Anda di halaman 1dari 75

MAKALAH

Standar Akuntansi Khusus : Akuntansi Syari’ah, Perbankan dan

Asuransi

Dalam Rangka Memenuhi Tugas Mata Kuliah


Pelaporan Akuntansi Keuangan

Disusun oleh:

KELOMPOK 4

Ahsanatul Ghina (1910246992)

Debby Purnomo (1910246993)

Fany Audia Irjanti (1910246989)

Ghevin Kurnia (1910246990)

Wahid Qadri Damanik (1910247239)

PROGRAM STUDI MAGISTER AKUNTANSI


UNIVERSITAS RIAU
2020
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Standar akuntansi dapat digunakan sebagai pedoman dalam menyusun laporan keuangan
yang layak sehingga dapat menyajikan informasi yang bernilai bagi pihak-pihak yang
berkepentingan. Hal tersebut di perjelas oleh Ikatan Akuntan Indonesia dalam Standar Akuntansi
Keuangan (SAK) sebagai pedoman pokok penyusunan dan penyajian laporan keuangan bagi
perusahaan.
Standar Akuntansi Keuangan (SAK) adalah standar praktik akuntansi yang digunakan di
Indonesia, yang disusun dan diterbitkan oleh Dewan Standar Akuntansi Keuangan (DSAK) yang
dibentuk oleh Ikatan Akuntan Indonesia (IAI). Standar ini tercermin dalam Pernyataan Standar
Akuntansi Keuangan (PSAK), yang mengatur pencatatan, penyusunan, perlakuan, dan penyajian
laporan keuangan. Standar ini digunakan untuk entitas atau perusahaan yang memiliki
akuntabilitas publik yaitu entitas yang terdaftar atau dalam proses pendaftaran di pasar modal
atau entitas fidusia. Standar akuntansi yang ada akan terus mengalami perubahan dan
perkembangan sesuai dengan tuntutan masyarakat.
Makalah ini akan membahas mengenai standar akuntansi khusus yang membahas
mengenai akuntansi syariah, perbankan, dan asuransi. Pada akuntansi syariah akan membahas
PSAK 101 sampai 106; untuk perbankan menggunakan PAPI 2008 dan PSAK 71; sedangkan
untuk asuransi standar yang digunakan PSAK 28, 36 dan 62.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Akuntansi Syariah


Sistem keuangan Islam bukan sekedar transaksi komersial, tetapi harus sudah sampai
kepada lembaga keuangan untuk dapat mengimbangi tuntutan zaman. Bentuk sistem keuangan
atau lembaga keuangan yang sesuai dengan prinsip Islam adalah terbebas dari unsur riba.
Kontrak keuangan yang dapat dikembangkan dan dapat menggantikan sistem riba adalah
mekanisme syirkah yaitu:  musyarakah dan mudharaba.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang relatif cukup tinggi serta stabilitas nilai tukar
rupiah dan inflasi yang terkendali memberikan kondisi yang kondusif bagi dunia usaha. Hal ini
memberikan dampak kepada peningkatan aset, simpanan dan penyaluran dana sehingga fungsi
intermediary perbankan syariah yang tercermin dari Financing to Deposit Ratio (FDR) masih
terjaga dengan baik, selain permodalan dan profitabilitas industri perbankan syariah juga tetap
terpelihara dengan cukup baik. Kualitas pembiayaan juga relatif lebih baik, walaupun nominal
pembiayaan bermasalah sempat meningkat, namun akselerasi pembiayaan dan penyisihan aktiva
pembiayaan yang cukup besar mampu menekan dan mengendalikan rasio Non Performing
Financing (NPF). Selain itu, aktifitas inovasi produk dan layanan perbankan Syariah terus
berlangsung. Bank Indonesia selama tahun 2011 telah memberikan penegasan kepada 26 laporan
produk baru. Hal ini akan semakin meningkatkan akselerasi dan penerimaan masyarakat
terhadap bank syariah.
Akuntansi merupakan salah satu pokok materi kehidupan keseharian kita. Berkenaan
dengan prospek ekonomi ke depan, diharapkan kondisi perekonomian global yang masih belum
pulih tidak akan begitu berpengaruh terhadap perekonomian domestik seiring dengan perbaikan
produktifitas dan efisiensi perekonomian domestik. Bagi perbankan syariah, prospek ekonomi
tersebut akan semakin mendorong pertumbuhan industri ke depan khususnya melalui: (i) potensi
pasar yang masih besar yang belum tergarap sepenuhnya seiring dengan membaiknya
pendapatan per kapita masyarakat; (ii) ekspektasi investasi asing setelah tercapainya peringkat
investment grade bagi Indonesia sekaligus menurunkan risk premium Indonesia dalam industri
keuangannya dimata internasional; (iii) kuatnya sektor konsumsi domestik, kinerja investasi dan
(iv) keberhasilan program promosi dan edukasi publik tentang perbankan syariah.
Dengan adanya standar akuntansi syariah, laporan keuangan diharapkan dapat menyajikan
informasi yang relevan dan dapat dipercaya kebenarannya. Standar akuntansi juga digunakan
oleh pemakai laporan keuangan seperti investor, kreditor, pemerintah, dan masyarakat umum
sebagai acuan untuk memahami dan menganalisis laporan keuangan sehingga memungkinkan
mereka untuk mengambil keputusan yang benar. Dengan demikian, standar akuntansi memiliki
peranan penting bagi pihak penyusun dan pemakai laporan keuangan sehingga timbul
keseragaman atau kesamaan interpretasi atas informasi yang terdapat dalam laporan keuangan.

2.1.1. Pengertian Akuntansi Syariah


Menurut surat Al-Baqarah ayat 282, Allah memerintahkan untuk melakukan penulisan
secara benar atas segala transaksi yang pernah terjadi selama melakukan muamalah. Dan
menurut sejarah pengertian akutansi adalah disebutkan muncul di Italia pada abad ke-13 yang
lahir dari tangan seorang Pendeta Italia bernama Luca Pacioli yang menulis buku “Summa de
Arithmatica Geometria et Propotionalita” dengan memuat satu bab mengenai “Double Entry
Accounting System”.
Dari sisi ilmu pengetahuan, Akuntansi adalah ilmu informasi yang mencoba
mengkonversi bukti dan data menjadi informasi dengan cara melakukan pengukuran atas
berbagai transaksi dan akibatnya yang dikelompokkan dalam account, perkiraan atau pos
keuangan seperti aktiva, utang, modal, hasil, biaya, dan laba (Dapat dilihat dalam Al-Qur’an
surat A-Baqarah: 282).
Akuntansi Syari’ah adalah secara etimologi, kata akuntansi berasal dari bahasa inggris,
accounting, dalam bahasa Arabnya disebut “Muhasabah” yang berasal dari kata hasaba, hasiba,
muhasabah atau wazan yang lain adalah hasaba, hasban, hisabah, artinya menimbang,
memperhitungkan mengkalkulasikan, mendata, atau menghisab, yakni menghitung dengan
seksama atau teliti yang harus dicatat dalam pembukuan tertentu.
Kata “hisab” banyak ditemukan dalam Al-qur’an dengan pengertian yang hampir sama,
yaitu berujung pada jumlah atau angka, seperti Firman Allah SWT.
Kata hisab dalam ayat-ayat tersebut menunjukkan pada bilangan atau perhitungan yang
ketat, teliti, akurat, dan akuntabel. Oleh karena itu, akuntasi adalah mengetahui sesuatu dalam
keadaan cukup, tidak kurang dan tidak pula lebih.
Berdasarkan pengertian diatas maka dapat disimpulkan bahwa Akuntansi Syari’ah adalah
suatu kegiatan identifikasi, klarifikasi, dan pelaporan melalui dalam mengambil keputusan
ekonomi berdasarkan prinsip akad-akad syari’ah, yaitu tidak mengandung zhulum (Kezaliman),
riba, maysir (judi), gharar (penipuan), barang yang haram dan membahayakan.
Menurut PSAK 101 Laporan keuangan yang lengkap terdiri dari komponen-komponen
berikut ini:
1. Neraca
2. Laporan Laba Rugi
3. Laporan Arus Kas
4. Laporan Perubahan Ekuitas
5. Laporan Sumber dan Penggunaan Dana Zakat
6. Laporan Sumber dan Penggunaan Dana Kebajikan
7. Catatan Atas Laporan Keuangan

Tujuan dari laporan keuangan menurut PSAK 101 adalah untuk mengatur penyajian dan
pengungkapan laporan keuangan untuk tujuan umum (general purpose financial statements)
untuk entitas syariah yang selanjutnya disebut “laporan keuangan”, agar dapat dibandingkan baik
dengan laporan keuangan entitas syariah periode sebelumnya maupun dengan laporan keuangan
entitas syariah lain. Pengakuan, pengukuran, penyajian, dan pengungkapan transaksi dan
peristiwa tertentu diatur dalam Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) terkait.
Laporan keuangan harus menyajikan secara wajar posisi keuangan, kinerja keuangan dan
arus kas entitas syariah dengan menerapkan standar akuntansi keuangan secara benar disertai
pengungkapan yang diharuskan. Pernyataan standar akuntansi keuangan dalam catatan atas
laporan keuangan. Laporan keuangan harus disusun berdasarkan asumsi kelangsungan usaha,
kecuali manajemen ingin menjual atau melikuidasi atau tidak mempunyai alternatif lain selain
melakukan hal tersebut. Entitas syariah harus menyusun laporan keuangan atas dasar akrual,
dalam perhitungan pembagian hasil usaha didasarkan pada pendapatan yang benar benar terjadi
(cash basis).
2.1.2. Prinsip-prinsip Akuntansi Syariah
a. Pertanggungjawaban (Accountability)
Prinsip pertanggungjawaban (accountability), merupakan konsep yang tidak asing
lagi dikalangan masyarakat muslim. Pertanggungjawaban selalu berkaitan dengan konsep
amanah. Bagi kaum muslim, persoalan amanah merupakan hasil transaksi manusia
dengan Sang Khalik mulai dari alam kandungan. Manusia dibebani oleh Allah SWT.
untuk menjalankan fungsi kekhalifahan di muka bumi. Inti kekhalifahan adalah
menjalankan atau menunaikan amanah. Banyak ayat Al-Qur’an yang menjelaskan
tentang proses pertanggungjawaban manusia sebagai pelaku amanah Allah dimuka bumi.
Implikasi dalam bisnis dan akuntansi adalah bahwa individu yang terlibat dalam praktik
bisnis harus selalu melakukan pertanggungjawaban apa yang telah diamanatkan dan
diperbuat kepada pihak-pihak yang terkait.
b. Prinsip keadilan
Menurut penasiran Al-Qu’an surat Al-Baqarah; 282 terkandung prinsip keadilan
yang merupakan nilai penting dalam etika kehidupan sosial dan bisnis, dan nilai inheren
yang melekat dalam fitrah manusia. Hal ini berarti bahwa manusia itu pada dasarnya
memiliki kapasitas dan energi untuk berbuat adil dalam setiap aspek kehidupannya. Pada
konteks akuntansi, menegaskan kata adil dalam ayat 282 surat Al-Baqarah, dilakukan
oleh perusahan harus dicatat dengan benar. Misalnya, bila nilai transaksi adalah sebesar
Rp. 265 juta, maka akuntan (perusahaan) harus mencatat dengan jumlah yang sama dan
sesuai dengan nominal transaksi. Secara sederhana dapat berarti bahwa setiap transaksi
yang dengan kata lain tidak ada window dressing dalam praktik akuntansi perusahaan.
c. Prinsip keberanan
Prinsip ini sebenarnya tidak dapat dilepaskan dengan prinsip keadilan.
Sebagai contoh, dalam akuntansi kita selalu dihadapkan pada masalah pengakuan,
pengukuran laporan. Aktivitas ini akan dapat dilakukan dengan baik apabila dilandaskan
pada nilai kebenaran. Kebenaran ini akan dapat menciptakan nilai keadilan dalam
mengakui, mengukur, dan melaporkan tansaksi-transaksi dalam ekonomi. Maka,
pengembangan akuntansi Islam, nilai-nilai kebenaran, kejujuran dan keadilan harus
diaktualisasikan dalam praktik akuntansi. Secara garis besar, bagaimana nilai-nilai
kebenaran membentuk akuntansi syari’ah dapat diterangkan.
Dari penjelasan di atas bahwa kata keadilan dalam konteks aplikasi akuntansi mengandung dua
makna:
1. Keadilan mengandung makna yang berkaitan dengan moral, yaitu kejujuran, yang
menempatkan faktor yang sangat dominan. Tanpa kejujuran, informasi yang dihasilkan
oleh seorang akuntan akan berakibat fatal pada pemakai dan pengguna laporan keuangan.
Sehingga pengambilan keputusanpun salah dan secara tidak langsung berdampak pada
masyarakat banyak.
2. Kata keadilan bersifat fundamental. Dimana kata adil disini merupakan sebagai
pendorong untuk melakukan upaya-upaya dokontruksi terhadap keadaan akuntansi
modern menuju pada akuntansi yang lebih baik dan termoderinisasi sesuai dengan nilai-
nilai Islam yang ada.
Menurut pandangan beberapa kalangan yang lain akuntansi Islam (syari’ah) mempunyai prinsip-
prinsip sebagai berikut adalah:
1. Prinsip Legitimasi Muamalat yaitu sasaran-sasaran, transaksi-transaksi, tindakan-
tindakan dan keputusan-keputusan itu sah dan benar menurut syariat.
2. Prinsip Entitas Spiritual adalah adanya pemisahan kegiatan investasi dari pribadi yang
melakukan pendanaan terhadap kegiatan investasi dalam aktivitas perusahaan.
3. Prinsip Kontinuitas yaitu prinsip yang keberadaanya dapat memberikan pandangan
bahwa perusahaan itu akan terus menjalankan kegiatannya sampai waktu yang tidak
diketahui, dan dilikuidasinya merupakan masalah pengecualian, kecuali jika terdapat
indikasi yang mengarah kepada kebalikannya.
4. Prinsip Matching yaitu suatu cermin yang memantulkan hubungan sebab akibat antara
dua sisi, dari satu segi, dan mencerminkan juga hasil atau dari hubungan tersebut dari
segi lainnya
Dari prinsip ini dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:
 Umur perusahaan tidak tergantung pada umur pemiliknya.
 Mendorong manusia agar salalu beramal dan bekerja keras, padahal ia mengetahui bahwa
dia akan tiada suatu saat nanti.
Berdasarkan pada nash-nash Al-Qur’an yang telah dijelaskan tentang konsep akuntansi
dan prinsip-prinsip akuntansi syari’ah, maka dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri akuntansi
syari’ah sebagai berikut;
1. Dilaporkan secara benar (QS. 10:5)
2. Cepat dalam pelaporannya (QS.2:202, 19:4,5)
3. Dibuat oleh ahlinya (akuntan) (QS.13:21, 13:40)
4. Tearang, jelas, tegas dan informatif (QS. 17:12, 14:41)
5. Memuat informasi yang menyeluruh (QS.6:552, 39:10)
6. Informasi ditujukan kepada semua pihak yang terlibat dan membutuhkan (QS.2:212,
3:27)
7. Terperinci dan teliti (QS.65:8)
8. Tidak terjadi manipulasi (QS.69:20, 78:27)
9. Dilakukan secara kontinyu (tidak lalai) (QS.21:1, 38:26)

2.1.3. Persamaan dan Perbedaan Akuntansi Syariah dan Akuntansi Konvensional


Akuntansi syari’ah dan akuntansi konvensional merupakan sifat akuntansi yang diakui
oleh masyarakat ekonomi secara umum. Keduanya merupakan hal yang tidak terpisahkan dari
masalah ekonomi dan informasi keuangan suatu perusahaan atau sejenisnya. Untuk
membedakan prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah dalam akuntansi syari’ah dan akuntansi
konvensional, dapat diuraikan sebagai berikut;
Persamaan prinsip akuntansi syariah dan akuntansi konvensional:
1. Prinsip pemisahan jaminan keuangan dengan prinsip unit ekonomi;
2. Prinsip penahunan (hauliyah) dengan prinsip periode waktu atau tahun pembukuan
keuangan;
3. Prinsip pembukuan langsung dengan pencatatan bertanggal;
4. Prinsip kesaksian dalam pembukuan dengan prinsip penentuan barang;
5. Prinsip perbandingan (muqabalah) dengan prinsip perbandingan income dengan cost
(biaya);
6. Prinsip kontinuitas (istimrariah) dengan kesinambungan perusahaan;
7. Prinsip keterangan (idhah) dengan penjelasan atau pemberitahuan
Perbedaan menurut Husein Syahatah, dalam buku Pokok-Pokok Pikiran Akuntansi Islam,
antara lain terdapat pada hal-hal sebagai berikut:
a) Para ahli akuntansi modern berbeda pendapat dalam cara menentukan nilai atau harga
untuk melindungi modal pokok, dan juga hingga saat ini apa yang dimaksud dengan
modal pokok (kapital) belum ditentukan. Sedangkan konsep Islam menerapkan konsep
penilaian berdasarkan nilai tukar yang berlaku, dengan tujuan melindungi modal pokok
dari segi kemampuan produksi di masa yang akan datang dalam ruang lingkup
perusahaan yang kontinuitas;
b) Modal dalam konsep Akuntansi Konvensional terbagi menjadi dua bagian, yaitu modal
tetap (aktiva tetap) dan modal yang beredar (aktiva lancar), sedangkan di dalam konsep
Islam barang-barang pokok dibagi menjadi harta berupa uang (cash) dan harta berupa
barang (stock), selanjutnya barang dibagi menjadi barang milik dan barang dagang;
c) Dalam konsep Islam, mata uang seperti emas, perak, dan barang lain yang sama
kedudukannya, bukanlah tujuan dari segalanya, melainkan hanya sebagai perantara untuk
pengukuran dan penentuan nilai atau harga, atau sebagi sumber harga atau nilai;
d) Konsep konvensional mempraktekan teori pencadangan dan ketelitian dari menanggung
semua kerugian dalam perhitungan, serta mengenyampingkan laba yang bersifat
mungkin, sedangkan konsep Islam sangat memperhatikan hal itu dengan cara penentuan
nilai atau harga dengan berdasarkan nilai tukar yang berlaku serta membentuk cadangan
untuk kemungkinan bahaya dan resiko;
e) Konsep konvensional menerapkan prinsip laba universal, mencakup laba dagang, modal
pokok, transaksi, dan juga uang dari sumber yang haram, sedangkan dalam konsep Islam
dibedakan antara laba dari aktivitas pokok dan laba yang berasal dari kapital (modal
pokok) dengan yang berasal dari transaksi, juga wajib menjelaskan pendapatan dari
sumber yang haram jika ada, dan berusaha menghindari serta menyalurkan pada tempat-
tempat yang telah ditentukan oleh para ulama fiqih. Laba dari sumber yang haram tidak
boleh dibagi untuk mitra usaha atau dicampurkan pada pokok modal;
f) Konsep konvensional menerapkan prinsip bahwa laba itu hanya ada ketika adanya jual-
beli, sedangkan konsep Islam memakai kaidah bahwa laba itu akan ada ketika adanya
perkembangan dan pertambahan pada nilai barang, baik yang telah terjual maupun yang
belum. Akan tetapi, jual beli adalah suatu keharusan untuk menyatakan laba, dan laba
tidak boleh dibagi sebelum nyata laba itu diperoleh.
g) Komponen laporan keuangan entitas Syariah meliputi neraca, laporan laba rugi, laporan
arus kas, laporan perubahan ekuitas, laporan perubahan dana investasi terikat, laporan
sumber dan penggunaan dana zakat, laporan sumber dan penggunaan dana qardh dan
catatan atas laporan keuangan. Sedangkan komponen laporan keuangan konvensional
tidak menyajikan laporan perubahan dana investasi terikat, laporan sumber dan
penggunaan dana zakat serta laporan sumber dan penggunaan dana qardh.
Dari penjelasan di atas dapat di disimpulkan perbandingan akuntansi syariah dan akuntansi
konvensional sebagai berikut:

Akuntansi Syari’ah
1. Keadaan entitas didasarkan pada bagi hasil.
2. Kelangsungan usaha tergantung pada persetujuan kontrak antara kelompok yang terlibat
dalam aktivitas bagi hasil.
3. Setiap tahun dikenai zakat, kecuali untuk pertanian yang dihitung setiap panen.
4. Menunjukkan pemenuhan hak dan kewajiban kepada Allah SWT, masyarakat dan
individu.
5. Berhubungan erat dngan konsep ketaqwaan, yaitu pengeluaran materi maupun non-materi
untuk memenuhi kewajiban.
6. Berhubungan dengan pengukuran dan pemenuhan tugas atau kewajiban kepada Allah
AWT, masyarakat dan individu.
7. Pemilihan teknik akuntansi dengan memperhatikan dampak baik buruknya pada
masyarakat.

