Anda di halaman 1dari 18

1

Cara Menghitung Pajak Penghasilan Badan (PPh Badan) SPT Tahunan PPh
Badan

Cara Menghitung Pajak Penghasilan Badan (PPh Badan) SPT Tahunan PPh
Badan | Batas waktu penyampaian SPT Tahunan PPh Badan selalu membuat Wajib
Pajak spot jantung karena harus mempersiapkan perhitungan PPh Badan yang harus
dibayar dan dilaporkan di dalam SPT Tahunan PPh Badan. Perhitungan Pajak
Penghasilan Badan Tahun 2014 (PPh Badan Tahun 2014) yang harus dilaporkan
dalam SPT Tahunan PPh Badan 2014 harus dilakukan secara tepat dan benar.
Cara Menghitung Pajak Penghasilan Badan (PPh Badan) SPT Tahunan PPh
Badan adalah sebagai berikut :
a. Untuk Peredaran Usaha Bruto sampai dengan Rp.4.800.000.000,- Tarif PPh Badan
dikenakan sebesar 25 % x 50 % x Penghasilan Kena Pajak
Contoh perhitungan :
PT. ABC yang bergerak dibidang perdagangan dalam Tahun Pajak 2012 mempunyai data sebagai berikut :
Peredaran Bruto dari
penghasilan yang :
- Dikenai PPh bersifat final 1.500.000.000
- bukan objek pajak 500.000.000
- dikenai PPh tidak bersifat 2.500.000.000
final
Jumlah 4.500.000.000
Kompensasi kerugian tahun 700.000.000
2011
Kredit Pajak :
- PPh Pasal 22 22.000.000
- PPh Pasal 23 25.000.000
- PPh Pasal 25 3.000.000
Jumlah 50.000.000
Maka Perhitungan PPh Badan adalah sebagai berikut :
Peredaran Bruto dari
penghasilan yang :
- Dikenai PPh bersifat final 1.500.000.000
- bukan objek pajak 500.000.000
- dikenai PPh tidak bersifat 2.500.000.000
final
Jumlah 4.500.000.000
Biaya untuk mendapatkan,
menagih, dan memelihara
penghasilan usaha yang :
- dikenai PPh bersifat final ( 450.000.000)
- bukan objek pajak ( 200.000.0000)
- dikenai PPh tidak bersifat (1.350.000.000)
final
Jumlah (2.000.000.000)
Laba usaha
2.500.000.000
(penghasilan neto usaha)
2

Penghasilan dari luar usaha


yang:
- dikenai PPh bersifat final 50.000.000
- dikenai PPh tidak bersifat 100.000.000
final
Biaya untuk mendapatkan,
menagih, dan memelihara
penghasilan dari luar usaha
yang :
- dikenai PPh bersifat final ( 25.000.000)
- dikenai PPh tidak bersifat ( 50.000.000)
final
Penghasilan neto dari luar 75.000.000
usaha
Jumlah seluruh penghasilan 2.575.000.000
neto
Koreksi fiskal :
peredaran bruto dari ( 1.500.000.000
penghasilan yang dikenai PPh )
berisfat final
peredaran bruto dari ( 500.000.000)
penghasilan yang bukan objek
pajak
biaya untuk mendapatkan, 450.000.000
menagih, dan memelihara
penghasilan usaha yang
dikenai PPh bersifat final
biaya untuk mendapatkan, 200.000.000
menagih, dan memelihara
penghasilan usaha yang bukan
objek pajak
peredaran dari luar usaha yang ( 50.000.000)
dikenai PPh bersifat final
biaya untuk mendapatkan,
menagih, dan memelihara
penghasilan dari luar usaha 25.000.000
yang dikenai PPh bersifat final
Jumlah (1.375.000.000)
Jumlah seluruh penghasilan 1.200.000.000
neto setelah koreksi fiskal
Kompensasi kerugian ( 700.000.000)
Penghasilan Kena Pajak 500.000.000
PPh Terutang (50% x 25%) x
62.500.000
500.000.000
Kredit Pajak :
- PPh Pasal 22 22.000.000
- PPh Pasal 23 25.000.000
- PPh Pasal 25 3.000.000
3

Jumlah 50.000.000
PPh Kurang Bayar / PPh Pasal
12.500.000
29 (62.500.000 – 50.000.000)

b. Untuk Peredaran Usaha diatas Rp.4.800.000.000,- Sampai dengan


Rp.50.000.000.000,- Tarif PPh Badan dikenakan sebesar :

1. Bagian Peredaran Usaha Bruto sampai dengan Rp.4.800.000.000,- :

25 % x 50 % x Penghasilan Kena Pajak (bagian Peredaran Usaha Bruto


Rp.4.800.000.000,-)

2. Bagian Peredaran Usaha Bruto diatas Rp.4.800.000.000,- Sampai dengan


Rp.50.000.000.000,-

25 % x Penghasilan Kena Pajak (bagian Peredaran Usaha Bruto diatas


Rp.4.800.000.000,- Sampai dengan Rp.50.000.000.000,-)

Contoh perhitungan :
PT. ABC yang bergerak dibidang perdagangan dalam Tahun Pajak 2012 mempunyai data sebagai berikut :
Peredaran Bruto dari
penghasilan yang :
- Dikenai PPh bersifat final 1.500.000.000
- bukan objek pajak 500.000.000
- dikenai PPh tidak bersifat 5.500.000.000
final
Jumlah 7.500.000.000
Kompensasi kerugian tahun 700.000.000
2011
Kredit Pajak :
- PPh Pasal 22 22.000.000
- PPh Pasal 23 25.000.000
- PPh Pasal 25 3.000.000
Jumlah 50.000.000
Maka Perhitungan PPh Badan adalah sebagai berikut :
Peredaran Bruto dari
penghasilan yang :
- Dikenai PPh bersifat final 1.500.000.000
- bukan objek pajak 500.000.000
- dikenai PPh tidak bersifat 5.500.000.000
final
Jumlah 7.500.000.000
Biaya untuk mendapatkan,
menagih, dan memelihara
penghasilan usaha yang :
- dikenai PPh bersifat final ( 450.000.000)
4

