Anda di halaman 1dari 14

PROSIDING 20 12© HASIL PENELITIAN FAKULTAS TEKNIK

Arsitektur Elektro Geologi Mesin Perkapalan Sipil

POTENSI DAN PROSPEK PENINGKATAN


NILAI TAMBAH MINERAL LOGAM DI INDONESIA
(SUATU KAJIAN TERHADAP UPAYA KONSERVASI MINERAL)

H. Djamaluddin, Meinarni Thamrin & Alfajrin Achmad


Program Studi Teknik Pertambangan Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin
Jl. Perintis Kemerdekaan Km.10 Tamalanrea - Makassar 90245
Telp./Fax: (0411) 580202
e-mail: meinarni@unhas.ac.id, djamal56@gmail.com, alfajrin.achmad@gmail.com

Abstrak
Amanat dari salah satu pasal pada UU no.4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan
Batubara yang diimplementasikan oleh Permen ESDM No.7/2012, perlu dilakukan
peningkatan nilai tambah mineral dengan tujuan agar kegiatan pertambangan di Indonesia
memiliki rantai yang panjang, dan tidak sekedar menjual bahan tambang mentah, yang
mengakibatkan terjadinya deplesi dan pengurasan terhadap sumberdaya mineral di
Indonesia. Analisis dilakukan terhadap mineral logam utama seperti bijih emas dan
asosiasinya, tembaga, nikel dan bijih besi, bauksit serta bijih timah. Dari hasil penelitian
tentang alur peningkatan nilai tambah mineral dapat diketahui faktor-faktor penghambat
yang berperan dalam added value mineral logam tersebut diantaranya sumber energi,
infrastruktur yang minim, dan kurangnya modal bagi pengusaha tambang skala kecil dan
menengah. Solusi yang diharapkan pemerintah harus memberi insentif bagi para pengusaha
yang siap mendirikan smelter di wilayah pertambagan Indonesia.
Kata Kunci: added value mineral, smelter, emas, tembaga, timah, nikel, bauksit, bijih besi

PENDAHULUAN

Pembangunan nasional yang terus berlanjut di berbagai sektor, telah mendorong sektor industri (manufaktur),
termasuk industri pengguna mineral (logam dan non-logam) maupun batubara, tumbuh sesuai dengan dinamika
pembangunan itu sendiri. Tidak mengherankan jika kebutuhan, khususnya kebutuhan berbagai jenis mineral,
terus meningkat. Namun sayangnya, banyak dipasok dari luar negeri (Impor).

Sebuah ironi pun terjadi di Indonesia yang memiliki sumberdaya mineral yang cukup besar di dunia dan
sebagai penghasil berbagai jenis mineral terkemuka. Indonesia menempati posisi produsen terbesar kedua untuk
komoditas timah, posisi terbesar keempat untuk komoditas tembaga, posisi kelima untuk komoditas nikel,
posisi terbesar ketujuh untuk komoditas emas, dan posisi kedelapan untuk komoditas batubara, di tingkat dunia
(Direktorat Statistik Ekonomi dan Moneter, BI, 2006). Di satu sisi Indonesia dikenal sebagai negara
pengekspor mineral (dalam bentuk bahan mentah), akan tetapi di sisi lain menjalankan peran pula sebagai
negara pengimpor mineral (dalam bentuk bahan setengah jadi maupun bahan jadi). Dari data statistik ekspor
maupun impor, dari tahun ke tahun tidak kunjung menurun atau bahkan cenderung meningkat, baik dari segi
jumlah maupun nilainya.

Angka ekspor berbagai komoditi mineral dan batubara yang tinggi secara umum memang telah berdampak
positif pada penyerapan tenaga kerja, penerimaan negara, dan lain-lain. Namun di sisi lain angka impor yang
juga tidak kalah tinggi, telah berdampak negatif, jika dihitung pasti lebih besar dari dampak positif yang
diperoleh. Betapa tidak mengekspor komoditi dalam bentuk material kasar, bongkahan atau wantah (raw
materials) telah menghasilkan devisa bagi negara, tetapi mengimpor komoditi dalam bentuk bahan setengah
jadi atau bahan jadi juga menyedot devisa dari menjual komoditi yang diekspor. Bukan tidak mungkin lebih
besar daripada sekedar memperoleh devisa dari menjual komoditi yang diekspor. Hal ini disebabkan harga
komoditi yang diimpor lebih mahal daripada yang diekspor, yang notabene komoditi tersebut juga berasal dari
lndonesia. Dalam “bahasa” yang berbeda, negara pengolah bahan tambang memperoleh nilai tambah dari bahan
tambang yang diimpor dari lndonesia, dan mampu mengembangkan industri pengolahan beserta efek ganda
(multiplier effects) atas keberadaan industri pengolahan tersebut.

Volume 6 : Desember 2012 Group Teknik Geologi ISBN : 978-979-127255-0-6


TG3 - 1
Potensi dan Prospek Peningkatan… H. Djamaluddin, Meinarni Thamrin & Alfajrin Achmad
Arsitektur Elektro Geologi Mesin Perkapalan Sipil

Upaya untuk meningkatkan nilai tambah mineral dan batubara telah dimandatkan oleh pemerintah dalam UU
No.4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, pada pasal 102 dan pasal 103. Kemudian dijabarkan
dalam PP No. 23/2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara, yang
kemudian direvisi menjadi PP No.24/ 2012. Kemudian diperjelas lagi dengan diterbitkannya Permen ESDM
No.7/2012 pada bulan Februari 2012 lalu, tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral melalui kegiatan
pengolahan dan pemurnian. Maka pemegang IUP Operasi Produksi, IUPK Operasi Produksi, dan IUP Operasi
Produksi khusus pengolahan dan pemurnian wajib melakukan peningkatan nilai tambah terhadap mineral atau
batubara yang diproduksinya. Ketentuan ini langsung mengikat bagi mereka yang akan berinvestasi di bidang
pertambangan mineral dan batubara, serta diberi kesempatan selambat-lambatnya 5 (lima) tahun kepada
perusahaan yang sedang berjalan (existing) setelah UU No. 4/ 2009 diberlakukan dan berlaku efektif pada tahun
2014 yang akan datang.

Program Peningkatan nilai tambah mineral dan batubara ternyata dihadapkan kepada tantangan yang cukup
besar, meskipun tetap memberikan harapan bagi terealisasinya kedua peraturan di atas. Tantangan ini tidak saja
akan dihadapi oleh perusahaan, tetapi juga pemerintah. Tantangan terbesar pemerintah adalah bagaimana
menyiapkan infrastruktur, fisik dan nonfisik, yang dirasakan masih minim, sehingga perusahaan memperoleh
jaminan terhadap investasi yang ditanamkan untuk peningkatan nilai tambah. Sedangkan tantangan perusahaan
yang cukup krusial adalah "merekonstruksi" investasi yang akan ditanamkan berikut keuntungan yang akan
diperoleh.

Penelitian ini berfungsi sebagai penghubung antara program regulasi pemerintah dalam Peningkatan Nilai
Tambah Mineral, khusunya pengelolaan mineral logam di Indonesia, dengan fakta yang terjadi di lapangan.
Kemudian diuraikan dalam suatu analisis yang mengaplikasikan teori Pengolahan Bahan Galian khususnya
mineral logam.

