Anda di halaman 1dari 19

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Etika secara harfiah bermakna pengetahuan tentang azas-azas akhlak atau moral. Etika secara terminologi kemudian berkembang menjadi suatu konsep yang menjelaskan tentang batasan baik atau buruk, benar atau salah, dan bisa atau tidak bisa, akan suatu hal untuk dilakukan dalam suatu pekerjaan tertentu. Istilah kode etik kemudian muncul untuk menjelaskan tentang batasan yang perlu diperhatikan oleh seorang profesional ketika menjalankan profesinya. Seperti halnya profesi-profesi yang lain, Akuntan juga mempunyai kode etik yang digunakan sebagai rambu-rambu atau batasan-batasan ketika seorang Akuntan menjalankan perannya. Pemahaman yang cukup dari seorang Akuntan tentang kode etik, akan menciptakan pribadi Akuntan yang profesional, kompeten, dan berdaya guna. Tanpa adanya pemahaman yang cukup tentang kode etik, seorang Akuntan akan terkesan tidak elegan, bahkan akan menghilangkan nilai esensial yang paling tinggi dari profesinya tersebut. Di awal bahasan, terlebih dahulu akan dipaparkan tentang sejarah kemunculan dimensi etik keprofesian. Sejarah ini mencakup variasi pemikiran yang berkembang tentang etika yang dimulai sejak zaman Yunani kuno hingga zaman modern seperti saat ini. Selanjutnya, pada bahasan-bahasan berikutnya akan dipaparkan dimensi-dimensi yang terkait dengan kode etik profesi Akuntan.

1.2 Sejarah Kemunculan dan Variasi Aliran Pemikiran (Etika). Perkembangan wacana etika tidak dapat dilepaskan dari berbagai pemikiran atas etika yang telah berlangsung berpuluh-puluh abad yang lalu diYunani. Suseno (dalam Ludigdo, 2007) menyatakan bahwa kita harus mengakui bahwa pemikiran filsafat yang berkembang dewasa ini tidak terlepas dari kuatnya pengaruh filsafat Yunani. Filsafat Yunani yang juga meliputi metafisika dan etika ini, berkembang bermula dari filsafat alam. Pemikiran awal tentang etika dapat ditelusuri dari pemikiran murid-murid Pytagoras (570-496 SM). Pemikiran etika yang berkembang dikalangan murid Pytagoras tersebut adalah bahwa badan merupakan kubur jiwa, sehingga jika manusia menginginkan jiwanya bebas dari

badan maka dia perlu menempuh jalan pembersihan. Jalan ini adalah bertapa dan bekerja secara rohani, terutama dengan berfilsafat dan bermatematika serta menyertakan musik dan gimnastik sebagai penertib dan penyelarasnya. Bagi mereka, dalam kehidupan bersama, persahabatan dan persaudaraan semua orang merupakan nilai tertinggi. Pemikiran yang demikian kemudian disambung oleh pemikiran Democritus (460-371 SM) yang mengajarkan suatu aturan kehidupan bahwa manusia hendaknya mengusahakan keadilan. Dan masih menurut Democritus, nilai tertinggi dala kehiduoan adalah pencapaian pada apa yang enak (yang kemudian menjadi sebuah kerangka untuk berkembangnya hedonisme). Idea yang baik kemudian menuntun manusia untuk hidup secara baik. Bagaimana hidup yang baik itu dicapai ? Disinilah kemudian etika Yunani akan berbeda dengan etika-etika modern dalam menunjukkan jawaban atas bagaimana hidup yang baik itu. Dalam etika Yunani, tujuannya adalah menemukan aturan dan arahan agar kehidupan manusia dapat terasa utuh dan bulat, tidak hanya asal mempertahankan kehidupannya, tetapi juga mencapai hidup yang bernilai, berhasil, tidak percuma dan bermakna. Untuk itu hidup yang baik dicapai dengan etika kebijaksanaan, bukan etika kewajiban. Orang bijaksana tidak perlu dipaksa, karena ia akan bertindak dengan memperhatikan arahan-arahan hidup yang lebih bermutu. Orang bijaksana tentunya dapat memahami kesatuan hidupnya dengan seluruh kosmos dan realitas. Pemahaman yang demikianlah yang pada akhirnya mengantarkan orang bijaksana bersikap terbuka. Plato juga mengemukakan bahwa orang itu baik bila dikuasai oleh akal budi, sementara orang itu buruk bila dikuasai oleh keinginan dan hawa nafsu. Atas dasar ini maka apabila seseorang mau mencapai suatu hidup yang baik, tenang, bersatu, dan bernilai, maka seseorang tersebut harus membebaskan diri dari kekuatan irrasional hawa nafsu dan emosi serta mengarahkan diri menurut akal budi. Sementara itu pemikiran besar lainnya di era Yunani ini datang dari Aristoteles (384-322 SM). Dia dikenal sebagai pemikir pertama yang mengidentifikasikan dan mengutarakan etika secara kritis, refleksif, dan argumentatif (Suseno, dalam Ludigdo, 2007), dan juga dianngap sebagai filosof moral pertama dalam arti sebenarnya. Selain itu dia juga menjadipendiri etika sebagai ilmu atau cabang filsafat yang mandiri. Walaupun Aristoteles adalah murid Plato, ia menolak ajaran tentang idea dari gurunya tersebut. Menurut Aristoteles, ajaran Plato tentang idea merupakan interpretasi salah terhadap kenyataan bahwa manusia dapat membentuk konsepkonsep universal tentang hal yang empiris yang mana untuk menjelaskan ini tidak perlu