- bukan objek pajak ( 200.000.0000)


- dikenai PPh tidak bersifat (3.350.000.000)
final
Jumlah (4.000.000.000)
Laba usaha
3.500.000.000
(penghasilan neto usaha)
Penghasilan dari luar usaha
yang:
- dikenai PPh bersifat final 50.000.000
- dikenai PPh tidak bersifat 100.000.000
final
Biaya untuk mendapatkan,
menagih, dan memelihara
penghasilan dari luar usaha
yang :
- dikenai PPh bersifat final ( 25.000.000)
- dikenai PPh tidak bersifat ( 50.000.000)
final
Penghasilan neto dari luar 75.000.000
usaha
Jumlah seluruh penghasilan 3.575.000.000
neto
Koreksi fiskal :
peredaran bruto dari ( 1.500.000.000
penghasilan yang dikenai PPh )
berisfat final
peredaran bruto dari ( 500.000.000)
penghasilan yang bukan objek
pajak
biaya untuk mendapatkan, 450.000.000
menagih, dan memelihara
penghasilan usaha yang
dikenai PPh bersifat final
biaya untuk mendapatkan, 200.000.000
menagih, dan memelihara
penghasilan usaha yang bukan
objek pajak
peredaran dari luar usaha yang ( 50.000.000)
dikenai PPh bersifat final
biaya untuk mendapatkan,
menagih, dan memelihara
penghasilan dari luar usaha 25.000.000
yang dikenai PPh bersifat final
Jumlah (1.375.000.000)
Jumlah seluruh penghasilan 2.200.000.000
neto setelah koreksi fiskal
Kompensasi kerugian ( 700.000.000)
Penghasilan Kena Pajak 1.500.000.000
5

PPh Terutang (50% x 25%) x XY + YZ


((4.800.000.000/5.500.000.000
) x 1.500.000.000)) = XY
XYZ
25% x (5.500.000.000 -
((4.800.000.000/5.500.000.000
) x 1.500.000.000))) = YZ
Kredit Pajak :
- PPh Pasal 22 22.000.000
- PPh Pasal 23 25.000.000
- PPh Pasal 25 3.000.000
Jumlah 50.000.000
PPh Kurang Bayar / PPh Pasal
PPh Pasal 29
29 (XYZ – 50.000.000)

c. Untuk Peredaran Usaha Bruto diatas Rp.50.000.000.000,- tarif PPh Badan


dikenakan sebesar :
25 % x Penghasilan Kena Pajak

Setelah dapat dihitung dan diketahui nilai Pajak Penghasilan Badan (PPh Badan)
yang masih harus dibayar maka hasil perhitungan tersebut dapat dilaporkan dalam
SPT Tahunan PPh Badan 2014 paling lambat 30 April 2015. Menghitung Pajak
Penghasilan Badan haruslah dilakukan secara hati-hati agar terhindar dari
kesalahan yang akan mengundang sanksi maupun denda pajak dikemudian hari.

Hal - hal yang harus diketahui dalam menghitung Pajak Penghasilan Badan
(PPh Badan) terutang adalah :
Rekonsiliasi Fiskal, Penyusutan dan Amortisasi serta Kompensasi Kerugian.

PPh final dan tidak final

Pajak Penghasilan Final (PPh Final)

Pajak Penghasilan Final (PPh Final) adalah pajak yang dikenakan dengan tarif dan
dasar pengenaan pajak tertentu atas penghasilan yang diterima atau diperoleh
selama tahun berjalan. Pembayaran, pemotongan atau pemungutan Pajak
Penghasilan Final (PPh Final) yang dipotong pihak lain maupun yang disetor sendiri
bukan merupakan pembayaran dimuka atas PPh terutang akan tetapi merupakan
pelunasan PPh terutang atas penghasilan tersebut, sehingga wajib pajak dianggap
telah melakukan pelunasan kewajiban pajaknya.
6

Pengenaan PPh secara final mengandung arti bahwa atas penghasilan yang
diterima atau diperoleh akan dikenakan PPh dengan tarif tertentu dan dasar
pengenaan pajak tertentu pada saat penghasilan tersebut diterima atau diperoleh.
PPh yang dikenakan, baik yang dipotong fihak lain maupun yang disetor sendiri,
bukan merupakan pembayaran di muka atas PPh terutang tetapi sudah langsung
melunasi PPh terutang untuk penghasilan tersebut. Dengan demikian, penghasilan
yang dikenakan PPh final ini tidak akan dihitung lagi PPh nya di SPT Tahunan untuk
dikenakan tarif umum bersama-sama dengan penghasilan lainnya. Begitu juga, PPh
yang sudah dipotong atau dibayar tersebut juga bukan merupakan kredit pajak di
SPT Tahunan.

Berdasarkan Pasal 4 ayat (2) Undang-undang Pajak Penghasilan, Undang-undang


memberikan mandat kepada Pemerintah untuk mengenakan PPh final atas
penghasilan-penghasilan tertentu. Berdasarkan ketentuan ini Pemerintah
mengeluarkan Peraturan Pemerintah untuk mengenakan PPh final atas penghasilan
tertentu dengan pertimbangan kesederhanaan, kemudahan, serta
pengawasan.Pengenaan PPh Final sebagian berasal dari ketentuan Pasal 4 ayat (2)
ini. Namun demikian, ada juga pengenaan PPh final berdasarkan Pasal lain yaitu
Pasal 15, Pasal 19, Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23 dan Pasal 26 Undang-undang PPh.

