Tesis
Oleh:
MAKYUN SUBUKI
NPM: 6705030193
Tesis ini telah diujikan pada hari , tanggal Juni 2008, pukul WIB,
ii
Kohesi dan..., Makyun Subuki, FIB UI, 2008
LEMBAR PENGESAHAN
Tesis ini telah diujikan pada hari Rabu, tanggal 16 April 2008, pukul 13.00
Tanda Tangan
ii
Kohesi dan..., Makyun Subuki, FIB UI, 2008
LEMBAR PERSETUJUAN UJIAN AKHIR TESIS
Depok, ………………………..
Pembimbing,
vi
Segala puji bagi Allah SWT, atas segala nikmat yang dilimpahkan-Nya. Shalawat
Saya harus mengakui bahwa tesis ini tidak mungkin selesai tanpa bantuan
berbagai pihak, dari yang menemukan keberartian ilmu pengetahuan hingga yang
menemukan peranti lunak-keras untuk pengetikan tesis ini. Oleh karena itu, dalam
ruang yang terbatas ini, saya ingin berterima kasih kepada pihak yang telah
membantu.
Ketiga, Bpk. M. Umar Muslim, Ph. D., Ketua Program Studi Linguistik
memilih dan memberikan materi dan pengajar terbaik, saya berterima kasih.
Keempat, Bpk. Dr. Afdol Tharik Wastono, pembimbing tesis saya, atas
iii
Kohesi dan..., Makyun Subuki, FIB UI, 2008
Keenam, seluruh keluarga saya: Kedua orang tua saya, Bpk. H. Yusuf
Hadi dan Ibu Hj. Suriyah; kedua kakak saya, Ainur Rafik dan Uyun Fadilah;
kedua adik saya, Hafas Barbahar dan Ashlah Mukafi; dan satu calon istri saya, Ely
Pusvitasari, kepada mereka saya berutang ilmu, budi, cinta, kasih, dan doa,
Nya, semoga Allah membalas budi baik mereka dan siapa saja yang berbuat baik
kepada saya dan kepada siapa saja. Tuhan selalu menepati janji.
Makyun Subuki
iv
Kohesi dan..., Makyun Subuki, FIB UI, 2008
Daftar Lambang dan Singkatan
Lambang
Singkatan
D demostrativa
dst. dan seterusnya
E elipsis
InPr infleksi pronomina
InV infleksi verba
KAd konjungsi aditif
KAdv konjungsi adversatif
KK konjungsi kausal
KLAn kohesi leksikal: antonimi
KLKS kohesi leksikal: kumpulan yang sama
KLMr kohesi leksikal: meronimi
KLMt kohesi leksikal: hubungan metaforis
KLPSn kohesi leksikal: pengulangan sintaksis
KLPK kohesi leksikal: pengulangan keseluruhan
KLPSb kohesi leksikal: pengulangan sebagian
KLSi kohesi leksikal: sinonimi
KLT kohesi leksikal: taksonimi
KLK kohesi leksikal: kolokabilitas
ix
Kohesi dan..., Makyun Subuki, FIB UI, 2008
KT konjungsi temporal
P1P pronomina pertama plural
P1T pronomina pertama tunggal
P2D pronomina kedua dual
P2P pronomina kedua plural
P2T pronomina kedua tunggal
P3D pronomina ketiga dual
P3P pronomina ketiga plural
P3T pronomina ketiga tunggal
PL penggantian leksikal
PSt pilihan stilistik
PKJJ persesuaian kala, jenis, dan jumlah
QS. Al-Quran, surat
REn referensi Endofora
REk referensi Eksofora
RP referensi perbandingan
S substitusi
x
Kohesi dan..., Makyun Subuki, FIB UI, 2008
PEDOMAN TRANSLITERASI
ARAB – INDONESIA
1. Konsonan Tunggal
ب bā’ b
ت tā’ t
ج jim j
خ khā’ kh
د dal d
ر rā’ r
ز zai z
س sin s
ش syin sy
xi
Kohesi dan..., Makyun Subuki, FIB UI, 2008
ظ zha z z garis di bawah
غ gayn g
ف fa f
ق qaf q
ك kaf k
ل lam l
م mim m
ن nun n
و wau w
ﻩ ha h
ي ya y
xii
Kohesi dan..., Makyun Subuki, FIB UI, 2008
(ketentuan ini tidak diperlukan terhadap kata-kata Arab yang sudah
4. Vokal Pendek
5. Vokal Panjang
6. Vokal Rangkap
xiii
Kohesi dan..., Makyun Subuki, FIB UI, 2008
ﻗﻮل ditulis qawl
apostrof
xiv
Kohesi dan..., Makyun Subuki, FIB UI, 2008
ABSTRAK
vii
Kohesi dan..., Makyun Subuki, FIB UI, 2008
ABSTRACT
viii
Kohesi dan..., Makyun Subuki, FIB UI, 2008
BAB 1
PENDAHULUAN
Satuan bahasa dalam penggunaan, baik tulis maupun lisan dan panjang maupun
pendek, dapat disebut teks jika membentuk sebuah kesatuan yang utuh, terutama
secara semantis (Halliday dan Hasan 1976: 1-2). Dengan kata lain, teks
merupakan bentuk verbal dari tindak komunikasi (Brown dan Yule 1983: 6).
Halliday dan Hasan (1976: 2-4), setiap teks memiliki jaringan, tekstur (texture),
Kohesi dalam teks ini dapat diklasifikasi lebih jauh berdasarkan dua hal. Pertama,
dalam dua bagian, yaitu kohesi gramatikal dan kohesi leksikal (Halliday dan
Hasan 1976: 274 dan 303). Kedua, berdasarkan asal (nature) hubungannya,
kohesi diklasifikasi lebih jauh berdasarkan tiga hal, yaitu keterkaitan bentuk
hubungan semantik (semantic connection) (Halliday dan Hasan 1976: 304 dan
322-323).
dapat juga dibentuk oleh struktur tematik (thematic structure) dan struktur
dan Hasan (1976), Jaszczolt (2003: 168) mengemukakan bahwa peranti kohesi
selanjutnya berinteraksi dengan dua hal dalam teks, yaitu (1) struktur kontekstual
internal kalimat; dan (2) makrostruktur teks, misalnya teks puisi, teks percakapan,
Berbeda dengan Halliday dan Hasan (1976) dan Halliday (1985), Brown
keutuhan teks. Bagi mereka, "jaringan", dalam arti realisasi eksplisit hubungan
semantis, bukan kriteria bagi identifikasi teks. Sebab, menurut Brown dan Yule
hubungan formal. Dengan kata lain, bagi Brown dan Yule (1983), keutuhan teks
tidak bergantung pada kriteria kohesi yang disebut Halliday dan Hasan (1976).
Dalam tradisi linguistik Arab, kajian terhadap kohesi dan koherensi dalam
teks pada dasarnya pernah dilakukan. Hanya saja, istilah kohesi dan koherensi,
dan atau istilah lain yang dimaksudkan sebagai padanan konsep kohesi dan
dengan memperhatikan lingkup kajian yang terkait dengan kohesi dan koherensi
yang berkembang dalam linguistik secara umum, pembahasan ini dalam bahasa
Arab terkait dengan dua hal. Pertama, balāgah, yaitu bidang yang mengkaji
efektivitas ujaran, keindahan gaya bahasa, dan intensionalitas penutur untuk tetap
terdapat hubungan yang erat antara penyusunan tata bahasa Arab dan usaha
diteliti adalah Al-Quran, pembahasan kohesi dan koherensi terkait juga dengan
beberapa bidang 'ulūm Al-Qur'ān yang selama ini masih digunakan terbatas dalam
Seperti halnya teks lain, Al-Quran juga memiliki jaringan yang menjamin
Berkaitan dengan jaringan teks yang dibentuk melalui kohesi, dengan mengikuti
pendapat yang dikemukakan Jaszczolt (2002: 168), dapat kita katakan bahwa
dalam Al-Quran peranti-peranti kohesi juga berinteraksi dengan dua hal, yaitu
ini, misalnya, dapat dilihat dalam hubungan antara ayat ke-67 dan ke-68 surat Al-
(1) a. ﺨ ُﺬﻧَﺎ
ِ ن َﺗ ْﺬ َﺑﺤُﻮا َﺑ َﻘ َﺮ ًة ﻗَﺎﻟُﻮا َأ َﺗ ﱠﺘ
ْ ن اﻟﱠﻠ َﻪ َﻳ ْﺄ ُﻣ ُﺮ ُآ ْﻢ َأ
ل ﻣُﻮﺳَﻰ ِﻟ َﻘ ْﻮ ِﻣ ِﻪ ِإ ﱠ َ َوِإ ْذ ﻗَﺎ
ل
َ ُه ُﺰوًا ﻗَﺎ (67 :ﻦ )اﻟﺒﻘﺮة َ ﻦ ا ْﻟﺠَﺎ ِهﻠِﻴ َ ن ِﻣ َ ن َأآُﻮ ْ َأﻋُﻮ ُذ ﺑِﺎﻟﱠﻠ ِﻪ َأ
/wa iź qāla [mūsā](a) li{-qawmi[-hi](a-Ren-P3T-InPr)}(b) inna [allāha](c) [ya'muru](c-REn-
P3T-InV)[-kum](b-REn-IP2P) an {[taźbahū](b-REn-P2P-InV) [baqaratan](d)}(e) [qālū](b-REn-P3P-
InV) a [tattakhiźu](a-REn-P2T-InV)[-na](b-REn-P1P-InPr) huzuwan [qāla](a-REn-P3T-InV)
[a'uźu](a--REn-P1T-InV) bi [allāhi](c-KLPL) an [akūna](a--REn-P1T-InV) min al-jāhilīna/
'Dan (ingatlah), ketika Musa berkata kepada kaumnya: "Sesungguhnya Allah
menyuruh kamu menyembelih seekor sapi betina". Mereka berkata: "Apakah
kamu hendak menjadikan kami buah ejekan?" Musa menjawab: "Aku berlindung
kepada Allah agar tidak menjadi salah seorang dari orang-orang yang jahil".'
(QS. Al-Baqarah: 67).
b. ض
ٌ ِل ِإ ﱠﻧﻬَﺎ َﺑ َﻘ َﺮ ٌة ﻟَﺎ ﻓَﺎر
ُ ل ِإﻧﱠ ُﻪ َﻳﻘُﻮ
َ ﻲ ﻗَﺎ
َ ﻦ َﻟﻨَﺎ ﻣَﺎ ِهْ ﻚ ُﻳ َﺒ ﱢﻴ
َ ع َﻟﻨَﺎ َر ﱠﺑ
ُ ﻗَﺎﻟُﻮا ا ْد
وَﻟَﺎ ﺑِ ْﻜ ٌﺮ (68) ن َ ﻚ ﻓَﺎ ْﻓ َﻌﻠُﻮا ﻣَﺎ ُﺗ ْﺆ َﻣﺮُو َ ﻦ َذِﻟ
َ ن َﺑ ْﻴ
ٌ ﻋَﻮَا
/[qālū](b-REn-P3P-InV) [ud'u](a-REn-P2T-InV) la[-nā](b-REn-P2P-InPr) {rabba[-ka](a-REn-P2T-
InPr)}(c-PL) [yubayyin](c-REn-P3T-InV) la[-nā](b-REn-P1P-InPr) mā [hiya](d-REn-P3T-InPr)
[qāla](a-REn-P3T-InV) inna[-hu](c-REn-P3T-InPr) [yaqūlu](c-REn-P3T-InV) inna[-hā](d-REn-
P3T-InV) [baqaratun](d-KLPL) [lā fāridun wa lā bikrun](f) 'awānun bayna [źālika](f-
REn-D) [fa] [if'alū](b-REn-P2P-InV) [mā](e-REn) [tu'marūna](b-REn-P2P-InV)/
"Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang
tidak tua dan tidak muda; pertengahan antara itu; maka kerjakanlah apa yang
diperintahkan kepadamu".' (QS. Al-Baqarah: 68).
Dalam contoh (1) di atas, dapat dilihat bahwa kohesi dalam kedua ayat tersebut
dicapai melalui: pertama, ko-referensi antara ﻣﻮﺳ ﻰ/mūsā/ 'Musa' (a) dan (1)
pronomina ketiga ه ﻮ/huwa/ 'dia' yang terdapat dalam ﻗ ﺎل/qāla/ 'dia berkata' (a-
InPr); dan (3) pronomina pertama tunggal أﻧ ﺎ/ana/ 'aku' yang terdapat dalam إﻧ ﻰ
REn-P1T-InV), dan أآ ﻮن /akūna/ 'aku adalah' (a-REn-P1T-InV). Kedua, ko-
referensi antara frasa ﻗﻮﻣ ﻪ/qawmihi/ 'kaumnya' (b) dan (1) pronomina kedua
plural أﻧ ﺘﻢ /antum/ 'kalian' yang terdapat dalam ﻳ ﺄﻣﺮآﻢ /ya'murukum/ 'Dia
KLPL); (2) bentuk رﺑ ﻚ /rabbaka/ 'Tuhanmu' (c-PL); (3) pronomina ketiga
tunggal هﻮ /huwa/ 'dia' yang terkandung dalam ﻳ ﺄﻣﺮ /ya'muru/ 'Dia
pengulangan bentuk ﺑﻘ ﺮة /baqarah/ 'sapi betina' dan ko-referensinya dengan
menyembelih sapi betina' (e) dan bentuk ﻣ ﺎ/mā/ 'apa/sesuatu' (mawsūliyah) (e-
REn). Keenam, ko-referensi antara bentuk ﺑﻜ ﺮ ﻻ ﻓ ﺎرض وﻻ/lā fāridun wa lā
bikrun/ 'tidak tua dan tidak muda' (f) dan demonstrativa ذاﻟ ﻚ/źālik/ 'itu' (f-Ren-
D). Ketujuh, pemanfaatan konjungtor ف /fa/ 'maka' (sababiyah) yang
sebelumnya.
Yule (1983: 194-195), yaitu bahwa keutuhan teks tidak harus dicapai melalui
perwujudan kohesi secara eksplisit dan tidak semua kohesi yang terdapat dalam
teks mampu membentuk jaringan teks yang baik. Hal seperti ini juga terdapat
dalam data yang dianalisis, misalnya hubungan antarbagian dalam ayat ke-189
surat Al-Baqarah.
(2) ن
ْ ﺲ ا ْﻟ ِﺒ ﱡﺮ ِﺑَﺄ
َ ﺞ َوَﻟ ْﻴ ﺤﱢ َ س وَا ْﻟ ِ ﺖ ﻟِﻠﻨﱠﺎ ُ ﻲ َﻣﻮَاﻗِﻴ َ ﻞ ِهْ ﻦ ا ْﻟَﺄ ِهﱠﻠ ِﺔ ُﻗ
ِﻋَ ﻚَ ﺴَﺄﻟُﻮ َﻧ
ْ َﻳ
ﻦ
ْ ت ِﻣ َ ﻦ ا ﱠﺗﻘَﻰ َو ْأﺗُﻮا ا ْﻟ ُﺒﻴُﻮ ِ ﻦ ا ْﻟ ِﺒ ﱠﺮ َﻣ
ﻇﻬُﻮ ِرهَﺎ َوَﻟ ِﻜ ﱠ ُ ﻦ ْ ت ِﻣ َ َﺗ ْﺄﺗُﻮا ا ْﻟ ُﺒﻴُﻮ
(189) ن َ َأ ْﺑﻮَا ِﺑﻬَﺎ وَاﺗﱠﻘُﻮا اﻟﱠﻠ َﻪ َﻟ َﻌﱠﻠ ُﻜ ْﻢ ُﺗ ْﻔِﻠﺤُﻮ
/[yas'alūna](a-REn-P2P-InPr)[-ka](b-REk-P2T-InPr) 'an [al-ahillati](c) [qul](b-REk-P2T-InV) [hiya](c-
REn-P3T-InPr) mawāqītu li an-nāsi wa al-hajji [wa](KAd) laysa [al-birra](d) bi an [ta'tū](a-
REn-P2P-InV) [al-buyūta](e) min [zuhūri](f)[-hā](e-REn-P3T-InPr) wa [lākinna](KAdv) [al-birra](d-
KLPL) man ittaqā [wa](KAd) [u'tū](a-REn-P2P-InV) [al-buyūta](e-KLPL) min [abwābi](f-KLAn) [-
hā](e) [wa](KAd) [ittaqū](a) allāha [la'alla](KK)[-kum](a-REn-P2P-InV) [tuflihūna](a-REn-P2P-
InV)/
Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: "Bulan sabit itu adalah
tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji; Dan bukanlah kebajikan
memasuki rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi kebajikan itu ialah kebajikan
orang yang bertakwa. Dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintunya; dan
bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung (QS 2: 189).
Seperti dapat dilihat dalam (2) di atas, kohesi antarbagian dalam ayat tersebut
dapat saja dicapai melalui ko-referensi antara أهﻠ ﺔ/ahillah/ 'bulan sabit' (c) dan
pronomina ketiga ه ﻲ/hiya/ 'dia' (c-REn-P3T-InPr), أﻧ ﺖ/anta/ 'kamu' (b) yang
terdapat dalam ﻳ ﺴﺌﻠﻮﻧﻚ/yas'alūnaka/ 'mereka bertanya kepadamu' (b-REn-P2T-
InPr) dan ﻗﻞ /qul/ 'katakanlah' (b-REn-P2T-InV), هﻢ /hum/ 'mereka' dalam
bentuk ﺞ
ﺤ ﱢ
َ وَا ْﻟ س
ِ ﺖ ﻟِﻠ ﱠﻨ ﺎ
ُ ﻲ َﻣﻮَاﻗِﻴ
َ ِه/hiya mawāqītu li an-nāsi wa al-hajji/ 'bulan
sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadah) haji' dan ﺲ
َ َﻟ ْﻴ
ﻇﻬُﻮ ِر َه ﺎ
ُ ﻦ
ْ ت ِﻣ
َ ن ﺗَ ْﺄﺗُﻮا ا ْﻟ ُﺒ ُﻴ ﻮ
ْ ا ْﻟ ِﺒ ﱡﺮ ِﺑ َﺄ/laysa al-birra bi an ta'tū al-buyūta min
zuhūrihā/ 'bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya'. Sebab,
hubungan antara kedua bentuk tersebut hanya mungkin dipahami jika kita
mengetahui kebiasaan umat Yahudi yang suka memasuki rumah dari belakang
pada saat melakukan ibadah haji. Dengan kata lain, kohesi saja tidak cukup untuk
memahami teks secara utuh. Oleh karena itu, selain membahas kohesi dalam
identifikasi teks, penelitian ini juga berkaitan dengan hubungan antara kohesi dan
dan koherensi yang terdapat dalam surat Al-Baqarah selanjutnya akan dibahas
dengan beberapa konsep yang terdapat dalam balāgah dan 'ulūm Al-Qur'ān.
Berdasarkan apa yang telah dikemukakan di atas, masalah dalam penelitian ini
kohesi secara eksplisit koherensi teks surat Al-Baqarah tetap dapat dicapai?
kohesi yang dikemukakan oleh Halliday dan Hasan (1976), baik yang berdasarkan
dan Hasan 1976: 274, 303, 304, dan 322-323). Sebab, dengan memakai kedua
digunakan dalam teks dan koherensi yang dicapainya lebih mudah untuk
pendapat yang dikemukakan oleh Halliday (1985), Brown dan Yule (1983), Givon
(1995), Wales (1998), Renkema (2004), dan Alwi et al. (1998) tentang kohesi,
dan menyesuaikannya dengan kategori yang kemukakan oleh Halliday dan Hasan
(1976).
lebih baik, terutama berkaitan dengan hubungan antarelemen dalam teks yang
pendapat Brown dan Yule (1983) yang menolak fungsi kohesi dalam pemahaman
teks, saya mencoba untuk menganalisis teks surat Al-Baqarah dengan teori
koherensi yang saya ambil dari Brown dan Yule (1983), Givon (1995), Alwi et al.
Berkaitan dengan bahasa dan sumber data yang menjadi pokok penelitian
ini, yaitu bahasa Arab yang terdapat dalam Al-Quran, untuk melengkapi
pembahasan, penelitian ini juga menjelaskan kohesi dan koherensi yang terdapat
dalam surat Al-Baqarah dengan disiplin yang terkait dengan kohesi dan koherensi
dalam bahasa Arab dan studi Al-Quran, yaitu balāgah dan 'ulūm Al-Qur'ān.
Data yang dianalisis di sini mencakup seluruh ayat dalam surat Al-
Baqarah. Analisis yang saya lakukan hanya meliputi kohesi dan koherensi dalam
kaitannya dengan hubungan antartema, hubungan antarayat dalam satu tema, dan
hubungan antarbagian dalam satu ayat. Selain itu, berkaitan dengan permasalahan
yang saya kemukakan dalam (1.2), sifat data yang saya analisis meliputi tiga hal:
(1) data yang memanfaatkan peranti kohesi secara eksplisit dan koherensinya
terjaga baik; (2) data yang memanfaatkan kohesi secara eksplisit, tetapi koherensi
antarbagiannya tidak tampak; dan (3) data yang tidak memanfaatkan peranti
kohesi.
eksplisit selalu menjamin koherensi teks surat Al-Baqarah dan apakah tanpa
dapat diwujudkan.
koherensi dalam bahasa mereka sendiri, yaitu dengan menjelaskan lebih lanjut
kohesi dan koherensi dalam teks surat Al-Baqarah dengan balāgah dan 'ulūm
Al-Qur'ān.
dengan balāgah dan 'ulūm Al-Qur'ān belum pernah dilakukan sebelumnya. Dalam
hal ini, selain mencoba menganalisis kohesi dan koherensi dengan balāgah, saya
yang biasanya digunakan secara terbatas dalam bidang usul al-fiqh dan penafsiran
Al-Quran, meliputi konsep makkī dan madanī, asbāb an-nuzūl, muhkam dan
mutasyābih, taqdīm dan ta'khīr, 'ām dan khās, mujmal dan mubayyan, nāsikh dan
mansūkh, dan mantūq dan mafhūm, munāsabah, bidang yang mengkaji secara
Al-Quran, dan bagian balāgah yang digunakan juga dalam pemahaman makna
Al-Quran.
Oleh karena itu, secara teoritis, sebagai bagian dari bidang yang mengkaji
Al-Quran secara khusus dan bahasa Arab secara umum, kajian ini memberikan
sumbangan teoritis dalam bidang ‘ulum Al-Qur’an dan kajian bahasa Arab di satu
sisi sekaligus memberi sumbangan teoritis bagi teori kohesi dan koherensi dalam
bahasa Arab di lain sisi. Secara praktis, hasil penelitian ini berbeda dari hasil
penelitian yang dilakukan hanya berdasarkan konsep kohesi dan koherensi yang
berkembang dari pendapat Halliday dan Hasan (1976) semata, baik dalam bahasa
Inggris, bahasa Arab, maupun bahasa Indonesia. Hasil kajian ini berbeda pula dari
kajian bahasa Al-Quran yang telah biasa dilakukan dengan hanya menggunakan
balāgah dan atau ulūm Al-Quran. Bahkan dengan menurutsertakan teori koherensi
dalam analisis data, penelitian ini juga akan memberi sumbangan penelitian
Ancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah ancangan kualitatif yang
merupakan studi kasus terhadap kohesi dan koherensi dalam surat Al-Baqarah
sebagai pembentuk keutuhan teks. Studi kasus merupakan penelitian terhadap cara
suatu bentuk atau suatu fenomena, dalam hal ini kohesi dan koherensi, berfungsi
dalam sebuah konteks. Ancangan dan metode penelitian ini saya pilih berdasarkan
dua asumsi. Pertama, karena memiliki sifat yang berbeda, tidak semua
perwujudan kohesi dan pencapaian koherensinya dalam teks bahasa Arab dapat
digeneralisasi melalui teori kohesi dan koherensi yang berpijak pada tradisi
linguistik umum, sehingga saya juga memanfaatkan beberapa hal yang terkait
dengan kohesi dan koherensi dalam linguistik Arab. Dengan kata lain, studi kasus
saya gunakan untuk mengetahui bagaimana kohesi dan koherensi secara khas
eksplisit, maka studi kasus ini juga dipilih sebagai upaya melihat hubungan antara
Sumber data yang saya pilih adalah Al-Quran surat Al-Baqarah. Pemilihan Al-
Quran sebagai sumber data didasarkan pada kenyataan bahwa bahasa Arab klasik
merupakan bahasa yang dipakai sebagai bahasa Arab baku (fusha) yang hingga
saat ini dipakai dalam korespondensi resmi, pemerintahan, dan diplomasi. Selain
itu, Makdisi (1990: 221) juga mengemukakan bahwa bahasa Arab yang terdapat
dalam Al-Quran juga menjadi model bagi penciptaan puisi dan prosa.
Teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah teknik
terlebih dahulu saya mengklasifikasi seluruh ayat dalam surat ini berdasarkan
tema yang dikandungnya. Dalam hal ini, saya mengklasifikasi tema dalam surat
setelah klasifikasi tema, saya mencatat dan memberi kode bagi kohesi yang
ditemukan dalam setiap tema dalam sumber data. Ketiga, data yang telah diberi
kode ini kemudian saya klasifikasi berdasarkan jenis kohesi yang dikandungnya.
melalui analisis.
Korpus data yang dipilih dalam penelitian ini adalah seluruh ayat dalam surat Al-
keterkaitan referensi, dan maupun koneksi semantis. Korpus ini dipilih dengan
asumsi bahwa surat Al-Baqarah dianggap sebagai puncak al-Quran (fustāt al-
qur’ān), yaitu representasi dari Al-Quran baik dari segi bahasa maupun dari segi
tema. Oleh karena itu, surat ini mampu menyediakan data sesuai kebutuhan dalam
penelitian ini, baik dalam hal jumlah data yang akan diteliti maupun dalam hal
dalam surat ini sangat banyak, kohesi dan koherensi yang saya analisis adalah
yang membentuk jaringan antarayat dalam satu tema, yang membentuk jaringan
Metode yang digunakan untuk menganalisis data penelitian ini bersifat deskriptif
yang saya lakukan dalam analisis data meliputi: pertama, setelah klasifikasi tema
dan pencatatan, data kemudian diberi kode dan diklasifikasi berdasarkan peranti
dengan koherensi yang dicapai, data yang telah diberi kode dan diklasifikasi
selanjutnya dianalisis dengan teori koherensi dan dijelaskan lebih jauh dengan
disiplin balāghah dan 'ulūm Al-Qur'ān. Teori koherensi terutama digunakan untuk
menganalisis data yang tidak memanfaatkan peranti kohesi secara eksplisit atau
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengantar
Bab ini merupakan tinjauan pustaka yang terkait dengan kohesi dan koherensi
dalam linguistik secara umum dan dalam linguistik Arab secara khusus. Seperti
beberapa konsep yang terkait dengan kohesi dan koherensi. Akan tetapi karena
tidak terdapat istilah yang memayungi materi pembahasan dalam kedua konsep
terhadap dua tradisi pembahasan kohesi dan koherensi ini dipisahkan. Selain itu,
karena konsep kohesi dan koherensi tidak berasal dari tradisi linguistik Arab,
pembahasan terhadap kedua konsep tersebut dalam linguistik Arab, yang diambil
dari balāgah dan ‘ulūm Al-Qur’ān, disesuaikan dengan materi pembahasan yang
terdapat dalam teori kohesi dan koherensi yang berkembang dalam linguistik
umum.
(1985), seperti dinyatakan oleh Greimes (1973: 272), konsep kohesi diungkap
pertama kali oleh Halliday (1967/1968) dalam Notes on Transitivity and Theme in
English. Hal tersebut diungkapkan kembali oleh Halliday bersama Ruqaiya Hasan
dalam Cohesion in English (1976). Kohesi, menurut Halliday dan Hasan (1976:
10), mengacu pada keterkaitan makna yang menghubungkan suatu unsur dengan
unsur sebelumnya dalam teks, yaitu apabila interpretasi sejumlah unsur dalam
sebuah teks tergantung pada unsur lainnya (Halliday dan Hasan 1976: 10-11).
gramatikal, yaitu hubungan kohesif yang dicapai dengan penggunaan elemen dan
aturan gramatikal, meliputi referensi, substitusi, dan elipsis; dan (2) kohesi
leksikal, yaitu efek kohesif yang dicapai melalui pemilihan kosakata (Halliday
dan Hasan 1976: 274 dan 303). Kedua, berdasarkan asal (nature) hubungannya,
kohesi diklasifikasi lebih jauh berdasarkan tiga hal, yaitu (1) keterkaitan bentuk
(relatedness of form) yang meliputi substitusi, elipsis, dan kolokasi leksikal; (2)
diperantarai oleh konjungsi (Halliday dan Hasan 1976: 304 dan 322-323).
Berdasarkan dua macam klasifikasi ini, Halliday dan Hasan (1976) membahas
lima macam peranti kohesi, yaitu referensi, substitusi, elipsis, konjungsi, dan
kohesi leksikal.
mengulang apa yang disampaikan Halliday dan Hasan (1976) tentang peranti
kohesi yang meliputi referensi, substitusi dan elipsis, konjungsi, dan kohesi
pendapat yang sama dengan apa yang dikemukakan sebelumnya dalam Halliday
dan Hasan (1976), yaitu bahwa referensi adalah pengungkapan kembali acuan
yang sama melalui bentuk yang berbeda, baik situasional maupun tekstual.
Referensi yang bersifat situasional disebut eksofora (exophora), dan yang bersifat
tekstual disebut endofora (endophora) (Halliday dan Hasan 1976: 31 dan Halliday
1985: 292). Referensi tekstual dapat dibagi lebih lanjut berdasarkan arah
acuannya dalam teks, yaitu anafora (anaphora) jika terdapat sebuah bentuk yang
mengacu ke bentuk lain yang terdapat sebelumnya dan katafora (kataphora) jika
terdapat sebuah bentuk yang mengacu ke bentuk lain yang terdapat sesudahnya.
Kedua jenis referensi tersebut, yaitu endofora dan eksofora, berbeda dari arti
dimaksud Halliday dan Hasan (1976: 33) membutuhkan praanggapan yang harus
terpenuhi, yaitu bahwa acuan yang ditunjuknya harus teridentifikasi lebih dulu.
Selanjutnya, Halliday (1983: 293), serupa dengan Halliday dan Hasan (1976: 37),
dengan tiga macam referensi yang disebut oleh Halliday dan Hasan (1976) dapat
Dari tiga bagan di atas, dapat dipahami bahwa referensi personal (personal)
(1) a. [John](a)has moved to a [new house](b). [He](a) had [it](b) built last year.
b. I like the [lions](a), and I like the [polar bears](b). [These](a)(b) are my favorites.
c. It's a [similar](a) cat to the [one we saw yesterday](a).
(Halliday dan Hasan 1976: 54, 60, dan 79)
Dapat kita lihat di atas, pada (1a) bentuk John dan new house diungkapkan
kembali dengan pronomina he dan it; bentuk pada (1b) lions dan polar bears
(1c) identitas cat we saw yesterday diungkapkan kembali melalui bentuk similar
cat.
dalam Cohesion in English (1976), kohesi dapat juga dicapai melalui substitusi,
yaitu penggantian item tertentu dengan item lain, dan elipsis, yaitu penghilangan
item tertentu atau, dapat juga berarti, penggantian item tertentu dengan kosong
(Halliday dan Hasan 1976: 88 dan Halliday 1985: 297). Serupa dengan yang
elemen tertentu dengan bentuk nomina general, seperti thing dan one, melainkan
Dalam contoh (2) di atas, substitusi nominal dapat dilihat dalam hubungan antara
bentuk axe dan one pada (2a), substitusi verbal dapat dilihat dalam hubungan
antara know dan does pada (2b), dan substitusi klausal dapat dilihat dalam
dapat juga dicapai melalui konjungsi. Dalam hal ini, serupa dengan yang
tertentu bagi hubungan antarelemen dalam teks. Halliday dan Hasan (1976: 238-
Contoh.
(3) For the whole day he climbed up the step mountainside, almost without stopping
a. [And] in all this time he met no one.
b. [Yet] he was hardly aware of being tired.
c. [So] by night time he was far below him.
d. [Then], as dusk fell, he sat down rest.
(Halliday dan Hasan 1976: 238-239)
Dapat dilihat bahwa hubungan antara (3) dan (3a) diperantarai oleh and ‘dan’
yang menunjukkan relasi aditif; antara (3) dan (3b) diperantarai oleh konjungtor
yet ‘meskipun’ yang menunjukkan relasi adversatif; hubungan antara (3) dan (3c)
diperantarai konjungtor so ‘maka’ yang menunjukkan relasi kausal; dan antara (3)
dan (3d) diperantarai oleh then ‘lalu’ yang menunjukkan relasi temporal.
yang tercapai dari konjungsi mencakup tiga dimensi arti, yaitu (1) elaboration,
extention, meliputi hubungan aditif, adversatif, dan variasi; dan (3) enhancement,
(4) a. Your face is the same as everybody else has. [Ø] The two eyes so, nose in the
middle, mouth under.
b. I wasn’t suprised. [Ø] It was what I had expected.
(5) a. I breed the poultry, [and] my husband look after the garden
b. We like that breed of dog, [but] we felt we weren’t in a position to own one at
the time.
c. They did a good job, [Ø] only they were so slow about it.
(6) a. It’s the Chashire Cat: [now] I shall have somebody to talk to
b. keep on substracting the difference, [and in that way] you will arrive at the
correct figure
c. Alice didn’t want to begin another argument, [so] she said nothing
(Halliday 1985: 203-212)
Dalam (4), lambang [Ø] memarkahi konjungsi implisit (Halliday 1985: 309).
Sebagai bentuk yang menyatakan relasi elaboration, kedua bentuk tersebut dapat
untuk yang terdapat dalam (4a) dan actually ‘sebenarnya’ untuk yang terdapat
dalam (4b) (Halliday 1985: 203-204). Dalam contoh (5), extention diwujudkan
secara eksplisit bentuk and ‘dan’ dalam (5a) dan but ‘tetapi’ (5b) yang
menyatakan relasi aditif dan adversatif, sedangkan bentuk [Ǿ] yang dapat
digantikan misalnya dengan except for ‘kecuali’ menyatakan relasi variasi. Dalam
‘sekarang’ dalam (6a) yang menyatakan relasi temporal, and in that way ‘dan
dengan demikian’ dalam (6b) yang menyatakan manner, dan so ‘maka’ dalam
Keempat, kohesi dapat dicapai melalui apa yang disebut kohesi leksikal,
yaitu pemilihan kosakata, dan lebih spesifik antarkata berisi (content words)
(Halliday dan Hasan 1976: 274). Berkaitan dengan relasi leksikal sebagai peranti
kohesi, Halliday (1985: 310-311) hanya menyebut tiga macam bentuk pencapaian
kohesi leksikal, yaitu repetisi, penggunaan sinonimi, dan kolokasi. Hal ini berbeda
dengan apa yang dikemukakannya dalam Halliday dan Hasan (1976), yaitu bahwa
kohesi semacam ini dapat dicapai melalui reiterasi dan kolokasi. Menurut
Halliday dan Hasan (1976: 279) reiterasi dapat berupa penggunaan kata yang
sama, sinonimi atau hampir sinonimi (near synonim), superordinat, dan kata
Dalam contoh di atas, kohesi dalam (7a) dicapai melalui pengulangan bentuk boy;
superordinatnya, child; dan dalam (7d) dengan kata generik, idiot. Selain dengan
pemanfaatan empat macam relasi leksikal tersebut, kohesi leksikal dapat juga
penggunaan kata yang memiliki hubungan serial (series) (Halliday 1976: 285).
Dalam contoh berikut ini, kohesi dalam (8a) dicapai melalui antonimi antara old
‘lama’ dan new ‘baru’ dan dalam (8b) melalui hubungan serial antara Tuesday
(8) a. The [old] movie just don't do it any more. The [new] ones are more appealing.
b. On [Tuesday] she late, on [Wednesday] she late, and on …
(Renkema 2004: 105, dan Givon 1995: 367)
(1976: 285) menyatakan bahwa, tanpa kita sadari, keberadaan setiap unsur
kadang kita tidak bisa menentukan hubungan semantik makna antarkata secara
kolokasi sebagai peranti kohesi adalah kecenderungan kata untuk muncul bersama
bentuk red cross, blood bank, dan donor dalam contoh (9) di bawah ini, meskipun
menjadi kohesif.
(9) [Red Cross] helicopters were in the air continously. The [blood bank] will soon be
desparately in need of [donors].
(Renkema 2004: 105)
kohesif antarelemen dalam teks, jaringan (texture) dalam teks dibentuk juga
melalui hubungan struktural yang diwujudkan melalui dua hal, yaitu struktur
tematik (thematic structure), tema (theme) dan rema (rheme); dan struktur
informasi (information structure), tersedia (given) dan baru (new). Meskipun dua
hal ini berhubungan, tetapi keduanya berbeda. Sebab, given menunjuk kepada
informasi yang telah disebutkan sebelumnya atau terdapat dalam situasi tertentu
yang telah diketahui petutur, sedangkan tema merupakan sesuatu yang dipilih
penutur sebagai titik berangkat ujaran (Halliday 1985: 277-278). Dengan kata
Dalam (10A) di atas, are you ‘kamu’ merupakan tema bagi pernyataan (10A),
pengetahuan tentang situasi wicara, merupakan informasi yang sudah ada. Begitu
merupakan tema dan I was out merupakan rema. Sebab, pernyataan ini
dari penyataan ini adalah bahwa pernyataan I don’t know I was merupakan given,
Dalam upaya pemahaman teks, selain membahas koherensi, Brown dan Yule
(1983: 190-198) juga membicarakan kohesi. Pertama, Brown dan Yule (1983:
191-192) mengkritik pemakaian konsep referensi oleh Halliday dan Hasan (1976)
yang menurut mereka terlalu terbatas. Mereka selanjutnya mengganti istilah teknis
referensi yang dipakai oleh Halliday dan Hasan (1976) dengan ko-referensi.
Selanjutnya, Brown dan Yule (1983: 200) mempertanyakan Halliday dan Hasan
Brown dan Yule (1983: 200-201), dalam membaca sebuah teks, terutama teks
terhadap penggunaan pronomina dan anafor lainnya dalam teks, lebih bergantung
kepada anteseden yang terdapat pada representasi mental dalam pikiran daripada
yang terdapat di dalam teks. Atas dasar itu, menurut mereka pembedaan antara
Brown dan Yule (1983: 193) mengungkapkan bahwa substitusi (substituted form)
(11) a. [The Prime Minister] recorded her thanks to the Foreign Secretary. [The Prime
Minister] was most eloquent.
b. [Dr. E.C.R. Reeve] chaired the meeting. [Dr. Reeve] invite Mr. Philips to
report on the state of the gardens.
c. [Ro's daughter] is ill again. [The child] is hardly ever well.
d. [Ro] said [she] would have to take Sophie to the Doctor.
e. Jules has a [Birthday] next month. Elspeth has [one] too.
f. Jules has a [Birthday] next month. Elspeth has [Ø] too.
(Brown dan Yule 1983: 193)
Selain itu, serupa dengan Halliday dan Hasan (1976: 238-239), berkaitan
dengan konjungsi sebagai peranti kohesi, Brown dan Yule (1983: 191)
menyatakan bahwa ada empat macam hubungan yang tercipta melalui konjungsi,
(temporal). Namun berbeda dari Halliday dan Hasan (1976), Brown dan Yule
Brown dan Yule (1983: 194) juga menyatakan bahwa kohesi dalam teks
dapat terwujud tidak hanya melalui ko-referensi. Mereka menyebut bahwa kohesi
dalam teks dapat terwujud melalui penggunaan hubungan leksikal dalam teks
hiponimi (misalnya bunga dan mawar), meronimi (misalnya pintu dan kunci),
sinonimi (misalnya laki-laki dan pria), dan kolokabilitas (misalnya sabtu dan
apakah kohesi seperti yang diungkapkan Halliday dan Hasan (1976) diperlukan
bagi identifikasi teks? Lebih jauh, ia juga mempertanyakan apakah kohesi seperti
yang dimaksud Halliday dan Hasan (1976) cukup untuk menjamin identifikasi
teks sebagai teks? Akhirnya, mereka mempertanyakan apakah jika teks telah dapat
penelitiannya, Brown dan Yule (1983: 195-196) membantah Halliday dan Hasan
(1976). Bagi mereka, "jaringan", dalam arti realisasi eksplisit hubungan semantis,
bukan kriteria bagi identifikasi teks. Berikut contoh yang mereka sajikan.
Bagi Brown dan Yule (1983: 196) kohesi merupakan alat bagi penutur atau
penulis untuk mengaitkan antarbagian dalam teks, dan, oleh karena itu, lebih
daripada dengan hubungan formal yang tersedia untuk itu. Sebab, menurut
formal. Artinya, koherensi teks tidak bergantung pada kriteria yang disebut
wacana tidak dapat hanya dilakukan melalui pemahaman terhadap apa yang
terdapat di dalam teks secara verbal. Sebab, bagi Brown dan Yule (1983: 225),
memahami teks selalu merupakan usaha untuk memahami apa yang dimaksudkan
oleh pembicara atau penulis. Hal ini berkaitan setidaknya dengan lima hal.
Brown dan Yule (1985: 226) mengemukakan bahwa koherensi wacana tidak
antarujaran.
Kedua, pemahaman terhadap intensi pembicara. Dalam hal ini, Brown dan Yule
(1983: 231-233) mengutip pendapat Austin tentang speech-act. Dengan teori ini,
kita kadang memahami ujaran tidak berdasarkan apa yang terdapat secara verbal,
Meskipun secara verbal ujaran tersebut adalah pertanyaan, kita dapat memahami
processing. Dengan cara ini, kita memahami teks melalui apa yang secara literal
terdapat dalam teks dan, pada saat yang sama, kita memprediksi, berdasarkan
konteks, apa yang selanjutnya dimaksudkan oleh teks (Brown dan Yule 1983:
234-235). Contoh.
Menurut Brown dan Yule (1983: 235), meskipun teks ini tidak gramatikal, tetapi
teks ini tetap dapat dipahami melalui proses prediksi top-down berdasarkan judul
Keempat, representasi pengetahuan. Dalam hal ini, Brown dan Yule menyebut
(skenario), yaitu wilayah referensi yang diperluas demi pemahaman teks; dan (4)
skemata, yaitu struktur kompleks pengetahuan yang lebih tinggi yang menentukan
ini, inferensi dapat dianggap sebagai garis terputus (missing link), koneksi non-
Berbeda dengan yang dikemukakan oleh Brown dan Yule (1983) dan Renkema
(2004) yang membedakan kohesi dari koherensi, Givon (1995) tidak membedakan
kohesi dari koherensi. Keduanya ia bahas dalam satu konsep, yaitu koherensi,
pasangan, yaitu (1) single vs. multiple strands, koherensi dalam teks bersifat
tetapi setiap peranti dapat dibahas dalam sebuah konsep yang independen; (2)
product vs. process, koherensi bukan properti objektif yang terdapat dalam sebuah
teks, tetapi teks merupakan hasil dari proses mental yang bekerja dalam
koherensi dalam sebuah teks merupakan proses kolaboratif yang melibatkan dua
comprehension, koherensi dalam teks mencakup dua hal yang berbeda, yaitu
produksi wacana dan pemahaman wacana; (5) writtten vs. oral discourse,
koherensi mencakup wacana lisan dan tulisan yang masing-masing memiliki sifat
dan pemahaman wacana melibatkan dua saluran proses, melalui pengetahuan dan
tata bahasa; dan (7) local vs. global coherence, koherensi dapat bersifat global
dan lokal, keduanya selalu digunakan dalam produksi dan pemahaman wacana.
(1), (6), dan (7) di atas secara lebih rinci. Ia menjadikan poin (2) sebagai dasar
yang melampaui bagian-bagian teks. Kontinuitas dan pengulangan ini, baik dalam
Dengan kata lain, Givon membedakan koherensi sebagai entitas mental, yang
dalam teks (mental text-traces), dari koherensi yang terdapat secara eksternal
kataforis dan anaforis. Anafora dibedakannya lebih jauh berdasarkan: (1) situasi
dan you), referen lain (misalnya this one), lokasi (misalnya here dan there), dan
kata terhadap kata yang sebelumnya secara episodik dan pengetahuan hubungan
atas dasar whole-part dan possessor-possessed; dan (3) referensi terhadap teks
(18) a. She went into a restaurant and ask the waiter for the menu.
b. John just got a job working for his father.
c. He circled it earily as wolf, [Ǿ] studying it from all angels …
(Givon 1995: 351, 352, dan 354)
Dalam contoh (18) di atas, dapat kita lihat bahwa pemahaman terhadap teks (18a)
referensi terhadap teks yang sama. Givon (1995: 357) juga mengemukakan
Kintsch, yaitu bahwa dalam teks, koherensi dengan cara yang pertama merupakan
metode kuat (strong method) yang dapat dicapai melalui bimbingan pengetahuan
Ketiga, Givon (1995: 362) membedakan koherensi yang bersifat lokal dari
yang global. Dalam hal ini, Givon (1995: 363) berpendapat bahwa: (1) setiap
wacana memiliki struktur koherensi yang bersifat lokal dan global sekaligus; (2)
koherensi yang bersifat global dan lokal; dan (3) pemahaman koherensi melalui
dicapai melalui mekanisme yang terkait dengan: (1) koherensi yang ditandai oleh
koherensi yang lokal dan global; dan (3) baik yang vocabulary guided maupun
yang grammatical cued, keduanya melibatkan proses yang bersifat global dan
lokal (Givon 1995: 364-377). Atas dasar hubungan tersebut, empat mekanisme
(20) a. They left the living room and move directly to the kitchen.
b. In Los Angeles, they found … In Chicago, they find ….
c. Give me this book. Now that one you can keep.
(Givon 1995: 364 dan 365)
Bentuk living room dan kitchen dalam (20a) menunjukkan koherensi spasial yang
this dan that menunjukkan koherensi spasial yang bersifat lokal (grammar-cued).
(22) He put on his pajamas, got in bed, turn off the light, and went to sleep.
(Givon 1995: 372)
(23) a. The woman came in and [Ø] stopped. Then she move again.
b. They went in together. The woman stopped. But the man kept going.
(Givon 1995: 376)
Givon (1995) tentang koherensi, terutama tentang koherensi dalam teks yang
bersifat referensial dan ditandai oleh perangkat tata bahasa (grammar cued), mirip
Wales (dalam Mey 1998: 134-136) membahas kohesi dalam kaitannya dengan
karya sastra. Bagi Wales (dalam Mey 1998: 135), kohesi merupakan peranti yang
dua macam, yaitu eksplisit dan implisit. Yang eksplisit dapat diwujudkan melalui,
Berkaitan dengan teks sastra, terutama puisi, Wales (dalam Mey 1998:
136) mengemukakan bahwa kohesi tidak hanya dicapai melalui hubungan leksikal
yang diungkapkan Jakobson (1960), yaitu pola pengulangan dan paralelisme yang
membentuk nilai estetis puisi, merupakan peranti kohesif dalam puisi. Berikut ia
Dalam contoh (24) di atas, kohesi dalam puisi tersebut tidak hanya dicapai
melalui beberapa pengulangan pola ritmis dan pola fonologis. Hal ini meliputi: (1)
approximate end rime, yaitu pengulangan bunyi /n/ dan /s/ secara berselang di
akhir baris; (2) refrain, pengulangan tell pada awal baris; (3) aliterasi,
pengulangan /l/ pada love dan lust dalam baris kedua; dan (4) konsonan,
pengulangan /s/ pada flesh dan dust (Perrine dan Arp 1984: 164-166).
Penelitian kohesi dan koherensi dalam bahasa Indonesia dapat dilihat dalam Alwi
et al. (1998). Alwi et al. (1998: 427) mengemukakan bahwa kohesi merupakan
contoh.
Pada contoh (25), hubungan antara (A) dan (B) diperantarai oleh unsur gramatikal
Dia yang merujuk pada Ali. Adapun dalam (26), hubungan antara (A) dan (B)
diperantarai oleh unsur semantik Jahanam itu yang merujuk pada Ali.
relasi makna antarbagian dalam teks, meliputi (1) relasi pertentangan, dapat
tujuan, dapat diwujudkan melalui penggunaan konjungsi agar dan atau supaya
Kedua, pengulangan kata atau frasa, baik secara utuh ataupun sebagian, misalnya
(28) [Nenek] membelikan adik kucing. [Nenek] memang tahu adik suka kucing.
(Alwi et al. 1998: 429)
Ketiga, penggunaan bentuk leksikal lain yang maknanya berbeda dengan makna
(29) [Putri penyair kenamaan itu] makin besar juga. [Gadis itu] sekarang duduk di
sekolah menengah
(Alwi et al. 1998: 429)
Keempat, penggunaan bentuk lain yang tidak mengacu ke acuan yang sama tetapi
(30) Tetangga kami mempunyai [kuda Arab]. Dokter husodo mempunyai [seekor] juga
(Alwi et al. 1998: 429)
(32) Orang [sebodoh Giansar] belum pernah aku jumpai, tetapi [keledai] itu benar-benar
menjengkelkan sekali.
(Alwi et al. 1998: 431)
(33) Anak Pak Hasan hari ini ujian Sipenmaru, dan anak saya juga.
(Alwi et al. 1998: 431)
bagian-keseluruhan. Contoh.
Secara umum, konsep kohesi tersebut masih sesuai dengan teori kohesi
Halliday dan Hasan (1976). Namun, Alwi et al. (1998: 431) tidak membedakan
antara kohesi gramatikal dan kohesi leksikal; dan atau berdasarkan keterkaitan
Seperti Brown dan Yule (1983), Alwi et al. (1998: 433) juga
(1998), kohesi saja tidak mencukupi untuk menjamin keutuhan wacana. Sebab,
pemahaman wacana tidak hanya bergantung kepada kata-kata dan struktur kalimat
yang mendasari sebuah wacana (Alwi et al. 1998: 433-434). Lebih jauh, Alwi et
al. (1998: 434) juga mengungkapkan peran penafsiran lokal dan "pengetahuan
dunia" yang turut menentukan pemahaman. Hal ini terlihat jika kita berusaha
(36) a. Ceramah Kebudayaan. Sabtu pagi, pukul 8.30, 14 Juli, Ruang 04.
Koentjoroningrat (Fisip, UI, Jakarta) "Nilai-Nilai Tradisional Jawa".
b. Saya tidak mengharapkan semua ibu di sini menjadi Kartini. Akan tetapi, kita
semau dapat meniru paling tidak sebagian dari jejak beliau.
(Alwi et al. 1998: 434)
Seperti juga Jaszczolt (2003), Brown dan Yule (1983), dan Wales (1998),
dikemukakan oleh Halliday dan Hasan (1976). Macam kohesi ia bagi sesuai
dengan pembagian yang juga dilakukan oleh Halliday dan Hasan (1976), yaitu
meliputi referensi, konjungsi, substitusi, elipsis, dan kohesi leksikal. Hanya saja,
berkaitan dengan reiterasi sebagai bagian dari kohesi leksikal, Renkema (2004)
berbeda dengan Halliday dan Hasan (1976) dalam dua hal. Pertama, hanya
menyebut antonimi sebagai salah satu pembentuk kohesi yang dalam Halliday dan
Hasan (1976: 285) dibahas di bawah konsep oppositeness yang mencakup seluruh
(1985) dan Halliday dan Hasan (1976), Renkema (2004: 108) juga membahas
terdapat dua macam relasi wacana, yaitu relasi penambahan (additive relation)
dan relasi kausal (causal relation). Relasi penambahan dapat diwujudkan melalui
konjungsi dan beragam tipe kordinasi lainnya yang dapat diwujudkan melalui,
(37) John bought a present for his mother. (But) he forgot to take it with him.
(Renkema 2004: 109)
(40) Would you mind opening the door? Here is the key.
(Renkema 2004: 109)
(41) The intructions should be printed in capital letter. It is hoped that in this way,
difficulties in reading them will be avoided.
(Renkema 2004: 109)
Kelima, kondisi (condition), yaitu sebab atau alasan yang dibutuhkan bagi
(42) You can get a job this summer. But first you have to pass your exam.
(Renkema 2004: 109)
satu contoh relasi semantik yang baik. Relasi pragmatik dapat dilihat dalam
contoh berikut.
juga, sulit untuk memberi batasan yang jelas antara relasi semantik dan relasi
dalam dunia yang orang kaya identik dengan berderma. Namun, ia juga
pragmatik dapat merupakan relasi retoris, yaitu relasi yang digunakan penulis atau
penutur untuk merubah opini, posisi, dan atau tingkah laku petutur atau pembaca.
Hal ini dibedakan menjadi lima macam. Pertama, bukti (evidence), misalnya
(46) No single measure has had an effect. The traffic jams are still as bad as ever.
(Renkema 2004: 110)
(49) No single measure has had an effect. With this proposal our goals will be achieved
(Renkema 2004: 110)
(1990) yang mengklasifikasi relasi retoris menjadi tiga, yaitu epistemik, tindak-
Dalam relasi tindak tutur, tindak tutur dimotivasi oleh situasi yang mengonstitusi
alasannya, misalnya "Malam ini ada kerjaan? Ada film bagus tuh". Relasi
metalinguistik merujuk balik pada wacana itu sendiri, misalnya "Berdasarkan hal
Dalam tradisi Arab, kajian terhadap bahasa Arab awalnya adalah kajian terhadap
teks Al-Quran yang pada dasarnya merupakan bagian dari disiplin ilmu Al-Quran
bagi perkembangan disiplin yang mengkaji bahasa Arab secara khusus, baik nahw
(sintaksis), sarf (morfologi), dan balāgah (retorika). Kajian terhadap kohesi dan
koherensi dalam bahasa Arab pada dasarnya pernah dilakukan, tetapi tidak
menggunakan kedua konsep tersebut ataupun dengan konsep lain yang dianggap
mempertimbangkan pula bahwa sumber data yang saya teliti adalah Al-Quran,
dapat disimpulkan secara umum bahwa pembahasan kohesi dan koherensi dalam
bahasa Arab mencakup setidaknya dua bidang pembahasan, yaitu 'ulūm Al-Qur'ān
dan balāgah (retorika), yaitu bidang yang mengkaji efektivitas ujaran, keindahan
gaya, dan intensionalitas penutur untuk tetap dipahami petutur ('Ayd t.t.: 19).
Karena pada dasarnya Al-Jurjānī (t.t.) tidak mengemukakan pendapat yang secara
khusus berkaitan dengan konsep kohesi dan koherensi, pembahasan dalam sub ini
linguistik umum. Dalam Al-Jurjāni (t.t.), pembahasan yang terkait dengan kohesi
peranti kohesi dan keberadaannya sebagai dasar bagi koherensi antarbagian dalam
teks berkaitan dengan konsep wasl dan fasl. Secara mendasar, tujuan wasl adalah
memperantarai dua bentuk ungkapan yang berbeda tetapi memiliki keadaan dasar
hubungan antarungkapan yang tidak memiliki keadaan yang sama secara penuh
(Al-Jurjāni t.t.: 243). Al-Jurjāni (t.t.: 223) mengemukakan bahwa wasl sebagai
(52) ﺢ
ٌ ﺧ ْﻠ ُﻘ ُﻪ َﻗ ِﺒ ْﻴ
َ ﻦ َو
ٌﺴَﺣ
َ ﺧُﻠ ُﻘ ُﻪ
ُ ﻞ
ٍﺟ
ُ ت ِﺑ َﺮ
ُ َﻣ َﺮ ْر
/marartu bi rajulin khuluquhu hasanun [wa] khalquhu qabīhun/
‘Aku bertemu seorang pria yang rupanya baik tetapi perangainya buruk’
(Al-Jurjāni t.t.: 223)
Dalam ungkapan di atas, konjungtor و/wa/ ‘tetapi’ menghubungkan bentuk ﺧُﻠ ُﻘ ُﻪ
ُ
ﻦ
ٌﺴ َ /khuluquhu hasanun/ ‘rupanya baik’ dengan ﺢ
َﺣ ٌ ﺧ ْﻠ ُﻘ ُﻪ َﻗ ِﺒ ْﻴ
َ /khalquhu qabīhun/
‘perangainya buruk’ yang keduanya mengacu kepada sifat yang dimiliki رﺟﻞ
/rajul/ ‘seorang laki-laki’. Kedua, menyatakan hubungan antarbentuk dalam
berbeda, misalnya.
(53) ﻋ ٌﺪ
ِ ﻋ ْﻤﺮٌوﻗَﺎ
َ زَ ْﻳ ٌﺪ َﻗﺎﺋِ ٌﻢ َو
/zaydun qā’imun [wa] ‘amrun qā’idun/
‘Zaid berdiri [dan] ‘Amr duduk’
(Al-Jurjāni t.t.: 223)
Menurut Al-Jurjāni (t.t.: 223) hubungan antara زَ ْﻳ ٌﺪ ﻗَﺎﺋِ ٌﻢ/zaydun qāimun/ ‘Zayd
berdiri’ dan ﻋَ ْﻤﺮٌوﻗَﺎﻋِ ٌﺪ/’amrun qā’idun/ ‘Amr berdiri’ dalam (53) berbeda dari
hubungan antara dua bentuk yang terdapat dalam (52). Sebab, kedua bentuk yang
dihubungkan oleh و/wa/ dalam (52) secara mendasar terkait dengan acuan yang
sama, sedangkan dalam (53) tidak.
antarbagian dalam sebuah ungkapan. Oleh karena itu, hubungan antarbentuk yang
terhormat. Lebih dari itu, hubungan antara dua bentuk dalam sebuah ungkapan
dapat juga dipahami melalui inferensi, yaitu bahwa makna salah satu ungkapan
sudah tersirat dalam ungkapan lainnya. Hal itu terlihat dalam hubungan antara dua
(54) ﺢ
ٌ ﻞ َﻗ ِﺒ ْﻴ
ُ ﺠ ْﻬ
َ ﻦ وَا ْﻟ
ٌﺴَﺣ
َ َا ْﻟ ِﻌ ْﻠ ُﻢ
/al-‘ilmu hasanun [wa] al-jahlu qabīhun/
‘kepintaran itu baik [dan] kebodohan itu buruk’
(Al-Jurjāni t.t.: 226)
hubungan antarbagian dalam teks juga terkait dengan fasl (pemisahan). Al-Jurjāni
dan terhadap konstruksi yang merupakan jawaban atas pertanyaan yang muncul
teks dengan hubungan antarbagian teks yang dibangun melalui qasr dan ikhtisās.
