Anda di halaman 1dari 149

PLAXIS Versi 8

Manual Model
Material
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI

1 Pendahuluan .................................................................................................1-1
1.1 Penggunaan berbagai model .................................................................. 1-1
1.2 Keterbatasan. .......................................................................................... 1-3

2 Pengenalan pemodelan material ................................................................. 2-1


2.1 Definisi umum dari tegangan ................................................................. 2-1
2.2 Definisi umum dari regangan ................................................................. 2-4
2.3 Regangan elastis..................................................................................... 2-5
2.4 Analisis tak terdrainase dengan parameter efektif .................................. 2-8
2.5 Analisis tak terdrainase dengan parameter tak terdrainase (parameter
total) ............................................................................................................. 2-12
2.6 Tekanan prakonsolidasi awal dalam model tingkat lanjut ................... 2-12
2.7 Tegangan awal ..................................................................................... 2-14

3 Model Mohr-Coulomb (plastisitas sempurna) ........................................... 3-1


3.1 Perilaku elastis plastis-sempurna ........................................................... 3-1
3.2 Formulasi model Mohr-Coulomb .......................................................... 3-3
3.3 Parameter dasar model Mohr-Coulomb ................................................. 3-5
3.4 Parameter tingkat lanjut dari model Mohr-Coulomb ............................. 3-8

4 Model Jointed Rock (anisotropis) ............................................................... 4-1


4.1 Matriks kekakuan material elastis anisotropiss ...................................... 4-2
4.2 Perilaku plastis dalam tiga arah.............................................................. 4-4
4.3 Parameter model Jointed Rock ............................................................... 4-7

5 Model Hardening Soil (isotropis) ................................................................ 5-1


5.1 Hubungan hiperbolik untuk uji triaksial terdrainase standar .................. 5-2
5.2 Pendekatan hiperbola oleh model Hardening Soil ................................. 5-3
5.3 Regangan volumetrik plastis untuk kondisi tegangan triaksial .............. 5-5
5.4 Parameter model Hardening Soil ........................................................... 5-6
5.5 "Cap" bidang leleh dalam model Hardening Soil................................. 5-11

6 Model Soft Soil Creep (perilaku yang tergantung waktu).........................................6-1


6.1 Pendahuluan ........................................................................................... 6-1
6.2 Dasar rangkak satu dimensi ................................................................... 6-3
6.3 Variabel  c dan c .............................................................................. 6-4
6.4 Persamaan diferensial untuk rangkak 1-D.............................................. 6-6
6.5 Model tiga dimensi ................................................................................ 6-8
6.6 Formulasi regangan 3D elastis ............................................................. 6-11
6.7 Tinjauan parameter model ................................................................... 6-12
6.8 Validasi model 3D ............................................................................... 6-16

7 Model Soft Soil ............................................................................................. 7-1


7.1 Kondisi isotropis tegangan dan regangan (1 = 2 = 3) ....................... 7-1

MANUAL MODEL MATERIAL


i
7.2 Fungsi leleh untuk kondisi tegangan triaksial (2 = 3) ........................ 7-3
7.3 Parameter model Soft Soil ..................................................................... 7-5

8 Aplikasi model tanah tingkat lanjut ........................................................... 8-1


8.1 Model HS : Respon uji triaksial terdrainase dan tak terdrainase ............ 8-1
8.2 Aplikasi model Hardening Soil pada uji sesungguhnya ......................... 8-6
8.3 Model SSC : Respon uji kompresi satu dimensi .................................. 8-12
8.4 Model SSC : Uji triaksial tak terdrainase pada berbagai kecepatan
pembebanan ................................................................................................. 8-17
8.5 Model SS : Respon uji kompresi isotropis ........................................... 8-20
8.6 Konstruksi galian di bawah muka air dengan model HS ..................... 8-22
8.7 Konstruksi timbunan untuk jalan dengan model SSC .......................... 8-24

9 Model tanah dari pengguna ........................................................................ 9-1


9.1 Pengantar ............................................................................................... 9-1
9.2 Implementasi model UD dalam program perhitungan ........................... 9-1
9.3 Masukan dari parameter model UD melalui antarmuka-pengguna ...... 9-10

10 Referensi ..................................................................................................... 10-1

Lampiran A : Simbol.................................................................................................. A-1

Lampiran B : Subrutin Fortran untuk model UD................................................... B-1

Lampiran C : Membuat berkas "debug" untuk Model UD ................................... C-1

i
PENDAHULUAN

1 PENDAHULUAN

Perilaku mekanis dari tanah dapat dimodelkan pada berbagai tingkat akurasi. Hukum
Hooke yang linier dan isotropis-elastis, misalnya, dapat dianggap sebagai hubungan
tegangan-regangan yang paling sederhana saat ini. Karena model ini hanya terdiri dari
dua buah parameter saja, yaitu modulus Young (E) dan angka Poisson (), maka
umumnya model ini terlalu sederhana untuk dapat meneakup berbagai sifat penting dari
perilaku tanah maupun batuan. Walaupun demikian, untuk memodelkan elemen
struktural yang masif dan lapisan batuan dasar, model linier elastis dapat digunakan.

1.1 PENGGUNAAN BERBAGAI MODEL

Model Mohr-Coulomb (MC)


Model Mohr-Coulomb adalah model elastis-plastis yang terdiri dari lima buah
parameter, yaitu E dan  untuk memodelkan elastisitas tanah;  dan c untuk
memodelkan plastisitas tanah dan  sebagai sudut dilatansi. Model Mohr-Coulomb
merupakan suatu pendekatan "ordo pertama" dari perilaku tanah atau batuan. Model ini
disarankan uutuk digunakan dalam analisis awal dari masalah yang dihadapi. Setiap
lapisan dimodelkan dengan sebuah nilai kekakuan rata-rata yang konstan. Karena
kekakuan yang konstan, maka perhitungan cenderung cepat dan dapat diperoleh
perkiraan awal dari bentuk deformasi dari model. Disamping kelima parameter dari
model tersebut, kondisi tegangan awal dari tanah memegang peranan yang penting
dalam hampir seluruh masalah deformasi tanah. Tegangan horisontal awal tanah harus
ditentukan terlebih dahulu dengan menentukan nilai K0 yang tepat.

Model Jointed-Rock (JR)


Model Jointed-Rock atau model batuan dengan kekar adalah sebuah model elastis-
plastis anisotropiss, yang dikembangkan khusus untuk memodelkan perilaku lapisan
batuan yang mempunyai stratifikasi dan arah-arah kekar (fault) tertentu. Plastisitas
hanya dapat terjadi dalam maksimum tiga buah arah geser (bidang geser). Masing-
masing bidang geser mempunyai parameter kekuatannya sendiri. Batuan yang masif
dianggap berperilaku elastis penuh dengan parameter kekakuan E dan  yang konstan.
Reduksi sifat elastisitas dapat diberikan pada arah stratifikasi.

Model Hardening Soil (HS)


Model Hardening Soil merupakan model tingkat lanjut untuk memodelkan perilaku dari
tanah. Seperti pada model Mohr-Coulomb, kondisi tegangan batas dideskripsikan oleh
sudut geser, , kohesi, c dan sudut dilatansi, . Namun demikian, kekakuan tanah
dideskripsikan lebih akurat dengan menggunakan tiga kekakuan yang berbeda :
kekakuan pembebanan triaksial, E50, kekakuan pengurangan beban (unloading) triaksial,
Eur dan kekakuan pembebanan satu arah, Eoed. Untuk nilai tipikal dari berbagai jenis

1-1
MANUAL MODEL MATERIAL

tanah, dapat digunakan Eur  3E50 dan Eoed  E50, tetapi tanah yang sangat lunak dan
tanah yang sangat kaku cenderung memberikan rasio Eoed/E50 yang berbeda.
Berbeda dengan model Mohr-Coulomb, model Hardening Soil mengikutsertakan
modulus kekakuan yang bergantung pada tegangan. Hal ini berarti bahwa kekakuan
akan semakin meningkat terhadap tegangan. Karena itu, ketiga kekakuan merupakan
nilai yang berhubungan dengan sebuah tegangan acuan, yang umumnya diambil sebesar
100 kPa (1 bar).

Model Soft Soil Creep (SSC)


Model Hardening Soil di atas dapat digunakan untuk semua jenis tanah, tetapi model
tersebut tidak mengikutsertakan efek viskositas, yaitu rangkak (creep) dan relaksasi
tegangan. Kenyataannya, semua jenis tanah mengalami rangkak dan kompresi primer
yang diikuti dengan kompresi sekunder.
Kompresi sekunder sangat dominan pada tanah-tanah lunak, yaitu lempung yang
terkonsolidasi normal, tanah lanaua serta gambut, sehingga model ini disebut sebagai
model Soft Soil Creep. Perlu diketahui bahwa model Soft Soil Creep merupakan model
yang relatif baru yang telah dikembangkan untuk aplikasi masalah penurunan pada
pondasi, timbunan, dan lain-lain. Untuk masalah pengurangan beban, yang umumnya
dihadapi dalam masalah terowongan serta galian, model Soft Soil Creep tidak dapat
menggantikan model Mohr-Coulomb yang sederhana. Seperti juga halnya pada model
Mohr-Coulomb, kondisi awal tanah yang benar juga merupakan hal yang penting saat
menggunakan model Soft Soil Creep. Untuk model Hardening Soil dan model Soft Soil
Creep, penentuan kondisi awal tanah juga melibatkan data masukan berupa tekanan
prakonsolidasi karena model-model ini telah mengikutsertakan efek dari konsolidasi
yang berlebih.

Model Soft Soil (SS)


Model Soft Soil adalah jenis model Cam-Clay yang ditujukan khusus untuk analisis
kompresi primer dari tanah lempungan yang terkonsolidasi normal. Meskipun
kemampuan dari model ini berada di bawah model Hardening Soil, namun model Soft
Soil tetap dipertahankan dalam versi ini karena beberapa pengguna P LAXIS mungkin
masih terbiasa dengan model ini dan masih ingin menggunakannya.

Analisis dengan berbagai model yang berbeda


Disarankan untuk pertama kali menggunakan model Mohr-Coulomb untuk analisis yang
relatif cepat dan sederhana dari masalah yang dihadapi. Saat tidak diperoleh data tanah
yang memadai, maka tidak diperlukan untuk melanjutkan analisis dengan menggunakan
model-model tingkat lanjut lainnya.
Dalam banyak kasus, umumnya tersedia data yang baik dari lapisan tanah yang
dominan, sehingga dapat digunakan model Hardening Soil untuk analisis lebih lanjut.
Data dari hasil uji triaksial dan uji oedometer umumnya jarang diperoleh secara

1-2 PLAXIS Versi 8


PENDAHULUAN

bersamaan, tetapi data dengan kualitas yang baik dari salah satu uji tersebut dapat
diperoleh dari korelasi dan/atau dari uji lapangan.
Terakhir, analisis Soft Soil Creep dapat digunakan untuk memperkirakan rangkak, yaitu
kompresi sekunder dari tanah yang sangat lunak. Ide untuk melakukan analisis masalah
geoteknik dengan beberapa model tanah tampaknya mahal, tetapi cenderung akan
"terbayar lunas". Pertama karena fakta bahwa analisis Mohr-Coulomb relatif cepat dan
sederhana, dan kedua karena prosedur di atas cenderung mereduksi kesalahan.

1.2 KETERBATASAN

Program PLAXIS dan model-model tanah didalamnya telah dikembangkan untuk


melakukan perhitungan dari masalah geoteknik yang realistis. Karena hal ini maka
PLAXIS dapat disebut sebagai alat bantu untuk memodelkan permasalahan geoteknik.
Model tanah dapat dianggap sebagai representasi perilaku tanah secara kualitatif
sedangkan parameter dari model digunakan untuk menyatakan perilaku tanah secara
kuantitatif. Walaupun program P LAXIS beserta model-model tanah telah dikembangkan
secara mendalam, simulasi dari permasalahan sesungguhnya tetap merupakan suatu
pendekatan, yang secara implisit telah melibatkan beberapa kesalahan numerik dan
kesalahan pemodelan yang tidak dapat dihindari. Terlebih lagi, akurasi dari pemodelan
permasalahan sangat bergantung pada keahlian dari pengguna dalam memodelkan
permasalahan, pemahaman dari model tanah dan keterbatasannya, pemilihan model
parameter dan kemampuan untuk mengevaluasi hasil perhitungan.
Baik model tanah dan program P LAXIS selalu dikembangkan secara terus-menerus
sehingga versi yang baru merupakan pembaharuan dari versi sebelumnya. Beberapa
keterbatasan yang masih ada saat ini adalah sebagai berikut :

Model HS
Model ini merupakan model hardening yang tidak mengikutsertakan pelunakan tanah
akibat dilatansi dan efek lepasnya ikatan antar butir. Pada faktanya, model ini
merupakan model hardening isotropis sehingga tidak memodelkan efek histeresis,
pembebanan siklik maupun mobilitas siklik (cyclic mobility). Sebagai catatan,
penggunaan model Hardening Soil umumnya menghasilkan waktu perhitungan yang
lebih lama, karena pembentukan dan dekomposisi matriks kekakuan dari material
dilakukan dalam tiap langkah perhitungan.

Model SSC
Seluruh keterbatasan di atas juga berlaku untuk model Soft Soil Creep. Selain itu model
ini cenderung untuk memprediksi rentang perilaku elastis tanah secara berlebih. Hal ini
khususnya terjadi pada masalah galian, termasuk juga terowongan.

1-3
MANUAL MODEL MATERIAL

Model SS
Keterbatasan yang sama juga berlaku dengan model SS. Sesungguhnya model SS telah
dilampaui oleh model HS, tetapi model SS tetap dipertahankan untuk pengguna yang
telah terbiasa dengan model ini. Penggunaan model SS harus dibatasi untuk situasi yang
dinominasi terutama oleh kompresi. Model ini tidak direkomendasikan untuk digunakan
pada masalah galian.

Antarmuka
Elemen antarmuka umumnya dimodelkan dengan menggunakan model bilinier Mohr-
Coulomb. Saat digunakan model tingkat lanjut untuk kumpulan data material klaster
yang bersangkutan, maka elemen antarmuka hanya akan menggunakan data yang
relevan (c, , , E, ) untuk model Mohr-Coulomb, seperti dijelaskan dalam Bab 3.5.2
dari Manual Acuan. Dalam kasus seperti ini, kekakuan antarmuka diambil sebagai
kekakuan elastis dari tanah. Karena itu E = Eur dimana Eur tergantung dari tingkat
tegangan, diikuti dengan hukum eksponensial dengan nilai Eur proporsional terhadap m.
Untuk model Soft Soil Creep, nilai eksponen m adalah 1 dan Eur ditentukan dari
konstanta muai *.

1-4 PLAXIS Versi 8


PENGENALAN PEMODELAN MATERIAL

2 PENGENALAN PEMODELAN MATERIAL

Model material merupakan suatu persamaan matematis yang menyatakan hubungan


antar tegangan dan regangan. Model material seringkali dinyatakan dalam bentuk
dimana suatu peningkatan tegangan tertentu (atau "perubahan tegangan") dihubungkan
dengan suatu peningkatan regangan tertentu (atau "perubahan regangan"). Seluruh
model material di dalam P LAXIS didasarkan pada suatu hubungan antara perubahan
tegangan efektif, &  , dan perubahan regangan, & . Dalam bab berikut ini akan
dijelaskan bagaimana tegangan dan regangan didefinisikan dalam P LAXIS. Bab
berikutnya akan membahas formulasi dari hubungan dasar antara tegangan dan regangan
serta mendeskripsikan pengaruh dari tekanan air pori pada material tak terdrainase. Bab
ini akan difokuskan pada kondisi awal dari model material tingkat lanjut.

Petunjuk : Elemen dan formulasi model material dalam P LAXIS adalah sepenuhnya
tiga dimensi. Namun, dalam Versi 8 hanya kondisi regangan bidang dan
aksial-simetri saja yang dititnjau.

2.1 DEFINISI UMUM DARI TEGANGAN

Tegangan merupakan sebuah tensor yang dapat dinyatakan oleh sebuah matriks dalam
koordinat Cartesius :
 xx  xy  xz 
 
   yx  yy  yz  (2.1)
  zz 
 zx  zy 
Dalam teori deformasi standar, tensor tegangan adalah simetris sehingga xy = yx,
yz = zy dan zx = xz. Dalam situasi ini, tegangan sering dinyatakan dalam notasi
vektor, yang melibatkan hanya enam buah komponen saja :

  xx  yy  zz  xy  yz  zx T (2.2)

namun dalam kondisi regangan bidang, yz = zx = 0.


Menurut prinsip dari Terzaghi, tegangan dalam tanah dibedakan menjadi tegangan
efektif,  dan tekanan air pori, w :

      w (2.3)
Air dianggap tidak dapat menahan gaya geser sama sekali. Karena itu, tegangan geser
efektif adalah sama dengan tegangan geser total. Komponen tegangan normal positif
dianggap menyatakan tegangan tarik, sedangkan komponen tegangan normal negatif
menyatakan tegangan tekan.

2-1
MANUAL MODEL MATERIAL

Model material untuk tanah dan batu umumnya dinyatakan sebagai hubungan antara
peningkatan tegangan efektif tertentu terhadap peningkatan regangan. Dalam hubungan
semacam itu, peningkatan tegangan efektif tertentu dinyatakan oleh perubahan tegangan
(dinotasikan oleh sebuah titik di atas simbol tegangan) :

&'  &' xx &' yy &' zz &xy &yz & zx T (2.4)

yy
y yx
yz
xy
zy
xx
x
zx xz
z zz

Gambar 2.1 Sistem koordinat umum tiga dimensi dan


perjanjian tanda untuk tegangan

Seringkali lebih menguntungkan menggunakan tegangan utama dibandingkan


komponen tegangan Cartesius dalam formulasi model material. Tegangan utama adalah
tegangan di dalam sistem koordinat dimana seluruh komponen tegangan geser adalah
nol. Sebenarnya, tegangan utama adalah nilai Eigen dari tensor tegangan. Tegangan
efektif utama dapat ditentukan dengan cara berikut :


det '' I  0  (2.5)

dimana I adalah matriks identitas. Persamaan ini menghasilkan tiga buah solusi untuk
, yaitu tegangan-tegangan efektif (1, 2, 3,). Dalam PLAXIS tegangan efektif utama
diatur secara berurutan sebagai berikut :

1  2  3 (2.6)


dimana 1 merupakan tegangan tekan utama terbesar dan 3 merupakan tegangan tekan
utama terkecil. Dalam modul ini, model sering dinyatakan dengan mengacu pada ruang
tegangan utama, seperti ditunjukkan dalam Gambar 2.2.
Selain tegangan utama, umumnya juga berguna untuk mendefinisikan invarian tegangan,
yaitu besarnya tegangan yang tidak tergantung dari orientasi sistem koordinat. Dua buah
invarian tegangan yang berguna adalah :
 yy

p =  1         =  1         
xx zz 1 2
(2.7a)
3
3 3

q= 1
2
         -    
xx yy
2
yy zz
2
zz -   xx 2  6  xy2   yz2  zx2  (2.7b)

2-2 PLAXIS Versi 8


PENGENALAN PEMODELAN MATERIAL

dimana p adalah tegangan efektif isotropis, atau tegangan efektif rata-rata, dan q adalah
tegangan geser ekivalen. Perhatikan bahwa perjanjian tanda yang digunakan untuk p
adalah positif untuk tegangan tekan, berbeda dengan perjanjian tanda untuk tegangan
lainnya. Tegangan geser ekivalen, q, mempunyai sifat penting dan berubah menjadi q =
1 – 3 untuk kondisi tegangan triaksial dengan 2 = 3.

