Makalah Kode Etik Auditor
Makalah Kode Etik Auditor
http://marisaicha.blogspot.com/2009/12/makalah-kode-etik-auditor.html
BAB I
PENDAHULUAN
Seperti halnya profesi-profesi yang lain, Akuntan juga mempunyai kode etik
yang digunakan sebagai rambu-rambu atau batasan-batasan ketika seorang Akuntan
menjalankan perannya. Pemahaman yang cukup dari seorang Akuntan tentang kode
etik, akan menciptakan pribadi Akuntan yang profesional, kompeten, dan berdaya
guna. Tanpa adanya pemahaman yang cukup tentang kode etik, seorang Akuntan akan
terkesan tidak elegan, bahkan akan menghilangkan nilai esensial yang paling tinggi
dari profesinya tersebut.
Idea yang baik kemudian menuntun manusia untuk hidup secara baik.
Bagaimana hidup yang baik itu dicapai ? Disinilah kemudian etika Yunani akan
berbeda dengan etika-etika modern dalam menunjukkan jawaban atas bagaimana
hidup yang baik itu. Dalam etika Yunani, tujuannya adalah menemukan aturan dan
arahan agar kehidupan manusia dapat terasa utuh dan bulat, tidak hanya asal
mempertahankan kehidupannya, tetapi juga mencapai hidup yang bernilai, berhasil,
tidak percuma dan bermakna. Untuk itu hidup yang baik dicapai dengan etika
kebijaksanaan, bukan etika kewajiban. Orang bijaksana tidak perlu dipaksa, karena ia
akan bertindak dengan memperhatikan arahan-arahan hidup yang lebih bermutu.
Orang bijaksana tentunya dapat memahami kesatuan hidupnya dengan seluruh
kosmos dan realitas. Pemahaman yang demikianlah yang pada akhirnya
mengantarkan orang bijaksana bersikap terbuka.
Plato juga mengemukakan bahwa orang itu baik bila dikuasai oleh akal budi,
sementara orang itu buruk bila dikuasai oleh keinginan dan hawa nafsu. Atas dasar ini
maka apabila seseorang mau mencapai suatu hidup yang baik, tenang, bersatu, dan
bernilai, maka seseorang tersebut harus membebaskan diri dari kekuatan irrasional
hawa nafsu dan emosi serta mengarahkan diri menurut akal budi.
Sementara itu pemikiran besar lainnya di era Yunani ini datang dari Aristoteles (384-
322 SM). Dia dikenal sebagai pemikir pertama yang mengidentifikasikan dan
mengutarakan etika secara kritis, refleksif, dan argumentatif (Suseno, dalam Ludigdo,
2007), dan juga dianngap sebagai filosof moral pertama dalam arti sebenarnya. Selain
itu dia juga menjadipendiri etika sebagai ilmu atau cabang filsafat yang mandiri.
Walaupun Aristoteles adalah murid Plato, ia menolak ajaran tentang idea dari gurunya
tersebut. Menurut Aristoteles, ajaran Plato tentang idea merupakan interpretasi salah
terhadap kenyataan bahwa manusia dapat membentuk konsep-konsep universal
tentang hal yang empiris yang mana untuk menjelaskan ini tidak perlu menerima alam
idea yang abadi. Dengan bertolak dari realitasnya sendiri, manusia dapat mencapai
kehidupannya yang bermutu. Manusia tidak perlu melakukan kontemplasi ataupun
penyatuan dengan idea yang baik sebagaimana diajarkan oleh Plato. Pendekatan
Aristoteles adalah empiris, di mana ia bertolak dari realitas nyata inderawi.
Hal lain yang menarik dari pemikiran aristoteles ini adalah tiadanya
pengetahuan yang pasti mengenai tindakan manusia. Tentang ini Suseno (dalam
Ludigdo, 2002) menjelaskan pandangan Aristoteles tersebut :
“ Etika tidak mungkin menetapkan dengan tepat bagaimana manusia harus bertindak.