Dalam hal ini, Al-Jurjāni (t.t.: 328-358) hanya membahas dua macam peranti
qasr, yaitu penggunaan إﻧﻤﺎ/innamā/ ‘hanya’, dan .... إﻟّﺎ,.... ﻣﺎ/mā ...., illā
..../ ‘tiada ...., kecuali ....’. Al-Jurjāni (t.t.: 330-332) mengemukakan bahwa
meskipun pada dasarnya memiliki fungsi yang sama, kedua macam peranti
digunakan untuk mengemukakan sesuatu yang isinya telah diketahui dan disetujui
oleh petutur, sedangkan bentuk mā ...., illā .... ‘tiada ...., kecuali ....’ digunakan
(55) a. ك
َ ﺧ ْﻮ
ُ ِإ ﱠﻧﻤَﺎ ُه َﻮ َأ
/[innamā] huwa akhūka/
‘(Hanya) Dia adalah saudaramu’
b. ﷲ
ُ ﻦ ِإَﻟ ٍﻪ إِﻟﱠﺎ ا
ْ َوﻣَﺎ ِﻣ
/wa [mā] min ilāh [illā] allāh/
‘Tiada tuhan selain Allah’
(Al-Jurjāni t.t.: 330)
berkaitan dengan konsep haźf. Al-Jurjāni (t.t.: 146-147 dan 153) mengemukakan
bahwa haźf dapat diklasifikasi menjadi tiga, yaitu haźf al-mubtada’ (elipsis
subjek), haźf al-fi’l (elipsis verbal), dan haźf al-maf’ūl (elipsis objek). Contoh.
(56) ﺴ ِﺮ ْﻳ ِﻊ
َ ﺲ ِإﻟَﻰ دَاﻋِﻰ اﻟ ﱠﻨﺪَى ِﺑ َ َوَﻟ ْﻴ ﺟ َﻬ ُﻪ ْ ﻄ ُﻢ َو ِ ﻦ ا ْﻟ َﻌ ﱢﻢ َﻳ ْﻠ
ِ ﺳ ِﺮ ْﻳ ٌﻊ ِاﻟَﻰ ا ْﺑ
َ
ﻀﻴْﻊ
ِ ﺲ ﻟِﻤَﺎ ﻓِﻰ َﺑ ْﻴ ِﺘ ِﻪ ِﺑ ُﻤ
َ َوَﻟ ْﻴ ﻋﻠَﻰ اﻟ ﱡﺪﻧْﻴَﺎ ُﻣﻀِ ْﻴ ٌﻊ ِﻟ ِﺪ ْﻳ ِﻨ ِﻪ َ ﺺ
ٌ ﺣ ِﺮ ْﻳ َ
/sarī’un ilā ibn al-‘ammi yaltimu wajhahu
wa laysa ilā dā’i an-nadā bi sarī’i/
/[Ǿ] harīs ‘alā ad-dunyā mudī’u lidīnihi
wa laysa limā fī baytihi bimudī’i/
‘Bergegaslah ke anak pamanku yang menampar wajahnya sendiri
Sebab ia tidak bergegas ke panggilan kebaikan
‘[Ǿ] mencintai dunia dan menyia-nyiakan agamanya
Apa yang ada di rumahnya tidak pernah berkurang’
(Al-Jurjāni t.t.: 150)
Bentuk asli awal bait kedua syair di atas bisa jadi adalah ﺪﻧْﻴ َﺎ
اﻟ ﱡ ﻋﻠَﻰ
َ ﺺ
ٌ ﺣ ِﺮ ْﻳ
َ ُه َﻮ
/huwa harīsun ‘ala ad-dunyā/ ‘dia (anak pamanku) mencintai dunia’. Dapat kita
lihat bahwa huwa ‘dia’ yang berkedudukan sebagai subjek (mubtada) dalam syair
Selain itu, secara khusus Al-Jurjāni (t.t.: 155-156 dan 163) menyebutkan
bahwa haźf al-maf’ūl memiliki tiga fungsi, yaitu (1) menegaskan makna yang
terkandung dalam verba (iśbāt ma’nā al-fi’l); (2) menunjukkan keadaan tertentu
yang telah dimaksudkan (dalālah al-hāl); dan (3) karena syarat penafsiran yang
(57) a. ﻀ ﱡﺮ َو َﻳ ْﻨ َﻔ ُﻊ
ُ َو َﻳ, َو َﻳ ْﺄ ُﻣ ُﺮ َو َﻳ ْﻨﻬَﻰ,ﺤﻞﱡ َو َﻳ ْﻌ ِﻘ ُﺪ
ُ ن َﻳ
ٌ َُﻓﻼ
/fulān yahullu wa ya’qidu wa ya’muru wa yanha wa yadurru wa yanfa’u/
‘seorang membiarkan dan mengikat, memerintahkan dan melarang, dan
membahayakan dan memberi manfaat’
b. ﺖ ِإَﻟ ْﻴ ِﻪ
ُ ﺻ َﻐ ْﻴ
ْ َأ
/asgaytu ilayhi/
‘aku mendengarkan dia’
c. ﷲ
ِ ﻋ ْﺒﺪُا
َ ﻰ
ِ ﺖ َوَأ ْآ َﺮﻣَﻨ
ُ َأ ْآ َﺮ َﻣ
/akramtu [Ø] wa akramanī ‘abdullāh/
objek dihilangkan untuk memperlihatkan makna verba lebih jelas. Dalam contoh
ditunjuk verba, dan pada (57c), bentuk ﻋﺒﺪ اﷲ /‘abdullah/ ‘Abdullah’
Dalam hal ini, Al-Jurjāni mengklasifikasi taqdīm menjadi dua macam: (1) taqdīm
yang dilakukan dengan sekaligus menghendaki ta’khīr; dan (2) taqdīm yang
ditandai oleh fungsi sintaksis konstituen yang tidak berubah, sedangkan yang
kedua ditandai oleh perubahan fungsi sintaksis konstituen (Al-Jurjānī t.t.: 106-
107). Contoh.
(58) a. ﻲ
ﺟﱠ
ِ ﻞ زَ ْﻳ ٌﺪ ا ْﻟﺨَﺎ ِر
َ َﻗ َﺘ
/qatala zaydun al-khārijiyya/
‘Zaid membunuh seorang asing’
b. ﻲ زَ ْﻳ ٌﺪ
ﺟﱠِ ﻞ ا ْﻟﺨَﺎ ِر
َ َﻗ َﺘ
/qatala al-kharijiyya zaydun/
‘Seorang asing Zayd membunuh’
(59) a. ﺖ َز ْﻳﺪًا
ُ ﺿ َﺮ ْﺑ
َ
/darabtu zaydan/
‘saya telah memukul Zayd’
b. ﺿ َﺮ ْﺑ ُﺘ ُﻪ
َ زَ ْﻳ ٌﺪ
/zaydun darabtuhu/
‘Zaid telah saya pukul’
(Al-Jurjāni t.t.: 106 dan 108)
Melalui dua contoh di atas, terlihat bahwa dalam (58) terlihat bahwa fungsi
kasus, tidak berubah meskipun posisi keduanya bertukar dalam (94b). Sebaliknya,
dalam (59), fungsi sintaksis زﻳﺪ/zayd/ ‘Zaid’ berubah, ditandai dengan perubahan
kasus dari زﻳ ًﺪ/zaydan/ ‘Zaid’ sebagai objek dalam (59a) menjadi زﻳ ٌﺪ/zaydun/
‘Zaid’ sebagai subjek dalam (59b).
dikemukakan Halliday dan Hasan (1976) dan cara peranti kohesi menjelaskan
koherensi. Secara umum, konsep kohesi dan koherensi sangat terkait dengan
ayat dan suratnya, dan antara pembuka surat (fawātih as-suwar) dan penutup surat
"mengkaji bagian-bagian teks antara yang satu dan yang lainnya sehingga
jalinannya menjadi kukuh dan serasi.” Salah satu manfaat dari kajian munāsabah
adalah memahami kaitan antara satu ayat dan ayat lainnya, apakah ia merupakan
penjelas (tafsīr), penegas (ta’kīd), atau menghapus (badl) ayat sebelumnya. Hal
Seperti dapat dilihat dalam surat Al-Baqarah, berdasarkan munāsabah, ayat ini
anteseden yang dirujuk oleh damīr disebutkan secara jelas pada bentuk yang
Seperti konsep anafora yang dikemukakan Halliday dan Hasan (1976), dalam (53)
Dapat dilihat contoh (62) di atas, kata ganti هﻮ/huwa/ 'dia', yang dalam hal ini
mengacu pada konsep ﻋﺪل /'adl/ 'adil' yang tidak dinyatakan secara eksplisit
dalam teks tersebut, melainkan mengacu kepada yang tersirat dari kata /i'dilū/
tersirat melalui isyarat yang cukup jelas (As-Suyūtī t.t.a: 188). Contoh.
Dalam contoh ini, bentuk ـﻪ/–hi/ '-nya' mengacu pada ﻋﺎف/'āfi/ 'pemberi maaf'
yang tidak ternyatakan secara eksplisit dalam teks, melainkan melalui inferensi
(As-Suyūtī t.t.a: 188). Hal ini dapat terlihat, misalnya, dalam hubungan antara ـﻪ
/-hi/ ‘-nya’ yang terdapat dalam ﻧﻔﺴﻪ /nafsihi/ ‘hatinya’ dan ﻣﻮﺳﻰ /mūsā/
(65) ن
ٍ ﻓَﺎUهَﺎUْﻋَﻠﻲ
َ ﻦ
ْ ُآﻞﱡ َﻣ
/kull man 'alay[-hā] fān/
‘Semua yang ada di [bumi] itu akan binasa’.
Dalam contoh (66) di atas, pronomina هﻦ /hunna/ ‘mereka (feminin)’ yang
secara eksplisit, tetapi menunjuk kepada referen yang berbeda (As-Suyūtī t.t.a:
188). Contoh.
'--- Dan sekali-kali tidak dipanjangkan umur [seorang yang berumur panjang] dan
tidak pula dikurangi umur[-nya], ---’
Pronomina ـﻪ /–hi/ '-nya' pada ﻋﻤﺮﻩ /'umrihi/ 'umurnya' tidak mengacu pada
ﻣﻌ ﱠﻤﺮ /mu'ammar/ 'seorang yang berumur panjang' yang terdapat dalam teks,
tetapi mengacu pada orang yang lain yang bukan mu'ammar. Kedelapan,
anteseden mengacu pada makna jenis dari kata yang ditunjuk sebuah pronomina.
Contoh.
Dalam contoh tersebut, bentuk pronomina ـﻬﻤﺎ/–hima/ '-nya (dual)' dalam ﺑﻬﻤﺎ
/bihima/ 'keduanya', tidak mengacu kepada "keadaan seseorang" yang menjadi
kaya atau fakir, melainkan mengacu kepada keadaan secara umum tentang
pronomina dual (taśniyah) mengacu tidak kepada dua referen yang diacunya,
(69) a. ن
ِ َﻳ ْﻠ َﺘ ِﻘﻴَﺎUِﺤ َﺮ ْﻳﻦ
ْ ا ْﻟ َﺒU ج
َ َﻣ َﺮ
/maraja [al-bahrayni] yaltaqiyāni/
‘Dia membiarkan [dua lautan] mengalir yang keduanya kemudian bertemu’
(QS. Ar-Rahmān: 19)
mengacu bukan pada dua lautan yang mengalir yang disebut dalam surat tersebut,
melainkan salah satu dari keduanya. Kesepuluh, anteseden yang dirujuk sebuah
pronomina mengacu pada kata yang sama, tetapi memiliki referen yang berbeda.
Contoh.
Yang dimaksud oleh bentuk اﻻﻧﺴﺎن /al-insān/ 'manusia' adalah nabi Adam,
tetapi bentuk ـﻪ /–hu/ '-nya' pada ﺟﻌﻠﻨﺎﻩ ja'alnā-hu 'Kami menjadikannya'
mengacu bukan kepada nabi Adam, melainkan kepada manusia secara umum
yang ditunjuk oleh kata al-insān. Kesebelas, anteseden yang dirujuk oleh
pronomina memiliki referen yang cakupan maknanya lebih luas dari kata yang
(71) UهَﺎUﺿﺤَﺎ
ُ َأ ْوUًﺸ ﱠﻴﺔ
ِﻋ
َ U َآَﺄ ﱠﻧ ُﻬ ْﻢ َﻳ ْﻮ َم َﻳ َﺮ ْو َﻧﻬَﺎ َﻟ ْﻢ َﻳ ْﻠ َﺒﺜُﻮا إِﻟﱠﺎ
(46 :)اﻟﻨﺎزﻋﺎت
/ka anna hum yawma yaraw-na-hā lam yalbiśū illā ['asyiyyatan] aw duhā [-ha]/
‘Pada hari mereka melihat hari berbangkit itu, mereka merasa seakan-akan tidak
tinggal (di dunia) melainkan (sebentar saja) di waktu [sore] atau pagi hari[-nya]
(QS. An-Nāzi’āt: 46).
referen kata 'asyiyyah, melainkan 'hari' yang menjadi referen kata ﻳﻮم/yawm/.
Quran dengan anteseden yang sama secara berurutan, yaitu antara yang muttasil
(klitik) dan yang munfasil (enklitik), atau antara demonstrativa dan damīr, As-
Suyuti (t.t.a: 189) menyebut tiga macam fungsi, yaitu untuk memperjelas
pembahasan harf yang digunakan dalam Al-Quran. Dalam tinjauan di sini hanya
akan dikutip fungsi beberapa harf yang sesuai dengan apa yang terdapat dalam
pembahasan konjungsi sebagai peranti kohesi dan digunakan dalam surat Al-
Baqarah, yaitu untuk menunjukkan relasi aditif, adversatif, kausal, dan temporal.
Hal ini akan mencakup pembahasan konjungsi و/wa/, ف/fa/, إّﻟﺎ/illā/, ﺑﻞ/bal/,
ﻟﻜﻦ /lākin/, ﻦ
ّ ﻟﻜ /lakinna/, أم /am/, أو /aw/, ﻟﻌﻞ /la'alla/, ﺛ ّﻢ /śumma/, ﺣﺘّﻰ
/hattā/, dan ﻟـ/li/ (As-Suyūti t.t.a: 146-180).
'ulūm Al-Qur'ān digunakan konsep yang sama dengan yang terdapat dalam
balāgah. Oleh karena itu, hal ini hanya akan saya jelaskan secara umum. Pertama,
berkaitan dengan elipsis, dalam 'ulūm Al-Qur'ān kajian ini berkaitan dengan
konsep ījāz dalam balāgah (As-Suyūti t.t.b: 53-64). Kedua, kajian kohesi leksikal
dalam 'ulūm Al-Qur'ān terkait dengan disiplin yang juga digunakan dalam
balāgah, yaitu (i) ilm al-ma’āni, terkait dengan bidang itnāb, meliputi źikr al-khās
ba'd al-'ām, źikr al-'ām ba'd al-khās, at-tawsyī', at-takrīr, dan at-taźyīl (As-Suyūti
t.t.b: 64-75); kedua, ‘ilm al-bayān; dan ketiga, ilm al-badī’, meliputi i'tilāf al-lafz
ma' al-lafz wa i'tilafuhu ma' al-ma'nā, al-mutābaqah atau at-tibaq, muqābalah, al-
jam' wa at-taqsīm, al-'aks, jinās, dan saj’ (As-Suyuthi t.t.b: 83-96). Hal ini akan
dijelaskan lebih rinci dalam pembahasan kohesi dalam balāgah dalam subbab
tentang ayat yang diturunkan di Mekkah (makkī) dan yang diturunkan di Madinah
pemahaman tentang kandungan kedua jenis ayat tersebut yang berbeda satu
dengan yang lain (As-Suyūti t.t.a: 8). As-Suyūti (t.t.a: 9) mengemukakan bahwa
terdapat tiga pendapat tentang kriteria makkī dan madanī, yaitu (1) berdasarkan
hijrah Nabi saw., yaitu sebelum atau sesudahnya; (2) berdasarkan tempat
turunnya, yaitu di Mekkah atau di Madinah; dan (3) berdasarkan arah tutur,
periwayatan (simā'ī).
berdasarkan periwayatan yang sampai kepada kita, sehingga harus dikaji melalui
analogi (qiyās) (As-Suyūtī t.t.a: 17-18). Secara tekstual, ciri yang membedakan
makkī dan madanī meliputi: (1) kebanyakan ayat yang di dalamnya terdapat
ungkapan ﻳﺎأﻳﻬﺎ اﻟﻨﺎس/yā ayyuhā an-nāsu/ 'wahai manusia' dan ﻳﺎ ﺑﻨﻰ أدم/yā
banī ādam/ 'wahai anak Adam' adalah makkī, sedangkan ayat yang di dalamnya
terdapat ungkapan ﻳﺎأﻳﻬﺎ اﻟﺬﻳﻦ أﻣﻨﻮا/yā ayyuhā allaźīna āmanū/ 'wahai orang
yang beriman' adalah madanī; (2) kebanyakan ayat yang di dalamnya terdapat
bentuk آﻼ/kallā/ 'pasti' adalah makkī; (3) kebanyakan ayat yang di dalamnya
terdapat kisah umat dan rasul sebelum Islam adalah makkī, sedangkan kebanyakan
makna Al-Quran juga harus didasari pengetahuan tentang sebab turunnya ayat
(asbāb an-nuzūl). Pengetahuan tentang asbāb an-nuzūl ini memberikan dasar bagi
pemahaman ayat secara kontekstual, yaitu bahwa dengan pengetahuan ini kita
Ketiga, pengetahuan tentang ayat yang jelas (muhkam) dan yang samar
adalah ayat yang maknanya jelas dan dapat diketahui secara pasti, seperti ayat
tentang perintah dan larangan, janji dan ancaman, dan halal dan haram. Adapun
ayat mutasyābih adalah ayat yang maknanya tidak dapat dipastikan, misalnya ayat
tentang datangnya hari kiamat, ayat yang terdiri atas huruf-huruf pada awal surat,
(taqdīm dan ta'khīr) (As-Suyūti t.t.a: 13). Tujuan dari mengedepankan (taqdīm)
dan mengakhirkan (ta'khīr) ini, menurut As-Suyūti (t.t.b: 14-15), ada sepuluh hal,
rendah ke tinggi (at-taraqī), dan penyebutan urutan dari tinggi ke rendah (at-
tadallī). Contoh.
(73) a. ن
ْ ﻖ َأ ﺣﱡ َ َأUُ َرﺳُﻮُﻟﻪUَ وUُاﻟﱠﻠﻪUَن ﺑِﺎﻟﱠﻠ ِﻪ َﻟ ُﻜ ْﻢ ِﻟ ُﻴ ْﺮﺿُﻮ ُآ ْﻢ و
َ ﺤِﻠﻔُﻮ
ْ َﻳ
ﻦ
َ ن آَﺎﻧُﻮا ُﻣ ْﺆ ِﻣﻨِﻴ
ْ ُﻳ ْﺮﺿُﻮ ُﻩ ِإ (62 :)اﻟﺘﻮﺑﺔ
/yahlifūna bi allāhi lakum liyardūkum wa [allāhu] wa [rasūluhu] ahaqqu an
yardūhu in kānū mu'minīna/
'Mereka bersumpah kepada kamu dengan (nama) Allah untuk mencari
keridhaanmu, padahal [Allah] dan [Rasul-Nya] itulah yang lebih patut mereka
cari keridhaannya jika mereka adalah orang-orang yang mu'min' (QS. At-
Taubah: 62).
b. ﻦ
َ وَاﱠﻟﺬِﻳUِا ْﻟﺄَ ْﻧﺼَﺎرUَ وUَﺟﺮِﻳﻦ
ِ ا ْﻟ ُﻤﻬَﺎU ﻦ
َ ن ِﻣ
َ وَاﻟﺴﱠﺎﺑِﻘُﻮنَ ا ْﻟَﺄ ﱠوﻟُﻮ
ا ﱠﺗ َﺒﻌُﻮ ُه ْﻢ
--- ٍﺣﺴَﺎن ْ ِﺑِﺈ
:)اﻟﺘﻮﺑﺔ
(100
/wa as-sābiqūna al-awwalūna min [al-muhājirīna] wa [al-ansāri] wa [allaźīna
ittaba'ūhum bi ihsānin]/
'Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara
orang-orang [muhajirin] dan [anshar] dan orang-orang yang mengikuti mereka
dengan baik (…..)' (QS. At-Taubah: 100).
c. (37 : )اﻟﻤﺪﺛﺮUَﺧﺮ
َﻳ َﺘَﺄ ﱠU َأ ْوUَ َﻳ َﺘ َﻘ ﱠﺪمU ن
ْ ﻦ ﺷَﺎ َء ِﻣ ْﻨ ُﻜ ْﻢ َأ
ْ ِﻟ َﻤ
/liman syā'a minkum an [yataqaddama] aw [yata'akhkhara]/
'(yaitu) bagi siapa di antaramu yang berkehendak akan [maju] atau [mundur]'
(QS. Al-Mudaśśir: 37)'
d. ﻦ
ْ ن ِﻣُ ض ﻣَﺎ َﻳﻜُﻮ
ِ ت َوﻣَﺎ ﻓِﻲ ا ْﻟَﺄ ْر
ِ ﺴ َﻤﻮَا
ن اﻟﱠﻠ َﻪ َﻳ ْﻌَﻠ ُﻢ ﻣَﺎ ﻓِﻲ اﻟ ﱠ
َأَﻟ ْﻢ َﺗ َﺮ َأ ﱠ
ﺠﻮَى ْ َ إِﻟﱠﺎ ُه َﻮ ﻧUٍﺴﺔ َ ﺧ ْﻤ
َ U وَﻟَﺎUْرَا ِﺑ ُﻌ ُﻬﻢU َﺛﻠَﺎ َﺛ ٍﺔ إِﻟﱠﺎ ُه َﻮ
(7 : )اﻟﻤﺠﺎدﻟﺔ--- Uْﺳ ُﻬﻢ ُ ﺳَﺎ ِدU
/a lam tara anna allāha ya'lamu mā fī as-samawāti wa mā fī al-ardi mā yakūnu
min najwā [śalāśatin] illā huwa [rābi'u]-hum wa lā [khamsatin] illā huwa
[sādisu]-hum/
'Tidakkah kamu perhatikan, bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa yang
ada di langit dan apa yang ada di bumi? Tiada pembicaraan rahasia antara
[tiga] orang, melainkan Dia-lah yang [keempat]-nya. Dan tiada (pembicaraan
antara) [lima] orang, melainkan Dia-lah yang [keenam]-nya ---' (QS. Al-
Mujadilah: 7).
Seperti dapat dilihat di atas, menurut As-Suyūtī (t.t.), (1) pemilihan urutan اﷲ
/allāh/ 'Allah' sebelum رﺳﻮﻟﻪ /rasūluhu/ 'rasul-Nya' pada (73a) adalah untuk
pada (73d) adalah untuk menunjukkan urutan kata yang tepat (sabq); dan (5)
penyebutan ﻟﻨﻔﺴﻪ ﻣﻨﻬﻢ ﻇﺎﻟﻢ/minhum zālim linafsihi/ 'di antara mereka ada yang
zalim terhadap dirinya sendiri' sebelum ﻣﻨﻬﻢ ﻣﻘﺘﺼﺪ /minhum muqtasid/ 'di
antara mereka ada yang berada di pertengahan' dan ﻣﻨﻬﻢ ﺳﺎﺑﻖ ﺑﺎﻟﺨﻴﺮات
/minhum sābiq bi al-khayrāt/ 'di antara mereka ada yang berlomba berbuat baik'
pada (73e) adalah untuk menunjukkan bagian yang paling banyak (kaśrah).
(khāss) dalam Al-Quran. As-Suyūti (t.t.b: 16) mengemukakan bahwa ‘āmm dan
khāss dalam Al-Quran mencakupi tiga hal, yaitu pertama, bentuk umum yang
indefinit (al-‘ām al-bāqi ‘alā ‘umūmihi); kedua, bentuk umum yang dimaksudkan
sebagai khusus (al-‘ām al-murād bihi al-khusūs); dan ketiga, bentuk ‘ām yang
(munfasil).
Kriteria yang pertama ditentukan oleh bentuk yang mencakupi makna 'ām
maupun sebagai penjelas; (2) semua bentuk penghubung (ism mawsūl); (3) kata
أي/ayy/ 'mana', ﻣﺎ/mā/ 'apa', ﻣﻦ/man/ 'siapa'; (4) seluruh bentuk yang menjadi
inti frasa; (5) seluruh bentuk yang diberi pemarkah takrif اﻟـ/al-/; dan (6) seluruh
bentuk indefinit (nakirah) yang berada dalam konstruksi negatif (nafy) dan
b. ﺠ ﱠﻨ ِﺔ ُه ْﻢ ﻓِﻴﻬَﺎ
َ ب ا ْﻟ
ُ ﺻﺤَﺎ
ْ ﻚ َأ
َ ﻋ ِﻤﻠُﻮا اﻟﺼﱠﺎﻟِﺤَﺎتِ أُوَﻟ ِﺌ
َ ﻦ ءَاﻣَﻨُﻮا َو
َ وَاﱠﻟﺬِﻳ
ن
َ ﺧَﺎِﻟﺪُو (82 :)اﻟﺒﻘﺮة
/wa [allaźīna] āmanū wa 'amilū as-sālihāti ulā'ika ashābu al-jannati hum fīhā
khālidūna/
'Dan orang-orang [yang] beriman serta beramal saleh, mereka itu penghuni
surga; mereka kekal di dalamnya.' (QS Al-Baqarah: 82)
e. (2 :ﺴ ٍﺮ )اﻟﻌﺼﺮ
ْﺧ
ُ ن َﻟ ِﻔﻲ
َ ن ا ْﻟِﺈ ْﻧﺴَﺎ
ِإ ﱠ
/inna [al-insāna] lafī khusrin/
'Sesungguhnya [manusia] itu benar-benar berada dalam kerugian (QS. Al-Asr:
2)
Kriteria kedua yang dimaksud As-Suyūtī (t.t.b: 16) adalah bentuk 'āmm
yang dimaksudkan sebagai khās. Hal ini terdapat, misalnya, pada kata اﻟﻨﺎس/an-
nās/ 'manusia' pada contoh (75) di bawah ini yang, berdasarkan riwayat Ibn Jarīr
yang berasal dari Ibn Dahāk (dalam t.t.b: 16), mengacu kepada Nabi Ibrahim as.
(takhsis), baik yang tersambung (muttasil) maupun yang terpisah (munfasil). Yang
b. --- ﻦ
ﺧ ْﻠ ُﺘ ْﻢ ِﺑ ِﻬ ﱠ
َ َدUاﻟﻠﱠﺎﺗِﻲU ﻦ ِﻧﺴَﺎ ِﺋ ُﻜ ُﻢ
ْ ﺣﺠُﻮ ِر ُآ ْﻢ ِﻣ
ُ َو َرﺑَﺎ ِﺋ ُﺒ ُﻜ ُﻢ اﻟﻠﱠﺎﺗِﻲ ﻓِﻲ---
/wa rabāibukum allātī fī hujūrikum min nisā'ikum [allātī] dakhaltum bihinna/
'--- anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu
campuri ---'
c. ---ﺻ ﱠﻴ ُﺔ
ِ ك ﺧَ ْﻴﺮًا ا ْﻟ َﻮ
َ ن َﺗ َﺮ
ْ ت ِإ
ُ ﺣ َﺪ ُآ ُﻢ ا ْﻟ َﻤ ْﻮ
َ ﻀ َﺮ َأ
َ ﺣ
َ ﻋَﻠ ْﻴ ُﻜ ْﻢ ِإذَا
َ ﺐَ ُآ ِﺘ
:)اﻟﺒﻘﺮة (180
/kutiba 'alaykum iźā hadara ahadakum al-mawtu [in] taraka khayran al-
wasiyyatu ---/
'Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-
tanda) maut, [jika] ia meninggalkan harta yang banyak, untuk berwasiat ---'
(QS. Al-Baqarah: 180)
d. ن ﻣَﺎ َ ﺤ ﱢﺮﻣُﻮ
َ ﺧ ِﺮ وَﻟَﺎ ُﻳ
ِ ﻦ ﻟَﺎ ُﻳ ْﺆﻣِﻨُﻮنَ ﺑِﺎﻟﱠﻠ ِﻪ وَﻟَﺎ ﺑِﺎ ْﻟ َﻴ ْﻮ ِم اﻟْﺂ
َ ﻗَﺎ ِﺗﻠُﻮا اﱠﻟﺬِﻳ
ب
َ ﻦ أُوﺗُﻮا ا ْﻟ ِﻜﺘَﺎ َ ﻦ اﱠﻟﺬِﻳ
َ ﻖ ِﻣﺤﱢ َ ﻦ ا ْﻟ َ ن دِﻳَ ﺣ ﱠﺮ َم اﻟﱠﻠ ُﻪ َو َرﺳُﻮُﻟ ُﻪ وَﻟَﺎ َﻳﺪِﻳﻨُﻮَ
ُﻳ ْﻌﻄُﻮا اﻟْﺠِـ ْﺰ َﻳ َﺔUﺣﺘﱠﻰ َU ن
َ ﻏﺮُوِ ﻦ َﻳ ٍﺪ َو ُه ْﻢ ﺻَﺎْﻋ َ
/qātilū allaźīna lā yu'minūna bi allāhi wa lā bi al-yawmi al-ākhiri wa lā
yuharrimūna mā harrama allāhu wa rasūluhu wa lā yadīnūna dīna al-haqqi
min allaźīna ūtū al-kitāba [hattā] ya'tū al-jizyata 'an yadin wa hum sāgirūn/
'Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula)
kepada hari kemudian dan mereka tidak mengharamkan apa yang telah
diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang
benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan Al Kitab kepada
mereka, [sampai] mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam
keadaan tunduk.' (QS. At-Taubah: 29)
e. --- Uﺳﺒِﻴﻠًﺎ
َ ع ِإَﻟ ْﻴ ِﻪ
َ ﺳ َﺘﻄَﺎ
ْ ﻦا
ِ َﻣU ﺖ
ِ ﺞ ا ْﻟ َﺒ ْﻴ
ﺣﱡِ UِاﻟﻨﱠﺎسU ﻋﻠَﻰ
َ َوِﻟﱠﻠ ِﻪ---
/wa li allāhi 'alā [an-nāsi] hijju al-bayti [man istatā'a ilayhi sabīlan]/
'--- mengerjakan haji adalah kewajiban [manusia] terhadap Allah, yaitu [(bagi)
orang yang sanggup mengadakan perjalanan] ke Baitullah ---’
Al-Quran dengan hadis, dan pengkhususan ayat Al-Quran dengan ijmā' dan qiyās
(As-Suyūtī t.t.b: 17). Selain itu, terdapat juga konsep yang mirip dengan 'ām dan
khās, yaitu makna yang bebas (mutlaq) dan yang terikat (muqayyad) (As-Suyūti
t.t.b: 31). Karena kemiripan konsep, pembahasan mutlaq dan muqayyad biasanya
melibatkan juga ayat-ayat yang dibahas dalam 'ām dan khās, sehingga tidak perlu
(mujmal) dan kata yang mendapat penjelasan (mubayyan). As-Suyūti (t.t.b: 18-19)
mengemukakan bahwa mujmal disebabkan oleh salah satu dari beberapa hal, yaitu
yang tidak lazim (gharābah al-lafz) dan jarang dipakai ('adm kaśrah al-isti'māl),
c. --- ﻦ
ﺟ ُﻬ ﱠ
َ ﻦ َأ ْزوَا
َﺤْ ن َﻳ ْﻨ ِﻜ
ْ ﻀﻠُﻮ ُهﻦﱠ َأ
ُ ﻦ ﻓَﻠَﺎ َﺗ ْﻌ
ﺟَﻠ ُﻬ ﱠ
َ ﻦ َأ
َ ﻃﻠﱠ ْﻘ ُﺘ ُﻢ اﻟ ﱢﻨﺴَﺎ َء َﻓ َﺒَﻠ ْﻐ
َ َوِإذَا
/wa iźā tallaqtum an-nisā'a fa balagna ajalahunna fa lā ta'dulūhunna an
yankihna azwājahunna ---/
Dalam contoh (77) di atas, dapat dilihat bahwa potongan ayat-ayat tersebut
dengan ﻋﻦ /'an/ dan "suka" apabila tersambung dengan ﻓﻰ /fī/, bentuk
ta'dulūhunna tidak dikenali karena sangat jarang dipakai, dan hubungan antara ﻣَﺎ
َﻳ ْﻌَﻠ ُﻢ َﺗ ْﺄوِﻳَﻠ ُﻪ إِﻟﱠﺎ اﻟﱠﻠ ُﻪ/mā ya'lamu ta'wīlahu illā allāhu/ 'tidak ada yang mengetahui
takwilnya kecuali Allah' dan ungkapan ..... اﻟﺮاﺳﺨﻮن ﻓﻰ اﻟﻌﻠﻢ/ar-rāsikhūna
fi al-‘ilmi ...../ 'orang yang ilmunya mendalam' tidak dapat ditentukan makna
konjungsinya.
Lebih jauh, seperti halnya dalam 'ām dan khās, As-Suyūti (t.t.b: 19)
juga terpisah (munfasil). Yang muttasil adalah ungkapan mujmal yang langsung
mendapat penjelasan secara terpisah, yaitu dengan ayat Al-Quran lainnya, dengan
telah dihapus (mansūkh). Naskh, menurut As-Suyūti (t.t.b: 20), memiliki empat
mujmal dan takhsīs dari ayat-ayat 'ām, dalam naskh ulama hanya menyepakati
mantūq mengacu kepada pemahaman yang dapat didasarkan kepada apa yang
pemahaman yang tidak didapatkan dari ekspresi verbal yang terdapat dalam teks.
Yang disebut mantūq dalam Al-Quran meliputi empat hal: (1) nass, yaitu apabila
hanya terdapat satu makna yang dapat ditangkap dari teks; (2) zāhir, yaitu apabila
terdapat dua makna, tetapi salah satu yang paling kuat yang digunakan; (3) ta’wīl,
apabila terdapat dua makna, tetapi salah satu yang tidak kuat yang digunakan; dan
(4) isytirāk, yaitu jika terdapat dua makna yang sama kuat dan sulit ditentukan
(78) a. ﻚ
َ ﺟ ْﻌ ُﺘ ْﻢ ِﺗ ْﻠ
َ ﺳ ْﺒ َﻌ ٍﺔ ِإذَا َر
َ ﺞ َو
ﺤﱢَ ﺠ ْﺪ ﻓَﺼِﻴَﺎ ُم َﺛﻠَﺎ َﺛ ِﺔ َأﻳﱠﺎ ٍم ﻓِﻲ ا ْﻟ
ِ ﻦ َﻟ ْﻢ َﻳ
ْ َﻓ َﻤ---
ﻋَﺸَـﺮَ ٌة (196 : )اﻟﺒﻘﺮة--- آَﺎ ِﻣَﻠ ٌﺔ
/--- faman lam yajid fa siyāmu śalāśata ayyāmin fi al-hajji wa sab'atin iźā
raja'tum tilka 'asyaratun kāmilatun ---/
‘--- Tetapi jika ia tidak menemukan (binatang korban atau tidak mampu), maka
wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu
telah pulang kembali. Itulah sepuluh (hari) yang sempurna ---’ (QS. Al-
Baqarah: 196)
‘--- dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci (bersuci) ---’
(QS. Al-Baqarah: 222)
Mafhūm secara umum terbagi menjadi dua, yaitu mafhūm muwāfaqah dan
terhadap makna tersirat dari ayat dengan pemahaman yang searah dengan yang
dinyatakan oleh teks. Jika yang dipahami lebih dari yang dinyatakan dalam teks,
disebut fahwā al-khitāb. Adapun jika yang dipahami dari teks sebanding dengan
yang dinyatakannya secara verbal, maka disebut lahn al-khitāb (As-Suyūtī t.t.b:
32). Oleh karena itu, dalam dua ayat di bawah ini, misalnya, memukul orang tua
merupakan fahwā al-khitāb dari ungkapan yang terdapat dalam (79a), yaitu
mengatakan "ah" kepada kedua orang tua. Adapun "membakar" atau "membuang"
harta anak yatim merupakan lahn al-khitāb dari ungkapan yang terdapat dalam
b. ﻄـﻮ ِﻧ ِﻬ ْﻢ
ُ ن ﻓِﻲ ُﺑ
َ ﻇ ْﻠﻤًﺎ ِإ ﱠﻧﻤَﺎ َﻳ ْﺄ ُآﻠُﻮ
ُ ل ا ْﻟ َﻴﺘَﺎﻣَﻰ
َ ن َأ ْﻣﻮَا
َ ﻦ َﻳ ْﺄ ُآـﻠُﻮَ ن اﱠﻟﺬِﻳِإ ﱠ
َﻧـﺎرًا ﺳﻌِﻴﺮًا
َ ن َ ﺼَﻠ ْﻮ
ْ ﺳ َﻴ
َ َو
/inna allaźīna ya'kulūna amwāla al-yatāmā zulman innamā ya'kulūna fī
butūnihim nāran wa sa yaslawna sa'īran/
yang berkebalikan dari apa yang dinyatakan secara verbal dalam teks (As-Suyūti
t.t.b: 32). Mafhūm mukhālafah ini dapat disimpulkan melalui beberapa hal, yaitu
atribut (sifah), baik bersifat adjektival (na't), adverbial situasional (hāl), adverbial
(zarf), dan numeral ('adad); syarat (syart); terminal (ghāyah); dan pembatasan
disimpulkan bahwa: dalam (80a), menunaikan ibadah haji tidak dapat dilakukan
selain pada bulan yang telah ditentukan; dalam (80b), menafkahi wanita yang
tidak hamil setelah dicerai bukan suatu kewajiban; dalam (80c), tidak boleh
menikahi wanita yang telah ditalak tiga sebelum dia menikah dengan suami yang
lain; dan dalam (80d), tidak menyembah dan meminta perlindungan kepada selain
Allah.
b. --- ﻦ
ﻋَﻠ ْﻴ ِﻬ ﱠ
َ ﻞ َﻓَﺄ ْﻧ ِﻔﻘُﻮا
ٍ ﺣ ْﻤ
َ ت
ِ ن ُآﻦﱠ أُوﻟَﺎ
ْ َوِإ---
/--- wa in kunna ūlāti hamlin fa anfiqū 'alayhinna---/
'--- Dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalak) itu sedang hamil, maka
berikanlah kepada mereka nafkahnya ---' (QS. At-Talāq: 6)
c. --- ﻏ ْﻴ َﺮ ُﻩ
َ ﺢ َز ْوﺟًﺎ
َ ﻦ َﺑ ْﻌ ُﺪ ﺣَﺘﱠﻰ َﺗ ْﻨ ِﻜ
ْ ﻞ َﻟ ُﻪ ِﻣ
ﺤﱡ
ِ ن ﻃَﻠﱠﻘَﻬَﺎ ﻓَﻠَﺎ َﺗ
ْ َﻓِﺈ
/fa in ţallaqahā falā tahillu lahu min ba'du hattā tankiha zawjan gayrahu ---/
'Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka
perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dia kawin dengan suami yang
lain ---' (QS. Al-Baqarah: 230)
d. ﻦ
ُ ﺴﺘَﻌِﻴ
ْ َك ﻧ
َ ك َﻧ ْﻌ ُﺒ ُﺪ َوِإ ﱠﻳﺎ
َ ِإﻳﱠﺎ
/iyyāka na'budu wa iyyāka nasta'īnu/
'Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah
kami mohon pertolongan.' (QS. Al-Fātihah: 5)
Selain itu, di antara kriteria mantūq dan mafhūm, terdapat kriteria yang
bergantung kepada sesuatu yang tidak terdapat dalam teks, tetapi masih sesuai
dengan apa yang dinyatakan teks secara verbal; dan (2) dilālah al-isyārah, yaitu
apabila hasil inferensi tidak sama dengan apa yang dimaksudkan teks secara
inferensi, hasil pemahaman terhadap kedua contoh di atas tidak sama. Hasil
"bertanyalah kepada penduduk negeri", sesuai dengan yang dimaksud teks secara
verbal. Sebaliknya, hasil pemahaman lain dari contoh (81b) yang dilakukan
dengan dilālah al-isyārah, yaitu "puasa tetap sah meskipun ketika memulainya
kita sedang mendapat hadas besar", tidak sama dengan yang dimaksudkan teks
secara verbal.
Kajian tentang kohesi dan koherensi dalam bahasa Arab juga mencakup
pronomina dalam teks terkait dengan tiga hal, yaitu penutur (mutakallim), lawan
bicara atau petutur (mukhātab), dan dengan orang ketiga (gā`ib). Contoh.
(82) a. ﺐ
ِ ﻄﱢﻠ
َ ﻋ ْﺒ ِﺪ ا ْﻟ ُﻤ
َ ﻦ
ُ ا ْﺑUأﻧَﺎU
/[ana] ibnu 'abdi al-mutallibi/
‘[Saya] adalah anak Abdul Muthalib’
Apa yang dikemukakan oleh Al-Hāsyimi (1960) tersebut mirip dengan apa yang
dikemukakan oleh Halliday dan Hasan (1976: 37) tentang referensi personal yang
terkait dengan dua peran, yaitu speaker role dan other role. Selain itu, Al-Hāsyimi
bentuk (lafz), makna (ma'na), dan ditunjukkan oleh peranti tertentu (isyārah),
misalnya infleksi verba untuk membuat persesuaian dengan jenis (gender) dan
jumlah (number). Seperti dapat dilihat dalam contoh (82b) dan (82c) di atas,
bentuk –huwa ‘dia’ dalam ﻧﺎد/nāda/ ‘dia (Musa) memanggil’ bersesuaian jenis
dan jumlah dengan bentuk ﻧﻮح/nūh/ ‘Nuh’.
hubungan jarak yang meliputi dekat, menengah, dan jauh. Hal ini dapat berfungsi
Kedua, kajian elipsis dalam bahasa Arab berkaitan dengan konsep ījāz
dalam balāghah, yaitu bidang 'ilm al-ma'āni yang mengkaji pemendekan bentuk
ungkapan demi maksud yang lebih kompleks (Al-Hāsyimi 1960: 222). Elipsis
sebagai peranti kohesi terkait terutama dengan ijaz al-haźf, yaitu penghilangan
elemen tertentu dalam teks tanpa mengurangi makna yang dikehendakinya (Al-
Hāsyimi 1960: 224). Hal ini dilakukan dengan beberapa alasan, misalnya untuk
dalam teks antara dua klausa atau lebih. Dalam ījāz, penghilangan dan
pengurangan dianalisis bukan hanya pada hubungan dua klausa atau lebih,
melainkan juga dalam satu klausa (Al-Hāsyimi 1960: 222-225). Dalam contoh
berikut, bentuk fi allāh 'di (jalan) Allah' merupakan ījāz yang dilakukan dengan
Ketiga, kajian tentang konjungsi dalam bahasa Arab terkait dengan dua
bahasan fasl dan wasl, dipelajari alasan teoritis yang mendasari penggunaan dan
penanggalan konjungtor (harf 'atf), terutama َو/wa/ yang secara umum dapat
digunakan untuk berbagai tujuan wasl (Al-Hāsyimi 1960: 196 dan 198). Menurut
Al-Hāsyimi (1960: 199-201) penggunaan 'atf (wa) didasari atas tiga hal, yaitu: (1)
kesesuaian antara dua klausa atau lebih, baik secara bentuk maupun secara makna
setara dengan konsep kasus (case), antara dua klausa atau lebih. Contoh.
b. ﻦ ا ْﻟ َﻤ َﺮضِ؟
َ ﻲ ِﻣ
ٌ ﻋِﻠ
َ ئَ ﻞ َﺑ ِﺮ ْ َه
ﷲ
ُ ﺷﻔَﺎ ُﻩ ا
َ ﻟَﺎ َو
/hal bari’a ‘aliyyun min al-maradi
lā [wa] syafāhu allāhu/
‘Apakah Ali telah sembuh dari sakit?
‘Belum [dan] (semoga) Allah menyembuhkannya’
a. ﻞ
ُ ل َو َﻳ ْﻔ َﻌ
ُ ﻲ َﻳ ُﻘ ْﻮ
ﻋِﻠ ﱞ
َ
/’aliyyun yaqūlu [wa] yaf’alu/
‘Ali berkata [dan] bekerja’
(Al-Hāsyimi 1960: 201-202)
dengan pengaitan (taqyīd) antarbagian teks dengan 'atf nasq. Hal ini meliputi
(87) a. ﻋ ْﻤ ٌﺮو
َ ﺟﺎ َء َز ْﻳ ٌﺪ ُﺛ ﱠﻢ
َ
/jā'a zaydun [śumma] 'amrun/
‘Zaid datang, [kemudian] Amr (datang)’
b. ﻋ ْﻤ ٌﺮو
َ ﺟﺎ َء َز ْﻳ ٌﺪ أ ْو
َ
/jā'a zaydun [aw] 'amrun/
‘Zaid datang [atau] Amr (datang)’
c. ﺟﺎ َء َز ْﻳ ٌﺪ َﻓ َﻌ ْﻤ ٌﺮو
َ
/jā'a zaydun [fa] 'amrun/
Zaid datang, [maka] Amr (datang)
(Al-Hāsyimi 1960: 160)
Contoh.
(88) a. ﻋ ْﻤ ٌﺮو
َ ﻞ
ْ ﺟﺎ َء َز ْﻳ ٌﺪ َﺑ
َ َﻣﺎ
/mā jā'a zaydun [bal] 'amrun/
‘Bukan Zaid yang datang, [tetapi] Amr (yang datang)’
b. ﻦ
ٍ ل ُﻣ ِﺒ ْﻴ
ٍ ﺿَﻠﺎ
َ َوإ ّﱠﻧﺎ أ ْوِإ ﱠﻳﺎ ُآ ْﻢ َﻟ َﻌَﻠﻰ ُه ًﺪى أ ْو ِﻓﻰ
/wa innā aw iyyākum la'alā hudan [aw] fī dalālin mubīnin/
'Sesungguhnya kami ataupun kalian (dapat) berada dalam petunjuk [atau]
(dapat) berada dalam kesesatan yang jelas'
c. ﺤ ًﻮا
ْ ﺻ ْﺮ ًﻓﺎ َأ ْو َﻧ
َ َﺗ َﻌﱠﻠ ْﻢ
/ta'allam sarfan [aw] nahwan/
Pelajarilah sharaf, [atau] (pelajarilah) nahwu
d. ﺤ ًﻮا
ْ ﺻ ْﺮ ًﻓﺎ َوِإ ﱠﻣﺎ َﻧ
َ َﺗ َﻌّﱠﻠ ْﻢ ِإ ﱠﻣﺎ
/ta'allam immā sarfan [wa] immā nahwan/
Pelajarilah sharaf, [dan] (pelajarilah juga) nahwu
(Al-Hāsyimi 1960: 160-161)
peranti kohesi dan juga sebagai relasi yang menunjukkan koherensi antarbagian
teks dalam bahasa Arab juga berkaitan dengan pembahasan fasl (pemisahan),
empat alasan, yaitu (1) jika ungkapan kedua merupakan ganti (badal) dari
ungkapan yang pertama; (4) jika isi ungkapan kedua berbeda jauh dengan isi
ungkapan pertama; dan (5) jika ungkapan kedua merupakan jawaban yang muncul
(89) a. ﻦ
ٍ ن َأ َﻣ ﱠﺪ ُآ ْﻢ ِﺑَﺄ ْﻧﻌَﺎ ٍم َو َﺑ ِﻨ ْﻴ
َ ي َأ َﻣ ﱠﺪ ُآ ْﻢ ِﺑﻤَﺎ َﺗ ْﻌ َﻤُﻠ ْﻮ
ْ وَا ﱠﺗ ُﻘﻮْا اﱠﻟ ِﺬ
/wa ittaqū allaźī amaddakum bimā ta'malūna [Ø] amaddakum bi an'āmin wa
banīnin/
'Bertakwalah kepada Zat Yang memberi nikmat terhadap apa yang kalian
kerjakan. [Ø] Zat yang memberi nikmat berupa hewan ternak dan anak-anak'
b. ﺨ ْﻠ ِﺪ
ُ ﺠ َﺮ ِة ا ْﻟ
َﺷ
َ ﻋﻠَﻰ
َ ﻚ
َ ﻞ َأ ُدﱡﻟ
ْ ل ﻳَﺎ َأ َد ُم َه
َ ن ﻗَﺎ
ُ ﺸ ْﻴﻄَﺎ
ّ س ِإَﻟ ْﻴ ِﻪ ا ْﻟ
َ ﺳ َﻮ
ْ َﻓ َﻮ
/fa [waswasa] ilayhi asy-syaytānu [qāla yā ādamu hal adulluka 'alā syajarati
al-khuldi]/
'Syaitan pun [menggoda]-nya dengan [Berkata: "Hai Adam, maukah
kutunjukkan kepadamu pohon Khuldi"]'
c. ﻦ َأ ْﻣ ِﻬ ْﻠ ُﻬ ْﻢ ُر َو ْﻳﺪًا
َ ﻞ ا ْﻟﻜَﺎ ِﻓ ِﺮ ْﻳ
ِ َﻓ َﻤ ﱢﻬ
/fa [mahhil al-kāfirīna] [amhilhum ruwaydan]/
'Karena itu [beri tangguhlah orang-orang kafir itu], yaitu [beri tangguhlah
mereka itu barang sebentar]'
d. ﻦ ْﺑ َﻤﺎ َﻟ َﺪ ْﻳ ِﻪ
ٌ ئ َر ِه ْﻴ
ٍ ﻞ ا ْﻣ ِﺮ
ﺻ َﻐ َﺮ ْﻳ ِﻪ • ُآ ﱡ
ْ إ ﱠﻧ َﻤﺎ ا ْﻟ َﻤ ْﺮ ُء ِﺑﺄ
/innamā al-mar'u bi asgarayhi
kullu imri'in rahīnun bimā ladayhi/
'Seseorang bergantung kepada dua hal yang paling kecil dari dirinya (hati dan
mulut)
Setiap orang akan bertanggung jawab terhadap apa yang dikerjakannya'
e. ﺴ ْﻮ ِء
ﺲ ﻟَﺄَﻣﱠﺎرَ ٌة ﺑِﺎﻟ ﱡ
َ ن اﻟ ﱠﻨ ْﻔ
ﻲ ِإ ﱠ
ْ ﺴ
ِ ئ َﻧ ْﻔ
ُ َوﻣَﺎ ُأ َﺑﺮﱢ
/wa mā ubarri'u nafsī inna an-nafsa lammāratun bi as-sū'i/
'Aku tidak akan mengikuti hawa nafsuku. Sebab, hawa nafsu condong kepada
keburukan'
terhadap apa yang kalian kerjakan’ dan bentuk ٍوَﺑَﻨِ ْﻴﻦ َأ َﻣ ﱠﺪ ُآ ْﻢ ِﺑَﺄ ْﻧ َﻌ ﺎ ٍم/amaddakum
bi an'ām wa banīn/ ‘Zat yang memberi nikmat berupa hewan ternak dan anak-
mahhil al-kāfirīn/ ‘Karena itu beri tangguhlah orang-orang kafir itu’ dan َأ ْﻣ ِﻬ ْﻠ ُﻬ ْﻢ
ُروَ ْﻳ ﺪًا/amhilhum ruwaydan/ ‘beri tangguhlah mereka itu barang sebentar’ adalah
penegasan, sehingga tidak dibutuhkan juga konjungtor di antara keduanya. Dalam
contoh (89d), tidak ada keterkaitan semantik yang mendasar antara إﻧﻤ ﺎ اﻟﻤ ﺮء
ﺑﺄﺻﻐﺮﻳﻪ/innamā al-mar'u bi asgharayhi/ ‘seseorang bergantung kepada dua hal
yang paling kecil dari dirinya (hati dan mulut)’ dan ﻟﺪﻳ ﻪ آ ﻞ اﻣ ﺮئ ره ﻦ ﺑﻤ ﺎ
/kullu imri'in bimā ladayhi/ ‘setiap orang akan bertanggung jawab terhadap apa
keburukan’ merupakan jawaban atas pertanyaan yang mungkin muncul dari َو َﻣ ﺎ
ﻲ
ْ ﺴ
ِ ئ َﻧ ْﻔ
ُ ُأ َﺑﺮﱢ/wa mā ubarri'u nafsī/ ‘aku tidak akan mengikuti hawa nafsuku’
Selain itu, dalam balāgah juga terdapat konsep qasr, yaitu pemanfaatan
1960: 179). Hal ini dapat dilakukan dengan: (1) penggunaan kata yang
sama; (2) penggunaan bentuk إ ّﻧﻤ ﺎ/innamā/ ‘hanya’; (3) penggunaan konjungtor
(‘atf) ﻻ/lā/ ‘tetapi’, ﺑ ﻞ/bal/ ‘tetapi’, dan ﻟﻜ ﻦ/lākin/ ‘tetapi’; dan (4) dengan
memajukan (taqdīm) dan atau mengakhirkan (ta’khīr) konstituen (Al-Hāsyimi
(90) a. ﺠﺪﱡ
ِ ﻟَﺎ ﻳَﻔُﻮ ُز إِﻟﱠﺎ ا ْﻟ ُﻤ
/[lā] yafūzu [illā] al-mujiddu/
‘[Tidak] (akan) beruntung [kecuali] orang yang bersungguh-sungguh’
b. ﺐ
ٌ ﺤﻴَﺎ ُة َﺗ َﻌ
َ ِإ ﱠﻧﻤَﺎ ا ْﻟ
c. ﻻ ﺛَﺎ ِﺑ َﺘ ٌﺔ
َ ﺤ ﱢﺮ َآ ٌﺔ
َ ض ُﻣ َﺘ
ُ ﻻ ْر
َ َا
/al-ardu mutaharrikatun [lā] śābitatun/
‘bumi itu bergerak, [bukan] diam’
d. ﻦ ُﻧ ْﺜ ِﻨﻰ
َ ل ا ْﻟ َﻌﺎ ِﻣِﻠ ْﻴ
ِ ﺟﺎ
َ ﻋَﻠﻰ اﻟ ﱢﺮ
َ
/’alā ar-rijāli al-‘āmilīna nuśnī/
‘Hanya kepada lelaki yang bekerja kami memuji’
(Al-Jārim dan Amin t.t.: 216)
kohesi leksikal yang berkembang secara umum, mencakup tiga bidang utama
1960: 226). Hal ini dapat berupa menyebutkan yang khusus setelah yang umum
(źikr al-khās ba'd al-'ām), menyebut yang umum setelah yang khusus (źikr al-'ām
ba'd al-khās), pengulangan kata untuk menunjukkan cakupan arti yang berbeda
c. ن
ِ ﻋ ْﻠ ُﻢ ا ْﻟَﺎ ْد َﻳﺎ
ِ ن َو
ِ ﻋﻠ ُﻢ ا ْﻟَﺎ ْﺑ َﺪا
ِ ,ن
ِ ﻋ ْﻠ َﻤﺎ
ِ ا ْﻟ ِﻌ ْﻠ ُﻢ
/[al-'ilmu] ['ilmāni], ['ilm] al-abdāni wa ['ilm] al-adyāni/
'[Ilmu] ada dua macam (ilmu), [ilmu] fisis dan [ilmu] yang metafisis'
qāri’ah/ ‘kiamat’ diulang dengan cakupan makna yang persis sama. Dalam (91e),
bentuk ﻞ
ُ ﻃ
ِ ﻖ ا ْﻟﺒَﺎ
َ َز َه /zahaqa al-batil/ ‘yang bathil telah hancur’ bermakna
untuk menegaskan.
Selain itu, dalam ‘ilm al-bayān, yang membahas berbagai hal yang
berkaitan dengan metafora, kohesi leksikal yang diwujudkan melalui kolokasi dan
Dalam contoh (92) di atas, dengan jalan isti’ārah (peminjaman), bentuk ﺷ َﺘﺮَوا
ْا
/isytaraw/ ‘mereka membeli’ digunakan secara metaforis untuk menggantikan
bentuk ﻢ
ْ ﺠ ﺎ َر ُﺗ ُﻬ
َ ِﺗ ﺤﺖ
َ ﻣَﺎ َر ِﺑ/ma rabihat tijāratuhum/ ‘perdagangan mereka tidak
konsep yang membahas hubungan antarbentuk dalam pemilihan gaya bahasa. Hal
antarbentuk dan atau antara makna suatu bentuk dan makna bentuk lainnya (i'tilāf
al-lafz ma' al-lafz wa i'tilāfuhu ma'a al-ma'nā), menyatakan dua bentuk yang
dua bentuk atau lebih dan menyatakan kebalikannya secara berurutan atau
penelingkahan susunan konstituen antara dua klausa, atau lebih, yang berurutan
(al-'aks), persesuaian makna bentuk dan bunyi akhir (as-saj’), kemiripan bentuk
dan bunyi (jinās) (Al-Hāsyimi 1960: 366, 377-379, 385, 392, 396, dan 409).
'--- yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma`ruf dan melarang mereka
dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang
baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk ---' (QS. Al-A’rāf:
157)
e. ﻋَﻠ ْﻴ ِﻬ ْﻢ
َ ﻚ
َ ﺣﺴَﺎ ِﺑ
ِ ﻦْ ﻣَﺎ ِﻣUَ وUٍﻲء
ْ ﺷ
َ ﻦ
ْ ﺣﺴَـﺎ ِﺑ ِﻬ ْﻢ ِﻣ
ِ ﻦ
ْ ﻚ ِﻣ
َ ﻋَﻠﻴْـ
َ ﻣَﺎU ---
--- Uٍﻲء ْ ﺷَ ﻦ
ْ ِﻣ (52 :)اﻻﻧﻌﺎم
/--- [mā 'alay-ka min hisābi-him min syay'in] wa [mā min hisābi-ka 'alayhim
min syay'in] ---/
'--- [Kamu tidak memikul tanggung jawab sedikitpun terhadap perbuatan
mereka] dan [merekapun tidak memikul tanggung jawab sedikitpun terhadap
perbuatanmu] ---' (QS. Al-An’ām: 52).
f. Uَأ ْوﺗَﺎدًاU ل
َ ﺠﺒَﺎ
ِ وا ْﻟU ِﻣﻬَﺎدًاU ض
َ ﻞ ا ْﻟَﺄ ْر
ِ ﺠ َﻌ
ْ َأَﻟ ْﻢ َﻧ
/alam naj’al al-arda [mihā-dan] wa al-jibāla [awtā-dan]/
‘Kami jadikan bumi terhampar dan gunung-gunung tertancap’
g. (55 : )اﻟﺮومUٍﻋﺔ
َ ﺳَﺎU ﻏ ْﻴ َﺮ
َ ن ﻣَﺎ َﻟ ِﺒ ُﺜﻮْا
َ ﺠ ِﺮ ُﻣ ْﻮ
ْ ﺴ ُﻢ ا ْﻟ ُﻤ
ِ ُﻳ ْﻘUُﻋﺔ
َ اﻟﺴﱠﺎU َو َﻳ ْﻮ َم َﺗ ُﻘ ْﻮ ُم
/wa yawma taqūmu [as-sā’atu] yuqsimu al-mujrimūna mā labiśū gayra
[sā’atin]/
'Dan pada hari kiamat, orang-orang yang berdosa bersumpah bahwa mereka
hanya berdiam sebentar saja (dalam kubur)’ (QS. Ar-Rūm: 55).