Dengan demikian maka penghasilan yang telah dikenakan Pajak Penghasilan Final
(PPh final) ini tidak akan dihitung lagi Pajak Penghasilannya pada SPT Tahunan
dengan penghasilan lain yang non final untuk dikenakan tarif progresssif (pasal 17
UU PPh). Namun atas pelunasan pemotongan atau pembayaran PPh final tersebut
juga bukan merupakan kredit pajak pada SPT Tahunan.

Dari penjelasan tersebut di atas dapat diambil kesimpulan bahwa


Penghasilan yang dikenakan Pajak Penghasilan Final (PPh Final) adalah
sebagai berikut:

 Penghasilan yang dikenakan PPh final tidak perlu digabungkan dengan


penghasilan lain (yang non final) dalam penghitungan Pajak Penghasilan pada
SPT Tahunan.
 Jumlah PPh Final yang telah dipotong pihak lain ataupun dibayar sendiri tidak
dapat dikreditkan pada SPT Tahunan.

 Biaya-biaya yang digunakan untuk menghasilkan, menagih dan memelihara


penghasilan yang pengenaan PPh-nya bersifat final tidak dapat dikurangkan

Pertimbangan penerapan PPh Final:

 Penyederhanaan pengenaan Pajak Penghasilan atas penghasilan dari usaha


 memberikan kemudahan serta mengurangi beban administrasi bagi Wajib
Pajak.

Perbedaan Pajak Penghasilan yang bersifat Final dan Tidak Final


No. Pajak Penghasilan Tidak Final Pajak Penghasilan Final

1. Pajak Penghasilan dihitung dari Penghasilan netto yaitu penghasilan bruto ±


biaya-biaya untuk memperoleh, menagih dan memelihara penghasilan Pajak
7

Penghasilan dihitung dari penghasilan bruto tanpa memperhitungkan biaya-


biaya untuk memperoleh, managih dan memelihara penghasilan
2. Dikenakan tarif umum progressif (Pasal 17 UU PPh) Dikenakan tarif dan dasar
pengenaan pajak tertentu yang diatur dengan Peraturan Pemerintah atau
KepMen.

3. Jumlah PPh yang dipotong pihak lain atau dibayar sendiri dapat dikreditkan
pada SPT Tahunan Jumlah PPh yang dipotong pihak lain atau dibayar sendiri
tidak dapat dikreditkan pada SPT Tahunan 4 biaya-biaya untuk memperoleh,
menagih dan memelihara penghasilan dapat dikurangkan dari penghasilan
bruto biaya-biaya untuk memperoleh, menagih dan memelihara penghasilan
tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto 5 Dalam keadaan rugi Wajib
Pajak tidak membayar Pajak Penghasilan bahkan kerugian tersebut dapat
dikompensasikan hingga ke 5 (lima) tahun pajak berikutnya.

Dalam keadaan rugi Wajib Pajak tetap membayar Pajak Penghasilan karena
pengenaan pajak dikenakan pada penghasilan bruto dan bukan penghasilan netto.

Beberapa kategori penghasilan yang dikenakan Pajak Penghasilan Final


(PPh Final) adalah sebagai berikut:

1. Penghasilan dari transaksi penjualan saham di bursa efek


2. Penghasilan atas bunga deposito dan tabungan

3. Penghasilan dari hadiah atas undian

4. Penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau Bangunan.

5. Penghasilan dari persewaan tanah dan/atau Bangunan.

6. Penghasilan atas bunga atau diskonto obligasi yang diperdagangkan dibursa


efek

7. Penghasilan atas jasa konstruksi

8. Penghasilan atas perusahaan pelayaran dalam negeri

9. Penghasilan atas perusahaan pelayaran/penerbangan luar negeri.

10. Penghasilan BUT perwakilan dagang asing di Indonesia

11. Penghasilan atas selisih lebih revaluasi aktiva tetap

12. Penghasilan atas penjualan hasil produksi pertamina

13. Penghasilan atas bunga simpanan anggota koperasi

14. Penghasilan perusahaan modal ventura dari transaksi penjualan saham


atau pengalihan penyertaan modal pada perusahaan pasangan usaha.

15. Penghasilan atas diskonto surat perbendaharaan negara

16. Penghasilan atas transaksi derivatif berupa kontrak berjangka yang


diperdagangkan di bursa.
8

17. Penghasilan atas deviden yang diterima oleh Orang Pribadi dalam
negeri.

Tidak Termasuk Objek Pajak


1. a. Bantuan atau sumbangan termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat
atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah dan para
penerima zakat yang berhak.
b. Harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus
satu derajat, dan oleh badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial
atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan,
sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau
penguasaan antara pihak-pihak ybs;
2. Warisan;
3. Harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagai pengganti
saham atau sebagai pengganti penyertaan modal;
4. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang di
terima atau diperoleh dalam bentuk natura dan atau kenikmatan dari Wajib Pajak
atau Pemerintah;
5. Pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan
asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi Dwiguna dan
asuransi beasiswa;
6. Dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas
sebagai WP Dalam Negeri,koperasi, BUMN atau BUMD dari penyertaan modal pada
badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat :
– dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan; dan
– bagi perseroan terbatas, BUMN dan BUMD yang menerima dividen, kepemilikan
saham pada badan yang memberikan dividen paling rendah 25% (dua puluh lima
persen) dari jumlah modal yang disetor dan harus mempunyai usaha aktif di luar
kepemilikan saham tersebut;
7. Iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah
disahkan oleh Menteri Keuangan , baik yang dibayar oleh pemberi kerja maupun
pegawai;
8. Penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun dalam bidang-
bidang tertentu yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan;
9. Bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer
yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma
dan kongsi;
10. Bunga obligasi yang diterima atau diperoleh perusahaan reksadana selama 5
(lima) tahun pertama sejak pendirian perusahaan atau pemberian izin usaha;
11. Penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura berupa
bagian laba dari badan pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan usaha atau
kegiatan di Indonesia dengan syarat badan pasangan usaha tersebut:
– merupakan perusahaan kecil, menengah atau yang menjalankan kegiatan dalam
sektor-sektor usaha yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan; dan
– sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia.