PERUMUSAN MASALAH

Peningkatan Nilai Tambah Mineral yang selanjutnya disebut PNT mineral bertujuan meningkatkan dan
mengoptimalkan nilai suatu komoditi di sektor pertambangan, tersedianya bahan baku di dalam negeri, serta
meningkatkan penyerapan tenaga kerja dan penerimaan negara.

Pada penelitian ini, PNT mineral dibatasi hanya pada mineral logam seperti yang diamanatkan dalam Permen
ESDM No.7/ 2012, antara lain: tembaga (Cu), emas (Au), perak (Ag), nikel (Ni) dan atau kobalt (Co) , bijih besi
(Fe), bauksit (Al2O3), dan timah (SnO2). Sementara mineral logam lainnya yang tidak disebutkan tapi termasuk
dalam daftar regulasi tersebut, merupakan batasan masalah dari penelitian ini.

Melakukan PNT mineral logam di Indonesia, dapat dikaitkan dengan upaya konservasi sumberdaya alam tak
terbarukan (non-renewable resources). Hal ini lebih diarahkan untuk menjaga agar persediaan sumberdaya
yang tak terbarukan relatif tetap dapat memenuhi kebutuhan dalam masa yang relatif panjang. Agar
pelaksanaan PNT mineral dapat berjalan sesuai yang diharapkan oleh para pemangku kepentingan
(stakeholders) seperti: pemerintah, perusahaan tambang dan masyarakat yang terlibat. Maka perlu kiranya
untuk dilakukan suatu analisis yang mengimplementasikan teori pengolahan bahan galian yang telah ada dalam
literatur Mineral Processing.

TINJAUAN PUSTAKA

Komoditi Mineral Logam di Indonesia

Komoditi logam yang menonjol dalam memberikan kontribusi kegiatan penambangan dan metalurgi di
Indonesia terhadap pendapatan negara dan pendorong bagi kegiatan di sektor lain, diantaranya tembaga, nikel,
emas, timah, bijih besi, dan bauksit. Sumber bahan tambang tersebut hampir kesemuanya dapat ditemukan di
Indonesia dalam berbagai kategori, baik terduga, tereka, terukur dan tertambang (tabel 1). Potensi, kegunaan
dan keterdapatan mineral logam tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:

ISBN : 978-979-127255-0-6 Group Teknik Geologi Volume 6 : Desember 2012


TG3 - 2
PROSIDING 20 12© HASIL PENELITIAN FAKULTAS TEKNIK
Arsitektur Elektro Geologi Mesin Perkapalan Sipil

Tabel 1. Sumberdaya dan Cadangan Komoditi Utama Pertambangan


(dalam Juta Ton) DESDM dalam Alamsyah, 2006
Komoditi Sumberdaya Cadangan
Tembaga 66,20 41,47
Emas Primer 0,005 0,003
Perak 0,36 0,011
Bijih Nikel 1.338,20 627,80
Pasir Besi 47,17 9,60
Bauksit 207,93 23,94
Timah 0,62 0,46
Keterangan: tabel diolah kembali

Tembaga

Tembaga (Cu) mempunyai sistem kristal kubik, secara fisik berwarna kuning dan apabila dilihat dengan
menggunakan mikroskop bijih akan berwarna pink kecoklatan sampai keabuan. Unsur tembaga terdapat pada
hampir 250 mineral, tetapi hanya sedikit saja yang komersial. Pada endapan sulfida primer, kalkopirit (CuFeS2)
adalah yang terbesar, diikuti oleh kalkosit (Cu2S), bornit (Cu5FeS4), kovelit (CuS), dan enargit (Cu3AsS4).
Mineral tembaga utama dalam bentuk deposit oksida adalah krisokola (CuSiO3.2HO), malasit (Cu2(OH)2CO3),
dan azurit (Cu3(OH)2(CO3)2). Deposit tembaga dapat diklasifikasikan dalam lima tipe, yaitu: deposit porfiri,
urat, dan replacement, deposit strata bound dalam batuan sedimen, deposit masif pada batuan volkanik, deposit
tembaga nikel dalam intrusi/mafik, serta deposit nativ. Umumnya bijih tembaga di Indonesia terbentuk secara
magmatik. Pembentukan endapan magmatik dapat berupa proses hidrotermal atau metasomatisme. Logam
tembaga digunakan secara luas dalam industri peralatan listrik. Kawat tembaga dan paduan tembaga digunakan
dalam pembuatan motor listrik, generator, kabel transmisi, instalasi listrik rumah dan industri, kendaraan
bermotor, konduktor listrik, kabel dan tabung coaxial, tabung microwave, sakelar, reaktifier transsistor, bidang
telekomunikasi, dan bidang-bidang yang membutuhkan sifat konduktivitas listrik dan panas yang tinggi, seperti
untuk pembuatan tabung-tabung dan klep di pabrik penyulingan. Meskipun aluminium dapat digunakan untuk
tegangan tinggi pada jaringan transmisi, tetapi tembaga masih memegang peranan penting untuk jaringan
bawah tanah dan menguasai pasar kawat berukuran kecil, peralatan industri yang berhubungan dengan larutan,
industri konstruksi, pesawat terbang dan kapal laut, atap, pipa ledeng, campuran kuningan dengan perunggu,
dekorasi rumah, mesin industri non elektris, peralatan mesin, pengatur temperatur ruangan, mesin-mesin
pertanian. Potensi tembaga terbesar yang dimiliki Indonesia terdapat di Papua. Potensi lainnya menyebar di
Jawa Barat, dan Sulawesi Utara.

Emas
Emas merupakan logam yang bersifat lunak dan mudah ditempa, kekerasannya berkisar antara 2,5 - 3 (skala
Mohs), serta berat jenisnya tergantung pada jenis dan kandungan logam lain yang berpadu dengannya. Mineral
pembawa emas biasanya berasosiasi dengan mineral ikutan (gangue minerals). Mineral ikutan tersebut
umumnya kuarsa, karbonat, turmalin, flourpar, dan sejumlah kecil mineral non-logam. Mineral pembawa emas
juga berasosiasi dengan endapan sulfida yang telah teroksidasi. Mineral pembawa emas terdiri dari emas nativ,
elektrum, emas telurida, sejumlah paduan dan senyawa emas dengan unsur-unsur belerang, antimon, dan
selenium. Elektrum sebenarnya jenis lain dari emas nativ, hanya kandungan perak di dalamnya >20%. Emas
terbentuk dari proses magmatisme atau pengkonsentrasian di permukaan. Beberapa endapan terbentuk karena
proses metasomatisme kontak dan larutan hidrotermal, sedangkan pengkonsentrasian secara mekanis
menghasilkan endapan letakan (placer). Genesa emas dikategorikan menjadi dua yaitu endapan primer dan
endapan plaser. Emas banyak digunakan sebagai barang perhiasan, cadangan devisa, dll. Potensi endapan emas
terdapat di hampir setiap daerah di Indonesia, seperti di Pulau Sumatera, Kepulauan Riau, Pulau Kalimantan,
Pulau Jawa, Pulau Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua.

