Anda di halaman 1dari 19

Makalah Kode Etik Auditor

http://marisaicha.blogspot.com/2009/12/makalah-kode-etik-auditor.html

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Etika secara harfiah bermakna pengetahuan tentang azas-azas akhlak atau


moral. Etika secara terminologi kemudian berkembang menjadi suatu konsep yang
menjelaskan tentang batasan baik atau buruk, benar atau salah, dan bisa atau tidak
bisa, akan suatu hal untuk dilakukan dalam suatu pekerjaan tertentu. Istilah kode etik
kemudian muncul untuk menjelaskan tentang batasan yang perlu diperhatikan oleh
seorang profesional ketika menjalankan profesinya.

Seperti halnya profesi-profesi yang lain, Akuntan juga mempunyai kode etik
yang digunakan sebagai rambu-rambu atau batasan-batasan ketika seorang Akuntan
menjalankan perannya. Pemahaman yang cukup dari seorang Akuntan tentang kode
etik, akan menciptakan pribadi Akuntan yang profesional, kompeten, dan berdaya
guna. Tanpa adanya pemahaman yang cukup tentang kode etik, seorang Akuntan akan
terkesan tidak elegan, bahkan akan menghilangkan nilai esensial yang paling tinggi
dari profesinya tersebut.

Di awal bahasan, terlebih dahulu akan dipaparkan tentang sejarah kemunculan


dimensi etik keprofesian. Sejarah ini mencakup variasi pemikiran yang berkembang
tentang etika yang dimulai sejak zaman Yunani kuno hingga zaman modern seperti
saat ini. Selanjutnya, pada bahasan-bahasan berikutnya akan dipaparkan dimensi-
dimensi yang terkait dengan kode etik profesi Akuntan.

1.2 Sejarah Kemunculan dan Variasi Aliran Pemikiran (Etika).

Perkembangan wacana etika tidak dapat dilepaskan dari berbagai pemikiran


atas etika yang telah berlangsung berpuluh-puluh abad yang lalu diYunani. Suseno
(dalam Ludigdo, 2007) menyatakan bahwa kita harus mengakui bahwa pemikiran
filsafat yang berkembang dewasa ini tidak terlepas dari kuatnya pengaruh filsafat
Yunani. Filsafat Yunani yang juga meliputi metafisika dan etika ini, berkembang
bermula dari filsafat alam.

Pemikiran awal tentang etika dapat ditelusuri dari pemikiran murid-murid


Pytagoras (570-496 SM). Pemikiran etika yang berkembang dikalangan murid
Pytagoras tersebut adalah bahwa badan merupakan kubur jiwa, sehingga jika manusia
menginginkan jiwanya bebas dari badan maka dia perlu menempuh jalan
pembersihan. Jalan ini adalah bertapa dan bekerja secara rohani, terutama dengan
berfilsafat dan bermatematika serta menyertakan musik dan gimnastik sebagai
penertib dan penyelarasnya. Bagi mereka, dalam kehidupan bersama, persahabatan
dan persaudaraan semua orang merupakan nilai tertinggi. Pemikiran yang demikian
kemudian disambung oleh pemikiran Democritus (460-371 SM) yang mengajarkan
suatu aturan kehidupan bahwa manusia hendaknya mengusahakan keadilan. Dan
masih menurut Democritus, nilai tertinggi dala kehiduoan adalah pencapaian pada apa
yang enak (yang kemudian menjadi sebuah kerangka untuk berkembangnya
hedonisme).

Idea yang baik kemudian menuntun manusia untuk hidup secara baik.
Bagaimana hidup yang baik itu dicapai ? Disinilah kemudian etika Yunani akan
berbeda dengan etika-etika modern dalam menunjukkan jawaban atas bagaimana
hidup yang baik itu. Dalam etika Yunani, tujuannya adalah menemukan aturan dan
arahan agar kehidupan manusia dapat terasa utuh dan bulat, tidak hanya asal
mempertahankan kehidupannya, tetapi juga mencapai hidup yang bernilai, berhasil,
tidak percuma dan bermakna. Untuk itu hidup yang baik dicapai dengan etika
kebijaksanaan, bukan etika kewajiban. Orang bijaksana tidak perlu dipaksa, karena ia
akan bertindak dengan memperhatikan arahan-arahan hidup yang lebih bermutu.
Orang bijaksana tentunya dapat memahami kesatuan hidupnya dengan seluruh
kosmos dan realitas. Pemahaman yang demikianlah yang pada akhirnya
mengantarkan orang bijaksana bersikap terbuka.

