Anda di halaman 1dari 6

Prosiding Seminar Nasional Pendasaud I

Serang, 24 Oktober 2015


“Penguatan basis keilmuan PGSD dan PGPAUD melalui
penulisan dan publikasi karya ilmiah.”

PLAY THERAPY BAGI ANAK KORBAN


BENCANA ALAM
Oleh: Alfiandy Warih Handoyo, Sekolah Pascasajana Universitas Pendidikan Indonesia,
khanz_gdx@yahoo.com

ABSTRAK
Bencana alam dapat menimbulkan efek trauma yang berkepanjangan bagi setiap orang,
tak terkecuali bagi anak. Trauma yang dialami oleh anak ibarat bom waktu yang apabila
tidak segera diselesaikan akan menjadi permasalahan besar dikemudian hari, bahkan
bisa menimbulkan perilaku menyimpang bagi anak. Dunia anak adalah dunia bermain.
Permainan sendiri bisa dimanfaatkan oleh para praktisi sebagai media alternatif menggali
bahkan menyelesaikan permasalahan pada anak yang mengalami trauma. Banyak
literatur yang menjelaskan bahkan telah membuktikan efektivitas teknik bermain dalam
upaya penggalian dan menyelesaikan masalah trauma pada anak khususnya korban
bencana alam

Kata Kunci: Trauma, Anak, Korban bencana alam, Terapi bermain, Permainan

ABSTRACT
Natural disasters can cause effects that prolonged trauma for everyone , not least for
children . The trauma experienced by the child is like a time bomb which, if not resolved
soon will become a big problem in the future , could even lead to deviant behavior for
children. The child’s world is the world of play . The game itself can be used by
practitioners as an alternative media to dig even solve problems in children who
experience trauma. Much of the literature that describes even have to prove the
effectiveness of the technique to play in efforts to resolve the problem excavation and
trauma in children , especially victims of natural disaster

Key word : trauma, Children, Disaster Victim, Play Therapy, Game

© 2015 Published by Panitia Seminar Pendasaud I UPI Kampus Serang

PENDAHULUAN

Indonesia merupakan negara yang memiliki tingkat potensi bencana alam yang cukup
tinggi. Berdasarkan data dari BNPB (2015) sepanjang 2015 sampai bulan Agustus
setidaknya tercatat ada 1.229 kejadian bencana dimana tercapat 299 korban meninggal
dunia dan/atau hilang serta 765.694 orang korban lain yang menderita. Data tersebut
menggambarkan bagaimana Indonesia sangat memiliki kerentanan terhadap bencana.
Bencana alam termasuk salahsatu penyebab seseorang mengalami sres. Hal ersebut
diungkapkan oleh Kinchin (2007) yang menyatakan bahwa PTSD terjadi ketika seseorang
mengalami suatu hal yang diluar kewajarannya. Menurut APA (2000) keadaan trauma
adalah ketika seseorang menunjukan respon terhadap suatu hal dengan rasa takut yang

1
Prosiding Seminar Nasional Pendasaud I
Serang, 24 Oktober 2015

sangat , berlebihan , atau horor akibat pengalaman traumatis yang melibatkan suatu
kematian, perasaan terancam , cedera serius , atau ancaman terhadap kesehatan diri atau
yang lain. Rasa trauma ini pada umumnya bertahan lama dalam diri seseorang, tidak
terkecuali anak, bahkan dampak trauma akan lebih berat apabila dialami oleh anak.
National Commission on Children and Disasters (2010) menyebutkan bahwa anak-anak
sangat rentan terhadap efek dari peristiwa traumatik karena mereka tidak memiliki
pengalaman, keterampilan ,dan sumber daya individu untuk mandiri, memenuhi kebutuhan
mental dan kesehatan mereka. Melihat realita tersebut, perlu dilakukan suatu upaya yang
unik untuk menangani trauma yang dialami anak-anak korban bencana alam.
Dunia anak adaah dunia bermain. Bradley & Gould dalam Thompson & Henderson
(2007) menyatakan bahwa bermain merupakan cara alami bagi seorang anak untuk
mengekspresikan dirinya, untuk mengungkapkan sesuatu yang sensitif, namun tetap
merasa aman dan nyaman. Association of Play Therapy (1997) sendiri menyatakan bahwa
play therapy adalah suatu cara sistematis sesuai dengan teori, yang digunakan untuk
memandirikan bagi seorang terapis terlatih, dengan meggunakan berbagai macam
permainan, yang memiliki tujuan akhir untuk membantu klien mencegah atau bahkan
mengatasi permasalahannya dan bisa berkembang secara optimal.

