar, bukan pula konsumen. Tetangga saya ketika cabe
melonjak tinggi, ya ga beli cabe. Apa dia malas, sampai ga mampu beli cabe? No, dia kerja
jadi guru honorer di SMA dg honor 250rb sebulan (saya ga salah ketik), suaminya satpam di
bank, tapi sistem outsourcing, sewaktu-waktu bisa dipecat, bergadang melulu jagain bank, dg
gaji 1 jutaan. Malas? Tidak beriman?

Kalau kita liat kondisi globalisasi dg kacamata ekonomi-politik, kita akan lihat bahwa
membanjirnya barang impor adalah masalah politik. Mengapa ketika petani surplus bawang,
garam, atau beras, keran impor dibuka? Mentan bilang, beras cukup, tapi Mendag buka impor
(ini terjadi bukan cuma jaman Jokowi, zaman SBY juga ya begini ini yang terjadi). Ini politik
atau masalah keimanan?

Mengapa subsidi pertanian diberikannya ke perusahaan pupuk dan pestisida (alasan: supaya
kelak harga jual ke petani bisa lebih rendah)? Mengapa dana itu tidak digunakan utk
mengembangkan pertanian berkelanjutan (yg bebas pestisida dan pupuk kimia, dan
memproduksi benih sendiri, jadi ga bergantung produksi pabrik lagi), memberikan lahan yg
lebih luas ke petani (rata2 petani kita punya 0,3 ha lahan), dan memproteksi harga (sehingga
panen mrk terjaga harganya, ga kayak sekarang, diserahkan ke mekanisme pasar, harga di
pasar melonjak, harga di petani tetap rendah; apalagi kalo harga di pasar turun karena banjir
produk impor, petani kita lebih rugi lagi). Ini masalah malas atau politik? Apa mau bilang
petani kita malas dan tidak beriman?

Apa Anda pikir petani-petani di AS, Eropa, dan China itu bisa produksi besar-besaran dan
membanjiri pasar pertanian dunia dengan produk mereka, dilakukan tanpa subsidi dan
proteksi pemerintah? AS itu kasih subsidi ilegal kepada petani 9,3 milyar USD dan Uni
Eropa 4,2 milyar USD pertahun. Kenapa kok disebut illegal? Krn menurut aturan WTO, ga
boleh. Tapi mana sanggup negara miskin/berkembang mengajukan tuntutan (karena
prosesnya sangat mahal). Duit negara berkembang/miskin yang minim pun tak mungkin
mampu menyaingi besarnya subsidi yang digelontorkan AS Dan UE. [Kalo China, saya
belum pelajari, tapi jelas ada proteksi].

Negara-negara besar juga sangat ketat mengawasi negara berkembang, jangan sampai ada
hal-hal yg merugikan perusahaan mereka. Misal, Indonesia pada 2013 dituntut AS di WTO
karena mewajibkan lisensi impor daging dari Kementan (jadi musti izin dulu ke Kementan
kalau mau impor). Kebijakan ini sepertinya merugikan importir, dan AS pun menuntut ke
WTO.
Globalisasi yang tengah terjadi saat ini tidak adil. Ini yang ngomong bukan saya, tapi
ekonom2 liberal yang pernah dapat Nobel, seperti Stiglitz dan Krugman (dan Sach). Mereka
mengakui bahwa terjadi ketimpangan besar dalam perekonomian dunia, negara kaya makin
kaya, yang miskin makin miskin. Stiglitz pernah kasih contoh bahwa dalam globalisasi
(=pasar bebas) hari ini, negara kecil ibarat kapal kecil yang dipaksa berlayar di lautan buas
tanpa pelampung. Sudah pasti yang bisa survive di lautan buas adalah kapal-kapal besar
dengan fasilitas lengkap. Indonesia memang besar wilayah dan penduduknya, tapi
kemampuan ekonominya kecil, kalau pakai data Bank Dunia, hampir 50% rakyat kita miskin,
tapi kalau pake standar BPS hanya 30 juta-an yang miskin.

Maaf saja, ini bukan masalah keimanan atau kemalasan. Ini masalah ekonomi-politik, sejauh
mana pemerintah berani berkata tidak pada tekanan importir, korporasi, free-trade agreement
yang benar-benar free tanpa proteksi, WTO, dll. Sejauh mana mereka komitmen
memberdayakan industri dan pertanian dalam negeri, supaya secara bertahap kita bisa lepas
impor. Dan yang pasti, mereka-mereka yang dapat keuntungan dari globalisasi/pasar bebas
akan terus mendukung sistem yang tidak adil ini, dengan berbagai narasi, misalnya Tidak
mungkin kita hidup tanpa impor.. memangnya kita mau terisolasi..? Mau dikucilkan dan
diembargo? Sudahlah, kita perkuat keimanan saja, kita tingkatkan skill, kita produksi barang
yang bagus sehingga mampu bersaing di pasar bebas! Halo.. kita? Elu aja kali

Kita ini siapa? Tentu yang bisa bersaing di pasar bebas adalah yang punya modal, skill,
koneksi. Ada sih segelintir orang yang konon modal dengkul tapi sukses di pasar
internasional. Tapi kita bicara negara, rakyat yang 250 juta ini. Gimana mau meningkatkan
skill ketika pendidikan mahal, atau sistem pendidikan yang lulusannya didesain jadi pekerja,
bukan inventor, atau enterpreneur, misalnya. Gimana mau tingkatkan produksi pertanian
ketika harga pupuk, benih, dan pestisida fluktuatif, lalu ketika panen, harga anjlok (kan ini
konsekuensi pasar bebas)? Jangan salahkan petani yang kemudian berhenti bertani dan jadi
buruh pabrik. Dst. Ini semua perlu sistem, struktur, pemerintah. Jadi bukan sekedar kita
tingkatkan keimanan dan skill masing-masing.

Seperti dikatakan Krugman (ekonom liberal pemenang Nobel), salah satu jalan memutus
lingkaran setan seperti ini adalah memperbesar pemungutan pajak terhadap orang-orang kaya
dan hasilnya dipakai utk memberi pendidikan dan kesehatan yang layak bagi rakyat jelata
(Krugman, 2007: 595). Kalau mereka sehat dan pinter, insyaAllah kan skillnya meningkat.
Tapi maaf, kalau ini dilakukan, akan banyak yang protes (dengan menggunakan berbagai
model narasi) karena keuntungan mereka akan berkurang. Artinya, ini balik lagi ke keputusan
politik, kepada siapa pemerintah berpihak.

Anda mungkin juga menyukai