Plato juga mengemukakan bahwa orang itu baik bila dikuasai oleh akal budi,
sementara orang itu buruk bila dikuasai oleh keinginan dan hawa nafsu. Atas dasar ini
maka apabila seseorang mau mencapai suatu hidup yang baik, tenang, bersatu, dan
bernilai, maka seseorang tersebut harus membebaskan diri dari kekuatan irrasional
hawa nafsu dan emosi serta mengarahkan diri menurut akal budi.
Sementara itu pemikiran besar lainnya di era Yunani ini datang dari Aristoteles (384-
322 SM). Dia dikenal sebagai pemikir pertama yang mengidentifikasikan dan
mengutarakan etika secara kritis, refleksif, dan argumentatif (Suseno, dalam Ludigdo,
2007), dan juga dianngap sebagai filosof moral pertama dalam arti sebenarnya. Selain
itu dia juga menjadipendiri etika sebagai ilmu atau cabang filsafat yang mandiri.
Walaupun Aristoteles adalah murid Plato, ia menolak ajaran tentang idea dari gurunya
tersebut. Menurut Aristoteles, ajaran Plato tentang idea merupakan interpretasi salah
terhadap kenyataan bahwa manusia dapat membentuk konsep-konsep universal
tentang hal yang empiris yang mana untuk menjelaskan ini tidak perlu menerima alam
idea yang abadi. Dengan bertolak dari realitasnya sendiri, manusia dapat mencapai
kehidupannya yang bermutu. Manusia tidak perlu melakukan kontemplasi ataupun
penyatuan dengan idea yang baik sebagaimana diajarkan oleh Plato. Pendekatan
Aristoteles adalah empiris, di mana ia bertolak dari realitas nyata inderawi.

Hidup yang baik bagi manusia, menurut Aristoteles, adalah apabila ia


mencapai apa yang menjadi tujuannya. Dengan mencapai tujuan hidupnya, maka
manusia telah mencapai dirinya dengan sepenuhya. Apapun tujuan hidup manusia
adalah demi sesuatu yang baik dan bernilai, dan nilai inilah yang menjadi tujuan.
Sesuatu yang bernilai adalah yang dapat mengantarkan manusia mencapai
kebahagiaan. Oleh karena kebahagiaan merupakan puncak pencapaian manusia, maka
tujuan akhir dari hidup manusia adalah mencapai kebahagaiaan bagi diri manusia
tersebut. Pencapai kebahagiaan manusia terjadi melalui suatu tindakan. Tanpa
tindakan manusia tidak mungkin berbahagia. Tindakan yang membawa pada
pencapaian kebahagiaan adalah tundakan yang melibatkan bagian jiwa yang berakal
budi.

Hal lain yang menarik dari pemikiran aristoteles ini adalah tiadanya
pengetahuan yang pasti mengenai tindakan manusia. Tentang ini Suseno (dalam
Ludigdo, 2002) menjelaskan pandangan Aristoteles tersebut :

“ Etika tidak mungkin menetapkan dengan tepat bagaimana manusia harus bertindak.
Tugas etika bukan menyediakan daftar pertanyan yang dapat dilaksanakan seakan-
akan dengan mata tertutup, melainkan menyediakan semacam visi dan perspektif.
Orang yang memiliki perspektif itu akan menemukan bagaimana ia harus bertindak
dalam situasi konkrit. Perspektif itu disebut dengan “pengertian yang tepat”.
Bertindak secara etis berarti bertindak menurut pengertian yang tepat itu”

Bagaimanapun “pengertian yang tepat” bukanlah tolak ukur yang terurai,


melainkan lebih merupakan sikap batin atau ketajaman akal etis untuk memahami
tindakan mana yang dalam situasi tertentu paling tepat. Betapa dalam hal yang
demikian pengasahan rasa dan batin menjadi suatu keharusan. Hanya karena dengan
cara itulah menjadi manusia yang berpengertian dengan tepat dapat dicapai. Bertolak
dari pandangan demikian, tepat pula bila pemikiran Aristoteles disebut dengan etika
kebijaksanan (Suseno, dalam Ludigdo, 2007).

Sementara itu pemikiran Epikorus (314-270 SM) tentang etika berangkat dari
perlawannya terhadap belenggu kebebasan manusia. Manusia, karena pandangan
dunianya yang mekanistis, telah terbelenggu oleh takdir dan mitos-mitos keagamaan.
Atas dasar ini kaum Epikorean bertekad untuk menyelamatkan manusia dari budak
takdir, ketakutannya terhadap dewa-dewa, dan mitos-mitos keagamaan. Oleh
karenanya kaum Epikorean ini dikenal juga sebagai penganut kebebasan berkehendak.
Dengan kebebasannya kemudian manusia menuju kepada kebahagiaannya. Dan
kebahagiaan inilah yang merupakan inti ajaran moral Epikorus. Kebahagiaan yang
dimaksud adalah yang menghasilkan nikmat. Dengan demikian yang dianggap baik
secara moral adalah yang menghasilkan nikmat. Pengertian nikmat di sini adalah
bersifat rohani dan luhur daripada jasmani. Oleh karenanya hakikat nikmat adalah
ketentraman jiwa yang tenang, yang bebas dari ketakutan dan kerisauan. Dengan
demikian pengertian tentang nikmat ini berbeda dengan pengertian etika moderen
sebagaimana dipahami dalam hedonisme.