Laporan Keuangan Komersial dan Laporan Keuangan Fiskal


a. Definisi Laporan Keuangan Komersial dan Laporan Keuangan Fiskal
Laporan keuangan komersial adalah laporan yang disusun dengan prinsip akuntansi
bersifat netral atau tidak memihak. Laporan keuangan fiskal adalah laporan yang
disusun khusus untuk kepentingan perpajakan dengan mengindahkan semua
peraturan perpajakan. Hal - hal yang perlu tercakup dalam laporan keuangan fiskal
terdiri dari:
9

1. Neraca fiskal;
2. Perhitungan laba rugi dan perubahan laba yang ditahan;

3. Penjelasan laporan keuangan fiskal;

4. Rekonsiliasi laporan keuangan komersial dan laporan keuangan fiskal;

5. Ikhtisar kewajiban pajak.

Wajib pajak diwajibkan untuk menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT)


yang dilampiri oleh laporan keuangan.

b. Hubungan Antara Laporan Keuangan Komersial dan Laporan Keuangan


Fiskal
Laporan keuangan komersial dengan laporan keuangan fiskal memiliki peraturan
atau prinsip masing – masing dalam menentukan biaya. Jika laporan keuangan
komersial disusun berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan untuk memberikan
informasi mengenai kinerja perusahaan dalam jangka waktu tertentu, maka laporan
keuangan fiskal disusun berdasarkan peraturan pajak yang digunakan untuk
menentukan besarnya pajak yang harus dibayar perusahaan, sehingga terjadi
perbedaan antara laporan keuangan komersial dan laporan keuangan fiskal.

Untuk mencocokan perbedaan yang terdapat dalam laporan keuangan komersial


dan laporan keuangan fiskal maka perlu dilakukan rekonsiliasi fiskal / koreksi fiskal.
Secara umum ada dua cara untuk menyusun laporan keuangan fiskal. Pertama,
pendekatan terpisah (separated approach) dimana wajib pajak membukukan segala
transaksi atau informasi berdasarkan prinsip pajak untuk penghitungan PPh
terutang dan berdasarkan prinsip akuntansi untuk keperluan komersial. Tapi
pendekatan ini sangat jarang digunakan karena memakan banyak biaya dan
tenaga.

Sebagian besar wajib pajak memilih pendekatan kedua, extra-compatible approach


dimana wajib pajak membukukan semua transaksi atau informasi hanya
berdasarkan prinsip akuntansi, kemudian pada akhir tahun wajib pajak melakukan
koreksi terhadap laporan keuangan komersial tersebut agar sesuai dengan Undang -
Undang Pajak Penghasilan yang dapat digunakan untuk menghitung besarnya PPh
terutang. Jadi laporan keuangan komersial terkait erat dengan laporan keuangan
fiskal karena laporan keuangan komersial digunakan oleh wajib pajak sebagai dasar
melakukan rekonsiliasi fiskal untuk menghasilkan laporan keuangan fiskal.

c. Perbedaan Konsep Laporan Keuangan Komersial dan Laporan Keuangan


Fiskal
Perbedaan konsep laporan keuangan komersial dengan laporan keuangan fiskal
terdapat pada:

1) Perbedaan mengenai konsep penghasilan atau pendapatan


Penghasilan (Income) menurut IAI (2007:13), adalah ”Kenaikan manfaat ekonomi
selama suatu periode akuntansi dalam bentuk pemasukan atau penambahan aset
atau penurunan kewajiban yang mengakibatkan kenaikan ekuitas yang tidak
berasal dari kontribusi penanam modal”. Dari sisi fiskal, konsep penghasilan tidak
jauh berbeda dengan konsep akuntansi, yaitu : Segala tambahan kemampuan
ekonomis yang diterima / diperoleh Wajib Pajak baik yang berasal dari Indonesia
maupun dari Luar Indonesia yang bisa dikonsumsi atau menambah kekayaan Wajib
Pajak dengan nama dan dalam bentuk apapun. Lebih lanjut fiskal membedakan
10

penghasilan tersebut menjadi tiga kelompok yang sesuai dengan UU No 36 Tahun


2008 Pasal 4 Tentang Pajak Penghasilan, yaitu:
1. Penghasilan yang merupakan Objek Pajak Penghasilan
2. Penghasilan yang dikenakan Pajak Penghasilan Final

3. Penghasilan yang bukan merupakan Objek Pajak Penghasilan

Pengelompokan penghasilan tersebut akan berakibat adanya perbedaan mengenai


konsep penghasilan antara SAK dan Fiskal. Penghasilan yang bukan objek pajak
berarti atas penghasilan tersebut tidak dikenakan pajak (tidak menambah laba
fiskal), lebih jelasnya tentang pengelompokkan penghasilan tersebut diuraikan
dalam UU No 36 Tahun 2008 Pasal 4 ayat 1,2 & 3 Tentang Pajak Penghasilan.

2) Perbedaan Konsep Beban (Biaya)


Beban (expense) menurut IAI (2007:13), diartikan sebagai “Penurunan manfaat
ekonomi selama suatu periode akuntansi dalam bentuk arus keluar atau
berkurangnya aktiva atau terjadinya kewajiban yang mengakibatkan penurunan
ekuitas yang tidak menyangkut pembagian kepada penanam modal”. Sisi Fiskal
sendiri, mengartikan Beban sebagai biaya untuk menagih, memperoleh dan
memelihara penghasilan atau biaya yang berhubungan langsung dengan perolehan
penghasilan. Perbedaan inilah yang menyebabkan pihak fiskus sering berbeda
pendapat dengan wajib pajak dalam hal menentukan beban/biaya yang boleh atau
tidak boleh dikurangkan sehingga harus dikeluarkan/tidak boleh diperhitungkan
sebagai pengurangan penghasilan. Misalnya penafsiran atas bunyi undang - undang
yang menyatakan bahwa biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan adalah
meliputi biaya untuk menagih, memelihara dan mempertahankan penghasilan.
Wajib pajak sendiri sering diharuskan untuk memberikan sumbangan baik yang
wajib maupun tidak wajib, dan kadang kala tidak disertai dengan bukti-bukti yang
mendukung. Kemudian wajib pajak menganggap biaya yang dikeluarkan tersebut
dapat dibiayakan karena dikeluarkan sehubungan dengan kelancaran usaha,
sedangkan pihak fiskus menganggap biaya tersebut termasuk hibah, bantuan dan
sumbangan yang tidak boleh dikurangkan.

