Anda di halaman 1dari 15

Dokter yang Merawat Soekarno Bukan

Dokter Hewan
24 September 2013 19:42 Diperbarui: 24 Juni 2015 07:27 3767 11 13

Hari Selasa ini (24/09/2013) harian KOMPAS memuat surat pembaca menarik. Surat tersebut
ditulis oleh Siti Hadidjah Suroyo. Beliau ternyata adalah isteri dari dokter SAK Soeroyo yang
merupakan dokter yang merawat Presiden Soekarno di akhir-akhir menjelang wafatnya.

Isi surat pembaca tersebut adalah meluruskan isi buku yang tengah beredar yang berjudul
“Hari-Hari Terakhir Sukarno” yang ditulis oleh Peter Kasenda yang diterbitkan oleh
Komunitas Bambu tahun 2013 ini. Dalam buku tersebut dikatakan bahwa menjelang akhir
hayatnya, Soekarno dirawat oleh dokter yang ditunjuk oleh Presiden Soeharto yaitu Dokter
SAK Soeroyo. Dalam buku ditulis bahwa dokter SAK Soeroyo adalah dokter hewan. Hal
tersebut didasarkan pada faktabahwa dokter SAK Soeroyo sering menggunakan fasilitas
Laboratorium Bakteriologi Kedokteran Hewan IPB di Bogor.

Menurut isteri dokter Soeroyo, suaminya bukan dokterhewan tetapi dokter umum lulusan
Fakultas Kedokteran UI tahun 1961. Adapun mengapa dokter SAK Soeroyo sering
menggunakan Laboratorium Bakteriologi Kedokteran Hewan IPB karena terbatasnya fasilitas
yang disediakan oleh pemerintahan Soeharto.

Hikmah yang bisa dipetik dari kasus ini adalah sejarah ternyata bisa dibelokkan dengan
mudah. Sejarah kadang-kadang ditulis untuk ekepentingan tertentu dari pihak tertentu.
Sejarah tentang Soekarno, untuk beberapa waktu di jaman Orde Baru di bawah pimpinan
Soeharto, memang banyak “digelapkan”.Hal tersebut setelah jaman Reformasi menjadi
berbalik. Kebesaran Soekarno ditampilkana secara terang-terangan. Hal tersebut disambut
secara antusias oleh masyarakat yang rindu kepemimpinan Soekarno yang tegas danmembela
rakyat kecil.

Tetapi buka-bukaan sejarah tersebut ternyata sering kebablasan. Contohnya adalah isu tentang
dokter Soeroyo yang merawat Soekarno adalah seorang dokter hewan untuk lebih
menekankan fakta bahwa Soekarno disia-siakan menjelang akhir hidupnya. Pelajaran yang
bisa dipetik adalah menjadi tugas bangsa Indonesia dan para ahli sejarah untuk mengungkap
fakta sejarah yang betul dan jujur.
Catatan medis hari-hari terakhir Soekarno
Jumat, 21 Juni 2013 05:30 Reporter : Iqbal Fadil
Soekarno. ©2012 Merdeka.com/dok

Merdeka.com - Soekarno mengembuskan napas terakhirnya tepat pukul 07.07


WIB, Minggu 21 Juni 1970 setelah menderita komplikasi penyakit yang cukup
parah. Hari-hari terakhir Soekarnodihabiskannya dalam kesendirian, diasingkan
oleh bangsanya sendiri.

Setelah Soeharto dilantik menjadi presiden pada bulan Maret


1967, Soekarno menetap di paviliun Istana Bogor ditemani istri keempatnya,
Hartini. Setiap hari, Hartini dengan sabar dan penuh kasih sayang
melayani Soekarno selama sepekan penuh. Kondisi Soekarno saat itu masih
cukup sehat, dan dia seringkali mengunjungi anak-anak dari istrinya Fatmawati
yang masih tinggal di Istana Negara. Ketika sore menjelang, Soekarno kembali ke
Bogor. Sementara Fatmawati sudah mengungsi ke rumah di Jalan
Sriwijaya, Jakarta Selatan.

Status Soekarno saat itu sudah ditetapkan sebagai tahanan politik


oleh Soeharto terkait peristiwa G30 S/PKI. Karena khawatir
dengan Soekarno yang masih 'berkeliaran', Soeharto kemudian memperketat
pengawasan. Belakangan Soekarno tidak dibebaskan masuk wilayah Jakarta dan
harus mendapat izin dari Pangdam Siliwangi dan Pangdam Jaya untuk melintas.

Keadaan berubah drastis, saat Soeharto memerintahkan seluruh


anak Soekarno keluar dari Istana Negara. Saat itu, sekitar awal Agustus 1967,
Guntur, Megawati, Rachmawati, Fatmawati, dan Guruh diberi waktu 2x24 jam
untuk pindah. Mereka kemudian mengungsi ke sebuah rumah kontrakan yang tak
jauh dari rumah ibunya di Jl Sriwijaya, Jakarta Selatan.

Soekarno pun mendapat perlakuan yang sama. Pada bulan Desember 1967, dia
diminta keluar dari paviliun Istana Bogor. Bersama Hartini
kemudian Soekarno pindah ke sebuah rumah di kawasan Batutulis Bogor.

Saat Soekarno tidak lagi menjadi presiden, tim dokter kepresidenan yang diketuai
Prof Siwabessy dengan anggota dr Soeharto , dr Tang Sin Hin, dan Kapten CPM
dr Soerojo yang paham rekam medisSoekarno dibubarkan pada Juli 1967. Sejak
itulah, penanganan penyakit Soekarno jauh dari memadai.