Pemikiran besar terakhir dari Yunani klasik berasal dari kaum Stoa. Aliran
Stoa ini dikembangkan oleh para filosof dalam rentang abad ke-3 SM sampai abad ke-
3 M. Aliran filsafat ini berakar dari pandangan dunia yang monoistik, yaitu kesatuan
antara materiil, ilahi, dan rasional. Dengan ini, maka yang terjadi di alam semesta
berlaku determinisme mutlak, di mana segala apapun yang terjadi secara pasti dan
seluruhnya berada di bawah takdir.

Di dalam pemikiran etika, ajaran stoa dapat dipahami sebagai seni hidup yang
menunjukkan jalan ke kebahagiaan. Kebahagiaan ini dicapai dengan keberhasilan
hidup manusia, dan hidup manusia berhasil apabila ia dapat mempertahankan diri.
Dengan ini maka prinsip dasar dari etika stoa adalah penyesuaian diri dengan hukum
alam. Kebebasan pun dapat dicapai jika manusia itu secara sadar dan rela
menyesuaikan diri dalam hukum alam. Dengan menyesuaikan diri atau tunduk pada
alam maka manusia hanya tunduk pada dirinya sendiri, dan oleh karenanya apapun
yang terjadi pada dirinya adalah kehendaknya sendiri. Dalam tekad kehendak untuk
melakukan kewajiban, stoa meletakkan kebahagaiaan dalam keutamaan moral.
Keutamaan-keutamaan moral yang ditanamkan stoa adalah kebijaksanaan moral,
keberanian, penguasaan diri, dan kemanusiaan.

Namun demikian, dewasa ini diskusi tentang etika pada tataran teoritis
kebanyakan lebih merujuk pada dua pengelompokan besar, yaitu etika teleologi dan
etika deontologi. Dua aliran besar ini telah menjadi mainstream dalam mencari
pedoman untuk mengembangkan praktik etika. Bagaimanapun dua aliran pemikiran
besar ini bertautan dengan pemikiran-pemikiran klasik di atas, walaupun di dalamnya
telah tereduksi pemahaman modern yang sekuler semenjak abad pertengahan atau
abad pencerahan di Eropa. Reduksi ini terutama berkaitan dengan pandangan
pemikiran klasik atas dunia yang tidak terlepas dari keberadaan Tuhan. Demikian
halnya kemudian dari dua kutub pemikiran tersebut berkembang dalam keragaman
alira pemikiran etika berikutnya, dengan karakteristiknya.

Etika teleologi dikembangkan terutama oleh tokoh-tokoh besar pemikiran


etika dari Eropa seperti Jeremy Bentham (1748-1832) dan John Stuart Mill (1806-
1873). Etika teleologi ini juga dikenal sebagai etika konsekuensialisme, dan
mempunyai pandangan mendasar bahwa suatu tindakan dinilai baik atau buruk
berdasarkan tujuan atau akibat dilakukannya tindakan tersebut. Dalam hal ini Keraf &
Imam (dalam Ludigdo, 2007) memberikan sebuah contoh di mana tidak selamanya
mencuri selaludinilai sebagai tindakan buruk. Baik buruknya penilaian ini tidak
didasarkan atas baik buruknya tindakan itu sendiri, melainkan ditentukan oleh tujuan
dan akibat dari tindakan tersebut. Dengan demikian mencuri dapat dinilai baik jika
tujuan dan akibatnya adalah baik.

Oleh karena tidak mudah menilai baik buruknya tujuan atau akibat suatu
tindakan dalam kerangka etika telelologi, maka muncullah varian darinya yaitu
egoisme dan utilitarainisme (Keraf & Imam, dalam Ludigdo, 2007). Etika egoisme
menilai baik buruknya tindakan dari tujuan dan manfaat tindakan tersebut bagi
pribadi-pribadi. Landasan pemikiran ini adalah bahwa satu-satunya tujuan moral
setiap pribadi adalah untuk mengejar kepentingannya dan memajukan dirinya sendiri.
Pada akhirnya egosime cenderung menjadi hedonisme, di mana tindakan baik atau
buruk dinilai berdasarkan kebahagiaan atau kesenangan yang diakibatkannya.
Kebahagiaan dan kesenangan tersebut biasanya bersifat lahiriah dan diukur
berdasarkan kebahagiaan dan kesenangan yang berupa materi. Di sinilah kemudian
pemikiran materialisme menjadi berkembang.

Sementara itu utilitarianisme berkebalikan dari egoisme. Utilitarianisme


berpandangan bahwa baik atau buruknya suatu tindakan seseorang didasarkan atas
tujuan atau akibat bagi kebanyakan orang (Keraf & Imam, dalam Ludigdo, 2007).
Bagi seorang, dia akan mendaoat kebahagiaan jika dia melakukan tindakan atas
motivasi dasar untuk mengejar akibat baik yang sebesar mungkin bagi sebanyak
mungkin pihak yang terlibat. Ada dua hal yang positif dari pemikiran utilitarianisme
ini, yaitu menyangkut rasionalitas dan universalitasnya. Dalam hal rasionalitas, suatu
tindakan dipilih dan pada gilirannya baik karena tindakan itu mendatangkan akibat
baik yang lebih banyak daripada tindakan lainnya. Sedangkan universalitasnya
berhubungan dengan alasan bahwa akibat atau nilai yang hendak dicapai diukur
berdasarkan banyaknya orang atau pihak yang memperoleh manfaat dari suatu
tindakan.