Dapat dilihat bahwa dalam contoh (93a) di atas, kohesi dicapai melalui hubungan
‘mengusahakan’ yang memiliki akar dan cakupan arti kurang lebih sama. Dalam
ﺤﺮﱢ ُم
َ ُﻳ/yuharrimu/ ‘ia mengharamkan’, antara ا ْﻟ َﻤ ْﻌﺮُوف/al-ma’rūf/ ‘ma’ruf’ dan
ا ْﻟ ُﻤ ْﻨ َﻜ ِﺮ/al-munkar/ ‘munkar’, dan antara ت
ِ ﻄ ﱢﻴ َﺒ ﺎ
اﻟ ﱠ/at-tayyibāt/ ‘kebaikan’ dan
ﺚ
َ ﺨﺒَﺎ ِﺋ
َ ا ْﻟ /al-khabā’iś/ ‘keburukan’. Dalam contoh (93d), hubungan taksonimi
hisābi-him min syay'/ ‘kamu tidak memikul tanggung jawab sedikitpun terhadap
(1983), dalam ‘ilm al-ma’āni hal ini terkait dengan pembahasan mengenai
pembagian jenis kalām dan fungsinya dalam tuturan/tulisan, yaitu kalām khabar
dan kalām insyā (Al-Hāsyimi 1960: 53). Kalām khabar, setara dengan kategori
kebenaran isinya ditentukan melalui verifikasi ujaran dengan fakta di luar ujaran
(Al-Hāsyimi 1960: 53, dan Saeed 1997: 87). Fungsi utama kalām khabar ada dua:
(1) fā’idah al-khabar, yaitu memberitahu petutur tentang isi tuturan; dan (2) lāzim
Contoh.
b. ن
ِ ﺤﺎ
َ ﻻ ْﻣ ِﺘ
ِ ﺖ ِﻓﻰ ْا
َ ﺤ
ْﺠَ ﺖ َﻧ
َ َأ ْﻧ
/anta najahta fī al-imtihān/
‘Engkau berhasil dalam ujian’
(Al-Hāsyimi 1960: 54)
Dapat kita lihat bahwa dalam (94a), informasi yang terkandung di dalam
ungkapan belum tentu telah diketahui petutur, sehingga fungsi dari ujaran tersebut
diketahui petutur. Oleh karena itu, fungsi ujaran tersebut bukan untuk
bahwa penutur mengetahui dengan jelas apa yang dikemukakannya. Selain untuk
dua fungsi tersebut, kadangkala kalām khabar juga dapat digunakan untuk
yang terkandung di dalamnya (Al-Hāsyimi 1960: 75). Secara umum, kalām insyā'
terdiri atas talabi dan ghayr talabi. Kalām insyā' talabi mengacu kepada kalimat
yang di dalamnya terdapat harapan terhadap terjadinya sesuatu. Hal ini dapat
berupa perintah (‘amr), larangan (nahy), harapan (tamanni), seruan (nidā), dan
juga pertanyaan (istifhām) (Al-Hāsyimi 1960: 77). Kalam insyā’ ghayr talabī
mengacu kepada kalimat yang tidak menghendaki sesuatu untuk terjadi, misalnya
ungkapan kagum (ta’ajjub), celaan (źamm) dan pujian (madh), sumpah (qasam),
dan kalimat yang merupakan akad (‘uqūd) (Al-Hāsyimi 1960: 79). Contoh.
(95) a. ﺖ
َ ﺻ َﻨ ْﻌ
َ ﻦ ا ْﻟﺠَﺰَاءِ إِﻟﱠﺎ ِﺑ َﻘ ْﺪ ِر ﻣَﺎ
َ ﺐ ِﻣ
ْ ﻄُﻠ
ْ ﻟَﺎ َﺗ
/lā tatlub al-jazā’ illā bi qadri mā sana’ta/
‘Jangan meminta balasan kecuali senilai dengan yang kamu kerjakan’
b. ﻞ
ُ ﺐ ا ْﻟ َﻌ ْﻘ
ُ ﺴ
َ ل ُﻳ ْﻜ َﺘ
ِ ب ا ْﻟﻤَﺎ
ِ ﺴﺎ
َ وَﻟَﺎ ﺑِﺎ ْآ ِﺘ ﺐ ا ْﻟ ِﻐﻨَﻰ
ُ ﺴ
َ ﻞ ُﻳ ْﻜ َﺘ
ِ ك ﻣَﺎ ﺑِﺎ ْﻟ َﻌ ْﻘ
َ َﻟ ُﻌ ْﻤ ُﺮ
/la ‘umruka mā bi al-aqli yuktasabu al-ginā
wa lā bi iktisāb al-māli yuktasabu al-‘aqlu/
‘Demi umurmu, kekayaan tidak dapat diperoleh dengan akal
seperti juga akal tidak dapat diperoleh dengan harta’
(Al-Jārim dan Amīn t.t.: 169)
Dalam contoh di atas, dapat kita lihat bahwa (95a) merupakan kalām insyā talabi,
Meskipun belum menggunakan istilah kohesi dan koherensi secara jelas, kajian
terhadap dua konsep tersebut dalam balāghah pada dasarnya cukup mapan. Hal
ini selanjutnya dapat dilihat dalam ‘Atwi (1989) yang mengemukakan beberapa
konsep yang sama dengan apa yang dikemukakan oleh Al-Hāsyimi (1960).
teks terkait dengan dua hal, yaitu peran tutur (maqām khitāb atau maqām
(96) a. ﺿﻴْﻨَﺎ
ِ ن ﻟِﻤَﺎ َر
َ ﺧ ُﺬ ْو
ِ اْﻵUُﺤﻦ
ْ َﻧUَو
/wa [nahnu] al-ākhiźūna limā radīnā/
‘Dan kami adalah orang yang mengambil kembali apa yang telah kami
relakan’
(1960), pembagian ini bahkan sama persis dengan apa yang dikemukakan oleh
Halliday dan Hasan (1976: 37) tentang referensi personal yang terkait dengan dua
peran, yaitu speaker role dan other role. Hanya saja, ‘Atwi (1989) tidak
(1960: 126) dapat ditentukan berdasarkan bentuk (lafz), makna (ma'na), dan
demonstrativa didasarkan atas jarak dekat, menengah, dan jauh. Hal ini
(97) ﻦ
َ ﺿ ًﺔ َﻓﻤَﺎ ﻓَ ْﻮﻗَﻬَﺎ ﻓَﺄَﻣﱠﺎ اﱠﻟﺬِﻳ َ ب َﻣ َﺜﻠًﺎ ﻣَﺎ َﺑﻌُﻮ َ ﻀ ِﺮْ ن َﻳ
ْ ﺤﻴِﻲ َأ ْ ﺴ َﺘ
ْ ن اﻟﱠﻠ َﻪ ﻟَﺎ َﻳ
ِإ ﱠ
ن ﻣَﺎذَا َ ﻦ َآ َﻔﺮُوا َﻓ َﻴﻘُﻮﻟُﻮ َ ﻦ َر ﱢﺑ ِﻬ ْﻢ َوَأﻣﱠﺎ اﱠﻟﺬِﻳْ ﻖ ِﻣﺤﱡ
َ ن َأﻧﱠ ُﻪ ا ْﻟ
َ ءَاﻣَﻨُﻮا َﻓ َﻴ ْﻌَﻠﻤُﻮ
َأرَا َد اﻟﱠﻠ ُﻪ ِﺑ َﻬﺬَا َﻣ َﺜﻠًﺎ (26 : )اﻟﺒﻘﺮة---
/inna allāha lā yastahyi an yadriba [maśalan mā ba'ūdatan fa mā fawqahā]
faamma allaźīna āmanū fa ya'lamūna anna-[hu] al-haqqu min rabbihim wa ammā
allaźīna kafarū fa yaqūlūna māźā arāda allāhu bi [hāźā] maśalan ---/
‘Sesungguhnya Allah tidak segan membuat [perumpamaan dengan seekor nyamuk
ataupun yang lebih dari itu]. Orang-orang beriman akan mengetahui bahwa [itu]
benar berasal dari Tuhannya, tetapi mereka yang kafir mengatakan: Apakah
maksud Allah menjadikan [ini] sebagai perumpamaan?’ --- (QS. Al-Baqarah: 26)
Kedua, seperti juga telah saya kemukakan dalam (2.2.3), kajian elipsis
dalam bahasa Arab berkaitan dengan konsep ījāz dalam balāghah, yaitu bidang
'ilm al-ma'āni yang mengkaji pemendekan bentuk ungkapan demi maksud yang
lebih kompleks (‘Atwi 1989: 93-94). Elipsis sebagai peranti kohesi terkait
terutama dengan ijaz al-haźf, yaitu penghilangan elemen tertentu dalam teks tanpa
Menurut ‘Atwi (1989: 96), dalam ungkapan tersebut terdapat bentuk ﻋﻮْا
ُ ُا ْد/ud’ū/
‘panggillah’ yang dihilangkan. Tidak seperti elipsis yang mengandaikan
kesamaan bentuk yang hilang dengan yang terdapat dalam teks, dapat dilihat
dalam (98) di atas bahwa bentuk yang dihilangkan berbeda dengan bentuk yang
menjadi petunjuk dalam teks. Lebih dari itu, seperti juga Al-Hāsyimi (1960),
‘Atwi (1989: 95) juga membahas penghilangan dan pengurangan dalam ijāz tidak
semata-mata dalam hubungan antara dua klausa atau lebih, melainkan juga dalam
satu klausa.
Ketiga, kajian tentang konjungsi dalam bahasa Arab terkait dengan wasl
atas tiga hal: pertama, kesesuaian antara dua klausa atau lebih, baik secara bentuk
menjaga kesesuaian i'rāb, yang setara dengan konsep kasus (case), antara dua
konjungtor dalam fasl, menurut ‘Atwi (1989: 91-92), didasarkan atas tiga alasan,
yaitu (1) jika terdapat hubungan yang sangat jelas antara dua buah ungkapan,
(badal); (2) jika isi ungkapan kedua berbeda jauh dengan isi ungkapan pertama;
dan (3) jika ungkapan kedua merupakan jawaban yang muncul dari ungkapan
pertama.
Selain itu, seperti juga Al-Hāsyimi (1960: 179), dapat juga kita
pertimbangkan pendapat ‘Atwi (1989: 84) tentang qasr, yaitu pemanfaatan peranti
إﻧﻤ ﺎ/innamā/ ‘hanya’; (3) penggunaan konjungtor (‘atf) ﻻ/lā/ ‘tetapi’, ﺑ ﻞ/bal/
‘tetapi’, dan ﻟﻜ ﻦ/lākin/ ‘tetapi’; dan (4) dengan memajukan (taqdīm) salah satu
konstituen (‘Atwi 1989: 86).
dalam balāghah terkait dengan tiga bidang utama yang terdapat di dalamnya.
isi ungkapan (tawdīh) dan mempertegas maksud (ta’kīd), memberi penekanan hal
Dalam ‘Atwi (1989: 102-104), konsep itnāb yang terkait dengan konsep kohesi
leksikal meliputi penyebutan yang khusus setelah yang umum (źikr al-khās ba'd
al-'ām), menyebut yang umum setelah yang khusus (źikr al-'ām ba'd al-khās), dan
(99) a. ﻦ
َ وَﻗُﻮﻣُﻮا ِﻟﱠﻠ ِﻪ ﻗَﺎ ِﻧﺘِﻴUﺳﻄَﻰ
ْ ﺼﻠَﺎةِ ا ْﻟ ُﻮ
اﻟ ﱠUَ وUِﺼَﻠﻮَات
اﻟ ﱠU ﻋﻠَﻰ
َ ﺣَﺎ ِﻓﻈُﻮا
/hāfizū ‘alā [as-salawāti] wa [as-salāti al-wustā] wa qūmū li allāhi qānitīna/
‘Peliharalah [segala shalat]-(mu), dan (peliharalah) [shalat wusthaa]. Berdirilah
karena Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu’
b. ِإذَاUٍﺳ ْﺒ َﻌﺔ
َ َوU ﺞ
ﺤﱢ َ ﻓِﻲ ا ْﻟU َﺛﻠَﺎ َﺛ ِﺔ َأﻳﱠﺎ ٍمU ﺼﻴَﺎ ُم
ِ ﺠ ْﺪ َﻓ
ِ ﻦ َﻟ ْﻢ َﻳ
ْ َﻓ َﻤ---
UٌﻋَﺸَـﺮَةU ﻚ َ ﺟ ْﻌ ُﺘ ْﻢ ِﺗ ْﻠ
َ َر (196 : )اﻟﺒﻘﺮة--- آَﺎ ِﻣَﻠ ٌﺔ
/--- faman lam yajid fa siyām [śalāśati ayyāmin fi al-hajji](a1) wa [sab'atin iźā
raja'tum](a2) tilka ['asyaratun kāmilatun](a) ---/
‘--- Tetapi jika ia tidak menemukan (binatang korban atau tidak mampu), maka
wajib berpuasa [tiga hari dalam masa haji](a1) dan [tujuh hari (lagi) apabila
kamu telah pulang kembali](a2). Itulah [sepuluh (hari) yang sempurna](a) ---’
(Al-Baqarah: 196)
Dalam contoh di atas, dapat kita lihat bahwa: (1) kohesi dalam (99) dicapai
‘shalat pertengahan’ sebagai hiponim (źikr al-khās ba’da al-‘ām); (2) kohesi
dalam (99b) juga dicapai melalui taksonimi, yaitu hubungan antara ungkapan
ﺞ
ﺤﱢَ ﺻﻴَﺎ ُم َﺛﻠَﺎ َﺛ ِﺔ َأﻳﱠﺎ ٍم ﻓِﻲ ا ْﻟ
ِ /şiyām śalāśah ayyām fi al-hajj/ ‘berpuasa tiga hari
ketika sedang haji’ dan ﻢ
ْ ﺟ ْﻌ ُﺘ
َ َر ﺳ ْﺒ َﻌ ٍﺔ ِإذَا
َ / sab'ah iźā raja'tum/ ‘(berpuasa) tujuh
hari setelah pulang’, sebagai hiponim, dan ungkapan ﺸ َﺮ ٌة آَﺎ ِﻣَﻠ ٌﺔ
َﻋ
َ ﻚ
َ ِﺗ ْﻠ /tilka
'asyarah kāmilah/ ‘sepuluh hari (puasa) yang sempuirna’ sebagai hiperonim (źikr
al-‘ām ba’da al-khās); dan (3) kohesi dalam (99c) dicapai melalui pengulangan
berbagai hal yang berkaitan dengan metafora dalam sub ‘ilm al-bayān. Seperti
telah saya jelaskan sebelumnya, melalui pembahasan dalam ‘ilm al-bayān, kohesi
bahasa. Hal ini meliputi kedua bidang di dalamnya, yaitu al-muhassināt al-
ma’nawiyah dan al-muhassināt al-lafziyyah. Dalam ‘Atwi (1989: 120, 135, 145,
dan 154), konsep dalam ‘ilm al-badī’ yang berkaitan dengan kohesi leksikal
mencakupi, antara lain: menyatakan dua bentuk yang saling bertentangan dalam
satu kalimat (al-mutābaqah atau at-tibaq), menyatakan dua bentuk atau lebih dan
menyatakan dalam satu ungkapan hal-hal yang saling melingkupi dan atau saling
(100) a. ﻦ
ْ ﻚ ِﻣ ﱠﻤ
َ ع ا ْﻟ ُﻤ ْﻠ
ُ ﻦ َﺗﺸَﺎ ُء َو َﺗ ْﻨ ِﺰ
ْ ﻚ َﻣ
َ ﻚ ُﺗ ْﺆﺗِﻲ ا ْﻟ ُﻤـ ْﻠِ ﻚ ا ْﻟ ُﻤ ْﻠ
َ ﻞ اﻟﻠﱠ ُﻬﻢﱠ ﻣَﺎِﻟ
ِ ُﻗ
( َﺗﺸَﺎ ُء26 : )أل ﻋﻤﺮان--- ﻦ َﺗﺸَﺎ ُء ْ ل َﻣ ﻦ َﺗﺸَﺎ ُء َو ُﺗ ِﺬ ﱡْ َو ُﺗ ِﻌ ﱡﺰ َﻣ
/qul allāhumma mālika al-mulki [tu’tī al-mulka man tasyā’u](a)wa [tanzi’u
al-mulka min man tasyā’u](a) wa [tu’izzu man tasyā’u](b) wa [tuźillu man
tasyā’u](b) ---/
‘Katakanlah: "Wahai Tuhan Yang mempunyai kerajaan, [Engkau berikan
kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki](a) dan [Engkau cabut
kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki](a). [Engkau muliakan orang
yang Engkau kehendaki](b) dan [Engkau hinakan orang yang Engkau
kehendaki](b) ---’ (QS. Ali Imrān: 26)
d. ﻦ
ِﻋَ ﺣﺴَﺎنِ َوإِﻳﺘَﺎ ِء ذِي ا ْﻟ ُﻘ ْﺮﺑَﻰ َو َﻳ ْﻨـﻬَﻰ
ْ ِل وَا ْﻟﺈ
ِ ن اﻟﱠﻠ َﻪ َﻳ ْﺄ ُﻣ ُﺮ ﺑِﺎ ْﻟ َﻌ ْﺪ ِإ ﱠ
ﺤﺸَﺎ ِء ْ ا ْﻟ َﻔ --- ﻲ ِ وَا ْﻟ ُﻤ ْﻨ َﻜ ِﺮ وَا ْﻟ َﺒ ْﻐ
/inna allāha ya’murukum bi [al-‘adli](a1) wa [al-ihsāni](a) wa [ītā’i źī al-
qurbā](a2) wa yanhā ‘an al-fahsyā’i wa al-munkari wa al-bagyi ---/
Dalam contoh di atas, dapat dilihat bahwa: (1) dalam (100a) hubungan kohesif
hubungan kohesif dicapai melalui kemiripan bunyi dan bentuk (jinās) antara
ungkapan ن
َ َﻳ ْﻨ َﻬ ْﻮ/yanhawna/ ‘mereka melarang’ dan ungkapan ن
َ َﻳ ْﻨَﺄ ْو/yan’awna/
‘mereka meninggalkan’; (3) dalam (100c), hubungan kohesif antara ungkapan
mengemukakan bahwa dalam ‘ilm al-ma’āni jenis kalām terdiri atas kalām khabar
dan kalām insyā. Kalām khabar, setara dengan kategori kalimat sintetis (synthetic
melalui verifikasi ujaran dengan fakta di luar ujaran (‘Atwi 1989: 67, dan Saeed
1997: 87). Fungsi utama kalām khabar ada dua: (1) fā’idah al-khabar, yaitu
memberitahu petutur tentang isi tuturan; dan (2) lāzim al-fā’idah, yaitu
memberitahu petutur bahwa penutur mengetahui isi tuturan. Kalam insyā adalah
Kalām insyā terdiri atas talabi dan ghayr talabi. Kalām insyā talabi mengacu
Hal ini dapat berupa perintah (‘amr), larangan (nahy), harapan (tamanni), seruan
(nidā), dan juga pertanyaan (istifhām) (‘Atwi 1989: 71-73). Kalam insyā` ghayr
talabī mengacu kepada kalimat yang tidak menghendaki sesuatu untuk terjadi,
misalnya ungkapan kagum (ta’ajjub), celaan (źamm) dan pujian (madh), sumpah
(qasam), dan kalimat yang merupakan akad (‘uqūd) (‘Atwi 1989: 73-74).
konsep yang berkaitan dengan kohesi dan koherensi. Pertama, secara umum,
konsep kohesi dan koherensi dalam 'ulūm Al-Qur'ān sangat terkait dengan konsep
mencakup kajian antarayat, antarsurat, antara ayat dan suratnya, dan antara
pembuka surat (fawātih as-suwar) dan penutup surat (khawātim as-suwar) (Al-
dalam ayat, antarayat dalam surat, dan atau antarsurat dalam Al-Quran dapat
(101) a. ن
َ ﻋَﻠ ْﻴ ِﻬ ْﻢ َءَأ ْﻧ َﺬ ْر َﺗ ُﻬ ْﻢ َأ ْم َﻟ ْﻢ ُﺗ ْﻨ ِﺬ ْر ُه ْﻢ ﻟَﺎ ُﻳ ْﺆ ِﻣﻨُﻮ
َ ﻦ َآ َﻔﺮُوا ﺳَﻮَا ٌء
َ ن اﱠﻟﺬِﻳ
ِإ ﱠ
/inna allaźīna kafarū sawā'un 'alayhim a 'anźartahum am lam tunźirhum lā
yu'minūna/
‘Sesungguhnya orang-orang kafir, sama saja bagi mereka, kamu beri
peringatan atau tidak kamu beri peringatan, mereka tidak akan beriman’ (QS.
Al-Baqarah: 6).
b. ﻒ
َ ﺴﻤَﺎ ِء َآ ْﻴ
( َوِإﻟَﻰ اﻟ ﱠ17) ﺖ ْ ﺧِﻠ َﻘ
ُ ﻒَ ﻞ َآ ْﻴِ ﻈﺮُونَ ِإﻟَﻰ ا ْﻟِﺈ ِﺑ
ُ َأﻓَﻠَﺎ ﻳَ ْﻨ
ض
ِ ( َوِإﻟَﻰ ا ْﻟَﺄ ْر19) ﺖ ْ ﺼ َﺒِ ﻒ ُﻧ
َ ل َآ ْﻴِ ﺠﺒَﺎِ ( َوِإﻟَﻰ ا ْﻟ18) ﺖ ْ ُر ِﻓ َﻌ
ﺖ
ْ ﺤ
َﻄِﺳ ُ ﻒ
َ َآ ْﻴ (20)
/afalā yanzurūna ilā al-ibili kayfa khuliqat. wa ilā as-samā’i kayfa rufi’at.
wa ilā al-jibāli kayfa nusibat. wa ilā al-ardi kayfa sutihat/
‘Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana dia diciptakan,
Dan langit, bagaimana ia ditinggikan? Dan gunung-gunung bagaimana ia
ditegakkan? Dan bumi bagaimana ia dihamparkan?’ (QS. Al-Gāsyiyah: 17-
20)
Seperti telah dijelaskan sebelumnya, dalam (101a) ayat ke-6 surat Al-Baqarah
1995: 93).
pronomina personal yang diungkap oleh Halliday dan Hasan (1976), serupa
sebagai anafor dan antesedennya (marja') dalam 'ulūm Al-Qur'ān, yaitu: (1)
merujuk kepada anteseden yang disebutkan secara jelas; (2) merujuk kepada
anteseden tidak dinyatakan secara eksplisit, tetapi terkandung dalam kata tertentu;
(3) merujuk kepada anteseden yang tidak dinyatakan secara jelas, tetapi tersirat
melalui isyarat yang cukup jelas; (4) merujuk kepada antesedennya secara
kataforis; (5) merujuk kepada antesedennya secara eksoforis; (6) mengacu kepada
sebagian makna yang terdapat dalam antesedennya; (7) merujuk kepada anteseden
yang terdapat secara eksplisit, tetapi menunjuk kepada referen yang berbeda; (8)
merujuk kepada makna jenis dari antesedennya; (9) khusus dalam pronomina dual
(taśniyah), mengacu kepada salah satu dari dua anteseden yang terdapat dalam
teks; dan (10) merujuk kepada makna yang lebih luas dari anteseden yang dirujuk
dalam teks.
Selain itu, Al-Qattān (1995: 189) menambahkan bahwa anafora dalam Al-
Quran dengan pronomina dapat mengacu kepada bentuk antesedennya (lafzī) dan
Dalam ayat di atas, pronomina orang ketiga هﻮ/huwa/ ‘dia’ yang terdapat dalam
verba ﻳﻘﻮل /yaqūlu/ ‘dia berkata’ mengacu kepada bentuk /man/ yang secara
‘orang yang mengatakan: kami beriman kepada Allah dan Hari kemudian’ yang
(1995: 197) hanya membahas tiga dasar bagi hubungan konjungsi (‘atf), yaitu (1)
‘(ia) mengerjakan’ yang berfungsi meringkas klausa atau frasa verbal yang
(103) a. ن
َ ﺲ ﻣَﺎ آَﺎﻧُﻮا َﻳ ْﻔ َﻌﻠُﻮ
َ ﻦ ُﻣ ْﻨ َﻜ ٍﺮ َﻓ َﻌﻠُﻮ ُﻩ َﻟ ِﺒ ْﺌ
ْﻋَ ن
َ آَﺎﻧُﻮا ﻟَﺎ َﻳ َﺘﻨَﺎ َه ْﻮ
/kānū [lā yatanāhawna ‘an munkarin fa’alūhu] la bi’sa mā kānū [yaf’alūna]/
Mereka satu sama lain selalu [tidak melarang tindakan munkar yang mereka
perbuat]. Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu [mereka perbuat] itu.
b. ﻒ َﻓ َﻌـ ْﻠﻨَﺎ
َ ﻦ َﻟـ ُﻜ ْﻢ َآ ْﻴ
َ ﺴـ ُﻬ ْﻢ َو َﺗ َﺒ ﱠﻴ
َ ﻇَﻠﻤُﻮا َأ ْﻧ ُﻔ
َ ﻦ
َ ﻦ اﱠﻟﺬِﻳ ِ ﺳ َﻜ ْﻨ ُﺘ ْﻢ ﻓِﻲ َﻣﺴَﺎ ِآَ َو
ل
َ ِﺑ ِﻬ ْﻢ وَﺿَﺮَ ْﺑﻨَﺎ َﻟ ُﻜ ُﻢ ا ْﻟَﺄ ْﻣﺜَﺎ
/wa sakantum fī masākini allaźīna zalamū anfusahum wa tabayyana lakum
kayfa [fa’al]-nā bihim wa darabnā lakum al-amśāla/
‘dan kamu telah berdiam di tempat-tempat kediaman orang-orang yang
menganiaya diri mereka sendiri, dan telah nyata bagimu bagaimana Kami
telah [berbuat] terhadap mereka dan telah Kami berikan kepadamu beberapa
perumpamaan?’
munkar yang mereka kerjakan’. Dalam (103b), fungsi ﻓﻌﻠﻨﺎ /fa’alnā/ ‘Kami
beberapa bagian balāgah secara khusus dan dapat dikaitkan dengan konsep kohesi
kohesi dan koherensi. Hal itu meliputi: pertama, pengetahuan tentang ayat yang
kandungan kedua jenis ayat tersebut yang berbeda satu dengan yang lain (Al-
Ketiga, pengetahuan tentang ayat yang jelas (muhkam) dan yang samar
membedakan muhkam dan mutasyābih: (1) ayat yang muhkam adalah ayat yang
maknanya jelas dan dapat diketahui secara pasti, sedangkan ayat mutasyābih
adalah ayat yang maknanya tidak dapat dipastikan; (2) ayat yang muhkam adalah
makna; dan (3) ayat yang muhkam adalah ayat yang maknanya dapat dipahami
ini, dapat juga kita sesuaikan dengan pendapat As-Suyūti (t.t.) bahwa ayat yang
muhkam biasanya mencakupi ayat yang berkaitan dengan perintah dan larangan,
janji dan ancaman, dan halal dan haram; sedangkan ayat mutasyābih berkaitan
dengan ayat tentang datangnya hari kiamat, ayat yang terdiri atas huruf-huruf pada
awal surat, dan ayat yang terdapat di dalamnya kisah dan perumpamaan.
mengemukakan bahwa kriteria bentuk yang mencakupi makna 'ām dalam Al-
Quran adalah: (1) kata آﻞ/kullu/ 'semua/seluruhnya', baik sebagai subjek maupun
sebagai penjelas; (2) semua bentuk penghubung (ism mawsūl); (3) kata أي/ayy/
'mana', ﻣﺎ/mā/ 'apa', ﻣﻦ/man/ 'siapa'; (4) seluruh bentuk yang menjadi inti frasa;
(5) seluruh bentuk yang diberi pemarkah takrif اﻟـ/al-/; dan (6) seluruh bentuk
indefinit (nakirah) yang berada dalam konstruksi negatif (nafy) dan larangan
(nahy).
selanjutnya mengklasifikasi jenis ‘ām: (1) bentuk umum yang indefinit (al-‘ām al-
bāqi ‘alā ‘umūmihi); (2) bentuk umum yang dimaksudkan sebagai khusus (al-‘ām
al-murād bihi al-khusūs); dan (3) bentuk ‘ām yang dikhususkan (al-‘ām al-
mengemukakan konsep yang mirip dengan 'ām dan khās, yaitu makna yang bebas
(mutlaq) dan yang terikat (muqayyad). Seperti juga tersebut di atas, karena
kemiripan konsep, saya tidak perlu menjelaskan mutlaq dan muqayyad di sini
lebih jauh.
Kelima, pengetahuan tentang ayat menghapus (nāsikh) dan ayat yang telah
melalui tiga hal, yaitu (1) riwayat yang berasal langsung dari Nabi Muhammad
saw.; (2) kesepakatan ulama (ijmā’); dan (3) pengetahuan tentang urutan turunnya
ayat.
mantūq mengacu kepada pemahaman yang dapat didasarkan kepada apa yang
pemahaman yang tidak didapatkan dari ekspresi verbal yang terdapat dalam teks.
Al-Quran meliputi tiga hal: (1) nass, yaitu apabila hanya terdapat satu makna
yang dapat ditangkap dari teks; (2) zāhir, yaitu apabila terdapat dua makna, tetapi
salah satu yang paling kuat yang digunakan; dan (3) ta’wīl, apabila terdapat dua
mengemukakan bahwa pemahaman terhdap teks dapat dicapai melalui: (1) dilālah
al-iqtidā', yaitu apabila inferensi bergantung kepada sesuatu yang tidak terdapat
dalam teks, tetapi masih sesuai dengan apa yang dinyatakan teks secara verbal;
dan (2) dilālah al-isyārah, yaitu apabila hasil inferensi tidak sama dengan apa
mafhūm secara umum menjadi dua, yaitu mafhūm muwāfaqah dan mafhūm
dari ayat dengan pemahaman yang searah dengan yang dinyatakan oleh teks. Jika
yang dipahami lebih dari yang dinyatakan dalam teks, disebut fahwā al-khitāb.
Adapun jika yang dipahami dari teks sebanding dengan yang dinyatakannya
secara verbal, maka disebut lahn al-khitāb (Al-Qattān 1995: 244-245). Mafhūm
berkebalikan dari apa yang dinyatakan secara verbal dalam teks, yaitu melalui
atribut (sifah), syarat (syart), terminal (gāyah), dan pembatasan (hasr) (Al-Qattān
1995: 245-246).
KERANGKA TEORI
3.1 Pengantar
yang dikemukakan dalam (1.2), dalam bab ini terdapat sedikit kajian dalam
penelitian ini. Pembahasan kohesi dalam bab ini meliputi dua hal: (1) pendapat
utama tentang kohesi yang dijadikan landasan teoritis, dan pendapat lainnya yang
disesuaikan dengan pendapat tersebut; (2) beberapa konsep yang terkait dengan
kohesi yang terdapat dalam linguistik Arab yang disesuaikan dengan konsep-
linguistik umum, dan tinjauan terhadap kelebihan dan kekurangan yang terdapat
koherensi, baik yang bersifat afirmatif maupun yang bersifat kritis, beberapa
konsep dalam kohesi ditinjau dengan beberapa konsep yang terdapat dalam teori
koherensi.
3.2 Kohesi
Berdasarkan apa yang telah saya jelaskan tinjauan pustaka dan untuk menjawab
pertanyaan pertama yang diajukan dalam (1.2), dalam membahas kohesi pendapat
utama yang saya gunakan dalam penelitian ini adalah dua pendapat Halliday dan
kohesif, yaitu bahwa hubungan kohesif didasarkan atas tiga hal: (1) keterkaitan
bentuk (relatedness of form), meliputi substitusi, elipsis, dan kolokasi leksikal; (2)
leksikal; dan (3) koneksi semantis (semantic connection), yaitu dengan konjungsi
(Halliday dan Hasan 1976: 304 dan 322-323). Kedua, berdasarkan pilihan bentuk
yang digunakannya, kohesi dapat diklasifikasi ke dalam dua bagian: (1) kohesi
gramatikal, yaitu hubungan kohesif yang dicapai dengan penggunaan elemen dan
aturan gramatikal, meliputi referensi, substitusi, dan elipsis; dan (2) kohesi
leksikal, yaitu efek kohesif yang dicapai melalui pemilihan kosakata (Halliday
dan Hasan 1976: 274 dan 303). Pendapat pertama digunakan sebagai landasan
pembahasan.
kohesi yang dikemukakan oleh Brown dan Yule (1983), Halliday (1985), Wales
(1998), Alwi et al. (1998), dan Renkema (2003), dan menyesuaikannya dengan
didasarkan atas keterkaitan bentuk (relatedness of form) terdiri atas peranti kohesi
stilistis, persesuaian kala, dan kohesi leksikal. Kedua, pembahasan kohesi yang
Halliday dan Hasan (1976), dalam penelitian ini digunakan pendapat awal yang
dikemukakannya dalam Halliday dan Hasan (1976). Sebab, pendapat awal inilah
yang banyak dikutip oleh tokoh-tokoh lain. Oleh karena itu, pembahasan kohesi
pembahasan konjungsi yang kemukakan oleh Halliday dan Hasan (1976), Brown
dan Yule (1983), dan Alwi et al. (1998). Berdasarkan pembagian tersebut,
konjungsi.
elipsis, konjungsi, dan persesuaian kala, jenis dan jumlah; (2), kohesi leksikal,
3.2.1.1 Referensi
Serupa dengan apa yang dikemukakan dalam Halliday dan Hasan (1976),
kembali acuan yang sama melalui bentuk yang berbeda. Referensi dapat bersifat
(Halliday dan Hasan 1976: 31 dan Halliday 1985: 292). Berdasarkan arah
acuannya dalam teks, referensi tekstual dapat dibedakan menjadi dua macam,
yaitu anafora (anaphora) jika mengacu ke bentuk yang terdapat sebelumnya dan
yang dapat ditentukan berdasarkan peran tutur (speech roles) dan peran yang lain
(other roles) (Halliday dan Hasan 1976: 44), dapat dikemukakan di sini bahwa
dalam balāgah, lebih tepatnya dalam 'ilm al-ma'āni, terdapat konsep yang sama
dengan yang dikemukakan oleh Halliday dan Hasan (1976). Hal ini dapat
pronomina dalam teks terkait dengan tiga hal: penutur (mutakallim), lawan bicara
atau petutur (mukhātab), dan bukan dengan keduanya atau orang ketiga. Begitu
mengemukakan bahwa pemakaian pronomina dalam teks terkait dengan dua hal,
yaitu peran tutur (maqām khitāb atau maqām hikāyah), meliputi penutur
(mutakallim) dan petutur (mukhātab), dan bukan dengan keduanya atau orang
ketiga.
Dalam (1) di atas, sekadar menyebut sebagian saja, pronomina pertama أﻧ ﺎ/ana/
'Aku' yang terdapat dalam إ ّﻧ ﻰ/innī 'sesungguhnya Aku' (a-REn-P1T-InPr) dan
أﻋﻠ ﻢ/a'lamu/ 'Aku mengetahui' (a-REn-P1T-InV) yang mengacu kepada ر ّﺑ ﻚ
/rabbuka/ 'Tuhanmu' (a) dan pronomina ﻧﺤ ﻦ/nahnu/ 'kami' (b-REn-P1P-InPr)
yang mengacu kepada اﻟﻤﻼﺋﻜ ﺔ/al-malā'ikah/ 'para malaikat' (b) terkait dengan
peran penutur (mutakallim atau speaker), pronomina ketiga أﻧ ﺘﻢ/antum/ 'kalian'
yang terdapat dalam ﺗﻌﻠﻤ ﻮن/ta'lamūna/ 'kalian mengetahui' (b-REn-P2P-InV)
yang mengacu kepada اﻟﻤﻼﺋﻜ ﺔ/al-malā'ikah/ 'para malaikat' (b) terkait dengan
peran petutur (mukhātab atau adresse), dan pronomina ه ﻢ/hum/ 'mereka' yang
terdapat dalam ﻗ ﺎﻟﻮا /qālū/ 'mereka berkata' (b-REn-P3P-InV) yang mengacu
kepada اﻟﻤﻼﺋﻜ ﺔ /al-malā'ikah/ 'para malaikat' (b) terkait dengan peran lain
(others).
Lebih dari itu, dalam ulūm al-Qur’ān, As-Suyuti (t.t.a: 189) menyebut tiga
macam fungsi bagi penggunaan pronomina yang muttasil (klitik) dan yang
pengkhususan (takhsīs).
‘--- Sesungguhnya [Dia] adalah [Dia] Yang Maha Penerima taubat lagi Maha
Penyayang’ (QS. Al-Baqarah: 54).
َﺑ ﺎ ِر ِﺋ ُﻜ ْﻢ /bāri'ikum/ (b) 'Tuhan kalian yang menciptakan kalian' dalam (2b) yang
yang merupakan bentuk penunjukan verbal, juga terdapat dalam balāgah. Hanya
saja, dalam tidak terdapat klasifikasi kohesi dengan demonstrativa seperti yang
dilakukan oleh Halliday dan Hasan (1976) berdasarkan netral (neutral) dan
Al-Hāsyimi (1960: 129) dan ‘Atwi (1989: 80), hanya didasarkan atas hubungan
jarak yang meliputi dekat, menengah, dan jauh. Selain itu, terdapat perbedaan
antara pendapat Halliday dan Hasan (1976) dan pendapat Al-Hāsyimī (1960) dan
'Atwi (1989), yaitu bahwa Halliday dan Hasan (1976) tidak mengungkapkan lebih
129-130) dan ‘Atwi (1989: 80) dapat berfungsi untuk menegaskan, menjelaskan,
Dapat kita lihat dalam (3) bahwa bentuk هﺬا/hāźā/ 'ini' (a-REn-D) yang mengacu
kepada ﻮﻗَﻬَﺎ
ْ َﻓ ﺿ ًﺔ َﻓﻤَﺎ
َ ﻣَﺎ َﺑﻌُﻮ/mā ba'ūdatan fa mā fawqahā/ 'nyamuk atau yang
lebih rendah dari itu' (a) digunakan sebagai celaan orang kafir terhadap
secara umum dapat dibagi berdasarkan kategori umum (general) atau deiktis
dapat selanjutnya dibagi berdasarkan identitas identity (misalnya same, equal, dan
identical), kesamaan atau similarity (misalnya such similar dan similarly), dan
mistakes dan many mistakes) dan kualitas atau ephitet (misalnya more difficult
3.2.1.2 Substitusi
Substitusi adalah penggantian item tertentu dengan item lain (Halliday dan Hasan
1976: 88, dan Halliday 1985: 297). Substitusi dapat diklasifikasi secara umum ke
dalam tiga bagian: pertama, substitusi nominal (nominal substitution), yang dapat
nomina general, seperti thing dan one, melainkan juga melalui repudiation, yaitu
substitution), misalnya peggantian verba tertentu dengan do; dan ketiga, substitusi
berbeda pendapat dengan Halliday dan Hasan (1976) mengenai substitusi dalam
dua hal: (1) Halliday dan Hasan (1976: 88) menganggap pengulangan sebagian
(repudiation) sebagai bagian dari substitusi, sedangkan Brown dan Yule (1983:
reference). Atas dasar itu, substitusi yang dimaksud dalam penelitian ini hanya
leksikal akan dibahas secara terpisah dalam sub tersendiri, dan pengulangan
sebagian akan menjadi bagian dari pengulangan sebagai peranti kohesi leksikal.
(4) Uﻞ
ُآ ﱞU Uن َ ا ْﻟ ُﻤ ْﺆ ِﻣ ُﻨ ﻮUﻦ َر ﱢﺑ ِﻪ َو ْ ل ِإَﻟ ْﻴ ِﻪ ِﻣ
َ ِﺑﻤَﺎ ُأ ْﻧ ِﺰUُاﻟ ﱠﺮﺳُﻮلU ﻦ َ ءَا َﻣ
ﻦ ﺑِﺎﻟﱠﻠ ِﻪ َو َﻣﻠَﺎ ِﺋ َﻜ ِﺘ ِﻪ َو ُآ ُﺘ ِﺒ ِﻪ
َ ءَا َﻣ (285) --- ﺳِﻠ ِﻪ
ُ َو ُر
/āmana [ar-rasūlu](a) bimā unzila ilayhi min rabbihi wa [al-mu'minūna](b)
[kullun](a+b-S) āmana bi allāhi wa malāikatihi wa kutubihi wa rusulihi ---/
‘[Rasul] telah beriman kepada Al-Quran yang diturunkan kepadanya dari
Tuhannya, demikian pula [orang-orang yang beriman]. [Semuanya] beriman
kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya ---’
(QS. Al-Baqarah: 285)
Bentuk ﻞ
ّآ /kull/ 'semua' yang digunakan dalam (4) di atas mengacu kepada
beriman'. Sebagai substitusi, fungsi dari penggunaan kull di atas adalah untuk
mu'minūn 'seluruh orang beriman', yaitu bahwa mereka beriman kepada Allah,
3.2.1.3 Elipsis
Menurut Halliday dan Hasan (1976: 88) elipsis adalah penghilangan item tertentu
atau penggantian item tertentu dengan kosong. Seperti halnya substitusi, elipsis
dapat bersifat nominal, verbal, dan juga klausal. Dalam bahasa Arab, kajian
elipsis berkaitan dengan konsep ījāz dalam balāghah, yaitu bidang 'ilm al-ma'āni
yang mengkaji pemendekan bentuk ungkapan demi maksud yang lebih kompleks,
dan terutama dengan ijaz al-haźf, yaitu penghilangan elemen tertentu dalam teks
tanpa mengurangi makna yang dikehendakinya (Al-Hāsyimi 1960: 222 dan 224).
Dalam ījāz al-haźf, kajian tidak terbatas pada elipsis secara formal saja,
melainkan juga mencakup fungsi dan maksud yang mungkin dikehendaki oleh
dengan ungkapan yang lebih sedikit (Al-Hāsyimi 1960: 226). Bagi Al-Jurjāni (t.t.:
146-147 dan 153), haźf dapat berkaitan dengan subjek (haźf mubtada'), verba
(haźf al-fi’l), dan objek (haźf al-maf’ūl). Selanjutnya, Al-Jurjāni (t.t.: 155-156 dan
163) menyebutkan bahwa haźf al-maf’ūl memiliki tiga fungsi, yaitu (1)
menegaskan makna yang terkandung dalam verba (iśbāt ma’nā al-fi’l); (2)
menunjukkan keadaan tertentu yang telah dimaksudkan (dilālah al-hāl); dan (3)
karena syarat penafsiran yang jelas (al-idmār ‘alā syarītah at-tafsīr). Bagi saya,
dua fungsi terakhir yang dimaksud oleh Al-Jurjānī (t.t.) dapat juga diberlakukan
(5) ﷲ
ِ ﻋ ْﺒﺪُا
َ ﻰ
ِ ﺖ َوَأ ْآ َﺮﻣَﻨ
ُ َأ ْآ َﺮ َﻣ
/akramtu [Ø] wa akramanī ‘abdullāhi/
Dengan syarat penafsiran yang jelas, urutan konstituen dalam contoh (5) dapat
dikemukakan oleh Brown dan Yule (1983: 194). Dapat dikemukakan di sini
sebuah paradigma leksem dalam bahasa Arab, seperti dikemukakan oleh Al-Misry
(t.t.: 557), berkaitan dengan dua konsep kala dan empat belas macam konsep
pelaku yang berkaitan dengan kategori jenis dan jumlah. Oleh karena itu,
berkaitan dengan informasi yang menyertai infleksi verba dalam bahasa Arab ini,
konsep yang dikemukakan Brown dan Yule (1983) ini saya persempit menjadi
(6) ﻣَ ﺎ َأ َﻣ َﺮUن
َ ﻄ ُﻌ ﻮ
َ َﻳ ْﻘUﻦ َﺑ ْﻌ ِﺪ ﻣِﻴﺜَﺎ ِﻗ ِﻪ َو
ْ ﻋ ْﻬ َﺪ اﻟﱠﻠ ِﻪ ِﻣ
َ Uَ َﻳ ْﻨ ُﻘﻀُﻮنU ﻦ َ اﱠﻟﺬِﻳ
ﻞ
َﺻَ ن ﻳُﻮ ْ (اﻟﱠﻠ ُﻪ ِﺑ ِﻪ َأ27) ﺳﺮُون ِ ﻚ ُه ُﻢ ا ْﻟﺨَﺎ
َ ض أُوَﻟ ِﺌ
ِ ﻓِﻲ ا ْﻟَﺄ ْرUَﺴﺪُون
ِ ُﻳ ْﻔUَو
/allaźīna [yanqudūna] 'ahda allāhi min ba'di mīśāqihi wa [yaqţa'ūna] mā amara
allāhu bihi an yūşala wa [yufsidūna] fi al-ardi ulā'ika hum al-khāsirūna/
‘(yaitu) Orang-orang yang [melanggar] perjanjian Allah sesudah perjanjian itu
teguh, dan [memutuskan] apa yang diperintahkan Allah (kepada mereka) untuk
menghubungkannya dan [membuat kerusakan] di muka bumi. Mereka itulah orang-
orang yang rugi.’
memiliki persesuaian kala saja, melainkan juga meliputi informasi yang terkait
dengan subjek yang terdapat di dalamnya, yaitu dalam hal jenis dan jumlah.
3.2.1.5 Konjungsi
konjungtor sebagai peranti kohesi dalam penelitian ini mengacu kepada apa yang
terdapat dalam Halliday dan Hasan (1976), sebab konsep inilah yang banyak
dikutip oleh tokoh lain dalam membahas konjungsi sebagai peranti kohesi.
Menurut Halliday dan Hasan (1976), yang kemudian dikutip oleh Brown dan Yule
(1983) dan Renkema (2004), konjungsi dapat menyatakan empat macam relasi,
relasi aditif terdiri atas lima macam, yaitu relasi aditif simpel (internal-external),
meliputi aditif (misalnya and dan and ... also), negatif (misalnya nor dan and ...
not), dan alternatif (misalnya or); hubungan aditif kompleks (emphatic) meliputi
dan exemplificatory (misalnya for example) (Halliday dan Hasan 1976: 249-250).
Dalam penelitian ini, berkaitan dengan perbedaan gejala bahasa yang terdapat
dalam bahasa Inggris dan bahasa Arab, hanya akan dibahas relasi aditif secara
hubungan adversatif terdiri atas lima macam relasi makna, yaitu relasi adversatif
relasi korektif (internal), dan relasi dismissif, meliputi dismissif terbuka (misalnya
at any case) dan dismisif tertutup (misalnya any/either way) (Halliday dan Hasan
1976: 255-256). Hubungan adversatif meliputi simpel (misalnya yet dan only),
nevertheless); hubungan kontrastif meliputi simpel (misalnya but dan and) dan
emphatic (however dan on the other hand); hubungan kontrastif meliputi avowal
(misalnya in fact dan actually); hubungan korektif meliputi koreksi arti (misalnya
instead dan rather) dan koreksi kata (misalnya at least dan rather); dan hubungan
dismissif meliputi dismissif terbuka (misalnya at any case) dan dismisif tertutup
pertimbangan yang sama dengan sebelumnya, dalam penelitian ini hanya akan
relasi perkecualian dan pertentangan yang dikemukakan oleh Alwi et al. (1998).
menyatakan lima macam relasi, yaitu hubungan kausal umum (internal dan
kausal spesifik meliputi alasan (misalnya for this reason), hasil (misalnya a
result), dan tujuan (misalnya with this intention); hubungan kausal reversal
meliputi hanya yang simpel (misalnya for dan because); hubungan kondisional,
otherwise); dan hubungan respektif meliputi direct (misalnya here dan in this
respect) dan reversed polarity (misalnya in other respect). Serupa dengan yang
berlaku bagi pembahasan kohesi yang dihasilkan melalui dua macam konjungsi
sebelumnya, dalam penelitian ini hanya akan dibahas relasi kausal secara umum,
meliputi pemberian alasan, tujuan, relasi hasil, relasi respektif, dan relasi
kondisional.
temporal dapat menyatakan delapan relasi makna, yaitu relasi temporal simpel
yang korelatif, relasi "here and now", dan relasi peringkasan. Hubungan temporal
simpel meliputi sequential (misalnya and dan next), simoultaneous (misalnya then
dan at the same time), dan preceding (misalnya before that); relasi tempral
(misalnya after a time), berulang (misalnya next time), spesifik (misalnya next
day), duratif (misalnya all this time), dan terminal (misalnya up till that time);
relasi konklusif meliputi simple (misalnya finally); relasi sekuensial dan konklusif
meliputi sekuensial (misalnya first .... then) dan konklusif (misalnya at first ...
sekuensial (misalnya first ... next ...) dan konklusif (misalnya .... finally); relasi
"here and now", meluputi lampau (misalnya up to this point), kini (misalnya at
this point), dan mendatang (misalnya from now on); dan relasi peringkasan
dikemukakan oleh Halliday dan Hasan (1976) juga dapat dilihat dalam balāgah.
Menurut Al-Hāsyimi (1960: 199-201) dan ‘Atwi (1989: 92-93) penggunaan 'atf
(wa) didasari atas tiga hal, yaitu: (1) kesesuaian antara dua klausa atau lebih, baik
secara bentuk maupun secara makna dalam hal sintetisnya (khabariyah) atau
menjaga kesesuaian i'rāb, yang setara dengan konsep kasus (case), antara dua
dengan 'atf nasq yang meliputi meliputi pembahasan َو /wa/, ف
َ /fa/
memiliki makna yang menunjukkan relasi aditif (jam'), kausal (ta'qīb), temporal-
antarkata berisi (content words) (Halliday dan Hasan 1976: 274). Halliday dan
kata yang sama, penggunaan sinonim atau hampir sinonim (near synonym),
superordinat, dan kata umum (general word) (Halliday dan Hasan 1976: 279).
Selain itu, kohesi leksikal dapat juga dicapai melalui pemanfaatan relasi
pendapat Halliday dan Hasan (1976), melainkan juga meliputi konsep kohesi
leksikal yang dibahas oleh Brown dan Yule (1983), Alwi et al. (1998), dan
penelitian ini mencakup pemanfaatan tujuh macam relasi kata: (1) pengulangan,
hiperonim dan hiponim, dan atau antarko-taksonim, baik yang bersifat alami
(natural kind terms) maupun yang bersifat nominal (nominal kind terms); (5)
meronymy) atau yang didasarkan atas kriteria ekstra linguistik (labelled part-
(source) dan sasaran (target); dan (7) kumpulan yang sama, yaitu penggunaan
bentuk tertentu yang mengacu kepada kumpulan yang sama akibat persesuaian
alami.
pembahasan kohesi leksikal terkait dengan itnāb, yaitu bidang yang membahas
1960: 226), meliputi (1) penyebutan hal khusus setelah umum (źikr al-khās ba'd
al-'ām); (2) penyebutan hal umum setelah khusus (źikr al-'ām ba'd al-khās); (3)
pengulangan kata untuk menunjukkan cakupan arti yang berbeda (at-tawsyī'); (4)
pengulangan (at-takrīr); dan (5) penjelasan dengan bentuk ungkapan lain yang
bermakna serupa (at-taźyīl) (Al-Hāsyimi 1960: 228-232). Kedua, dalam 'ilm al-
badī, pembahasan kohesi leksikal terkait dengan beberapa konsep yang membahas
menyatakan dua bentuk yang saling bertentangan dalam satu kalimat (al-
mutābaqah atau at-tibaq); (2) menyatakan dua bentuk atau lebih dan menyatakan
385). Ketiga, dalam ‘ilm al-bayān, yang membahas berbagai hal yang berkaitan
dengan metafora, terdapat beberapa konsep yang sepadan dengan konsep kohesi
(7) a. ﻦ
َ وَﻗُﻮﻣُﻮا ِﻟﱠﻠ ِﻪ ﻗَﺎ ِﻧﺘِﻴUﺳﻄَﻰ
ْ ﺼﻠَﺎةِ ا ْﻟ ُﻮ
اﻟ ﱠUَ وUِﺼﻠَﻮَات
اﻟ ﱠU ﻋﻠَﻰ
َ ﺣَﺎ ِﻓﻈُﻮا
/hāfizū ‘alā [as-salawāti] wa [as-salāti al-wustā] wa qūmū li allāhi qānitīna/
‘Peliharalah [segala shalat]-(mu), dan (peliharalah) [shalat wusthaa]. Berdirilah
karena Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu’
b. ِإذَاUٍﺳ ْﺒ َﻌﺔ
َ َوU ﺞ
ﺤﱢ َ ﻓِﻲ ا ْﻟU َﺛﻠَﺎ َﺛ ِﺔ َأﻳﱠﺎ ٍمU ﺼﻴَﺎ ُم
ِ ﺠ ْﺪ َﻓ
ِ ﻦ َﻟ ْﻢ َﻳ
ْ َﻓ َﻤ---
UٌﻋَﺸَـﺮَةU ﻚ َ ﺟ ْﻌ ُﺘ ْﻢ ِﺗ ْﻠ
َ َر (196 : )اﻟﺒﻘﺮة--- آَﺎ ِﻣَﻠ ٌﺔ
/--- faman lam yajid fa siyām [śalāśati ayyāmin fi al-hajji](a1) wa [sab'atin iźā
raja'tum](a2) tilka ['asyaratun kāmilatun](a) ---/
‘--- Tetapi jika ia tidak menemukan (binatang korban atau tidak mampu), maka
wajib berpuasa [tiga hari dalam masa haji](a1) dan [tujuh hari (lagi) apabila
kamu telah pulang kembali](a2). Itulah [sepuluh (hari) yang sempurna](a) ---’
(Al-Baqarah: 196)
c. ن
ِ ﻋ ْﻠ ُﻢ ا ْﻟَﺎ ْد َﻳﺎ
ِ ن َو
ِ ﻋﻠ ُﻢ ا ْﻟَﺎ ْﺑ َﺪا
ِ ,ن
ِ ﻋ ْﻠ َﻤﺎ
ِ ا ْﻟ ِﻌ ْﻠ ُﻢ
/[al-'ilmu] ['ilmāni], ['ilm] al-abdāni wa ['ilm] al-adyāni/
'[Ilmu] ada dua macam (ilmu), [ilmu] fisis dan [ilmu] yang metafisis'
f. ﻦ
ْ ﻚ ِﻣ ﱠﻤ َ ع ا ْﻟ ُﻤ ْﻠ
ُ ﻦ َﺗﺸَﺎ ُء َو َﺗ ْﻨ ِﺰ
ْ ﻚ َﻣ
َ ﻚ ُﺗ ْﺆﺗِﻲ ا ْﻟ ُﻤ ْﻠ
ِ ﻚ ا ْﻟ ُﻤ ْﻠ
َ ﻞ اﻟﻠﱠ ُﻬﻢﱠ ﻣَﺎِﻟ ِ ُﻗ
َﺗﺸَﺎ ُء َو ُﺗ ِﻌ ﱡﺰ (26 : )أل ﻋﻤﺮان--- ﻦ َﺗﺸَﺎ ُء ْ ل َﻣ ﻦ َﺗﺸَﺎ ُء َو ُﺗ ِﺬ ﱡ
ْ َﻣ
/qul allāhumma mālika al-mulki [tu’tī al-mulka man tasyā’u](a)wa [tanzi’u al-
mulka min man tasyā’u](a) wa [tu’izzu man tasyā’u](b) wa [tuźillu man
tasyā’u](b) ---/
‘Katakanlah: "Wahai Tuhan Yang mempunyai kerajaan, [Engkau berikan
kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki](a) dan [Engkau cabut kerajaan
dari orang yang Engkau kehendaki](a). [Engkau muliakan orang yang Engkau
kehendaki](b) dan [Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki](b) ---’ (QS.
Ali Imrān: 26)
Dalam contoh di atas, dapat kita lihat bahwa: (1) kohesi dalam (7a) dicapai
‘shalat pertengahan’ sebagai hiponim (źikr al-khās ba’da al-‘ām); (2) kohesi
dalam (7b) juga dicapai melalui taksonimi, yaitu hubungan antara ungkapan
ﺞ
ﺤ ﱢ
َ ﺻ ﻴَﺎ ُم َﺛﻠَﺎ َﺛ ِﺔ َأ ﱠﻳ ﺎ ٍم ِﻓ ﻲ ا ْﻟ
ِ /şiyām śalāśah ayyām fi al-hajj/ ‘berpuasa tiga hari
ketika sedang haji’ dan ﻢ
ْ ﺟ ْﻌ ُﺘ
َ َر ﺳ ْﺒ َﻌ ٍﺔ ِإذَا
َ / sab'ah iźā raja'tum/ ‘(berpuasa) tujuh
hari setelah pulang’, sebagai hiponim, dan ungkapan ﺸ َﺮ ٌة آَﺎ ِﻣَﻠ ٌﺔ
َ ﻋ
َ ﻚ
َ ِﺗ ْﻠ/tilka
'asyarah kāmilah/ ‘sepuluh hari (puasa) yang sempuirna’ sebagai hiperonim (źikr
al-‘ām ba’da al-khās); dalam (7c) bentuk ﻋﻠ ﻢ /’ilm/ ‘ilmu’ secara berulang
digunakan untuk cakupan makna yang berbeda-beda; dalam (7d), bentuk ﺔ
ُ َا ْﻟﻘَﺎرِﻋ
/al-qāri’ah/ ‘kiamat’ diulang dengan cakupan makna yang persis sama; dalam
ﻦ َﺗ ﺸَﺎ ُء
ْ ع ا ْﻟ ُﻤ ْﻠ ﻚَ ِﻣ ﱠﻤ
ُ َﺗ ْﻨ ِﺰ/tanzi’u al-mulka min man tasyā’u/ ‘dan Engkau cabut
kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki’ dan antara ﻦ َﺗ ﺸَﺎ ُء
ْ ُﺗ ِﻌ ﱡﺰ َﻣ/tu’izzu
man tasyā’/ ‘Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki’ dan ungkapan ُﺗ ِﺬلﱡ
ﻦ َﺗ ﺸَﺎ ُء
ْ َﻣ/tuźillu man tasyā’u/ ‘Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki’
yang disebut mutābaqah.
berbeda dengan pengertian kolokasi yang dikenal luas, yang lebih tepat disebut
kolokasi antarkata dalam sebuah unit sintaksis (Matthews 1997: 60). Atas dasar
perbedaan ini, saya melakukan dua modifikasi teoritis. Pertama, mengikuti Brown
dan Yule (1983: 194), saya mengganti istilah teknis kolokasi menjadi
dalam analisis, yaitu dengan cara: (1) data yang dianalisis hanya yang memenuhi
dua definisi tersebut; (2) untuk dapat dianalisis lebih mendalam, data yang saya
analisis hanya berkaitan dengan hubungan antara kata dengan pola morfologis
yang berbeda tetapi berasal akar yang sama; (3) kolokabilitas kata-kata tersebut
akan dianalisis dalam hubungannya dengan konstituen lain dalam unit sintaksis
masing-masing.
pemerlingkupan antarbentuk dan atau antara makna suatu bentuk dan makna
bentuk lainnya (i'tilāf al-lafz ma' al-lafz wa i'tilāfuhu ma'a al-ma'nā) dalam ‘ilm
al-badī’.