Akuntansi Konvensional
1. Keadaan entitas dipisahkan antara bisnis dan pemilik.
2. Kelangsungan bisnis secara terus menerus, yaitu didasarkan pada realisasi aset.
3. Periode akuntansi tidak dapat menunggu sampai akhir kehidupan perusahaan dengan
mengukur keberhasilan aktivitas perusahaan.
4. Bertujuan untuk pengambilan keputusan.
5. Reabilitas pengurang digunakan dengan dasar pembuatan keputusan
6. Dihubungkan dengan kepentingan relatif mengenai informasi pembuatan keputusan.
7. Pemilihan teknik akuntansi yang sedikit berpengaruh pada pemilik.

2.2. Akuntansi Murabahah (PSAK 102)


Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan 102:  Akuntansi Murabahah dikeluarkan oleh
Dewan Standar Akuntansi Keuangan Ikatan Akuntan Indonesia (DSAK IAI) pada 27 Juni 2007.
PSAK 102 menggantikan pengaturan mengenai akuntansi murabahah dalam PSAK
59:  Akuntansi Perbankan Syariah yang dikeluarkan pada 1 Mei 2002.
Berdasarkan surat Dewan Pengurus Nasional (DPN) IAI No. 0823-B/DPN/IAI/ XI/2013
maka seluruh produk akuntansi syariah yang sebelumnya dikeluarkan oleh DSAK IAI dialihkan
kewenangannya kepada Dewan Standar Akuntansi Syariah (DSAS) IAI.
Setelah pengesahan awal di tahun 2007, PSAK 102 mengalami perubahan sebagai berikut:
1. 13 November 2013 sehubungan dengan keluarnya Fatwa Dewan Syariah Nasional
Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI) No. 84/DSNMUI/ XII/2012 tentang Metode
Pengakuan Keuntungan Tamwil Bi Al-Murabahah (Pembiayaan Murabahah) di Lembaga
Keuangan Syariah.
2. 06 Januari 2016 terkait terkait definisi nilai wajar yang disesuaikan dengan PSAK
68:  Pengukuran Nilai Wajar. Perubahan ini berlaku efektif 1 Januari 2017 secara
retrospektif.
PSAK 102: Akuntansi Murabahah mengatur pengakuan, pengukuran, penyajian, dan
pengungkapan transaksi murabahah. PSAK 102 diterapkan untuk:
a) Lembaga keuangan syariah dan koperasi syariah yang melakukan transaksi murabahah
baik sebagai penjual maupun pembeli; dan
b) Pihak-pihak yang melakukan transaksi murabhah dengan lembaga keuangan syariah atau
koperasi syariah.
Akuntansi untuk Penjual
Pada saat perolehan, aset murabahah diakui sebagai persediaan sebesar biaya perolehan.
Akuntansi untuk Pembeli Akhir
Aset yang diperoleh melalui transaksi murabahah diakui sebesar biaya perolehan
murabahah tunai. Selisih antara harga beli yang disepakati dengan biaya perolehan tunai diakui
sebagai beban murabahah tangguhan.
Hutang yang timbul dari transaksi murabahah tangguh diakui sebagai hutang murabahah
sebesar harga beli yang disepakati (jumlah yang wajib dibayarkan). Aset yang diperoleh melalui
transaksi murabahah diakui sebesar biaya perolehan murabahah tunai. Selisih antara harga beli
yang disepakati dengan biaya perolehan tunai diakui sebagai beban murabahah tangguhan.
Beban murabahah tangguhan diamortisasi secara proporsional dengan porsi hutang murabahah.
Diskon pembelian yang diterima setelah akad murabahah, potongan pelunasan dan potongan
hutang murabahah sebagai pengurang beban murabahah tangguhan. Denda yang dikenakan
akibat kelalaian dalam melakukan kewajiban sesuai dengan akad diakui sebagai kerugian.
Potongan uang muka akibat pembeli akhir batal membeli barang diakui sebagai kerugian.

2.2.1. Penyajian
Piutang murabahah disajikan sebesar nilai bersih yang dapat direalisasikan, yaitu saldo
piutang murabahah dikurangi penyisihan kerugian piutang. Margin murabahah tangguhan
disajikan sebagai pengurang (contra account) piutang murabahah.

2.2.2. Pengungkapan
Lembaga keuangan syariah mengungkapkan hal-hal yang terkait dengan transaksi
murabahah, tetapi tidak terbatas, pada:
(a) Harga perolehan aset murabahah
(b) Janji pemesanan dalam murabahah berdasarkan pesanan sebagai kewajiban atau bukan
(c) Pengungkapan yang diperlukan sesuai Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan Nomor
101 tentang Penyajian Laporan Keuangan Syariah.

2.2.3. Kritisi
Dalam bagian pertama dari tulisan ini ditegaskan bahwa yang dimaksudkan dengan
murabahah adalah jual beli barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan yang
disepakati. Dengan adanya murabahah maka pihak penjual harus memberitahukan harga produk
yang di beli dan menentukan suatu tingkat keuntungan sebagai tambahannya. Ini merupakan
konsep murabahah yang diakui secara internasional. Meskipun begitu fakta yang ada
membuktikan bahwa bank syariah di Indonesia banyak menerapkan konsep murabahah dalam
bentuk pembiayaan murabahah, atau tamwil bil murabahah. Karena itulah ketika DSAS IAI
mengeluarkan PSAK 102 tentang murabahah dimana dalam PSAK tersebut merujuk pada
pengertian murabahah secara umum dan diterima dalam konsep fiqh muamalah, maka PSAK
102 tersebut menjadi banyak tidak diaplikasikan secara penuh oleh perbankan syariah, dan
akuntan publik yang tidak menyampaikan hal tersebut dalam laporan auditnya.
Entitas syariah selama ini hanya menerapkan PSAK 102 sepotong-sepotong dan
menggabungkanya dengan PSAK 55 tentang instrumen keuangan yang hanya diambil pada
bagian yang menguntungkan perusahaan.  Atas dasar itulah maka sebagai sebuah terobosan IAI
mengeluarkan PSAK 102 revisi 2013. Ini untuk mengakomodasi konsep pembiayaan murabahah
yang berbasis jual beli dan banyak dilakukan oleh bank syariah. Dalam rangka itu DSAS IAI
meminta fatwa dari DSN. Maka keluarlah fatwa DSN MUI No 84 /DSN-MUI/XII/2012 Tentang
Metode Pengakuan Keuntungan Tamwil Bil Murabahah di lembaga keuangan syariah yang
menyatakan “Pengakuan Keuntungan murabahah dalam bisnis yang dilakukan oleh para
pedagang (al tujjar) yaitu secara proporsional boleh dilakukan selama sesuai dengan urf
(kebiasaan) yang berlaku di kalangan para pedagang”. Hal ini sesuai konsep pembiayaan
murabahah atau tamwil bil murabahah yang selama ini banyak dilakukan oleh bank syariah di
Indonesia. Selain itu dalam fatwa ini juga disebutkan bahwa “pengakuan keuntungan al tamwil
bil murabahah dalam bisnis yang dilakukan oleh lembaga keuangan syariah boleh dilakukan
secara proporsional dan secara anuitas selama sesuai dengan urf (kebiasaaan) yang berlaku di
kalangan LKS”. Yang terpenting dari fatwa ini adalah bagian terakhir dari fatwa tersebut yang
menyatakan bahwa “metode pengakuan keuntungan at tamwil bil murabahah yang ashlah
(bermanfaat) dalam masa pertumbuhan LKS adalah metode anuitas”.
Dikarenakan menganut konsep anuitas, maka PSAK 102 revisi 2013 harus dilekatkan
dengan PSAK lain yang menerapkan metode anuitas. PSAK tersebut adalah PSAK 50, 55 dan
juga PSAK 60. Bagaimana menerapakan PSAK 102 (revisi 2013) dan bagaimana perbedaannya
dengan PSAK 102 sehingga LKS tidak salah menerapkan kedua PSAK tersebut? DSAS IAI
telah memberikan panduan yang cukup sebagai berikut:
Pertama perlu dilihat posisi LKS sebagai penjual. Apabila ingin menerapkan PSAK 102,
maka sebagai penjual LKS perlu memiliki beberapa persyaratan sebagai berikut: LKS memiliki
resiko kepemilikan persediaan yang signifikan dimana di sana terdapat:
1. Risiko perubahan harga persediaan
2. Keusangan dan kerusakan persediaan
3. Biaya pemeliharaan dan penyimpanan persediaan
4. Resiko pembatalan pesanan pembelian secara sepihak.
Ke 4 karakter tersebut merupakan karakteristik dari LKS yang menerapkan murabahah
secara murni, seperti yang banyak dilakukan oleh bank syariah dan LKS di kawasan Timur
Tengah dan Afrika. Bila semua jawabannya adalah iya, maka PSAK yang diterapkan adalah
PSAK 102. Sedangkan bila jawabannnya adalah tidak, maka PSAK yang diterapkan adalah
PSAK 102 revisi 2013 yang dilekatkan dengan PSAK 50, 55 dan 60. Penerapan PSAK 50, 55
dan 60 ini dilakukan untuk pembiayaan murabahah yang terkait dengan adanya ketentuan
berkaitan dengan aset keuangan dalam kategori pinjaman yang diberikan dan juga piutang.
Selain itu juga  ditegaskan bahwa penerapan PSAK 102 dan PSAK 50, 55 dan 60 ini bukan
merupakan kebijakan akuntansi yang bersifat pilihan atau not policy option choice.
Meskipun begitu, DSAS IAI sangat menyadari bahwa terdapat elemen dalam gabungan
PSAK 50, 55 dan 60 tersebut yang belum sesuai dengan karakteristik syariah. Karena
itulah dibuat serangkaian penyesuian yaitu:
1. Istilah Effective Interest Rate menjadi rate of return
2. Effective Rate Of Return merupakan alokasi keuntungan murabahah yang tidak sama
dengan rate of return dalam bank konvensional
3. Ketika masa akad murabahah selesai tidak ada tambahan keuntungan murabahah karena
keuntungan murabahah bersifat tetap
4. Tidak ada off market interest rate.
Yang juga membedakan antara PSAK 102 dengan PSAK 102 revisi 2013 adalah pada
PSAK 102 tidak dilakukan pengaturan tentang  cadangan penurunan nilai. Sementara dalam
penerapan awal PSAK 102 (2013) ini ditentukan penurunan nilai berdasarkan kondisi yang ada
pada saat itu. Dan selisihnya yang terjadi diakui di saldo laba awal. Sementara jika penentuan
penurunan nilai tersebut tidak dilakukan pada awal penerapan PSAK 50,55 dan 60, maka
dilakukan pemisahan penurunan nilai yang berasal dari periode berjalan yang diakui di laba rugi
dan periode sebelumnya yang diakui di saldo laba.

2.3. Akuntansi Salam (PSAK 103)


2.3.1. Definisi Akuntansi Salam
Salam merupakan salah satu jenis akad jual beli, dimana pembeli membayar terlebih
dahulu atas suatu barang yang spesifikasi dan kuantitasnya jelas sedangkan barangnya baru akan
diserahkan pada saat tertentu dikemudian hari.
Dengan demikian, akad salam dapat membantu produsen dalam penyediaan modal
sehingga ia dapat menyerahkan produk sesuai dengan yang telah dipesan sebelumnya.
Sebaliknya, pembeli dapat jaminan memperoleh barang tertentu, pada saat ia membutuhkan
dengan harga yang disepakatinya diawal. Akad salam biasanya digunakan untuk pemesanan
barang tertentu.
PSAK 103, mendefinisikan salam sebagai akad jual beli barang pesanan (muslam
fiih) dengan pengiriman dikemudian hari oleh penjual (muslam alaihi) dan pelunasannya
dilakukan oleh pembeli (al muslam) pada saat akad disepakati sesuai dengan syarat-syarat
tertentu. Salam tidak mirip dengan transaksi ijon, karena itu dibolehkan oleh syariah karena tidak
ada gharar. Walaupun barang baru diserahkan dikemudian hari, harga, spesifiksi, karakteristik,
kualitas, kuantitas dan waktu penyerahannya sudah ditentukan dan disepakati ketika akad terjadi.
Rukun salam ada tiga, yaitu:
a. Pelaku, terdiri penjual (muslam alaih) dan pembeli (muslam)
b. Objek akad berupa barang yang akan diserahkan (muslam alaih)
c. Modal salam (ra’su maalis salam)

Ketentuan syariah yang terkait dengan modal salam yaitu:


a. Modal salam harus diketahui jenis dan jumlahnya.
b. Modal salam uang tunai. Para ulama berbeda pendapat masalah bolehnya pembayaran
dalam bentuk aset perdagangan. Beberapa ulama menganggapnya boleh.
c. Modal salam diserahkan ketika akad berlangsung, tidak boleh utang atau merupakan
pelunasan piutang. Hal ini adalah untuk mencegah praktik riba melalui mekanisme salam.
Ketentuan syariah barang salam, yaitu:
a. Barang tersebut harus dapat dibedakan/didefenisikan mempunyai spesifikasi dan
karakteristik yang jelas kualitas, jenis, ukuran dan lain sebagainya sehingga tidak ada
gharar.
b. Barang tersebut harus dapat dikuantifikasi/ditakar/ditimbang.
c. Waktu penyerahan barang harus jelas, tidak harus tanggal tertentu boleh juga dalam
kurun waktu tertentu, misalnya dalam waktu 6 bulan atau musim panen disesuaikan
dengan kemungkinan yang tersedianya barang yang dipesan. Hal tersebut diperlukan
untuk mencegah gharar atau ketidakpastian, harus ada pada waktu yang ditentukan.
d. Barang tidak harus ada ditangan penjual tetapi harus ada pada waktu yang ditentukan.
e. Apabila barang yang dipesan tidak ada pada waktu yang ditentukan, akad
menjadi fasakh/rusak dan pembeli dapat memilih apakah menunggu sampai dengan
barang yang dipesan tersedia atau membatalkan akad sehingga penjual harus
mengembalikan dana yang telah diterima.
f. Apabila barang yang dikirim cacat atau tidak sesuai dengan yang disepakati dalam akad,
maka pembeli boleh melakukan khiar atau memilih untuk menerima atau menolak. Kalau
pilihannya menolak maka penjual memiliki utang yang dapat diselesaikan dengan
pengembalian dana atau menyerahkan produk yang sesuai dengan akad.
g. Apabila barang yang dikirim memiliki kualitas yang lebih baik, maka penjual tidak boleh
meminta tambahan pembayaran dan hal ini dianggap sebagai pelayanan kepuasan
pelanggan.
h. Apabila barang yang dikirim kualitasnya lebih rendah, pembeli boleh memilih menolak
atau menerimanya. Apabila pembeli menerima maka pembeli tidak boleh meminta
pengurangan harga.
i. Barang boleh dikirim sebelum jauh tempo asalkan disetujui oleh kedua pihak dan dengan
syarat kualitas dan jumlah barang sesuai dengan kesepakatan, dan tidak boleh menuntut
penambahan harga.
j. Penjualan kembali barang yang dipesan sebelum diterima tidak dibolehkan secara
syariah.
k. Kaidah penggantian barang yang dipesan dengan barang lain. Para ulama melarang
penggantian spesifikasi barang yang tidak sesuai dengan spesifikasi dan kualitas yang
sama, tetapi sumbernya berbeda, para ulama membolehkannya.
l. Apabila tempat penyerahan barang tidak disebutkan, akad tetap sah. Namun sebaiknya
dijelaskan dalam akad, apabila tidak disebutkan maka harus dikirim ketempat yang
menjadi kebiasaan, misalnya gudang pembeli.

2.3.2. Jenis-Jenis Akad Salam


1. Langsung : Pembeli ~ Penjual
Transaksi jual beli dimana barang yang diperjual belikan belum ada ketika transaksi
dilakukan, dan pembeli melakukan pembayaran di muka sedangkan penyerahan barang
baru dilakukan di kemudian hari

Gambar 1. Alur transaksi salam langsung

2. Paralel : Pembeli ~ Penjual ~ Pemasok


Terdapat dua transaksi salam yaitu antara pemesan dan penjual serta antara penjual
dengan pemasok (supplier) atau pihak ketiga lainnya. Syarat: tidak terjadi ta’alluq (saling
keterkaitan antara akad salam 1 dan 2). Hal ini terjadi ketika penjual tidak memiliki
barang pesanan dan memesan kepada pihak lain untuk menyediakan barang pesanan
tersebut. Salam paralel dibolehkan asalkan akad salam kedua tidak tergantung pada akad
yang pertama yaitu akad antara penjual dan pemasok tidak tergantung pada akad antar
pembeli dan penjual, jika saling tergantung atau menjadi syarat tidak diperbolehkan.
Beberapa ulama kontemporer tidak membolehkan transasksi salam paralel terutama
jika perdagangan dan transaksi semacam itu dilakukan secara terus-menerus, karena
dapat menjurus kepada riba.
Gambar 2. Alur
transaksi salam paralel
Penyebab berakhirnya akad salam
Dari penjelasan diatas, hal-hal yang dapat membatalkan kontrak adalah:
a. Barang yang dipesan tidak ada pada waktu yang ditentukan.
b. Barang yang dikirim cacat atau tidak sesuai dengan yang disepakati dalam akad.
c. Barang yang dikirim kualitasnya lebih rendah, dan pembeli memilih menolak untuk
membatalkan akad.
d. Barang yang dikirim kualitasnya tidak sesuai akad tetapi pembeli menerimanya.
e. Barang diterima.

Pengawasan syariah terhadap akad salam dan salam paralel


Dalam memastikan kesesuaian praktik jual beli salam dan salam paralel yang dilakukan
dengan ketentuan syariah yang ditetapkan oleh DSN, DPS melakukan pengawasan syariah secara
periodik. Pengawasan tersebut berdasarkan pedoman yang ditetapkan oleh Bank Indonesia
dilakukan untuk:
a. Memastikan barang yang diperjualbelikan tidak diharamkan oleh syariah Islam.
b. Memastikan bahwa pembayaran atas barang salam kepada pemasok telah dilakukan di
awal kontrak secara tunai sebesar akad salam.
c. Meneliti bahwa akad salam telah sesuai dengan fatwa DSN MUI tentang salam dan
peraturan Bank Indonesia yang berlaku.
d. Meneliti kejelasan akad salam yang dilakukan dalam format salam paralel atau akad
salam biasa.
e. Meneliti bahwa keuntungan Bank Syariah atas praktik salam paralel diperoleh dari selisih
antara harga beli dari pemasok dengan harga jual kepada nasabah/pembeli akhir.

2.3.3. Alur Transaksi Akad Salam

Gambar 3. Contoh alur transaksi akad salam


1) Negosiasi dengan persetujuan kesepakatan antara penjual (Bank Syariah) dengan pembeli
(Nasabah) terkait transaksi salam yang akan dilaksanakan.
2) Setelah akad disepakati, pembeli melakukan pembayaran terhadap barang yang
diinginkan sesuai dengan kesepakatan yang sudah dibuat (Contoh: dibayar tunai 100%)
3) Negosiasi dengan persetujuan kesepakatan antara penjual (Petani atau KUD) dengan
pembeli (Bank Syariah) terkait transaksi salam yang akan dilaksanakan.
4) Setelah akad disepakati, pembeli (Bank Syariah) melakukan pembayaran kepada penjual
(Petani atau KUD) terhadap barang yang diinginkan sesuai dengan kesepakatan yang
sudah dibuat (Contoh: dibayar tunai 100%)
5) Pada transaksi salam, penjual mulai memproduksi atau menyelesaikan tahapan
penanaman produk yang diinginkan pembeli.
6) Setelah produk dihasilkan, pada saat atau sebelum tanggal penyerahan, penjual mengirim
barang sesuai dengan spesifikasi kualitas dan kuantitas yang telah disepakati kepada
pembeli. Adapun transaksi salam paralel, yang biasanya digunakan oleh penjual (bank
Syariah) yang tidak memproduksi sendiri produk salam, setelah menyepakati kontrak
salam dan menerima dana dari nasabah salam, selanjutnya secara terpisah membuat akad
salam dengan petani sebagai produsen produk salam.
7) Pengiriman barang dan dokumen transaksi oleh Penjual (Petani atau KUD) kepada
Pembeli (Bank Syariah)
8) Dalam jangka waktu tertentu, berdasarkan kesepakatan dengan Bank, petani mengirim
produk salam kepada petani sesuai dengan spesifikasi yang ditentukan.
9) Bank menerima dokumen penyerahan produk salam kepada nasabah dari petani lalu
mengirimkan barang dan dokumen transaksi kepada Nasabah.