Aliran besar pemikiran etika kedua adalah deontologi. Tokoh besar aliran ini
adalah Immanuel Kant (1724-1804), sehingga disebut juga sebagai Kantianisme.
Selain disebut Kantianisme, aliran ini juga disebut etika non-konsekuensialisme,
karena penekanannya pada kewajiban maka pemikiran ini sebagai etika kewajiban.
Pandangan dasar dari pemikiran etika ini adalah bahwa penilaian baik atau buruknya
suatu tindakan didasarkan pada penilaian apakah tindakan tersebut sebagai baik atau
buruk. Baik atau buruknya tindakan tidak terlepas dari motivasi, kemauan baik, dan
watak si pelaku. Demikian halnya tindakan baik adalah suatu kewajiban. Suatu
tindakan baik dilakukan bukan saja sesuai dengan kewajiban, tetapi juga dijalankan
demi kewajiban pula. Atas pandangan demikian, Keraf & Imam (dalam Ludigdo,
2007) menyebutkan bahwa Kant merumuskan tiga prinsip pandangan etiknya :
(1) Supaya suatu tindakan mempunyai nilai moral, maka tindakan itu harus dijalankan
berdasarkan kewajiban,

(2) Nilai moral dari tindakan itu tidak tergantung pada tercapainya tujuan dari
tindakan tersebut melainkan hanya tergantung pada kemauan baik yang
mendorong seseorang untuk melakukan tindakan, dan

(3) Sebagai konsekuensi dari kedua prinsip tersebut, kewajiban adalah hal yang
niscaya dari tindakan yang dilakukan berdasarkan hormat pada diri sendiri.

Betapun demikian kedua aliran besar dalam pemikiran etika ini masih menyisakan
beberapa persoalan. Dengan teleologi, kinerja moral seseorang akan dinilai baik jika
tujuan dan manfaat dari tindakan yang diambilnya baik. Dalam hal ini terdapat
persoalan bagaiamana hal demikian jika berangkat dari niat yang tidak baik dan juga
dilakukan dengan tidak baik. Sebaiknya dalam deontologi, kinerja moral seseorang
dinilai baik jika niatnya baik dan oleh karena kewajiban untuk berbuat baik. Tetapi
bagaimana jika akibat dari tindakan ini tidak baik. Persoalan-persoalan demikianlah
yang pada akhirnya menghadang kesempurnaan aliran-aliran etika ini.

Singkatnya etika dapat diartikan sebagai ilmu tentang apa yang biasa
dilakukan atau ilmu kebiasaan (Bertens, 2001:4). Hal senada juga diungkap oleh
Suseno (1988:6) dalam etika Jawanya yang menyatakan bahwa etika dalam arti
sebenarnya berarti "filsafat mengenai bidang moral". Jadi etika merupakan ilmu atau
refleksi sistematik mengenai pendapat-pendapat, norma-norma, dan istilah-istilah
norma.

Etika merupakan ilmu yang menyelidiki tingkah laku moral dimana dalam
penyelidikan tersebut dilakukan dengan tiga pendekatan. Tiga pendekat tersebut
adalah:

(1) Etika Deskriftif. etika yang mencoba menggambarkan/ melukiskan tingkah laku
moral dalam arti luas, misalnya adat kebiasaan, anggapan tentang baik buruk.

(2) Etika normatif. Etika ini dibagi menjadi dua etika normatif umum dan etika
normatif khusus. Etika normatif umum mencoba memandang tema-tema umum
sebagai obyek penyelidikannya. Sedangkan etika normatif khusus berusaha
menerapkan prinsip-prinsip etis yang umum atas wilayah perilaku manusia yang
khusus.

(3) Metaetika. Etika ini mempelajari logika khusus dari ucapan-ucapan etis.

BAB II

ISI

2.1 Kode Etik Profesional

Fenomena akan keberadaan kode etik keprofesian merupakan hal yang


menarik untuk diperhatikan. Hal ini terutama jika dikaitkan dengan besarnya tuntutan
publik terjadap dunia usaha yang pada umumnya mengedepankan etika dalam
menjalankan akifitas bisnisnya. Tuntutan ini kemudian direspon dengan antara lain
membuat kode etik atau kode perilaku. Scwhartz (dalam Ludigdo, 2007)
menyebutkan kode etik sebagai dokumen formal yang tertulis dan membedakan yang
terdiri dari standar moral untuk membantu mengarahkan perilaku karyawan dan
organisasi. Sementara fungsinya adalah sebagai alat untuk mencapai standar etis yang
tinggi dalam bisnis (kavali., dkk, dalam Ludigdo, 2007). Atau secara prinsip sebagai
petunjuk atau pengingat untuk berprilaku secara terhormat dalam situasi-situasi
tertentu.