Dapat dilihat bahwa dalam contoh (8a) di atas, kohesi dicapai melalui hubungan
‘mengusahakan’ yang memiliki akar dan cakupan arti kurang lebih sama.
193) mengenai kohesi yang dicapai melalui penggantian leksikal. Kohesi yang
diwujudkan melalui cara seperti ini pada dasarnya serupa dengan substitusi, yaitu
penggantian item tertentu dengan item lain (Halliday dan Hasan 1976: 88, dan
Halliday 1985: 297). Akan tetapi, dalam penelitian ini substitusi dan penggantian
leksikal dibahas dalam bagian yang berbeda. Pembedaan ini saya lakukan
berdasarkan dua alasan: (1) mengacu kepada pendapat Brown dan Yule (1983:
193) yang memisahkan kedua peranti kohesi tersebut; dan (2) berdasarkan
lebih jauh menjadi substitusi nominal, substitusi verbal, dan substitusi klausal.
Klasifikasi semacam ini tidak dapat dilakukan dalam penggantian leksikal, sebab
bentuk yang saling menggantikan berada dalam sebuah tingkatan makna yang
sebanding.
Pendapat Brown dan Yule (1983: 194) yang patut juga dipertimbangkan
dalam kohesi leksikal adalah tentang kohesi yang diwujudkan melalui pilihan
stilistis. Penelitian tentang hal ini dilakukan secara lebih mendalam oleh Wales
(1998). Wales (dalam Mey 1998: 136) mengemukakan bahwa kohesi dalam teks
sastra, terutama puisi, tidak hanya dicapai melalui hubungan leksikal dan
stanza, dan pola bunyi ekspressif, misalnya disonansi dan aliterasi. Karena dalam
bahasa Arab kajian kohesi leksikal terkait juga dengan kajian stilistik, maka,
Dalam bahasa Arab, kajian terhadap pilihan stilistis yang dimaksud oleh
Brown dan Yule (1983) dan Wales (1998) terkait dengan bidang 'ilm al-badī'
dalam balāgah. Hal ini meliputi kedua bidang di dalamnya, yaitu al-muhassināt
penelingkahan susunan konstituen antara dua klausa, atau lebih, yang berurutan
(al-'aks), persesuaian makna bentuk dan atau bunyi akhir (as-saj’), kemiripan
bentuk dan bunyi (jinās) (Al-Hāsyimi 1960: 392, 396, dan 409, dan ‘Atwi 1989:
154).
Dalam (9a), hubungan kohesif dicapai melalui kemiripan bunyi dan bentuk (jinās)
akhir (saj’).
3.3 Koherensi
Pembahasan koherensi dalam sub ini terkait dengan pertanyaan kedua dan ketiga
yang diajukan dalam (1.2). Oleh karena itu, pembahasan lebih menyerupai
tinjauan teori koherensi terhadap teori kohesi yang dikemukakan oleh Halliday
dan Hasan (1976). Hal ini meliputi teori koherensi yang saya ambil dari Brown
dan Yule (1983), Givon (1995), Alwi et al. (1998), dan Renkema (2004),
ditambah beberapa konsep yang saya ambil dari balāgah dan 'ulūm Al-Qurān.
Salah satu masalah yang dikritik oleh tokoh lain yang membahas kohesi berkaitan
dengan acuan dalam referensi sebagai peranti kohesi. Salah satu asal hubungan
kohesif dalam teks, menurut Halliday dan Hasan (1976: 304 dan 322-323),
Halliday dan Hasan (1976), sebagai kontinuitas dan pengulangan yang melampaui
bagian-bagian teks, dapat dianggap sebagai apa yang disebut Givon (1995: 344
dan 346) peneguhan pijakan (grounding). Hal ini dapat dipahami dari pendapat
dalam teks, yaitu anafora (backward) dan katafora (anticipatory), yang serupa
dengan pendapat Halliday dan Hasan (1976: 31) tentang pembagian referensi
tekstual. Hanya saja, acuan yang dimaksud oleh Givon (1995) dalam anafora tidak
sama dengan yang dimaksud oleh Halliday dan Hasan (1976), sebab acuan yang
dimaksud Halliday dan Hasan (1976) dalam referensi tekstual adalah "sesuatu
yang terdapat di dalam teks" sedangkan acuan yang dimaksud Givon (1995)
dalam grounding adalah "sesuatu yang terdapat dalam representasi mental", baik
berasal dari teks maupun yang hanya merupakan entitas mental. Serupa dengan
yang dikemukakan Givon (1995), bagi Brown dan Yule (1983: 200-201),
penafsiran terhadap penggunaan pronomina dan atau anafor lainnya dalam teks
lebih bergantung kepada anteseden yang terdapat pada representasi mental dalam
pikiran daripada yang terdapat di dalam teks. Atas dasar pendapat ini, Brown dan
Yule (1983: 200-201) bahkan menolak pembedaan antara endofora dan eksofora.
Pendapat yang dikemukakan oleh Givon (1995) dan Bown dan Yule
(1983) dapat kita pahami lebih baik jika kita mempertimbangkan pendapat yang
tentang anteseden bagi pronomina yang digunakan sebagai anafor dalam Al-
Quran.
b. ن
ْ ﻦ َﻓِﺈِ ﻆ ا ْﻟُﺄ ْﻧ َﺜ َﻴ ْﻴ
ﻞ ﺣَـ ﱢ
ُ ﻟِﻠ ﱠﺬ َآ ِﺮ ِﻣ ْﺜUَْأ ْوﻟَﺎ ِدآُـﻢU ﻳُﻮﺻِﻴ ُﻜ ُﻢ اﻟﱠﻠ ُﻪ ﻓِﻲ
--- ءً ِﻧﺴَﺎUآُـﻦﱠU (11:)اﻟﻨﺴﺎء
/yūsīkum allāhu fī [awlādikum](b) li aź-źakari miślu hazzi al-unśayayni fa in
[kunna] (b-REn-P3P-InV) nisā' ---/
‘Allah mensyari`atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) [anak-
anakmu]. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua
orang anak perempuan; dan jika [mereka] semuanya perempuan ---’ (QS. An-
Nisā’: 11).
Dapat dilihat contoh (10a) di atas, pronomina ketiga هﻮ/huwa/ 'dia' (a-REn-P3T-
InPr), yang dalam hal ini bukan mengacu kepada اﻋﺪﻟﻮا/i'dilū/ 'berlaku adillah'
(a), melainkan kepada konsep ﻋﺪل /'adl/ 'adil' yang tidak dinyatakan secara
eksplisit dalam teks dan diabstraksikan dari kata i'dilū 'berlaku adillah'. Dalam
contoh (58) di atas, pronomina هﻦ /hunna/ ‘mereka (feminin)’ yang terdapat
dalam ﻦ
ّآ /kunna/ ‘mereka (feminin) adalah’ (b-P3P-InV) mengacu kepada
sebagian makna yang terkandung dalam kata اوﻻد /awlād/ ‘anak-anak’ yang
mengacu kepada anak laki-laki dan perempuan, yaitu hanya kepada anak-anak
perempuan.
diajukan Halliday dan Hasan (1976) saya terima. Dengan memperhatikan bahwa
referensi yang dimaksud oleh Halliday dan Hasan (1976) berbeda dari konsep
referensi yang digunakan secara umum dalam hal kedefinitan acuannya, kategori
endofora dan eksofora, bagi saya, lebih berkaitan dengan asal acuannya yang
dapat kita cari di dalam teks atau harus kita cari di luar teks. Dengan cara seperti
ini, pembedaan endofora-eksofora dalam penelitian ini mencakup dua hal: (1) dari
oleh As-Suyūtī (t.t.) dan Al-Qattān (1995), hanya satu yang saya anggap eksofora,
yaitu yang dapat dipahami berdasarkan konteks (yadullu ‘alayhi as-siyāq atau
śiqah bi fahm as-sāmi’); (2) referensi persona yang terkait dengan peran tutur saya
anggap eksofora jika tidak terdapat referen yang terdapat secara verbal dalam teks
jika tidak terdapat referen yang terdapat secara verbal dalam teks dan tidak
terdapat kaitan langsung antara pembaca dan peristiwa yang terdapat dalam teks.
Dalam (11) di atas, pronomina pertama ﻧﺤ ﻦ/nahnu/ 'Kami' yang terdapat dalam
tersebut tidak terdapat dalam teks, melainkan diketahui melalui konteks ujaran.
Hal lain yang dapat dibahas berkaitan dengan hubungan antara perwujudan kohesi
dan pencapaian koherensi adalah tentang relasi dalam wacana. Dalam Halliday
dan Hasan (1976), pembahasan ini terkait dengan asal hubungan kohesif yang
didasarkan atas keterkaitan semantik yang dikemukakan oleh Halliday dan Hasan
(1976), dapat kita pahami bahwa pendapat yang dikemukakan Renkema (2004)
dalam teks. Renkema (2004: 108-109) mengemukakan dua macam relasi dalam
wacana, yaitu relasi penambahan (additive relation) dan relasi kausal (causal
tipe kordinasi lainnya yang dapat diwujudkan melalui, misalnya, kata and 'dan'
subordinasi, dapat dibedakan menjadi tujuh macam, yaitu (1) sebab (cause) yang
(condition) yang merupakan sebab atau alasan yang dibutuhkan bagi konsekuensi
yang mungkin; (6) permakluman (concession) yang merupakan sebab atau alasan
retoris yang digunakan penulis atau penutur untuk merubah opini, posisi, dan atau
(motivation).
mengklasifikasi relasi retoris menjadi tiga: (1) relasi epistemik, yaitu relasi
relasi kausal dalam kenyataan; (2) tindak-tutur, yaitu relasi yang dimotivasi oleh
situasi yang mengonstitusi alasannya; dan (3) metalinguistik, yaitu relasi yang
dapat kita pertimbangkan pendapat Al-Jurjāni t.t.: 224) tentang fungsi konjungtor
dalam menyatakan jenis relasi tertentu dalam wacana dapat dipahami dari
pembahasan wasl dalam balāgah yang berkaitan erat dengan sifat ambigu
konjungtor dalam menyatakan jenis relasi wacana tertentu juga berkaitan dengan
‘Atwi (1989: 91-92), dan Al-Jurjāni (t.t.: 227 dan 231) menyebutkan bahwa
penanggalan konjungtor dalam fasl didasarkan atas empat alasan, yaitu (1) jika
ungkapan kedua merupakan ganti (badal) dari ungkapan pertama; (2) jika
ungkapan kedua merupakan penegas (mu'akkid) ungkapan yang pertama; (4) jika
isi ungkapan kedua berbeda jauh dengan isi ungkapan pertama (tajnīb); dan (5)
jika ungkapan kedua merupakan jawaban yang muncul dari ungkapan pertama.
kajian antarayat, antarsurat, antara ayat dan suratnya, dan antara pembuka surat
(fawātih as-suwar) dan penutup surat (khawātim as-suwar) (As-Suyūti t.t.b: 108,
Al-Qattān 1995: 92). Berdasarkan kajian ini, dapat dipahami bahwa kaitan antara
satu ayat dan ayat lainnya dapat merupakan penjelasan (tafsīr/taźyīl), penegasan
3.3.3 Maksud
Hal lain yang dikritik oleh Brown dan Yule dari konsep kohesi yang dikemukakan
maksud. Bagi Brown dan Yule (1983: 223 dan 225) pemahaman terhadap wacana
tidak dapat dilakukan hanya melalui pemahaman terhadap apa yang terdapat di
dalam teks secara verbal, sebab memahami teks selalu merupakan usaha untuk
memahami apa yang dimaksudkan oleh pembicara atau penulis. Hal ini, menurut
Brown dan Yule (1985: 226, 231-233, 234-235, dan 256-270), berkaitan dengan
lima hal: (1) pemahaman fungsi komunikatif pesan, yaitu pemahaman hubungan
pembicara, yaitu bahwa pemahaman teks kadang tidak bergantung kepada apa
yang terdapat secara verbal, melainkan kepada maksud suatu ujaran; (3) top-down
and bottom-up processing, yaitu bahwa kita memahami teks melalui apa yang
terdapat dalam teks dan, pada saat yang sama, memprediksi apa yang selanjutnya
dimaksudkan oleh teks berdasarkan konteks; (4) representasi pengetahuan; dan (5)
inferensi logis, baik sebagai penghubung garis terputus (missing link), koneksi
dalam interpretasi.
penutur atau penulis terkait dengan pembagian jenis kalām dan fungsinya dalam
tuturan atau tulisan, yaitu kalām khabar dan kalām insyā (Al-Hāsyimi 1960: 53).
Fungsi utama kalām khabar ada dua: (1) fā’idah al-khabar, yaitu memberitahu
petutur tentang isi tuturan; dan (2) lāzim al-fā’idah, yaitu memberitahu petutur
bahwa penutur mengetahui isi tuturan. Kadangkala kalām khabar juga dapat
Secara umum, kalām insyā' terdiri atas talabi dan ghayr talabi. Kalām insyā'
terjadinya sesuatu. Hal ini dapat berupa perintah (‘amr), larangan (nahy), harapan
(tamanni), seruan (nidā), dan juga pertanyaan (istifhām). Kalam insyā’ ghayr
talabī mengacu kepada kalimat yang tidak menghendaki sesuatu untuk terjadi,
misalnya ungkapan kagum (ta’ajjub), celaan (źamm) dan pujian (madh), sumpah
(qasam), dan kalimat yang merupakan akad (‘uqūd) (Al-Hāsyimi 1960: 75-77-
79).
dan penyebutan urutan dari tinggi ke rendah (at-tadallī) (As-Suyūti t.t.b: 14-15).
yang searah dengan yang dinyatakan oleh teks, terbagi menjadi dua: (1) jika yang
dipahami lebih dari yang dinyatakan dalam teks, maka disebut fahwā al-khitāb;
dan (2) jika yang dipahami dari teks sebanding dengan yang dinyatakannya secara
verbal, maka disebut lahn al-khitāb (As-Suyūtī t.t.b: 31-32, dan Al-Qattān 1995:
Quran dengan cara yang berkebalikan dari apa yang dinyatakan secara verbal
dalam teks, disimpulkan melalui beberapa hal, yaitu atribut (sifah), baik bersifat
adjektival (na't), adverbial situasional (hāl), adverbial (zarf), dan numeral ('adad);
syarat (syart); terminal (ghāyah); dan pembatasan (hasr) (As-Suyūti t.t.b: 32, dan
Al-Qattān 1995: 245-246). Selain itu, dalam pembahasan mantūq dan mafhūm,
yaitu apabila inferensi bergantung kepada sesuatu yang tidak terdapat dalam teks,
tetapi masih sesuai dengan apa yang dinyatakan teks secara verbal; dan (2) dilālah
al-isyārah, yaitu apabila hasil inferensi tidak sama dengan apa yang dimaksudkan
teks secara verbal (As-Suyūti t.t.b: 32, dan Al-Qattān 1995: 243-244).
3.3.4 Pengetahuan
Kritik terhadap kohesi yang dikemukakan oleh Halliday dan Hasan (1976) juga
berkisar pada kegunaannya dalam penafsiran teks. Alwi et al. (1998: 433),
et al. (1998), kohesi saja tidak mencukupi untuk menjamin keutuhan wacana,
sebab pemahaman wacana tidak hanya bergantung kepada kata-kata dan struktur
semantis yang mendasari sebuah wacana (Alwi et al. 1998: 433-434). Alwi et al.
Seperti dikemukakan oleh Halliday dan Hasan (1976: 274 dan 303),
dalam dua bagian: (1) kohesi gramatikal, yaitu hubungan kohesif yang dicapai
dan elipsis; dan (2) kohesi leksikal, yaitu efek kohesif yang dicapai melalui
pemilihan kosakata. Pendapat ini, meskipun tidak persis sama, serupa dengan
pendapat yang dikemukakan Givon (1995: 358), yaitu bahwa koherensi, baik
antarbagian teks, sedangkan Givon (1995: 344) berpendapat bahwa pilihan bentuk
tersebut merupakan jejak mental yang terdapat dalam teks. Artinya, sebelum dapat
dalam pikiran. Hal ini dapat dilihat jika kita mempertimbangkan pendapat
pembaca atau pendengar memahami sebuah wacana; (2) script (skrip), yaitu
pembaca terhadap isi sebuah teks; (3) scenario (skenario), yaitu wilayah referensi
yang diperluas demi pemahaman teks; dan (4) skemata, yaitu struktur kompleks
pengalamannya.
berkaitan dengan beberapa hal: (1) pengetahuan tentang sebab turunnya ayat
(asbāb an-nuzūl); (2) pengetahuan tentang ayat yang jelas (muhkam) dan yang
sebagai khusus (al-‘ām al-murād bihi al-khusūs) dan bentuk ‘ām yang
dikhususkan dengan ayat Al-Quran lain, hadis, ijmā', maupun qiyās; (4)
pengetahuan tentang ayat menghapus (nāsikh) dan ayat yang telah dihapus
pengetahuan tentang kriteria mantūq dalam Al-Quran, meliputi empat hal, yaitu
nass, zāhir, ta’wīl, dan isytirāk. Nass berkaitan dengan teks yang mengandungi
bentuk tertentu yang hanya memiliki satu kemungkinan makna, zāhir berkaitan
dengan teks yang mengandungi bentuk tertentu yang memiliki dua makna dan
salah satu yang paling kuat yang digunakan, ta’wīl merupakan kebalikan dari
zahīr, dan isytirāk berkaitan dengan teks yang mengandungi bentuk tertentu yang
memiliki dua kemungkinan makna yang sama kuat (As-Suyūti t.t.a: 29, As-Suyūti
t.t.b: 2, 16-17, 20, dan 31, dan Al-Qattān 1995: 71-94, 207, 215-219, 226, dan
242-243).
4.1 Pengantar
Seperti telah saya jelaskan dalam (3.2), pendapat utama yang digunakan untuk
membahas kohesi dalam surat Al-Baqarah adalah pendapat Halliday dan Hasan
maupun berdasarkan asal hubungan kohesif. Pendapat ini saya lengkapi dengan
pendapat yang dikemukakan oleh Brown dan Yule (1983), Halliday (1985), Wales
(1998), Alwi et al. (1998), dan Renkema (2003), dan menyesuaikannya dengan
eksofora, dan perbandingan; (2) substitusi; (3) elipsis; (4) penggantian leksikal;
(5) pemilihan stilistis; (6) persesuaian kala, jenis, dan jumlah; (7) kohesi leksikal,
kolokabilitas; dan (8) konjungsi, meliputi aditif, adversatif, kausal, dan temporal.
diperbandingkan dengan konsep yang terdapat dalam balāgah dan ‘ulūm Al-
Qur’ān yang saya ambil dari Al-Hāsyimi (1960), ‘Atwi (1989), As-Suyūti (t.t.),
Al-Jurjāni (t.t.), dan Al-Qattān (1995). Hal ini meliputi: (1) penggunaan damīr
(pronomina) dan ism isyārah (demonstrativa) sebagai argumen dalam balāgah dan
'ulūm Al-Qur'ān; (2) ījāz haźf dan itnāb; (3) majāz, tasybīh, dan isti’ārah; (4) al-
nomina ﻞ
ّ آ/kull/ ‘semua’ dan verba ﻓﻌﻞ/fa’ala/ ‘mengerjakan’ sebagai penjelas.
Selanjutnya, untuk membahas hubungan antara kohesi dan koherensi, saya
juga menggunakan teori koherensi yang dikemukakan oleh Brown dan Yule
(1983), Givon (1995), Alwi et al. (1998), dan Renkema (2004). Seperti telah saya
kemukakan dalam (3.3), terdapat empat hal yang dipertimbangkan dalam melihat
hubungan antara kohesi dan koherensi, yaitu masalah acuan dalam referensi, relasi
Dengan pertimbangan bahwa data yang saya analisis adalah bahasa Arab
yang berasal dari Al-Quran, saya akan memanfaatkan juga beberapa konsep
balāgah dan 'ulūm Al-Qur'ān, meliputi kalām khabar dan kalām insyā, asbāb an-
nuzūl, taqdīm dan ta’khīr, mantūq dan mafhūm, ‘āmm dan khāss, nāsikh dan
4.2.1 Referensi
Seperti telah saya jelaskan dalam (3.2.1.1) Referensi yang dimaksud di sini adalah
pengemukaan kembali acuan yang sama melalui bentuk yang berbeda (Halliday
dan Hasan 1976: 31), baik yang bersifat situasional (exophora) maupun tekstual
menganalisis hubungan antara kohesi dan koherensi dalam surat Al-Baqarah, saya
dan kritik yang dikemukakan oleh Brown dan Yule (1983: 200) terhadap Halliday
dan Hasan (1976) tentang klasifikasi referensi berdasarkan endofora dan eksofora.
Penggunaan referensi dalam surat Al-Baqarah mencapai 2644 kali: 2602 referensi
4.1.1.2 Endofora
Berbeda dengan Brown dan Yule (1983) yang meniadakan fungsi kohesi,
dalam proses pemahaman teks, saya berpendapat bahwa keberadaan petunjuk teks
secara verbal turut juga menentukan penafsiran teks. Akan tetapi, saya juga
menerima pendapat Givon (1995) dan Brown dan Yule (1983) yang
mengemukakan bahwa acuan dalam referensi tidak berada dalam teks, melainkan
endoforis mencapai 2602 kali: 1397 kali diwujudkan melalui infleksi verba, 1002
kali melalui pemanfaatan pronomina secara klitis, 103 kali melalui pemanfaatan
infleksi bentuk pronomina secara klitis biasanya memiliki kesamaan fungsi. Hal
itu dapat kita pahami jika kita mempertimbangkan contoh (1) berikut.
(1) ﻞ ِﻓ ﻲ ٌ ﻋ ِ ﺟَﺎUيUِّ ِإنUِ ْﻟ َﻤﻠَﺎ ِﺋ َﻜ ﺔUِ لUَرَ ﱡﺑ ﻚU Uل َ َﻗ ﺎU َوِإ ْذ
ﻦ
ْ َﻣUهَ ﺎU ِﻓ ﻲUُﺠ َﻌ ﻞ ْ َﺗUَ أUﻗَ ﺎﻟُﻮاU Uًﺧﻠِﻴ َﻔ ﺔ
َ U Uِا ْﻟ َﺄ ْرضU
Uُﺴ ﱢﺒﺢ
َ ُﻧU Uُﺤ ﻦ ْ َﻧUَ اﻟ ﱢﺪﻣَﺎءَ وUُﺴ ِﻔﻚ ْ َﻳUَ وUهَ ﺎU ِﻓ ﻲUُﺴﺪِ ُﻳ ْﻔU
ﻣَ ﺎUﻋَﻠ ُﻢ
ْ َأU UيUِن ّ ِإUل َ َﻗ ﺎU UَكUَ لUُ ُﻧ َﻘﺪﱢسU َوUَكUِﺤ ْﻤﺪ َ ِﺑ
ﻟَﺎ (30) Uَ َﺗ ْﻌَﻠﻤُﻮنU
/wa iź [qāla](a-REn-P3T-InV) [rabbu-ka](a) li-[al-malā'ikati](b) in-[nī](a-REn-P1T-InPr) jā'ilun fi
[al-ardi](c) [khalīfatan](d) [qālū](b-REn-P3P-InV) a [taj'alū](a-REn-P2T-InV) fī-[hā](c-REn-P3T-InPr)
man [yufsidu](d-REn-P3T-InV) fī [-ha](c-REn-P3T-InPr) wa [yasfiku](d-REn-P3T-InV) ad-dimā’a wa
[nahnu](b-REn-P1P-InPr) [nusabbihu](b-REn-P1P-InV) bi hamdi-[ka](a-REn-P2T-InPr) wa
[nuqaddisu](b-REn-P1P-InV) la-[ka](a-REn-21T-InPr) [qāla](a-REn-P3T-InV) in-[nī](a-REn-P1T-InPr)
[a'lamu](a-REn-P3T-InV) mā lā [ta'lamūna](b-REn-P2P-InV)/
‘Ingatlah ketika [Tuhanmu](a) berfirman kepada para [malaikat](b): "Sesungguhnya
Aku hendak menjadikan seorang [khalifah](d) di muka [bumi](c)". [Mereka](b)
berkata: "Mengapa [Engkau](a) hendak menjadikan (khalifah) di [bumi](c) itu
[orang](d) yang akan membuat kerusakan pada[-nya](c) dan menumpahkan darah,
padahal [kami](b) senantiasa bertasbih dengan memuji [Engkau](a) dan mensucikan
[Engkau](a)?" [Dia](a) berfirman: "Sesungguhnya [Aku](a) mengetahui apa yang
tidak [kamu](b) ketahui".’ (QS. Al-Baqarah: 30)
personal sebagai peranti kohesi, berkaitan dengan peran tutur (speech role) dan
bukan peran tutur (other role). Secara umum, dapat dikatakan bahwa seluruh
'Tuhanmu' (a) menjadi anteseden dari (1) pronomina pertama tunggal أﻧ ﺎ/ana/
'aku' yang terdapat dalam إ ّﻧ ﻲ/innī/ 'sesungguhnya Aku' (a-REn-P1T-InPr) dan
أﻋﻠ ﻢ/a'lamu/ 'Aku mengetahui' (a-REn-P1T-InV); (2) pronomina kedua tunggal
maskulin أﻧﺖ/anta/ 'engkau' dalam ﺗﺠﻌﻞ/taj'alu/ 'Engkau menciptakan' (a-REn-
/huwa/ 'dia' yang terdapat dalam ﻗ ﺎل /qāla/ 'Dia berkata' (a-REn-P3T-InV).
pronomina ketiga plural هﻢ /hum/ 'mereka' yang terdapat dalam ﻗ ﺎﻟﻮا /qālū/
(c) menjadi anteseden dari pronomina ketiga tunggal feminin ه ﻲ/hiya/ 'dia' yang
pengganti item leksikal lain adalah untuk meringkas ungkapan, tetapi bagi Givon
(1995) lebih dari itu. Hubungan antara pronomina tersebut dan antesedennya
referensial (Givon 1995: 344 dan 346). Meskipun demikian, dalam kasus seperti
ini, sulit bagi kita untuk membuktikan pendapat Givon (1995: 346), yaitu bahwa
acuan yang dimaksud oleh pronomina yang digunakan dalam teks tersebut
mengacu kepada representasi mental dan bukan kepada ungkapan yang terdapat di
dalam teks, sebab kita dapat dengan mudah menyesuaikan jenis dan atau jumlah
yang terdapat dalam pronomina dengan anteseden yang ditunjuknya. Oleh karena
itu, dapat juga kita sederhanakan bahwa, meskipun tidak menjadi satu-satunya
Hubungan semacam itu, seperti terdapat dalam contoh di bawah ini, juga
referensial antartema dalam surat Al-Baqarah, yaitu tentang orang munafik dan
Seperti juga berlaku bagi penafsiran terhadap ayat ke-30 surat Al-Baqarah
(a) dalam (2a). Peranti kohesi yang menghubungkan dua tema yang berbeda
dalam surat Al-Baqarah ini berguna dalam pemahaman karena menjadi dasar
koherensi referensial.
referensi anaforis dalam dua contoh di atas kebanyakan bersifat deiktis, yaitu
yang merujuk langsung pada situasi wacana (Renkema 2004: 121). Dalam contoh
(1) situasi dibangun melalui sudut pandang narator yang menceritakan sebuah
seperti ini, dalam cerita tersebut, pronomina أﻧ ﺎ /ana/ ‘Aku’ dan أﻧ ﺖ /anta/
mengacu secara deiktis kepada frasa رﺑ ﻚ /rabbuka/ ‘Tuhanmu’. Begitu pula
Kami beriman kepada Allah dan Hari kemudian", padahal mereka itu
sebelumnya, hubungan antara kedua bentuk ini bersifat langsung. Artinya, tidak
dua bentuk tersebut, sebab pronomina –hunna dalam ayat tersebut bersesuaian
Selanjutnya, untuk melihat lebih jelas hubungan antara peranti kohesi dan
pencapaian koherensi, dapat kita pertimbangkan dua hal: (1) tentang acuan yang
atau mengacu kepada sesuatu yang diabstraksikan dari teks; dan (2) apakah
penafsiran referensi dalam ketiga data di atas saja mampu menjelaskan maksud
dari ayat ini secara keseluruhan. Mengenai anteseden yang dirujuk oleh anafor
dalam teks atau kepada sesuatu yang di abstraksikan dari teks, dapat kita
Dalam (4) di atas, dapat kita lihat bahwa pronomina هﻮ/huwa/ 'dia' (a-REn-P3T-
bentuk huwa tidak mengacu kepada verba tukhfū secara langsung, melainkan
kepada konsep dasar yang terkandung dalam kata itu, yaitu اﺧﻔﺎء /ikhfā'/
inferensi yang dalam hal ini berfungsi sebagai hubungan non-otomatis (non-
automatic connection) (Brown dan Yule 1983: 258). Penafsiran seperti ini juga
dapat berlaku untuk memahami salah satu kemungkinan yang dimaksud oleh
P3T-InV) yang menurut Al-Khawarizmi (t.t.: 282) dapat mengacu kepada ikhfā’u
karena itu, meskipun sebagai peranti kohesi anafora dalam ayat ini mampu
merekatkan hubungan antarbagian ungkapan, tetapi hal ini kurang dapat memberi
Selain dapat mengacu kepada suatu hal yang diabstraksikan dari kata,
penggunaan pronomina secara anaforis kadang juga mengacu kepada apa yang
diabstraksikan dari kalimat. Hal ini dapat dilihat dalam penafsiran hubungan
Seperti dapat kita lihat dalam (5) di atas, bentuk ـﻬﺎ/–hā/ '-nya' (a-REn-P3T-InPr)
'sesudahnya' tidak mengacu kepada kata tertentu yang terdapat dalam teks,
melainkan kepada konstituen yang lebih besar dari kata, yaitu ungkapan ﻦ
َ اﱠﻟﺬِﻳ
ﻦ
َ ﺳﺌِﻴ
ِ ﺖ ﻓَ ُﻘ ْﻠﻨَﺎ َﻟ ُﻬ ْﻢ آُﻮﻧُﻮا ِﻗ َﺮ َد ًة ﺧَﺎ
ِ ﺴ ْﺒ
ﻋﺘَﺪَوْا ِﻣ ْﻨ ُﻜ ْﻢ ﻓِﻲ اﻟ ﱠ
ْا /allaźīna i'tadaw
melanggar di antaramu pada hari Sabtu, lalu Kami berfirman kepada mereka:
Jadilah kamu kera yang hina' (a). Seperti juga terdapat dalam hubungan antara
huwa dan tukhfū pada (4), hubungan antara bentuk –hā dalam ja’alnāhā ‘Kami
hari Sabtu, lalu Kami berfirman kepada mereka: Jadilah kamu kera yang hina’
tidak bersifat langsung. Hubungan anaforis antara kedua bentuk tersebut kita
dan Yule (1983) mengenai asal acuan dalam referensi, dapat juga kita lihat
analisis terhadap anafor yang bukan mengacu kepada anteseden yang dinyatakan
secara jelas, melainkan juga kepada hal tersirat yang diisyaratkan cukup jelas oleh
Seperti dapat dilihat dalam (6) di atas, bentuk ـ ﻪ/–hi/ '-nya' (a-REn-P3T-InPr)
pada اﻟﻴ ﻪ/ilayhi/ 'kepadanya' pada dasarnya mengacu kepada frasa أﺧﻴ ﻪ/akhīhi/
–hi '-nya' dan akhīhi ‘saudaranya’ sebagai anteseden tidak sesederhana itu. As-
Suyūti (t.t.a: 188) menyatakan bahwa bentuk –hi tersebut mengacu kepada sesuatu
kepada apa yang dikomunikasikan secara tersirat dalam man 'ufiya lahu. Dengan
kata lain, dibutuhkan inferensi logis, yang dalam hal ini berfungsi sebagai missing
link, terhadap apa yang terkandung dalam man 'ufiya lahu untuk dapat
menafsirkan hubungan antara –hi dalam ilayhi ‘kepadanya’ dan anteseden yang
ditunjuknya.
Apa yang dimaksud oleh Givon (1995: 346) dan Brown dan Yule (1983:
200) tentang hubungan antara anafor dan acuannya yang terdapat dalam
representasi mental ini, akan lebih jelas jika kita menganalisis hubungan anaforis
(7) ن
ْ ﻞ َﻟ ُﻜ ْﻢ َأﺤ ﱡ ِ ﺣﺴَﺎنٍ وَﻟَﺎ َﻳ ْ ِﺢ ﺑِﺈ
ٌ ﺴﺮِﻳ ْ ف َأ ْو َﺗ ٍ ك ِﺑ َﻤ ْﻌﺮُو ٌ ن َﻓِﺈ ْﻣﺴَﺎ ِ ق َﻣ ﱠﺮﺗَﺎ
ُ ﻄﻠَﺎ
اﻟ ﱠ
ﺧ ْﻔ ُﺘ ْﻢ
ِ ن ْ ﺣﺪُو َد اﻟﱠﻠ ِﻪ َﻓِﺈ ُ ن َﻳﺨَﺎﻓَﺎ أَﻟﱠﺎ ُﻳﻘِﻴﻤَﺎ ْ ﺷ ْﻴﺌًﺎ إِﻟﱠﺎ َأ َ ﻦ ﺧﺬُوا ِﻣﻤﱠﺎ ءَا َﺗ ْﻴ ُﺘﻤُﻮ ُه ﱠ ُ َﺗ ْﺄ
ﺣ ﺪُو ُد اﻟﱠﻠ ِﻪ َﻓَﻠ ﺎ ُ ﻚ َ ت ِﺑ ِﻪ ِﺗ ْﻠ
ْ ﻋَﻠ ْﻴ ِﻬﻤَﺎ ﻓِﻴﻤَﺎ ا ْﻓ َﺘ َﺪ َ ح َ ﺟﻨَﺎُ ﺣﺪُو َد اﻟﱠﻠ ِﻪ ﻓَﻠَﺎ ُ أَﻟﱠﺎ ُﻳﻘِﻴﻤَﺎ
ن
ْ ( َﻓ ِﺈ229) َﻚ ُه ُﻢ اﻟﻈﱠ ﺎﻟِﻤُﻮن َ ﺣ ﺪُو َد اﻟﱠﻠ ِﻪ َﻓﺄُوَﻟ ِﺌ ُ ﻦ َﻳ َﺘ َﻌ ﱠﺪ ْ َﺗ ْﻌ َﺘ ﺪُوهَﺎ َو َﻣ
ﺟﺎ ً َز ْوUَ َﺗ ْﻨ ِﻜﺢU ﺣ ﱠﺘ ﻰ َ ﻦ َﺑ ْﻌ ُﺪ ْ ِﻣUُﻩUَ لUﺤ ﻞﱡ ِ َﺗU َﻓَﻠ ﺎUهَ ﺎUَﻃﱠﻠ ﻖ َ
Uﺟ َﻌ ﺎ َ َﻳ َﺘﺮَاU ن ْ َأU ِه َﻤ ﺎUﻲ ْ ﻋَﻠ َ ح َ ﺟ َﻨ ﺎ
ُ َﻓَﻠ ﺎUهَﺎUَﻃﱠﻠﻖ َ ن ْ َﻓِﺈUُﻩUَﻏ ْﻴﺮ َ
Uَ ُﻳﻘِﻴﻤَﺎU ن ْ َأUﻇﻨﱠﺎ َ Uن ْ ﺣ ﺪُو ُد اﻟﱠﻠ ِﻪ ُﻳ َﺒ ﱢﻴ ُﻨ َﻬ ﺎ ِﻟ َﻘ ْﻮ ٍم ِإ ُ ﻚ
َ ﺣ ﺪُو َد اﻟﱠﻠ ِﻪ َو ِﺗ ْﻠ ُ
(230) ن َ َﻳ ْﻌَﻠﻤُﻮ
/[at-talāq marratāni fa imsākun bi ma'rūfin aw tasrīhun bi ihsānin](a) wa lā yahillu
lakum an ta'khuźū mimmā ātaytumūhunna syay'an illā an [yakhāfā](a-REn-P3D-InV) allā
[yuqīmā](a-REn-P3D-InV) hudūda allāhi fa in khiftum allā yuqīmā hudūda allāhi fa lā
junāha 'alay[-himā](a-REn-P3D-InPr) fīmā [iftadat](a1-REn-P2P-InPr) bihi tilka hudūdu allāhi
fa lā ta'tadūhā wa man yata'addā hudūda allāhi fa ulā'ika hum az-zālimūna. fa in
[tallaqa](a2-REn-P3T-InV)[-hā](a1-REn-P3T-InPr) fa lā tahillu la[-hu](a2-REn-P3T-InPr) min ba'du
hattā [tankiha](a1-REn-P3T-InV) zawjan gayra[-hu](a2-REn-P3T-InPr) fa in tallaqa[-hā](a1-REn-
P3T-InPr) fa lā junāha 'alay[-hima](a-REn-P3D-InPr) an [yatarāj'ā](a-REn-P3D-InV) in [zannā](a-
REn-P3D-InV) an [yuqīmā](a-REn-P3D-InV) hudūda allāhi wa tilka hudūdu allāhi
yubayyinuha li qawmin ya'lamūna/
‘[Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara
yang ma`ruf atau menceraikan dengan cara yang baik](a). Tidak halal bagi kamu
mengambil kembali dari sesuatu yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali
kalau [keduanya](a) khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah.
Jika kamu khawatir bahwa [keduanya (suami isteri)](a) tidak dapat menjalankan
hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas [keduanya](a) tentang bayaran yang
diberikan oleh [isteri](a1) untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka
janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah
mereka itulah orang-orang yang zalim. Kemudian jika si [suami](a2) mentalak[-
nya](a1) (sesudah talak yang kedua), maka [ia](a1) tidak halal lagi bagi[-nya](a2)
hingga [dia](a1) kawin dengan suami yang lain. Kemudian jika ia (suami yang lain)
menceraikan[-nya](a1), maka tidak ada dosa bagi [mereka](a) (bekas suami pertama
dan isteri) untuk kawin kembali jika [mereka](a) berpendapat akan dapat
Dalam (7) di atas, dapat dilihat lebih jelas bahwa anafor-anafor yang terdapat
dalam ayat tersebut tidak memiliki anteseden yang terdapat secara verbal. Namun
yang terdapat dalam ayat ke-230 ini terikat dengan bentuk ن
ِ ق َﻣ ﱠﺮ َﺗ ﺎ
ُ اﻟﻄﱠَﻠ ﺎ
ن
ٍ ﺣ ﺴَﺎ
ْ ﺢ ِﺑِﺈ
ٌ ﺴﺮِﻳ
ْ ف َأ ْو َﺗ
ٍ ك ِﺑ َﻤ ْﻌ ﺮُو
ٌ ﻓَﺈِ ْﻣ ﺴَﺎ /at-talāq marratāni fa imsākun bi
ma'rūfin aw tasrīhun bi ihsānin/ 'talak (yang dapat dirujuki) dua kali: setelah itu
boleh rujuk lagi dengan cara yang ma`ruf atau menceraikan dengan cara yang
baik' (a). Pronomina ketiga dual هﻤ ﺎ/humā/ 'mereka (dual)' yang terdapat dalam
ﻳﺨﺎﻓ ﺎ /yakhāfā/ 'mereka (dual) khawatir' (a-REn-P3D-InV), ﻳﻘﻴﻤ ﺎ /yuqīmā/
mereka berdua' dalam ayat ke-229 surat Al-Baqarah, karena terikat dengan konsep
"dua kali talak yang dapat dirujuk", mengacu kepada suami-istri yang terkait
orang ketiga ه ﻲ/hiya/ 'dia (feminin)' yang terdapat dalam ﻃﻠﻘﻬ ﺎ/tallaqahā/ 'dia
dua kali menalak” dan “istri yang sudah dua kali ditalak”. Dengan demikian,
meskipun yang dimaksud adalah wanita yang sama, perwujudan selanjutnya hiya
ditalak tiga”. Begitu pula pronomina ه ﻮ/huwa/ 'dia (maskulin)' yang diwujudkan
dengan ـ ﻪ/–hu/ dalam ﻟ ﻪ/lahu/ 'untuknya' (a2-REn-P3T-InPr) dan dalam ﻏﻴ ﺮﻩ
menalak istrinya tiga kali. Selanjutnya, perwujudan huwa dan hiya yang terdapat
pada kata tallaqahā 'dia menalaknya' yang kedua juga memiliki anteseden tidak
sepenuhnya sama dengan sebelumnya. Bentuk –hā yang pertama mengacu kepada
"istri yang telah ditalak dua kali," sedangkan yang kedua menunjuk kepada "istri
yang telah ditalak tiga kali dan menikah dengan laki-laki lain." Hal ini juga
berlaku pada penafsiran pronomina orang ketiga dual huma dalam ﻋﻠﻴﻬﻤ ﺎ
/'alayhima/ 'bagi mereka (dual)' (a-REn-P3D-InV), ﻳﺘﺮاﺟﻌ ﺎ/yatarāja'ā/ 'mereka
(dual) rujuk' (a-REn-P3D-InV), ﻇﻨﺎ/zannā/ 'mereka (dual) mengira' (a-REn-P3D-
suaminya tiga kali, menikah dengan laki-laki lain, dan telah bercerai dari laki-laki
tersebut".
dapat lebih jelas jika kita mempertimbangkan fungsi anafora dalam pemahaman
(8) ﺚ َوَﻟ ﺎ
َ ﺞ ﻓَﻠَﺎ َر َﻓ
ﺤﱠَ ا ْﻟU ِهﻦﱠUض ﻓِﻲ
َ ﻦ َﻓ َﺮ
ْ َﻓ َﻤUت
ٌ ﺷ ُﻬ ٌﺮ ﻣَ ْﻌﻠُﻮﻣَﺎ
ْ َأU ﺞ
ﺤﱡَ ا ْﻟ
ل ﻓِﻲ
َ ﺟﺪَا
ِ ق وَﻟَﺎَ ُﻓﺴُﻮ (197) --- ﺞ ﺤﱢ
َ ا ْﻟ
/al-hajju [asyhurun ma'lūmātun](a) fa man farada fī[-hinna](a-REn-P3P-InPr) al-hajja fa
lā rafaśa wa lā fusūqa wa lā jidāla fi al-hajji ---/
Serupa dengan anafora dalam (1), (2), (3) yang saya bahas sebelum ini, hubungan
antara اﺷ ﻬﺮ ﻣﻌﻠﻮﻣ ﺎت /asyhur ma’lūmāt/ ‘bulan-bulan tertentu’ (a) dan
haji. Akan tetapi, penjelasan terhadap hubungan tersebut tidaklah memadai untuk
dapat memperlihatkan bahwa yang dimaksud oleh ungkapan tersebut bukan hanya
pemahaman, dengan cara terbalik (mafhūm mukhālafah), bahwa ibadah haji tidak
dapat dilakukan pada lain waktu yang tidak dimaksud frasa asyhur ma’lūmāt
mempermasalahkan dua hal dalam teori kohesi yang dikemukakan oleh Halliday
dan Hasan (1976): (1) dalam hal kemampuan kohesi untuk memperlihatkan
Brown dan Yule (1983) bahwa peranti kohesi dalam hal ini tidak mampu
memperlihatkan jaringan teks seperti yang dimaksud oleh Halliday dan Hasan
(1976), sebab peranti tersebut tidak menghubungkan apa yang terdapat dalam teks
secara eksplisit dan pasti, melainkan melalui perantaraan inferensi logis pikiran
kita terhadap kandungan isi teks secara keseluruhan. Namun demikian, bagi saya
teks apapun kita selalu menghidupkan setiap elemennya terlebih dahulu dalam
pikiran kita. Jadi, dengan memperhatikan bahwa referensi yang dimaksud oleh
Halliday dan Hasan (1976) berbeda dari konsep referensi yang digunakan secara
umum dalam hal kedefinitan acuannya, pembedaan edofora dan eksofora, bagi
saya, lebih berkaitan dengan sumber asal acuannya yang dapat kita cari di dalam
teks atau harus kita cari di luar teks. Pembahasan tentang hal ini saya akan
Meskipun dalam contoh (4), (5), (6), (7), dan (8) referensi endoforis
kurang berperan dalam pemahaman, tidak dapat dikatakan bahwa hal itu sama
pronomina personal secara berulang dalam bahasa Arab kadang sangat terkait
(9) Uﻞ
ْ َﺗ َﻘ ﱠﺒU U َر ﱠﺑ َﻨ ﺎU ﻞ
ُ ﺳ ﻤَﺎﻋِﻴ
ْ ِﺖ وَإ
ِ ﻦ ا ْﻟ َﺒ ْﻴ
َ ﻋ َﺪ ِﻣ
ِ َوِإ ْذ َﻳ ْﺮ َﻓ ُﻊ ِإ ْﺑﺮَاهِﻴ ُﻢ ا ْﻟ َﻘﻮَا
ﺴﻤِﻴ ُﻊ اﻟ ﱠUََأ ْﻧﺖU UَكUَِّﻣﻨﱠﺎ ِإن (127) ا ْﻟ َﻌﻠِﻴ ُﻢ
/wa iź yarfa'u ibrāhīmu al-qawā'ida min al-bayti wa ismā'īlu [rabbanā](a) taqabbal
minnā inna[-ka](a-REn-P2T-InPr) [anta](a-REn-P2T-InPr) as-samī'u al-'alīmu/
‘Dan (ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar Baitullah
bersama Ismail (seraya berdo`a): "Ya [Tuhan kami] terimalah daripada kami
(amalan kami), sesungguhnya [Engkau]-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui".’ (QS. Al-Baqarah: 127)
Dalam (9) di atas, dapat dilihat bahwa bentuk ـ ﻚ/–ka/ 'Engkau' dan أﻧ ﺖ/anta/
'Engkau' (a-REn-P2T-InPr) adalah dua pronomina orang kedua tunggal yang
mengacu kepada anteseden yang sama, yaitu رﺑﻨ ﺎ/rabbanā/ 'Tuhan kami', yang
ayat ke-127 surat Al-Baqarah ini juga tidak sulit, sebab, seperti juga anafora yang
terdapat dalam ayat ke-30 surat Al-Baqarah yang saya bahas sebelumnya, anafor
dalam antarbentuk tersebut juga dapat ditentukan secara mudah melalui hubungan
anaforis. Lebih dari itu, pengulangan ini dapat berfungsi untuk memperjelas
predikasi kalimat dan penegasan (ta'kīd) (As-Suyuti t.t.a: 189). Jadi, selain
kohesi dalam (9) di atas juga berguna membantu pemahaman maksud tertentu
ini.
(10) ن ِﺑ ِﻪ
َ ُﻳ ْﺆ ِﻣ ُﻨ ﻮUﻚ
َ أُوَﻟ ِﺌU Uﻖ ِﺗﻠَﺎ َو ِﺗ ِﻪ
ﺣﱠ
َ ب َﻳ ْﺘﻠُﻮ َﻧ ُﻪ
َ ﻦ ءَا َﺗ ْﻴﻨَﺎ ُه ُﻢ ا ْﻟ ِﻜﺘَﺎ
َ اﱠﻟﺬِﻳU
Uَأُوَﻟ ِﺌﻚUَ فUِﻦ َﻳ ْﻜ ُﻔ ْﺮ ِﺑﻪْ َﻣUَو (121) ن َ ﺳﺮُو ِ ُه ُﻢ ا ْﻟﺨَﺎ
/[allaźīna ātaynāhum al-kitāba yatlūnahu haqqa tilāwatihi](a)B [ulā'ika](a-REn-D)
yu'minūna bihi wa [man yakfur bihi](b) fa [ulā'ika](b-REn-D) hum al-khāsirūna/
‘[Orang-orang yang telah Kami berikan Al Kitab kepadanya](a), mereka
membacanya dengan bacaan yang sebenarnya, mereka [itu](a) beriman kepadanya.
Dan [barangsiapa yang ingkar kepadanya](b), maka mereka [itulah](b) orang-orang
yang rugi.’ (QS. Al-Baqarah: 121)
Dalam (10) di atas, dapat dipahami bahwa hubungan antara أوﻟﺌ ﻚ/ulā'ika/ 'itulah
yang sama seperti yang telah dilakukan di atas juga berlaku bagi penafsiran
terhadap koherensi referensial dalam ayat ini. Selain itu, dalam (10) terdapat
bentuk هﻢ /hum/ ‘mereka’ yang mengikuti ulā’ika ‘itulah’ yang berfungsi
memperjelas predikasi dan menegaskan. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa
dalam ayat itu dan dengan begitu dapat juga kita persoalkan pendapat Brown dan
reference) yang secara umum dapat dibagi berdasarkan kategori umum (general)
atau deiktis (deictic) dan sebagian (particular) atau nondeiktis (non-deictic). Yang
equal, dan identical), kesamaan atau similarity (misalnya such similar dan
more mistakes dan many mistakes) dan kualitas atau ephitet (misalnya more
difficult dan easier) (Halliday dan Hasan 1976: 76). Dalam surat Al-Baqarah,
referensi yang menggunakan perbandingan dapat dilihat dalam ayat di bawah ini.
‘[Ayat mana saja] yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa
kepadanya, Kami datangkan [yang lebih baik daripadanya] atau yang [sebanding
dengannya].’ (Al-Baqarah: 106)
Dalam (11) di atas, referensi yang menggunakan perbandingan dapat dilihat dalam
hubungan antara أﻳﺔ/āyah/ 'ayat' dan ﻣﻨﻬﺎ ﺧﻴﺮ/khayr minhā/ 'lebih baik darinya'
dan dengan ﻣﺜﻠﻬ ﺎ/miślihā/ 'sebanding dengannya'. Hubungan ini memperlihatkan
hubungan referensi yang mengacu kepada kumpulan yang sama antara āyah 'ayat'
dan ﻣﺜﻠﻬ ﺎ/miślihā/ 'sebanding dengannya' dan ﺧﻴ ﺮ ﻣﻨﻬ ﺎ/khayr minhā/ 'lebih
baik darinya', yaitu أﻳ ﺎت /āyāt/ 'ayat-ayat'. Yang diperbandingkan melalui
referensi di atas adalah kualitas yang terdapat dalam ayat-ayat yang saling
menghapus. Hal ini dapat kita ketahui dari penggunaan adjektiva komparatif
memperlihatkan perbandingan kualitas juga dapat dilihat dalam ayat ke-96 surat
Al-Baqarah berikut.
Dapat dilihat dalam (12) bahwa bentuk ـ ﻬﻢ/-hum/ 'mereka' (a) yang mengacu
kepada اﻟﻜﺘﺎب اهﻞ/ahl al-kitāb/ 'Ahli Kitab' berhubungan dengan bentuk اﻟﺬﻳﻦ
اﺷ ﺮآﻮا /allaźīna asyrakū/ 'orang-orang musyrik' (a-RP) dalam hal mencintai
kepada kumpulan yang sama, yaitu berdasarkan “kualitas sifat cinta terhadap
dunia”, sebab Ahli kitab dan orang Musyrik pada dasarnya adalah dua kelompok
yang berbeda. Hal ini dapat kita pahami melalui bentuk أﺣ ﺮص اﻟﻨ ﺎس ﻋﻠ ﻰ
ﺣﻴ ﺎة/ahras an-nāsi 'alā hayātin/ 'manusia yang paling cinta terhadap dunia' dan
penggunaan konjungtor و/wa/ ‘bahkan’ yang menunjukkan relasi pengutamaan.
Atas dasar itu, dapat kita kita katakan bahwa referensi perbandingan turut juga
menentukan pemahaman kita terhadap kandungan ayat ini secara keseluruhan dan
pada ayat ke-106 yang saya bahas dalam (12), dapat juga dilihat dalam ayat di
bawah ini.
(13) ﻋ َﺘ ﺪَى
ْ ﻦا
ِ َﻣUف َ ص ٌ ت ِﻗ ﺼَﺎ ُ ﺤ ُﺮ َﻣ ﺎ
ُ ﺤ ﺮَا ِم وَا ْﻟ
َ ﺸ ْﻬ ِﺮ ا ْﻟ
ﺤ ﺮَا ُم ﺑِﺎﻟ ﱠ
َ اﻟﺸﱠ ْﻬ ُﺮ ا ْﻟ
U ﻋ َﺘﺪُوا ْ اUَ فUْﻋَﻠ ْﻴ ُﻜﻢ َ Uﻋَﻠ ْﻴ ُﻜ ْﻢ َ ﻋ َﺘ ﺪَى ْ ﻞ ﻣَ ﺎ ا ِ ِﻣ ْﺜUبِ Uِﻋَﻠ ْﻴﻪ َU
(194) ﻦ َ ن اﻟﱠﻠ َﻪ َﻣ َﻊ ا ْﻟ ُﻤ ﱠﺘﻘِﻴ
ﻋﻠَﻤُﻮا َأ ﱠ
ْ وَاﺗﱠﻘُﻮا اﻟﱠﻠ َﻪ وَا
/asy-syahru al-harāmu bi asy-syahri al-harāmi wa al-hurumātu qisāsun fa [man
i'tadā 'alaykum](a) fa [i'tadū 'alayhi](a-RP) bi [miśli mā i'tadā 'alaykum](a-RP) wa ittaqū
allāha wa i'lamū anna allāha ma'a al-muttaqīna/
‘Bulan haram dengan bulan haram, dan pada sesuatu yang patut dihormati, berlaku
hukum qishaash. Oleh sebab itu [barang siapa yang menyerang kamu], maka
[seranglah ia], [seimbang dengan serangannya terhadapmu]. Bertakwalah kepada
Allah dan ketahuilah, bahwa Allah beserta orang-orang yang bertakwa.’ (QS. Al-
Baqarah: 194)
Seperti dapat kita lihat dalam (12) di atas, bentuk ﻣﺜ ﻞ ﻣ ﺎ اﻋﺘ ﺪى ﻋﻠ ﻴﻜﻢ/miśli
mā i'tadā 'alaykum/ ‘seimbang dengan serangannya terhadapmu’ menyatakan
kualitas serangan yang terkandung dalam bentuk ﻋﻠ ﻴﻜﻢ ﻣ ﻦ اﻋﺘ ﺪى/man i'tadā
'alaykum/ 'orang yang menyerang kalian' sekaligus kualitas serangan dari yang
terkandung dalam اﻋﺘ ﺪوا ﻋﻠﻴ ﻪ/i'tadū 'alayhi/ 'seranglah ia'. Kata miśl di sini
membatasi kualitas serangan dalam اﻋﺘ ﺪوا ﻋﻠﻴ ﻪ/i'tadū 'alayhi/ 'seranglah ia'
setingkat dengan yang terdapat dalam ﻣ ﻦ اﻋﺘ ﺪى ﻋﻠ ﻴﻜﻢ/man i'tadā 'alaykum/
'orang yang menyerang kalian'. Jadi, serupa dengan referensi komparatif di atas,
dalam kasus ini dua serangan yang dimaksud dalam dua ungkapan di atas
yang seimbang. Jika interpretasi semacam ini dapat diterima, maka hubungan
dari itu, bersama bentuk lain, penggunaan miśl sebagai pembanding dalam ayat ini
juga turut membantu pemahaman ayat tentang aturan perang tersebut. Dengan
4.1.1.2 Eksofora
yang dapat kita cari di dalam teks atau harus kita cari di luar teks, pembedaan
(1995) dan dasar kritik yang dikemukakan oleh Brown dan Yule (1983: 200)
endofora dan eksofora. Atas dasar itu, seperti juga telah saya jelaskan dalam
(3.2.1.1), referensi persona yang terkait dengan peran tutur (speech role), jika
tidak terdapat referen yang terdapat secara verbal dalam teks dan tidak terdapat
kaitan langsung antara pembaca dan peristiwa yang terdapat dalam teks, dianggap
digunakan 42 kali dalam surat Al-Baqarah, 15 kali melalui infleksi pronomina dan
Dalam (14), pronomina kedua أﻧﺖ/anta/ ‘kamu’ yang diwujudkan dalam bentuk
ـﻚ/–ka/ ‘-mu’ dalam UَكUَﺴَﺄﻟُﻮن
ْ َﻳ/yas’alūnaka/ ‘mereka bertanya kepadamu’
dan dalam verba ﻓﻞ /qul/ ‘katakanlah’ adalah eksofor yang merujuk kepada
pertanyaan Umar bin Khattab, Mu’āź bin Jabal, dan seorang sahabat dari
minuman keras dan judi (Az-Zuhayli 2004a: 640). Berbeda dari penafsiran
terhadap hubungan anaforis dalam (1), (2), dan (3) yang telah saya ulas dalam
(4.1.1.1), acuan dari pronomina orang kedua anta 'engkau' yang terdapat dalam
yas’alūnaka ‘mereka bertanya kepadamu’ dan qul 'katakanlah' tidak dapat kita
cari atau kita simpulkan melalui petunjuk kata yang terdapat di dalam teks, tetapi
harus kita cari di luar teks. Oleh karena itu, meskipun Halliday dan Hasan (1976)
bahwa hubungan referensial dalam ayat tersebut adalah eksofora. Hal ini
disebabkan oleh dua hal: (1) petutur yang dimaksud oleh teks tersebut hanya
mungkin mengacu kepada Muhammad saw. sebagai penerima wahyu, dan hal itu
tidak terdapat dalam teks; dan (2) berbeda dengan situasi ketika teks ini
diturunkan, pembaca ayat ini sekarang tidak terlibat langsung dalam peristiwa
tutur.
Dengan kata lain, pronomina orang kedua anta ‘engkau’ dalam qul
‘katakanlah’ di atas dapat bersifat endoforis hanya jika kita adalah Muhammad
atau jika kita terlibat langsung dalam peristiwa tutur tersebut. Lebih dari itu,
dengan memahami bahwa kita tidak terkait dengan penggunaan pronomina orang
kedua tersebut sebagai speech-role, dapat dipahami bahwa kita sebagai pembaca
teks juga tidak terikat secara langsung dengan kewajiban untuk melaksanakan
perintah yang terdapat dalam ayat tersebut. Jadi, berbeda dengan sifat deiktis yang
dimiliki pronomina dalam (1) dan (2), keterputusan dunia pembaca dengan
peristiwa yang terdapat dalam (14) di atas menjadikan penafsiran terhadap elemen
deiktis sulit dilakukan tanpa bantuan pengetahuan. Oleh karena itu, patut kita
pertimbangkan kritik Brown dan Yule () tentang fungsi kohesi dalam identifikasi
teks.
