Anda di halaman 1dari 7

STAPHYLOCOCCUS & STREPTOCOCCUS

A. Staphylococcus sp
Bakteri ini bersifat Gram-positif yang berbentuk kokus dan tersusun dalam rangkaian
tidak beraturan yang terdapat garis tengah dengan ukuran 1μm. Staphylococcus sp. tidak
bergerak serta tidak mampu membentuk spora.
Staphylococcus sp adalah flora normal pada kulit manusia, saluran pernapasan dan
saluran pencernaan hampir 40-50% manusia merupakan pembawa Staphylococcus sp. Bakteri
ini bersifat patogenik karena mempunyai enzim ekstraseluler, toksin, serta sifat invasif strain
tersebut.
Bakteri Staphylococcus sp menghasilkan koagulase positif. Bakteri ini dapat
menimbulkan infeksi bernanah dan abses yang biasa menyerang anak – anak, usia lanjut dan
orang yang daya tahan tubuhnya menurun. Staphylococcus sp mampu tumbuh dalam keadaan
aerobik atau mikroaerofilik. Bakteri ini dapat tumbuh pada suhu 37°C tetapi paling baik
dalam pembentukan pigmen pada suhu kamar (20-25°C). Koloni pada pembenihan padat
berbentuk bulat, halus, menonjol dan berkilau.
Toksin yang diproduksi Staphylococcus sp relatif tahan panas dan tidak mudah
dimusnahkan dengan pemanasan normal. Keracunan oleh bakteri ini sebagian besar terjadi
pada makanan yang telah dimasak. Bakteri ini memproduksi enterotoksin yang bersifat stabil
terhadap pemanasan, tahan terhadap aktifitas pemecahan oleh enzim – enzim pencernaan dan
relatif resisten terhadap pengeringan sehingga mudah tahan pada pemanasan 60ºC selama 30
menit, selain itu juga memproduksi hemolisin yang mampu merusak dan memecah sel darah
merah.
Staphylococcus sp dapat menyebabkan penyakit melalui kemampuannya berkembang
biak dan menyebar luas dalam jaringan melalui pembentukan berbagai enzim ekstraseluler.
Zat yang disebut enzim ekstraseluler, antara lain :
1. Katalase adalah enzim yang mengubah hydrogen peroksida menjadi air dan oksigen.
2. Koagulase adalah enzim yang mengaktifkan faktor yang mereaksi koagulase
(Coagulase – Reacting Factor-CRF) yang biasanya terdapat dalam plasma, yang
menyebabkan plasma menggumpal karena pengubahan fibrinogen.
3. Leukosidin adalah zat yang dapat larut dan mematikan sel darah putih dari berbagai
spesies binatang yang kontak dengannya. Zat ini bersifat antigen, tetapi tidak tahan
panas terhadap eksotoksin. Antibodi terhadap leukosidin dapat berperan dalam
resistensi terhadap infeksi Staphylococcus berulang.
4. Eksotoksin adalah protein bakteri yang diproduksi dan dikeluarkan ke lingkungannya
selama petumbuhan bakteri patogen. Toksin ini dapat bekerja dengan cara
menghancurkan bagian tertentu dari sel inang atau menghambat fungsi metabolik
tertentu. Eksotoksin sangat sensitif terhadap suhu 70°C, alkohol 50%, formaldehida dan
asam–asam encer.
5. Enterotoksin adalah toksin yang mempengaruhi sel – sel pada saluran pencernaan.
Enterotoksin merupakan suatu protein dengan berat molekul 3,5 × 104, yang tahan
terhadap pendidihan selama 30 menit atau enzim – enzim usus dan termasuk salah satu
dari 6 tipe antigen (A-F). Enterotoksin terdapat 6 toksin yang dapat larut yaitu A (SEA),
B (SEB, C1 (SEC1), C2(SEC2), D (SED) dan E (SEE). 50% dihasilkan oleh strain
Staphylococcus aureus.
Staphylococcus sp yang patogen dan invasif cenderung menghasilkan koagulase dan
pigmen kuning yang bersifat hemolitik sedangkan yang nonpatogen dan tidak invasif, seperti
S. epidermidis cenderung bersifat koagulase-negatif dan tidak hemolitik dan pada S.
saprophyticus secara khas tidak berpigmen, resisten terhadap novobiosin dan non hemolitik.