menerima alam idea yang abadi. Dengan bertolak dari realitasnya sendiri, manusia dapat mencapai kehidupannya yang bermutu. Manusia tidak perlu melakukan kontemplasi ataupun penyatuan dengan idea yang baik sebagaimana diajarkan oleh Plato. Pendekatan Aristoteles adalah empiris, di mana ia bertolak dari realitas nyata inderawi. Hidup yang baik bagi manusia, menurut Aristoteles, adalah apabila ia mencapai apa yang menjadi tujuannya. Dengan mencapai tujuan hidupnya, maka manusia telah mencapai dirinya dengan sepenuhya. Apapun tujuan hidup manusia adalah demi sesuatu yang baik dan bernilai, dan nilai inilah yang menjadi tujuan. Sesuatu yang bernilai adalah yang dapat mengantarkan manusia mencapai kebahagiaan. Oleh karena kebahagiaan merupakan puncak pencapaian manusia, maka tujuan akhir dari hidup manusia adalah mencapai kebahagaiaan bagi diri manusia tersebut. Pencapai kebahagiaan manusia terjadi melalui suatu tindakan. Tanpa tindakan manusia tidak mungkin berbahagia. Tindakan yang membawa pada pencapaian kebahagiaan adalah tundakan yang melibatkan bagian jiwa yang berakal budi. Hal lain yang menarik dari pemikiran aristoteles ini adalah tiadanya pengetahuan yang pasti mengenai tindakan manusia. Tentang ini Suseno (dalam Ludigdo, 2002) menjelaskan pandangan Aristoteles tersebut : Etika tidak mungkin menetapkan dengan tepat bagaimana manusia harus bertindak. Tugas etika bukan menyediakan daftar pertanyan yang dapat dilaksanakan seakan-akan dengan mata tertutup, melainkan menyediakan semacam visi dan perspektif. Orang yang memiliki perspektif itu akan menemukan bagaimana ia harus bertindak dalam situasi konkrit. Perspektif itu disebut dengan pengertian yang tepat. Bertindak secara etis berarti bertindak menurut pengertian yang tepat itu Bagaimanapun pengertian yang tepat bukanlah tolak ukur yang terurai, melainkan lebih merupakan sikap batin atau ketajaman akal etis untuk memahami tindakan mana yang dalam situasi tertentu paling tepat. Betapa dalam hal yang demikian pengasahan rasa dan batin menjadi suatu keharusan. Hanya karena dengan cara itulah menjadi manusia yang berpengertian dengan tepat dapat dicapai. Bertolak dari pandangan demikian, tepat pula bila pemikiran Aristoteles disebut dengan etika kebijaksanan (Suseno, dalam Ludigdo, 2007). Sementara itu pemikiran Epikorus (314-270 SM) tentang etika berangkat dari perlawannya terhadap belenggu kebebasan manusia. Manusia, karena pandangan dunianya yang mekanistis, telah terbelenggu oleh takdir dan mitos-mitos keagamaan. Atas dasar ini kaum