-1

-1 = -2 = -3

-3

-2

Gambar 2.2 Ruang tegangan utama

Tegangan efektif utama dapat dituliskan sebagai fungsi dari invarian sebagai berikut :
    p  2 qsin   2   
(2.8a)
1 3 3


  2  p  2 3qsin   (2.8b)

    p  2 qsin   2   (2.8c)
3 3 3

dimana  adalah sudut Lode (invarian ketiga), yang didefinisikan :

1
 27 J 3 

   3  arcsin    (2.9)
 2 q 3 
dengan

J     p   p   p     p 2     p 2 



...
3 xx yy zz xx yz yy zx

...   zz  p 2xy 2 xy  zx (2.10)


 yz

2-3
MANUAL MODEL MATERIAL

2.2 DEFINISI UMUM DARI REGANGAN

Regangan merupakan sebuah tensor yang dapat dinyatakan oleh matriks dalam
koordinat Cartesius :
 xx  xy  xz 
   yx   yy  yz 

(2.11)
  zz 

 zx  zy 
Sesuai dengan teori deformasi kecil, hanya jumlah dari komponen regangan geser
Cartesius ij dan ji yang saling melengkapi saja yang menghasilkan tegangan geser.
Jumlah ini dinotasikan sebagai regangan geser . Karena itu bukan xy, yx, yz, zy, zx dan
xz melainkan komponen regangan geser xy, yz dan zx yang digunakan. Di bawah
kondisi di atas, regangan seringkali dituliskan dalam notasi vektor, yang melibatkan
hanya enam buah komponen yang berbeda :

 =  xx  yy  zz  xy  yz  zx T (2.12)

ux
 xx = (2.13a)
x

u y
 yy = (2.13b)
y

uz
 zz = (2.13c)
z

     ux uy (2.13d)


 
y x
xy xy yx

     uy uz (2.13e)


 
yz yz zy
z y

     uz ux (2.13f)


 
x z
zx zx xz

Serupa dengan tegangan, komponen regangan normal positif menyatakan regangan


tarik, sedangkan komponen regangan normal negatif menyatakan tekan.
Dalam formulasi model material, dimana digunakan peningkatan regangan tertentu,
peningkatan ini dinyatakan oleh perubahan regangan (dinotasikan dengan sebuah titik di
atas simbol regangan).

2-4 PLAXIS Versi 8


PENGENALAN PEMODELAN MATERIAL

& &xx & yy & zz & xy & yz & zx T (2.14)

untuk kondisi regangan bidang, seperti digunakan dalam P LAXIS Versi 8,

zz = xz = yz = 0


dimana untuk kondisi axi-simetri,

1
zz =  ux dan xz = yz = 0 (r = radius)
r
Dengan invarian tegangan, umumnya berguna mendefinisikan invarian regangan.
Sebuah invarian regangan yang sering digunakan adalah regangan volumetrik, v, yang
didefinisikan sebagai jumlah dari seluruh komponen regangan normal :

v =  xx   yy   zz = 1   2  3 (2.15)

Regangan volumetrik negatif dipakai untuk volume yang memampat dan positif untuk
dilatansi.
Untuk model elastoplastis, seperti digunakan dalam program P LAXIS, regangan
dibedakan menjadi komponen elastis dan komponen plastis :

=ep (2.16)

Dalam manual ini, notasi atas (superscript) e akan digunakan untuk menunjukkan
regangan elastis dan notasi atas (superscript) p akan digunakan untuk menyatakan
regangan plastis.

2.3 REGANGAN ELASTIS

Model material untuk tanah dan batuan umumnya dinyatakan sebagai suatu hubungan
antara peningkatan tegangan efektif tertentu ("perubahan tegangan efektif") dan
peningkatan regangan tertentu ("perubahan regangan"). Hubungan ini dapat dinyatakan
dalam bentuk :

&   M  & (2.17)

M adalah matriks kekakuan material. Perhatikan bahwa dalam pendekatan ini, tekanan
air pori secara ekplisit dipisahkan dari hubungan tegangan-regangan.
Model material yang paling sederhana dalam P LAXIS didasarkan pada hukum Hooke
untuk perilaku elastis linier isotropis. Model ini dinamakan sebagai model Linier Elastis,
namun model ini juga menjadi dasar dari model-model yang lain. Hukum Hooke dapat
dinyatakan dengan persamaan :

2-5
MANUAL MODEL MATERIAL 

 & xx     
1   0 0 0  &xx 
&yy  '  & 
   1    0 0 0   yy 

  
&  E'    ' 1  0 0 0  &zz  (2.18)
&  1 2   1    
zz
0 0 0 1
  0 0 &xy
 xy  2
&yz   0   & 
0 0 0 21   0   yz 
  
 &zx
&zx    0 2 
1
0 0 0 0

Matriks kekakuan elastis dari material seringkali dinotasikan sebagai De . Dua buah
parameter yang digunakan dalam model ini, yaitu modulus Young, E, dan angka Poison
efektif, . Dalam manual ini, untuk seterusnya parameter efektif akan dinotasikan tanpa
tanda aksen (), kecuali jika dinyatakan suatu arti yang berbeda secara eksplisit. Simbol E
dan  kadang kala digunakan dalam manual ini dengan tambahan notasi stabil
(subscript) "ur" untuk menekankan bahwa parameter tersebut secara eksplisit
dimaksudkan untuk pengurangan beban dan pembebanan kembali (unloading dan
reloading). Modulus kekakuan yang dinyatakan dengan tambahan "ref" juga
menekankan bahwa modulus tersebut mengacu pada level referensi (yref) tertentu.
Hubungan antara modulus Young, E, dengan modulus-modulus kekakuan yang lain,
seperti modulus geser, G, modulus bulk, K, dan modulus oedometer, Eoed, dinyatakan
oleh :
E
G = (2.19a)
2  
1  
E
K =  (2.19b)
3  1  2 

1 -  E
Eoed   (2.19c)
 1  2   1

Saat memasukkan parameter dari material untuk model Linier Elastis atau model Mohr-
Coulomb, nilai dari G dan Eoed ditampilkan sebagai parameter tambahan (alternatif),
yang dihitung dengan Pers. (2.19). Perhatikan bahwa parameter alternatif tersebut
dipengaruhi oleh nilai masukan E dan . Memasukkan suatu nilai untuk salah satu dari
parameter alternatif G atau Eoed akan menghasilkan perubahan dari nilai modulus E.
Dalam model Linier Elastis dapat digunakan suatu kekakuan yang berubah secara linier
terhadap kedalaman. Hal ini dapat dilakukan dengan masuk ke jendela parameter tingkat
lanjut dengan menekan tombol Tingkat lanjut, seperti ditunjukkan pada Gambar 2.3.
Disini pengguna dapat memasukkan nilai Eincrement yang merupakan peningkatan
kekakuan per dimensi kedalaman, seperti ditunjukkan dalam Gambar 2.4.
Bersama dengan masukan Eincrement, masukan dari yref menjadi relevan. Di atas yref
kekakuan akan bernilai sama dengan Eref. Di bawah yref, kekakuan akan bernilai sebesar :

Eactual = Eref + (yref – y)Eincrement y < yref (2.20)


2-6 PLAXIS Versi 8
PENGENALAN PEMODELAN MATERIAL

Model Linier Elastis umumnya tidak sesuai untuk memodelkan perilaku tanah yang
sangat tidak linier, tetapi akan tepat jika digunakan untuk memodelkan perilaku dari
struktur, seperti dinding atau pelat beton yang tebal, yang umumnya mempunyai
kekuatan yang sangat tinggi dibandingkan dengan kekuatan tanah. Untuk aplikasi-
aplikasi semacam ini, model Linier Elastis akan sering digunakan bersamaan dengan
jenis material Tidak porous untuk menghilangkan tekanan air pori dari elemen-elemen
struktural ini.

Gambar 2.3 Lembar-tab untuk model Linier Elastis

Gambar 2.4 Jendela parameter tingkat lanjut

2-7
MANUAL MODEL MATERIAL

2.4 ANALISIS TAK TERDRAINASE DENGAN PARAMETER EFEKTIF

Dalam PLAXIS, perilaku tak terdrainase dapat dilakukan dalam suatu analisis tegangan
efektif dengan menggunakan parameter efektif dari model. Hal ini dapat dicapai dengan
mengatur jenis perilaku material (Jenis material) dari lapisan tanah menjadi Tak
terdrainase. Dalam bab ini, dijelaskan bagaimana P LAXIS menangani pilihan khusus ini.
Adanya tekanan air pori dalam massa tanah, umumnya diakibatkan oleh air, ikut
menentukan besarnya tegangan total. Menurut prinsip Terzaghi, tegangan total  dapat
dibedakan menjadi tegangan efektif  dan tekanan air pori, w (lihat juga Pers. 2.3).
Walaupun demikian air dianggap tidak dapat menerima tegangan geser, sehingga
tegangan geser efektif akan sama dengan tegangan geser total :

 xx   xx   w (2.21a)

 yy   yy   w (2.21b)

 zz   zz   w (2.21c)

 xy   xy (2.21d)

 yz   yz (2.21e)

 zx   zx (2.21f)

Perhatikan bahwa serupa dengan komponen tegangan total dan efektif, w dianggap
bernilai negatif untuk tegangan tekan.
Pembedaan lebih jauh adalah antara tekanan air pori hidrostatik atau tekanan air pori
dalam kondisi statis, pstabil, dan tekanan air pori berlebih, pberlebih :

w = pstabil + pberlebih (2.22)


Tekanan air pori dalam kondisi statis dianggap sebagai data masukan, yaitu dibentuk
berdasarkan level freatik atau aliran air dalam tanah. Pembentukan tekanan air pori
dalam kondisi statis dibahas dalam Bab 3.8 dari Manual Acuan. Tekanan air pori
berlebih terbentuk dalam perhitungan plastis untuk kasus perilaku material yang tak
terdrainase. Perilaku material yang tak terdrainase dan perhitungan tekanan air pori
berlebih yang bersangkutan dijelaskan berikut ini.
Karena turunan waktu dari komponen dalam kondisi statis adalah nol, maka :

& w = p& berlebih (2.23)

Hukum Hooke dapat dibalik (invers) untuk memperoleh :

2-8 PLAXIS Versi 8


PENGENALAN PEMODELAN MATERIAL

&e   1      &xx 
xx  0 0 0
 e    
 yy
&
 
1   0 0 0  &yy
&zz   &zz 
    1     1
e 0 0 0    (2.24)
& xy
e
E  0 0 0 2 2 0 0 
& xy 
 &e   0  & 
 0 2 2   yz 

0 0 0
 yzezx
&   0 0 0 0 0 2 2  &zx
Dengan memasukkan Pers. (2.1) akan didapat :

&e   1     0 0  & xx & w 


0
  
 e
xx

 &yy   1   0 0 0  & yy & w 
&e  1    1 0 0 0  & zz & w 


 zz   

 (2.25)
& xy
e
E 0 0 0 2 2  0 0   xy  &
 e  
  &yz 
0 2 2  0  
yz  
0 0 0
&
& ezx 0 0 0 0 0 22   & zx 

Dengan menganggap bahwa air dapat sedikit terkompresi, maka perubahan tekanan air
pori dapat dinyatakan sebagai :

&  K w  & e + & e + & e  


(2.26)
w xx yy zz
n
dimana Kw adalah modulus bulk dari air dan n adalah porositas tanah.
Bentuk invers dari hukum Hooke dapat dituliskan dalam kondisi perubahan tegangan
total dan parameter tak terdrainase Eu dan u :

&e  1   0 0 0  &  
xx
u u 
 e
xx
  & 
&yy  u 1 u 0 0 0 
  yy 
&e  1 u u 1 0 0 0  &zz 
 zz        (2.27)
& xy 2 2u  & xy 
e 0
Eu  0 0 0 0
    &
0

e
&
 
yz  0
2u
0 0 0 2   yz 

&zx 
e
 0 0 0 0 0 2 2 u  & zx 

dimana :  

 u       1   
 
Eu  2  G   1 +  u (2.28)
1  2    1   
3
n K 
1
=  Kw
2-9
E 
K   (
3  1

2
2 .
  2
9
)

2-9
MANUAL MODEL MATERIAL

Karena itu, pilihan khusus untuk perilaku tak terdrainase dalam P LAXIS adalah
sedemikian rupa sehingga parameter G dan  diubah menjadi Eu dan u sesuai dengan
Pers. (2.21) dan (2.22). Perhatikan bahwa indeks u digunakan untuk menunjukkan sifat
parameter untuk tanah yang tak terdrainase. Parameter Eu dan u berbeda dengan
parameter Eur dan ur yang digunakan untuk menyatakan pengurangan beban dan
pembebanan kembali.
Perilaku yang sama sekali tidak kompresibel diperoleh dengan menggunakan u = 0.5.
Namun penggunaan u = 0.5 akan menghasilkan matriks kekakuan yang singular. Pada
kenyataannya, air memiliki kompresibilitas yang sangat rendah, tetapi nilai modulus
bulk yang realistis dari air adalah sangat besar. Untuk menghindari masalah numerik
yang diakibatkan oleh kompresibilitas yang sangat rendah, secara pra-pilih nilai u
ditentukan sebesar 0.495, yang mengakibatkan massa tanah yang tak terdrainase bersifat
sedikit kompresibel. Untuk memperoleh hasil perhitungan yang realistis, modulus bulk
dari air harus tinggi dibandingkan dengan modulus bulk dari butiran tanah, yaitu agar Kw
>> nK. Kondisi ini dapat dipastikan tercapai dengan menggunakan nilai   0.35.
Peringatan akan muncul jika angka Poisson > 0.35 digunakan pada material dengan
perilaku yang tak terdrainase.
Dengan demikian, modulus bulk dari air akan secara otomatis ditambahkan pada matriks
kekakuan dari tanah untuk perilaku material yang tak terdrainase. Nilai modulus bulk
adalah sebesar :
  
Kw 3   u    0.495   
 K
  K   300   30  K  (2.30)
1  2  u   1   
 1  

setidaknya untuk   0.35. Untuk retrospeksi, ada baiknya diulas kembali nilai-B dari
Skempton disini.

Nilai-B Skempton :
Saat Jenis material (jenis dari perilaku material) diatur ke Tak terdrainase, PLAXIS
secara otomatis mengasumsikan sebuah modulus bulk tak terdrainase secara implisit, Ku,
untuk tanah secara keseluruhan (butiran tanah + air) dan membedakan antara tegangan
total, tegangan efektif dan tekanan air pori berlebih (lihat Perilaku tak terdrainase) :

Tegangan total Δp  Ku  Δ v

Tegangan efektif Δp  (1 B ) Δp  K   Δ v

Kw
Tekanan air pori berlebih Δpw  B  Δp   Δ v
n
Perhatikan bahwa parameter efektif dari model harus dimasukkan dalam kumpulan data
material, yaitu E, , c,  dan bukan Eu, u, cu (su), u. Modulus bulk tak terdrainase
secara otomatis dihitung oleh PLAXIS dengan menggunakan hukum elastisitas Hooke :

2-10 PLAXIS Versi 8


 PENGENALAN PEMODELAN MATERIAL

2  G  1  u  E
Ku dimana G 
3  1  2  u  2  1   

dan u = 0.495 (saat menggunakan Pengaturan standar)

3    B  1  2  

atau = (saat menggunakan Pengaturan Manual)
u 3  B  1  2  

Nilai dari angka Poisson tak terdrainase, u, menyatakan suatu hubungan dengan
kekakuan bulk dari air pori, Kw,ref / n :
Kw,ref  E
 Ku  K  dimana K  
3  1  2  

n
Nilai Kw,ref / n ini umumnya sangat kecil jika dibandingkan dengan kekakuan bulk yang
sesungguhnya dari air, Kw0 (= 2106 kN/m2).
Jika nilai-B dari Skempton tidak diketahui, namun derajat kejenuhan, S, dan porositas
tanah, n, diketahui, maka nilai kekakuan bulk dari air pori dan diperkirakan dari :
Kw  K w0  K air 1 E

 
 
dimana K  

n S  K air  1  S   K 0w n 3  1  2  

dimana Kair = 200 kN/m2 (kekakuan udara atau "air") untuk udara pada tekanan
atmosfer. Nilai-B dari Skempton sekarang dapat dihitung dari rasio kekakuan bulk
butiran tanah dan air pori :
1
B 
 n  K  
1  
 K w 
Perubahan tekanan air pori berlebih dapat dihitung dari perubahan regangan volumetrik
(yang kecil) menurut :
Kw
& w  & v (2.31)
n
Jenis elemen yang digunakan dalam P LAXIS telah mencukupi untuk menghindari
terjadinya efek terkuncinya jaring elemen (mesh locking effect) untuk material yang
hampir tidak kompresibel.
Pilihan khusus untuk memodelkan perilaku material tak terdrainase yang didasarkan
pada parameter efektif dari model ini tersedia untuk seluruh model material dalam
program PLAXIS. Dengan pilihan ini maka perhitungan tak terdrainase dapat dilakukan
dengan menggunakan masukan berupa parameter efektif, dengan pembedaan secara
eksplisit antara tegangan efektif dan tekanan air pori berlebih.

2-11
MANUAL MODEL MATERIAL

Analisis seperti ini memerlukan parameter efektif dari tanah sehingga akan sangat baik
dan tepat jika parameter efektif tersebut tersedia. Untuk proyek tanah lunak, data berupa
parameter efektif yang akurat tidak selalu tersedia, tetapi uji lapangan atau uji
laboratorium mungkin telah dilakukan untuk memperoleh parameter tanah yang tak
terdrainase. Dalam situasi seperti ini maka modulus Young tak terdrainase yang terukur
dapat dengan mudah dikonversikan menjadi mudulus Young terdrainase dengan :
2  1    (2.32)
E  E
3 u

Namun demikian, kuat geser tak terdrainase tidak dapat dengan mudah digunakan untuk
menentukan parameter kuat geser efektif  dan c. Untuk proyek semacam ini PLAXIS
menawarkan kemungkinan untuk melakukan analisis tak terdrainase dengan masukan
berupa parameter kuat geser tak terdrainase (cu atau su) dan  = u = 0. Pilihan ini
hanya tersedia untuk model Mohr-Coulomb dan model Hardening Soil, tetapi tidak
tersedia untuk model Soft Soil (Creep). Perhatikan bahwa saat Jenis material diatur ke
Tak terdrainase, maka nilai-nilai efektiflah yang harus dimasukkan untuk parameter
elastis E dan  !

2.5 ANALISIS TAK TERDRAINASE DENGAN PARAMETER TAK


TERDRAINASE (PARAMETER TOTAL)

Jika untuk suatu alasan tertentu diinginkan untuk menggunakan pilihan Tak terdrainase
dalam PLAXIS untuk melakukan suatu analisis yang tak terdrainase, pengguna dapat
menggunakan pilihan Tanpa-pori dan secara langsung memasukkan parameter-
parameter elastis tak terdrainase E = Eu dan  = u = 0.495 serta parameter kuat geser
tak terdrainase c = cu dan  = u = 0. Dalam kasus ini analisis tegangan total dilakukan
tanpa membedakan tegangan efektif dengan tekanan air pori. Karena itu, seluruh
keluaran yang dinyatakan sebagai tegangan efektif harus diinterpretasikan sebagai
tegangan total dan seluruh tekanan air adalah nol. Dalam keluaran grafis untuk
tegangan, tegangan dalam klaster yang Tanpa-pori tidak akan ditampilkan. Jika kondisi
tegangan ingin ditampilkan, maka jenis material yang harus dipilih adalah Terdrainase
dan bukan Tanpa-pori, serta pastikan tidak ada tekanan air pori yang terbentuk dalam
klaster-klaster ini. Perhatikan bahwa pendekatan ini tidak dapat dilakukan saat
menggunakan model Soft Soil Creep. Secara umum, analisis tegangan efektif dengan
menggunakan pilihan Tak terdrainase di dalam PLAXIS untuk memodelkan perilaku tak
terdrainase lebih baik dibandingkan dengan analisis tegangan total.

2.6 TEKANAN PRAKONSOLIDASI AWAL DALAM MODEL TINGKAT


LANJUT

Saat menggunakan model tingkat lanjut dalam P LAXIS, tekanan prakonsolidasi awal
harus ditentukan terlebih dahulu. Dalam praktek, umumnya digunakan tekanan
prakonsolidasi vertikal, p, tetapi PLAXIS memerlukan tekanan prakonsolidasi isotropis

2-12 PLAXIS Versi 8


PENGENALAN PEMODELAN MATERIAL

ekivalen, p p eq, untuk menentukan posisi awal dari "cap" bidang leleh (cap-type yield
surface). Jika suatu material terkonsolidasi berlebih, maka diperlukan informasi
mengenai rasio konsolidasi berlebih (OCR), yaitu rasio dari tegangan vertikal
maksimum yang pernah dicapai, p (lihat Gambar 2.5), terhadap tegangan vertikal
efektif di lapangan, 0 .
yy

p
OCR = (2.33)
 yy0
Dimungkinkan juga untuk menentukan kondisi tegangan awal dengan menggunakan
tekanan pra-pembebanan (POP) sebagai alternatif lain untuk menentukan rasio
konsolidasi berlebih. Tekanan pra-pembebanan didefinisikan sebagai :

POP = |  p -  0yy| (2.34)

Kedua cara untuk menentukan tekanan prakonsolidasi vertikal ini dilustrasikan dalam
Gambar 2.5.

