Anda di halaman 1dari 7

Pengertian Tuberkulosis

Tuberkulosis (TBC atau TB) adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri
Mikobakterium tuberkulosa. Penyebab penyakit ini adalah bakteri kompleks Mycobacterium
tuberculosis. Mycobacteria termasuk dalam famili Mycobacteriaceae dan termasuk dalam ordo
Actinomycetales. kompleks Mycobacterium tuberculosis meliputi M. tuberculosis, M. bovis, M.
africanum, M. microti, dan M. canettii. Dari beberapa kompleks tersebut, M. tuberculosis
merupakan jenis yang terpenting dan paling sering dijumpai. Bakteri ini merupakan bakteri basil
yang sangat kuat sehingga memerlukan waktu lama untuk mengobatinya. Bakteri ini lebih sering
menginfeksi organ paru-paru (90%) dibandingkan bagian lain tubuh manusia (Masrin, 2008).

Faktor Penyebab Tuberkulosis

a. Faktor intrinsic
1. Umur

Beberapa faktor resiko penularan penyakit tuberkulosis di Amerika yaitu umur,


jenis kelamin, ras, asal negara bagian, serta infeksi AIDS. Dari hasil penelitian yang
dilaksanakan di New York pada Panti penampungan orang-orang gelandangan
menunjukkan bahwa kemungkinan mendapat infeksi tuberkulosis aktif meningkat
secara bermakna sesuai dengan umur. Insiden tertinggi tuberkulosis paru biasanya
mengenai usia dewasa muda. Di Indonesia diperkirakan 75% penderita TB Paru
adalah kelompok usia produktif yaitu 15-50 tahun. (Elizabeth, 2009).