Suatu rumudan kode etik seharusnya merefleksikan standar moral universal.


Standar moral universal tersebut menurut Scwhartz (dalam Ludigdo, 2007) meliputi :

a. Trustworthiness (meliputi honesty, integrity, reliability, dan loyality)

b. Respect (meliputi perlindungan dan perhatian atas hak azasi manusia)

c. Responsibility (meliputi juga accountability)

d. Fairness (meliputi penghindaran dari sifat tidak memihak, dan mempromosikan


persamaan)

e. Caring (meliputi misalnya penghindaran atas tindakan-tindakan yang merugikan


dan tidak perlu)
f. Citizenship (meliputi penghormatan atas hukum dan perlindungan lingkungan)

Selanjutnya ada beberapa alasan mengapa kode etik perlu untuk dibuat.
Beberapa alasan tersebut adalah (Adams., dkk, dalam Ludigdo, 2007) :

a. Kode etik merupakan suatu cara untuk memperbaiki iklim organisasional sehingga
individu-individu daoat berperilaku secara etis.

b. Kontrol etis diperlukan karena sistem legal dan pasar tidak cukup mampu
mengarahkan perilaku organisasi untuk mempertimbangkan dampak moral dalam
setiap keputusan bisnisnya.

c. Perusahan memerlukan kode etik untuk menentukan status bisnis sebagai sebuah
profesi, dimana kode etik merupakan salah satu penandanya.

d. Kode etik dapat juga dipandang sebagai upaya menginstitusionalisasikan moral dan
nilai-nilai pendiri perusahaan, sehingga kode etik tersebut menjadi bagian dari
budaya perusahaan dan membantu sosialisasi individu baru dalam memasuki
budaya tersebut.

e. Kode etik merupakan sebuah pesan.

Profesional dalam melakukan pekerjaan untuk kepentingan publik (pihak yang


membutuhkan) dibutuhkan etika mengenai profesi. Penyusunan etika profesional pada
setiap profesi biasanya dilandasi kebutuhan profesi tersebut tentang kepercayaan
masyarakat terhadap mutu jasa yang diserahkan oleh profesi (Mulyadi dan Kanaka,
1999: 45).

Kode etik yang dapat mencapai sasaran yang diinginkan, kode etik tersebut
harus memiliki empat komponen. Empat komponen tersebut meliputi:

(1) Prinsip-prinsip, yaitu standar ideal daari perilaku etis yang dapat dicapai dalam
terminologi filosofis. Dalam dunia auditing, prinsip-prinsip tersebut meliputi:
tanggungjawab, kepentingan masyarakat, integritas, obyektivitas dan
independensi, kemahiran serta lingkup dan sifat jasa.
(2) Peraturan perilaku, yakni standar minimum perilaku etis yang ditetapkan sebagai
peraturan khusus.

(3) Interprestasi

(4) Ketetapan etika yaitu penjelasan dan jawaban yang diterbitkan guna menjawab
pertanyaan-pertanyaan peraturan perilaku yang terjadi.

2.2 Kode Etik Profesi Akuntan Indonesia

Bagi praktik Akuntan di Indonesia kebutuhan akan etika dipenuhi oleh


organisasi proesi yang berkaitan dengan hal tersebut yakni Ikatan Akuntan Indonesia
(IAI). Historis kode etik yang dikeluarkan oleh IAI adalah sebagai berikut:

(1) Kongres tahun 1973: Penetapan kode etik bagi profesi akuntan di Indonesia.

(2) Kongres tahun 1981 dan tahun 1986: Penyempurnaan kode etik, nama kode etik
sebelum tahun 1986 adalah Kode etik IAI dan kongres tahun 1986 mengubah nama
tersebut dengan Kode etik Akuntan Indonesia sampai sekarang.

(3) Kongres tahun 1990 dan tahun 1994: Penyempurnaan kode etik.

Akuntan merupakan profesi yang keberadannya sangat tergantung pada


kepercayaan masyarakat. Sebagai sebuah profesi yang kinerjanya diukur dari
profesionalismenya, akuntan harus memiliki keterampilan, pengetahuan, dan karakter.
Penguasaan keterampilan dan pengetahuan tidaklah cukup bagi akuntan untuk
menjadi profesional. Karakter diri yang dicirikan oleh ada dan tegaknya etika profesi
merupakan hal penting yang harus dikuasainya pula.

Etika profesi akuntan di Indonesia dikodifikasikan dalam bentuk kode etik,


yang mana struktur kode etik ini meliputi prinsip etika, aturan etika, dan interpretasi
aturan etika. Struktur yang demikian itu setidaknya memberikan gambaran akan
kebutuhan minimal bagi profesi akuntan untuk memberi jasa yang efektif kepada
masyarakat. Terkait dengan hal tersebut Brooks (dalam Ludigdo, 2007) menyebutkan
bahwa dalam suatu pedoman akuntan yang dibuat seharusnya berisi beberapa poin
pokok. Beberapa poin pokok tersebut adalah :
1. Spesifikasi alasan aturan-aturan umum yang berhubungan dengan :

a. Kompetensi teknis

b. Kehati-hatian

c. Obyektifitas

d. Integritas

2. Memberikan respon :

a. Untuk berperilaku memenuhi kepentingan berbagai kelompok dalam masyarakat

b. Untuk memecahkan konflik antara berbagai pihak yang berkepentingan, dan antara
pihak yang berkepentingan dan akuntan.