PEMBAHASAN
Kottman (2011) berpendapat bahwa play therapy merupakan suatu pendekatan untuk
memberikan bantuan pada anak-anak untuk mencgatasi permasalahnnya dengan
menggunakan media seperti mainan, media seni, permainan, dan komunikasi dengan
menggunakan bahasa anak. Hal tersebut senada dengan prinsip Association of Play
Therapy (1997) bahwa play therapy adalah suatu cara sistematis sesuai dengan teori, yang
digunakan untuk memandirikan bagi seorang terapis terlatih, dengan meggunakan berbagai
macam permainan, yang pada memiliki tujuan akhir untuk membantu klien mencegah atau
bahkan mengatasi permasalahannya dan bisa berkembang secara optimal.
Redy dalam Thompson & Henderson (2007) merumuskan beberapa permasalahan
danak yang dapat diatasi dengan play therapy
Play therapy (tanpa Play therapy dengan Play therapy Play therapy akan
pendekatan khusus) pendekatan khusus diisertai entervensi sulit memberikan
lain dampak
-Kesalahan penyesuaian - Kesulitan - ADHD - Penyimpangan
-PTSD bersosialisasi - Depresi berat perilaku berat
-Depresi (thematic play) - Kecemasan - Gejala psikosis
-Phobia - Memilih rekan penyingkiran
-Agresif (kognitif- - Salah kebiasan
-Kecemasan behavioral terapi / belajar
-Kekerasan terapi berpusat - Keterlambatan
-Orang tua bercerai pada klien) mental
-Anak dalam keluarga - Beberapa - Kekurangan fisik
KDRT kebiasaan buruk
-Adopsi yang berat (terapi
filial, adlerian,
-Trauma berat
ekosematik)
-Stres rumah sakit
-Penyakit kronis
Dari tabel tersebut bisa dilihat bahwa play therapy bahkan bisa dilakukan untuk
mengatasi masalah PTSD anak bahkan tanpa pendekatan khusus.
“Penguatan basis keilmuan PGSD dan PGPAUD melalui
penulisan dan publikasi karya ilmiah.”
Prosiding Seminar Nasional Pendasaud I
Serang, 24 Oktober 2015