Nikel

Nikel digunakan sebagai bahan paduan logam yang banyak digunakan diberbagai industri logam. Nikel
biasanya terbentuk bersama-sama dengan kromit dan platina dalam batuan ultrabasa seperti peridotit, baik
termetamorfkan ataupun tidak. Terdapat dua jenis endapan nikel yang bersifat komersil, yaitu: sebagai hasil
konsentrasi residual silika dan pada proses pelapukan batuan beku ultrabasa serta sebagai endapan nikel-

Volume 6 : Desember 2012 Group Teknik Geologi ISBN : 978-979-127255-0-6


TG3 - 3
Potensi dan Prospek Peningkatan… H. Djamaluddin, Meinarni Thamrin & Alfajrin Achmad
Arsitektur Elektro Geologi Mesin Perkapalan Sipil

tembaga sulfida, yang biasanya berasosiasi dengan pirit, pirotit, dan kalkopirit. Potensi nikel terdapat di Pulau
Sulawesi, Maluku, dan Papua.

Pasir Besi

Umumnya pasir besi terdiri dari mineral opak yang bercampur dengan butiran-butiran dari mineral non logam
seperti, kuarsa, kalsit, feldspar, ampibol, piroksen, biotit, dan tourmalin. Mineral tersebut terdiri dari magnetit,
titaniferous magnetit, ilmenit, limonit, dan hematit. Titaniferous magnetit adalah bagian yang cukup penting
merupakan ubahan dari magnetit dan ilmenit. Mineral bijih pasir besi terutama berasal dari batuan basaltik dan
andesitik vulkanik. Kegunaan pasir besi ini selain untuk industri logam besi juga telah banyak dimanfaatkan
pada industri semen. Potensi pasir besi terdapat di Pulau Sumatera, Jawa Tengah, Lombok, Sumbawa, Sumba,
Flores, dan Pulau Timor.

Bauksit

Bauksit merupakan bahan yang heterogen, yang mempunyai mineral dengan susunan terutama dari oksida
aluminium, yaitu berupa mineral bohmit (Al2O3H2O) dan mineral gibsit (Al2O3.3H2O). Secara umum bauksit
mengandung Al2O3 sebanyak 45 – 65%, SiO2 1 – 12%, Fe2O3 2 – 25%, TiO2 >3%, dan H2O 14 – 36%. Bijih
bauksit terjadi di daerah tropika dan subtropika yang memungkinkan pelapukan sangat kuat. Bauksit terbentuk
dari batuan sedimen yang mempunyai kadar Al nisbi tinggi, kadar Fe rendah dan kadar kuarsa (SiO2) bebasnya
sedikit atau bahkan tidak mengandung sama sekali. Batuan tersebut misalnya, sienit dan nefelin yang berasal
dari batuan beku, batulempung, lempung dan serpih. Batuan-batuan tersebut akan mengalami proses lateritisasi,
yang kemudian oleh proses dehidrasi akan mengeras menjadi bauksit. Bauksit dapat ditemukan dalam lapisan
mendatar tetapi kedudukannya di kedalaman tertentu. Potensi dan cadangan endapan bauksit terdapat di Pulau
Bintan, Kepulauan Riau, Pulau Bangka, dan Pulau Kalimantan.

Timah

Timah adalah logam berwarna putih keperakan dengan kekerasan yang rendah < 5 pada skala Mosh, berat jenis
7,3 g/cm3, serta mempunyai sifat konduktivitas panas dan listrik yang tinggi. Dalam keadaan normal (13 -
1600oC), logam ini bersifat mengkilap dan mudah dibentuk. Timah terbentuk sebagai endapan primer pada
batuan granit dan pada daerah sentuhan batuan endapan metamorf yang biasanya berasosiasi dengan turmalin
dan urat kuarsa timah, serta sebagai endapan sekunder, yang di dalamnya terdiri dari endapan alluvium,
elluvial, dan koluvium. Mineral yang terkandung di dalam bijih timah pada umumnya mineral utama yaitu
kasiterit, sedangkan pirit, kuarsa, zircon, ilmenit, plumbum, bismut, arsenik, stibnite, kalkopirit, kuprit,
xenotim, dan monasit merupakan mineral ikutan. Kegunaan timah banyak sekali terutama untuk bahan baku
logam pelapis, solder, cendera mata, dan lain-lain. Potensi timah di Indonesia terdapat di Pulau Bangka, Pulau
Belitung, Pulau Singkep, dan Pulau Karimun.

Konservasi Sumberdaya Mineral

Definisi konservasi menurut Herfindahl, 1961 dalam Ekawan, R, 2001, adalah: “Usaha penghematan saat ini
demi pemakaian di masa yang akan datang”. Konservasi sering dikaitkan dengan moral dan tanggungjawab
seseorang atau lembaga untuk melindungi sumberdaya alam demi kepentingan generasi mendatang.

Perlindungan dan pengembangan sumberdaya alam dapat dikatakan sebagai usaha konservasi dalam segi fisik.
Maka dari segi ekonomi konservasi berarti penggunaan sumberdaya alam secara bijaksana dengan mengingat
unsur waktu. Upaya konservasi untuk sumberdaya alam yang tak terbarukan lebih diarahkan untuk menjaga
agar persediaan sumberdaya tersebut relatif tetap dapat memenuhi kebutuhan pada masa yang relatif lama.

Penerapan teknologi rendah dalam mengeksploitasi sumberdaya alam utamanya sumberdaya mineral dapat
menghambat upaya konservasi. Hambatan ini dapat diatasi dengan cara meningkatkan kualitas teknologi
pengolahan dan pemurnian mineral-mineral logam yang dihasilkan di Indonesia.

ISBN : 978-979-127255-0-6 Group Teknik Geologi Volume 6 : Desember 2012


TG3 - 4
PROSIDING 20 12© HASIL PENELITIAN FAKULTAS TEKNIK
Arsitektur Elektro Geologi Mesin Perkapalan Sipil

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa faktor-faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi peningkatan
nilai tambah mineral logam di Indonesia, yang sekaligus sebagai salah satu upaya konservasi mineral.

METODE PENELITIAN

Proses Penelitian yang akan dilakukan ini menggunakan beberapa tahapan sehingga proses evaluasi dapat
dilakukan sesuai dengan kaidah-kaidah ilmiah. Metodologi tersebut adalah sebagai berikut:

1. Studi Literatur
Terdapat dua tujuan utama dari studi literatur, pertama, untuk memperkuat basis analisis yang dilakukan dalam
proses evaluasi kebijakan pemerintah tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral, khususnya mineral logam
sehingga langkah-langkah yang dilakukan sesuai dengan kaidah ilmiah dari sebuah proses penelitian. Kedua,
untuk mendapatkan informasi sebanyak-banyaknya berkaitan dengan Proses Peningkatan Nilai Tambah
Mineral Logam.

