Anda di halaman 1dari 166

TIM PENULIS

Prof. Dr. Ir. Syamsuddin Hasan, M.Sc.


Prof. Dr. Ir. Ambo Ako, M.Sc., IPU
Dr. Agr. Ir. Renny Fatmyah Utamy, S.Pt., M.Agr., IPM
Dr. Jasmin Ambas, SKM, M.Kes.
Sema, S.Pt., M.Si.
Indrawirawan, S.Pt., M.Sc.
Muh. Agung Syamsuddin, S.T

Editor Ahli
Dr. Jasmin Ambas, SKM, M.Kes.
Indrawirawan, S.Pt., M.Sc.
PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, sehingga


penulisan buku yang berjudul “Strategi Menggandakan Nilai
Ekonomi dan Sosial Pada Lahan Pasca Tambang Menuju
Indonesia Emas 2045” dapat diselesaikan dengan baik. Materi dari
isi buku ini sangat penting karena dapat menjadi sumber informasi
dan inspirasi bagi pemerintah, peneliti, pengusaha dan mahasiswa
yang tertarik pada perbaikan lingkungan hidup dan pemanfaatan
lahan pasca tambang di Indonesia maupun di berbagai Negara yang
memiliki lahan pasca tambang.
Ide penulisan buku ini yang berjudul “Strategi Menggandakan
Nilai Ekonomi dan Sosial Pada Lahan Pasca Tambang Menuju
Indonesia Emas 2045” adalah hasil diskusi bersama tim dengan
memperhatikan saran-saran dari berbagai pihak yang mengetahui
kondisi lahan pasca tambang. Pembahasan dari bab ke bab buku ini
penulis menggambarkan kondisi lahan pasca tambang yang
terabaikan karena ditinggal begitu saja oleh para penambang. Contoh
kasus yang diangkat adalah lahan pasca tambang nikel di PT. VALE
INDONESIA Tbk di Sorowako Malili, Luwu Timur, Sulawesi Selatan.
Ada beberapa alasan penulis mengambil kasus lahan pasca tambang
nickel di PT. VALE INDONESIA Tbk di Sorowako Malili sebagai
gambaran pengelolaan lahan pasca tambang pada buku ini. Pada
awalnya perusahaan ini bernama PT. INCO, yang membuka ruang
kerjasama dengan Universitas Hasanuddin sebagai untuk melakukan
penelitian dan penanganan lahan pasca tambang dan dampaknya
terhadap lingkungan baik lingkungan vegetasinya, hewan dan

i
ternaknya, kondisi lahan, sumber air dan lain-lain. yang dimulai tahun
2014 sampai sekarang.
Dari hasil kerjasama antara PT. VALE INDONESIA TBK
dengan Universitas Hasanuddin dan Kementerian Ristek RI
menghasilkan beberapa jurnal internasional antara lain.
1. Evaluation of Tropical Grasses on Mine Revegetation for
Herbage Supply to Bali Cattle in Sorowako, South Sulawesi,
Indonesia. OnLine Journal of Biological Sciences, 2016
2. The Investigation of Biological Nitrogen Fixation in Critical
Dryland Pasture (OnLine Journal of Biological Sciences, 2019
3. Selected Minerals in Meat of Cattle Grazing in Mine
Revegetation Areas and Safe Consumption for Human. Food
Science and quality management ISSN 2224-6088 (paper) ISSN
2225-0557 (Online) vol 30, 2014
4. Determination of Heavy Metals in Meat and Organs of Cattle
Maintained and Grazed in Mine Revegetation Area After Have
Been Quarantined. American-Eurasian Journal of Sustainable.
American Euresian Journal Sustainable Agriculture published
Online 22 june 2016 in http://www.Aensiweb.com/AEJSA/
5. Post-Mining Phytoremediation through Calliandra calothyrsus
Brachiaria decumbens Intercropping (accepted in Journal of
Turkeys). 2022
6. Heavy metal contamination in beef cattle on local community`s
Health Study Case: PT. Vale Indonesia, Sorowako Indonesia
(unpublished).2021

Jurnal tersebut menjadi salah satu sumbangsih lahirnya peneliti-


peneliti baru yang produktif dalam pengembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi. PT. Vale Indonesia Tbk merupakan salah satu
perusahaan pertambangan nikel yang layak menjadi contoh yang baik
dalam pengelolaan lahan pasca tambang oleh karena telah membuka
ruang kerjasama dengan Perguruan Tinggi di Indonesia terutama
Universitas Hasanuddin, Institut Pertanian Bogor. Melalui kerjasama
tersebut para dosen dan mahasiswa dapat melakukan research,
pengabdian masyarakat dan PKL di perusahaan PT. Vale Indonesia

ii
Tbk. dengan tetap berpedoman pada Standar Operasional Prosedur
(SOP) perusahaan.
Pemanfaatan potensi lahan pasca tambang dengan
pendekatan Integrated Farming System merupakan salah satu solusi
yang dapat menggandakan nilai ekonomi oleh karena dapat
meningkatkan produksi dan pendapatan masyarakat dan pemerintah
melalui peningkatan produksi agro kompleks dan perbaikan
lingkungan hidup sekaligus mencegah kemungkinan terjadinya
bencana alam berupa tanah longsor, banjir dan kebakaran.
Semoga buku ini dapat menjadi sumber ide dan inspirasi bagi
para peneliti, pemerhati lingkungan dan para pengusaha dalam
bidang agro kompleks, serta memberi kontribusi dalam peningkatan
dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi bidang agro
secara kontinu guna mendukung tercapainya tujuan Indonesia Emas
tahun 2045 dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Makassar, Oktober 2022


Tim Penyusun

Prof. Dr. Ir. Syamsuddin Hasan, M.Sc.


Prof. Dr. Ir. Ambo Ako, M.Sc., IPU
Dr. Agr. Renny Fatmyah Utamy, S.Pt., M.Agr., IPM.
Dr. Jasmin Ambas, SKM, M.Kes.
Sema, S.Pt., M.Si
Indrawirawan, S.Pt., M.Sc.
Muh. Agung Syamsuddin, S.T

iii
DAFTAR ISI
Prakata....................................................................................... i
Daftar Isi ..................................................................................... iv
Daftar Gambar ........................................................................... v
Daftar Tabel ............................................................................... viii
BAB I Pendahuluan ............................................................... 1
BAB II Kegiatan Pertambangan dan Aspek Lingkungan ......... 12
BAB III Potensi Ekonomi Lahan Pasca Tambang .................... 22
BAB IV Langkah-Langkah Yang Dapat Dilakukan Dalam
Mempersiapkan Lahan Pasca Tambang...................... 41

BAB V Jenis Tanaman Hijauan Pakan Yang Dapat


Dikembangkan Pada Lahan Pasca Tambang .............. 55

BAB VI Perlunya Pengembangan Peternakan Pada


Lahan Pasca Tambang ................................................ 67

BAB VII Perlunya Pengembangan Peternakan Pada


Lahan Pasca Tambang ................................................ 75

BAB VIII Logam Berat Dalam Hijauan dan Cara Mengatasi


Kandungannya Pada Lahan Pasca Tambang .............. 92

BAB IX Fitoremediasi ............................................................... 123

BAB X Sarana Padang Pengembalaan ................................... 128

Daftar Pustaka ........................................................................... 140

Tentang Penulis ......................................................................... 150

iv
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Peta daerah penambangan


PT. INCO Tbk Sorowako ....................................... 2
Gambar 2. Lahan pasca tambang PT Vale Indonesia Tbk.
sebelum direklamasi .............................................. 3
Gambar 3. Lahan pasca tambang PT Vale Indonesia Tbk.
setelah direklamasi ................................................ 6
Gambar 4. Tanaman penutup tanah (cover crop), (a) Kaliandra,
(b) Pohon Kelor, (c) Centrosema macrocarpum .... 10
Gambar 5. Kegiatan pertambangan di PT Vale Indonesia ....... 12
Gambar 6. Bahan hasil galian PT Vale Indonesia Tbk. ........... 14
Gambar 7. Dampak lingkungan akibat kegiatan
pertambangan ....................................................... 18
Gambar 8. Ilustrasi lokasi pertambangan yang strategis ......... 20
Gambar 9. Kegiatan revegetasi lahan bekas tambang
PT Vale Indonesia Tbk. ......................................... 22
Gambar 10. Lahan Pasca Tambang yang diubah menjadi
Padang Penggembalaan Sapi Potong ................... 24
Gambar 11. Pohon Akasia (Acacia mangium) ........................... 25
Gambar 12. Kelapa Sawit (Elaeis guineensis) .......................... 26
Gambar 13. Hijauan padang penggembalaan
lahan pasca tambang ............................................ 27
Gambar 14. Tambang batubara PT. Kitadin .............................. 31
Gambar 15. Ilustrasi peternakan sapi potong
di padang penggembalaan .................................... 34
Gambar 16. Ilustrasi lahan pasca tambang sebelum
dan setelah reklamasi............................................ 44

v
Gambar 17. Tahapan reklamasi: (a) Penataan Lahan,
(b) Penanaman cover crop (c) Penanaman
Tanaman Pionir, dan (d) Revegetasi ..................... 50
Gambar 18. (a) Rumput signal (Braciaria decumbens),
(b) Legum sentro (Centrosema pubescens) .......... 52
Gambar 19. Braciaria brizanta .................................................. 55
Gambar 20. Rumput Gajah Mini
(Pennicetum purpureum cv mott) .......................... 56
Gambar 21. Kacang ercis (Arachis pintoi) ................................. 58
Gambar 22. Centrocema pubescens ......................................... 59
Gambar 23. Calopogonium muconoides ................................... 60
Gambar 24. Macroptilium atropurpureum .................................. 62
Gambar 25. Kaliandra ............................................................... 63
Gambar 26. Glicirida maculate .................................................. 64
Gambar 27. Leucaena leucocephala ........................................ 65
Gambar 28. Area hijauan pakan ternak pada
lahan pasca tambang ............................................ 72
Gambar 29. Ilustrasi areal penggembalaan pada
lahan pasca tambang ............................................ 73
Gambar 30. Ilustrasi Perkandangan pada
lahan pasca tambang ............................................ 74
Gambar 31. Hasil reklamasi lahan pasca tambang
PT. Vale Indonesia Tbk. ........................................ 76
Gambar 32. Peternakan sapi pada lahan pasca tambang
di Desa Jonggin Jaya ............................................ 78
Gambar 33. Aktivitas pertambangan biji besi yang dilakukan
oleh salah satu perusahaan tambang
di Sumatera Barat (Coubut,2012) .......................... 81

vi
Gambar 34. Ilustrasi padang penggembalaan sapi potong ....... 83
Gambar 35. Peternakan sapi pada padang penggembalaan
lahan pasca tambang ............................................ 85
Gambar 36. Pemeliharaan sapi potong dengan sistem
pemeliharaan intensif ............................................ 87
Gambar 37. Pemeliharaan sapi potong dengan sistem
pemeliharaan ekstensif .......................................... 91
Gambar 38. Ilustrasi Sapi yang keracunan logam ..................... 96
Gambar 39. Ilustrasi sapi potong yamg dipelihara di
TPA Jatibarang...................................................... 97
Gambar 40. Pengamatan tanaman pada lahan
pasca tambang ...................................................... 98
Gambar 41. Nikel ...................................................................... 109
Gambar 42. Kadmium ............................................................... 114
Gambar 43. Kromium ................................................................ 115
Gambar 44 Tembaga ............................................................... 118
Gambar 45. Ilustrasi daging segar dan kualitas baik ................. 119
Gambar 46. Contoh Padang Pengembalaan untuk Riset .......... 128
Gambar 47. Pagar yang dibuat dari kawat ................................ 129
Gambar 48. Konstruksi Pagar pada Tanah Bergelombang ....... 130
Gambar 49. Pintu Pagar Padang Pengembalaan ...................... 131
Gambar 50. Kandang Penanganan Ternak pada Sebuah
Padang Pengembalaan ......................................... 133

vii
DAFTAR TABEL

Tabel Potensi Produksi dan Pendapatan Masyarakat


Bersumber Lahan Pasca Tambang .......................... 39
Tabel 1. Kebutuhan diet dan konsentrasi maksimum
yang ditoleransi beberapa mineral untuk sapi ............ 93
Tabel 2. Konsentrasi Logam Ni ............................................... 103
Tabel 3. Konsentrasi Logam Cr ............................................... 104
Tabel 4. Konsentrasi Logam Pb .............................................. 105
Tabel 5. Kandungan Komposisi Kimia Rumput yang
Tumbuh di Lahan Pasca Tambang ............................ 106
Tabel 6. Daya Cerna Bahan Kering dan Daya Cerna
Bahan Organik Rumput Penelitian ............................. 107
Tabel 7. Konsentrasi Nikel (Ni) pada Daging dan Berbagai
Organ (mg/kg berat basah) dari Sapi yang
Dipelihara di Lahan Pasca Tambang dan
di Luar Lahan Pasca Tambang ................................. 108
Tabel 8. Konsentrasi Seng (Zn) pada Daging dan Berbagai
Organ (mg/kg berat basah) dari Sapi yang
Dipelihara di Lahan Pasca Tambang dan
di Luar Pasca Tambang ............................................. 110
Tabel 9. Konsentrasi Kadmium (Cd) pada Daging
dan Berbagai Organ (mg/kg berat basah) dari
Sapi yang Dipelihara di Lahan Pasca Tambang
dan di Luar Pasca Tambang ...................................... 112

viii
Tabel 10. Konsentrasi Kromium (Cr) pada Daging dan
Berbagai Organ (mg/kg berat basah) dari
Sapi yang Dipelihara di Lahan Pasca Tambang
dan di Luar Pasca Tambang ...................................... 114
Tabel 11. Konsentrasi Tembaga pada Daging dan
Berbagai Organ (mg/kg berat basah) dari
Sapi yang Dipelihara di Lahan Pasca Tambang
dan di Luar Pasca Tambang ...................................... 117

ix
BAB I
PENDAHULUAN

Kegiatan pertambangan merupakan kegiatan yang sering


dihubungkan dengan lingkungan, karena berpotensi merusak
lingkungan. Akibat yang ditimbulkan antara lain kondisi fisik, kimia dan
biologis tanah menjadi buruk, lapisan tanah tidak berprofil,
kekurangan unsur hara yang penting bagi tumbuhan, pH rendah,
pencemaran oleh logam-logam berat serta penurunan populasi
mikroba pada lahan bekas tambang. Ardiansyah (2016) melaporkan
bahwa hilangnya lapisan atas tanah pada lahan bekas penambangan
batu bara menyebabkan kandungan unsur hara makro (N, P, K, Na,
Ca) dan bahan organik tanah menjadi sangat rendah. Tingkat
kemasaman tanah (pH tanah) dan kapasitas tukar kation juga menjadi
rendah. Mikroorganisme tanah yang sangat membantu dalam
stabilisasi struktur tanah, sumbangan mineral anorganik dan
sumbangan zat pengaturan pertumbuhan juga menjadi rendah.
Kondisi tanah yang seperti ini akan membuat tanaman menjadi
sangat sulit untuk tumbuh atau bahkan tidak dapat tumbuh dengan
baik di lahan pasca tambang tersebut. Luas lahan tambang yang
berpotensi mengalami kehilangan fungsi sebagai lahan pertanian
haingga tahun 2022 mencapai 2,9 juta ha (Balai Besar Litbang
Sumber Daya Lahan Pertanian). Disatu sisi masyarakat kekurangan
lahan produktif untuk pertanian disisi lain terdapat potensi lahan
pasca tambang sekitar 2,9 ha yang terabaikan (tidak produktif).

1
Fakta-fakta potensi lahan pasca tambang sekitar 2,9 juta ha
inilah yang merupakan lahan yang dapat memberi manfaat ganda
apabila dikelola dengan baik tentu membutuhkan investasi, namun
investasi tersebut akan memberikan nilai produksi yang berganda
berupa mencegah terjadinya kerusakan lingkungan, bahaya longsor,
erosi dan banjir akibat hilangnya fungsi hutan dan tanaman diatasnya.
Keuntungan ekonomi secara langsung adalah manfaat langsung yang
dapat diperoleh dari hasil produksi baik tanaman pangan berupa
hortikultura, maupun sebagai lahan produksi peternakan oleh
masyarakat umum dan swasta. Oleh karena itu diperlukan adanya
suatu program sebagai upaya pelestarian lingkungan agar tidak
terjadi kerusakan lebih lanjut sekaligus mendapatkan nilai tambah
secara ekonomi melalui program rehabilitasi ekosistem yang telah
rusak akibat kegiatan penambangan. Hal ini terjadi khususnya di
Indonesia, oleh karena pada umumnya kegiatan penambangan baik
oleh masyarakat maupun perusahaan swasta meninggalkan lahan
terbuka kritis.

Gambar 1. Peta daerah penambangan PT. INCO Tbk Sorowako

Seiring dengan peningkatan cakupan kegiatan penambangan


yang terus meningkat setiap tahunnya yang tanpa diikuti dengan

2
rehabilaitasi ekosistem yang terencna dan konsisten, makan akan
menimbulkan gangguan kelestarian lingkungan dan memberi peluang
terjadinya bencana alam berupa longsor dan banjir yang pada
gilirnnya akan mabawa kerugaian bahkan korban jiwa dan harta
benda bagi masyarakat terutama masyarakat yang bermukim
disekitar kawasan lahan pasca tambang.

Gambar 2. Lahan pasca tambang PT Vale Indonesia Tbk.


sebelum direklamasi
Sumber : Dok. Pribadi

Pada hakekatnya pemerintah telah berupaya melakukan


pencegahan melalui beberapa peraturan perundang-undangan agar
proses reklamasi pasca penambangan dapat berjalan dengan baik,
yaitu: UU No. 4 tahun 2009 tentang penambangan bahan mineral dan
batubara dinyatakan bahwa pemegang izin usaha penambangan
harus melaksanakan reklamasi pasca penambangan. Khusus untuk
aktivitas penambangan dalam kawasan hutan, maka pelaksanaan
reklamasi lahan bekas tambang juga harus mengacu pada UU No. 41

3
tahun 1999 tentang kehutanan. Pemerintah telah membuat regulasi
melalui undang-undang
 UU No. 11/1967, tentang ketentuan pokok- pokok pertambangan.
 PP No. 32/1969, tentang pelaksaaan UU No. 11/1967 tentang
ketentuan-ketentuan pokok pertambangan.
 PP No. 75/2001, tentang perubahan kedua atas PP No. 32/1969.
 Kepmen PE No. 1211.K/1995, tentang pencegahan dan
penanggulangan perusakan dan pencemaran lingkungan pada
kegiatan pertambangan umum.
 Keputusan Dirjen Penambangan Umum No. 336/1996 tentang
jaminan reklamasi.

Peraturan dan perundang-undangan tersebut bertujuan


merehabilitasi lahan pasca tambang untuk memperbaiki ekosistem
lahan pasca tambang guna perbaikan kesuburan tanah dengan
harapan memberi nilai tambah bagi lingkungan, mencegah terjadinya
bencana (lonsor, erosi dan banjir). Regulasi di atas menjadi pijakan
untuk melakukan perbaikan lingkungan pasca tambang sehingga
dampak kerusakan lingkungan bahkan sosial dapat diminimalisir.
Prosedur teknis reklamasi tambang hingga penutupan tambang
juga telah diterapkan oleh pemerintah, namun belum maksimal.
Ketentuan reklamasi juga diatur dalam Peraturan Menteri Energi dan
Sumber Daya Mineral Nomor 18 Tahun 2008 tentang Reklamasi dan
Penutupan Tambang (Rahmawaty, 2002). Undang-undang No. 76
tahun 2008 menyatakan bahwa pemerintah mengharuskan setiap
perusahaan tambang untuk melakukan reklamasi dan rehabilitasi
berupa revegetasi pada lahan-lahan kritis bekas tambang. Peraturan
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor: 18 tahun 2008

4
tentang reklamasi dan penutupan lahan bekas pertambangan
mengharuskan setiap lahan pasca tambang untuk dipulihkan kondisi
tanahnya agar dapat kembali dimanfaatkan sebagai media tumbuh
tanaman.
Salah satu upaya pemulihan lahan bekas tambang adalah
revegetasi dengan menanam pohon maupun rumput dan legum.
Lahan tambang yang ditanami dengan hijauan rumput dan legum
memberikan peluang bagi masyarakat untuk memanfaatkannya
menjadi sumber hijauan pakan. Namun, dilain pihak kekhawatiran
yang muncul atas upaya pengalihan fungsi lahan revegetasi pasca
tambang menjadi lahan pastur (lahan penggembalaan) adalah
kemungkinan terjadinya akumulasi logam-logam berat pada tanah,
rumput dan sumber air yang dapat berdampak pada akumulasi logam
berat daging dan organ hewan yang diternakkan. Pemanfaatan lahan
pasca tambang memang membutuhkan perlakuan khusus atau
perhatian agar tidak menimbulkan kekhawatiran masyarakat
menggunakan hasil produksi tanaman maupun hewan yang diternak
dilokasi pasca tambang. Terkait dengan adanya kekhawatiran
masyarakat terhadap kemungkinan terjadinya gangguan kesehatan
akibat akumulasi logam berat pada bahan makanan dan ternak yang
diproduksi pada lahan pasca tambang yang konsumsi, maka PT. Vale
Tbk di Sorowako Luwu Timur sebagai salah satu industri
pertambangan nikel terbesar di Indonesia bekerjasama dengan
Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin (UNHAS) telah
melakukan penelitian yang dilakukan oleh Hasan, Natsir, Ako dan
Zakaria (2014) pada lahan pasca tambang yang telah menjadi padang
penggembalaan, menunjukkan bahwa rumput dan legum
mengandung logam berat yang berpotensi mencemari daging dan

5
organ tubuh sapi dan apabila dikonsumsi oleh manusia dapat terjadi
penimbunan logam berat pada tubuh manusia yang sudah tentu
sangat berbahaya bagi kesehatan. Hasil penelitian Purnama, Zakaria,
Kusumaningrum dan Hasan (2014) pada lokasi penelitian yang sama
menunjukkan bahwa logam berat terutama Fe, Cr dan Ni Pada daging
dan organ-organ sapi tidak melebihi ambang batas atau masih layak
dikonsumsi (berdasarkan standar badan pengawas Obat dan
Makanan).

Gambar 3. Lahan pasca tambang PT Vale Indonesia Tbk. setelah


direklamasi
Sumber : Dok. Pribadi

Kondisi tanah yang rendah memungkinkan terbentuknya


kandungan Fe, Mn dan Cu dalam jumlah yang tinggi menyebabkan
tanaman atau vegetasi yang tumbuh pada areal tersebut mengalami
defisiensi Mg, Ca dan P (Jha dan Singh, 1995). Defisiensi dari unsur-

6
unsur tersebut membuat tanah akan menjadi kurang subur karena
nutrisi yang dibutuhkan juga berkurang. Pada kondisi ini
mikroorganisme tanah sangat membantu untuk mengembalikan dan
menjaga kestabilan tanah dan sumbangannya berupa mineral
anorganik ataupun terhadap zat pengatur tumbuhan juga rendah
sehingga pertumbuhan atau produktivitas vegetasi yang tumbuh pada
areal lahan pasca tambang menjadi rendah (Hetrick et al., 1994).
Pertambangan di Indonesia telah banyak dieksplorasi oleh
berbagai pihak seperti pihak swasta yang pengembangannya
dilakukan secara legal maupun ilegal yang mengakibatkan banyaknya
lahan tambang tidak termanfaatkan sebagaimana mestinya. Sehingga
menyebabkan banyaknya lahan pasca tambang yang terbengkalai
dan merusak lingkungan di Indonesia. Hal ini terjadi karena
kurangnya kebijakan pemerintah yang tidak ketat dalam
mengembangkan lahan pasca tambang. Sangat disayangkan hal ini
bisa terjadi padahal lahan pasca tambang memiliki banyak potensi
yang besar untuk dikembangkan. Salah satu cara yang dapat
dilakukan adalah pemanfaatan lahan pasca tambang sebagai lahan
pastura atau lahan penggembalaan yang diikuti dengan pemeliharaan
ternak sapi potong (melakukan rehabilitasi atau revegetasi pada lahan
pasca tambang yang diikuti dengan kegiatan usaha peternakan sapi
potong). Dengan demikian lahan pasca tambang dapat bermanfaat
bagi masyarakat disekitarnya dan dapat pula membuka lapangan
kerja melalui pemberdayaan masyarakat dengan komoditi sapi potong
Pemanfaatan lahan pasca tambang sebagai lahan
penggembalaan tidak mudah. Apalagi jika ingin mengusahakan untuk
pengalihfungsian menjadi lahan padang penggembalaan. Banyak hal
yang perlu dipersiapkan dalam pemanfaatan lahan pasca tambang

7
tersebut. Setelah melakukan aktivitas penambangan, maka
perusahaan tambang wajib melakukan penutupan lubang-lubang
bekas galian tambang atau penataan tanah timbunan. Kemudian
setelah itu dilakukan penebaran kapur dan pupuk agar kondisi
kesuburan lahan menjadi lebih baik untuk kemudian dilakukan
revegetasi. Lahan pasca tambang yang tidak direklamasi akan
banyak mengandung pirit atau logam berat yang apabila langsung
ditanam rumput dan legum hijauan pakan dan dimakan oleh ternak
akan dapat mengganggu kesehatan dan reproduksi ternak tersebut.
Oleh sebab itu reklamasi wajib dilakukan sebelum lahan digunakan
agar kondisi tanah dapat sesuai dengan syarat-syarat tumbuhnya
tanaman.
Langkah yang tepat untuk dilakukan yakni dengan melakukan
analisa fisik dan kimia tanah, kandungan logam tanah, jenis tanaman
yang mampu tumbuh dengan baik, produksi tanaman, dan ada
tidaknya kandungan logam yang ada pada tanaman tersebut.
Kerusakan lahan akibat tambang ini diikuti oleh perubahan jenis
tanaman yang mampu bertahan hidup di daerah itu. Berbagai jenis
tanaman merambat maupun jenis tanaman seperti perdu atau pohon-
pohon tertentu lainnya secara suksesi alami akan berlangsung sangat
lambat sehingga lahan tidak produktif dalam waktu yang lama.
Sehingga penjaminan lahan yang direklamasi harus mampu
dimanfaatkan sebagai lahan sumber hijauan pakan untuk budidaya
ternak sapi potong.
Setelah pemberian pupuk dasar pada lahan reklamasi,
kemudian diberikan pupuk kandang dan siap untuk ditanami oleh
tanaman penutup tanah (cover crops). Jenis tanaman cover crops
dapat dimanfaatkan sebagai tanaman awal. Hal ini dilakukan dalam

8
rangka pembentukan ruang tumbuh sebelum dilakukan penanaman
dengan jenis tanaman-tanaman pilihan. Fungsi jenis tanaman ini
adalah melindungi permukaan tanah dari tumbukan butir-butir hujan
yang memiliki kemampuan sebagai pemecah (dispersion) tanah,
selain itu tanaman cover crop ini juga memperkaya bahan organik
dalam tanah.
Tanaman penutup tanah yang sekaligus dapat berfungsi
sebagai pupuk hijau sudah banyak digunakan untuk memperbaiki
lahan yang rusak. Jenis tanaman yang sering dipakai adalah jenis
kacang-kacangan karena kemampuannya dalam menghasilkan
hijauan, kandungan N yang tinggi, dan mudah lapuk. Perakaran pun
tidak memberikan kompetisi yang berat terhadap tanaman pokok.
Beberapa jenis tanaman cover crops yang memiliki fungsi sebagai
tanaman penutup tanah (sekaligus dapat dimanfaatkan sebagai
pakan ternak) ialah Centrosema pubescens dan Calopogonium
muconoides (Arsyad, 1999). Pemilihan jenis tanaman yang
ditumbuhkan pada lahan penggembalaan bekas tambang ini
merupakan tanaman revegetasi awal yang dapat berupa jenis rumput
seperti Brachiaria decumbens, dan Paspalum notatum, dan karena
kedua jenis rumput ini memiliki kemampuan untuk mereduksi tanah
yang tercemar oleh racun. Selain jenis rumput, terdapat jenis
leguminosa seperti Centrosema pubescens, Pueraria javanica,
Calopgonium muconoides dan Clotaria juncea juga dapat
dikembangkan pada lahan pasca tambang. Jenis-jenis leguminosa ini
merupakan sumber bahan organik tanah yang berasal dari daun,
ranting dan cabang, batang buah dan akar yang mati. Selain itu,
perakaran leguminosa dapat membangun mikoriza yang dapat
mengembangkan unsur fosfor (P) bagi tanaman. Ditinjau dari

9
kepentingan peternakan, jenis-jenis tanaman ini menghasilkan bahan
kering yang relatif tinggi serta nutrien yang baik sehingga dapat
meningkatkan kapasitas tampung ternak.

(a) (b) (c)

Gambar 4. Tanaman penutup tanah (cover crop), (a) Kaliandra, (b)


Pohon Kelor, (c) Centrosema macrocarpum
Sumber : (a) https://www.kompasiana.com/image/hendisetia-
wan/552a9ff7f17e610528d623d2/terpopuler.html?page=1, (b)
https://indo-cropcircles.files.wordpress.com/2018/01/pohon-kelor-
moringa-oleifera.jpg, dan (c) Dok. Pribadi

Lahan pasca tambang jika dimanfaatkan sebagai lahan pastura


atau padang penggembalaan dapat menjadi potensi besar dalam
pemenuhan hijauan pakan. Lahan hijauan pakan yang ada sebagai
bahan baku baku untuk mengembangkan usaha peternakan di lahan
pasca tambang khususnya sapi potong sebagai penghasil daging.
Pengembangan sapi potong sangat perlu dilakukan mengingat bahwa
pasar untuk sapi potong masih terbuka lebar, dapat menciptakan
lapangan kerja, meningkatkan pendapatan petani peternak jika
dikelola dengan baik, menghasilkan pupuk organik yang bersumber

10
dari feses dan urin, lebih jauh lagi dapat menghasilkan energi
terbarukan (metan gas).
Kebutuhan masyarakat Indonesia akan daging sapi kian hari
pun semakin meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah
penduduk dan meningkatnya pendapatan masyarakat serta
kesadaran gizi masyarakat. Pengembangan sapi lokal juga perlu
dikembangkan sebagai penyedia kebutuhan daging masyarakat
Indonesia dan sebagai bentuk meminimalkan permintaan impor
daging mancanegara. Namun yang perlu ditelaah lebih lanjut adalah
pengembangan sapi potong yang dilakukan di lahan pasca tambang
melalui sistem pemeliharaan intensif (dikandangkan). Pemeliharaan
sapi potong melalui sistem intensif ini mengambil pakan hijauan dari
lahan pasca tambang. Penggembalaan ternak perlu dihindari karena
sapi yang digembalakan dapat merusak struktur tanah dan membuat
tanah di lahan pasca tambang menjadi padat dan sulit untuk ditanami
hijauan

11
BAB II
KEGIATAN PERTAMBANGAN DAN ASPEK
LINGKUNGAN

Kegiatan pertambangan adalah bagian dari kegiatan


pembangunan ekonomi yang mendayagunakan sumber daya alam
dan diharapkan dapat menjamin kehidupan di masa sekarang dan
yang akan datang. Sumber daya alam yang tidak terbarukan harus
dikelola agar fungsinya dapat berkelanjutan. Pelaksanaan
pertambangan diharapkan dapat memberikan jaminan
pengembangan dalam praktek rehabilitasi serta mengaplikasikan
praktek berkelanjutan. Persoalan yang akan timbul akibat dari
kegiatan pertambangan yang kurang tepat dapat menimbulkan
dampak negatif terhadap lingkungan berupa penurunan produktivitas
tanah, pemadatan tanah, terjadinya erosi dan sedimentasi, terjadinya
gerakan tanah atau longsor, penurunan biodiversitas flora dan fauna
serta perubahan iklim mikro (Darwo, 2003).