σp
OCR 
σ0yy POP

(a) (b)

σ' 0yy σp σ' 0yy σp

Gambar 2.5 Ilustrasi tekanan prakonsolidasi vertikal dan hubungannya dengan tegangan
vertikal di lapangan dengan menggunakan OCR (a) dan POP (b)

Tekanan prakonsolidasi, p, digunakan untuk menghitung p peq yang menentukan posisi
awal dari "cap" bidang leleh dalam model tanah tingkat lanjut. Perhitungan p eq p
didasarkan pada kondisi tegangan :

1 = p dan :  2   3  K NC0   p (2.35)

dimana K0NC adalah nilai K0 saat kondisi tegangan terkonsolidasi normal. Untuk model
Hardening Soil pengaturan parameter secara pra-pilih menggunakan persamaan dari
Jaky K 0NC  1 – sin . Untuk model Soft Soil Creep, pengaturan pra-pilih sedikit
berbeda, tetapi perbedaannya dengan korelasi dari Jaky tidak terlalu besar.

2-13
MANUAL MODEL MATERIAL

2.7 TEGANGAN AWAL

Pada tanah yang terkonsolidasi berlebih, tekanan tanah lateral lebih besar dibandingkan
dengan tanah yang terkonsolidasi normal. Efek ini secara otomatis diikutsertakan dalam
model-model tanah tingkat lanjut saat membentuk tegangan inisial dengan
menggunakan Prosedur-K0. Prosedur yang digunakan dijelaskan sebagai berikut.
Pada suatu uji konsolidasi satu dimensi,0 tanah akan dibebani hingga yy = p dan
kemudian beban dikurangi hingga yy =  . Selama pengurangan beban sampel tanah
yy
berperilaku secara elastis dan menurut hukum Hooke, peningkatan rasio tegangan
diberikan oleh (Gambar 2.6) :
   p    xx K NC  OCR  σ 0  σ' 0 
0
xx =
K NC
0 0 yy xx ur
= = (2.36)
 yy
  p   
yy
0
OCR 1   σ 0
yy 1   ur
dimana K 0NC adalah rasio tegangan dalam kondisi terkonosolidasi normal. Karena itu,
rasio tegangan dari tanah yang terkonsolidasi berlebih adalah :

 xx0 = NC νur

K 0  OCR   OCR - 1 (2.37)
 yy0 1  νur

Penggunaan angka Poisson yang kecil, seperti telah dibahas sebelumnya, akan
menghasilkan rasio tegangan lateral terhadap tegangan vertikal yang relatif besar, seperti
sering dijumpai pada tanah-tanah yang terkonsolidasi secara berlebih. Perhatikan bahwa
Pers. (2.37) hanya berlaku pada rentang elastis, karena persamaan tersebut diturunkan
dari hukum elastisitas Hooke. Jika pengurangan beban yang besar dilakukan pada suatu
sampel tanah, maka akan dihasilkan derajat konsolidasi berlebih yang tinggi dan rasio
tegangan akan dibatasi oleh kondisi keruntuhan Mohr-Coulomb.

-yy
-p
K0NC

1 1-ur
ur
- yy0

-xx
-xx 0

Gambar 2.6 Kondisi tegangan terkonsolidasi berlebih yang diperoleh


dari pembebanan dan pengurangan beban

2-14 PLAXIS Versi 8


MODEL MOHR-COULOMB (PLASTISITAS SEMPURNA)

3 MODEL MOHR-COULOMB (PLASTISITAS SEMPURNA)

Plastisitas mempunyai hubungan dengan terbentuknya regangan yang tidak dapat


kembali seperti semula. Untuk mengevaluasi apakah plastisitas telah terjadi dalam
perhitungan, sebuah fungsi leleh (yield function), f, digunakan sebagai fungsi dari
tegangan dan regangan. Sebuah fungsi leleh umumnya dapat dinyatakan sebagai suatu
bidang dalam ruang tegangan utama. Sebuah model plastis-sempurna merupakan suatu
model konstitutif dengan bidang leleh tertentu, yaitu bidang leleh yang sepenuhnya
didefinisikan oleh parameter model dan tidak terpengaruh oleh peregangan (plastis).
Untuk kondisi tegangan yang dinyatakan oleh titik-titik yang berada di bawah bidang
leleh, perilaku dari titik-titik tersebut akan sepenuhnya elastis dan seluruh regangan
dapat kembali seperti semula.

3.1 PERILAKU ELASTIS PLASTIS-SEMPURNA

Prinsip dasar dari model elastis-plastis adalah bahwa regangan dan perubahan regangan
dibedakan menjadi bagian yang elastis dan bagian yang plastis :

=ep &= &e &p (3.1)

Hukum Hooke digunakan untuk menghubungkan perubahan tegangan dan perubahan


regangan elastis. Substitusi Pers. (3.1) ke dalam hukum Hooke (2.18) menghasilkan :


& = De  &e = De  & &p  (3.2)

Menurut teori plastisitas klasik (Hill, 1950), perubahan regangan plastis adalah
proporsional terhadap turunan fungsi leleh terhadap tegangan. Hal ini berarti bahwa
perubahan regangan plastis dapat dinyatakan sebagai vektor yang tegak lurus terhadap
bidang leleh. Bentuk klasik dari teori plastisitas ini disebut sebagai plastisitas terasosiasi
(associated plasticity). Namun, untuk fungsi leleh Mohr-Coulomb, teori plastisitas
terasosiasi akan menghasilkan prediksi dilatansi yang berlebihan. Karena itu, selain
fungsi leleh (yield function), f, digunakan juga sebuah fungsi potensi plastis (plastic
potential function), g. Kasus dimana g  f, disebut sebagai plastisitas yang tidak
berhubungan (non-associated plasticity). Secara umum, perubahan regangan plastis
dituliskan sebagai :

g
& p =   (3.3)
 
dimana  adalah faktor pengali plastis. Untuk perilaku elastis murni,  adalah nol untuk
perilaku plastis,  adalah positif :


f T
 = 0 untuk : f < 0 atau :  De  &  0 (Elastisitas) (3.4a)
 

3-1
MANUAL MODEL MATERIAL


f T
 > 0 untuk : f = 0 dan :  De  &  0 (Plastisitas) (3.4b)
 

 











Gambar 3.1 Ide dasar dari suatu model elastis plastis-sempurna

Persamaan-persamaan ini dapat digunakan untuk memperoleh hubungan antara


perubahan tegangan efektif dan perubahan regangan untuk model elastis-plastis (Smith
& Griffith, 1982; Vermeer & de Borst, 1984) :

 e  e g  f T   
&' =  D   D    D e   & (3.5a)
 d     
 
 

dimana :

f T e g 
d= D (3.5b)
   
Parameter  digunakan sebagai suatu "switch". Jika perilaku material adalah elastis,
seperti didefinisikan oleh Pers. (3.4a), nilai  akan sama dengan nol, sedangkan untuk
perilaku plastis, seperti didefinisikan oleh Pers. (3.4b), nilai  akan sama dengan satu.
Teori plastisitas di atas terbatas untuk bidang leleh yang menerus dan mulus, dan tidak
meliputi multi bidang kontur leleh seperti pada model Mohr-Coulomb. Untuk bidang
leleh seperti ini, teori plastisitas telah dikembangkan oleh Koiter (1960) dan beberapa
peneliti lain untuk memperhitungkan flow vertices yang melibatkan dua atau lebih
fungsi potensi plastis :
 g1 g2
& p =     ... (3.6)
   
1 2

Serupa dengan persamaan di atas, beberapa fungsi leleh yang bersifat quasi-independent
(f1, f2, …) digunakan untuk menentukan besarnya nilai faktor pengali ( 1, 2, …).

3-2 PLAXIS Versi 8


MODEL MOHR-COULOMB (PLASTISITAS SEMPURNA)

3.2 FORMULASI MODEL MOHR-COULOMB

Kondisi leleh Mohr-Coulomb merupakan muai hukum friksi dari Coulomb ke kondisi
tegangan secara umum. Faktanya, kondisi ini memastikan bahwa hukum friksi Coulomb
diterapkan dalam tiap bidang di dalam elemen. Kondisi leleh Mohr-Coulomb secara
penuh terdiri dari enam buah fungsi leleh saat diformulasikan dalam konteks tegangan
utama (sebagai contoh lihat Smith & Griffin, 1982) :
f1a  1   2   ' 3   1   2   3   sin   c  cos   0 (3.7a)
2 2

f1b    3   2     3   2   sin   c  cos   0


1 1
(3.7b)
2 2

f 2a  1   3   1   1   3   1   sin   c cos   0 (3.7c)


2 2

f 2b  1   1   3   1   1   3   sin   c  cos   0 (3.7d)


2 2

f 3a  1   1   2   1   1   2   sin   c  cos   0 (3.7e)


2 2

f 3b  1   2   1   1   2   1   sin   c  cos   0 (3.7f)


2 2

Dua buah parameter dari model plastis yang muncul dalam fungsi leleh adalah sudut
geser  dan kohesi c yang telah dikenal luas. Fungsi-fungsi leleh ini secara bersamaan
membentuk konus heksagonal dalam ruang tegangan utama seperti ditunjukkan oleh
Gambar 3.2.
-1

-3

-2

Gambar 3.2 Bidang leleh Mohr-Coulomb dalam ruang tegangan utama (c = 0)

3-3
MANUAL MODEL MATERIAL

Selain fungsi leleh, didefinisikan enam buah fungsi potensi plastis untuk model Mohr-
Coulomb :

g1a  1   2   3   1   2   3   sin  (3.8a)
2 2

g1b  1   3   2   1   3   2   sin  (3.8b)
2 2

g 2a  1   3   1   1   3   1   sin  (3.8c)
2 2

g 2b  1   1   3   1   1   3   sin  (3.8d)
2 2

g 3a  1   1   2   1   1   2   sin  (3.8e)
2 2

g 3b  1   2   1   1   2   1   sin  (3.8f)
2 2

Fungsi potensi plastis mempanyai parameter plastisitas ketiga, yaitu sudut dilatansi .
Parameter ini dibutuhkan untuk memodelkan peningkatan regangan volumetrik plastis
positif (dilatansi) seperti secara aktual terjadi pada tanah yang padat. Diskusi dari
seluruh parameter model yang digunakan dalam model Mohr-Coulomb akan diberikan
pada akhir dari bab ini.
Saat menerapkan model Mohr-Coulomb untuk kondisi tegangan secara umum,
penanganan khusus diperlukan untuk perpotongan dari dua buah bidang leleh. Beberapa
program menggunakan transisi yang mulus dari bidang leleh yang satu ke yang lain,
yaitu dengan melengkungkan bagian sudut (untuk contoh lihat Smith & Griffith, 1982).
Namun bentuk eksak dari model Mohr-Coulomb secara penuh akan digunakan di dalam
PLAXIS, dengan menggunakan transisi yang tajam dari bidang leleh yang satu ke bidang
leleh yang lain. Untuk deskripsi yang mendetil dari penanganan bagian sudut, pengguna
disarankan melihat beberapa literatur (Koiter, 1960; van Langen & Vermeer, 1990).
Untuk c > 0, kriteria Mohr-Coulomb standar mengijinkan adanya tegangan tarik. Pada
faktanya, tegangan tarik ijin akan semakin meningkat dengan meningkatnya kohesi.
Tetapi dalam realitas, tanah hanya dapat menahan tegangan tarik yang kecil atau tidak
sama sekali. Perilaku ini dapat dimodelkan dalam P LAXIS dengan menggunakan
pembatasan tegangan tarik. Dalam kasus ini, lingkaran Mohr dengan tegangan utama
positif (menyatakan tegangan tarik) tidak diijinkan. Pembatasan tegangan tarik
mengikutsertakan tiga buah fungsi leleh tambahan, yang didefinisikan sebagai :

f4 = 1 – t  0 (3.9a)

f5 = 2 – t  0 (3.9b)

f6 = 3 – t  0 (3.9c)
Saat digunakan prosedur pembatasan tegangan tarik, tegangan tarik yang diijinkan, t,
secara pra-pilih ditentukan sebesar nol. Untuk ketiga fungsi leleh ini, digunakan sebuah
fungsi alir (flow rule) yang terasosiasi. Untuk kondisi tegangan yang berada di bawah

3-4 PLAXIS Versi 8


MODEL MOHR-COULOMB (PLASTISITAS SEMPURNA)

bidang leleh, perilaku adalah elastis dan mengikuti hukum Hooke untuk elastisitas yang
linier elastis, seperti telah dibahas dalam Bab 2.2. Karena itu, disamping parameter
plastisitas, c,  dan , diperlukan masukan berupa modulus elastisitas Young, E, dan
angka Poisson, .

3.3 PARAMETER DASAR MODEL MOHR-COULOMB

Model Mohr-Coulomb membutuhkan total lima buah parameter, yang umum digunakan
oleh para praktisi geoteknik dan dapat diperoleh dari uji-uji yang umum dilakukan di
laboratorium. Parameter-parameter tersebut bersama dimensi dasarnya adalah sebagai
berikut :
E : Modulus Young [kN/m2]
 : Angka Poisson [-]
 : Sudut geser []
c : Kohesi [kN/m2]
 : Sudut dilatansi []

Gambar 3.3 Lembar-tab Parameter untuk model Mohr-Coulomb

Modulus Young (E)


PLAXIS menggunakan modulus Young sebagai modulus kekakuan dasar dalam model
elastis dan model Mohr-Coulomb, tetapi beberapa modulus alternatif juga ditampilkan.

3-5
MANUAL MODEL MATERIAL

Modulus kekakuan mempunyai dimensi sama dengan dimensi tegangan. Nilai dari
parameter kekakuan yang digunakan dalam suatu perhitungan memerlukan perhatian
khusus karena kebanyakan material tanah menunjukkan perilaku yang non-linier dari
awal pembebanan. Dalam mekanika tanah, kemiringan awal dari kurva tegangan-
regangan umumnya dinotasikan sebagai E0 dan modulus sekan pada 50% kekuatan
dinotasikan sebagai E50 (lihat Gambar 3.4). Untuk material dengan rentang elastisitas
linier yang lebar maka penggunaan E0 adalah realistis, tetapi untuk masalah pembebanan
pada tanah, umumnya digunakan E50. Pada pengurangan beban, seperti pada kasus
terowongan dan galian, perlu digunakan Eur dan bukan E50.

|1- 3| 1 1

E50
E0

regangan - 1

Gambar 3.4 Definisi E0 dan E50 untuk hasil uji triaksial terdrainase standar

Untuk tanah, modulus pengurangan beban Eur dan modulus pembebanan E50 cenderung
semakin meningkat terhadap peningkatan tekanan keliling (confining pressure) yang
bekerja. Karena itu, lapisan tanah yang dalam cenderung mempunyai kekakuan yang
lebih tinggi dibandingkan dengan lapisan tanah yang dangkal. Terlebih lagi, kekakuan
dari tanah bergantung pada lintasan tegangan yang dilalui. Kekakuan akan jauh lebih
tinggi untuk kasus pengurangan beban dibandingkan dengan kasus peningkatan
pembebanan. Selain itu, kekakuan tanah yang dinyatakan dengan modulus Young dapat
lebih rendah pada kasus pembebanan (terdrainase) dibandingkan pada kasus
penggeseran. Karena itu, saat menggunakan modulus kekakuan yang konstan untuk
menyatakan perilaku tanah perlu ditentukan sebuah nilai yang konsisten terhadap tingkat
tegangan dan lintasan tegangan yang dilalui. Perhatikan bahwa beberapa perilaku tanah
yang tergantung dari tegangan yang bekerja telah diikutsertakan dalam model tingkat
lanjut dalam PLAXIS, yang dijelaskan dalam Bab 5 dan 6. Untuk model Mohr-Coulomb,
PLAXIS menawarkan sebuah pilihan khusus untuk masukan nilai kekakuan yang
meningkat terhadap kedalaman (lihat Bab 3.4).

Angka Poisson ()


Uji triaksial terdrainase standar dapat menghasilkan pengurangan volume yang
signifikan pada awal pemberian beban aksial, yang menghasilkan konsekuensi berupa
nilai angka Poisson awal (0) yang rendah. Pada beberapa kasus, khususnya pada

3-6 PLAXIS Versi 8


MODEL MOHR-COULOMB (PLASTISITAS SEMPURNA)

masalah pengurangan beban, mungkin realistis untuk menggunakan nilai awal yang
rendah, tetapi pada penggunaan model Mohr-Coulomb, secara umum direkomendasikan
menggunakan nilai yg tinggi.
Penentuan angka Poisson cukup sederhana jika model elastis atau model Mohr-Coulomb
digunakan untuk pembebanan grvitasi (dengan meningkatkan Mweight dari 0 ke 1
pada perhitungan plastis). Untuk pembebanan seperti ini P LAXIS harus memberikan
rasio yang realistis dari K0 = h / v. Karena kedua model tersebut akan menghasilkan
nilai rasio yang dikenal luas yaitu h / v =  / (1 – ) untuk kompresi satu dimensi,
maka dengan mudah dapat dipilih angka Poisson yang menghasilkan nilai K0 yang
realistis dapat dengan mudah dilakukan. Karena itu nilai  dievaluasi dengan
mencocokkan nilai K0. Hal ini akan dibahas secara mendalam pada Lampiran A, yang
membahas tentang distribusi tegangan awal. Dalam banyak kasus akan diperoleh nilai 
yang berkisar antara 0.3 dan 0.4. Umumnya, nilai tersebut tidak hanya digunakan pada
kompresi satu dimensi, tetapi juga juga dapat digunakan untuk kondisi pembebanan
lainnya. Namun untuk kasus pengurangan beban, lebih umum untuk menggunakan nilai
antara 0.15 dan 0.25.

Kohesi (c)
Kekuatan berupa kohesi mempunyai dimensi tegangan. P LAXIS dapat menangani pasir
non-kohesif (c = 0), tetapi beberapa pilihan tidak akan berjalan dengan baik. Untuk
menghindari hal ini, pengguna yang belum berpengalaman disarankan untuk
memasukkan nilai yang kecil untuk kohesi (gunakan c > 0.2 kPa).
PLAXIS juga memiliki pilihan khusus untuk masukan suatu lapisan tanah dimana nilai
kohesi meningkat terhadap kedalaman (lihat Bab 3.4).

Sudut geser ()


Nilai sudut geser,  (phi), dimasukkan dalam dimensi derajat. Sudut geser yang tinggi,
seperti pada pasir padat, akan mengakibatkan peningkatan beban komputasi plastis.

tegangan
geser 

-1

-3
c
tegangan
-2 -3 -2 -1 normal

Gambar 3.5 Lingkaran-lingkaran tegangan saat mengalami leleh;


satu lingkaran menyentuh garis keruntuhan Coulomb

3-7
MANUAL MODEL MATERIAL

Waktu komputasi akan meningkat kurang-lebih secara ekponensial terhadap sudut geser.
Karena itu, sudut geser yang tinggi sebaiknya dihindari saat melakukan perhitungan
awal untuk suatu proyek tertentu. Sudut geser akan menentukan kuat geser seperti
ditunjukkan pada Gambar 3.5 dengan menggunakan lingkaran tegangan Mohr.
Representasi dari kriteria leleh yang lebih umum ditunjukkan pada Gambar 3.2. Kriteria
keruntuhan Mohr-Coulomb telah terbukti lebih baik untuk menyatakan perilaku tanah
dibandingkan dengan aproksimasi dari Drucker-Prager, dimana bidang runtuh dari
model Drucker-Prager cenderung tidak akurat untuk konfigurasi axi-simetri.

Sudut dilatansi ()


Sudut dilatansi,  (psi), dinyatakan dalam derajat. Selain tanah lempung yang
terkonsolidasi sangat berlebih, tanah lempung cenderung tidak menunjukkan dilatansi
sama sekali (yaitu  = 0). Dilatansi dari tanah pasir bergantung pada kepadatan serta
sudut gesernya. Untuk pasir kwarsa besarnya dilatansi kurang lebih adalah    – 30.
Walaupun demikian, dalam kebanyakan kasus sudut dilatansi adalah nol untuk nilai 
kurang dari 30. Nilai negatif yang kecil untuk  hanya realistis untuk tanah pasir yang
sangat lepas. Untuk informasi lebih lanjut mengenai hubungan antara sudut geser dan
dilatansi, lihat Bolton (1986).

