Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Anestesi regional semakin berkembang dan meluas pemakaiannya, mengingat berbagai
keuntungan yang ditawarkan, diantaranya relatif lebih murah, pengaruh sistemik yang
minimal, menghasilkan analgesi yang adekuat dan kemampuan mencegah respon stress secara
lebih sempurna. Namun demikian bukan berarti bahwa tindakan anestesi lokal tidak ada
bahayanya. Hasil yang baik akan dicapai apabila selain persiapan yang optimal seperti halnya
anestesi umum juga disertai pengetahuan tentang farmakologi obat anestesi lokal.

Carl Koller (1884), seorang ahli mata telah memperkenalkan untuk yang pertama kali
penggunaan kokain secara topikal pada operasi mata. Gaedicke (1885) mendapatkan kokain
dalam bentuk ester asam benzoat yang diisolasi dari tumbuhan koka (erythroxylon coca) yang
banyak tumbuh di pegunungan Andes. Kemudian olah Albert Naiman (1860) dalam bentuk
ekstrak. William Halsted (1884), seorang ahli bedah telah menggunakan kokain intradermal
dan blok saraf fasialis, pudendal, tibialis posterior dan plexus brachialis. Selanjutnya August
Bier (1898), menggunakan 3 ml kokain 0,5% intratekal untuk anestesi spinal dan pada 1908
memperkenalkan anestesi regional intravena (Bier Block). Alfred Einhorn (1904) mensintesa
prokain dan pada tahun yang sama digunakan untuk anestesi lokal oleh Heinrich Braun.
Penambahan epinefrin untuk memperpanjang aksi anestetik lokal dilakukan pertama kali oleh
Heinrich Braun.

Ferdinand Cathelin dan Jean Sicard (1901) memperkenalkan anestesi epidural kaudal
dan Frigel Pages (1921) memperkenalkan anestesi epidural lumbal yang diikuti oleh Achille
Doglioti (1931). Selanjutnya Lofgren (1943) mensintesa anestesi lokal amide, yaitu lidokain
yang menghasilkan blokade konduksi lebih kuat daripada Prokain dan menjadi pembanding
semua anestesi lokal. Penggunaan klinis lidokain sejak 1947. Sebelumnya dibukain (1930),
tetrakain (1932) dan sesudah itu kloroprokain (1955), mepivakain (1957), prilokain (1960),
bupivakain (1963), etidokain (1972).

Ropivakain dan levobupivakain adalah obat baru dengan aksi durasi hampir sama
seperti bupivacain tetapi kardio dan neurotoksisitasnya lebih kecil.

1
BAB II

TINJUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Anestesi lokal adalah salah satu jenis anestesi yang hanya melumpuhkan sebagian
tubuh manusia dan tanpa menyebabkan manusia kehilangan kesadaran.

2.2 Penggolongan Obat Anestesi Lokal

Secara kimiawi obat anestesi lokal dibagi dalam dua golongan besar, yaitu golongan
ester dan golongan amide. Perbedaan kimia ini direfleksikan dalam perbedaan tempat
metabolisme, dimana golongan ester terutama dimetabolisme oleh enzim pseudo-kolinesterase
di plasma sedangkan golongan amide terutama melalui degradasi enzimatis di hati. Perbedaan
ini juga berkaitan dengan besarnya kemungkinan terjadinya alergi, dimana golongan ester
turunan dari p- amino-benzoic acid memiliki frekuensi kecenderungan alergi lebih besar.

Untuk kepentingan klinis, anestesi lokal dibedakan berdasarkan potensi dan lama
kerjanya menjadi 3 group. Group I meliputi prokain dan kloroprokain yang memiliki potensi
lemah dengan lama kerja singkat. Group II meliputi lidokain, mepivakain dan prilokain yang
memiliki potensi dan lama kerja sedang. Group III meliputi tetrakain, bupivakain dan etidokain
yang memiliki potensi kuat dengan lama kerja panjang. Anestesi lokal juga dibedakan berdasar
pada mula kerjanya. Kloroprokain, lidokain, mepevakain, prilokain dan etidokain memiliki
mula kerja yang relatif cepat. Bupivakain memiliki mula kerja sedang, sedangkan prokain dan
tetrakain bermula kerja lambat.