Gambar 5. Kegiatan pertambangan di PT Vale Indonesia


Sumber : https://trilogi.co.id/pt-vale-akan-kuasai-dua-blok-tambang-
nikel-di-bahodopi/

12
Selanjutnya UU 11/1967 ini ditindaklanjuti dengan Peraturan
Pemerintah Tentang Penggolongan Bahan Galian (PP No 27/1980),
yang menyatakan sebagai berikut:
Golongan bahan galian yang strategis adalah:
- Minyak bumi, Bitumen cair, lilin bumi, gas alam;
- Bitumen padat, aspal; - Antrasit, Batubara, Batubara muda;
- Uranium, Radium, Thorium dan bahan-bahan galian radioaktip
lainnya;
- Nikel, Kobalt;
- Timah
Golongan bahan galian yang vital adalah:
- Besi, Mangan, Molibden, Khrom, Wolfram, Vanadium, Titan;
- Bauksit, Tembaga, Timbal, Seng;
- Emas, Platina, Perak, Air Raksa, Intan;
- Arsin, Antimon, Bismut;
- Yttrium, Rhutenium, Cerium dan logam-logam langka lainnya;
- Berillium, Korundum, Zirkon, Kristal Kwarsa;
- Kriolit, Fluorpar, Barit;
- Yodium, Brom, Khlor, Belerang;
Golongan bahan galian yang tidak termasuk golongan A atau B
adalah:
- Nitrat-nitrat, pospat-pospat, garam batu (halite);
- Asbes, Talk, Mika, Grafit, Magnesit;
- Yarosit, Leusit, Tawas (Alum), Oker;
- Batu permata, batu setengah permata;
- Pasir Kwarsa, Kaolin, Feldspar, Gips, Bentonit;
- Batu apung, Tras, Obsidian, Perlit, Tanah Diatome, Tanah
Serap (fullers earth);

13
- Marmer, Batu Tulis;
- Batu Kapur, Dolomit, Kalsit;
- Granit, Andesit, Basal, Trakhit, tanah liat, dan pasir sepanjang
tidak mengandung unsur-unsur mineral golongan a maupun
golongan b dalam jumlah yang berarti ditinjau dari segi
ekonomi pertambangan.

Gambar 6. Bahan hasil galian PT Vale Indonesia Tbk.


Sumber : https://kumparan.com/kumparanbisnis/pt-vale-indonesia-
naikkan-target-produksi-nikel-jadi-73-000-ton-1u4oFtmsdDR

Sementara itu, dalam bagian penjelasan, dicantumkan bawa


arti penggolongan bahan-bahan galian adalah:
a. Bahan galian strategis berarti strategis untuk Pertahanan dan
Keamanan serta Perekonomian Negara;
b. Bahan galian vital berarti dapat menjamin hajat hidup orang
banyak;
c. Bahan galian yang tidak termasuk bahan galian strategis dan
vital berarti karena sifatnya tidak langsung memerlukan
pasaran yang bersifat internasional.

14
Dari penggolongan bahan galian di atas, terlihat bahwa bahan
galian industri sebagian besar termasuk ke dalam bahan galian
golongan C, walaupun beberapa jenis termasuk dalam bahan galian
golongan yang lain.
Pertambangan merupakan kegiatan usaha yang kompleks dan
sangat rumit, syarat resiko kegiatan usaha jangka panjang yang
melibatkan teknologi tinggi, padat modal dan aturan regulasi yang
dikeluarkan dari beberapa sektor. Selain itu, kegiatan pertambangan
mempunyai daya ubah lingkungan yang besar sehingga memerlukan
perencanaan total yang matang sejak tahap awal sampai pasca
tambang. Pada saat membuka tambang sudah harus dipahami
bagaimana menutup tambang tersebut. Rehabilitasi atau reklamasi
tambang bersifat progresif sesuai rencana tata guna lahan pasca
tambang. Kegiatan pertambangan selain menimbulkan dampak
lingkungan juga menimbulkan dampak sosial kompleks terhadap
masyarakat.
Tahapan kegiatan perencanaan tambang meliputi penaksiran
sumberdaya dan cadangan perancangan batas penambangan
(final/ultimate pin limit), pentahapan tambang, perancangan tempat
penimbunan (waste dump design), perhitungan kebutuhan alat dan
tenaga kerja, perhitungan biaya modal dan biaya operasi, evaluasi
finansial, analisis dampak lingkungan, tanggung jawab sosial
perusahaan (corporate social responsibility), termasuk
pengembangan masyarakat (community development), serta
penutupan tambang. Perencanaan tambang sejak awal sudah
melakukan upaya yang sistematis untuk mengantisipasi perlindungan
lingkungan dan pengembangan pegawai serta masyarakat di sekitar

15
tambang (Arif, 2007). Kegiatan pertambangan pada umumnya
memiliki tahap-tahap kegiatan sebagai berikut:
1. Eksplorasi
2. Ekstraksi dan pembuangan limbah batuan
3. Pengolahan biji dan operasional pabrik pengolahan
4. Penampungan tailing pengolahan dan pembuangannya
5. Pembangunan infrastruktur jalan akses dan sumber energi
6. Pembangunan kamp kerja dan kawasan pemukiman

Pengaruh pertambangan pada aspek lingkungan terutama


berasal dari tahapan ekstraksi dan pembuangan limbah batuan dan
pengolahan biji serta operasional pabrik pengolahan.
Kegiatan pertambangan dapat berdampak pada perubahan
atau rusaknya ekosistem. Ekosistem yang rusak diartikan sebagai
suatu ekosistem yang tidak dapat lagi menjalankan fungsinya secara
optimal seperti perlindungan tanah, tata air, pengatur cuaca, dan
fungsi-fungsi lainnya dalam mengatur perlindungan alam lingkungan.
Menurut Rahmawati (2002) intensitas gangguan ekosistem jika
dikategorikan menjadi 3 yaitu:
1. Ringan, apabila struktur dasar suatu ekosistem tidak terganggu
sebagai contoh jika sebatang pohon besar mati atau kemudian
roboh yang menyebabkan pohon lain rusak atau penebangan
kayu yang dilakukan secara selektif dan hati-hati
2. Menengah, apabila struktur hutan yang rusak berat/ namun
produktivitas tanahnya tidak menurun misalnya penebangan
hutan primer untuk ditanami jenis tanaman lain seperti kopi coklat
palawija dan lain sebagainya
3. Berat, apabila struktur hutan rusak berat/ hancur dan produktivitas
tanahnya menurun contohnya terjadi aliran lava dari gunung

16
berapi, penggunaan peralatan berat untuk membersihkan hutan
termasuk dalam hal ini akibat kegiatan pertambangan.

Menurut Kusnoto dan Kusumodirdjo (1995), dampak


lingkungan akibat kegiatan pertambangan antara lain berupa:
1. Penurunan produktivitas tanah
2. Pemadatan tanah
3. Terjadinya erosi dan sedimentasi
4. Terjadinya gerakan tanah dan longsor
5. Terganggunya flora dan fauna
6. Terganggunya keamanan dan kesehatan penduduk
7. Perubahan iklim mikro

Setiap kegiatan penambangan hampir dipastikan akan


menimbulkan dampak terhadap lingkungan baik bersifat positif
maupun bersifat negatif. Dampak positif kegiatan penambangan
antara lain meningkatkan kesempatan kerja, meningkatkan roda
perekonomian sektor dan sub sektor lain di sekitarnya, dan
menambah penghasilan negara maupun daerah dalam bentuk
pajak, retribusi ataupun royalti. Namun demikian kegiatan
pertambangan yang tidak berwawasan atau tidak mempertimbangkan
keseimbangan dan daya dukung lingkungan serta tidak dikelola
dengan baik dapat menimbulkan dampak negatif terhadap
lingkungan. Dampak negatif tersebut antara lain terjadinya gerakan
tanah yang dapat menelan korban baik harta benda maupun nyawa,
hilangnya daerah resapan air di daerah perbukitan, rusaknya benteng
alam, pelumpuran ke dalam sungai yang dampaknya bisa sampai ke
hilir meningkatkan intensitas erosi di daerah perbukitan, jalan-jalan

17
yang dilalui kendaraan pengangkut bahan tambang menjadi rusak
mengganggu kondisi air dan terjadinya kubangan-kubangan besar
yang terisi air terutama bila penggalian di daerah pedataran serta
mempengaruhi kehidupan sosial penduduk di sekitar lokasi
penambangan. Oleh karena itu untuk menghindari dampak negatif
tersebut maka pengelolaan pertambangan yang berwawasan
lingkungan mutlak harus dilakukan (Kusuma, 2008)

Gambar 7. Dampak lingkungan akibat kegiatan pertambangan


Sumber : http://lorenskambuaya.blogspot.com/2014/08/identifikasi-
dampak-lingkungan-akibat.html

United Nation Environment Programe (UNEP) menggolongkan


dampak-dampak yang timbul dari kegiatan pertambangan sebagai
berikut kerusakan habitat dan biodiversity pada lokasi pertambangan,
perlindungan ekosistem/habitat/biodiversity di sekitar lokasi

18
pertambangan, perubahan landscape/gangguan visual/kehilangan
penggunaan lahan, stabilisasi site dan rehabilitasi, tailing tambang
dan pembuangan tailing, kecelakaan/terjadinya longsor fasilitas
tailing, peralatan yang tidak digunakan, tailing padat, tailing rumah
tangga, emisi udara, debu, perubahan iklim, konsumsi Energi,
pelumpuran dan perubahan aliran sungai, sungai buangan air tailing
dan air asam terkontaminasi dan pemaparan bahan kimia di tempat
kerja, masyarakat dan pemukiman tambang, perubahan air tanah dan
kontaminasi, tailing B3 dan pengelolaan bahan kimia keamanan dan
pekerja, kebisingan, radiasi, keselamatan dan kesehatan, toksisitas
logam berat, peninggalan budaya dan situs arkeologi, serta kesehatan
masyarakat disekitar tambang (Balkau dan Parsons, 1999).
Selain itu, untuk menghindari atau menekan sekecil mungkin
dampak negatif terhadap lingkungan akibat kegiatan penambangan
maka hal-hal yang perlu diperhatikan lebih lanjut adalah
1. Lokasi penambangan sedapat mungkin tidak terletak pada
daerah resapan atau pada akuifer sehingga tidak akan
mengganggu kelestarian air tanah dan daerah sekitarnya
2. Lokasi penambangan sebaiknya terletak agak jauh dari
pemukiman penduduk sehingga suara bising ataupun debu
yang timbul akibat kegiatan penambangan tidak akan
mengganggu penduduk
3. Lokasi penambangan tidak berdekatan dengan mata air
penting sehingga tidak akan mengganggu kualitas maupun
kuantitas air dari mata air tersebut juga untuk menghindari
hilangnya mata air.
4. Lokasi penambangan sedapat mungkin tidak terletak pada
daerah aliran sungai bagian hulu (terutama tambang batuan)

19
untuk menghindari terjadinya pertempuran sungai yang
dampaknya bisa sampai ke daerah hilir yang akhirnya dapat
menyebabkan banjir akibat pendangkalan sungai hal ini harus
lebih diperhatikan terutama di kota-kota besar dimana banyak
sungai yang mengalir dan bermuara di wilayah kota besar
tersebut
5. Lokasi penambangan tidak terletak di kawasan lindung (cagar
alam dan taman nasional)
6. Lokasi penambangan hendaknya dekat dengan konsumen
untuk menghindari biaya transportasi yang tinggi sehingga
harga jual material tidak menjadi mahal
7. Lokasi penambangan tidak terletak dekat dengan bangunan
infrastruktur penting misalnya jembatan dan menara listrik
tegangan tinggi. Sedapat mungkin letaknya tidak dekat dengan
gedung sekolah sehingga tidak akan mengganggu proses
belajar mengajar

Gambar 8. Ilustrasi lokasi pertambangan yang strategis


Sumber : https://agincourtresources.com/read-agincourt/inilah-
ketentuan-lokasi-pertambangan-yang-baik/

20
Hasil kajian dari berbagai aspek tersebut kemudian dianalisis
untuk menentukan kelayakan pengembangan suatu deposit barang
tambang. Hasil analisis kelayakan menghasilkan 2 kategori yaitu
layak tambang dan tidak layak tambang. Layak tambang bukan berarti
seenaknya saja ditambang melainkan harus mengikuti kaidah-kaidah
penambangan yang berlaku agar dampak negatif terhadap lingkungan
akibat adanya kegiatan penambangan dapat dihindari atau ditekan
sekecil mungkin. Selain itu konflik/tumpang tindih kepentingan
penggunaan lahan juga dapat dihindari (Kusuma, 2008).

21
BAB III
POTENSI EKONOMI LAHAN PASCA TAMBANG

A. Potensi dan Nasib Lahan Pasca Tambang

Lahan pasca tambang di Indonesia memiliki potensi besar


untuk dimanfaatkan bagi pengembangan ekonomi masyarakat yang
juga sekaligus untuk pelestarian lingkungan. Lahan ini harus
dikembalikan kepada fungsi awalnya sebagai hutan lindung dan area
lahan yang dapat dimanfaatkan untuk kegiatan lainnya termasuk
untuk usaha peternakan sapi potong ini memiliki potensi yang besar.
Namun apabila tidak dilakukan reklamasi dan revegetasi
sebagaimana ketentuan-ketentuan akan menimbulkan dampak yang
buruk.

(a) (b)

Gambar 9. Kegiatan revegetasi lahan bekas tambang


PT Vale Indonesia Tbk.
Sumber : (a) https://makassar.tribunnews.com/2019/08/01/foto-pt-
vale-penghijauan-lahan-bekas-tambang-di-soroako; (b) Dok. pribadi

Sejalan dengan meningkatnya pembangunan prasarana fisik seperti


pembangunan kantor- kantor, perumahan, jalan, jembatan dan
sebagainya, kebutuhan akan bahan galian golongan industri dan

22
konstruksi dari tahun ke tahun meningkat pesat. Permintaan bahan
galian ini akan memacu kegiatan penambangan baik yang dilakukan
perusahaan perusahaan besar maupun perusahaan kecil (tambang
rakyat). Kegiatan penambangan di samping berdampak positif juga
tidak jarang menimbulkan dampak-dampak negatif yakni apabila tidak
dikelola dengan baik dan tidak memperhatikan keseimbangan
lingkungan di sekitarnya.

Kegiatan pertambangan hingga saat ini merupakan kegiatan


yang melibatkan kegiatan ekonomi yang besar dan salah satu sektor
penyumbang devisa negara yang terbesar. Perkembangan teknologi
pertambangan dan mekanisasi peralatan tambang telah
menyebabkan skala pertambangan semakin besar. Hal ini
menyebabkan kegiatan tambang menimbulkan dampak lingkungan
yang besar dan penting. Hingga saat ini kegiatan pertambangan di
Indonesia diarahkan pada konsep berwawasan lingkungan dan
berkelanjutan. Kegiatan pertambangan merupakan kegiatan yang
memang memiliki banyak potensi ekonomi yang dapat dikembangkan.
Salah satu yang paling banyak dikembangkan saat ini yaitu kegiatan
pengalihan fungsi lahan pasca tambang menjadi lahan padang
penggembalaan. Tersedianya lahan padang penggembalaan maka
makin mudah untuk mengembangkan peternakan sapi potong.
Pengembangan kawasan peternakan dan pemberdayaan masyarakat
dengan basis komoditi ternak dalam upaya meningkatkan
perekonomian wilayah sekitar lokasi pertambangan merupakan
potensi besar yang dikembangkan di bidang ekonomi sehingga output
yang dihasilkan yakni terbentuknya kawasan bisnis dan peningkatan
ekonomi masyarakat melalui peternakan dalam sistem terpadu yang

23
didukung dengan teknologi, sarana infrastruktur, fasilitas dan
kelembagaan yang memadai. Output yang diharapkan peningkatan
potensi dan pemanfaatan sumber daya peternakan di kawasan sekitar
tambang dalam kegiatan budidaya ternak; peningkatan efektifitas
kelembagaan masyarakat dalam menunjang bisnis peternakan;
peningkatan pendapatan masyarakat khususnya dan perluasan
kesempatan kerja; peningkatan motivasi masyarakat dalam
pengembangan usaha kecil dan menengah.

Gambar 10. Lahan Pasca Tambang yang diubah menjadi


Padang Penggembalaan Sapi Potong
Sumber : https://halojatim.com/read/lahan-bekas-tambang-disulap-
jadi-miniranch

Lahan pasca tambang di Indonesia memiliki potensi besar


untuk dimanfaatkan bagi pengembangan ekonomi masyarakat yang
juga sekaligus untuk pelestarian lingkungan. Lahan ini harus
dikembalikan kepada fungsi awalnya sebagai hutan lindung atau pada
area lain yang disebut sebagai APL (area penggunaan lain) dapat
dimanfaatkan untuk kegiatan lainnya termasuk untuk usaha
peternakan. Lahan pasca tambang adapun setelah tanaman cover
crops tumbuh dengan baik dan mampu meningkatkan kesuburan

24
lahan, selanjutnya dapat ditanami tanaman keras yang bernilai
ekonomi tinggi seperti akasia, meranti, sengon, trembesi dan johar
atau tanaman agroindustri seperti kelapa sawit, kayu putih dan jarak
pagar. Namun setiap tanaman dalam pertumbuhannya membutuhkan
penambahan bahan organik ke dalam tanah. Pemanfaatan kotoran
ternak hasil budidaya sapi potong sebagai sumber bahan organik
merupakan solusi yang ditawarkan dengan adanya budidaya ternak di
area pasca tambang sehingga akan terjadi simbiosis mutualisme
(saling menguntungkan) antara lahan pasca tambang sebagai sumber
hijauan pakan ternak dan kotoran ternak sebagai sumber bahan
organik (pupuk). Beberapa perusahaan tambang telah menerapkan
cara tersebut untuk usaha peternakan sapi potong dan
kambing/domba dengan cara melakukan reklamasi dan revegetasi
lahan pasca tambang tersebut dengan menanam hijauan pakan
ternak dan membangun padang penggembalaan yang luas.

Gambar 11. Pohon Akasia (Acacia mangium)


Sumber : https://kumparan.com/berita-hari-ini/manfaat-pohon-akasia-
untuk-kesehatan-dan-lingkungan-1uv2a2cqoZk/2

25
Gambar 12. Kelapa Sawit (Elaeis guineensis)
Sumber : https://cangkangsawit.id/bisnis-cangkang-sawit/perbedaan-
cangkang-sawit-dura-dan-tenera/

Namun dalam memperoleh gambaran kegiatan di lahan pasca


tambang diperlukan survei dan indikasi daerah yang akurat sehingga
akan diperoleh suatu gambaran pengembangan kawasan yang
terintegrasi dengan melibatkan semua pemangku kepentingan yang
ada di kawasan lahan pasca tambang baik penduduk di lahan pasca
tambang yaitu kelompok ternak, dinas pertambangan, dinas
peternakan dan perusahaan pelaku penambangan. Konsep
pengembangan padang penggembalaan pada lokasi lahan pasca
tambang merupakan model pengembangan yang cocok dilakukan
dan sangat menguntungkan ekonomi masyarakat setempat. Padang
penggembalaan selain memiliki fungsi sebagai sumber hijauan pakan
ternak bagi ruminansia juga berfungsi sebagai sarana pemeliharaan
dan penanganan ternak, wahana pengembangan ekonomi
masyarakat, sumber pelestarian sumber daya genetik ternak wilayah
dan memiliki nilai ekologis bagi lingkungan sekitarnya, wahana

26
pembelajaran peternak dan keorganisasian kelompok peternak.
Pemanfaatan lahan pasca tambang sebagai lahan sumber hijauan
untuk pakan ternak apabila dikelola dengan baik maka hasilnya
mampu menyediakan pakan yang optimal sepanjang waktu dan
mampu meningkatkan produksi ternak.

Gambar 13. Hijauan padang penggembalaan lahan pasca tambang


Sumber : Dok. Pribadi

B. Potensi Ekonomi dan Sosial

Secara umum kegiatan pertambangan dapat memberikan


keuntungan ekonomis namun juga dapat menimbulkan dampak
kerusakan lingkungan dan ekosistem tanah. Kegiatan pertambangan
dan kegiatan reklamasi harus terencana dengan baik agar dalam
pelaksanaannya tercapai sasaran yang diinginkan atau sesuai tata
ruang yang telah direncanakan. Pada proses akhir penambangan
batasan tanah secara alamiah sudah tidak jelas lagi karena dalam
proses penimbunan kembali tidak dapat dibedakan hubungan genetis
antara bahan induk, overburden dan topsoil. Lahan bekas
penambangan umumnya mengalami dampak penurunan kesuburan
tanah khususnya kandungan bahan organik tanah.

27
Keberlanjutan sosial atau social sustainability adalah proses,
sistem, struktur dan hubungan yang ada pada masyarakat baik formal
maupun informal yang secara aktif mendukung kemampuan dari
generasi sekarang dan mendatang untuk menciptakan sebuah
masyarakat yang sehat dan dapat dihuni dengan baik. Masyarakat
yang memiliki keberlanjutan sosial akan bersifat adil, beragam, saling
terhubung dan demokratis serta menyediakan sebuah kualitas
kehidupan yang baik. Program pengembangan masyarakat
menyediakan sebuah mekanisme penting sebagai sarana kontribusi
perusahaan pertambangan terhadap keberlanjutan sosial ini.
Pengembangan masyarakat terutama berfokus pada peningkatan
kekuatan dan efektivitas masyarakat dalam menentukan dan
mengelola masa depannya sendiri program ini melibatkan inisiatif
perencanaan dan penerapan seringkali dalam bentuk kemitraan
dengan pihak berkepentingan lain untuk menyediakan sebuah hasil
positif berjangka panjang bagi masyarakat yang terkena pengaruh.
Pembangunan berkelanjutan harus digerakkan berdasarkan
kebutuhan dari masyarakat bukan dari perusahaan dan harus
berupaya agar berkontribusi terhadap penguatan kelangsungan hidup
masyarakat dalam jangka panjang. Berbagai wilayah regional dan
terpencil, operasi penambangan merupakan satu-satunya aktivitas
ekonomi yang besar dan memiliki peran serta kontribusi penting
terhadap pengembangan ekonomi regional.
Operasi penambangan memberikan peluang kerja dan
pelatihan yang jelas dalam berbagai profesi, keterampilan dan jasa.
Dalam beberapa kasus, perusahaan pertambangan memperluas
komitmen mereka terhadap pengembangan ekonomi setempat dan
pembangunan kapasitas lokal dengan meminta para kontraktornya

28
untuk juga menargetkan peluang kerja dan pelatihan mereka kepada
masyarakat setempat, dan dengan memberikan prioritas kepada
rantai pasokan lokal. Perusahaan pertambangan juga berupaya
memberikan transfer keterampilan dan peluang kerja yang baik
melalui pengembangan usaha lokal.
Untuk menjamin bahwa lahan yang reklamasi mampu
dimanfaatkan sebagai lahan sumber hijauan pakan untuk budidaya
ternak dan kapasitas tampung yang mampu disediakan maka
diperlukan pengukuran potensi produksi, kualitas hijauan dan
keamanannya. langkah yang dilakukan adalah analisa fisik dan kimia
tanah, kandungan logam, tanah jenis tanaman yang mampu tumbuh,
produksi dan kandungan nutrisinya serta kandungan logam yang ada
di tanaman tersebut. Kemudian setelah tanaman cover crop tumbuh
dengan baik dan mampu meningkatkan kesuburan lahan, selanjutnya
dapat ditanami tanaman keras yang bernilai ekonomi tinggi seperti
akasia, meranti, sengon, johar atau tanaman agroindustri seperti
kelapa sawit, kayu putih, jarak pagar atau hijauan pakan ternak. Untuk
mengoptimalkan pertumbuhan tanaman cover crop tersebut
diperlukan penambahan bahan organik ke dalam tanah titik
pemanfaatan kotoran ternak hasil budidaya sapi potong sebagai
sumber bahan organik merupakan solusi yang ditawarkan dengan
adanya budidaya ternak di area pasca tambang. Harapannya akan
ada simbiosis atau saling menguntungkan di antara lahan pasca
tambang sebagai sumber hijauan pakan ternak dan kotoran ternak
sebagai sumber bahan organik. Adanya saling simbiosis ini
diharapkan meningkatkan keuntungan masyarakat peternak di sekitar
area lahan pasca tambang.

29
Sebagai contoh pada beberapa perusahaan tambang di
Sorowako, kegiatan pasca tambang dari beberapa perusahaan sudah
banyak dimanfaatkan untuk usaha peternakan sapi potong dan
kambing/domba dengan cara melakukan reklamasi dan revegetasi
lahan pasca tersebut dengan penanaman hijauan pakan ternak dan
membangun padang penggembalaan. Untuk memperoleh model atau
gambaran kegiatan di lahan pasca tambang diperlukan SID (Survey,
Identification dan Design) yang kredibel, sehingga akan diperoleh
suatu gambaran pengembangan kawasan yang terintegrasi yang
melibatkan semua peangku kepentingan yang ada di kawasan lahan
pasca tambang, baik penduduk di lahan pasca tambang (kelompok
ternak) yang ada, dinas pertambangan, dinas yang membidangi
peternakan dan perusahaan pelaku penambangan melalui bantuan
dana CSR.
Konsep padang penggembalaan pada lokasi lahan pasca
tambang merupakan model pengembangan yang cocok dilakukan
dan sangat menguntungkan ekonomi masyarakat setempat. Padang
penggembalaan selain memiliki fungsi sebagai sumber HPT bagi
ternak ruminansia, juga berfungsi sebagai sarana pemeliharaan dan
penanganan ternak, wahana pengembangan ekonomi masyarakat,
sumber pelestarian sumberdaya genetik ternak wilayah dan memilki
nilai ekologis bagi lingkungan sekitarnya, wahana pembelajaran
peternakan dan keorganisasian kelompok ternak. Pemanfaatan lahan
pasca tambang sebagai lahan sumber hijauan untuk pakan ternak
apabila dikembangkan serta dikelola dengan sebaik mungkin hasilnya
mampu menyediakan pakan secara optimal sepanjang waktu dan
mampu meningkatkan produksi ternak yang digembalakan, pada

30
akhirnya cita-cita swasembada daging yang berkelanjutan sebagai
salah satu upaya pemenuhan kebutuhan protein asal hewani tercapai.
Industri pertambangan dan jasa pertambangan di Indonesia
merupakan salah satu pilar pembangunan ekonomi nasional dan
beberapa tahun terakhir menjadi sektor industri strategis dengan
peran signifikan. Peran minyak bumi sejak pertengahan 1980-an,
diimbangi dengan peningkatan peran gas bumi (volume ekspor
meningkat signifikan sejak tahun 1977-1978). Perkembangan
pertambangan umum lainnya produksi batubara secara besar-
besaran sebagai upaya penganekaragaman sumber energi nasional.
Pemanfaatan lahan eks tambang batubara di wilayah
operasional PT. Kitadin dilakukan program pemberdayaan
masyarakat di bidang ekonomi kerakyatan yang meliputi
pengembangan kawasan pertanian terpadu peternakan sapi intensif
dan semi intensif, peternakan ayam, dan peternakan itik, yang dibina
oleh PT Kitadin divisi Community Development. Tujuan dari
pemanfaatan lahan eks tambang batu bara adalah untuk menjamin
keberlanjutan perekonomian masyarakat sekitar tambang perusahaan
pasca proses operasional penambangan batu bara (PT. Kitadin,
2012).

Gambar 14.
Tambang batubara
PT. Kitadin

Sumber :
https://ekonomi.bisni
s.com/read/2022022
8/44/1505420/mengi
ntip-kegiatan-
pascatambang-pt-
kitadin-entitas-indo-
tambangraya-itmg

31
Dalam rangka meningkatkan efektifitas pengembangan usaha
peternakan, perlu ditingkatkan upaya sinkronisasi dan koordinasi
antara pelaku pengembangan usaha peternakan yaitu masyarakat
peternak baik di tingkat pusat maupun daerah. Model dasar
pengembangan usaha peternakan dalam rangka peningkatan
kesejahteraan masyarakat dan pengentasan kemiskinan dapat
diorientasikan secara terpadu dengan basis pengembangan kawasan
sebagai cluster usaha peternakan dengan jenis dan spesifikasi ternak
yang spesifik. Pengembangan kawasan agribisnis ternak secara
terpadu yang makin maju akan membawa pada kemandirian (self
sufficiency) wilayah yang secara nyata akan mendorong tumbuhnya
rasa percaya diri (self reliance) untuk menumbuhkan prakarsa dan
sikap mandiri masyarakat.

Orientasi pokok pengembangan usaha peternakan yang


diuraikan berikut ini merupakan upaya yang dapat diarahkan untuk
berkembangnya usaha peternakan, adalah melalui Pengembangan
Kawasan Agribisnis Ternak Terpadu. Kawasan yang dimaksudkan
adalah suatu kawasan yang ditetapkan untuk pengembangan termak
lokal rakyat sesuai agroklimat dan agroekosistem setempat yang
cocok dan dilakukan secara terpadu dan menyeluruh sesuai dengan
konsep sistem dan usaha agribisnis. Selain kesesuaian agroklimat
dan agroekosistem pengembangan kawasan terpadu juga akan
mempermudah pemasaran, pelayanan serta akses ke lembaga
keuangan. Pengembangan kawasan terpadu usaha peternakan yang
dibangun secara partisipatif akan turnbuh dengan lebih cepat jika
prinsip dasarnya dipahami oleh stakeholder dan masyarakat kawasan
tersebut. Prinsip-prinsip dasar merupakan pedoman bagi

32
pengembangan kawasan agribisnis sekaligus juga sebagai indikator
evaluasinya.
Upaya mendorong peternakan agar berusaha hingga pada
taraf di luar budidaya peternakan (off farm) adalah karena pendapatan
terbesar usaha peternakan sebenarnya ada pada taraf di luar
budidaya peternakannya dibandingkan dengan di dalam budidaya
peternakannya (bandingkan pendapatan pabrik rokok vs petani
cengkeh, pabrik ban vs petaní crumb rubber, peternak sapi perah vs
pabrik pengolah susu, peternakan sapi daging vs pabrik sosis,
utaupun peternak ayam vs pengolah produknya). Konkritnya,
pendapatan usaha peternakan terbesar akan diperoleh dari kegiatan
usaha di luar budidaya.
Nilai tambah pada tingkat budidaya petermakan yang lebih
rendah dibandingkan tingkat di luar budidaya peternakan (off farm) ini
tidak hanya berlaku di Indonesia saja tetapi juga di Amerika Serikat.
Pendapatan petani pada taraf usaha tani hanya 30% sementara di
luar usaha taninya mencapai 70%-nya. Dengan memahami berbagai
tantangan tersebut di atas, maka pertama-tama perlu ada semacam
re-orientasi wawasan peternakan. Wawasan petemakan yang semula
hanya dititikberatkan pada budidaya ternak harus diubah dan
diperluas. Cara pandang peternakan yang semata-mata hanya
ditujukan untuk meningkatkan produksi juga harus diperluas.
Pada masa yang akan datang cara pandang peternakan
sebagai budidaya ternak perlu diperluas menjadi industri biologis
peternakan yang mencakup empat aspek, yaitu: (1) peternak sebagai
subyek yang harus ditingkatkan pendapatan dan kesejahterannya, (2)
ternak sebagai obyek yang harus ditingkatkan produksi dan
produktivitasnya, (3) lahan sebagai basis ekologi budidaya yang harus

33
dilestarikan, serta (4) teknologi dan pengetahuan sebagai alat untuk
meningkatkan efisiensi perlu selalu diperbaharui serta disesuaikan
dengan kebutuhan. Dengan wawasan tersebut maka cara pandang
peternakan sebagai kegiatan budidaya (on- farm octivities) pertu
diperlebar. Unsur budidaya dalam upaya untuk meningkatkan
produksi temak perlu dikebelakangkan, sementara pandangan
peternakan yang membatasi pada level budidaya peternakan jugs
diperluas menjadi sistem agribisnis.