3. Memberikan dukungan atau perlindungan bagi akuntan yang akan “melakukan


sesuatu dengan benar” (misalnya dengan kode dan laporan masalah etisnya)

4. Menspesifikasikan sanksi secara jelas hingga konsekuensi dari kesalahan akan


dipahami.

Dalam kongres V Ikatan Akuntansi Indonesia (IAI) di Surabaya 20-30 Agustus


1986, telah berhasil disahkan butir-butir kode etik profesi akuntan. Kode etik yang
dibentuk pada tahun tersebut terdiri dari tiga bagian utama, yaitu :

1. Untuk profesi akuntan secara umum

2. Khusus untuk akuntan publik, dan

3. Penutup

Mukadimah prinsip etika profesi akuntan antara lain menyebutkan bahwa


dengan seorang akuntan mempunyai kewajiban untuk menjaga disiplin diri melebihi
yang disyaratkan oleh hukum dan peraturan yang berlaku. Selain itu prinsip ini
meminta komitmen untuk berperilaku terhormat, bahkan dengan pengorbanan
keuntungan pribadi. Sementara itu prinsip etika akuntan atau kode etik akuntan itu
sendiri meliputi delapan butir pernyataan (IAI, 1998, dalam Ludigdo, 2007).
Kedelapan butir pernyataan tersebut merupakan hal-hal yang seharusnya dimiliki oleh
seorang akuntan. Delapan butir tersebut terdeskripsikan sebagai berikut :

1. Tanggung jawab profesi :

Bahwa akuntan di dalam melaksanakan tanggungjawabnya sebagai profesional harus


senantiasa menggunakan pertimbangan moral dan profesional dalam semua kegiatan
yang dilakukannya.

2. Kepentingan publik :

Akuntan sebagai anggota IAI berkewajiban untuk senantiasa bertindak dalam


kerangka pelayanan kepada publik, menghormati kepentingan publik, dan
menunjukkan komitmen atas profesionalisme.

3. Integritas :

Akuntan sebagai seorang profesional, dalam memelihara dan meningkatkan


kepercayaan publik, harus memenuhi tanggung jawab profesionalnya tersebut dengan
menjaga integritasnya setinggi mungkin.

4. Obyektifitas :

Dalam pemenuhan kewajiban profesionalnya, setiap akuntan sebagai anggota IAI


harus menjaga obyektifitasnya dan bebas dari benturan kepentingan.

5. Kompetensi dan kehati-hatian profesional :

Akuntan dituntut harus melaksanakan jasa profesionalnya dengan penuh kehati-


hatian, kompetensi, dan ketekunan, serta mempunyai kewajiban untuk
mempertahankan pengetahuan dan keterampilan profesionalnya pada tingkat yang
diperlukan untuk memastikan bahwa klien atau pemberi kerja memperoleh manfaat
dari jasa profesional yang kompeten berdasarkan perkembangan praktik, legislasi, dan
teknik yang paling mutakhir.

6. Kerahasiaan :
Akuntan harus menghormati kerahasiaan informasi yang diperoleh selama melakukan
jasa profesional dan tidak boleh memakai atau mengungkapkan informasi tersebut
tanpa persetujuan, kecuali bila ada hak atau kewajiban profesional atau hukum untuk
mengungkapkannya.

7. Perilaku profesional :

Akuntan sebagai seorang profesional dituntut untuk berperilaku konsisten selaras


dengan reputasi profesi yang baik dan menjauhi tindakan yang dapat mendiskreditkan
profesinya.

8. Standar teknis :

Akuntan dalam menjalankan tugas profesionalnya harus mengacu dan mematuhi


standar teknis dan standar profesional yang relevan. Sesuai dengan keahliannya dan
dengan berhati-hati, akuntan mempunyai kewajiban untuk melaksanakan penugasan
dari penerima jasa selama penugasan tersebut sejalan dengan prinsip integritas dan
obyektifitas.

Untuk memberikan pedoman etika yang spesifik di bidang etika profesi


akuntan publik , IAI Kompartemen Akuntan Publik (IAI-KAP) telah menyusun aturan
etika . dalm hal keterterapan aturan ini mengharuskan anggota IAI-KAP dan staf
profesional (baik yang anggota maupun yang bukan anggota IAI-KAP) yang bekerja
di suatu kantor akuntan publik untuk mematuhinya. Aturan etika ini meliputi
pengaturan tentang :

1. Independensi, Integritas, dan Obyektifitas.

Indenpendensi

Dalam menjalankan tugasnya anggota KAP harus selalu mempertahankan sikap


mental independen di dalam memberikan jasa profesional sebagaimana diatur
dalam Standar Profesional Akuantan Publik yang ditetapkan olh IAI. Sikap
mental independen tersebut harus meliputi independen dalam fakta (infacts)
maupun dalam penampilan (in appearance).
Independen berarti bebas dari pengaruh, tidak dikendalikan oleh pihak lain dan
tidak tergantung pada orang lain. Tiga aspek dalam independensi auditor, yaitu:

(a) Independensi dalam diri auditor (independence in fact): kejujuran dalam diri
auditor dalam mempertimbangkan berbagai faktor dalam audit finding.