a) Staphylococcus aureus
Staphylococcus aureus merupakan organisme komensal pada manusia dan
menyebabkan infeksi yang dapat menyebar luas. Staphylococcus aureus mempunyai
berbentuk kokus, gram positif, koloni bergerombol dan bersifat kagulase positif, sifat ini yang
membedakan dengan spesies yang lain. S. aureus biasanya membentuk koloni abu–abu
hingga kuning emas dan pada pembenihan padat berbentuk bulat, halus, menonjol dan
berkilau serta membentuk pigmen. Beberapa galur Staphylococcus aureus mempunyai kapsul
yang dapat menghambat fagositosis oleh leukosit polimornuklear kecuali jika terdapat
antibodi spesifik. S. aureus mempunyai toksin yang dapat membunuh sel darah putih pada
binatang. Protein pada permukaan S. aureus dapat disintesis selama fase stasioner yaitu
protein A dan adhesi. Infeksi S. aureus tidak hanya melalui makanan dan minuman, tapi juga
berasal dari kontaminasi langsung terhadap luka.
Bakteri S. aureus tergolong flora normal pada kulit dan mukosa manusia dan dapat
menyebabkan penanahan, abses serta berbagai infeksi. S. aureus mengandung polisakarida
dan protein yang berfungsi sebagai antigen dan merupakan substansi penting didalam struktur
dinding sel, tidak membentuk spora dan tidak membentuk flagel. Bakteri ini mampu tumbuh
cepat pada suhu 37ºC, tetapi paling baik pada suhu kamar 20º - 25ºC.

b) Staphylococcus epidermidis
S. epidermidis termasuk dalam golongan koagulase negatif. Koloni bakteri ini
berwarna abu–abu hingga putih terutama pada isolasi primer. Bakteri S. epidermidis termasuk
flora normal pada kulit manusia, saluran respirasi dan gastrointestinal. Bakteri ini bersifat
tidak patogen, nonhemolitik, tidak bersifat invasif, tidak membentuk koagulase dan tidak
meragi monitol serta bersifat fakultatif.
Staphylococcus epidermidis merupakan bakteri pencemar, dalam habitat aslinya
merupakan flora normal, namun dalam habitat lain bakteri ini dapat menimbulkan infeksi
terutama dalam keadaan imunitas yang lemah. Infeksi bakteri S. epidermidis sulit untuk
disembuhkan, karena bakteri ini dapat tumbuh pada alat prostese yang dimana bakteri ini
dapat menghindar dari sirkulasi sehingga mampu terhindar dari obat antimikroba, hampir
75% strain S. epidermidis resisten terhadap nafsilin. Bakteri ini mampu bertahan dalm lapisan
kulit walaupun sudah diberi desinfektan saat pengambilan darah sehingga masuk kedalam
aliran darah menjadi batrekimia.

c) Staphylococcus saprophyticus
Bakteri ini dapat menyebabkan infeksi pada saluran urin pada wanita usia muda. S.
saprophyticus tidak mempunyai pigmen serta bakteri ini resisten terhadap novobiosin dan non
hemolitik. Bakteri ini termasuk dalam golongan koagulase negative serta tidak mampu
memfermentasi manitol. Bakteri S. saprophyticus dapat menyebabkan sititis yaitu peradangan
pada kandung kemih.
B. Streptococcus sp
Streptococcus adalah bakteri Gram-positif membentuk formasi rantai atau
berpasangan, bersifat anaerob fakultatif dan katalase negatif. Terbagi menjadi dua grup
berdasarkan pengenalan antibodi terhadap antigen permukaan kuman. Satu grup dapat berisi
satu atau beberapa spesies. Kelompok terpenting Streptococcus adalah grup A, B dan D.
Faringitis terutama disebabkan grup A. Streptococcus pneumoniae salah satu penyebab utama
pneumonia dan Streptococcus mutans dan Streptococcus viridans (kasus dental caries) tidak
termasuk dalam grup.
Bila kuman ditumbuhkan pada agar darah domba akan terlihat tiga reaksi hemolisis
yaitu alfa, beta dan gamma. Hemolisis alfa berarti hemolisis parsial dengan warna hijau
(disebabkan oleh unidentified product hemoglobin) terlihat disekitar koloni, hemolisis beta
merupakan hemolisis lengkap dengan warna jernih dan sedangkan hemolisis gamma berarti
tidak ada hemolisis. Grup A dan grup B adalah hemolitik beta sedangkan grup D adalah
hemolitik alfa atau gamma. Reaksi hemolitik penting untuk pengelompokan Streptococcus
juga dapat menjadi presumptive clinical identification.