Gambar 15. Ilustrasi peternakan sapi potong


di padang penggembalaan
Sumber : Dok. Pribadi

34
Memandang peternakan menjadi sistem agribisnis maka
secara lengkap lingkup kegiatannya mencakup subsistem: (1)
budidaya/production, (2) pengadaan sapronak/input factors, (3)
industri pengolahan/processing, (4) pemasaran/markering, dan (5)
jasa-jasa kelembagaan/supporting instirution. Kelima subsistemn
harus dipandang sebagai satu kesatuan pandangan yang harus
ditangani serta dibina secara simultan dan komprehensif. Dengan
memandang petermakan sebagai sistem agribisnis yang utuh dan
tidak terpisah-pisah, maka persoalan peternakan menjadi lebih luas
lagi dan cara penanganannya pun perlu lebih terintegrasi,
terkoordinasi dan komprehensif. Dalam sistem agribisnis berbasis
peternakan, masalah budidaya (production), praktis tidak menjadi
kendala yang berarti. Pada tahap awal pengembangan peternakan
masalah budidaya praktis sudah dapat diatasi. Kini, yang perlu lebih
diperhatikan adalah pengembangan agribisnis berbasis peternakan di
tingkat luar budidaya peternakan. Hal ini mencakup penanganan
subsistem pemasaran, industri (pemotongan, penyimpanan,
pengepakan, standarisasi, pengolahan) dan pengembangan
subsistem jasa-jasa kelembagaan penunjang.
Terpenuhinya tujuan pembangunan petermakan di atas, maka
subsektor peternakan sudah dapat dikatakan siap untuk industrialiasi.
Dalam pelaksanaannya, industrialisasi peternakan memerlukan piranti
dasar Trilogi Peternakan: Bibit, Pakan, Manajemen (Breeding,
Feeding dan Managemenr) yang seiring. Dalam pengertian yang lebih
tegas, masalah bibit, pakan, dan sistem pengelolaan harus selalu
memenuhi tuntutan pasar (tersedia sesuai dengan kebutuhan, dalam
jumlah, kualitas dan waktu yang diperlukan). Dengan kata lain, perlu
beberapa prasyarat yang harus dipenuhi oleh peternakan menuju

35
industrialisasi. Prasyarat tersebut secara garis besar mengacu pada
Trilogi Peternakan sebagai landasan bagi industrialisasi peternakan
yang meliputi semua kondisi dari hulu sampai hilir.
Lahan pasca tambang seluas 2,9 juta ha merupakan potensi
peningkatan produksi pendapatan masyarakat dan pendapatan asli
daerah (PAD), apabila dikelola dengan baik, konsisten berkelanjutan.
Peningkatan pendapatan tersebut melalui:
1. Pembukaan lapangan kerja baru 812.000 orang
petani/peternak dengan rata-rata luas lahan olahan 2,5
ha/orang
2. Lapangan kerja ikutan dari terbukanya lapangan kerja baru
patani/peternak dengan asumsi setiap petani/peternak
membutuhkan tenaga tambahan harian 2 org, maka tenaga
kerja harian sebagai buruh tani/peternak sebanyak
1.624.000 orang tenaga kerja.
3. Lapangan kerja ikutan tidak langsung berupa pelayanan
kebutuhan petani/peternak 10%, maka dibutuhkan
lapangan kerja baru 8513 org.
4. Lapangan kerja tenaga ahli pendamping 5% dari jumlah
petani/peternak 40.600 orang (alumni D-3, D-4, S1)
Pertanian/Peternakan.
5. Lapangan kerja baru akan terbuka untuk melayani
kebutuhan fasilitas penunjang usaha pertanian/peternak.
Pemanfaatan lahan pasca tambang yang tidak produktif oleh
karena telah kehilangan unsur hara dan perubahan struktur tanah
yang diperlukan oleh tanaman. Pemanfaatan lahan pasca tambang
membutuhkan perlakuan dan penggunaan teknologi untuk
mengembalikan kondisi tanah, sehingga dapat digunakan sebagai

36
kawasan lahan yang produktif untuk berbagai komoditi yang secara
ekonomi dapat menggandakan hasil produksi yang bernilai ekonomi
tinggi.
Konsep pendekatan yang paling tepat pada kondisi lahan
pasca tambang adalah penerapan konsep farming sistem, yaitu:
1. Pengembangan tanaman hortikultura (jagung) dengan
menggunakan pupuk organik yang berkualitas akan menghasilkan
bahan baku utama pakan ternak unggas dan limbahnya (batang
dan tongkol) menjadi bahan pakan ternak sapi potong.
2. Limbah dan kotoran ternak uggas dan sapi potong selanjutnya
digunakan sebaga pupuk tambahan yang dapat mengembalikan
kesuburan tanah pasca tambang.
3. Tanaman buah-buahan dapat dikembangkan terintegrasi dengan
ternak unggas maupun sapi potong, agar limbah dan kotoran
ternak tersebut secara langsung dapat dimanfaatkan sebagai
kombinasi pupuk organik buatan, sehingga akan mengurangi
biaya penggunaan pupuk.

Pemanfaatan Lahan Pasca Tambang dengan Pendekatan


Farming Sistem akan memberikan manfaat ekonomi dan sosial bagi
masyarakat dan pemerintah daerah antara lain:
1. Membuka lapangan kerja baru bagi tenaga kerja ahli maupun
tenaga kerja teknis.
2. Meningkatkan kualitas dan hasil produksi tanaman baik
hortikultura maupun tanaman produksi lainnya, sehingga akan
meningkatkan nilai jual dan daya saing dipasar bahkan dapat
memasuki pasar regional dan internasional.

37
3. Menurunkan biaya produksi, sehingga akan memberikan nilai
tambah ekonomi bagi masyarakat dan dampaknya akan mampu
meningkatkan kemampuan masyarakat dalam membayar pajak
kepada daerah.
4. Meningkatkan pendapatan masyarakat dan pendapatan asli
daerah (PAD) pada lokasi tambang, sehingga daerah akan
mampu meningkatkan pembangunan dan kualitas pelayanan
kepada masyarakat.
5. Mengurangi ketergantungan masyarakat dari bantuan subsidi dan
beban subsidi pemerintah daerah pada lokasi tambang.
6. Meningkatkan kemampuan pemerintah mengembangkan kualitas
sumber daya manusia menuju persaingan global yang intinya
adalah persaingan keunggulan sumber daya manusia.
Peningkatan kualitas sumber daya manusia menjadi sangat
strategis oleh karena hanya Negara yang memiliki kualitas sumber
daya manusia yang unggul akan mampu bertahan ditengah
persaingan global, sedangkan bagi Negara yang tidak memiliki
kualitas sumber daya manusia yang unggul tidak akan mampu
berkembang dan hanya akan mendapat remah-remah dari
persaingan global.
7. Manfaat ikutan dari pendekatan sistem tersebut adalah manfaat
sosial ekonomi tinggi adalah:
a. Merupakan salah satu upaya pelestarian lingkungan
hidup
b. Mencegah/mengurangi kemungkinan terjadinya banjir
c. Mengurangi kemungkinan terjadinya tanah longsor
d. Mengurangi kemungkinan terjadinya erosi
e. Mengurangi kemungkinan terjadinya kebakaran hutan.

38
Dengan demikian program pemanfaatan lahan pasca tambang
dengan pendekatan farmin sistem yang komprehensif dan
berkesinambungan merupakan langkah strategis yang efektif dan
efisien.
Nilai ekonomi pemanfaatan lahan pasca tambang dapat
diketahui melalui asumsi berdasarkan nilai saat ini, sehingga potensi
ekonomi dan social pemanfaatan lahan pasca tambang untuk
pertaninan/peternakan dapat digambarkan sebagai berikut: Luas
lahan pasca tambang seluruh indonesia 2,9 juta ha (Balai Penelitian
Tanah dan Balai Besar Litbangitbang Sumberdaya lahan Pertanian
2010), Lahan yang dapat dimanfaatkan sebagai lahan produktif 70%
dari 2,9 juta ha = 2.03 juta ha. Untuk penanaman komoditi jagung
diasumsikan 45% dari lahan yang dapat dimanfaatkan = 913.500 ha,
asumsi produksi jagung sama dengan produksi saat ini 15,79 Ton/ha,
maka volume jagung = 913.500 ha x 15,79 ton/panen = 14.424.165
Ton, jika harga diasumsikan sama dengan harga saat ini 3.300/kg,
maka harga jagung yang dapat diperoleh masyarakat = 47,60
T/panen, jika dalam 1 tahun 3 x panen, maka pendapatan masyarakat
mencapai 142,8 T. pendapatan tersebut baru komoditi jagung yang
memanfaatkan lahan pasca tambang 45%, 609.000 ha, 609.000
(30%) komoditi kedele, 507.500 (25%) lainnya dapat dengan konsep
Farming sistem ternak dengan komoditi buah-buahan (durian,
mangga, rambutan, kelapa dll) yang sekaligus berfungsi sebagai
penghijauan.
Tabel Potensi Produksi dan Pendapatan Masyarakat
Bersumber Lahan Pasca Tambang
Komoditi Luas Lahan Produksi Potensi
Hutan Bebas 30% 870.000 Ha

39
Komoditi Luas Lahan Produksi Potensi
Lahan Produksi 2.030.000 Ha
70%
Komoditi Jagung 913.500 Ha 4.327.250 Ton Rp. 142,6 00T
45%
Komoditi Kedele 609.000 Ha 1.827.000 Ton Rp. 47.501 T
30%
Untuk Peternakan 507.500 Ha 50.750 Ekor Rp. 507.5 M
25%
Sumber : asumsi berdasarkan produksi dan harga saat ini

Berdasarkan asumsi hasil produksi tersebut jika disisihkan


untuk pembangunan dan pengembangan sumber daya manusia
melalui pelayanan kesehatan dan penyediaan layanan pendidikan
sebesar 10%, maka tersedia dana sebesar 19,061 T/tahun angka ini
sama dengan persentase alokasi APBN untuk Kementerian
Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Dikti setiap tahun. Dengan
demikian masalah kesehatan, gizi, beasiswa pendidikan, insentif para
tenaga pendidik dan fasilitas lain yang diperlukan dalam proses
pendidikan relatif dapat teratasi. Dengan demikian generasi yang saat
ini berusia bayi, balita dan remaja akan memasuki usia angkat kerja
23 tahun pada 100 tahun Indonesia merdeka (tahun emas Indonesia
2045).

40
BAB 4
LANGKAH-LANGKAH YANG DAPAT DILAKUKAN
DALAM MEMPERSIAPKAN LAHAN PASCA TAMBANG

Persiapan Lahan Pasca Tambang


Tambang harus menganut konsep penyelesaian tambang
bukan sekedar penutupan, yaitu ketika tahap operasional tambang
sudah berakhir dan tahap pemberhentian sudah selesai sepenuhnya.
Penutupan tambang adalah sebuah proses, dan merujuk pada
dimensi waktu saat tahap operasional tambang sedang atau sudah
berakhir, dan tahap pemberhentian final dan rehabilitasi tambang
sudah mulai dilaksanakan. Dalam beberapa kasus, penutupan
tambang dapat bersifat sementara, atau berubah menjadi program
perawatan dan pemeliharaan.
Penyelesaian tambang adalah sasaran dari penutupan
tambang. Tambang yang telah selesai berarti telah mencapai
keadaan dimana kepemilikan hak penambangan dapat dikembalikan
dan tanggung jawab lahan diterima oleh pengguna lahan berikutnya.
Saat ini, ekspektasi dari peraturan dan holder semakin lebih tinggi
sehingga untuk dapat mencapai posisi ini dikembangkan hasil yang
bagus, dan diterapkan sesuai ekspektasi stakeholder termasuk
masyarakat setempat.
Setelah aktivitas penambangan selesai lahan harus segera
direklamasi. Tujuannya untuk menghindari kemungkinan timbulnya
potensi kerusakan lain. Potensi tersebut seperti timbulnya air asam

41
tambang, penurunan daya dukung tanah bahkan terjadinya kerusakan
lahan lebih luas. Adapun tujuan penutupan tambang (Prasetyo, 2007);
1. Memungkinkan semua kepentingan stakeholder
dipertimbangkan dalam proses penutupan tambang
2. Memastikan proses penutupan berlangsung dengan cara tertib
hemat dan tepat waktu
3. Memastikan biaya penutupan telah dimasukkan secara
memadai dalam rencana keuangan perusahaan dan tidak
meninggalkan tanggung jawab kepada masyarakat
4. Memastikan ada pertanggungjawaban yang jelas dan sumber
daya yang memadai untuk menerapkan rencana penutupan
5. Menetapkan indikator keberhasilan penyelesaian proses
penutupan tambang
6. Mencapai kesepakatan penyelesaian yang telah disepakati
apabila ada persiapan lahan pasca tambang sangat penting
dilakukan.

Persiapan yang dilakukan pada lahan pasca tambang akan


mempengaruhi kegiatan yang akan dilakukan di lahan pasca tambang
berikutnya. Area penambangan yang akan dijadikan sebagai lahan
pasca tambang harus direklamasi. Reklamasi lahan pasca tambang
ini mencakup revisi dan rehabilitas lahan. Umumnya setelah selesai
melakukan penambangan maka kegiatan selanjutnya adalah
melakukan reklamasi dengan beberapa tahapan sebagai berikut:
1. Melakukan penutupan lubang bekas galian tambang atau
recounturing penataan tanah timbunan
2. Penebaran kapur dan pupuk kandang yang sebelumnya telah
dipersiapkan serta penebaran topsoil sekitar 30 - 50 cm.

42
kegiatan ini sangat penting agar kondisi kesuburan lahan
menjadi lebih baik sebagai media tumbuh tanaman hijauan
pakan ternak.
3. Melakukan analisa fisik dan kimia tanah kandungan logam
tanah untuk melihat kondisi kelayakan bagi media tumbuh
tanaman.
4. Memilih dan menetapkan jenis tanaman yang tepat pada lahan
pasca tambang yang akan ditanami.

Reklamasi sebagai Perbaikan Lahan

Reklamasi adalah kegiatan yang bertujuan memperbaiki atau


menata kegunaan lahan yang terganggu sebagai akibat kegiatan
usaha pertambangan agar dapat berfungsi dan berdaya guna sesuai
peruntukannya. Pembangunan berwawasan lingkungan menjadi satu
kebutuhan penting bagi setiap bangsa dan negara yang
menginginkan kelestarian sumber daya alam. Oleh sebab itu, sumber
daya alam perlu dijaga dan dipertahankan untuk kelangsungan hidup
masa kini, maupun untuk generasi yang akan datang (Arif, 2007).
Reklamasi lahan pasca tambang di Negara-negara maju diatur dalam
Undang-Undang. Pemerintah atas negara mengamankan sumber
daya lahan agar tidak rusak pada aktivitas eksploitasi tambang
batubara terbuka. Demikian pula di Indonesia pengelolaan sumber
daya alam dan lingkungan hidup diikuti tindakan berupa pelestarian
sumber daya alam dalam rangka memajukan kesejahteraan umum
seperti tercantum dalam UUD 1945. Undang-undang nomor 4 tahun
1982 tentang ketentuan-ketentuan pokok pengelolaan lingkungan
hidup sebagaimana telah diubah dalam dan diperbarui oleh Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup

43
adalah payung di bidang pengelolaan lingkungan hidup serta sebagai
dasar penyesuaian terhadap perubahan atas peraturan yang telah
ada sebelumnya, serta menjadikannya sebagai satu kesatuan yang
bulat dan utuh di dalam suatu sistem (Resensi, 2012). Dalam
perencanaan lahan bekas tambang, banyak hal yang perlu
diperhatikan. Yakni keselamatan lokasi tambang, khususnya pada
area lahan terbuka, kualitas air, tempat pembuangan limbah, polusi
air, erosi tanah, potensial logam berat yang akan mencemari
lingkungan dan area yang terganggu lainnya. Sehingga dibutuhkan
remediasi perlu dilakukan sehingga lahan pasca tambang yang akan
direklamasi akan sempurna (Iskandar, 2008).

Gambar 16. Ilustrasi lahan pasca tambang sebelum dan


setelah reklamasi
Sumber : https://2.bp.blogspot.com/-
wJGJgTqOoRg/V9bVTcZdb4I/AAAAAAAACfk/mznR0DRA0IIpmq-
eZT2eK1FA42g7HH0zgCLcB/s1600/reklamasi%2Btambang.jpg

44
Prinsip lingkungan hidup yang wajib dipenuhi dalam
melaksanakan reklamasi dan pasca tambang adalah:
1. Perlindungan terhadap kualitas air permukaan, air tanah, air
laut, tanah dan udara.
2. Perlindungan keanekaragaman hayati.
3. Penjaminan stabilitas dan keamanan timbunan batuan
penutup, kolam tailing, lahan bekas tambang dan struktur
buatan lainnya.
4. Pemanfaatan lahan bekas tambang.
5. Memperhatikan nilai-nilai sosial dan budaya setempat.
6. Perlindungan terhadap kuantitas air tanah

Kegiatan reklamasi merupakan akhir dari kegiatan


pertambangan yang diharapkan dapat mengembalikan lahan kepada
keadaan semula, bahkan jika memungkinkan dapat lebih baik dari
kondisi sebelum penambangan. Kegiatan reklamasi meliputi
pemulihan lahan bekas tambang untuk memperbaiki lahan yang
terganggu ekologinya dan mempersiapkan lahan bekas tambang
yang sudah diperbaiki ekologinya untuk pemanfaatan selanjutnya.
Sasaran akhir dari reklamasi adalah untuk memperbaiki lahan bekas
tambang agar kondisinya aman stabil dan tidak mudah tererosi
sehingga dapat dimanfaatkan kembali.
Secara teknis usaha reklamasi lahan tambang terdiri dari
recontouring/regrading/resloping. Lubang bekas tambang dan
pembuatan saluran-saluran drainase untuk memperoleh bentuk
wilayah dengan kemiringan stabil, top soil spreading agar memenuhi
syarat sebagai media pertumbuhan tanaman, untuk memperbaiki
tanah sebagai media tanam revegetasi dengan tanaman cepat

45
tumbuh tanaman hias lokal dan tanaman kehutanan introduksi. Perlu
juga direncanakan pengembangan tanaman pangan tanaman
perkebunan dan atau tanaman hutan industri jika perencanaan
penggunaan lahan memungkinkan untuk itu (Djati, 2011).
Menurut Dariah dkk. (2010), bahwa reklamasi lahan perlu
dilakukan diantaranya untuk meningkatkan daya dukung dan daya
guna bagi produksi biomassa. penentuan jenis pemanfaatan lahan
antara lain perlu didasarkan atas status kepemilikan dan kondisi
biofisik lahan, serta kebutuhan masyarakat ataupun Pemda setempat.
Kedepan, persyaratan pengelolaan lahan tambang tidak cukup hanya
dengan studi kelayakan pembukaan usaha penambangan saja.
Namun perlu dilengkapi juga dengan perencanaan penutupannya
(planning of closure), yang mencakup perlindungan lingkungan dan
penanggulangan masalah sosial ekonomi. Hal ini perlu dijadikan salah
satu persyaratan dalam pemberian izin penambangan. Reklamasi
lahan bekas tambang memerlukan pendekatan dan teknologi yang
berbeda tergantung atas sifat gangguan yang terjadi dan juga
peruntukannya (penggunaan setelah proses reklamasi). Namun
secara umum, garis besar tahapan reklamasi adalah sebagai berikut
(Hasrullah, 2015):
1. Konservasi Topsoil
Topsoil merupakan jenis lapisan tanah yang sangat penting
yang merupakan lapisan tanah paling atas atau pucuk tanah
merupakan lapisan tanah yang perlu dikonservasi, paling dijadikan
tanaman. Hal ini mencerminkan bahwa proses reklamasi harus
sudah mulai berjalan sejak proses penambangan dilakukan, karena
konservasi tanaman pucuk harus dilakukan pada awal penggalian.
Namun banyak perusahaan tambang yang tidak mematuhi hal ini

46
akibat harus mengangkut tanah pucuk dari luar dengan biaya tinggi
dan menimbulkan permasalahan di lokasi tanah pucuk berada.
Beberapa hal yang harus diperhatikan adalah; (a) menghindari
tercampurnya sub soil yang mengandung unsur atau senyawa
beracun seperti pirit, dengan tanah pucuk, dengan cara mengenali
sifat-sifat lapisan tanah sebelum penggalian dilakukan, (b)
menggali tanah pucuk sampai lapisan yang memenuhi persyaratan
untuk tumbuh tanaman, (c) menempatkan galian tanah pucuk pada
areal yang aman dari erosi dan penimbunan bahan galian lainnya,
(d) yang cepat tumbuh pada tumpukan tanah pucuk untuk
mencegah erosi dan menjaga kesuburan tanah.
2. Penataan Lahan
Penataan lahan dilakukan untuk memperbaiki kondisi
bentang alam antara lain dengan cara; (a) Menutup lubang galian;
(b) membuat saluran drainase untuk mengendalikan kelebihan air,
(c) menata lahan agar lebih mudah dan erosi terkendali
diantaranya dilakukan dengan cara meratakan permukaan tanah
jika tanah sangat bergelombang penataan lahan dilakukan
bersamaan dengan penerapan suatu teknik konservasi misalnya
dengan pembuatan teras, (d) menempatkan tanah pucuk agar
dapat digunakan secara lebih efisien. Karena umumnya jumlah
tanah pucuk terbatas, maka tanah pucuk diletakkan pada areal
atau jalur tanaman. Tanah pucuk dapat pula diletakkan pada
lubang tanam.
3. Pengelolaan Sedimen dan Pengendalian Erosi
Pengelolaan sedimen dilakukan dengan membuat bangunan
penangkapan sedimen, seperti rorak, di dekat outlet
dibuat bangunan penangkap yang relatif besar. Cara vegetatif juga

47
merupakan metode pencegahan erosi yang dapat diterapkan pada
areal bekas tambang. Tala’ohu et al. (1995) menggunakan strip
vetiver untuk pencegahan erosi pada areal bekas pasca tambang.
Vetiver merupakan pilihan yang terbukti tepat, karena selain efektif
menahan erosi, Tanaman ini juga relatif mudah tumbuh pada
kondisi lahan buruk sehingga bertindak sebagai tanaman pioner.
4. Penanaman Cover Crop
Penanaman cover crop (tanaman penutup) merupakan usaha
untuk memulihkan kualitas tanah dan pengendalian erosi. Oleh
karena itu keberhasilan tanaman penutup tanah sangat
menentukan keberhasilan reklamasi lahan pasca penambangan.
Pada areal bekas tambang nikel PT Inco (Ambodo, 2008)
menggunakan dua jenis rumput (Echinoclea sp) dan (Cynodon
dactilon) serta 2 jenis legum (Macroptilium bracteanum, dan
Chamaecrita sp) sebagai cover crop. Selain itu juga dicampur kan
tanaman legum lokal seperti Clotalaria SP, Theprosia SP,
Calliandra SP, dan Sesbania rostata. Dengan campuran jenis
tersebut dalam waktu 2 bulan setelah penanaman didapatkan
penutupan lebih baik 80%. kemampuan tanaman penutup untuk
mendukung pemulihan kualitas tanah sangat tergantung pada
tingkat kerusakan tanah. Santoso dkk. (2008) menyatakan bahwa
sebaiknya cover crop ditanam pada tahun pertama dan kedua
proses reklamasi.
5. Penanaman Tanaman Pionir
Untuk mengurangi kerentanan terhadap serangan hama dan
penyakit, serta untuk lebih banyak menarik binatang penyebar
benih, khususnya burung, lebih baik jika digunakan lebih dari satu
jenis tanaman pionir/multicultural (Ambodo 2008). Tanaman pioner

48
ditanam dengan sistem pot pada lubang berukuran lebar x panjang
x dalam sekitar 60 x 60 x 60 cm, yang diisi dengan tanah pucuk
dan pupuk organik. Di beberapa lokasi tanaman pioner ditanam
langsung setelah penataan lahan, padahal tingkat keberhasilannya
relatif rendah (Puslittanak, 1995). Pada areal bekas timah,
meskipun sudah ditanam dengan sistem pot tanaman tumbuh baik
hanya pada awal pertumbuhan selanjutnya pertumbuhannya
lambat dan beberapa diantaranya mati, karena media tanam dalam
pot sudah tidak dapat memenuhi kebutuhan tanaman. Santoso, dkk
(2008) menyatakan bahwa penanaman tanaman pioner sebaiknya
dilakukan pada tahun ke 3-5, setelah penanaman tanaman penutup
tanah.
6. Penanggulangan Logam Berat
Pada areal yang mengandung logam berat dengan kadar di
atas ambang batas diperlukan perlakuan tertentu untuk
mengurangi kadar logam berat tersebut. Vegetasi penutup tanah
yang digunakan untuk memantapkan timbunan buangan tambang
dan membangun kandungan bahan organik bermanfaat pula untuk
mengurangi kandungan logam berat dengan menyerapnya ke
dalam jaringan (Notohadiprawiro, 2006). Hasil penelitian
menunjukkan pemberian bahan organik dikombinasikan dengan
pencucian dapat menurunkan kandungan logam merkuri (Hg)
sampai 84%. Pada areal dengan kandungan logam berat tinggi
sebaiknya jangan dulu dilakukan penanaman komoditas yang
dikonsumsi. Perlu dipilih jenis tanaman yang toleran terhadap
logam berat misalnya di Amerika Serikat ditemukan jenis tanaman
pohon hutan diantaranya Betula spp dan Salix spp. yang dapat
bertahan hidup di areal bekas tambang yang mengandung Pb

49
sampai 30.000 mg/kg. Kemampuan ini ternyata dibangkitkan oleh
asosiasi pohon dengan mikoriza (Notohadiprawiero, 2006). Perlu
diidentifikasi tanaman-tanaman lain yang toleran terhadap logam
berat yang dapat tumbuh baik di wilayah tropis seperti Indonesia.
Selain dalam tanah, penanggulangan pencemaran logam berat
dalam air juga harus dilakukan. Tanaman Eceng Gondok dapat
digunakan untuk membersihkan kandungan logam berat dalam air.
Penanganan logam berat dengan mikroorganisme atau mikrobia
(dalam istilah biologi disebut dengan bioakumulasi, bioremediasi
atau bioremoval), menjadi alternatif yang dapat dilakukan untuk
mengurangi keracunan elemen logam berat di lingkungan perairan
(Rahmadani dkk, 2015).

(a) (b)

(c) (d)

Gambar 17. Tahapan reklamasi: (a) Penataan Lahan, (b) Penanaman


cover crop (c) Penanaman Tanaman Pionir, dan (d) Revegetasi
Sumber : https://www.slideshare.net/pwypindonesia/mekanisme-dan-
kriteria-keberhasilan-reklamasi-dan-pascatambang

50
Revegetasi dari setiap lahan pasca tambang berbeda-beda
tergantung dari kondisi lahan yang ada. Lahan pasca tambang PT.
INCO Sorowako yang terletak di desa Sorowako Kabupaten Luwu
Timur Provinsi Sulawesi Selatan. Kondisi awal lahan tersebut adalah
podsolik merah kuning dengan lapisan olah (30 cm dipertahankan).
Lahan ini telah ditanami dengan berbagai tanaman baik pepohonan
dan juga tanaman vegetasi berupa rumput. Revegetasi yang
dilakukan PT. Inco Soroako menggunakan rumput signal (Braciaria
decumbens) yang sengaja diintroduksi dari Australia. Namun, seiring
dengan usaha penanaman rumput signal (Braciaria decumbens),
tumbuhnya rumput alang-alang (Imperata cylindrica) dan 2 tanaman
lain yang termasuk dalam kategori leguminosa yaitu kalopo
(Calopopgonium muconoides) dan sentro (Centrocema pubescens)
juga ikut berkompetisi dalam mempertahankan hidupnya.

Kondisi di lapangan menunjukkan bahwa rumput signal


(Braciaria decumbens) tumbuh subur di daerah lahan pasca tambang
tersebut. Sebelum proses penanaman dilakukan langkah awal yang
dilakukan oleh PT. INCO Soroako yaitu mengembalikan kondisi tanah
yang sebelumnya dieksplorasi ke tempat semula dan setelah itu
dilakukan proses pemadatan lahan dan pemberian pupuk kandang.
Pasca penanaman dilakukan kontrol secara berkala hingga tanaman
tersebut dapat tumbuh. Keberadaan legum sentro (Centrocema
pubescens) pada lahan pasca tambang berpengaruh positif terhadap
pertumbuhan rumput yang tumbuh di lahan tersebut.

51
(a) (b)

Gambar 18. (a) Rumput signal (Braciaria decumbens), (b) Legum


sentro (Centrosema pubescens)
Sumber : https://1.bp.blogspot.com/-
_SSi23px4yo/VSKt07G6ZPI/AAAAAAAABQE/oqABi5DsIEo/s1600/Br
achiaria%2Bdecumben%2B(bede).jpeg

Menurut Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang


pengelolaan lingkungan hidup dijelaskan bahwa pengelolaan
lingkungan hidup adalah upaya terpadu untuk melestarikan fungsi
lingkungan hidup yang meliputi kebijaksanaan penataan,
pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan,
pengawasan, dan pengendalian lingkungan hidup. Pengelolaan
lingkungan hidup yang diselenggarakan dengan asas tanggung jawab
negara, asas keberlanjutan dan asas manfaat bertujuan untuk
mewujudkan pengembangan berkelanjutan yang berwawasan
lingkungan hidup dalam rangka pembangunan manusia Indonesia
seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Seperti diketahui, berdasarkan Keputusan Menteri (Kepmen)
Kehutanan dan Perkebunan Nomor 146 tahun 1999; reklamasi bekas
tambang perlu dilakukan guna memperbaiki atau memulihkan kembali
lahan dan vegetasi dalam kawasan hutan yang rusak sebagai akibat

52
kegiatan usaha pertambangan dan energi agar dapat berfungsi
secara optimal sesuai dengan peruntukannya.
Reklamasi menurut UU No 4 tahun 2009 adalah kegiatan yang
dilakukan sepanjang tahapan usaha pertambangan untuk menata,
memulihkan, dan memperbaiki kualitas lingkungan dan ekosistem
agar dapat berfungsi kembali sesuai peruntukannya, dan sesuai pasal
2 (4) PP No. 78/2010 bahwa kewajiban reklamasi dan pascatambang
dilakukan terhadap lahan terganggu pada kegiatan pertambangan
dengan sistem dan metode penambangan terbuka dan penambangan
bawah tanah.
Lahan bekas tambang dikategorikan sebagai ekosistem
dengan intensitas gangguan berat, berukuran besar, dan lama
gangguan jangka panjang sehingga upaya restorasi diperlukan untuk
mencegah kerusakan lingkungan. Restorasi lahan bekas tambang
butuh penanganan fisik, kimia, dan biologi seperti rekonstruksi lahan
dan manajemen topsoil revegetasi lahan kritis, penggunaan mikoriza,
memilih jenis yang tepat dan penerapan kaidah suksesi. Aspek teknis
yang perlu dicermati adalah struktur dan stabilitas timbunan, dimensi
timbunan sesuai peruntukannya penataan kontur serta perataan
timbunan, pengaturan drainase air permukaan pengelolaan material
pembangkit asam (potentially acid forming/PAF), pengendalian erosi
dan sedimentasi, serta rekondisi tanah sebagai media tanam. Variasi
jenis kegiatan menyebabkan proses reklamasi lahan membutuhkan
waktu, teknologi dan biaya tidak sedikit pelaksanaannya harus selaras
dengan kegiatan pertambangan yang dilaksanakan sampai pada
bentuk realis rehabilitasi yang dihendaki.
Reklamasi lahan bekas tambang selain merupakan upaya
untuk memperbaiki kondisi lingkungan pasca tambang agar

53
menghasilkan lingkungan ekosistem yang baik dan diupayakan lebih
baik dibandingkan rona awalnya, dilakukan dengan
mempertimbangkan potensi bahan galian yang masih tertinggal.
Reklamasi juga bertujuan untuk membentuk bentang alam
(landscape) yang stabil terhadap erosi, dan bahan rehabilitasi lahan
yang dilakukan ditujukan untuk mengembalikan lokasi tambang ke
kondisi yang memungkinkan untuk digunakan sebagai lahan produktif.
Tanaman lokal secara ekologis dapat beradaptasi dengan iklim
setempat tetapi tidak untuk kondisi tanah sehingga pemilihan spesies
tanaman yang adaptif dan cepat tumbuh menjadi alternatif pilihan
strategis. Masalah yang dijumpai dalam restorasi lahan bekas
tambang adalah a) masalah fisik tanah yang mencakup tekstur dan
struktur tanah (solum tanah, pemadatan tanah, stabilitas tanah dan
dan bentuk lahan), b) masalah kimia tanah yang berhubungan dengan
reaksi tanah (pH) kekurangan unsur hara (NPK dan magnesium),
mineral toxicity, serta c) kendala biologis seperti hilangnya tutupan
vegetasi dan mikroorganisme potensial yang perlu diatasi dengan
perbaikan kondisi tanah, pemilihan jenis pohon, dan pemanfaatan
mikoryza (Bradshaw, 1983).
Program dilakukan terhadap lahan terganggu pada kegiatan
pertambangan dengan sistem dan metode penambangan terbuka dan
penambangan bawah tanah. Setiap pemegang IUP dan IUPK wajib
menyediakan jaminan reklamasi yang dapat ditempatkan pada bank
pemerintah dalam bentuk rekening bersama atau deposito, bank
garansi, asuransi atau cadangan akuntansi.