2. Jenis Kelamin
Di benua Afrika banyak tuberkulosis terutama menyerang lakilaki. Pada tahun
1996 jumlah penderita TB Paru laki-laki hampir dua kali lipat dibandingkan jumlah
penderita TB Paru pada wanita, yaitu 15 42,34% pada laki-laki dan 28,9 % pada
wanita. Antara tahun 1985- 1987 penderita TB paru laki-laki cenderung meningkat
sebanyak 2,5%, sedangkan penderita TB Paru pada wanita menurun 0,7%. TB paru
Iebih banyak terjadi pada laki-laki dibandingkan dengan wanita karena laki-laki
sebagian besar mempunyai kebiasaan merokok sehingga memudahkan terjangkitnya
TB paru (Corwin, 2009).
3. Pekerjaan
Jenis pekerjaan menentukan faktor risiko apa yang harus dihadapi setiap individu.
Bila pekerja bekerja di lingkungan yang berdebu paparan partikel debu di daerah
terpapar akan mempengaruhi terjadinya gangguan pada saluran pernafasan. Paparan
kronis udara yang tercemar dapat meningkatkan morbiditas, terutama terjadinya
gejala penyakit saluran pernafasan dan umumnya TB Paru (Corwin, 2009).
Jenis pekerjaan seseorang juga mempengaruhi terhadap pendapatan keluarga yang
akan mempunyai dampak terhadap pola 16 hidup sehari-hari diantara konsumsi
makanan, pemeliharaan kesehatan selain itu juga akan mempengaruhi terhadap
kepemilikan rumah (kontruksi rumah). Kepala keluarga yang mempunyai pendapatan
dibawah Upah Minimum Rata-rata (UMR) akan mengkonsumsi makanan dengan
kadar gizi yang tidak sesuai dengan kebutuhan bagi setiap anggota keluarga sehingga
mempunyai status nutrisi dan gizi yang kurang yang akan memudahkan untuk terkena
penyakit infeksi diantaranya TB Paru. Dalam hal jenis kontruksi rumah dengan
mempunyai pendapatan yang kurang maka kontruksi rumah yang dimiliki tidak
memenuhi syarat kesehatan sehingga akan mempermudah terjadinya penularan
penyakit TB Paru. (Adiatama, 2000)
4. Kebiasaan Merokok
Merokok diketahui mempunyai hubungan dengan meningkatkan resiko untuk
mendapatkan kanker paru-paru, penyakit jantung koroner, bronchitis kronik dan
kanker kandung kemih.Kebiasaan merokok meningkatkan resiko untuk terkena TB
paru sebanyak 2,2 kali. (Achmadi, 2005). Prevalensi merokok pada hampir semua
Negara berkembang lebih dari 50% terjadi pada lakilaki dewasa, sedangkan wanita
perokok kurang dari 5%. Dengan adanya kebiasaan merokok akan mempermudah
untuk terjadinya infeksi TB Paru (Darmanto, 2007).
5. Status Gizi
Hasil penelitian menunjukkan bahwa orang dengan status gizi kurang mempunyai
resiko 3,7 kali untuk menderita TB Paru berat dibandingkan dengan orang yang status
gizinya cukup atau lebih. Kekurangan gizi pada seseorang akan berpengaruh terhadap
kekuatan daya tahan tubuh dan respon immunologik terhadap penyakit. Status gizi,
ini merupakan faktor yang penting dalam timbulnya penyakit tuberculosis (
Isselbacher,2009).
6. Pengetahuan
Pengetahuan adalah merupakan hasil tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan
penginderaan terhadap suatu objek tertentu (Notoatmodjo, 2002). Penginderaan
terjadi melalui pancaindra manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran,
penciuman, rasa dan raba (Notoatmodjo, 2002).
Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk
terbentuknya tindakan seseorang (overt behaviour). Berdasarkan pengalaman ternyata
perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng dari pada perilaku yang
tidak didasari oleh pengetahuan (Notoatmodjo, 2002).
Pengetahuan seseorang akan TB Paru akan berakibat pada sikap orang tersebut
untuk bagaimana manjaga dirinya tidak terkena TB Paru. Dari sikap tersebut akan
mempengaruhi perilaku seseorang untuk dapat terhindar dari TB Paru.
b. Faktor Extrinsik
1. Ventilasi
Ventilasi mempunyai banyak fungsi. Fungsi pertama adalah untuk menjaga agar
aliran udara didalam rumah tersebut tetap segar. Hal ini berarti keseimbangan oksigen
yang diperlukan oleh penghuni rumah tersebut tetap terjaga. Kurangnya ventilasi
akan menyebabkan 21 kurangnya oksigen di dalam rumah, disamping itu kurangnya
ventilasi akan menyebabkan kelembaban udara di dalam ruangan naik karena
terjadinya proses penguapan cairan dari kulit dan penyerapan. Kelembaban ini akan
merupakan media yang baik untuk pertumbuhan bakteri-bakteri patogen/ bakteri
penyebab penyakit, misalnya kuman TB Paru (Somantri, 2007).
Fungsi kedua dari ventilasi itu adalah untuk membebaskan udara ruangan dari
bakteri-bakteri, terutama bakteri patogen, karena di situ selalu terjadi aliran udara
yang terus menerus. Bakteri yang terbawa oleh udara akan selalu mengalir. Fungsi
lainnya adalah untuk menjaga agar ruangan kamar tidur selalu tetap di dalam
kelembaban (humiditiy) yang optimum (Corwin, 2009). Untuk sirkulasi yang baik
diperlukan paling sedikit luas lubang ventilasi sebesar 10% dari luas lantai.
Untuk luas ventilasi permanen minimal 5% dari luas lantai dan luas ventilasi
insidentil (dapat dibuka tutup) 5% dari luas lantai. Udara segar juga diperlukan untuk
menjaga temperatur dan kelembaban udara dalam ruangan. Umumnya temperatur
kamar 22°-30°C dari kelembaban udara optimum kurang lebih 60% (Tambayong,
2000).
2. Pencahayaan
Untuk memperoleh cahaya cukup pada siang hari, diperlukan luas jendela kaca
minimum 20% luas lantai. Jika peletakan jendela kurang baik atau kurang leluasa
maka dapat dipasang genteng kaca. Cahaya 22 ini sangat penting karena dapat
membunuh bakteri-bakteri patogen di dalam rumah, misalnya basil TB, karena itu
rumah yang sehat harus mempunyai jalan masuk cahaya yang cukup (Somantri,
2007).
3. Keadaan Sosial Ekonomi
Keadaan sosial ekonomi berkaitan erat dengan pendidikan, keadaan sanitasi
lingkungan, gizi dan akses terhadap pelayanan kesehatan. Penurunan pendapatan
dapat menyebabkan kurangnya kemampuan daya beli dalam memenuhi konsumsi
makanan sehingga akan berpengaruh terhadap status gizi. Apabila status gizi buruk
maka akan menyebabkan kekebalan tubuh yang menurun sehingga memudahkan
terkena infeksi TB Paru. Faktor ekonomi, keadaan sosial ekonomi yang rendah pada
umumnya berkaitan erat dengan berbagai masalah kesehatan karena ketidakmampuan
dalam mengatasi masalah kesehatan. Masalah kemiskinan akan sangat mengurangi
kemampuan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan gizi, pemukiman dan
lingkungan sehat, jelas semua ini akan mudah menumbuhkan penyakit tuberkulosis
(Darmanto, 2007).
4. Kondisi rumah
Kondisi rumah dapat menjadi salah satu faktor resiko penularan penyakit TB
Paru. Atap, dinding dan lantai dapat menjadi tempat perkembang biakan
kuman.Lantai dan dinding yag sulit dibersihkan akan menyebabkan penumpukan
debu, sehingga akan dijadikan 23 sebagai media yang baik bagi berkembangbiaknya
kuman Mycrobacterium tuberculosis (Tambayong, 2000).
5. Kelembaban udara
Kelembaban udara dalam ruangan untuk memperoleh kenyamanan, dimana
kelembaban yang optimum berkisar 60% dengan temperatur kamar 22° – 30°C.
Kuman TB Paru akan cepat mati bila terkena sinar matahari langsung, tetapi dapat
bertahan hidup selama beberapa jam di tempat yang gelap dan lembab (Tambayong,
2000).
6. Kepadatan hunian
Luas lantai bangunan rumah sehat harus cukup untuk penghuni di dalamnya,
artinya luas lantai bangunan rumah tersebut harus disesuaikan dengan jumlah
penghuninya agar tidak menyebabkan overload. Hal ini tidak sehat, sebab disamping
menyebabkan kurangnya konsumsi oksigen juga bila salah satu anggota keluarga
terkena penyakit infeksi, akan mudah menular kepada anggota keluarga yang lain.
Persyaratan kepadatan hunian untuk seluruh rumah biasanya dinyatakan dalam
m2 /orang. Luas minimum per orang sangat relatif tergantung dari kualitas bangunan
dan fasilitas yang tersedia. Untuk rumah sederhana luasnya minimum 10 m2 /orang
(Corwin, 2009).