Penafsiran semacam ini juga berlaku bagi referensi dalam ayat di bawah
ini.
(15) ن
ِ ﻦ دُو
ْ ﺼ ًﺔ ِﻣ َ ﻋ ْﻨ َﺪ اﻟﱠﻠ ِﻪ ﺧَﺎِﻟ
ِ ﺧ َﺮ ُة
ِ اﻟ ﺪﱠا ُر ا ْﻟ ﺂU ُآ ُﻢUل َ ﺖ ْ ن آَﺎ َﻧ
ْ ِإUْ ُﻗﻞU
ت
َ ا ْﻟ َﻤ ْﻮU َﻓ َﺘ َﻤ ﱠﻨﻮُاU س
ِ اﻟﻨﱠﺎ (94) ﻦ َ ﺻَﺎ ِدﻗِﻴUْ ُﺗﻢUْن آُﻦ ْ ِإ
/[qul](a-REk-P2T-InV) in kānat la[-kum](b-REn-P2P-InPr) ad-dāru al-ākhiratu khālisatan min
dūni an-nāsi fa [tamannaw](b-REn-P2P-InV) al-mawta in kun[-tum](b-REk-P2P-InV) sādiqīna/
‘[Katakanlah](a): "Jika [kamu](b) (menganggap bahwa) kampung akhirat (surga) itu
khusus untuk[-mu](b) di sisi Allah, bukan untuk orang lain, maka inginilah kematian
(mu), jika [kamu](b) memang benar.’ (QS. Al-Baqarah: 94)
Serupa dengan penafsiran terhadap eksofora dalam (14), dalam (15), dapat dilihat
bahwa pronomina orang kedua أﻧ ﺖ/anta/ 'engkau' yang tersirat dalam ﻗ ﻞ/qul/
'katakanlah' (a-REk-P2T-InV) juga tidak memiliki anteseden yang terdapat secara
verbal di dalam teks. Karena acuan yang dimaksud dalam ayat ini sama dengan
ayat yang saya ulas sebelumnya, referensi dalam (15) juga dapat dikategorikan
Dapat saya sebutkan di sini bahwa ayat ini ditujukan kepada Nabi
Zuhayli 2004: 252). Oleh karena itu, perwujudan pronomina antum 'kalian' dalam
bentuk-bentuk yang telah saya sebut di atas, dapat kita hubungkan dengan frasa
Bani Israil pada ayat-ayat sebelumnya yang merupakan golongan Ahli Kitab yang
pertama dan secara historis memiliki keterkaitan dengan agama Yahudi. Dalam
hal ini, pronomina antum dan frasa Bani Israil dalam rangkaian ayat yang
membicarakan Yahudi dan Bani Israil kebanyakan adalah metonimi, yaitu bahwa
Allah mengemukakan sejarah Bani Israil untuk memberi pelajaran bagi umat
Islam tentang perilaku umat Yahudi pada umumnya: Allah menyebut Bani Isra’il
untuk menyebut Yahudi. Hal ini dapat dibuktikan dengan penggunaan pronomina
أﻧ ﺘﻢ/antum/ 'kalian' dan ه ﻢ/hum/ 'mereka' yang mengacu bukan hanya kepada
Bani Israil, melainkan juga kepada Yahudi kota Madinah. Oleh karena itu,
pronomina orang kedua plural yang mengacu kepada Yahudi di kota Madinah
Hal tersebut dapat dipahami juga dari penggunaan pronomina orang kedua
sebagai endofora dalam ayat ke-35 surat Al-Baqarah berikut, yaitu antara
pronomina orang kedua tunggal أﻧ ﺖ /anta/ ‘kamu’ dalam اﺳ ﻜﻦ /uskun/
Selain itu, terdapat juga eksofora dalam surat Al-Baqarah yang tidak
siyāq atau śiqah bi fahm as-sāmi’). Hal itu terlihat, misalnya, dalam (14) berikut.
Dalam (17) di atas, dapat kita lihat bahwa pronomina –hā '-nya' (REk-P3T-InPr)
dalam ﻓﻴﻬ ﺎ/fīhā/ 'di dalamnya' tidak memiliki anteseden yang dinyatakan secara
jelas di dalam teks, yaitu ﻧ ﺎر/nār/ 'neraka'. Referensi semacam ini dapat disebut
eksofora. Sebab, nār sebagai antesedennya tidak disebutkan dan tidak dapat
disimpulkan melalui bentuk tertentu seperti halnya terdapat dalam ayat ke-230
dalam (4.1.1.1). Penafsiran bentuk hā sebagai eksofor yang menunjuk kepada nār
menghubungkan bentuk –hā tersebut dengan اﻟﻌ ﺬاب /al-'aźāb/ 'siksa' (Givon
1995: 363-364). As-Suyūti (t.t.a: 189) dan Al-Qattān (1995: 187) mengemukakan
bahwa penggunaan pronomina secara eksoforis dalam kasus seperti ini biasanya
tidak dibutuhkan. Atas dasar itu, kita dapat juga mengatakan bahwa koherensi
referensial antara –hā ‘-nya’ dan nār ‘neraka’ dalam ayat ke-162 surat Al-Baqarah
tersebut tidak dicapai secara “cuma-cuma”, melainkan melalui petunjuk kosa kata
lain yang terdapat di dalamnya (vocabulary cued). Hal itu dapat juga berarti
tersebut saja, melainkan kepada pengetahuan kita dan kepada petunjuk kosakata
usaha memahami maksud yang dikehendaki oleh teks secara umum, melainkan
juga dalam melihat hubungan antara eksofor dan anteseden yang diacunya.
4.1.2 Substitusi
Berdasarkan apa yang telah saya kemukakan dalam (3.2.1.2), mengikuti Brown
dan Yule (1983: 193) yang membedakan substitusi (substituted form) dari
klausal (clausal substitution), (Halliday dan Hasan 1976: 89-91, Halliday 1985:
298-301).
Halliday dan Hasan (1976) dan Brown dan Yule (1983) dalam hal substitusi
sebagai peranti kohesi berkaitan dengan asal hubungan kohesifnya. Halliday dan
Hasan (1976: 88) mengategorikan substitusi sebagai kohesi yang didasarkan atas
keterkaitan bentuk (relatedness of form), sedangkan Brown dan Yule (1983: 193)
kepada ungkapan tertentu yang terdapat dalam teks atau mengacu kepada sesuatu
sebagai peranti kohesi yang mewujudkan jaringan teks digunakan sebanyak tujuh
kali: tiga kali substitusi nominal, empat kali substitusi klausal. Substitusi nominal
dalam surat Al-Baqarah terdapat, antara lain, dalam ayat ke-116 surat Al-Baqarah
berikut.
(18) Uض
ِ ﻣَ ﺎ ِﻓ ﻲ اﻟ ﺴﱠﻤَﻮَاتِ وَا ْﻟ َﺄ ْرU ﻞ َﻟ ُﻪ
ْ ﺳ ْﺒﺤَﺎ َﻧ ُﻪ َﺑ
ُ ﺨ َﺬ اﻟﱠﻠ ُﻪ َوَﻟﺪًا
َ وَﻗَﺎﻟُﻮا ا ﱠﺗ
َﻟ ُﻪ ﻗَﺎ ِﻧﺘُﻮنU ُآﻞﱞU (116)
/wa qālū ittakhaźa allāhu waladan subhānahu bal lahu [mā fi as-samāwāti wa al-
ardi](a) [kullun](a-S) lahu qānitūna/
‘Mereka (orang-orang kafir) berkata: "Allah mempunyai anak". Maha Suci Allah,
bahkan [apa yang ada di langit dan di bumi](a) adalah kepunyaan Allah; [semua](a)
tunduk kepada-Nya.’ (QS. Al-Baqarah: 116)
bentuk آ ﻞ/kull/ 'semua' (a-S). Hubungan ini adalah kohesi yang dicapai melalui
substitusi. Sebab, penafsiran terhadap kull dalam (18) ini mengacu kepada bentuk
referensial. Lebih dari itu, perlu dikemukakan di sini bahwa kata kull ‘semua’
dalam ayat ini merupakan peranti yang menekankan “keumuman makna” (‘ām)
yang dikandung ayat tersebut. Oleh karena itu, selain menjadi peranti kohesi,
substitusi nominal yang terdapat dalam ayat ke-285 surat Al-Baqarah berikut.
(19) Uﻞ
ُآ ﱞU Uن َ ا ْﻟ ُﻤ ْﺆ ِﻣ ُﻨ ﻮUﻦ َر ﱢﺑ ِﻪ َو ْ ل ِإَﻟ ْﻴ ِﻪ ِﻣ
َ ِﺑﻤَﺎ ُأ ْﻧ ِﺰUُاﻟ ﱠﺮﺳُﻮلU ﻦ َ ءَا َﻣ
ﻦ ﺑِﺎﻟﱠﻠ ِﻪ َو َﻣﻠَﺎ ِﺋ َﻜ ِﺘ ِﻪ َو ُآ ُﺘ ِﺒ ِﻪ
َ ءَا َﻣ (285) --- ﺳِﻠ ِﻪ
ُ َو ُر
/āmana [ar-rasūlu](a1) bimā unzila ilayhi min rabbihi wa [al-mu'minūna](a2)
[kullun](a-S) āmana bi allāhi wa malāikatihi wa kutubihi wa rusulihi ---/
‘[Rasul](a1) telah beriman kepada Al-Quran yang diturunkan kepadanya dari
Tuhannya, demikian pula [orang-orang yang beriman](a2). [Semuanya](a) beriman
kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya ---’
(QS. Al-Baqarah: 285)
Dalam (19) di atas, dapat kita lihat bahwa dalam ayat di atas bentuk اﻟﺮﺳ ﻮل/ar-
rasūl/ 'rasul' (a1) dan اﻟﻤﺆﻣﻨ ﻮن /al-mu'minūn/ 'orang-orang beriman' (a2)
bergantung kepada bentuk ar-rasūl dan al-mu'minūn. Dalam kasus seperti ini,
hubungan bentuk kull dengan al-mu'minūn dan ar-rasūl bersifat langsung. Sebab,
jika kita mengikuti pendapat Givon (1995: 376), dapat dengan mudah
disimpulkan bahwa antara bentuk kull ‘semua’, ar-rasūl ‘rasul’, dan al-mu’minūn
‘orang-orang beriman’ terdapat koherensi referensial yang jelas. Oleh karena itu,
kita tidak terlalu membutuhkan interpretasi yang rumit untuk melihat hubungan
antara perwujudan kohesi dan koherensi yang terdapat dalam hubungan antara
kedua bentuk tersebut. Lebih dari itu, seperti juga berlaku bagi pemahaman
substitusi dalam (18), kull ‘semua’ di sini juga menekankan “keumuman makna”.
Artinya, kita dapat menyatakan bahwa substitusi dalam hal ini juga berguna dalam
proses pemahaman. Akan tetapi, dapat kita persoalkan di sini pendapat As-Suyūti
(t.t.b: 16) tentang kriteria ‘ām (umum) yang salah satunya ditandai oleh bentuk
kull ‘semua’. Sebab, makna kull dalam ayat ini terikat kepada bentuk ar-rasūl dan
al-mu’minūn, sehingga keumuman yang dimaksud kull dalam ayat ini terbatas
Lebih dari itu, jika kita mempertimbangkan pendapat Brown dan Yule
(1983: 226) tentang tindakan yang dilakukan melalui ujaran, dapat dipertanyakan
bimā unzila ilayhi min rabbihi ‘apa yang diturunkan kepadanya’ dalam ayat
konstituen dalam ayat tersebut dapat diubah menjadi āmana ar-rasūl wa al-
rasul-rasul-Nya’ yang secara garis besar tidak merubah kandungan ayat dan tidak
membutuhkan bentuk kull ‘semua’. Dalam kasus seperti ini, dengan mengikuti
apa yang dikemukakan oleh As-Suyūti (t.t.b: 13), dapat dinyatakan bahwa urutan
seperti ini digunakan untuk memperlihatkan derajat iman rasul yang lebih tinggi
sebagai peranti kohesi tidak berguna dalam pemahaman teks, sebab, seperti telah
saya jelaskan di atas, hal itu turut juga mewujudkan koherensi antarbagian dalam
ayat tersebut.
dalam ayat ke-282 surat Al-Baqarah di bawah ini, hubungan antarbentuk yang
(20) -- ق ِﺑ ُﻜ ْﻢ
ٌ َﻓِﺈ ﱠﻧ ُﻪ ُﻓﺴُﻮU َﺗ ْﻔ َﻌﻠُﻮاU ن
ْ َوِإUﺐ وَﻟَﺎ ﺷَﻬِﻴ ٌﺪ
ٌ ِ ُﻳﻀَﺎ ﱠر آَﺎﺗU وَﻟَﺎ---
(282) -
/--- wa lā [yudārra kātibun wa lā syahīdun](a) wa in [taf'alū](a-S) fa innahu fusūqun
bikum ---/
‘--- dan janganlah penulis dan saksi [saling mempersulit](a). Jika [kamu lakukan](a)
(yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu -
--’ (QS. Al-Baqarah: 282)
Dalam (20), substitusi ungkapan ﺷ ﻬﻴﺪ ﻻ ﻳ ﻀﺎر آﺎﺗ ﺐ وﻻ/lā yudārra kātibun
wa lā syahīdun/ 'janganlah saksi dan juru tulis saling mempersulit/dia dipersulit'
hubungan kohesif antara dua klausa tersebut berfungsi meringkas ungkapan (Al-
Qattān 1973: 296). Berbeda dari substitusi nominal yang telah dijelaskan
yudārr kātib wa lā syahīd 'janganlah saksi dan juru tulis saling mempersulit/dia
dipersulit' harus melewati interpretasi yang sulit. Hal ini disebabkan oleh dua hal:
(1) berkaitan dengan asal kata yudārr; dan (2) perubahan konstruksi dari negatif
ke positif.
114, dan Al-Khawarizmi t.t.: 290). Teks seperti ini, dalam ‘ulūm Al-Qur’an,
disebut isytirāk, yaitu bahwa terdapat dua makna yang sama kuat yang dapat
diinferensikan dari bentuk tertentu di dalam teks (As-Suyūti t.t.b: 32). Kondisi
seperti ini menyebabkan inferensi logis yang berbeda dari substitusi yang menjadi
peranti kohesi teks tersebut. Jika yang digantikan adalah bentuk aktif, yudāriru
petutur hanya jika ia bertindak menjadi saksi dan atau juru tulis. Adapun jika yang
dimaksud bentuk pasif, yaitu yudāraru 'dipersulit', maka bentuk taf'alū digunakan
sebagai larangan kepada seluruh orang beriman untuk mempersulit keadaan saksi
menjadi (a-S) yang positif. Sebab, yang dimaksud oleh bentuk taf'alū 'kalian
melakukan' (a-S) adalah “mempersulit keadaan saksi dan juru tulis” atau “saksi
dan juru tulis saling mempersulit”, dan bukan “janganlah mempersulit saksi dan
juru tulis” atau “janganlah saksi dan juru tulis saling mempersulit”.
dalam ayat ini tidak mampu memperlihatkan kedua hubungan tersebut secara
jelas. Dalam substitusi semacam ini kritik yang dikemukakan oleh Brown dan
Yule (1983: 198-199) terhadap Halliday dan Hasan (1976), yaitu bahwa pembaca
teks lebih mengaitkan interpretasi antarbagian dalam teks melalui inferensi logis
'janganlah saksi dan juru tulis saling mempersulit/saksi dan juru tulis jangan
dipersulit', inferensi logis berfungsi dalam interpretasi teks sebagai hubungan non-
sehingga maknanya terlihat saling berhubungan (Brown dan Yule 1983: 260).
ayat tersebut melalui abstraksi dari kedua bentuk tersebut, pada dasarnya bentuk
(1973: 296), memiliki cakupan makna yang sangat luas. Oleh karena itu,
meskipun tidak dapat memperlihatkan hubungan yang pasti antara kata taf’alū dan
salah satu makna yang dimiliki kata yudārr dan juga dalam perubahan modus
Lebih dari itu, jika kita menyetujui pendapat Brown dan Yule (1983: 225),
yaitu bahwa memahami teks selalu merupakan usaha untuk memahami apa yang
dimaksudkan oleh pembicara atau penulis, maka menjelaskan hubungan ini saja
tidaklah cukup. Penjelasan terhadap substitusi yang terdapat di dalam ayat itu
tidak mampu memahami lebih baik maksud yang dikehendaki oleh teks yang
justru dapat lebih mudah dipahami dengan mengetahui kategori kalām dalam ‘ilm
al-ma’āni, yaitu bahwa ungkapan tersebut pada dasarnya adalah kalām insyā’
talabī yang dimaksudkan sebagai larangan (nahy) (Al-Hāsyimi 1960: 77-79, dan
Penafsiran bagi substitusi klausal yang terdapat dalam ayat ke-282 surat
Al-Baqarah di atas juga berlaku bagi substitusi klausal yang terdapat dalam
hubungan antara ayat ke-23 dan ayat ke-24 surat Al-Baqarah yang terdapat dalam
(21) Uﻦ ِﻣ ْﺜِﻠ ِﻪ ْ ْأﺗُﻮا ِﺑﺴُﻮ َر ٍة ِﻣUف َ ﻋ ْﺒ ِﺪﻧَﺎَ ﻋﻠَﻰ َ ﺐ ِﻣﻤﱠﺎ ﻧَ ﱠﺰ ْﻟﻨَﺎ ٍ ن ُآ ْﻨ ُﺘ ْﻢ ﻓِﻲ َر ْﻳ
ْ َوِإ
ن َﻟ ْﻢ َﺗ ْﻔ َﻌُﻠ ﻮا
ْ ( َﻓ ِﺈ23) ﻦ َ ن ُآ ْﻨ ُﺘ ْﻢ ﺻَﺎ ِدﻗِﻴ
ْ ن اﻟﱠﻠ ِﻪ ِإِ ﻦ دُوْ ﺷ َﻬﺪَا َء ُآ ْﻢ ِﻣ
ُ وَا ْدﻋُﻮا
ﻦ َﺗ ْﻔ َﻌﻠُﻮا ﻓَﺎ ﱠﺗﻘُﻮا اﻟﻨﱠﺎ َر اﱠﻟﺘِﻲ
ْ ت َوَﻟ
ْ ﻋ ﱠﺪ ِ ﺠ ﺎ َر ُة ُأَﺤِ س وَا ْﻟ
ُ َوﻗُﻮ ُد َه ﺎ اﻟ ﱠﻨ ﺎ
(24) ﻦ َ ِﻟ ْﻠﻜَﺎ ِﻓﺮِﻳ
/wa in kuntum fī raybin mimmā nazzalnā 'alā 'abdinā fa [u'tū bisūratin min miśli-
hi](a) wa ud'ū syuhadā'a-kum min dūni allāhi in kuntum sādiqīna. fa in lam
[taf'alū](a-S) wa lan [taf'alū](a-S) fa ittaqū an-nāra allatī waqūdu-ha an-nāsu wa al-
hijāratu u'iddat li al-kāfirīna/
‘Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al-Quran yang Kami wahyukan
kepada hamba Kami (Muhammad), [buatlah satu surat (saja) yang semisal Al-
Quran](a) dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang
yang benar. Jika kamu tidak dapat [melakukan](a)-(nya) dan pasti kamu tidak akan
dapat [melakukan](a)-(nya), peliharalah dirimu dari neraka yang bahan bakarnya
manusia dan batu, yang disediakan bagi orang-orang kafir.’ (QS. Al-Baqarah: 23-
24)
Seperti substitusi klausal yang terdapat dalam ayat ke-282, substitusi klausal
dalam rangkaian ayat ke-23 dan ke-24 surat Al-Baqarah di atas juga tidak
Penggantian bentuk أوﺗ ﻮ ﺑ ﺴﻮرة ﻣ ﻦ ﻣﺜﻠ ﻪ/ūtū bi sūratin min miślihi/ 'buatlah
(oleh kalian) sebuah surat yang serupa dengan Al-Quran' (a) dengan bentuk
ﺗﻔﻌﻠ ﻮا /taf'alū/ 'kalian melakukan' (a-S) membutuhkan penafsiran yang rumit.
Pertama, dalam bahasa Arab, bentuk ūtū dan taf'alū memiliki kategori verba yang
berbeda. bentuk ūtū masuk dalam kategori amr yang khusus digunakan untuk
digunakan untuk menunjukkan kala kini dan akan datang. Jadi, meskipun
argumen yang terdapat dalam keduanya sama, bentuk taf'alū tidak langsung
dalam bentuk ūtū. Lebih dari itu, seperti diungkapkan di atas, bentuk yang
digantikan oleh taf'alū bukan hanya bentuk ūtū, melainkan ungkapan ūtū bi
sūratin min miślihi 'datangkanlah (buatlah) sebuah surat yang serupa dengan Al-
Quran'. Oleh karena itu, yang diabstraksi oleh pembaca bukan hanya makna yang
terdapat dalam taf'alū dan ūtū, tetapi mencakup seluruh ungkapan ūtū bi sūratin
min miślihi 'datangkanlah (buatlah) sebuah surat yang serupa dengan Al-Quran'.
terhadap substitusi yang terdapat dalam (20), kritik yang dikemukakan oleh
Brown dan Yule (1983: 198-199) terhadap Halliday dan Hasan (1976) juga patut
ﻦ ِﻣ ْﺜِﻠ ِﻪ
ْ أُو ُﺗ ﻮا ِﺑ ﺴُﻮ َر ٍة ِﻣ /ūtū bi sūratin min miślihi/ 'datangkanlah (buatlah)
sebuah surat yang serupa dengan Al-Quran', inferensi logis berfungsi dalam
mengaitkan abstraksi yang didapat dari makna kedua ungkapan tersebut (Brown
dan Yule 1983: 260). Akan tetapi, seperti juga substitusi yang terdapat dalam (18)
substitusi sebagai peranti kohesi kedua ayat tersebut turut mewujudkan pula
dengan “konsep” yang ditunjuk oleh ūtū bi sūrah min miślihi. Namun demikian,
seperti juga dalam substitusi pada (18), penjelasan terhadap hubungan semacam
ini hanya mampu memahami sebagian dari makna yang dikehendaki teks, yaitu
bahwa pengulangan bentuk taf’alū dua kali dengan pewatas yang berbeda
dimaksudkan sebagai alasan untuk memahami maksud yang dikehendaki oleh teks
tersebut selanjutnya didapat melalui sebagian maksud lain yang dikehendaki teks
yang dapat dilihat dengan memahami makna ungkapan ا ﱠﺗﻘُﻮا اﻟﻨﱠﺎ َر اﱠﻟﺘِﻲ وَﻗُﻮ ُدهَﺎ
ﺠ ﺎ َر ُة
َﺤِ س وَا ْﻟ
ُ اﻟ ﱠﻨ ﺎ /ittaqū an-nāra allatī waqūduhā an-nāsu wa al-hijāratu/
‘takutlah terhadap api neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu’, yang
dimotivasi oleh ungkapan fa in lam taf’alū wa lan taf’alū ‘jika kalian tidak dapat
membuatnya dan pasti tidak akan dapat membuatnya’, sebagai kalām insyā’ talabī
bentuk yang lebih panjang, substitusi di atas dapat dilihat juga dalam ayat berikut
ini.
(22) ﻦ ِد َﻳ ﺎ ِر ِه ْﻢ
ْ ن َﻓﺮِﻳ ًﻘ ﺎ ِﻣ ْﻨ ُﻜ ْﻢ ِﻣ
َ ﺟﻮ
ُ ﺨ ِﺮ
ْ ﺴ ُﻜ ْﻢ َو ُﺗ
َ ن َأ ْﻧ ُﻔ
َ َﺗ ْﻘ ُﺘُﻠ ﻮU ُﺛ ﱠﻢ َأ ْﻧ ُﺘ ْﻢ َه ُﺆَﻟ ﺎ ِء
ن َﻳ ْﺄﺗُﻮ ُآ ْﻢ ُأﺳَ ﺎرَى ُﺗ َﻔ ﺎدُو ُه ْﻢ َو ُه َﻮ
ْ ﻋَﻠ ْﻴ ِﻬ ْﻢ ﺑِﺎ ْﻟ ِﺈ ْﺛ ِﻢ وَا ْﻟ ُﻌ ْﺪوَانِ َوِإ
َ ن
َ َﺗﻈَﺎ َهﺮُو
4.1.3 Elipsis
Seperti telah dikemukakan dalam (2.1.1) dan (3.2.1.3), menurut Halliday dan
Hasan (1976: 88) elipsis adalah penghilangan item tertentu atau penggantian item
tertentu dengan kosong. Seperti halnya substitusi, elipsis dapat bersifat nominal,
verbal, dan juga klausal. Berdasarkan pencatatan, serupa dengan yang terdapat
dalam substitusi, elipsis yang terdapat dalam surat Al-Baqarah ada yang dapat
memperlihatkan hubungan yang langsung dan tidak langsung. Oleh karena itu,
penjelasan ini akan berkaitan juga dengan asal acuan yang dimaksud dalam elipsis
seperti telah dilakukan pada referensi dan substitusi, yaitu apakah elipsis langsung
mengacu kepada bentuk yang terdapat dalam teks atau kepada sesuatu yang
pada tingkatan harf (partikel), satu elipsis nominal, dua elipsis verbal, empat
elipsis frasal, dan lima elipsis klausal. Pada tingkatan harf, elipsis terdapat,
Berdasarkan (23) di atas, dapat kita pahami bahwa penghilangan ﻻ/lā/ 'jangan'
(a) menjadi salah satu peranti yang membentuk jaringan teks ayat tersebut
menjadi kohesif. Hal ini dapat dibuktikan setidaknya melalui dua hal: pertama,
tanpa pengandaian adanya lā yang dihilangkan tersebut, makna teks menjadi tidak
verba tersebut dibuang karena dipengaruhi oleh ﻻ/lā/ 'jangan' yang berfungsi
sebagai larangan (nahy). Perubahan bunyi akhir verba tersebut selanjutnya disalin
oleh verba ﺗﻜﺘﻤ ﻮا /taktumū/ ‘kalian menyembunyikan’. Persesuaian bunyi ini
verba talbisū, verba taktumū juga dipengaruhi oleh partikel tersebut yang
dilesapkan setelah konjungtor و/wa/ ‘dan’. Ditinjau dari sudut pandang ījāz al-
haźf, fungsi dari penggunaan elipsis dalam (23) adalah untuk memperlihatkan
makna yang lebih dengan sedikit ungkapan (Al-Hāsyimi 1960: 226). Dalam kasus
seperti ini, dapat disimpulkan bahwa, dengan mengikuti pendapat Givon (1995:
ungkapan ﻖ
ﺤ ﱠ
َ ﺗَ ْﻜ ُﺘ ُﻤ ﻮا ا ْﻟ/taktumū al-haqqa/ 'kamu sembunyikan yang hak itu'
dapat kita pahami melalui petunjuk gramatikal (grammatical cued) dan petunjuk
leksikal (vocabulary cued). Dengan kata lain, elipsis sebagai peranti kohesi,
beserta persesuaian bunyi akhir bunyi verba, dan petunjuk leksikal, membangun
Hubungan semacam ini juga dapat dilihat dalam (24) berikut yang terdapat
elipsis terlihat antara lain dalam Al-Baqarah ayat ke-233 di bawah ini.
(25) (233) --- وَاِﻟ َﺪ ٌة ﺑِﻮَﻟَﺪِهَﺎ وَﻟَﺎ َﻣ ْﻮﻟُﻮ ٌد َﻟ ُﻪ ِﺑ َﻮَﻟ ِﺪ ِﻩU ُﺗﻀَﺎرﱠU ﻟَﺎ---
/--- lā [tudārra](a) wālidatun bi waladihā wa lā [Ø](a-E) mawlūdun lahu bi waladi hi
---/
'--- [Janganlah](a) seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan juga
seorang ayah [Ø](a) karena anaknya ---' (QS. Al-Baqarah: 233).
Bentuk asal dari ﺗ ﻀﺎر/tudārr/ 'dia (feminin) dipersulit' berasal dari ﺗ ﻀﺎرَر
/tudāraru/ ‘dia (feminin) dipersulit’ (a). Dalam klausa kedua, bentuk tersebut
dihilangkan. Karena dalam bahasa Arab verba selalu memuat argumen yang
berhubungan dengan subjek, maka yang dielipsis bukanlah bentuk tudārr 'dia
representasi mental. Bentuk yang dielipsis tersebut adalah yudārr 'dia (maskulin)
dipersulit', sebab subjek yang terdapat dalam klausa pasif kalimat kedua adalah
mawlūd lahu 'ayah' yang berjenis maskulin (muźakkar). Seperti juga terdapat
persesuaian akhir bunyi verba dalam elipsis bentuk lā ‘jangan’ dalam (23) dan
(24), dalam (25) terdapat persesuaian kasus antara wālidatun ‘ibu’ dan mawlūdun
lahu ‘ayah’ yang menunjukkan kesetaraan fungsi dalam konstruksi sintaksis, yaitu
subjek kalimat pasif. Oleh karena itu, meskipun membutuhkan interpretasi yang
adanya bentuk yang dielipsis sebagai peranti kohesi yang sekaligus membuat
Pada tingkatan nomina, elipsis dalam surat Al-Baqarah dapat dilihat dalam
(26) ﻦ َﻟ ْﻢ
ْ َﻓ َﻤUي ِ ا ْﻟ َﻬ ْﺪU ﻦ َ ﺴ َﺮ ِﻣ
َ ﺳ َﺘ ْﻴ
ْ ﺞ َﻓ َﻤ ﺎ ا ﺤ ﱢ
َ ﻦ َﺗ َﻤ ﱠﺘ َﻊ ﺑِﺎ ْﻟ ُﻌ ْﻤ َﺮ ِة ِإﻟَﻰ ا ْﻟ
ْ َﻓ َﻤ---
ﺠ ْﺪ ﻓَﺼِﻴَﺎ ُم َﺛَﻠﺎ َﺛ ِﺔ ِ ﺸ َﺮ ٌة َﻳ
َﻋ
َ ﻚ
َ ﺟ ْﻌ ُﺘ ْﻢ ِﺗ ْﻠ
َ ﺳ ْﺒ َﻌ ٍﺔ ِإذَا َر
َ ﺞ َو
ﺤﱢ َ ﻓِﻲ ا ْﻟUٍَأﻳﱠﺎمU
(196) --- آَﺎ ِﻣَﻠ ٌﺔ
/--- faman tamatta'a bi al-'umrah ilā al-hajj fa mā istaysara min [al-hady](a)
fa man lam yajid [Ø](a-E) fa siyām śalāśata [ayyāmin](b) fi al-hajji wa sab'atin [Ø](b-
E) iźā raja'tum tilka 'asyaratun [Ø](b-E) kāmilatun ---/
‘--- maka bagi siapa yang ingin mengerjakan `umrah sebelum haji (didalam bulan
haji), (wajiblah ia menyembelih) [korban](a) yang mudah didapat. Tetapi jika ia
tidak menemukan [Ø](a) (binatang korban atau tidak mampu), maka wajib berpuasa
tiga [hari](b) dalam masa haji dan tujuh [Ø](b) apabila kamu telah pulang kembali.
Itulah sepuluh [Ø](a) yang sempurna ---’ (QS. Al-Baqarah: 196)
Dalam (26), terdapat dua buah elipsis. Pertama, bentuk اﻟﻬﺪي/al-hady/ ‘binatang
korban’ (a) setelah ﻣﻦ ﻟﻢ ﻳﺠﺪ /man lam yajid/ ‘yang tidak mendapatkan’
dielipsis. Elipsis bentuk al-hady ‘binatang korban’ ini didasarkan atas keterkaitan
(t.t.: 163) elipsis semacam ini didasarkan atas syarat penafsiran yang jelas (al-
idmār ‘alā syarītah at-tafsīr), sehingga kita tidak memerlukan usaha penafsiran
Kedua, dapat dilihat bahwa bentuk أﻳﺎم /ayyām/ ‘hari’ (b) hanya
diekspresikan secara verbal satu kali, yaitu pada ﺛﻼﺛﺔ أﻳﺎم/śalāśati ayyām/ ‘tiga
hari’. Pada ungkapan ﺟ ْﻌ ُﺘ ْﻢ
َ ﺳ ْﺒ َﻌ ٍﺔ ِإذَا َر
َ /sab’atin iźā raja’tum/ ‘tujuh ketika telah
pulang’ dan ﺸ َﺮ ٌة آَﺎ ِﻣَﻠ ٌﺔ
َﻋ
َ ﻚ
َ ِﺗ ْﻠ/tilka ‘asyaratun kāmilatun/ ‘itulah sepuluh yang
sempurna’ bentuk ayyām tersebut dielipsis. Bentuk ayyām ‘hari’ yang dibuang
pada kedua ungkapan tersebut mengacu kepada konsep yang sama yang dimaksud
dalam ungkapan śalāśati ayyām ‘tiga hari’. Dengan kata lain, serupa dengan
elipsis bentuk al-hady ‘hewan korban’ sebelumnya, elipsis bentuk ayyām ‘hari’
dalam ayat tersebut didasarkan atas keterkaitan referensi yang sama dan
Suyūti (t.t.b: 31) ayat tersebut masuk dalam kriteria mantūq dan disebut sebagai
nass, yaitu apabila hanya terdapat satu makna yang dapat ditangkap dari teks.
terdapat satu makna yang dapat ditangkap dari ekspresi verbal teks diperoleh
śalāśah, sab’ah, dan ‘asyarah. Oleh karena itu, meskipun elipsis dalam hal ini
Lebih jauh, berkaitan dengan pendapat Givon (1995) dan Brown dan Yule
beberapa fenomena elipsis dalam surat Al-Baqarah yang tidak didasarkan atas
kemungkinan bentuk yang dielipsis. Hal ini terlihat, misalnya, dalam ayat berikut.
(27) ﻦ َأ ْر َﺑ َﻌ َﺔ
ﺴ ِﻬ ﱠ
ِ ﻦ ِﺑ َﺄ ْﻧ ُﻔ
َﺼْ ﺟ ﺎ َﻳ َﺘ َﺮ ﱠﺑ
ً ن َأ ْزوَا
َ ن ِﻣ ْﻨ ُﻜ ْﻢ َو َﻳ َﺬرُو
َ وَاﱠﻟ ﺬِﻳﻦَ ُﻳ َﺘ َﻮ ﱠﻓ ْﻮ
--- ﺸﺮًا ْ َ وَﻋUٍﺷ ُﻬﺮ ْ َأU (234)
/wa allaźīna yutawaffawna minkum wa yaźarūn azwājan yatarabbasna bi
anfusihinna arba'ata [asyhurin](a) wa 'asyran [Ø](a-E) ---/
‘Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri
(hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber`iddah) empat [bulan]
sepuluh [Ø](a) (hari) ---’ (QS. Al-Baqarah: 234)
yang terdapat setelah ارﺑﻌ ﺔ/arba'ah/ 'empat', yaitu اﺷ ﻬﺮ/asyhur/ 'bulan' (a).
Sebab jika yang dihilangkan adalah bentuk ﺷ ﻬﺮ /syahr/ 'bulan', makna dari
arba'ah asyhur wa 'asyr adalah 'empat bulan dan sepuluh bulan'. Padahal, yang
dimaksud potongan ayat itu adalah 'empat bulan sepuluh hari.' Dengan kata lain,
dan tidak pula membentuk ikatan koherensi referensial antara keduanya. Serupa
dengan yang terdapat dalam (26) sebelumnya, ayat ini masih dapat dikategorikan
sebagai mantūq, sebab pemahamannya dapat dicapai melalui apa yang tersurat
dalam teks. Hanya saja, karena pemahaman lebih terarah kepada makna yang
lemah dalam teks, yaitu yawm daripada syahr, teks ini masuk dalam kategori
ta’wīl (As-Suyūti t.t.b: 32). Selain itu, untuk sampai kepada pemahaman seperti
ini kita juga mengandalkan top-down and bottom-up reading, sehingga kita dapat
mengetahui apa yang dimaksud oleh teks secara jelas. Dengan demikian, dapat
Berdasarkan (28) di atas, dapat kita lihat bahwa frasa verbal yang dihilangkan
ﻦ َر ﱢﺑ ِﻪ
ْ ل ِإَﻟ ْﻴ ِﻪ ِﻣ
َ ءَاﻣَﻨﻮَا ِﺑ َﻤ ﺎ ُأ ْﻧ ِﺰ/āmanū bimā unzila ilayhi min rabbihi/ 'mereka
beriman kepada Al-Quran yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya'. Jika elipsis
dilakukan dengan cara yang pertama, maka inferensi terhadap bentuk yang
dielipsis tidak membutuhkan inferensi yang rumit. Sebab argumen yang terdapat
di dalam verba langsung mengacu kepada subjek yang dinyatakan secara jelas dan
ditandai oleh kasus yang sama. Namun jika elipsis dilakukan dengan cara yeng
kedua, maka inferensi terhadap penghilangan bentuk ini mirip dengan inferensi
dalam (22) di atas. Hanya saja, argumen yang digantikan dalam verba
menunjukkan perbedaan jumlah, bukan jenis. Terlepas dari itu, baik dilakukan
dengan cara yang pertama maupun yang kedua, elipsis tetap dapat dibuktikan
Selain itu, terdapat elipsis dalam surat Al-Baqarah yang dilakukan melalui
penghilangan frasa yang membutuhkan penafsiran yang lebih rumit. Hal ini dapat
terlihat dalam hubungan antara ayat ke-17 dan ayat ke-18 surat Al-Baqarah di
bawah ini.
(29) a. ﺐ
َ ت ﻣَ ﺎ ﺣَ ْﻮﻟَ ُﻪ َذ َه ْ َﻓَﻠﻤﱠﺎ أَﺿَ ـﺎ َءUﺳ َﺘ ْﻮ َﻗ َﺪ ﻧَﺎرًا
ْ اﱠﻟﺬِي اU ﻞِ َﻣ َﺜُﻠ ُﻬ ْﻢ َآ َﻤ َﺜ
اﻟﱠﻠ ُﻪ ِﺑﻨُﻮ ِر ِه ْﻢ (17) ن َ ﺼﺮُو ِ ت ﻟَﺎ ُﻳ ْﺒ ٍ ﻇُﻠﻤَﺎ
ُ َو َﺗ َﺮ َآ ُﻬ ْﻢ ﻓِﻲ
/maśalu-hum kamaśali [allaźi istawqada nāran](a-E) fa lammā adā'at mā
hawlahu źahaba allāhu bi-nūri-him wa taraka-hum fi zulumātin lā yubsirūna/
'Perumpamaan mereka adalah seperti [orang yang menyalakan api], maka
setelah api itu menerangi sekelilingnya Allah hilangkan cahaya (yang
menyinari) mereka, dan membiarkan mereka dalam kegelapan, tidak dapat
melihat' (QS. Al-Baqarah: 17).
b. ن
َ ﺠ َﻌُﻠ ﻮ
ْ ق َﻳ
ٌ ﻋ ٌﺪ َو َﺑ ْﺮ ْ ت َو َرٌ ﻇُﻠ َﻤ ﺎ
ُ ﺴﻤَﺎءِ ﻓِﻴ ِﻪﻦ اﻟ ﱠَ ﺐ ِﻣ
ٍ ﺼ ﱢﻴ
َ َأ ْو َآـ
ﺻـﺎ ِﺑ َﻌ ُﻬ ْﻢ ﻓِﻲ
َ ت وَاﻟﱠﻠ ُﻪ َأ
ِ ﺣ َﺬ َر ا ْﻟ َﻤ ْﻮ
َ ﻖ
ِﻋ
ِ ﺼﻮَا
ﻦ اﻟ ﱠَ ءَاذَا ِﻧ ِﻬ ْﻢ ِﻣ
(19) ﻦ َ ﻂ ﺑِﺎ ْﻟﻜَﺎ ِﻓﺮِﻳٌ ُﻣﺤِﻴ
/aw ka [Ø](a-E) sayyibin min as-samā' fīhi zulumātun wa ra'dun wa barqun
yaj'alūna asābi'ahum fī āźānihim min as-sawā'iqi haźara al-mawti wa allāhu
muhītun bi al-kāfirīna/
Atau seperti [Ø](a) hujan lebat dari langit disertai gelap gulita, guruh dan kilat;
mereka menyumbat telinganya dengan anak jarinya, karena (mendengar suara)
petir, sebab takut akan mati. Dan Allah meliputi orang-orang yang kafir’ (QS.
Al-Baqarah: 19).
munafik. Dapat dilihat bahwa perumpamaan pertama bagi orang munafik, yaitu
ﺳ َﺘ ْﻮ َﻗ َﺪ َﻧ ﺎرًا
ْ اﱠﻟ ﺬِي ا/allaźī istawqad nār/ 'orang yang menyalakan api' (a) yang
terdapat dalam (29a), diungkapkan secara jelas, sedangkan perumpamaan kedua
yang terdapat dalam (29b) tidak. Pemahaman terhadap elipsis dalam (29b) ini
bersifat wajib, sebab tanpa adanya bentuk yang dielipsis koherensi antara kedua
ayat tersebut menjadi tidak berterima. Berdasarkan apa yang dapat kita pahami
dari makna kedua ayat tersebut, bentuk yang dihilangkan bukanlah allaźī
istawqada nār 'orang yang menyalakan api' yang terdapat dalam (29a), walaupun
bentuk tersebut menjadi petunjuk elipsis dalam (29b). Salah satu kemungkinan
bentuk yang dielipsis tersebut dapat saja, misalnya, أﺻ ﺎﺑﻪ اﻟﺬي/allaźī asābahu/
'orang yang ditimpa'. Sebab, jika yang dihilangkan adalah bentuk yang sama,
menjadi petunjuk dalam teks, tidak mungkin didapat jika kita hanya menggunakan
ekspresi verbal dalam teks. Pemahaman seperti ini hanya mungkin kita capai
melalui inferensi logis terhadap isi teks secara keseluruhan melalui petunjuk
leksikal (vocabulary cued) yang berbeda dalam kedua ayat tersebut. Dengan kata
lain, berdasarkan petunjuk leksikal, kita dapat melakukan inferensi logis yang
berfungsi sebagai pengisi ruang kosong dalam interpretasi (Brown dan Yule 1983:
270, dan Givon 1995: 362). Selain itu, dapat kita pertanyakan di sini apakah
elipsis sebagai peranti kohesi turut mewujudkan juga koherensi antara kedua ayat
di atas, sebab, berbeda dari elipsis yang telah saya bahas sebelumnya dalam (23),
(24), (25), dan (26), dalam elipsis semacam ini penafsiran terhadap bentuk yang
dihilangkan tidak bergantung kepada bentuk lain yang mendahuluinya dan dengan
begitu dapat pula dapat dinyatakan bahwa dalam kasus seperti ini kohesi tidak
didasarkan atas koherensi referensial. Hal itu berarti pula bahwa elipsis sebagai
peranti kohesi tidak turut menentukan pemahaman hubungan antara kedua ayat
tersebut.
Penafsiran terhadap elipsis yang terdapat dalam (29) juga berlaku bagi
elipsis yang terdapat dalam dalam ayat ke-171 surat Al-Baqarah di bawah ini.
(30) ﻋ ﺎ ًء
َ ﺴ َﻤ ُﻊ ِإﱠﻟ ﺎ ُد
ْ ﻣَ ﺎ ﻟَ ﺎ َﻳUِﻖ ب
ُ اﱠﻟ ﺬِي َﻳ ْﻨ ِﻌU ﻞ
ِ ﻦ َآ َﻔ ﺮُوا َآ َﻤ َﺜَ ﻞ اﱠﻟ ﺬِﻳ ُ َو َﻣ َﺜ
ﻲ
ٌ ﻋ ْﻤ
ُ ﺻ ﱞﻢ ُﺑ ْﻜ ٌﻢ
ُ َو ِﻧﺪَا ًء (171) ن َ َﻓ ُﻬ ْﻢ ﻟَﺎ َﻳ ْﻌ ِﻘﻠُﻮ
/wa maśalu [Ø](a-E) allaźīna kafarū ka maśali [allaźī yan'iqu bi](a)-mā lā yasma'u
illā du'ā’an wa nidā'an summun bukmun 'umyun fa hum lā ya'qilūna/
‘Dan perumpamaan [Ø](a) (orang yang menyeru) orang-orang kafir adalah seperti
[penggembala yang memanggil](a) binatang yang tidak mendengar selain panggilan
dan seruan saja. Mereka tuli, bisu dan buta, maka (oleh sebab itu) mereka tidak
mengerti.’ (QS. Al-Baqarah: 171)
Berbeda dari elipsis yang dibahas sebelumnya, elipsis dalam (29) bersifat
kataforis. Dapat kita lihat dalam (30) bahwa sebelum bentuk ﻦ َآ َﻔ ﺮُوا
َ اﱠﻟ ﺬِﻳ
/allaźīna kafarū/ 'orang-orang kafir' terdapat bentuk yang dihilangkan, sebab tanpa
penghilangan bentuk ini makna ayat tersebut menjadi kacau, yaitu bahwa "orang-
orang kafir itu seperti seorang yang berbicara dengan sesuatu yang tidak dapat
mendengar kecuali panggilan dan seruan saja". Padahal, yang dimaksud dalam
ayat ini adalah bahwa "orang yang berdakwah terhadap orang kafir itu seperti
seorang yang berbicara terhadap sesuatu yang tidak dapat mendengar kecuali
seruan dan panggilan." Jadi, dapat dipahami bahwa maksud dari maśalu allaźīna
orang yang berdakwah kepada orang-orang kafir". Atas dasar itu, dapat
lebih jauh disebut ihtibāk. Bentuk yang dielipsiskan dalam ayat ini tidak memiliki
hubungan ko-referensial dengan bentuk yang menjadi petunjuk dalam teks. Sebab,
hubungan antara kedua bentuk tersebut bersifat metaforis. Serupa dengan elipsis
yang terdapat dalam (29), dalam (30) ini pengetahuan tentang informasi leksikal
dihilangkan. Artinya, dalam kasus elipsis semacam ini, top-down and bottom-up
processing dan inferensi logis (sebagai pengisian ruang kosong dalam penafsiran
Dalam (31) di atas, dapat kita lihat bahwa pada klausa kedua bentuk ﻳ ﺄﻣﺮآﻢ
/ya'murukum/ 'ia (syaitan) memerintahkan kalian' (a) dihilangkan. Sebab, dengan
apa yang tidak kamu ketahui”, tanpa adanya elipsis makna keseluruhan ayat
terhadap teks yang dihilangkan tersebut juga dapat, atau lebih, bergantung kepada
melalui top-down and bottom-up processing (Brown dan Yule 1983: 234-235 dan
Alwi et al. 1998: 434). Dengan cara seperti ini, kita dapat mengetahui bahwa
berdasarkan makna yang terdapat dalam klausa pertama, kandungan teks secara
dimaksudkan oleh klausa kedua tidak mungkin berarti 'katakanlah terhadap Allah
apa yang tidak kamu ketahui.' Oleh karena itu, meskipun elipsis turut
Berbeda dari elipsis yang terdapat dalam (31) di atas, penalaran terhadap
elipsis klausal dalam (32) di bawah ini serupa dengan elipsis yang terdapat dalam
(32) ﻦ
َ ﻈ ًﺔ ِﻟ ْﻠ ُﻤ ﱠﺘ ِﻘ ﻴ
َﻋ
ِ ﺧ ْﻠ َﻔ َﻬ ﺎ َو َﻣ ْﻮ
َ ﻦ ﻳَ ﺪَ ْﻳﻬَﺎ َو َﻣ ﺎ
َ َﻧﻜَﺎًﻟ ﺎ ِﻟ َﻤ ﺎ َﺑ ْﻴUﺟ َﻌ ْﻠﻨَﺎ َه ﺎ
َ Uَف
(66)
/fa [ja'al-nā-hā](a) nakālan limā bayna yadayhā wa mā khalfahā wa [Ø](a)
maw'izatan li al-muttaqīn/
'Maka [Kami jadikan yang demikian itu](a) peringatan bagi orang-orang di masa itu,
dan bagi mereka yang datang kemudian, serta [Ø](a) pelajaran bagi orang-orang
yang bertakwa' (QS. Al-Baqarah: 66).
Berdasarkan (32) di atas, dapat kita lihat bahwa bentuk yang dihilangkan dalam
ayat di atas adalah klausa ﺟﻌﻠﻨﺎه ﺎ/ja'alnāhā/ 'Kami jadikan hal itu' (a). Hal itu,
seperti juga dapat dilihat dalam elipsis (20), (21), (23), dan (24), ditandai oleh
kasus yang terdapat dalam bentuk ﻣﻮﻋﻈ ًﺔ /maw'izatan/ 'pelajaran' yang
petunjuk gramatikal (grammatical cued). Dengan kata lain, dapat kita simpulkan
juga di sini bahwa melalui petunjuk gramatikal, kita dapat mengandaikan adanya
bentuk yang sama yang dihilangkan. Hal ini juga menunjukkan bahwa elipsis,
koheren.
persesuaian kala (tense) dalam verba sebenarnya dikemukakan oleh Brown dan
Yule (1983: 194). Berkaitan dengan data yang dianalisis adalah bahasa Arab, yang
perwujudan leksem verbanya berkaitan dengan dua konsep kala, yaitu mādi (past
tense) dan mudāri’ (present tense), dan empat belas macam konsep pelaku yang
(maskulin), dan jumlah, yaitu mufrad (tunggal), muśannā (dual), dan jam’ (plural)
(Al-Misry t.t.: 557), konsep yang dikemukakan Brown dan Yule (1983) ini saya
kala, jenis, dan jumlah ini mencapai 36 kali, baik digunakan untuk membentuk
dalam ayat, maupun untuk membangun hubungan kohesif antartema dalam surat
membentuk hubungan kohesif antarbentuk dalam satu ayat dapat dilihat dalam
(33) berikut.
Dalam (33) di atas, dapat dilihat bahwa ﻟﻘ ﻮا/laqū/ 'mereka (maskulin) bertemu'
bersesuai dengan ﺧﻠ ﻮا /khalaw/ 'mereka (maskulin) kembali', yaitu dengan
keberadaan وwaw jam’ (huruf waw penanda plural) di belakang ﻟﻘ ﻰ/laqā/ ‘dia
(maskulin) bertemu’ dan ﺧﻠ ﻰ/khalā/ ‘dia (maskulin) kembali’; dan persesuaian
kala (mādī) antara keduanya yang mengikuti pola dasar ﻓﻌ ﻞ/fa’ala/. Persesuaian
persesuaian kala, jenis, dan, jumlah, koherensi antarbagian dapat ditentukan juga
melalui makna yang diperlihatkan oleh kunjungtor yang juga menjadi peranti
allaźīna āmanū qālū āmannā/ ‘bila mereka berjumpa dengan orang-orang yang
beriman, mereka mengatakan: "Kami telah beriman’ dan ungkapan ِإذَا ﺧَﻠَﻮْا ِإَﻟ ﻰ
َﺴﺘَ ْﻬﺰِﺋُﻮن
ْ ﻦ ُﻣ
ُ ﺤ
ْ ﺷ ﻴَﺎﻃِﻴ ِﻨ ِﻬ ْﻢ َﻗ ﺎﻟُﻮا إِ ﱠﻧ ﺎ ﻣَﻌَ ُﻜ ْﻢ ِإ ﱠﻧ َﻤ ﺎ َﻧ
َ /iźā khalaw ilā syayatīnihim
qālū innā ma'akum innamā nahnu mustahzi'ūna/ ‘bila mereka kembali kepada
persesuaian kala, jenis, dan jumlah akan lebih tampak membentuk jaringan
kohesif antarbagian tersebut. Hal ini, misalnya, dapat terlihat dalam ayat berikut.
(34) ن
َ ﺳ ﻮ َء ا ْﻟﻌَ ﺬَابِ ُﻳ َﺬ ﱢﺑﺤُﻮ ُ ن َﻳ ﺴُﻮﻣُﻮ َﻧ ُﻜ ْﻢَ ﻋ ْﻮ َ ل ِﻓ ْﺮ
ِ ﻦ ءَاْ ﺠ ْﻴ َﻨ ﺎ ُآ ْﻢ ِﻣ
َوِإ ْذ َﻧ ﱠ
ﻦ َرﱢﺑ ُﻜ ْﻢ ﻋَﻈِﻴ ٌﻢ َأ ْﺑﻨَﺎ َء ُآ ْﻢ
ْ ن ِﻧﺴَﺎ َء ُآ ْﻢ َوﻓِﻲ َذِﻟ ُﻜ ْﻢ ﺑَﻠَﺎ ٌء ِﻣ
َ ﺤﻴُﻮ ْ ﺴ َﺘ
ْ َو َﻳ
(49)
/wa iź najjaynā kum min āli fir'auna [yasūmūna]-kum sū'a al-'aźābi [yuźabbihūn]
abnā'akum wa [yastahyūna] nisā'akum wa fī źālikum balā'un min rabbikum
'azīmun/
‘Dan (ingatlah) ketika Kami selamatkan kamu dari (Fir`aun) dan pengikut-
pengikutnya; [mereka menimpakan] kepadamu siksaan yang seberat-beratnya,
[mereka menyembelih] anak-anakmu yang laki-laki dan [membiarkan hidup] anak-
anakmu yang perempuan. Dan pada yang demikian itu terdapat cobaan-cobaan
yang besar dari Tuhanmu.’ (QS. Al-Baqarah: 49)
Berbeda dari (33), dalam (34) di atas, dapat kita lihat bahwa tidak terdapat
konjungtor ini berkaitan dengan fungsi ungkapan kedua yang menjadi penjelas
dari ungkapan yang pertama. Persesuaian jenis, jumlah, dan kala antara ﻳ ﺴﻮﻣﻮن
membiarkan hidup' dapat dilihat melalui keberadaan morfem terikat ون--- ي/y--
-ūnā/ yang merupakan pemarkah verba berkala kini dan mengandungi informasi
jumlah dan jenis yang sama, yaitu plural dan maskulin. Hanya saja, ketiga verba
tersebut mengikuti pola morfologis yang berbeda, yang pertama mengikuti ﻳﻔ ُﻌ ﻞ
/yaf’ulu/, yang kedua mengikuti ﻳُﻔ ﱢﻌ ﻞ /yufa‘‘ilu/, dan yang ketiga mengikuti
ﻳَ ﺴﺘﻔﻌِﻞ /yastaf’ilu/. Atas dasar itu, patut dipertimbangkan bahwa persesuaian
kohesi penting yang mengaitkan hubungan antara kedua bagian tersebut. Lebih
dari itu, jika kita mengikuti pendapat Givon (1995: 358) tentang koherensi yang
ditandai secara gramatikal (grammar cued), persesuaian kala, jenis, dan jumlah
dalam teks. Dengan kata lain, persesuaian kala, jenis, dan jumlah sebagai peranti
hubungan kohesif antara satu ayat dengan ayat lainnya dalam satu tema. Hal ini
(35) ﺤ َﺮ
ْ ِﺑ ُﻜ ُﻢ ا ْﻟ َﺒUﻓَﺮَ ْﻗﻨَﺎU ( َوِإ ْذ49) --- ن َ ﻋ ْﻮ
َ ل ِﻓ ْﺮ
ِ ﻦ ءَا
ْ ُآ ْﻢ ِﻣUﺠ ْﻴﻨَﺎ َﻧ ﱠU َوِإ ْذ
Uﻋ َﻔ ْﻮ َﻧ ﺎ
َ U ( ُﺛﻢﱠ51) --- ﻦ َﻟ ْﻴَﻠ ًﺔ َ ﻣُﻮﺳَﻰ َأ ْر َﺑﻌِﻴUﻋ ْﺪﻧَﺎ َ وَاU ( َوِإ ْذ50) ---
Uءَا َﺗ ْﻴﻨَﺎU ( َوِإ ْذ52) --- ﻋ ْﻨ ُﻜ ْﻢ َ (53) --- ب َ ﻣُﻮﺳَﻰ ا ْﻟ ِﻜﺘَﺎ
/wa iź [najjaynā](PKJJ-LMP)-kum min āli fir'auna ---. wa iź [faraqnā](PKJJ) bikum al-
bahra ---. wa iź [wā'adnā](PKJJ) mūsā arba'īna laylatan ---. śumma ['afawnā](PKJJ)
'ankum ---. wa iź [ātaynā](PKJJ) mūsā al-kitāba ---/
‘Dan (ingatlah) ketika [Kami selamatkan]-kamu dari (Fir`aun) dan pengikut-
pengikutnya ---. Dan (ingatlah), ketika [Kami belah] laut untukmu ---. Dan
(ingatlah), ketika [Kami berjanji] kepada Musa (memberikan Taurat, sesudah)
empat puluh malam ---. Kemudian [Kami ma`afkan] kesalahanmu ---. Dan
(ingatlah), ketika [Kami berikan] kepada Musa Al Kitab (Taurat) ---.’
Tema yang dibicarakan dalam (35) berkaitan dengan nikmat Tuhan yang
dianugerahkan kepada Bani Israil. Dalam tema tersebut, salah satu peranti kohesi
yang digunakan untuk membentuk jaringan teks adalah persesuaian kala, jenis,
dan jumlah, yaitu antara ﻧﺠّﻴﻨ ﺎ/najjaynā/ ‘Kami selamatkan’, ﻓﺮﻗﻨ ﺎ/faraqnā/
‘Kami belah’, واﻋ ﺪﻧﺎ /wā’adnā/ ‘Kami berjanji’, ﻋﻔﻮﻧ ﺎ /‘afawnā/ ‘Kami
maafkan’, dan أﺗﻴﻨ ﺎ/`ātaynā/ ‘Kami berikan’. Persesuaian tersebut, seperti pada
persesuaian sebelumnya, membentuk hubungan kohesif tidak saja dari bentuk-
bentuknya saja, melainkan juga mencakupi referen yang dirujuk oleh pronomina
yang terdapat secara klitis dalam masing-masing verba yang memiliki kala, jenis,
dan jumlah yang sama, yaitu verba berkala lampau dan pronomina ﻧﺤ ﻦ/nahnu/
‘kami’ (pronomina pertama plural) yang diwujudkan secara klitis melalui bentuk
subjek. Selain itu, penggunaan kala yang sama juga menyatakan satuan waktu
yang sama bagi masing-masing kandungan ayat, yaitu masa lampau. Dengan kata
lain, selain mewujudkan koherensi referensial, persesuaian kala, jenis, dan jumlah
ayat-ayat tersebut.