2. Pengumpulan Data
Proses pengumpulan data dilakukan dengan beberapa cara:

a. Pengumpulan data sekunder


Proses pengumpulan data sekunder dilakukan untuk memperoleh gambaran terkait dengan industri
pertambangan mineral logam di Indonesia yang telah eksis, khususnya terkait karakteristik industri tersebut.
Data sekunder ini diperoleh dari beberapa sumber, antara lain Ditjen Energi Sumberdaya Mineral Batubara dan
Panas Bumi, Biro Pusat Statistik, Dinas Pertambangan Mineral dan Batubara Provinsi Sulawesi Selatan. Serta
dari pihak perusahaan yang diwakili oleh PT. Freeport Indonesia, PT. Inco, PT. Newmont Nusa Tenggara, serta
PT. Antam, tbk. dan PT. Timah tbk., sebagai perusahaan BUMN.
b. Meminta keterangan dari beberapa pihak terkait,
Untuk memberikan informasi yang dibutuhkan, tim peneliti akan berdiskusi dengan beberapa narasumber guna
memberikan keterangan terkait dengan kebijakan yang sedang dievaluasi. Pihak-pihak yang akan diminta
keterangan adalah Ditjen Energi Mineral, Batubara dan Panas Bumi, Dinas Pertambangan Mineral dan
Batubara Provinsi Sulawesi Selatan, Indonesia Mining Association (IMA), Perhimpunan Ahli Pertambangan
Indonesia (Perhapi), beberapa pelaku usaha swasta/asing, BUMN, dan pelaku usaha pertambangan di daerah.

3. Pengolahan Data, Fakta dan Informasi


Keseluruhan data, fakta dan informasi yang berhasil dikumpulkan selanjutnya diolah dengan menggunakan
aplikasi dari teori pengolahan bahan galian. Untuk menjadi bahan analisis terkait dengan kebijakan yang sedang
dievaluasi potensi, prospek dan hambatan terhadap regulasi peningkatan nilai tambah mineral logam di
Indonesia.

HASIL DAN BAHASAN

Pengertian nilai tambah yang umum dikenal di kalangan yang menggunakan parameter ekonomi sebagai acuan
adalah perbedaan antara nilai output dan nilai input atau peningkatan harga material yang dihasilkan dari proses
pengolahan mineral dan logam persatuan berat logam/mineral. Sementara itu, kalau pengertian nilai tambah
juga dikaitkan dengan kepentingan lain yang lebih luas, seperti bukan saja peningkatan GDP tetapi juga
peningkatan lapangan kerja baru, multiplier effect sektor lain, penguasaan IPTEK, kemudahan dan kecepatan
proses, serta peningkatan ketahanan nasional, maka setiap manfaat ekonomi, sosial dan peradaban yang
dihasilkan dari kegiatan produksi (pengolahan mineral dan logam lebih lanjut) dikategorikan sebagai
peningkatan nilai tambah.

Isu peningkatan nilai tambah hasil tambang telah lama bergaung meskipun hanya di kalangan terbatas.
Kesadaran bahan tambang perlu diolah terlebih dahulu, agar terjadi peningkatan nilai tambah yang setinggi-
tingginya di dalam negeri, dan tidak diekspor begitu saja seolah ”menjual tanah air”, sebenarnya telah lama
disadari. Namun demikian kesadaran pentingnya peningkatan nilai tambah hasil tambang ini semakin menguat
akhir-akhir ini. Membidik peluang ini agar terjadi peningkatan pendapatan daerah maupun pusat, peningkatan
kesempatan kerja, dorongan terhadap terciptanya peluang usaha di sektor lain, penguasaan ilmu dan teknologi,
mengurangi ketergantungan luar negeri dalam penyediaan bahan baku untuk industri hilir, yang bahan dasarnya
tersedia sebagai bahan tambang di Indonesia, dirasakan sangat mendesak. Beberapa kalangan telah dengan

Volume 6 : Desember 2012 Group Teknik Geologi ISBN : 978-979-127255-0-6


TG3 - 5
Potensi dan Prospek Peningkatan… H. Djamaluddin, Meinarni Thamrin & Alfajrin Achmad
Arsitektur Elektro Geologi Mesin Perkapalan Sipil

tegas mengatakan untuk secepatnya melarang ekspor bahan tambang secara langsung ke luar negeri, karena
ujung-ujung hanya akan memberikan manfaat yang besar di pihak pengimpor karena mendapat kesempatan
melakukan usaha peningkatan nilai tambah di negaranya, sementara Indonesia hanya mendapatkan penghasilan
dari penjualan bahan tambang saja. Namun demikian, usaha peningkatan nilai tambah hasil tambang di
Indonesia tampaknya belum sepenuhnya dapat berjalan dengan baik karena beberapa kendala, diantaranya yang
penting menurut Edi A Basuki, dkk., 2007:

1. Belum terbangunnya kesadaran akan manfaat dan pentingnya usaha peningkatan nilai tambah bahan
tambang di dalam negeri di semua pemangku kepentingan.
2. Belum ada kajian yang komprehensif mengenai rantai kebutuhan dan penyediaan bahan untuk produksi
barang jadi di Indonesia.
3. Kajian mengenai peluang yang dapat dilakukan bagi bahan tambang di Indonesia untuk ditingkatkan nilai
tambahnya masih sangat minim.

Untuk dapat menjadi barang jadi, bahan tambang memerlukan rantai proses yang cukup panjang dengan
masing-masing tahap proses merupakan proses peningkatan nilai tambah, seperti yang ditunjukkan pada
Gambar 1.

Proses added-value mineral tidak terlepas dari alur proses pengolahan dan ekstraksi bahan galian bijih yang
telah cukup lama dikenal dalam kegiatan industri metalurgi. Secara skematis jalur utama proses pengolahan
bahan galian bijih ditunjukkan dalam Gambar 2, dimana pada pandangan konvensional semua jalur proses
diarahkan menjadi hasil akhir logam murni atau paduannya. Masing-masing tahap pemrosesan tersebut
memiliki tingkat pertambahan kualitas dari produk yang dihasilkan. Meskipun hanya pengolahan mineral
seperti pencucian dan pengayakan (screening) pada mineral aluvial, bisa dimungkinkan terjadi peningkatan
nilai tambahnya karena pengurangan kandungan clay-nya dan mineral berharga terkonsentrasi pada fraksi
ukuran tertentu. Peran sampling dan analisisnya sangat menentukan dalam merancang langkah-langkah
pengolahan yang tepat. Proses ekstraksi lebih lanjut yang melibatkan proses kimia dan/atau suhu tinggi pada
umumnya memerlukan investasi yang tinggi sehingga perlu dipertimbangkan keekonomiannya apabila skala
produksinya tidak cukup tinggi.

Gambar 1. Life Cycle dari Proses dan Produksi Berbasis


Mineral dan Logam (Edi A Basuki,dkk 2007)

Peningkatan Nilai Tambah Mineral Logam di Indonesia

Berikut akan ditelaah mengenai kondisi peningkatan nilai tambah yang ada pada masing-masing komoditi hasil
tambang mineral logam di Indonesia.