Seperti dikutip dari buku 'Hari-hari Terakhir Sukarno' yang ditulis Peter Kasenda,
penyakit utama Soekarno hingga dia menutup mata adalah hipertensi atau darah
tinggi yang dipengaruhi ginjalnya yang sudah tidak berfungsi maksimal. Ginjal
kiri Soekarno sudah tidak berfungsi sama sekali, sedangkan fungsi ginjal kanan
tinggal 25 persen.

Selain itu, ada penyempitan pembuluh darah jantung, pembesaran otot jantung, dan
gejala gagal jantung. Komplikasi penyakit inilah yang menyebabkan
tubuh Soekarno terus membengkak. NamunSoekarno menolak upaya
transplantasi ginjal. Soekarno pun kerap mengeluhkan dadanya yang sakit jika
batuk-batuk. Saat di-rontgen, ditemukan tulang rusuk yang retak. Demikian juga
paru-paru Soekarnoyang mengalami bronchi basah disertai keluhan sesak napas.
Belum lagi bibit katarak di matanya yang membuat penglihatannya berkurang.

Dengan kondisi yang cukup parah itu, Soekarno tidak mendapat penanganan yang
tepat. Ditambah kawasan Bogor yang hawanya terlalu dingin, membuat
penderitaannya bertambah parah, terutama penyakit rematiknya. Apalagi, satu-
satunya dokter yang merawat Soekarno saat itu, dokter Soerojo bukanlah dokter
spesialis. Sang dokter seringkali enggan datang saat Soekarno membutuhkan
pertolongan dan obat-obatan. Tak pernah ada langkah konkret dari
Presiden Soeharto untuk memenuhi permintaan alat kesehatan seperti alat cuci
darah yang sangat dibutuhkan.

Di awal tahun 1968, penyakit Soekarno bertambah. Giginya mengalami ngilu


yang luar biasa saat minum air dingin dan sering berdarah. Namun upaya untuk
berobat ke Jakarta ditolak oleh Pangdam Jaya dan Soekarno hanya diizinkan
berobat di Bogor saja. Penyakit itu ditambah lagi dengan radang sendi di bagian
tangan dan pinggulnya. Secara psikis, Soekarno mengalami depresi berat, sulit
tidur dan pelupa.

Kondisi yang terus memburuk itulah yang membuat Hartini sedih. Atas
permintaan Soekarno , Hartini mengirimkan surat kepada Presiden Soeharto .
Hartini memohon agar suaminya diizinkan pindah ke Jakarta agar mendapat
perawatan yang lebih layak dan menghindari udara Bogor yang dingin. Surat itu
dilampirkan keterangan medis Soekarno berikut rekomendasi dari menteri
kesehatan dan tim dokter kepresidenan.

Berbulan-bulan surat itu tidak mendapat tanggapan. Hingga akhirnya, Hartini


berupaya kembali mengirimkan surat yang kedua kali. Namun kali ini, Hartini
meminta Rachmawati untuk mengantarkan surat itu langsung kepada
Presiden Soeharto di Jalan Cendana.

"Mula-mula aku diterima Ibu Tien di lantai bawah. Kemudian langsung diajak
naik ke atas dan ditemui oleh Pak Harto. Aku menyampaikan maaf dan
menyerahkan surat Bapak serta sekaligus menceritakan bagaimana keadaan
Bapak yang sesungguhnya. Hanya satu yang kumohon ketika itu, agar Bapak
diizinkan kembali ke Jakarta. Entahlah kekuatan apa yang mendorongku untuk
memberanikan diri berjumpa dengan Bapak Soeharto . Betapa aku merasa plong.
Pak Harto berjanji akan berusaha mengatur kepindahan Bapak," tulis
Rachmawati dalam buku 'Bapakku-Ibuku'.

Setelah itu, Soekarno akhirnya dipindahkan ke Wisma Yaso (kini Museum Satria
Mandala) di Jl Gatot Subroto pada sekitar Februari tahun 1969. Di Wisma Yaso,
kondisi Soekarno tidak semakin membaik. Ketika tubuhnya yang semakin renta
digerogoti penyakit, Soekarno secara terus menerus diinterogasi oleh perwira
Kopkamtib untuk mengorek keterlibatannya dalam Gerakan 30
September. Soekarnomalah balik memarahi petugas yang memeriksanya ketika
ditanya apakah dia terpedaya oleh PKI.

"Berkali-kali saya tanyai Bung Karno soal hubungannya dengan Aidit dan tokoh-
tokoh PKI lainnya. Bung Karno selalu marah besar kalau dia dianggap telah
diperalat PKI atau dia berada di belakang rencana kup yang gagal itu. Bung
Karno selalu berkata bahwa sesungguhnya ia ingin menyatukan berbagai
perbedaan di bawah panji nasionalisme-agama-komunis."

Demikian pengakuan Mayjen Kartoyo, salah satu perwira dari Polisi Militer yang
menginterogasi Soekarno . Interogasi terhadap Soekarno baru berakhir di awal
tahun 1970 ketika Soekarno mengeluhkan hal itu kepada ketua tim dokter
kepresidenan Mahar Mardjono.

Selama di Wisma Yaso, Soekarno pernah diizinkan untuk menghadiri pernikahan


putrinya Rachmawati yang disunting seorang dokter bernama Martomo Pariatman
Marzuki atau yang sering dipanggil Tommy. Soekarno juga pernah diizinkan
berkunjung ke Bogor untuk menemui Hartini.

Selama di Wisma Yaso dari tahun 1969 sampai mengembuskan napas terakhir
tahun 1970, sejumlah perawat yang secara bergantian merawat Soekarno sempat
membuat catatan medis bulanan. Di tahun terakhir hidupnya, tensi
darah Soekarno selalu tinggi. Paling rendah 170/90 dan puncaknya mencapai
360/200 saat Soekarno meninggal di RS Pusat Angkatan Darat.