Epikorean bertekad untuk menyelamatkan manusia dari budak takdir, ketakutannya terhadap dewa-dewa, dan mitos-mitos keagamaan. Oleh karenanya kaum Epikorean ini dikenal juga sebagai penganut kebebasan berkehendak. Dengan kebebasannya kemudian manusia menuju kepada kebahagiaannya. Dan kebahagiaan inilah yang merupakan inti ajaran moral Epikorus. Kebahagiaan yang dimaksud adalah yang menghasilkan nikmat. Dengan demikian yang dianggap baik secara moral adalah yang menghasilkan nikmat. Pengertian nikmat di sini adalah bersifat rohani dan luhur daripada jasmani. Oleh karenanya hakikat nikmat adalah ketentraman jiwa yang tenang, yang bebas dari ketakutan dan kerisauan. Dengan demikian pengertian tentang nikmat ini berbeda dengan pengertian etika moderen sebagaimana dipahami dalam hedonisme. Pemikiran besar terakhir dari Yunani klasik berasal dari kaum Stoa. Aliran Stoa ini dikembangkan oleh para filosof dalam rentang abad ke-3 SM sampai abad ke-3 M. Aliran filsafat ini berakar dari pandangan dunia yang monoistik, yaitu kesatuan antara materiil, ilahi, dan rasional. Dengan ini, maka yang terjadi di alam semesta berlaku determinisme mutlak, di mana segala apapun yang terjadi secara pasti dan seluruhnya berada di bawah takdir. Di dalam pemikiran etika, ajaran stoa dapat dipahami sebagai seni hidup yang menunjukkan jalan ke kebahagiaan. Kebahagiaan ini dicapai dengan keberhasilan hidup manusia, dan hidup manusia berhasil apabila ia dapat mempertahankan diri. Dengan ini maka prinsip dasar dari etika stoa adalah penyesuaian diri dengan hukum alam. Kebebasan pun dapat dicapai jika manusia itu secara sadar dan rela menyesuaikan diri dalam hukum alam. Dengan menyesuaikan diri atau tunduk pada alam maka manusia hanya tunduk pada dirinya sendiri, dan oleh karenanya apapun yang terjadi pada dirinya adalah kehendaknya sendiri. Dalam tekad kehendak untuk melakukan kewajiban, stoa meletakkan kebahagaiaan dalam keutamaan moral. Keutamaan-keutamaan moral yang ditanamkan stoa adalah kebijaksanaan moral, keberanian, penguasaan diri, dan kemanusiaan. Namun demikian, dewasa ini diskusi tentang etika pada tataran teoritis kebanyakan lebih merujuk pada dua pengelompokan besar, yaitu etika teleologi dan etika deontologi. Dua aliran besar ini telah menjadi mainstream dalam mencari pedoman untuk mengembangkan praktik etika. Bagaimanapun dua aliran pemikiran besar ini bertautan dengan pemikiran-pemikiran klasik di atas, walaupun di dalamnya telah tereduksi pemahaman modern yang sekuler semenjak abad pertengahan atau abad pencerahan di Eropa. Reduksi ini terutama berkaitan dengan pandangan pemikiran klasik atas dunia yang tidak terlepas dari keberadaan Tuhan. Demikian

halnya kemudian dari dua kutub pemikiran tersebut berkembang dalam keragaman alira pemikiran etika berikutnya, dengan karakteristiknya. Etika teleologi dikembangkan terutama oleh tokoh-tokoh besar pemikiran etika dari Eropa seperti Jeremy Bentham (1748-1832) dan John Stuart Mill (1806-1873). Etika teleologi ini juga dikenal sebagai etika konsekuensialisme, dan mempunyai pandangan mendasar bahwa suatu tindakan dinilai baik atau buruk berdasarkan tujuan atau akibat dilakukannya tindakan tersebut. Dalam hal ini Keraf & Imam (dalam Ludigdo, 2007) memberikan sebuah contoh di mana tidak selamanya mencuri selaludinilai sebagai tindakan buruk. Baik buruknya penilaian ini tidak didasarkan atas baik buruknya tindakan itu sendiri, melainkan ditentukan oleh tujuan dan akibat dari tindakan tersebut. Dengan demikian mencuri dapat dinilai baik jika tujuan dan akibatnya adalah baik. Oleh karena tidak mudah menilai baik buruknya tujuan atau akibat suatu tindakan dalam kerangka etika telelologi, maka muncullah varian darinya yaitu egoisme dan utilitarainisme (Keraf & Imam, dalam Ludigdo, 2007). Etika egoisme menilai baik buruknya tindakan dari tujuan dan manfaat tindakan tersebut bagi pribadi-pribadi. Landasan pemikiran ini adalah bahwa satu-satunya tujuan moral setiap pribadi adalah untuk mengejar kepentingannya dan memajukan dirinya sendiri. Pada akhirnya egosime cenderung menjadi hedonisme, di mana tindakan baik atau buruk dinilai berdasarkan kebahagiaan atau kesenangan yang diakibatkannya. Kebahagiaan dan kesenangan tersebut biasanya bersifat lahiriah dan diukur berdasarkan kebahagiaan dan kesenangan yang berupa materi. Di sinilah kemudian pemikiran materialisme menjadi berkembang. Sementara itu utilitarianisme berkebalikan dari egoisme. Utilitarianisme berpandangan bahwa baik atau buruknya suatu tindakan seseorang didasarkan atas tujuan atau akibat bagi kebanyakan orang (Keraf & Imam, dalam Ludigdo, 2007). Bagi seorang, dia akan mendaoat kebahagiaan jika dia melakukan tindakan atas motivasi dasar untuk mengejar akibat baik yang sebesar mungkin bagi sebanyak mungkin pihak yang terlibat. Ada dua hal yang positif dari pemikiran utilitarianisme ini, yaitu menyangkut rasionalitas dan universalitasnya. Dalam hal rasionalitas, suatu tindakan dipilih dan pada gilirannya baik karena tindakan itu mendatangkan akibat baik yang lebih banyak daripada tindakan lainnya. Sedangkan universalitasnya berhubungan dengan alasan bahwa akibat atau nilai yang hendak dicapai diukur berdasarkan banyaknya orang atau pihak yang memperoleh manfaat dari suatu tindakan.