Tembaga

Tembaga di kerak bumi umumnya dalam mineral-mineral tembaga-besi-sulfida dan tembaga sulfida, seperti
kalkopirit (CuFeS2), bornit (Cu5FeS4), kalkosit (Cu2S), dan kovelit (CuS). Kandungan tembaga di dalam bijih
tembaga umumnya kurang dari 2%. Untuk mendapatkan tembaga murni bijih tersebut akan mengalami proses
konsentrasi, smelting dan refining. Selain dalam mineral sulfida, dalam jumlah kecil tembaga juga ditemukan
berada dalam mineral-mineral jenis karbonat, oksida, hidroksisilikat dan sulfat. Proses untuk mendapatkan
tembaga dari mineral-mineral ini dapat dilakukan dengan menggunakan prinsip hidrometalurgi. Namun

ISBN : 978-979-127255-0-6 Group Teknik Geologi Volume 6 : Desember 2012


TG3 - 6
PROSIDING 20 12© HASIL PENELITIAN FAKULTAS TEKNIK
Arsitektur Elektro Geologi Mesin Perkapalan Sipil

demikian, jalur hidrometalurgi juga diterapkan untuk mendapatkan tembaga dari kalkosit setelah melalui
pemanggangan oksidasi.

Pengolahan
Mineral

Konsentrat

Hidrometalurgi Pirometalurgi Direct electrolysis


seperti Ta2O5

Logam wantah Melting


casting

Pemurnian
(fire refining) Bahan baku
elektronik material,
alloying element dsb

Produk samping
berbagai senyawa Elektrometalurgi

Logam murni

Research and Untuk bahan baku


development…. logam dan paduan
Gambar 2. Jalur Utama Proses Pengolahan Bahan Galian (Edi A Basuki, dkk,2007)

Sekitar 80% bijih tembaga dunia, tembaganya dalam mineral jenis Cu-Fe-S. Karena mineral jenis ini tidak
mudah larut dalam larutan aqueous, maka untuk mengekstraksi tembaganya dilakukan dengan proses
pirometalurgi. Namun demikian sebelum tahap peleburan, bijih perlu dikonsentrasi untuk mendapatkan
konsentrat yang kaya akan mineral tembaga menggunakan flotasi. Proses liberasi perlu dilakukan terhadap bijih
ini sebelum flotasi untuk memisahkan secara fisik antara mineral berharga dengan mineral pengotornya.
Dengan prinsip flotasi mineral tembaga sulfida akan mengapung dan terkumpul karena menempel pada
gelembung udara. Selanjutnya konsentrat tembaga diproses secara smelting untuk menghasilkan lelehan Cu-Fe
dan kemudian dikonverting untuk memisahkan Fe dari lelehan dan yang dibutuhkan oleh industri kabel
menghasilkan lelehan tembaga wantah. Untuk mendapatkan tembaga dengan kemurnian tinggi dapat dilakukan
dengan fire refining atau electrorefining, seperti pada gambar 3 berikut.

Cu Wires, Pipes,
Plates
Cu Murni

Cu Alloys
Bijih Peleburan
Konsentrasi Electrorefinning
Tembaga (Fire Refinning)

Lumpur
Catatan: Au, Ag, etc
Anoda
: jenis produk yang telah dihasilkan di dalam negeri
: jenis produk yang belum dihasilkan di dalam negeri

Gambar 3. Rantai Produksi Tembaga dan Kemungkinan Peningkatan Nilai Tambahnya

Volume 6 : Desember 2012 Group Teknik Geologi ISBN : 978-979-127255-0-6


TG3 - 7
Potensi dan Prospek Peningkatan… H. Djamaluddin, Meinarni Thamrin & Alfajrin Achmad
Arsitektur Elektro Geologi Mesin Perkapalan Sipil

Emas dan Perak

Kedua mineral logam ini merupakan logam berharga atau precious metals, yang dalam umumnya digunakan
sebagai bahan perhiasan atau asesoris. Emas dan perak sering terdapat bersama (berasosiasi) di alam, baik
dalam bentuk logam primer maupun sekunder. Pengolahan kedua mineral ini umumnya dapat dilakukan dengan
cara amalgamasi dan sianidasi untuk logam primer (logam sulfida). Proses amalgamasi menggunakan merkuri
(Hg) dan proses sianidasi dapat menggunakan campuran asam sianida (HCN), Natrium sianida (NaCN) atau
Kalium Sianida (KCN), hal ini dilakukan untuk memisahkan logam berharga dan mineral pengotornya.
Sementara untuk logam-logam sekunder dari emas dan perak dari tambang-tambang rakyat, dapat langsung
dijual ataupun diolah dengan teknologi sederhana yang ramah lingkungan misalnya dengan alat mercury retort.

Nikel

Bijih nikel secara garis besar dikelompokkan menjadi dua, yaitu bijih nikel oksida dan bijih nikel sulfida.
Awalnya, bijih nikel oksida merupakan sumber utama produksi nikel akhir abad 19 yang mengolah deposit
laterit kadar tinggi di New Caledonia, Pasifik Selatan. Saat itu sudah ada peleburan bijih sulfida skala kecil di
Norwegia. Kemudian dengan penemuan dan pengembangan deposit nikel sulfida di Ontario, Kanada, fokus
ekstraksi nikel bergeser dari bahan baku bijih nikel oksida ke bijih nikel sulfida. Beberapa puluh tahun
kemudian, dengan semakin meningkatnya permintaan nikel dan semakin fahamnya orang mengenai seluk beluk
nikel, orang mulai melakukan evaluasi ulang mengenai formasi geologi di berbagai belahan dunia, dimana
kemudian dijumpai bijih nikel laterit dalam jumlah yang banyak di dekat permukaan terutama di daerah tropis.
Sejumlah deposit nikel laterit selanjutnya dimasukkan ke dalam kategori bijih, sementara yang lain menyusul
kemudian. Dengan demikian terjadi beberapa pemikiran baru mengenai ekstraksi bijih nikel oksida pada saat
itu. Beberapa metoda baru ekstraksi nikel telah dikembangkan dalam skala industri, sementara teknologi lama
mengalami perbaikan.

Perlu dicatat disini bahwa umumnya oksida-oksida logam berharga, terutama kobalt dan khromium berada di
dalam bijih laterit tersebut sebagai mineral yang terpisah. Pada umumnya proses ekstraksi nikel dilakukan
untuk mengambil nikel, baik sebagai logam maupun paduan, seperti ferronickel, tanpa pengambilan logam-
logam berharga lainnya. Namun demikian, prosedur untuk pengambilan logam-logam lain di dalam bijih laterit
secara menguntungkan telah diteliti di beberapa lembaga penelitian.

Proses metalurgi bijih nikel oksida umumnya relatif lebih sulit dibanding dengan untuk bijih sulfida. Untuk
bijih sulfida, metoda benefisiasi seperti flotasi dan magnetic separation telah terbukti efektif. Dengan benefiasi
ini memungkinkan diperolehnya mineral berharga dengan kandungan tinggi dan memisahkan sebanyak
mungkin mineral pengganggu. Dengan metoda benefiasi standar sulit untuk melakukan benefiasi bijih oksida,
terutama karena nikelnya secara kimiawi terdiseminasi. Akan tetapi dengan penyaringan (screening) dapat
dilakukan pemisahan ukuran, yaitu untuk mengeluarkan bijih berukuran besar yang relatif belum lapuk yang
mengandung nikel relatif rendah, dan mengambil material yang relatif halus yang mengandung nikel relatif
tinggi. Oleh sebab itu, dibandingkan dengan proses metalurgi untuk bijih nikel sulfida yang memungkinkan
diolahnya material dalam jumlah relatif sedikit dan kandungan nikel relatif tinggi setelah mengalami proses
benefiasi, maka pengolahan metalurgi untuk bijih nikel oksida yang mengharuskan pengolahan bijih dalam
jumlah yang besar dengan kandungan nikel relatif kecil tentu saja secara ekonomis relatif lebih mahal. Dengan
pemilihan pengolahan berkapasitas tinggi akan menurunkan ongkos produksi dan membuat proses metalurgi
bijih nikel oksida menjadi ekonomis.