2.3.4. Ruang Lingkup


1. Pernyataan ini diterapkan untuk: (a) lembaga keuangan syariah yang melakukan transaksi
salam baik sebagai penjual maupun pembeli; dan (b) pihak-pihak yang melakukan
transaksi salam dengan lembaga keuangan syariah.
2. Pernyataan ini tidak mencakup pengaturan perlakuan akuntansi atas obligasi syariah
(sukuk) yang menggunakan akad salam.
3. Lembaga keuangan syariah yang dimaksud, antara lain, adalah: (a) perbankan syariah
sebagaimana yang dimaksud dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku; (b)
lembaga keuangan syariah non-bank seperti asuransi, lembaga pembiayaan, dan dana
pensiun; dan lembaga keuangn lainnya yang diatur oleh perundang-undangan yng berlaku
untuk menjalankan transaksi salam.

2.3.5. Pengakuan dan Pengukuran


Akuntansi untuk Pembeli
1. Piutang salam diakui pada saat modal usaha salam dibayarkan atau dialihkan kepada
penjual.
2. Modal usaha salam dapat berupa kas dan aset nonkas. Modal usaha salam dalam bentuk
kas diukur sebesar jumlah yang dibayarkan, sedangkan modal usaha salam dalam bentuk
aset nonkas diukur sebesar nilai wajar. Selisih antara nilai wajar dan nilai tercatat modal
usaha nonkas yang diserahkan diakui sebagai keuntungan atau kerugian pada saat
penyerahan modal usaha tersebut.
3. Penerimaan barang pesanan diakui dan diukur sebagai berikut:
(a) Jika barang pesanan sesuai dengan akad dinilai sesuai nilai yang disepakati; (b) jika
barang pesanan berbeda kualitasnya, maka:
(i). Barang pesanan yang diterima diukur sesuai dengan nilai akad, jika nilai
pasar (nilai wajar jika nilai pasar tidak tersedia) dari barang pesanan yang
diterima nilainya sama atau lebih tinggi dari nilai barang pesanan yang
tercantum dalam akad;
(ii). Barang pesanan yang diterima diukur sesuai nilai pasar (nilai wajar jika nilai
pasar tidak tersedia) pada saat diterima dan selisihnya diakui sebagai
kerugian, jika nilai pasar dari barang pesanan lebih rendah dari nilai barang
pesanan yang tercantum dalam akad;
(b) Jika pembeli tidak menerima sebagian atau seluruh barang pesanan pada tanggal
jatuh tempo pengiriman, maka:
(i). Jika tanggal pengiriman diperpanjang, nilai tercatat piutang salam sebesar
bagian yang belum dipenuhi tetap sesuai dengan nilai yang tercantum
dalam akad;
(ii). Jika akad salam dibatalkan sebagian atau seluruhnya, maka piutang salam
berubah menjadi piutang yang harus dilunasi oleh penjual sebesar bagian
yang tidak dapat dipenuhi; dan
(iii). Jika akad salam dibatalkan sebagian atau seluruhnya dan pembeli
mempunyai jaminan atas barang pesanan serta hasil penjualan jaminan
tersebut lebih kecil dari nilai piutang salam, maka selisih antara nilai
tercatat piutang salam dan hasil penjualan jaminan tersebut diakui sebagai
4. Pembeli dapat mengenakan denda kepada penjual, denda hanya boleh dikenakan kepada
penjual yang mampu menyelesaikan kewajibannya, tetapi sengaja tidak melakukannya.
Hal ini tidak berlaku bagi penjual yang tidak mampu menunaikan kewajibannya karena
force majeur. Denda dikenakan jika penjual lalai dalam melakukan kewajibannya sesuai
dengan akad, dan denda yang diterima diakui sebagai bagian dana kebajikan.
5. Barang pesanan yang telah diterima diakui sebagai persediaan. Pada akhir periode
pelaporan keuangan, persediaan yang diperoleh melalui transaksi salam diukur sebesar
nilai terendah biaya perolehan atau nilai bersih yang dapat direalisasi. Apabila nilai
bersih yang dapat direalisasi lebih rendah dari biaya perolehan, maka selisihnya diakui
sebagai kerugian.

Akuntansi untuk Penjual


1. Kewajiban salam diakui pada saat penjual menerima modal usaha salam sebesar modal
usaha salam yang diterima.
2. Modal usaha salam yang diterima dapat berupa kas dan aset non kas. Modal usaha salam
dalam bentuk kas diukur sebesar jumlah yang diterima, sedangkan modal usaha salam
dalam bentuk aset nonkas diukur sebesar nilai wajar.
3. Kewajiban salam dihentikan pengakuannya (derecognation) pada saat penyerahan barang
kepada pembeli. Jika penjual melakukan transaksi salam paralel, selisih antara jumlah
yang dibayar oleh pembeli akhir dan biaya perolehan barang pesanan diakui sebagai
keuntungan atau kerugian pada saat penyerahan barang pesanan oleh penjual ke pembeli
akhir.

2.3.6. Penyajian
1. Pembeli menyajikan modal usaha salam yang diberikan sebagai piutang salam.
2. Piutang yang harus dilunasi oleh penjual karena tidak dapat memenuhi kewajibannya
dalam transaksi salam disajikan secara terpisah dari piutang salam.
3. Penjual menyajikan modal usaha salam yang diterima sebagai kewajiban salam.

2.3.7. Pengungkapan
1. Lembaga keuangan syariah mengungkapkan sesuai Pernyataan Standar Akuntansi
Keuangan Nomor 101 tentang Penyajian Laporan Keuangan Syariah.

Cakupan standar akuntansi salam dan salam paralel


Akuntansi Salam diatur dalam PSAK 103 tentang akuntansi salam. Standar tersebut
berisikan tentang pengakuan dan pengukuran, baik sebagai pembeli maupun sebagai penjual.
Berbagai hal yang perlu diperhatikan dalam ketentuan pengakuan dan pengukuran salam
adalah terkait dengan piutang salam, modal usaha salam, kewajiban salam, penerimaan barang
pesanan salam, denda yang diterima oleh pembeli dari penjual yang mampu, tetapi sengaja
menunda-nunda penyelelesaian kewajibannya serta tentang penilaian persediaan barang pesanan
pada periode pelaporan.

Akuntansi Untuk Pembeli


Hal-hal yang harus dicatat oleh pembeli dalam transaksi secara akuntansi:
1) Pengakuan piutang salam, piutang salam diakui pada saat modal usaha salam dibayarkan
atau dialihkan kepada penjual. Modal usaha salam disajikan sebagai piutang salam.
2) Pengukuran modal usaha salam
Modal salam dalam bentuk kas di ukur sebesar jumlah yang dibayarkan
Jurnal:
(D).Piutang salam                                            xxx
(K).kas                                                         xxx

Modal usaha salam dalam bentuk aset non kas diukur sebesar nilai wajar, selisih antara
nilai wajar dan nilai tercatat modal usaha non kas yang diserahkan diakui sebagai keuntungan
atau kerugian pada saat penyerahan modal usaha tersebut.
1) Pencatatan apabila nilai wajar lebih kecil dari nilai tercatat
Jurnal:
(D) Piutang Salam                                                    xxx
(D) Kerugian                                                             xxx
(K) Aset non kas                                                     xxx

2) Pencatatan apabila nilai wajar lebih besar dari nilai tercatat


Jurnal:
(D).Piutang Salam                                                xxx
(K).Aset non kas                                                     xxx
(K).keuntungan                                                       xxx

3) Penerimaan barang pesanan


 Jika barang pesanan sesuai dengan akad, maka dinilai sesuai dengan nilai yang
disepakati.
Jurnal:
(D).Aset salam                                                       xxx
(K).Piutang salam                               xxx

 Jika barang pesanan berbeda kualitasnya.


a) Nilai wajar dari barang pesanan yang diterima nilainya sama atau lebih tinggi dari
nilai barang pesanan yang tercantum dalam akad, maka barang pesanan yang
diterima diukur sesuai nilai akad.
Jurnal:
(D).Aset Salam                                             xxx
( K) Piutang salam                                  xxx
b) Jika nilai wajar dari barang pesanan yang diterima lebih rendah dari nlai barang
pesanan yang tercantum dalam akad, maka barang pesanan yang diterima diukur
sesuai dengan nilai wajar pada saat diterima dan selisihnya diakui sebagai kerugian.
Jurnal:
(D).Persediaan-Aset Salam                       xxx
(diukur pada nilai wajar)   
(D).Kerugian Salam                                  xxx                                
(K).Piutang Salam xxx

c) Jika pembeli tidak menerima sebagian atau seluruh barang pesanan pada tanggal
jatuh tempo pengiriman,maka:
 Jika tanggal pengiriman diperpanjang, maka nilai tercatat piutang salam sebesar
bagian yang belum dipenuhi sesuai dengan nilai yang tercantum dalam akad, dan
jurnal atas bagian barang pesanann yang diterima ;
Jurnal:
(D).Aset Salam (sebesar jumlah yang diterima)      xxx
(K).Piutang Salam                                              xxx

 Jika akad salam dibatalkan sebagian atau seluruhnya, maka piutang salam
berubah menjadi piutang yang harus dilunasi oleh penjual sebesar bagian yang
tidak dapat dipenuhi.
Jurnal:
(D).Aset lain-lain-Piutang                              xxx
(K).Piutang Salam                                            xxx
d) Jika akad salam dibatalkan sebagian atau seluruhnya dan pembeli mempunyai
jaminan atas barang pesanan serta hasil penjualan jaminan tersebut lebih kecil dari
nilai piutang salam, maka selisih antara nilai tercatat piutang salam dan hasil
penjualan jaminan tersebut diakui sebagai piutang kepada penjual.
Jurnal:
(D).Kas                                                             xxx
(D).Aset lainnya-Piutang pada penjual             xxx
(K).Piutang Salam                                           xxx

e) Jika hasil penjualan jaminan tersebut lebih besar dari nilai tercatat piutang salam
maka selisihnya menjadi hak penjual.
Jurnal:
(D).Kas                                                 xxx
                    (K).Utang Penjual                                          xxx
(K).Piutang Salam                                          xxx

4) Denda yang diterima dan diberlakukan oleh pembeli diakui sebagai bagian dana
kebajikan.
Jurnal:
(D).Dana Kebajikan-Kas                                 xxx
                      ( K).Kebajikan-Pendaptan Denda                      xxx

Denda hanya boleh dikenakan kepada penjual yang mampu menyelesaikan


kewajibannya, tetapi sengaja tidak melakukannya lalai. Hal ini tidak berlaku bagi penjual
yang tidak mampu menunaikan kewajibannya karena Force majeur.
5) Penyajian
a. Pembeli menyajikan modal usaha salam yang diberikan sebagai piutang salam.
b. Piutang yang harus dilunasi oleh penjual karena tidak dapat memenuhi kewajibannya
dalam transaksi salam disajikan secara terpisah dari piutang salam.
c. Persediaan yang diperoleh melalui transaksi salam diukur sebesar nilai terendah biaya
perolehan atau nilai bersih yang dapat direalisasi. Apabila nilai bersih yang dapat
direalisasi lebih rendah dari biaya perolehan, maka selisihnya diakui sebagai kerugian.
6) Pengungkapan
a. Besarnya modal usaha salam, baik yang dibiayai sendiri maupun yang dibiayai secara
bersama-sama dengan pihak lain.
b. Jenis dan kuantitas barang pesanan
c. Pengungkapan lain sesuai dengan PSAK No.101 tentang penyajian laporan keuangan
syariah

Akuntansi untuk Penjual


1) Pengakuan kewajiban salam, kewajiban salam diakui pada saat penjual menerima modal
usaha salam. Modal usaha salam yang diterima disajikan sebagai kewajiban salam.
2) Pengukuran kewajiban salam.
 Jika modal usaha salam dalam bentuk kas diukur sebesar jumlah yang diterima.
Jurnal:
(D).Kas                                                      xxx
                        (K).Utang Salam                                           xxx

 Jika modal usaha salam dalam bentuk aset non kas diukur sebesar nilai wajar.
Jurnal:
(D).Aset non Kas (nilai wajar)                    xxx
                               (K).Utang Salam                                          xxx

3) Kewajiban salam dihentikan pengakuannya (derecognation) pada saat penyerahan barang


kepada pembeli.
Jurnal:
(D).Utang Salam                                          xxx
                               (K).Penjualan                          xxx

4) Jika Penjual melakukan transaksi salam paralel, selisih antara jumlah yang dibayar oleh
pembeli akhir dan biaya perolehan barang pesanan diakui sebagai keuntungan atau
kerugian pada saat penyerahan barang pesanan oleh penjual ke pembeli akhir.
Jurnal ketika membeli persediaan:
(D).Aset Salam                                          xxx
                     (K).Kas                                          xxx

Pencatatan ketika menyerahkan persediaan, jika jumlah yang dibayar oleh pembeli akhir
lebih kecil dari biaya perolehan barang pesanan:
(D).Utang Salam                                                 xxx
(D).Kerugian Salam                                            xxx
                     (K).Aset Salam                                                xxx
Pencatatan ketika menyerahkan persediaan, jika jumlah yang dibayar olehpembeli akhir
lebih besar dari biaya perolehan barang pesanan:
(D).Utang Salam                                                 xxx
                  (K).Aset Salam                                                   xxx
(K).Keuntungan Salam                                      xxx

5) Pada akhir periode pelaporan keuangan, persediaan yang diperoleh melalui transaksi
salam diukur sebesar nilai terendah biaya perolehan atau nilai bersih yang dapat
direalisasi. Apabila nilai bersih yang dapat direalisasi lebih rendah dari biaya perolehan,
maka selisihnya diakui sebagai kerugian.
6) Penyajian, penjual menyajikan modal usaha salam yang diterima sebagai kewajiban
salam.
7) Pengungkapan
 Pembeli dalam transaksi salam mengungkapkan :
1. Besarnya modal usaha salam, baik yang dibiayai sendiri maupun yang dibiayai
secara besama-sama dengan pihak lain.
2. Jenis dan kuantitas barang pesanan.
3. Pengungkapan lain sesuai dengan PSAK 101 tentang penyajian laporan
keuangan syariah.
 Penjual dalam transaksi salam mengungkapkan :
1. Piutang salam kepada produsen (dalam salam paralel) yang memiliki hubungan
istimewa.
2. Jenis dan kuantitas barang pesanan.
3. Pengungkapan lain sesuai dengan PSAK 101

2.4. Akuntansi Istishna (PSAK 104)


2.4.1. Definisi Akuntansi Istishna’
Istishna adalah akad jual beli antara al-mustashni (pembeli) dan as-shani (produsen yang
juga bertindak sebagai penjual). Bedasarkan akad tersebut, pembeli menugasi produsen untuk
menyediakan al-mashnu (barang pesanan) sesuai spesifikasi yang disyaratkan pembeli dan
menjualnya dengan harga yang disepakati. Cara pembayaran dapat berupa pembayaran dimuka,
cicilan, atau ditangguhkan sampai jangka waktu tertentu.
Spesifikasi dan harga barang pesanan disepakati oleh pembeli dan produsen/penjual diawal
akad. Ketentuan harga barang pesanan tidak dapat berubah selama jangka waktu akad.
Barang pesanan harus diketahui karakteristiknya secara umum yang meliputi: jenis,
spesifikasi teknis, kualitas dan kuantitasnya. Barang pesanan harus sesuai dengan karakteristik
yang telah disepakati antara pembeli dan penjual/produsen. Jika barang yg telah dikirim salah
atau cacat, maka produsen /penjual bertanggung jawab atas kelalaiannya.

(1) Pesan

Nasabah Nasabah
(pembeli) (pembeli)

Bank
(penjual)

2.4.2. Penjurnalan Transaksi Istishna’


 Transaksi biaya pra-akad (bank sebagai penjual)
Berdasarkan PSAK 104 paragraf 25, disebutkan bahwa biaya perolehan istishna
terdiri dari biaya langsung dan biaya tidak langsung. Biaya langsung meliputi biaya
bahan baku dan biaya tenaga kerja langsung untuk membuat barang pesanan. Adapun
biaya tidak langsung adalah biaya overhead termasuk biaya akad dan biaya praakad.
Selanjutnya pada paragraf 26 disebutkan bahwa biaya pra akad diakui sebagai beban
tangguhan dan diperhitungkan sebagai biaya istishna jika akad disepakati.
 Penandatanganan akad dengan pembeli (bank sebagai penjual)
Pada saat akad ditandatangani antara bank dengan pembeli, tidak ada jurnal yang
harus dibuat untuk mengakui adanya jual beli istishna’. Tetapi adanya kesepakatan jual
beli istishna ini menyebabkan pengeluaran pengeluaran praakad diakui sebagai biaya
istishna’. Berdasarkan PSAK 104 paragraf 26, dinyatakan bahwa biaya praakad diakui
sebagai beban tangguhan dan diperhitungkan sebagai biaya istishna jika akad disepakati.
 Pembuatan akad istishna paralel dengan pembuat barang (bank sebagai pembeli)
Berdasarkan PSAK 104 paragraf 29 disebutkan bahwa biaya perolehan istishna’ paralel
terdiri dari:
1. Biaya perolehan barang pesanan sebesar tagihan produsen atau kontraktor kepada
entitas.
2. Biaya tidak langsung, yaitu biaya overhead termasuk biaya akad dan praakad
3. Semua biaya akibat produsen atau kontraktor tidak dapat memenuhi kewajibannya
jika ada.
Biaya perolehan istishna’ paralel diakui sebagai aset istishna dalam penyelesaian pada
saat diterimanya tagihan dari produsen atau kontraktor sebesar jumlah tagihan.
 Penerimaan dan pembayaran tagihan kepada penjual (pembuat barang istishna)
Berdasarkan PSAK 104 paragraf 36 disebutkan bahwa pembeli mengakui aset istishna
sebesar jumlah termin yang ditagih oleh penjual yang dalam hal ini pembuat barang dan
sekaligus mengakui utang istishna’ kepada pembuat barang tersebut.
 Pengakuan pendapatan istishna’
Pada istishna’ paralel terdapat dua metode pengakuan pendapatan, yaitu metode
persentase penyelesaian dan metode akad selesai. Pada metode akad selesai, pengakuan
pendapatan diakui setelah barang selesai. Pengakuan pendapatan dibelakang berlaku juga
untuk metode persentasi penyelesaian dimana tidak terdapat alasan rasional yang kuat
untuk mengukur persentasi penyelesaian.
Pada metode persentase penyelesaian, pendapatan diakui sesuai persentase
penyelesaian dan menambah nilai aset istishna’ dalam penyelesaian. Dasar dari
pengakuan pendapatan adalah alasan rasional yang terdokumentasi dimana bank dapat
menaksir persentase penyelesaian barang secara moneter untuk dijadikan nilai harga
pokok jual beli. Pengakuan pendapatan ini dapat dilakukan secara periodik (bulanan,
triwulan dll) atau pada periode tertentu sepanjang bank memiliki dokumen persentase
penyelesaian.
Berdasarkan PSAK 104 paragraf 18, disebutkan bahwa jika metode persentase
penyelesaian digunakan maka,
1. Bagian nilai akad yang sebanding dengan pekerjaan yang telah diselesaikan dalam
periode tersebut diakui sebagai pendapatan istishna pada periode yang bersangkutan.
2. Bagian margina keuntungan istishna yang diakui selama periode pelaporan
ditambahkan kepada aset istishna dalam penyelesaian dan
3. Pada akhir periode harga pokok istishna diakui sebesar biaya istishna yang telah
dikeluarkan sampai denga periode tersebut.
 Penagihan piutang istishna’ pembeli
Penagihan dilakukan penjual dilakukan sesuai dengan kesepakatan dalam akad
dan tidak selalu sesuai dengan persentase penyelesaian pembuatan barang pesanan
(PSAK 104 paragraf 24). Berdasarkan PSAK paragraf 23 disebutkan bahwa tagihan
setiap termin kepada pembeli diakui sebagai piutang istishna dan termin istishna pada pos
lawannya. Karena istishna yang dilakukan adalah istishnanya paralel, maka termin yang
ada dibedakan antara termin bank pemasok dengan termin bank nasabah. Keduanya tidak
harus sama karena bergantung kepada kondisi setiap pihak yang terlibat.
 Penerimaan pembayaran piutang istishna dari pembeli.
Pembayaran piutang istishna oleh nasabah dilakukan setelah menerima tagihan
istishna dari bank. Oleh karena itu termin istishna merupakan pos lawan dari piutang
istishna’. Maka pada waktu pembayaran piutang, bank sebagai penjual perlu menutup
termin istishna’. Pada saat yang sama bank juga mengkredit aset istishna’ dalam
penyelesaian untuk mengakui adanya pengalihan aset kepada pembeli sebesar jumlah
yang dibayar.