3) Perbedaan dalam konsep Penyusutan dan Nilai Persediaan


Perbedaan dalam konsep antara akuntansi dengan peraturan perpajakan terutama
menyangkut konsep penyusutan dan penilaian persediaan barang dagangan.

a) Konsep Penyusutan
Perbedaan utama antara akuntansi dengan undang-undang perpajakan adalah
penentuan umur aktiva dan metode penyusutan yang boleh digunakan. Akuntansi
menentukan umur aktiva berdasarkan umur sebenarnya walaupun penentuan umur
tersebut tidak terlepas dari tafsiran Judgement.
Menurut IAI (2007) Akuntansi memiliki beberapa metode penyusutan yaitu:
1. Metode garis lurus (Straight line method) yaitu, menghasilkan pembebanan
yang tetap selama umur manfaat asset jika dinilai residunya tidak berubah.
2. Metode Saldo Menurun (diminishing balance method) yaitu, menghasilkan
pembebanan yang menurun selama umur manfaat asset.

3. Metode Jumlah Unit (sum of the unit method), yaitu menghasilkan


pembebanan yang menurun selama umur manfaat asset.

Ketentuan perpajakan hanya menetapkan dua metode penyusutan yang harus


dilaksanakan wajib pajak berdasarkan pasal UU No 36 tahun 2008 pasal 11 tentang
11

Pajak Penghasilan yaitu berdasarkan metode garis lurus dan metode saldo menurun
yang dilaksanakan secara konsisten, kemudian aktiva (harta berwujud)
dikelompokkan berdasarkan jenis harta dan masa manfaat sebagai berikut:

Penentuan masa manfaat, jenis harta, metode, serta tarif dimaksudkan untuk
memberikan keseragaman bagi wajib pajak dalam melakukan penyusutan maupun
amortisasi.

b) Konsep Nilai Persediaan


Dalam undang-undang pajak penghasilan Indonesia, persediaan dan pemakaian
persediaan untuk menghitung harga pokok dinilai berdasarkan harga perolehan
(cost) yang dilakukan dengan metode rata-rata (average) atau dengan metode
mendahulukan persediaan yang diperoleh pertama yang dikenal dengan first in first
out (FIFO). Penggunaan metode tersebut harus dilakukan secara konsisten.
Apabila kita meninjau secara akuntansi maka ada 3 jenis metode yang dilakukan
untuk menilai persediaan yang sesuai dengan SAK No 14 tahun 2007 yaitu dengan
menggunakan rumus biaya masuk pertama keluar pertama (MPKP atau FIFO),
kemudian rata-rata tertimbang (weight average cost method) dan masuk terakhir
keluar pertama (MTKP atau LIFO). Kemudian untuk barang yang lazimnya tidak
dapat digantikan dengan barang lain (not ordinary interchangeable) dan barang
serta jasa yang dihasilkan dan dipisahkan untuk proyek khusus harus
diperhitungkan berdasarkan identifikasi khusus terhadap biayanya masing-masing.

Contoh Penghitungan PPh WP Badan Yang Peredaran Brutonya Tidak


Melebihi Rp. 4,8 Milyar (sesuai PP 46)
Peraturan Pemerintan Nomor 46 Tahun 2013 mulai berlaku tanggal 1 Juli 2013,
maka sejak berlakunya PP tersebut perhitungan pajak terutang wajib pajak badan
yang peredaran brutonya tidak melebihi Rp. 4.800.000.000,- (Empat Miliar Delapan
Ratus Juta Rupiah) dalam satu tahun pajak maka dikenakan tarif 1%.

Peredaran bruto yang dimaksud dalam PP 46 tersebut di atas adalah peredaran


bruto untuk tahun pajak sebelumnya, sehingga pengenaan tarif 1% tersebut untuk
masa pajak berikutnya.

Misal:
PT. Bagas Farel berdasarkan SPT Tahunan tahun 2014 melaporkan Peredaran
brutonya sebesar Rp. 3.650.750.000,- (Tiga Miliar Enam Ratus Lima Puluh Juta Tujuh
Ratus Lima Puluh Ribu Rupiah).

Karena Peredaran bruto tahun 2014 PT.Bagas Farel di bawah Rp. 4.800.000.000,-
maka untuk tahun pajak 2015 PT. Bagas Farel harus melaksanakan kewajiban
perpajakannya sesuai PP 46.
contoh untuk masa januari 2015 peredaran bruto PT. Bagas Farel sebesar Rp.
375.685.000,- maka pajak terutangnya = Rp. 375.685.000,- X 1% = Rp.
3.756.850,-
Pajak terutang sebesar Rp. 3.756.850,- disetorkan ke Bank persepsi pajak dengan
menggunakan media Surat Setoran Pajak (SSP) dengan Kode Akun Pajak 4111128
dan Kode Jenis Setoran 420 dan disetorkan paling lambat tanggal 15 bulan
berikutnya (Februari).
12

Demikian contoh perhitungan PPh WP badan yang peredaran brutonya dibawah Rp.
4.800.000.000,-