Menyadari bahwa desiminasi kimiawi nikel di dalam bijih nikel oksida menghalangi orang dapat melakukan
pemisahan secara fisik atau konsentrasi, menyebabkan munculnya beberapa metoda ekstraksi nikel untuk bijih
nikel oksida. Secara garis besar metoda ini dibagi menjadi dua, pirometalurgi dan hidrometalurgi.

Teknik pirometalurgi yang komersial pada prinsipnya melibatkan peleburan reduksi atau peleburan pengkayaan
(pembentukan nikel sulfida) untuk mendapatkan pemisahan fasa nickel matte dari fasa yang merupakan
kumpulan mineral atau logam pengganggu, atau melibatkan peleburan dan reduksi menjadi ferro-nickel yang
terpisah dari kumpulan pengotor (slag). Karena umumnya bijih laterit nikel dalam kondisi basah secara
alamiah, bisa mencapai 40% air, dan unsur-unsur logam yang diekstraksi maupun slagnya memiliki titik leleh
yang tinggi, maka ekstraksi bijih nikel oksida secara pirometalurgi seperti ini memerlukan energi yang besar.
Dengan kenyataan seperti itu, ekstraksi secara langsung dengan cara pelarutan (hidrometalurgi) akan
memberikan keuntungan, selain konsumsi energi yang rendah juga memungkinkan diterapkannya untuk bijih

ISBN : 978-979-127255-0-6 Group Teknik Geologi Volume 6 : Desember 2012


TG3 - 8
PROSIDING 20 12© HASIL PENELITIAN FAKULTAS TEKNIK
Arsitektur Elektro Geologi Mesin Perkapalan Sipil

dengana kadar nikel yang lebih rendah dibanding dengan bijih untuk proses pirometalurgi. Akan tetapi proses
pelarutan bijih nikel oksida tidaklah sederhana, karena memerlukan pengkondisian tertentu terhadap bijihnya
serta proses pelarutannya. Biasanya diperlukan reduksi terlebih dahulu terhadap bijih nikel oksidanya menjadi
logam, baru kemudian dilarutkan dengan larutan amoniak. Atau bisa juga dilakukan pelarutan nikel dan kobalt
secara langsung dengan asam sulfat pada tekanan dan temperatur yang tinggi (tidak setinggi temperatur untuk
proses peleburan tentu saja). Saat ini di beberapa lembaga penelitian sedang berlangsung penelitian untuk
mendapatkan nikel dan logam ikutannya dari bijih laterit kadar rendah menggunakan jalur hidrometalurgi pada
kondisi tekanan atmosfir. Implementasi hasil penelitian seperti ini dalam skala industri nantinya akan
memberikan alternatif pemanfaatan bijih nikel kadar rendah.

Gambar 4, menunjukkan rantai produksi nikel di Indonesia dan kemungkinan peningkatan nilai tambahnya.
Terlihat bahwa dari bijih nikel laterit di Indonesia telah dapat diolah menjadi dua jenis produk yaitu ferro-nickel
oleh PT. Aneka Tambang dan nickel matte oleh PT. Inco menempuh jalur pirometalurgi, sementara produksi
nikel menggunakan jalur hidrometalurgi belum diterapkan di Indonesia. Sebagian besar produk ferro-nickel
merupakan bahan baku utama untuk pembuatan baja tahan karat (stainless steels) dan sebagian kecil digunakan
untuk salah satu bahan baku pembuatan baja kualitas tinggi (high strength steels) dan superalloy berbasis Fe-Ni
(Fe-Ni based superalloys).

AUSTENITIC S.S.
DUAL PHASE S.S.
STAINLESS
STEELS PH S.S.

FeNi HIGH STRENGTH


SPECIAL STEELS
STEELS Fe-Ni BASED
BIJIH Ni LATERIT
SUPERALLOYS

Ni PLATE
Ni MATTE Ni MURNI
Ni-BASED
SUPERALLOYS

Ni ALLOYS

JALUR Co-BASED
Co MURNI SUPERALLOYS
HIDROMETALURGI
ALLOYING
ELEMENT
Catatan:
: jenis produk yang telah dihasilkan di dalam negeri
: jenis produk yang belum dihasilkan di dalam negeri

Gambar 4. Rantai Produksi Nikel dan Kemungkinan Peningkatan Nilai Tambahnya

Bijih Besi

Besi dibuat dari bahan baku berupa bijih besi yang terdapat di alam dalam bentuk mineral, umumnya seperti
hematit (Fe2O3), magnetit (Fe3O4), limonit (FeO(OH).nH2O). Dengan prinsip reduksi, yaitu mereaksikan
dengan reduktor seperti karbon (C) yang dapat diperoleh dari batubara atau arang kayu, baik dalam bentuk
padat maupun cair pada temperatur yang tinggi, akan diperoleh logam besi (Fe). Dalam sejarah, teknologi
pembuatan besi yang kemudian berkembang dengan semakin meningkatnya kemampuan tanur peleburan untuk
melebur logam pada temperatur yang semakin tinggi karena ditemukannya kokas batubara, memberi manfaat
dengan ditemukannya baja. Karena logam ini dikenal sangat tangguh, kuat, keras, tidak mudah patah serta
mudah dibentuk, membuat logam ini dengan cepat mengisi peradaban manusia secara luas. Selain untuk
peralatan tempur dan persenjataan, pada jaman kekaisaran Roma telah dicatat pemakaian besi dan baja untuk
transport air dalam jarak ratusan mil, penguat jembatan di sekeliling istana, dan sistem pembuangan limbah
untuk publik. Selain itu, di berbagai belahan dunia, baja juga telah dimanfaatkan untuk penguat bangunan serta
komponen alat transportasi di era modern.