Obat anestesi lokal yang lazim dipakai di negara kita untuk golongan ester adalah
prokain, sedangkan golongan amide adalah lidokain dan bupivakain. Secara garis besar ketiga
obat ini dapat dibedakan sebagai berikut:

Tabel 1. Jenis Anestesi Lokal

Prokain Lidokain Bupivakain

Golongan Ester Amide Amide

2
Mula Kerja 2 menit 5 menit 15 memit

Lama Kerja 30-45 menit 45-90 menit 2-4 jam

Metabolisme Plasma Hepar Hepar

Dosis Maksimal 12 6 2
(mg/kgBB)

Potensi 1 3 15

Toksisitas 1 2 10

2.3 Mekanisme Kerja

Obat anestesi local mencegah transmisi impuls saraf (blokade konduksi) dengan
menghambat pengiriman ion natrium melalui gerbang ion natrium selektif pada membrane
saraf. Gerbang natrium sendiri adalah reseptor spesifik molekul obat anestesi local.
Penyumbatan gerbang ion yang terbuka dengan molekul obat anestesi local berkontribusi
sedikit sampai hampir keseluruhan dalam inhibisi permeabilitas natrium. Kegagalan
permeabilitas gerbang ion natrium untuk meningkatkan perlambatan kecepatan depolarisasi
seperti ambang batas potensial tidak tercapai sehingga potensial aksi tidak disebarkan. Obat
anestesi local tidak mengubah potensial istirahat transmembran atau ambang batas potensial.

Lokal anestesi juga memblok kanal kalsium dan potasium dan reseptor N- methyl-D-
aspartat (NMDA) dengan derajat yang berbeda-beda. Beberapa golongan obat lain, seperti
antidepresan trisiklik (amytriptiline), meperidine, anestesi inhalasi, dan ketamin juga memiliki
efek memblok kanal sodium.

Tidak semua serat saraf dipengaruhi sama oleh obat anestesi lokal. Sensitivitas terhadap
blokade ditentukan dari diameter aksonal, derajat mielinisasi, dan berbagai faktor anatomi dan
fisiologi lain. Diameter yang kecil dan banyaknya mielin meningkatkan sensitivitas anestesi
lokal. Dengan terhadap demikian sensitivitas saraf spinalis terhadap anestesi lokal: autonom >
sensorik > motorik.

3
2.4 Farmakologi Klinis

2.4.1 Farmakokinetik

Karena anestesi lokal biasanya diinjeksikan atau diaplikasikan sangat dekat dengan
lokasi kerja maka farmakokinetik dari obat umumnya lebih dipentingkan tentang eliminasi dan
toksisitas obat dibanding dengan efek klinis yang diharapkan.

2.4.1.1 Absropsi

Sebagian besar membran mukosa memiliki barier yang lemah terhadap penetrasi
anestesi lokal, sehingga menyebabkan onset kerja yang cepat. Kulit yang utuh membutuhkan
anestesi lokal larut-lemak dengan konsentrasi tinggi untuk menghasilkan efek analgesia.

Absorpsi sitemik dari anestesi lokal yang diinjeksi bergantung pada aliran darah, yang
ditentukan dari beberapa faktor di bawah ini:

a. Lokasi injeksi—laju absorpsi sistemik proporsional dengan vaskularisasi lokasi


injeksi : intravena > trakeal > intercostal > caudal > paraservikal > epidural > pleksus
brakhialis > ischiadikus > subkutaneus.

b. Adanya vasokonstriksi— penambahan epinefrin—atau yang lebih jarang


fenilefrin— menyebabkan vasokonstriksi pada tempat pemberian anestesi. Sebabkan
penurunan absorpsi dan peningkatan pengambilan neuronal, sehingga meningkatkan
kualitas analgesia, memperpanjang durasi, dan meminimalkan efek toksik. Efek
vasokonstriksi yang digunakan biasanya dari obat yang memiliki masa kerja pendek.
Epinefrin juga dapat meningkatkan kualitas memperlama aktivitasnya adrenergik α2.

c. Agen anestesi lokal—anestesi lokal yang terikat kuat dengan jaringan lebih lambat
terjadi absorpsi. Dan agen ini bervariasi dalam vasodilator intrinsik yang dimilikinya.