Kedua, untuk wajib pajak yang peredaran bruto dalam satu tahun pajak diatas Rp.
4.800.000.000,- s/d Rp. 50.000.000.000,- maka perhitungan pajak terutangnya
sesuai dengan pasal 17 dan 31E Undang-Undang No 36 Tahun 2008 tentang pajak
penghasilan.
Cara menghitungnya sebagai berikut:
Mendapat Fasilitas = 4.800.000.000 / Peredaran Bruto x Penghasilan Kena Pajak
=yyyyyyyyy
PPh yg mendapat Fasilitas = (50% X 25%) X yyyyyyyyy
= zzzzzzzz

Tidak Mendapat Fasilitas = Penghasilan Kena Pajak - yyyyyyyyy


= aaaaaaaa
PPh yg tidak mendapat Fasilitas = 25% X aaaaaaaa
= bbbbbbbb

Total PPh Terutang = zzzzzzzz + bbbbbbbb


= ccccccccc

Contoh Penghitungan PPh WP Badan Yang Peredaran Brutonya Di Atas Rp. 4,8 Milyar
s/d Rp. 50 Milyar

Sebelumnya saya telah sharing contoh perhitungan PPh WP Badan yangperedaran


brutonya tidak melebihi Rp. 4.800.000.000,- sekarang saya akan sharing contoh
menghitung PPh WP Badan yang peredaran brutonya di atas 4.800.000.000,- s/d
50.000.000.000,- untuk wajib pajak yang sesuai dengan kriteria ini maka
perhitungan pajaknya sesuai dengan yang berlaku umum / sesuai dengan pasal 17
ayat (1) huruf B dan pasal 31E Undang-undang Nomor 36 tahun 2008 tentang pajak
penghasilan.

Untuk wajib pajak yang dalam satu tahun pajak peredaran bruto nya di atas
4.800.000.000 sampai dengan 50.000.000.000,-penghitungan pajak terutangnya
seperti terlihat dalam contoh soal di bawah ini:

Contoh:
Peredaran Bruto PT. Bagas Farel tahun 2014 sebesar Rp. 5.275.500.000,- karena
peredaran bruto untuk tahun 2014 ini melebihi Rp. 4.800.000.000,- maka untuk
tahun pajak 2015 PT. Bagas Farel menggunakan perhitungan yang umum untuk
menghitung pajak terutangnya.
Selama tahun 2015 peredaran bruto PT. Bagas Farel diketahui sebesar Rp.
6.355.875.000,- dengan laba sebelum pajak (Penghasilan Kena Pajak) sebesar
Rp.953.400.000,-
13

Hitung berapa Pajak terutang PT. Bagas Farel untuk tahun pajak 2015?

Jawaban:
PKP Mendapat Fasilitas = 4.800.000.000 / 6.355.875.000 X 953.400.000
= 720.014.160,-
PKP Tidak Mendapat Fasilitas = 953.400.000 - 720.014.160
= 233.385.840,-

PPh Terutang:
Mendapat Fasilitas = 50% X 25% X 720.014.160
= 90.001.770,-

Tidak Mendapat Fasilitas = 25% X 233.385.840


= 58.348.460,-

Jadi Total PPh Terutang = 90.001.770,- + 58.348.460,-


= 148.350.230,-

Keterangan :
PPh Terutang Mendapat Fasilitas:
50% = Fasilitas pengurangan Tarif
25% = Tarif PPh WP Badan Sesuai Pasal 17 ayat (1) hururf B

Demikian contoh perhitungan PPh WP Badan yang peredaran brutonya di atas


4.800.000.000 s/d 50.000.000.000... Selanjutnya teman-teman bisa membaca
contoh Penghitungan PPh Badan yang Peredaran Brutonya di atas Rp.
50.000.000.000,-
Semoga tulisan ini bisa membantu....
Ketiga, untuk wajib pajak yang peredaran bruto dalam satu tahun pajak diatas Rp.
50.000.000.000,- maka perhitungan pajak terutangnya sesuai dengan pasal 17 dan
31E Undang-Undang No 36 Tahun 2008 tentang pajak penghasilan.
Cara menghitungnya sebagai berikut: Penghasilan Kena Pajak x 25%

Contoh perhitungan PPh Badan yang PeredaranBrutonya di atas Rp.


50.000.000.000,-

Contoh Penghitungan PPh WP Badan Yang Peredaran Brutonya Di atas Rp. 50 Milyar

Sebelumnya saya telah sharing contoh perhitungan PPh WP Badan yangperedaran


brutonya tidak melebihi Rp. 4.800.000.000,- dan contoh perhitungan PPh WP Badan
yangperedaran brutonya di atas 4.800.000.000,- s/d 50.000.000.000,- sekarang
saya akan sharing contoh perhitungan PPh WP Badan yang peredaran brutonya di
atas 50.000.000.000,- untuk wajib pajak yang sesuai dengan kriteria ini maka
perhitungan pajaknya sesuai dengan yang berlaku umum / sesuai dengan pasal 17
ayat (1) huruf B Undang-undang Nomor 36 tahun 2008 tentang pajak penghasilan.

Untuk wajib pajak yang dalam satu tahun pajak peredaran bruto nya di
14

atas 50.000.000.000,- contoh penghitungan pajak terutangnya bisa dilihat


dibawah ini.

Contoh :
Peredaran Bruto PT. Bagas Farel tahun 2014 sebesar Rp. 45.275.500.000,- karena
peredaran bruto untuk tahun 2014 ini melebihi Rp. 4.800.000.000,- maka untuk
tahun pajak 2015 PT. Bagas Farel menggunakan perhitungan yang umum untuk
menghitung pajak terutangnya.

Selama tahun 2015 peredaran bruto PT. Bagas Farel diketahui sebesar Rp.
67.850.000.000,- dengan laba sebelum pajak (Penghasilan Kena Pajak) sebesar
Rp.15.750.500.000,-

Hitung berapa Pajak terutang PT. Bagas Farel untuk tahun pajak 2015?
Jawaban:
Untuk menghitung pajak terutang WP Badan yang peredaran brutonya di atas
50.000.000.000,- sangatlah mudah, setelah diketahui laba sebelum pajak
(Penghasilan Kena Pajak) tinggal dikalikan dengan tarif pajak pasal 17 ayat (1) huruf
B yaitu sebesar 25%.