Vaksin BCG (Bacillus Calmette Guerin)

1. Pengertian
Bacillus Calmette Guerin adalah vaksin hidup yang dibuat dari Mycobacterium
bovis yang dibiak berulang selama 1-3 tahun sehingga didapatkan hasil yang tidak
virulen tetapi masih mempunyai imunogenitas. Vaksinasi BCG 3 menimbulkan
sensitivitas terhadap tuberkulin, tidak mencegah infeksi tuberkulosis tetapi
mengurangi risiko terjadi tuberkulosis berat seperti meningitis TB dan tuberkulosis
milier (Ranuh,2008,p.132).
2. Pemberian Imunisasi
Frekuensi pemberian imunisasi BCG adalah satu kali dan tidak perlu diulang
(boster). Sebab, vaksin BCG berisi kuman hidup sehingga antibodi yang
dihasilkannya tinggi terus. Berbeda dengan vaksin berisi kuman mati, hingga
memerlukan pengulangan.
3. Usia Peberian Imunisasi
Sedini mungkin atau secepatnya, tetapi pada umumnya di bawah 2 bulan. Jika
diberikan setelah usia 2 bulan, disarankan dilakukan tes Mantoux (tuberkulin) terlebih
dahulu untuk mengetahui apakah bayi sudah kemasukan kuman Mycobacterium
Tuberculosis atau belum. Vaksinasi dilakukan bila hasil tes-nya negative. Jika ada
penderita TB yang tinggal serumah atau sering bertandang kerumah, segera setelah
lahir bayi di imunisasi BCG.
4. Cara pemberian dan dosis
a. Sebelum disuntikkan vaksin BCG harus dilarutkan terlebih dahulu. Melarutkan
dengan menggunakan alat suntik steril Auto Distruct Scheering (ADS) 5 ml.
b. Dosisi pemberian: 0,05 ml.
c. Disuntikkan secara intrakutan di daerah lengan kanan atas (insertion musculus
deltoideus). Dengan menggunakan Auto Distruct Scheering (ADS) 0,05 ml.
d. Vaksin yang sudah dilarutkan harus digunakan sebelum lewat 3 jam.
5. Tanda keberhasilan Imunisasi
Timbul indurasi (benjolan) kecil dan eritema (merah) di daerah bekas suntikan
setelah satu atau dua minggu kemudian,yang berubah menjadi pustule, kemudian
pecah menjadi ulkus (luka). Tidak menimbulkan nyeri dan tidak diiringi panas
(demam). Luka ini akan sembuh sendiri dan meninggalkan tanda parut. Jikapun
indurasi (benjolan) tidak timbul, hal ini tidak perlu dikhawatirkan. Karena
kemungkinan cara penyuntikan yang salah, mengingat cara menyuntikkannya perlu
keahlian khusus karena vaksin harus masuk kedalam kulit. Jadi, meskipun benjolan
tidak timbul, antibodi tetap terbentuk, hanya saja dalam kadar rendah. Imunsasi tidak
perlu diulang, karena di daerah endemi TB, infeksi alamiah akan selalu ada. Dengan
kata lain akan mendapat vaksinasi alamiah.
6. Indikasi
Untuk pemberian kekebalan aktif terhadap tuberculosis.
7. Kontra indikasi
a. Adanya penyakit kulit yang berat/menahun seperti: eksim, furunkulosis dan
sebagainya.
b. Mereka yang sedang menderita Tuberculosis.
8. Efek samping
Imunisasi BCG tidak menyebabkan reaksi yang bersifat umum seperti deman.
Setelah 1-2 minggu akan timbul indurasi dan kemerahan ditempat suntikan yang
berubah menjadi pustule, kemudian pecah menjadi luka. Luka tidak perlu
pengobatan, akan sembuh secara spontan dan meninggalkan tanda parut. Kadang-
kadang terjadi pembesaran kelenjar regional di ketiak dan atau leher, terasa padat,
tidak sakit dan tidak menimbulkan demam. Reaksi ini normal, tidak memerlukan
pengobatan dan akan menghilang dengan sendirinya (Departemen Kesehatan
RI,2006,p.21-22).

Anda mungkin juga menyukai