2.4.1.2 Distribusi

Distribusi tergantung dari ambilan organ, yang ditentukan oleh faktor-faktor di bawah
ini:

a. Perfusi jaringan-organ dengan perfusi jaringan yang tinggi (otak, paru, hepar, ginjal,
dan jantung) bertanggung jawab terhadap ambilan awal yang cepat (fase α), yang diikuti

4
redistribusi yang lebih lambat (fase β) sampai perfusi jaringan moderat (otot dan saluran cerna).

b. Koefisien partisi jaringan/darah- ikatan protein plasma yang kuat cenderung


mempertahankan obat anestesi di dalam darah, dimana kelarutan lemak yang tinggi
memfasilitasi ambilan jaringan.

c. Massa jaringan—otot merupakan reservoar paling besar untuk anestesi lokal karena
massa dari otot yang besar.

2.4.1.3 Metabolisme dan Ekskresi


Metabolisme dan ekskresi dari lokal anestesi dibedakan berdasarkan strukturnya:

a. Ester-anestesi
 dominan dimetabolisme oleh pseudokolinesterase (kolinesterase

palsma atau butyrylcholinesterase). Hidrolisa ester sangat cepat, dan metabolitnya yang
larut-air diekskresikan ke dalam urin. Procaine dan benzocaine dimetabolisme menjadi
asam p- aminobenzoiz (PABA), yang dikaitkan dengan reaksi alergi. Pasien yang
secara genetik memiliki pseudokolinesterase yang abnormal memiliki resiko
intoksikasi, karena metabolisme dari ester yang menjadi lambat.

b. Amida-anestesi lokal amida dimetabolisme (N-dealkilasi dan hidroksilasi) oleh


enzim mikrosomal P-450 di hepar. Laju metabolisme amida tergantung dari agent yang
spesifik (prilocine > lidocaine > mepivacaine > ropivacaine > bupivacaine), namun
secara keseluruhan jauh lebih lambat dari hidrolisis ester. Penurunan fungsi hepar
(misal pada sirosis hepatis) atau gangguan aliran darah ke hepar (misal gagal jantung
kongestif, vasopresor, atau blokade reseptor H2) akan menurunkan laju metabolisme

dan
 merupakan predisposisi terjadi
 intoksikasi sistemik. Sangat sedikit obat yang

diekskresikan tetap oleh ginjal, walaupun metabolitnya bergantung pada bersihan


ginjal.

2.5 Komplikasi Obat Anestesi Lokal

2.5.1 Efek Samping Lokal

Pada tempat suntikan, apabila saat penyuntikan tertusuk pembuluh darah yang cukup

5
besar, atau apabila penderita mendapat terapi anti koagulan atau ada gangguan pembekuan
darah, maka akan dapat timbul hematom. Hematom ini bila terinfeksi akan dapat membentuk
abses. Apabila tidak infeksi mungkin saja terbentuk infiltrat dan akan diabsorbsi tanpa
meninggalkan bekas.

Tindakan yang perlu adalah konservatif dengan kompres hangat, atau insisi apabila
telah terjadi abses disertai pemberian antibiotika yang sesuai. Apabila suatu organ end arteri
dilakukan anestesi lokal dengan campuran adrenalin, dapat saja terjadi nekrosis yang
memerlukan tindakan nekrotomi, disertai dengan antibiotika yang sesuai.