PPh Terutang = 25% X 15.750.500.000,-


= 3.937.625.000,-

Demikian contoh perhitungan PPh Terutang WP Badan yang peredaran brutonya di


atas 50.000.000.000,-

Kewajiban yang melekat setiap bulan :

1. Melapor dan atau membayar PPh pasal 25 atau disebut angsuran pph
pasal 25.

Bagi WP badan baru yang belum beroperasi komersial atau beroperasi komersial
kurang dari 1 tahun maka penghitungan pajaknya menggunakan tarif umum.

Misal CV Maju Jaya terdaftar NPWP tanggal 15 Juni 2014, mulai beroperasi komersial
( mulai saat pertama kali ada penjualan barang atau jasa atau saat memperoleh
penghasilan ) pada tanggal 03 Agustus 2014.

Maka kewajiban CV Maju Jaya melaporkan pph pasal 25 nihil untuk masa pajak
juni 2014 dan juli 2014 ( perusahaan belum ada kegiatan komersial).

Sedangkan untuk masa pajak agustus karena sudah ada kegiatan komersial, maka
penghitungan PPh pasal 25 adalah Pajak Penghasilan yang dihitung berdasarkan
penerapan tarif umum atas proyeksi laba-rugi fiskal pada laporan berkala pertama
yang disetahunkan, dibagi 12 (dua belas). (KMK no 208/PMK.03/2009 pasal 2 huruf
4)

Misal :

Omzet bulan agustus sebesar 50.000.000


15

laba bersih bulan agustus 2014 sebesar 10.000.000,

Laba bersih setahun = 120.000.000

PPh setahun = 12,5% x 120.000.000 = 15.000.000

PPh sebulan = 15.000.000 : 12 = 1.250.000

Maka pph pasal 25 masa pajak agustus 2014 s.d desember 2014 masing-masing
sebesar 1.250.000

Sedangkan penghitungan PPh pasal 25 untuk bulan jan 2015 s.d desember 2015
menunggu penghitungan SPT Tahunan tahun pajak 2014, yaitu sebesar pph
terutang selama tahun 2014 dibagi 12. –baca di bagian pelaporan spt tahunan–

Pembayaran pph pasal 25 paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya, sedangkan


pelaporan paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya.

Jika ada pembayaran tanggal pembayaran dianggap sama dengan tanggal


pelaporan, artinya kalo sudah bayar tidak perlu lapor lagi. Sedangkan jika nihil/tidak
ada pembayaran maka wajib lapor ( Per Dirjen pajak no 22/PJ/2008 pasal 4 ).

Sanksi keterlambatan bayar = 2% per bulan x nilai kurang bayar

Sanksi keterlambatan lapor pph pasal 25 = 100.000 ( UU KUP 16 TAHUN 2009 pasal
3 dan 7 ).

Kode MAP pada SSP untuk PPh pasal 25 badan = 411126


Kode KJS pada SSP untuk PPh pasal 25 badan = 100

Setelah berlalu satu tahun sejak kegiatan komersial perusahaan, dalam contoh
diatas CV maju jaya memulai kegiatan komersial sejak 03 Agustus 2014, maka
setahunnya adalah 02 Agustus 2015 , krn berada di bagian tahun , maka di
genapkan s.d akhir desember 2015.

Untuk menghitung apakah masa pajak januari 2016 masih menggunakan tarif
umum ( pasal 25 ) atau menggunakan PPH Final 1% ( PP No 46 tahun 2013) maka di
lihat omzet tahun sebelumnya yaitu omzet tahun 2015,

jika omzet tahun 2015 dibawah 4.8 milyar maka penghitungan pajak penghasilan
masa januari 2016 menggunakan PPH Final 1% ( PP No 46 tahun 2013) yaitu pajak
penghasilan = 1% x omzet januari 2016

adapun jika omzet tahun 2015 diatas 4.8 milyar maka untuk menghitung pajak
penghasilan masa januari 2016 menggunakan tarif umum ( pasal 25)

2. Melapor dan atau membayar PPh pasal 21 (SPT Masa pph pasal 21)

Bahasa mudahnya PPh pasal 21 adalah pemotongan dan pelaporan atas


gaji/penghasilan karyawan yang bekerja pada perusahaan kita.
16

Cara menghitung pajak atas karyawan tetap kita adalah sbb :

Andi seorang karyawan tetap dari PT ABC dan sudah mempunyai NPWP, Andi
dengan status menikah dan mempunyai 1 orang anak mendapatkan penghasilan
sebesar 3.000.000,. setiap bulan, berapakah PPh pasal 21 yang harus di potong
oleh PT ABC atas gaji yang diterima andi?

Penghitungan pasal 21, dalam penghitungannya kita setahunkan

Penghasilan Bruto = 3.000.000 x 12 = 36.000.000


Dikurangi Biaya Jabatan (5% atau maksimal 6.000.000) = 5% X 36.000.000 =
1.800.000
Dikurangi dengan PTKP (K/1) = 28.350.000 ( 24.300.000+2.025.000+2.025.000)

Penghasilan Kena Pajak = 36.000.000 – 1.800.000 – 28.350.000 = 5.850.000

PPh pasal 21 setahun = 5% x 5.850.000 = 292.500


PPh pasal 21 sebulan = 292.500 / 12 = 24.375

Jadi perusahaan setiap bulan memotong pajak Andi sebesar 24.375 dari total
gajinya sebesar 3.000.000

Bagi karyawan yang tidak mempunyai npwp maka pajaknya 20% lebih tinggi (UU 36
TAHUN 2008 pasal 21 ayat 5a ).

