Anda di halaman 1dari 4

Kisruh Ekonomi Arab Saudi

March 3, 2017 - Economy - Tagged: ekonomi Arab Saudi, harga minyak turun, Suriah,
yaman - no comments

Warga miskin Saudi

Oleh: Conn Hallinan*

Selama delapan dekade terakhir Arab Saudi bersikap hati-hati. Dengan menggunakan
kekayaan minyaknya yang amat besar, mereka diam-diam menyebar citra ultra-konservatif
Islam-nya ke seluruh dunia Muslim, diam-diam menggerogoti rezim sekuler di kawasan, lalu
bersembunyi di balik bayangan, sementara pihak lain bertempur dan sekarat. Adalah uang
Saudi yang memicu gerakan Mujahidin di Afghanistan, mendanai invasi Saddam Hussein ke
Iran, dan menjadi sumber uang bagi gerakan-gerakan Islam dan kelompok teroris di berbagai
penjuru bumi, mulai dari Kaukasus hingga Hindu Kush.

Namun hari ini, diplomasi sembunyi-sembunyi itu berada di ambang keruntuhan. Rezim Bani
Saud terlihat dalam kondisi paling rentan sejak rezim itu didirikan pada tahun 1926. Kasus ini
bisa kita analisis untuk mengetahui betapa keangkuhan, delusi dan ketidaklayakan perilaku
feodal akan mengalahkan uang sebanyak apapun.

Sandungan pertama yang dialami kerajaan Saudi adalah keputusan yang diambil musim
gugur tahun 2015 untuk melemahkan pesaing mereka dengan cara meningkatkan produksi
minyak sehingga harga minyak jatuh. Mereka berpikir bahwa jika harga satu barel minyak
turun dari $ 100 menjadi sekitar $ 80, pesaing mereka akan tercekik karena mengandalkan
sumber yang lebih mahal dan teknologi baru, termasuk industri minyak AS, perusahaan
pengeksplorasi Kutub Utara, dan produsen yang baru muncul seperti Brazil. Riyadh berharap,
dengan cara ini mereka akan menguasai kembali pasar energi. Jatuhnya harga minyak juga
akan merusak negara-negara yang bergantung pada minyak yang tidak disukai Saudi, seperti
Rusia, Venezuela, Ekuador, dan Iran.

Di satu sisi strategi ini berhasil. Industri pengeboran minyak AS mundur kembali, eksploitasi
pasir tar Kanada telah melambat dan banyak pengebor Arctic telah menutup tambangnya.
Dan memang, negara-negara seperti Venezuela, Ekuador, Iran, dan Rusia telah mengalami
pukulan ekonomi yang serius.

Tapi ‘keberhasilan’ yang terjadi malah ‘kebablasan’, terutama karena perlambatan ekonomi
China sehingga mereka mengurangi permintaan dan ini semakin menekan harga. Inilah yang
tidak diprediksi oleh Saudi. Harga minyak turun dari $ 115 per barel pada bulan Juni 2014
menjadi sekitar $ 53-58 hari ini (Februari 2017, pada November 2015 sempat mencapai
$44).

Dengan biaya produksi kurang dari $ 10 per barel, Saudi membutuhkan harga antara $ 95 dan
$ 105 untuk menyeimbangkan anggaran mereka. Para pemimpin Saudi yang memperkirakan
bahwa harga tidak akan jatuh di bawah $ 80 per barel – dan itupun hanya untuk beberapa
bulan – sekarang terpaksa membakar cadangan devisa mereka untuk menutupi defisit.

Meskipun harga minyak diperkirakan akan kembali naik, namun sulit kembali ke harga $115,
paling tinggi berkisar $65. Sementara utang Saudi yang harus dibayar selalu meningkat setiap
tahunnya (pada 2016, utang Saudi adalah 17,3% dari GDP-nya).

Negara ini kini menghabiskan cadangan devisanya sebesar $10 miliar per bulan untuk
membayar berbagai pengeluaran dan meminjam uang kepada pasar uang internasional. IMF
pada tahun 2015 sudah mengeluarkan peringatan bahwa cadangan devisa Saudi akan habis
dalam 5 tahun jika mereka tidak memotong anggaran negara secara drastis.