2.5.2 Pengaruh Pada Sistem Organ

Karena blokade kanal sodium mempengaruhi bangkitan aksi potensial di seluruh tubuh,
sehingga bukan hal yang mengejutkan jika anestesi lokal dapat menyebabkan intoksikasi
sistemik.

a. Neurologis

Sistem saraf pusat merupakan bagian yang paling rentan terjadi intoksikasi dari
anestesi lokal dan merupakan sistem yang dimonitoring awal dari gejala overdosis pada
pasien yang sadar. Gejala awal adalah rasa kebas, parestesi lidah, dan pusing. Keluhan
sensorik dapat berupa tinitus, dan penglihatan yang kabur. Tanda eksitasi (kurang
istirahat, agitasi, gelisah, paranoid) sering menunjukkan adanya depresi sistem saraf
pusat (misal, bicara tidak jelas/pelo, mudah mengantuk, dan tidak sadar). Kontraksi otot
yang cepat, kecil dan spontan mengawali adanya kejang tonik-klonik. Biasanya diikuti
dengan gagal nafas. Reaksi eksitasi merupakan hasil dari blokade selektif pada jalur
inhibitor. Anestesi lokal dengan kelarutan lemak tinggi dan pontensi tinggi
menyebabkan kejang pada konsentrasi obat lebih rendah dalam darah dibanding agen
anestesi dengan potensi yang lebih rendah. Dengan menurunkan aliran darah otak dan
pemaparan obat, benzodiazepin dan hiperventilasi meningkatkan batas ambang
terjadinya kejang karena anestesi lokal. Thiopental (1-2 mg/kg) dengan cepat dan tepat
menghentikan kejang. Ventilasi dan oksigenasi yang baik harus tetap dipertahankan.

Lidokain intravena (1,5 mg/kg) menurunkan aliran darah otak dan menurunkan
peningkatan tekanan intrakranial yang biasanya timbul pada intubasi pasien dengan
penurunan komplians intrakranial. Lidokain dan prokain infus selama ini digunakan

6
sebagai tambahan dalam teknik anestesi umum, karena kemampuannya menurunkan
MAC dari anestesi inhalasi sampai 40%.

Dosis lidokain berulang 5% dan 0,5% tetracaine dapat menjadi penyebab dari
neurotoksik (sindroma kauda ekuina) setelah dilakukan infus kontinu melalui keteter
bore-kecil pada anestesi spinal. Hal in terjadi mungkin karena adannya pooling obat di
kauda ekuina, yang sebabkan peningkatan konsentrasi obat dan kerusakan saraf yang
permanen. Penelitian pada hewan menunjukkan neurotoksisitas pada pemberian
berulang melalui intratekal bahwa lidokain = tetracaine > bupivacaine > ropivacaine.

Gejala neurologis transien, yang terdiri dari disestesia, nyeri terbakar, dan nyeri
pada ekstremitas dan bokong pernah dilaporkan setelah dilakukan anestesi spinal
dengan berbagai agent anestesi. Penyebab dari gejala ini dikaitkan dengan adanya iritasi
pada radiks, dan gejala ini biasanya menghilang dalam 1 minggu. Faktor resikonya
adalah penggunaan lidokain, posisi litotomi, obesitas, dan kondisi pasien.

b. Respirasi

Lidokain mendepresi respon hipoksia. Paralisis dari nervus interkostalis dan


nervus phrenicus atau depresi dari pusat respirasi dapat mengakibatkan apneu setelah
pemaparan langsung anestesi lokal. Anestesi lokal merelaksasikan otot polos bronkhus.
Lidokain intravena (1,5mg.kg) terkadang mungkin efektif untuk memblok refleks
bronkokonstriksi saat dilakukan intubasi. Lidokain diberikan sebagai aerosol dapat
sebabkan bronkospasme pada beberapa pasien yang menderita penyakit saluran nafas
reaktif.

c. Kardiovaskular

Umumnya, semua anestesi lokal mendepresi automatisasi miokard (depolarisasi


spontan fase IV) dan menurunkan durasi dari periode refraktori. Kontraktilitas miokard
dan kecepatan konduksi juga terdepresi dalam konsentrasi yang lebih tinggi. Pengaruh
ini menyebabkan perubahan membran otot jantung dan inhibisi sistem saraf autonom.
Semua anestesi lokal, kecuali cocaine, merelaksasikan otot polos, yang sebabkan
vasodilatasi arteriolar. Kombinasi yang terjadi, yaitu bradikardi, blokade jantung, dan
hipotensi dapat mengkulminasi terjadinya henti jantung. Intoksikasi pada jantung
mayor biasanya membutuhkan konsentrasi tiga kali lipat dari konsentrasi yang dapat