a) Grup A Streptococcus (S. pyogenes) atau GAS


Kuman kelompok ini secara tradisional menyebabkan infeksi supuratif, faringitis non-
invasif dan infeksi kulit (jarang) yaitu impetigo. Hingga pertengahan tahun 1970-an
komplikasi serius infeksi kuman ini menurun secara drastis, tetapi tahun1980-1990-an terjadi
peningkatan secara drastis rheumatic fever (penyakit jantung non-supuratif) juga bakteriemia,
toxic shock-like syndrome (seperti pada S. aureus).
Infeksi GAS mengenai semua umur dan puncaknya pada umur 5-15 tahun. Komplikasi
serius termasuk demam rematik dan bakteriemia invasif adalah defek imunitas pada bayi,
lansia dan pasien immunocompromised. Belum jelas mengapa anak dan orang dewasa yang
sebelumnya sehat dapat mengalami komplikasi serius.
Rheumatic fever adalah peradangan yang secara primer mengenai jantung dan sendi.
Penyakit dapat bertambah berat dalam jangka panjang. Mekanisme chronic immunopathology
ini belum terjelaskan. M protein bereaksi silang dengan miosin jantung menyebabkan
autoimunitas. Dinding sel GAS sangat resisten degradasi dalam inang. Antigen ini tetap ada
beberapa bulan in vivo dan menimbulkan penyakit berupa rheumatic arthritis dan carditis.
Pengobatan dini infeksi tenggorokan dapat menurunkan insiden penyakit rematik jantung.
Glomerulonefritis akut adalah penyakit kompleks imun pada ginjal. Scarlet fever
adalah penyakit dengan ciri khas berupa ruam disebabkan toksin erythrogenic (pyrogenic)
yang disandi oleh faga. Penyakit baru berupa infeksi invasif yaitu toxic shock-like disease
menunjukkan gejala ruam, demam dan perpidahan cairan dari aliran darah ke perifer
menyebabkan edema dan atau necrotizing myositis dan fasciitis. Produksi toksin pirogen (A,
B dan C) adalah virulen utama untuk galur ini. Toksin pirogen termasuk superantigen
(mitogen) untuk sel T yang mengakibatkan aktivasi non-spesifik sistem imun. Hal ini
mungkin terlibat pada patogenesis. Bentuk penyakit seperti ini jarang ditemukan tetapi bila
ada akan sangat progresif dalam beberapa hari dan mengancam jiwa.

Patogenesis
Adanya adhesin yang memungkinkan perlekatan via fibronektin epitel saluran nafas.
Lipoteichoic acid banyak terdapat pada membran sel pada GAS juga terdapat di fimbrae.
Penelitian-penelitian terdahulu menyebutkan bahwa lipoteichoic acid GAS adalah adhesin
sedangkan penelitian terakhir mengajukan hipotesa F (fibronectin-binding) protein. Pada
ketiadaan fibrinogen, GAS akan mengikat komplemen pada lapisan peptidoglikan dan bila
tanpa antibodi, kuman tidak dapat difagosit. M protein mengikat fibrinogen serum dan
menghambat perlekatan komplemen dengan peptidoglikan. Keadaan ini memungkinkan
kuman tetap hidup dengan menghambat proses fagositosis, tetapi pada individu imun,
neutralizing antibody akan bereaksi dengan M protein mengakibatkan kematian kuman. Ini
merupakan mekanisme utama imunitas dalam melenyapkan infeksi GAS. Karenanya vaksin
M protein merupakan kandidat utama untuk demam rematik. Kapsul GAS secara klasik
dikenal sebagai antifagosit, beberapa galur virulen baru memiliki kapsul mukoid yang diduga
penting dalam patogenesis. Sayangnya tipe M protein tertentu bereaksi silang dengan jantung
dan dapat menyebabkan rematik karditis. Ketakutan terjadinya autoimunitas telah
menghambat penggunaan vaksin GAS. Toksin yang diproduksi Streptococcus antara lain:
streptolysins (S & O), NADase, hyaluronidase, streptokinase, DNAses dan erythrogenic toxin.
S. pyogenes terutama menyebabkan faringitis dan tonsilitis, juga dapat menyebabkan
sinusitis, otitis, artritis dan infeksi tulang. Beberapa galur menyebabkan infeksi kulit impetigo
atau selulitis. Post-infection sequelae S. pyogenes terjadi dalam 1-3 minggu setelah infeksi
akut seperti demam rematik akut (mengikuti faringitis) dan glomerulonephritis (mengikuti
infeksi faring dan kulit). Sequelae kemungkinan mengubah respon imun (autoantibodi).
Glomerulonefritis terjadi karena deposisi kompleks Ag-Ab pada membran basal glomerulus
ginjal.
Kuman terdistribusi luas di alam, sekitar 5-15% individu normal membawa S.
pyogenes. Streptococcus adalah organisme labil, penularan perlu kontak dekat, S. pyogenes
menginfeksi terutama pada usia 6-13 tahun pada musim dingin dan awal musim semi.
Diagnosis dapat dilakukan dengan:
1) Direct detection – antigen yang diekstraksi dari swab tenggorok dapat berikatan dengan
antibodi spesifik GAS karbohidrat, termasuk reaksi aglutinasi.
2) Lancefield gruping dari isolat koloni hemolitik beta. Lancefield mengelompokkan
berdasarkan serologi terhadap polisakarida dinding sel.
3) Koloni hemolitik beta dan pertumbuhannya dapat dihambat basitrasin (presumptive
diagnosis).
4) Serum pasien menunjukkan adanya antibodi terhadap streptolysin O atau antigen
Streptococcus lainnya. Ini penting bila kejadian clinical sequelae lambat.