(b) Independensi dalam penampilan (perceived independence). Independensi ini


merupakan tinjauan pihak lain yang mengetahui informasi yang
bersangkutan dengan diri auditor.

(c) Independensi di pandang dari sudut keahliannya. Keahlian juga merupakan


faktor independensi yang harus diperhitungkan selain kedua independensi
yang telah disebutkan. Dengan kata lain auditor dapat mempertimbangkan
fakta dengan baik yang kemudian ditarik menjadi suatu kesimpulan jika ia
memiliki keahliam mengenai hal tersebut.

Integritas dan Obyektifitas

Integritas adalah auditor yang memiliki kemampuan untuk mewujudkan apa


yang diyakini kebenarannya tersebut kedalam kenyataan.

Obyektifitas adalah unsur karakter yang menunjukkan kemampuan seseorang maupun


menyatakan kenyataan sebagaimana adanya, terlepas dari kepentingan pribadi
maupun kpentingan pihak lain.

Dalam menjalankan tugasnya anggota KAP harus mempertahankan integritas dn


obyektivitas, harus bebas dari benturan kepentingan (conflict of interest) dan
tidak boleh mmebiarkan faktor salah saji material (material misstatement) yang
diketahuinya atau mengalihkan (mensubordinasikan) pertimbangannya kepada
pihak lain.

2. Standar Umum dan Prinsip Akuntansi

Standar Umum

Anggota KAP harus mematuhi standar berikut ini beserta interprestasi yang terkait
yang dikeluarkan oleh badan pengatur standar yang ditetapkan IAI, antara lain:
a. Kompetensi Profesional

Anggota IAI hanya boleh melakuan pemberian jasa profesional yang secara
layak (reasonable) diharapkan dapat diselesaikan dengan kompetensi
profesional.

b. Kecermatan dan keseksamaan profesional

Anggota KAP wajib melakukan pemberian jasa profesional dengan


kecermatan dan keseksamaan profesional.

c. Perencanaan dan Supervisi

Anggota KAP wajib merencanakan dan mensuvervisi secara memadai setiap


pelaksanaan pemberian profesi jasa profesional.

d. Data relevan yang memeadai

Anggota KAP wajib memperoleh data relevan yang memadai untuk menjadi
dasar yang layak bagi kesimpulan atau rekomendasi sehubungan dengan
pelaksanaan jasa profesionalnya.

e. Kepatuham terhadap standar

Anggota KAP yang melaksanakan penugasan jasa audititing, atestasi,


review, kompilasi, konsultasi manajemen, perpajakan atau jasa profesional
lainnya, wajib mematuhi standar yang dikeluarkan oleh badan pengatur
standar yang ditetapkan oleh IAI.

Prinsip-Prinsip Akuntansi

Anggota KAP tidak diperkenankan:

(1) Menyatakan pendapat atau memberikan penegasan bahwa laporan keuangan


atau data keuangan lain suatu entitas disajikan sesuai dengan prinsip
akuntansi yang berlaku umum atau
(2) Menyatakan bahwa ia tidak menemukan perlunya modifikasi material yang
harus dilakukan terhadap laporan atau data tersebut agar sesuai dengan
prinsip akuntansi yang berlaku, apabila laporan tersebut memuat
penyimpangan yang berdampak material terhadap laporan atau data secara
keseluruhan dari prinsip-prinsip akuntansi yang diterapkan oleh badan
pengatur standar yang ditetapkan IAI. Dalam keadaan luar biasa, laporan
atau data mungkin memuat penyimpangan seperti tersebut di atas. Dalam
kondisi tersebut anggota KAP dapat tetap mematuhi ketentuan dalam butir
ini selama anggota KAP dapat menunjukkan bahwa laporan atau data akan
menyesatkan apabila memuat penyimpangan seperti itu, dengan cara serta
alasan mengapa kepatuhan prinsip akuntansi yang berlaku umum akan
menghasilkan laporan yang menyesatkan.

3. Tanggungjawab kepada Klien

Informasi klien yang rahasia

Anggota KAP tidak diperkenankan mengungkapkan informasi klien yang


rahasia, tanpa persetujuan dari klien.