Setiap sarapan, Soekarno selalu menenggak sejumlah obat wajib seperti duvalidan
(pencegah kontradiksi ginjal), methadone (pengurang rasa sakit), hingga valium
(obat tidur). Kondisinya terus melemah hingga tidak dapat bangkit dari tempat
tidur, mandi dan buang air dilakukan di tempat tidur.

Jika memperhatikan catatan medis yang dibuat para perawat, terungkap jika
perawatan yang diberikan terhadap Soekarno tidak maksimal. Perawatan di hari-
hari terakhir Soekarno diserahkan sepenuhnya kepada dr Soerojo, yang jelas-jelas
bukan dokter spesialis, melainkan dokter hewan! Demikian pula dengan jenis obat
yang diberikan tidak tepat sasaran. Selain beberapa jenis obat rutin
itu, Soekarno hanya diberi suntikan vitamin B1 dan B12.

Salah satu obat yang memberikan dampak buruk adalah valium yang
membuat Soekarno tidurnya tidak terkontrol, tapi setelah bangun badannya terasa
lemah dan kepalanya pusing. Akibatnya, kondisi tubuhnya makin buruk dan
perawat hanya memberikan obat pengurang rasa sakit, novalgin.

Saat kondisinya semakin parah, Soekarno tetap menolak dibawa ke RSPAD,


sampai akhirnya dengan sedikit paksaan dan bujukan dari Hartini
membuat Soekarno luluh. Menjalani perawatan selama beberapa hari di
RSPAD, Soekarno mengembuskan napas terakhir. Sang Proklamator, Bapak
Bangsa, dan Pemimpin Besar Revolusi meninggal dalam kondisi menyedihkan.

Bedanya Jelas, Bung


Karno Ditelantarkan
Kompas.com - 22/01/2008, 06:12 WIB

JAKARTA, SENIN-Sulit menghapalkan satu-persatu peralatan yang


digunakan oleh tim dokter untuk merawat bekas Presiden Soeharto.
Faktanya, sejak dirawat di Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP) 4 Januari
silam, Soeharto mendapat perawatan kelas satu. Bukan hanya peralatan
canggih, juga perhatian ekstra dengan pengawasan dari menit ke menit.

Terlepas dari Soeharto memang berhak mendapat pelayanan terbaik


karena memang membayar mahal, perlakuan istimewa itu tetap saja
memunculkan pertanyaan. Mengapa, perlakuan yang sama tidak didapat
Presiden Soekarno ketika jatuh sakit. Tidak sedikit saksi sejarah yang
mengakui bahwa ada perbedaan mencolok antara perawatan waktu Bung
Karno sakti dengan yang didapat Pak Harto sekarang.

Salah satu saksi sejarah itu yakni Prof Dr Kartono Muhammad. Ia


diberitahu langsung oleh Prof Mahar Mardjono yang sempat ditugaskan
untuk merawat Soekarno. Dr Kartono juga pernah menulis kasus
kesehatan Bung Karno dengan mewawancarai antara lain perawat yang
sehari-hari menunggui Bung Karno di Wisma Yaso (tempat Bung Karno
dirawat) serta Prof Mahar dan Dr Wu Jie Ping (dokter Cina yang merawat
Bung Karno).
"Perbedannya jelas. Dulu Bung Karno tidak diurusin, ditelantarkan. Tidak
ada dokter yang diserahi tugas untuk mengawasi, tidak ada dokter
spesialis seperti sekarang. Padahal ada tim dokter kepresidenan, tapi juga
tidak pernah datang. Nggak kayak sekarang. Pak Harto tiap hari dirawat
puluhan dokter," kata Dr Kartono mengisahkan kembali apa yang pernah
diketahuinya pada 1967 silam.

Kakak kandung pendiri Majalah Tempo Goenawan Muhammad ini


mengaku sesak napasnya jika mengingat apa yang telah menimpa
Soekarno. Padahal, kata dia, perlakuan tidak sepantasnya itu diberikan
ketika Bung Karno masih menjabat presiden. Sebab, Soeharto waktu itu
masih menjabat sementara sebagai presiden karena belum diangkat oleh
MPR untuk jadi presiden.

Menurutnya, ditelantarkannya Bung Karno kala itu tidak lepas dari


kebijakan penguasa waktu itu. Sebab, kenang dia, kebijakan dari penguasa
waktu itu, jika dokter akan ke Wisma Yaso, harus ada izin dari Pangdam.
"Kalau ada dokter mau memeriksa harus ada surat izin. Tidak ada dokter
tiap hari, obat juga tidak diberikan, kan namanya ditelantarkan, "
kenangnya.

Padahal, lanjut dokter yang pernah menjabat ketua Ikatan Dokter


Indonesia (IDI) ini, tiap-tiap dokter itu sudah mengucap sumpah. Mereka
tidak boleh membiarkan pasiennya terlantar. Kata Kartono, jangankan
seorang presiden, rakyat biasa, atau musuh sekalipun, seorang dokter
harus merawatnya dengan baik.

"Kewajiban dokter untuk tidak membedakan siapa pasiennya. Tapi


dokternya memang tidak bisa berbuat apa-apa karena adanya intervensi
dari penguasa. Dan penguasa waktu itu adalah Pak Harto. Jadi
perlakuan mikul duwur mendem jero itu dimana ?," tanya Kartono.

Filosofi mikul duwur mendem jero itu pernah identik dengan sikap
Soeharto. Namun, kata Kartono, perlakuan yang diberikan terhadap Bung
Karno menjadi penegas apakah Soeharto telah melaksanakan filosofi
tersebut atau tidak. "Nggak terbukti, karena buktinya dibiarkan terlantar.
Kalau nerapin filosofi itu harusnya diperhatikan dong," kata dia.