3.4 PARAMETER TINGKAT LANJUT DARI MODEL MOHR-COULOMB

Saat menggunakan model Mohr-Coulomb, tombol Tingkat lanjut dalam lembar-tab


Parameter dapat di-klik untuk memasukkan beberapa parameter tambahan yang
digunakan untuk fitur pemodelan tingkat lanjut. Sebuah jendela seperti ditunjukkan pada
Gambar 3.6 akan muncul. Fitur tingkat lanjut terdiri dari peningkatan kekakuan dan
peningkatan kohesi terhadap kedalaman serta pembatasan tegangan tarik. Fitur
pembatasan tegangan tarik secara pra-pilih telah diaktifkan, tetapi dapat dinonaktifkan
jika memang diinginkan.

Peningkatan kekakuan (Eincrement)


Pada tanah sesungguhnya, kekakuan tanah tergantung pada tingkat tegangan secara
siginifikan, yang berarti bahwa kekakuan umumnya akan meningkat terhadap
kedalaman. Saat menggunakan model Mohr-Coulomb, kekakuan merupakan suatu
konstanta. Untuk memperhitungkan peningkatan kekakuan terhadap kedalaman dapat
digunakan Eincrement, yaitu peningkatan modulus Young per dimensi kedalaman
(dinyatakan dalam dimensi tegangan per dimensi kedalaman). Pada level yang
ditentukan oleh parameter yref, kekakuan adalah sebesar modulus Young referensi, Eref,
yang dimasukkan dalam lembar-tab Parameter. Nilai aktual dari modulus Young pada
titik tegangan yang berada di bawah yref akan diperoleh dari nilai referensi dan Eincrement.
Perhatikan bahwa dalam perhitungan yang dilakukan, kekakuan yang meningkat
terhadap kedalaman tidak berubah sebagai fungsi dari kondisi tegangan.

3-8 PLAXIS Versi 8


MODEL MOHR-COULOMB (PLASTISITAS SEMPURNA)

Peningkatan kohesi (cincrement)


PLAXIS menawarkan pilihan tingkat lanjut untuk masukan dari lapisan tanah lempung
dimana kohesi meningkat terhadap kedalaman. Untuk memperhitungkan peningkatan
kohesi terhadap kedalaman dapat digunakan cincrement, yaitu peningkatan kohesi per
dimensi kedalaman (dinyatakan dalam dimensi tegangan per dimensi kedalaman). Pada
level yang ditent ukan parameter yref, nilai kohesi sebesar kohesi referensi, cref, yang
dimasukkan dalam lembar-tab Parameter. Nilai aktual dari kohesi pada titik tegangan
yang berada di bawah yref akan diperoleh dari nilai referensi dan cincrement.

Gambar 3.6 Jendela parameter Mohr-Coulomb tingkat lanjut

Batas tegangan tarik


Pada beberapa permasalah praktis, suatu area dengan tegangan tarik dapat terbentuk.
Menurut bidang keruntuhan Coulomb seperti ditunjukkan dalam Gambar 3.5, hal ini
dapat terjadi jika tegangan geser yang bekerja (dinyatakan oleh radius dari lingkaran
Mohr) mempunyai nilai yang cukup kecil. Walaupun demikian, permukaan tanah di
dekat parit pada tanah lempung dapat menunjukkan retak tarik (tensile crack). Hal ini
menunjukkan bahwa tanah juga dapat mengalami keruntuhan akibat tarik disamping
akibat geser. Perilaku ini dapat diikutsertakan dalam perhitungan P LAXIS dengan
memilih pembatasan tegangan tarik. Dalam kasus ini tidak diperbolehkan adanya
lingkaran Mohr dengan tegangan utama positif (tegangan tarik). Saat mengaktifkan
pembatasan tegangan tarik, Kuat tarik dapat dimasukkan. Untuk model Mohr-Coulomb
dan model Hardening Soil, pembatasan tegangan tarik telah diaktifkan secara pra-pilih
dengan kuat tarik nol.

3-9
MANUAL MODEL MATERIAL

3-10 PLAXIS Versi 8


MODEL JOINTED ROCK (ANISOTROPIS)

4 MODEL JOINTED ROCK (ANISOTROPIS)

Material dapat memiliki sifat yang berbeda dalam arah yang berbeda, sehingga material
seperti ini akan memberikan respons yang berbeda pula saat menerima kondisi tertentu
pada arah berbeda. Perilaku material ini disebut sebagai anisotropis. Saat memodelkan
anisotropis, dibedakan antara anisotropis elastis dan anisotropis plastis. Anisotropis
elastis mengacu pada penggunaan sifat kekakuan elastis yang berbeda pada arah yang
berbeda, dan dengan anisotropis plastis dapat digunakan sifat kekuatan yang berbeda
pada arah yang berbeda, seperti dalam model Jointed Rock. Bentuk lain dari anisotropis
plastis adalah kinematik hardening, yang tidak digunakan dalam program P LAXIS.

formasi batuan

stratifikasi
arah kekar
utama

Gambar 4.1 Ilustrasi konsep model Jointed Rock

Model Jointed Rock merupakan sebuah model elastis plastis-sempurna anisotropiss,


yang ditujukan secara khusus untuk memodelkan perilaku dari lapisan batuan yang
terstratifikasi atau lapisan batuan dengan kekar (joint). Dalam model ini diasumsikan
bahwa batuan merupakan suatu kesatuan dengan arah stratifikasi dan arah kekar utama
tertentu. Batuan sebagai kesatuan dianggap akan berperilaku sebagai material yang
bersifat elastis anisotropiss secara transversal, yang dinyatakan oleh lima buah
parameter dan sebuah arah. Anisotropis dapat terjadi akibat adanya stratifikasi atau
fenomena lain. Pada arah utama dari kekar, diasumsikan bahwa tegangan geser dibatasi
oleh kriteria Coulomb. Saat tegangan geser maksimum tercapai pada arah tertentu, akan
terjadi gelinciran plastis. Maksimum tiga buah arah ("bidang") gelincir dapat ditentukan,
dimana bidang pertama diasumsikan berhimpitan dengan arah anisotropis elastis. Setiap
bidang dapat memiliki sifat kuat geser yang berbeda. Selain geseran plastis, tegangan
tarik yang tegak lurus terhadap ketiga bidang tersebut dibatasi sesuai dengan tegangan
tarik yang ditentukan (pembatasan tegangan tarik).
Aplikasi model Jointed Rock dapat digunakan jika terdapat serangkaian kekar pada
batuan. Kekar-kekar ini harus paralel, tidak terisi oleh fault gouge, dan dengan spasi
yang kecil dibandingkan dengan ukuran struktur secara keseluruhan.
Beberapa karakteristik dasar dari model Jointed Rock adalah :

4-1
MANUAL MODEL MATERIAL

 Perilaku elastis anisotropiss untuk batuan intact (Parameter : E1, E2, 1, 2, G2)
 Keruntuhan geser mengikuti kriteria Coulomb dalam ketiga arah, i (Parameter : ci,
i dan i)
 Tegangan tarik terbatas dalam ketiga arah, i (Parameter : t,i)

4.1 MATRIKS KEKAKUAN MATERIAL ELASTIS ANISOTROPISS

Perilaku material yang elastis dalam model Jointed Rock ditentukan oleh sebuah matriks
kekakuan material elastis, D*. Berbeda dengan hukum Hooke, matriks D* yang
digunakan dalam model Jointed Rock bersifat anisotropiss transversal. Kekakuan yang
berbeda dapat digunakan pada arah normal dan pada arah yang telah ditentukan
("Bidang 1"). Arah ini berhubungan dengan arah stratifikasi ataupun arah lain dengan
sifat kekakuan elastis yang jauh berbeda.
Anggaplah, sebagai contoh, suatu stratifikasi adalah horisontal, dimana kekakuan dalam
arah horisontal, E1, berbeda dengan kekakuan dalam arah vertikal, E2. Pada kasus ini
"Bidang 1" adalah paralel dengan bidang x-z dan mengikuti hubungan konstitutif yang
telah ada (lihat Zienkiewicz & Taylor : The Finite Element Method, 4th Ed.) :

 2  & yy  1  & zz
& xx   xx 
&
 (4.1a)
E1 E2 E1

 2  & xx  &yy  2  & zz


& yy   E2  (4.1b)
E2 E2

 1  & xx  2  & yy &zz


& zz     (4.1c)
E1 E2 E1
&xy
&  (4.1d)
xy
G2

&yz
&  (4.1e)
yz
G2

2  1   1   & zx
& zx  (4.1f)
E1
Invers dari matriks kekakuan material elastis anisotropiss, (D*)-1, dibentuk dari
persamaan-persamaan di atas. Matriks ini adalah simetris. Matriks kekakuan material
reguler D* hanya dapat diperoleh dengan invers secara numerik.

4-2 PLAXIS Versi 8


MODEL JOINTED ROCK (ANISOTROPIS)

Secara umum, bidang stratifikasi tidak akan paralel dengan bidang x-z global, tetapi
persamaan-persamaan di atas umumnya berlaku untuk sistem koordinat lokal (n, s, t)
dimana bidang stratifikasi paralel dengan bidang s-t. Orientasi dari bidang ini
didefinisikan oleh sudut dip dan arah dip (lihat Bab 4.3). Konsekuensinya, matriks
kekakuan material lokal harus ditransformasikan ke dalam sistem koordinat global.
Karena itu pertama-tama ditentukan transformasi dari tegangan dan regangan :

 = R    = R -1  (4.2a)
 
 

nst  xyz xyz  nst

 = R    = R-1  (4.2b)
 


nst  xyz xyz  nst

dimana

 2
nx ny
2
nz
2 2 nx ny 2 n y nz 2 nx n z 
 
 2 2 2 2 sx s y 2 s y sz 2 sx s z 
 sx sy sz 
 
 2
tx
2
ty 2
tz 2 txty 2 t y tz 2 tx t z  (4.3)
Rσ = 
 
 n x sx sz  
n y sy n z sz nx sy+ny sx ny sz+nz sy nz sx+nx
 
s t t x 
x x sy t y sz t z sx t y+ sy t x sy t z+ sz t y sx t z+sz
 
 
nx t y+ny t x ny t z+nz t y nz tx+nx

t z 
nx tx ny t y nz t z

dan

x n2
2
ny nz
2
nx n y n y nz nx nz 
 
 2 2 2 sz 
x s sy sz sx s y s y sz sx 
 
 R 2 2 2
tx t t y tz tx t z  (4.4)
= t ty tz
x y
ε 
 2 nx s x 2 ny s y 2 nz s z nx s y + n y s x n y s z + n z s y nz s x + n x sz 
 
 2 s t 2 sy t y t x 
x x 2 sz t z sx t y +s y t x s y t z+ s z t sx t z+ s z
 y

 2 ny t y 
2
 nx t x
2 nz t z nx t y + n y t x n y t z+ n z t y nz t x + n x t z 

nx, ny, nz, sx, sy, sz, tx, ty dan tz adalah komponen-komponen vektor n, s dan t yang
ternormalisasi dalam koordinat (x, y, z) global (yaitu "sinus" dan "kosinus"; lihat
Bab 4.3). Untuk kondisi bidang yang datar nz = sz = tx = ty = 0 dan tz = 1.
Lebih lanjut diperoleh bahwa :

RT = R-1 RT = R-1 (4.5)


ε σ σ ε

Hubungan antara tegangan-regangan lokal dalam koordinat (n, s, t) lokal dapat


ditransformasikan ke hubungan dalam koordinat (x, y, z) global dengan cara berikut :

4-3
MANUAL MODEL MATERIAL

  D*   
nst nst nst  *
nst  R   xyz   R   xyz  Dnst  R   xyz (4.6)
 nst  R  xyz 

Karena itu,


 = R-1 D*  R   (4.7)
 

xyz σ nst ε xyz

Dengan menggunakan kondisi di atas (4.5) :


 = RT  D*  R  

= D*   atau D* = RT  D*  R (4.8)
 

xyz ε nst ε xyz xyz xyz xyz ε nst ε

Sebenarnya, bukan matriks D* yang diberikan dalam koordinat lokal melainkan matriks
invers (D*)-1.

 nst  D*nst  nst 
1

 nst  R  xyz    xyz = R  D  R   xyz = R  D
-1 * -1 T * -1
 R   xyz (4.9)
 nst   nst 

 nst  R  xyz


Karena itu,
T -1
* -1 T * -1 * * -1 
D = R  Dnst  R atau D xyz =  R D R
 
(4.10)
xyz
 nst

Pertama kali matriks (D* )nst
-1
tidak di-invers-kan terlebih dahulu, melainkan dilakukan
transformasi, kemudian seluruhnya dilakukan invers secara numerik untuk memperoleh
matriks kekakuan material global D* .
xyz

4.2 PERILAKU PLASTIS DALAM TIGA ARAH

Maksimum 3 buah arah gelincir (bidang gelincir) dapat ditentukan dalam model Jointed
Rock. Bidang gelincir pertama berhubungan dengan arah anisotropis elastis. Selain itu,
maksimum dua buah arah gelincir yang lain dapat ditentukan pula. Walaupun demikian,
formulasi plastisitas pada seluruh bidang adalah serupa. Pada tiap bidang kondisi
Coulomb berlaku untuk tegangan geser batas, . Kriteria pembatasan tegangan tarik
juga digunakan untuk membatasi tegangan tarik pada tiap bidang. Setiap bidang, i,
mempunyai parameter kekuatan ci, i, i dan t,i masing-masing.
Untuk memeriksa kondisi plastis pada suatu bidang dengan koordinat (n, s, t) lokal,
perlu dihitung tegangan lokal dari sistem tegangan Cartesius. Tegangan lokal meliputi
tiga buah komponen, yaitu komponen tegangan normal, n, dan dua buah komponen
tegangan geser s dan t yang independen.
4-4 PLAXIS Versi 8
MODEL JOINTED ROCK (ANISOTROPIS)

 i= TTi   (4.11)

dimana

 i   n  s t T (4.12a)

   xx  yy  zz  xy  yz  zx T (4.12b)

TT = matriks transformasi (3  6), untuk bidang i


i

Seperti biasa dalam P LAXIS, tegangan tarik (normal) didefinsisikan positif sedangkan
tekan didefinisikan bernilai negatif.

y
s
n

1 bidang gelincir

1
x

Gambar 4.2 Regangan bidang dengan bidang gelincir tunggal serta vektor n dan s

Perhatikan sebuah regangan bidang seperti diilustrasikan dalam Gambar 4.2. Bidang
gelincir tersebut membentuk sudut 1 (= sudut dip) terhadap sumbu x. Dalam kasus ini
transformasi matriks TT menjadi :

 s 2 c2 0 -2sc 0 0  
  
TT =  sc -sc 0 -s2  c2 0 0  (4.13)
 
 0 0 0 0 -c -s 
 
dimana
s = sin 1
c = cos 1
Dalam kasus tiga dimensi secara umum matriks transformasi akan lebih kompleks,
karena mengikutsertakan Sudut dip dan Arah dip (lihat Bab 4.3) :

4-5
MANUAL MODEL MATERIAL

 n2x 2 2 2 nx ny 2 ny nz 2 nz nx 
ny nz
 
T =  nx sx ny sy nz sz 
T
nx sy+ny sx nz sy+ny sz nz sx+nx sz  (4.14)
 
 
nx tx ny t y nz tz ny tx+nx t y ny tz+nz t y nz tx+nx tz 

Perhatikan bahwa matrik transformasi umum, TT, untuk perhitungan tegangan lokal
berhubungan dengan baris 1, 4 dan 6 dari R (lihat Pers (4.3)).
Setelah menentukan komponen-komponen tegangan lokal, kondisi plastis dapat
diperiksa berdasarkan fungsi leleh. Fungsi leleh untuk bidang i didefinisikan sebagai :

f ci =  s   n  tan i  ci (Coulomb) (4.15a)

f ti   n   t,i (  t,i  ci  cot i ) (Pembatasan tegangan tarik) (4.15b)

Gambar 4.3 menunjukkan kriteria leleh pada sebuah bidang.

||

ci
i
-n
t,i

Gambar 4.3 Kriteria leleh pada bidang tertentu

Regangan plastis lokal didefinisikan sebagai :


 gc
Δ p
= j j
(4.16)
j
 j

dimana gj adalah fungsi potensi plastis untuk bidang j :

gcj = j + n  tan j – cj (Coulomb) (4.17a)

gtj = n – t,j (Pembatasan tegangan tarik) (4.17b)


Matriks transformasi, T, juga digunakan untuk melakukan transformasi perubahan
regangan plastis lokal dari bidang j,  pj , menjadi perubahan plastis global,  p :

4-6 PLAXIS Versi 8


MODEL JOINTED ROCK (ANISOTROPIS)

 p = Tj   pj (4.18)
Untuk suatu kondisi yang konsisten, diperlukan agar pada kondisi leleh nilai dari fungsi
leleh harus tetap nol untuk seluruh fungsi leleh yang aktif. Untuk seluruh bidang secara
bersamaan terdapat maksimum 6 buah fungsi leleh, sehingga harus ditentukan hingga 6
buah faktor pengali, sedemikian rupa sehingga seluruh fungsi leleh adalah hampir nol
dan faktor pengali plastis tidak bernilai negatif.

i i 
np
fc
T
 gc np
fc
T
 gt

j
 
j i j i

j
 c  i
 t  i

j
TT D T TT D T (4.19a)
c
f =f c(e)
 j


j=1 j=1

i i  np
ft
T
 gc np
ft
T
 gt

j
 
j i j i

j
 c   
 
i t i j
TT D T TT D T (4.19b)
f f
t t(e)
 j 
j=1 j=1

Hal ini berarti bahwa harus ditemukan 6 buah nilai i  0 sehingga seluruh nilai fi  0
dan nilai i fi = 0.
Saat digunakan maksimum 3 buah bidang, akan terdapat 2 6 = 64 buah kemungkinan dari
(kombinasi) leleh. Dalam proses perhitungan, seluruh kemungkinan ikut diperhitungkan
untuk menghasilkan perhitungan eksak dari tegangan.

4.3 PARAMETER MODEL JOINTED ROCK

Hampir seluruh parameter model Batuan berkekar/Jointed Rock serupa dengan


parameter model Mohr-Coulomb yang isotropis. Berikut adalah parameter-parameter
elastis dasar serta parameter-parameter kekuatan dari model Jointed Rock :
Parameter elastis seperti dalam model Mohr-Coulomb (lihat Bab 3.3.) :
E1 : Modulus Young untuk kontinum batuan [kN/m2]
1 : Angka Poisson untuk kontinum batuan [-]
Parameter elastis anisotropiss arah "Bidang 1" (misalnya arah stratifikasi) :
E2 : Modulus Young dalam arah "Bidang 1" [kN/m2]
G2 : Modulus geser dalam arah "Bidang 1" [kN/m2]
2 : Angka Poisson dalam arah "Bidang 1" [-]
Parameter kekuatan dalam arah kekar (Bidang i = 1, 2, 3) :
ci : Kohesi [kN/m2]
i : Sudut geser []
i : Sudut dilatansi []
4-7
t,i : Tegangan tarik [kN/m2]

4-7
MANUAL MODEL MATERIAL

Definisi arah kekar (Bidang i = 1, 2, 3) :


n : Jumlah arah kekar (1  n  3) [-]
1,i : Sudut dip []
2,i : Arah dip []

Gambar 4.4 Parameter model Jointed Rock

Parameter elastis
Parameter elastis E1 dan 1 adalah kekakuan yang konstan (modulus Young) dan angka
Poisson dari batu sebagai suatu kontinum sesuai dengan hukum Hooke (yaitu jika tidak
bersifat anisotropiss).
Anisotropis elastis dalam formasi batuan dapat dimodelkan dengan stratifikasi.
Kekakuan yang tegak lurus arah stratifikasi umumnya mengalami reduksi dibandingkan
dengan kekakuan secara umum. Kekakuan yang direduksi ini dapat dinyatakan dengan
parameter E2, bersama dengan angka Poisson kedua, 2.
Geser elastis dalam arah stratifikasi juga dianggap lebih "lemah" daripada geser elastis
dalam arah yang lain. Secara umum, kekakuan geser pada arah anisotropiss dapat secara
eksplisit didefinisikan oleh modulus geser G2. Berbeda dengan hukum elastisitas
isotropis dari Hooke, G2 merupakan parameter yang terpisah dan tidak dapat dengan
sederhana dihubungkan dengan modulus Young dengan menggunakan angka Poisson
(lihat Pers. 4.1d dan e). Jika perilaku elastis dari batuan adalah sepenuhnya isotropis,
maka parameter E2 dan 2 masing-masing dapat secara sederhana diatur sama dengan E1
dan 1, sedangkan nilai G2 harus ditetapkan sebesar ½E1/(1 + 1).