Dalam contoh diatas, misal Andi belum mempunyai npwp maka pajakya

PPh pasal 21 setahun = 5% x 120% x 5.850.000 = 351.000


PPh pasal 21 sebulan = 351.000 / 12 = 29.250

Jika belum ada karyawan atau tidak ada karyawan yang kena pajak tetap wajib
lapor nihil.

Catatan : Biaya jabatan adalah suatu komponen pengurang yang diberikan oleha
negara sebesar 5% x penghasilan bruto atau maksimal 6.000.000 setahun

Pembayaran pph pasal 21 paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya, sedangkan


pelaporan paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya (KMK NOMOR
242/PMK.03/2014 pasal 6)

Sanksi keterlambatan bayar = 2% per bulan x nilai kurang bayar

Sanksi keterlambatan lapor pph pasal 21 = 100.000 ( UU KUP 16 TAHUN 2009 pasal
3 dan 7 ).

Kode MAP pada SSP untuk PPh pasal 21 = 411121


Kode KJS pada SSP untuk PPh pasal 21 = 100

3. Melapor dan atau membayar PPN (SPT masa PPN) Khusus yang sudah
terdaftar sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP).

Cara menghitung PPN yang harus dibayar tiap bulan adalah = Pajak keluaran
dikuragi pajak Masukan.
17

Ketika kita menjual barang/jasa kita membuat pajak keluaran, ketika kita membali
barang kita mendapat pajak masukan, nilai dari pajak keluaran atau pajak masukan
adalah 10% dari Dasar pengenaan pajak ( atau mudahnya harga barang atau jasa
tsb).

Contoh :

CV Maju Mundur sudah berstatus PKP,

Pada tanggal 5 Juli 2015 menjual laptop kepada pembeli seharga 5 juta, karena CV
Maju mundur sudah pkp maka wajib menambahkan PPN sebesar 10% dari harga
jual, sehingga harga ke konsumen sebesar 5 juta + 500 ribu = 5.500.000.

Pada tanggal 10 Juli 2015 CV Maju Mundur membeli mesin bor seharga 3.300.000
( harga mesin 3.000.000 + ppn 300.000 ).

Maka PPN yang harus dibayar CV Maju mundur selama masa pajak bulan juli 2015
adalah ; Pajak keluaran – pajak masukan >>= 500.000 – 300.000 = 200 ribu

Pembayaran PPN paling lambat akhir bulan berikutnya dan pelaporan juga paling
lambat akhir bulan berikutnya sebelum Surat Pemberitahuan Masa PPN
disampaikan.

(KMK NOMOR 242/PMK.03/2014 pasal 6)

Sanksi keterlambatan bayar = 2% per bulan x banyak bulan x nilai kurang bayar

Sanksi keterlambatan lapor PPN = 500.000 ( UU KUP 16 TAHUN 2009 pasal 3 dan
7 ).

Kode MAP pada SSP untuk PPN = 411211


Kode KJS pada SSP untuk PPN = 100

2. Kewajiban yang melekat setahun sekali

Setelah tutup buku akhir tahun (akhir desember) maka perusahaan wajib membuat
spt tahunan badan. Jika ada kekurangan bayar wajib di bayarkan sebelum spt
tahunan disampaikan., paling lambar lapor spt tahunan tanggal 30 April.

Sanksi jika terlambat lapor dikenakan denda 1 juta ( UU KUP 16 TAHUN 2009 pasal 3
dan 7 ).

Untuk membuat SPT Tahunan badan syaratnya harus membuat minimal laporan
keuangan ( laporan rugi laba dan neraca).

Jika Omzet < 4,8 Milyar = PPh terutang = 12,5 % x penghasilan netto

Jika omzet 0 s.d 50 Milyar, maka yang omzet s.d 4.8 milyar mendapat fasilitas
faktor pengkali 12.5 %, sisanya kena 25 %

Jika Omzet > 4,8 Milyar = PPh terutang = 25 % x penghasilan netto

Contoh :
18

CV ABC mempunyai omzet 5 milyar selama tahun 2014 dengan laba bersih 200
juta, hitung pph terutang ?

PPh terutang :

4.8 milyar X 200 juta X 12,5 % = 24.000.000

5 milyar

ditambah dengan

200 juta X 200 juta X 25% = 2.000.000

5 milyar

Total pph terutang = 26.000.000

Jika ada kurang bayar dengan kode pembayaran di SSP nya :

Kode MAP = 411126 dan KJS = 200

3. Kewajiban yang melekat ketika ada kegiatan

Kewajiban2 dibawah ini melekat jika pada bulan yang bersangkutan ada kegiatan,
maka pada bulan depannya perlu dibayarkan pajaknya dan dilaporkan SPT nya. Jika
tidak ada kegiatan maka tidak perlu bayar atau lapor.

1. PPh pasal 4 ayat 2

PPh pasal 4 ayat 2 bersifat final artinya penghasilan yang sudah dipotong pajak
dengan tarif tertentu dan tidak perlu lagi diperhitungkan dalam penghitungan pph
terutang yang harus dibayar dalam SPT.

Contohnya :

1. penghasilan atas transaksi penjualan tanah atau bangunan (tarif 5%) (PP
NOMOR 71 TAHUN 2008 )
2. Penghasilan atas transaksi persewaan tanah atau bangunan (tarif 10%) (KMK
NOMOR 120/KMK.03/2002)

3. Penghasilan atas hadiah undian (tarif 25% ) (PER Dirjen Pajak No- 11/PJ/2015)

4. Penghasilan atas jasa konstruksi (PP NOMOR 40 TAHUN 2009)

2. PPh Pasal 23

PPh pasal 23 bersifat tidak final, artinya penghasilan harus diperhitungkan dalam
penghitungan pph terutang yang harus dibayar dalam SPT.

Contohnya :

1. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta kecuali


sewa tanah dan atau bangunan (tarif 2 %) (UU PPh pasal 23 ayat 2)
2. Dividen,bunga,royalti (15%) UU PPh pasal 23 ayat 1)

Anda mungkin juga menyukai