Meski menyesalkan perlakuan terhadap Soeharto, Dr Kartono menuturkan


bahwa Soeharto layak mendapat perlakuan istimewa. Menurutnya,
siapapun pasiennya, harusnya mendapat perawatan yang terbaik. "Over
atau tidak tergantung dari kondisi penyakitnya. Tapi pemberitaan dan
perhatiannya yang over. Perhatian yang diberikan luar biasa, tiap menit
diperiksa, diawasi terus menerus," lanjutnya.
Sementara sejarawan Indonesia, Prof Dr Taufik Abdullah menegaskan
bahwa, jika dilihat dari sudut pandang historis, perbedaan bangsa ini
memperlakukan Soekarno dan Soeharto yang sedang tergolek sakit, tidak
lepas dari apa yang terjadi kala itu.

Menurut Taufik, 71, ketika Soekarno sakit pada tahun 1967, suasana kala
itu belum stabil. Ia menyebut, orde baru masih melakukan konsolidasi
untuk memapankan kekuasaan. Sementara Soekarno yang tengah sakit,
masih memberikan pengaruh yang besar di masyarakat dengan aliran
Soekarnoisme-nya. Dalam bahasa Taufik, Soekarno meninggalkan
ideologi. Bagi penguasa orba, ada dua agenda utama yang harus
dilakukan kala itu.

"Selain menghancurkan kelompok yang melawan seperti PKI, juga


menggerogoti kekuatan Soekarnoisme. Itu karena posisi-posisi penting
baik di AD, AL, waktu itu masih dipegang orang yang pro Soekarno. Inilah
yang digarap pemimpin Orde Baru. Yakni bagaimana menyingkirkan
mereka. Sebut saja, Ibrahim Aji didutabesarkan," kata Taufik saat ditemui di
kantornya di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Jakarta.

Menurutnya, waktu itu Soeharto sebagai pemimpin, mencoba menerapkan


falsafah mikul dhuwur mendem jero dengan 'menyimpan' Soekarno yang
sakit, agar jangan sampai terhina. Sebab, waktu itu, lanjut Taufik, tuntutan
agar Soekarno diadili karena dianggap terlibat Gestapu sangat besar.
"Tapi, selain disimpan agar tidak terhina, Bung karno juga dianggap
ancaman karena orde baru waktu itu tengah melakukan konsolidasi. Dan
perlakuan terhadap Bung Karno akhirnya yah seperti yang telah dicatat
sejarah" lanjut Taufik dengan suara lantang.

Sementara untuk sakitnya Soeharto sekarang, kata Taufik, terjadi setelah


10 tahun dia lengser keprabon, ketika bangsa tidak dalam keadaan labil.
Apalagi, tidak ada tinggalan isme-isme (ideologi) dari Soeharto yang
mengancam pemerintahan sepert era Soekarno dulu. "Masalah Pak Harto
itu murni masalah hukum, baik itu kasus dugaan korupsi dan pelanggaran
HAM. Selain itu, untuk perawatannya, keluarganya kan juga bayar sendiri,"
katanya.

Namun, terlepas dari siapa yang membiayai, Taufik menyesalkan kondisi


Soekarno yang disebutnya diterlantarkan. Yang jelas, ketika Soekarno
meninggal, Taufik mengakui bahwa waktu itu adalah momen paling
menyedihkan bagi bangsa Indonesia. Ia mengatakan, perasaan kehilangan
tidak hanya menimpa rakyat yang sangat mencintai proklamator RI
tersebut, tapi termasuk juga golongan yang menentang Bung Karno. "Saya
ingat waktu itu air mata saya juga tumpah," katanya dengan suara lirih.
Dan sikap rakyat Indonesia itulah yang dianggap Taufik menjadi perbedaan
antara Soekarno dan Soeharto. Meski tidak sedikit yang juga mencintai
dan membenci Soeharto, tetapi menurutnya berbeda dengan pandangan
orang terhadap Soekarno. "Orang tidak terlalu fanatik pada Pak Harto.
Gampang saja melihatnya, istilah Soekarnoisme hingga sekarang masih
kuat. Tapi kan tidak ada Soehartoisme," sebutnya.(Persda Network/Hadi
Santoso)

Soeharto VS Soekarno

Catatan:
Asvi Warman AdamTanggal 12 Januari 2008 pukul 09.44 di Cendana, Ismail
Saleh membagikan fotokopi tulisannya yang dimuat pada harian Pelita
berjudul Marilah Kita Bangsa Indonesia Wujudkan Petuah: Mikul Dhuwur
Mendhem Jero. Di dalam artikel yang ditulis mantan Jaksa Agung era Orde
Baru itu dikatakan bahwa Soeharto mengagungkan nama Soekarno dan
mengubur dalam-dalam kesalahan Bung Karno.

Betulkah Soeharto melaksanakan prinsip menghormati orang yang lebih tua


itu dalam kasus upaya pengadilan terhadap mantan Presiden Soekarno dan
lebih-lebih dalam perawatan sang proklamator? Presiden Soekarno tidak
dibawa ke pengadilan dengan alasan yang sangat strategis. Kalau dia
disidangkan, tentu akan timbul protes dari para pendukung Bung Karno yang
masih banyak. Di samping itu, pengadilan bisa membebaskannya karena tidak
cukup bukti dia terlibat dalam upaya kudeta yang janggal itu.

Sementara itu, perawatan yang diberikan kepada Presiden Soekarno betul-


betul tidak manusiawi. Bagai bumi dengan langit bila dibandingkan dengan
perawatan sempurna yang diterima orang kuat Orde Baru itu. Selama 10 kali
mengalami masalah kesehatan sejak berhenti jadi presiden pada 1998,
Soeharto betul-betul memperoleh perhatian medis yang luar biasa.

