PENDAHULUAN
Carl Koller (1884), seorang ahli mata telah memperkenalkan untuk yang pertama kali
penggunaan kokain secara topikal pada operasi mata. Gaedicke (1885) mendapatkan kokain
dalam bentuk ester asam benzoat yang diisolasi dari tumbuhan koka (erythroxylon coca) yang
banyak tumbuh di pegunungan Andes. Kemudian olah Albert Naiman (1860) dalam bentuk
ekstrak. William Halsted (1884), seorang ahli bedah telah menggunakan kokain intradermal
dan blok saraf fasialis, pudendal, tibialis posterior dan plexus brachialis. Selanjutnya August
Bier (1898), menggunakan 3 ml kokain 0,5% intratekal untuk anestesi spinal dan pada 1908
memperkenalkan anestesi regional intravena (Bier Block). Alfred Einhorn (1904) mensintesa
prokain dan pada tahun yang sama digunakan untuk anestesi lokal oleh Heinrich Braun.
Penambahan epinefrin untuk memperpanjang aksi anestetik lokal dilakukan pertama kali oleh
Heinrich Braun.
Ferdinand Cathelin dan Jean Sicard (1901) memperkenalkan anestesi epidural kaudal
dan Frigel Pages (1921) memperkenalkan anestesi epidural lumbal yang diikuti oleh Achille
Doglioti (1931). Selanjutnya Lofgren (1943) mensintesa anestesi lokal amide, yaitu lidokain
yang menghasilkan blokade konduksi lebih kuat daripada Prokain dan menjadi pembanding
semua anestesi lokal. Penggunaan klinis lidokain sejak 1947. Sebelumnya dibukain (1930),
tetrakain (1932) dan sesudah itu kloroprokain (1955), mepivakain (1957), prilokain (1960),
bupivakain (1963), etidokain (1972).
Ropivakain dan levobupivakain adalah obat baru dengan aksi durasi hampir sama
seperti bupivacain tetapi kardio dan neurotoksisitasnya lebih kecil.
1
BAB II
TINJUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Anestesi lokal adalah salah satu jenis anestesi yang hanya melumpuhkan sebagian
tubuh manusia dan tanpa menyebabkan manusia kehilangan kesadaran.
Secara kimiawi obat anestesi lokal dibagi dalam dua golongan besar, yaitu golongan
ester dan golongan amide. Perbedaan kimia ini direfleksikan dalam perbedaan tempat
metabolisme, dimana golongan ester terutama dimetabolisme oleh enzim pseudo-kolinesterase
di plasma sedangkan golongan amide terutama melalui degradasi enzimatis di hati. Perbedaan
ini juga berkaitan dengan besarnya kemungkinan terjadinya alergi, dimana golongan ester
turunan dari p- amino-benzoic acid memiliki frekuensi kecenderungan alergi lebih besar.
Untuk kepentingan klinis, anestesi lokal dibedakan berdasarkan potensi dan lama
kerjanya menjadi 3 group. Group I meliputi prokain dan kloroprokain yang memiliki potensi
lemah dengan lama kerja singkat. Group II meliputi lidokain, mepivakain dan prilokain yang
memiliki potensi dan lama kerja sedang. Group III meliputi tetrakain, bupivakain dan etidokain
yang memiliki potensi kuat dengan lama kerja panjang. Anestesi lokal juga dibedakan berdasar
pada mula kerjanya. Kloroprokain, lidokain, mepevakain, prilokain dan etidokain memiliki
mula kerja yang relatif cepat. Bupivakain memiliki mula kerja sedang, sedangkan prokain dan
tetrakain bermula kerja lambat.