Aliran besar pemikiran etika kedua adalah deontologi. Tokoh besar aliran ini adalah Immanuel Kant (1724-1804), sehingga disebut juga sebagai Kantianisme. Selain disebut Kantianisme, aliran ini juga disebut etika non-konsekuensialisme, karena penekanannya pada kewajiban maka pemikiran ini sebagai etika kewajiban. Pandangan dasar dari pemikiran etika ini adalah bahwa penilaian baik atau buruknya suatu tindakan didasarkan pada penilaian apakah tindakan tersebut sebagai baik atau buruk. Baik atau buruknya tindakan tidak terlepas dari motivasi, kemauan baik, dan watak si pelaku. Demikian halnya tindakan baik adalah suatu kewajiban. Suatu tindakan baik dilakukan bukan saja sesuai dengan kewajiban, tetapi juga dijalankan demi kewajiban pula. Atas pandangan demikian, Keraf & Imam (dalam Ludigdo, 2007) menyebutkan bahwa Kant merumuskan tiga prinsip pandangan etiknya : (1) Supaya suatu tindakan mempunyai nilai moral, maka tindakan itu harus dijalankan berdasarkan kewajiban, (2) Nilai moral dari tindakan itu tidak tergantung pada tercapainya tujuan dari tindakan tersebut melainkan hanya tergantung pada kemauan baik yang mendorong seseorang untuk melakukan tindakan, dan (3) Sebagai konsekuensi dari kedua prinsip tersebut, kewajiban adalah hal yang niscaya dari tindakan yang dilakukan berdasarkan hormat pada diri sendiri. Betapun demikian kedua aliran besar dalam pemikiran etika ini masih menyisakan beberapa persoalan. Dengan teleologi, kinerja moral seseorang akan dinilai baik jika tujuan dan manfaat dari tindakan yang diambilnya baik. Dalam hal ini terdapat persoalan bagaiamana hal demikian jika berangkat dari niat yang tidak baik dan juga dilakukan dengan tidak baik. Sebaiknya dalam deontologi, kinerja moral seseorang dinilai baik jika niatnya baik dan oleh karena kewajiban untuk berbuat baik. Tetapi bagaimana jika akibat dari tindakan ini tidak baik. Persoalanpersoalan demikianlah yang pada akhirnya menghadang kesempurnaan aliran-aliran etika ini. Singkatnya etika dapat diartikan sebagai ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu kebiasaan (Bertens, 2001:4). Hal senada juga diungkap oleh Suseno (1988:6) dalam etika Jawanya yang menyatakan bahwa etika dalam arti sebenarnya berarti "filsafat mengenai bidang moral". Jadi etika merupakan ilmu atau refleksi sistematik mengenai pendapat-pendapat, normanorma, dan istilah-istilah norma. Etika merupakan ilmu yang menyelidiki tingkah laku moral dimana dalam penyelidikan tersebut dilakukan dengan tiga pendekatan. Tiga pendekat tersebut adalah:

(1) Etika Deskriftif. etika yang mencoba menggambarkan/ melukiskan tingkah laku moral dalam arti luas, misalnya adat kebiasaan, anggapan tentang baik buruk. (2) Etika normatif. Etika ini dibagi menjadi dua etika normatif umum dan etika normatif khusus. Etika normatif umum mencoba memandang tema-tema umum sebagai obyek penyelidikannya. Sedangkan etika normatif khusus berusaha menerapkan prinsip-prinsip etis yang umum atas wilayah perilaku manusia yang khusus. (3) Metaetika. Etika ini mempelajari logika khusus dari ucapan-ucapan etis.