Jenderal besar Soeharto dirawat di Rumah Sakit Pusat Pertamina pada ruang
536 yang seakan-akan sudah menjadi ruang khusus perawatan presiden.
Bukan hanya dokter kepresidenan, tetapi juga dokter ahli lain dikerahkan
sehingga sampai berjumlah puluhan orang. Maka, berdatanganlah para
selebriti pemerintahan, dari mantan pejabat era Orde Baru sampai kepada
presiden dan wakilnya. Awal Januari 2008 ketika Soeharto kembali masuk
rumah sakit, dia memperoleh perhatian yang luar biasa dari kru televisi yang
berbondong-bondong menunggu pengumuman hasil kesehatan setiap hari
dan malam.

Berita medis itu berfluktuasi, kesehatan Soeharto menurun, membaik,


membaik dari pagi tadi tetapi masih kritis, gawat tetapi masih bisa diatasi,
tergantung dari alat-alat bantu. Bahkan, Menteri Kesehatan yang entah terselip
lidah mengatakan bahwa Soeharto mengalami kehidupan semu karena fungsi-
fungsi organ tubuhnya saat ini digantikan oleh mesin.

Perawatan Bung Karno

Soekarno pernah mengalami gangguan ginjal dan pernah dirawat di Wina pada
1961 dan 1964. Prof Dr K. Fellinger menyarankan agar ginjal kiri tersebut
diangkat saja. Bung Karno menjawab, “Nanti saja, ik moet mijn taak afronde
(Saya harus menyelesaikan tugas saja). Tugas yang belum selesai itu adalah
mengembalikan Irian Barat ke pangkuan RI. Pada masa selanjutnya,
pengobatan dengan ramuan tradisional Tiongkok/akupunktur diberikan dokter
dari RRT.

Pada 4 Agustus 1965 terjadi suatu peristiwa yang ikut memicu pecahnya
Gerakan 30 September, yaitu sakitnya Bung Karno. Beredar rumor bahwa
Soekarno pingsan dan mengalami koma. Sebetulnya yang terjadi, Bung Karno
mengalami TIA (transient ischaemic attack), yaitu stroke ringan akibat
penyempitan sesaat (spasme) pada pembuluh darah otak. Bukan stroke
karena perdarahan atau adanya bekuan darah dalam pembuluh darah otak.
Dokter meminta Soekarno berbaring di kamar. Para dokter menyarankan agar
dia tidak usah berpidato pada 17 Agustus 1965 karena kondisi kesehatannya
belum pulih. Seandainya dia berpidato, jangan lebih dari satu jam. Ternyata
Presiden Soekarno berpidato lebih dari satu jam dan untungnya tidak terjadi
apa-apa.

Awal 1969, Soekarno pindah dalam status bisa dikatakan “tahanan rumah” ke
Wisma Yaso di Jalan Gatot Subroto (sekarang Museum Satria Mandala).
Sementara itu, presiden RI pertama itu terus diperiksa oleh Kopkamtib. Setelah
sakit Soekarno makin parah, barulah Soeharto memerintahkan menghentikan
interogasi.

Soekarno mendapat perawatan reguler seperti di rumah sakit biasa, dalam arti
diukur suhu badan dan tekanan darah beberapa kali dalam sehari serta jumlah
air kencing selama 24 jam. Pernah ada pemeriksaan rontgen. Tidak diberikan
diet khusus seperti yang dilakukan terhadap pasien gangguan ginjal. Ketika
kondisi Bung Karno kritis, Prof Mahar Mardjono sempat menceritakan kepada
Dr Kartono Mohammad bahwa obat yang diresepkannya disimpan saja di laci
oleh “dokter yang berpangkat tinggi”.

Hanya Diberi Vitamin

Menurut catatan perawat di Wisma Yaso, obat yang diberikan kepada Soekarno
adalah vitamin B 12, vitamin B kompleks, Duvadilan, dan Royal Jelly (yang
sebenarnya madu). Duvadilan adalah obat untuk mengurangi penyempitan
pembuluh darah periferi. Kalau sakit kepala diberi novalgin, sekali-sekali kalau
sulit tidur, Soekarno diberi tablet valium.

Ketika tekanan darahnya relatif tinggi, 170/100, tidak diberikan obat untuk
menurunkannya. Juga tidak tercatat obat untuk melancarkan kencing ketika
terjadi pembengkakan. Bung Karno telah ditelantarkan.

Pada 22 Mei 2006 bersama dr Kartono Mohammad, saya berkunjung ke rumah


Rachmawati Soekarnoputri di Jalan Jatipadang, Jakarta Selatan. Rachmawati
bercerita tentang dr Suroyo adalah seorang dokter dari dinas kesehatan
Angkatan Darat berpangkat kapten (kemudian mayor) yang ditempatkan di
Istana menjelang 1965.

Menurut Rachmawati, dr Suroyo inilah yang biasanya merawat hewan-hewan


yang ada di Istana Merdeka. Yang aneh pula, urine Soekarno diperiksa pada
laboratorim Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. Entah tidak ada
laboratorium yang lain waktu itu di Jakarta. Kami sempat melihat surat dari
Pangdam Siliwangi Mayjen HR. Dharsono yang melarang seluruh warga Jawa
Barat mengunjungi atau dikunjungi Soekarno. Selain itu, ada surat dari
Pangdam Jaya Amir Machmud yang menetapkan bahwa seluruh dokter yang
akan mengunjungi Bung Karno harus sepengetahuan dan didampingi dr
Kapten Suroyo.