Dalam menerapkan play therapy ada beberapa tahapan yang harus dilakukan oleh
koselor seperti dijelaskan oleh Kottman (2011)
a. Ruang
Jika terapi dilakukan di dalam ruang, setidaknya ruang tersebut memiliki luasan
50m2, memiliki seting privasi, keamanan, jauh dari keramaian, dan jika
memungkinkan memiliki kaca satu arah untuk keperluan observasi
b. Pemilihan instrumen
Pada kebanyakan penerapan play therapy umumnya menggunakan mainan.
Pemilihan mainan yang akan digunakan dalam proses terapi juga harus
mempertimbangkan karakteristik klien yang akan menerima terapi serta tujuan
terapi itu sendiri. Penggunaan media penunjang juga perlu dipertimbangkan
dalam proses terapi.
c. Menjelaskan proses terapi
Sebelumnya, proses terapi juga perlu diinfokan kepada pihak terkait seperti
orangtua dan guru. Hal ini akan memberikan suatu pemahaman tersendiri dan
bahkan bisa memunculkan situasi yang mendukung keberhasilan proses terapi itu
sendiri. Adakalanya juga rencana tindakan perlu juga diberitahukan kepada anak
sebagai klien.
d. Tahap inisiasi
Hal ini biasanya terjadi pada sesi-sesi awal pertemuan. Terapis perlu meyakinkan
kliennya bahwa proses yang berjalan akan sangat menyenangkan dan bisa
membantu mengatasi yang sedang dia rasakan dan menciptakan suatu
“frekuensi” yang sama dengan anak tersebut.
e. Mengakhiri sesi
Ada beberapa pandangan tentang mengakhiri tiap sesi pertemuan. Terapis bisa
membereskan semua sisa-sisa aktivitas yang telah dilakukan, terutama jika klien
masih sangat dalam usia dini. Namun ada pendapat yang menyatakan bahwa
membersihkan sisa aktivitas juga harus terapis lakukan bersama klien karena
akan memunculkan dan menguatkan hubungan antara terapis dan kliennya
f. Melihat perkembangan klien
Setelah sesi berakhir, bukan berarti pekerjaan terapis selesai. Adakalanya dalam
beberapa kasus anak akan menunjukan sifat yang berbeda antara sikapnya
dengan orangtua dan lingkungan aslinya, dengan sikap saat bersama dengan
terapis. Tujuan dari terapi adalah mengubah perilaku, pemikiran, sifat, serta sikap
klien baik saat sesi terapi, maupun dalam kehidupan sehari-hari.
g. Pelaporan sesi
Pada setiap selesai sesi, terapis harus membuat catatan-catatan segala hal yang
terjadi selama sesi intervensi yang diberikan. Hal ini bisa digunakan sebagai
catatan baik untuk terapis, maupun klien itu sendiri. Terkadang pada sesi
selanjutnya perubahan yang terjadi pada pertemuan yang sudah berlalu akan
tidak muncul lagi, sehingga klien perlu diingatkan kembali segala hal yang
pernah terjadi pada dirinya.
h. Menyelesaikan sesi
Antara terapis dan klien harus memiliki kesepakatan terlebih dahulu tentang
proses terapi. Waktu sesi intervensi akan diakhiri, harus ada pertimbangan dari
keduabelah pihak. Seandainya klien masih dianggap belum bisa membuat
keputusan untuk menyatakan mengakhiri terapi, maka pertimbangan bisa

“Penguatan basis keilmuan PGSD dan PGPAUD melalui


penulisan dan publikasi karya ilmiah.”
Prosiding Seminar Nasional Pendasaud I
Serang, 24 Oktober 2015

dilakukan oleh terapis sendiri, atau dengan meminta masukan dari pihak terkait,
seperti orangtua.
Telah banyak peneliti yang melakukan play therapy untuk menangani permasalahan
trauma anak korban bencana alam. Raynor dalam Zubenko dan Capozzoli (2002)
membagikan pengalamannya dalam menangani anak korban bencana bajir di Missouri
1993. Kunci utama dari keberhasilan play therapy adalah duduk setara dngan anak, tatap
matanya, dan awali dengan membicarakan sesuatu disekeliling. Shaw, Espinel, dan Shultz
(2012) menyebutkan bahwa terkadang keluarga juga perlu diibatkan dalam permainan
untuk mendukung efektivitas keberhasilan terapi. Menurut mereka, trauma yang dialami
oleh anak terkadang justru bermula dari reaksi orangtua yang berlebihan. Baggerly dan
Exum (2008) menjelaskan bagaimana orangtua ikut teribat dalam
proses play tharapy. Konselor menyediakan selembar kertas lebar dan
dilekngkapi dengan peralatan menggambar. Seluruh anggota keluarga
diminta untuk menggambarkan kehidupan mereka sebelum bencana
menimpa dan setelah bencana menimpa. Konselor mulai menggali hal
apa saja yang menguatkan keluarga untuk dapat bertahan serta
selanjutnya dengan hal tersebut, keluaga bisa membangun kondisinya
kembali. Di bagian akhir konselor meminta keluarga untuk
menggambarkan masadepan setelah terjadi bencana dengan tindakan-
tindakan yang akan dilakukan. Karr (2009) juga menyatakan bahwa
penggunaan play therapy sangat bagus dalam upaya penanganan
trauma anak. Teknik yang biasa digunakan tanpa menggunakan
pendekatan khusus adalah dengan menggambar dan bercerita. Selama
proses berlangsung, konselor perlu memperhatikan dengan seksama,
dan sesekali memberikan tanggapan atas tindakan anak.