2.4.3. Variasi Transaksi dan Kebijakan Akuntansi


1. Perlakuan akuntansi terdapat beban praakad jika transaksi tidak jadi disepakati.
Berdasarkan PSAK 104 paragraf 26 disebutkan kalau akad tidak jadi disepakati, maka
beban tersebut dibebankan pada periode berjalan.
2. Pengakuan pendapatan dengan metode akad selesai
Berdasarkan PSAK 104 paragraf 17, disebutkan bahwa pendapatan ishtishna’
diakui dengan menggunakan metode persentase penyelesaian atau metode akad selesai.
Dalam hal ini, penjurnalan transaksi 11.1 menggunakan metode persentase penyelesaian.
Adapun metode akad selesai, dapat digunakan jika metode estimasi persentase
penyelesaian akad dan biaya untuk metode penyelesaiannya tidak dapat ditentukan
dengan secara rasional pada akhir periode laporan keuangan (PSAK 104 paragraf 19).
Akad dikatakan selesai jika proses pembuatan barang pesanan selesai dan diserahkan
kepada pembeli. Berdasarkan PSAK 104 paragraf 19, disebutkan bahwa pada metode
akad selesai melekat beberapa ketentuan berikut:
1. Tidak ada pendapatan istishna’ yang diakui sampai dengan pekerjaaan tersebut
selesai,
2. Tidak ada harga pokok istishna’ yang diakui sampai dengan pekerjaan tersebut
selesai,
3. Tidak ada bagian keuntungan yang diakui dalam istishna’ dan keuntungan dilakukan
hanya pada saat penyelesaian pekerjaan.
4. Pengakuan pendapatan istishna’, harga pokok istishna’, dan keuntungan dilakukan
hanya saat penyelesaian pekerjaan.

Pembayaran dengan cara Tangguh


Berdasarkan PSAK 104 paragraf 20. Jika menggunakan metode presentase penyelesaian
dan proses pelunasan dilakukan dalm periode lebih satu tahun setelah penyerahan barang
pesanan, meaka menggunakan pendapatan dibagi menjadi dua bagian, yaitu:
a. Margin keuntunan pembuatan barang pesanan yang dihitung apabila istishna’ dilakukan
secara tunai, diakui sesuai presentase penyelesaian, dan
b. Selisih antara nilai akad dan nilai tunai pada saat penyerahan diakui selama periode
pelunasan secara proporsional sesuai dengan jumlah pembayran. Proposal yang dimaksud
sesuai dengan paragraf 24-5 PSAK 102 tentang Akuntansi Murabahah.

2.4.4. Pengakuan dan Pengukuran


Akuntansi Penjual
Penyatuan dan Segmentasi Akad
1. Bila suatu akad istishna' mencakup sejumlah aset, pengakuan dari setiap aset
diperlakukan sebagai suatu akad yang terpisah jika: (a) proposal terpisah telah diajukan
untuk setiap aset; (b) setiap aset telah dinegosiasikan secara terpisah dimana penjual dan
pembeli dapat menerima atau menolak bagian akad yang berhubungan dengan masing-
masing aset tersebut; dan (c) biaya dan pendapatan masing-masing aset dapat
diidentifikasikan.
2. Suatu kelompok akad istishna', dengan satu atau beberapa pembeli, harus diperlakukan
sebagai satu akad istishna' jika: (a) kelompok akad tersebut dinegosiasikan sebagai satu
paket.
3. akad tersebut berhubungan erat sekali, sebetulnya akad tersebut merupakan bagian dari
akad tunggal dengan suatu margin keuntungan; dan (c) akad tersebut dilakukan secara
serentak atau secara berkesinambungan.
4. Jika ada pemesanan aset tambahan dengan akad istishna' terpisah, tambahan aset tersebut
diperlakukan sebagai akad yang terpisah jika: (a) aset tambahan berbeda secara signifikan
dengan aset dalam akad istishna' awal dalam desain, teknologi atau fungsi; atau (b) harga
aset tambahan dinegosiasikan tanpa terkait harga akad istishna' awal.

Pendapatan Istishna' dan istishna paralel


1. Pendapatan istishna' diakui dengan menggunakan metode persentase penyelesaian atau
metode akad selesai. Akad dikatakan selesai jika proses pembuatan barang pesanan
selesai dan diserahkan kepada pembeli.
2. Jika metode persentase penyelesaian digunakan, maka: (a) bagian nilai akad yang
sebanding dengan pekerjaan yang telah diselesaikan dalam periode tersebut diakui
sebagai pendapatan istishna' pada periode yang bersangkutan; (b) bagian margin
keuntungan istishna' yang diakui selama periode pelaporan ditambahkan kepada aset
istishna' dalam penyelesaian; dan (c) pada akhir periode harga pokok istishna' diakui
sebesar biaya istishna' yang telah dikeluarkan sampai dengan periode tersebut.
3. Jika estimasi persentase penyelesaian akad dan biaya untuk penyelesaiannya tidak dapat
ditentukan secara rasional pada akhir laporan keuangan makan akan digunakan metode
akad selesai dengan ketentuan sebagai berikut: (a) tidak ada pendapatan istishna' yang
diakui sampai dengan pekerjaan tersebut selesai; (b) tidak ada harga pokok istishna' yang
diakui sampai dengan pekerjaan tersebut selesai; (c) tidak ada bagian keuntungan yang
diakui dalam istishna' dalam penyelesaian sampai dengan pekerjaan tersebut selesai; dan
(d) pengakuan pendapatan istishna', harga pokok istishna', dan keuntungan dilakukan
hanya pada akhir penyelesaian pekerjaan.

Istishna' dengan Pembayaran Tangguh


1. Jika menggunakan metode persentase penyelesaian dan proses pelunasan dilakukan
dalam periode lebih dari satu tahun dari penyerahan barang pesanan, maka pengakuan
pendapatan dibagi menjadi dua bagian, yaitu: (a) margin keuntungan pembuatan barang
pesanan yang dihitung apabila istishna' dilakukan secara tunai diakui sesuai persentase
penyelesaian; dan (b) selisih antara nilai akad dan nilai tunai pada saat penyerahan diakui
selama periode pelunasan secara proporsional sesuai dengan jumlah pembayaran.
2. Meskipun istishna' dilakukan dengan pembayaran tangguh, penjual harus menentukan
nilai tunai istishna' pada saat penyerahan barang pesanan sebagai dasar untuk mengakui
margin keuntungan terkait dengan proses pembuatan barang pesanan. Margin ini
menunjukkan nilai tambah yang dihasilkan dari proses pembuatan barang pesanan.
Sedangkan yang dimaksud dengan nilai akad dalam istishna' dengan pembayaran
langsung adalah harga yang disepakati antara penjual dan pembeli akhir. Hubungan
antara biaya perolehan, nilai tunai, dan nilai akad diuraikan dalam contoh sebagai berikut:
Biaya Perolehan (biaya produksi) Rp 1.000,00 Margin keuntungan pembuatan barang
pesanan 200,00 Nilai tunai pada saat penyerahan barang pesanan 1.200,00 Nilai akad
untuk pembayaran secara angsuran selama tiga tahun 1.600,00 Selisih nilai akad dan nilai
tunai yang diakui selama tiga tahun Rp 400,00.
3. Jika menggunakan metode akad selesai dan proses pelunasan dilakukan dalam periode
lebih dari satu tahun dari penyerahan barang pesanan maka pengakuan pendapatan dibagi
menjadi dua bagian, yaitu: (a) margin keuntungan pembuatan barang pesanan yang
dihitung apabila istishna' dilakukan secara tunai, diakui pada saat penyerahan barang
pesanan; dan (b) selisih antara nilai akad dan nilai tunai pada saat penyerahan diakui
selama periode pelunasan secara proporsional sesuai dengan jumlah pembayaran
4. Tagihan setiap termin kepada pembeli diakui sebagai piutang istishna' dan termin
istishna' (istishna' billing) pada pos lawannya.
5. Penagihan termin yang dilakukan oleh penjual dalam transaksi istishna' dilakukan sesuai
dengan kesepakatan dalam akad dan tidak selalu sesuai dengan persentase penyelesaian
pembuatan barang pesanan.

Biaya Perolehan Istishna'


1. Biaya perolehan istishna' terdiri dari: (a) biaya langsung yaitu bahan baku dan tenaga
kerja langsung untuk membuat barang pesanan; dan (b) biaya tidak langsung adalah biaya
overhead, termasuk biaya akad dan praakad.
2. Biaya pra akad diakui sebagai beban tangguhan dan diperhitungkan sebagai biaya
istishna' jika akad disepakati. Namun jika akad tidak disepakati, maka biaya tersebut di
bebankan pada periode berjalan.
3. Biaya perolehan istishna' yang terjadi selama periode laporan keuangan, diakui sebagai
aset istishna' dalam penyelesaian pada saat terjadinya.
4. Beban umum dan administrasi, beban penjualan, serta biaya riset dan pengembangan
tidak termasuk dalam biaya istishna'.

Biaya Perolehan Istishna' Paralel


1. Biaya istishna' paralel terdiri dari: (a) biaya perolehan barang pesanan sebesar tagihan
produsen atau kontraktor kepada entitas; (b) biaya tidak langsung adalah biaya overhead,
termasuk biaya akad dan praakad; dan (c) semua biaya akibat produsen atau kontraktor
tidak dapat memenuhi kewajibannya, jika ada.
2. Biaya perolehan istishna' paralel diakui sebagai aset istishna' dalam penyelesaian pada
saat diterimanya tagihan dari produsen atau kontraktor sebesar jumlah tagihan.

Penyelesaian Awal
1. Jika pembeli melakukan pembayaran sebelum tanggal jatuh tempo dan penjual
memberikan potongan, maka potongan tersebut sebagai pengurang pendapatan istishna'.
2. Pengurangan pendapatan istishna' akibat penyelesaian awal piutang istishna' dapat
diperlakukan sebagai: (a) potongan secara langsung dan dikurangkan dari piutang
istishna' pada saat pembayaran; atau (b) penggantian (reimbursed) kepada pembeli
sebesar jumlah keuntungan yang dihapuskan tersebut setelah menerima pembayaran
piutang istishna' secara keseluruhan.

Perubahan Pesanan dan Tagihan Tambahan


Pengaturan pengakuan dan pengukuran atas pendapatan dan biaya istishna' akibat
perubahan pesanan dan tagihan tambahan adalah sebagai berikut: (a) nilai dan biaya akibat
perubahan pesanan yang disepakati oleh penjual dan pembeli ditambahkan kepada pendapatan
istishna' dan biaya istishna'; (b) jika kondisi pengenaan setiap tagihan tambahan yang
dipersyaratkan dipenuhi, maka jumlah biaya setiap tagihan tambahan yang diakibatkan oleh
setiap tagihan akan menambah biaya istishna'; sehingga pendapatan istishna' akan berkurang
sebesar jumlah penambahan biaya akibat klaim tambahan (c) perlakuan akuntansi (a) dan (b)
juga berlaku pada istishna' paralel, akan tetapi biaya perubahan pesanan dan tagihan tambahan
ditentukan oleh produsen atau kontraktor dan disetujui penjual berdasarkan akad istishna' paralel.

Pengakuan Taksiran Rugi


1. Jika besar kemungkinan terjadi bahwa total biaya perolehan istishna' akan melebihi
pendapatan istishna', taksiran kerugian harus segera diakui.
2. Jumlah kerugian semacam itu ditentukan tanpa memperhatikan: (a) apakah pekerjaan
istishna' telah dilakukan atau belum; (b) tahap penyelesaian pembuatan barang pesanan;
atau (c) jumlah laba yang diharapkan dari akad lain yang tidak diperlakukan sebagai
suatu akad tunggal sesuai paragraf 17.

Akuntansi Pembeli
1. Pembeli mengakui aset istishna' dalam penyelesaian sebesar jumlah termin yang ditagih
oleh penjual dan sekaligus mengakui hutang istishna' kepada penjual.
2. Aset istishna' yang diperoleh melalui transaksi istishna' dengan pembayaran tangguh
lebih dari satu tahun diakui sebesar biaya perolehan tunai. Selisih antara harga beli yang
disepakati dalam akad istishna' tangguh dan biaya perolehan tunai diakui sebagai beban
istishna' tangguhan.
3. Beban istishna' tangguhan diamortisasi secara proporsional sesuai dengan porsi pelunasan
hutang istishna'.
4. Jika barang pesanan terlambat diserahkan karena kelalaian atau kesalahan penjual dan
mengakibatkan kerugian pembeli, maka kerugian itu dikurangkan dari garansi
penyelesaian proyek yang telah diserahkan penjual. Jika kerugian tersebut melebihi
garansi penyelesaian proyek, maka selisihnya akan diakui sebagai piutang jatuh tempo
kepada penjual dan jika diperlukan dibentuk penyisihan kerugian piutang.
5. Jika pembeli menolak menerima barang pesanan karena tidak sesuai dengan spesifikasi
dan tidak memperoleh kembali seluruh jumlah uang yang telah dibayarkan kepada
penjual, maka jumlah yang belum diperoleh kembali diakui sebagai piutang jatuh tempo
kepada penjual dan jika diperlukan dibentuk penyisihan kerugian piutang.
6. Jika pembeli menerima barang pesanan yang tidak sesuai dengan spesifikasi, maka
barang pesanan tersebut diukur dengan nilai yang lebih rendah antara nilai wajar dan
biaya perolehan. Selisih yang terjadi diakui sebagai kerugian pada periode berjalan.

2.4.5. Penyajian
1. Penjual menyajikan dalam laporan keuangan halhal sebagai berikut: (a) Piutang istishna'
yang berasal dari transaksi istishna' sebesar jumlah yang belum dilunasi oleh pembeli
akhir. (b) Termin istishna' yang berasal dari transaksi istishna' sebesar jumlah tagihan
termin penjual kepada pembeli akhir.
2. Pembeli menyajikan dalam laporan keuangan halhal sebagai berikut: (a) Hutang ishtisna'
sebesar tagihan dari produsen atau kontraktor yang belum dilunasi. (b) Aset istishna'
dalam penyelesaian sebesar: (i) persentase penyelesaian dari nilai kontrak penjualan
kepada pembeli akhir, jika istishna' paralel; atau (ii) kapitalisasi biaya perolehan, jika
istishna'.

2.4.6. Pengungkapan
Entitas mengungkapkan transaksi istishna' dalam laporan keuangan, tetapi tidak terbatas,
pada: (a) metode akuntansi yang digunakan dalam pengukuran pendapatan dan keuntungan
kontrak istishna'; (b) metode yang digunakan dalam penentuan persentase penyelesaian kontrak
yang sedang berjalan; c) rincian piutang istishna' berdasarkan jumlah, jangka waktu, jenis mata
uang, dan kualitas piutang; (d) rincian hutang istishna' berdasarkan jumlah, jangka waktu dan
jenis mata uang; dan (e) pengungkapan yang diperlukan sesuai Pernyataan Standar Akuntansi
Keuangan Nomor 101 tentang Penyajian Laporan Keuangan Syariah.

2.5. Akuntansi Mudharabah (PSAK 105)


2.5.1. Definisi Akuntansi Mudharabah
Secara teknis mudharabah adalah akad kerja sama usaha antar pemilik dana dan
pengelola dana untuk melakukan kegiatan usaha, laba dibagi atas dasar nisbah bagi hasil menurut
kesepakatan kedua belah pihak, sedangkan bila terjadi kerugian akan ditanggung oleh si pemilik
dana kecuali disebabkan oleh misconduct, negligence atau violation oleh pengelola dana. PSAK
105 par 18 memberikan beberapa contoh bentuk kelalaian pengelola dana, yaitu: persyaratan
yang di tentukan di dalam akad tidak dipenuhi, tidak terdapat kondisi di luar kemampuan (force
majeur) yang lazim dan/atau yang telah ditentukan dalam akad, atau merupakan hasil keputusan
dari institusi yang berwenang.
Usaha mudharabah dianggap mulai berjalan sejak dana atau modal usaha mudharabah
diterima oleh pengelola dana (PSAK 105 par 16). Sedangkan pengembalian dana mudharabah
dapat dilakukan secara bertahap bersamaan dengan destribusi bagi hasil atau secara total pada
saat akad mudharabah berakhir, sesuai kesepakatan pemilikan dana dan pengelola dana.
Dalam PSAK, mudharabah diklasifikasikan ke dalam 3 jenis yaitu mudharabah muthalaqah,
mudharabah muqayyadah dan mudharabah musytarakah.

Prinsip Pembagian Hasil Usaha (Psak 105 Par 11)


Dalam mudharabah istilah profit and loss sharing tidak tepat digunakan karena yang
dibagi hanya keuntungannya saja (profit), tidak termasuk kerugian (loss). Sehingga untuk
pembahasan selanjutnya, akan digunakan istilah prinsip bagi hasil seperti yang digunakan dalam
undang-undang no 10 tahun 1998, karena apabila usaha tersebut gagal kerugian tidak dibagi
antara pemilik dana dan pengelola dana, tetapi harus ditanggung sendiri oleh pemilik dana.
Pembagian hasil usaha mudharabah dapat dilakukan berdasarkan pengakuan penghasilan usaha
mudharabah dalam praktik dapat diketahui berdasarkan laporan bagi hasil atas realisasi
penghasilan usaha dari pengelola dana. Tidak diperkenankan mengakui pendapatan dari proyeksi
hasil usaha. Untuk menghindari perselisihan dalam hal biaya yang dikeluarkan oleh pengelola
dana, dalam akad harus disepakati biaya-biaya apa saja yang dapat dikurangkan dari pendapatan

Bagi Hasil Untuk Akad Mudharabah Musyarakah (Psak 105 Par 34)
Ketentuan bagi hasil untuk akad jenis ini dapat dilakukan dengan dua pendekatan yaitu:
a. Hasil investasi diantara pengelola dana dana pemilik dana sesuai nisbah yang disepakati,
selajutnya bagian hasil investasi setelah dikurangi untuk pengelola dana tersebut dibagi
antara pengelola dana (sebagai musytarik) dengan pemilik dana sesuai porsi modal
masing-masing ;atau
b. Hasil investasi dibagi antara pengelola dana (sebagai musytarik) dan pemilik dana sesuai
dengan porsi modal masing-masing, selanjutnya bagian hasil investasi setelah dikurangi
untuk pengelola dana (sebagai musytarik) tersebut dibagi antara pengelola dana dengan
pemilik dana sesuai dengan nisbah yang disepakati. Contoh: jika terjadi kerugian atas
investasi, maka kerugian dibagi sesuai dengan modal para musytarik.

2.5.2. Pengakuan dan Pengukuran


Entitas sebagai Pemilik Dana
1. Dana syirkah temporer yang disalurkan oleh pemilik dana diakui sebagai investasi
mudharabah pada saat pembayaran kas atau penyerahan aset nonkas kepada pengelola
dana. Investasi mudharabah dalam bentuk asset nonkas diukur sebesar nilai wajar nonkas
pada saat penyerahan. Nilai dari investasi mudharabah dalam bentuk asset nonkas harus
disetujui oleh pemilik dana dan pengelola dana pada saat penyerahan.
2. Pengukuran investasi mudharabah adalah sebagai berikut: (a) investasi mudharabah
dalam bentuk kas diukur sebesar jumlah yang diberikan pada saat pembayaran; (b)
investasi mudharabah dalam bentuk aset nonkas diukur sebesar nilai wajar aset nonkas
pada saat penyerahan: (i) jika nilai wajar lebih rendah daripada nilai tercatatnya diakui
sebagai kerugian; (ii) jika nilai wajar lebih tinggi daripada nilai tercatatnya diakui sebagai
keuntungan tangguhan dan diamortisasi sesuai jangka waktu akad mudharabah.
3. Jika nilai investasi mudharabah turun sebelum usaha dimulai disebabkan rusak, hilang
atau faktor lain yang bukan kelalaian atau kesalahan pihak pengelola dana, maka
penurunan nilai tersebut diakui sebagai kerugian dan mengurangi saldo investasi
mudharabah.
4. Jika sebagian investasi mudharabah hilang setelah dimulainya usaha tanpa adanya
kelalaian atau kesalahan pengelola dana, maka kerugian tersebut diperhitungkan pada
saat bagi hasil.
5. Usaha mudharabah dianggap mulai berjalan sejak dana atau modal usaha mudharabah
diterima oleh pengelola dana.
6. Dalam investasi mudharabah yang diberikan dalam bentuk barang (nonkas) dan barang
tersebut mengalami penurunan nilai pada saat atau setelah barang dipergunakan secara
efektif dalam kegiatan usaha mudharabah, maka kerugian tersebut tidak langsung
mengurangi jumlah investasi namun diperhitungan pada saat pembagian bagi hasil.
7. Kelalaian atas kesalahan pengelola dana, antara lain, ditunjukkan oleh: (a) persyaratan
yang ditentukan di dalam akad tidak dipenuhi; (b) tidak terdapat kondisi di luar
kemampuan (force majeur) yang lazim dan/atau yang telah ditentukan dalam akad; atau
(c) hasil keputusan dari institusi yang berwenang.
8. Jika akad mudharabah berakhir sebelum atau saat akad jatuh tempo dan belum dibayar
oleh pengelola dana, maka investasi mudharabah diakui sebagai piutang jatuh tempo.