Tugas etika bukan menyediakan daftar pertanyan yang dapat dilaksanakan seakan-
akan dengan mata tertutup, melainkan menyediakan semacam visi dan perspektif.
Orang yang memiliki perspektif itu akan menemukan bagaimana ia harus bertindak
dalam situasi konkrit. Perspektif itu disebut dengan “pengertian yang tepat”.
Bertindak secara etis berarti bertindak menurut pengertian yang tepat itu”
Sementara itu pemikiran Epikorus (314-270 SM) tentang etika berangkat dari
perlawannya terhadap belenggu kebebasan manusia. Manusia, karena pandangan
dunianya yang mekanistis, telah terbelenggu oleh takdir dan mitos-mitos keagamaan.
Atas dasar ini kaum Epikorean bertekad untuk menyelamatkan manusia dari budak
takdir, ketakutannya terhadap dewa-dewa, dan mitos-mitos keagamaan. Oleh
karenanya kaum Epikorean ini dikenal juga sebagai penganut kebebasan berkehendak.
Dengan kebebasannya kemudian manusia menuju kepada kebahagiaannya. Dan
kebahagiaan inilah yang merupakan inti ajaran moral Epikorus. Kebahagiaan yang
dimaksud adalah yang menghasilkan nikmat. Dengan demikian yang dianggap baik
secara moral adalah yang menghasilkan nikmat. Pengertian nikmat di sini adalah
bersifat rohani dan luhur daripada jasmani. Oleh karenanya hakikat nikmat adalah
ketentraman jiwa yang tenang, yang bebas dari ketakutan dan kerisauan. Dengan
demikian pengertian tentang nikmat ini berbeda dengan pengertian etika moderen
sebagaimana dipahami dalam hedonisme.
Pemikiran besar terakhir dari Yunani klasik berasal dari kaum Stoa. Aliran
Stoa ini dikembangkan oleh para filosof dalam rentang abad ke-3 SM sampai abad ke-
3 M. Aliran filsafat ini berakar dari pandangan dunia yang monoistik, yaitu kesatuan
antara materiil, ilahi, dan rasional. Dengan ini, maka yang terjadi di alam semesta
berlaku determinisme mutlak, di mana segala apapun yang terjadi secara pasti dan
seluruhnya berada di bawah takdir.
Di dalam pemikiran etika, ajaran stoa dapat dipahami sebagai seni hidup yang
menunjukkan jalan ke kebahagiaan. Kebahagiaan ini dicapai dengan keberhasilan
hidup manusia, dan hidup manusia berhasil apabila ia dapat mempertahankan diri.
Dengan ini maka prinsip dasar dari etika stoa adalah penyesuaian diri dengan hukum
alam. Kebebasan pun dapat dicapai jika manusia itu secara sadar dan rela
menyesuaikan diri dalam hukum alam. Dengan menyesuaikan diri atau tunduk pada
alam maka manusia hanya tunduk pada dirinya sendiri, dan oleh karenanya apapun
yang terjadi pada dirinya adalah kehendaknya sendiri. Dalam tekad kehendak untuk
melakukan kewajiban, stoa meletakkan kebahagaiaan dalam keutamaan moral.
Keutamaan-keutamaan moral yang ditanamkan stoa adalah kebijaksanaan moral,
keberanian, penguasaan diri, dan kemanusiaan.
Namun demikian, dewasa ini diskusi tentang etika pada tataran teoritis
kebanyakan lebih merujuk pada dua pengelompokan besar, yaitu etika teleologi dan
etika deontologi. Dua aliran besar ini telah menjadi mainstream dalam mencari
pedoman untuk mengembangkan praktik etika. Bagaimanapun dua aliran pemikiran
besar ini bertautan dengan pemikiran-pemikiran klasik di atas, walaupun di dalamnya
telah tereduksi pemahaman modern yang sekuler semenjak abad pertengahan atau
abad pencerahan di Eropa. Reduksi ini terutama berkaitan dengan pandangan
pemikiran klasik atas dunia yang tidak terlepas dari keberadaan Tuhan. Demikian
halnya kemudian dari dua kutub pemikiran tersebut berkembang dalam keragaman
alira pemikiran etika berikutnya, dengan karakteristiknya.