b) Grup B Streptococcus (S. agalactiae)


Kuman ini menyebabkan meningitis neonatus dan septikemia setelah tertular dari flora
vagina ibu. Kuman dapat diidentifikasi atas dasar hemolisis beta, hidrolisis hipurat dan reaksi
CAMP. Group B streptococcus memproduksi suatu faktor yang meningkatkan beta hemolisis.

c) Group D Streptococcus
Kelompok bakteri ini dapat tumbuh pada bile-esculin membuat presipitat hitam
turunan dari esculin, banyak kuman tidak dapat tumbuh bila ada empedu. Group D
streptococcus dikelompokkan menjadi dua yaitu yang dapat tumbuh pada konsentrasi garam
6.5% (enterokokus) dan yang tidak (non-enterokokus). Enterokokus lebih sering
menimbulkan penyakit pada manusia dan sering resisten penisilin. Enterokokus berkerabat
jauh dengan Streptococcus lainnya karenanya telah pindah menjadi genus tersendiri yaitu
Enterococcus- yang tersering adalah isolat E. (S.) faecalis. Sesuai namanya mereka ditemukan
di usus sebagai flora dan infeksi sering terjadi karena kontaminasi feses. Infeksi dapat berupa
infeksi saluran kemih dan infeksi oportunis termasuk infeksi intra abdomen, septikemia dan
endokarditis. Koloni umumnya alfa atau gamma hemolitik.
Grup hemolitik beta lainnya yaitu grup C dan G (jarang sekali grup F) kadang-kadang
menyebabkan infeksi pada manusia (faringitis). Streptococcus minute colony berupa flora
normal dapat berisi grup A, C, F atau G atau non-groupable (S. anginosus/S. milleri).
Perannya pada manusia belum diketahui. Streptococcus viridans merupakan non grup yang
umumnya ditemukan di rongga mulut termasuk S. mutans dan dapat menyebabkan
endokarditis setelah masuk aliran darah karena ekstraksi gigi. Juga menyebabkan karies gigi.
Mereka adalah hemolitik alfa dan termasuk non-groupable.
Streptococcus pneumoniae atau Pneumococcus merupakan penyebab penting
pneumonia pada semua umur, sering setelah terjadinya kerusakan saluran nafas karena infeksi
virus misalnya influenza, setelah otitis media. Kuman menyebar menimbulkan bakteriemia
dan meningitis. S. pneumoniae bersifat hemolitik dan tidak ada grup antigen. Diagnosis dapat
dilakukan dengan pengecatan Gram atau deteksi antigen kapsul dari sputum. Kuman tumbuh
baik pada agar darah domba. Pneumococcus diidentifikasi dengan melarutkan dalam empedu.
Suatu autolisin (peptidoglycan-degrading enzyme) dilepas oleh empedu dari membran sel dan
berikatan dengan choline-containing teichoic acid melekat pada peptidoglikan. Autolisin akan
mencerna dinding sel bakteri sehingga sel menjadi lisis. Bila sel tumbuh dalam ethanolamine,
ethanolamine berikatan dengan teichoic acid, autolisin tidak dapat melisis sel. Pengetahuan
tentang kerja autolisin ini menunjukkan bahwa antibiotik dan autolisin bekerja bersama
mematikan pneumococcus in vivo. Kuman juga dapat diidentikasi dengan tes kepekaan
terhadap optochin (ethyl hydrocupreine).
Kapsul dimiliki galur yang virulen, merupakan antigen karbohidrat yang sangat
variatif tiap galur. Kapsul bersifat antifagosit dan imunisasi ditujukan padanya. Vaksin
kapsuler diberikan pada individu yang peka, imunitasnya bersifat serotype-specific. Kapsul
diisolasi dengan antisera spesifik dan dapat dilihat secara mikroskopik (quellung reaction)
yang penting untuk identifikasi. Kuman juga membuat pneumolisin yang mampu
mendegradasi eritrosit dalam kondisi anaerobik (teramati sebagai hemolisis). Asam tekoat
akan mengaktifkan komplemen yang menjelaskan mengapa sejumlah besar sel radang
menunju ke tempat infeksi. Mayoritas galur S. pneumoniae peka terhadap penisilin, tetapi
resistensi juga umum ditemukan.

Anda mungkin juga menyukai