Sejarah Pendidikan Di Indonesia
Sejarah Pendidikan Di Indonesia
Memasuki abad ke 20 Belanda juga mendirikan sejumlah perguruan tinggi di Pulau Jawa.
Beberapa perguruan tinggi yang didirikan, yaitu:
Setelah Indonesia merdeka, Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP-KNIP)
mengusulkan pembaruan pendidikan Indonesia. Ki Hajar Dewantara, yang saat itu menjabat
Menteri Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan Indonesia, membentuk Panitia Penyelidik
Pengajaran untuk menyediakan struktur, bahan pengajaran, dan rencana belajar di Indonesia.
Kurikulum ini diharapkan dapat meningkatkan kesadaran bernegara dan bermasyarakat,
meningkatkan pendidikan jasmani, dan pendidikan watak. Dari upaya tersebut, disusunlah
kurikulum SR 1947 yang terdiri dari 15 mata pelajaran.
Memasuki era demokrasi liberal pada 1950, pelaksanaan pendidikan Indonesia diatur
dalam UU no. 4 Tahun 1950 dan diperbarui menjadi UU no. 12 tahun 1954. Pendidikan dan
pengajaran bertujuan membentuk manusia susila yang cakap dan warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab terhadap kesejahteraan masyarakat dan tanah air. Seiring
dengan Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959, Indonesia kembali menggunakan UUD 1945
sebagai dasar negara. Meskipun demikian, perubahan ini tidak banyak mengubah sistem
pendidikan yang telah berlangsung di Indonesia.
Pada periode ini, pendidikan di Indonesia telah tersusun atas beberapa jenjang yang
merupakan pengembangan dari jenjang yang terdapat pada jaman pendudukan Belanda.
Jenjang pendidikan di Indonesia di zaman tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :
Taman Kanak-kanak (TK).
TK dibagi menjadi dua bagian yaitu bagian A (anak 4 tahun) dan bagian B (anak 5
tahun). TK ditujukan untuk membantu perkembangan anak, serta interaksi anak dengan alam
dan lingkungan masyarakat sekitar.
Sekolah Dasar (SD).
SD berfungsi sebagai lembaga pendidikan yang mengajarkan dasar pengetahuan yang
dibutuhkan untuk anak. SD memiliki peran penting sebagai dasar pembangunan kehidupan
bangsa sehingga diharapkan menjadi lembaga pendidikan yang lengkap, fungsional, dan
ilmiah.
Perguruan Tinggi.
Perguruan tinggi di Indonesia terdiri dari Universitas, Institut, Sekolah Tinggi, dan
Akademi. Universitas minimum terdiri dari 4 fakultas yang meliputi bidang keagamaan, ilmu
budaya, ilmu sosial, ilmu eksakta, dan teknik. Institut bertujuan melaksanakan pendidikan dan
melakukan penelitian. Sekolah tinggi difokuskan pada pendidikan untuk satu cabang ilmu
pengetahuan. Sedangkan akademi menyediakan pendidikan untuk keahlian khusus.
Pendidikan Guru.
Pendidikan guru di Indonesia mengalami dinamika sepanjang periode ini. Awalnya,
terdapat Pendidikan Tinggi Pendidikan Guru (PTPG) yang tergabung dalam Universitas FKIP
(Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan). Ketidakpuasan atas FKIP membuat departement
PP & K mendirikan Institut Pendidikan Guru (IPK) yang menimbulkan konflik antar kedua
belah pihak. Konflik ini ditengahi oleh Presiden melalui Kepres No. 3/1963 dimana FKIP dan
IPG dilebur menjadi IKIP.
Memasuki tahun 1965, pendidikan di Indonesia memiliki misi untuk mengajarkan dan
menerapkan nilai-nilai Pancasila. Untuk melaksanakan misi tersebut, departemen pendidikan
dan kebudayaan menyusun kurikulum yang mencakup prinsip dasar Pancasila.
Implementasi dari misi tersebut diawali dengan perubahan kurikulum di setiap jenjang
pendidikan. Melalui kurikulum SD 1968, pendidikan dasar diharapkan dapat menyampaikan
materi untuk mempertinggi mental budi pekerti, memperkuat keyakinan agama, serta
mempertinggi kecerdasan dan keterampilan. Sementara itu, kurikulum SMP ditambah dengan
pembentukan kelompok pembinaan jiwa pancasila, kelompok pembinaan pengetahuan dasar,
dan kelompok pembinaan kecakapan khusus. Kurikulum SMA juga disempurnakan dengan
tujuan membentuk manusia pancasila sejati, mempersiapkan untuk masuk ke perguruan
tinggi, serta mengajarkan keahlian sesuai minat dan bakat.
Pada tahun 1989, melalui UU No. 2/1989, jenjang pendidikan di Indonesia diperbarui
menjadi tiga jenis yaitu:
Jenjang pendidikan dasar (SD dan SLTP).
Jenjang pendidikan menengah (SMU dan SMK).
Jenjang pendidikan tinggi.
Pendidikan Indonesia berkembang pesat pada periode ini. Pada 1973, jumlah angka buta
huruf di golongan usia muda Indonesia mencapai hampir 20 persen. Pendirian SD Inpres,
bersama dengan sekolah lainnya, membuat tingkat buta huruf di Indonesia menurun
signifikan. Pemerintah terus berusaha agar pendidikan dapat menyebar dan dirasakan oleh
hampir seluruh penduduk Indonesia.
Jenjang pendidikan di Indonesia secara umum tidak banyak berubah. Akan tetapi,
terdapat lebih banyak lembaga penyedia pendidikan untuk setiap jenjang pendidikan dimana
melibatkan partisipasi pendidikan non-formal. Struktur pendidikan di Indonesia secara umum
dapat digambarkan sebagai berikut (data Kementerian Pendidikan tahun 2007).
Seiring dengan meningkatnya mutu dan partisipasi pendidikan dasar di Indonesia, dan
berkembangnya minat terhadap pendidikan menengah, isu pendidikan di Indonesia kini
beralih pada jenjang pendidikan tinggi. Pada tahun 2011, angka partisipasi kasar (GER) untuk
pendidikan tinggi di Indonesia hanya mencapai 25 persen. Angka ini lebih rendah dibanding
rata-rata global yang mencapai 31 persen dan kebanyakan negara anggota ASEAN. Meskipun
demikian, angka ini sebenarnya meningkat signifikan dibanding sepuluh tahun yang lalu
dimana angka partisipasi kasar pendidikan tinggi di Indonesia hanya mencapai 12 persen.