Oleh karena tidak mudah menilai baik buruknya tujuan atau akibat suatu
tindakan dalam kerangka etika telelologi, maka muncullah varian darinya yaitu
egoisme dan utilitarainisme (Keraf & Imam, dalam Ludigdo, 2007). Etika egoisme
menilai baik buruknya tindakan dari tujuan dan manfaat tindakan tersebut bagi
pribadi-pribadi. Landasan pemikiran ini adalah bahwa satu-satunya tujuan moral
setiap pribadi adalah untuk mengejar kepentingannya dan memajukan dirinya sendiri.
Pada akhirnya egosime cenderung menjadi hedonisme, di mana tindakan baik atau
buruk dinilai berdasarkan kebahagiaan atau kesenangan yang diakibatkannya.
Kebahagiaan dan kesenangan tersebut biasanya bersifat lahiriah dan diukur
berdasarkan kebahagiaan dan kesenangan yang berupa materi. Di sinilah kemudian
pemikiran materialisme menjadi berkembang.
Aliran besar pemikiran etika kedua adalah deontologi. Tokoh besar aliran ini
adalah Immanuel Kant (1724-1804), sehingga disebut juga sebagai Kantianisme.
Selain disebut Kantianisme, aliran ini juga disebut etika non-konsekuensialisme,
karena penekanannya pada kewajiban maka pemikiran ini sebagai etika kewajiban.
Pandangan dasar dari pemikiran etika ini adalah bahwa penilaian baik atau buruknya
suatu tindakan didasarkan pada penilaian apakah tindakan tersebut sebagai baik atau
buruk. Baik atau buruknya tindakan tidak terlepas dari motivasi, kemauan baik, dan
watak si pelaku. Demikian halnya tindakan baik adalah suatu kewajiban. Suatu
tindakan baik dilakukan bukan saja sesuai dengan kewajiban, tetapi juga dijalankan
demi kewajiban pula. Atas pandangan demikian, Keraf & Imam (dalam Ludigdo,
2007) menyebutkan bahwa Kant merumuskan tiga prinsip pandangan etiknya :
(1) Supaya suatu tindakan mempunyai nilai moral, maka tindakan itu harus dijalankan
berdasarkan kewajiban,
(2) Nilai moral dari tindakan itu tidak tergantung pada tercapainya tujuan dari
tindakan tersebut melainkan hanya tergantung pada kemauan baik yang
mendorong seseorang untuk melakukan tindakan, dan
(3) Sebagai konsekuensi dari kedua prinsip tersebut, kewajiban adalah hal yang
niscaya dari tindakan yang dilakukan berdasarkan hormat pada diri sendiri.
Betapun demikian kedua aliran besar dalam pemikiran etika ini masih menyisakan
beberapa persoalan. Dengan teleologi, kinerja moral seseorang akan dinilai baik jika
tujuan dan manfaat dari tindakan yang diambilnya baik. Dalam hal ini terdapat
persoalan bagaiamana hal demikian jika berangkat dari niat yang tidak baik dan juga
dilakukan dengan tidak baik. Sebaiknya dalam deontologi, kinerja moral seseorang
dinilai baik jika niatnya baik dan oleh karena kewajiban untuk berbuat baik. Tetapi
bagaimana jika akibat dari tindakan ini tidak baik. Persoalan-persoalan demikianlah
yang pada akhirnya menghadang kesempurnaan aliran-aliran etika ini.
Singkatnya etika dapat diartikan sebagai ilmu tentang apa yang biasa
dilakukan atau ilmu kebiasaan (Bertens, 2001:4). Hal senada juga diungkap oleh
Suseno (1988:6) dalam etika Jawanya yang menyatakan bahwa etika dalam arti
sebenarnya berarti "filsafat mengenai bidang moral". Jadi etika merupakan ilmu atau
refleksi sistematik mengenai pendapat-pendapat, norma-norma, dan istilah-istilah
norma.
