Anda di halaman 1dari 4

7.

Dampak penggunaan detergen terhadap lingkungan berdasarkan jenis surfaktan dan


gugus pembentuknya
Masalah yang ditimbulkan akibat pemakaian detergen terletak pada pemakaian
jenis surfaktan dan gugus pembentuk.
a. Akibat Surfaktan
Di dalam air, sisa detergen harus mampu mengalami degradasi
(penguraian) oleh bakteri-bakteri yang umumnya terdapat di alam.
Lambatnya proses degradasi ini mengakibatkan timbulnya busa di
atas permukaan air, dalam jumlah yang makin lama makin banyak. Hal
ini disebabkan oleh bentuk struktur surfaktan yang dipakai. Surfaktan
(surface active agent) merupakan zat aktif permukaan yang mempunyai
ujung berbeda yaitu hidrofil (suka air) dan hidrofob (suka lemak). Bahan
aktif ini berfungsi menurunkan tegangan permukaan air sehingga dapat
melepaskan kotoran yang menempel pada permukaan bahan.
Jika struktur kimia surfaktan berupa rantai lurus, gugus surfaktan ini mudah
diuraikan. Sedangkan jika struktur berupa rantai bercabang, maka
surfaktan ini sulit dipecahkan.

C-C-C-C-C-C-C-C-C

SO3Na

Gambar 1. Rantai lurus (mudah terurai)

C-C-C-C-C-C-C-C-C

SO3Na

Gambar 2. Rantai bercabang (sulit terurai)


b. Akibat Gugus Pembentukan
Masalah yang ditimbulkan oleh gugus pembentuk yaitu gugus ini akan
mengalami hidrolisis yang menghasilkan ion ortofosfat.
P3O105- + 2H2O  2HPO42- + H2PO4-
Kedua gugus ini sangat berpengaruh dalam proses eutrofikasi, yang
bisa mengakibatkan tanaman alga dan tanaman air tumbuh secara liar.
Eutrofikasi merupakan masalah lingkungan hidup yang diakibatkan oleh
limbah fosfat (PO3-), khususnya dalam ekosistem air tawar. Definisi
dasarnya adalah pencemaran air yang disebabkan oleh munculnya nutrient
yang berlebihan ke dalam ekosistem air. Air dikatakan eutrofik jika
konsentrasi total phosphorus (TP) dalam air berada dalam rentang 35-100
µg/L.
8. Cara penanggulangan limbah detergen
Berbagai cara yang dapat dilakukan dalam penanggulangan limbah detergen
yaitu sebagai berikut
a. Cara yang paling sederhana mengatasi pencemaran limbah deterjen adalah
dengan menanami selokan dengan tanaman air yang bisa menyerap zat
pencemar. Tanaman yang bisa digunakan, antara lain jaringao (Acorus
calamus), Pontederia cordata (bunga ungu), Thypa angustifolia (bunga
coklat), melati air (Echinodorus palaefolius), dan lili air. Cara ini sangat
mudah, tapi hanya bisa menyerap sedikit zat pencemar dan tak bisa
menyaring lemak dan sampah hasil dapur yang ikut terbuang ke selokan.
b. Cara kedua yaitu dengan membuat instalasi pengolahan yang sering disebut
dengan sistem pengolahan air limbah (SPAL). Caranya gampang; bahan
yang dibutuhkan adalah bahan yang murah meriah sehingga rasanya tak sulit
diterapkan di rumah Anda. Instalasi SPAL terdiri dari dua bagian, yaitu bak
pengumpul dan tangki resapan. Di dalam bak pengumpul terdapat ruang
untuk menangkap sampah yang dilengkapi dengan kasa 1 cm persegi, ruang
untuk penangkap lemak, dan ruang untuk menangkap pasir. Tangki resapan
dibuat lebih rendah dari bak pengumpul agar air dapat mengalir lancar. Di
dalam tangki resapan ini terdapat arang dan batu koral yang berfungsi untuk
menyaring zat-zat pencemar yang ada dalam limbah deterjen.
Cara kerja yaitu air bekas cucian atau bekas mandi dialirkan ke ruang
penangkap sampah yang telah dilengkapi dengan saringan di bagian
dasarnya. Sampah akan tersaring dan air akan mengalir masuk ke ruang di
bawahnya. Jika air mengandung pasir, pasir akan mengendap di dasar ruang
ini, sedangkan lapisan minyak-karena berat jenisnya lebih ringan-akan
mengambang di ruang penangkap lemak. Air yang telah bebas dari pasir,
sampah, dan lemak akan mengalir ke pipa yang berada di tengah-tengah
tangki resapan. Bagian bawah pipa tersebut diberi lubang sehingga air akan
keluar dari bagian bawah. Sebelum air menuju ke saluran pembuangan, air
akan melewati penyaring berupa batu koral dan batok kelapa.
c. Cara ketiga, teknik koagulasi. Beberapa bahan kimia yang dapat digunakan
untuk memakai teknik ini meliputi beberapa koagulan kimia, sebagai contoh
yaitu Poli Alumunium Klorida, garam aluminat seperti tawas, dan lain
sebagainya. Detergen mempunyai sifat koloid. Karakteristik dari partikel
koloid dalam air sangat dipengaruhi oleh muatan listrik dan kebanyakan
partikel tersuspensi bermuatan negatif. Cara mendestabilkan partikel
dilakukan dalam dua tahap. Pertama dengan mengurangi muatan elektrostatis
sehingga menurunkan nilai potensial zeta dari koloid, proses ini lazim
disebut sebagai koagulasi. Kedua adalah memberikan kesempatan kepada
partikel untuk saling bertumbukan dan bergabung, cara ini dapat dilakukan
dengan cara pengadukan dan disebut sebagai flokulasi.
Pengurangan muatan elektris dilakukan dengan menambahkan koagulan
seperti PAC. Di dalam air PAC akan terdisosisi melepaskan kation Al3+ yang
akan menurunkan zeta potensial dari partikel. Sehingga gaya tolak-menolak
antar partikel menjadi berkurang, akibatnya penambahan gaya mekanis
seperti pengadukan akan mempermudah terjadinya tumbukan yang akan
dilanjutkan dengan penggabungan partikel-partikel yang akan membentuk
flok yang berukuran lebih besar. Flok akan diendapkan pada unit sedimentasi
maupun klarifikasi. Lumpur yang terbentuk akan dibuang menggunakan
scraper. Cara koagulasi umumnya berhasil menurunkan kadar bahan organik
(COD,BOD) sebanyak, 40-70 %.
d. Cara keempat adalah teknik Bioremoval, yaitu teknik pengolahan yang
menggunakan bahan organik seperti lumut, daun teh, maupun sabut kelapa,
atau bisa juga dengan bahan anorganik seperti tanah gambut, lumpur aktif
dan sebagainya. Lanjutan dari tahap ini adalah Bioremidiasi, yang
merupakan tingkat lanjut dari Bioremoval, yaitu dengan menggunakan
mikroorganisme-mikroorganisme seperti bakteri, jamur, atau dengan
memanfaatkan alga, tanaman, dan hewan. mikroorganisme ini akan
merombak detergen yang juga merupakan zat organik sebagai bahan
makanan menjadi energi. Degradasi lebih efektif jika menggunakan lumpur
aktif. Dengan cara tersebut air limbah dengan lumpur aktif yang, megandung
mikroba diaerasi (untuk memasukkan oksigen) hingga terjadi dekomposisi
sebagai berikut :
Organik + O2CO2 + H20 + Energi

Anda mungkin juga menyukai