Ketentuanya tidak dimaksudkan untuk:

(1) Membebaskan anggota KAP dari kewajiban profesionalnya sesuai dengan


aturan etika kepatuhan terhadap standar dan prinsip-prinsip akuntansi

(2) Mempengaruhi kewajiban anggota KAP dengan cara apapun untuk


mematuhi peraturan perundangan-undangan yang berlaku seperti
panggilan resmi penyidikan pejabat pengusut atau melarang kepatuhan
anggota KAP terhadap ketentuan peraturan yang berlaku,

(3) Melarang review praktik profesional (review mutu) seorang anggota sesuai
dengan kewenangan IAI atau

(4) Menghalangi anggota dari pengajuan pengaduan keluhan atau pemberian


komentar atas penyidikan yang dilakukan oleh badan yang dibentuk IAI-
KAP dalam rangka pengecekan disiplin anggota.
Fee profesional

a. Besaran fee

Besarnya fee anggota dapat bervariasi tergantung antara lain: risiko penugasan,
kompleksitas jasa yang diberikan, tingkat keahlian yang diperlukan untuk
melaksanakan jasa tersebut, struktur biaya KAP yang bersangkutan dan
pertimbangan profesional lainnya.

b. Fee kontinjensi

Fee kontinjensi adalah fee yang ditetapkan untuk pelaksanaan suatu jasa profesional
tanpa adanya fee yang akan dibebankan, kecuali ada temuan atau hasil
tertentu dimana jumlah fee tergantung pada temuan atau hasil tertentu
tersebut. Fee dianggap tidak kontinjensi jika ditetapkan oelh pengadilan
atau badan pengatur atau dalam hal perpajkan, jika dasar penetapan adalah
hasil penyelesaian hukum atau temuan dadan pengatur.

Anggota KAP tidak diperkenankan untuk menetapkan fee kontinjensi


apabila penetapan tersebut dapat mengurangi independensi.

4. Tanggungjawab kepada Rekan Seprofesi

Dengan tidak melakukan perkataan dan perbuatan yang dapat merusak reputasi rekan
seprofesi.

Komunikasi antar akuntan publik

Anggota wajib berkomunikasi tertulis dengan akuntan publik pendahulu bila


akan mengadakan perikatan (engagement) audit menggantikan akuntan publik
pendahulu atau untuk tahun buku yang sama ditunjuk akuntan publik lain
dengan jenis dan periode serta tujuan yang berlainan.

Akuntan publik pendahulu wajib menanggapi secra tertulis permintaan komunikasi


dari akuntan pengganti secara memadai.

Perikatan Atestasi
Akuntan publik tidak diperkenankan mengadakan perikatan atestasi yang jenis
atestasi dan periodenya sama dengan perikatan yang dilakukan oleh akuntan
yang lebih dahulu di tunjuk klien, kecuali apabila perikatan tersebut
dilaksanakan untuk memenuhi ketentuan perundang-undangan atau aturan yang
di buat oleh badan berwenang.

5. Tanggung jawab dan praktik lain

Perbuatan dan Perkataan yang Mendeskreditkan

Anggota tidak diperkenankan melakukan tindakan dan/ atau mengucapkan


perkataan yang mencemarkan profesi.

Iklan, Promosi dan Kegiatan Pemasaran Lainnya

Anggota dalam menjalankan praktik akuntan publik diperkenankan mencari


klien melalui pemasangan iklan, melakukan promosi pemasaran dan kegiatan
pemasaran lainnya sepanjang tidak tidak merendahkan citra profesi.

Komisi dan Fee referal

a. Komisi

Komisi adalah imbalan dalam bentuk uang atau barang atau bentuk lainnya
yang diberikan atau diterima kepada/ dari klien/ pihak lain untuk
memperoleh penugasan dari klien/ pihak lain.

b. Fee referal (rujukan)

Fee referal (rujukan) adalah imbalan yang dibayarkan/ diterima kepada/ dari
sesama penyedia jasa profesional akuntan publik.

Bentuk Organisasi dan nama KAP

Anggota hanya dapat berpraktik dalam bentuk organisasi yang diizinkan oleh
peraturan perundang-undangan yang berlaku dan/ atau yang tidak menyesatkan
dan merendahkan citra profesi.
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Etika dapat diartikan sebagai ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu
kebiasaan sedangkan etika merupakan ilmu yang menyelidiki tingkah laku moral
dimana dalam penyelidikan tersebut dilakukan dengan tiga pendekatan. Tiga
pendekatan tersebut adalah pendekatan etika deskriftif, etika normatif dan metaetika.

Kode etik harus memiliki empat komponen, yaitu Prinsip – prinsip, Peraturan
perilaku, Interprestasi dan Ketetapan etika.

Sementara itu prinsip etika akuntan atau kode etik akuntan itu sendiri meliputi
delapan butir pernyataan (IAI, 1998, dalam Ludigdo, 2007). Kedelapan butir
pernyataan tersebut merupakan hal-hal yang seharusnya dimiliki oleh seorang
akuntan. Delapan butir tersebut adalah tanggungjawab profesi, kepentingan publik,
intergritas, obyektifitas, kompetensi dan kehati – hatian profesional, kerahasiaan,
perilaku profesional, dan standar teknis.

Daftar Pustaka :

Sungguh, A (2004) 25 Etika Profesi. Jakarta : Sinar Grafika

Ludigdo, U (2007) Paradoks Etika Akuntan. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

www. Google.com

Anda mungkin juga menyukai