Penghasilan Usaha
1. Jika investasi mudharabah melebihi satu periode pelaporan, penghasilan usaha diakui
dalam periode terjadinya hak bagi hasil sesuai nisbah yang disepakati.
2. Kerugian yang terjadi dalam suatu periode sebelum akad mudharabah berakhir diakui
sebagai kerugian dan dibentuk penyisihan kerugian investasi. Pada saat akad mudharabah
berakhir, selisih antara: (a) investasi mudharabah setelah dikurangi penyisihan kerugian
investasi; dan (b) pengembalian investasi mudharabah; diakui sebagai keuntungan atau
kerugian.
3. Pengakuan penghasilan usaha mudharabah dalam praktik dapat diketahui berdasarkan
laporan bagi hasil atas realisasi penghasilan usaha dari pengelola dana. Tidak
diperkenankan mengakui pendapatan dari proyeksi hasil usaha.
4. Kerugian akibat kelalaian atau kesalahan pengelola dana dibebankan pada pengelola dana
dan tidak mengurangi investasi mudharabah.
5. Bagian hasil usaha yang belum dibayar oleh pengelola dana diakui sebagai piutang jatuh
tempo dari pengelola dana.

Entitas sebagai Pengelola Dana


1. Dana yang diterima dari pemilik dana dalam akad mudharabah diakui sebagai dana
syirkah temporer sebesar jumlah kas atau nilai wajar aset nonkas yang diterima. Pada
akhir periode akuntansi, dana syirkah temporer diukur sebesar nilai tercatat.
2. Jika entitas menyalurkan dana syirkah temporer mutlaqah yang diterima maka entitas
mengakui sebagai aset sesuai ketentuan pada paragraf 12 - 13.
3. Jika entitas menyalurkan dana syirkah temporer muqayadah yang diterima maka entitas
tidak mengakui sebagai aset, karena entitas tidak memiliki hak untuk menggunakan aset
atau melepas aset tersebut kecuali sesuai dengan syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh
pemilik dana
4. Bagi hasil mudharabah dapat dilakukan dengan menggunakan dua prinsip, yaitu bagi laba
atau bagi hasil seperti yang dijelaskan pada paragraf 11.
5. Hak pihak ketiga atas bagi hasil dana syirkah temporer yang sudah diumumkan dan
belum dibagikan kepada pemilik dana diakui sebagai kewajiban sebesar bagi hasil yang
menjadi porsi hak pemilik dana.
6. Kerugian yang diakibatkan oleh kesalahan atau kelalaian pengelola dana diakui sebagai
beban pengelola dana.

2.5.3. Penyajian
1. Pemilik dana menyajikan investasi mudharabah dalam laporan keuangan sebesar nilai
tercatat.
2. Pengelola dana menyajikan transaksi mudharabah dalam laporan keuangan, tetapi tidak
terbatas, pada: (a) dana syirkah temporer dari pemilik dana disajikan sebesar jumlah
nominalnya untuk setiap jenis mudharabah; (b) bagi hasil dana syirkah temporer yang
sudah diperhitungkan dan telah jatuh tempo tetapi belum diserahkan kepada pemilik dana
disajikan kewajiban; dan (c) bagi hasil dana syirkah temporer yang sudah diperhitungkan
tetapi belum jatuh tempo disajikan dalam pos bagi hasil yang belum dibagikan.

2.5.4. Pengungkapan
1. Pemilik dana mengungkapkan hal-hal terkait transaksi mudharabah, tetapi tidak terbatas,
pada: (a) rincian jumlah investasi mudharabah berdasarkan jenisnya; (b) penyisihan
kerugian investasi mudharabah selama periode berjalan; dan (c) pengungkapan yang
diperlukan sesuai Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan Nomor 101 tentang Penyajian
Laporan Keuangan Syariah
2. .Pengelola dana mengungkapkan hal-hal terkait transaksi mudharabah, tetapi tidak
terbatas, pada: (a) dana syirkah temporer yang diterima berdasarkan jenisnya; dan (b)
penyaluran dana yang berasal dari mudharabah muqayadah.

2.6. Akuntansi Musyarakah (PSAK 106)


Pernyataan PSAK No. 106 diterapkan untuk entitas yang melakukan transaksi
musyarokah. dan pernyataan ini tidak mencakup pengaturan perlakuan akuntansi atas obligasi
syariah (sukuk) yang menggunakan akad musyarakah.
Musyarokah adalah akad kerja sama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha
tertentu, dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana dengan ketentuan bahwa
keuntungan dibagi berdasarkan kesepakatan sedangkan kerugian berdasarkan porsi kontribusi
dana. Dana tersebut meliputi kas atau asset nonkas yang diperkenankan oleh syariah.
2.6.1. Pengakuan dan Pengukuran
1. Untuk pertanggungjawaban pengelolaan usaha musyarakah dan sebagai dasar penentuan
bagi hasil mitra aktif atau pihak yang mengelola usaha musyarakah harus membuat
catatan akuntansi yang terpisah untuk usaha musyarakah tersebut.
Pengakuan Hasil Usaha
Pendapatan usaha investasi musyarakah diakui sebagai pendapatan sebesar bagian mitra
pasif sesuai kesepakatan. Sedangkan kerugian investasi musyarakah diakui sesuai dengan porsi
dana.

2.6.2. Penyajian
1. Mitra aktif menyajikan hal-hal yang terkait dengan usaha musyarakah dalam laporan
keuangan sebagai berikut: (a) Aset musyarakah untuk kas atau aset nonkas yang
disisihkan dan yang diterima dari mitra pasif; (b) Dana musyarakah yang disajikan
sebagai unsur dana syirkah temporer untuk aset musyarakah yang diterima dari mitra
pasif; dan (c) Selisih penilaian aset musyarakah, bila ada, disajikan sebagai unsur ekuitas.
2. Mitra pasif menyajikan hal-hal yang terkait dengan usaha musyarakah dalam laporan
keuangan sebagai berikut: (a) Investasi musyarakah untuk kas atau aset nonkas yang
diserahkan kepada mitra aktif; (b) Keuntungan tangguhan dari selisih penilaian aset
nonkas yang diserahkan pada nilai wajar disajikan sebagai pos lawan (contra account)
dari investasi musyarakah.

2.6.3. Pengungkapan
1. Mitra mengungkapkan hal-hal yang terkait transaksi musyarakah, tetapi tidak terbatas,
pada: (a) isi kesepakatan utama usaha musyarakah, seperti porsi penyertaan, pembagian
hasil usaha, aktivitas usaha musyarakah, dan lain-lain; (b) pengelola usaha, jika tidak ada
mitra aktif; dan (c) pengungkapan yang diperlukan sesuai Pernyataan Standar Akuntansi
Keuangan Nomor 101 tentang Penyajian Laporan Keuangan Syariah.

2.7. Perbankan – Pedoman Akuntansi Perbankan Indonesia (PAPI)


2.7.1. Latar Belakang
Laporan keuangan bank bertujuan untuk menyediakan informasi yang menyangkut posisi
keuangan, kinerja serta perubahan posisi keuangan. Selain itu laporan keuangan bank juga
bertujuan untuk pengambilan keputusan. Suatu laporan keuangan akan bermanfaat apabila
informasi yang disajikan dalam laporan keuangan tersebut dapat dipahami, relevan, andal dan
dapat diperbandingkan. Akan tetapi, perlu disadari pula bahwa laporan keuangan tidak
menyediakan semua informasi yang mungkin dibutuhkan oleh pihak-pihak yang berkepentingan
dengan bank, karena secara umum laporan keuangan hanya menggambarkan pengaruh keuangan
dari kejadian masa lalu, dan tidak diwajibkan untuk menyediakan informasi non-keuangan.
Walaupun demikian, dalam beberapa hal bank perlu menyediakan informasi nonkeuangan yang
mempunyai pengaruh keuangan di masa depan. Pesatnya perkembangan industri perbankan,
kompleksitas transaksi yang terjadi di dalamnya, dan besarnya tuntutan masyarakat akan
transparansi bank, memicu perbankan untuk meningkatkan kemampuannya dalam rangka
menjaga kepercayaan masyarakat.
Industri perbankan adalah salah satu industri utama dalam ekonomi modern. Baik
maupun buruknya perekonomian suatu negara salah satu faktor penentunya adalah kesehatan
industri perbankannya. Dalam hal ini akuntansi berperan penting dalam menginformasikan
berbagai hal terkait kesehatan bank, salah satunya adalah dengan kualitas laporan keuangan
Bank. Demikian juga pada sisi pengaturan diperlukan adanya peraturan yang relevan dan dapat
diimplementasikan dengan kondisi yang ada. Sejalan dengan perkembangan terkini standar
akuntansi keuangan yang diterbitkan oleh Dewan Standar Akuntansi Keuangan (DSAK) Ikatan
Akuntan Indonesia terutama PSAK 50 (revisi 2006): Instrumen Keuangan: Penyajian dan
Pengungkapan dan PSAK 55 (revisi 2006): Pengakuan dan Pengukuran, maka Pedoman
Akuntansi Perbankan Indonesia ini perlu disempurnakan dengan standar terkini dan berbagai
regulasi di sektor perbankan, baik dalam skala nasional maupun internasional.
Laporan keuangan Bank Umum Konvensional wajib disusun berdasarkan Pernyataan
Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) yang relevan bagi Bank. PAPI merupakan petunjuk
pelaksanaan yang berisi penjabaran lebih lanjut dari beberapa PSAK yang relevan bagi industri
perbankan, termasuk penyesuaian terkait dengan penerbitan PSAK No. 50 (Revisi 2006) tentang
Instrumen Keuangan: Penyajian dan Pengungkapan, dan PSAK No. 55 (Revisi 2006) tentang
Instrumen Keuangan: Pengakuan dan Pengukuran, yang berlaku sejak 1 Januari 2010.
Pemberlakuan PAPI 2008 diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 11/4/DPNP tanggal
27 Januari 2009 perihal Pelaksanaan Pedoman Akuntansi Perbankan Indonesia dan Surat Edaran
Bank Indonesia No.11/33/DPNP tanggal 8 Desember 2018 perihal Perubahan atas Surat Edaran
No. 11/4/DPNP . Sebagai petunjuk pelaksanaan dari PSAK maka untuk hal-hal yang tidak diatur
dalam PAPI tetap mengacu kepada PSAK yang berlaku. 

2.7.2. Tujuan
Tujuan dari penyusunan Pedoman Akuntansi Perbankan Indonesia (PAPI) antara lain adalah:
a. Untuk membantu pengguna dalam menyusun laporan keuangan agar sesuai dengan
tujuannya, yaitu untuk:
1) Pengambilan keputusan investasi dan kredit. Laporan keuangan bertujuan untuk
menyediakan informasi yang bermanfaat bagi pihak-pihak yang berkepentingan dalam
pengambilan keputusan yang rasional. Oleh karena itu, informasinya harus dapat
dipahami oleh pelaku bisnis dan ekonomi serta pihak-pihak lain yang berkepentingan
antara lain meliputi:
a) Deposan;
b) Kreditur;
c) Pemegang saham;
d) Otoritas pengawasan;
e) Bank Indonesia;
f) Pemerintah;
g) Lembaga penjamin simpanan; dan
h) Masyarakat.
2) Menilai prospek arus kas. Laporan keuangan bertujuan untuk memberikan informasi
yang dapat mendukung deposan, investor, kreditur dan pihak-pihak lain dalam
memperkirakan jumlah, saat, dan kepastian dalam penerimaan kas di masa depan.
Prospek penerimaan kas sangat tergantung pada kemampuan bank untuk menghasilkan
kas guna memenuhi kewajiban yang telah jatuh tempo, kebutuhan operasional,
reinvestasi dalam operasi, dan pembayaran dividen. Persepsi dari pihak-pihak yang
berkepentingan atas kemampuan bank tersebut akan mempengaruhi harga pasar efek
bank yang bersangkutan. Persepsi mereka umumnya dipengaruhi oleh harapan atas
tingkat pengembalian dan risiko dari dana yang mereka tanamkan. Deposan, investor,
dan kreditur akan memaksimalkan pengembalian dana yang telah mereka tanamkan
dan akan melakukan penyesuaian terhadap risiko yang mereka perkirakan akan terjadi
pada bank yang bersangkutan.
3) Memberikan informasi atas sumber daya ekonomi. Pelaporan keuangan bertujuan
memberikan informasi tentang sumber daya ekonomi bank (economic resources),
kewajiban bank untuk mengalihkan sumber daya tersebut kepada entitas lain atau
pemilik saham, serta kemungkinan terjadinya transaksi dan peristiwa yang dapat
mempengaruhi perubahan sumber daya tersebut.
b. Menciptakan keseragaman dalam penerapan perlakuan akuntansi dan penyajian laporan
keuangan, sehingga meningkatkan daya banding diantara laporan keuangan bank.
Menjadi acuan minimum yang harus dipenuhi oleh perbankan dalam menyusun laporan
keuangan. Namun keseragaman penyajian sebagaimana diatur dalam PAPI tidak menghalangi
masing-masing bank untuk memberikan informasi yang relevan bagi pengguna laporan keuangan
sesuai kondisi masing-masing bank.

2.7.3. Ruang Lingkup


Pedoman Akuntansi Perbankan Indonesia berlaku untuk bank umum konvensional.
Dalam hal bank umum konvensional mempunyai unit usaha syariah, maka unit usaha syariah
tersebut menggunakan Pedoman Akuntansi Perbankan Syariah Indonesia, kecuali untuk hal-hal
yang tidak diatur dalam Pedoman Akuntansi Perbankan Syariah Indonesia tersebut.

2.7.4. Acuan Penyusunan


Penyusunan PAPI didasarkan pada acuan yang relevan, yaitu:
1. Kerangka Dasar Penyusunan dan Penyajian Laporan Keuangan (KDPPLK), Pernyataan
Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) dan Interpretasi Pernyataan Standar Akuntansi
Keuangan (ISAK).
2. Ketentuan yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia.
3. International Accounting Standard (IAS) / International Financial Reporting Standards
(IFRS).
4. Peraturan perundang-undangan yang relevan dengan laporan keuangan.
5. Praktik-praktik akuntansi yang berlaku umum, kesepakatan antar negara dan standar
akuntansi negara lain. Jika PSAK memberikan pilihan atas perlakuan akuntansi, maka
diwajibkan untuk mengikuti ketentuan Bank Indonesia.

2.7.5. Bangun Prinsip Akuntansi Umum


1. Perlakuan akuntansi atas suatu transaksi yang terjadi dalam bank harus dilakukan sesuai
dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum. Rerangka prinsip akuntansi yang berlaku
umum di Indonesia adalah sebagai berikut:
2. Rerangka ini digambarkan seperti suatu bangunan rumah ‘Prinsip-prinsip Akuntansi yang
Berlaku Umum di Indonesia’. Setiap lapisan di bawahnya menjadi landasan bagi lapisan
yang berada di atasnya. Dalam hal terjadi pertentangan antara prinsip akuntansi dari
berbagai sumber tersebut, maka harus mengikuti perlakukan akuntansi yang diatur di
dalam kelompok yang posisinya menjadi landasan atau pada lapisan yang terletak lebih di
bawah.
3. PAPI merupakan bagian dari Pedoman atau Kodifikasi Praktik Akuntansi Industri dalam
struktur Rerangka Prinsip-prinsip Akuntansi yang Berlaku Umum di Indonesia.

2.7.6. Ketentuan Lain-lain


1. Jurnal dan pos yang digunakan dalam PAPI hanya merupakan ilustrasi dan tidak bersifat
mengikat. Dengan demikian bank dapat mengembangkan metode pencatatan dan
pembukuan sesuai sistem masing-masing sepanjang memberikan hasil akhir yang tidak
berbeda. Ilustrasi jurnal yang dicantumkan dalam PAPI menggambarkan akuntansi secara
manual dan tidak ada transaksi antar kantor/cabang.
2. Transaksi bank yang dicantumkan pada PAPI diprioritaskan pada transaksi yang umum
terjadi pada setiap bank.
3. PAPI secara periodik akan dievaluasi dan disesuaikan dengan perkembangan bisnis dan
produk perbankan, ketentuan PSAK, ketentuan Bank Indonesia, IAS/IFRS, dan ketentuan
lainnya yang terkait dengan sektor perbankan.

2.7.7. Dasar Penyusunan PAPI


Tabel berikut adalah Standar Akuntansi Keuangan (SAK) yang menjadi dasar pengaturan
dalam penyusunan PAPI 2008. Dari tabel berikut dapat disimpulkan bahwa PSAK 55 Instrumen
Keuangan merupakan acuan utama dalam penyusunan PAPI 2008, dan dengan penerbitan
PSAK 7l yang akan menggantikan PSAK 55 maka tanpa disangsikan lagi PAPI 2008 harus
direvisi.
Dasar Pengaturan PAPI 2008
No Standar Akuntansi Keuangan Persentase Keterangan
1 PSAK 1 Penyajian Laporan
2,87%
Keuangan
2 PSAK 10 Pengaruh Perubahan Kurs
1,59%
Valuta Asing
3 PSAK 15 lnvestasi pada Entitas
1,91%
Asosiasi
4 PSAK 16 Aset Tetap 8,28%
5 PSAK 21 Akuntansi Ekuitas 1,91% Dicabut dengan PPSAK 6
tgl 1 Februari 2011
6 PSAK 22 Kombinasi Bisnis 1.27%
7 PSAK 23 Pendapatan 0,96%
8 PSAK 27 Akuntansi Perkoperasian 1,27% Dicabut dengan PPSAK 8
tgl 8 April 2011
9 PSAK 30 Sewa 2,87%
10 PSAK 38 Kombinasi Bisnis 1,59%
Entitas
11 PSAK 39 Akuntansi Kerja Sama 3,50% Dicabut dengan PPSAK 11
Operasi tgl 28 Juni 2011
12 PSAK 40 Akuntansi perubahan 1,27% Dicabut 1 Januari 2011
ekuitas anak perusahaan / perusahaan
asosiasi
13 PSAK 41 Akuntansi Waran 0,32% Dicabut dengan PPSAK 2
tgl 5 Desember 2009
14 PSAK 47 Akuntansi tanah 0,64% Dicabut efektif 1 Januari
2012
15 PSAK 48 Penurunan Nilai Aset 1,59%
16 PSAK 50 lnstrumen Keuangan: 11,15%
Penyajian (2006)
17 PSAK 51 Akuntansi kuasi 2,23% Dicabut dengan PPSAK 10
reorganisasi tgl 20 Desember 2011
18 PSAK 55 lnstrumen Keuangan: 52,23% Akan digantikan dengan
Pengakuan dan Pengukuran (2005) ED PSAK 71 mulai 7
Januari 2018 dan efektif
mulai 1 Januari 2019.
19 PSAK 57 Provisi, Liabilitas 0,64%
Kontinjensi, dan Aset Kontinjensi
20 Kerangka Dasar Penyusunan dan 1,91% DSAK telah mengesahkan
Penyajian Laporan Keuangan penyesuaian atas KDPPLK
(KDPPLK) tahun 1994 pada tanggal 27T Agustus
2014.