BAB II ISI

2.1 Kode Etik Profesional Fenomena akan keberadaan kode etik keprofesian merupakan hal yang menarik untuk diperhatikan. Hal ini terutama jika dikaitkan dengan besarnya tuntutan publik terjadap dunia usaha yang pada umumnya mengedepankan etika dalam menjalankan akifitas bisnisnya. Tuntutan ini kemudian direspon dengan antara lain membuat kode etik atau kode perilaku. Scwhartz (dalam Ludigdo, 2007) menyebutkan kode etik sebagai dokumen formal yang tertulis dan membedakan yang terdiri dari standar moral untuk membantu mengarahkan perilaku karyawan dan organisasi. Sementara fungsinya adalah sebagai alat untuk mencapai standar etis yang tinggi dalam bisnis (kavali., dkk, dalam Ludigdo, 2007). Atau secara prinsip sebagai petunjuk atau pengingat untuk berprilaku secara terhormat dalam situasi-situasi tertentu. Suatu rumudan kode etik seharusnya merefleksikan standar moral universal. Standar moral universal tersebut menurut Scwhartz (dalam Ludigdo, 2007) meliputi : a. Trustworthiness (meliputi honesty, integrity, reliability, dan loyality) b. Respect (meliputi perlindungan dan perhatian atas hak azasi manusia) c. Responsibility (meliputi juga accountability) d. Fairness (meliputi penghindaran dari sifat tidak memihak, dan mempromosikan persamaan) e. Caring (meliputi misalnya penghindaran atas tindakan-tindakan yang merugikan dan tidak perlu) f. Citizenship (meliputi penghormatan atas hukum dan perlindungan lingkungan) Selanjutnya ada beberapa alasan mengapa kode etik perlu untuk dibuat. Beberapa alasan tersebut adalah (Adams., dkk, dalam Ludigdo, 2007) : a. Kode etik merupakan suatu cara untuk memperbaiki iklim organisasional sehingga individuindividu daoat berperilaku secara etis. b. Kontrol etis diperlukan karena sistem legal dan pasar tidak cukup mampu mengarahkan perilaku organisasi untuk mempertimbangkan dampak moral dalam setiap keputusan bisnisnya. c. Perusahan memerlukan kode etik untuk menentukan status bisnis sebagai sebuah profesi, dimana kode etik merupakan salah satu penandanya.

d. Kode etik dapat juga dipandang sebagai upaya menginstitusionalisasikan moral dan nilai-nilai pendiri perusahaan, sehingga kode etik tersebut menjadi bagian dari budaya perusahaan dan membantu sosialisasi individu baru dalam memasuki budaya tersebut. e. Kode etik merupakan sebuah pesan. Profesional dalam melakukan pekerjaan untuk kepentingan publik (pihak yang membutuhkan) dibutuhkan etika mengenai profesi. Penyusunan etika profesional pada setiap profesi biasanya dilandasi kebutuhan profesi tersebut tentang kepercayaan masyarakat terhadap mutu jasa yang diserahkan oleh profesi (Mulyadi dan Kanaka, 1999: 45). Kode etik yang dapat mencapai sasaran yang diinginkan, kode etik tersebut harus memiliki empat komponen. Empat komponen tersebut meliputi: (1) Prinsip-prinsip, yaitu standar ideal daari perilaku etis yang dapat dicapai dalam terminologi filosofis. Dalam dunia auditing, prinsip-prinsip tersebut meliputi: tanggungjawab, kepentingan masyarakat, integritas, obyektivitas dan independensi, kemahiran serta lingkup dan sifat jasa. (2) Peraturan perilaku, yakni standar minimum perilaku etis yang ditetapkan sebagai peraturan khusus. (3) Interprestasi (4) Ketetapan etika yaitu penjelasan dan jawaban yang diterbitkan guna menjawab pertanyaanpertanyaan peraturan perilaku yang terjadi.

2.2 Kode Etik Profesi Akuntan Indonesia Bagi praktik Akuntan di Indonesia kebutuhan akan etika dipenuhi oleh organisasi proesi yang berkaitan dengan hal tersebut yakni Ikatan Akuntan Indonesia (IAI). Historis kode etik yang dikeluarkan oleh IAI adalah sebagai berikut: (1) Kongres tahun 1973: Penetapan kode etik bagi profesi akuntan di Indonesia. (2) Kongres tahun 1981 dan tahun 1986: Penyempurnaan kode etik, nama kode etik sebelum tahun 1986 adalah Kode etik IAI dan kongres tahun 1986 mengubah nama tersebut dengan Kode etik Akuntan Indonesia sampai sekarang. (3) Kongres tahun 1990 dan tahun 1994: Penyempurnaan kode etik. Akuntan merupakan profesi yang keberadannya sangat tergantung pada kepercayaan masyarakat. Sebagai sebuah profesi yang kinerjanya diukur dari profesionalismenya, akuntan