Ketika kesehatan Soekarno semakin kritis, pipinya terlihat bengkak, gejala


pasien gagal ginjal. Guruh dan Rachmawati sempat memotret ayahnya. Foto
itu sempat beredar pada pers asing. Guruh dan Rachmawati kontan
diinterogasi di markas CPM Guntur, Jakarta.

Kenyataan yang tidak banyak diketahui masyarakat tentang kondisi kesehatan


dan perawatan Bung Karno sengaja dikemukakan di sini, sungguhpun teramat
pahit, bukanlah untuk memelihara dendam. Ini demi menuruti pandangan
beliau agar kita “Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah”. Bangsa ini perlu
belajar dan memetik hikmah dari sejarah masa lampau agar lebih arif dan
proporsional dalam menyikapi persoalan hari ini.
(Dr Asvi Warman Adam, ahli peneliti utama LIPI)

Menjelang Wafatnya Soekarno Berkas yang Hilang

Menjelang Wafatnya Soekarno (1)


Berkas yang Hilang

JAKARTA – Sembilan buku besar tertumpuk rapih di salah satu ruangan di rumah
Rachmawati Soekarnoputri, Jl. Jati Padang Raya No. 54 A, Pejaten, Jakarta Selatan. Buku
bertuliskan tangan itu berisi medical record (catatan medis) mantan Presiden Soekarno
selama sakit di Wisma Yaso, Jakarta. Ada pula tujuh lembar kertas tua yang warnanya
sudah memudar kecokelatan. Ini juga menjadi bukti riwayat penyakit Bung Karno. Kopnya
bertuliskan Institut Pertanian Bogor, Fakultas Kedokteran Hewan Bagian Bakteriologi, Djl.
Kartini 14, telpon 354, Bogor. Tapi yang lebih membuat dahi ini berkernyit keras, nama
pasien disamarkan. Misalnya, ada yang tertera namanya Taufan (salah seorang putra
Soekarno).

Menguak peristiwa yang terjadi tahun 1965-1970 itu memang tidak mudah. Pada masa lalu
membicarakan masalah ini secara terbuka menjadi hal tabu. Maka tak heran jika sekarang
banyak orang, terutama generasi muda, tak mengetahui kebenaran sejarah tersebut.
Namun kini, ketika semua mata dan seluruh perhatian tertumpah di Rumah Sakit Pusat
Pertamina (RSPP) sehubungan dengan sakitnya mantan Presiden Soeharto sejak 4 Januari
2008, rasa ingin tahu tentang masa lalu pun kembali mengusik. Itu semata-mata karena
Soeharto dan Soekarno sama-sama mantan kepala negara. Adalah Rachmawati
Soekarnoputri, putri ketiga Soekarno, yang sangat ingin menyerahkan catatan medis
ayahnya kepada pemerintah. "Ini kalau pemerintah butuh data-data pendukung dan ingin
melihat dari segi kebenaran, bukan hanya cerita fiktif," tutur Rachmawati kepada SH di
kediamannya, Sabtu (19/1) sore. Maklum, seorang mantan menteri Orde Baru pernah
berkomentar bahwa perlakuan terhadap Soekarno ketika sakit tidak sekejam itu. "Saya tak
mau gegabah.

Ini bukan make up story, karena Kartono Mohamad saja (saat itu Ketua Ikatan Dokter
Indonesia/IDI-red), mengatakan perawatan terhadap Bung Karno seperti perawatan
terhadap keluarga sangat miskin," kata Rachmawati.

Di sore hari itu, Rachmawati tidak sanggup bercerita banyak. Ia hanya tersedu sedan, hal itu
sudah menggambarkan betapa getir kenangan yang dialaminya. Tetapi sebuah artikel yang
pernahdimuat SH pada 15 Mei 2006, memberikan gambaran lebih lengkap. "Seorang
perempuan muncul di Kantor IDI di Jakarta, awal 1990-an," demikian kalimat pertama artikel
tersebut. Perempuan itu ingin bertemu Kartono Mohamad untuk menyerahkan 10 bundel
buku berisi catatan para perawat jaga Soekarno. Namun jauh sebelum pertemuan itu,
Kartono bertemu Wu Jie Ping, dokter yang pernah merawat Soekarno di Hong Kong. Wu
mengungkapkan bahwa Soekarno "hanya" mengalami stroke ringan akibat penyempitan
sesaat di pembuluh darah otak saat diberitakan sakit pada awal Agustus 1965, dan sama
sekali tidak mengalami koma seperti isu yang beredar. Ini menepis spekulasi bahwa
Soekarno tidak akan mampu menyampaikan pidato kenegaraan pada peringatan hari
proklamasi 17 Agustus 1965. Dan nyatanya, Soekarno tetap hadir pada peringatan detik-
detik proklamasi 17 Agustus itu di Istana Merdeka, lengkap dengan tongkat komandonya.

Diperiksa Dokter Hewan

Setelah kembali lagi ke Jakarta, Kartono menemui Mahar Mardjono, dokter yang tahu
banyak soal stroke.Rupanya Kartono tak hanya bercerita soal stroke, tapi juga rentetan
kejadian yang dengan sengaja menelantarkan Soekarno. Maka bundel buku yang dibawa
perempuan itu semakin menguatkan kegelisahan Kartono.