Obat anestesi lokal yang lazim dipakai di negara kita untuk golongan ester adalah
prokain, sedangkan golongan amide adalah lidokain dan bupivakain. Secara garis besar ketiga
obat ini dapat dibedakan sebagai berikut:
2
Mula Kerja 2 menit 5 menit 15 memit
Dosis Maksimal 12 6 2
(mg/kgBB)
Potensi 1 3 15
Toksisitas 1 2 10
Obat anestesi local mencegah transmisi impuls saraf (blokade konduksi) dengan
menghambat pengiriman ion natrium melalui gerbang ion natrium selektif pada membrane
saraf. Gerbang natrium sendiri adalah reseptor spesifik molekul obat anestesi local.
Penyumbatan gerbang ion yang terbuka dengan molekul obat anestesi local berkontribusi
sedikit sampai hampir keseluruhan dalam inhibisi permeabilitas natrium. Kegagalan
permeabilitas gerbang ion natrium untuk meningkatkan perlambatan kecepatan depolarisasi
seperti ambang batas potensial tidak tercapai sehingga potensial aksi tidak disebarkan. Obat
anestesi local tidak mengubah potensial istirahat transmembran atau ambang batas potensial.
Lokal anestesi juga memblok kanal kalsium dan potasium dan reseptor N- methyl-D-
aspartat (NMDA) dengan derajat yang berbeda-beda. Beberapa golongan obat lain, seperti
antidepresan trisiklik (amytriptiline), meperidine, anestesi inhalasi, dan ketamin juga memiliki
efek memblok kanal sodium.
Tidak semua serat saraf dipengaruhi sama oleh obat anestesi lokal. Sensitivitas terhadap
blokade ditentukan dari diameter aksonal, derajat mielinisasi, dan berbagai faktor anatomi dan
fisiologi lain. Diameter yang kecil dan banyaknya mielin meningkatkan sensitivitas anestesi
lokal. Dengan terhadap demikian sensitivitas saraf spinalis terhadap anestesi lokal: autonom >
sensorik > motorik.
3
2.4 Farmakologi Klinis
2.4.1 Farmakokinetik
Karena anestesi lokal biasanya diinjeksikan atau diaplikasikan sangat dekat dengan
lokasi kerja maka farmakokinetik dari obat umumnya lebih dipentingkan tentang eliminasi dan
toksisitas obat dibanding dengan efek klinis yang diharapkan.
2.4.1.1 Absropsi
Sebagian besar membran mukosa memiliki barier yang lemah terhadap penetrasi
anestesi lokal, sehingga menyebabkan onset kerja yang cepat. Kulit yang utuh membutuhkan
anestesi lokal larut-lemak dengan konsentrasi tinggi untuk menghasilkan efek analgesia.
Absorpsi sitemik dari anestesi lokal yang diinjeksi bergantung pada aliran darah, yang
ditentukan dari beberapa faktor di bawah ini:
c. Agen anestesi lokal—anestesi lokal yang terikat kuat dengan jaringan lebih lambat
terjadi absorpsi. Dan agen ini bervariasi dalam vasodilator intrinsik yang dimilikinya.
2.4.1.2 Distribusi
Distribusi tergantung dari ambilan organ, yang ditentukan oleh faktor-faktor di bawah
ini:
a. Perfusi jaringan-organ dengan perfusi jaringan yang tinggi (otak, paru, hepar, ginjal,
dan jantung) bertanggung jawab terhadap ambilan awal yang cepat (fase α), yang diikuti
4
redistribusi yang lebih lambat (fase β) sampai perfusi jaringan moderat (otot dan saluran cerna).
c. Massa jaringan—otot merupakan reservoar paling besar untuk anestesi lokal karena
massa dari otot yang besar.
palsma atau butyrylcholinesterase). Hidrolisa ester sangat cepat, dan metabolitnya yang
larut-air diekskresikan ke dalam urin. Procaine dan benzocaine dimetabolisme menjadi
asam p- aminobenzoiz (PABA), yang dikaitkan dengan reaksi alergi. Pasien yang
secara genetik memiliki pseudokolinesterase yang abnormal memiliki resiko
intoksikasi, karena metabolisme dari ester yang menjadi lambat.
dan merupakan predisposisi terjadi intoksikasi sistemik. Sangat sedikit obat yang
Pada tempat suntikan, apabila saat penyuntikan tertusuk pembuluh darah yang cukup
5
besar, atau apabila penderita mendapat terapi anti koagulan atau ada gangguan pembekuan
darah, maka akan dapat timbul hematom. Hematom ini bila terinfeksi akan dapat membentuk
abses. Apabila tidak infeksi mungkin saja terbentuk infiltrat dan akan diabsorbsi tanpa
meninggalkan bekas.