54
BAB 5
JENIS TANAMAN HIJAUAN PAKAN YANG DAPAT
DIKEMBANGKAN PADA LAHAN PASCA TAMBANG

Pada bab sebelumnya telah diuraikan mengenai langkah-


langkah yang dilakukan dalam mempersiapkan lahan pasca tambang
sebelum dilakukan penanaman, untuk ditanami hijauan pakan. Pada
sektor 5 ini khusus membahas jenis tanaman hijauan yang dapat
dikembangkan pada lahan pasca tambang. Dalam memilih jenis
tanaman yang akan ditanam pada lahan pasca tambang, tergantung
dari kemampuan adaptasi sifat tumbuh, nutrisi dan metode
budidayanya (Hasan, 2012).

1. Jenis rumput
Braciaria brizanta
Rumput Braciaria brizanta merupakan jenis rumput unggul
yang mempunyai produktivitas dan nilai gizi yang cukup tinggi serta
disukai ternak
ruminansia.
Produktivitas
rumput Braciaria
brizanta
dipengaruhi oleh
tata laksana
pemeliharaan
antara lain umur Gambar 19. Braciaria brizanta
pada saat

55
pemotongan, unsur hara terutama unsur hara makro seperti unsur
nitrogen, dimana unsur nitrogen merupakan salah satu unsur yang
sering kurang jumlahnya dalam tanah.
Rumput ini dapat tumbuh pada curah hujan 1500 mm/tahun
dengan toleransi tanah dengan kisaran cukup luas mulai dari
berstruktur ringan, sedang sampai berat dengan pH 6 - 7. Rumput ini
juga tahan terhadap kekeringan selama 6 bulan dan terhadap cuaca
dingin dan penggembalaan. Jarak tanam rumput ini, antara 40 x 40
cm atau 60 x 40 cm, hal ini tergantung pada kesuburan tanah.
Pemotongan dilakukan setiap 40 hari sekali di musim penghujan dan
60 hari sekali di musim kemarau. Jarak tanam, pemotongan dan
pemupukan sangat mempengaruhi produksi bahan kering. Untuk
produksi bahan kering, Sema (2015) melaporkan bahwa produksi
bahan kering rumput Braciaria brizanta meningkat setelah dilakukan
pemberian pupuk hijau cair Chromolaena odorata yaitu 9,04%
menjadi 12,64% dengan jarak tanam 40 x 40 cm dan pemotongan 60
hari musim kemarau. Rumput ini dipilih karena kualitas adaptasinya
sangat baik utamanya pada daerah kering.

Rumput Gajah Mini (Pennicetum purpureum cv mott)

Gambar 20. Rumput Gajah Mini


(Pennicetum purpureum cv mott)

56
Rumput gajah mini Pennicetum purpureum cv mott adalah
salah satu jenis rumput gajah dari hasil pengembangan teknologi
hijauan pakan. Rumput gajah mini Pannicetum purpureum cv
mott memiliki ukuran tubuh yang kecil/kerdil. Yang merumpun
morfologi batangnya berbuku dengan jarak antara sangat pendek jika
dibandingkan dengan rumput gajah pada umumnya. Selain itu, tekstur
batang rumput ini sedikit lunak sehingga sangat disenangi oleh ternak
utamanya sapi perah.
Perlu diketahui bahwa Rumput Gajah Mini selain sebagai
rumput grazing juga cocok digunakan sebagai rumput potongan.
Namun yang harus diperhatikan dalam pengelolaannya adalah waktu
defoliasi. Seminimal mungkin defoliasi dilakukan tepat pada waktunya
guna menghindari lignifikasi di saat hijauan berumur tua atau hampir
tua demi memperoleh kualitas gizi yang maksimal.

2. Jenis leguminosa

Tanaman leguminosa penutup tanah (cover crop) sebagai


tanaman yang ditanam pada reklamasi lahan pasca tambang untuk
tanah dari ancaman kerusakan oleh erosi. Leguminosa selain sebagai
penutup tanah, juga lebih mampu tumbuh dan memproduksi bahan
organik dalam jumlah besar (Ardiansyah, 2016). Akar tanaman
leguminosa akan dapat memperbaiki sifat-sifat fisik tanah, serta dapat
meningkatkan kesuburan tanah melalui fiksasi nitrogen. Karena
kelebihan leguminosa memiliki kemampuan meningkat N2 bebas dari
udara sebagai hasil simbiosis dengan bakteri rhizobium dan akar
tanaman. Ardiansyah (2016) melaporkan bahwa ada beberapa
mikroba mempunyai kemampuan unik menambat N2 bebas dari
udara dalam bintil pada perakaran tanaman leguminosa untuk

57
memenuhi kebutuhan tanaman akan unsur nitrogen (N). Jumlah yang
dapat ditambat dari udara melalui simbiosis rhizobium dengan
tanaman leguminosa sangat ditentukan oleh jenis bakteri bintil akar,
tanaman inang dan faktor lingkungan rhizosfir yang mempengaruhi
interaksi tersebut. Beberapa leguminosa pakan yang telah terbukti
kemampuannya dalam memperbaiki lahan pasca tambang dapat
disebutkan sebagai berikut:

Arachis
Legum ini termasuk archis parenial yang memiliki kelebihan
dalam hidup kembali walaupun telah mengalami injakan ternak atau
telah dipangkas untuk digunakan dalam usaha peternakan. Beberapa
spesies kacang arachis perennial adalah: Arachis glabrata, Arachis
pintoii, Arachis repens, dan Arachys hybrid. Semua tanaman ini
adalah hasil introduksi dari luar Indonesia sehingga penanaman lokal
hingga sekarang belum ada.

Gambar 21. Kacang ercis (Arachis pintoi)

Legum ini memiliki perakaran yang kuat dan dalam dan


berkembang dengan banyak cabang. Batangnya menjalar keseluruh

58
permukaan tanah, daunnya mirip kacang tanah dan bunganya juga
mirip dengan kacang tanah berbentuk kupu-kupu berwarna kuning.
Perbanyakan tanamannya dapat dilakukan dengan stek dan juga biji
dengan jarak tanam 10 x 10 cm atau 20 x 20 cm (tergantung luas
keperluan).
Legum ini tumbuh baik dengan curah hujan dibawah 750 mm
per tahun. Walaupun legum ini mampu hidup pada tanah yang kurang
subur, namun disisi lain legum ini tidak tahan terhadap kemarau yang
panjang kecuali pada spesies Arachis pintoi yang tahan pada
kemarau panjang.

Sentro
Di lapangan legum sentro merupakan salah satu jenis legum
yang sering dijumpai dan dalam jumlah yang besar ditengah rumput.
Legum sentro terdiri atas tiga yaitu Centrocema pubescens,
Centricom macrocarpum dan Centrocema pluemiri yang dikenal
dengan nama kacang ketopong pada daerah jawa. Tekstur batang
rumput ini adalah lunak dengan warna hijau tua, buku-buku, agak
berbulu panjangnya bisa mencapai 2,5 cm. bunga sentro berbentuk
kupu-kupu warna violet keputih-putihan. Sentro memiliki polong yang
panjang sekitar 10 cm berwarna hijau pada saat muda dan berubah
menjadi cokelat tua. Tiap polong berisi 12 – 20 biji.

Gambar 22. Centrocema pubescens

59
Sentro cocoknya hidup pada tropis basah dengan curah hujan
1500 mm atau lebih dan dapat beradaptasi pada tanah yang tidak
terlalu subur serta masam. Kelebihan lainnya adalah dapat tumbuh
pada daerah basah atau tergenang. Pertanaman secara monokultur
dapat menghasilkan 12 ton bahan kering/ha/tahun. Namun untuk
mengefesienkan lahan, sentro sebaiknya ditanam bersama dengan
rumput seperti rumput gajah atau benggala. Sistem pertanaman
seperti ini disebut sistem pertanaman campuran. Perbanyakan
tanamannya dilakukan melalui biji yang dilakukan serapat mungkin.
Semakin rapat jarak tanamannya maka semakin cepat hijauan ini
menutup tanah yang berarti proses revegetasi lahan dapat
diwujudkan dengan cepat (Irwan, 2011).

Calopogonium muconoides
Calopogonium muconoides yang lebih sering disebut dengan
kalopogonium merupakan salah satu jenis hijauan yang memiliki
fungsi ganda (multiple effect) yakni sebagai pakan ternak sebagai
tanaman vegetasi tanah. tekstur batangnya lunak, berwarna hijau,
agak berbulu dengan warna keemasan, dan menjalar.

Gambar 23. Calopogonium muconoides

60
Daunnya sebanyak tiga helai pada tangkainya, berbentuk oval
meruncing pada ujungnya, dengan lebar daun mencapai 2 - 5 cm dan
berbulu di kedua permukannya. Bunga berbentuk kupu-kupu dengan
warna kebiru-biruan. Memiliki polong panjang dan melengkung sekitar
4 cm yang juga berwarna hijauan diwaktu muda dan berubah menjadi
warna cokelat diwaktu tua. Tiap polong berisi 3 - 8 biji.
Hijauan pakan ini tumbuh secara cepat dengan produksi daun
yang tinggi dan membentuk hamparan yang tebal yakni 0,5 – 1 meter
dalam waktu empat bulan. Umurnya dapat mencapai dua tahun satu
kali tanam. Hijauan cocok tumbuh pada daerah tropis basah dengan
curah hujan 1250 mm atau lebih atau lebih dengan ketinggian
mencapai 2000 meter diatas permukaan laut (paling cocok 300 –
1500 diatas permukaan laut), serta dapat beradaptasi pada tanah
masam pada pH 4,5 -5, namun sedikit tidak tahan naungan.

Macroptilium atropurpureum
Macroptilium atropurpureum merupakan satu dari tiga hijauan
pakan selain sentro dan kalopo yang sering ditemukan dilapangan
karena memiliki adaptasi yang tinggi terhadap lingkungan. Tekstur
batangnya agak berbulu dan menghasilkan akar sekunder. Daunnya
berwarna hijau tua dengan permukaan yang sedikit berbulu serta
dibagian bawah bulunya agak lebat dan helai daunnya berbentuk
oval. Perakarannya yang dalam menjadikan ini baik digunakan
sebagai tanaman vegetasi.
Panjang tangkai bungan mencapai 10 – 30 cm. Warna ungu
tua kehitam – hitaman. Memiliki polong panjang 8 cm berwarna
cokelat kehitaman yang berisi biji sebanyak 13 – 13 biji. Hijauan ini
termasuk tanaman tahunan dan memiliki daya tumbuh lebih lambat

61
dibandingkan dengan legum menjalar lainnya. Perkembangbiakan
dilakukan dengan biji.

Gambar 24. Macroptilium atropurpureum

Persyaratan tumbuh hijauan ini adalah cocok untuk daerah sub


tropis sehingga tropis dengan curah hujan 700 hingga 1800
mm/tahun, tumbuh baik dengan jenis tanah berpasir sampai tahan
terhadap penggembalaan berat. Kekurangannya adalah tidak tahan
terhadap kondisi naungan dan tidak baik tumbuh pada ketinggian
diatas 1600 meter diatas permukaan laut. Palatabilitas hijauan ini
sangat baik dalam kondisi apapun dengan hasil maksimal sebanyak 5
- 7 ton/ha dengan protein kasar 14,5 – 16,44%.

Kaliandra
Kaliandra calothyrsus adalah legume pohon yang banyak
digunakan masyarakat sebagai pagar hidup. Pada umumnya tinggi
tanaman kaliandra adalah 4 – 6 meter walaupun pada dasarnya

62
mampu mencapai 10 meter. Perkembangbiakan kaliandra dilakukan
pada umumnya dengan biji, Baik ditanam langsung maupun
dikecambahkan terlebih dahulu. Perlu diketahui bahwa bijinya yang
sudah tua sangat mudah berkecambah. Hijauan ini bisa berbunga
sepanjang tahun, namun biji biasanya dihasilkan pada musim
kemarau. Umur kaliandra dapat mencapai 12 tahun.

Gambar 25. Kaliandra


Sumber : https://linggakab.go.id/2015/05/19/tanaman-kaliandra-
tumbuh-subur-di-pulau-singkep/

Persyaratan tumbuh kaliandra adalah pada ketinggian 400 -


800 meter diatas permukaan laut, wilayah curah hujan dengan
intensitas 700 - 300 mm/ tahun dengan kekeringan tidak lebih dari 7
bulan. Namun di pulau Jawa, pertumbuhan tanaman yang baik
dicapai pada curah hujan 2000 - 4000 mm/tahun. Untuk kondisi tanah
tanaman ini mampu tumbuh pada tanah masam yang tidak begitu
subur.
Dalam pandangan ekologi tanaman ini sangat cocok
digunakan sebagai pengendali erosi pada lahan miring. Sebab
memiliki kemampuan menangkap N dari udara sehingga kesuburan

63
tanah dapat diwujudkan. Namun perlu diketahui bahwa kandungan
tanin kaliandra mencapai 11% sehingga pemanfaatannya harus
dilakukan secara hati-hati. Penanaman yang baik dilakukan pada
jarak 1 x 1 meter atau 1 x 2 meter. Adapun tinggi tanaman setelah 6
bulan mencapai 1 - 2 meter.
Glicirida maculata (Gamal)
Glicirida maculata merupakan legum pohon yang tingkat
adaptasinya cukup tinggi. Batangnya berwarna coklat berlurik putih ih
yang menjadi ciri khas nya. Pada kondisi tertentu cabang batang
keluar dari bagian bawah batang. Panjang tangkai daun mencapai 15
sampai 40 cm dan mengandung tujuh sampai tujuh belas helai daun
yang berukuran 1 x 3 cm sampai hai 3 x 6 cm. Bunganya berwarna
merah muda pucat, dan perlu dipahami bahwa Glicirida maculata
hanya berbunga pada musim kemarau ketika daunnya rontok.

Gambar 26. Glicirida maculata

Perkecambahan biji mulai mulai berlangsung dalam waktu 7 -


10 hari yang awalnya berlangsung lambat, namun bila sudah tumbuh,
maka pertumbuhannya menjadi cepat. Tinggi tanaman dapat
mencapai 12 cm. Lebih tinggi dibanding kaliandra. Glicirida maculata
adalah jenis hijauan yang dapat tumbuh pada kondisi tanah masam,
alkali dan hanya memerlukan kesuburan yang sedang. Hal lain yang

64
perlu diketahui mengenai hijauan ini adalah kekuatan akarnya yang
tidak mampu bertahan pada genangan air dalam waktu yang lama.
Glicirida maculata yang telah berumur 1 tahun, bahan kering
yang dihasilkan sebesar 3 - 4 kg sekali panen. Pada jarak tanam 0,5 x
0,5 m bisa menghasilkan hijauan segar sampai 43 ton/ha tahun
dengan kandungan daun sebesar 3 - 4% dan serat kasar 13 - 30%.
Kualitas tanaman, bagi tanaman, musim genotipnya. Daun Glicirida
maculata berkualitas tinggi untuk ternak kambing dan domba. Ternak
yang diberi Glicirida maculata sebel mengkonsumsinya. Pemanfaatan
dalam program fattening, Glicirida maculata digunakan dengan
mencampurkan rumput ke dalamnya dengan harapan kebutuhan
protein ternak ruminansia dapat terpenuhi oleh hijauan ini yang
mengandung protein tinggi.

Lamtoro
Hijauan ini sering disebut petai cina oleh masyarakat luas.
Leuchaena leucocophala merupakan tanaman yang tegak dan sedikit
bercabang dengan tinggi tanaman mencapai 2 - 10 meter (jenis
lamtoro lain ada yang mencapai 20 cm).

Gambar 27. Leucaena leucocephala

65
Daun lamtoro lebat dan Sepanjang tahun berwarna hijau, adapun
bunganya berwarna putih. Untuk mencapai tinggi pohon Glicirida
maculata hingga 20 meter, perlakuan ini juga akan mempengaruhi
lamanya hidup.
Leuchaena leucocophala tumbuh pada daerah dataran rendah
sampai 1000 meter di atas permukaan laut. Namun, cultivar lain ada
yang bisa mencapai 1500 meter di atas permukaan laut. Curah hujan
ideal untuk Leuchaena leucocophala adalah 650 - 1500 mm/tahun
dengan pH tanah yang cocok kurang lebih 5. Legum ini masih bisa
tumbuh pada salinitas yang tinggi.
Produksi daun Leuchaena leucocophala sangat tinggi dan
daunnya merupakan pakan yang berkualitas tinggi terutama pada
musim kemarau. Fungsi lain dari hijauan ini adalah sebagai tanaman
reboisasi yang juga sangat cocok untuk reklamasi lahan kritis. Untuk
biji, termasuk memiliki daya kecambah yang sangat baik jika
dibandingkan dengan biji hijauan lain seperti kaliandra dan
sentro. Hasil praktikum yang dilakukan mahasiswa fakultas
peternakan dalam uji kecambah biji menunjukkan bahwa persentase
biji lamtoro lebih tinggi dibandingkan dengan jenis hijauan lain yang
menjadi objek pengamatan (Aksan, Yolanda, Sema, Alwi, 2012).

66
BAB 6

PERLUNYA PENGEMBANGAN PETERNAKAN PADA


LAHAN PASCA TAMBANG

Pengembangan lahan pasca tambang adalah suatu upaya


untuk memanfaatkan lahan pasca tambang sehingga dapat
dimanfaatkan kembali dan menambah nilai ekonomis didalamnya.
Salah satu yang dapat dimanfaatkan pada lahan pascatambang
adalah usaha peternakan. Usaha peternakan yang dilakukan tidak
hanya diprioritaskan kepada produk-produk peternakan seperti daging
ataupun susu serta baik produk lainnya namun juga berorientasi pada
aspek masyarakat dengan membuka lapangan kerja yang baru.
Lahan yang tertinggal meskipun karakteristiknya tidak terlalu subur
dapat dimanfaatkan sebagai lahan Padang penggembalaan. Sumber
daya lahan yang dibutuhkan untuk pengembangan peternakan adalah
lahan yang tergolong kelas III dengan tingkat kesuburan relatif rendah
sehingga lahan lahan marginal seperti lahan bekas tambang dapat
dimanfaatkan sebagai lahan padang penggembalaan bagi ternak
(Novra, 2013).
Lahan pasca tambang merupakan saran dalam
mengembangkan industri sapi potong. Lahan pascatambang menjadi
sebuah lahan baru dalam mengembangkan lahan pastura sebagai
lahan hijau and pemenuh kebutuhan nutrisi ternak yang akan
dikembangkan di area lahan pasca tambang. Namun pengembangan
usaha ini harus diawali dengan berbagai jenis usaha rehabilitas lahan.
Perusahaan tambang sebelum melakukan operasi, wajib melakukan
analisa mengenai dampak lingkungan (AMDAL) yang harus disetujui

67
oleh kementerian lingkungan hidup. Setelah dilakukan aktivitas
penambangan, maka perusahaan tambang wajib melakukan
penutupan lubang-lubang bekas galian tambang
atau recountuting atau penataan tanah timbunan. Kemudian setelah
itu dilakukan penebaran kapur dan pupuk serta penyebaran topsoil
sekitar 30 - 50 cm agar kondisi kesuburan lahan menjadi lebih baik
(reklamasi) untuk kemudian dilakukan penanaman (vegetasi). Lahan
pasca tambang yang tidak direklamasi, pada umumnya memiliki pH
tanah yang sangat rendah (berkisar antara 3 - 5) karena banyak
mengandung pirit dan logam berat yang apabila langsung ditanam
rumput dan legum hijauan pakan ternak serta dimakan ternak akan
dapat mengganggu kesehatan dan reproduksi ternak. Oleh karena itu,
reklamasi sangat perlu dilakukan sebelum lahan digunakan agar
kondisi tanah dapat sesuai dengan syarat tumbuhnya tanaman.
Reklamasi dan pembenahan lahan yang baik, dapat mengembalikan
fungsi tanah dan meningkatkan kelayakan dalam membudidayakan
hijauan tanaman pakan untuk pakan ternak.
Lahan yang direklamasi perlu dijamin bahwa mampu
dimanfaatkan sebagai lahan sumber hijauan pakan untuk budidaya
ternak dan beberapa kapasitas tampung yang mampu tersedia
diperlukan pengukuran potensi produksi, kualitas hijauan dan
keamanannya. Langkah yang dilakukan adalah analisa fisik dan kimia
tanah, Kandungan logam tanah, jenis tanaman yang mampu tumbuh,
produksi dan kandungan nutriennya, serta kandungan logam yang
ada di tanaman tersebut. Revegetasi awal biasanya berupa cover
crops (tanaman penutup lahan) dapat berupa; 1) Rumput, seperti
rumput signal (Brachiaria decumbens), dan jenis Paspalum notatum
(rumput bahia) dan Vetiver zizonoides (rumput vetiver), karena kedua

68
jenis rumput ini mempunyai kemampuan redemisi tanah yang
tercemar oleh bahan beracun. 2) Jenis leguminosa, sentro
(Centrocema pubescens), puero (Pueraria javanica), kalopo
(Colopogonium muconoides), oro-orok (Corotalaria juncea), kacang
bibi (Tephrosea vogelti). Jenis-jenis dokumen usaha ini merupakan
sumber bahan organik tanah yang berasal dari daun, ranting dan
cabang, batang, buah dan akar yang mati. Selain itu, perkara
leguminosa dapat membangun mikoriza, yaitu suatu asosiasi antara
akar dan fungi arbuskula yang dapat menyumbangkan P bagi
tanaman. Ditinjau dari kepentingan peternakan, jenis-jenis tanaman
ini menghasilkan bahan kering yang relatif tinggi serta nutrien yang
baik sehingga dapat meningkatkan kapasitas tampung ternak
(Andajani dan Mashudi, 2015).
Setelah tanaman cover crop tumbuh dengan baik dan mampu
meningkatkan kesuburan lahan, selanjutnya lahan dapat
ditanamtanaman keras yang bernilai ekonomi tinggi seperti tanaman
agroindustri berupa kelapa sawit, kayu putih, ataupun hijauan pakan
ternak. Pengoptimalan pertumbuhan tanaman cover crop tersebut
diperlukan penambahan bahan organik ke dalam tanah. Bahan
organik ke dalam tanah tersebut dapat bersumber dari pemanfaatan
budidaya sapi potong. Pemanfaatan kotoran ternak hasil budidaya
sapi potong sebagai sumber bahan organik merupakan Solusi yang
ditawarkan dengan adanya budidaya ternak di area pascatambang.
Dengan demikian diharapkan adanya simbiosis mutualisme antara
lahan pasca tambang sebagai sumber hijauan pakan ternak dan
kotoran ternak sebagai sumber bahan organik. Simbiosis mutualisme
antara hijauan pakan ternak sebagai cover crops dengan usaha
pembudidayaan sapi potong sebagai bentuk reklamasi dan vegetasi

69
lahan pasca tambang tersebut. Dilakukan dengan membangun
padang penggembalaan.
Konsep dari pengembangan padang penggembalaan pada
lokasi lahan pasca tambang merupakan model pengembangan yang
cocok dilakukan dan sangat menguntungkan ekonomi masyarakat
setempat. Padang pengembalaan selain memiliki fungsi sebagai
sumber hijauan pakan ternak bagi ternak ruminansia, sebagai sarana
pemeliharaan dan penanganan ternak, wahana pengembangan
ekonomi masyarakat, sumber pelestarian sumber daya genetic ternak
wilayah dan memiliki nilai ekologis bagi lingkungan sekitarnya,
wahana pembelajaran peternak dan keorganisasian kelompok ternak.
Pemanfaatan lahan pasca tambang sebagai bahan sumber hijauan
untuk pakan ternak apabila dikembangkan serta dikelola dengan
sebaik mungkin, hasilnya mampu menyediakan pakan secara optimal
sepanjang waktu dan mampu meningkatkan produksi ternak, pada
akhirnya cita-cita Swasembada daging yang berkelanjutan sebagai
salah satu upaya pemenuhan kebutuhan protein hewani asal hewani
dapat tercapai. Pengembangan kawasan peternakan pada areal
bekas tambang dilakukan terintegrasi dengan kegiatan reklamasi
lahan dan program pasca tambang yang mencakup tahapan kegiatan,
yaitu perencanaan reklamasi, survei identifikasi sumber daya flora
dan fauna lokal, pengendalian erosi dan sedimentasi, revegetasi dan
pemeliharaan.
Tanaman sumber pakan seperti kelompok rumput budidaya
yang memiliki fungsi ganda yaitu untuk cover crop dan remediasi
tanah tercemar, pada lahan bekas tambang dapat dimanfaatkan untuk
menahan tanggul yang dibuat untuk aliran tailing dari dataran tinggi
dataran rendah supaya tidak terjadi erosi. Tanaman yang cocok untuk

70
ditanam di lahan pasca tambang adalah jenis rumput karena memiliki
perakaran yang kuat dan memiliki tingkat adaptasi yang tinggi.
Tanaman leguminosa juga berpotensi besar untuk dikembangkan
karena memiliki multi fungsi yaitu disamping sumber pakan ternak
juga dalam proses proklamasi berperan sebagai tanaman perintis dan
cover crop pengendalian erosi dan sedimentasi baik pada lahan datar
maupun berlereng (miring). Beberapa jenis leguminosa pakan yang
memiliki karakteristik dianggap mampu untuk tumbuh baik pada
kondisi lahan yang miskin unsur hara dan pH tanah rendah sumber
pakan ternak lain adalah tanaman pohon yang juga potensial
dibudidaya pada lahan bekas tambang, dengan jenis dan karakteristik
yang cepat tumbuh baik di daerah yang kering, tahan terhadap
pemangkasan, memiliki nilai nutrisi yang tinggi sebagai pakan ternak
Laucaena leucocophala dan Gliricidia maculate jenis tanaman pakan
ternak potensial seperti uraian mengidentifikasi bahwa sektor
peternakan dan program reklamasi lahan bekas tambang dapat saling
menunjang. Budidaya tanaman sumber pakan ternak tidak hanya
untuk mendorong reklamasi lahan bekas tambang lebih efektif tetapi
juga sebagai persiapan untuk pengembangan kawasan peternakan.
Apabila hijauan pakan dapat tumbuh subur di areal pasca tambang
maka akan sangat menguntungkan untuk dikembangkan sebagai
lahan penggembalaan dan lahan pastura. Kawasan pengembangan
ternak sapi pada model rekomendasi membagi areal bekas lahan
tambang menjadi tiga kelompok (Novra, 2013) antara lain:
1. Areal budidaya hijauan pakan ternak yaitu bagian areal bekas
tambang yang diperuntukkan bagi budidaya hijauan pakan ternak
sapi kebun rumput ataupun legum sebagai pakan hijauan pakan
ternak. Pada bagian areal ini ternak sapi tidak boleh dikembalikan

71
atau dicegah untuk memasuki areal sehingga pemenuhan hijauan
pakan ternak untuk ternak sapi dilakukan melalui sistem cut and
carry

Gambar 28. Area hijauan pakan ternak pada lahan pasca tambang
Sumber : Dok. Pribadi

2. Areal penggembalaan yaitu bagian areal bekas tambang yang


diperuntukkan guna penggembalaan ternak sapi dengan sumber
hijauan utama adalah rumput lapangan sebagai pakan utama.
Meskipun bukan rumput gajah namun rumput lapangan ini sangat
umum dijadikan sebagai pakan ternak pengganti rumput unggul
lainnya.

72
Gambar 29. Ilustrasi areal penggembalaan pada lahan pasca
tambang
Sumber : https://kalsel.prokal.co/read/news/44121-bekas-lahan-
tambang-jadi-penggembalaan

3. Areal pekandangan yaitu bagian areal bekas tambang yang


diperuntukkan untuk infrastruktur pandang dan bangunan lainnya
termasuk udang, perkantoran, rumah jaga, jasa layanan kesehatan
ternak seperti BB ternak dan alat yang seminar buatan serta
infrastruktur pengolahan limbah terpadu. Namun usaha peternakan
terpadu seperti ini masih sulit dikembangkan di lahan pasca
tambang karena masih banyaknya kendala.

73
Gambar 30. Ilustrasi Perkandangan pada lahan pasca tambang
Sumber : https://www.republika.co.id/berita/qi2joy374/dosen-ipb-area-
bekas-tambang-dapat-dijadikan-peternakan

74
BAB 7
USAHA PEMELIHARAAN SAPI POTONG DI LAHAN
PASCA TAMBANG

Program swasembada daging memberi kesempatan bagi


Indonesia untuk meningkatkan ketersediaan daging dalam negeri
melalui peningkatan populasi ternak ruminansia khususnya sapi
potong dengan meningkatkan produksi dan kualitas ternak. Dalam
upaya menyukseskan program swasembada daging nasional tahun
2014 pengembangan ternak ruminansia khususnya sapi potong
merupakan bagian terpenting dalam pencapaian tersebut. Hal penting
yang harus dipikirkan sebelum mengembangkan usaha tersebut
adalah manajemen pemeliharaan ternak, sarana dan prasarana, serta
penyediaan hijauan pakan.

Manajemen ternak, sarana dan prasarana saat ini bukan lagi


menjadi kendala besar karena telah banyak penelitian-penelitian dan
pengembangan teknologi untuk mendukung hal tersebut. Namun
yang sering terkendala adalah penyediaan hijauan pakan karena
banyaknya lahan-lahan penanaman rumput yang dialihfungsikan
menjadi lahan perumahan dan pengembangan wilayah, sehingga
perlu dilakukan upaya pengembangan lahan-lahan tidur sebagai
lahan untuk penanaman hijauan pakan (Purwanti dan Syamsu, 2006).
Salah satu lahan yang berpotensi untuk mengembangkan hijauan
pakan adalah lahan lahan pasca tambang yang telah direklamasi dan
vegetasi seperti yang telah dilakukan oleh PT. VALE, Tbk di
Sorowako, Luwu Timur, Sulawesi Selatan.

75
Reklamasi lahan pasca tambang pada tahun 1980 secara
berkelanjutan di PT. VALE, Tbk terus berusaha meningkatkan kinerja
reklamasi dengan prinsip sustainable development. Pada saat
dimulainya kegiatan reklamasi lahan pasca tambang PT. VALE, Tbk
berfokus pada usaha pengendalian erosi, semenjak itu berbagai
usaha peningkatan reklamasi lahan pasca tambang terus dilakukan.
Anonim (2006) menyebutkan, pada prinsipnya kawasan atau sumber
daya alam yang dipengaruhi oleh kegiatan pertambangan harus
dikembalikan ke kondisi yang aman dan produktif melalui reklamasi
dan rehabilitasi.