Namun Indonesia di awal 1990-an, kebenaran hanya boleh ditentukan oleh penguasa. Maka
bundel buku itu hanya teronggok di meja kerja Kartono selama bertahun-tahun. Hingga
kemudian, krisis moneter meledak. Rakyat turun ke jalan dan Presiden Soeharto, yang telah
berkuasa selama 32 tahun, dipaksa meletakkan jabatan. Indonesia berubah wajah. Kartono
pun teringat onggokan buku itu. Ia bergegas ke RSPAD, rumah sakit yang mempekerjakan
empat perawat di Wisma Yaso.Kartono berharap dapat menemukan mereka, agar bangsa
Indonesia mendapat cerita yang lengkap tentang tahun-tahun terakhir Soekarno. Namun
menemukan Dinah, Dasih, J. Sumiati, dan Masnetty ternyata bukan hal mudah. Seorang di
antara mereka meninggal, sedangkan yang lain sudah pensiun. RSPAD pun mendadak tak
memiliki file atau berkas dari para perawat ini.

Kartono kehilangan jejak. Upayanya untuk mencari medical record Soekarno gagal. Pihak
RSPAD mengatakan bahwa keluarga Soekarno telah membawanya. Ketika ini ditanyakan
kepada Rachmawati, ia hanya geleng-geleng kepala. "Tidak, tidak," jawabnya lirih. Yang
membuatnya semakin terenyuh, sebelum dibawa ke Jakarta, Soekarno ditangani oleh dokter
Soerojo yang seorang dokter hewan. Jejak ini terlihat dari berkas berkop Institut Pertanian
Bogor, Fakultas Kedokteran Hewan Bagian Bakteriologi.

Bahkan setelah dipindah ke RSPAD karena sakit ginjalnya semakin parah, upaya untuk
melakukan cuci darah tidak dapat dilakukan dengan alasan RSPAD tidak mempunyai
peralatan. Catatan medis juga menyebutkan obat yang diberikan hanya vitamin (B12, B
kompleks, royal jelly) dan Duvadillan, obat untuk mengurangi penyempitan pembuluh darah
perifer. Perihal tekanan darah tinggi yang juga disebutkan dalam catatan medis, juga
menyisakan tanya pada diri Rachmawati.

Setiap kali menjenguk sang ayah dan mencicipi makanannya, masakan selalu terasa asin.
"Saya kecewa dengan semua perawatan itu. Ini sama saja dengan membiarkan orang
berlalu," lanjut Rachmawati.

Seorang mantan pejabat di era Presiden Soekarno membenarkan terjadinya fakta seputar
masa sakit Soekarno yang tersia-sia. "Tidak seperti sekarang ini, perawatan terhadap
Soeharto. Sangat berbeda, padahal seharusnya semua mantan presiden berhak dirawat
secara all out dan diongkosi oleh negara," katanya.

Purnawirawan perwira tinggi militer itu juga mengungkapkan, perlakuan seragam terhadap
Soekarno berasal dari sebuah instruksi. "Yang memberi instruksi ya orang yang sekarang
sedang dirawat itu," katanya. Namun pria ini enggan dituliskan namanya. "Wah, kalau ditulis
di koran saya pasti digangguin...," tuturnya dengan nada serius.

Menjelang Wafatnya sang Proklamator (2-Habis) Mengistimewakan Soeharto, Menyia-


nyiakan Soekarno

JAKARTA – Selembar foto hitam putih menguak penderitaan Soekarno ketika tergolek sakit
di Wisma Yaso, Jakarta, 15 hari sebelum ia wafat. Kedua pipinya terlihat bengkak, gejala
fisik pasien gagal ginjal. Matanya sedikit terbuka, tapi tanpa ekspresi. Raut wajahnya
menampak kepasrahan yang begitu dalam. Soekarno terlihat berbaring di atas sofa
berukuran sempit dengan sebuah bantal. Kedua tangannya dicoba ditangkupkan. Siapa
sangka, pria gagah inilah sang proklamator yang mengantarkan Negara Indonesia ke pintu
kemerdekaan hingga detik ini.

Gambar ini dibuat secara diam-diam oleh Rachmawati Soekarnoputri bersama Guruh
Soekarnoputra, 6 Juni 1970. Sebuah momentum bertepatan dengan hari ulang tahun
Soekarno yang ke-69. ”Dik, ikut yuk, saya mau motret bapak,” tutur Rachmawati kepada
adiknya, Guruh, kala itu. Rupanya foto tersebut kemudian dikirimkan Rachmawati ke Kantor
Berita AP dan dimuat di Harian Sinar Harapan.

Maka gemparlah, dan Rachmawati diinterogasi oleh Corps Polisi Militer (CPM). Rachmawati
pun bertanya, ”Mengapa dilarang memotret, memangnya status Bung Karno apa?” Tetapi
tak pernah ada jawaban tentang apa status Soekarno, sampai detik ini. ”Jadi semua
serbasumir. Tak ada kejelasan tentang status bapak sampai bapak meninggal,” kata
Rachmawati kepada SH di kediamannya di Jl. Jati Padang Raya No. 54A, Pejaten, Jakarta
Selatan, Sabtu (19/1) sore.

Di saat kondisi penyakit ayahnya semakin kritis dan putra-putri ingin membesuknya, mereka
tetap harus melapor dulu ke Pomdam Jaya, sehingga tidak dapat menengok setiap hari.
Wisma Yaso yang terletak di Jl. Gatot Subroto, Jakarta, itu padahal merupakan kediaman
istri Soekarno, yakni Dewi Soekarno. Begitu pula Soekarno sendiri, dalam kondisi sakit
masih tetap harus menjalani pemeriksaan oleh Kopkamtib tiga bulan sekali.

Situasi seperti itu semakin menambah kalut keluarga Soekarno, setelah sebelumnya didera
cobaan bertubi-tubi. Pada pertengahan 1965, sebuah rumor mengabarkan Soekarno
mengalami koma sehingga diperkirakan tidak bisa menyampaikan pidato kenegaraan pada
peringatan Proklamasi 17 Agustus 1965. Tetapi nyatanya, Soekarno hadir pada peringatan
detik-detik proklamasi tersebut di Istana Merdeka, lengkap dengan pakaian kebesaran dan
tongkat komandonya.