Selanjutnya, seperti terdapat di bawah ini, dapat kita lihat juga bahwa
persesuaian kala, jenis, dan jumlah ini digunakan dalam mewujudkan kohesi
(36) a. Uﻇﱠﻠ ْﻠ َﻨ ﺎ
َ Uَ( و56) ن َ ﺸ ُﻜﺮُو ْ ﻦ َﺑ ْﻌ ِﺪ َﻣ ْﻮ ِﺗ ُﻜ ْﻢ َﻟ َﻌﱠﻠ ُﻜ ْﻢ َﺗ
ْ ُآ ْﻢ ِﻣU َﺑ َﻌ ْﺜﻨَﺎU ُﺛﻢﱠ
( َوِإ ْذ57) --- ﺴ ْﻠﻮَى ﻦ وَاﻟ ﱠ ﻋَﻠ ْﻴ ُﻜ ُﻢ ا ْﻟ َﻤ ﱠ
َ Uَأ ْﻧ َﺰ ْﻟ َﻨ ﺎUَﻋَﻠ ْﻴ ُﻜ ُﻢ ا ْﻟﻐَﻤَ ﺎمَ و َ
--- ﺔ
َ ﺧﻠُﻮا َه ِﺬ ِﻩ ا ْﻟ َﻘ ْﺮ َﻳُ ا ْدU ُﻗ ْﻠﻨَﺎU (58)
/śumma [ba'aśnā](PKJJ)-kum min ba'di mawtikum la'allakum tasykurūna. wa
[zallalnā](PKJJ) 'alaykum al-gamāma wa [anzalnā](PKJJ) 'alaykum al-manna wa
as-salwa ---. wa iź [qulnā](PKJJ) udkhulū hāźihi al-qaryata ---/
‘Setelah itu [Kami bangkitkan]-kamu sesudah kamu mati, supaya kamu
bersyukur. Dan [Kami naungi] kamu dengan awan, dan [Kami turunkan]
kepadamu "manna" dan "salwa" ---. Dan (ingatlah), ketika [Kami berfirman]:
"Masuklah kamu ke negeri ini (Baitul Maqdis), ---.’
Seperti persesuaian kala, jenis, dan jumlah yang menjadi peranti kohesi antarayat
dalam satu tema, dalam persesuaian kala, jenis, dan jumlah yang terdapat dalam
(36) ini menyatakan rentang waktu dan informasi yang sama yang terdapat dalam
verba. Seperti dikemukakan oleh Az-Zuhaylī (2004a: 178, 195, dan 233), tema
yang dibicarakan dalam (36a) berkaitan dengan nikmat Tuhan kepada Bani Israil,
dalam (36b) berkaitan dengan balasan kepada Bani Israil karena melanggar
beberapa perintah Tuhan, dan dalam (36c) berkaitan dengan pelanggaran janji
Bani Israil. Berita yang datang dari tuhan tentang perilaku Bani Israil ini
ayat tersebut.
4.1.5 Konjungsi
Halliday dan Hasan (1976: 226) mengemukakan bahwa kohesi dapat juga dicapai
melalui penggunaan konjungsi. Dalam hal ini, kohesi tidak terdapat dalam elemen
memberikan makna tertentu bagi hubungan antarelemen dalam teks. Halliday dan
internal-external.
4.1.5.1 Aditif
Secara garis besar, Halliday dan Hasan (1976: 249-250) menyebutkan bahwa
relasi aditif terdiri atas lima macam, yaitu relasi aditif simpel (internal-external),
komparatif (internal), dan relasi apositif (internal). Seperti dapat dilihat dalam
terdapat dalam bahasa Inggris dan bahasa Arab, dalam penelitian ini saya hanya
membahas relasi aditif meliputi relasi aditif, aditif negatif, alternatif, akspositoris,
Dalam (37) di atas, dapat kita lihat bahwa konjungtor و/wa/ 'dan' digunakan dua
kali dalam ayat tersebut. Fungsi penggunaan dua konjungtor wa ini adalah untuk
menunjukkan relasi aditif antarbagian dalam ayat ke-27 di atas. Dalam balāgah,
keseluruhan berubah. Hal ini dapat kita lihat melalui perbandingan antara bentuk
asal ayat dan terjemahannya yang menggunakan konjungtor dengan bentuk yang
(38) a. allaźīna yanqudūn 'ahda allāhi min ba'd mīśāqihi [wa] yaqta'ūn mā amara
allāhu bihi an yūsala [wa] yufsidūna fi al-ard ulā'ika hum al-khāsirūn.
Orang-orang yang melanggar perjanjian Allah sesudah perjanjian itu teguh,
[dan] memutuskan apa yang diperintahkan Allah (kepada mereka) untuk
menghubungkannya [dan] membuat kerusakan di muka bumi. Mereka itulah
orang-orang yang rugi.
b. allaźīna yanqudūn 'ahda allāhi min ba'd mīśāqihi [x] yaqta'ūn mā amara
allāhu bihi an yūsala [x] yufsidūna fi al-ardi ulā'ika hum al-khāsirūn.
Orang-orang yang melanggar perjanjian Allah sesudah perjanjian itu teguh [x]
memutuskan apa yang diperintahkan Allah (kepada mereka) untuk
menghubungkannya [x] membuat kerusakan di muka bumi. Mereka itulah
orang-orang yang rugi.
Dalam kasus seperti ini, perwujudan kohesi secara eksplisit, yaitu pemanfaatan
teks maupun sebagai peranti yang mengarahkan pemahaman. Oleh karena itu, kita
dapat menyanggah pendapat Brown dan Yule (1983: 196) yang meniadakan
negatif. Dalam ayat di bawah ini, misalnya, konjungtor wa bersama partikel ﻻ/lā/
(39) ي
َ ﻦ َﺗ ِﺒ َﻊ ُه ﺪَا ْ ﺟﻤِﻴ ًﻌ ﺎ َﻓِﺈ ﱠﻣ ﺎ َﻳ ْﺄ ِﺗ َﻴ ﱠﻨ ُﻜ ْﻢ ِﻣ ﱢﻨ ﻲ ُه ﺪًى َﻓ َﻤ
َ ﻄ ﻮا ﻣِ ْﻨﻬَ ﺎ ُ ُﻗ ْﻠ َﻨ ﺎ ا ْه ِﺒ
ﻋَﻠ ْﻴ ِﻬ ْﻢ
َ ف
ٌ ﺧَ ْﻮUﻟَﺎUَف (38) ن َ ﺤ َﺰﻧُﻮ
ْ ُه ْﻢ َﻳUوَﻟَﺎU
/qulnā ihbitū minhā jamī'a fa immā ya'tiyannakum minnī hudan fa man tabi'a
hudāya fa [lā] khawfun 'alayhim [wa] [lā] hum yahzanūna/
‘Kami berfirman: "Turunlah kamu semua dari surga itu! Kemudian jika datang
petunjuk-Ku kepadamu, maka barang siapa yang mengikuti petunjuk-Ku, niscaya
tidak ada kekhawatiran atas mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati".’ (QS.
Al-Baqarah: 38)
Serupa dengan hubungan wa pada ayat yang saya ulas dalam (39), dalam ayat ini,
konjungtor wa bersama lā tidak dapat dihilangkan. Hal ini disebabkan oleh tidak
konjungtor secara eksplisit dalam (39) mutlak diperlukan, baik sebagai peranti
pemahaman. Oleh karena itu, di sini berlaku kritik yang sama terhadap pendapat
Brown dan Yule (1983: 196) yang meniadakan fungsi keberadaan sarana formal
dalam pemahaman teks. Namun, dalam pembahasan wasl, seperti akan dijelaskan
dalam pembahasan selanjutnya, misalnya contoh (50) dan (51) dalam (4.1.5.2),
Selain dengan cara seperti itu, dalam ayat ke-197 surat Al-Baqarah berikut
ini, meskipun peranti yang digunakan tetap sama, terdapat sedikit perbedaan
Seperti juga fungsi pemanfaatan konjungtor dalam (37), dalam (40) ini fungsi و
/wa/ dan ﻻ/lā/ ‘tidak’ juga berfungsi untuk menghindari kesalahpahaman (Al-
Hasyimi 1960: 199-201). Berbeda dengan (39) yang terikat oleh kondisi semantik
antara ه ﻢ/hum/ ‘mereka’ yang enklitik dan yang terdapat dalam verba ﻳﺤﺰﻧ ﻮن
/yahzanūn/ ‘mereka bersedih’ dan keterkaitan makna khawf ‘takut’ dan huzn
dasarnya tidak berkaitan (Al-Jurjāni t.t.: 223). Dalam kasus seperti ini, interpretasi
haji’. Namun demikian, jika kita mempertimbangkan pendapat Brown dan Yule
(1983: 225 dan 231-233) tentang usaha pemahaman teks melalui sebagai
pemahaman terhadap intensi pembicara atau penulis, bentuk ﻻ/lā/ ‘tidak’ yang
pada dasarnya berfungsi sebagai negasi (nafy) justru dipahami sebagai larangan
(nahy). Jika kita mengikuti Brown dan Yule (1983: 234-235), pemahaman seperti
ini diperoleh melalui top-down and bottom-up processing. Namun jika kita
makna alternatif. Dalam surat Al-Baqarah, relasi alternatif dapat dilihat dalam
ayat berikut.
adalah أو/aw/ 'atau'. As-Suyūtī (t.t.a: 157) mengemukakan bahwa dalam kasus
seperti ini, fungsi konjungtor aw yang saya tandai di atas adalah untuk
bayn al-ma'tūfayn aw al-imtinā' bi al-jam'). Hal ini berbeda dari relasi alternatif
(42) ل
َ ﻚ َﻗ ﺎ
َ َﺗ ْﺄﺗِﻴ َﻨ ﺎ ءَا َﻳ ٌﺔ َآ َﺬِﻟUَْأوU ن َﻟ ْﻮَﻟ ﺎ ُﻳ َﻜﱢﻠ ُﻤ َﻨ ﺎ اﻟﱠﻠ ُﻪ َ ﻦ ﻟَﺎ َﻳ ْﻌَﻠ ُﻤ ﻮ
َ ل اﱠﻟﺬِﻳ َ َوﻗَﺎ
ﻦ َﻗ ْﺒِﻠ ِﻬ ْﻢ
ْ ﻦ ِﻣ
َ ت ِﻟ َﻘ ْﻮ ٍم اﱠﻟﺬِﻳ
ِ ﺖ ُﻗُﻠ ﻮ ُﺑ ُﻬ ْﻢ َﻗ ْﺪ َﺑ ﱠﻴ ﱠﻨ ﺎ اﻟْﺂ َﻳ ﺎ
ْ ﻞ َﻗ ْﻮِﻟ ِﻬ ْﻢ َﺗ ﺸَﺎ َﺑ َﻬ
َ ِﻣ ْﺜ
(118) ن َ ﻳُﻮ ِﻗﻨُﻮ
/wa qāla allaźīna lā ya'lamūna law lā yukallimunā allāhu [aw] ta'tīnā āyatun ka
źālika qāla allaźīna min qablihim miśla qawlihim tasyābahat qulūbuhum qad
bayyannā al-āyāt liqawmin yūqinūn/
‘Dan orang-orang yang tidak mengetahui berkata: "Mengapa Allah tidak (langsung)
berbicara dengan kami atau datang tanda-tanda kekuasaan-Nya kepada kami?"
Demikian pula orang-orang yang sebelum mereka telah mengatakan seperti ucapan
mereka itu; hati mereka serupa. Sesungguhnya Kami telah menjelaskan tanda-tanda
kekuasaan Kami kepada kaum yang yakin.’
Berbeda dengan yang terdapat dalam (41), dalam (42) konjungtor أو/aw/ 'atau'
alternatif yang dapat memilih salah satu di antaranya atau sekaligus keduanya (at-
Perbedaan relasi makna yang dihasilkan oleh konjungtor yang sama ini
ditentukan oleh makna intrinsik yang dikandung oleh setiap elemen dalam sebuah
apa yang dimaksudkan oleh ungkapan tersebut secara keseluruhan (Brown dan
Yule 1983: 256-270, Givon 1995: 358, dan Alwi et al. 1998: 434). Akan tetapi,
konjungsi tidak dibutuhkan. Sebab, tanpa keberadaan konjungtor ini maksud yang
disalahpahami.
teks. Hal ini dapat juga kita pahami dari relasi aditif dalam ayat ini yang
menggantinya dengan و /wa/ 'dan', kita tetap dapat memahami bahwa yang
seperti ucapan mereka itu' adalah menyamakan ucapan "orang sebelum mereka"
dengan ucapan "orang yang tidak tahu". Oleh karena itu, dapat juga kita
ekspositoris. Dalam surat Al-Baqarah, hal itu dapat dilihat dalam rangkaian ayat
(43) ﺲ
ِ ل وَا ْﻟ َﺄ ْﻧ ُﻔ
ِ ﻦ ا ْﻟ َﺄ ْﻣﻮَا
َ ﺺ ِﻣ ٍ ع َو َﻧ ْﻘ ِ ﺠﻮ ُ ف وَا ْﻟ
ِ ﺨ ْﻮ
َ ﻦ ا ْﻟ
َ ﻲ ٍء ِﻣ
ْ ﺸَ َوَﻟ َﻨ ْﺒُﻠ َﻮ ﱠﻧ ُﻜ ْﻢ ِﺑ
ﺻ ﺎ َﺑ ْﺘ ُﻬ ْﻢ
َ ِإذَا َأUَاﱠﻟ ﺬِﻳﻦU (155) Uَاﻟ ﺼﱠﺎ ِﺑﺮِﻳﻦU ﺸ ِﺮ ت َو َﺑ ﱢِ وَاﻟ ﱠﺜ َﻤ ﺮَا
ن
َ ﺟﻌُﻮِ ُﻣﺼِﻴ َﺒ ٌﺔ ﻗَﺎﻟُﻮا ِإﻧﱠﺎ ِﻟﱠﻠ ِﻪ َوِإﻧﱠﺎ ِإَﻟ ْﻴ ِﻪ رَا (156)
/wa lanabluwannakum bisyay'in min al-khawfi wa al-jū'i wa naqsin min al-amwāli
wa al-anfusi wa aś-śamarāti wa basysyir [as-sābirīna]. [allaźīna] iźā asābathum
musībatun qālū inna li allāhi wa inna ilayhi rāji'ūna/
‘Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan,
kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira
kepada [orang-orang yang sabar], (yaitu) orang-orang [yang] apabila ditimpa
musibah, mereka mengucapkan, "Innā lillāhi wa innā ilayhi rāji`ūn (kami berasal
dari-Nya dan akan kembali kepada-Nya)".’ (QS. Al-Baqarah: 155-156)
Dalam (43) di atas, dapat kita lihat bahwa pemakaian kata sambung (ism mawsūl)
mereka mengucapkan, "Innā lillāhi wa innā ilayhi rāji`ūn’. Dalam hal ini, bentuk
berhubungan, terkait satu dengan yang lain. Oleh karena itu, dapat juga dikatakan
di sini bahwa peranti kohesi semacam ini juga dibutuhkan dalam usaha
Selain itu, relasi aditif apositif dapat juga bersifat eksemplifikatoris atau
memberi contoh. Dalam surat Al-Baqarah, hal itu dapat dilihat dalam ayat ke-215
berikut.
(44) ﻦ
َ ﻦ وَا ْﻟَﺄ ْﻗ َﺮﺑِﻴ
ِ ِﻟ ْﻠﻮَاِﻟ َﺪ ْﻳUَفU ﺧ ْﻴ ٍﺮ َ ﻦ ْ ﻞ ﻣَﺎ َأ ْﻧ َﻔ ْﻘ ُﺘ ْﻢ ِﻣْ ن ُﻗَ ﻚ ﻣَﺎذَا ُﻳ ْﻨ ِﻔﻘُﻮ
َ ﺴَﺄﻟُﻮ َﻧ
ْ َﻳ
ن وَا ْﻟ َﻴﺘَﺎﻣَﻰ ﺧ ْﻴ ٍﺮ َﻓ ِﺈ ﱠ
َ ﻦ
ْ ﻞ َو َﻣ ﺎ َﺗ ْﻔ َﻌُﻠ ﻮا ِﻣ ِ ﺴﺒِﻴﻦ اﻟ ﱠِ ﻦ وَا ْﺑ ِ وَا ْﻟ َﻤﺴَﺎآِﻴ
(215) اﻟﱠﻠ َﻪ ِﺑ ِﻪ ﻋَﻠِﻴ ٌﻢ
/yas'alūnaka māźā yunfiqūna qul mā anfaqtum min khayrin [fa] li alwālidayni wa
al-aqrabīna wa al-yatāmā wa al-masākīni wa ibna sabīlin wa mā taf'alū min
khayrin fa inna allāha bihi 'alīmun/
‘Mereka bertanya kepadamu tentang apa yang mereka nafkahkan. Jawablah: "Apa
saja harta yang kamu nafkahkan hendaklah diberikan kepada ibu-bapak, kaum
kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang sedang dalam
perjalanan." Dan apa saja kebajikan yang kamu buat, maka sesungguhnya Allah
Maha Mengetahuinya.’ (QS. Al-Baqarah: 215)
Dalam (44) di atas, dapat dilihat bahwa konjungtor ف/fa/ menjadikan hubungan
ﻞ
ِ ﺴﺒِﻴ
ﻦ اﻟ ﱠ
ِ ﻦ وَا ْﺑ
ِ وَا ْﻟ َﻤ ﺴَﺎآِﻴ/li alwālidayni wa al-aqrabīna wa al-yatāmā wa al-
masākīni wa ibn sabīl/ 'kepada ibu-bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-
orang miskin dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan' dalam ayat tersebut
relasi kausal dan temporal. Namun dalam ayat ini, konjungtor tersebut digunakan
Oleh karena itu, dapat juga disimpulkan bahwa dalam kasus seperti bukan
sebaliknya hubungan antara informasi leksikal yang terkandung dalam teks ayat
ini mempengaruhi makna konjungtor yang dipakainya. Hal semacam ini juga
(45) ﺲ ا ْﻟ ِﺒ ﱡﺮ
َ َﻟ ْﻴUَوU ﺞ ﺤ ﱢ َ س وَا ْﻟ
ِ ﺖ ﻟِﻠ ﱠﻨ ﺎ ُ ﻲ َﻣﻮَاﻗِﻴ َ ﻞ ِهْ ﻦ ا ْﻟَﺄ ِهﱠﻠ ِﺔ ُﻗ
ِﻋَ ﻚ َ ﺴَﺄﻟُﻮ َﻧ
ْ َﻳ
ﻦْ ت ِﻣ َ ﻦ ا ﱠﺗﻘَﻰ وَ ْأ ُﺗ ﻮا ا ْﻟ ُﺒ ُﻴ ﻮ ِ ﻦ ا ْﻟ ِﺒ ﱠﺮ َﻣ
ﻇﻬُﻮ ِرهَﺎ َوَﻟ ِﻜ ﱠ
ُ ﻦ ْ ت ِﻣ َ ن َﺗ ْﺄﺗُﻮا ا ْﻟ ُﺒﻴُﻮ
ْ ِﺑَﺄ
َأ ْﺑﻮَا ِﺑﻬَﺎ وَاﺗﱠﻘُﻮا اﻟﱠﻠ َﻪ َﻟ َﻌﱠﻠ ُﻜ ْﻢ (189) ن َ ُﺗ ْﻔِﻠﺤُﻮ
/yas'alūnaka 'an al-ahillati qul hiya mawāqītu li an-nāsi wa al-hajji [wa] laysa al-
birra bi an ta'tū al-buyūta min zuhūrihā wa lākinna al-birr man ittaqā wa u'tū al-
buyūta min abwābihā wa ittaqū allāha la'allakum tuflihūna/
‘Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: "Bulan sabit itu
adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji; [dan] bukanlah
kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi kebajikan itu ialah
kebajikan orang yang bertakwa. Dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintunya;
dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung.’ (QS. Al-Baqarah: 189)
Menurut Ibn 'Abbās (dalam Az-Zuhayli 2004: 536) ayat ini merupakan jawaban
terhadap pertanyaan yang ditujukan kepada Nabi Muhammad saw. seputar sebab
perubahan bentuk bulan. Ayat ini tidak menjawab pertanyaan tentang sebab
Ungkapan selanjutnya dari ayat ini, menurut Al-Barrā' (dalam Az-Zuhayli 2004:
rumah dari belakang ketika musim haji tiba, dan menyatakan bahwa hal itu bukan
suatu kebajikan. Relasi ini merupakan relasi aposisi pemercontohan yang lebih
khusus, yaitu tentang kebiasaan buruk orang Arab yang memasuki rumah dari
belakang. Atas dasar itu, dapat disimpulkan bahwa konjungtor و /wa/ yang
aposisi pemercontohan.
Dapat dikatakan bahwa relasi semacam ini sangat sulit ditunjukkan tanpa
melaksanakan haji. Dengan kata lain, koherensi ayat tersebut ditentukan bukan
dunia” dan “tafsiran lokal”. Selain itu, tanpa bekal pengetahuan tentang hal itu,
fungsi konjungtor wa sulit untuk ditentukan. Lebih dari itu, tanpa keberadaan
sebagai peranti kohesi tidak turut menentukan koherensi antarbagian dalam teks.
Oleh karena itu, kita dapat mempertimbangkan kritik Brown dan Yule (1983: 196)
(1998: 428) sebagai bagian dari relasi aditif. Dalam surat Al-Baqarah, relasi
Dalam (46) di atas, dapat kita lihat bahwa relasi pengutamaan yang terdapat dalam
antara keduanya bukan lagi pengutamaan. Hal ini akan lebih jelas jika kita lihat
(47) a. /śumma qasat qulūbukum min ba'd źālik fahiya ka al-hijārati [aw] asyaddu
qaswatan ---/
‘Kemudian setelah itu hatimu menjadi keras seperti batu, [bahkan] lebih keras
lagi ---’
b. /śumma qasat qulūbukum min ba'd źālik fahiya ka al-hijārati [x] asyaddu
qaswatan ---/
‘Kemudian setelah itu hatimu menjadi keras seperti batu [x] sekeras-kerasnya -
--’
Dapat dilihat dalam (47) di atas bahwa tanpa konjungtor hubungan antara
Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa keberadaan konjungtor turut menentukan
pemahaman teks dengan baik. dan dapat juga kita pertanyakan kembali kritik
Brown dan Yule (1983: 196) terhadap fungsi perwujudan kohesi dalam
identifikasi teks. Hal ini dapat pula kita lihat dalam penggunaan konjungtor yang
(48) ﺷ ﱠﺪ ِذ ْآ ﺮًا
َ َأUَْأوU ﺳ َﻜ ُﻜ ْﻢ ﻓَﺎ ْذ ُآﺮُوا اﻟﱠﻠ َﻪ َآ ِﺬ ْآ ِﺮ ُآ ْﻢ ءَاﺑَﺎ َء ُآ ْﻢ
ِ ﻀ ْﻴ ُﺘ ْﻢ َﻣﻨَﺎ
َ َﻓِﺈذَا َﻗ
(200) ---
/fa iźā qadaytum manāsikakum fa uźkurū allāha kaźikrikum abā'akum [aw]
asyadda źikran ---/
‘Apabila kamu telah menyelesaikan ibadah hajimu, maka berzikirlah (dengan
menyebut) Allah, sebagaimana kamu menyebut-nyebut (membangga-banggakan)
nenek moyangmu, [atau (bahkan)] berzikirlah lebih banyak dari itu ---’ (QS. Al-
Baqarah: 200)
4.1.5.2 Adversatif
Halliday dan Hasan (1976: 255-256) mengemukakan bahwa secara garis besar
relasi adversatif terdiri atas lima macam relasi makna, yaitu relasi adversatif
relasi korektif (internal), dan relasi dismisif. Dengan pertimbangan yang sama,
seperti juga dilakukan dalam menganalisis relasi aditif di atas, dalam sub ini saya
digunakan sebanyak 163 kali, meliputi relasi adversatif, relasi kontrastif, dan
relasi korektif, dan ditambah dengan relasi pengecualian yang dikemukakan oleh
Dalam ayat ini, seperti dapat kita lihat dalam (49) di atas, bentuk ﻟﻮ /law/
ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ ءَاﺑَﺎ َء َﻧ ﺎ
َ ﻞ ﻧَﺘﱠﺒِ ُﻊ ﻣَ ﺎ َأ ْﻟ َﻔ ْﻴ َﻨ ﺎ
ْ َﻗ ﺎﻟُﻮا َﺑ /qālū bal nattabi'u mā alfaynā 'alayhi
ābā'anā/ 'mereka menjawab: (Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah
Dalam relasi semacam ini, terlihat bahwa konjungtor law sangat berfungsi untuk
secara utuh.
(50) ب أَﻓَﻠَ ﺎ
َ ن ا ْﻟ ِﻜ َﺘ ﺎ
َ ﺴ ُﻜ ْﻢ َوَأ ْﻧ ُﺘ ْﻢ َﺗ ْﺘُﻠ ﻮ
َ ن َأ ْﻧ ُﻔ
َ ﺴ ْﻮ
َ س ِﺑ ﺎ ْﻟ ِﺒ ﱢﺮ َو َﺗ ْﻨ
َ ن اﻟ ﱠﻨ ﺎ
َ َأ َﺗ ْﺄ ُﻣﺮُو
(44) ن َ َﺗ ْﻌ ِﻘﻠُﻮ
/a ta'murūna an-nāsa bi al-birri [wa] tansawna anfusakum wa antum tatlūna al-
kitāba a falā ta'qilūna/
‘Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebajikan, sedangkan kamu
melupakan dirimu (kewajiban) sendiri, padahal kamu membaca Al Kitab (Taurat)?
Maka tidakkah kamu berpikir?’ (QS. Al-Baqarah: 44)
hubungan semantik dasar yang jelas. Dengan kata lain, meskipun maknanya
Hal itu berbeda dengan yang terdapat dalam ayat ke-75 surat Al-Baqarah
di bawah ini.
berjumpa dengan orang-orang yang beriman, mereka berkata: kami telah beriman'
pragmatik ayat secara keseluruhan (Renkema 2004: 110). Hal ini dapat lebih jelas
korektif yang biasanya memakai konjungtor terputus. Hal itu terlihat dalam ayat
berikut.
Dapat dilihat dalam (52) di atas bahwa tanpa pemakaian gabungan dua konjungtor
terpisah tersebut, yaitu ..... وﻟﻜ ﻦ,..... ﻣ ﺎ/mā ....., wa lākin ...../ ‘tidak .....,
melainkan .....’, hubungan antarbagian dalam potongan ayat tersebut menjadi tidak
logis atau dapat disalahpahami. Dalam balāgah, hal ini disebut sebagai qasr, yaitu
1960: 181, ‘Atwi 1989: 86, dan Al-Jurjāni 1989: 330). Hal itu dapat dilihat dalam
perbandingan berikut.
penting bukan hanya sebagai peranti kohesi, melainkan juga sebagai unsur yang
turut membentuk koherensi ungkapan tersebut. Oleh karena itu, dapat juga
dinyatakan di sini bahwa tidak seluruh penafsiran dapat membebaskan diri dari
hubungan formal dalam teks. Ayat ke-177 surat Al-Baqarah berikut ini juga dapat
(54) Uﻦ
َﻟ ِﻜ ﱠUب َو ِ ق وَا ْﻟ َﻤ ْﻐ ِﺮ
ِ ﺸ ِﺮ
ْ ﻞ ا ْﻟ َﻤ
َ ن ُﺗ َﻮﻟﱡﻮا ُوﺟُﻮ َه ُﻜ ْﻢ ِﻗ َﺒ
ْ ا ْﻟ ِﺒ ﱠﺮ َأUََﻟ ْﻴﺲU
ﻦ ﺑِﺎﻟﱠﻠ ِﻪ
َ ﻦ ءَا َﻣ
ْ ا ْﻟ ِﺒ ﱠﺮ َﻣ (177) --- ﺧ ِﺮ ِ وَا ْﻟ َﻴ ْﻮ ِم اﻟْﺂ
/[laysa] al-birra an tuwallū wujūhakum qibala al-masyriqi wa al-magribi [wa
lakinna] al-birra man āmana bi allāhi wa al-yawmi al-ākhiri ---/
‘[Bukan] dengan menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu yang
merupakan suatu kebajikan, [melainkan] beriman kepada Allah, hari kemudian
yang merupakan kebajikan ---’ (QS. Al-Baqarah: 177)
Serupa dengan fenomena qasr yang terdapat dalam (53), untuk mempertahankan
koherensi antarbagian dalam (54) di atas, salah satu dan atau seluruhnya dari
.... وﻟﻜ ﻦ,... ﻟ ﻴﺲ/laysa ....., wa lākin ...../ 'bukan ....., akan tetapi .....' tidak
dapat dihilangkan. Hanya saja, jika dalam qasr kemungkinan makna selain yang
disebutkan diabaikan, kemungkinan makna lain dalam (54) tidak dapat diabaikan.
bahwa “kebaikan bukan hanya beriman kepada Allah dan hari akhir saja” dan
pemakaian lakinna dan laysa dalam (54) secara khusus bertujuan sekadar
pertimbangkan pendapat Alwi et al. (1998: 428) tentang relasi perkecualian. Hal
itu dapat kita lihat dalam huubungan ayat ke-159 dan ke-160 surat Al-Baqarah
(55) س
ِ ﻦ َﺑ ْﻌ ِﺪ ﻣَﺎ َﺑ ﱠﻴﻨﱠﺎ ُﻩ ﻟِﻠ ﱠﻨ ﺎ
ْ ت َوا ْﻟ ُﻬﺪَى ِﻣ
ِ ﻦ ا ْﻟ َﺒ ﱢﻴﻨَﺎ
َ ن ﻣَﺎ َأ ْﻧ َﺰ ْﻟﻨَﺎ ِﻣ
َ ﻦ َﻳ ْﻜ ُﺘﻤُﻮَ ن اﱠﻟﺬِﻳِإ ﱠ
ﻦ
َ اﱠﻟ ﺬِﻳUإِﱠﻟ ﺎU (159) َﻚ َﻳ ْﻠ َﻌ ُﻨ ُﻬ ُﻢ اﻟﱠﻠ ُﻪ َو َﻳ ْﻠ َﻌ ُﻨ ُﻬ ُﻢ اﻟﻠﱠﺎﻋِﻨُﻮن َ ب أُوَﻟ ِﺌِ ﻓِﻲ ا ْﻟ ِﻜﺘَﺎ
ﺻَﻠﺤُﻮا ْ ب اﻟ ﱠﺮﺣِﻴ ُﻢ ﺗَﺎﺑُﻮا َوَأ ُ ﻋَﻠ ْﻴ ِﻬ ْﻢ َوَأ َﻧ ﺎ اﻟ ﱠﺘ ﻮﱠاَ ب ُ ﻚ َأ ُﺗ ﻮَ َو َﺑ ﱠﻴﻨُﻮا َﻓﺄُوَﻟ ِﺌ
(160)
/inna allaźīna yaktumūna mā anzalnā min al-bayyināti wa al-hudā min ba'di mā
bayyannāhu li an-nāsi fi al-kitābi ulā'ika yal'anuhum allāhu wa yal'anuhum al-
lā'inūna [illā] allaźīna tābū wa aslahū wa bayyanū fa ulā'ika atūbu 'alayhim wa
ana at-tawwābu ar-rahīmu/
‘Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan
berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami
menerangkannya kepada manusia dalam Al Kitab, mereka itu dilaknati Allah dan
dilaknati (pula) oleh semua (makhluk) yang dapat melaknati, [kecuali] mereka yang
telah taubat dan mengadakan perbaikan dan menerangkan (kebenaran), maka
terhadap mereka itu Aku menerima taubatnya dan Akulah Yang Maha Penerima
taubat lagi Maha Penyayang.’
Seperti dapat kita lihat dalam (55) di atas, hubungan antara kedua ayat tersebut
diperantarai oleh bentuk إّﻟ ﺎ/illā/ 'kecuali' yang menunjukkan relasi pengecualian.
Keberadaan bentuk illā dalam hal ini sangat penting, karena tanpa keberadaannya
hubungan antara kedua ayat tersebut tidak tampak. Selain itu, dapat dikatakan
bahwa fungsi konjungtor illā ‘kecuali’ dalam ayat ke-160 adalah untuk men-
takhsīs keumuman makna yang dikandung oleh ayat ke-159 surat Al-Baqarah
(As-Suyūti t.t.b: 17, dan Al-Qattān 1995: 219). Oleh karena itu, karena
tentang makna teks, maka dapat kita kemukakan juga di sini kritik terhadap
Brown dan Yule (1983: 196) yang menganggap kohesi tidak diperlukan dalam
identifikasi teks.
Hal seperti itu dapat juga kita pahami melalui penggunaan bentuk illā
(56) ﻀ ًﺔ
َ ﻦ َﻓﺮِﻳ ﺿ ُﺘ ْﻢ َﻟ ُﻬ ﱠ ْ َﻦ َو َﻗ ْﺪ ﻓَﺮ ن َﺗ َﻤ ﺴﱡﻮ ُه ﱠ ْ ﻞ َأ
ِ ﻦ َﻗ ْﺒ
ْ ﻦ ِﻣ ﻃﱠﻠ ْﻘ ُﺘ ُﻤ ﻮ ُه ﱠ
َ نْ َوِإ
حِ ﻋ ْﻘ َﺪ ُة اﻟ ﱢﻨ َﻜ ﺎ
ُ ن َأ ْو َﻳ ْﻌ ُﻔ َﻮ اﱠﻟﺬِي ِﺑ َﻴ ِﺪ ِﻩَ ن َﻳ ْﻌﻔُﻮْ َأUإِﻟﱠﺎU ﺿ ُﺘ ْﻢ ْ ﻒ ﻣَﺎ َﻓ َﺮ ُ ﺼْ َﻓ ِﻨ
ب ﻟِﻠ ﱠﺘ ْﻘﻮَى وَﻟَﺎ ُ ن َﺗ ْﻌﻔُﻮا َأ ْﻗ َﺮْ ن اﻟﱠﻠ َﻪ ِﺑ َﻤ ﺎ َوَأ
ﻞ َﺑ ْﻴ َﻨ ُﻜ ْﻢ ِإ ﱠ
َﻀ ْ ﺴﻮُا ا ْﻟ َﻔ َ َﺗ ْﻨ
(237) ن ﺑَﺼِﻴ ٌﺮ َ َﺗ ْﻌ َﻤﻠُﻮ
/wa in tallaqtumūhunna min qabli an tamassūhunna wa qad faradtum lahunna
farīdatan fa nisfu mā faradtum [illā] an ya'fūna aw ya'fū allaźī biyadihi 'uqdata an-
nikāh wa an ta'fū aqrabu li at-taqwā wa lā tansaw al-fadla baynakum inna allāha
bimā ta'malūn basīrun/
‘Jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu bercampur dengan mereka,
padahal sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya, maka bayarlah setengah
dari mahar yang telah kamu tentukan itu, [kecuali] jika isteri-isterimu itu
memaafkan atau dimaafkan oleh orang yang memegang ikatan nikah, dan pemaafan
kamu itu lebih dekat kepada takwa. Dan janganlah kamu melupakan keutamaan di
antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Melihat segala apa yang kamu kerjakan.’
(QS. Al-Baqarah: 237)
4.1.5.3 Kausal
Halliday dan Hasan (1976: 260-261) mengemukakan bahwa secara garis besar
relasi kausal terdiri atas lima macam relasi, yaitu hubungan kausal umum (internal
yang saya gunakan dalam menganalisis relasi aditif dan relasi adversatif di atas,
dalam sub ini saya hanya membahas relasi kausal secara umum, meliputi
pemberian alasan, tujuan, relasi hasil, relasi respektif, dan relasi kondisional.
memberikan alasan dapat dilihat dalam ayat ke-61 surat Al-Baqarah berikut.
(57) ﻚ
َ ع َﻟ َﻨ ﺎ َر ﱠﺑ
ُ ا ْدUَفU ﺣ ٍﺪ ِ ﻃ َﻌ ﺎ ٍم وَا َ ﺼ ِﺒ َﺮ ﻋَﻠَ ﻰ ْ ﻦ َﻧْ َوِإ ْذ ُﻗ ْﻠ ُﺘ ْﻢ ﻳَﺎﻣُﻮﺳَ ﻰ َﻟ
ﻦ َﺑ ْﻘِﻠ َﻬ ﺎ َو ِﻗﺜﱠﺎ ِﺋ َﻬ ﺎ َوﻓُﻮ ِﻣ َﻬ ﺎ وَﻋَﺪَﺳِ ﻬَﺎْ ض ِﻣ ُ ﺖ ا ْﻟ َﺄ ْر
ُ ج َﻟ َﻨ ﺎ ِﻣ ﱠﻤ ﺎ ُﺗ ْﻨ ِﺒ
ْ ﺨ ِﺮ
ْ ُﻳ
ن اﱠﻟﺬِي ُه َﻮ أَ ْدﻧَﻰ َ ﺴ َﺘ ْﺒ ِﺪﻟُﻮ
ْ ل َأ َﺗ
َ ﺼِﻠﻬَﺎ ﻗَﺎ
َ ﻄ ﻮا َو َﺑُ ﺑِﺎﱠﻟ ﺬِي ُه َﻮ ﺧَ ْﻴ ٌﺮ ا ْه ِﺒ
(61) --- ﺳَﺄ ْﻟ ُﺘ ْﻢ َ ن َﻟ ُﻜ ْﻢ ﻣَﺎ
ِإ ﱠUَفU ﺼﺮًا ْ ِﻣ
/wa iź qultum yā mūsā lan nasbira 'alā ta'āmin wāhidin [fa] ud'u lanā rabbaka
yukhriju lanā mimmā tunbitu al-arda min baqlihā wa qiśśā'ihā wa fūmihā wa
'adasiha wa basalihā qāla a tastabdilūna allaźī huwa adnā bi allaźī huwa khayran
ihbitū misran [fa] inna lakum mā sa'altum ---/
‘Dan (ingatlah), ketika kamu berkata: "Hai Musa, kami tidak bisa sabar (tahan)
dengan satu macam makanan saja. [Sebab itu] mohonkanlah untuk kami kepada
Tuhanmu, agar Dia mengeluarkan bagi kami dari apa yang ditumbuhkan bumi,
yaitu: sayur-mayurnya, ketimunnya, bawang putihnya, kacang adasnya dan bawang
merahnya". Musa berkata: "Maukah kamu mengambil sesuatu yang rendah sebagai
pengganti yang lebih baik? Pergilah kamu ke suatu kota, [maka] pasti kamu
memperoleh apa yang kamu minta" ---’ (QS. Al-Baqarah: 61)
Seperti dapat kita lihat dalam (57) di atas, konjungtor ف/fa/ digunakan untuk
memperantarai ungkapan ﺼﺮًا
ْ ِﻣ ا ْه ِﺒﻄُﻮا/ihbitū misran/ 'pergilah kamu ke suatu
kota' dengan ﻢ
ْ ﺳ َﺄ ْﻟ ُﺘ
َ ن َﻟ ُﻜ ْﻢ ﻣَ ﺎ
ِإ ﱠ/inna lakum mā sa'altum/ 'kamu memperoleh apa
yang kamu minta'. Kedua konjungtor tersebut digunakan untuk menunjukkan
bentuk dalam ungkapan ini. Sebab, relasi kausal pemberian alasan antara dua
2004: 109).
Kasus seperti yang terdapat dalam (57) di atas dapat dilihat lebih jelas
(58) ب
َ ﻋ ْﻨ َﺪ َﺑ ﺎ ِر ِﺋ ُﻜ ْﻢ َﻓ َﺘ ﺎ
ِ ﺴ ُﻜ ْﻢ َذِﻟ ُﻜ ْﻢ ﺧَ ْﻴ ٌﺮ َﻟ ُﻜ ْﻢ
َ ﺗُﻮﺑُﻮا ِإﻟَﻰ ﺑَﺎ ِر ِﺋ ُﻜ ْﻢ ﻓَﺎ ْﻗ ُﺘﻠُﻮا َأ ْﻧ ُﻔ---
ﻋَﻠ ْﻴ ُﻜ ْﻢ
َ (54) ب اﻟ ﱠﺮﺣِﻴ ُﻢ ُ ِإﻧﱠ ُﻪ ُه َﻮ اﻟ ﱠﺘﻮﱠا
/--- tūbū ilā bāri'ikum wa uqtulū anfisakum źālikum khayr lakum 'inda bāri'ikum fa
tāba 'alaykum innahu huwa at-tawwāb ar-rahīm/
‘--- bertaubatlah kepada Tuhan yang menjadikan kamu dan bunuhlah dirimu. Hal
itu adalah lebih baik bagimu pada sisi Tuhan yang menjadikan kamu; maka Allah
akan menerima taubatmu. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Penerima taubat lagi
Maha Penyayang.’ (QS. Al-Baqarah: 54)
Dalam (58) di atas, meskipun tidak terdapat konjungtor antara ungkapan ﺗُﻮ ُﺑ ﻮا
ﺴ ُﻜ ْﻢ
َ إِﻟَ ﻰ َﺑ ﺎ ِر ِﺋ ُﻜ ْﻢ َﻓ ﺎ ْﻗ ُﺘﻠُﻮا َأ ْﻧ ُﻔ /tūbū ilā bāri'ikum wa uqtulū anfusakum/
'bertaubatlah kepada Tuhan yang menjadikan kamu dan bunuhlah dirimu' dan
ungkapan ﻢ
ْ َﺑ ﺎ ِر ِﺋ ُﻜ ﻋ ْﻨ َﺪ
ِ َذِﻟ ُﻜ ْﻢ ﺧَ ْﻴ ٌﺮ َﻟ ُﻜ ْﻢ/źālikum khayr lakum 'inda bāri'ikum/ ‘hal
itu lebih baik bagimu di sisi Tuhan yang menjadikan kamu’ dan ب
ُ ِإﻧﱠ ُﻪ ُه َﻮ اﻟ ﱠﺘ ﻮﱠا
اﻟ ﱠﺮﺣِﻴ ُﻢ /innahu huwa at-tawwāb ar-rahīm/ 'sesungguhnya Dialah Yang Maha
secara pragmatis dapat dilihat sebagai relasi tindak tutur dengan pemberian alasan
yang digunakan untuk memotivasi taubat Bani Israil (Renkema 2004: 110-111).
Oleh karena itu, dapat juga kita pertanyakan tentang fungsi perwujudan peranti
b. (53) ن
َ ُآ ْﻢ َﺗ ْﻬ َﺘﺪُوUَﻟ َﻌﻞﱠU َب وَا ْﻟ ُﻔ ْﺮﻗَﺎن
َ َوِإ ْذ ءَا َﺗ ْﻴﻨَﺎ ﻣُﻮﺳَﻰ ا ْﻟ ِﻜﺘَﺎ
/wa iź ātaynā mūsā al-kitāba wa al-furqāna [la'alla]-kum tahtadūna/
‘Dan (ingatlah), ketika Kami berikan kepada Musa Al Kitab (Taurat) dan
keterangan yang membedakan antara yang benar dan yang salah, [agar] kamu
mendapat petunjuk.’ (QS. Al-Baqarah: 53)
Dalam (59) di atas, dapat kita lihat bahwa kohesi yang dicapai dalam hubungan
Kitab (Taurat) dan keterangan yang membedakan antara yang benar dan yang
dapat diketahui jika konjungtor tersebut dihilangkan. Hal ini dapat dilihat dalam
(60) berikut.
relasi yang menyatakan hasil. Berikut terlihat dalam ayat di bawah ini.
(61) س
ِ ﻦ َﺑ ْﻌ ِﺪ ﻣَﺎ َﺑ ﱠﻴﻨﱠﺎ ُﻩ ﻟِﻠ ﱠﻨ ﺎ
ْ ت وَا ْﻟ ُﻬﺪَى ِﻣ
ِ ﻦ ا ْﻟ َﺒ ﱢﻴﻨَﺎ
َ ن ﻣَﺎ َأ ْﻧ َﺰ ْﻟﻨَﺎ ِﻣ
َ ﻦ َﻳ ْﻜ ُﺘﻤُﻮَ ن اﱠﻟﺬِﻳِإ ﱠ
ﻓِﻲ (159) َﻚ َﻳ ْﻠ َﻌ ُﻨ ُﻬ ُﻢ اﻟﱠﻠ ُﻪ َو َﻳ ْﻠ َﻌ ُﻨ ُﻬ ُﻢ اﻟﻠﱠﺎﻋِﻨُﻮن
َ ب أُوَﻟ ِﺌ
ِ ا ْﻟ ِﻜﺘَﺎ
/inna allaźīna yaktumūna mā anzalnā min al-bayyināti wa al-hudā min ba'di mā
bayyannāhu li an-nāsi fi al-kitābi ulā'ika yal'anuhum allāhu wa yal'anuhum al-
lā'inūna/
‘Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan
berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami
menerangkannya kepada manusia dalam Al Kitab, mereka itu dila`nati Allah dan
dila`nati (pula) oleh semua (makhluk) yang dapat mela`nat.’ (QS. Al-Baqarah: 159)
Dapat kita lihat dalam (61) di atas bahwa relasi respektif antara ungkapan ن
ِإ ﱠ
س ِﻓ ﻲ
ِ ﻦ َﺑ ْﻌ ِﺪ ﻣَ ﺎ ﺑَﻴﱠﻨﱠ ﺎ ُﻩ ﻟِﻠ ﱠﻨ ﺎ
ْ ت وَا ْﻟ ُﻬ ﺪَى ِﻣ
ِ ﻦ ا ْﻟ َﺒ ﱢﻴ َﻨ ﺎ
َ ن ﻣَ ﺎ َأ ْﻧ َﺰ ْﻟ َﻨ ﺎ ِﻣ
َ ﻦ َﻳ ْﻜ ُﺘﻤُﻮ
َ اﱠﻟﺬِﻳ
ب
ِ ا ْﻟ ِﻜ َﺘ ﺎ/inna allaźīna yaktumūna mā anzalnā min al-bayyināt wa al-hudā min
(yang jelas) dan petunjuk, setelah kami menerangkannya kepada manusia dalam
dilaknat (pula) oleh semua (makhluk) yang dapat melaknat' dalam ayat di atas
membutuhkan peranti kohesi secara eksplisit. Begitu juga jika kita mencoba
memahami relasi respektif yang terdapat dalam ayat ke-158 surat Al-Baqarah di
bawah ini.
(62) ح
َ ﺟ َﻨ ﺎ
ُ ﻋ َﺘ َﻤ َﺮ ﻓَﻠَﺎ
ْ ﺖ َأ ِو ا
َ ﺞ ا ْﻟ َﺒ ْﻴ
ﺣﱠ َ ﻦ ْ ﺷﻌَﺎ ِﺋ ِﺮ اﻟﱠﻠ ِﻪ َﻓ َﻤ
َ ﻦ
ْ ﺼﻔَﺎ وَا ْﻟ َﻤ ْﺮ َو َة ِﻣ
ن اﻟ ﱠ
ِإ ﱠ
(158) --- ف ِﺑ ِﻬﻤَﺎ َ ﻄ ﱠﻮ ن َﻳ ﱠ ْ ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َأ
َ
/inna as-safā wa al-marwata min sya'ā'iri allāhi fa man hajja al-bayta aw i'tamara
[fa] lā junāha an yattawwafa bihima ---/
‘Sesungguhnya Shafaa dan Marwah adalah sebahagian dari syi`ar Allah.
Barangsiapa yang beribadah haji ke Baitullah atau ber-`umrah, maka tidak ada dosa
baginya mengerjakan sa`i antara keduanya (---)’ (QS. Al-Baqarah: 158)
Dalam (62) di atas, jelas bahwa relasi respektif antara ungkapan ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ
َ ح
َ ﺟ َﻨ ﺎ
ُ ﻟَ ﺎ
ف ﺑِﻬِﻤَ ﺎ
َ ﻄ ﱠﻮ
ن َﻳ ﱠ
ْ َأ /lā junāha 'alayhi an yattawwafa bihima/ 'tidak ada dosa
‘umrah’ diwujudkan melalui ف/fa/. Meskipun dalam ayat ini terdapat konjungtor
yang digunakan untuk mengaitkan hubungan yang saya maksud, seperti juga
relasi hasil yang terdapat dalam (60), dalam ayat ini interpretasi terhadap jenis
relasi respektif yang saya maksud pada dasarnya tidak membutuhkan konjungtor
ف/fa/. Sebab, hubungan tersebut dapat dipahami melalui makna yang terkandung
dalam ungkapan ﺷ ﻌَﺎ ِﺋ ِﺮ اﻟﱠﻠ ِﻪ
َ ﻦ
ْ ﺼﻔَﺎ وَا ْﻟ َﻤ ْﺮ َو َة ِﻣ
ن اﻟ ﱠ
ِإ ﱠ /inna as-safā wa al-
sebahagian dari syi`ar Allah’ yang menjadi dasar dari relasi respektif tersebut.
tersebut tidak bersifat wajib, maka, bagi saya, dapat juga dikatakan bahwa
Selain menunjukkan relasi alasan, tujuan, dan hasil, dalam relasi kausal
(63) ج َﻟ َﻨ ﺎ
ْ ﺨ ِﺮ
ْ ﻚ ُﻳَ ع َﻟﻨَﺎ َر ﱠﺑُ ﺣ ٍﺪ ﻓَﺎ ْد
ِ ﻃﻌَﺎ ٍم وَا
َ ﻋﻠَﻰ َ ﺼ ِﺒ َﺮ
ْ ﻦ َﻧ ْ َوِإ ْذ ُﻗ ْﻠ ُﺘ ْﻢ ﻳَﺎﻣُﻮﺳَﻰ َﻟ
ﺖ
ُ ِﻣﻤﱠﺎ ُﺗ ْﻨ ِﺒ- ﺳﻬَﺎ وَﺑَ ﺼَﻠِﻬَﺎ ِ ﻋ َﺪ
َ ﻦ ﺑَ ْﻘﻠِﻬَﺎ َو ِﻗﺜﱠﺎ ِﺋﻬَﺎ وَﻓُﻮﻣِﻬَﺎ َو
ْ ض ِﻣ
ُ ا ْﻟَﺄ ْر
(61) --
/wa iź qutum yā mūsā lan nasbira 'alā ta'āmin wāhidin fa ud'u lanā rabbaka
yukhriju lanā mimmā tunbitu al-arda min baqlihā wa qiśśā'ihā wa fūmihā wa
'adasiha wa basalihā ---/
‘Dan (ingatlah), ketika kamu berkata: "Hai Musa, kami tidak bisa sabar (tahan)
dengan satu macam makanan saja. Sebab itu mohonkanlah untuk kami kepada
Tuhanmu, agar Dia mengeluarkan bagi kami dari apa yang ditumbuhkan bumi,
yaitu: sayur-mayurnya, ketimunnya, bawang putihnya, kacang adasnya dan bawang
merahnya ---’ (QS. Al-Baqarah: 61)
agar Dia mengeluarkan bagi kami dari apa yang ditumbuhkan bumi, yaitu: sayur-
melalui ungkapan tersebut. Dengan kata lain, penafsiran terhadap hubungan antara
karena itu, kritik Brown dan Yule (1983: 196) tentang fungsi perwujudan peranti
4.1.5.4 Temporal
Halliday dan Hasan (1976: 266-267) mengemukakan bahwa secara garis besar
relasi temporal dapat delapan relasi makna, yaitu relasi temporal simpel
yang korelatif, relasi "here and now", dan relasi peringkasan. Seperti juga yang
saya lakukan dalam menganalisis relasi konjungsi lainnya, dalam sub ini saya
simultan, terminal, dan here and now. Dalam surat Al-Baqarah, pemanfaatan
Dalam (64) di atas, dapat kita lihat bahwa relasi temporal sekuensial diwujudkan
memahami ayat ini dengan baik, meskipun kita mengetahui bahwa antara mawt
‘mati’ dan hayāh ‘hidup’ yang terkandung dalam kata ﻳﺤﻴ ﻰ /yuhyī/ 'Dia
menghidupkan' dan ﻳﻤﻴ ﺖ/yumītu/ 'Dia mematikan' dalam ayat tersebut terdapat
hubungan antonimi. Dapat juga dikatakan bahwa perwujudan ini sangat penting
dalam interpretasi teks secara keseluruhan. Namun demikian, hal itu tidak
konjungtor. Sebab, seperti dapat dilihat dalam (98) berikut ini, keberadaan
(65) ﻞ ﻓِﻴﻬَ ﺎ
ُ ﺠ َﻌ
ْ ﺧﻠِﻴ َﻔ ًﺔ ﻗَﺎﻟُﻮا َأ َﺗ
َ ض ِ ﻞ ﻓِﻲ ا ْﻟَﺄ ْرٌ ِﻚ ِﻟ ْﻠ َﻤﻠَﺎ ِﺋ َﻜ ِﺔ ِإﻧﱢﻲ ﺟَﺎﻋ
َ ل َر ﱡﺑ
َ َوِإ ْذ ﻗَﺎ
ل ِإ ﱢﻧ ﻲ
َ ﻚ ﻗَﺎ
َ س َﻟ ُ ك َو ُﻧ َﻘﺪﱢَ ﺤ ْﻤ ِﺪ
َ ﺢ ِﺑ
ُ ﺴﺒﱢ
َ ﻦ ُﻧ
ُﺤْ ﻚ اﻟ ﱢﺪﻣَﺎ َء َو َﻧ
ُ ﺴ ِﻔ
ْ ﺴ ُﺪ ﻓِﻴﻬَﺎ َو َﻳ
ِ ﻦ ُﻳ ْﻔ
ْ َﻣ
ﻋَﻠ ُﻢ َﻣﺎ ﻟَﺎ
ْ َأ (30) ن َ َﺗ ْﻌَﻠﻤُﻮ
/wa iź qāla rabbu-ka li-al-malā'ikati innī jā'ilun fi al-ardi khalīfatan qālū a taj'alū
fīhā man yufsidu fīha wa yasfiku ad-dimā’a wa nahnu nusabbihu bi hamdi-ka wa
nuqaddisu la-ka qāla innī a'lamu mā lā ta'lamūn/
‘Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku
hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi". Mereka berkata: "Mengapa
Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat
kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih
dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman:
"Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui’ (QS. Al-Baqarah:
30)
Seperti dapat kita lihat dalam (65) di atas, berbeda dari ayat sebelumnya, relasi
temporal sekuensial dalam ayat ini, yaitu hubungan antara ﻚ ِﻟ ْﻠ َﻤﻠَﺎ ِﺋ َﻜ ِﺔ
َ ل َر ﱡﺑ
َ َﻗ ﺎ
ﺧﻠِﻴ َﻔ ًﺔ
َ ض
ِ ﻞ ِﻓ ﻲ ا ْﻟ َﺄ ْر
ٌ ِ ِإ ﱢﻧ ﻲ ﺟَﺎﻋ/qāla rabbu ka li al-malā'ikati innī jā'ilun fi al-
ardi khalīfah/ 'Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: sesungguhnya Aku
laka/ 'mereka berkata: mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu
orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal
kami senantiasa bertasbih dengan memuji dan mensucikan Engkau', dan ل ِإﻧﱢﻲ
َ ﻗَﺎ
َﻋَﻠ ُﻢ ﻣَ ﺎ ﻟَ ﺎ ﺗَ ْﻌﻠَ ُﻤ ﻮن
ْ َأ /qāla innī a'lamu mā lā ta'lamūn/ 'Tuhan berfirman:
sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui', tidak diperantarai
oleh konjungtor. Relasi temporal sekuensial dalam ayat tersebut dapat kita pahami
bahwa ayat tersebut berisi percakapan antara Tuhan dan para malaikat. Dengan
bantuan pengetahuan kita bahwa bahasa dalam bentuk ujaran selalu bersifat linear,
maka kita dapat memahami bahwa ketiga ungkapan tersebut bersifat temporal-
sekuensial. Oleh karena itu, dapat kita tambahkan juga di sini bahwa, kadangkala,
pengetahuan kita sudah cukup memberitahukan jenis relasi yang terdapat dalam
hubungan antarbagian dalam teks, sehingga kita tidak membutuhkan peranti yang
Selain bersifat sekuensial, relasi temporal juga dapat bersifat simultan. Hal
(66) ق َوَﻟ ﺎ
َ ﺚ وَﻟَﺎ ُﻓ ﺴُﻮ
َ ﺞ ﻓَﻠَﺎ َر َﻓ
ﺤﱠَ ﻦ ا ْﻟ
ض ﻓِﻴ ِﻬ ﱠ
َ ﻦ َﻓ َﺮْ ت َﻓ َﻤ
ٌ ﺷ ُﻬ ٌﺮ ﻣَ ْﻌﻠُﻮﻣَﺎْ َﺞ أ
ﺤﱡَ ا ْﻟ
ل ﻓِﻲ َ ﺟﺪَا
ِ (197) --- ﺧ ْﻴ ٍﺮ َﻳ ْﻌَﻠ ْﻤ ُﻪ اﻟﱠﻠ ُﻪ
َ ﻦ
ْ ﺞ َوﻣَﺎ َﺗ ْﻔ َﻌﻠُﻮا ِﻣﺤﱢ
َ ا ْﻟ
/al-hajju asyhurun ma'lūmātun faman farada fīhinna al-hajja [fa] lā rafaśa wa lā
fusūqa wa lā jidāla fi al-hajji wa mā taf'alū min khayrin ya'lamhu allāhu ---/
‘(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barangsiapa yang
menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh
rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. Dan
apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya ---’ (QS.
Al-Baqarah: 197)
Dalam (66) di atas, dapat kita lihat bahwa relasi temporal simultan antara ﻦ
ْ َﻣ
ﺞ
ﺤ ﱠ
َ ﻦ ا ْﻟ
ض ِﻓ ﻴ ِﻬ ﱠ
َ َﻓ َﺮ/man farada fīhinn al-hajj/ 'barangsiapa yang menetapkan
niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji' dan ungkapan ﺚ َوَﻟ ﺎ
َ ﻟَ ﺎ َر َﻓ
ﺞ
ﺤ ﱢ
َ ل ِﻓ ﻲ ا ْﻟ
َ ﺟ ﺪَا
ِ ق َوَﻟ ﺎ
َ ُﻓ ﺴُﻮ/lā rafaś wa lā fusūq wa lā jidāl fi al-hajj/ 'tidak
boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan
haji' diperantarai oleh konjungtor ف /fa/. Dengan alasan yang serupa dengan
terlalu dibutuhkan dalam interpretasi. Hal ini dapat dipahami lebih mudah jika
yang kamu kerjakan’ dan ﻳَ ْﻌﻠَ ْﻤ ُﻪ اﻟﱠﻠ ُﻪ/ya'lamhu allāh/ 'Allah mengetahuinya'.