Volume 6 : Desember 2012 Group Teknik Geologi ISBN : 978-979-127255-0-6


TG3 - 9
Potensi dan Prospek Peningkatan… H. Djamaluddin, Meinarni Thamrin & Alfajrin Achmad
Arsitektur Elektro Geologi Mesin Perkapalan Sipil

Catatan:
: jenis produk yang telah dihasilkan di dalam negeri
: jenis produk yang belum dihasilkan di dalam negeri

Gambar 5. Rantai Produksi Besi dan Kemungkinan Peningkatan Nilai Tambahnya

Bauksit

Bauksit merupakan mineral logam penghasil aluminium yang paling banyak di kerak bumi, namun karena
keberadaanya terikat sebagai senyawa aluminium silikat dalam berbagai lempung menyebabkan ekstraksi
aluminium dari sumber ini menjadi sulit dan tidak ekonomis. Akan tetapi, di beberapa lokasi terdapat endapan
aluminium dalam bentuk oksida terhidrasi yang memungkinkan dilakukannnya ekstraksi aluminium secara
ekonomis. Bijih bauksit ini mengandung mineral gibsit Al 2O3.3H2O, boehmit Al2O3.H2O dan diaspore
Al2O3.H2O dengan pengotor terutama oksida besi Fe2O3, SiO2 dan TiO2. Untuk mendapatkan logam aluminium,
bijih bauksit memerlukan beberapa tahap preparasi dan ekstraksi. Dalam preparasi, bijih bauksit dicuci dan
disaring untuk menghilangkan sebanyak mungkin terutama lempung dan kwarsa serta pengotor lain yang
berukuran kecil. Produk dari preparasi ini, washed bauxite, dapat diproses lebih lanjut menggunakan proses
Bayer untuk menghasilkan secara garis besar dua jenis alumina (Al2O3), yaitu chemical grade dan smelting
grade. Bila smelting grade alumina merupakan bahan baku produksi logam aluminium, maka chemical grade
alumina lebih diarahkan sebagai bahan baku untuk industri kimia dan keramik.

Prinsip dari proses Bayer adalah melarutkan Al 2O3 dengan larutan NaOH pada temperatur dan tekanan tinggi
(150°C, 6 atm). Larutan kemudian di filtrasi dan diendapkan untuk menghasilkan Al 2O3.3H2O murni.
Selanjutnya dengan pemanasan di dalam rotary kiln pada temperatur tinggi (1100°C) dapat dihilangkan air
kristalnya dan diperoleh serbuk putih Al2O3 murni. Temperatur kalsinasi yang tinggi ini diperlukan untuk
memungkinkan diperolehnya - Al2O3 dan bukan - Al2O3 yang relatif masih dapat mengabsorbsi moisture.

Proses mendapatkan logam Al harus dilakukan melalui elektrolisa garam leleh yang mengandung Al2O3,
karena Al merupakan logam yang sangat reaktif dan oksidanya sangat stabil sehingga reduksi dengan karbon
atau gas CO hanya bisa dilakukan pada temperatur yang sangat tinggi (di atas 2000°C) sehingga sulit dilakukan.
Oleh sebab itu dengan kriolit (Na3AlF6) dapat melarutkan Al2O3 yang larutannya kemudian dapat dielektrolisis
untuk menghasilkan logam murni aluminium. Meskipun Al2O3 titik lelehnya sangat tinggi (2020°C), tetapi
dengan beberapa penambahan seperti kalsium florida elektrolisisnya dapat dilakukan pada temperatur 900 °C.

Gambar 6, menunjukkan secara garis besar rantai pengolahan atau peningkatan nilai tambah bijih bauksit untuk
mendapatkan dua jenis produk yaitu aluminium ingot dan serbuk alumina. Dalam diagram tersebut juga
ditunjukkan kondisi eksisting yang terjadi di Indonesia dimana bijih bauksit yang tercuci diekspor ke luar
negeri dan sama sekali belum dihasilkan alumina. Sementara smelting grade alumina diimpor dari luar negeri
sebagai bahan baku pembuatan aluminium murni bagi pabrik peleburan aluminium di Asahan. Dalam waktu
dekat di Indonesia akan dibangun pabrik pengolahan bauksit untuk menghasilkan alumina. Produk dari alumina
plant ini bisa berupa chemical grade untuk memenuhi segmen pasar di industri kimia dan keramik, maupun
smelting grade yang dapat memenuhi kebutuhan pabrik peleburan aluminium yang telah ada di dalam negeri.
Apabila rencana ini terwujud, maka rantai proses peningkatan nilai tambah bijih bauksit dinilai telah lengkap,

ISBN : 978-979-127255-0-6 Group Teknik Geologi Volume 6 : Desember 2012


TG3 - 10
PROSIDING 20 12© HASIL PENELITIAN FAKULTAS TEKNIK
Arsitektur Elektro Geologi Mesin Perkapalan Sipil

tinggal peningkatan nilai tambah yang dapat dilakukan di bagian hilir untuk memanfaatkan produk alumina dan
aluminium murni untuk berbagai keperluan.
Al ALLOYS (Al-
Cu, Al-Si, etc)

BAUXITE Al FOIL,
PLATE, BAR,
ROD,etc
SMELTING ELECTRICAL
GRADE Al2O3 PURE Al CONDUCTOR

BAYER
PROCESS CHEMICALS,
CHEMICAl Al2O3 REFRACTORIES
GRADE Al2O3 POWDER , ETC.

ULTRA
FINES
ALUMINA
NANO SIZE
ALUMINA

Catatan:
: jenis produk yang telah dihasilkan di dalam negeri
: jenis produk yang belum dihasilkan di dalam negeri

Gambar 6. Rantai Produksi Aluminium dan Kemungkinan Peningkatan


Nilai Tambahnya

Timah

Logam timah berada di alam umumnya sebagai oksida. Sumber utamanya adalah mineral kasiterit (SnO 2) yang
di Indonesia umumnya lebih banyak ditemukan sebagai endapan aluvial hasil dari pelapukan, erosi, dan
transportasi dalam kurun waktu yang sangat lama, bersama dengan mineral pengotor seperti kwarsa dan mineral
ikutan seperti ilmenit, monazit, rutil dan zirkon. Oleh sebab itu, untuk mendapatkan logam timahnya, terhadap
bijih timah perlu dilakukan beberapa tahapan proses dengan dua tahapan utama yaitu pengolahan bijih dan
peleburan pemurnian.

Pengolahan bijih dilakukan melalui beberapa tahapan dengan prinsip utama pemisahan mineral kasiterit dari
mineral pengotornya, terutama silika, berdasarkan perbedaan berat jenis dan pemisahan mineral berharga ikutan
seperti zirkon, xenotim dan ilmenit, menggunakan prinsip pemisahan tegangan tinggi dan magnetik. Konsentrat
kering dengan kadar kurang lebih 70% Sn kemudian dikirim ke pabrik peleburan/smelting untuk mendapatkan
logam timahnya. Meskipun titik leleh timah relatif rendah (232oC) peleburannya harus dilakukan pada
temperatur tinggi kira-kira 1300oC untuk memungkinkan slag dalam keadaan cair. Untuk mendapatkan lelehan
Sn reduktor yang digunakan umumnya adalah karbon atau antrasit dan untuk menurunkan titik leleh slag perlu
ditambahkan batu kapur. Dalam smelting ini sebagian pengotor, misalnya Fe ikut tereduksi dan berikatan
dengan Sn dan terbawa bersama lelehan Sn (kadar kira-kira 99,8%). Oleh sebab itu untuk mendapatkan Sn
murni, maka lelehan Sn ini perlu dilakukan tahapan pemurnian dengan cara mendinginkan lelehan Sn hingga
250oC yang memungkinkan terjadinya pemisahan cairan Sn kemurnian tinggi (99,9% Sn) dengan senyawa
pengotor (Fe-Sn) yang berupa padatan (dross). Karena slag peleburan pertama dan dross masih mengandung Sn
relatif tinggi, maka terhadap kedua bahan ini perlu dilakukan pengolahan lebih lanjut untuk mendapatkan Sn-
nya kembali.