Tetapi, sulit buat kerajaan untuk memotong anggaran besar-besaran karena ini berkaitan
dengan stabilitas nasional. Ketika ‘Arab Spring’ melanda pada 2011, rezim Saudi mencegah
kedatangannya dengan menggelontorkan $130 miliar untuk menggairahkan perekonomian,
menaikkan gaji, memperbaiki pelayanan publik, serta membuka lapangan kerja untuk kaum
muda. Arab Saudi memiliki populasi kaum muda terbanyak di Timur Tengah, dan banyak di
antara mereka yang menganggur dan tidak terdidik. Sebanyak 25 % dari populasi hidup
miskin. Uang bisa mencegah pemberontakan, namun sampai berapa lama?

Sementara itu, rezim Saudi juga mendapatkan penasehat politik luar negeri yang buruk yang
mengakibatkan pengeluaran mereka melonjak gara-gara ikut campur pada urusan negara lain.
Pada 26 Maret 2015 Saudi ikut campur dalam konflik internal Yaman karena mengira bahwa
Iran ada di belakang konflik in; sebuah kesimpulan yang sebenarnya bahkan tidak disepakati
oleh AS. Rezim Saudi melakukan serangan bom dari udara, memblokade laut, dan serangan
darat terbatas ke Yaman.

Lagi-lagi, rezim Saudi salah kalkulasi. Rezim ini mengira bahwa perang tidak akan
berlangsung lama karena adanya dukungan dari AS. AS memang mempersenjatai Saudi,
menyuplai mereka dengan target-target pengeboman, mendukung blokade laut, dan
menyuplai bahan bakar pesawat-pesawat perang di udara.

Namun, perang terus berlangsung hingga kini, dua tahun kemudian dan berubah menjadi
sebuah jalan buntu. Di saat yang sama, lebih dari 12.000 orang tewas (termasuk anak-anak)
dan belasan ribu lainnya terluka. Kota dan desa hancur, banyak warga yang harus menjadi
pengungsi lokal. Ditambah lagi dengan krisis pangan dan medis, kondisi ini memberi
kesempatan kepada ISIS dan al-Qaida untuk mengambil alih wilayah di selatan Yaman.
Foto: warga etnis Kurdi di perbatasan Turki, melarikan diri dari teror ISIS.

Perang adalah bisnis yang amat mahal, yang mungkin bisa dibayar Saudi jika mereka berada
dalam keadaan normal, bukan di saat seperti sekarang ketika harga minya anjlok. Saudi,
bersama Qatar dan Uni Emirat Arab, juga menanggung pengeluaran berbagai kelompok yang
berupaya menggulingkan Presiden Suriah, Bashar Assad. Ketika protes anti pemerintah
Suriah muncul pada 2011, Saudi, bersama AS dan Turki, memperkirakan bahwa Assad akan
digulingkan dalam waktu singkat.

Tapi itu pemikiran ajaib. Seburuk-buruknya Assad, kebanyakan warga Suriah – terutama
kelompok minoritas seperti Syiah, Kristen, dan Druze – jauh lebih memilihnya daripada
harus hidup di bawah pemerintahan Al-Qaida dan ISIS. Karena itu perang pun
berkepanjangan dan hingga kini menewaskan sekitar 250.000 orang.

Sekali lagi, Saudi salah perhitungan, walaupun mereka tidak sendirian. Pemerintah Suriah
ternyata lebih tangguh dari yang dikira. Dan sikap keras Riyadh yang menginginkan
penggulingan Assad malah berakhir dengan masuknya Iran dan Rusia ke dalam konflik,
melawan intervensi langsung yang dilakukan oleh koalisi anti-Assad yang dipimpin AS.
Setiap usaha untuk menciptakan ‘zona larangan terbang’ di Suriah saat ini harus menghadapi
angkatan udara Rusia – sesuatu yang dihindari oleh presiden AS manapun.