Dengan pengetahuan kita bahwa “Allah Maha Mengetahui dan Maha Melihat”,
dapat disimpulkan bahwa tidak ada jarak temporal antara perbuatan kita dan
tersebut adalah hubungan temporal-simultan. Oleh karena itu, dapat juga kita
pertanyakan kembali tentang fungsi kohesi dalam identifikasi teks seperti yang
tertentu yang merupakan titik hentian aktivitas (terminal). Hal itu dapat dilihat
(67) ﺳ َﻮ ِد
ْ ﻂ ا ْﻟ َﺄ
ِ ﺨ ْﻴ
َ ﻦ ا ْﻟ
َ ﺾ ِﻣ
ُ ﻂ ا ْﻟَﺄ ْﺑ َﻴ
ُ ﺨ ْﻴ
َ ﻦ َﻟ ُﻜ ُﻢ ا ْﻟ
َ ﺣﺘﱠﻰ َﻳ َﺘ َﺒ ﱠﻴ
َ ﺷﺮَﺑُﻮا
ْ َو ُآﻠُﻮا وَا---
ﺠ ِﺮْ ﻦ ا ْﻟ َﻔ
َ ِﻣ (187) ---
/--- wa kulū wa isyrabū [hattā] yatabayyana lakum al-khaytu al-abyadu min al-
khayti al-aswadi min al-fajri ---/
‘--- dan makan minumlah [hingga] terang bagimu benang putih dari benang hitam,
yaitu fajar ---’ (QS. Al-Baqarah: 187)
Dalam (67) di atas, dapat dilihat bahwa perbuatan yang dimaksud dalam
ungkapan ﺮﺑُﻮا
َ ﺷ
ْ وَا ُآُﻠ ﻮا/wa kulū wa isyrabū/ 'makan minumlah' dibatasi secara
temporal oleh ungkapan ﻦ
َ ﺳ َﻮ ِد ِﻣ
ْ ﻂ ا ْﻟَﺄ
ِ ﺨ ْﻴ
َ ﻦ ا ْﻟ
َ ﺾ ِﻣ
ُ ﻂ ا ْﻟ َﺄ ْﺑ َﻴ
ُ ﺨ ْﻴ
َ ﻳَﺘَﺒَ ﻴﱠﻦَ َﻟ ُﻜ ُﻢ ا ْﻟ
ﺠ ِﺮ
ْ ا ْﻟ َﻔ/yatabayyana lakum al-khaytu al-abyadu min al-khayti al-aswadi min al-
fajri/ 'menjadi jelas bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar'.
pertama tersebut sangat penting untuk membangukn koherensi teks. Sebab, antara
“makan”, “minum”, dan “fajar” pada dasarnya tidak memiliki hubungan semantik
dasar yang jelas. Oleh karena itu, dapat juga kita persoalkan pendapat Brown dan
temporal yang berdasarkan atas kondisi “di sini dan sekarang” (here and now).
Dalam surat Al-Baqarah, hal itu terlihat dalam ayat ke-187 di bawah ini.
(68) س
ٌ س َﻟ ُﻜ ْﻢ َوَأ ْﻧ ُﺘ ْﻢ ِﻟ َﺒ ﺎ
ٌ ﻦ ِﻟ َﺒ ﺎﺚ ِإَﻟ ﻰ ِﻧ ﺴَﺎ ِﺋ ُﻜ ْﻢ ُه ﱠ ُ ﺼﻴَﺎمِ اﻟ ﱠﺮ َﻓ ﺣﻞﱠ َﻟ ُﻜ ْﻢ َﻟ ْﻴَﻠ َﺔ اﻟ ﱢ ِ ُأ
ن
َ ﻋ ْﻨ ُﻜ ْﻢ ﻓَﺎ ْﻟ ﺂ
َ ﻋﻔَﺎ َ ﻋَﻠ ْﻴ ُﻜ ْﻢ َو
َ بَ ﺴ ُﻜ ْﻢ َﻓﺘَﺎ
َ ن َأ ْﻧ ُﻔ
َ ﺨﺘَﺎﻧُﻮ
ْ ﻋِﻠ َﻢ اﻟﱠﻠ ُﻪ َأ ﱠﻧ ُﻜ ْﻢ ُآ ْﻨ ُﺘ ْﻢ َﺗ
َ َﻟ ُﻬﻦﱠ
ﻦ وَا ْﺑﺘَﻐُﻮا ﺷﺮُو ُه ﱠ ِ ﺑَﺎ (187) --- ﺐ اﻟﱠﻠ ُﻪ َﻟ ُﻜ ْﻢ َ ﻣَﺎ َآ َﺘ
/uhilla lakum laylata as-siyāmi ar-rafaśu ilā nisā'ikum hunna libāsun lakum wa
antum libāsun lahunna 'alima allāhu annakum kuntum takhtānūna anfusakum fa
tāba 'alaykum wa 'afā 'ankum [fa] al-āna bāsyirūhunna wa ibtagū mā kataba allāh
lakum ---/
‘Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan Puasa bercampur dengan isteri-isteri
kamu; mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi
mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena
itu Allah mengampuni kamu dan memberi ma`af kepadamu. Maka sekarang
campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu ---’ (QS.
Al-Baqarah: 187)
Seperti terlihat dalam (68) di atas, relasi temporal here and now antara ungkapan
ﻋ ْﻨ ُﻜ ْﻢ
َ ﻋ َﻔ ﺎ
َ ﻋَﻠ ْﻴ ُﻜ ْﻢ َو
َ ب
َ ﺴ ُﻜ ْﻢ َﻓ َﺘ ﺎ
َ ن َأ ْﻧ ُﻔ
َ ﺨ َﺘ ﺎﻧُﻮ
ْ ﻋِﻠ َﻢ اﻟﱠﻠ ُﻪ َأ ﱠﻧ ُﻜ ْﻢ ُآ ْﻨ ُﺘ ْﻢ َﺗ
َ /'alima allāh
annakum takhtānūn anfusakum fa tāba 'alaykum wa 'afā 'ankum/ 'Allah
mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah
lakum/ 'sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah
juga telah beberapa kali saya nyatakan sebelumnya, penafsiran terhadap hubungan
here and now antara kedua ungkapan tersebut dapat juga dipahami melalui bentuk
اﻻن/al-ān/ 'sekarang'. Apalagi jika kita menurutsertakan ungkapan ﺣﻞﱠ َﻟ ُﻜ ْﻢ َﻟ ْﻴَﻠ َﺔ
ِ ُأ
س َﻟ ُﻬ ﻦﱠ
ٌ س َﻟ ُﻜ ْﻢ َوَأ ْﻧ ُﺘ ْﻢ ﻟِﺒَ ﺎ
ٌ ﺚ إِﻟَ ﻰ ِﻧ ﺴَﺎ ِﺋ ُﻜ ْﻢ ُه ﻦﱠ ﻟِﺒَ ﺎ
ُ ﺼﻴَﺎمِ اﻟﺮﱠ َﻓ
اﻟ ﱢ /uhilla lakum
laylah as-siyām ar-rafaś ilā nisā'ikum hunna libās lakum wa antum libās lahunn/
‘Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan Puasa bercampur dengan isteri-
isteri kamu; mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi
mereka’ dalam penafsiran terhadap relasi temporal here and now tersebut. Oleh
karena itu, dapat juga kita katakan kembali di sini tentang fungsi kohesi dalam
interpretasi teks.
Kohesi leksikal dicapai melalui pemilihan kosakata, dan lebih spesifik antarkata
berisi (content words) yang dapat dicapai melalui reiterasi dan kolokasi (Halliday
dan Hasan 1976: 274, dan Renkema 2004: 105). Menurut Halliday dan Hasan
(1976: 279) reiterasi dapat berupa penggunaan kata yang sama, sinonim atau
sinonim dekat (near synonim), superordinat, dan kata umum (general word). Saya
Brown dan Yule (1983), Wales (1998), Renkema (2004), dan Alwi et al. (1998).
Berdasarkan pendapat para tokoh tersebut, kohesi leksikal dalam penelitian ini
stilistik.
4.2.1 Pengulangan
Pengulangan yang saya maksud sebagai peranti kohesi di sini saya ambil dari
berbagai tokoh. Dalam Halliday dan Hasan (1976: 279 dan 89-91), pengulangan
(repudiation) merupakan bagian dari substitusi. Dalam Brown dan Yule (1983:
form) merupakan peranti kohesi atas dasar ko-referensi. Lebih jauh, Brown dan
Yule (1983: 194) menyebut juga pengulangan sintaksis sebagai peranti kohesi.
keterkaitan bentuk ini saya pisahkan dari pembahasan substitusi dan kohesi
leksikal. Pengulangan yang saya bahas di sini meliputi tiga hal, yaitu pengulangan
melalui pengulangan leksikal. Hal ini, antara lain, dapat dilihat dalam analisis
(69) ن
ل َﻓ ِﺈ ﱠ
َ ﻞ َوﻣِﻴ َﻜ ﺎ
َ ﺟ ْﺒﺮِﻳِ ﺳ ِﻠ ِﻪ َو
ُ َو َﻣﻠَﺎ ِﺋ َﻜ ِﺘ ِﻪ َو ُرUِﱠﻟﻪUِ لUاﻋَ ُﺪوU ن
َ ﻦ آَﺎ
ْ َﻣ
ﻦ
َ ِﻟ ْﻠﻜَﺎ ِﻓﺮِﻳUﻋ ُﺪوﱞ
َ U UَاﻟﱠﻠﻪU (98)
/man kāna ['aduwwan](a) li [allāhi](b) wa malāikatihi wa rusulihi wa jibrīla wa
mīkāla fa inna [allāha](b) ['aduwwun](a) li al-kāfirīna/
Seperti dapat dilihat dalam (69) di atas, terdapat dua bentuk yang diulang, yaitu
allāh 'Allah' dan 'aduww 'musuh'. Dalam balāgah dan 'ulūm al-Qur'ān,
pengulangan seperti ini disebut takrīr (Al-Hāsyimi 1960: 229-230). Fungsi dari
permainan pola bunyi dalam pilihan stilistik, adalah untuk mempertegas dan
seperti ini tidak membutuhkan interpretasi yang sulit. Sebab, kedua bentuk
tersebut tidak saja berhubungan dari segi bentuknya, melainkan juga dari segi
Hal itu berbeda dengan pengulangan allāh yang terdapat dalam ayat ke-
(70) ﻦ
َ ﺼِﻠﺤُﻮا َﺑ ْﻴْ ن َﺗ َﺒﺮﱡوا َو َﺗ ﱠﺘﻘُﻮا َو ُﺗ
ْ ﺿ ًﺔ ِﻟَﺄ ْﻳﻤَﺎ ِﻧ ُﻜ ْﻢ َأ
َ ﻋ ْﺮ
ُ UَاﻟﱠﻠﻪU ﺠ َﻌﻠُﻮا
ْ وَﻟَﺎ َﺗ
ﺳَﻤِﻴ ٌﻊUُاﻟﱠﻠﻪUَس و ِ اﻟﻨﱠﺎ (224) ﻋَﻠِﻴ ٌﻢ
/wa lā taj'alū [allāha](a) 'urdatan li'aymānikum an tabarrū wa tattaqū wa tuslihū
bayna an-nāsi wa [allāhu](a) samī'un 'alīmun/
'Janganlah kamu jadikan [(nama) Allah](a) dalam sumpahmu sebagai penghalang
untuk berbuat kebajikan, bertakwa dan mengadakan ishlah di antara manusia. Dan
[Allah](a) Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.' (QS. Al-Baqarah: 224)
Berbeda dari pengulangan yang saya ulas sebelumnya, pengulangan dalam (70) di
atas hanya berkaitan dari segi bentuk saja, tetapi tidak dari segi referen yang
seperti ini disebut at-tawsyī' (Al-Hāsyimi 1960: 229). Namun demikian, As-
Suyūti (t.t.b: 68) menganggap hal seperti ini bukan pengulangan (takrīr). Sebab,
bentuk allāh yang pertama mengacu kepada 'nama Allah', sedangkan yang kedua
mengacu kepada 'Zat Allah'. Dapat dinyatakan di sini bahwa dalam ‘ulūm Al-
Qur’ān teks seperti ini disebut ta’wīl. Dalam ta’wīl, melalui inferensi makna yang
antara dua makna yang dikandung bentuk tertentu (As-Suyūtī t.t.b: 32). Selain itu,
penafsiran bahwa bentuk allāh yang pertama mengacu kepada “nama Allah”
perluasan wilayah referensi demi pemahaman teks (Brown dan Yule 1983: 265).
Atas dasar itu, meskipun dapat kita nyatakan bahwa pengulangan kata allāh
membentuk hubungan kohesif antara kedua bagian ayat tersebut, dapat kita
pertanyakan di sini tentang fungsi kohesi dalam pemahaman teks. Lebih tepatnya
dalam hubungan antara pengulangan sebagai peranti kohesi dan koherensi yang
dengan pencapaian koherensi, maka ayat tersebut justru menjadi lebih sulit untuk
dipahami. Dengan demikian, kita dapat juga menolak pendapat Givon (1995: 357)
coherence).
Pengulangan seperti di atas terdapat juga dalam ayat ke-275 surat Al-
(71) ﻄ ُﻪ
ُ ﺨ ﱠﺒ
َ ن ِإﱠﻟ ﺎ َآ َﻤ ﺎ ﻳَ ُﻘ ﻮ ُم اﻟﱠ ﺬِي َﻳ َﺘ
َ ﻟَ ﺎ َﻳﻘُﻮ ُﻣ ﻮUاﻟ ﱢﺮ َﺑ ﺎU ن َ اﱠﻟ ﺬِﻳﻦَ َﻳ ْﺄ ُآﻠُﻮ
ﺲ
ﻦ ا ْﻟ َﻤ ﱢ
َ ن ِﻣ
ُ ﺸ ْﻴﻄَﺎ
ﻞ اﻟ ﱠ ُ ِﻣ ْﺜUا ْﻟ َﺒ ْﻴ ُﻊU ﻚ ِﺑ َﺄ ﱠﻧ ُﻬ ْﻢ َﻗ ﺎُﻟﻮا ِإ ﱠﻧ َﻤ ﺎ
َ َذِﻟ
(275) --- UاﻟﺮﱢﺑَﺎU ﺣ ﱠﺮ َم َ َوUَا ْﻟ َﺒ ْﻴﻊU ﻞ اﻟﱠﻠ ُﻪ
ﺣﱠ
َ َوَأUاﻟﺮﱢﺑَﺎU
/allaźīna ya'kulūna [ar-ribā]a lā yaqūmūna illā kamā yaqūmu allaźī
yatakhabbatuhu asy-syaytānu min al-massi źālika bi annahum qālū innamā [al-
bay'u](b) miśl [ar-ribā](a1) wa ahalla allāhu [al-bay'a](b1) wa harrama [ar-ribā](a1)
---/
Seperti pengulangan bentuk allāh pada ayat yang saya ulas dalam (70), hubungan
antara bentuk اﻟﺮﺑﺎ/ar-ribā/ 'riba' (a) yang pertama dan اﻟﺮﺑ ﺎ/ar-ribā/ 'riba' (a1)
yang kedua dan ketiga dalam (71) di atas juga hanya berkaitan dari segi bentuk.
Melalui perluasan wilayah referensi, atau dapat juga melalui penggunaan makna
yang lebih lemah dari dua macam makna yang dimiliki bentuk tertentu, dapat kita
simpulkan bahwa bentuk ar-ribā yang pertama mengacu kepada 'harta hasil riba',
sedangkan yang kedua dan ketiga mengacu kepada 'berbuat riba'. Adapun
hubungan antara bentuk ar-ribā yang kedua dan ar-ribā yang ketiga sebanding
'melakukan jual-beli'. Lebih dari itu, kriteria ta’wīl dan scenario dalam
“representasi pengetahuan” juga dapat kita terapkan untuk memahami makna kata
al-bay’ (As-Suyūtī t.t.b: 32, dan Brown dan Yule 1983: 265). Sebab, akar kata
baya’a ‘ia laki-laki (telah) menjual’ secara mendasar bermakna “jual”. Dengan
yang pertama dan yang kedua, hubungan keduanya baru kita tentukan setelah kita
melakukan perluasan referensi dan atau pemilihan makna lain yang lebih lemah
dari al-bay’.
oleh Alwi et al. (1998: 429). Meskipun pada dasarnya konsep ini dikemukakan
dalam hal hubungan antarbentuk yang berbeda, dalam penelitian ini saya
membahas juga penggunaan bentuk yang sama tetapi hanya mengacu kepada
kumpulan yang sama. Kohesi dalam surat Al-Baqarah yang dicapai melalui
penggunaan bentuk yang mengacu kepada kumpulan yang sama hanya ada dua.
b. ﻚ
َ ﻦ َذِﻟ
َ ن َﺑ ْﻴ
ٌ ض وَﻟَﺎ ﺑِ ْﻜ ٌﺮ ﻋَﻮَا
ٌ ِ ﻟَﺎ ﻓَﺎرUٌ َﺑ َﻘ َﺮةU ل ِإ ﱠﻧﻬَﺎ
ُ ل ِإﻧﱠ ُﻪ َﻳﻘُﻮ
َ ﻗَﺎ---
(68) ---
/--- qāla innahu yaqūlu innahā [baqaratun] lā fāridun wa lā bikrun 'awānun
bayna źālika ---/
‘--- Musa menjawab: "Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu
adalah [sapi betina] yang tidak tua dan tidak muda; pertengahan antara itu ---’
(QS: Al-Baqarah: 68)
Dalam (72) di atas, dapat kita lihat bahwa bentuk ﺑﻘ ﺮة/baqarah/ 'sapi betina'
digunakan berulang. Pada (72a), kata baqarah digunakan untuk mengacu kepada
seekor sapi, tanpa ada atribut, yang Bani Israil diperintakan untuk
terdapat dalam (72b). Pada (72b), bentuk baqarah diulang, tetapi tidak digunakan
untuk menunjuk acuan yang sama, melainkan kepada kumpulan yang sama, yaitu
konsep sapi betina secara umum yang digunakan bersama sifat yang dimilikinya,
pertama. Dalam balāgah, pengulangan kata seperti ini, dapat digolongkan sebagai
at-tawsyī’, yang digunakan untuk menunjukkan cakupan arti yang berbeda dari
yang disebutkan pertama (Al-Hāsyimi 1960: 229). Dengan pemahaman seperti ini,
kita dapat menolak pendapat Givon (1995: 357) tentang ikatan koherensi ekstrim
yang dicapai melalui pengulangan. Namun demikian, tidak dapat dikatakan bahwa
kohesi dalam hal ini tidak mewujudkan koherensi. Sebab, seperti telah saya
Pengulangan sebagian yang dimaksud di sini berbeda dengan apa yang dimaksud
Halliday dan Hasan (1976: 89-91) yang menganggap hal ini sebagai bagian dari
substitusi (repudiation) dan atau Brown dan Yule (1983: 193) yang menganggap
hal ini sebagai bagian dari ko-referensi. Dalam analisis terhadap beberapa ayat
dalam surat Al-Baqarah di bawah ini, dapat dilihat bahwa pengulangan sebagian
surat Al-Baqarah mencapai delapan kali, dan hanya tiga kali yang merupakan
'--- Apakah kamu beriman kepada [sebagian Al-Kitab (Taurat)] dan ingkar terhadap
[sebagian (yang lain)]? Balasan bagi orang yang berbuat demikian adalah ---' (QS.
Al-Baqarah: 85)
Dari (73) di atas, bentuk ﺑﻌ ﺾ اﻟﻜﺘ ﺎب /ba'd al-kitāb/ 'sebagian Al-Kitāb
telah saya sebut di atas, pengulangan sebagian ini bukan substitusi dan bukan
termasuk peranti ko-referensi. Dalam substitusi, seperti telah saya uraikan dalam
(4.2.2) di atas, bentuk yang menggantikan dan bentuk yang digantikan biasanya
sama. Sebab, bentuk ba'd al-kitāb mengacu kepada 'sebagian kitab Taurat',
sedangkan bentuk ba'd mengacu kepada sebagian kitab Taurat lainnya yang tidak
dimaksud oleh ba'd al-kitāb. Dapat kita nyatakan di sini bahwa pengulangan
sebagian sebagai peranti kohesi tidak dapat menunjukkan apa yang disebut oleh
Givon (1995: 376) koherensi referensial. Lebih dari itu, jika kita mengikuti
pendapat Givon (1995: 358), pemahaman teks tersebut secara keseluruhan dapat
mengingkari hal yang sama. Jadi, pemahaman terhadap ungkapan tersebut secara
melainkan juga melalui peranti kohesi lain, yaitu antonimi antara tu’minūna dan
Pengulangan seperti terdapat dalam (73) di atas juga dapat dilihat dalam
(74) ﺖ
َ ﻚ َو َﻣ ﺎ َأ ْﻧ َ ب ِﺑ ُﻜ ﻞﱢ ءَا َﻳ ٍﺔ ﻣَ ﺎ َﺗ ِﺒ ُﻌ ﻮا ِﻗ ْﺒَﻠ َﺘ
َ ﻦ أُو ُﺗ ﻮا ا ْﻟ ِﻜ َﺘ ﺎ
َ ﺖ اﱠﻟ ﺬِﻳ
َ ﻦ َأ َﺗ ْﻴ
ْ َوَﻟ ِﺌ
( ِﺑﺘَﺎ ِﺑ ٍﻊ ِﻗ ْﺒَﻠ َﺘ ُﻬ ْﻢ145) --- Uٍ َﺑ ْﻌﺾU ِﺑﺘَﺎ ِﺑ ٍﻊ ِﻗ ْﺒَﻠ َﺔUْﻀ ُﻬﻢ ُ َﺑ ْﻌU َوﻣَﺎ
/wa la'in atayta allaźīna [ūtū al-kitāba] bikull āyah mā tabi'ū qiblataka wa mā anta
bitābi' qiblata[-hum] wa mā [ba'duhum] bitābi' qiblah [ba'd] ---/
‘Dan sesungguhnya jika kamu mendatangkan kepada [orang-orang (Yahudi dan
Nasrani) yang diberi Al Kitab (Taurat dan Injil)] semua ayat (keterangan), mereka
tidak akan mengikuti kiblatmu, dan kamupun tidak akan mengikuti kiblat mereka,
dan [sebagian mereka]-pun tidak akan mengikuti kiblat [sebagian yang lain] ---’
(QS. Al-Baqarah: 145).
pengulangan dalam ayat ke-145 tidak dapat dianggap sebagai substitusi. Sebab,
meskipun keduanya memiliki keterkaitan referensi, referen yang diacu oleh kedua
acuan yang dimaksud oleh kedua bentuk dalam (74) juga harus ditempuh melalui
cara yang sama dengan apa yang terdapat dalam (73), yaitu dengan memanfaatkan
petunjuk leksikal yang terdapat dalam اوﺗ ﻮ اﻟﻜﺘ ﺎب/ūtū al-kitāb/ ‘orang-orang
yang diberi Al-Kitab’ yang selanjutnya, dengan bimbingan “pengetahuan dunia”,
(75) ﺚ ﻣَ ﺎ
ُ ﺣ ْﻴ
َ َوUِﺠ ِﺪ ا ْﻟﺤَﺮَام
ِﺴ
ْ ﻄ َﺮ ا ْﻟ َﻤ
ْ ﺷ
َ Uﻚَ ﺟ َﻬ ْ ل َو
ﺖ َﻓ َﻮ ﱢ
َ ﺟ
ْ ﺧ َﺮ
َ ﺚ
ُ ﺣ ْﻴ
َ ﻦ
ْ َو ِﻣ
(150) --- Uُﻄ َﺮﻩ ْ ﺷ
َ U ُآ ْﻨ ُﺘ ْﻢ َﻓ َﻮﻟﱡﻮا ُوﺟُﻮ َه ُﻜ ْﻢ
/wa min hayś kharajta fa walli wajhaka [syatra al-masjidi al-harāmi] wa hayśu mā
kuntum fawallū wujūhakum [syaţrahu] ---/
‘Dan dari mana saja kamu keluar, maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil
Haram. Dan di mana saja kamu (sekalian) berada, maka palingkanlah wajahmu ke
arahnya ---’ (QS. Al-Baqarah: 150)
semacam ini, berbeda dari dua pengulangan sebagian yang saya bahas
sebelumnya, bentuk yang diulang dan bentuk yang tidak diulang memiliki
hubungan referensial. Dengan kata lain, pengulangan sebagian semacam ini juga
bentuk yang tidak diulang dengan bentuk lain. Pengulangan semacam ini, antara
(76) (133) --- Uَِإَﻟ َﻪ ءَاﺑَﺎ ِﺋﻚUَ وUَِإَﻟ َﻬﻚU ﻗَﺎﻟُﻮا َﻧ ْﻌ ُﺒ ُﺪ---
/--- qālū na'budu ilāhaka wa ilāh abā'ika ---/
‘--- Mereka menjawab: "Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek
moyangmu ---’ (QS. Al-Baqarah: 133)
ini bentuk yang tidak diulang tidak memiliki keterikatan referensi dengan bentuk
kedua frasa tersebut memiliki keterikatan referensi, bahwa yang dimaksud oleh
kedua frasa tersebut adalah “Tuhan” yang sama. Oleh karena itu, pengulangan
semacam ini juga turut mewujudkan koherensi referensial yang pada akhirnya
pengulangan sebagian semacam itu yang terdapat dalam ayat di bawah ini,
referensi.
sebagian sebelumnya, dalam pengulangan sebagian ini makna yang ditunjuk oleh
kedua bentuk tersebut berbeda. Hal ini dapat dipahami melalui “pengetahuan
dunia” bahwa apa yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. dan umat Islam
berbeda dari apa yang diturunkan kepada Nabi Ibrahim as. dan ummatnya. Dalam
pengulangan semacam ini, seperti dapat kita pertanyakan pada masalah acuan
dalam referensi, dapat kita pertanyakan fungsi reiterasi leksikal sebagai salah satu
kohesi yang didasarkan atas keterkaitan referensi. Bahkan lebih dari itu, dengan
mengetahui bahwa perbedaan acuan yang dimaksud oleh kedua ungkapan tersebut
Pengulangan sintaksis sebagai peranti kohesi dikemukakan oleh Brown dan Yule
(1983) dan Wales (1998). Hanya saja, Wales (1998: 136) menghubungkan
kohesi. Hal itu dapat dilihat dalam beberapa ayat di bawah ini.
(78) ن
َ ﺴﺒُﻮ
ِ ﻣِ ﱠﻤ ﺎ َﻳ ْﻜUﻞ َﻟ ُﻬ ْﻢ
ٌ وَ ْﻳUﺖ َأ ْﻳ ﺪِﻳ ِﻬ ْﻢ َو
ْ َ ﻣِ ﱠﻤ ﺎ آَﺘَﺒUﻞ َﻟ ُﻬ ْﻢ
ٌ وَ ْﻳUَ ف---
(79)
/--- fa [wayl lahum] mimmā katabat aydīhim wa [wayl la-hum] mimma yaksibūna/
'Maka [kecelakaan besarlah bagi mereka], akibat dari apa yang ditulis oleh tangan
mereka sendiri, dan [kecelakaan besarlah bagi mereka], akibat dari apa yang
mereka kerjakan.' (QS. Al-Baqarah: 79)
Dalam ayat tersebut, bentuk ﻟﻬﻢ وﻳﻞ/wayl lahum/ 'kecelakaan besar bagi mereka'
diulang dua kali. Dalam balāgah, pengulangan seperti ini disebut sebagai takrīr.
1960: 229, dan ‘Atwi 1989: 101). Dapat dikatakan bahwa dalam pengulangan
semacam ini terdapat koherensi ekstrim anterbentuk yang diulang (Givon 1995:
357). Sebab, dalam pengulangan tersebut makna kalimat dan referen yang
ditunjuk oleh setiap kata dalam kalimat bersesuaian. Oleh karena itu, dapat juga
kita nyatakan bahwa pengulangan sintaksis sebagai peranti kohesi dalam (78)
Yang penting untuk dipahami juga adalah bahwa bentuk setelah wayl lahum
‘akibat dari apa yang ditulis oleh tangan mereka sendiri’ dan َِﻣ ﱠﻤ ﺎ ﻳَ ْﻜ ﺴِﺒُﻮن
/mimma yaksibūna/ ‘akibat dari apa yang mereka kerjakan’ juga pada dasarnya
mengacu kepada hal yang sama tetapi dinyatakan dalam ungkapan yang berbeda:
menuliskan sendiri sesuatu ke dalam Al-kitāb dan mengatakan hal itu merupakan
bagian darinya.
dalam rangkaian ayat yang mengisahkan penyembelihan sapi betina dalam (78) di
bawah ini.
d. ن
ْ ﻋَﻠ ْﻴﻨَﺎ َوِإﻧﱠﺎ ِإ
َ ن ا ْﻟ َﺒ َﻘ َﺮ َﺗﺸَـﺎ َﺑ َﻪ
ﻲ ِإ ﱠ
َ ﻣَﺎ ِهUﻦ َﻟﻨَـﺎ
ْ ﻚ ُﻳ َﺒﱢﻴ
َ ع َﻟﻨَﺎ َرﱠﺑ
ُ ﻗَﺎﻟُﻮا ا ْد
ﺷَﺎ َء اﻟﱠﻠ ُﻪ ن
َ َﻟ ُﻤ ْﻬ َﺘﺪُو
/[qālū ud'u lanā rabbaka yubayyin lanā](a) mā hiya inna al-baqara tasyābaha
'alaynā wa innā insyā' allah lamuhtadūn/
‘[Mereka berkata: "Mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk kami agar Dia
menerangkan kepada kami](a) bagaimana hakikat sapi betina itu, karena
sesungguhnya sapi itu (masih) samar bagi kami dan sesungguhnya kami insya
Allah akan mendapat petunjuk (untuk memperoleh sapi itu).’(QS. Al-Baqarah:
70)
e. ث
َ ﺤ ْﺮ َ ﺴﻘِﻲ ا ْﻟ ْ ض وَﻟَﺎ َﺗَ ل ُﺗﺜِﻴ ُﺮ ا ْﻟَﺄ ْر
ٌ ﻟَﺎ ذَﻟُﻮUٌل ِإ ﱠﻧﻬَﺎ َﺑ َﻘ َﺮة
ُ ل ِإﻧﱠ ُﻪ َﻳﻘُﻮ
َ ﻗَﺎ
ﺷ َﻴ َﺔ
ِ ﺴﱠﻠ َﻤ ٌﺔ ﻟَﺎ
َ ﻖ َﻓ َﺬ َﺑﺤُﻮهَﺎ َوﻣَﺎ آَﺎدُوا ُﻣﺤﱢ َ ﺖ ﺑِﺎ ْﻟ
َ ﺟ ْﺌ
ِ ن َ ﻓِﻴﻬَﺎ ﻗَﺎﻟُﻮا اﻟْﺂ
ن
َ َﻳ ْﻔ َﻌﻠُﻮ
/[qāla innahu yaqūlu innahā baqarah](b) lā źalūl tuśīr al-ard wa lā tasqī al-harś
musallamah lā syiyah fīhā qālū al-ān ji'ta bi al-haqq fa źabahū hā wa mā kādū
yaf'alūn/
[Musa berkata: "Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu adalah
sapi betina](b) yang belum pernah dipakai untuk membajak tanah dan tidak pula
untuk mengairi tanaman, tidak bercacat, tidak ada belangnya." Mereka berkata:
"Sekarang barulah kamu menerangkan hakikat sapi betina yang sebenarnya".
Kemudian mereka menyembelihnya dan hampir saja mereka tidak
melaksanakan perintah itu.' (QS. Al-Baqarah: 71)
Dalam (79) di atas, dapat kita lihat bahwa terdapat dua konstruksi sintaksis yang
bahwa sapi betina itu adalah sapi betina'. Pengulangan kedua ungkapan dalam
rangkaian ayat di atas, yang dapat juga disebut refrain dalam tinjauan stilistik,
memiliki referen yang konsisten dan dilakukan untuk memberi tekanan hal
tertentu dalam ungkapan (taśbīt), yaitu bahwa Bani Israil bersikap terlalu banyak
229, ‘Atwi 1989: 101, dan Perrine dan Arp 1984: 166). Oleh karena itu, dapat
juga kita nyatakan bahwa pengulangan sintaksis sebagai peranti kohesi dalam (45)
pokok pembicaraan.
/[yā banī isrā'īl użkurū ni'matī allatī an'amtu 'alaykum wa annī faddaltukum
'alā al-'ālamīn]/
'[Hai Bani Israil, ingatlah akan ni`mat-Ku yang telah Ku-anugerahkan
kepadamu dan Aku telah melebihkan kamu atas segala umat]' (QS. Al-Baqarah:
122)
Pengulangan sintaksis yang menjadi peranti kohesi dalam (80) di atas mencakup
seluruh bagian ayat. Namun, berbeda dengan dua pengulangan sintaksis yang saya
penjelasan (tūl al-fasl), yaitu bahwa sepanjang ayat ke-47 hingga ayat ke-122
ayat ke-47 hingga ke-122 surat Al-Baqarah, yaitu kisah Bani Israil. Dengan kata
lain, pengulangan sintaksis sebagai peranti kohesi dalam dua ayat ini juga
ayat tersebut.
fungsi yang sama dengan yang terdapat dalam (80) tetapi mengandung struktur
koherensi yang lebih rumit. Hal ini terlihat dalam pengulangan sintaksis yang
terdapat dalam hubungan antara ayat ke-234 dan ayat ke-240 surat Al-Baqarah
berikut.
empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis `iddahnya, maka tiada
dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka
menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.’ (QS. Al-
Baqarah: 234)
b. ﻋﺎ
ً ﺟ ِﻬ ْﻢ َﻣﺘَﺎِ ﺻ ﱠﻴ ًﺔ ِﻟ َﺄ ْزوَا ِ َوUن ِﻣ ْﻨ ُﻜ ْﻢ وَﻳَﺬَرُونَ َأ ْزوَاﺟًﺎ َ ﻦ ُﻳ َﺘ َﻮ ﱠﻓ ْﻮ
َ وَاﱠﻟﺬِﻳ
ﻦ ِﻓ ﻲ
َ ﻋَﻠ ْﻴ ُﻜ ْﻢ ﻓِﻴﻤَﺎ َﻓ َﻌ ْﻠ
َ ح َ ﺟﻨَﺎُ ﻦ ﻓَﻠَﺎ َﺟ
ْ ﺧ َﺮ
َ ن
ْ ج َﻓِﺈ
ٍ ﺧﺮَا
ْ ﻏ ْﻴ َﺮ ِإ
َ ل ِ ﺤ ْﻮ َ ِإﻟَﻰ ا ْﻟ
ف
ٍ ﻦ َﻣ ْﻌﺮُو ْ ﻦ ِﻣﺴ ِﻬ ﱠ
ِ َأ ْﻧ ُﻔ وَاﻟﱠﻠ ُﻪ ﻋَﺰِﻳ ٌﺰ ﺣَﻜِﻴ ٌﻢ
/wa [allaźīna yutawaffawna minkum wa yaźarūna azwājan] wasiyyatan li
azwājihim matā'an ilā al-khayri gayra ikhrājin fa in kharajna fa lā junāha
'alaykum fī mā fa'alna fī anfusihinna min ma'rūfin wa allāhu 'azīzun hakīmun/
‘[Orang-orang yang akan meninggal dunia di antaramu dan meninggalkan
isteri], hendaklah berwasiat untuk isteri-isterinya, (yaitu) diberi nafkah hingga
setahun lamanya dengan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). Akan tetapi jika
mereka pindah (sendiri), maka tidak ada dosa bagimu (wali atau waris dari
yang meninggal) membiarkan mereka berbuat yang ma`ruf terhadap diri
mereka. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.’ (QS. Al-Baqarah: 240)
ayat tersebut sama-sama membicarakan masa iddah wanita yang ditinggal mati
hingga setahun lamanya dengan tidak disuruh pindah (dari rumahnya)’ membuat
pemahaman tentang lama masa iddah berbeda dalam kedua ayat tersebut berbeda.
mutasyābih, yang salah satunya dibatasi oleh kriteria perintah dan kemungkinan
untuk mengetahui maknanya secara pasti, dapat kita nyatakan di sini bahwa kedua
ayat tersebut masuk dalam kategori muhkam. Atas dasar ini, dapat kita lihat
bahwa dalam kedua ayat tersebut, yang merupakan kalām insyā’ talabī, terdapat
dua macam putusan hukum tentang massa iddah wanita yang ditinggal mati
suaminya. Dapat kita katakan bahwa melalui penjelasan formal tentang hubungan
kohesif antara kedua ayat tersebut, penentuan terhadap keberlakuan salah satu dari
dua putusan hukum dalam kedua ayat tersebut tidak dapat dilakukan. Oleh karena
itu, meskipun pengulangan sintaksis dalam hal ini berfungsi menjaga kesatuan
tema antara kedua ayat tersebut, hal itu tidak banyak membantu dalam
Salah satu cara yang mungkin dapat menjelaskan hubungan antara kedua
ayat di atas adalah dengan mengetahui konsep naskh dalam Al-Quran. Menurut
As-Suyūti (t.t.b: 22-23), ayat ke-234 surat Al-Baqarah turun lebih akhir dan
menghapus (nāsikh) ketetapan hukum yang terdapat dalam ayat ke-240. Oleh
karena itu, ayat yang dipakai dalam menentukan masa iddah wanita yang ditinggal
mati suaminya adalah ayat ke-234 surat Al-Baqarah yang dalam urutan bacaan
semacam ini, tanpa dibekali pengetahuan lain yang mendukung, seolah tidak
sesuai dengan apa yang dikemukakan Givon (1995: 372) tentang koherensi
tematis. Dengan kata lain, dapat juga kita katakan bahwa konsep koherensi
dihubungkan dengan urutan turunnya ayat dan bukan urutan bacaan. Sebab, jika
kita mengandaikan urutan kejadian yang tidak dapat dipertukarkan, ayat ke-234
seharusnya berada setelah ayat ke-240 dan atau seharusnya ayat ke-240 menjadi
nāsikh dari ayat ke-234. Oleh karena itu, patut juga dikemukakan di sini bahwa
yang menentukan hubungan ayat ini bukan semata-mata pengulangan dan atau
urutan bacaan, melainkan juga pengetahuan tentang urutan turunnya ayat dan
tentang ayat yang menghapus (nāsikh) dan ayat yang dihapus (mansūkh). Secara
sederhana, dengan mengikuti pendapat Brown dan Yule (1983: 226) tentang
bahasa, dapat kita simpulkan bahwa pengetahuan tentang naskh antarayat dalam
usaha kita untuk dapat memahami hubungan antartindakan yang terdapat dalam
ayat-ayat Al-Quran.
4.2.2 Antonimi
Seperti dikemukakan oleh Halliday dan Hasan (1976: 285), kohesi dapat dicapai
teks. Pemanfaatan relasi pertelingkahan kata sebagai peranti kohesi dalam surat
bertelingkah ke dalam sifat yang dimiliknya secara mutlak (‘Umar 1982: 102,
Cruse 1986: 198, Jaszczolt 2003: 16, dan Cruse 2004: 163). Penggunaan relasi
(82) ﻦ ﻟَ ﺎ
ْ َوَﻟ ِﻜUٌﺣﻴَﺎء
ْ َأU ﻞ ْ َﺑUٌأَ ْﻣﻮَاتU ﻞ ﻓِﻲ ﺳَﺒِﻴﻞِ اﻟﱠﻠ ِﻪ
ُ ﻦ ُﻳ ْﻘ َﺘ
ْ وَﻟَﺎ َﺗﻘُﻮﻟُﻮا ِﻟ َﻤ
(154) َﺸ ُﻌﺮُون ْ َﺗ
/wa lā taqūlū li man yuqtalu fi sabīli allāhi [amwātan](c) bal [ahyā'un] wa lākin lā
tasy'urūna/
‘Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah,
(bahwa mereka itu) [mati]; bahkan (sebenarnya) mereka itu [hidup], tetapi kamu
tidak menyadarinya.’ (QS. Al-Baqarah: 154)
Dalam ayat tersebut, relasi komplementer terdapat dalam hubungan antara bentuk
اﻣ ﻮات/amwāt/ 'mati' dan اﺣﻴ ﺎء/ahyā'/ 'hidup'. Relasi antara keduanya terpisah
secara mutlak, yaitu bahwa seseorang hanya dapat memiliki satu dan sekaligus
menegasi satu lainnya secara mutlak, tidak dapat keduanya, dan atau di antara
keduanya. Bagaimanapun juga, jika kita mengikuti pendapat Givon (1995: 358)
setiap kohesi leksikal seharusnya turut mewujudkan juga koherensi. Jadi, bersama
dengan bentuk ﻳﻘﺘ ﻞ/yuqtalu/ ‘terbunuh’, ﺳ ﺒﻴﻞ اﷲ/sabīli allāh/ ‘jalan Allah’,
dan bentuk ﺑ ﻞ/bal/ ‘tetapi’ sebagai peranti qasr, pemanfaatan kedua bentuk yang
bahwa “orang yang terbunuh ketika berjuang di jalan Allah sebenarnya tidak
mati”. Akan tetapi, jika kita mengandaikan bahwa setiap usaha pemahaman
berkaitan dengan maksud penutur, dapat kita kemukakan di sini bahwa ayat
tersebut merupakan kalām insyā’ talabi yang berfungsi sebagai nahy, meskipun
kita dapat juga menyimpulkan bahwa ayat ini semata-mata sebagai kalām khabar
yang berfungsi sebagai motivasi untuk berjihad (al-hiśś) (Al-Hāsyimi 1960: 54).
Selain itu, hubungan antara bentuk mawt dan hayy tidak lagi bersifat
mutlak jika digunakan dalam bentuk verba. Hal itu terlihat dalam ayat ke-28 surat
Al-Baqarah berikut.
Meskipun bentuk mawt dan hayy bertelingkah secara mutlak, dalam (83), bentuk
direksional.
mutadarrij dalam bahasa Arab, yaitu relasi pertelingkahan antara dua kata yang
tidak bersifat mutlak. Menegasi salah satu tidak berarti menerima sifat lawannya
(‘Umar 1982: 102, dan Jaszczolt 2003: 16-17). Dalam surat Al-Baqarah, relasi
seperti ini terdapat dalam hubungan antara ayat ke-2, ke-6, dan ke-8 surat Al-
Baqarah berikut.
b. ﻋَﻠ ْﻴ ِﻬ ْﻢ َءَأ ْﻧ َﺬ ْر َﺗ ُﻬ ْﻢ َأ ْم َﻟ ْﻢ ُﺗ ْﻨ ِﺬ ْر ُه ْﻢ َﻟ ﺎ
َ ﺳَ ﻮَا ٌءUﻦ َآ َﻔ ﺮُوا
َ اﱠﻟ ﺬِﻳU ن
ِإ ﱠ
َُﻳ ْﺆﻣِﻨُﻮن
/inna [allaźīna kafarū](a) sawā'un 'alayhim a anźartahum am lam tunźihum lā
yu'minūna/
c. ﺧ ِﺮ َو َﻣ ﺎ ُه ْﻢ
ِ ل ءَاﻣَ ﱠﻨ ﺎ ﺑِﺎﻟﱠﻠ ِﻪ َو ِﺑ ﺎ ْﻟ َﻴ ْﻮ ِم ا ْﻟ ﺂ
ُ ﻦ َﻳ ُﻘ ﻮ
ْ َﻣU س
ِ ﻦ اﻟﻨﱠ ﺎ
َ َو ِﻣ
Uِﺑ ُﻤ ْﺆ ِﻣﻨِﻴﻦ
/wa min an-nāsi [man yaqūlu āman-nā bi-allāhi wa bi al-yawmi al-ākhiri wa
mā hum bi mu'minīna]/
‘Di antara manusia ada [yang mengatakan: "Kami beriman kepada Allah dan
Hari kemudian", padahal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang
beriman]’ (QS. Al-Baqarah: 8)
Dalam (84) di atas, dapat dilihat bahwa bentuk yang bertelingkah adalah اﻟﻤﺘﻘ ﻴﻦ
sikap manusia terhadap ajaran Islam, yaitu golongan beriman (ayat ke-2 sampai
ke-5), golongan orang yang ingkar atau kafir (ayat ke-6 dan ke-7), dan golongan
yang berada di antara keduanya (ayat ke-8 sampai ke-10) (Al-Baydawī t.t.: 24).
Seperti juga berlaku bagi kohesi yang memanfaatkan antonimi biner di atas,
melalui petunjuk kosa kata (vocabulary cued), yaitu bagian yang menerangkan
sifat golongan tersebut secara khusus, pemanfaatan antonimi dalam (84) di atas
memberikan informasi kepada kita tentang tiga golongan dalam menerima isi Al-
Quran. Dengan demikian, selain menjadikan ketiga ayat tersebut kohesif, dapat
keseluruhan ketiga rangkaian ayat tersebut. Dalam ayat lain, meskipun digunakan
(85) berikut.
antarbagian ayat ke-216 surat Al-Baqarah tersebut, yaitu antara bentuk ﺗﻜﺮه ﻮا
/takrahū/ 'kalian membenci' dan ُﺗﺤ ّﺒ ﻮا/tuhibbū/ 'kalian menyukai' dan antara
ﺧﻴ ﺮ /khayr/ 'baik' dan ﺷﺮ /syarr/ 'buruk'. Penggunaan dua bentuk yang
berlawanan secara berurutan ini, dalam 'ilm al-badī', disebut muqābalah. Sebagai
bagian dari 'ilm al-badī', fungsi dari muqābalah adalah untuk memperindah gaya
bahasa yang dipakai. Dalam hal ini, meskipun muqābalah adalah bentuk yang
digunakan untuk memperindah gaya bahasa dari segi maknanya (muhassināt al-
menyatakan bahwa perang adalah baik. Oleh karena itu, selain menjadi peranti
syay'an wa huwa khayrun lakum/ ‘boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia
amat buruk bagimu’, dua pasang antonim tersebut juga mewujudkan koherensi
ayat tersebut secara keseluruhan, yaitu melalui petunjuk kosa kata (vocabulary
cued). Dalam kasus seperti ini, kita dapat menolak pendapat Brown dan Yule
teks.
‘aks dalam bahasa Arab, pertelingkahan antara dua bentuk atas dasar relasi timbal
balik (‘Umar 1982: 103, Cruse 1986: 232, Cruse 2004: 167, dan Jaszczolt 2003:
17). Pemanfaatan pertelingkahan relasional sebagai peranti kohesi dalam surat Al-
(86) َﻟ ُﻪUٌﻣَ ْﻮُﻟ ﻮدU هَ ﺎ َوَﻟ ﺎUِ َوَﻟ ﺪUِ بUٌوَاِﻟ َﺪةU ﻟَ ﺎ ُﺗ ﻀَﺎ ﱠر---
(233) --- ِﻩUِ َوَﻟﺪUِب
/--- lā tudārr [wālidatun] bi [waladi]-hā wa lā [mawlūdun lahu] bi [waladi]-hi ---/
'--- Janganlah seorang [ibu] menderita kesengsaraan karena [anak]-nya dan juga
seorang [ayah] karena [anak]-nya ---' (QS. Al-Baqarah: 233)
Dalam (86) di atas, dapat kita lihat bahwa terdapat tiga bentuk yang saling
wālidah dengan mawlūd lahu, dan antara mawlūd lahu dan walad. Dari tiga
mawlūd lahu dan bentuk wālidah. Selain itu, dapat kita lihat bahwa pemanfaatan
ayat tersebut. Dengan kata lain, antonimi sebagai peranti kohesi dalam ayat
tentang hukum keluarga” tidaklah cukup untuk mengetahui secara jelas apa yang
dikehendaki oleh teks, sebab intensi teks tidak tergantung pada informasi leksikal
yang terdapat dalam antonim yang saling berhubungan tersebut, melainkan pada
kalām insyā’ talabi yang berfungsi sebagai larangan (Al-Hāsyimi 1960: 77-79,
dan ‘Atwi 1989: 71-73). Oleh karena itu, meskipun mampu memperlihatkan tema
dasar teks, antonimi sebagai peranti kohesi tidak dapat memperlihatkan tindakan
bahasa Arab, yaitu relasi pertelingkahan antarkata yang didasarkan atas hubungan
arah (‘Umar 1982: 103). Dalam surat Al-Baqarah, hubungan ini dapat dilihat
(87) لَ ﻚ ِإ ْذ َﻗ ﺎ
َ ن ءَا َﺗ ﺎ ُﻩ اﻟﱠﻠ ُﻪ ا ْﻟ ُﻤ ْﻠ
ْ ج ِإ ْﺑ ﺮَاهِﻴ َﻢ ِﻓ ﻲ َر ﱢﺑ ِﻪ َأ
ﺣﺎ ﱠَ َأَﻟ ْﻢ َﺗ َﺮ إِﻟَ ﻰ اﱠﻟ ﺬِي
ل ِإ ْﺑ ﺮَاهِﻴ ُﻢ
َ ﺖ َﻗ ﺎ ُ ﺣ ِﻴ ﻲ َوُأﻣِﻴ ْ ل َأ َﻧ ﺎ ُأ
َ ﺖ َﻗ ﺎ
ُ ﺤ ِﻴ ﻲ َو ُﻳﻤِﻴْ ﻲ اﱠﻟﺬِي ُﻳ
َ ِإ ْﺑﺮَاهِﻴ ُﻢ َر ﱢﺑ
ﻦ
َ ﺲ ِﻣ ِ ﺸ ْﻤ ن اﻟﱠﻠ َﻪ َﻳ ْﺄﺗِﻲ ﺑِﺎﻟ ﱠ ﻦ َﻓِﺈ ﱠَ ت ﺑِﻬَ ﺎ ِﻣ ِ َﻓ ْﺄUِﺸ ِﺮق ْ ا ْﻟ َﻤU
(258) --- Uِا ْﻟ َﻤ ْﻐ ِﺮبU
/a lam tara ilā allaźī hājja ibrāhīm fī rabbihi an ātāhu allāh al-mulk iź qāla
ibrāhīm rabbī allaźī yuhyi wa yumīt qāla ana uhyī wa umīt qāla ibrahīm fa inna
allah ya'ti bi asy-syams min [al-masyriq] fa a'ti bihā min [al-magrib] ---/
‘Apakah kamu tidak memperhatikan orang yang mendebat Ibrahim tentang
Tuhannya (Allah) karena Allah telah memberikan kepada orang itu pemerintahan
(kekuasaan). Ketika Ibrahim mengatakan: "Tuhanku ialah Yang menghidupkan dan
mematikan," orang itu berkata: "Saya dapat menghidupkan dan mematikan".
Ibrahim berkata: "Sesungguhnya Allah menerbitkan matahari dari [timur], maka
terbitkanlah dia dari [barat]," ---’ (QS. Al-Baqarah: 258)
Dalam (87) tersebut, kata اﻟﻤ ﺸﺮق/al-masyriq/ 'timur' bertelingkah dengan kata
اﻟﻤﻐ ﺮب/al-magrib/ 'barat' secara direksional. Dalam kasus seperti ini, hubungan
antara dua bentuk yang digunakan pada dasarnya dibatasi oleh bentuk اﻟ ﺸﻤﺲ
/asy-syams/ ‘matahari’. Oleh karena itu, koherensi dalam teks ini tidak dibangun
atas dasar hubungan antonimi yang digunakan di sini saja, melainkan juga dengan
bentuk lain. Jadi, dengan cara double grounding, dapat kita katakan bahwa
ini disebut tibāq yang berfungsi memperindah gaya bahasa dari segi maknanya.
Dalam hal ini, dapat diandaikan bahwa hudā 'petunjuk' dan dalal 'kesesatan'
adalah dua buah ruangan yang bersebelahan, misalnya hudā terdapat di sebelah
kanan, maka dalal berada di sebelah kiri. Dengan pengandaian ini, dapat
pengulangan bentuk آﺜﻴ ﺮ/kaśīr/ ‘orang banyak’ memiliki acuan yang berbeda,
yang pertama kepada orang-orang fasik dan yang kedua kepada orang beriman.
Oleh karena itu, kita dapat juga menolak pendapat Brown dan Yule (1983) tentang
fungsi kohesi dalam identifikasi teks, yaitu bahwa sebagai peranti kohesi,
penggunaan antonimi dalam hal ini juga berguna bagi identifikasi teks.
4.2.3 Sinonimi
Dalam bahasa, terdapat kata-kata yang berbagi makna yang sama. Konsep untuk
menyebut hubungan semacam ini disebut sinonimi (Cruse 1986: 265, dan
Matthews 1997: 367). Sinonimi dapat bersifat absolut dan dapat pula bersifat
parsial. Kata yang saling berhubungan dalam sinonimi harus memiliki makna
yang saling bertumpang tindih dalam derajat yang tinggi dan memiliki
pertelingkahan implisit dalam derajat sangat rendah (Cruse 1986: 266). Karena
absolut sangat sulit ditemukan, bahkan mungkin tidak ada sama sekali.
yang dicapai melalui substitusi dan penggantian leksikal. Akan tetapi, dalam
penelitian ini substitusi hanya saya gunakan untuk penggantian item leksikal
tertentu dengan kata umum, penggantian leksikal hanya saya gunakan untuk
penggantian item leksikal tertentu dengan bentuk lainnya yang memiliki makna
berbeda tetapi digunakan untuk mengacu kepada konsep yang sama, dan sinonimi
saya gunakan untuk penggantian item leksikal tertentu dengan item lainnya yang
sinonimi, dan keduanya memiliki derajat sinonimi yang tidak cukup tinggi.
(89) a. ﻞ
َ ﺳﻤَـﺎﻋِﻴ ـْ ﻚ ِإ ْﺑ ﺮَاهِﻴ َﻢ َوِإ
َ ءَاﺑَﺎ ِﺋUَِإَﻟ ﻪUَك و
َ Uَِإَﻟ ﻪU َﻗ ﺎﻟُﻮا َﻧ ْﻌ ُﺒ ُﺪ---
ﺣﺪًاِ وَاUِإَﻟﻬًﺎU ق َ ﺳﺤَﺎ ْ َوِإ (133) ن َ ﺴِﻠﻤُﻮ
ْ ﻦ َﻟ ُﻪ ُﻣُﺤ ْ َو َﻧ
/--- qālū na'budu [ilāha](a)-ka wa [ilāha](a) abā'ika ibrahīma wa isma'īla wa
ishāqa [ilāhan] wāhidan wa nahnu lahu muslimūna/
‘Mereka menjawab: Kami akan menyembah [Tuhan]-mu dan [Tuhan] nenek
moyangmu, Ibrahim, Ismail dan Ishaq, (yaitu) [Tuhan] Yang Maha Esa dan
kami hanya tunduk patuh kepada-Nya.’ (QS. Al-Baqarah: 133)
b. ﻞ
َ ﺳﻤَﺎﻋِﻴ ْ ل ِإﻟَﻰ ِإ ْﺑﺮَاهِﻴ َﻢ َوِإ
َ ل ِإَﻟ ْﻴﻨَﺎ َوﻣَﺎ ُأ ْﻧ ِﺰ
َ ﻗُﻮﻟُﻮا ءَا َﻣ ﱠﻨﺎ ﺑِﺎﻟﱠﻠ ِﻪ َوﻣَﺎ ُأ ْﻧ ِﺰ
ﻲ
َ ﺳ ﻰ َوﻋِﻴ ﺴَﻰ َو َﻣ ﺎ أُو ِﺗ َ ﻲ ﻣُﻮ َ ط َوﻣَﺎ أُو ِﺗ ِ ﺳﺒَﺎ
ْ ب وَا ْﻟَﺄَ ق َو َﻳ ْﻌﻘُﻮ َ ﺳﺤَﺎ
ْ َوِإ
--- مْ Uِ َرﺑﱢﻪU ﻦ ْ ن ِﻣَ اﻟ ﱠﻨ ِﺒﻴﱡﻮ (136)
/qūlū āmannā bi allah wa mā unzila ilaynā wa mā unzila ilā ibrāhīm wa ismā'īl
wa ishāq wa ya'qūb wa al-asbāt wa mā ūtiya an-nabiyyūn min [rabbi](a1-KLSi)-
him ---/
‘Katakanlah (hai orang-orang mu'min): "Kami beriman kepada Allah dan apa
yang diturunkan kepada kami, dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismail,
Ishaq, Ya`qub dan anak cucunya, dan apa yang diberikan kepada Musa dan Isa
serta apa yang diberikan kepada nabi-nabi dari [Tuhan]-nya. ---’ (QS. Al-
Baqarah: 136)
Dalam (89) di atas, dapat kita lihat bahwa nomina إﻟ ﻪ/ilāh/ 'Tuhan' (a) yang
digunakan dalam ayat ke-133 surat Al-Baqarah digantikan oleh sinonimnya dalam
ayat ke-136, yaitu nomina رب /rabb/ 'Tuhan' (a1-KLSi). Meskipun terdapat
sedikit perbedaan makna antara kata rabb dan kata ilāh, yaitu bahwa kata rabb
dapat digunakan untuk mengacu kepada konsep selain “tuhan”, kedua kata ini
sama-sama menunjuk kepada konsep “tuhan” secara mendasar dan hampir dapat
digunakan secara bergantian pada hampir setiap konteks ujaran (Ibn Manzūr t.t.a:
399, dan Ibn Manzūr t.t.b: 467). Oleh karena itu, dapat kita nyatakan bahwa
Namun demikian, tidak dapat dikatakan bahwa hal ini selanjutnya memberi
tersebut tidak termasuk dalam kategori yang sama. Yang pertama merupakan
kalām khabar, dan yang kedua merupakan kalām insyā’. Jadi, meskipun sinonimi
Selain itu, terdapat hubungan sinonimi yang kurang tinggi karena terikat
pada batasan kolokasi yang tinggi. Sebagai peranti kohesi, hal itu tampak pada
melepaskan ikatan perkawinan (Ma'luf 1986: 329 dan 470). Namun demikian,
bentuk sarraha yang dimaksud dalam (90) digunakan untuk mengacu kepada
tahapan cerai setelah tallaqa. Hal ini juga dapat dilihat dalam (91) berikut ini.
(91) ن
ٍ ﺣ ﺴَﺎ
--- ْ ِﺑِﺈUٌﺴﺮِﻳﺢ
ْ َﺗU ف َأ ْو
ٍ ك ِﺑ َﻤ ْﻌﺮُو
ٌ ن َﻓِﺈ ْﻣﺴَﺎ
ِ َﻣ ﱠﺮﺗَﺎUُﻄﻠَﺎق
اﻟ ﱠU
(229)
/[at-talāqu] marratāni fa imsākun bi ma'rūfin aw [tasrīhun] bi ihsānin ---/
‘[Talak] (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara
yang ma`ruf atau [menceraikan] dengan cara yang baik ---’ (QS. Al-Baqarah: 229)
dalam konteks tertentu. Lebih dari itu, pemanfaatan sinonimi yang menandakan
bahwa tasrīh dalam ayat ini mengacu kepada talaq yang tidak dapat dirujuk. Oleh
karena itu, jika kita mengikuti pendapat Givon (1995: 372), dapat juga dikatakan
bahwa pemanfaatan sinonimi dalam hal ini membentuk koherensi tematis seluruh
ungkapan. Hal ini selanjutnya memberi dasar bagi pemahaman terhadap intensi
sebagai kalām insyā talabi hal itu berfungsi sebagai perintah (amr).