2.7.8. Perbandingan Cakupan Instrumen Keuangan


Sebagaimana dibahas diatas bahwa PSAK 7l akan menggantikan PSAK 55 berkenaan
dengan instrumen keuangan, maka yang pertama kali disimak adalah cakupan definisi mengenai
instrumen keuangan. Secara konsep hal ini pada gilirannya dapat mengakibatkan reklasifikasi
item yang sebelumnya merupakan instrumen keuangan menurut PSAK 55 menjadi tidak
termasuk instrumen keuangan menurut PSAK 71; demikian pula sebaliknya. Berikut definisi
Instrumen Keuangan menurut PSAK 50&55 dan PSAK 71.
PSAK 50 & PSAK 55 PSAK 71
Instrumen Keuangan adalah setiap aset yang Instrumen Keuangan adalah aset keuangan
berbentuk: yang manfaatnya bagi entitas adalah untuk
a. Kas memperoleh arus kas dimasa depan atau
b. instrumen ekuitas yang diterbitkan entitas sebagai suatu instrumen lindung nilai.
Iain
c. hak kontraktual;
i. untuk menerima kas atau aset
keuangan lain dari entitas lain; atau
ii. untuk mempertukarkan aset
keuangan atau liabilitas keuangan
dengan entitas lain dengan kondisi
yang berpotensi menguntungkan
entitas tersebut, atau
d. kontrak yang akan atau mungkin
diselesaikan dengan menggunakan
instrumen ekuitas yang diterbitkan oleh
entitas dan merupakan:
i. non-derivatif di mana entitas harus
atau mungkin diwajibkan untuk
menerima suatu jumlah yang
bervariasi dari instrumen ekuitas
yang diterbitkan entitas; atau
ii. derivatif yang akan atau mungkin
diselesaikan selain dengan
memepertukarkan sejumlah tertentu
kas atau aset keuangan lain dengan
sejumlah tertentu instrumen ekuitas
yang diterbitkan entitas

Dari definisi diatas maka disimpulkan bahwa Instrumen Keuangan adalah kontrak
yang mengakibatkan timbulnya aset keuangan (hak kontraktual) bagi satu entitas dan
kewajiban keuangan atau instrumen ekuitas bagi entitas lainnya. Hak kontraktual dapat berupa
hak untuk menerima kas atau aset keuangan lainnya dari entitas lain.

2.7.9. Perbandingan Kategori Instrumen Keuangan menurut PSAK 55 dan PSAK 71


PSAK 55 membagi kategori instrumen keuangan berdasarkan intensi manajemen yang
terdiri dari 4 kategori, dimana setiap kategori memiliki cara pengukuran tersendiri. Dengan kata
lain menurut PSAK 55 kategori menentukan pengukuran suatu instrumen keuangan. Adapun
keempat kataegori tersebut adalah:
a. Nilai wajar melalui laba rugi (FVTPL)
b. Biaya perolehan diamortisasi
c. Piutang dan Pinjaman
d. Tersedia Untuk Dijual
PSAK 7l membagi kategori menurut model bisnis yang terdiri dari 3 kategori yakni:
1) Biaya perolehan diamortisasi
2) Nilai wajar melalui penghasilan komperhensif lain
3) Nilai wajar melalui laba rugi

2.7.10. Perbandingan Perlakuan Akuntansi Instrumen Keuangan untuk Kredit –


Pengakuan dan Pengukuran Awal
PSAK 55 mensyaratkan pengakuan kredit pada saat Bank menjadi salah satu pihak dalam
contractual party. Adapun PSAK 7l menganut prinsip risk and reward, dimana pengakuan kredit
mensyaratkan Bank telah terekspos secara efektif dari perjanjian kredit. Dari uraian tersebut
secara teknis tidak terdapat perbedaan pengakuan awal untuk kredit antara PSAK 55 dan PSAK
71. Dalam hal pengukuran awal (initial measurement) terdapat perbedaan mendasar antara
PSAK 55 dan PSAK 71. PSAK 55 mensyaratkan pengukuran awal berdasarkan klasifikasi
(kategori) kredit berdasarkan intensi manajemen, sedangkan PSAK 7l memberi panduan bahwa
pengukuran awal kredit hanya berdasarkan nilai wajar, yang dalam hal ini adalah nilai historis
(historical cost).

2.7.11. Perbandingan Perlakuan Akuntansi Instrumen Keuangan untuk Kredit –


Pengukuran Setelah Pengukuran Awal (Subsequent Measurement)
PSAK 71 memberi panduan bahwa kategorisasi instrumen keuangan dalam hal ini adalah kredit

dilakukan pada subsequent measurement berdasarkan model bisnis.

Perbandingan Kategori Kredit Menurut PAPI 2008 dengan PSAK 71

PSAK 55 PSAK 71
No Kategori Aset Pengukuran Kategori Aset Pengukuran
Keuangan Keuangan
1 Diukur pada Nilai Sebesar nilai wajar Kredit merupakan Aset Biaya perolehan
wajar melalui kredit yang pada Keuangan yang diukur diamortisasi
Laporan Laba Rugi saat pengakuan pada biaya perolehan
awal sama dengan diamortisasi karena
harga transaksi, memenuhi 2 kondisi
yaitu sebesar pokok berikut:
kredit yang 1.Tujuan bank
dicairkan memberikan kredit
dalam rangka
mendapatkan arus
kas kontraktual, dan
2.Persyaratan
kontraktual kredit
pada tanggal tertentu
meningkatkan arus
kas yang semata dari
pembayaran pokok
dan bunga (solely
payments of
principal and
interest) dari jumlah
pokok terutang
2 Dimiliki Hingga Sebesar nilai wajar
Jatuh Tempo kredit yang pada
saat pengakuan
awal sama
3 Tersedia untuk dengan harga
Dijual transaksi, yaitu
sebesar pokok
4 Pinjaman yang kredit yang
Diberikan dan dicairkan,
Piutan dikurangi atau
ditambah
pendapatan
dan/atau beban
yang dapat
diatribusikan
secara langsung
pada pemberian
kredit tersebut

2.7.12. Perbandingan Pengungkapan (Disclosure) Kredit


PSAK 71 meminta Bank untuk mengungkapkan penurunan nilai kredit secara lebih
komprehensif baik dari sisi kuantitatif maupun kualitatif. Berikut ikhtisar singkatnya:
1. Kuantitatif
a) Rekonsiliasi dari saldo awal hingga saldo penutup CKPN
b) Penjelasan perubahan nilai tercatat bruto credit
c) Nilai tercatat bruto per credit risk grade
d) Penghapus bukuan, modifikasi
2. Kualitatif
a) Inputs, asumsi dan teknik yang digunakan dalam menentukan Kerugian Kredit
Ekspektasian (dan perubahan teknik)
b) Inputs, asumsi dan teknik yang digunakan dalam menentukan “kenaikan signifikan”
pada risiko kredit dan gagal bayar
c) Inputs, asumsi dan teknik yang digunakan dalam menentukan “credit impaired”
d) Kebijakan penghapus bukuan, kebijakan modifikasi, agunan.

2.8. Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) 71


2.8.1. Pendahuluan
Dewan Standar Akuntansi Keuangan (DSAK) merilis tiga Pernyataan Standar Akuntansi
Keuangan (PSAK) baru. Ini merupakan bagian dari usaha otoritas untuk mengadopsi sistem dari
International Financial Reporting Standards (IFRS) yang dikeluarkan oleh otoritas akuntan
internasional, International Accounting Standard Board (IASB). Sejatinya peraturan tersebut
sudah diterbitkan sejak tahun 2017. Namun, pada tahun 2020 ini PSAK 71 sudah wajib
diterapkan.
Adapun tiga Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) tersebut adalah PSAK 71,
PSAK 72, dan PSAK 73. Standar akuntansi yang baru ini diterbitkan oleh Dewan Standar
Akuntansi Keuangan (DSAK) dengan mengadopsi International Financial Reporting Standards
(IFRS) 9, 15 dan 16 yang dikeluarkan oleh International Accounting Standard Board (IASB).
Ketiga PSAK itu memiliki poin masing-masing. PSAK 71 misalnya mengatur mengenai
instrumen keuangan, PSAK 72 mengatur mengenai pendapatan dari kontrak dengan pelanggan
dan PSAK 73 mengatur mengenai sewa.
Dunia perbankan akan sangat terdampak oleh Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK)
yang baru ini, khususnya Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) 71 yang mengatur
mengenai instrument keuangan. Untuk itu, kalangan emiten perbankan diharapkan sudah mulai
melakukan mitigasi risiko terhadap potensi masalah yang ditimbulkan selama proses
penyesuaian nantinya. Dimana dulunya instrument keuangan diatur pada Pernyataan Standar
Akuntansi Keuangan (PSAK) 55, namun akan digantikan oleh Pernyataan Standar Akuntansi
Keuangan (PSAK) 71.

2.8.2. Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan 71


Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) 71 memberi panduan tentang
pengakuan dan pengukuran instrumen keuangan. Standar yang mengacu kepada International
Financial Reporting Standard (IFRS) 9 ini akan menggantikan PSAK 55 yang sebelumnya
berlaku.
Selain soal klasifikasi aset keuangan, salah satu poin penting PSAK 71 adalah soal
pencadangan atas penurunan nilai aset keuangan yang berupa piutang, pinjaman, atau kredit.
Standar baru ini mengubah secara mendasar metode penghitungan dan penyediaan cadangan
untuk kerugian akibat pinjaman yang tak tertagih. Jika berdasarkan PSAK 55, kewajiban
pencadangan baru muncul setelah terjadi peristiwa yang mengakibatkan risiko gagal bayar
(incurred loss), PSAK 71 memandatkan korporasi menyediakan pencadangan sejak awal periode
kredit. Kini, dasar pencadangan adalah ekspektasi kerugian kredit (expected credit loss) di masa
mendatang berdasarkan berbagai faktor; termasuk di dalamnya proyeksi ekonomi di masa
mendatang. 
PSAK 71 yang merupakan adopsi dari IFRS 9 awalnya muncul karena desakan krisis
keuangan global pada 2008. Saat itu, dugaan krisis terjadi karena instrumen keuangan yang
dicadangkan untuk ketertagihan terlalu sedikit dan sudah terlambat. Akibatnya, tidak ada sinyal
dari pasar bahwa tagihan itu tidak collectable atau tertagih dari awal.
Berdasarkan standar akuntansi baru ini, artinya, korporasi harus menyediakan cadangan
kerugian atas penurunan nilai kredit (CKPN) untuk semua kategori kredit atau pinjaman, baik itu
yang berstatus lancar (performing), ragu-ragu (underperforming), maupun macet (non-
performing).  Untuk kredit lancar, misalnya, korporasi harus menyediakan CKPN berdasarkan
ekspetasi kerugian kredit dalam 12 bulan mendatang. 
Imbasnya, korporasi mesti menyediakan nilai pencadangan atas kredit atau piutang tak
tertagih lebih besar dibandingkan sebelumnya. “Berdasarkan survei internasional, peningkatan
pencadangan korporasi bisa mencapai 25% hingga 35%. Tentu, angka riil sangat tergantung
negara, industri, dan kondisi masing-masing perusahaan,” ujar Rosita Uli Sinaga, Senior Partner
Deloitte Indonesia.  Bagi industri perbankan, kewajiban untuk mengikuti cara pencadangan
anyar ini bisa berujung pada penurunan rasio kecukupan modal atau capital adequacy ratio
(CAR).
2.8.3. Perbedaan PSAK 71 dan PSAK 55
Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) 71 tentang Pembentukan Cadangan
Kerugian Penurunan Nilai (CKPN) aset keuangan dengan konsep expected loss sudah berlaku
per 1 Januari 2020. PSAK 71 yang mengadopsi International Financial Reporting Standard
(IFRS) 9 akan menggantikan PSAK 55 (adopsi IAS 39) yang pembentukan cadangan kerugian
menggunakan metode incurred loss.
Lalu apa perbedaannya? Perbedaan keduanya cukup substansial. Pertama, metode
incurred loss bersifat backward looking karena cadangan kerugian penurunan nilai aset
keuangan/ kredit dibentuk ketika kualitasnya telah menurun (impaired). Sementara itu, metode
expected loss bersifat forward looking, di mana metode ini lebih merefleksikan perubahan
ekspektasi risiko kredit sebagai akibat dari perubahan kondisi ekonomi dan dampaknya terhadap
risiko kredit.
Kedua, pembentukan cadangan dengan menggunakan metode incurred loss mengacu
pada keberadaan bukti objektif telah terjadi penurunan nilai aset keuangan. Sementara itu,
metode expected loss memperhitungkan kemungkinan (probabilitas) terjadinya penurunan nilai
di masa datang. Maka dari itu, perhitungan impairmentnya benar-benar mengandalkan seluruh
informasi seperti data histori, saat ini dan ekspektasi masa depan.
Ketiga, pada metode incurred loss ekspektasi kerugian dari asset keuangan dihitung
berdasarkan saldo (outstanding) atau nilai terkini aset keuangan pada saat cadangannya akan
dibentuk. Sebaliknya pada metode expected loss, ekspektasi kerugian diperhitungkan pada saat
pemberian kredit di awal atau ketika aset keuangan diperoleh (early recognition), tanpa harus
didahului oleh adanya credit loss event.
Pemberlakuan PSAK 71/IFRS 9 sejatinya merupakan respons dari The International
Accounting Standards Board terhadap krisis keuangan global 2008–2009. Standar akuntansi
sebelumnya yakni PSAK 55/IAS 55 tampaknya ikut dipersalahkan karena telah membuat
perilaku pembentukan cadangan kerugian kredit menjadi prosiklikal dengan siklus bisnis
(ekonomi) serta dinilai terlalu kecil dan lambat (too little, too late).

2.8.4. Dampak Penerapan PSAK 71 Bagi Perbankan


Penerapan PSAK 71 memang baru berlaku pada 2020. Namun melihat dampaknya yang
signifikan yakni tak hanya pada rugi laba, tapi juga berdampak pada share holder value atau
penurunan modal sekitar 20%-30%, bank-bank diharapkan menyiapkan diri sejak dini.
Disamping itu implementasi Pernyataan Standar Akuntansi (PSAK) 71 akan menggerus modal
bank. Pasalnya, perbankan mesti menyiapkan Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN)
lebih, lantaran dihitung sejak awal tahun berjalan (expected loss), alih-alih menyiapkan CKPN
ketika terjadi kredit macet (incurred loss).

2.8.5. Antisipasi Penerapan PSAK 71


Implemetasi PSAK 71 pada dasarnya akan memberikan dampak kepada perbankan.
Untuk meminimalisir terjadinya dampak buruk dari implementasi PSAK 71 tersebut perlu
dilakukan langkah-langkah antisipasi baik untuk Bank dengan skala besar, menengah, maupun
kecil. Adapun langkah-langkah antisipasi yang bisa dilakukan seperti: melakukan perhitungan
atau melakukan simulasi dampak penerapan PSAK 71 terutama pada sisi cadangan kerugian
penurunan nilai (CKPN), menyusun perhitungan pencadangan dengan pola menggunakan PSAK
71 dan tanpa menggunakan PSAK 71, dan melakukan penambahan cadangan akibat kerugian
kredit sampai 25%

2.9. Kontrak Asuransi (PSAK 62)


Dewan Standar Akuntansi Keuangan Ikatan Akuntan Indonesia telah menerbitkan 3
PSAK yang berkaitan dengan asuransi, yakni:
1. PSAK 62: Kontrak Asuransi
2. PSAK 28: Akuntansi Kontrak Asuransi Kerugian
3. PSAK 36: Akuntansi Kontrak Asuransi Jiwa
Penjelasan lebih rinci mengenai masing-masing PSAK akan diberikan dibawah ini.

2.9.1. Definisi Kontrak Asuransi


Definisi kontrak asuransi menurut PSAK 62 adalah kontrak dimana satu pihak (insurer)
menerima risiko asuransi signifikan dari pihak lain (pemegang polis) dengan menyetujui untuk
mengkompensasi pemegang polis jika kejadian masa depan tidak pasti spesifik (kejadian yang
diasuransikan) secara buruk mempengaruhi pemegang polis.
Insurer adalah pihak yang memiliki kewajiban dalam kontrak asuransi untuk
mengkompensasi pemegang polis jika kejadian yang diasuransikan terjadi. Dengan kata lain,
insurer merupakan perusahaan yang memberikan jasa asuransi.
PSAK 62 merupakan Standar Akuntansi Keuangan (SAK) yang bersifat sementara dan
tidak dimaksudkan untuk mengubah secara signifikan pengaturan dan praktik akuntansi yang
selama ini diterapkan pada industri asuransi. Penerapan PSAK 62 dilengkapi dengan revisi dari
PSAK 28 dan PSAK 36 untuk memberikan pedoman yang lebih rinci mengenai pengakuan dan
pengukuran pendapatan, beban dan liabilitas.

2.9.2. Ruang lingkup Kontrak Asuransi


1. Kontrak asuransi (termasuk kontrak reasurans) yang diterbitkan dan kontrak reasuransi
yang dimiliki entitas. Kontrak reasuransi adalah kontrak asuransi yang diterbitkan oleh
satu insurer (reinsurer) untuk mengkompensasi insurer lainnya (cedant) atas kerugian
satu atau lebih kontrak yang diterbitkan oleh cedant.
2. Instrumen keuangan yang diterbitkan entitas dengan fitur partisipasi tidak mengikat
(hak kontraktual untuk menerima, sebagai tambahan dari manfaat yang dijamin).
Manfaat yang dijamin adalah pembayaran atau manfaat lainnya yang terkait dengan
pemegang polis tertentu atau investor yang memiliki hak mutlak yang tidak bergantung
pada kebijakan kontraktual penerbit.

2.9.3. Derivatif Melekat


PSAK 55 (revisi 2006): Instrumen Keuangan: Pengakuan dan Pengukuran mensyaratkan
entitas untuk memisahkan beberapa derivatif melekat dari kontrak utamanya. Mengukur
derivative melekat tersebut menggunakan nilai wajar, dan memasukkan perubahan nilai
wajarnya pada laba rugi. PSAK 55 (revisi 2006) berlaku untuk derivatif uang melekat dalam
kontrak asuransi kecuali derivatif melekat tersebut merupakan kontrak asuransi maka harus
menerapkan PSAK 62.

2.9.4. Pemisahan komponen deposit


Pada beberapa kontrak asuransi mengandung baik komponen asuransi maupun komponen
deposit. Dalam beberapa kasus, insurer disyaratkan atau diizinkan untuk memisahkan
komponen-komponen tersebut:
(a) Pemisahan disyaratkan jika kedua kondisi berikut terpenuhi:
(i). Insurer dapat mengukur komponen deposit (termasuk opsi penyerahan melekat)
secara terpisah (misalnya tanpa mempertimbangkan komponen asuransi)
(ii). Kebijakan akuntansi insurer sebaliknya tidak mensyaratkan untuk mengakui seluruh
hak dan kewajiban yang muncul dari komponen deposit.
(b) Pemisahan diizinkan, tapi tidak disyaratkan, jika insurer dapat mengukur komponen
deposit secara terpisah sepert disebutkan pada (a)(i), tetapi kebijakan akuntansi
mensyaratkan untuk mengakui seluruh hak dan kewajiban yang muncul dari komponen
deposit, terlepas dari dasar yang digunakan untuk mengukur hak dan kewajiban tersebut.
(c) Pemisahan tidak diizinkan jika insurer tidak dapat mengukur komponen deposit secara
terpisah seperti yang disebutkan pada (a)(i).
Dalam praktik di Indonesia, suatu kontrak yang awalnya dikategorikan sebagai kontrak
asuransi dapat berubah menjadi kontrak investasi berdasarkan PSAK 62 apabila pemegang polis
melakukan top-up sehingga insurer terpapar risiko keuangan tanpa risiko asuransi signifikan.
Ketika kondisi tersebut terjadi, maka produk tersebut menjadi kontrak investasi atau kontrak non
asuransi.

2.9.5. Tes Kecukupan liabilitas


PSAK 62 mensyaratkan insurer untuk melakukan tes kecukupan liabilitas atas kontrak
asuransi. Insurer menilai pada setiap akhir periode pelaporan apakah liabilitas asuransi yang
diakui telah mencukupi dengan menggunakan estimasi kini atas arus kas masa depan terkait
dengan kontrak asuransi. Jika penilaian tersebut menunjukkan bahwa nilai tercatat liabilitas
asuransi (dikurangi dengan biaya akuisisi tangguhan terkait dan aset tak berwujud terkait) tidak
mencukupi dibandingkan dengan estimasi arus kas masa depan, maka seluruh kekurangan diakui
dalam laba rugi.