harus memiliki keterampilan, pengetahuan, dan karakter. Penguasaan keterampilan dan pengetahuan tidaklah cukup bagi akuntan untuk menjadi profesional. Karakter diri yang dicirikan oleh ada dan tegaknya etika profesi merupakan hal penting yang harus dikuasainya pula. Etika profesi akuntan di Indonesia dikodifikasikan dalam bentuk kode etik, yang mana struktur kode etik ini meliputi prinsip etika, aturan etika, dan interpretasi aturan etika. Struktur yang demikian itu setidaknya memberikan gambaran akan kebutuhan minimal bagi profesi akuntan untuk memberi jasa yang efektif kepada masyarakat. Terkait dengan hal tersebut Brooks (dalam Ludigdo, 2007) menyebutkan bahwa dalam suatu pedoman akuntan yang dibuat seharusnya berisi beberapa poin pokok. Beberapa poin pokok tersebut adalah : 1. Spesifikasi alasan aturan-aturan umum yang berhubungan dengan : a. Kompetensi teknis b. Kehati-hatian c. Obyektifitas d. Integritas 2. Memberikan respon : a. Untuk berperilaku memenuhi kepentingan berbagai kelompok dalam masyarakat b. Untuk memecahkan konflik antara berbagai pihak yang berkepentingan, dan antara pihak yang berkepentingan dan akuntan. 3. Memberikan dukungan atau perlindungan bagi akuntan yang akan melakukan sesuatu dengan benar (misalnya dengan kode dan laporan masalah etisnya) 4. Menspesifikasikan sanksi secara jelas hingga konsekuensi dari kesalahan akan dipahami. Dalam kongres V Ikatan Akuntansi Indonesia (IAI) di Surabaya 20-30 Agustus 1986, telah berhasil disahkan butir-butir kode etik profesi akuntan. Kode etik yang dibentuk pada tahun tersebut terdiri dari tiga bagian utama, yaitu : 1. Untuk profesi akuntan secara umum 2. Khusus untuk akuntan publik, dan 3. Penutup Mukadimah prinsip etika profesi akuntan antara lain menyebutkan bahwa dengan seorang akuntan mempunyai kewajiban untuk menjaga disiplin diri melebihi yang disyaratkan oleh hukum dan peraturan yang berlaku. Selain itu prinsip ini meminta komitmen untuk berperilaku terhormat, bahkan dengan pengorbanan keuntungan pribadi. Sementara itu prinsip etika akuntan

atau kode etik akuntan itu sendiri meliputi delapan butir pernyataan (IAI, 1998, dalam Ludigdo, 2007). Kedelapan butir pernyataan tersebut merupakan hal-hal yang seharusnya dimiliki oleh seorang akuntan. Delapan butir tersebut terdeskripsikan sebagai berikut : 1. Tanggung jawab profesi : Bahwa akuntan di dalam melaksanakan tanggungjawabnya sebagai profesional harus senantiasa menggunakan pertimbangan moral dan profesional dalam semua kegiatan yang dilakukannya. 2. Kepentingan publik : Akuntan sebagai anggota IAI berkewajiban untuk senantiasa bertindak dalam kerangka pelayanan kepada publik, menghormati kepentingan publik, dan menunjukkan komitmen atas profesionalisme. 3. Integritas : Akuntan sebagai seorang profesional, dalam memelihara dan meningkatkan kepercayaan publik, harus memenuhi tanggung jawab profesionalnya tersebut dengan menjaga integritasnya setinggi mungkin. 4. Obyektifitas : Dalam pemenuhan kewajiban profesionalnya, setiap akuntan sebagai anggota IAI harus menjaga obyektifitasnya dan bebas dari benturan kepentingan. 5. Kompetensi dan kehati-hatian profesional : Akuntan dituntut harus melaksanakan jasa profesionalnya dengan penuh kehati-hatian, kompetensi, dan ketekunan, serta mempunyai kewajiban untuk mempertahankan pengetahuan dan keterampilan profesionalnya pada tingkat yang diperlukan untuk memastikan bahwa klien atau pemberi kerja memperoleh manfaat dari jasa profesional yang kompeten berdasarkan perkembangan praktik, legislasi, dan teknik yang paling mutakhir. 6. Kerahasiaan : Akuntan harus menghormati kerahasiaan informasi yang diperoleh selama melakukan jasa profesional dan tidak boleh memakai atau mengungkapkan informasi tersebut tanpa persetujuan, kecuali bila ada hak atau kewajiban profesional atau hukum untuk mengungkapkannya. 7. Perilaku profesional : Akuntan sebagai seorang profesional dituntut untuk berperilaku konsisten selaras dengan reputasi profesi yang baik dan menjauhi tindakan yang dapat mendiskreditkan profesinya. 8. Standar teknis :

Akuntan dalam menjalankan tugas profesionalnya harus mengacu dan mematuhi standar teknis dan standar profesional yang relevan. Sesuai dengan keahliannya dan dengan berhati-hati, akuntan mempunyai kewajiban untuk melaksanakan penugasan dari penerima jasa selama penugasan tersebut sejalan dengan prinsip integritas dan obyektifitas. Untuk memberikan pedoman etika yang spesifik di bidang etika profesi akuntan publik , IAI Kompartemen Akuntan Publik (IAI-KAP) telah menyusun aturan etika . dalm hal keterterapan aturan ini mengharuskan anggota IAI-KAP dan staf profesional (baik yang anggota maupun yang bukan anggota IAI-KAP) yang bekerja di suatu kantor akuntan publik untuk mematuhinya. Aturan etika ini meliputi pengaturan tentang : 1. Independensi, Integritas, dan Obyektifitas. Indenpendensi Dalam menjalankan tugasnya anggota KAP harus selalu mempertahankan sikap mental independen di dalam memberikan jasa profesional sebagaimana diatur dalam Standar Profesional Akuantan Publik yang ditetapkan olh IAI. Sikap mental independen tersebut harus meliputi independen dalam fakta (infacts) maupun dalam penampilan (in appearance). Independen berarti bebas dari pengaruh, tidak dikendalikan oleh pihak lain dan tidak tergantung pada orang lain. Tiga aspek dalam independensi auditor, yaitu: (a) Independensi dalam diri auditor (independence in fact): kejujuran dalam diri auditor dalam mempertimbangkan berbagai faktor dalam audit finding. (b) Independensi dalam penampilan (perceived independence). Independensi ini merupakan tinjauan pihak lain yang mengetahui informasi yang bersangkutan dengan diri auditor. (c) Independensi di pandang dari sudut keahliannya. Keahlian juga merupakan faktor independensi yang harus diperhitungkan selain kedua independensi yang telah disebutkan. Dengan kata lain auditor dapat mempertimbangkan fakta dengan baik yang kemudian ditarik menjadi suatu kesimpulan jika ia memiliki keahliam mengenai hal tersebut. Integritas dan Obyektifitas Integritas adalah auditor yang memiliki kemampuan untuk mewujudkan apa yang diyakini kebenarannya tersebut kedalam kenyataan.