4-8 PLAXIS Versi 8


MODEL JOINTED ROCK (ANISOTROPIS)

Parameter kekuatan
Setiap arah (bidang) gelincir mempunyai sifat kekuatan ci, i dan t,i dan sudut dilatansi
i. Sifatatan ci dan i menentukan kuat geser ijin sesuai dengan kriteria Coulomb, dan t
menentukan kuat tarik sesuai dengan kriteria pembatasan tegangan tarik. Kuat tarik akan
ditampilkan setelah menekan tombol Tingkat lanjut. Secara pra-pilih, pembatasan
tegangan tarik adalah aktif dari kuat tarik ditetapkan sebesar nol. Sudut dilatansi, i,
digunakan dalam fungsi potensi platis g, dan menentukan besarnya muai volume plastis
akibat penggeseran.

Definisi arah kekar


Diasumsikan bahwa arah dari anisotropiss elastis berhubungan dengan arah pertama
dimana geseran plastis dapat terjadi ("Bidang 1"). Arah ini harus selalu ditentukan.
Dalam kasus formasi batuan yang terstratifikasi tanpa adanya kekar utama, jumlah
bidang gelincir (= arah gelincir) adalah tetap 1, dan parameter kekuatan tetap harus
ditentukan untuk arah ini. Maksimum tiga buah arah gelincir dapat ditentukan. Arah-
arah ini dapat berhubungan dengan arah kekar yang paling kritis dalam formasi batuan.

N
y
t
n
2
s*
1
s bidang gelincir

1

Gambar 4.5 Definisi sudut dip dan arah dip

Arah gelincir ditentukan oleh dua buah parameter : Sudut dip (1) (atau secara singkat
disebut sebagai Dip saja) dan Arah dip (2). Untuk istilah Arah dip, dalam istilah
geologi juga umum digunakan istilah strike (jurus) Meskipun demikian, pengguna harus
berhati-hati dengan definisi dari strike, dan karena itu dalam P LAXIS digunakan istilah
Arah dip yang lebih jelas dan sering digunakan oleh para ahli batuan. Definisi dari
kedua parameter diilustrasikan dalam Gambar 4.5.
Perhatikan suatu bidang gelincir yang ditunjukkan dalam Gambar 4.5. Bidang gelincir
dapat didefinisikan oleh vektor (s, t), dimana keduanya mempunyai arah normal
terhadap vektor n. Vektor n adalah "normal" terhadap bidang gelincir, dimana vektor s

4-9
MANUAL MODEL MATERIAL

adalah "garis jatuh" (fall line) dari bidang gelincir dan vektor t adalah "garis horisontal"
dari bidang gelincir. Bidang gelincir membentuk sudut 1 terhadap bidang horisontal,
dimana bidang horisontal dapat didefinisikan oleh vektor (s*, t), dimana keduanya
adalah normal terhadap sumbu y. Sudut 1 adalah sudut dip, yang didefinisikan sebagai
sudut inklinasi positif "ke arah bawah" antara bidang horisontal dan bidang gelincir.
Karena itu, 1 adalah sudut di antara vektor s* dan s, diukur melawan arah putaran jarum
jam dari s* ke s saat melihat ke arah t positif. Sudut dip harus dimasukkan dalam rentang
0 hingga 90.
Orientasi dari bidang gelincir lebih jauh didefinisikan oleh arah dip, 2, yang
merupakan orientasi dari vektor s* terhadap arah Utara (N, North). Arah dip
didefinisikan sebagai sudut positif dari arah Utara, diukur melawan arah putaran jarum
jam hingga ke proyeksi dari garis jatuh (= arah s*) saat melihat ke bawah. Arah dip harus
dimasukkan dalam rentang 0 hingga 360.
Selain orientasi bidang gelincir, juga diketahui bagaimana koordinat (x, y, z) global dari
model dihubungkan dengan arah Utara. Informasi ini berada dalam parameter Deklinasi,
seperti telah ditentukan dalam jendela Pengaturan global dari program Masukan.
Deklinasi merupakan sudut positif dari arah Utara ke arah z positif dari model.

2
x
s*
3 z
N

Deklinasi

Gambar 4.6 Definisi berbagai arah dan sudut dalam bidang horisontal

Untuk melakukan transformasi dari sistem koordinat (n, s, t) lokal ke sistem koordinat
(x, y, z) global, sudut tambahan 3 digunakan secara internal, yang merupakan selisih
antara Arah dip dan Deklinasi :

3 = 2 – Deklinasi
Karena itu, 3 merupakan sudut positif dari arah z positif berlawanan arah dengan
putaran jarum jam hingga ke arah s* saat melihat ke bawah.
Dari definisi di atas dapat diperoleh bahwa :

4-10 PLAXIS Versi 8


MODEL JOINTED ROCK (ANISOTROPIS)

sin 1  sin 3


 n x
  
n  ny  cos 1  (4.20a)
   
 n z   sin 1  cos  3 

cos 1  sin  3 
 sx    
s  sy   sin 1  (4.20b)

   

 s z   cos 1  cos 3  


 


x   cos 3
 t
t ty  0  (4.20c)

   

t z   sin  3 

Berikut ini adalah beberapa contoh yang menunjukkan bagaimana bidang gelincir terjadi
dalam sebuah model 3D untuk nilai 1, 2 dan Deklinasi yang berbeda-beda :

y
1 = 45º
2 = 0º
x Deklinasi = 0º
y
z
1 = 45º
2 = 90º
x Deklinasi = 0º
y
z
1 = 45º
2 = 0º
x Deklinasi = 90º

Gambar 4.7 Beberapa contoh arah keruntuhan yang didefinisikan


oleh 1, 2 dan Deklinasi

Seperti dapat dilihat di atas, untuk kondisi regangan bidang (kasus yang ditinjau dalam
Versi 8) hanya 1 saja yang diperlukan. Secara pra-pilih 2 ditentukan sebesar 90 dan
deklinasi diatur sebesar 0.

4-11
MANUAL MODEL MATERIAL

4-12 PLAXIS Versi 8


MODEL HARDENING SOIL (ISOTROPIS)

5 MODEL HARDENING SOIL (ISOTROPIS)

Berbeda dengan model elastis plastis-sempurna, bidang leleh dari suatu model
hardening plastis tidak tetap dalam ruang tegangan utama, tetapi dapat berkembang
akibat peregangan plastis. Dibedakan antara dua buah jenis hardening, yaitu hardening
geser dan hardening kompresi. Hardening geser digunakan untuk memodelkan
regangan yang tidak dapat kembali seperti semula akibat tegangan deviator. Hardening
kompresi digunakan untuk memodelkan regangan plastis yang tidak dapat kembali
seperti semula akibat kompresi primer pada pembebanan satu arah dan pembebanan
isotropis. Kedua jenis hardening telah diikutsertakan dalam model saat ini.
Model Hardening Soil merupakan model tingkat lanjut untuk memodelkan perilaku dari
berbagai jenis tanah, baik untuk tanah lunak maupun tanah yang keras (Schanz, 1998).
Saat menerima beban deviator utama, tanah umumnya menunjukkan kekakuan yang
semakin berkurang dan secara simultan terbentuk regangan plastis yang tidak dapat
kembali seperti semula. Dalam kasus khusus pada uji triaksial terdrainase, hubungan
antara tegangan deviator dan regangan aksial yang teramati dapat didekati sebagai suatu
hiperbola. Hubungan seperti ini pertama kali diformulasikan oleh Kondner (1963) dan
kemudian digunakan dalam model hiperbolik (Duncan & Chang, 1970) yang telah
dikenal luas. Namun demikian, model Hardening Soil telah jauh melampaui model
hiperbolik. Pertama karena model Hardening Soil telah menggunakan teori plastisitas
dan bukan teori elastisitas lagi. Kedua karena model ini telah mengikutsertakan dilatansi
dari tanah, dan ketiga adalah dengan digunakannya suatu "cap" leleh (yield cap).
Beberapa karakteristik dasar dari model ini adalah :
 Kekakuan bergantung pada tegangan secara eksponensial. Parameter m
 Peregangan plastis akibat beban deviator utama. Parameter E50ref

 Peregangan plastis akibat beban kompresi primer. ref


Parameter Eoed

 Pengurangan /pemberian beban elastis. Parameter E urref , ur


 Keruntuhan sesuai model Mohr-Coulomb. Parameter c,  dan 
Fitur dasar dari model Hardening Soil saat ini adalah kekakuan tanah yang bergantung
pada tegangan yang bekerja. Pada hubungan tegangan-regangan dalam kondisi
pembebanan satu arah, misalnya model menggunakan hubungan Eoed = E ref oed ( / p ) .
ref m

Dalam kasus khusus pada tanah lunak, penggunaan m = 1 adalah cukup realistis. Dalam
situasi seperti ini juga terdapat hubungan yang sederhana antara indeks kompresi
termodifikasi, *, seperti digunakan dalam model Soft Soil, dan modulus pembebanan
satu arah (lihat juga Bab 6.7).

ref  p
ref

E oed  
 
1 e0 
dimana pref adalah tegangan referensi. Dalam hal ini ditentukan bahwa modulus
oedometer adalah modulus oedometer tangensial pada tegangan pref tertentu. Karena itu,

5-1
MANUAL MODEL MATERIAL

kekakuan pembebanan primer mempunyai hubungan dengan indeks kompresi


termodifikasi *.
Serupa dengan hal di atas, modulus pengurangan-penambahan beban mempunyai
hubungan dengan indeks muai termodifikasi *. Persamaan pendekatan yang digunakan
:

3  pref  1- 2  ur 
ref    
E ur = 1  e0 

 

Sekali lagi, kombinasi hubungan-hubungan ini berlaku untuk nilai masukan m = 1.

5.1 HUBUNGAN HIPERBOLIK UNTUK UJI TRIAKSIAL TERDRAINASE


STANDAR

Ide dasar untuk formulasi dari model Hardening Soil adalah persamaan hiperbolik antara
regangan vertikal, 1, dan tegangan deviator, q, dalam pembebanan triaksial. Dalam hal
ini uji triaksial terdrainase cenderung akan menghasilkan kurva leleh yang dapat
dinyatakan dengan :

1 
   q
untuk : q < qf (5.1)
2  E50 1  q / q a 
1

dimana qa adalah nilai asimptotis dari kuat geser. Persamaan ini digambarkan dalam
Gambar 5.1. Parameter E50 adalah modulus kekakuan tegangan yang tergantung tekanan
keliling untuk pembebanan primer dan diberikan dalam persamaan berikut :
m
 c cot     
E50  E  3 
ref
(5.2)
50  ref 

c cot   p  

dimana E50ref adalah modulus kekakuan referensi sehubungan dengan tekanan keliling
referensi pref. Dalam PLAXIS, digunakan nilai pra-pilih pref = 100 dimensi tegangan.
Kekakuan aktual bergantung pada tegangan utama minor, 3, yang merupakan tegangan
keliling dalam uji triaksial. Perhatikan bahwa 3 adalah negatif untuk tekan. Besarnya
ketergantungan terhadap tegangan dinyatakan oleh eksopnen m. Untuk memodelkan
ketergantungan tegangan secara logaritmik, seperti terjadi pada lempung lunak, pangkat
tersebut harus ditentukan sebesar 1.0. Janbu (1963) menemukan nilai m sekitar 0.5 untuk
pasir Norwegia dan lanau, sedangkan Von Soos (1980) menemukan berbagai nilai yang
berbeda dalam rentang 0.5 < m < 1.0.
Nilai tegangan deviator ultimit, qf, dan nilai qa dalam Pers. (5.1) didefinisikan sebagai :
2  sin 
 
qf
q  c  cot       dan : q (5.3)
1  sin 
f 3 a
Rf

5-2 PLAXIS Versi 8


MODEL HARDENING SOIL (ISOTROPIS)

Ditekankan kembali bahwa 3 umumnya negatif. Persamaan di atas untuk qf diturunkan
dari kriteria keruntuhan Mohr-Coulomb, yang telah melibatkan parameter kekuatan c
dan . Saat q = qf, maka kriteria keruntuhan dipenuhi dan leleh plastis sempurna terjadi
seperti dideskripsikan oleh model Mohr-Coulomb.
Rasio antara qf dan qa dinyatakan sebagai rasio keruntuhan Rf, yang pasti akan bernilai
kurang dari 1. Dalam P LAXIS, Rf = 0.9 digunakan sebagai nilai pra-pilih.
Lintasan tegangan untuk pengurangan beban dan pembebanan kembali, digunakan
modulus kekakuan yang bergantung pada tegangan berikut :
m
 c  cot     
Eur  E  3 
ref
(5.4)
ur  ref 

c  cot   p  
ref
dimana Eur adalah modulus Young referensi untuk pengurangan dan pembebanan
kembali, sehubungan dengan tegangan referensi pref. Dalam banyak kasus praktis dapat
ref ref
digunakan nilai Eur sebesar 3 E 50 ; dimana nilai ini adalah nilai pra-pilih yang
digunakan dalam PLAXIS.

tegangan deviator
|1-3|
asimtot
qa
garis runtuh
qf
E50
1
Eur

regangan aksial - 1

Gambar 5.1 Hubungan tegangan-regangan hiperbolik dalam pembebanan


utama untuk uji triaksial terdrainase standar

5.2 PENDEKATAN HIPERBOLA OLEH MODEL HARDENING SOIL

Untuk kemudahan pemakaian, pembatasan dibuat lagi pada kondisi pembebanan


triaksial dengan 2 = 3 dan 1 adalah tegangan tekan utama mayor. Selain itu juga
diambil asumsi bahwa q < qf, seperti juga ditunjukkan dalam Gambar 5.1. Harus disadari
pula bahwa tegangan dan regangan tekan dianggap bernilai positif. Untuk penjelasan
yang lebih umum mengenai model Hardening Soil, lihat Schanz et al. (1999). Dalam
bab ini akan ditunjukkan bahwa model ini secara praktis akan menghasilkan kurva
tegangan-regangan hiperbolik dari Pers. (5.1) saat mempertimbangkan lintasan tegangan

5-3
MANUAL MODEL MATERIAL

dari uji triaksial terdrainase standar. Pertama mari kita tinjau regangan plastis yang
bersangkutan. Persamaan ini dihasilkan dari fungsi leleh dengan bentuk :

f = f – p (5.5)

dimanaf adalah sebuah fungsi dari tegangan dan  p adalah regangan plastis :

 p  2   p   p    2   p
2 q
f =  2 q (5.6)

E i 1  q / q a  Eur
1 v 1

dengan q, qa, Ei dan Eur seperti didefinisikan oleh Pers. (5.2) hingga (5.4), dimana notasi
atas (superscript) p digunakan untuk menyatakan regangan plastis. Untuk tanah keras,
perubahan volume plastis (vp) cenderung bernilai relatif kecil yang dapat didekati
dengan  p  -21p. Definisi di atas untuk parameter regangan yang mengalami hardening
 p akan dibahas kemudian.
Hal penting dari definisi untukf di atas adalah bahwa fungsi tersebut sesuai dengan
hukum hiperbolik (5.1). Untuk memeriksa pernyataan ini, pertama tinjau pembebanan
primer, karena hal ini menyatakan kondisi leleh f = 0. Untuk pembebanan primer, maka
akan diperoleh  p = f dan mengikuti Pers. (5.6) :
  p 1 f 1

q

q (5.7)
Ei 1 q / qa  Eur
1 2
=

Selain regangan plastis, model ini juga memperhitungkan regangan elastis. Regangan
plastis hanya terjadi pada pembebanan primer saja, tetapi regangan elastis terjadi baik
pada pembebanan primer maupun pada pengurangan/pembebanan kembali. Untuk
lintasan tegangan dari uji triaksial terdrainase dengan 2 = 3 = konstan, modulus
elastisitas Young Eur tetap konstan dan regangan elastis dihitung dengan persamaan :
q
  e=   e2 =   =  
q e
(5.8)
1
Eur 3 ur
Eur
dimana ur adalah angka Poisson untuk pengurangan/pembebanan kembali. Perlu
disadari bahwa regangan yang dihitung terbatas pada regangan akibat pemberian
tegangan deviator, dan regangan yang terjadi pada tahap awal tidak diperhitungkan.
Dalam tahap pertama dari kompresi isotropis (dengan konsolidasi), model Hardening
Soil sepenuhnya menerapkan perubahan volume elastis sesuai hukum Hooke, tetapi
regangan yang terjadi tidak dimasukkan dalam Pers. (5.8).
Untuk tahap pemberian beban deviator pada uji triaksial, regangan aksial adalah jumlah
dari komponen elastis yang diberikan oleh Pers. (5.8) dan komponen plastis sesuai
dengan Pers. (5.7). Karena itu diperoleh :

 ε  ε e  ε p 
1 q

1 1 1 
Ei 1 q / qa
 
(5.9)

Persamaan ini berlaku tanpa adanya regangan volumetrik plastis, yaitu saat vp = 0.
5-4 PLAXIS Versi 8
MODEL HARDENING SOIL (ISOTROPIS)

Dalam kenyataan, regangan volumetrik plastis tidak akan pernah secara tepat bernilai
nol, tetapi untuk tanah keras perubahan volume plastis cenderung kecil dibandingkan
dengan regangan aksial, sehingga pendekatan dalam Pers. (5.9) umumnya akurat.
Karena itu jelas bahwa model Hardening Soil ini akan menghasilkan kurva tegangan-
regangan hiperbolik seperti pada kondisi uji triaksial.
Untuk suatu nilai parameter hardening,  p, yang konstan, kondisi leleh f = 0 dapat
dinyatakan dalam bidang p-q oleh titik-titik leleh (yield loci). Pers. (5.6) digunakan
untuk menggambarkan titik-titik leleh ini, serta Pers. (5.2) dan Pers. (5.4) untuk nilai E50
dan Eur. Karena bentuk persamaan dari Eur, maka bentuk garis yang menghubungkan
titik-titik leleh akan bergantung pada nilai eksponen m. Untuk m = 1 akan diperoleh
garis lurus, tetapi untuk nilai eksponen yang lebih rendah akan diperoleh garis hubung
titik leleh yang sedikit melengkung. Gambar 5.2 menunjukkan garis hubung titik leleh
untuk m = 0.5 yang merupakan nilai tipikal untuk tanah keras.

tegangan deviator
|1-3|
Garis keruntuhan
Mohr-Coulomb

tegangan efektif rata-rata

Gambar 5.2 Titik-titik leleh pada berbagai nilai  p yang konstan

5.3 REGANGAN VOLUMETRIK PLASTIS UNTUK KONDISI TEGANGAN


TRIAKSIAL

Setelah membahas persamaan untuk regangan geser plastis,  p, perhatian sekarang


dipusatkan pada regangan volumetrik plastis, vp. Seperti seluruh model plastisitas,
model Hardening Soil melibatkan hubungan antara perubahan regangan plastis, yaitu
hubungan antara & vp dan & p . Fungsi alir (flow rule) mempunyai bentuk linier berikut :

&v p = sin m  &p (5.10)

Terlihat bahwa diperlukan untuk menentukan sudut dilatansi termobilisasi m. Untuk
model saat ini digunakan :

Untuk sinm < 3/4 sin : m = 0

5-5
MANUAL MODEL MATERIAL

 sin  m  sin  cv 

Untuk sinm ≥ 3/4 sin dan    sin m  max m ,0 


1  sin  sin  cv 

Untuk sinm ≥ 3/4 sin dan  ≤  m = 

Kalau  = 0 m = 0 (5.11)
dimana cv adalah sudut geser pada volume yang konstan atau pada kondisi kritis
(critical state), yaitu setelah material konstan dan tidak tergantung pada kepadatan
awalnya, dan m adalah sudut geser termobilisasi :

 1   3 
sinm  (5.12)
 1 +  3  2  c  cot 
Persamaan di atas sesuai dengan teori dilatansi-tegangan dari Rowe (1962) yang
dijelaskan oleh Schanz & Vermeer (1995). Hal penting dalam teori dilatansi-tegangan
adalah bahwa material akan berkontraksi pada rasio tegangan yang rendah ( m < cv),
sedangkan dilatansi akan terjadi pada rasio tegangan yang tinggi ( m > cv). Saat
keruntuhan, yaitu saat sudut geser termobilisasi sama dengan sudut geser runtuh, , dari
Pers. (5.11) dapat diperoleh :

sin   sin  cv
sin  (5.13a)
1  sin   sin  cv
atau :

sin   sin

sin cv  (5.13b)
1  sin   sin 

Karena itu, sudut kondisi kritis dapat dihitung dari sudut runtuh  dan . PLAXIS
melakukan perhitungan ini secara otomatis sehingga pengguna tidak perlu menentukan
nilai cv, tetapi pengguna harus memasukkan data masukan berupa sudut geser, , dan
sudut dilatansi batas, .