Perang juga telah menghasilkan banjir pengungsi yang sangat mengkhawatirkan Uni Eropa,
sehingga mereka akhirnya mendengarkan pendapat Moskow tentang konsekuensi dari agenda
penggulingan Assad tanpa ada rencana jelas siapa yang akan mengambil alih.

Tujuan Saudi untuk mengisolasi Iran pun mengalami kegagalan. P5 + 1 (Amerika Serikat,
Cina, Rusia, Inggris, Perancis dan Jerman) justru berhasil menyelesaikan perjanjian nuklir
dengan Teheran, meskipun Saudi dan Israel berusaha menggagalkannya. Dan atas desakan
Moskow, Washington kini malah menyetujui dilibatkannya Iran masuk dalam perundingan
damai Suriah.

Selain terhalang di Suriah, terperosok di Yaman, dan kondisi keuangan yang semakin rapuh,
kerajaan juga menghadapi kerusuhan dari minoritas Syiah yang selama ini terpinggirkan di
timur dan selatan negara itu. Ditambah lagi, ISIS telah menyerukan “pembebasan” Mekah
dari tangan Bani Saud dan meluncurkan aksi-aksi pengeboman.

Musim gugur 2015, Saudi juga menghadapi tragedi Mina dimana 2.100 peziarah tewas akibat
terinjak-injak. Hal ini memprovokasi protes terhadap pemerintah Saudi dari negara-negara
korban. Saudi mengklaim hanya 769 orang tewas, sebuah angka yang tidak diterima negara
manapun. Dan ada rumor bahwa tragedi itu disebabkan polisi memblokir sebuah area agar
ada akses khusus untuk sekelompok elit Saudi.

Beberapa di antara kesalahan langkah Saudi ini bisa dibilang kesalahan raja baru, Salman bin
Abdulaziz al-Saud, dan anak-anak muda agresif yang ia tunjuk untuk posisi-posisi kunci.
Tapi masalah Arab Saudi juga merupakan cerminan dari proses transisi di Timur Tengah
yang juga tidak jelas akan pergi ke arah mana.

Iran telah melangkah keluar dari isolasi. Dengan penduduk terdidik yang besar, basis industri
yang kuat dan sumber daya berlimpah energi, Iran siap untuk menjadi pemain utama di
kawasan, atau bahkan di dunia internasional. Turki sedang berada di tengah-tengah
pergolakan politik, dan banyak perlawanan di dalam negeri atas kebijakan Ergodan yang ikut
campur tangan dalam konflik Suriah. Arab Saudi, di sisi lain, sedang tertusuk oleh
kebijakannya sendiri, baik asing dan domestik.

“Kontrak sosial yang mahal antara keluarga Saudi dan rakyat akan menjadi semakin sulit, dan
akhirnya tidak mungkin dipertahankan jika harga minyak tidak pulih seperti semula,” kata
Meghan L. O’Sullivan, Direktur Geopolitik di Proyek Energi Universitas Harvard, kepada
New York Times.

Namun, Bani Saud tidak punya pilihan lain, selain terus memompa minyaknya demi
membiayai perang dan menjaga perdamaian internal. Sejak Januari 2017, Saudi telah
mengurangi produksinya, namun harga tak beranjak naik signifikan. Meksipun Arab Saudi
masih sangat kaya, ada banyak tagihan jatuh tempo. Tidak ada kejelasan apakah kerajaan
memiliki modal atau kemampuan untuk menghadapi semua persoalan ini.[] (diterjemahkan
oleh Dina Sulaeman)
———-

*Conn Hallinan adalah kolumnis di Foreign Policy. Sumber: http://www.post-


gazette.com/…/The-Saud…/stories/201511220134 (ditulis thn 2015, sehingga data-data
angka, misalnya harga minyak, diupdate oleh penerjemah).

sumber foto: http://ngm.nationalgeographic.com/2015/03/syrian-refugees/salopek-text

http://edition.cnn.com/2013/09/05/world/meast/twitter-campaign-highlights-poverty/

Anda mungkin juga menyukai