Etika merupakan ilmu yang menyelidiki tingkah laku moral dimana dalam
penyelidikan tersebut dilakukan dengan tiga pendekatan. Tiga pendekat tersebut
adalah:
(1) Etika Deskriftif. etika yang mencoba menggambarkan/ melukiskan tingkah laku
moral dalam arti luas, misalnya adat kebiasaan, anggapan tentang baik buruk.
(2) Etika normatif. Etika ini dibagi menjadi dua etika normatif umum dan etika
normatif khusus. Etika normatif umum mencoba memandang tema-tema umum
sebagai obyek penyelidikannya. Sedangkan etika normatif khusus berusaha
menerapkan prinsip-prinsip etis yang umum atas wilayah perilaku manusia yang
khusus.
(3) Metaetika. Etika ini mempelajari logika khusus dari ucapan-ucapan etis.
BAB II
ISI
Selanjutnya ada beberapa alasan mengapa kode etik perlu untuk dibuat.
Beberapa alasan tersebut adalah (Adams., dkk, dalam Ludigdo, 2007) :
a. Kode etik merupakan suatu cara untuk memperbaiki iklim organisasional sehingga
individu-individu daoat berperilaku secara etis.
b. Kontrol etis diperlukan karena sistem legal dan pasar tidak cukup mampu
mengarahkan perilaku organisasi untuk mempertimbangkan dampak moral dalam
setiap keputusan bisnisnya.
c. Perusahan memerlukan kode etik untuk menentukan status bisnis sebagai sebuah
profesi, dimana kode etik merupakan salah satu penandanya.
d. Kode etik dapat juga dipandang sebagai upaya menginstitusionalisasikan moral dan
nilai-nilai pendiri perusahaan, sehingga kode etik tersebut menjadi bagian dari
budaya perusahaan dan membantu sosialisasi individu baru dalam memasuki
budaya tersebut.
Kode etik yang dapat mencapai sasaran yang diinginkan, kode etik tersebut
harus memiliki empat komponen. Empat komponen tersebut meliputi:
(1) Prinsip-prinsip, yaitu standar ideal daari perilaku etis yang dapat dicapai dalam
terminologi filosofis. Dalam dunia auditing, prinsip-prinsip tersebut meliputi:
tanggungjawab, kepentingan masyarakat, integritas, obyektivitas dan
independensi, kemahiran serta lingkup dan sifat jasa.
(2) Peraturan perilaku, yakni standar minimum perilaku etis yang ditetapkan sebagai
peraturan khusus.
(3) Interprestasi
(4) Ketetapan etika yaitu penjelasan dan jawaban yang diterbitkan guna menjawab
pertanyaan-pertanyaan peraturan perilaku yang terjadi.
(1) Kongres tahun 1973: Penetapan kode etik bagi profesi akuntan di Indonesia.
(2) Kongres tahun 1981 dan tahun 1986: Penyempurnaan kode etik, nama kode etik
sebelum tahun 1986 adalah Kode etik IAI dan kongres tahun 1986 mengubah nama
tersebut dengan Kode etik Akuntan Indonesia sampai sekarang.
(3) Kongres tahun 1990 dan tahun 1994: Penyempurnaan kode etik.
a. Kompetensi teknis
b. Kehati-hatian
c. Obyektifitas
d. Integritas
2. Memberikan respon :
b. Untuk memecahkan konflik antara berbagai pihak yang berkepentingan, dan antara
pihak yang berkepentingan dan akuntan.
3. Penutup
2. Kepentingan publik :
3. Integritas :
4. Obyektifitas :
6. Kerahasiaan :
Akuntan harus menghormati kerahasiaan informasi yang diperoleh selama melakukan
jasa profesional dan tidak boleh memakai atau mengungkapkan informasi tersebut
tanpa persetujuan, kecuali bila ada hak atau kewajiban profesional atau hukum untuk
mengungkapkannya.