Tindakan yang perlu adalah konservatif dengan kompres hangat, atau insisi apabila
telah terjadi abses disertai pemberian antibiotika yang sesuai. Apabila suatu organ end arteri
dilakukan anestesi lokal dengan campuran adrenalin, dapat saja terjadi nekrosis yang
memerlukan tindakan nekrotomi, disertai dengan antibiotika yang sesuai.
Karena blokade kanal sodium mempengaruhi bangkitan aksi potensial di seluruh tubuh,
sehingga bukan hal yang mengejutkan jika anestesi lokal dapat menyebabkan intoksikasi
sistemik.
a. Neurologis
Sistem saraf pusat merupakan bagian yang paling rentan terjadi intoksikasi dari
anestesi lokal dan merupakan sistem yang dimonitoring awal dari gejala overdosis pada
pasien yang sadar. Gejala awal adalah rasa kebas, parestesi lidah, dan pusing. Keluhan
sensorik dapat berupa tinitus, dan penglihatan yang kabur. Tanda eksitasi (kurang
istirahat, agitasi, gelisah, paranoid) sering menunjukkan adanya depresi sistem saraf
pusat (misal, bicara tidak jelas/pelo, mudah mengantuk, dan tidak sadar). Kontraksi otot
yang cepat, kecil dan spontan mengawali adanya kejang tonik-klonik. Biasanya diikuti
dengan gagal nafas. Reaksi eksitasi merupakan hasil dari blokade selektif pada jalur
inhibitor. Anestesi lokal dengan kelarutan lemak tinggi dan pontensi tinggi
menyebabkan kejang pada konsentrasi obat lebih rendah dalam darah dibanding agen
anestesi dengan potensi yang lebih rendah. Dengan menurunkan aliran darah otak dan
pemaparan obat, benzodiazepin dan hiperventilasi meningkatkan batas ambang
terjadinya kejang karena anestesi lokal. Thiopental (1-2 mg/kg) dengan cepat dan tepat
menghentikan kejang. Ventilasi dan oksigenasi yang baik harus tetap dipertahankan.
Lidokain intravena (1,5 mg/kg) menurunkan aliran darah otak dan menurunkan
peningkatan tekanan intrakranial yang biasanya timbul pada intubasi pasien dengan
penurunan komplians intrakranial. Lidokain dan prokain infus selama ini digunakan
6
sebagai tambahan dalam teknik anestesi umum, karena kemampuannya menurunkan
MAC dari anestesi inhalasi sampai 40%.
Dosis lidokain berulang 5% dan 0,5% tetracaine dapat menjadi penyebab dari
neurotoksik (sindroma kauda ekuina) setelah dilakukan infus kontinu melalui keteter
bore-kecil pada anestesi spinal. Hal in terjadi mungkin karena adannya pooling obat di
kauda ekuina, yang sebabkan peningkatan konsentrasi obat dan kerusakan saraf yang
permanen. Penelitian pada hewan menunjukkan neurotoksisitas pada pemberian
berulang melalui intratekal bahwa lidokain = tetracaine > bupivacaine > ropivacaine.