7
sebabkan kejang. Injeksi intravaskular bupivicaine yang tidak disengaja selama
anestesi regional mengakibatkan reaksi kardiotoksik yang berat, termasuk hipotensi,
blok atrioventrikular, irama idioventrikular, dan aritmia yang dapat mengancam nyawa
seperti takikardi ventrikular dan fibrilasi. Kehamilan, hipoksemia, dan adisosis
respiratorik merupakan factor predisposisi.

Ropivacaine memiliki banyak kesamaan dalam psikokimia dengan bupivacaine


kecuali bahwa sebagian dari ropivacaine adalah larut-lemak. Waktu onset dan durasi
kerja sama, namun ropivacaine memblok motorik lebih rendah, yang sebabkan potensi
lebih rendah, ditunjukkan dalam beberapa penelitian. Yang paling menjadi perhatian,

ropivacaine memiliki index terapi yang besar karena
 70% lebih sedikit

menyebabkan
 intoksikasi kardia dibandingkan
 dengan Bupivacain. Ropivacain

dikatakan memiliki toleransi terhadap sistem saraf pusat yang lebih besar. Keamanan
dari ropivacaine ini mungkin disebabkan karena kelarutan lemaknya yang rendah atau
availibilitasnya sebagai isomer S(-) yang murni, yang bertolak belakang dengan
struktur dari bupivacaine. Levobupivacaine, merupakan isomer S(-) dari bupivacain,
yang tidak lagi tersedia di Amerika Serikat, dilaporkan memiliki efek samping terhadap
cardiovaskular dan serebral yang lebih kecil dari pada struktur campuran; penelitian
mengatakan bahwa efeknya terhadap kardiovaskular hampir menyerupai efek
ropivacaine.

d. Imunologi

Reaksi hipersensitivitas murni terhadap agent anestesi lokal—yang bukan


intoksikasi sistemik karena konsentrasi plasma yang berlebihan—merupakan hal yang
jarang. Ester memiliki kecenderungan menginduksi reaksi alergi karena adanya derivat
ester yaitu asam p- aminobenzoic, yang merupakan suatu alergen. Sediaan komersial
multidosis dari amida biasanya mengandung methylparaben, yang memiliki struktur
kimia mirip dengan PABA. Bahan tambahan ini yang bertanggung jawab terhadap
sebagian besar reaksi alergi. Anestesi lokal dapat membantu mengurangi respon
inflamasi karena pembedahan dengan cara menghambat pengaruh asam
lysophosphatidic dalam mengaktivasi neutrofil.

e. Muskuloskeletal

8
Saat diinjeksikan langsung ke dalam otot skeletal (trigger-point injeksi),
anestesi lokal adalah miotoksik (bupivacaine > lidocaine > procaine). Secara histologi,
hiperkontraksi miofibril menyebabkan degenarasi litik, edema, dan nekrosis.
Regenerasi biasanya timbul setelah 3-4 minggu. Steroid tambahan atau injeksi epinefrin
memperburuk nekrosis otot. Data penelitian hewan menunjukkan bahwa ropivacaine
menghasilkan kerusakan otot yang tidak terlalu berat dibanding bupivacaine.

f. Hematologi

Telah dibuktikan bahwa menurunkan koagulasi
 trombosis dan menurunkan

agregasi platelet) dan meningkatkan fibrinolisis dalam darah yang diukur dengan
thromboelastography. Pengaruh ini mungkin berhubungan dengan penurunan efikasi
autolog epidural setelah pemberian anestesi lokal dan insidensi terjadinya emboli yang
lebih rendah pada pasien yang mendapatkan anestesi epidural.