5.4 PARAMETER MODEL HARDENING SOIL

Beberapa parameter dari model hardening ini sama dengan model Mohr-Coulomb yang
bersifat tidak hardening. Parameter-parameter keruntuhan ini adalah c,  dan  :
Parameter keruntuhan seperti dalam model Mohr-Coulomb (lihat Bab 3.3) :
c : Kohesi [kN/m2]
 : Sudut geser []
 : Sudut dilatansi []

5-6 PLAXIS Versi 8


MODEL HARDENING SOIL (ISOTROPIS)

Parameter dasar untuk kekakuan tanah :


E 50ref : Kekakuan sekan dari uji triaksial terdrainase [kN/m2]
ref
Eoed : Kekakuan tangensial untuk pembebanan primer [kN/m2]
m : Eksponen ketergantungan terhadap tegangan [-]
Parameter tingkat lanjut (disarankan untuk menggunakan pengaturan pra-pilih) :
Eurref : Kekakuan untuk pengurangan/pembebanan
ref
kembali (pra-pilih : E ur = 3  E ref50 ) [kN/m2]

ur : Angka Poisson untuk pengurangan/pembebanan [-]


kembali (pra-pilih :ur = 0.2)
pref : Tegangan referensi untuk modulus [kN/m2]
(pra-pilih : pref = 100 dimensi tegangan)
K 0NC : Nilai K0 untuk tanah terkonsolidasi normal [-]
(pra-pilih : K0 = 1 – sin )
Rf : Rasio keruntuhan qf / qa (pra-pilih : Rf = 0.9) [-]
(lihat Gambar 5.1)
tension : Kuat tarik (pra-pilih : tension = 0 dimensi [kN/m2]
tegangan)
cincrement : Seperti dalam model Mohr-Coulomb [kN/m2]
(pra-pilih : cincrement = 0)

Gambar 5.3 Parameter dasar untuk model Hardening Soil

5-7
MANUAL MODEL MATERIAL

Modulus kekakuan E 50ref & E oed


ref
serta eksponen m
Kelebihan dari model Hardening Soil terhadap model Mohr-Coulomb tidak hanya pada
penggunakan kurva tegangan-regangan hiperbolik sebagai pengganti kurva bi-linier saja,
tetapi juga pada pengaturan terhadap tingkat ketergantungan terhadap tegangan.
Saat menggunakan model Mohr-Coulomb, pengguna harus menetapkan nilai modulus
Young dimana pada tanah sebenarnya nilai kekakuan tersebut bergantung pada tegangan
yang bekerja. Karena itu perlu untuk memperkirakan tingkat tegangan pada tanah dan
menggunakannya untuk memperoleh nilai kekakuan yang tepat. Pada model Hardening
Soil, pemilihan parameter masukan yang menyulitkan ini tidak perlu dilakukan. Sebagai
gantinya, sebuah modulus kekakuan E50ref perlu didefinisikan untuk tegangan utama
minor referensi sebesar -3 = pref.
Sebagai nilai pra-pilih, program menggunakan pref = 100 dimensi tegangan.
Karena sebagian pengguna P LAXIS lebih terbiasa dengan masukan berupa modulus geser
dibandingkan modulus kekakuan di atas, maka berikut ini akan dibahas mengenai
modulus geser. Dalam teori elastisitas dari Hooke, hubungan antara E dan G dapat
dinyatakan dengan persamaan E = 2(1+)G. Karena Eur adalah kekakuan elastis yang
realistis, maka dapat dituliskan Eur = 2(1+ur)Gur, dimana Gur adalah modulus geser
elastis. Perhatikan bahwa dalam P LAXIS dapat dimasukkan nilai Eur dan ur, tetapi tidak
untuk masukan langsung dari Gur. Berbeda dengan Eur, modulus sekan E50 tidak
digunakan dalam konsep elastisitas. Karena itu, tidak ada hubungan yang sederhana
antara E50 dan G50.
Berbeda dengan model-model yang didasarkan pada konsep elastisitas, model
Hardening Soil yang bersifat elastoplastis tidak melibatkan hubungan yang tetap antara
kekakuan triaksial (terdrainase) E50 dan kekakuan oedometer Eoed untuk kompresi satu
dimensi, tetapi kekakuan-kekakuan ini dapat dimasukkan secara terpisah.

-1

ref
E oed
1
pref

-1

ref
Gambar 5.4 Definisi E oed dari hasil uji oedometer

5-8 PLAXIS Versi 8


MODEL HARDENING SOIL (ISOTROPIS)

Setelah mendefinisikan E50 dengan Pers. (5.2), sekarang penting untuk mendefinisikan
kekakuan oedometer. Digunakan persamaan berikut :
m
 c  cot     
Eoed  E  1 
ref
(5.14)
oed  ref 
c  cot   p 

dimana Eoed adalah modulus kekakuan tangensial seperti ditunjukkan dalam Gambar 5.4.
ref
Karena itu, Eoed adalah kekakuan tangensial pada tegangan vertikal sebesar -1 = pref.
Perhatikan bahwa dalam hal ini digunakan 1 dan bukan 3 serta pembebanan yang
ditinjau adalah pembebanan primer.

Parameter tingkat lanjut


Nilai yang realistis dari ur adalah sekitar 0.2 dan nilai inilah yang digunakan dalam
pengaturan pra-pilih, seperti ditunjukkan dalam Gambar 5.5.

ref
Gambar 5.5 Definisi E oed dari hasil uji oedometer

Lain dengan model Mohr-Coulomb, K NC 0 bukan merupakan fungsi yang sederhana dari
angka Poisson, tetapi merupakan nilai masukan. Sebagai pengaturan pra-pilih PLAXIS
menggunakan korelasi K 0NC = 1 – sin . Disarankan untuk tetap mempertahankan nilai
ini karena korelasi tersebut sangat realistis. Walaupun demikian, pengguna tetap dapat
memasukkan nilai yang lain. Tidak seluruh nilai yang mungkin untuk K 0NC dapat

5-9
MANUAL MODEL MATERIAL

digunakan. Bergantung pada parameter yang lain, seperti E50, Eoed, Eur dan ur, maka
terdapat rentang nilai tertentu untuk nilai K NC
0 yang dapat digunakan. Nilai K NC
0 diluar
rentang ini akan ditolak oleh PLAXIS. Saat memasukkan nilai tersebut, program akan
menunjukkan nilai terdekat yang paling mungkin, yang akan digunakan dalam
perhitungan.

Batas tegangan tarik


Setelah penggeseran yang terus-menerus, material yang mengalami dilatansi akan
mencapai suatu kepadatan kritis dimana tidak terjadi dilatansi lebih lanjut, seperti
ditunjukkan dalam Gambar 5.6. Fenomena dari perilaku tanah ini dapat dimodelkan
dalam model Hardening Soil dengan menggunakan pembatasan tegangan tarik. Untuk
mendefinisikan perilaku ini, parameter berupa angka pori awal, eawal, dan angka pori
maksimum, emaks, dari material harus dimasukkan sebagai parameter umum. Segera
setelah perubahan volume mencapai kondisi angka pori maksimum, sudut dilatansi yang
dimobilisasi, mob, secara otomatis akan diatur menjadi nol, seperti ditunjukkan dalam
Gambar 5.6.

pembatasan tegangan
tarik TIDAK-AKTIF

v
pembatasan tegangan tarik AKTIF

porositas maksimum tercapai


1 – sin 

2sin 


1

Gambar 5.6 Kurva regangan hasil uji triaksial terdrainase standar saat
melibatkan pembatasan tegangan tarik

untuk e < e : sin  sin  mob  sin  cv (5.15a)


=

1  sin mob sin  cv
maks mob

sin   sin
dimana : sin cv =
1  sin   sin

untuk e  emaks : mob = 0 (5.15b)


Angka pori dihubungkan dengan regangan volumetrik, v, dengan persamaan :

5-10 PLAXIS Versi 8


MODEL HARDENING SOIL (ISOTROPIS)
 1+ e 
   
awal
 v v = ln   (5.16)
 1+ e awal 
dimana peningkatan v adalah positif untuk dilatansi.
Angka pori awal, eawal, adalah angka pori dalam massa tanah di lapangan. Angka pori
maksimum adalah angka pori dari material pada kondisi angka pori kritis. Segera setelah
angka pori maksimum tercapai, sudut dilatansi akan diatur menjadi nol. Angka pori
minimum, emin, dari tanah juga dapat dimasukkan, tetapi paramater tanah ini tidak
digunakan dalam konteks model Hardening Soil.
Perhatikan bahwa aktivasi pembatasan tegangan tarik dan masukan dari angka-angka
pori dilakukan dalam lembar-tab Umum dari jendela kumpulan data material dan tidak
dalam lembar-tab Parameter. Aktivasi pembatasan tegangan tarik hanya tersedia jika
model Hardening Soil telah dipilih. Secara pra-pilih, pembatasan tegangan tarik tidak
diaktifkan.

Gambar 5.7 Jendela sifat umum tingkat lanjut

5.5 "CAP" BIDANG LELEH DALAM MODEL HARDENING SOIL

Bidang leleh akibat penggeseran seperti ditunjukkan dalam Gambar 5.2 tidak
menjelaskan regangan volumetrik plastis yang terukur dalam kompresi isotropis. Karena
itu jenis kedua dari bidang leleh harus digunakan untuk menutup daerah elastis pada
arah sumbu p. Tanpa bidang leleh jenis "cap" seperti itu maka tidak akan mungkin untuk
ref
membuat suatu model dengan masukan E 50ref dan Eoed yang saling independen.
Modulus triaksial terutama mengatur bidang leleh geser dan modulus oedometer
ref
mengatur "cap" bidang leleh. Faktanya, E 50 mengatur sebagian besar nilai dari
regangan plastis yang berhubungan dengan bidang leleh geser. Serupa dengan hal

5-11
MANUAL MODEL MATERIAL

ref
tersebut, Eoed digunakan untuk mengatur nilai dari regangan plastis yang berasal dari
"cap" leleh (yield cap). Dalam bab ini "cap" leleh akan dijelaskan secara mendetil.
Untuk itu diberikan definisi dari "cap" bidang leleh sebagai berikut :

c q~ 2 2 2

f= + p'  pp (5.17)
2
dimana  adalah parameter tambahan dari model yang berhubungan dengan K 0nc yang
akan dibahas kemudian. Lebih jauh telah didefinisikan :

p’ = (’1 + ’2 + ’3)/3 dan q~ = ’1 + ( – 1)’2 –  ’3

dimana  = (3 + sin )/(3 – sin ). q~ merupakan suatu notasi tegangan, khusus untuk
menyatakan tegangan deviator. Pada kasus khusus dari kompresi triaksial (-’1 > -’2 =
-’3) diperoleh bahwa q~ = -(’1 – ’3) dan untuk triaksial tarik (-’1 = -’2 > -’3) nilai
q~ akan menjadi q~ = -(’1 – ’3). Nilai dari "cap" leleh ditentukan oleh tekanan
prakonsolidasi isotropis pp. Persamaan hardening yang menghubungkan pp dengan
regangan "cap" volumetrik  vpc :

  p p 
1 m 
 vpc = 1  m   (5.18)
 pref 

 
Regangan "cap" volumetrik adalah regangan volumetrik plastis dalam kompresi
isotropis. Selain konstanta m dan pref yang telah banyak dikenal ada sebuah konstanta
lain yaitu . Kedua parameter  dan  adalah parameter "cap", tetapi kedua parameter
tersebut tidak akan digunakan sebagai masukan langsung. Bentuk persamaan untuk
kedua parameter tersebut adalah :

  K 0NC (pra-pilih : K NC
0 = 1 – sin )

  E oed
ref ref = E ref )
(pra-pilih : E oed 50

sedemikian rupa sehingga K 0NC dan Eoed ref


dapat digunakan sebagai parameter masukan
yang masing-masing menentukan nilai  dan . Untuk memahami bentuk dari "cap"
leleh, pertama kali harus disadari bahwa "cap" tersebut berbentuk elips dalam bidang p-
q~ , seperti ditunjukkan dalam Gambar 5.8.
Elips tersebut mempunyai panjang pp pada sumbu p dan pp pada sumbu q~ . Karena itu
pp menentukan ukuran elips dan  menentukan rasio lebar terhadap tingginya. Nilai 
yang tinggi akan menghasilkan "cap" yang curam di bawah garis Mohr-Coulomb,
sedangkan nilai  yang rendah akan membentuk "cap" yang berada di sekitar sumbu p.

5-12 PLAXIS Versi 8


MODEL HARDENING SOIL (ISOTROPIS)

Elips tersebut digunakan baik sebagai bidang leleh maupun sebagai potensi plastis.
Karena itu :

 =    p p   p& p
m
&pc =    f c dengan : 
(5.19)

 ' 2  p'  p ref 




pref

 
Persamaan untuk  ini diturunkan dari kondisi leleh fc = 0 dan Pers. (5.18) untuk pp.
Data masukan untuk nilai pp awal diperoleh dari prosedur dalam P LAXIS untuk
perhitungan tegangan awal. Disini, pp dapat dihitung dari nilai rasio konsolidasi berlebih
(OCR) atau dari tekanan pra-pembebanan (POP) (lihat Bab 2.6). Untuk memahami
bidang leleh sepenuhnya, perhatikan kedua Gambar 5.8 dan Gambar 5.9.

~
q

pp
daerah elastis

p
pp
ccot 

Gambar 5.8 Bidang leleh dari model Hardening Soil dalam bidang p- q~ . Daerah
elastis dapat direduksi dengan menggunakan pembatasan tegangan tarik

-1

-3
-2

Gambar 5.9 Tampilan seluruh kontur bidang leleh dari model Hardening Soil
dalam ruang tegangan utama untuk tanah non-kohesif

5-13
MANUAL MODEL MATERIAL

Gambar pertama menunjukkan garis leleh yang sederhana, sedangkan gambar kedua
menunjukkan bidang leleh dalam ruang tegangan utama. Baik garis leleh akibat geser
maupun "cap" leleh mempunyai bentuk heksagonal dari kriteria keruntuhan Mohr-
Coulomb klasik. Dalam kenyataannya, bidang leleh akibat geser dapat berkembang
hingga mencapai bidang keruntuhan Mohr-Coulomb ultimit. "Cap" bidang leleh akan
berkembang sesuai fungsi dari tekanan prakonsolidasi pp.

5-14 PLAXIS Versi 8


MODEL SOFT SOIL CREEP (PERILAKU YANG TERGANTUNG WAKTU)

6 MODEL SOFT SOIL CREEP (PERILAKU YANG TERGANTUNG WAKTU)

6.1 PENDAHULUAN

Jenis tanah lunak yang kita tinjau adalah lempung yang terkonsolidasi normal, lanau
kelempungan serta gambut. Sifat khusus dari material tanah semacam ini adalah derajat
kompresinya yang tinggi. Hal ini ditunjukkan dengan sangat baik oleh hasil uji
oedometer seperti misalnya yang dilaporkan oleh Janbu (1985) dalam kuliah Rankine
yang dibawakannya. Dengan menentukan modulus kekakuan tangensial pada tegangan
oedometer referensi sebesar 100 kPa, beliau melaporkan bahwa untuk lempung yang
terkonsolidasi normal nilai Eoed adalah 1 ~ 4 MPa, tergantung dari jenis tanah lempung
yang diuji. Perbedaan antara nilai-nilai tersebut dengan kekakuan dari pasir yang
terkonsolidasi normal sangat besar dimana kekakuan dari pasir seperti itu berada pada
rentang 10 hingga 50 MPa, paling tidak untuk sampel di laboratorium yang tidak
tersementasi. Karena itu, dalam uji oedometer lempung yang terkonsolidasi normal akan
sepuluh kali lipat lebih lunak dibandingkan pasir yang terkonsolidasi normal. Hal ini
memberikan gambaran tentang kompresibilitas yang ekstrim dari tanah lunak.
Sifat lain dari tanah lunak adalah ketergantungan-tegangan secara linier dari kekakuan
tanah. Sesuai dengan model Hardening Soil diperoleh :

oed  (- '1 / p )


ref m
Eoed = E ref

setidaknya untuk c = 0, dan hubungan linier diperoleh untuk m = 1. Sesungguhnya,


dengan menggunakan eksponen sama dengan satu, persamaan kekakuan di atas akan
menjadi :

Eoed = - '1 / * dimana * = pref / E ref oed

Untuk kasus khusus dengan m = 1, model Hardening Soil menghasilkan


& = *  - & '1 / - '1, yang dapat diintegrasikan untuk memperoleh hukum kompresi
logaritmik yang telah dikenal  = *ln  untuk pembebanan oedometer primer.
Dalam berbagai penelitian praktis pada tanah lunak, indeks kompresi termodifikasi *
akan diperoleh dan pengguna PLAXIS dapat menghitung modulus oedometer dengan
persamaan berikut :

E oed = p / 
ref ref *

Dari pertimbangan di atas terlihat bahwa model HS (Hardening Soil) juga sangat sesuai
untuk tanah lunak. Sesungguhnya, hampir seluruh masalah pada tanah lunak dapat
dianalisis dengan menggunakan model ini, tetapi model HS tidak sesuai untuk
memperhitungkan rangkak atau creep, yaitu kompresi sekunder dari tanah. Seluruh jenis
tanah akan mengalami rangkak, dan kompresi primer selalu diikuti oleh kompresi
sekunder tertentu. Dengan mengambil asumsi bahwa kompresi sekunder (misalnya

6-1
MANUAL MODEL MATERIAL

selama rentang waktu 10 atau 30 tahun) sebesar persentase dari kompresi primer, jelas
bahwa rangkak akan menjadi penting pada permasalahan yang melibatkan kompresi
primer yang besar. Contoh dari kasus ini adalah konstruksi timbunan di atas tanah lunak.
Penurunan utama sesungguhnya dari bendungan dan tanggul umumnya memang diikuti
oleh rangkak yang cukup besar pada tahun-tahun berikutnya. Dalam kasus seperti ini
tentu diinginkan untuk memperkirakan rangkak dari komputasi MEH (metode elemen
hingga).
Bendungan atau gedung dapat dibangun di atas lapisan tanah yang terkonsolidasi
berlebih sehingga menghasilkan penurunan primer yang kecil. Kemudian, akibat
pembebanan tersebut kondisi konsolidasi normal dapat tercapai dan rangkak yang cukup
signifikan dapat terjadi. Hal ini merupakan situasi yang sangat berbahaya karena
kompresi sekunder yang cukup besar tidak didahului oleh peringatan berupa kompresi
primer yang besar. Karena hal ini maka perhitungan dengan model rangkak ingin
dilakukan.
Buisman (1936) mungkin adalah orang pertama yang mengusulkan persamaan rangkak
untuk lempung setelah mengamati bahwa penurunan tanah lunak tidak dapat
sepenuhnya dijelaskan oleh teori konsolidasi klasik. Penelitian pada kompresi sekunder
satu dimensi ini kemudian dilanjutkan oleh peneliti-peneliti lain seperti Bjerrum (1967),
Garlanger (1972), Mesri (1977) dan Leroueil (1977). Penelitian secara matematis pada
rangkak diikuti oleh misalnya Sekiguchi (1977), Adachi dan Oka (1982) dan Borja et al.
(1985). Pemodelan rangkak 3D secara matematis banyak dipengaruhi oleh pemodelan
1D yang lebih bersifat eksperimental, tetapi masih terjadi pertentangan.
Rangkak 3D seharusnya secara jelas merupakan muai dari rangkak 1D, tetapi hal ini
terhambat oleh fakta bahwa model 1D saat ini belum diformulasikan sebagai persamaan
diferensial. Untuk menyatakan model Soft Soil Creep, pertama model 1D harus terlebih
dahulu dikonversikan ke dalam bentuk diferensial. Persamaan diferensial 1D ini
kemudian dikembangkan menjadi model 3D. Bab ini menjelaskan secara mendetil
mengenai formulasi model Soft Soil Creep. Selain itu, perhatian dipusatkan pada
parameter dari model. Pada bagian akhir, diberikan sebuah validasi dari model 3D
dengan meninjau hasil prediksi dari model dan data hasil uji triaksial berupa uji triaksial
dengan kecepatan peregangan konstan serta uji rangkak triaksial (triaxial creep test) tak
terdrainase. Untuk aplikasi-aplikasi lain dari model lihat referensi dari Vermeer et al.
(1998) dan Neher & Vermeer (1998).
Beberapa karakteristik dasar dari model Soft Soil Creep adalah :
 Kekakuan bergantung pada tegangan (perilaku kompresi logaritmik)
 Pembedaan antara pembebanan primer dan pengurangan/pembebanan kembali
 Kompresi sekunder (ketergantungan pada waktu)
 Tekanan prakonsolidasi
 Perilaku keruntuhan mengikuti kriteria Mohr-Coulomb.