Tahun berikutnya, setelah Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) diteken 11 Maret
1966, keluarga Soekarno mendapat kiriman radiogram pada tahun 1967, berupa perintah
supaya mereka keluar dari Istana Bogor. Maka kemudian di tahun 1968, Soekarno pindah
dari Istana Bogor ke Batu Tulis, masih di wilayah Bogor.
Ternyata hawa dingin di Bogor membuat penyakit rematik Bung Karno semakin parah. Saat
itu Soekarno ditangani oleh dokter Soerojo, dokter hewan. Bukti ini dikuatkan dengan
dokumen riwayat penyakit Bung Karno di atas tujuh lembar kertas tua yang warnanya sudah
memudar kecokelatan. Kopnya bertuliskan Institut Pertanian Bogor, Fakultas Kedokteran
Hewan Bagian Bakteriologi, Djl. Kartini 14, telpon 354, Bogor. Menurut Rachmawati,
penanganan dokter Soerojo saat itu pun hanya bersifat insidental. Lantaran rasa sakit makin
tak tertahankan, akhirnya Soekarno mengutus Rachmawati untuk menyampaikan surat
permohonan kepada Soeharto agar diperbolehkan kembali ke Jakarta.

”Saya diterima Pak Harto di Cendana, menyampaikan permintaan agar bapak dipindah ke
Jakarta. Saya harus menunggu jawabannya dua minggu, aduh…,” tutur Rachmawati tak
habis pikir. Akhirnya, Soekarno dipindah ke Wisma Yaso di Jakarta, yang sekarang menjadi
Museum Satria Mandala. Beberapa minggu kemudian dibentuklah tim dokter dengan ketua
Mahar Mardjono. Tetapi karena Wisma Yaso hanya rumah biasa, tentu saja fasilitas medis
yang tersedia sangat berbeda dengan jika dirawat di rumah sakit.

Tidak Cuci Darah

Hari-hari berikutnya, kondisi Soekarno menurun drastis. Seperti yang terdokumentasi dalam
foto Rachmawati tersebut, pipi Soekarno sudah membengkak, pertanda mengalami gagal
ginjal. Kondisi makin kritis. Hingga akhirnya pada 11 Juni 1970 mantan Presiden I RI itu
dilarikan ke Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Subroto.
Rupanya pindah perawatan ke rumah sakit tidak seluruhnya menyelesaikan masalah.
Perawatan yang diberikan tetap tidak maksimal dan peralatan medis seadanya. Pada saat
dokter memastikan harus dilakukan cuci darah, upaya satu-satunya ini tidak dapat
dilaksanakan.

Alasannya, RSPAD tidak memiliki peralatan untuk cuci darah. ”Ini sama saja membiarkan
orang cepat berlalu...,” tutur Rachmawati. Begitu pula dengan obat-obatan, tidak tersedia di
RSPAD sehingga putra-putri Soekarno membelinya sendiri di apotek di Kebayoran. ”Ada
satu periode di mana saya tidak boleh menengok bapak,” ungkap Rachmawati. Dalam
keadaan genting seperti itu, keluarga masih tetap tidak diizinkan tidur di rumah sakit untuk
menunggui sang ayah. Mereka hanya boleh menunggu di dalam mobil di tempat parkir.
Tak ada pula teman-teman yang bisa menjenguknya, kecuali Mohammad Hatta.
Rachmawati mengakui, selepas tahun 1965 memang terjadi de-Soekarno-isasi. Semua hal
yang berbau Soekarno harus disingkirkan sejauh mungkin. Hingga akhirnya pada 21 Juni
1970, Soekarno wafat. Jenazahnya kemudian disemayamkan di Wisma Yaso dan dilepas
oleh Presiden Soeharto untuk diterbangkan ke Blitar, Jawa Timur. Itulah kali pertama
Soeharto melihat fisik Soekarno setelah disingkirkan dari Istana Kepresidenan. Yang
menjadi inspektur upacara pada pemakaman itu Jenderal TNI M Panggabean, tanpa
kehadiran Presiden Soeharto di Blitar.

Mengapa pusara mantan Presiden I RI itu berada di kompleks pemakaman Desa


Bendogerit, Blitar? Lokasi itu dipilihkan oleh negara dengan alasan dekat dengan makam
kedua orangtua Soekarno. Pihak keluarga sebenarnya mengajukan permintaan sesuai
wasiat Soekarno, yaitu dimakamkan di Batu Tulis atau di lokasi lain di Bogor. Juga ketika
gaung agar Tap MPR No. 11 Tahun 1998 tentang KKN mantan Presiden Soeharto
dikumandangkan kembali tatkala Soeharto sakit di Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP),
Rachmawati meminta dicabutnya Tap MPRS No. XXXIII/1967. Tap MPRS itu intinya adalah
mencabut mandat MPRS dari Soekarno dan mengangkat Soeharto

sebagai Pejabat Presiden. ”Secara pribadi saya berharap ada rehabilitasi. Dan Tap MPRS
harus dicabut karena beban politik berbeda dengan beban pidana atau perdata,” lanjut
Rachmawati. Putri ketiga Soekarno itu pun hanya geleng-geleng kepala, ketika mengetahui
kondisi kesehatan Soeharto yang sedang dirawat di RSPP mulai membaik. Semua orang
juga tahu, betapa luar biasa dan istimewanya fasilitas untuk Soeharto. Tetapi Rachmawati
sama sekali tidak menaruh rasa dendam. Yang ia inginkan hanyalah, kebenaran sejarah.

Anda mungkin juga menyukai