7. Perilaku profesional :
8. Standar teknis :
Indenpendensi
(a) Independensi dalam diri auditor (independence in fact): kejujuran dalam diri
auditor dalam mempertimbangkan berbagai faktor dalam audit finding.
Standar Umum
Anggota KAP harus mematuhi standar berikut ini beserta interprestasi yang terkait
yang dikeluarkan oleh badan pengatur standar yang ditetapkan IAI, antara lain:
a. Kompetensi Profesional
Anggota IAI hanya boleh melakuan pemberian jasa profesional yang secara
layak (reasonable) diharapkan dapat diselesaikan dengan kompetensi
profesional.
Anggota KAP wajib memperoleh data relevan yang memadai untuk menjadi
dasar yang layak bagi kesimpulan atau rekomendasi sehubungan dengan
pelaksanaan jasa profesionalnya.
Prinsip-Prinsip Akuntansi
(3) Melarang review praktik profesional (review mutu) seorang anggota sesuai
dengan kewenangan IAI atau
a. Besaran fee
Besarnya fee anggota dapat bervariasi tergantung antara lain: risiko penugasan,
kompleksitas jasa yang diberikan, tingkat keahlian yang diperlukan untuk
melaksanakan jasa tersebut, struktur biaya KAP yang bersangkutan dan
pertimbangan profesional lainnya.
b. Fee kontinjensi
Fee kontinjensi adalah fee yang ditetapkan untuk pelaksanaan suatu jasa profesional
tanpa adanya fee yang akan dibebankan, kecuali ada temuan atau hasil
tertentu dimana jumlah fee tergantung pada temuan atau hasil tertentu
tersebut. Fee dianggap tidak kontinjensi jika ditetapkan oelh pengadilan
atau badan pengatur atau dalam hal perpajkan, jika dasar penetapan adalah
hasil penyelesaian hukum atau temuan dadan pengatur.
Dengan tidak melakukan perkataan dan perbuatan yang dapat merusak reputasi rekan
seprofesi.
Perikatan Atestasi
Akuntan publik tidak diperkenankan mengadakan perikatan atestasi yang jenis
atestasi dan periodenya sama dengan perikatan yang dilakukan oleh akuntan
yang lebih dahulu di tunjuk klien, kecuali apabila perikatan tersebut
dilaksanakan untuk memenuhi ketentuan perundang-undangan atau aturan yang
di buat oleh badan berwenang.
a. Komisi
Komisi adalah imbalan dalam bentuk uang atau barang atau bentuk lainnya
yang diberikan atau diterima kepada/ dari klien/ pihak lain untuk
memperoleh penugasan dari klien/ pihak lain.
Fee referal (rujukan) adalah imbalan yang dibayarkan/ diterima kepada/ dari
sesama penyedia jasa profesional akuntan publik.
Anggota hanya dapat berpraktik dalam bentuk organisasi yang diizinkan oleh
peraturan perundang-undangan yang berlaku dan/ atau yang tidak menyesatkan
dan merendahkan citra profesi.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Etika dapat diartikan sebagai ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu
kebiasaan sedangkan etika merupakan ilmu yang menyelidiki tingkah laku moral
dimana dalam penyelidikan tersebut dilakukan dengan tiga pendekatan. Tiga
pendekatan tersebut adalah pendekatan etika deskriftif, etika normatif dan metaetika.
Kode etik harus memiliki empat komponen, yaitu Prinsip – prinsip, Peraturan
perilaku, Interprestasi dan Ketetapan etika.
Sementara itu prinsip etika akuntan atau kode etik akuntan itu sendiri meliputi
delapan butir pernyataan (IAI, 1998, dalam Ludigdo, 2007). Kedelapan butir
pernyataan tersebut merupakan hal-hal yang seharusnya dimiliki oleh seorang
akuntan. Delapan butir tersebut adalah tanggungjawab profesi, kepentingan publik,
intergritas, obyektifitas, kompetensi dan kehati – hatian profesional, kerahasiaan,
perilaku profesional, dan standar teknis.
Daftar Pustaka :
www. Google.com