6-2 PLAXIS Versi 8


MODEL SOFT SOIL CREEP (PERILAKU YANG TERGANTUNG WAKTU)

6.2 DASAR RANGKAK SATU DIMENSI

Saat meninjau literatur sebelumnya tentang kompresi sekunder pada uji oedometer, akan
mengejutkan karena ternyata tinjauan tersebut berpusat pada perilaku yang berhubungan
dengan langkah pembebanan, walaupun proses pembebanan secara alami cenderung
terjadi secara berkesinambungan atau transien. Buisman (1936) mungkin adalah peneliti
pertama yang melakukan uji rangkak klasik. Beliau mengusulkan persamaan berikut
untuk mendefinisikan perilaku rangkak pada tegangan efektif yang konstan :
 t 
 =  c  CB  log   untuk : t > tc (6.1)
t
 c 
dimana c adalah regangan hingga akhir konsolidasi, t adalah waktu yang diukur dari
awal pembebanan, tc adalah waktu hingga akhir konsolidasi primer dan CB adalah
konstanta material.
Perhatikan bahwa kita tidak mengikuti perjanjian tanda mekanika tanah dimana tekan
adalah positif. Sebaliknya, tegangan dan regangan tekan dianggap negatif. Untuk
pembahasan selanjutnya, akan lebih mudah untuk menyatakan persamaan di atas dengan
persamaan berikut :
 tc  t 

   c  C B  log   untuk : t > 0 (6.2)


 tc 
dimana t = t – tc adalah waktu rangkak efektif.
Berdasarkan penelitian dari Bjerrum mengenai rangkak, seperti dipublikasikan pada
tahun 1967, Garlanger (1972) mengusulkan persamaan rangkak dalam bentuk :
  c  t 

e  ec  C  log   dengan : C  = C B  1  e0  untuk : t > 0 (6.3)


c 
Perbedaan antara persamaan dari Garlanger dan Buisman adalah tidak signifikan.
Regangan praktis (engineering strain)  digantikan oleh angka pori e, dan waktu
konsolidasi tc digantikan oleh parameter c. Pers. (6.2) dan (6.3) adalah sepenuhnya
identik saat mengambil nilai c = tc. Untuk kasus dimana c  tc perbedaan antara kedua
persamaan tersebut akan hilang saat waktu rangkak efektif t meningkat.
Untuk keperluan praktis, uji oedometer umumnya diinterpretasikan dengan menganggap
tc sebesar 24 jam. Sesungguhnya, uji oedometer standar adalah sebuah uji pembebanan
bertahap dengan periode setiap pembebanan adalah tepat satu hari. Akibat asumsi
khusus bahwa lamanya pembebanan tepat sama dengan waktu konsolidasi tc, maka uji
seperti itu tidak akan mempunyai waktu rangkak efektif. Karena itu akan diperoleh t = 0
dan suku log akan hilang dari Pers. (6.3). Kemudian akan terlihat seperti tidak terjadi
rangkak dalam uji oedometer standar, tetapi asumsi ini sepenuhnya adalah salah. Sampel
oedometer yang sangat impermeabel pun hanya membutuhkan waktu kurang dari satu
6-3
MANUAL MODEL MATERIAL

jam untuk proses konsolidasi primer, kemudian tekanan air pori berlebih akan menjadi
nol dan yang teramati dalam 23 jam berikutnya adalah sepenuhnya rangkak. Karena itu
tidak akan diambil suatu asumsi apapun mengenai nilai yang tepat untuk c dan tc.
Kemungkinan lain yang sedikit berbeda adalah dengan mendefinisikan kompresi
sekunder sesuai bentuk yang digunakan oleh Butler (1979) :

H H   c  t 

 =  c - C  ln   (6.4)
  c 
dimana H adalah regangan logaritmik yang didefinisikan sebagai :

H  V
  1+ e 
 

= ln V  = ln  1+ e 

ε (6.5)
 0  0 

dengan notasi bawah (subscript) "0" menandakan nilai awal. Notasi atas (superscript)
"H" digunakan untuk menyatakan regangan logaritmik. Digunakan simbol yang berbeda
ini karena regangan logaritmik semula digunakan oleh Hencky. Untuk regangan kecil
dapat ditunjukkan bahwa :

C
C=  = CB (6.6)
 1+ e0  ln 10 ln 10

karena kemudian nilai regangan logaritmik kurang-lebih adalah sama dengan regangan
praktis. Baik Butterfield (1979) dan Den Haan (1994) menunjukkan bahwa untuk kasus
yang mengikutsertakan regangan yang besar, regangan kecil logaritmik telah melampaui
regangan praktis tradisional.

6.3 VARIABEL  C DAN C

Dalam bab ini perhatian akan dipusatkan pada variabel c. Di sini sebuah prosedur akan
dideskripsikan untuk penentuan variabel ini secara eksperimental. Untuk melakukan hal
ini tinjau terlebih dahulu Pers. (6.4). Dengan menurunkan persamaan ini terhadap waktu
dan menghilangkan notasi atas (superscript) "H" untuk memudahkan notasi, diperoleh :
C 
 &= atau jika dibalik :  1 =  c + t 
(6.7)
 c + t & C

sehingga persamaan yang dikembangkan olen Janbu (1969) dapat digunakan untuk
mengevaluasi parameter C dan c dari data eksperimental. Kedua cara yang ditunjukkan
dalam Gambar 6.1a untuk metode konvensional dan Gambar 6.1b untuk metode Janbu,
dapat digunakan untuk menentukan parameter C dari uji oedometer dengan beban
konstan. Penggunaan metode Janbu menarik karena baik c dan C dapat diperoleh
setelah menarik garis lurus yang mewakili data-data uji. Dalam penggambaran metode
6-4 PLAXIS Versi 8
MODEL SOFT SOIL CREEP (PERILAKU YANG TERGANTUNG WAKTU)

Janbu dari Gambar 6.1b, c adalah perpotongan dengan sumbu waktu (tidak logaritmik)
dengan garis rangkak yang lurus. Deviasi dari hubungan linier untuk t < tc diakibatkan
oleh konsolidasi.

tc ln t -1 / &

1
c tc
C
1 
C 
 t = t - tc
- 

 t
τc t

(a) (b)

Gambar 6.1 Konsolidasi dan perilaku rangkak pada uji oedometer standar

Dengan meninjau literatur klasik, regangan pada akhir dari konsolidasi, c, dapat
dideskripsikan dengan persamaan :

e c      pc 

 c =  c   c =  A  ln    B  ln 
  p0  (6.8)
  0 
 
Perhatikan bahwa  adalah regangan logaritmik, dan bukan regangan kecil klasik
walaupun notasi atas (superscript) "H" telah dihilangkan. Dalam persamaan di atas 0
menyatakan tegangan efektif awal sebelum pembebanan dan  adalah tegangan
pembebanan efektif final. Nilai p0 dan pc masing-masing menyatakan tekanan
prakonsolidasi sehubungan dengan kondisi sebelum pembebanan dan kondisi akhir
konsolidasi. Dalam sebagian besar literatur mengenai uji oedometer, digunakan
parameter angka pori e dan bukan , digunakan log dan bukan ln, indeks muai adalah Cr
dan bukan A, serta indeks kompresi Cc dan bukan B. Konstanta A dan B di atas
berhubungan dengan Cr dan Cc sebagai berikut :

C Cc  C r 
A=  r
B= (6.9)
 1  e0  ln 10 1 e0  ln 10

Substitusi Pers. (6.4) dan (6.8) akan menghasilkan :

e c       pc    c  t 
 
       A  ln     B  ln 
  p0   C  ln   c 

(6.10)
 0   
 

6-5
MANUAL MODEL MATERIAL

dimana  adalah regangan logaritmik total akibat peningkatan tegangan efektif dari 0
hingga  dan dalam rentang waktu tc + t. Dalam Gambar 6.2 Pers. (6.10) digambarkan
dalam sebuah diagram -ln .

0 p0 pc  ln(-)

A
1  ce

A+B
 cc
1

garis NC Cln (1 + t/τc)


-

Gambar 6.2 Idealisasi kurva tegangan-regangan dari uji oedometer dengan pembagian
peningkatan regangan menjadi komponen elastis dan komponen rangkak.
Garis NC (NC line) akan tepat dicapai pada t + tc = 1 hari

Hingga bagian ini, masalah yang lebih umum dari rangkak pada kondisi pembebanan
transien belum dibahas, karena perlu diingat kembali bahwa telah dibuat batasan untuk
rangkak di bawah beban yang konstan. Untuk membuat pemodelan secara umum,
diperlukan bentuk diferensial dari model rangkak. Bentuk ini jelas tidak akan
mengandung t dan c karena waktu konsolidasi tidak didefinisikan secara jelas dalam
kondisi pembebanan transien.

6.4 PERSAMAAN DIFERENSIAL UNTUK RANGKAK 1-D

Persamaan sebelumnya menekankan hubungan antara akumulasi rangkak dan waktu,


pada suatu tegangan efektif tertentu yang konstan. Untuk menyelesaikan masalah
transien atau pembebanan yang berkesinambungan, perlu diformulasikan suatu hukum
konstitutif dalam bentuk persamaan diferensial, seperti yang akan dideskripsikan dalam
bab ini. Pertama perlu diturunkan suatu persamaan untuk c. Sesungguhnya, meskipun
menggunakan regangan logaritmik dan ln sebagai pengganti log, Pers. (6.10) merupakan
persamaan klasik tanpa menambahkan pengetahuan baru. Terlebih lagi, masih terbuka
pertanyaan mengenai arti fisik dari c. Sebenarnya informasi yang akurat mengenai c
belum dapat ditemukan dalam literatur ini, terpisah dari metode Janbu untuk penentuan
secara eksperimental.
Untuk memperoleh persamaan analitis dari nilai c, digunakan ide dasar bahwa regangan
yang tidak elastis bergantung terhadap waktu. Karena itu regangan total adalah jumlah
dari bagian elastis e dan bagian rangkak yang tergantung waktu p. Untuk situasi yang
tidak mencapai keruntuhan seperti dalam kondisi pembebanan oedometer, tidak diambil
asumsi berupa komponen regangan plastis seketika seperti digunakan dalam pemodelan
elastoplastis tradisional. Selain konsep dasar ini, digunakan ide dari Bjerrum bahwa

6-6 PLAXIS Versi 8


MODEL SOFT SOIL CREEP (PERILAKU YANG TERGANTUNG WAKTU)

tekanan prakonsolidasi bergantung sepenuhnya pada besarnya akumulasi regangan


rangkak yang terjadi. Karena itu selain Pers. (6.10) diberikan persamaan berikut :

e c       p     c 
 
       A  ln    B  ln 
  p0    p   p0  exp  B 

(6.11)
  0   
 
Perhatikan bahwa c adalah negatif, sehingga p melebihi p0. Semakin lama sampel
tanah dibiarkan mengalami rangkak, semakin besar pula p. Ketergantungan tegangan
prakonsolidasi p terhadap waktu sekarang telah ditemukan dengan menggabungkan
Pers. (6.10) dan (6.11) untuk memperoleh :

c c
  p    c  t 

   c = B  ln 
  pc C  ln   (6.12)
  c 
 
Persamaan ini sekarang dapat digunakan untuk pemahaman c yang lebih baik,
setidaknya saat menambahkan pengetahuan dari pembebanan oedometer standar. Dalam
uji oedometer konvensional, beban ditingkatkan secara bertahap dan tiap beban dijaga
tetap konstan untuk rentang waktu tc + t = , dimana  adalah tepat satu hari.
Dengan cara pembebanan secara bertahap ini maka garis terkonsolidasi normal (Garis
NC atau NC-line) dengan p =  dapat diperoleh. Dengan memasukkan nilai p =  dan
t =  – tc ke dalam Pers. (6.12), ditemukan bahwa :

      c +  t c 

B  ln  
 C  ln 
  pc   untuk : OCR = 1 (6.13)
 c 
 
Sekarang diasumsikan bahwa (c – tc) << . Nilai ini kemudian dapat diabaikan terhadap
nilai  sehingga :

B
  C   pc  C
B
 
=   atau :  c =   (6.14)
 c  pc    
 
 

 
Karena itu c bergantung baik pada tegangan efektif  dan tekanan prakonsolidasi di
akhir proses konsolidasi, pc. Untuk melakukan verifikasi asumsi bahwa ( c – tc) << ,
harus disadari bahwa sampel oedometer pada umumnya berkonsolidasi dalam waktu
yang relatif singkat yaitu kurang dari satu jam. Dengan mempertimbangkan langkah
beban pada garis konsolidasi normal, akan diperoleh OCR = 1 baik pada awal maupun
pada akhir dari langkah beban. Dalam sebuah langkah beban p meningkat dari p0
hingga pc dalam rentang waktu konsolidasi (primer) yang singkat. Kemudian p
meningkat lebih lanjut dari pc hingga mencapai  dalam rentang waktu rangkak yang
relatif lama. Karena itu setelah satu hari sampel akan berada kembali dalam kondisi
terkonsolidasi normal, tetapi segera setelah rentang konsolidasi yang singkat sampel
6-7
akan berada dalam kondisi sedang berkonsolidasi dengan p < . Untuk nilai yang

6-7
MANUAL MODEL MATERIAL

umumnya sangat tinggi dari rasio B/C  15, akan diperoleh nilai c yang sangat kecil
dari Pers. (6.14).
Karena itu tidak hanya tc tetapi c juga cenderung mempunyai nilai yang kecil terhadap
nilai , sehingga asumsi (c – tc) <<  menjadi benar.
Setelah menurunkan Pers. (6.14) yang sederhana untuk c, sekarang formulasi dari
persamaan diferensial untuk rangkak dapat disusun. Penurunan dari Pers. (6.10) akan
menghasilkan :
&  C
& = & e  & c   A   (6.15)
  c + t
dimana c + t dapat dieliminasi dengan menggunakan Pers. (6.12) untuk memperoleh :

 B
& C   C
& = & e  & c   A     
pc

c p
 

dengan : 

   c 

 p   p0  exp   (6.16)
 B 
Sekali lagi perlu diingat bahwa c adalah regangan tekan, yang dianggap bernilai negatif
dalam modul ini. Pers. 6.14 sekarang dapat digunakan untuk mengeliminasi c dan pc
serta untuk memperoleh :

B 
& C    C
& = & e  & c   A      
  p  (6.17)
 


6.5 MODEL TIGA DIMENSI

Saat mengembangkan model 1D hingga pada kondisi umum dari tegangan dan
regangan, digunakan invarian tegangan yang telah dikenal untuk tegangan rata-tata, p,
serta tegangan deviator, q. Invarian-invarian ini digunakan untuk mendefinisikan
tegangan baru yang disebut peq :
q2
eq

p =p  (6.18)
M 2  p  c cot 
Dalam Gambar 6.3 ditunjukkan bahwa tegangan peq adalah konstan jika berada pada
elips dalam bidang p-q, dimana elips tersebut diperoleh dari model Modified Cam-Clay
6-8 PLAXIS Versi 8
MODEL SOFT SOIL CREEP (PERILAKU YANG TERGANTUNG WAKTU)

(model Cam-Clay yang termodifikasi) seperti diperkenalkan oleh Roscoe dan Burland
(1968).

tegangan deviator q = 1 - 3

peq ppeq

tegangan isotropis p = -(1 + 2+ 3)/3

Gambar 6.3 Diagram elips peq dalam bidang p-q

Parameter tanah M menyatakan kemiringan dari garis yang disebut sebagai garis kondisi
kritis atau "critical state line" yang juga ditunjukkan dalam Gambar 6.3. Definisi 3D
secara umum pada Pers. (2.7b) digunakan untuk menghitung tegangan deviator q dan :

6  sin  cv
M= (6.19)
3  sin  cv
dimana cv adalah sudut geser pada angka pori kritis yang juga disebut sebagai sudut
geser critical state. Dengan menggunakan Pers. (2.7b) untuk q, tegangan ekivalen peq
akan bernilai konstan pada elipsoid dalam ruang tegangan utama. Untuk
mengembangkan teori 1D menjadi teori 3D, perhatian sekarang dipusatkan pada kondisi
tegangan dan regangan yang terkonsolidasi normal seperti terjadi pada uji oedometer.
Dalam situasi seperti itu, akan dihasilkan 2 = 3 = K NC0 1, dan dari Pers. (6.18) :

1  2  K NC 
3  1  K NC
0
2 

 ,
0
peq       2  NC


3 M  1  2 K 0 
1  2  K NC
0 
3  1  K NC 
0
2
 

peq   p  

  (6.20)
0
2
p
 3 M 12K NC


dimana  = K NC 1, dan p eq


adalah tekanan prakonsolidasi dalam bentuk umum,
0 p
yang secara sederhana adalah proporsional dengan tekanan prakonsolidasi 1D. Untuk
nilai K 0NC yang diketahui, peq dapat dihitung dari , dan p eqp kemudian dapat dihitung
6-9
dari p. Dengan mengabaikan regangan elastis dalam persamaan 1D (6.17), dari

6-9
MANUAL MODEL MATERIAL

persamaan di atas untuk peq dan p eq dan menggunakan  untuk menggantikan , maka
p v
akan diperoleh bahwa :

B
C  peq  C eq eq
   c 
 & c =   dimana : p p = p p0  exp v  (6.21)
v  eq   B 
 p
 p 
Untuk kondisi oedometer satu dimensi, persamaan ini akan menjadi Pers. (6.17),
sehingga dapat diperoleh muai sebenarnya dari model rangkak 1D. Perlu diperhatikan
bahwa notasi bawah (subscript) "0" digunakan sekali lagi dalam persamaan untuk
menyatakan kondisi awal dan bahwa vc = 0 untuk waktu t = 0.
Untuk menggantikan parameter A, B dan C dari model 1D, akan digunakan parameter
material *, * dan *, yang sesuai dengan lingkup kerja dari mekanika tanah critical
state. Konversi di antara konstanta-konstanta tersebut mengikuti aturan berikut :

*  2  A , B= * - * , * = C (6.22)
Dengan menggunakan parameter-parameter baru ini, Pers. (6.21) berubah menjadi :

*   *
*  p eq  *
   c 
 
 & c =   p eq = peq  exp  v


dengan : (6.23)
v
  p eq  p p0   *   * 
 p  

Model rangkak 3D masih belum lengkap, karena hingga saat ini hanya regangan
rangkak volumetrik vc saja yang telah ditinjau, sedangkan tanah lunak juga akan
mengalami regangan rangkak deviator. Untuk menggunakan regangan rangkak secara
umum, digunakan pandangan bahwa regangan rangkak secara sederhana merupakan
regangan plastis yang tergantung pada waktu. Karena itu logis untuk mengasumsikan
sebuah fungsi alir untuk perubahan regangan rangkak, seperti umumnya dilakukan
dalam teori plastisitas. Untuk membentuk formulasi fungsi alir, umumnya digunakan
notasi vektor dan meninjau dalam arah utama :

 = 1  2  3T dan :  = 1  2 3T


dimana T digunakan untuk menotasikan transpos (transpose). Serupa dengan model 1D
dalam model 3D juga terdapat regangan elastis dan regangan rangkak. Dengan
menggunakan hukum Hooke untuk bagian elastis dan sebuah fungsi alir untuk bagian
rangkak, diperoleh :

c 
g
& = &e + &c = D  &  +   
-1
(6.24)
 
dimana matriks elastisitas dan fungsi potensi plastis didefinisikan sebagai :

6-10 PLAXIS Versi 8


MODEL SOFT SOIL CREEP (PERILAKU YANG TERGANTUNG WAKTU)

 1 - ur - ur 
1  
- ur 
D-1 = - ur 1 dan : gc= peq
Eur  

- ur - ur 1 

Karena itu digunakan tegangan ekivalen peq sebagai fungsi potensi plastis untuk
menurunkan komponen perubahan regangan rangkak secara individual. Notasi bawah
(subscript) "ur" digunakan untuk menekankan bahwa baik modulus elastisitas dan angka
Poisson akan menentukan perilaku pengurangan/pembebanan kembali. Dari persamaan
di atas dapat diperoleh :

c c c   peq
c  peq 
 p eq   peq
&v  &1+ &2 + &3    + +       


   3 
   1   2 p 
… (6.25)
Kemudian didefinisikan bahwa  = peq/p. Bersama dengan Pers. (6.23) dan (6.24)
dapat dihasilkan :