PENUTUP
Dengan karakterstik anak yang unik, perlu dilakukan pendeatan khusus dalam upaya
menangani permasalahan anak. Bermain sebagai fitrah anak, tidak hanya menyediakan
kesempaan bagi anak untuk menghibur diri, bersosialisasi, dan menggapai tugas
perkembangannya namun dengan beberapa modifikasi, bermain bisa digunakan sebagai
wahana untuk membantu anak mengatasi permasalahan yang sedang dialami, salah satunya
adalah trauma akibat bencana alam. Proses terapi bisa berjalan dengan anak saja, namun
akan lebh baik jika orangtua turut dilibatkan dalam proses terapi. Hal ini tidak terlepas dari
bawasanya pada usia kanak-kanak, seseorang akan lebih banyak dipengaruhi oleh
keluarganya, termasu rasa trauma yang dialami, bisa jadi diakibatkan karen dia meniru
reaksi orangtua yang berlebihan/trauma akan bencana alam.

DAFTAR PUSTAKA

American Psychiatric Association. (2000). Diagnostic and Statistical Manual of Mental


Disorder: fourth edition. Washington DC: The American Psychiatric Association.
Association for Play Therapy. (1997). Play Therapy Definition. Association for Play
Therapy Newsletter, 16 (2), 4.
Baggerly, Jeennifer &Exum, Herbert A. (2008). Counseling Children After
Natural Disasters: Guidance for Family Therapists. The American Journal of Family
Therapy, 36:79–93, 2008. DOI: 10.1080/01926180601057598
“Penguatan basis keilmuan PGSD dan PGPAUD melalui
penulisan dan publikasi karya ilmiah.”
Prosiding Seminar Nasional Pendasaud I
Serang, 24 Oktober 2015

Karr, Nilamadhab. (2009). Psychological Impact Of Disasters On Children: Review Of


Assessment And Interventions. World Journal Pediatrics Vol 5 No 1 . February 15,
2009. DOI:10.1007/s12519-009-0001-x
Kinchin, David. (2007). A Guide to Psychological Debriefing. Philadelpia: Jessica
Kingsley Publishers Kottman, Terry. (2012). Play Therapy: Basic and Beyond.
Virginia: Winley.
Muro, J & Kottman, Terry. (1995). Guidance and Counselling in the Elementary and
Middle School. Dubuqne, IA: Brownn & Benchmark.
National Commission on Children and Disasters. (2010). Report to the President and
Congress. Rockville: Agency for Healthcare Research and Quality, October 2010.
Shaw, Jon A., Espinel, Zelde., Shultz, James. Care of Children Exposed to The Traumatic
Effects of Disaster. Virginia: American Psychiatric Association
Thompson, Charles L & Henderson, Donna A. (2007). Counseling Children. California:
Thomson Brook/Cole
Zubenko, Wendy N & Capozzoli, Jospeh. (2002). Children and Disasters : A Practical
Guide to Healing and Recovery. New York: Oxford University Press

“Penguatan basis keilmuan PGSD dan PGPAUD melalui


penulisan dan publikasi karya ilmiah.”
Prosiding Seminar Nasional Pendasaud I
Serang, 24 Oktober 2015

“Penguatan basis keilmuan PGSD dan PGPAUD melalui


penulisan dan publikasi karya ilmiah.”

Anda mungkin juga menyukai