Gambar 31. Hasil reklamasi lahan pasca tambang


PT Vale Indonesia Tbk.
Sumber : https://kumparan.com/kumparanbisnis/pt-vale-indonesia-
sudah-reklamasi-3-338-62-ha-lahan-eks-tambang-di-blok-sorowako-
1yaoUaxGbuD

Kondisi akhir reklamasi diarahkan untuk mencapai kondisi seperti


sebelum ditambang atau kondisi lain yang telah disepakati. Kegiatan
ini dilakukan secara terus-menerus atau berlanjut sepanjang umur

76
pertambangan sampai pasca tambang. Bentuk lahan produktif yang
akan dicapai menyesuaikan dengan tata guna lahan pasca tambang.
Penentuan tata guna lahan pasca tambang sangat bergantung pada
berbagai faktor antara lain potensi ekologis lokasi tambang dan
keinginan masyarakat seperti pemerintah. Lahan pasca tambang
yang telah direklamasi harus dipertahankan agar tetap terintegrasi
dengan ekosistem bentang alam sekitarnya (Rachmanadi, 2010).
Salah satu cara yang paling efektif mengembalikan kesuburan
lahan pasca tambang adalah dengan membangun peternakan
terbuka di atas bekas lahan tambang tersebut. Dengan
mengembangkan ternak ruminansia berupa sapi, kambing dan kerbau
pada bekas tambang akan lebih cepat subur karena ada pupuk alami
dari kotoran ternak. Ternak akan memakan rumput, kotorannya
menyuburkan tanah dan tanah akan pulih dalam waktu yang
singkat. Sapi di ladang penggembalaan dilepas begitu saja pada areal
bekas tambang yang telah tertutup perumputan hijau.
Sementara lubang-lubang bekas tambang yang terisi air dan dan
belum sempat ditutup menjadi sumber air minum ternak-ternak
tersebut.
Hal itu telah terbukti dilakukan oleh kelompok tani Karya Makmur di
Desa Margahayu, Desa Jonggon Jaya. Kelompok tani Karya Makmur
ini memanfaatkan lahan 9 hektar milik sebuah perusahaan tambang
yang telah direklamasi dengan mengembangkan ternak. Jumlahnya
terus meningkat dari 15 ekor pada 2007 menjadi 135 ekor pada 2010
(Ibrahim, 2011). Namun peneliti lebih merekomendasikan untuk
memberi pakan pada ternak ruminansia terutama sapi potong dengan
cara feedlot (Cut and carry) dengan pertimbangan untuk
mempertahankan kontinuitas rumput yang tumbuh di lahan pasca

77
tambang. Apabila ternak digembalakan di lahan pasca tambang maka
ternak tersebut akan menginjak-injak rumput sehingga rumput dapat
mati (Hasan, dkk, 2011).

Gambar 32. Peternakan sapi pada lahan pasca tambang


di Desa Jonggin Jaya
Sumber : https://kaltim.antaranews.com/berita/109134/kelompok-tani-
kukar-manfaatkan-lahan-bekas-tambang-untuk-budidaya-sapi

Penelitian ini dilaksanakan di lahan pasca tambang PT. VALE,


Tbk yang telah direvegetasi seluas 2.844 ha di Sorowako, Kabupaten
Luwu Timur, Provinsi Sulawesi Selatan. Lahan ini setelah direvegetasi
tidak ada langkah pemanfaatan sehingga sangat berpotensi untuk
dilakukan pengembangan ternak ruminansia khususnya sapi potong.
PT. VALE, Tbk telah memberikan persetujuan dan izin untuk
memanfaatkan lahan ini sebagai tempat penelitian karena secara
otomatis turut membantu PT. VALE, Tbk untuk menanggulangi
rumput-rumput yang dianggap sebagai tanaman pengganggu. Untuk
pengambilan dan penimbangan sampel-sampel yang akan diuji tidak
disediakan oleh PT. VALE, Tbk sehingga timbangan analitik dan
kuadran rumput harus disewa dari luar. Pada tahap evaluasi

78
pengujian rumput yang diberikan pada ternak yang dikandangkan
secara feedlot dan pemberian rumput secara cut and carry. Kandang
yang akan digunakan tidak disediakan oleh PT. VALE, Tbk sehingga
harus menyewa kandang ternak masyarakat yang bertempat tinggal
di sekitar kawasan PT. VALE, Tbk Sorowako. Begitu pula dengan
obat-obatan (vaksin, obat cacing, dll) yang diberikan kepada ternak
selama ternak dipelihara diperoleh dari luar PT. VALE, Tbk.
Konsep pembangunan peternakan sapi pada padang
penggembalaan di lokasi lahan pasca tambang merupakan model
pengembangan yang cocok dilakukan dan sangat menguntungkan
ekonomi masyarakat setempat. Padang penggembalaan selain
memiliki fungsi sebagai sumber hijauan pakan ternak (HPT) bagi
ternak ruminansia, juga berfungsi sebagai sarana penelitian dan
penanganan ternak. Wahana pengembangan ekonomi
masyarakat, sumber pelestarian sumber daya genetik ternak wilayah
dan memiliki nilai ekologis bagi lingkungan sekitarnya, wahana
pembelajaran peternak dan keorganisasian kelompok ternak.
Pemanfaatan lahan pasca tambang sebagai lahan sumber hijauan
untuk pakan ternak apabila dikembangkan serta dikelola sebaik
mungkin, hasilnya mampu menyediakan pakan secara optimal
sepanjang tahun dan mampu meningkatkan produksi ternak, pada
akhirnya cita-cita swasembada daging yang berkelanjutan sebagai
salah satu upaya pemenuhan kebutuhan protein asal hewani dapat
tercapai (Triastuty, 2002).
Salah satu aktivitas yang dapat dilakukan untuk reklamasi
kerusakan vegetasi akibat aktivitas pertambangan adalah budidaya
tanaman pakan ternak. Langkah ini diambil dengan alasan utama
yakni selain memperbaiki vegetasi, tanaman pakan dipilih karena

79
tidak langsung dikonsumsi manusia. Lahan masih mengandung
residu logam berat sehingga dikhawatirkan apabila lahan tersebut
digunakan untuk budidaya tanaman pangan akan berbahaya bagi
kesehatan. Selain itu, tanaman penutup tanah jenis legum dan rumput
dapat mengendalikan erosi dan aliran permukaan tanah. Hasil
pangkasan dapat digunakan sebagai mulsa untuk mengurangi
evaporasi, naiknya garam-garam ke permukaan tanah, dan
memperbaiki sifat fisik dan kimia tanah. Beberapa jenis tanaman
legum yang dapat digunakan antara lain Centrosema pubescens,
Purpuria javanica, dan Calopogonium mucunoides serta untuk rumput
antara lain vetiveria zizanoides, Paspalum sp., Brachiaria decumbens
dan Panicum maximum. Lahan pasca tambang batu bara memiliki
kandungan hara kurang, oleh karena itu perlu dilakukan usaha
pemupukan dengan tujuan menyuburkan lahan tersebut. Salah satu
contoh aplikasi peningkatan nilai guna lahan pasca tambang untuk
produksi tanaman hijauan pakan adalah penanaman tanaman pakan
yang dapat tumbuh cepat menutupi tambang batubara seperti yang
telah dilakukan di desa Jonggon, Kecamatan Loa Kulu, Kabupaten
Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Budidaya tanaman pangan
tersebut diiringi dengan usaha pemeliharaan sapi potong secara
ekstensif yaitu ternak digembalakan di padang rumput. Berdasarkan
hasil uji sampel daging sapi hasil pemeliharaan di lahan pasca
tambang, residu logam berat seperti Cadmium, Timbal, Tembaga, dan
Seng berada di bawah batas maksimum residu yang ditetapkan oleh
Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) sehingga aman
untuk dikonsumsi. Berdasarkan data dari Kementerian Energi dan
Sumber Daya Mineral, luasan lahan bekas tambang batu bara yang
masih terbuka mencapai 36.877 hektar pada pada tahun 2005 lalu di

80
seluruh Indonesia. Apabila pengelolaan lahan bekas tambang untuk
budidaya tanaman pangan dilakukan dengan baik, tentunya ini akan
menjadi potensi bagi usaha peternakan sebagai sektor yang berperan
dalam supply protein hewani untuk mendukung ketahanan pangan
Indonesia.

Gambar 33. Aktivitas pertambangan biji besi yang dilakukan oleh


salah satu perusahaan tambang di Sumatera Barat (Coubut,2012)

Padang penggembalaan (pastura) merupakan sumber


penyediaan hijauan pakan ternak secara langsung yang sangat
ekonomis dan murah. Padang penggembalaan (pastura) adalah
tempat atau lahan yang terdiri dari rumput unggul dan atau legum
(jenis rumput/legum yang tahan terhadap injakan ternak) yang
digunakan untuk menggembalakan ternak. Padang penggembalaan
dapat terdiri atas rumput-rumputan, kacang-kacangan, atau campuran
keduanya dimana fungsi kacang-kacangan dalam padang
penggembalaan adalah memberikan nilai makanan yang lebih baik
terutama berupa protein, fosfor dan kalium. Fungsi padang
penggembalaan adalah untuk menyediakan hijauan pakan bagi ternak
ruminansia yang paling murah, karena hanya membutuhkan tenaga

81
kerja sedikit serta ternak dapat memilih dan merenggut sendiri
makanannya. Rumput dan legume yang ada pada padang
penggembalaan dapat memperbaiki kesuburan tanah. Hal ini
disebabkan, rumput dan legum yang dimakan oleh ternak
dikembalikan ke padang penggembalaan sebagai kotoran yang
menyuburkan dan menstabilkan produktivitasnya dari tanah itu
sendiri.
Padang penggembalaan merupakan sumber penyediaan
hijauan pakan yang murah dan ekonomis. Padang penggembalaan
berisi banyak tanaman hijauan secara langsung dan bisa dimakan
oleh hewan. Padang penggembalaan biasanya terdiri dari rumput
seluruhnya atau leguminosa saja ataupun campuran. Tetapi suatu
padang rumput yang baik adalah padang penggembalaan yang isinya
rumput dan legum.
Padang penggembalaan merupakan tempat pengembalaan
ternak untuk memenuhi kebutuhan pakan dimana pada lokasi ini telah
ditanami rumput unggul atau legum. Tujuan utama dalam pembuatan
padang penggembalaan adalah menyediakan hijauan makanan
ternak yang berkualitas, efisien dan tersedia secara kontinyu
sepanjang tahun, disamping itu sebagai media intensifikasi kawin
alam. Untuk memenuhi tujuan di atas maka perlu memperhatikan tata
laksana penggembalaan di daerah padang penggembalaan tidak
cukup hanya dengan memasukkan ternak ke dalamnya. Akan tetapi
masa penggembalaan dan jumlah ternak yang ada dalam padang
penggembalaan tersebut perlu diatur sedemikian rupa sehingga
padang penggembalaan dapat digunakan dengan baik dan
berkesinambungan.

82
Gambar 34. Ilustrasi padang penggembalaan sapi potong
Sumber : https://sinauternak.com/contoh-hijauan-pakan-ternak-
populer-rumput-legum/

Salah satu caranya dengan menyesuaikan kapasitas tampung


padang penggembalaan tersebut sehingga ternak yang dipelihara
tumbuh dan berkembang dengan baik. Adapun ciri-ciri padang
penggembalaan (pasture) yang baik antara lain:
a. Produksi hijauan yang tinggi
b. Tingginya nutrisi khususnya protein kasar dan serat kasar
yang rendah
c. Tahan terhadap kekeringan
d. Palatabilitas hijauan yang tinggi terhadap ternak
Adapun beberapa syarat padang penggembalaan yang baik
adalah produksi hijauan tinggi dan kualitasnya baik, persistensi biasa
ditanam dengan tanaman yang lain yang mudah dikembangbiakkan.
Padang penggembalaan yang baik memiliki kanopi yang tinggi yaitu
25 - 30 cm setelah dipotong. Biota tanah sangat sensitif terhadap
gangguan oleh adanya aktivitas manusia, sebagai contoh adanya

83
sistem pertanian yang intensif, karena intensifikasi pertanian
menyebabkan berubahnya beberapa proses dalam tanah. Kegiatan
pertanian yang dimakud antara lain adalah penyiangan, pemupukan,
pengapuran, pengairan dan penyemprotan herbisida dan insektisida.
Tujuan dari hal itu sendiri adalah untuk mempersiapkan kualitas
padang penggembalaan yang unggul. Sistem penanaman hijauan
makanan ternak disesuaikan dengan kondisi kemiringan tanah dan
kebiasaan masyarakat setempat. Pada umumnya untuk padang
penggembalaan dengan sistem penggembalaan secara kontinyu
setelah 3 tahun perlu diperbaharui. Untuk pembaharuan ini tanaman
lama dibongkar, tanah diolah kembali dan dilakukan penanaman yang
baru.
Jenis manajemen padang penggembalaan khususnya
penggembalaan ternak sapi potong berpengaruh terhadap kontinuitas
hijauan padang penggembalaan. Hal ini akan berpegaruh pada ternak
yang merumput di dalamnya. Program pengembangan peternakan
sapi di areal lahan pasca tambang yang telah dilakukan proses
revegetasi bertujuan meningkatkan pendapatan peternak sapi potong,
dalam hal ini adalah peningkatan populasi yang didukung dengan
sumber/daya dukung pakan hijauan ternak. Pada umumnya peternak
sapi yang berada di areal sekitar tambang hanya memiliki lahan
hijauan yang sangat sedikit sehingga ternak potong yang dipelihara
memiliki produktivitas yang rendah. Penerapan peternakan sapi
dengan sistem ekstensif atau digembalakan di padang
penggembalaan akan meningkatkan produktivitas ternak potong (sapi
potong), pemanfaatan lahan pasca tambang.

84
Gambar 35. Peternakan sapi pada padang
penggembalaan lahan pasca tambang
Sumber : https://www.beraucoalenergy.co.id/program-persiapan-
paska-tambang-binungan/#!prettyPhoto/0/

Pembudidayaan ternak khususnya ternak sapi potong di


wilayah pertambangan dengan memberikan hijauan pakan yang
berasal dari rumput di lahan revegetasi pasca tambang berpotensi
mencemari daging dan organ tubuh sapi lain yang apabila hasil ternak
tersebut dikonsumsi oleh manusia maka akan menimbulkan
penimbunan logam berat pada tubuh manusia. Oleh karena itu perlu
dilakukan evaluasi tingkat kontaminasi logam berat pada ternak sapi
yang dipelihara di areal pertambangan serta mengkonsumsi hijauan
pakan dari lahan pasca tambang. Berdasarkan hasil penelitian Hasan,
dkk (2014) tidak ditemukan adanya logam yang berpotensi beracun di
daging sapi yang dipelihara di lahan pasca tambang. Walaupun
ditemukan sejumlah logam yang berpotensi beracun di beberapa
organ dari sapi yang dipelihara di lahan pasca tambang namun
seluruhnya belum melebihi ambang batas yang diizinkan.

85
Penimbunan logam sering tersimpan di organ tubuh ternak (hati,
jantung, paru-paru, limpa dan ginjal). Sehingga organ dalam ternak
yang dipelihara pada daerah pasca tambang terutama tambang emas
disarankan untuk tidak dikonsumsi secara berlebihan.
Untuk menjamin bahwa lahan yang direklamasi mampu
dimanfaatkan sebagai lahan sumber hijauan pakan untuk budidaya
ternak sapi potong dan beberapa kapasistas tampung yang mampu
tersedia diperlukan pengukuran potensi produksi, kualitas hijauan dan
keamanannya. Langkah yang dilakukan adalah analisa fisik dan kimia
tanah, kandungan logam tanah, jenis tanaman yang mampu tumbuh,
produksi dan kandungan nutriennya, serta kandungan logam yang
ada di tanaman tersebut. Merintis suatu usaha maka dibutuhkan
perencanaan apakah usaha tersebut dapat dirintis kedepanya dengan
baik atau tidak. Beberapa peluang khususnya usaha pembesaran
sapi potong di Indonesia dapat dilakukan karena di Indonesia
tanahnya cukup subur, mudahnya beradaptasi ternak, dan
tersedianya pakan alami yang menjadi bahan baku utama pada
pengembangan usaha sapi potong di Indonesia. Tidak hanya itu,
tentu sangat diketahui dengan jelas bahwa kebutuhan pangan dari
protein hewani dapat terpenuhi melalui konsumsi produk asal hewani
yakni daging, susu, maupun telur.
Menemukan potensi dalam mengelola sapi potong menjadi
payung utama dalam mengembangkan usaha sapi potong di
Indonesia. Pengelolaan sapi potong akan memberikan keuntungan
bagi pengusahanya sendiri sekaligus pemerintah dalam negeri.
Walaupun pengelolaannya membutuhkan modal yang besar namun
keuntungannya pun berbanding lurus dengan modal yang dibutuhkan.
Pengembangan usaha sapi potong yang biasanya dilakukan secara

86
ekstensifikasi, semi intensif, dan intensifikasi. Pemeliharaan secara
ekstensif merupakan pemeliharaan sapi potong yang dilakukan
dengan cara digembalakan saja pada lahan pastura. Pemeliharaan
dengan sistem digembalakan menjadi sistem pemeliharaan sapi
potong di lahan pasca tambang tidak terlalu efektif. Selain itu
pemeliharaan secara ekstensif di lahan pasca tambang tidak
memberikan banyak keuntungan karena membuat ternak tidak
produktif, energi tubuh ternak banyak terbuang, pakan yang diberikan
tidak teratur, dan hasil by product dari sapi potong banyak yang tidak
termanfaatkan. Sedangkan pemeliharaan semi intensif merupakan
perpaduan antara kedua cara pemeliharaan secara intensif dan
secara ekstensif. Jadi, pada pemeliharaan sapi secara semi intensif
ini harus ada kandang dan tempat pengembalaan dimana sapi
digembalakan pada siang hari dan dikandangkan pada malam hari
(Palabiran, 2012). Untuk pemeliharaan secara intensif merupakan
sistem pemeliharaan dimana sapi potong dikembangkan dengan cara
dikandangkan.

Gambar 36. Pemeliharaan sapi potong dengan sistem pemeliharaan


intensif, Sumber : Dok. Pribadi

87
Blakely dan Bade (1991) menjelaskan bahwa sistem
pemeliharaan intensif merupakan sistem dimana sapi dipelihara
dalam kandang dengan pemberian pakan konsentrat berprotein tinggi
dan juga dapat ditambah dengan memberikan hijauan. Sistem
pemeliharaan semi intensif adalah sapi selain dikandangkan juga
digembalakan di padang rumput, sedangkan sistem ekstensif
pemeliharaannya di padang penggembalaan dengan pemberian
peneduh untuk istirahat sapi. Parakkasi (1999) menambahkan bahwa
sistem intensif biasanya dilakukan pada daerah yang banyak tersedia
limbah pertanian sedangkan sistem ekstensif diterapkan pada daerah
yang memiliki padang penggembalaan yang luas.

Penggunaan lahan menurut Blakely dan Bade (1991) untuk sistem


intensif lebih efisien daripada sitem ekstensif sehingga pemeliharaan
secara intensif cocok dipakai di daerah padat penduduk. Keuntungan
dari sistem pemeliharaan intensif adalah dapat menggunakan bahan
pakan berasal dari hasil ikutan industri pertanian dibanding dengan
pemeliharaan di lapangan. Pemeliharaan intensif pada program
finishing dapat menekan jumlah kematian dan dapat menghasilkan
feses yang lebih banyak dari pada sistem pastura atau ekstensif.
Kekurangan dari sistem ini menurut Parakkasi (1999) yaitu mudah
sekali penyebaran penyakitnya, investasinya juga banyak dan sering
ditemukan permasalahan akan limbah peternakan yang dihasilkan.
Kekurangan yang lain sistem penggemukan secara intensif antara lain
banyak tenaga kerja yang dibutuhkan, peralatan serta modal yang
cukup besar.

Untuk pilihan yang mengarah pada sistem ekstensif maka perlu


ditambahkan areal padang rumput (pengembalaan). Keunggulan

88
ekstensif adalah kebutuhan tenaga kerja, biaya investasi dan
operasional akan lebih rendah tetapi kapasitas tampung kawasan dan
peluang pemanfaatan potensi sumber daya limbah menjadi rendah.
Pada sisi lain, sistem yang mengarah pada intensif akan
meningkatkan kapasitas tampung kawasan dapat ditingkatkan dan
pemanfaatan limbah kadang dapat lebih dioptimalkan. Sistem “cut
and curry” dalam pemenuhan kebutuhan ternak sapi akan mendorong
peningkatan kebutuhan tenaga kerja dan infrastruktur produksi
(kandang dan instalasi pengolahan limbah) yang berimplikasi pada
lebih tingginya biaya investasi dan operasional.

Untuk pengembangan usaha sapi potong di lahan pasca


tambang dapat dilakukan dengan cara pemeliharaan secara intensif.
Dimana sapi potong dikandangkan di sekitar area lahan pasca
tambang kemudian pakan yang diberikan utamanya hijauan berupa
rumput dan legume diperoleh dari lahan pastura hasil penanaman di
lahan pasca tambang yang telah direklamasi. Pada dasarnya lahan
pasca tambang memang memiliki banyak potensi yang dapat
dikembangkan. Secara umum lahan bekas tambang pada area ini
belum dapat digunakan sepenuhnya sebagai lahan pertanian,
dikarenakan kondisi tanah yang masih padat. Untuk itu perlu
dilakukan reklamasi atau perbaikan lahan terutama pada perbaikan
fisik tanah agar tidak terlalu padat dengan penambahan bahan
organik yang dipadu dengan penggernburan tanah. Reklamasi
mencakup revegetasi dan rehabilitasi lahan. Tanah diperbaiki dan
kemudian ditanami kembali. Biasanya pada lahan-lahan pasca
tambang yang memiliki topografi datar dapat dimanfaatkan untuk
peternakan sapi potong. Lahan pasca tambang yang termasuk lahan
kritis juga mengharuskan adanya penanaman rumput yang toleran

89
pada kondisi lahan kritis tersebut. Rumput yang ditanam pada lahan
tersebut dikembangkan kemudian dijadikan sebagai bahan pakan
ternak. Sapi potong kemudian dikandangkan. Keuntungan sapi
potong yang dipelihara secara intensif adalah pola pemeliharaan sapi
potong yang terkontrol, sistem pemberian pakan yang teratur, energi
yang dikeluarkan sapi untuk beraktifitas relatif sedikit, dan peternak
dapat memanfaatkan by product yang dihasilkan oleh ternak setiap
harinya sebagai pupuk. Walaupun fakta di lapangan sebenarnya,
kebanyakan usaha pemeliharaan sapi potong dilakukan dengan cara
pemeliharaan intensif. Seperti yang dilakukan oleh peternak di daerah
lahan pasca tambang PT Kitadi-Embalut.

Pemeliharaan sapi potong dengan pola baik intensif maupun


ekstensif pada lahan pasca tambang juga perlu diperhatikan masalah
lahan bekas tambang itu sendiri serta produksi hijauan dan kapasitas
tampung hijauan yang dapat dimanfaatkan oleh temak dalam skala
tertentu. Kegiatan revegetasi ataupun rehabilitasi pasca tambang
sangat penting dalam mendukung produksi hijauan yang dihasilkan
areal pasca tambang. Ternak sapi yang dilepas pada areal
pengembalaan adalah ternak sapi muda (jantan dan betina calon
induk) lepas sapih, dan ternak sapi (induk) bunting atau menunggu
melahirkan, sedangkan penempatan di kandang adalah ternak sapi
yang memerlukan perhatian khusus yaitu induk yang akan dan baru
melahirkan, menyusui anak serta anak sapi baru dilahirkan sampai
lepas sapih. Ternak sapi jantan muda adalah sumber bakalan untuk
program penggemukan (fattening) yang dipelihara secara intensif
(kandang) baik oleh pelaku peternakan yang sama maupun
digaduhkan pada peternak lain dalam program tanggung jawab sosial
perusahaan (CSR). Sumber HPT pada ternak sapi yang dipelihara

90
secara intensif dapat berasal dari budidaya rumput dan pohonan
maupun dari limbah tanaman budidaya lain baik pangan.

Gambar 37. Pemeliharaan sapi potong dengan sistem pemeliharaan


ekstensif
Sumber : Dok. Pribadi

91
BAB 8
LOGAM BERAT DALAM HIJAUAN DAN CARA
MENGATASI KANDUNGANNYA PADA LAHAN PASCA
TAMBANG

Logam berat adalah istilah umum yang berlaku untuk kelompok


logam dan metaloid dengan berat jenis atom lebih besar dari 4 g/cm3
atau 5 kali lebih besar dibanding berat jenis air (Huton dan Symon,
1986). Logam berat di dalam tubuh manusia, ada yang dibutuhkan
oleh tubuh dalam jumlah yang kecil (selanjutnya disebut logam berat
esensial) dan ada pula mineral yang bersifat toksik bagi tubuh
manusia meskipun dalam jumlah yang sangat kecil. Logam esensial
dibutuhkan untuk membantu proses fisiologis makhluk hidup,
misalnya membantu kerja enzim atau pembentukan organ dari
makhluk. Beberapa yang tergolong logam berat adalah Cd, Hg, Pb,
Cu, Zn, Ni. Logam berat Cd, Hg, dan Pb tergolong logam berat toksik
bagi makhluk hidup (Darmono, 2001). Logam Cu dan Zn merupakan
unsur mikroesensial tanaman pada proses metabolisme asam lemak
dan karbohidrat, tetapi pada konsentrasi tinggi akan bersifat racun
bagi tanaman.
Tanaman pakan seperti rumput dan hijauan lainnya merupakan
sumber perolehan logam yang utama baik hewan maupun ternak.
Sedangkan perolehan dari air, tanah dan udara biasanya sangat kecil.
Unsur-unsur logam dalam tanaman kebanyakan berada dalam sel
jaringan tanaman yang diserap dan tanah lewat dinding sel akar.
Logam juga dapat ditemukan sebagai partikel di luar dan di dalam
permukaan tanaman, namun logam yang berada di luar permukaan

92
tanaman ini dapat dihilangkan dengan cara mencuci dalam larutan
asam konsentrasi rendah, tetapi logam yang berada di dalam sel tidak
dapat dihilangkan dengan pencucian (Danriono 2001).

Tingkat anjuran dan tingkat toleransi maksimum dari masing-


masing mineral ini tercantum dalam Tabel 1.

Tabel 1. Kebutuhan diet dan konsentrasi maksimum yang ditoleransi


beberapa mineral untuk sapi
Kebutuhan Konsetrasi
Maksimum
Sapi Masa yang
Sapi
Mineral Pertumbuhan Sapi Masa Ditoleransi
Masa
dan Kebuntingan (Dihitung
Laktasi
Perkembangan berdasarkan
berat pakan)
Fluorine,
-- -- -- 40
ppm
Kadmium,
-- -- -- 10
ppm
Kalsium, % 0.6 0.25 0.3 1.5
Kobal, ppm 0.10 0.10 0.10 10
Kromium,
-- -- -- 1000
ppm
Iodin 0.50 0.50 0.50 50
Iron, ppm 40-50 50 50 1000
Merkuri, ppm -- -- -- 2
Magnesium,
0.10 0.12 0.20 0.40
%
Mangan,
20 40 40 1000
ppm
Molibdenum,
1-2 1-2 1-2 5
ppm
Nikel, ppm -- -- -- 50
Posfor, % 0.22 0.17 0.21 0.7
Selenium,
0.1 0.1 0.1 5
ppm
Sodium, %
0.6 0.6 0.7 2

93
Kebutuhan Konsetrasi
Maksimum
Sapi Masa yang
Sapi
Mineral Pertumbuhan Sapi Masa Ditoleransi
Masa
dan Kebuntingan (Dihitung
Laktasi
Perkembangan berdasarkan
berat pakan)
4.5
(pertumbuhan)
Sodium 3.0 (sapi
0.06-0.08 0.06-0.08 0.1
chloride, % laktasi)
0.3 (diet tinggi
konsentrat)
0.5 (diet
Sulfur, % 0.15 0.15 0.15 rendah
kosentrat)
Timbal, ppm -- -- -- 100
Tembaga,
10 10 10 100
ppm
Seng, ppm 30 30 30 500
-- mineral tanpa nilai kebutuhan merupakan mineral yang tidak
diperlukan oleh ternak atau persyaratan belum ditetapkan. Sumber:
NRC (2000)

Bentuk kepedulian national research council terhadap


toksisitas logam berat pada sapi, maka national research council
mengeluarkan rekomendasi mengenai maksimum logam berat yang
ditoleransi oleh sapi dari asupan pakan sehari-harinya. Dalam laporan
tersebut kadmium, tembaga, timbal, merkuri, molibdenum, selenium,
kromium dan nikel menimbulkan efek toksik pada konsentrasi
tertentu.
Pakan memegang peranan terpenting atau peranan kritis
dalam sistem keamanan pangan asal hewan. Pakan yang tercemar
oleh unsur-unsur yang berbahaya akan berinteraksi dengan jaringan
atau organ di dalam tubuh ternak. Apabila cemaran senyawa toksik
tersebut kadarnya cukup tinggi maka dengan cepat akan

94
menyebabkan kematian pada ternak. Dalam jumlah kecil, cemaran
tidak menimbulkan efek langsung, tetapi akan terus berada di dalam
tubuh. Sebagian senyawa kimia/toksik di dalam tubuh akan di
metabolisme menjadi senyawa metabolit yang kurang toksik dan
sebagian lebih toksik daripada senyawa asalnya. Apabila pakan yang
dikonsumsi oleh ternak terkontaminasi oleh senyawa kimia atau
senyawa toksik maka residu dari senyawa kimia tersebut akan
terakumulasi dalam jaringan atau organ tubuh dengan konsentrasi
yang bervariasi (Dawibo, 2011).
Toleransi tanaman pada kondisi salin merujuk 3 kriteria yaitu
(1) kemampuan tanaman survive pada tanah, (2) kemampuan
tanaman mengeluarkan hasil pada kondisi tanah tertentu, (3) hasill
relatif tanaman pada kondisi tanah tertentu (Purbajanti, dkk, 2007).
Meskipun biasanya ternak ruminansia memiliki kemampuan
untuk mendegradasi logam berat yang ada dalam tubuh ternak,
namun jika dalam jumlah yang tinggi juga akan mengontaminasi
tubuh ternak dan akan meninggalkan logam-logam dalam tubuh
walaupun disembelih. Ternak yang biasanya terkontaminasi oleh
logam berat apabila dikonsumsi oleh tubuh manusia maka akan
berbahaya bagi tubuh manusia itu sendiri. Ternak seperti domba dan
sapi yang dipelihara bebas di padang rumput adalah indikator
pencemaran lingkungan (Gallo et al., 1996). Dengan respirasi dari
udara tercemar (Tataruch, 1995) dan asupan pakan yang
terkontaminasi (Hronec, 1996), logam berat terakumulasi secara
biologis ke dalam organ dan jaringan hewan (Tahvonen, 1996).
Toksisitas tergantung pada spesies hewan, dan dosis dan panjang
tindakan mereka pada organisme (Mlynareikova, dkk, 1994). Sebuah
kejadian gangguan saluran reproduksi terbesar (55,67%) dan

95
terhubung dengan fungsi organ lain, terutama hati (Kottferova,1996),
ditemukan di peternakan yang berdekatan dengan pabrik metalurgi
(Maraek dkk., 1998).