2.9.6. Penurunan Nilai Aset Reasuransi


PSAK 62 mengatur penurunan nilai aset reasuransi pada kontrak asuransi, jika aset
reasuransi cedant turun nilainya, cedant mengurangi nilai tercatat sesuai dengan nilainya dan
mengakui kerugian penurunan nilai tersebut dalam laporan laba rugi.

2.9.7. Shadow accounting


Penyesuaian terkait atas liabilitas asuransi (atau biaya akuisisi tangguhan dan aset
takberwujud) diakui dalam pendapatan komprehensif lain jika, dan hanya jika, keuntungan atau
kerugian yang belum terealisasi diakui dalam pendapatan komprehensif lain. Praktek seperti ini
biasanya disebut sebagai “shadow accounting”

2.9.8. Contoh-contoh Kontrak Asuransi


Berikut adalah contoh-contoh kontrak yang merupakan kontrak asuransi, jika pengalihan atas
risiko asuransi signifikan:
(a) Asuransi atas kehilangan atau kerusakan properti;
(b) Asuransi atas produk, liabilitas profesional, sipil atau beban-beban hukum;
(c) Asuransi jiwa dan rencana pemakaman dibayar di muka (meskipun kematian adalah pasti,
tetap saja tidak pasti kapan kematian itu akan terjadi atau, untuk beberapa jenis asuransi
jiwa, apakah kematian itu akan terjadi dalam periode yang dilindungi atau tidak oleh
asuransi);
(d) Anuitas kontinjen jiwa dan pensiun (misalnya kontrak yang menyediakan kompensasi
untuk kejadian masa depan yang tidak pasti - bertahannya para penerima anuitas
(annuitant) atau pensiunan - untuk membantu penerima anuitas (annuitant) atau
pensiunan dalam memelihara standar hidup tertentu, yang sebaliknya menjadi pengaruh
merugikan karena bertahannya penerima anuitas);
(e) Perlindungan cacat dan medis;
(f) Obligasi jaminan, obligasi kesetiaan, obligasi kinerja dan obligasi penawaran (misalnya
kontrak yang menyediakan kompensasi jika pihak lainnya gagal untuk melaksanakan
kewajiban perjanjian, sebagai contoh kewajiban untuk membangun sebuah gedung);
(g) Asuransi kredit yang menyediakan pembayaran spesifik untuk mengganti kerugian yang
terjadi karena debitor gagal bayar ketika jatuh tempo di bawah persyaratan awal atau
modifikasi dari instrumen utang bagi pemegang asuransi. Kontrak ini memiliki berbagai
variasi bentuk hukum, seperti jaminan, letter of credit, kontrak kredit derivatif gagal
bayar (credit derivative default contract) atau kontrak asuransi. Namun, meskipun
kontrak-kontrak tersebut memenuhi definisi kontrak asuransi, dan juga memenuhi definisi
sebagai kontrak jaminan keuangan dalam PSAK 55 (revisi 2006): Instrumen Keuangan:
Pengakuan dan Pengukuran dan termasuk dalam ruang lingkup PSAK 50 (revisi 2010):
Instrumen Keuangan: Penyajian dan PSAK 55 (revisi 2006), bukan Pernyataan ini (lihat
paragraf 4(d)). Sehingga, jika penerbit kontrak jaminan keuangan sebelumnya telah
menyatakan secara eksplisit bahwa kontrak tersebut diperlakukan sebagai kontrak
asuransi dan telah menerapkan akuntansi yang berlaku untuk kontrak asuransi, penerbit
dapat memilih untuk menerapkan PSAK 55 (revisi 2006) dan PSAK 50 (revisi 2010) atau
Pernyataan ini untuk kontrak jaminan keuangan;
(h) Jaminan produk. Jaminan produk yang diterbitkan oleh pihak lain untuk barang yang
dijual oleh perusahaan manufaktur, dealer atau retailer termasuk dalam ruang lingkup
Pernyataan ini. Namun, jaminan produk yang diterbitkan secara langsung oleh
perusahaan manufaktur, dealer atau retailer di luar ruang lingkup Pernyataan ini, karena
perusahaan manufaktur, dealer atau retailer termasuk dalam ruang lingkup PSAK 23
(revisi 2010): Pendapatan dan PSAK 57 (revisi 2009): Provisi, Liabilitas Kontinjensi
dan Aset Kontinjensi;
(i) Asuransi kepemilikan (misalnya asuransi terhadap penemuan cacat dalam kepemilikan
tanah yang tidak terlihat ketika kontrak asuransi diterbitkan). Dalam kasus ini, kejadian
yang diasuransikan adalah penemuan cacat dalam kepemilikan, bukan cacat itu sendiri;
(j) Bantuan perjalanan (misalnya kompensasi dalam kas atau dalam bentuk barang atau jasa
kepada pemegang polis atas kerugian yang terjadi ketika mereka sedang melakukan
perjalanan). Paragraf B6 dan B7 mendiskusikan beberapa kontrak semacam ini;
(k) Obligasi katrastofa yang menyediakan pengurangan pembayaran pokok, suku bunga atau
keduanya jika suatu kejadian tertentu mempengaruhi kerugian penerbit obligasi (kecuali
kejadian tersebut tidak menimbulkan risiko asuransi signifikan, misalnya jika kejadiannya
adalah perubahan dalam tingkat suku bunga atau kurs valuta asing);
(l) Asuransi swap dan kontrak lainnya yang membutuhkan pembayaran berdasarkan
perubahan iklim, geologis atau variabel fisik lainnya yang khusus pada pihak dalam
kontrak;
(m) Kontrak reasuransi.

2.8.9. DE PSAK 74: Kontrak Asuransi


Pada 26 September 2018, Dewan Standar Akuntansi Keuangan Ikatan Akuntan Indonesia
(DSAK IAI) telah mengesahkan Draf Eksposur (DE) PSAK 74: Kontrak Asuransi yang
merupakan hasil adopsi dari IFRS 17 Insurance Contracts efektif per 1 Januari 2021. DE PSAK
74 ini nantinya akan menggantikan PSAK yang berlaku saat ini, yaitu PSAK 62: Kontrak
Asuransi, PSAK 28: Akuntansi Kontrak Asuransi Kerugian, dan PSAK 36: Akuntansi Kontrak
Asuransi Jiwa. Pada ruang lingkup DE PSAK 74, standar tersebut diterapkan untuk:
 Kontrak asuransi
 Kontrak reasuransi milikan, dan
 Kontrak investasi dengan fitur partisipasi diskresioner
Standar akuntansi yang mengatur kontrak asuransi yang saat ini berlaku, PSAK
62: Kontrak Asuransi, merupakan standar interim. Standar ini memperkenankan entitas untuk
menggunakan beragam praktik akuntansi untuk kontrak asuransi. Sebagian besar pemangku
kepentingan, termasuk perusahaan asuransi, menyepakati perlunya standar akuntansi yang
mengatur kontrak asuransi yang bersifat global sehingga dapat meningkatkan keterbandingan
laporan keuangan perusahaan asuransi antar yurisdiksi dan keberagaman produk maupun dengan
industri lainnya.
DE PSAK 74 mengatur bahwa kelompok kontrak asuransi diukur pada nilai total atas arus
kas pemenuhan (fulfillment cash flows) dan marjin jasa kontraktual (contractual service margin).
DE PSAK 74 juga mengatur entitas untuk menyajikan secara terpisah dalam laporan posisi
keuangan jumlah tercatat kelompok berikut:
(a) Kontrak asuransi terbitan yang merupakan aset;
(b) Kontrak asuransi terbitan yang merupakan liabilitas;
(c) Kontrak reasuransi milikan yang merupakan aset; dan
(d) Kontrak reasuransi milikan yang merupakan liabilitas.
DE PSAK 74 ini mensyaratkan entitas memisahkan jumlah yang diakui dalam laporan laba
rugi dan penghasilan komprehensif lain ke dalam hasil jasa asuransi yang terdiri dari pendapatan
asuransi dan beban jasa asuransi, dan penghasilan atau beban keuangan asuransi. Pendapatan
asuransi dan beban jasa asuransi yang disajikan dalam laba rugi tidak memasukkan komponen
investasi apapun. Pendapatan asuransi merupakan total dari perubahan dalam liabilitas atas sisa
masa pertanggungan dalam periode yang berkaitan dengan jasa yang atasnya entitas
mengharapkan untuk menerima pembayaran.
DE PSAK 74 diusulkan untuk berlaku efektif per 1 Januari 2022 dengan opsi penerapan dini
diperkenankan.

2.10. Akuntansi Kontrak Asuransi Kerugian (PSAK 28)


Menurut UU no.2 tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian, asuransi atau pertanggungan
adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri
kepada tertanggung, dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada
tertanggung karena kerugian, kerusakan, atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau
tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang
timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau untuk memberikan suatu pembayaran yang
didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.
Usaha asuransi merupakan suatu mekanisme yang memberikan perlindungan pada
tertanggung apabila terjadi risiko di masa mendatang. Apabila risiko tersebut benar-benar terjadi,
pihak tertanggung akan mendapatkan ganti rugi sebesar nilai yang diperjanjikan antara
penanggung dan tertanggung.
Mekanisme perlindungan ini sangat dibutuhkan dalam dunia bisnis yang penuh dengan
risiko. Secara rasional, para pelaku bisnis akan mempertimbangkan untuk mengurangi risiko
yang dihadapi. Pada tingkat kehidupan keluarga atau rumah tangga, asuransi juga dibutuhkan
untuk mengurangi permasalahan ekonomi yang akan dihadapi apabila ada salah satu anggota
keluarga yang menghadapi risiko cacat atau meninggal dunia.
Beberapa pengertian asuransi kerugian diantaranya:
 Pada prinsipnya, asuransi kerugian adalah mekanisme proteksi atau perlindungan dari
risiko kerugian keuangan dengan cara mengalihkan risiko kepada pihak lain.
 Asuransi kerugian adalah suatu perjanjian asuransi yang berisikan ketentuan bahwa
penanggung mengikatkan dirinya untuk melakukan prestasi berupa memberikan ganti
kerugian kepada tertanggung seimbang dengan kerugian yang diderita oleh pihak yang
tertanggung.
 Asuransi kerugian adalah asuransi yang memberikan ganti rugi kepada tertanggung yang
menderita kerugian barang atau benda miliknya, kerugian mana terjadi karena bencana
atau bahaya terhadap mana pertanggungan ini diadakan, baik kerugian itu berupa :
 Kehilangan nilai pakai
 Kekurangan nilainya
 Kehilangan keuntungan yang diharapkan oleh tertanggung
 Penanggung tidak harus membayar ganti rugi kepada tertanggung jika selama jangka
waktu perjanjian obyek pertanggungan tidak mengalami bencana atau bahaya yang
dipertanggungkan.

Macam-Macam Asuransi Kerugian


Asuransi kerugian ini dapat dipilah sebagai berikut:
a)    Asuransi kebakaran adalah asuransi yang menutup risiko kebakaran.
b)   Asuransi pengangkutan adalah asuransi pengangkutan penanggung atau perusahaan
asuransi akan menjamin kerugian yang dialami tertanggung akibat  terjadinya kehilangan
atau kerusakan saat pelayaran.
c)    Asuransi aneka adalah jenis asuransi kerugian yang tidak dapat digolongkan
kedalam kedua asuransi diatas, misal: asuransi kendaraan bermotor, asuransi kecelakaan diri, dan
lain sebagainya.

2.10.1. PSAK 28: Akuntansi Asuransi Kerugian (Revisi 2012)


Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) No. 28 bertujuan untuk mengatur
bagaimana perlakuan akuntansi dalam pengakuan dan pengukuran transaksi yang berkaitan
secara khusus pada perusahaan asuransi kerugian. Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan
mengenai Akuntansi Asuransi Kontrak Kerugian ini dimaksudkan untuk menjembatani antara
standar akuntansi keuangan lainnya dengan praktek akuntansi asuransi.

2.10.2. Karakteristik Akuntansi Asuransi


Asuransi kerugian pada hakekatnya adalah suatu sistem proteksi menghadapi risiko
kerugian finansial, dengan cara pengalihan (transfer) risiko kepada pihak lain, baik secara
perorangan maupun secara kelompok dalam masyarakat. Digolongkan ke dalam asuransi
kerugian antara lain Asuransi Kebakaran, Asuransi Pengangkutan, Asuransi Kendaraan
Bermotor, Asuransi Rangka Kapal Laut, Asuransi Rangka Kapal Udara, Asuransi Rekayasa
(Engineering) dan Asuransi Aneka seperti asuransi kecelakaan diri, asuransi pengiriman dan
penyimpanan surat berharga, dan lain-lain.
Beberapa karakteristik dari akuntansi perusahaan asuransi kerugian antara lain:
 Pertanggungjawaban perusahaan asuransi yang besar kepada para tertanggung
mempengaruhi penyajian laporan keuangan khususnya neraca.
 Penentuan beban tidak dapat sepenuhnya dihubungkan dengan pendapatan premi, karena
timbulnya beban klaim tidak selalu bersamaan dengan pengakuan pendapatan premi.
 Laporan laba rugi sangat dipengaruhi oleh unsur estimasi, misalnya: estimasi mengenai
besarnya premi yang belum merupakan pendapatan (unearned premium income) dan
estimasi mengenai besarnya klaim yang menjadi beban pada periode berjalan (estimasi
klaim tanggungan sendiri).
 Perusahaan asuransi harus memenuhi ketentuan pemerintah dalam hal batas tingkat
solvabilitas (solvency margin).
PSAK 28 telah mengalami beberapa kali perubahan atau revisi. Revisi terakhir yang
dilakukan pada tahun 2012 merupakan tindak lanjut dari konvergensi IFRS 4 terhadap industri
asuransi di Indonesia. Revisi tersebut mengubah beberapa paragraf yang dianggap sudah tidak
relevan lagi untuk diterapkan di masa kini. PSAK 28 (Revisi 2012) tidak memuat hal-hal baru,
namun hanya mengubah paragraf yang sudah tidak sesuai dengan perkembangan asuransi
kerugian di Indonesia yang sebelumnya dinyatakan dalam PSAK 28 (Revisi 1996): Akuntansi
Asuransi Kerugian (Pamungsu, 2012). Selain itu adopsi IFRS 4: Insurance Contract dengan
munculnya PSAK 62: Kontrak Asuransi membuat beberapa perubahan antara PSAK 28 (Revisi
1996) dengan PSAK 28 (Revisi 2012) yang diringkas dalam tabel berikut:

Tabel Perbedaan PSAK 28 (Revisi 2012) dan PSAK 28 (Revisi 1996)


Perihal PSAK 28 (Revisi 2012) PSAK 28 (Revisi 1996)
Tujuan Sebagai pelengkap PSAK 62: Tidak diatur
Kontrak Asuransi
Ruang Lingkup Diterapkan untuk asuransi Penyajian laporan keuangan
kerugian, namun harus masuk asuransi kerugian tanpa
dalam ruang lingkup PSAK mengacu kepada PSAK 62:
62: Kontrak Asuransi Kontrak Asuransi
Pendapatan Premi  Dibedakan antara  Tidak diatur
pendapatan premi untuk  Tidak terlihat perbedaan
kontrak asuransi jangka antara pendapatan yang
pendek dengan pendapatan berasal dari premi kontrak
premi selain kontrak asuransi atau premi
asuransi jangka pendek kontrak investasi.
 Dipisahkan antara kontrak
asuransi dan kontrak
investasi.
Biaya Akuisisi Tangguhan Biaya akuisisi harus Langsung diakui saat premi
ditangguhkan sesuai dengan terjadi.
ketentuan berikut:
 Untuk kontrak asuransi
jangka pendek diakui
bersamaan dengan Premi
yang Belum Merupakan
Pendapatan;
 Dibebankan pada saat
terjadinya akuisisi untuk
kontrak asuransi jangka
panjang.
Liabilitas  Diadakan tes kecukupan  Tidak diatur tentang tes
liabilitas kecukupan liabilitas.
 Memberikan pengaturan  Mengatur tentang
tentang: Liabilitas Polis Hutang Klaim, Hutang
Masa Depan, Premi yang Reasuransi, dan Premi
Belum Merupakan yang Belum Merupakan
Pendapatan, dan Pendapatan.
Liabilitas Klaim.

Asset Reasuransi Tidak boleh saling hapus Boleh saling hapus antara:
antara pendapatan atau pendapatan atau beban dari
beban dari kontrak kontrak asuransi dan
asuransi. reasuransi.

2.10.3. Definisi Asuransi Kerugian


Asuransi kerugian pada hakekatnya adalah suatu sistem proteksi menghadapi risiko
kerugian finansial, dengan cara pengalihan (transfer) risiko kepada pihak lain, baik secara
perorangan maupun secara kelompok dalam masyarakat (Darmawi, 2008: 4).
Beberapa pengertian asuransi kerugian diantaranya:
 Pada prinsipnya, asuransi kerugian adalah mekanisme proteksi atau perlindungan dari
risiko kerugian keuangan dengan cara mengalihkan risiko kepada pihak lain.
 Asuransi kerugian adalah suatu perjanjian asuransi yang berisikan ketentuan bahwa
penanggung mengikatkan dirinya untuk melakukan prestasi berupa memberikan ganti
kerugian kepada tertanggung seimbang dengan kerugian yang diderita oleh pihak yang
tertanggung.
 Asuransi kerugian adalah asuransi yang memberikan ganti rugi kepada tertanggung yang
menderita kerugian barang atau benda miliknya, kerugian mana terjadi karena bencana
atau bahaya terhadap mana pertanggungan ini diadakan, baik kerugian itu berupa :
 Kehilangan nilai pakai
 Kekurangan nilainya
 Kehilangan keuntungan yang diharapkan oleh tertanggung
 Penanggung tidak harus membayar ganti rugi kepada tertanggung jika selama jangka
waktu perjanjian obyek pertanggungan tidak mengalami bencana atau bahaya yang
dipertanggungkan.

2.10.4. Pihak-pihak yang Terlibat dalam Asuransi Kerugian


Pihak-pihak yang terkait dalam asuransi kerugian, yaitu:
 Pihak tertanggung (insured) yang berjanji akan membayar uang premi kepada pihak
penanggung sekaligus atau mengangsur.
 Pihak penanggung (insurer) yang akan berjanji akan memberikan proteksi tertanggung
(insured) yang menerima proteksi.
 Insurance Broker, yaitu pihak ketiga selain penanggung dan tertanggung yang bergerak
secara independen yang mempertemukan pihak penanggung dan tertanggung.
 Perusahaan reasuransi, yaitu perusahaan yang menerima pertanggungan ulang dari
perusahaan asuransi atas sebagian atau keseluruhan risiko yang telah atau tidak dapat
ditanggung kembali oleh perusahaan asuransi.

2.10.5. Karakteristik Perusahaan Asuransi Kerugian


Perusahaan asuransi memiliki kekhususan kegiatan tersendiri dari perusahaan lainnya.
Menurut Darmawi (2010:17) terdapat empat karakteristik khusus yang hanya dimiliki oleh
perusahaan asuransi, sebagai berikut:
1. Kegiatan umum yang merupakan pendukung kegiatan utama seperti sumber daya
manusia, penyedia jasa dan sarana, kesekretariatan, dan sebagainya.
2. Kegiatan teknik yang merupakan kegian khusus perusahaan seperti Underwriting, Klaim,
Reasuransi, dan sebagainya.
3. Kegiatan produksi dan pemasaran, sebagaimana perusahaan lainnya, dalam usaha untuk
memperoleh pendapatan usaha, perusahaan asuransi melakukan aktivitas pemasaran,
seperti pengembangan produk, promosi, penjualan melalui perantara,serta membina
hubungan dan komunikasi dengan konsumen.
4. Kegiatan yang berkaitan dengan keuangan dan akuntansi. Kegiatan ini mencakup
perencanaan atas kebutuhan dan sumber dana, serta pengalokasian dana. Tugas lain yang
terkait adalah membuat laporan keuangan dan menyiapkan laporan analisis kondisi
keuangan untuk digunakan manajemen dalam pengambilan keputusan atau oleh pihak
lain untuk tujuan tertentu.