Obyektifitas adalah unsur karakter yang menunjukkan kemampuan seseorang maupun menyatakan kenyataan sebagaimana adanya, terlepas dari kepentingan pribadi maupun kpentingan pihak lain. Dalam menjalankan tugasnya anggota KAP harus mempertahankan integritas dn obyektivitas, harus bebas dari benturan kepentingan (conflict of interest) dan tidak boleh mmebiarkan faktor salah saji material (material misstatement) yang diketahuinya atau mengalihkan (mensubordinasikan) pertimbangannya kepada pihak lain. 2. Standar Umum dan Prinsip Akuntansi Standar Umum Anggota KAP harus mematuhi standar berikut ini beserta interprestasi yang terkait yang dikeluarkan oleh badan pengatur standar yang ditetapkan IAI, antara lain: a. Kompetensi Profesional Anggota IAI hanya boleh melakuan pemberian jasa profesional yang secara layak (reasonable) diharapkan dapat diselesaikan dengan kompetensi profesional. b. Kecermatan dan keseksamaan profesional Anggota KAP wajib melakukan pemberian jasa profesional dengan kecermatan dan keseksamaan profesional. c. Perencanaan dan Supervisi Anggota KAP wajib merencanakan dan mensuvervisi secara memadai setiap pelaksanaan pemberian profesi jasa profesional. d. Data relevan yang memeadai Anggota KAP wajib memperoleh data relevan yang memadai untuk menjadi dasar yang layak bagi kesimpulan atau rekomendasi sehubungan dengan pelaksanaan jasa profesionalnya. e. Kepatuham terhadap standar Anggota KAP yang melaksanakan penugasan jasa audititing, atestasi, review, kompilasi, konsultasi manajemen, perpajakan atau jasa profesional lainnya, wajib mematuhi standar yang dikeluarkan oleh badan pengatur standar yang ditetapkan oleh IAI. Prinsip-Prinsip Akuntansi Anggota KAP tidak diperkenankan:

(1) Menyatakan pendapat atau memberikan penegasan bahwa laporan keuangan atau data keuangan lain suatu entitas disajikan sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum atau (2) Menyatakan bahwa ia tidak menemukan perlunya modifikasi material yang harus dilakukan terhadap laporan atau data tersebut agar sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku, apabila laporan tersebut memuat penyimpangan yang berdampak material terhadap laporan atau data secara keseluruhan dari prinsip-prinsip akuntansi yang diterapkan oleh badan pengatur standar yang ditetapkan IAI. Dalam keadaan luar biasa, laporan atau data mungkin memuat penyimpangan seperti tersebut di atas. Dalam kondisi tersebut anggota KAP dapat tetap mematuhi ketentuan dalam butir ini selama anggota KAP dapat menunjukkan bahwa laporan atau data akan menyesatkan apabila memuat penyimpangan seperti itu, dengan cara serta alasan mengapa kepatuhan prinsip akuntansi yang berlaku umum akan menghasilkan laporan yang menyesatkan. 3. Tanggungjawab kepada Klien Informasi klien yang rahasia Anggota KAP tidak diperkenankan mengungkapkan informasi klien yang rahasia, tanpa persetujuan dari klien. Ketentuanya tidak dimaksudkan untuk: (1) Membebaskan anggota KAP dari kewajiban profesionalnya sesuai dengan aturan etika kepatuhan terhadap standar dan prinsip-prinsip akuntansi (2) Mempengaruhi kewajiban anggota KAP dengan cara apapun untuk mematuhi peraturan perundangan-undangan yang berlaku seperti panggilan resmi penyidikan pejabat pengusut atau melarang kepatuhan anggota KAP terhadap ketentuan peraturan yang berlaku, (3) Melarang review praktik profesional (review mutu) seorang anggota sesuai dengan kewenangan IAI atau (4) Menghalangi anggota dari pengajuan pengaduan keluhan atau pemberian komentar atas penyidikan yang dilakukan oleh badan yang dibentuk IAI-KAP dalam rangka pengecekan disiplin anggota. Fee profesional a. Besaran fee