Gambar 38. Ilustrasi Sapi yang keracunan logam


Sumber : https://www.dictio.id/t/apa-saja-penyebab-keracunan-pada-
ternak/58785

Menurut Miranda et al. (2005), logam-logam berat merupakan


senyawa alami yang terdapat di lingkungan, tetapi aktivitas manusia
seperti kegiatan industri dan pertambangan telah menyebabkan
penyebaran yang lebih luas dari logam berat. Logam-logam berat
tersebut akan terakumulasi di tanah dan tanaman, serta ternak yang
memakan tanaman tersebut. Logam berat dapat masuk ke dalam
tubuh ternak melalui pernapasan dari udara yang tercemar (Tataruch
1995 diacu dalam Korenekova et al., 2002) dan mengkonsumsi pakan
yang tercemar (Hronec, 1996 diacu dalam Korenekova et al. 2002),
sehingga menurut Tahvonen (1996) diacu dalam Korenekova et al.

96
(2002), logam-logam berat akan mengalami bioakumulasi di organ
dan jaringan hewan.
Menurut Wardhayani dkk. (2006), tempat pembuangan akhir
(TPA) sampah sering dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai lokasi
pemeliharaan ternak, karena sampah dapat dimanfaatkan sebagai
sumber pakan ternak. Pemikiran masyarakat timbul untuk memelihara
sapi di lingkungan TPA karena pertimbangan bahwa sampah organik
yang dibuang masih mempunyai nilai gizi yang cukup tinggi sehingga
dapat dimanfaatkan sebagai pakan.

Gambar 39. Ilustrasi sapi potong yamg dipelihara di TPA Jatibarang


Sumber : https://kumparan.com/kumparannews/sapi-makan-sampah-
di-tpa-jatibarang-menteri-lhk-siapkan-padang-rumput-
1551010924414985175/1/gallery/2

Banyak peternak yang tidak menyadari akan terjadinya


kontaminasi logam berat yang ada dalam sampah. Biasanya ternak
yang digembalakan di lingkungan TPA memiliki tubuh yang kurus dan
lemas. Hal ini menjadi polemik besar bagi peternak itu sendiri yang
menggembalakan ternaknya disekitar TPA. Ternak yang dipelihara di

97
lingkungan TPA sampah adalah ternak ruminansia seperti kambing
dan sapi. Sapi yang mengkonsumsi sampah dari TPA mempunyai
resiko tinggi terpapar bahan toksik. Salah satu bahan toksik
berpotensi menjadi faktor resiko adalah logam timbal (Pb).

Wardhayani dkk (2006) melaporkan bahwa timbal (Pb)


merupakan mineral logam berat dan berpotensi menjadi bahan toksik
jika terakumulasi di dalam tubuh, sehingga berpotensi menjadi bahan
toksik pada makhluk hidup. Masuknya unsur timbal (Pb) ke dalam
tubuh hewan dapat melalui saluran pencernaan (gastrointestinal),
saluran pernapasan
(inhalasi), dan
penetrasi melalui kulit
(topikal). Sapi yang
dipelihara di TPA
sampah akan sangat
berbahaya apabila
kemudian
dimanfaatkan sebagai
sumber pangan
manusia karena
bahan pangan asal
hewan tersebut
memiliki kemungkinan
akan mengakumulasi
Gambar 40. Pengamatan tanaman
timbal (Pb), sehingga pada lahan pasca tambang
dapat menyebabkan Sumber: Dok. Pribadi

gangguan kesehatan.

98
Berdasarkan SNI 7383 (2009), batas cemaran logam berat
dalam daging dan hasil olahannya yang aman untuk dikonsumsi oleh
manusia yaitu 1 mg/kg, dan 1,0 mg/kg dalam jeroan ternak. Menurut
Mor et al. (2009), logam-logam berat seperti timbal (Pb), cadmium
(Cd), arsen (As), dan merkuri (Hg) merupakan senyawa polutan yang
terdapat di dalam tubuh manusia, walaupun terdapat logam-logam
berat lain seperti zink (Zn), besi (Fe), kobalt (Co), dan selenium (Se)
yang merupakan elemen normal yang dibutuhan tubuh untuk
berkembang. Efek toksik dari logam-logam berat adalah
menyebabkan efek teratogenik pada embrio. Asupan yang berlebih
dari Merkuri, Timbal, Kadmium, Arsen, Aluminium, Tembaga, Zink,
Besi, Selenium, dan Kromium dapat menyebabkan terjadinya
gangguan sistem imun.
Timbal (Pb) dapat menyebabkan pencemaran pada makanan,
kondisi ini diakibatkan oleh polusi timbal melalui penggunaan cat atau
pestisida. Kadar timbal yang diijinkan pada hewan lebih tinggi dari
kadar di manusia. Menurut EPA, kadar timbal yang diijinkan pada air
minum hewan adalah 100 g/l5. WHO menentukan bahwa kadar
timbal yang diijinkan masuk ke dalam tubuh per minggu adalah 3
mg/orang. Absorpsi dan akumulasi timbal (Pb) dalam tubuh dapat
mencapai kadar toksik. Konsentrasi timbal pada tulang dan juga
jaringan lunak mempunyai efek toksik. Apabila konsentrasi timbal (Pb)
kurang dari 40 g/l di dalam darah maka konsentrasi timbal tersebut
tergolong normal. Apabila konsentrasi timbal mencapai 40 - 80 g/l di
dalam darah, maka akan menyebabkan terjadinya anemia dan gejala
saraf, serta kerusakan ginjal. Sedangkan apabila konsentrasi timbal di
dalam darah mencapai 10 - 25 µg/l di dalam darah maka dapat
menyebabkan kehilangan fetus.

99
Menurut Wardhayani dkk. (2006), logam timbal (Pb) yang
masuk ke dalam tubuh manusia melalui makanan akan terserap
dalam aliran darah, setelah itu timbal akan dikeluarkan dari tubuh
melalui feses dan urine, serta sisanya akan tersimpan di dalam tubuh
terutama pada bagian tulang dan gigi. Timbal (Pb) mempengaruhi
hampir setiap organ dan sistem dalam tubuh termasuk saluran
gastrointestinal, sistem hematopoietik, sistem kardiovaskuler, sistem
saraf pusat dan perifer, ginjal, sistem kekebalan, serta sistem
reproduksi. Dampak timbal terhadap ibu hamil dengan kadar tinggi
adalah dapat menyebabkan kelahiran premature dan bobot bayi lebih
kecil, serta diikuti dengan kesulitan pembelajaran dan lambatnya
pertumbuhan anak.
Logam berat seperti timbal (Pb) dapat masuk ke dalam bahan
pangan asal hewan dan menimbulkan residu, hal ini disebabkan oleh
pencemaran Iingkungan pada masa pemeliharaan hewan dan
kontaminasi pada waktu proses produksi. Kontaminasi pakan dan
pencemaran lingkungan dapat menyebabkan terakumulasinya logam
berat dalam jaringan ternak, terutama dalam jeroan yaitu pada hati
dan ginjal. Keberadaan Pb di dalam jaringan ternak pada umumnya
disebabkan oleh pengaruh pencemaran Pb di dalam rumput dan air
minum yang terkontaminasi limbah timbal akibat dari aktivitas suatu
industri. Sedangkan kontaminasi pada waktu proses produksi dapat
menyebabkan kontaminasi logam berat pada daging dan jaringan
lainnya. Kontaminasi pencemaran pada saat proses produksi dapat
terjadi pada saat proses pemotongan, pengemasan atau pengolahan
daging). Produk olahan dari daging sapi juga dapat mengalami
pencemaran oleh Pb, misalnya adalah bakso sapi. Kandungan Pb
dalam produk bakso sapi dapat disebabkan oleh kontaminasi timbal

100
(Pb) saat praproduksi atau produksi melalui pakan dan air minum
ternak pada saat praproduksi atau air yang digunaan saat produksi
produk olahan tersebut. Kandungan Pb pada air yang digunakan
untuk produks i atau pengolahan daging dapat disebabkan oleh
pengikisan Pb pada saluran air. Kandungan Pb di dalam daging dan
jeroan sapi pernah dilaporkan oleh Wardhayani dkk (2006) yang
melaporkan kandungan Pb dari daging sapi yang pernah
digembalakan di tempat pembuangan akhir (TPA) sampah Semarang,
serta kandungan Pb juga pernah dilaporkan oleh Panggabean dkk
(2008) yang melaporkan kandungan Pb di dalam jeroan sapi (hati dan
ginjal) di wilayah jakarta.
Penelitian yang dilakukan oleh Skalicka et al. (2002) pada areal
peternakan yang berada di pabrik metalurgi yang mengamati otot dan
hati 21 ekor ternak yang tercemar pabrik metalurgi menganalisis Cd,
Pb, Ni, Zn, Cu dan Fe. Hasil yang diperoleh dan dibandingkan dengan
batas maksimum cemaran logam berat dalam pangan yang diijinkan
oleh Codex Alimentarius Republik Slovakia No.981/1996 untuk Cd,
Pb, Ni, Cu dan Zn dalam otot (0,1; 0,4; 0,5; 5,0; 60 mg/kg) dan hati
(0,5; 1,0; 2,0; 80,0; 80,0; mg/kg) masih aman untuk dikonsumsi,
namun karena kadar Fe masih cukup tinggi sehingga belum
direkomendasikan untuk dikonsumsi.
Dalam hubungannya dengan pemanfaatan hijauan di lokasi
tambang dan pasca tambang sulit untuk membedakan antara daging
yang tercemar logam berat dengan daging yang tidak tercemar logam
berat, karena penimbunan logam berat tidak menyebabkan
perubahan fisik pada daging maupun jeroan. Oleh karena itu untuk
mengetahui tingkat pencemaran logam terhadap suatu daging, maka
perlu dilakukan pengujian kimiawi. Pangan yang memiliki

101
kemungkinan terbesar untuk tercemar logam berat adalah ikan yang
hidup pada daerah sungai yang tercemar logam berat. Namun secara
kasat mata sangat sulit membedakan mana ikan sapu-sapu yang
tercemar logam dan mana yang tidak karena warna dagingnya sama
(Anonim, 2011).
Pada dasarnya logam berat yang ada di area lahan pasca
tambang tergantung dari materi tambang yang digali sebelumnya.
Logam berat tersebut kemudian akan mempengaruhi kualitas dari
tanaman pakan yang ditanam di padang penggembalaan areal pasca
tambang. Contohnya seperti Rumput BB yang memiliki daya cerna
tinggi dibandingkan dengan tiga hijauan lainnya disebabkan beberapa
faktor yang diantaranya adalah: (1) rumput BB adalah rumput yang
sengaja dibudidayakan (2) rumput BB pada lahan pasca tambang
tumbuh dengan baik dibandingkan dengan yang lainnya (3) umur
rumput BB diperkirakan lebih muda dibandingkan dengan hijauan
lainnya. Hal ini sesuai dengan pendapat Hasan (2000) yang
menyatakan bahwa daya cerna hijauan dipengaruhi oleh faktor umur.
Semakin tua umur hijauan maka semakin rendah kualitasnya karena
kandungan serat kasarnya tinggi. Khusus untuk rumput IC, Ako
(1992) menjelaskan bahwa kualitas daya cema rumput IC pada
dasarnya lebih rendah dibandingkan dengan hijauan pada umumnya.
Hal ini dikarenakan serat kasar yang dimiliki rumput IC lebih tinggi
dibanding dengan hijauan pada umumnya.

102
Berdasarkan hasil analisa logam berat rumput Brachiaria
decumbens pada lahan pasca tambang PT. VALE, Tbk. sebagai
berikut:

Tabel 2. Konsentrassi Logam Ni


Konsentrasi (Cx) Logam Ni Rumput
No. Sampel
ppm mg/kg %
1. Harapan T 6,66 931,107 0,09
2. Harapan P 5,64 958,635 0,10
3. Harapan B 4,98 1018,37 0,10
4. Watulabu T 5,22 1295,84 0,13
5. Watulabu P 5,73 1218,82 0,12
6. Watulabu B 6,60 1439,16 0,14
7. Koro Sentral T 4,82 991,411 0,10
8. Koro Sentral P 4,07 905,313 0,09
9. Koro Sentral B 3,72 896,057 0,09
10. Elaine T 3,01 487,235 0,05
11. Elaine P 2,99 586,517 0,06
12. Elaine B 2,72 458,287 0,05
13. Himalaya T 3,70 732,093 0,07
14. Himalaya P 3,53 595,238 0,06
15. Himalaya B 4,58 843,364 0,08
Total 4,53 890,496 0,08
Sumber: Hasil penelitian yang telah diolah.

103
Tabel 3. Konsentrasi Logam Cr
Konsentrasi (Cx) Logam Cr Rumput
No. Sampel
Ppm mg/kg %
1. Harapan T 0,70 97,2633 0,0097
2. Harapan P 0,42 71,1698 0,0071
3. Harapan B 0,54 111,059 0,0111
4. Watulabu T 0,88 217,417 0,0021
5. Watulabu P 1,06 224,733 0,0225
6. Watulabu B 1,35 294,893 0,0295
7. Koro Sentral T 0,86 176,222 0,0176
8. Koro Sentral P 0,54 120,85 0,0121
9. Koro Sentral B 0,83 199,464 0,0199
10. Elaine T 0,46 73,9713 0,0074
11. Elaine P 0,09 16,8199 0,0017
12. Elaine B 0,29 48,1 0,0048
13. Himalaya T 0,49 96,1049 0,0096
14. Himalaya P 0,57 96,2649 0,0096
15. Himalaya B 0,57 105,274 0,0105
Total 0,643 129,973 0,0117
Sumber: Hasil penelitian yang telah diolah

104
Tabel 4. Kosentrasi Logam Pb
Konsentrasi (Cx) Logam Pb Rumput
No. Sampel
ppm mg/kg %
1. Harapan T 0,29 40,4153 0,0040
2. Harapan P 0,18 30,1932 0,0030
3. Harapan B 0,22 45,4628 0,0045
4. Watulabu T 0,20 89,6278 0,0050
5. Watulabu P 0,24 51,9652 0,0052
6. Watulabu B 0,11 24,2283 0,0024
7. Koro Sentral T 0,22 45,6871 0,0046
8. Koro Sentral P 0,27 59,3648 0,0059
9. Koro Sentral B 0,20 48,1464 0,0048
10. Elaine T 0,31 50,3416 0,0050
11. Elaine P 0,20 39,2645 0,0039
12. Elaine B 0,18 29,9289 0,0030
13. Himalaya T 0,20 39,5726 0,0040
14. Himalaya P 0,82 138,515 0,0139
15. Himalaya B 0,20 36,864 0,0037
Total 0,23 48,634 0,0048
Sumber: Hasil penelitian yang telah diolah

Berdasarkan Tabel 1, 2, dan 3 menunjukkan hasil bahwa kadar


logam Cr sebesar 129,973 mg/kg, kadar logam Pb sebesar 48,634
mg/kg, dan kadar Ni sebesar 890,496 mg/kg sudah melebihi ambang
batas yang telah ditetapkan oleh BPOM RI, sehingga apabila
dijadikan sebagai pakan ternak akan menimbulkan dampak negatif
yang sangat besar dan tentunya juga dapat terjadi pula pada manusia
nantinya.

105
Komposisi Kimia (NDF, ADF, ADL, Cellulose dan Heicellulose)
Rumput Penelitian

Tabel 5. Kandungan Komposisi Kimia Rumput yang Tumbuh di Lahan


Pasca Tambang
Jenis
NDF ADF ADL Callulose Hemicellulose
Rumput
85.09 48.30 9.61 38.33 36.79
BD
85.89 49.02 9.80 37.62 36.87
69.89 54.44 15.23 33.73 20.31
CP
70.46 50.15 14.28 34.94 19.87
67.18 48.41 16.21 31.85 18.77
CM
67.58 47.87 16.25 31.21 19.71
87.07 49.67 15.39 32.22 35.83
IC
85.50 50.65 15.84 32.69 36.42
Sumber: Hasil penelitian yang telah diolah
Keterangan: BD (Brachiaria decumbens);
CP (Centrocema pubescens);
CM (Calopoginium muconoides) dan
IC (Imperata cylindrical).

Komposisi kimia berupa NDF, ADF, ADL, Cellulosse, dan


Hemicellulose pada Tabel 4 memperlihatkan bahwa rumput IC, CM,
dan CP yang tertinggi adalah ADL. Namun, hemicellulose pada CM
dan CP yang rendah. Secara komposisi kimia, yang menonjol adalah
rumput BD.

106
Tabel 6. Daya Cerna Bahan Kering dan Daya Cerna Bahan Organik
Rumput Penelitian

Jenis Rumput DCBK DCBO


59.00 59.00
BD
61.00 60.00
52.00 50.00
CP
54.00 52.00
58.00 55.00
CM
59.00 58.00
28.00 25.00
IC
30.00 26.00
Sumber: Hasil Penelitian yang Telah Diolah
Keterangan: BD (Brachiaria decumbens);
CP (Centrocema pubescens);
CM (Calopoginium muconoides)
IC (Imperata cylindrical).
DCBK (Daya Cerna Bahan Baku),
DCBO (Daya Cerna Bahan Organik)

Berdasarkan Tabel 5 di atas, menunjukkan bahwa rumput BD, CM,


dan CP hasil DCBK dan DCBO jauh lebih baik dibandingkan dengan
IC. Hal ini berarti bahwa kualitas dari rumput yang tumbuh di lahan
pasca tambang PT. VALE Tbk., sangat memungkinkan dimanfaatkan
sebagai sumber hijauan pakan. Hal ini juga didukung oleh data-data
pada Tabel 4.

107
1. Nikel
Tabel 7. Konsentrasi Nikel (Ni) pada Daging dan Berbagai Organ
(mg/kg berat basah) dari Sapi yang Dipelihara di Lahan Pasca
Tambang dan di Luar Lahan Pasca Tambang.
Sapi dari lahan Sapi setelah
Standar
Lokasi pasca tambang dikarantina
(mg/kg)
(mg/kg) (mg/kg)
Daging Tt 0.685 + 0.056 -
Punggung
Daging Paha Tt 0.221 + 0.014
Jantung Tt 0.655 + 0.002
Hati Tt 0.575 + 0.003
Paru-paru 0.28 + 0.48 0.812 + 0.017
Limpa Tt 1.020 + 0.091
Ginjal 0.08 + 0.16 0.313 + 0.008
Tulang Tt 3.007 + 0.089
Tt : Tidak terdeteksi

Hasil analisa konsentrasi nikel pada daging dan organ sapi


yang berasal dari lahan pasca tambang setelah dikarantina di luar
lokasi tambang masih dalam kisaran jumlah ternbaga yang ditoleransi
oleh tubuh sapi (NRC, 2000). Belum ditemukan standar maksimum
asupan nikel dari makanan, namun ATSDR (2005) menetapkan
maksimum nikel yang masuk ke dalam tubuh melalui pemapasan
yaitu 0.0002 mg/m3 untuk jangka paparan 15 - 364 hari dan 0.00009
mg/m3 untuk jangka paparan lebih dari 365 hari. Peningkatan jumlah
penyerapan nikel dalam tubuh ternak yang telah dikarantina dapat
disebabkan oleh cemaran nikel dalam debu. Nikel dilepaskan ke
atmoster oleh industri yang membuat atau menggunakan nikel,
paduan nikel, atau senyawa nikel. Hal ini juga dilepaskan ke atmosfer

108
oleh pembangkit listrik pembakaran batu bara, dan insinerator
sampah. Di udara, itu menempel pada partikel kecil debu yang
mengendap di tanah atau dibawa keluar dari udara di hujan atau
salju, hal ini biasanya memakan waktu beberapa hari. Nikel
dikeluarkan pada air limbah industri berakhir di tanah atau sedimen, is
sangat melekat pada partikel yang mengandung besi atau mangan
(ATSDR, 2005). Ada tiga jalur penyerapan nikel ke dalam tubuh, yaltu
pernapasan, pencemaan dan transdermal (Kasprazak et al., 2003).
Peningkatan penyerapan logam nikel pada daging dan organ sapi
yang telah dikarantina dapat pula disebabkan oleh interaksi antar
logam yang terjadi. Perubahan komposisi logam yang diserap oleh
tubuh juga dapat menyebabkan perubahan interaksi antarlogam.
Adanva interaksi antarlogam dapat beriteraksi secara positif dan
adapula yang dapat berinteraksi secara negatif (dengan penyerapan
logam tertentu mampu menghambat penyerapan logam lain).

Gambar 41. Nikel


Sumber : https://ekonomi.bisnis.com/read/20210322/44/1370768/wah-
harga-nikel-dunia-bergerak-tidak-wajar-sepanjang-tahun-lalu

109
2. Zink

Hasil analisa konsenrasi zink pada daging dan organ sapi yang
berasal dari lahan pasca tambang setelah dikarantina di luar lokasi
tambang tidak melebihi ambang batas yang diperbolehkan dalam
daging. Konsentrasi zink ini juga masih dalam kisaran jumlah
tembaga yang ditoleransi oleh tubuh sapi (NRC, 2000). Merujuk pada
hasil penelitian sebelumnya, terlihat penurunan zink pada daging dan
organ sapi setelah dikarantina mengalami peningkatan dibandingkan
sebelum dikarantina. Hal ini dapat terjadi karena perubahan
lingkungan yang diberikan pada ternak dan interaksi antar logam yang
dapat terjadi.

Tabel 8. Konsentrasi Seng (Zn) pada Daging dan Berbagai Organ


(mg/kg berat basah) dari Sapi yang Dipelihara di Lahan Pasca
Tambang dan di Luar Pasca Tambang.
Sapi dari lahan Sapi setelah
Standar
Lokasi pasca tambang dikarantina di luar
(mg/kg)
(mg/kg) (mg/kg)
Daging
9.18 + 3.27 4.727 + 0.055 100
Punggung
Daging Paha 9.72 + 4.22 1.979 + 0.031
Jantung 5.64 + 0.47 2.488 + 0.029
Hati 8.79 + 0.66 3.865 + 0.081
Paru-paru 5.96 + 0.68 1.623 + 0.032
Limpa 7.24 + 0.50 4.033 + 0.102
Ginjal 6.90 + 0.28 1.364 + 0.014
Tulang 26.61 + 6.73 12.959 + 0.133
*Chinese Standard GB 15999-94 dan GB 13106-1999

110
Zink digolongkan sebagai mineral esensial yang dibutuhkan
oleh tubuh manusia maupun hewan. Seng juga berperan dalam
stabilisasi struktur protein, asam nukleat, serta integritas organella
subseluler seperti proses transport, fungsi imun dan ekspresi
informasi genetik serta perlindungan terhadap kerusakan akibat
radikal bebas. Seng penting untuk berbagai fungsi sensori dan
kekebalan, antioksidan serta stabilitas membran (Anderson, 2004).

Walaupun seng sangat dibutuhkan oleh tubuh namun


konsumsi seng yang berlebihan juga dapat bersifat toksik. Maksimum
asupan harian iron yang diizinkan (Provosional maximum tolerable
daily intake/PMDTI) adalah 0.3 - 1 mg/kg berat badan. Seng adalah
elemen penting, seng dibutuhkan sepanjang hidup dan efek
kesehatan yang berhubungan dengan defisiensi sangat banyak. Seng
terjadi sebagai konstituen alami di semua jaringan tumbuhan dan
hewan dan fungsi sebagai bagian integral dari beberapa sistem
enzim.

Kandungan seng terdapat dalam jumlah yang tinggi pada tiram


dan terdapat dalam jumlah kecil pada makanan laut lainnya, daging,
kacang-kacangan dan sereal utuh. Gula, jeruk dan sayuran yang tidak
berupa dedaunan miskin seng. Interaksi dengan faktor diet lainnya
mempengaruhi penyerapan seng. Asupan harian rata-rata seng telah
diperkirakan maksimal 20 mg/hari untuk orang dewasa (CAC, 2011).

111
3. Kadmium
Tabel 9. Konentrasi Kadmium (Cd) pada Daging dan Berbagai Organ
(mg/kg berat basah) dari Sapi yang Dipelihara di Lahan Pasca
Tambang dan di Luar Pasca Tambang.
Sapi dari lahan Sapi setelah
Standar
Lokasi pasca tambang dikarantina di luar
(mg/kg)
(mg/kg) (mg/kg)
Daging
Tt Tt 0.3
Punggung
Daging Paha Tt Tt 0.3
Jantung Tt Tt 0.5
Hati Tt Tt 0.5
Paru-paru 0.04 + 0.08 Tt 0.5
Limpa 0.03 + 0.03 Tt 0.5
Ginjal 0.04 + 0.04 Tt 0.5
Tulang 0.02 + 0.04 Tt 0.5
*SNI 7387 (2009)
Tt : Tidak terdeteksi

Hasil analisa total kadmium dalam daging dan organ sapi yang
berasal dari lahan passca tambang setelah dikarantina diluar lokasi
tambang tidak terdeteksi. Merujuk hasil penelitian sebelumnya pada
sapi yang berasal dari lokasi pasca tambang sebelum dikarantina,
terlihat terjadi penurunan total kadmium dalam organ sapi yang telah
dikarantina dan tidak terdeteksi pada dagingnya. Pada sapi dari lokasi
pasca tambang terdapat sejumlah kadmium pada paru-paru (0.04
ppm), limpa (0.03 ppm), ginjal (0.04 ppm) dan tulang (0.02 ppm),
setelah dilakukan proses karantina sekitar tiga bulan pada organ
paru-paru, limpa, ginjal dan tulang tidak terdeteksi adanya kadmium.
Hal ini dapat terjadi karena proses karantina dengan mengeluarkan

112
sapi dari luar lokasi pasca tambang dengan harapan mengurangi
paparan logam berbahaya pada ternak, mampu mengurangi paparan
logam berbahaya dan berdampak langsung pada penurunan
akumulasi penyerapan kadmium di dalam daging organ sapi.

Kadmium dikelompokkan sebagai salah satu logam berat


berbahaya bagi tubuh ternak. Toksisitas kadmium adalah mematikan
pada dosis konsumsi 225 mg/kg (LD50) dan asupan mingguan yang
ditoleransi yaitu 0.007 mg/kg berat badan (provisional tolerable
weekly intake/PTWI) (SNI 2009). JECFA (2010) kembali
mengevaluasi kadmium karena telah terjadi sejumlah studi
epidemiologi baru yang telah dilaporkan biomarker kadmium terikat
dalam urin akibat paparan lingkungan. Tingkat β2 - mikroglobulin
kemih terpilih sebagai biomarker yang paling cocok untuk melihat
toksisitas kadmium karena secara luas diakui sebagai penanda untuk
patologi ginjal dan akibatnya memiliki jumlah terbesar dari data yang
tersedia. Karena waktu paruh kadmium yang panjang dalam ginjal
manusia yakni 15 tahun, maka disimpulkan bahwa penentuan
konsentrasi kritis kadmium dalam urin adalah yang paling dapat
diandalkan menggunakan data dari individu-individu dari50 tahun dan
lebih tua. Menggunakan hubungan dosis respon β2-mikroglobulin
ekskresi dalam urin untuk ekskresi kadmium dalam urin untuk
kelompok populasi ini, diperkirakan konsentrasi kritis kadmium keratin
adalah 5.24 ppm. Mengingat waktu paruh yang panjang dari
kadmium, JECFA menetapkan untuk mencabut standar PTWI 0.007
mg/kg/minggu menjadi PTMI (provisional tolerable monthly intake)
0.025 mg/kg/bulan.

113
Gambar 42.
Kadmium

Sumber :
https://www.tverno
nlac.com/cadmium
.html

4. Kromium
Tabel 10. Konentrasi Kromium (Cr) pada Daging dan Berbagai Organ
(mg/kg berat basah) dari Sapi yang Dipelihara di Lahan Pasca
Tambang dan di Luar Pasca Tambang.
Sapi dari lahan Sapi setelah
Standar
Lokasi pasca tambang dikarantina di luar
(mg/kg)
(mg/kg) (mg/kg)
Daging 0.02 –
Tt Tt
Punggung 0.52
Daging Paha Tt Tt
Jantung Tt Tt
Hati Tt Tt
Paru-paru Tt Tt
Limpa Tt Tt
Ginjal Tt Tt
Tulang 0.12 + 0.17 Tt
*IOM (2001)
Tt: Tiidak terdeteksi

Hasil analisa total kromium dalam daging dan organ sapi yang
berasal dari lahan pasca tambang setelah dikarantina diluar lokasi
tambang tidak terdeteksi. Membandingkan data total kromium pada

114
sapi yang berasal dari lokasi pasca tambang sebelum dikarantina,
terlihat teriadi. Penurunan total kromium dalam daging dan organ sapi
yang telah dikarantina. Hal ini dapat terjadi karena perbaikan kondisi
lingkungan pemeliharaan sapi, memperkecil kemungkinan paparan
logam berbahaya seperti kromium dalam daging dan organ sapi. Hal
ini tentu akan berdampak baik pula pada manusia yang akan
mengkonsumsinya karena sekaligus memperkecil dan bahkan
menghilangkan paparan mineral kromium.

Gambar 43. Kromium


Sumber:
https://id.wikipedia.org/wiki/Kromium#/media/Berkas:Chromium_crysta
ls_ and_1cm3_cube.jpg

Ambang batas kromium menurut FAO yaitu 0.02 - 0.52 sesuai


laporan IOM (2001). Penelitian di Inggris pada seluruh makanan telah
menunjukkan konsentrasi tertinggi kromium telah ditemukan pada
produk daging (230 µg/kg), diikuti oleh minyak dan lemak (170 µg/kg),
roti (150 g/kg), kacang-kacangan dan sereal (140 µg/kg), ikan dan
gula (130 g/kg).

115
Konsentrasi terendah telah ditemukan dalam susu (10 g/kg),
buah-buahan segar dan sayur hijau (20 g/kg) dan telur (40 g/kg).
Konsentrasi kromium dalam air minum tidak terkontaminasi sebagian
besar berada di bawah 1 g/L (EGVM, 2002).

5. Tembaga

Hasil analisa konsentrasi tembaga pada daging dan organ sapi


yang berasal dari lahan pasca tambang setelah dikarantina diluar
lokasi tambang tidak melebihi ambang batas yang diperbolehkan
dalam daging. Konsentrasi tembaga ini juga masih dalam kisaran
jumlah tembaga yang ditoleransi oleh tubuh sapi (NRC, 2000).
Merujuk pada hasil penelitian sebelumnya, terlihat total tembaga pada
sapi setelah dikarantina mengalami peningkatan dibandingkan
sebelum dikarantina. Hal ini dapat diakibatkan oleh interaksi antar
mineral, perbaikan kondisi lingkungan dapat menurunkan risiko
paparan mineral toksik. Dhawan et al. (1995) yang menyimpulkan
bahwa hewan yang terpapar Pb secara signifikan menurunkan Cu
dalam hati. Namun interaksi Pb dengan Cu pada penyerapan di
gastrointestinal atau jalur metabolisme lain belum diketahui
rnekanismenya. Korelasi negatif Pb dengan Cu pada hati juga
dilaporkan pada hewan yang terpapar Pb dalam konsentrasi yang
rendah (Miranda, 1999). Sehingga penurunan paparan Pb dapat
meningkatkan penyerapan Cu.

116
Tabel 11. Konsentrasi Tembaga pada Daging dan Berbagai Organ
(mg/kg berat basah) dari Sapi yang Dipelihara di Lahan Pasca
Tambang dan di Luar Pasca Tambang.