2.10.6. Fungsi dan Manfaat Asuransi Kerugian


Fungsi utama asuransi kerugian (Abbas, 2007: 58-67) yaitu sebagai berikut:
1. Pengalihan risiko (risk transfer)
Asuransi merupakan mekanisme pengalihan risiko. Seseorang atau perusahaan dapat
mengalihkan risikonya kepada perusahaan asuransi dengan membayar premi asuransi
dalam jumlah yang jauh lebih kecil daripada kerugian yang mungkin terjadi. Tanpa
asuransi, seseorang atau sebuah perusahaan akan menghadapi banyak ketidakpastian,
baik mengenai kerugian itu sendiri maupun besarnya kerugian apabila kerugian itu benar-
benar terjadi.
2. Wadah dana bersama (the common pool)
Premi-premi yang diterima oleh perusahaan asuransi (penanggung) dari para
tertanggungnya akan dikumpulkan pleh penanggung ke dalam suatu wadah bersama
(pool) untuk setiap jenis risiko yang sama, kemudian setiap ganti rugi yang dibayar
diambil dari pool tersebut.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa fungsi utama asuransi kerugian adalah
memberikan mekanisme pengalihan risiko melalui penggunaan wadah dana bersama,
setiap pemegang polis membayar premi dalam jumlah yang seimbang sesuai dengan
tingkat risiko kerugian yang ditimbulkan.

Manfaat asuransi:
1. Memberikan rasa aman.
2. Melengkapi persyaratan kredit. Misalnya pada pembiayaan untuk membeli kendaraan,
maka perusahaan pembiayaan akan mensyaratkan untuk membeli perlindungan asuransi
atas objek tersebut.
3. Mempercepat laju pertumbuhan ekonomi. Dana-dana yang dikumpulkan oleh perusahaan
asuransi biasanya akan ditanamkan diberbagai instrumen investasi. Dana ini disalurkan
oleh istitusi keuangan seperti perbankan kepada sektor riil untuk membiayai
pembangunan.
4. Mengurangi biaya modal. Dengan pengalihan risiko ke pihak perusahaan asuransi, maka
cadangan modal untuk menutupi risiko dapat dibagi.
5. Menjamin stabilitas usaha. Dengan penjaminan dari asuransi di saat musibah melanda
maka kerugian usaha dapat dengan segera dipulihkan.
6. Memastikan biaya untuk risiko usaha. Setiap usaha membutuhkan kepastian untuk
memperoleh laba. Pembayaran uang premi telah memastikan biaya untuk menjalankan
usaha dari risiko-risiko murni, seperti kebakaran.

2.11. Akuntansi Asuransi Jiwa (PSAK 36)


2.11.1. Definisi Asuransi Jiwa
Definisi asuransi jiwa menurut Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) adalah program
perlindungan dalam bentuk pengalihan risiko ekonomis atas meninggal atau hidupnya seseorang
yang dipertanggungkan. Asuransi jiwa diatur dalam PSAK 36: Akuntansi Kontrak Asuransi Jiwa
yang disahkan pada 11 Desember 2012. Tujuan dari PSAK 36 adalah untuk melengkapi
pengaturan dalam PSAK 62 mengenai Kontrak Asuransi.
Secara umum ED PSAK 36 (revisi 2010): Akuntansi Asuransi Jiwa tidak banyak
perubahan dengan PSAK 36 (1996): Akuntansi Asuransi Jiwa, namun ED PSAK 36 (revisi 2010)
sudah disesuaikan dengan PSAK 62: Kontrak Asuransi dan SAK lain serta beberapa perbedaan
sebagai berikut:

Tabel Perbedaan PSAK 36 (Revisi 2010) dan PSAK 36 (Revisi 1996)


Perihal PSAK 36 (Revisi 2010) PSAK 36 (Revisi 1996)
Tujuan Sebagai pelengkap PSAK Tidak diatur
62: Kontrak Asuransi
Ruang Lingkup Diterapkan untuk asuransi Penyajian laporan keuangan
kerugian, namun harus asuransi kerugian tanpa
masuk dalam ruang lingkup mengacu kepada PSAK 62:
PSAK 62: Kontrak Asuransi Kontrak Asuransi
Liabilitas Manfaat Jumlah liabilitas manfat Tidak diatur
Polis Masa Depan polis masa depan harus
memenuhi tes kecukupan
liabilitas dalam PSAK 62 :
Kontrak Asuransi

Kontrak asuransi jiwa diklasifikasi sebagai kontrak jangka pendek atau kontrak jangka
Panjang bergantung pada apakah kontrak tersebut tetap berlaku untuk suatu jangka waktu. Factor
yang harus dipertimbangkan dalam menentukan apakah suatu kontrak diharapkan tetap berlaku
untuk suatu jangka waktu tertentu adalah:
(a) Kontrak Jangka Pendek.
Dalam kontrak ini, jumlah premi yang dibebankan, jumlah pertanggungan yang diberikan
atau syarat polis lain dapat disesuaikan oleh perusahaan asuransi pada saat perpanjangan
polis. Pada umumnya kontrak jangka pendek mengacu pada periode kontrak asuransi
kurang dari 12 bulan.
(b) Kontrak Jangka Panjang.
Kontrak biasanya tidak dapat dibatalkan, dijamin dapat diperbarui, dan persyaratan lain
tidak dapat diubah sepihak syarat-syaratnya. Kontrak jangka Panjang meliputi juga
pelayanan dan fungsi lain oleh perusahaan asuransi.

2.11.2. Pendapatan
Yang menjadi pendapatan bagi insurer adalah sebagai berikut:
1. Premi kontrak asuransi jangka pendek.
Premi ini diakui sebagai pendapatan dalam periode kontrak sesuai dengan proporsi jumlah
proteksi asuransi yang diberikan. Jika periode risiko berbeda dengan periode kontrak, maka
premi diakui sebagai pendapatan selama periode risiko sesuai dengan proporsi jumlah
proteksi asuransi yang diberikan
2. Premi selain kontrak asuransi jangka pendek
Premi ini diakui sebagai pendapatan pada saat jatuh tempo dari pemegang polis. Kewajiban
untuk biaya yang diharapkan timbul sehubungan dengan kontrak tersebut diakui selama
periode sekarang dan periode diperbaruinya kontrak.
3. Pendapatan lain.
Komisi reasuransi dan komisi keuntungan reasuransi diakui sebgai pendapatan lain.

2.11.3. Beban
Beban yang terdapat pada PSAK 36 yaitu beban klaim. Klaim tersebut meliputi:
1. Klaim yang telah disetujui (settled claims),
2. Klaim dalam proses penyelesaian (outstanding claims), dan
3. Klaim yang telah terjadi namun belum dilaporkan.
Jumlah klaim dalam proses penyelesaian, termasuk klaim yang terjadi namun belum
dilaporkan, ditentukan berdasarkan estimasi liabilitas klaim tersebut. Perubahan dalam jumlah
estimasi liabilitas klaim, sebagai akibat proses penelaahan lebih lanjut dan perbedaan antara
jumlah estimasi klaim dengan klaim yang dibayarkan, diakui sebagai penambah atau pengurang
beban dalam laporan laba rugi pada periode terjadinya perubahan.
Klaim reasuransi diakui sebagai pengurang beban klaim pada periode yang sama dengan
pengakuan beban klaim.

2.11.4. Liabilitas
 Liabilitas manfaat polis masa depan.
Liabilitas manfaat polis masa depan dinyatakan dalam laporan posisi keuangan
berdasarkan perhitungan aktuaria. Liabilitas tersebut mencerminkan nilai kini estimasi
pembayaran seluruh manfaat yang dijanjikan dalam kontrak asuransi jiwa.
Liabilitas tersebut mencerminkan nilai kini estimasi pembayaran seluruh manfaat yang
diperjanjikan termasuk seluruh opsi yang disediakan, nilai kini estimasi seluruh biaya yang
akan dikeluarkan tetapi juga mempertimbangkan penerimaan premi dimasa yang akan
datang (gross premium reserve).

Nilai kini Nilai kini Nilai kini


Gross estimasi arus kas estimasi arus kas estimasi arus kas
Premium untuk + untuk – dari penerimaan
= pembayaran
Reserve pembayaran premi bruto
manfaat dimasa biaya dimasa dimasa depan
depan depan
Untuk kontrak asuransi jiwa yang tidak memiliki kandungan tabungan dan masa
kontrak sama dengan atau kurang dari 12 bulan, liabilitas dapat dihitung menggunakan
pendekatan premi yang belum merupakan pendapatan. Penentuan jumlah liabilitas manfaat
polis masa depan harus memenuhi tes kecukupan liabilitas sebagaimana diatur dalam PSAK
62.
 Estimasi liabilitas klaim
Estimasi kewajiban klaim atas kontrak jangka pendek, khusus asuransi kesehatan dan
kecelakaan dinyatakan sebesar jumlah taksiran berdasarkan perhitungan teknis asuransi.
 Premi yang belum merupakan pendapatan
Premi yang belum merupakan pendapatan atas kontrak jangka pendek untuk asuransi
kesehatan dan kecelakaan ditentukan dengan cara sebagai berikut:
(a) secara agregat tanpa memerhatikan tanggal penutupannya dan besarnya dihitung
berdasarkan persentase tertentu dari jumlah premi retensi sendiri untuk tiap jenis
pertanggungan/asuransi; atau
(b) secara individual dari tiap pertanggungan dan besarnya premi yang belum
merupakan pendapatan ditetapkan secara proporsional dengan jumlah proteksi yang
diberikan, selama periode pertanggungan atau periode risiko, konsisten dengan
pengakuan pendapatan premi.

2.11.5. Pengungkapan
Pengungkapan khusus yang diperlukan adalah sebagai berikut:
(a) Kebijakan akuntansi mengenai:
(i) Pengakuan pendapatan premi dan penentuan liabilitas manfaat polis masa depan serta
premi yang belum merupakan pendapatan;
(ii) Transaksi reasuransi termasuk sifat, tujuan, dan efek transaksi reasuransi tersebut
terhadap operasi perusahaan;
(iii) Pengakuan beban klaim dan penentuan estimasi klaim tanggungan sendiri;
(iv) Kebijakan akuntansi lain yang penting sebagaimana ditentukan dalam PSAK yang
berlaku.
(b) Pendapatan premi bruto: pendapatan premi tahun pertama dan premi tahun lanjutan secara
terperinci berdasarkan kelompok perorangan dan kumpulan serta jenis asuransi
(c) Klaim dan manfaat: jenis, jumlah, dan penyebab kenaikan klaim dan manfaat yang
signifikan

2.12. Kisah Telkom terapkan PSAK 71, 72, 73


Emiten Indonesia harus bersiap untuk mulai menerapkan standar akuntansi baru pada 1
Januari 2020 mendatang. Untuk itu, kalangan emiten diharapkan sudah mulai melakukan
mitigasi risiko terhadap potensi masalah yang ditimbulkan selama proses penyesuaian nantinya.
Standar akuntansi yang baru ini diterbitkan oleh Dewan Standar Akuntansi Keuangan (DSAK)
dengan mengadopsi International Financial Reporting Standards (IFRS) 9, 15 dan 16 yang
dikeluarkan oleh International Accounting Standard Board (IASB).
Di pasar global, IFRS yang baru ini sudah mulai diterapkan, masing-masing mulai 1
Januari 2018 untuk IFRS 15 dan 9, serta 1 Januari 2019 untuk IFRS 16. Di Indonesia, DSAK
membolehkan emiten yang ingin lebih dulu menerapkannya. Emiten Indonesia yang tercatat di
dua bursa, seperti PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (Telkom) yang tercatat di Bursa Efek
Indonesia dan New York Stock Exchange, misalnya, sudah mulai menerapkan standar baru ini.
"Kami semua belajar, jangan takut, auditor dan konsultan juga belajar," kata Chief Financial
Officer Telkom Harry Mozarta Zen dalam sebuah diskusi kemarin. (Baca:PSAK baru)
Harry menceritakan, tak mudah bagi Telkom untuk menerapkan PSAK baru tersebut
karena struktur organisasinya besar ditambah ribuan kontrak yang harus direview untuk
dicocokkan. "Bayangkan, kontrak setiap unit harus dibaca satu persatu. Ini kerjanya berat sekali
bagi organisasi seperti Telkom. Karena itu kemarin laporan keuangan tahunan kami rada telat,"
ulasnya. Asal tahu saja, PSAK 71, 72, maupun PSAK 73 memiliki dampak besar karena dua hal.
Pertama, ketiganya menuntut perubahan pelaporan akuntasi yang mendasar. Berdasarkan PSAK
71 (tentang Instrumen Keuangan), sebuah bank atau multifinance harus menyediakan
pencadangan kerugian semua jenis kredit; bahkan kredit yang berstatus lancar sekalipun.
Berdasarkan PSAK 72 (tentang Pendapatan dari Kontrak dengan Pelanggan), korporasi harus
mengenali semua kontrak dengan pelanggan yang mereka miliki sebelum bisa mengakui
pendapatan atas kontrak-kontrak itu. Sebab, PSAK menentukan persyaratan khusus sebelum bisa
melakukan mengakuan pendapatan.
PSAK 73 mendorong korporasi mencatatkan transaksi sewa mereka sebagai financial
lease; bukan sekedar operating lease. Model pencatatan seperti ini akan mempengaruhi akun aset
dan kewajiban di neraca korporasi. Ketua Dewan Standar Akuntansi Keuangan Ikatan Akuntan
Indonesia Djohan Pinnarwan menjelaskan untuk PSAK 71 akan berkaitan erat dengan instrumen
keuangan yang berdampak besar pada industri keuangan. “IFRS 9 awalnya muncul karena
desakan krisis keuangan global pada 2008. Saat itu, dugaan krisis terjadi karena instrumen
keuangan yang dicadangkan untuk ketertagihan terlalu sedikit dan sudah terlambat. Akibatnya,
tidak ada sinyal dari pasar bahwa tagihan itu tidak collectable atau tertagih dari awal,” ujar
Djohan.
Penerapan PSAK 72 tentang Pendapatan dari Kontrak Pelanggan akan berimplikasi
cukup besar pada industri real estate. Hal ini dikarenakan pengakuan pendapatan yang pada
mulanya bisa dilakukan ketika sudah terdapat down payment dan memenuhi kriteria tertentu,
kini harus mengakui pendapatannya saat seluruh pekerjaannya telah selesai. PSAK 73 yang
mengatur tentang "Sewa" menyoroti perihal capital lease. Pada PSAK sebelumnya, capital lease
yang memiliki opsi buy back akan dicatat ke dalam laporan keuangan dan beban akan dianggap
sebagai beban amortisasi. Dengan penerapan PSAK baru, tidak melihat apakah terdapat opsi buy
back atau tidak akan tetap diakui utang dan beban. Selain itu, sewa harus diakui secara on
balance karena kendali terdapat pada pihak leasee. Industri yang kemungkinan akan terdampak
cukup besar adalah perusahaan listrik, seperti PLN. Hal ini dikarenakan aset tetapnya mencapai
80%, belum termasuk sewa. Implikasinya, Debt to Equity Ratio (DER) sangat tinggi. PSAK 71
tentang Instrumen Keuangan menekankan pada penurunan piutang yang menggunakan konsep
expected credit loss (ECL). Konsep ini memadukan berbagai skenario ekonomi, seperti
historical, present, dan forward looking. ECL digunakan untuk sebagai upaya pemetaan kreditur
terhadap kesanggupan bayar dari debitur.
Begitu juga dengan PSAK 55 yang berlaku saat ini, yaitu cadangan akan diadakan
apabila ada kerugian yang timbul dari suatu kejadian atau incurred loss. Jika tidak ada kejadian,
maka tidak dicadangkan. Sementara perubahan di PSAK 71, berlandaskan pada kerugian yang
diprediksi atau expected loss. Dengan begitu, standar ini memitigasi risiko kerugian perusahaan
akibat kurangnya cadangan keuangan. “Dalam PSAK 71, begitu perusahaan meminjamkan uang,
itu sudah harus mulai dicadangkan karena tidak 100 persen bisa tertagih sehingga perubahan dari
PSAK 55 ke PSAK 71, pencadangan akan lebih besar dengan maksimum 30 persen dari besaran
cadangan,” tutur dia. Masalahnya, penerapan PSAK 71 tidak hanya mengacu pada data historis.
Namun harus melihat kemungkinan yang terjadi ke depan. Termasuk berapa pencadangan
kerugian yang perlu disiapkan. “Inilah yang butuh usaha signifikan dari perbankan dan industri
keuangan lain untuk melihat kemungkinan ke depan,” katanya. Selanjutnya, untuk PSAK 72,
apabila infrastruktur tidak disiapkan dari sekarang, kemungkinan besar tsunami akan berdampak
di perusahaan yang menjual produk perumahan. “Sekarang masih ada perusahaan yang masih
dapat menjual unit perumahan sebelum membangun konstruksi. Namun, dengan standar baru, ini
tidak dapat dilakukan lagi,” ujarnya. Dengan begitu, apabila tadinya perusahaan dapat mengakui
pendapatan sebelum adanya konstruksi, ke depan, pendapatan hanya bisa diakui ketika serah
terima saat perumahan telah selesai dibangun. Dampak bagi penerapan PSAK 73 akan berkaitan
dengan transaksi sewa.
Financial Services Industry Leader Deloitte Indonesia Rosita Uli Sinaga menjelaskan,
melalui standar ini, perusahaan harus mencatat aset dan hutang dalam laporan keuangan sehingga
neraca keuangan menjadi seimbang. “Misalnya, kita punya perusahaan penerbangan yang selama
ini pesawat tidak pernah ada di neraca keuangan. Seolah-olah, pengaruh kita masih besar, rasio
hutang terhadap kuantitas masih kecil, tapi sebenarnya kita membohongi diri sendiri. Sebab, kita
punya komitmen untuk bayar sewa jangka panjang 10 tahun yang tidak dicatatkan,” papar
Rosita. Rosita menilai, PSAK 73 akan merefleksikan kondisi yang sebenarnya dari suatu
perusahaan. Dengan demikian, standar ini akan menghasilkan informasi keuangan yang bisa
dipakai untuk manajemen sehingga keputusan yang diambil akan menjadi lebih tepat. "Jadi, nanti
di laporan keuangan itu apa adanya. Ibarat wajah, kalau ada jerawat ya keliatan, jangan di
photoshop," tutupnya.

Analisa kasus
Pada saat pengaplikasian PSAK 72 perusahaan mengalami penyesuaian yang agak rumit
dikarenakan pada umumnya saja perusahaan biasanya sudah mengakui pendapatan apabila ada
DP (down payment) tetapi sekarang dengan adanya penerapan PSAK tersebut perusahaan harus
mengakui pendapatan tersebut pada saat pekerjaan selesai dilakuakn oleh karena itu akan
berakibat pada keadaan laporan keuangan perusahaan, untuk mengurangi dampak yang terjadi
perusahaan melakukan pemeriksaan ulang dan evaluasi terhadap prosedur bisnis perseroan serta
menjaga posisi piutang selalu dalam posisi performing (lancar) sehingga biaya pencadangan
piutang dapat diminimalkan. Sedangkan untuk PSAK 73 ini mendorong korporasi mencatatkan
transaksi sewa mereka sebagai financial lease bukan sekedar operating lease. Model pencatatan
seperti ini akan mempengaruhi akun aset dan kewajiban di neraca korporasi, sehingga
perushaaan akan mengalami penyesuaian yang bsar terhadap ini terutama perusahaan real estate,
jaringan telepon seperti perusahaan Telkom tersebut.
DAFTAR PUSTAKA

Pangestu, Dimas Aryo. Makalah akuntansi Ishtishna dan Ishtishna Paralel. Universitas Islam

Indonesia. Yogyakarta.

Muhammad. 2002. Pengantar Akuntansi Syariah. Jakarta: Salemba Empat

Yaya, Rizal. 2014. Akuntansi Perbankan Syariah: Teori dan Praktik Kontemporer. Jakarta.

http://www.aaji.or.id/page/FAQ Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia.

https://www.google.co.id/amp/s/www.indotelko.com/amp/read/1557446052/kisah-telkom-73

https://id.wikipedia.org/wiki/Standar_Akuntansi_Keuangan

http://iaiglobal.or.id/v03/standar-akuntansi-keuangan/pernyataan-sas-65-psak-102-akuntansi-

murabahah

https://sumatra.bisnis.com/read/20180712/444/815601/industri-asuransi-asosiasi-beri-masukan-

implementasi-ifrs-17

https://keuangan.kontan.co.id/news/banyak-industri-asuransi-yang-tak-dapat-mengikuti-standar-

akuntansi-baru-ifrs-17

https://keuangan.kontan.co.id/news/ojk-sudah-rilis-draf-aturan-standar-akuntansi-baru-ifrs-17-

untuk-asuransi

https://keuangan.kontan.co.id/news/asuransi-besar-optimis-penerapan-ifrs-17-bisa-membuat-

lebih-transparan

https://keuangan.kontan.co.id/news/ifrs-17-akan-diterapkan-ojk-siap-dengar-masukan-pelaku-

industri-asuransi

Anda mungkin juga menyukai