Besarnya fee anggota dapat bervariasi tergantung antara lain: risiko penugasan, kompleksitas jasa yang diberikan, tingkat keahlian yang diperlukan untuk melaksanakan jasa tersebut, struktur biaya KAP yang bersangkutan dan pertimbangan profesional lainnya. b. Fee kontinjensi Fee kontinjensi adalah fee yang ditetapkan untuk pelaksanaan suatu jasa profesional tanpa adanya fee yang akan dibebankan, kecuali ada temuan atau hasil tertentu dimana jumlah fee tergantung pada temuan atau hasil tertentu tersebut. Fee dianggap tidak kontinjensi jika ditetapkan oelh pengadilan atau badan pengatur atau dalam hal perpajkan, jika dasar penetapan adalah hasil penyelesaian hukum atau temuan dadan pengatur. Anggota KAP tidak diperkenankan untuk menetapkan fee kontinjensi apabila penetapan tersebut dapat mengurangi independensi. 4. Tanggungjawab kepada Rekan Seprofesi Dengan tidak melakukan perkataan dan perbuatan yang dapat merusak reputasi rekan seprofesi. Komunikasi antar akuntan publik Anggota wajib berkomunikasi tertulis dengan akuntan publik pendahulu bila akan mengadakan perikatan (engagement) audit menggantikan akuntan publik pendahulu atau untuk tahun buku yang sama ditunjuk akuntan publik lain dengan jenis dan periode serta tujuan yang berlainan. Akuntan publik pendahulu wajib menanggapi secra tertulis permintaan komunikasi dari akuntan pengganti secara memadai. Perikatan Atestasi Akuntan publik tidak diperkenankan mengadakan perikatan atestasi yang jenis atestasi dan periodenya sama dengan perikatan yang dilakukan oleh akuntan yang lebih dahulu di tunjuk klien, kecuali apabila perikatan tersebut dilaksanakan untuk memenuhi ketentuan perundang-undangan atau aturan yang di buat oleh badan berwenang. 5. Tanggung jawab dan praktik lain Perbuatan dan Perkataan yang Mendeskreditkan Anggota tidak diperkenankan melakukan tindakan dan/ atau mengucapkan perkataan yang mencemarkan profesi. Iklan, Promosi dan Kegiatan Pemasaran Lainnya

Anggota dalam menjalankan praktik akuntan publik diperkenankan mencari klien melalui pemasangan iklan, melakukan promosi pemasaran dan kegiatan pemasaran lainnya sepanjang tidak tidak merendahkan citra profesi. Komisi dan Fee referal a. Komisi Komisi adalah imbalan dalam bentuk uang atau barang atau bentuk lainnya yang diberikan atau diterima kepada/ dari klien/ pihak lain untuk memperoleh penugasan dari klien/ pihak lain. b. Fee referal (rujukan) Fee referal (rujukan) adalah imbalan yang dibayarkan/ diterima kepada/ dari sesama penyedia jasa profesional akuntan publik. Bentuk Organisasi dan nama KAP Anggota hanya dapat berpraktik dalam bentuk organisasi yang diizinkan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku dan/ atau yang tidak menyesatkan dan merendahkan citra profesi.

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan Etika dapat diartikan sebagai ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu kebiasaan sedangkan etika merupakan ilmu yang menyelidiki tingkah laku moral dimana dalam penyelidikan tersebut dilakukan dengan tiga pendekatan. Tiga pendekatan tersebut adalah pendekatan etika deskriftif, etika normatif dan metaetika. Kode etik harus memiliki empat komponen, yaitu Prinsip prinsip, Peraturan perilaku, Interprestasi dan Ketetapan etika. Sementara itu prinsip etika akuntan atau kode etik akuntan itu sendiri meliputi delapan butir pernyataan (IAI, 1998, dalam Ludigdo, 2007). Kedelapan butir pernyataan tersebut merupakan hal-hal yang seharusnya dimiliki oleh seorang akuntan. Delapan butir tersebut adalah tanggungjawab profesi, kepentingan publik, intergritas, obyektifitas, kompetensi dan kehati hatian profesional, kerahasiaan, perilaku profesional, dan standar teknis.

Daftar Pustaka :

Pustaka Pelajar. www. Google.com http://marisaicha.blogspot.com/2009/12/makalah-kode-etik-auditor.html

MAKALAH ETIKA FILSAFAT KOMUNIKASI DAN JURNALISTIK

DISUSUN OLEH :

FITRIANA 0902055276
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS MULAWARMAN SAMARINDA 2011

Anda mungkin juga menyukai