Sapi dari lahan Sapi setelah


Standar
Lokasi pasca tambang dikarantina di luar
(mg/kg)
(mg/kg) (mg/kg)
Daging
0.04 + 0.07 0.426 + 0.007 10
Punggung
Daging Paha 0.01 + 0.02 0.232 + 0.003
Jantung 1.35 + 0.20 0.471 + 0.016
Hati 1.92 + 1.26 1.355 + 0.004
Paru-paru 0.41 + 0.04 0.489 + 0.013
Limpa 0.26 + 0.03 0.698 + 0.014
Ginjal 2.37 + 0.18 0.277 + 0.017
Tulang 0.07 + 0.05 1.625 + 0.023
*Chinese Standard GB 15999-94 dan GB 13106-1999
Tt: Tidak terdeteksi

Tembaga merupakan unsur mineral yang dikelompokkan


kedalam elemen mikro esensial. Tembaga merupakan komponen dari
enzim dalam metabolisme besi dan kekurangan unsur ini
menyebabkan anemia (McDowell, 2003). Hampir semua mineral
esensial baik makro maupun mikro berfungsi sebagai katalisator
dalam sel. Beberapa mineral berikatan dengan protein, sedangkan
lainnya sebagai ikatan pembentukan komponen siklik antara molekul
organik dan ion logam. Selain ikut serta dalam sintesa hemoglobin,
tembaga juga merupakan bagian dari enzim-enzim di dalam sel,
seperti sebagai kofaktor enzim tirosinase di dalam kulit. Di dalam hati,
hampir semua tembaga berikatan dengan enzim, terutama enzim

117
seruloplasmin yang berfungsi sebagai feroksidase dan transportasi di
dalam darah (Sharma et al., 2003; Arifin, 2007).

Gambar 44. Tembaga

Sumber :
https://id.wikipedia.org/
wiki/Tembaga#/media/B
erkas:NatCopper.jpg

Walaupun dibutuhkan dalam jumlah sedikit di dalam tubuh,


namun bila kelebihan akan dapat mengganggu kesehatan, sehingga
mengakibatkan keracunan, tetapi bila kekurangan tembaga dalam
darah dapat menyebabkan anemia yang merupakan gejala umum.
Logam baik logam ringan maupun berat yang esensial sangat
berguna dalam tubuh hewan. Tembaga sebagai tembaga sulfat telah
dievaluasi oleh JECFA pada tahun 1966, 1970, dan 1982. Maksimum
asupan harian yang diizinkan (Provosional maximum tolerable daily
intake/PMDT1) adalah 0,05 - 0,5 mg/kg berat badan.
Penimbulan logam dalam tubuh ternak sangat dipengaruhi oleh
lingkungan selama pemeliharaannya. Sehingga perlu pengontrolan
tingkat pencemaran logam pada lingkungan sekitar areal
pemeliharaan ternak untuk konsumsi manusia. Peraturan Menteri
Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor: 18 tahun 2008 tentang
reklamasi dan penutupan lahan bekas pertambangan mengharuskan
setiap lahan pasca tambang untuk dipulihkan kondisi tanahnya agar
dapat kembali dimanfaatkan sebagai media tumbuh tanaman. Salah
satu upaya pemulihan lahan bekas tambang adalah revegetasi

118
dengan menanam pohon maupun rumput dan legum. Revegetasi
lahan tambang yang ditanami dengan hijauan (rumput dan legum)
memberikan peluang bagi masyarakat untuk memanfaatkannya
menjadi sumber hijauan pakan ternak. Namun, dilain pihak
kekhawatiran yang muncul atas upaya pengalihfungsian lahan
revegetasi pasca tambang menjadi lahan pasture (ladang
pengembalaan) adalah kemungkinan terjadinya akumulasi logam-
logam berat pada tanah, rumput, sumber air yang dapat berdampak
akumulasi logam berat pada daging dan organ hewan yang
diternakkan.
Salah satu aspek jalur masuknya xenobiotik (senyawa asing)
yang dapat menciderai kesehatan manusia adalah asupan substansi
toksik yang bersumber dari makanan yang dikonsumsi. Daging dan
produk daging merupakan salah satu bahan pangan yang memiliki
banyak penikmat, namun di dalamnya mungkin membawa sejumlah
substansi toksik. Walaupun jumlahnya cukup kecil di dalam daging,
namun pada bagian tertentu pada tubuh ternak yang juga sering
dikonsumsi misalnya pada organ hati dan ginjal, sering menunjukkan
konsentrasi substansi toksik yang cukup tinggi (Khalafalla et al, 2011).

Gambar 45. Ilustrasi daging segar dan kualitas baik


Sumber : https://m.tribunnews.com/kesehatan/2013/06/27/tips-
membedakan-daging-sapi-segar-dibanding-yang-daur-ulang

119
Permasalahan keamanan pangan ini seringkali disepelekan
oleh masyarakat karena tidak semua kasus pencemaran keamanan
pangan memberikan respon negatif bagi tubuh yang dapat langsung
diamati satu atau dua hari setelah mengkonsumsinya. Bahan kimia
tambahan maupun bahan kimia asing misalnya logam berat yang
terkonsumsi tidak menunjukkan respon buruk bagi kesehatan yang
dapat teramati pada selang waktu satu atau dua hari setelah
konsumsi, namun gangguan kesehatan yang diakibatkan akan
tampak dalam jangka waktu yang cukup panjang setelah
mengkonsumsinya. Logam berat merupakan senyawa asing dapat
masuk melalui makanan kemudian terakumulasi di dalam tubuh
dalam kurun waktu tertentu dan menimbulkan gangguan kesehatan.
Pembudidayaan ternak khususnya ternak sapi potong di wilayah
pertambangan dengan memberikan hijauan pakan yang berasal dari
rumput di lahan revegetasi pasca tambang berpotensi untuk
mencemari daging dan organ tubuh sapi lainnya yang apabila hasil
ternak tersebut dikonsumsi oleh manusia maka akan menimbulkan
penimbunan logam berat pada tubuh manusia. Oleh karena perlu
dilakukan evaluasi tingkat kontaminasi logam berat pada ternak sapi
yang dipelihara di areal pertambangan serta mengkonsumsi hijauan
pakan dari lahan pasca tambang.
Pada penelitian Hasan et al. (2014) sebelumnya telah
membuktikan bahwa terdapat beberapa logam berat yang terdapat
dalam tubuh ternak yang hidup dan merumput di lahan revegetasi
tambang. Walaupun beberapa jenis logam berat masih berada pada
batas toleransi, namun juga terjadi akumulasi beberapa logam berat
pada organ tubuh tertentu, sehingga perlu dipikirkan solusi yang
dapat mengatasi masalah tersebut.

120
Sumber kontaminan logam berat yang masuk pada tubuh
ternak yang hidup di revegatasi berdasarkan penelitian Hasan et al.
(2014) sebelumnya, diduga berasal dari rumput dan air yang
dikonsumsi oleh ternak. Oleh karena itu, tindakan karantina yang
dilakukan pada ternak dengan mengeluarkannya untuk dipelihara di
luar areal revegetasi tambang diharapkan merupakan langkah awal
untuk mencari solusi untuk meminimalisir kemungkinan logam berat
yang masuk ke dalam tubuh ternak baik yang melalui jalur
pencernaan maupun pernapasan.

Tubuh ternak telah dilengkapi dengan organ yang berfungsi


untuk mengeliminasi racun-racun yang masuk ke dalam tubuh
termasuk logam berat. Organ yamg paling berperan penting untuk
mengeliminasi logam racun dalam tubuh adalah hati dan ginjal.
Selama masa karantina diharapkan proses eliminasi yang dilakukan
oleh tubuh ternak dapat berjalan secara optimal karena tindakan
tersebut bertujuan untuk mengurangi dan membatasi masuknya
kontaminan yang berpotensi bersitat racun di dalam tubuh ternak.

Penelitian yang telah dilakukan oleh Arifin et al. (2005) dengan


memindahkan sapi yang sebelumnya dipelihara di TPA ke tempat
yang lebih bersih terbukti mampu mengeliminasi logam berat yang
ada di dalam tubuh ternak. Arifin et al. (2005) melaporkan bahwa
proses karantina yang dilakukan pada sapi yang hidup di TPA
Jatibarang mampu mengeliminasi Pb, Hg, dan Cd dalam tubuh
ternak.

121
Proses karantina yang dilakukan pada ternak sapi diharapkan
mampu menurunkan penyerapan logam-logam berbahaya dengan
menurunkan kemungkinan risiko paparan. Pada Tabel 3 - 7,
diperlihatkan data kandungan logam-logam berat pada daging dan
organ sapi dari lokasi pasca tambang setelah karantina dan disajikan
pula data penelitian tahun sebelumnya tentang logam-logam berat
pada daging dan organ sapi yang dipelihara di lokasi pasca tambang
sebelum perlakuan karantina sebagai pembanding.

122
BAB 9
FITOREMEDIASI

Fitoremediasi adalah upaya penggunaan tanaman dan bagian-


bagiannya untuk dekontaminasi limbah dan masalah-masalah
pencemaran lingkungan baik secara ex-situ menggunakan kolam
buatan atau reaktor maupun in-situ atau secara langsung di lapangan
pada tanah atau daerah yang terkontaminasi limbah (Subroto, 1996).
Fitoremediasi didefinisikan juga sebagai penyerap polutan yang
dimediasi oleh tumbuhan termasuk pohon, rumput-rumputan, dan
tumbuhan air. Pencucian bisa berarti penghancuran, inaktivasi atau
imobilisasi polutan ke bentuk yang tidak berbahaya (Chaney et al,
1995).
Ada beberapa strategi fitoremediasi yang sudah digunakan
secara komersial maupun masih dalam taraf riset yaitu strategi
berlandaskan pada kemampuan mengakumulasi kontaminan
(phytoextraction) atau pada kemampuan menyerap dan
mentranspirasi air dari dalam tanah (creation of hydraulic barriers).
Kemampuan akar menyerap kontaminan dari air tanah (rhizofiltration)
dan kemampuan tumbuhan dalam memetabolisme kontaminan di
dalam jaringan (phytotransformation) juga digunakan dalam strategi
fitoremediasi. Fitoremediasi juga berlandaskan pada kemampuan
tumbuhan dalam menstimulasi aktivitas biodegradasi oleh mikrob
yang berasosiasi dengan akar (phytostimulation) dan imobilisasi
kontaminan di dalam tanah oleh eksudat dari akar (phytostabilization)
serta kemampuan tumbuhan dalam menyerap logam dari dalam

123
tanah dalam jumlah besar dan secara ekonomis digunakan untuk
meremediasi tanah yang bermasalah (phytomining) (Chaney et al.
1995).

Mekanisme dan Keuntungan Fitoremediasi

Penerapan metode konvensional dalam perbaikan lahan pasca


tambang hanya dilakukan dengan cara memindahkan polutan dari
satu tempat ke tempat lain. Sementara itu, fitoremediasi sebagai
perbaikan dari metode konvensioal untuk mengurangi kerusakan
tanah akibat tigginya akumulasi logam berat, dilakukan dengan cara
memanfaatkan tanaman yang dapat menyerap logam berat (Purnomo
dkk, 2015; Wulandari et al., 2014). Mekanisme dan akumulasi logam
berat oleh tanaman terdiri atas 3 tahap (Moenir, 2010) yaitu:
1. Penyerapan logam berat oleh akar
2. Translokasi logam berat dari akar ke bagian tanaman yang lain
3. Lokalisasi/akumulasi logam berat oleh bagian organ tanaman
Purwantari (2007) menyatakan bahwa keunggulan sistem
fitoremediasi adalah ramah lingkungan, murah dan dapat dilakukan
secara in situ. Hal ini sejalan dengan pendapat Aken et al. (2010);
Wuana and Okiemen (2011) bahwa keuntungan menggunakan
fitoremediasi yaitu:
1. Layak secara ekonomi  fitoremediasi adalah sistem
autotrofikyang ditenagai oleh energi matahari, oleh karena itu
mudah dikelola, dan biaya pemasangan dan pemeliharaannya
rendah.
2. Ramah lingkungan  dapat mengurangi paparan polutan
terhadap lingkungan dan ekosistem

124
3. Penerapan  dapat diterapkan pada bidang skala besar dan
dapat dengan mudah dibuang
4. Mencegah erosi dan pencucian logam dengan menstabilkan
logam berat, mengurangi resiko penyebaran kontaminan
5. Meningkatkan kesuburan tanah dan melepaskan berbagai
bahan organik ke dalam tanah

Jenis Fitoremediasi

Fitoremediasi yang dapat diterapkan untuk remediasi tanah


yang terkontainasi logam berat (Ernst, 2005; Hidayati, 2005; Salt et
al., 1995; dan Shaji et al., 2021) antara lain:
1. Fitostabilitas – menggunakan tanaman untuk mengurangi
biobiovalabilitas logam berat dalam tanah
2. Fitoekstraksi – menggunakan tanaman untuk mengekstrak dan
menghilangkan logam berat dari tanah
3. Fitovolatilisasi – menggunakan tanaman untuk menyerap
logam dari tanah dan melepaskannya ke atmosfer sebagai
senyawa volatile
4. Fitofiltrasi – menggunakan tanaan yang dikultur secara
hidroponik untuk menyerap ion logam berat dari air tanah dan
limbah cair.
Pemulihan lahan dari polutan logam dengan melakukan
fitoekstraksi menggunakan tanaman hiperakumulator mampu
mengakumulasikan konsentrasi tinggi ion logam tanpa adanya
penurunan hasil. Hiperakumulator logam dalam spesies tanaman
tertentu diatur oleh beberapa jalur dan gen mengendalikan serapan,
akumulasi, dan toleran logam (Hidayati, 2013).

125
Pemilihan jenis tumbuhan yang akan digunakan untuk
fitoremediasi lahan pasca penambangan logam berat dapat dilakukan
dengan mengidentifikasi jenis, kondisi pertumbuhan dan jumlah
populasi tumbuhan yang dominan tumbuh pada lahan yang tercemar.
Jenis tumbuhan yang mendominasi dengan kondisi pertumbuhan
yang normal menjadi salah satu indikator bahwa tumbuhan tersebut
memiliki toleransi yang tinggi terhadap lingkungannya. Toleransi
tumbuhan yang tinggi pada lingkungan yang tercemar logam berat
disebabkan oleh kemampuan dari tumbuhan tersebut untuk menyerap
dan mengakumulasi logam berat dalam organ tubuhnya (akar,
batang, daun dan buah) (Haruna dkk, 2018).
Tanaman yang bisa bertindak fitoremediasi (untuk menurunkan
logam berat) seperti misalnya leguminosa pohon seperti gamal dan
lamtoro yang dapat dilakukan dengan model alley cropping dengan
kombinasi rumput dan legum. Menurut penelitian Pandey et al. (2020)
pemanfaatan Napier grass untuk fitoremediasi dan produksi bioetanol
memiliki efek positif pada kelestarian sumber daya lingkungan.
Sejalan dengan hasil penelitian Purnama et al. (2014) dan Hasan
(2016) menunjukkan bahwa logam berat pada daging dan organ
dalam ternak, tidak melebihi ambang batas jika dibandingkan dengan
kontrol yang dipelihara di luar pasca tambang.
Jenis tumbuhan, iklim dan kondisi tailing dapat menentukan
keberhasilan fitoremediasi (Sarma 2011; Purwantari 2007).
Kemampuan setiap tanaman dalam menyerap unsur logam berat
dalam jumlah banyak dan secara kontinyu bergantung pada suku,
marga atau jenis tanaman itu sendiri. Kemampuan adaptasi tanaman
sangat berpengaruh terhadap proses remediasi lingkungan. Pemilihan
tanaman dengan sifat hiperakumulator yaitu dengan karakteristik

126
pertumbuhan dan adaptasi yang cepat, mampu meyerap unsur logam
berat, serta memiliki kemampuan untuk mengikat nitrogen dapat
menyediakan unsur nitogen untuk pertumbuhan tanaman itu sendiri
(Juhaeti et al. 2005; Arets et al. 2006; Purnomo dkk, 2015).
Penerapan fitoremediasi dengan tanaman hiperakumulator
secara alami akan diikuti dengan tumbuhnya vegetasi lain yang
berpotensi sebagai fitoremediasi. Menurut Brown et al. (1995)
tumbuhan fitoremediasi memiliki kriteria antara lain:
1. Memiliki tingkat laju penyerapan unsur dari tanah yang lebih
tinggi dibanding tumbuhan lainnya
2. Beradaptasi terhadap unsur polutan yang tinggi pada jaringan
akar dan tajuknya
3. Laju translokasi logam berat dari akar ke tajuk yang tinggi
sehingga akumulasi polutan lebih besar di bagian atas.

127
BAB 10
SARANA PADANG PENGEMBALAAN

A. PAGAR
Setiap orang yang menyadari arti penting beternak tentu
menyadari betapa pentingnya pagar dalam suatu padang
pengembalaan. Adapun fungsi utama dari pagar pada padang
pengembalaan adalah untuk mengatur atau membatasi ruang gerak
ternak. Berbeda dengan pagar untuk keperluan lain, maka konstruksi
pagar hendaknya dibuat agar tahan terhadap gangguan ternak.
Maksudnya, sekalipun pagar tersebut kuat, tidak perlu rapat atau
ketat.

Gambar 46. Contoh Padang Pengembalaan untuk Riset


Sumber: Dok. Pribadi

Jenis Pagar Menurut Fungsinya

Dibedakan antara pagar keliling atau pagar batas kawasan


peternakan dan pagar pembagi areal menjadi blok-blok pangonan.

128
Ada pula pagar yang membentuk kandang, ialah pagar yang
membatasi ternak dengan jumlah yang relatif besar untuk dapat
bergerak lebih leluasa. Dengan demikian, maka diperoleh pagar yang
dapat membentuk kandang penanganan yang dikenal dengan coral
atau cattle yard yang terdiri dari petak-petak pengumpul ternak
(holding paddocks).
Adapun bahan pagar yang dipakai adalah kawat (berduri, licin,
atau kombinasi) dan tiang penunjang dari kayu atau semak-semak. Di
daerah-daerah yang batang-batang semak banyak tumbuh dapat
dipasang secara berjajar rapat yang sering diperkuat dengan belahan
bambu, selagi batang semak masih muda. Selain itu, dikenal pula
pagar batu di daerah-daerah yang banyak terdapat batu, seperti di
Nusa Tenggara Timur.

Gambar 47. Pagar yang dibuat dari kawat


Bahan Pagar

Bentuk pagar sangat ditentukan oleh faktor mudahnya bahan


pagar diperoleh dan faktor keamanan. Bahan-bahan standar pagar

129
yang dipergunakan diantaranya kawat (duri, licin, atau campuran) dan
kayu sebagai tiangnya. Adapun tiangnya dapat berupa kayu gergaji,
kayu hidup, atau kombinasi dari keduanya. Faktor biaya memegang
peranan penting, misalnya apakah tiang tersebut digergaji atau kayu
hidup. Sebab, jika menggunakan kayu hidup harus memperhatikan
besar batangnya, kapan harus ditanam, dan lain-lain. Demikian pula
apakah cukup dengan menggunakan batu-batu yang ditumpuk.
Semuanya harus menyesuaikan dengan biaya yang dimiliki.

Konstruksi Pagar

Berbicara soal tiang penunjang, maka jarak antara tiang satu


dengan tiang lainnya tergantung pada medan. Keadaan atau situasi
yang relatif rata maka penggunaan tiang sebanyak 7 batang tiang per
100 meter pagar adalah biasa. Sementara ketegangan kawat dapat
dibantu dengan tiang semu yang dapat dibantu dengan kawat tebal.
Kedalaman penanaman tiang ditentukan oleh lembek padatnya tanah
atau jenis tanah liat atau berpasir.

Gambar 48. Konstruksi Pagar pada Tanah Bergelombang

130
Selain itu, ada pula hal yang perlu diperhatikan yakni tiang-
tiang penguat, dimana penempatannya sangat tergantung beberapa
hal, yakni terdiri dari:
1. Panjang/jarak pagar
2. Sifat medan (bergelombang, berbukit)
3. Sudut
4. Awal pagar (pintu-pintu)
Prinsip konstruksinya adalah untuk menetralisir rentan yang memberi
tekanan pada satu titik.

Pintu Pagar

Jenis pintu pagar dapat digunakan sesuai selera masing-


masing. Faktor yang dipertimbangkan adalah mudahnya bahan
diperoleh (praktis) dan murah. Pintu dibuat cukup lebar agar
memudahkan keluar masuknya kendaraan. Pintu bisa dibuat dari
papan tebal atau besi.

Gambar 49. Pintu Pagar Padang Pengembalaan

131
B. Padang Pengembalaan

Berbeda dengan cara beternak secara intensif/dikandangkan,


sistem beternak ranching dibuat agar ternak lepas dan dibebaskan
mencari makanannya sendiri. Jika pertumbuhan rerumputan dalam
suatu kebun mudah diatur dan kemudian dipotong untuk diberikan ke
ternak, maka harus memperhatikan pengaturan pertumbuhan
rerumputan. Percampuran jenis-jenis tanaman perlu diperhatikan
untuk meningkatkan mutu padang pengembalaan. Terutama padang
pengembalaan tropis yang dikenal mempunyai sifat rerumputan yang
cepat tua dan cepat merosot nilai gizinya. Hal ini perlu diperhatikan
terutama jika jenis ternak yang dipelihara adalah sapi potong eksotik.
Bangsa ternak lokal umumnya telah terbiasa dengan kondisi
rerumputan yang ada.
Beberapa catatan dari pengalaman yang diperoleh dari
kawasan-kawasan ranch di Sulawesi Selatan dan Sumba Timur
dalam usaha mengembangkan padang pengembalaan, diantaranya:
 Di daerah curah hujan tinggi (lebih dari 200 mm per tahun),
seperti ranch di Sulawesi Selatan, legum Siratro kurang baik
berkembang. Sementara, pada ranch Sumba Timur legum ini
sangat cocok dikembangkan. Curah hujan di ranch Sumba
Timur sekitar 100 mm per tahun.
 Berbagai jenis Stylo memperlihatkan pertumbuhan yang baik di
Sulawesi Selatan, sementara penampilannya di Sumba Timur
belum terlalu mencolok.
Hal penting lain yang perlu diperhatikan adalah grazing
management adalah keseimbangan jenis-jenis rerumputan di sebuah
padang pengembalaan. Kesalahan dalam grazing management dapat

132
menyebabkan dominannya rumput-rumput liar, bahkan alang-alang
pada padang pengembalaan.

C. Kandang Penanganan (Cattle Yard)

Kandang penanganan idealnya ditempatkan di tengah ranch


untuk menghindari terbuangnya energi dalam perjalanan ternak
menuju kandang. Kandang hendaknya dibangun di atas tanah keras,
mempunyai drainase yang baik guna menghindari terkumpulnya
lumpur dan terjadinya kubangan dalam kandang. Bahan yang
digunakan dalam pembuatan kandang penanganan tergantung pada
kemampuan perusahaan. Di Indonesia banyak terdapat kayu yang
dapat digunakan untuk membangun kandang.
Peralatan yang diperlukan dalam kandang terutama kandang
utama adalah kandang jepit. Kandang jepit ini sangat diperlukan untuk
pengobatan, pemeriksaan kebuntingan, pengecapan. Berbagai
bentuk, corak, dan ragam kandang penanganan bisa menjadi pilihan
untuk dibuat. Namun demikian, konstruksinya harus disesuaikan
dengan kesejahteraan ternak yang akan ditangani sehingga sifat-sifat
ternak perlu diperhatikan.

Gambar 50. Kandang Penanganan Ternak pada Sebuah Padang


Pengembalaan

133
Ternak sapi tidak menyukai sudut-sudut, sehingga cenderung
untuk desain dan konstruksi kandang dibuat agar ternak bisa berjalan
lancar, tanpa sadar mereka digiring pada suatu tempat tertentu.
Dengan demikian, kandang penanganan dibuat dengan garis atau
pagar yang mempunyai garis-garis lengkung.

D. Penyediaan Air

Sumber air merupakan sarana pokok peternakan. Tanpa


sumber air, maka suatu usaha peternakan boleh dikatakan gagal.
Berbagai upaya dilakukan orang untuk penyediaan sumber air
tersebut dari bawah permukaan tanah, apakah dengan menggali
sumur biasa, sumur bor, dan lain-lain. Sumber air lain adalah yang
dikenal sebagai air permukaan (water surface), akan tetapi tidak
banyak diperhatikan sumber yang berasal dari air hujan.
Tanah air kita termasuk suatu wilayah yang dikaruniai curah
hujan dengan jumlah yang banyak. Di daerah kawasan Indonesia
yang dianggap tergolong daerah kering, dimana sungai-sungai
berhenti mengalir, bahkan mengering di musim kemarau, curah
hujannya dalam setahun masih berkisar antara 700-800 mm. Kita
tahu bahwa jumlah ini biasanya mengalir tanpa manfaat. Banyak pula
1,5 m per tahun daerah-daerah dengan curah hujan 1 tahun yang
dikatakan memiliki musim kemarau yang cukup kering. Selanjutnya
yang perlu dibicarakan disini adalah bagaimana memanfaatkan air
yang berasal dari curahan hujan ini.

Membuat Waduk

Suatu hal yang sangat menentukan dalam penampungan air


dengan sistem waduk ini adalah sifat tanah. Waduk yang dimaksud

134
sulit diharapkan memenuhi fungsinya jika tanah terlalu mudah
terserap (porous). Hendaknya waduk disini tidak diartikan sebagai
bendungan yang biasa digunakan untuk membendung sungai. Waduk
atau dam yang dibiarkan disini adalah pada prinsipnya suatu lekukan
yang dibuat pada tanah agar dapat menampung aliran dari daerah
sekitarnya. Mudah dimengerti bahwa lokasi perlu dipilih yang
mempunyai "dinding" landai pada tiga sisi. Sambil memperdalam
lekukan itulah yang dibuat dinding keempat untuk menahan air.
Suksesnya suatu dan menahan air tanpa mengkikis dinding penahan
terletak pada bagian pelimpahan air lebih yang harus cukup lebar dan
dibuat rata, horizontal pada dinding dan sangat landai menjauhi dan
bersangkutan.

E. Tempat Penanganan Parasit

Untuk menangani jumlah besar hewan sekaligus baik milik


perorangan maupun milik orang dari suatu desa, kiranya kuranglah
praktis jika mencari kutu, caplak dan sebangsanya secara satu per
satu. Kadang-kadang secara kebetulan burung-burung tertentu
bertengkar di punggung-punggung hewan-hewan tersebut mencari
kutu, sekalipun kadang-kadang menimbulkan hal-hal yang kurang
menguntungkan, misalnya luka-luka yang akan mengundang jenis
parasit lain, yaitu lalat (screw-fly). Umumnya pemberantasan parasit-
parasit ini dilakųkan dengan mempergunakan bahan-bahan kimia.
Khusus mengenai jenis caplak telah diketahui bahwa parasit ini
membentuk resistensi (ketahanan) terhadap bermacam-macam obat-
obatan. Oleh sebab itulah orang cenderung untuk memelihara ternak
yang "tidak disukai" caplak. Meskipun darah sampai sejumlah 4 cc

135
namun yang lebih berbahaya adalah sifat sebagai
perantara/pembawa parasit darah.
Pemberantasan "ektoparasit" pada pokok-pokoknya agar siklus
hidupnya dapat diputuskan. Cara-cara pengobatan, termasuk dosis
dan khasiat obat-obat lazim terdapat pada petunjuk pemakaian obat.
Juga alat yang perlu dipakai biasanya diberikan secara terperinci
pembuatannya, apalagi dianggap perlu. Demikian pula mengenai
konstruksi bak mandi ("Dip") yang dapat dijelaskan pula tentang
pembuatan obat tersebut. Pada pokoknya konstruksi "dip" yang
kuat/kokoh, meresapkan cairan obat; cukup dalam (+2,50 M), agar
sapi terbenam seluruhnya untuk sementara loncat ke dalam. Waktu di
dalam cairan perlu cukup lama, sehingga panjang dip yang lang gap
cukup adalah ± 10 M. Lebar bak, di atas ± 1 M, dan lebar dasar 60
cm. Selain kiri/kanan bak ada dinding untuk mencegah terbuangnya
sebagian cairan sebagai akibat percikan waktu sapi-sapi melompat ke
dalam bak. Beberapa ektoparasit lain yang dianggap mengganggu
adalah berjenis-jenis lalat, yang membahayakan adalah jenis screw-
fly. Obat-obatan untuk ini telah pula tersedia di pasaran.

Endoparasit

Daerah tropis dikenal sebagai daerah yang cukup subur untuk


berkembangnya beraneka ragam cacing parasit dan parasit di dalam
rongga badan ternak. Dalam hal pembatasan hal ini berlaku pula
macam parasit prinsip/memutuskan siklus hidupnya. Berbagai obat
tersedia dipasaran yang disesuaikan secara teratur dan mengikuti
aturan penggunaan parasit dalam kawasan peternakan dapat ditekan
sampai dengan jumlah yang dapat dikendalikan.

136
Secara garis besar diharapkan cara rutin
pengobatan/pencegahan sebagai berikut:
1. Umur ternak 2 minggu dengan Piperazina (jenis lain).
2. Umur 2 bulan dengan piperazine atau jenis lain.
3. Pemberian barikutnya adalah 2 , 4 dan 6 bulan sesudah
penyapihan
4. Hal tersebut pada 3 hal diatas diperlukan juga bagi sapi - sapi
yang baru memasuki ranch, terutama sapi - sapi impor .
Pencegahan dapat dilakukan seperti: rupa, khususnya waktu
muda, tindakan mencegah kerugian dapat mencegah, karena
pencegahan setelah dewasa cukup sekali setahun saja.

Rencana dan Tatalaksana Memandikan Ternak

Dipping adalah suatu usaha pencegahan/pengurangan caplak-


caplak yang berada di tubuh sapi. Mengapa sebulan sekali?
Tujuannya adalah membunuh atau memutus sirkulasi utama hidup
dari caplak. Insektisida dongen / tickicide (Asuntol, Diazinon, Necidol)
masih mudah dibunuh tetapi dalam bentuk kepompong agak sulit.
Oleh karena itu pada dipping pertama selalu diusahakan agar
kepompong tidak sampai tumbuh menjadi dewasa.

Konstruksi Dip

Dip dibuat sebaiknya dari beton yang ditunjang dengan besi beton.
 Atap: Sinar matahari tidak baik untuk obat-obatan seperti
dinzinon. Jadi penting memang atap seng. Dan dapat
mencegah pengupan serta air hujan tidak masuk ke dalam.
 Lantai: Harus dari beton yang rata dan tahan. Agar insektisida
tidak banyak terbuang, perlu dibuatkan parit agar dripping in

137
secticide dari sapi-sapi yang habis dimandikan dapat mengalir
kembali ke dalam dip. Sebelum dipping, halaman perlu disapu
dan tempat tersingkir dari feses, karena kotoran di air mandi
menyebabkan kerja obat kurang efektif.

Endapan

Endapan obat adalah emulsi atau suspensi yang biasanya turun


mengendap. Apabila tidak digunakan 2 atau 3 hari, agar obat-obat
tercampur kembali maka masukkan/ sapi-sapi sebanyak 20-30 ekor
kedalamnya. Pada konstruksi dip, dinding di bawah dasar dip tempat
sapi melompat agar dibuat lekuk, supaya waktu sapi melompat, air
ditempat tersebut dapat berputar, sehingga tidak terjadi pengendapan
kotoran.

Immersi

Sapi harus masuk seluruhnya termasuk kepala, supaya semua


caplak mati, terutama di dalam kuping. Kalau sapi lompat hati-hati,
kepala tidak masuk air mandi. Untuk ini sebaiknya dipa dinding
setinggi 30 cm agar sapi dapat lewat dari dinding tersebut dan
tenggelam ke dalam air mandi.

Tempat mengeringkan air mandi (draining pan)

Tempat ini dibuat dari beton dan sekeliling 1 : 5 cm. lantai


tersebut diberi dinding setinggi 15 cm, Air dari lantai (draining pan)
masuk lubang ngendap kotoran dan air mandi kembali ke dalam bak
mandi. Lubang pengendap harus memakai parit yang
menghubungkan dip dengan tempat penahan air mandi supaya air

138
hujan tidak masuk dip tetapi air hujan akan keluar melalui parit lain
dari penahan air itu.