Gejala neurologis transien, yang terdiri dari disestesia, nyeri terbakar, dan nyeri
pada ekstremitas dan bokong pernah dilaporkan setelah dilakukan anestesi spinal
dengan berbagai agent anestesi. Penyebab dari gejala ini dikaitkan dengan adanya iritasi
pada radiks, dan gejala ini biasanya menghilang dalam 1 minggu. Faktor resikonya
adalah penggunaan lidokain, posisi litotomi, obesitas, dan kondisi pasien.
b. Respirasi
c. Kardiovaskular
7
sebabkan kejang. Injeksi intravaskular bupivicaine yang tidak disengaja selama
anestesi regional mengakibatkan reaksi kardiotoksik yang berat, termasuk hipotensi,
blok atrioventrikular, irama idioventrikular, dan aritmia yang dapat mengancam nyawa
seperti takikardi ventrikular dan fibrilasi. Kehamilan, hipoksemia, dan adisosis
respiratorik merupakan factor predisposisi.
ropivacaine memiliki index terapi yang besar karena 70% lebih sedikit
dikatakan memiliki toleransi terhadap sistem saraf pusat yang lebih besar. Keamanan
dari ropivacaine ini mungkin disebabkan karena kelarutan lemaknya yang rendah atau
availibilitasnya sebagai isomer S(-) yang murni, yang bertolak belakang dengan
struktur dari bupivacaine. Levobupivacaine, merupakan isomer S(-) dari bupivacain,
yang tidak lagi tersedia di Amerika Serikat, dilaporkan memiliki efek samping terhadap
cardiovaskular dan serebral yang lebih kecil dari pada struktur campuran; penelitian
mengatakan bahwa efeknya terhadap kardiovaskular hampir menyerupai efek
ropivacaine.
d. Imunologi
e. Muskuloskeletal
8
Saat diinjeksikan langsung ke dalam otot skeletal (trigger-point injeksi),
anestesi lokal adalah miotoksik (bupivacaine > lidocaine > procaine). Secara histologi,
hiperkontraksi miofibril menyebabkan degenarasi litik, edema, dan nekrosis.
Regenerasi biasanya timbul setelah 3-4 minggu. Steroid tambahan atau injeksi epinefrin
memperburuk nekrosis otot. Data penelitian hewan menunjukkan bahwa ropivacaine
menghasilkan kerusakan otot yang tidak terlalu berat dibanding bupivacaine.
f. Hematologi
agregasi platelet) dan meningkatkan fibrinolisis dalam darah yang diukur dengan
thromboelastography. Pengaruh ini mungkin berhubungan dengan penurunan efikasi
autolog epidural setelah pemberian anestesi lokal dan insidensi terjadinya emboli yang
lebih rendah pada pasien yang mendapatkan anestesi epidural.
Anestesi lokal meningkatkan potensi blokade otot non-depolarisasi. Suksinil kolin dan
anestesi lokal ester bergantung pada pseudokolinesterase untuk metabolismenya. Pemberian
bersamaan dapat meningkatkan potensi masing- masing obat.
9
BAB III
KESIMPULAN
3.1 Kesimpulan
Mekanisme kerja obat anestesi local mencegah transmisi impuls saraf (blokade
konduksi) dengan menghambat pengiriman ion natrium melalui gerbang ion natrium selektif
pada membrane saraf. Kegagalan permeabilitas gerbang ion natrium untuk meningkatkan
perlambatan kecepatan depolarisasi seperti ambang batas potensial tidak tercapai sehingga
potensial aksi tidak disebarkan. Obat anestesi lokal tidak mengubah potensial istirahat
transmembran atau ambang batas potensial.
10
DAFTAR PUSTAKA
th
1. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Local Anesthetics. In: Clinical Anesthesiology. 4
edition. New York: Mc Graw Hill Lange Medical Books, 2013 : 151-52, 263-75.
2. Samodro, Ratno. Mekanisme Kerja Obat Anestesi Lokal. Jurnal Anestesi Indonesia.
Semarang: Bagian Anestesi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran UNDIP. 2011 ;
48-59.
3. Marwoto, Primatika DA. Anestesi lokal/Regional. Dalam : Soenarjo, Jatmiko DH. editor.
Anestesiologi. Semarang : Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas
kedokteran UNDIP, 2010: 309-22.
11