Di Indonesia produksi timah sudah dapat menghasilkan timah dengan kemurnian tinggi, khususnya tidak
mengandung timbal dalam berbagai bentuk, yang dapat dipergunakan untuk berbagai keperluan, diantaranya
untuk pelapisan plat baja (tin plate) dan sebagian besar diekspor, terutama untuk solder dan paduan timah
seperti perunggu dan babbit. Peningkatan nilai tambah timah dapat dikatakan telah mencapai ujung akhir,
namun demikian perlu diingat peningkatan pemanfaatan logam timah misalnya untuk paduan, pelapisan
paduan, bahan katalis yang baru, terus dilakukan melalui penelitian-penelitian agar produksi timah dalam negeri
dapat terus terjaga dan harga timah meningkat. Produk samping berupa beberapa mineral dari logam jarang
belum diolah dan masih dapat ditingkatkan lebih lanjut menjadi produk akhir berupa bahan keramik mutu tinggi
dan logam jarang. Misalnya zircon telah dapat ditingkatkan menjadi zircon opacifier sebagai bahan glasir
keramik ubin dan masih bisa ditingkatkan lebih lanjut menjadi zirconia sebagai bahan utama material maju
(advanced materials) seperti yang terlihat pada gambar 7 berikut.

Volume 6 : Desember 2012 Group Teknik Geologi ISBN : 978-979-127255-0-6


TG3 - 11
Potensi dan Prospek Peningkatan… H. Djamaluddin, Meinarni Thamrin & Alfajrin Achmad
Arsitektur Elektro Geologi Mesin Perkapalan Sipil

LEAD FREE
SOLDER

BIJIH TIMAH KONSENTRAT Sn Sn MURNI TIN SHOT

PLATING

ZIRCON RARE EARTH


ELEMENTS : Zr, Y,
PRODUK XENOTIM TI, Ce, La
SAMPING
MONAZITE CERAMIC
MATERIALS
ILMENITE
Catatan:
: jenis produk yang telah dihasilkan di dalam negeri
: jenis produk yang belum dihasilkan di dalam negeri

Gambar 7. Rantai Produksi Timah dan Kemungkinan Peningkatan Nilai


Tambahnya

SIMPULAN

Uraian yang telah dikemukakan, maka dapat ditarik kesimpulan diantaranya yang penting sebagai berikut:

Perlu road map mengenai kebutuhan dan potensi-ketersediaan material untuk industri hilir di Indonesia, tidak
saja logam tetapi juga mineral industri. Diperlukan kerjasama yang erat antar Departemen Energi dan Sumber
Daya Mineral dan Departemen Perindustrian untuk menjembatani supply dan demand di industri hulu dan di
industri hilir. Pemberian insentif bagi industri yang mendukung dan melakukan kajian dan riset peningkatan
nilai tambah. Mengharuskan perusahaan tambang untuk mengolah hasil tambang hingga produk akhir belum
tentu realistis. Peningkatan nilai tambah hasil tambang bijih minimal adalah konsentrasi. Pemberian insentif
bagi perusahaan tambang yang memproduksi hingga produk akhir (smelting) dan yang melakukan kajian dan
riset mengenai peningkatan nilai tambah. Faktor yang menghambat adalah adanya ketidaksiapan bagi
perusahaan-perusahaan tambang skala kecil karena kekurangan modal, kemudian sumber energi yang masih
terbatas dan menjadi kendala untuk pendirian smelter.

Pemerintah harus menyiapkan segala infrastruktur dan insentif pada setiap usaha peningkatan nilai tambah
mineral, mengingat pendirian smelter membutuhkan biaya yang sangat besar, dan pengusaha tambang skala
kecil dan menengah (investor domestik) tidak mempunyai kecukupan modal dalam kegiatan usaha tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Alamsyah, H., (2006), Laporan Sektor Ekonomi Pertambangan, Direktorat Statistik Ekonomi dan Moneter,
Bank Indonesia.
Basuki, E.,A., Supriyanto, S., Puwadaria, S., & Ekawan, R., (2007), Peningkatan Nilai Tambah Sumber Daya
Mineral di Indonesia, Peluang dan Tantangan, Prosiding Temu Profesi Tahunan TPT XVI Perhapi. Hal
348-363
Balamualikrishnaa, R., and John, C.,D., (1998), SWOT Analysis, Journal of Vocational and Technical
Education, 12, (1), Iowa State University.
Carlile, J.,C., & Mitchell, A.,H.,G., (1994), Magmatic Arcs and Associated Gold and Copper Mineralization in
Indonesia, Journal of Geochemical Exploration 50. Page 91-142.
Ekawan, R., (2001), Beberapa Isu Pengelolaan Sumberdaya Mineral Dipandang dari Ekonomi Sumberdaya
Alam, Prosiding Temu Profesi Tahunan TPT X Perhapi. Hal 75-85.
Graedel, T.,E., (1998), Life Cycle Assessment in the Service Industries, in Journal of Industrial Ecology,
Volume 1, Number 4, The MIT and Yale University, Cambridge, Massachusetts.

ISBN : 978-979-127255-0-6 Group Teknik Geologi Volume 6 : Desember 2012


TG3 - 12
PROSIDING 20 12© HASIL PENELITIAN FAKULTAS TEKNIK
Arsitektur Elektro Geologi Mesin Perkapalan Sipil

Hermansyah & Permana, D., (2010), Peningkatan Nilai Tambah Mineral Logam, Bulletin Mineral dan Energi,
ISSN: 1693 – 4121. Vol.8/No.4.
Hasyim, I., & Gautama, R.,S., (2001), Konsep Kawasan Pertambangan sebagai Upaya untuk Mengoptimalkan
Pemanfaatan Potensi Sumberdaya Mineral, Prosiding Temu Profesi Tahunan TPT X Perhapi. Hal 29-32.
Kesler, S., (1994), Mineral Resources Economics and the Environment, Macmillan College Publishing
Company, Inc, New York.
Leford, S.,J., (1987), Industrial Mineral and Rock., USA.
Mtisi, S., Dhliwayo, M., & Makore, G., (2011), Extractive Industries Policy and Legal, Zimbabwe
Environmental Law Association (ZELA). Sponsored by European Union and the Ford Foundation.
Moon, C.,J., Whateley, M.,K.,G., & Evans, A.,M., (2006), Introduction to Mineral Exploration. Blackwell
Publishing, USA.
Manning, D.,A.,C., (1995), Introduction to Industrial Minerals, Chapman & Hall., London.
Permana, D., (2010), Tantangan dalam Peningkatan Nilai Tambah Mineral dan Batubara, Bulletin Mineral dan
Energi, ISSN: 1693 – 4121. Vol.8/No.4.

Volume 6 : Desember 2012 Group Teknik Geologi ISBN : 978-979-127255-0-6


TG3 - 13
Potensi dan Prospek Peningkatan… H. Djamaluddin, Meinarni Thamrin & Alfajrin Achmad
Arsitektur Elektro Geologi Mesin Perkapalan Sipil

ISBN : 978-979-127255-0-6 Group Teknik Geologi Volume 6 : Desember 2012


TG3 - 14

Anda mungkin juga menyukai