2.6 Interaksi Obat

Anestesi lokal meningkatkan potensi blokade otot non-depolarisasi. Suksinil kolin dan
anestesi lokal ester bergantung pada pseudokolinesterase untuk metabolismenya. Pemberian
bersamaan dapat meningkatkan potensi masing- masing obat.

Dibucaine, anestesi lokal amida, menghambat pseudokolinesterase dan digunakan


untuk mendeteksi kelainan genetik enzim. Inhibitor pseudokolinaesterase dapat menyebaban
penurunan metabolisme dari anestesi lokal ester. Cimetidine dan propanolol menurunkan aliran
darah hepatik dan bersihan lidokain. Level lidokain yang lebih tinggi dalam darah
meningkatkan potensi intoksikasi. Opioid (misal, fentanil, morfin) dan agonis adrenergik α2
(contoh: epinefrin, klonidin) meningkatkan potensi penghilang rasa nyeri anestesi lokal.
Kloroprokain epidural dapat mempengaruhi kerja analgesik dari morfin intraspinal.

9
BAB III

KESIMPULAN

3.1 Kesimpulan

Anestesi regional semakin berkembang dan meluas pemakaiannya, mengingat berbagai


keuntungan yang ditawarkan, diantaranya relatif lebih murah, pengaruh sistemik yang
minimal, menghasilkan analgesi yang adekuat dan kemampuan mencegah respon stress secara
lebih sempurna. Secara kimiawi obat anestesi lokal dibagi dalam dua golongan besar, yaitu
golongan ester dan golongan amide. Perbedaan kimia ini direfleksikan dalam perbedaan tempat
metabolisme, dimana golongan ester terutama dimetabolisme oleh enzim pseudo-kolinesterase
di plasma sedangkan golongan amide terutama melalui degradasi enzimatis di hati. Perbedaan
ini juga berkaitan dengan besarnya kemungkinan terjadinya alergi, dimana golongan ester
turunan dari p-amino- benzoic acid memiliki frekwensi kecenderungan alergi lebih besar. Obat
anestesi lokal yang lazim dipakai di negara kita untuk golongan ester adalah prokain,
sedangkan golongan amide adalah lidokain dan bupivakain.

Mekanisme kerja obat anestesi local mencegah transmisi impuls saraf (blokade
konduksi) dengan menghambat pengiriman ion natrium melalui gerbang ion natrium selektif
pada membrane saraf. Kegagalan permeabilitas gerbang ion natrium untuk meningkatkan
perlambatan kecepatan depolarisasi seperti ambang batas potensial tidak tercapai sehingga
potensial aksi tidak disebarkan. Obat anestesi lokal tidak mengubah potensial istirahat
transmembran atau ambang batas potensial.

Farmakokinetik obat meliputi absorpsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi.


Komplikasi obat anestesi lokal yaitu efek samping lokal pada tempat suntikan dapat timbul
hematom dan abses sedangkan efek samping sistemik antara lain neurologis pada Susunan
Saraf Pusat, respirasi, kardiovaskuler, imunologi ,muskuloskeletal dan hematologi. Beberapa
interaksi obat anestesi lokal antara lain pemberian bersamaan dapat meningkatkan potensi
masing-masing obat. penurunan metabolisme dari anestesi lokal serta meningkatkan potensi
intoksikasi.

10
DAFTAR PUSTAKA

th
1. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Local Anesthetics. In: Clinical Anesthesiology. 4
edition. New York: Mc Graw Hill Lange Medical Books, 2013 : 151-52, 263-75.

2. Samodro, Ratno. Mekanisme Kerja Obat Anestesi Lokal. Jurnal Anestesi Indonesia.
Semarang: Bagian Anestesi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran UNDIP. 2011 ;
48-59.

3. Marwoto, Primatika DA. Anestesi lokal/Regional. Dalam : Soenarjo, Jatmiko DH. editor.
Anestesiologi. Semarang : Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas
kedokteran UNDIP, 2010: 309-22.

4. Muhiman, Muhardi. Anestesiologi. Analgesia Regional. Anestesiologi. Jakarta : Bagian


Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas kedokteran Universitas Indonesia, 2004:
123-128.

11

Anda mungkin juga menyukai