Kontrol Cairan Dip

Selalu dicek ukuran dip apabila selesai dipping dan dicatat


dalam buku catatan dip. Kalau air mengurang harus ditambah kembali
sama dengan yang hilang karena penguapan tersebut, yakni dengan
konsentrasi phat yang sama 0,06 %. Jika hilang karena sapi, harus
ditambah air dengan konsentrasi dobel 0,15%. Konsentrasi obat
dapat dicheck dengan mengirim sampel ke laboratorium.

Kontrol sapi selama dipping

 Jangan memasukkan sapi terlalu cepat dan menyakiti karena


dapat membahayakan.
 Satu pintu peluncur depan dip penting untuk kontrol sapi satu
persatu untuk di dip.
 Untuk anak sapi yang didip harus hati - hati jangan sampai
dilompati induk, sebaiknya anak terpisah, dari sapi besar.
 Selalu sedia tali dan tongkat untuk membantu sapi yang masuk
terbalik. (Dip yang lebar : 105 cm gampang untuk memutar
sapi).

139
DAFTAR PUSTAKA

Aken, B. Van, Correa, P. A., and Schnoor, J. L. 2010.


Phytoremediation of Polychlorinated Biphenyls: New

Ako, A. 2013. Ilmu Ternak Perah Daerah Tropis. IPB Press; Bogor

Ambodo, A.P. 2008. Rehabilitasi lahan pasca tambang sebagai inti


dari rencana penutupan tambang. Seminar dan Workshop
Reklamasi dan Pengelolaan Kawasan Tambang Pasca
Penutupan Tambang. Pusat Studi Reklamasi Tambang.
LPPM-IPB. Bogor.

Anderson JB. Minerals. In: KL Escott-Stump S, editors Krause’s Food,


Nutritional and Diet Therapy, 11th ed. Philadelphia: Sunders;
2004:134-54.

Anonim, 2011, Batas Maksimum Cemaran Logam Berat Dalam


Pangan, Badan Standarisasi Nasional, Jakarta.

Ardiansyah, R.2016. Pengaruh Sistem Olah Tanah Dan Residu


Pemupukan Nitrogen Jangka Panjang Terhadap Struktur
Tanah, Bobot Isi, Ruang Pori Total Dan Kekerasan Tanah
Pada Pertanaman Kacang Hijau (Vigna radiata L.) (Vol. 3,
Issue 2).

Arets EJMM, van der Meer PJ, van der Brink NW, Tjon K, Atmopawiro
VP. 2006. Assessment of the impact of gold mining on soil
and vegetation in Brownsberg Nature Park, Suriname. Alterra-
Rapport. Altera, Wageningen.

Arif, I., 2007. Perencanaan Tambang Total Sebagai Upaya


Penyelesaian Persoalan Lingkungan Dunia Pertambangan.
Manado. Universitas Sam Ratulangi.

Arifin, B.E. Subagio, E. Rianto, E. Purbowati, A. Purnomoadi, dan B.


Dwiloka. 2005. Residu Logam Berat Pada Sapi Potong yang
Dipelihara di TPA Jatibarang, Kota Semarang Pascaproses
Eliminasi Selama 90 Hari. Seminar Nasional Teknologi
Peternakan dan Veteriner

140
Arsyad, S. 2006. Konservasi Tanah dan Air. Serial Pustaka IPB
Press. Bogor

ATSDR, 2005, Monographs on the Evaluation of Carcinogenik Risk of


Chemicals to Man, Geneva World Health Organisation,
diakses www.atsdr.cdc.gov.

Badan Standardisasi Nasional, Batas Maksimum Cemaran Logam


Berat dalam Makanan, SNI 7387:2009. Hal 4, 13, 20

Badan Standarisasi Nasional. 2011. SNI CAC/RCP 1:2011.


Rekomendasi nasional kode praktis prinsip umum higiene
pangan. Jakarta: Badan Standarisasi Nasional.

Balkau F. dan A. Parsons. 1999. Emerging Environmental Issues For


Mining In The Pecc Region; United Nations Environment
Programme.

Blakely and Bade. 1991. Ilmu Peternakan (Terjemahan). Yogyakarta:


Gajah Mada University Pres.

Bowles, J. E., 1984. Physical and Geotechnical Properties of Soil:


Second Edition. McGraw-Hill: New York, USA.

Bradshaw, A.D. 1983. The Restoration of Mined Land. Conservation


in Perspective Edited by A. Warren and F.B. Goldsmith, John
Willey and Sons Ltd.

Brady, B. H. G., dan Brown, E. T., 2004. Rock Mechanics for


Underground Mining Third Edition. Kluwer Academic
Publishers: Boston, USA.

Brown S.L., R.L. Chaney, J.S.Angle and A.J.M. Baker. 1995. Zink and
Cadmium uptake by hyperaccumulator Thlaspi caerulescens
grown in nutrient solution. Soil Science Society of America
Journal 59:125-133.

Chaney, SL Brown, JS Angle. 1998. Soil-root interface: Food chain


contamination and ecosystem health. M Huang, et
al. (Eds.), Madison WI: Soil Sci Soc Am, 3.pp. 9-11

141
Dariah, A. dan Mazwar, D. 2012. Penetapan Konduktivitas Hidrolik
Tanah Dalam Keadaan Jenuh: Metode Laboratorium.

Dariah, Ai, A. Abdurachman, dan D. Subardja. 2010. Reklamasi lahan


eks-penambangan untuk perluasan areal pertanian. Jurnal
Sumberdaya Lahan. Vol: 4(1). 1-12

Darmono. 2001. Lingkungan Hidup dan Pencemaran: Hubungannya


dengan Toksikologi Senyawa Logam. Universitas Indonesia
Press. Jakarta.

Dhawan, N., Roseman, I. J., Naidu, R. K., Thapa, K., & Rettek, S. I.
1995. Self-concepts across two cultures: India and the United
States. Journal of Cross-Cultural Psychology, 26(6), 606-621.

EGVM] Expert Group on Vitamins and Minerals. 2002. Review of


chromium. Paper for discussion prepared by the UK
Department of Health and MAFF, EVM/99/26, revised August
2002, London (UK).

Ernst, W. H. 2005. Phytoextraction of mine wastes–options and


impossibilities. Geochemistry, 65, 29-42.

Gallo L, Carnier P, Cassandro M, Mantovani R, Bailoni L, dan Bittante


G. 1996. Change in Body Condition Score of Holstein cows as
Affected by parity and mature equivalent milk yield. J. Dairy
Sci. 79:1009-1015

Gallo, M., R. Mlynár, L. Rajèáková. 1996. Porovnanie obsahu t'ažkých


kovov v tkanivách dojníc zo Spišských Vlách a ¼ubeníka.
Sympozium o ekológii vo vybraných aglomeraciách Jelšavy a
¼ubeníka a Stredného Spiša, Hrádok, pp. 29-31

Haruna, N., T. Wardiyati, M. D. Maghfoer, E. Handayanto. 2018.


Fitoremediasi lahan yang mengalami cekaman logam berat
nikel dengan menggunakan tumbuhan endemik belimbing
bajo (Sarcotheca celebica Veldk). Journal TABARO. Vol: 2(2).

Hasan, 2012. Hijauan Pakan Tropik. IPB Bogor.

Hasan, S. 2000. Pendapatan Asli Daerah. Penerbit Gunung Agung,


Jakarta.

142
Hasan, S., dan Syahdar, B. 2014. Model pengembangan sapi potong
berbasis peternakan rakyat dalam mendukung program
swasembada daging sapi nasional limbah pertanian. Fakultas
Peternakan Universitas Hasanuddin, Makassar.

Hasan, S., A. Natsir., A. Ako., A. Purnama., and Y. Ishii. 2016.


Evaluation of Tropical Grasses on Mine Revegetation for
Herbage Supply to Bali Cattle in Sorowako, South Sulawesi,
Indonesia. Online Journal of Biological Sciences.Volume 16
(2) Hal 102.106.

Hasan, S., Masuda, Y., Shimojo, M., and Natasir, A. 2005.


Performance of male bali cattle raised in the marginal land
with three strata forage system in different seasons. Journal of
the Faculty of Agriculture, Kyushu University. Vol: 50(1). Pp
125-128.

Hasan, S., Mujnisa, A., Khaerani, P. I., and Natsir, A. 2020. Potential
of complete feed formulated from local raw materials on beef
cattle performance. EurAsian Journal of BioSciences, 14(1),
1-6.

Hasan, S., Nompo, S., Mujnisa, A., & Isti, K. P. 2019. Utilization of
urine and weed of Chromolaena odorata as a basic material
for liquid fertilizer. In IOP Conference Series: Earth and
Environmental Science. Vol. 247(1). IOP Publishing.

Hasan, S., Pomalingo, N., & Bahri, S. 2018. Pendekatan dan Strategi
Pengembangan Sistem Pertanian Terintegrasi Ternak-
Tanaman Menuju Ketahanan Pangan Nasional. Prosiding
Seminar Nasional Integrated Farming System, Gorontalo 25-
26 November

Hetrick, B.A.D., G.W.T. Wilson and D.A.H. Figge. 1994. The influence
of mycorrhizal symbiosis and fertilizer amendments on
establishment of vegetation in heavy- metal mine spoil.
Environmental Pollution, Vol. 86(2). pp. 171-179.

Hidayati, N. 2005. Phytoremediation and potency of hyperaccumulator


plants. Hayati Journal of Biosciences, 12(1), 35-35.

143
Hidayati, N. 2013. Mekanisme fisiologis tumbuhan hiperakumulator
logam berat. Jurnal Teknologi Lingkungan. Vol: 14(2).

Hronec, O. 1996. Exhaláty priemyslu an ich ekonomické dôsledky na


rastlinnú výrobu, Sympózium o ekológii vo vybraných
aglomeraciách Jelšavy a ¼ubeníka a Stredného Spiša,
Hrádok, pp. 74-77

Hutton, M., Symon, C. 1986. The Quantities of Cadmium, Lead,


Mercury, and Arsenic Entering the U.K. Environment from
Human Activities. Sci. Total Environ. 57: 129-150

Institute of Medicine. 2001. Committee on Quality of Health Care in


America. Institute of Medicine Reports Composite Summary.
Washington DC: National Academy Press.

Irawanto R., 2010. Fitoremediasi Lingkungan Dalam Tanah Bali.Local


Wisdown Jurnal Ilmiah Online ISSN. 2086-3764-2 (4)-29-35.

Iskandar. 2008. Rehabilitasi Kerusakan Lahan Akibat Kegiatan


Pertambangan. Diklat Pengawasan Lingkungan Hidup pada
Kegiatan Pertambangan. Tangerang (ID): Pusdiklat
Kementrian Negara Lingkungan Hidup Kawasan Puspitek

Juhaeti T, Syarif F, Hidayati N. 2005. Inventarisasi tumbuhan


potensial untuk fitoremediasi lahan dan air terdegradasi
penambangan emas. Biodiversitas 6 (1): 31-33.

Kasprazak, K.S., Bal, W. and Karaczyn, A.A. 2003. The role of


chromatin damage in nickel induced carcinogenesis. A review
of recent developments. Journal of Environmental Monitoring,
5, 183-187. doi:10.1039/b210538c.

Khalafalla A, Fatma H, Schwagele F, Mariam A. 2011. Heavy metal


residue in beef carcasses in Beni-Suef abattoir. Egypt
Veterinaria Italiana, 47, 351-61.

Khalafalla, R.E., Muller, U., Shahiduzzaman, M., et al. 2011. Effects of


Curcumin (Diferuloylmethane) on Eimeria tenella Sporozoites
In Vitro. Parasitology Research, 108, 879-886.
https://doi.org/10.1007/s00436-010-2129-y

144
Kottferova, B Korenekova, I Breyl, and R Nadaskay. 1996. Free-living
animals as indicators of environmental pollution by chlorinated
hydrocarbons: Toxicological and Environmental Chemistry
[Toxicol. Environ. Chem.], vol. 53, no. 1-4, pp. 19-24.

Kottferová, J. 1996. Residual contaminants of cadmium in relation to


environmental protection, health, and quality of food products.
Dissertation, Košice, pp. 130.

Kusnoto dan Kusumodirdjo. 1995. Dampak Penambangan dan


Reklamasi Dirjen Pertambangan Umum. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Teknologi Mineral. Bandung.

Kusuma, A.P. 2008. Menambang tanpa merusak lingkungan. Buletin


Tata Ruang, Juli – Agustus. Diperoleh dari
http://www.penataanruang.net/bulletin/ index.asp?mod=_
fullart&idart=88

Kusuma. 2018. Pengaruh Reward Dan Punishment Terhadap Kinerja


Karyawan Perusahaan Startup Entra Indonesia. Sosiohumanit
as Journal. Vol. 20 No. 2 : 54-63.

McDowell, L.R. 2003. Minerals in animals and human nutrition. 2nd


Edition, Elsevier Science BV, Amsterdam, 144 p.

Mlynarèíková, H., J. Legáth, N. Pijaková. 1994. Hodnotenie expozície


vo vzt'ahu k hodnoteniu miery rizika chemických látok. Slovak
Vet. J. 19, 291-293,

Moenir, Misbachul. 2010. Kajian Fitoremediasi Sebagai Alternatif


Pemulihan Tanah Tercemar Logam Berat. Jurnal Riset
Teknologi Pencegahan dsn Pencemaran Industri

National Research Council (NRC). 2000. Inquiry and The National


Science Education Standard A Guide for Teaching and
Learning. Washington DC: National Academy Press.

Notohadiprawiro, T. 2006. Pengelolaan Lahan dan Lingkungan Pasca


Penambangan.Yogyakarta (ID): Departemen Ilmu Tanah,
Universitas Gajah Mada.

145
NRC, 2000. Nutrient requirements of beef cattle. 7th edition, National
Academies Press, Washington D. C

Palabiran. 2012. Sistem Pemeliharaan Sapi Potong. Penebar


swadaya. Jakarta.

Parakkasi, A.1999. Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak


Ruminansia.Universitas Indonesia Press. Jakarta

Prasetyo, B. H. 2012. Perbedaan Sifat-Sifat Tanah Vertisol Dari


Berbagai Bahan Induk Differentiation in Properties Of Vertisol
From Various Parent Materials. In Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian
Indonesia (Vol. 9, Issue 1).

Prasetyo, D. R. 2011. Evaluasi Kandungan Logam Berat Pb Dan Cd


Dalam Air Sungai Bengawan Solo Di Sekitar Kawasan Industri
Jurug Surakarta, Skripsi, Universitas Muhammadiyah
Surakarta, Surakarta

Preston, TR, Leng, RA. 1987. Matching Ruminant Production


Systems with Available Resources in the Tropics and
Subtropics. Pennbul Books, Armidale

Purbajanti, E.D., D. Soetrisno, E. Hanudin dan S.P.S. Budi. 2007.


Karakteristik lima jenis rumput pakan pada berbagai tingkat
salinitas. J. Pengembangan Peternakan Tropis. 32 (3): 186-
197.

Purbayanti, Endang. dkk. 1988. Dasar-dasar Ilmu Tanah. UGM Press.


Yogyakarta.

Purnama, A., Zakaria, F., Kusumaningrum, H. D., & Hasan, S. 2014.


Selected minerals in meat of cattle grazing in mine
revegetation areas and safe consumption for human. Food
science and quality management, 30, 18-25.

Purnnomo, D. W., M. Magandhi, H. Helmanto, J. R. Witono. 2015.


Jenis-jenis Tumbuhan Reklamasi Potensial untuk
Fitoremediasi di Kawasan Bekas Tambang Emas. Prosiding
Seinar Nasional Biodiversitas Indonesia. Vol: 1(3). Hal 2407-
8050.

146
Purwantari N D. 2007. Reklamasi area tailing di pertambangan
dengan Tanaman pakan ternak; mungkinkah. Jurnal
Wartazoa vol. 17 no. 3 th.

Purwantari N.D. 2007. Reklamasi area tailling di pertambangan


dengan tanaman pakan ternak; mungkinkah. Wartazoa. Vol:
17 (3). Hal 101-108.

Puslitanak. 1995. Studi Upaya Rehabilitasi Lingkungan Penambangan


Timah (Laporan Akhir penelitian). Kerjasama antara Proyek
Pengembangan Penataan Lingkungan Hidup dengan Pusat
Penelitian Tanah dan Agroklimat.

Wuana, R.A. and F. E. Okieimen, "Heavy Metals in Contaminated


Soils: A Review of Sources, Chemistry, Risks and Best
Available Strategies for Remediation," ISRN Ecology, vol.
2011, pp. 1-20, 2011.

Rachman, A dan Abdurachman A. 2006. Penetapan Kemantapan


Agregat Tanah. Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan
Pertanian, Bogor, 63-74.

Rachman, A., A. Dariah, dan E. Husen, 2004. Olah Tanah


Konservasi. Teknologi Konservasi Tanah pada Lahan Kering.
Puslitbangtanak. Badan Litbang Pertanian. Departemen
Pertanian 2004.

Rahmadani, T., S. M. Sabang, dan I. Said. 2015. Analisis kandungan


logam zink (zn) dan timbal (pb) dalam air laut pesisir pantai
mamboro Kecamatan palu utara. Jurnal Akademika Kimia.
Vol: 4(4). 197-203.

Rahman, A. 2006. Kandungan Logam Berat Timbal (Pb) dan


Kadmium (Cd) pada Beberapa Jenis Krustasea Di Pantai
Batakan dan Taksiung Kabupaten Tanah Laut Kalimantan
Selatan, Bioscientiae, 3 (2), 93-101

Rahmawati, A., dan Santoso S.J. 2012. Studi Adsorpsi Logam Pb (II)
dan Cd (II) Pada Asam Humat Dalam Medium Air, Jurnal
Alchemy 218: 536

147
Rahmawaty, 2002. Restorasi Lahan Bekas Tambang berdasarkan
Kaidah Ekologi, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera
Utara, Medan.

Rahmawaty. 2002. Restorasi Lahan Bekas Tambang berdasarkan


Kaidah Ekologi. Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera
Utara, Medan

Salt, D. E., Blaylock, M., Kumar, N. P., Dushenkov, V., Ensley, B. D.,
Chet, I., & Raskin, I. 1995. Phytoremediation: a novel strategy
for the removal of toxic metals from the environment using
plants. Bio/technology, 13(5), 468-474.

Santoso, E., Pratiwi, M. Turjaman, C.H. Siregar, A. Subiakto, R.S.B.


Irianto, R.R. Sitepu, dan Anwar. 2008. Input teknologi untuk
rehabilitasi lahan pasca penutupan tambang (mine
closure). Jurnal Studi Reklamasi 2(4):156-162.

Sarma H. 2011. Metal hyperaccumulation in plants: A review focusing


on phytoremediation technology. J Environ Sci Technol 4 (2):
118-138.

Sema, 2015. Pemberina pupuk hijau cair terhadap pertumbuhan


rumput Brachiaria brizantha. SKRIPSI [Unpublish]

Shaji, H., Chandran, V., & Mathew, L. 2021. Organic fertilizers as a


route to controlled release of nutrients. In Controlled Release
Fertilizers for Sustainable Agriculture (pp. 231-245). Academic
Press.

Sharma, K.; Dutta, N.; Pattanaik, A. K.; Hasan, Q. Z., 2003.


Replacement value of undecorticated sunflower meal as a
supplement for milk production by crossbred cows and
buffaloes in the Northern plains of India. Trop. Anim. Health
Prod., 35: 131-145

Skalická, M.; B. Koréneková, P. Nad, dan Z. Makóová. 2002.


Cadmium levels in poultry meat. Veterinarski Arhiv. 72(10):
11-17.

148
Tahvonen, O., and Withagen, C.C. 1996. Optimality of irreversible
pollution accumulation. Journal of Economic Dynamics and
Control, 20, 1775-1795.

Tala’ohu, S.H., S. Moersidi, Sukristiyonubowo, dan S. Gunawan.


1995. Sifat fisikokimia tanah timbunan batubara (PT BA) di
Tanjung Enim, Sumatera Selatan. Dalam Prosiding
Pertemuan Pembahasan dan Komunikasi Hasil Penelitian
Tanah dan Agroklimat. Bidang Konservasi Tanah dan Air,
serta Agroklimat. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat.
Bogor. Hal 39-48.

Tataruch, F. (1995): Red deer antlers as biomonitors for lead


contamination. Bull. Environ. Contam. Toxicol. 55, 332-437

Trends and Promises. Environmental Science & Technology, 44(8),


2767–2776.

United Nation Environment Programe (UNEP). 1999.


https://www.unep.org/ resources/synthesis-reports/unep-
annual-evaluation-report-1999.

Utamy, R. F., Sonjaya, H., Ishii, Y., Hasan, S., Nazira, M., Taufik, M.,
& Januarti, E. (2021). Mixed Cropping of Dwarf Napiergrass
(cv. Mott) with Indigofera () using an Alley Cropping
System. The Open Agriculture Journal, 15(1).

Wardhayani, S. 2006. Analisis risiko pencemaran bahan toksik timbal


(Pb) pada sapi potong di tempat pembuangan akhir (TPA)
sampah Jatibarang Semarang. Jurnl Kesehatan Lingkungan
Indonesia. Vol 5(1). 11-16.

149
TENTANG PENULIS

Prof. Dr. Ir. Syamsuddin Hasan, M.Sc., adalah


salah satu staf dosen di Fakultas Peternakan,
Universitas Hasanuddin (UNHAS) yang lahir di
Pinrang tanggal 23 September 1952. Gelar insinyur
diperoleh dari Fakultas Peternakan UNHAS pada
tahun 1978, kemudian mulai bekerja di Fakultas
Peternakan UNHAS sebagai staf pengajar/dosen
pada tahun 1979 dengan pangkat terakhir saat ini
Guru Besar Golongan IVe. Menyelesaikan pendidikan pada program
master di Miyazaki University, Japan pada tahun 1985 dan program
doktor di Kyushu University, Japan pada tahun 1989, dan Post
Doctoral selama delapan bulan di Miyazaki University, Japan pada
tahun 1992.
Pengalaman dalam bidang penelitian cukup banyak dengan berbagai
program skim penelitian dalam dan luar negeri yang dipublikasikan
melalui jurnal nasional dan internasional. Juga aktif sebagai dosen
tamu di beberapa perguruan tinggi di dunia, diantaranya Universitas
Los Banos (Phillippines), Universitas Mae Fah Long (Thailand),
Universitas Saskatchewan, Saskatoon (Canada), dan Universitas
Forest and Agriculture HCMC (Vietnam).
Memperoleh beberapa penghargaan dari dalam dan luar negeri
antara lain sebagai peneliti terbaik (The Best Researcher of SEAMEO
Jasper Fellowship) dari SEAMEO pada tahun 2001 yang
mengantarkannya sebagai dosen tamu di beberapa universitas dan
lembaga riset di Asia Tenggara dan Kanada. Sementara,
penghargaan yang diterima dari dalam negeri dalam bidang
pemberdayaan masyarakat adalah IPTEKDA LIPI AWARDS 2006
yang diterima sebagai bukti apresiasi LIPI (Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia) atas dedikasi dalam memajukan masyarakat
melalui aplikasi teknologi tepat guna yang dikembangkan dalam
memberdayakan masyarakat utamanya petani peternak dan usaha
kecil dan menengah (UKM). Penghargaan dari Gubernur Sulawesi
Selatan sebagai Penggiat Koperasi Tingkat Provinsi Sulawesi Selatan
tahun 2009.

150
Prof. Dr. Ir. Ambo Ako, M.Sc., IPU. Lahir di Wajo,
Sulawesi Selatan, 31 Desember 1964. Telah
menyelesaikan pendidikan S1 (Ir.) di Fakultas
Peternakan Universitas Hasanuddin pada tahun
1988, S2 (M.Sc.) di Animal and Grassland Division of
Agriculture Miyazaki University Japan tahun 1995, S3 (Ph.D.) di
Animal and Grassland Division United Graduate School of Agricultural
Sciences Kagoshima University Japan tahun 1998. Selanjutnya telah
mengikuti Post Doctor di Miyazaki University Japan tahun 2004 dan
Short Research di Mayazaki University Japan tahun 2005.

Penulis adalah Guru Besar dalam bidang Tata Laksana Ladang


Ternak pada Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin Makassar
sejak tahun 2007. Penulis banyak melakukan penelitian mengenai
sistem grazing pada ternak sapi perah dan upaya pemanfaatan bahan
baku lokal dalam meningkatkan produksi dan kualitas susu ternak
sapi perah. Penulis menjadi staf pengajar pada Fakultas Peternakan
Universitas Hasanuddin sejak tahun 1989 – sekarang. Selain
mengajar, penulis juga melaksanakan tugas tambahan yaitu menjabat
sebagai Ketua Laboratorium Ternak Perah sejak tahun 2021 –
sekarang, Pembantu Dekan III Bidang Kemahasiswaan dan Alumni
pada tahun 2006 – 2010, dan Pembantu Dekan II Bidang Administrasi
dan Keuangan pada tahun 2010 – 2014, dan Ketua Progran Studi
Magister S2 Ilmu dan Teknologi Peternakan sejak tahun 2018 -
sekarang.

151
Dr. Agr. Ir. Renny Fatmyah Utamy, S. Pt., M.
Agr. IPM. Lahir di Ujungpandang, Sulawesi
Selatan, 20 Januari 1972. Telah menyelesaikan
pendidikan S1 (S. Pt.) di Fakultas Peternakan
Universitas Hasanuddin (1996); S2 (M. Agr.) di
Faculty of Agriculture, Miyazaki University,
Japan (2009); S3 (Dr. Agr.) di Faculty of Agriculture, Miyazaki
University, Japan (2012). Selanjutnya telah mengikuti Profesi
Peternakan (Ir-IPM) di Universitas Gadjah Mada (2019).

Penulis adalah dosen aktif pada Fakultas Peternakan Universitas


Hasanuddin, Makassar sejak 2015 hingga saat ini. Penulis banyak
melakukan kegiatan penelitian mengenai manajemen pakan baik itu
hijauan maupun konsentrat dalam upaya dan mengangkat dan
memanfaatan bahan baku pangan lokal dalam meningkatkan produksi
dan kualitas susu sapi perah. Selain mengajar, penulis juga
melaksanakan tugas tambahan yaitu menjabat sebagai Ketua
Pengembangan Sapi Perah (2021 hingga saat ini) dan Sekretaris
pada Gugus Penjaminan Mutu dan Peningkatan Reputasi pada
Fakultas Peternakan, Universitas Hasanuddin (2022-hingga saat ini).

152
Sema, S.Pt., M.Si., adalah salah satu staf dosen di
Prodi Nutrisi dan Teknologi Pakan Ternak Fakultas
Pertanian Universitas Puangrimaggalatung
(UNIPRIMA), yang lahir di Tarabbi tanggal 06 Mei
1991. Gelar Sarjana (S1) bidang Nutrisi dan
Makanan Ternak diperoleh dari Fakultas
Peternakan UNHAS pada tahun 2015, kemudian
melanjutkan studi Program Magister (M.Si.) di
Prodi Ilmu dan Teknologi Peternakan UNHAS tahun 2017 dan
berhasil menyelesaikan pada tahun 2019. Kini mulai meniti karir
sebagai staf dosen di UNIPRIMA pada tahun 2020 dengan pangkat
terakhir saat ini Asisten Ahli/ III.b. Kemudian kembali menempuh
pendidikan Doktoral Program studi Ilmu Pertanian Unhas pada tahun
2021.
Pengalaman dalam bidang penelitian cukup banyak dengan berbagai
program skim penelitian dalam negeri yang dipublikasikan melalui
jurnal nasional dan internasional. Juga aktif pada kegiatan
pengabdian masyarakat dalam memberikan edukasi pada
masyarakat. Selain itu juga aktif dalam membimbing mahasiswa, baik
dalam bidang pendidikan, penelitian maupun pengabdian.
Memperoleh beberapa penghargaan dari kampus tempat mengabdi
saat ini antara lain sebagai peneliti dengan publikasi terindex scopus
peringkat II tertinggi dan peringkat Sinta tertinggi ke-III di UNIPRIMA
yang diberikan oleh Pimpinan Tertinggi UNIPRIMA atas dedikasi
dalam memajukan grade institusi. Selain penghargaan, selama
menempuh pendidikan juga memperoleh Beasiswa Bidikmisi dan
Beasiswa Pendidikan Indonesia (BPI) dari Kementerian Pendidikan,
Kebudayaan, Riset dan Teknologi dari Pemerintah Republik
Indonesia. Berbagai kegiatan organisasi juga dilakoni untuk
menunjang soft skill selama ini sampai sekarang.

153
Indrawirawan, S.Pt., M.Sc. Lahir 12 Juni 1992 di
Camba, Maros, Sulawesi Selatan. Menyelesaikan
program sarjana di Fakultas Peternakan, Universitas
Hasanuddin (UNHAS) pada tahun 2015 dan
program magister di program studi Ilmu Peternakan,
Fakultas Peternakan, Universitas Gadjah Mada
(UGM) pada tahun 2021. Memulai karir sebagai dosen di Departemen
Nutrisi dan Makanan Ternak, Fakultas Peternakan UNHAS pada
tahun 2022. Selama menempuh pendidikan, memperoleh beasiswa
Bidikmisi pada program sarjana dan beasiswa Lembaga Pengelola
Dana Pendidikan (LPDP) pada program magister.

Selama menempuh pendidikan dan karir sebagai dosen, penulis


terlibat aktif dalam kegiatan penelitian maupun pengabdian
masyarakat. Saat menempuh program magister, penulis menerima
hibah publikasi pada program rekognisi tugas akhir dari Universitas
Gadjah Mada sehingga berhasil menerbitkan berbagai publikasi
artikel di prosiding internasional. Penulis juga terlibat aktif sebagai tim
pelaksana Fakultas Peternakan dalam program Matching Fund
Kedaireka dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan
Teknologi tahun 2022.

154
Muh. Agung Syamsuddin, S.T. Lahir 5 Oktober
1997 di Makassar, Sulawesi Selatan.
Menyelesaikan program sarjana di Fakultas Teknik,
Departemen Teknik Geologi, Universitas
Hasanuddin (UNHAS) pada tahun 2021 dan sedang
melanjutkan program magister di program studi
Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Hasanuddin (UNHAS). Saat ini
penulis terlibat aktif dalam penelitian dan kepenulisan. Melalui buku
ini, penulis mendapatkan pelajaran berharga dalam meningkatkan
kualitas akademik dan soft skill yang dimiliki.

155
Dr. Jasmin Ambas, SKM, M. Kes. Lahir 02 Juni
1963 di Tinambung, Polewali Mandar, Sulawesi
Barat. Menyelesaikan program sarjana di Fakultas
Kesehatan Masyarakat, Universitas Hasanuddin
(UNHAS) pada tahun 1998 dan program magister di
program studi Administrasi Rumah Sakit, Fakultas
Kesehatan Masyarakat, Universitas Hasanuddin (UNHAS) pada tahun
2003, dan Program Doktor Universitas Negeri Makassar (UNM) pada
tahun 2018. Memulai karir sebagai Pegawai Negeri Sipil Non dosen di
Kementerian Kesehatan RI hingga tahun 2019 dan dosen pada
Program Studi Administrasi Kesehatan Fakultas Ilmu Keolahragaan
dan Kesehatan di Universitas Negeri Makassar (UNM) pada tahun
2020. Selama menjadi Pegawai Negeri Sipil Non dosen di
Kementerian Kesehatan RI hingga tahun 2019 telah menjadi dosen
Luar Biasa (LB) pada Universitas Al Ásyariah Mandar (UNASMAN)
dari tahun 2004-2018, menduduki jabatan sebagai dekan Fakultas
Kesehatan Masyarakat (FKM) dari tahun 2004-2018. Menjadi Dosen
Luar Biasa (LB) Pascasarjana Keperawatan Fakultas Kedokteran
Universitas Hasanuddin, (UNHAS) pada tahun 2016-2018, dosen
Program Studi Administrasi Kebijakan Kesehatan (AKK) Pascasarjana
Universitas Muslim Indonesia (UMI) pada tahun 2018-sekarang
(2022).

156

Anda mungkin juga menyukai