4.2.4 Taksonimi
bersifat hirarkis yang disebut taksonimi (taxonimy), atau al-isytimāl dalam bahasa
Arab (‘Umar: 1982: 99, dan Cruse 1986: 137). Dalam hubungan ini, sebuah kata
antarkata dalam taksonimi dapat bersifat alami (natural kind terms), yang
juga bersifat nominal (nominal kind terms), yang biasanya dapat digantikan
peranti kohesi. Hal itu, antara lain, dapat dilihat dalam beberapa analisis berikut.
b. Uﺼـﺎرَى
َ َﻧU َأ ْوU ُه ﻮدًاU ن َ ﻦ َآ ﺎ
ْ ﺠ ﱠﻨ َﺔ إِﱠﻟ ﺎ َﻣ
َ ﻞ ا ْﻟ
َﺧ
ُ ﻦ َﻳ ْﺪ
ْ وَﻗَﺎﻟُﻮا َﻟ
ﻞ هَﺎﺗُﻮا
ْ ﻚ َأﻣَﺎ ِﻧ ﱡﻴ ُﻬ ْﻢ ُﻗ
َ ( ِﺗ ْﻠ111) ﻦ َ ن ُآ ْﻨ ُﺘ ْﻢ ﺻَﺎ ِدﻗِﻴْ ُﺑ ْﺮهَﺎ َﻧ ُﻜ ْﻢ ِإ
/wa qālū lan yadkhula al-jannata illā man kāna [hūdan] aw [nashārā] tilka
amāniyyuhum qul hātū burhānakum in kuntum sādiqīna/
‘Dan mereka (Yahudi dan Nasrani) berkata: "Sekali-kali tidak akan masuk
surga kecuali orang-orang (yang beragama) [Yahudi] atau [Nasrani]".
Demikian itu (hanya) angan-angan mereka yang kosong belaka. Katakanlah:
"Tunjukkanlah bukti kebenaranmu jika kamu adalah orang yang benar’ (QS.
Al-Baqarah: 111)
Dalam (92) di atas, hiponimi dalam kedua ayat di atas dapat dilihat dalam
hubungan antara bentuk اﻟﻜﺘ ﺎب أه ﻞ/ahl al-kitāb/ 'Ahli Kitab' dan bentuk ه ﻮد
/hūd/ 'Yahudi' dan ﻧ ﺼﺎرى/nasārā/ 'Nasrani', yaitu bahwa bentuk ahl al-kitāb
merupakan superordinat dari nasārā dan yahūd, dan antara yahūd dan nasāra
merupakan ko-taksonim. Dalam keseluruhan rangkaian ayat, yaitu antara ayat ke-
109 hingga ke-110 dan antara ayat ke-111 hingga ke-113, penggunaan bentuk
nasārā dan hūd ini memperjelas cakupan makna yang terdapat dalam ahl al-kitāb.
hubungan ini tidak mampu menjelaskan ikatan yang menghubungkan kedua ayat
di atas. Sebab, hubungan antara kedua ayat tersebut lebih dipahami melalui
pengetahuan bahwa kedua ayat tersebut merupakan kalām khabar yang berfungsi
dan ‘Atwi 1989: 70). Selain itu, dalam ‘ulūm al-Qur’ān, munāsabah dalam ayat
ini berfungsi menjaga kondisi petutur dalam menghadapi sikap orang Yahudi
Dalam (93) di atas, dapat kita lihat bahwa bentuk اﻟ ﺼﻠﻮات/as-salawāt/ 'segala
shalat' merupakan hiperonim dari اﻟ ﺼﻼة اﻟﻮﺳ ﻄﻰ/as-salāh al-wustā/ 'shalat
pertengahan'. Pemanfaatan bentuk-bentuk tersebut dalam satu lingkup ujaran,
dalam balāgah dan 'ulūm al-Qur'ān, disebut źikr al-khās ba'd al-'ām yang
bertujuan untuk menunjukkan kelebihan dari hal khusus yang disebutkan (Al-
Hāsyimi 1960: 228). Dalam hal ini, para ulama berselisih tentang shalat
pertengahan, yaitu antara shalat Subuh, shalat Zuhur, dan shalat Asar (Az-Zuhayli
2004a: 764, Ad-Dimasyqī t.t.: 395, dan Al-Khawarizmi t.t.: 260, dan Al-Baydāwi
t.t.: 128). Berdasarkan penjelasan tersebut, selain kita dapat mengatakan bahwa
antara kedua bentuk tersebut terdapat hubungan kohesif, kita juga dapat
mempersoalkan pendapat Brown dan Yule (1983: 225). Dengan kata lain,
peranti tertentu dan daya pragmatisnya, tetapi tidak dapat semena-mena dikatakan
bahwa kohesi dalam hal ini tidak diperlukan dalam menelusuri maksud yang
dikehendaki penutur. Sebab, melalui bantuan balāgah dapat dilihat bahwa peranti
(94) ن
َ ﺳ َﺘ ْﻜ َﺒ َﺮ َو َآ ﺎ
ْ ﺲ َأ َﺑ ﻰ وَا
َ ﺠﺪُوا إِﱠﻟ ﺎ ِإ ْﺑِﻠ ﻴ
َﺴ
َ ﺠﺪُوا ﻟِﺂ َد َم َﻓ
ُﺳْ َوِإ ْذ ُﻗ ْﻠﻨَﺎ ِﻟ ْﻠ َﻤﻠَﺎ ِﺋ َﻜ ِﺔ ا
ﻦ
َ ِﻣ (34) ﻦ َ ا ْﻟﻜَﺎ ِﻓﺮِﻳ
/Wa iź qul-nā li [al-malā'ikati] usjudū li ādama fa sajadū illā [iblīsa] abā wa
istakbara wa kāna min al-kāfirīna/
‘Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat: "Sujudlah kamu
kepada Adam," maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur dan
adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir.’ (QS. Al-Baqarah: 34)
Berdasarkan pendapat Ibn ‘Abbās (dalam Az-Zuhayli: 2004a: 34), dalam ayat di
adalah hiponimi, yaitu bahwa iblīs merupakan hiponim dari al-malā`kah. Berbeda
Lebih dari itu, terdapat juga pendapat yang menyatakan bahwa Iblis tidak
taksonimi antara keduanya dapat saja terbantahkan. Oleh karena itu, pengetahuan
mengenai informasi leksikal yang dikandung oleh kedua kata tersebut sangat
4.2.5 Meronimi
whole) yang disebut meronimi, atau al-juz’ bi al-kull dalam bahasa Arab (‘Umar
1982: 101, dan Cruse 2004: 180). Dalam konsep ini, hubungan antarkata dengan
(holonym), bagian dari keseluruhan (meronym), dan atau sesama bagian dari
kriteria linguistik (true meronymy) dan dapat juga didasarkan atas kriteria ekstra
sebagai peranti kohesi. Hal itu antara lain dapat dilihat dalam ayat di bawah ini.
(95) ﺳ ْﺒ َﻊ
َ ﺖ ْ َأ ْﻧ َﺒ َﺘUﺣ ﱠﺒ ٍﺔ
َUﻞِ ﻞ اﻟﱠﻠ ِﻪ َآ َﻤ َﺜ
ِ ﺳ ﺒِﻴ
َ ن أَ ْﻣﻮَاﻟَ ُﻬ ْﻢ ﻓِﻲ
َ ﻦ ُﻳ ْﻨ ِﻔﻘُﻮ
َ ﻞ اﱠﻟﺬِﻳ
ُ َﻣ َﺜ
ﻓِﻲ ُآﻞﱢUَﺳﻨَﺎ ِﺑﻞ َ Uﻦ
ْ ﻒ ِﻟ َﻤ ُ ﻋ ِ وَاﻟﱠﻠ ُﻪ ُﻳ ﻀَﺎUٍﺣ ﱠﺒ ﺔ َ U ﻣِﺎ َﺋ ُﺔUٍﺳ ْﻨ ُﺒَﻠﺔ ُU
(261) َﻳﺸَﺎ ُء وَاﻟﱠﻠ ُﻪ وَاﺳِ ٌﻊ ﻋَﻠِﻴ ٌﻢ
/maśalu allaźīna yunfiqūna amwālahum fi sabīli allāhi ka maśali [habbatin]
anbatat sab'a [sanābila] fi kulli [sunbulatin] mi'ata [habbatin] wa allāhu yudā'ifu
liman yasyā'u wa allāhu wāsi'un 'alīmun/
‘Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan
hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan
tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir: seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi
siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (kurnia-Nya) lagi Maha
Mengetahui.’ (QS. Al-Baqarah: 261)
Dalam (95) di atas, dapat kita lihat bahwa bentuk ﺣﺒ ﺔ/habbah/ 'benih' yang
bentuk ﺣﺒ ﺔ/habbah/ 'benih' yang kedua adalah meronim dari bentuk ﺳ ﻨﺒﻠﺔ
/sunbulah/ 'bulir'. Hal didasarkan atas konsepsi meronimi yang terkait dengan
tersebut dan keterikatan bentuk yang menjadi bagian yang melengkapi sebuah
keseluruhan (attachment) dan masuk dalam kategori true meronymy (Cruse 1986:
tersebut digunakan secara metaforis untuk menjelaskan balasan bagi orang yang
memahami maksud dari ayat tersebut. Oleh karena itu, dalam kasus seperti ini,
(96) ﺤﺘِﻬَ ﺎ
ْ َﻦ ﺗ
ْ ﺠ ﺮِي ِﻣ ْ ب َﺗ ٍ ﻋ َﻨ ﺎ
ْ ﻞ َوَأ ٍ ﻦ َﻧﺨِﻴ ْ ن َﻟ ُﻪ ﺟَ ﱠﻨ ٌﺔ ِﻣ َ ن َﺗ ُﻜ ﻮْ ﺣ ُﺪ ُآ ْﻢ َأ
َ َأ َﻳ َﻮ ﱡد َأ
ﺿ َﻌﻔَﺎ ُء
ُ ﺻ ﺎ َﺑ ُﻪ ا ْﻟ ِﻜ َﺒ ُﺮ َوَﻟ ُﻪ ُذرﱢﻳﱠ ٌﺔَ ت َوَأ ِ ﻦ ُآ ﻞﱢ اﻟ ﱠﺜ َﻤ ﺮَا ْ ا ْﻟﺄَ ْﻧﻬَ ﺎ ُر َﻟ ُﻪ ﻓِﻴ َﻬ ﺎ ِﻣ
ت ﻟَﻌَﻠﱠ ُﻜ ْﻢ
ِ ﻦ اﻟﱠﻠ ُﻪ َﻟ ُﻜ ُﻢ اﻟْﺂ َﻳ ﺎ
ُ ﻚ ُﻳ َﺒﻴﱢ
َ ﺖ َآ َﺬِﻟ
ْ ﺣ َﺘ َﺮ َﻗ
ْ ﻋﺼَﺎ ٌر ﻓِﻴ ِﻪ ﻧَﺎ ٌر ﻓَﺎ ْ َﻓَﺄﺻَﺎ َﺑﻬَﺎ ِإ
(266) ن َ َﺗ َﺘ َﻔ ﱠﻜﺮُو
/a yawaddu ahadukum an takūna lahu [jannatun] min [nakhīlin] wa [a'nābin] tajrī
min tahtihā al-anhār lahu fīhā min kulli aś-śamarāt wa aşābahu al-kibaru wa lahu
źurriyyah du'afā' fa aşābahā i'şār fīhi nār fa ihtaraqat kaźālika yubayyinu Allah
lakum al-āyāti la'allakum tatafakkarun/
‘Apakah ada salah seorang di antaramu yang ingin mempunyai [kebun] dari
[kurma] dan [anggur] yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; dia mempunyai
dalam kebun itu segala macam buah-buahan, kemudian datanglah masa tua pada
orang itu sedang dia mempunyai keturunan yang masih kecil-kecil. Maka kebun itu
ditiup angin keras yang mengandung api, lalu terbakarlah. Demikianlah Allah
menerangkan ayat-ayat-Nya kepada kamu supaya kamu memikirkannya/
Dalam ayat tersebut, hubungan ﺟﻨ ﺔ /jannah/ ‘kebun’ dengan ﻧﺨﻴ ﻞ /nakhīl/
‘kurma’ dan أﻋﻨ ﺎب/a’nāb/ ‘anggur’ bersifat wajib, sebab, seperti dikemukakan
Ibnu Manzūr (t.t.b: 92), kata jannah selalu mengandaikan adanya nakhl dan ‘inab.
Jika kedua unsur tersebut tidak terpenuhi, maka hal itu hanya disebut sebagai
ﺣﺪﻳﻘ ﺔ /hadīqah/ ‘taman’. Lebih dari itu, sebagai peranti kohesi, pemanfaatan
karena bencana sebagai metafor bagi amal yang rusak karena kemunafikan (Az-
Dalam (97) dapat kita lihat bahwa bentuk ﺻ ﻼة/salāh/ 'shalat' merupakan
holonim dari bentuk ارآﻌ ﻮا/irka’ū/ ‘ruku’lah’. Hubungan antara keduanya tidak
bersifat langsung. Sebab, yang berhubungan dengan kata as-salāh ‘shalat’ pada
diabstraksikan dari kata tersebut, yaitu رآ ﻮع /rukū’/ ‘ruku’’. Karena terkait
bentuk tersebut dan keterikatan bentuk yang menjadi bagian yang melengkapi
kategori true meronymy (Cruse 1986: 165-167). Berbeda dengan (95), yang
yang berinfak di jalan Allah, dalam (97) meronimi digunakan secara metonimis
untuk mengacu kepada hal yang sama yang dinyatakan oleh holonimnya. Oleh
karena itu, fungsi yang terdapat dalam hubungan ini sama dengan fungsi dalam
demikian, dapat juga dikatakan bahwa kohesi dalam hal ini berfungsi juga dalam
proses pemahaman.
Berdasarkan apa yang terdapat dalam (98) di atas, dapat dilihat bahwa bentuk
bersifat fakultatif bilateral, karena tidak semua hujan lebat disertai guruh dan
petir, hubungan ini membentuk apa yang disebut Givon (1995: 350) double
ungkapan ﻖ
ِﻋ
ِ ﺼﻮَا
اﻟ ﱠ ﻦ
َ ن َأﺻَﺎ ِﺑ َﻌ ُﻬ ْﻢ ﻓِﻲ ءَاذَا ِﻧ ِﻬ ْﻢ ِﻣ
َ ﺠ َﻌﻠُﻮ
ْ َﻳ/yaj'alūn asābi'ahum
fī āźānihim min as-sawā'iq haźar al-mawt/ dan ungkapan sebelumnya.
makna antarbentuk dalam domain yang sama yang salah satunya didasarkan atas
part). Hal itu terlihat, misalnya, dalam ayat ke-17 surat Al-Baqarah di bawah ini.
Dalam (99) di atas, hubungan kohesif yang dicapai melalui meronimi terdapat
dalam hubungan antara ﻧ ﺎر /nār/ 'api' dan ﻧ ﻮر /nūr/ 'cahaya'. Bentuk nūr
selanjutnya digunakan sebagai metonim dari kata nār atas dasar hubungan part-
whole. Dalam hal ini, harus dipahami bahwa kata nūr ‘cahaya’ dalam ayat ini
sebagai bagian dari nār ‘api’. Oleh karena itu, yang dipadamkan oleh Allah
bukanlah cahaya, melainkan sumber yang memiliki cahaya, yaitu api. Dalam
kasus seperti ini, antara bentuk nūr sebagai meronim dan nār sebagai holonim
didasarkan atas penafsiran terhadap bentuk tertentu dalam teks. Hal itu dapat
meronimi, dan lebih dari itu ia juga memandang bahwa َ ﻗَ ﺎﻧِﺘِﻴﻦ/qānitīn/ ‘dengan
khusyu’ juga sebagai meronim dari ﻗُﻮ ُﻣ ﻮا/qūmū/ ‘Berdirilah (dalam shalatmu)’.
Sebab, bentuk qānitīn dalam ayat tersebut bagi Asy-Syāfi’ī bermakna “sambil
melakukan qunut”. Hal itu berarti juga bahwa bentuk qūmū dalam ayat tersebut
berarti i’tidāl (berdiri setelah rukū’) dalam shalat Subuh. Pemanfaatan bentuk-
bentuk tersebut dalam satu lingkup ujaran, dalam balāgah dan 'ulūm al-Qur'ān,
disebut źikr al-khās ba'd al-'ām yang dalam hal ini bertujuan untuk menunjukkan
ciri dari hal khusus yang disebutkan (Al-Hāsyimi 1960: 228). Berdasarkan
tersebut terdapat hubungan kohesif, kita juga dapat mengatakan bahwa hubungan
makna ayat tersebut secara keseluruhan. Dengan cara seperti ini, kita juga dapat
mempersoalkan pendapat Brown dan Yule (1983: 225) tentang fungsi kohesi
dalam pemahaman teks. Dengan kata lain, seperti telah dijelaskan sebelumnya,
meskipun kohesi dalam hal ini tidak mampu memperlihatkan hubungan antara
peranti tertentu dan daya pragmatisnya, tetapi hal ini diperlukan dalam menelusuri
maksud yang dikehendaki penutur. Sebab, melalui bantuan balāgah dapat dilihat
bahwa peranti ini bertujuan untuk memperlihatkan keutamaan hal khusus yang
disebutkan.
4.2.6 Metafora
tertentu untuk makna yang berbeda dari makna literalnya (Cruse 2004: 198).
konseptualisasi yang bergantung pada pemetaan antara dua bidang, atau tiga
menurut Lakoff (dalam Cruse 2004: 201), yaitu source domain (tenor), atau al-
musyabbah bihi dalam balāgah, biasanya konkret dan familiar; target domain
(vehicle), atau al-musyabbah dalam balāgah, lebih abstrak; dan set of mapping
relation (korespondensi) atau wajh syibh dalam balāgah (Al-Hāsyimi 1960: 247-
248, Jaszczolt 2002: 354, dan Saeed 1997: 303). Dalam pembahasan kohesi yang
dicapai melalui hubungan metaforis ini, saya hanya akan membahas metafora
yang mewujudkan minimal aspek source domain dan target domain-nya secara
eksplisit sekaligus. Hal itu terdapat 10 kali dalam surat Al-Baqarah, yang, antara
Melalui (101) di atas, dapat kita pahami bahwa dalam ayat tersebut bentuk ﻦ
َ اﱠﻟ ﺬِﻳ
َآ َﻔ ﺮُوا/allaźīna kafarū/ 'orang-orang kafir' berhubungan secara metaforis dengan
ﻋ ﺎ ًء َو ِﻧ ﺪَا ًء
َ ﺴ َﻤ ُﻊ إِﻟﱠﺎ ُد
ْ ﻣَﺎ ﻟَﺎ َﻳ/mā lā yasma' illā du'ā wa nidā'/ 'sesuatu yang tidak
mendengar selain panggilan dan seruan saja'. Hubungan metaforis ini merupakan
kohesi yang selanjutnya menjadi dasar hubungan metaforis antara bentuk allaźīna
sebagai peranti kohesi dalam ayat ini, selain mewujudkan koherensi dalam ayat
Selain itu, hubungan metaforis sebagai peranti kohesi dapat juga dilihat
Seperti kita dapat lihat dalam (102) di atas, dalam ungkapan yang pertama, bentuk
nisā'. Dalam balāgah, hubungan metaforis yang pertama dinamakan tasybīh balīg,
yaitu metafor yang tidak menyertakan adah at-tasybih dan wajh asy-syibh
ungkapan kedua disebut isti'ārah tasrīhiyyah (Al-Hāsyimī 1960: 270 dan 303).
metafor tersebut, misalnya hanya dengan ungkapan u'tū nisā'akum annā syi'tum
'datangilah istri kalian sesuka kalian', ayat tersebut lebih sulit dipahami. Seperti
juga dalam hubungan metaforis yang terdapat pada (99), hubungan metaforis ini
menjadikan ungkapan tersebut secara keseluruhan koheren. Selain itu, dapat juga
kita katakan bahwa peranti kohesi dalam hal ini juga dibutuhkan dalam upaya
penafsiran teks.
4.2.7 Kolokabilitas
Istilah kolokabilitas yang saya gunakan berasal dari Brown dan Yule (1983: 194).
Istilah ini saya gunakan karena, seperti telah dijelaskan dalam (3.2.2), kolokasi
sebagai peranti kohesi yang dikemukakan oleh Halliday dan Hasan (1976: 285)
berbeda dengan pengertian kolokasi yang dikenal luas. Bagi Halliday dan Hasan
(1976: 285), kolokasi adalah kecenderungan kata untuk muncul bersama (co-
(103) a. ﺤﺖ
َ ﺑِﺎ ْﻟ ُﻬ ﺪَى َﻓ َﻤ ﺎ َر ِﺑUَﻼَﻟﺔ َ اﻟ ﻀﱠـU Uﺷ َﺘﺮَوا
ْ اU ﻦ
َ ﻚ اﱠﻟ ﺬِﻳ
َ أُوﻟَﺌ ِـ
ِﺗﺠَﺎ َر ُﺗ ُﻬ ْﻢ َوﻣَﺎ آَﺎﻧُﻮا (16 :ُﻣ ْﻬﺘَﺪِﻳﻦَ )اﻟﺒﻘﺮة
/ulā'ika allaźīna [isytaraw] [ad-dalālata] bi [al-hudā] fa ma rabihat
tijāratuhum wa mā kānū muhtadīna/
‘Merekalah orang-orang yang [membeli] [kesesatan] dengan [petunjuk],
perdagangan mereka tidak akan beruntung dan mereka tidak akan mendapat
petunjuk.’ (QS. Al-Baqarah: 16)
b. ﻦ
ْ ﺠﺮِي ِﻣ ْ ت َﺗٍ ﺟﻨﱠﺎ
َ ن َﻟ ُﻬ ْﻢ
ت َأ ﱠ ِ ﻋ ِﻤﻠُﻮا اﻟﺼﱠﺎِﻟﺤَﺎ َ ﻦ ءَا َﻣﻨُﻮا َو َ ﺸ ِﺮ اﱠﻟﺬِﻳ َو َﺑ ﱢ
ﻦ َﺛ َﻤ َﺮ ٍة ِر ْز ًﻗ ﺎ َﻗ ﺎﻟُﻮا هَ ﺬَا اﱠﻟ ﺬِيْ ﺤ ِﺘﻬَﺎ ا ْﻟَﺄ ْﻧﻬَﺎ ُر ُآﱠﻠﻤَﺎ ُر ِزﻗُﻮا ِﻣ ْﻨ َﻬ ﺎ ِﻣ
ْ َﺗ
ﻞ َوُأﺗُﻮا
ُ ﻦ َﻗ ْﺒ
ْ ج ُرزِ ْﻗﻨَﺎ ِﻣ ٌ ِﺑ ِﻪ ُﻣ َﺘ ﺸَﺎ ِﺑﻬًﺎ َوَﻟ ُﻬ ْﻢ ﻓِﻴ َﻬ ﺎ َأ ْزوَا
(25) ن َ ﻄ ﱠﻬ َﺮ ٌة َو ُه ْﻢ ﻓِﻴﻬَﺎ ﺧَﺎِﻟﺪُو َ ُﻣ
Wa basysyir allaźīna āmanū wa 'amilū as-salihāt anna lahum [jannātin] tajrī
min tahti-ha [al-anhāru] kullamā ruziqū minha min [śamaratin] rizqan qālū
hāźa allaźī ruziqna min qablu wa utū bihi mutasyābihan wa lahum fīha
[azwājun muţahharatun] wa hum fī-hā [khālidūna].
‘Dan sampaikanlah berita gembira kepada mereka yang beriman dan berbuat
baik, bahwa bagi mereka disediakan surga-surga yang mengalir sungai-
sungai di dalamnya. Setiap mereka diberi rezki buah-buahan dalam surga-
surga itu, mereka mengatakan: "Inilah yang pernah diberikan kepada kami
dahulu." Mereka diberi buah-buahan yang serupa dan untuk mereka di
dalamnya ada isteri-isteri yang suci dan mereka kekal di dalamnya.’ (Qs. Al-
Baqarah: 25)
ﺷ َﺘﺮَوا
ْا /isytaraw/ ‘mereka membeli’ digunakan secara metaforis untuk
secara bersamaan dalam analisis, yaitu dengan cara: (1) data yang dianalisis hanya
yang memenuhi dua definisi tersebut; (2) untuk dapat dianalisis lebih mendalam,
data yang saya analisis hanya berkaitan dengan hubungan antara kata dengan pola
morfologis yang berbeda tetapi berasal akar yang sama (isytiqāq al-asgar)
(Ya’kūb t.t.: 187); (3) kolokabilitas kata-kata tersebut akan dianalisis dalam
(104) ﺴ ُﻬ ْﻢ
َ إِﱠﻟ ﺎ َأ ْﻧ ُﻔUن
َ ﺨ َﺪﻋُﻮ
ْ َﻳU ﻦ ءَاﻣَ ُﻨ ﻮا َو َﻣ ﺎ
َ اﻟﱠﻠ َﻪ وَاﱠﻟﺬِﻳUَ ُﻳﺨَﺎ ِدﻋُﻮنU
َﺸ ُﻌﺮُون ْ ََوﻣَﺎ ﻳ
/[yukhādi'ūna](b) allāh wa allaźīna āmanū wa mā [yakhda'ūna](b) illā anfusa-hum
wa mā yasy'urūna/
‘Mereka hendak [menipu] Allah dan orang-orang yang beriman, padahal mereka
hanya [menipu] dirinya sendiri sedang mereka tidak sadar.’ (QS. Al-Baqarah: 8-
9)
morfologis yang sama. Meskipun kala yang terdapat dari keduanya sama, tetapi
keduanya menunjukkan aksionalitas yang berbeda. Hal ini berkaitan dengan dua
hal, yaitu dengan pola morfologis yang digunakan dan dengan objek kalimatnya.
Pola morfologis yang digunakan yakhda'ūn mengikuti bentuk ﻳﻔﻌ ﻞ- ﻓﻌ ﻞ/fa'ala-
yaf'alu/, yaitu pola dasar pembentukan kata yang berasal dari tiga huruf (śulāśi).
Pola ini memperlihatkan makna dasar kata. Dalam kaitannya dangan verba
yakhāda'ūn, pola ini menunjukkan situasi verba keadaan (state) yang memiliki
sifat duratif (Brinton 1988: 57). Adapun pola yang digunakan yukhādi'ūn
511, dan Al-Gulayayn 1987: 219). Dalam kaitannya dengan verba yukhādiūn, pola
ini menunjukkan situasi verba aktivitas yang memiliki sifat duratif dan dinamis
(Brinton 1988: 57). Hal ini dapat dilihat lebih jauh jika dihubungkan dengan objek
kalimatnya, yaitu antara allāh 'Allah' dan allaźīna āmanū 'orang-orang beriman'
dan yukhādi'ūn dan antara anfusahum 'diri mereka sendiri' dan yakhda'ūn. Jika
penjelasan ini dapat diterima, dapat dipahami bahwa koherensi dalam ayat
tersebut turut ditentukan oleh kolokabilitas antarbentuk yang berasal dari satu akar
tersebut dan interaksinya dengan objek kalimatnya. Berdasarkan hal itu, dapat kita
pahami bahwa sebagai peranti kohesi, kolokabilitas antara dua ungkapan tersebut
Kolokabilitas yang saya maksud juga dapat dilihat dalam hubungan yang
(105) ﻋَﻠ ْﻴ َﻬ ﺎ ﻣَ ﺎ
َ َوUْﺴ َﺒﺖ َ َآU ﺳ ﻌَﻬَﺎ َﻟ َﻬ ﺎ ﻣَ ﺎ
ْ ﻒ اﻟﱠﻠ ُﻪ َﻧ ْﻔ ﺴًﺎ ِإﱠﻟ ﺎ ُو
ُ ﻟَ ﺎ ُﻳ َﻜﱢﻠ
(286) --- Uْﺴ َﺒﺖ َ ا ْآ َﺘU
/lā yukallif allah nafs illā wus'ahā lahā mā [kasabat](a) wa 'alayhā mā
[iktasabat](a) ---/
‘Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia
mendapat pahala (dari kebajikan) yang [ia usahakan] dan ia mendapat siksa (dari
kejahatan) yang [ia kerjakan] ---’ (QS. Al-Baqarah: 286)
Dapat dilihat dalam (105), bentuk yang berkolokasi adalah آ ﺴﺒﺖ /kasabat/
hubungan semacam ini disebut i'tilāf al-lafdzh ma' al-lafdzh wa i'tilafuhu ma' al-
ma'na, yaitu pemerlingkupan antarbentuk dan atau antara suatu bentuk dan makna
bentuk lainnya (Al-Hasyimi 1960: 385). Kedua bentuk tersebut berasal dari akar
yang sama, yaitu ب-س- ك/k-s-b/ 'usaha'. Bentuk yang pertama mengikuti pola
morfologis (wazn) dasar ﻞ
َ َﻓ َﻌ/fa'ala/ yang memperlihatkan makna dasar kata,
sedangkan yang kedua mengikuti pola morfologis turunan, yaitu ﻞ
َ ِا ْﻓ َﺘ َﻌifta'ala
yang memperlihatkan makna hasil (mutāwa'ah), inisiatif (ittikhāź), resiprokal
(ikhtiyār) (Al-Misri t.t.: 510 dan Al-Ghulayayn 1987: 219). Meskipun makna
yang paling sering digunakan dalam penggunaan pola ifta'ala adalah untuk
sungguh-sungguh (Az-Zuhayli 2004b: 146 dan Al-Misri t.t.: 510). Atas dasar itu,
kolokabilitas antara bentuk kasabat dan iktasabat dapat kita kaitkan dengan
(Az-Zuhayli 2004b: 142, Ad-Dimasyqī t.t.: 465, Al-Khawarizmi t.t.: 294). Jadi,
dapat dipahami bahwa maksud dari potongan ayat tersebut adalah "setiap usaha
kebaikan akan mendapatkan imbalan dan hanya keburukan yang telah dilakukan
saja yang mendapat imbalan". Penafsiran seperti ini hanya mungkin didapat jika
buruk. Dengan kata lain, dengan mempertimbangkan pendapat Givon (1995: 358)
gramatikal sekaligus petunjuk leksikal bagi pembaca teks untuk dapat memahami
ayat ini secara lebih baik. Oleh karena itu, kita juga dapat menolak pendapat
Brown dan Yule (1983) tentang fungsi kohesi dalam identifikasi teks.
item tertentu dengan item lain (Halliday dan Hasan 1976: 88, dan Halliday 1985:
297). Akan tetapi, mengikuti Brown dan Yule (1983), dalam penelitian ini
hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari
langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezki
untukmu; karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi [Allah],
padahal kamu mengetahui.’ (QS. Al-Baqarah: 21-22)
Penggantian leksikal dalam (106) di atas adalah antara bentuk ﺧَﻠ َﻘ ُﻜ ْﻢ
َ َرﺑﱠ ُﻜ ُﻢ اﱠﻟﺬِي
ﻦ َﻗ ْﺒِﻠ ُﻜ ْﻢ
ْ ﻦ ِﻣ
َ وَاﱠﻟ ﺬِﻳ/rabba-kum allaźī khalaqa-kum wa allaźīna min qabli-kum/
'Tuhanmu' dan اﷲ/allāh/ 'Allah'. Hubungan antara kedua bentuk tersebut bukan
merupakan hubungan antara sebuah frasa nominal leksikal dan sebuah item
leksikal. Keduanya bukan sinonim dan tidak pula terikat oleh hubungan substitusi,
sebab makna yang ditunjuk oleh kata rabb sebagai inti frasa belum tentu sama
dengan kata allāh dan frasa tidak digantikan oleh sebuah kata umum tetapi oleh
sebuah item leksikal yang memiliki makna khusus (Ibn Manzur t.t.a: 99).
kedua bentuk itu umum digunakan untuk menunjuk konsep "tuhan" dalam Al-
Quran yang selanjutnya mengacu kepada Allah. Dengan kata lain, tanpa
interpretasi yang rumit kita dapat memahami dengan mudah bahwa referen yang
dimaksud oleh kedua bentuk tersebut adalah “Allah”. Artinya, dengan menjadikan
kedua bentuk tersebut sebagai salah satu petunjuk leksikal, kita dapat melihat
koherensi dua ayat tersebut. Hal itu lebih jelas jika kita menghubungkan
oleh rangkaian kedua ayat tersebut. Oleh karena itu, dapat kita katakan bahwa,
leksikal menjadi peranti kohesi yang sekaligus ikut membangun koherensi kedua
Namun demikian, seperti akan kita lihat di bawah ini, penafsiran semacam
terdapat dalam hubungan antara ayat ke-144 dengan ayat ke-148 dan ke-149 surat
Al-Baqarah berikut.
(107) a. ﺿ ﺎهَﺎَ َﺗ ْﺮU ِﻗ ْﺒَﻠ ًﺔU َﺴﻤَﺎ ِء ﻓَﻠَ ُﻨﻮَﻟﱢﻴَﻨﱠ ﻚ ﻚ ِﻓ ﻲ اﻟ ﱠ َ ﺟ ِﻬ ْ ﺐ َو َ َﻗ ْﺪ ﻧَ ﺮَى َﺗ َﻘﱡﻠ
ﺚ ﻣَ ﺎ ُآ ْﻨ ُﺘ ْﻢ َﻓ َﻮﱡﻟ ﻮاُ ﺣ ْﻴ َ ﺤ ﺮَا ِم َو َ ﺠ ِﺪ ا ْﻟ
ِﺴ
ْ ﻄ َﺮ ا ْﻟ َﻤ
ْ ﺷ َ ﻚ َ ﺟ َﻬ ْ ل َو
َﻓ َﻮ ﱢ
ﻦ
ْ ﻖ ِﻣ ﺤ ﱡ َ ن َأ ﱠﻧ ُﻪ ا ْﻟ
َ ب َﻟ َﻴ ْﻌَﻠ ُﻤ ﻮ
َ ﻦ أُوﺗُﻮاا ْﻟ ِﻜ َﺘ ﺎَ ن اﱠﻟﺬِﻳ
ﻄ َﺮ ُﻩ َوِإ ﱠ
ْ ﺷ
َ ُوﺟُﻮ َه ُﻜ ْﻢ
ن
َ ﻋ ﱠﻤ ﺎ َﻳ ْﻌ َﻤُﻠ ﻮ َ ﻞ ٍ َر ﱢﺑ ِﻬ ْﻢ َو َﻣ ﺎ اﻟﱠﻠ ُﻪ ِﺑﻐَﺎ ِﻓ
(144)
/qad narā taqalluba wajhika fi as-samā'i fa lanuwalliyannaka [qiblatan]
tardāhā fawalli wajhaka syatra al-masjidi al-harāmi wa hayśu mā kuntum fa
wallū wujūhakum syatrahu wa inna allaźīna ūtū al-kitāba laya'lamūn annahu
al-haqqu min rabbihim wa mā allāhu bi gāfilin 'ammā ya'malūna/
'Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka
sungguh Kami akan memalingkan kamu ke [kiblat] yang kamu sukai.
Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan di mana saja kamu
berada, palingkanlah mukamu ke arahnya. Dan sesungguhnya orang-orang
(Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al Kitab (Taurat dan Injil) memang
mengetahui, bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari
Tuhannya; dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan'
(QS. Al-Baqarah: 144).’
Berdasarkan apa yang terdapat dalam (107), dapat kita lihat bahwa kata وﺟﻬ ﺔ
/wijhah/ bermakna ‘tempat menghadap’, sedangkan kata ﻗﺒﻠ ﺔ/qiblah/, selain juga
menyebut ‘tempat menghadap dalam beribadah’ (Ma'luf 1986: 607 dan 889, dan
Ibn ‘Arabi t.t.: 79). Penggantian bentuk qiblah oleh wijhah adalah peranti kohesi
perwujudan peranti kohesi yang dimaksud dalam (107) sudah cukup. Akan tetapi
jika yang ingin dipahami adalah maksud teks secara keseluruhan, hal itu tidak
cukup. Agar sampai kepada penafsiran wijhah digunakan dalam makna yang
dimaksud qiblah, kita harus mengetahui konteks keseluruhan ayat ke-144 dan
palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram’ dalam (107b). Dengan kata lain,
penafsiran tersebut membutuhkan apa yang disebut Brown dan Yule (1983) top-
down and bottom-up processing. Jadi, meskipun kedua bentuk tersebut saling
menggantikan. Hal ini, misalnya, terdapat dalam rangkaian ayat ke-1 dan ke-2 di
bawah ini.
Berdasarkan riwayat Qatādah (dalam Al-Qurtubi 1994a: 175), bentuk اﻟﻢ/alif lām
mīm/ merupakan salah satu nama Al-Quran. Dalam ayat kedua, bentuk tersebut
digantikan oleh اﻟﻜﺘ ﺎب/al-kitāb/ ‘Al-Kitab’ yang merupakan nama lain dari Al-
Quran. Penggantian leksikal dalam kedua ayat tersebut membutuhkan penafsiran
yang rumit. Sebab, tanpa mengetahui riwayat yang berasal dari Qatādah tentang
makna alif lām mīm, atau dengan menolak riwayat tersebut, dan atau tanpa
antara kedua ayat tersebut tidak tampak. Hal tersebut menandakan bahwa peran
pembaca yang dikemukakan oleh Brown dan Yule (1983: 236-256) dan Alwi et
al. (1998: 434) sangat dibutuhkan dalam menafsirkan koherensi dalam teks
tersebut. Dengan kata lain, dapat dinyatakan pula bahwa yang menentukan
koherensi antara kedua ayat tersebut bukanlah ungkapan alif-lām-mīm dan al-
bentuk tersebut.
Selain itu, terdapat juga terdapat juga penggantian leksikal yang digunakan
untuk mengacu kepada kumpulan yang sama. Hal itu seperti terlihat dalam ayat
(109) ﻦ
ﺻ ﻠَﺎﺣًﺎ َوَﻟ ُﻬ ﱠ ْ ن َأرَادُوا ِإ ْ ﻚ ِإ َ ﻦ ﻓِﻲ َذِﻟ ﻖ ِﺑ َﺮ ﱢد ِه ﱠ
ﺣﱡ
َ ُهﻦﱠ َأUُ ُﺑﻌُﻮَﻟﺖUَ و---
ﻦ
ﻋَﻠ ْﻴ ِﻬ ﱠ
َ ﻞ اﱠﻟﺬِي
ُ ﺟ ٌﺔ وَاﻟﻠﱠ ُﻪ ِﻣ ْﺜ
َ ﻦ َد َر
ﻋَﻠ ْﻴ ِﻬ ﱠ
َ Uِﻟ ﱢﺮﺟَﺎلUِﺑِﺎ ْﻟﻤَ ْﻌﺮُوفِ َول
(228) ﻋَﺰِﻳ ٌﺰ ﺣَﻜِﻴ ٌﻢ
/--- wa [bu'ūlatu]-hunna ahaqq biraddihinna fī źālika in arādū islāh wa lahunn
miśl allaźī 'alay hinna bi al-ma'rūf wa li [ar-rijāl] 'alayhinna darajah wa allāh
'azīz hakīm/
‘--- Dan [suami-suami]-nya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika
mereka (para suami) itu menghendaki ishlah. Dan para wanita mempunyai hak
yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma`ruf. Akan tetapi
[para suami] mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. Dan Allah
Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.’ (QS. Al-Baqarah: 228)
Dapat kita lihat bahwa antara bentuk ﺑﻌﻮﻟ ﺔ/bu'ūlah/ 'suami' yang merupakan
bentuk plural dari kata ﺑﻌ ﻞ/ba'l/ 'suami' dan اﻟﺮﺟ ﺎل/ar-rijāl/ 'laki-laki dewasa'
yang berasal dari bentuk رﺟ ﻞ /rajul/ terdapat hubungan kohesif. Meskipun
bentuk rajul pada dasarnya memiliki makna ‘laki-laki dewasa’, pada ayat ini
bentuk tersebut digunakan untuk mengacu kepada konsep suami. Jadi, baik kata
‘suami’. Namun demikian, suami yang diacu oleh bu'ūlah dan yang diacu oleh ar-
rijāl berbeda. Sebab, suami yang diacu oleh bu'ūlah adalah suami yang telah
menalak istrinya, sedangkan yang diacu oleh rijāl adalah suami dalam arti umum.
Jika kita hendak mencari hubungan kedua makna ini dengan usaha penafsiran teks
secara umum, maka sulit dikatakan bahwa keduanya menjadi peranti kohesi yang
keduanya, seperti pendapat Givon (1995: 376) tentang koherensi referensial, maka
hubungan keduanya dan begitu juga pengulangan kata baqarah pada (68) sudah
cukup.
peranti kohesi dikemukakan oleh Brown dan Yule (1983: 194), tetapi pendapat
yang saya gunakan lebih jauh untuk menganalisis pemilihan stilistis adalah
pendapat Wales (dalam Mey 1998). Wales (dalam Mey 1998: 136)
mengemukakan bahwa dalam teks sastra, terutama puisi, kohesi dapat juga
dicapai melalui hubungan fonologis, meliputi, antara lain, pengulangan pola ritmis
seperti yang dimaksud oleh Wales (1998) mencapai 29 kali, meliputi pilihan
ayat dan antarayat dalam satu tema. Pilihan stilistik yang digunakan untuk
mewujudkan kohesi antar ayat dalam suatu tema biasanya terletak di akhir ayat.
Dalam (110) di atas, persesuaian pilihan stilistis terjadi melalui persesuaian pola
bunyi. Kedua ayat tersebut sama-sama diakhiri dengan delapan buah suku kata
yang memanfaatkan rima dalam bentuk pola bunyi vokal dan pola panjang-
pendek bunyi vokal yang sama, yang dapat disebut asonansi, yaitu antara wa
iyyāya farhabūni dan wa iyyāya fattaqūni (Perrine dan Arp 1984: 164-165).
Dalam balāgah, persesuaian makna bentuk dan bunyi akhir seperti ini disebut saj’
(Al-Hāsyimi 1960: 396). Sebab, ikatan antara bentuk اﺗﻘ ﻮن /ittaqūni/ dan
ارهﺒ ﻮن/irhabūni/ dalam dua ayat di atas tidak hanya berasal dari pola bunyi
akhir yang sama, melainkan juga karena keduanya mempunyai makna yang
hampir sama, yaitu “takut”. Pengulangan pola bunyi di akhir ayat seperti di atas
dapat juga kita lihat dalam pilihan stilistik, yaitu persesuaian bunyi akhir ﻋِﻠ ﻴ ٌﻢ
َ
/’alīm/ ‘Maha Mengetahui’ dan ﺣ ﻴ ٌﻢ
ِ َر /rahīm/ ‘Maha Penyayang’, yang
kadang tidak hanya terdapat di akhir, melainkan juga meliputi bagian awal dan
akhir ayat. Hal ini dapat dilihat dalam hubungan antara dua ayat dalam (112) di
bawah ini.
(112) a. ن
َ ﺼﻠَﺎةَ َو ِﻣ ﱠﻤ ﺎ َر َز ْﻗ َﻨ ﺎ ُه ْﻢ ُﻳ ْﻨ ِﻔ ُﻘ ﻮ
ﺐ وَ ُﻳﻘِﻴ ُﻤ ﻮنَ اﻟ ﱠ
ِ ﻦ ُﻳ ْﺆﻣِﻨُﻮنَ ﺑِﺎ ْﻟ َﻐ ْﻴ
َ اﱠﻟﺬِﻳ
(3)
b. ﺧ َﺮ ِة ُه ْﻢ
ِ ﻚ َوﺑِﺎ ْﻟ ﺂ
َ ﻦ َﻗ ْﺒِﻠ
ْ ل ِﻣ
َ ﻚ َوﻣَﺎ ُأ ْﻧ ِﺰ
َ ل ِإَﻟ ْﻴ
َ ﻦ ُﻳ ْﺆﻣِﻨُﻮنَ ِﺑﻤَﺎ ُأ ْﻧ ِﺰ
َ وَاﱠﻟﺬِﻳ
ن
َ ﻳُﻮ ِﻗﻨُﻮ (4)
wa [allaźīna yu'minūna](a) bimā unzila ilayka wa mā unzila min qabli-ka
[wa bi al-ākhirati hum yūqinūna](b)
'Dan [mereka yang beriman] kepada Kitab (Al-Quran) yang Telah diturunkan
kepadamu dan kitab-kitab yang Telah diturunkan sebelummu, dan [mereka
yakin akan adanya (kehidupan) akhirat].' (QS. Al-Baqarah: 4)
Berbeda dengan pilihan stilistik dalam (110), dalam (112) pilihan stilistik tidak
hanya berkaitan dengan persesuaian pola bunyi vokal, melainkan juga konsonan
yang digunakannya. Hal ini disebut aliterasi. Selain itu, pilihan stilistik juga dapat
dilihat dalam pengulangan pola bunyi yang sama pada beberapa bagian kedua ayat
di atas secara acak yang disebut approximate rime (Perrine dan Arp 1984: 165).
kohesi antarbagian dalam sebuah ayat. Hal itu dapat kita lihat dalam ayat berikut.
Dalam ayat tersebut, bukan hanya bunyi yang bersesuaian, melainkan juga acuan
yang dimaksud oleh kedua pronomina ه ﻢ/hum/ ‘mereka’ yang terdapat secara
klitik dalam َر ﱢﺑ ِﻬ ْﻢ/rabbihim/ ‘Tuhan mereka’ dan ﻋَﻠ ْﻴ ِﻬ ْﻢ
َ /’alayhim/ ‘terhadap
mereka’. Oleh karena itu, kohesi dalam ungkapan di atas bukan hanya diwujudkan
saling berhubungan. Hal seperti ini juga terdapat dalam ayat berikut ini.
yang dicapai melalui penelingkahan susunan kata dan sekaligus pola bunyi. Hal
itu dapat dilihat dalam hubungan antara dua klausa dalam ayat berikut ini.
(115) ﺖ
ِ ﺴ
َ ﺖ اﻟ ﱠﻨ ﺼَﺎرَى َﻟ ْﻴ ِ ﻲ ٍء َوﻗَﺎَﻟ
ْ ﺷ
َ ﻋﻠَﻰ
َ ﺖ اﻟ ﱠﻨﺼَﺎرَى
ِ ﺴ
َ ﺖ ا ْﻟ َﻴﻬُﻮ ُد َﻟ ْﻴ
ِ َوﻗَﺎَﻟ
ا ْﻟ َﻴﻬُﻮ ُد ﻋَﻠﻰ (113) --- ﻲ ٍء ْ ﺷ َ
/wa [qālat al-yahūdu laysat an-nasāra 'alā syay'in] wa [qālat an-nasārā laysat
al-yahūdu 'alā syay'in] ---/
‘[Orang-orang Yahudi berkata: "Orang-orang Nasrani itu tidak mempunyai suatu
pegangan"], dan [orang-orang Nasrani berkata: "Orang-orang Yahudi tidak
mempunyai sesuatu pegangan]," ---’ (QS. Al-Baqarah: 113)
Selain dicapai melalui pengulangan bentuk اﻟﻴﻬ ﻮد /al-yahūd/ ‘Yahudi’ dan
اﻟﻨ ﺼﺮى /an-nasārā/ ‘Nasrani’ yang keduanya memiliki acuan yang sama,
kohesi dapat juga ditinjau melalui pilihan stilistiknya, yaitu melalui perubahan
urutan kata dengan menukar posisi al-yahūd dan an-nasārā. Hal ini menciptakan
pola permainan bunyi yang masih termasuk dalam kategori approximate rime.
ekstrim. Namun demikian, Brown dan Yule (1983: 225) berpendapat bahwa usaha
pemahaman teks selalu saja berkaitan dengan usaha yang dimaksudkan oleh
pembuat teks. Oleh karena itu, patut dipertimbangkan juga pertukaran urutan
bentuk al-yahūd dan an-nasārā. Sebab, pertukaran urutan kata ini menjadikan
(115) berlawanan. Pemilihan model stilistis seperti ini, dalam 'ilm al-badī', disebut
(116) َأ ْﻧ ُﺘ ْﻢU َوUس َﻟ ُﻜ ْﻢٌ ُهﻦﱠ ﻟِﺒَﺎU ﺚ ِإﻟَﻰ ِﻧﺴَﺎ ِﺋ ُﻜ ْﻢ
ُ ﺼﻴَﺎ ِم اﻟﺮﱠ َﻓ
ﺣﻞﱠ َﻟ ُﻜ ْﻢ َﻟ ْﻴَﻠ َﺔ اﻟ ﱢ
ِ ُأ
--- Uﻬﻦﱠ ُ س َﻟ
ٌ ﻟِﺒَﺎ (187)
/uhilla lakum laylata as-siyāmi ar-rafaśu ilā nisā'ikum [hunna libāsun lakum] wa
[antum libāsun lahunn] ---/
‘Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan Puasa bercampur dengan isteri-
isteri kamu; mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian
bagi mereka ---’ (QS. Al-Baqarah: 187)
Serupa dengan al-'aks pada (115), dalam (116) pertukaran urutan tempat antara
ﻦ
ّ ه/hunna/ 'mereka (feminin)' dan أﻧ ﺘﻢ/antum/ 'kalian (maskulin)' menyebabkan
makna kedua bentuk tersebut berkebalikan.
SIMPULAN
Berdasarkan analisis data yang telah dilakukan, berikut saya uraikan beberapa
dalam (2.1), yaitu tentang perwujudan kohesi dalam surat Al-Baqarah, dapat
kohesi leksikal, dan konjungsi; berdasarkan asal (nature) hubungan kohesi: (1)
dari kohesi leksikal, dan persesuaian kala, jenis dan jumlah; (2) kohesi yang
elipsis, penggantian leksikal, pemilihan stilistis, dan kohesi leksikal; (3) kohesi
konjungsi.
(damīr) dan demonstrativa (isyārah), ījāz dan itnāb, wasl dan fasl, dan al-qasr dan
al-ikhtisās; (2) ‘ilm al-bayān, terkait dengan tasybīh, majāz, dan isti’ārah; dan (3)
ma’nawiyyah. Dalam ‘ulūm Al-Qur’ān, hal ini terkait dengan bidang pembahasan
damīr secara khusus, taqdīm dan ta’khīr, peranti pemarkah ‘ām dan takhsīs, dan
juga dengan hal lainnya yang merupakan bagian dari balāgah. Berdasarkan
peranti kohesi yang didasarkan atas keterkaitan referensi dan keterkaitan bentuk;
semantik. Dalam hal ini, berdasarkan analisis yang saya lakukan, terdapat tiga
perwujudan satu peranti kohesi saja, melainkan oleh beberapa peranti kohesi
Pemahaman teks dalam kasus seperti ini lebih bergantung kepada “pengetahuan
dunia”, tafsiran lokal, fungsi komunikatif pesan, intensi pembicara, top-down and
pemahaman tersebut berkaitan erat dengan beberapa konsep dalam ‘ulūm Al-
Qur’ān, yaitu munāsabah, asbāb an-nuzūl, ‘ām dan khās, nāsikh dan mansūkh,
dan mantūq dan mafhūm. Dalam balāgah, peranti tersebut berhubungan dengan
pemahaman terhadap kalām insyā’ dan kalām khabar; (3) kadangkala perwujudan
kohesi sama sekali tidak dapat memperlihatkan koherensi antarbagian dalam teks,
dan, oleh sebab itu, tidak dibutuhkan dalam proses pemahaman teks. Dalam hal
sebelumnya.
peranti kohesi dalam pemahaman teks, saya mencoba memahami intensi yang
menggunakan balāgah dan ‘ulūm Al-Qur’ān sebagai alat analisis peranti kohesi.
Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, peranti kohesi dalam teks kadang
kohesi dengan koherensi dalam teks. Pertama, baik atas dasar pilihan bentuk yang
kohesi berkaitan dengan koherensi hanya jika mengandungi dua hal: (1) berguna
bagi proses pemahaman teks; dan (2) digunakan sebagai peranti untuk
Kedua, peranti kohesi yang turut mewujudkan koherensi biasanya tidak menjadi
‘āmm (umum) dan khāss (khusus): bidang ‘ulūm Al-Qur’ān yang mengkaji
makna umum ('āmm) dan makna khusus (khāss) yang terdapat dalam ayat-ayat
dalam Al-Quran (As-Suyūti t.t.b: 16, dan Al-Qattān 1995: 214)
asbāb an-nuzūl: bidang ‘ulūm Al-Qur’ān yang mengkaji tentang sebab turunnya
ayat dalam Al-Quran (As-Suyūti t.t.a: 29, dan Al-Qattān 1995: 71)
ījāz: bidang 'ilm al-ma'āni yang mengkaji pemendekan bentuk ungkapan yang
menyatakan maksud yang lebih kompleks (Al-Hāsyimi 1960: 222, dan ‘Atwi
1989: 93-94).
‘ilm al-badī’: bidang balāgah yang mengkaji keindahan gaya bahasa dengan tetap
memperhatikan konteks penggunaannya (Al-Hāsyimī 1960: 360).
‘ilm al-bayān: bidang balāgah yang mengkaji maksud yang dikehendaki penutur
yang diwujudkan dalam bentuk ujaran yang berbeda-beda, sebagian besar dalam
bentuk metaforis (Al-Hāsyimī 1960: 246).
‘ilm al-ma’ānī: bidang balāgah yang mengkaji makna ungkapan dalam bahasa
Arab berkaitan dengan konteksnya (Al-Hāsyimī 1960: 46)
itnāb: bidang 'ilm al-ma'āni yang mengkaji pemanjangan bentuk ungkapan dalam
pengutaraan maksud tertentu (Al-Hāsyimi 1960: 226, dan ‘Atwi 1989: 101).
kalam insyā: ungkapan yang dinilai bukan berdasarkan persesuaian isinya dengan
fakta di luar ungkapan, melainkan berdasarkan maksud yang terkandung di
dalamnya (Al-Hāsyimi 1960: 75, dan ‘Atwi 1989: 71).
kalām khabar: kalām yang kebenaran isinya ditentukan melalui verifikasi ujaran
berdasarkan fakta di luar ujaran (Al-Hāsyimi 1960: 53, dan ‘Atwi 1989: 67)
kohesi leksikal (lexical cohesion): efek kohesif yang dicapai melalui pemilihan
kosakata, dan lebih spesifik antarkata berisi (content words). Kohesi leksikal
dapat dicapai melalui reiterasi dan kolokasi (Halliday dan Hasan 1976: 274, 279,
dan 285)
makkī dan madanī: bidang ‘ulūm Al-Qur’ān yang mengkaji ayat-ayat dalam Al-
Quran berdasarkan tempat turunnya, yaitu ayat yang diturunkan di Mekkah
(makkī) dan yang diturunkan di Madinah (madanī) (As-Suyūti t.t.a: 8, dan Al-
Qattān 1995: 46).
mujmal dan mubayyan: bidang ‘ulūm Al-Qur’ān yang mengkaji makna kata
umum tanpa penjelasan (mujmal) dan kata yang mendapat penjelasan (mubayyan)
dalam Al-Quran (As-Suyūti t.t.b: 18-19).
naskh: bidang ‘ulūm Al-Qur’ān yang mengkaji ayat Al-Quran yang menghapus
(nāsikh) ayat lainnya dan ayat yang telah dihapus (mansūkh) oleh ayat lainnya
(As-Suyūti t.t.b: 20, dan menurut Al-Qattān 1995: 226).
‘ulūm al-qur’ān: bidang yang membahas segala hal yang berkaitan dengan Al-
Quran, secara ekstrinsik maupun instrinsik (Al-Qattān 1995: 11).
Al-Baqilāni, Abu Bakr Muhammad ibn At-Tayyib. 1991. I’jāz Al-Qur’ān (Edisi
Dr. Muhammad Abd al-Mun’im Khafāji). Beirut: Dār al-Jayl.
Al-Baydawī, Nāsiruddin Abu Sa'īd 'Abdullah bin 'Umar bin Muhammad Asy-
Syirāzi. T.t. Anwār at-Tanzīl wa Asrār at-Ta'wīl. Kairo: Dār al-Bayān al-
'Arabi.
Ad-Dimasyqi, 'Imāduddin Abi Al-Fidā Isma'il ibn Katsīr. T.t. Tafsīr Al-Qur'ān al-
'Azīm (edisi Hāni Al-Hajj). Kairo: Al-Maktabah at-Tawfīqiyyah.
Al-Ghulayayn, Mushthafa. 1987. Jāmi' ad-Durūs al-'Arabiyyah (edisi Dr. Abd al-
Mun'im Khafāji). Beirut: Al-Maktabah al-'Aşriyah.
Al-Jarim, Ali dan Muşţafa Amīn. t.t. Al-Balāghah al-Wādihah: Al-Bayān wa al-
Ma'āni wa al-Badī'. Kairo: Dar al-Ma'ārif.
Al-Jurjani, 'Abd al-Qāhir ibn ‘Abd ar-Rahmān ibn Muhammad. T.t. Asrār al-
Balāghah: fi 'Ilm al-Bayān (edisi Dr. Muhammad al-Iskandarani dan Dr.
M. Mas'ud). Beirut: Dar al-Kitab al-'Arabiyah.
Al-Qurţubi, Abu 'Abdullah Muhammad bin Ahmad al-Anshari. 1986. Al-Jāmi' li-
Ahkām Al-Qur'ān (edisi Dr. Muhammad Ibrahim al-Hafnawi dan Dr.
Mahmud Hamid Utsman). Kairo: Dār al-Hadīts.
As-Suyuti, 'Abd ar-Rahman Jalal ad-Din. t.t.a. Al-Itqan fi Ulūm Al-Qur'an (Jilid
I). Beirut: Dar al-Fikr.
--------. t.t.b. Al-Itqan fi Ulūm Al-Qur'an (Jilid II). Beirut: Dar al-Fikr.
‘Atwi, Rafīq Khalīl. 1989. Sinā’ah al-Kitābah: ‘Ilm al-Bayan, ‘Ilm al-Ma'ani,
‘Ilm al-Badi'. Beirut: Dār ‘Ilm li al-Malāyīn.
Grimes, E, Joseph. 1973. The Thread of Discourse. New York: Mouton Publisher.
Perrine, Laurence dan Thomas R. Arp. 1984. Sound and Sense: An Introduction to
Poetry (edisi kedelapan). Florida: Harcourt Brace College Publisher.
‘Umar, Ahmad Mukhtār. 1982. ‘Ilm ad-Dilālah. Kuwait: Al-Maktabah Dār Al-
‘Urūbah.
Wales, K. 1998. Cohesion and Coherence in Literature. Dalam Mey, Jacob L (ed).
Concise Encyclopedia of Pragmatics. Oxford: Elsevier. Hal- 134-136.