    * -  * 
 eq  * 
 p
ε&vc eq
1  * p eq
& = D -1  &  +     = D -1  &       
p

 p eq 

   (6.26)
 p  
dimana : 
c  eq 

ppeq =
p eq  exp  v

 *   * 
atau jika dibalik :   cv = *   *  ln
 pp   
p0  peq 
   p0 


6.6 FORMULASI REGANGAN 3D ELASTIS

Dengan meninjau regangan rangkak, telah ditunjukkan bahwa model 1D dapat


dikembangkan untuk memperoleh model 3D, tetapi hal ini belum dilakukan untuk
regangan elastis.
Untuk memperoleh model 3D yang tepat untuk regangan elastis, modulus elastisitas Eur
juga harus didefinisikan sebagai kekakuan tangensial yang bergantung pada tegangan
sesuai dengan :

p
Eur  3  1  2   Kur  3  1  2   (6.27)
*
ur ur

Maka, Eur bukanlah parameter masukan baru, tetapi merupakan variabel yang
berhubungan dengan nilai parameter masukan *. Di lain pihak, ur adalah benar-benar
6-11
MANUAL MODEL MATERIAL

merupakan konstanta material tambahan. Serupa dengan Eur, modulus bulk Kur adalah
bergantung pada tegangan sesuai dengan aturan Kur = p/*. Sekarang regangan elastis
volumetrik dapat diturunkan sebagai berikut :
e p&  & 
* p e *
 p 

& v = =    atau dengan integrasi : -  v =   ln   (6.28)


K ur p  p 
 0 

Karena itu dalam model 3D regangan elastis diatur oleh tegangan rata-rata p, dan bukan
oleh tegangan utama  seperti dalam model 1D. Walaupun demikian, tegangan rata-rata
dapat dikonversikan menjadi tegangan utama. Untuk kompresi satu dimensi pada garis
konsolidasi normal, diperoleh bahwa -3p = (1+2 K NC ) dan -3p0 = (1+2 K NC )0
0 0
sehingga diperoleh p/p0 = /0. Akan diperoleh aturan yang sederhana berupa
-vc = *ln (/0), sedangkan dalam model 1D digunakan -vc = Aln (/0). Karena itu
akan terlihat bahwa * akan sama dengan A. Sayangnya pemikiran ini tidak dapat
dikembangkan untuk tegangan dan regangan dalam kondisi terkonsolidasi berlebih.
Untuk situasi semacam ini, dapat diturunkan bahwa :

p&  1 +  ur 1 &
=   (6.29)
p 1   ur 1 + 2  K0  
dan kemudian :
p&  1 +  ur & 
- &ve = *  = *  (6.30)
p 1   1 + 2  K0  
ur

dimana K0 sangat bergantung pada derajat konsolidasi berlebih. Dalam banyak hal,
cukup beralasan untuk mengambil asumsi K0  1 serta ur  0.2 sehingga diperoleh
-2vc  *ln (/0). Kesesuaian yang baik dengan model 1D karena itu dapat diperoleh
dengan menentukan nilai *  2A.

6.7 TINJAUAN PARAMETER MODEL

Segera setelah kriteria leleh saat runtuh f(, c, ) = 0 terpenuhi, perubahan regangan
plastis seketika akan terjadi menurut fungsi alir & p = g/ dengan g = g(, ). Hal
ini membutuhkan parameter tanah tambahan berupa kohesi efektif, c, sudut geser Mohr-
Coulomb, , dan sudut dilatansi . Untuk tanah butir halus yang kohesif, sudut dilatansi
cenderung kecil, sehingga seringkali diasumsikan  adalah nol. Sebagai kesimpulan,
model Soft Soil Creep membutuhkan konstanta-konstanta material sebagai berikut :
Parameter keruntuhan seperti dalam model Mohr-Coulomb :
c : Kohesi [kN/m2]
 : Sudut geser []

6-12 PLAXIS Versi 8


 : Sudut dilatansi []

6-12 PLAXIS Versi 8


MODEL SOFT SOIL CREEP (PERILAKU YANG TERGANTUNG WAKTU)

Parameter kekakuan dasar :


* : Indeks muai termodifikasi [-]
 *
: Indeks kompresi termodifikasi [-]
 *
: Indeks rangkak termodifikasi [-]
Parameter tingkat lanjut :
ur : Angka Poisson untuk pengurangan/pembebanan [-]
kembali
K 0NC : Rasio tegangan xx/yy dalam kondisi [-]
terkonsolidasi normal
M : Parameter yang berhubungan dengan K NC
0 [-]

Gambar 6.4 Lembar-tab Parameter untuk model Soft Soil Creep

Secara pra-pilih, M dihitung dari Pers. (6.19), dengan menggunakan cv =  + 0.1,
dimana hal ini bukanlah temuan empiris melainkan hanya nilai pra-pilih praktis saja.
Selain itu PLAXIS menunjukkan perkiraan nilai dari K 0NC yang berhubungan dengan
pengaturan pra-pilih dari M. Umumnya nilai pra-pilih yang diberikan untuk K 0NC
sedikit lebih tinggi dibandingkan nilai dari formula Jaky K 0NC = 1 – sin . Alternatif
lain adalah dengan memasukkan nilai K 0NC secara manual yang akan menghasilkan
nilai M dari persamaan berikut (Brinkgreve, 1994) :

6-13
MANUAL MODEL MATERIAL

1  K  
NC
2
1  K 1  2     /   1
NC * *
M  3 

 1  2    /   1  K 1  
0 0 ur

1  2  K 
(6.31)
NC 2
0
1  2  KNC
0 ur
* * NC
0 ur

Karena itu pengguna tidak dapat memasukkan nilai M secara langsung, melainkan
dengan memasukkan nilai K NC
0 .

Gambar 6.5 Parameter tingkat lanjut untuk model Soft Soil Creep

Indeks muai termodifikasi, indeks kompresi termodifikasi dan indeks rangkak


termodifikasi
Parameter-parameter ini dapat diperoleh baik dari uji kompresi isotropis maupun uji
oedometer. Saat menggambarkan logaritma tegangan sebagai fungsi dari regangan,
hasilnya dapat didekati dengan dua buah garis lurus (lihat Gambar 6.2). Kemiringan
garis kondolidasi normal akan menghasilkan indeks kompresi termodifikasi, *,
sedangkan kemiringan dari garis pengurangan/pembebanan kembali (atau garis muai,
swelling line) dapat digunakan untuk menghitung indeks muai termodifikasi, *, seperti
telah dijelaskan dalam Bab 6.6. Perhatikan bahwa ada perbedaan antara indeks-indeks
termodifikasi * dan * terhadap parameter  dan  dari model Cam-Clay, yaitu bahwa
 dan  dinyatakan dalam angka pori, e, dan bukan regangan volumetrik, v. Parameter
* dapat diperoleh dengan mengukur regangan volumetrik dalam jangka panjang dan
menggambarkannya terhadap logaritma dari waktu (lihat Gambar 6.1)

6-14 PLAXIS Versi 8


MODEL SOFT SOIL CREEP (PERILAKU YANG TERGANTUNG WAKTU)

Tabel 6.1a Hubungan dengan parameter Cam-Clay


 
* = * =
1+e 1+e ---

Tabel 6.1b Hubungan dengan peraturan di Belanda


1 2 1
* = *  * =
Cp Ap 2.3 Cs'

Tabel 6.1c Hubungan dengan parameter internasional yang dinormalisasi


2 Cr C
* =
Cc *   * =
2.3  1 + e 2.3 1  e 2.3  1 + e

Dalam Tabel 6.1b, Ap menyatakan kemiringan kurva pengurangan beban satu dimensi
dalam kurva p-v.
Seperti telah ditunjukkan dalam Bab 6.6, tidak ada hubungan yang eksak antara indeks-
indeks kompresi  dan * dan indeks muai satu dimensi Ap dan Cr, karena rasio dari
tegangan horisontal dan vertikal terus berubah selama pengurangan beban satu dimensi.
Sebagai pendekatan diasumsikan bahwa kondisi tegangan rata-rata selama pengurangan
beban adalah kondisi tegangan isotropis, yaitu kondisi dimana tegangan horisontal sama
dengan tegangan vertikal.
Untuk perkiraan kasar dari parameter model, dapat digunakan korelasi *  IP(%)/500,
dengan fakta bahwa */* berada antara 15 hingga 25 dan pengamatan secara umum
menunjukkan bahwa nilai */* berada pada rentang antara 5 hingga 10.
Untuk melakukan karakterisasi lapisan tanah lunak, juga diperlukan untuk mengetahui
tekanan prakonsolidasi awal, p0. Sebagai contoh, tegangan ini dapat dihitung dari nilai
yang diberikan dari rasio konsolidasi berlebih (OCR). Kemudian p0 dapat digunakan
untuk menghitung nilai awal dari tekanan prakonsolidasi ekivalen p peq (lihat Bab 2.6).

Angka Poisson
Dalam kasus model Soft Soil Creep, angka Poisson benar-benar merupakan konstanta
elastis dibandingkan model Mohr-Coulomb yang menggunakannya sebagai konstanta
pseudo-elastis. Nilai angka Poisson umumnya akan berada antara 0.1 dan 0.2. Jika
digunakan pengaturan standar untuk model Soft Soil Creep, maka nilai ur = 0.15 akan
digunakan secara otomatis. Untuk pembebanan pada material yang terkonsolidasi
normal angka Poisson tidak memegang peranan penting, tetapi menjadi penting pada
kasus pengurangan beban. Contohnya, untuk pengurangan beban dalam uji kompresi
satu dimensi (oedometer), angka Poisson yang relatif kecil akan menghasilkan sedikit
penurunan pada tegangan lateral dibandingkan dengan penurunan tegangan vertikal. Hal
ini menyebabkan rasio dari tegangan horisontal terhadap tegangan vertikal meningkat,
dan merupakan fenomena yang telah banyak dikenal untuk material yang terkonsolidasi

6-15
MANUAL MODEL MATERIAL

secara berlebih. Karena itu, angka Poisson seharusnya tidak didasarkan pada kondisi
terkonsolidasi normal, K 0NC , tetapi pada rasio dari perubahan tegangan horisontal
terhadap perubahan tegangan vertikal dari pengurangan/pembebanan kembali dalam uji
oedometer :

νur  x
= (pengurangan dan pembebanan kembali) (6.32)
1  νur  y

6.8 VALIDASI MODEL 3D

Bab ini secara singkat membandingkan hasil simulasi dari perilaku triaksial rangkak tak
terdrainase pada lempung Haney terhadap data hasil pengujian oleh Vaid dan
Campanella (1977), dengan menggunakan parameter-parameter material di bawah ini.
Validasi yang ekstensif mengenai model Soft Soil Creep juga telah dilakukan oleh
Stolle et al. (1977). Seluruh uji triaksial dilakukan dengan terlebih dahulu melakukan
konsolidasi sampel pada tegangan keliling isotropis efektif sebesar 525.5 kPa selama
36 jam, dan kemudian membiarkannya dalam kondisi tak terdrainase selama 12 jam
sebelum melakukan penggeseran.

Tegangan deviator q=(1-3)


400

300

200

ModelSoft Soil Creep


0.00094 % per menit
100
0.15 % per menit
1.10 % per menit

0
0.00 0.04 0.08 0.12

regangan aksial 1

Gambar 6.6 Hasil uji triaksial tak terdrainase (uji CU) dengan kecepatan peregangan
yang berbeda. Semakin cepat penggeseran, semakin tinggi kuat geser tak
terdrainasenya

6-16 PLAXIS Versi 8


MODEL SOFT SOIL CREEP (PERILAKU YANG TERGANTUNG WAKTU)

Peroperti material untuk lempung Haney adalah :


* = 0.016 * = 0.105 * = 0.004
mc = 32  = 0 c = 0 kPa
cs = 32.1 K 0NC = pra-pilih  = 0.25
Tekanan prakonsolidasi di akhir tahap konsolidasi, p p eq, adalah sebesar 373 kPa. Nilai
ini ditentukan dengan melakukan simulasi dari tahap konsolidasi uji. Tekanan
prakonsolidasi p p eq sebesar 373 kPa adalah lebih kecil dari 525 kPa, yang diperlukan
untuk menghasilkan OCR0 sebesar 1. Jelas terlihat bahwa tekanan prakonsolidasi tidak
hanya bergantung pada tegangan konsolidasi maksimum yang bekerja, tetapi juga pada
waktu rangkak seperti dibahas dalam bab sebelumnya. Dalam Gambar 6.6 dapat dilihat
hasil uji yang dilakukan oleh Vaid dan Campanella (1977) serta kurva hasil perhitungan,
yang diperoleh dengan menggunakan model rangkak ini. Terlihat bahwa model ini
sangat sesuai dengan hasil uji.

Uji kuat geser dengan kecepatan penggeseran konstan


Uji triaksial kompresi tak terdrainase, seperti yang ditinjau pada Gambar 6.6, dilakukan
pada kecepatan regangan aksial &1 yang konstan dan pada tegangan horisontal 3 yang
konstan. Perilaku ini ditunjukkan dalam Gambar 6.7.

tegangan deviator q = 1 - 3

Uji “cepat”

Uji “lambat”

tegangan isotropis p = -(1 + 23)/3

Gambar 6.7 Lintasan tegangan efektif yang bergantung pada kecepatan


penggeseran dalam uji triaksial tak terdrainase

Dalam uji tak terdrainase akan dihasilkan & = & e + & c = 0 atau ekivalen dengan
v v v

kondisi &v e = - &v c. Karena itu, pemadatan rangkak akan diimbangi dengan terjadinya
muai elastis dari sampel. Semakin lambat penggeseran akan menghasilkan pemampatan
rangkak yang lebih besar yang pada akhirnya menyebabkan muai elastis yang semakin
besar pula. Persamaan p&  = Kur & ev , dimana Kur adalah modulus bulk, menunjukkan
bahwa muai elastis mengakibatkan penurunan tegangan rata-rata.

6-17
MANUAL MODEL MATERIAL

Untuk uji dengan penggeseran yang sangat cepat tidak akan terjadi rangkak, sehingga
akan berlaku & v
c
= 0 serta &
v
e
= 0. Karena itu dalam kondisi ekstrim tersebut tidak
terjadi perubahan volume sehingga tidak terjadi perubahan tegangan-rata-rata pula. Hal
ini akan menghasilkan lintasan tegangan vertikal yang lurus untuk tegangan efektif
dalam bidang q-p. Dengan meninjau seluruh hasil numerik, terlihat bahwa kuat geser tak
terdrainase cu dapat didekati dengan persamaan :

cu
*
 1.02 + 0.09  log & (6.33)
cu
dimana cu adalah kuat geser tak terdrainase dalam uji triaksial tak terdrainase dengan
kecepatan penggeseran 1% per jam. Hal ini sesuai dengan data eksperimental yang
dikumpulkan oleh Kulhawy dan Mayne (1990).

Uji triaksial rangkak tak terdrainase


Uji ini dimulai dengan konsolidasi isotropis hingga mencapai tegangan rata-rata sebesar
525 kPa. Kemudian sebuah tegangan deviator q diberikan secara tak terdrainase, dan
akhirnya seluruh tegangan dijaga tetap konstan dan sampel akan mengalami rangkak tak
terdrainase.
0.08

0.06
q = 323.4 q = 300.3 q = 278.3
regangan aksial 1

0.04

0.02

Eksperimental
Model Soft Soil Creep

0.00
1 10 100 1000 10000
waktu [menit]

Gambar 6.8 Hasil uji triaksial rangkak

Sampel-sampel uji pertama dikonsolidasikan pada tegangan isotropis yang sama,


kemudian secara tak terdrainase diberikan beban yang berbeda-beda. Rangkak yang

6-18 PLAXIS Versi 8


MODEL SOFT SOIL CREEP (PERILAKU YANG TERGANTUNG WAKTU)

terjadi pada tegangan deviator konstan kemudian diamati, dan dapat diprediksi dengan
baik oleh model Soft Soil Creep.
Besarnya rangkak yang terjadi lebih bergantung pada tegangan deviator q yang
diberikan dari pada rasio tegangan q/p. Untuk rasio tegangan yang relatif kecil,
kecepatan rangkak kecil dan semakin berkurang terhadap waktu. Namun untuk rasio
tegangan yang tinggi, rangkak akan semakin meningkat terhadap waktu dan sampel
akhirnya akan runtuh, yaitu peningkatan regangan mejadi tak terhingga.
Gambar 6.8 menunjukkan terjadinya regangan rangkak aktual pada sampel-sampel yang
diuji dengan tiga buah tegangan deviator yang berbeda.

Waktu keruntuhan rangkak [menit]


10000

Eksperimental
Model Soft Soil Creep
1000

100

10

1
260 280 300 320 340

tegangan deviator q=(1- 3) [kPa]

Gambar 6.9 Hasil uji triaksial rangkak

Seluruh uji mempunyai tegangan deviator yang berbeda. Waktu keruntuhan rangkak
adalah waktu rangkak hingga mencapai peningkatan rangkak & = ∞, seperti ditunjukkan
oleh asimtot pada Gambar 6.8.

6-19
MANUAL MODEL MATERIAL

6-20 PLAXIS Versi 8


MODEL SOFT SOIL

7 MODEL SOFT SOIL

Untuk menekankan pentingnya model Soft Soil, perlu diketahui bahwa mulai Versi 7
telah ada beberapa perubahan strategi pemodelan tanah dalam P LAXIS. Hingga Versi 6,
model material dalam P LAXIS telah terdiri dari model Mohr-Coulomb, model Soft Soil
dan model Hard Soil. Namun dalam Versi 7, ide penggunaan model yang terpisah untuk
tunah lunak dan tanah keras telah ditinggalkan. Sebagai gantinya, model Hard-Soil telah
dikembangkan lebih jauh hingga menjadi model Hardening Soil. Pada saat yang sama
model Soft Soil Creep juga dikembangkan untuk memodelkan beberapa sifat utama dari
tanah lunak. Hasilnya, model Soft Soil dapat digantikan oleh model Hardening Soil yang
baru atau model Soft Soil Creep. Walaupun demikian, agar pengguna tetap dapat
menggunakan model yang telah dikenal dengan baik, maka diputuskan bahwa model
Soft Soil tetap ada dalam P LAXIS Versi 8. Beberapa sifat dari model Soft Soil adalah :
 Kekakuan bergantung pada tegangan (perilaku kompresi logaritmik)
 Pembedaan antara pembebanan primer dan pengurangan/pembebanan kembali
 Tekanan prakonsolidasi
 Perilaku keruntuhan mengikuti kriteria Mohr-Coulomb.

7.1 KONDISI ISOTROPIS TEGANGAN DAN REGANGAN (1 = 2 = 3)

Dalam model Soft Soil, diasumsikan bahwa hubungan antara regangan volumetrik, v,
dan tegangan efektif rata-rata, p, berupa hubungan logaritmik yang dapat
diformulasikan sebagai berikut :

0 *
 p  

 v -  v =    ln   (kompresi alami di lapangan) (7.1)


 p0 
 
Agar Pers. (7.1) tetap berlaku, nilai p minimum diatur sebesar satu dimensi tegangan.
Parameter * adalah indeks kompresi termodifikasi, yang menentukan kompresibilitas
material dalam pembebanan primer. Perhatikan bahwa * berbeda dari indeks  yang
digunakan oleh Burland (1965).
Perbedaannya adalah bahwa Pers. (7.1) merupakan fungsi dari regangan volumetrik dan
bukan angka pori. Penggambaran Pers. (7.1) akan menghasilkan sebuah garis lurus
seperti ditunjukkan dalam Gambar 7.1.
Pengurangan dan pembebanan kembali secara isotropis akan menghasilkan lintasan
tegangan yang berbeda, yang dapat dinyatakan sebagai :

e e0 *
 p 


εv - εv =   ln  p 0 
 (pengurangan dan pembebanan kembali) (7.2)
 

7-1
MANUAL MODEL MATERIAL

Sekali lage, nilai p minimum diatur sebesar satu dimensi tegangan. Parameter * adalah
indeks muai termodifikasi, yang menentukan kompresibilitas material saat pengurangan
beban dan pembebanan kembali. Perhatikan bahwa * berbeda dengan indeks  yang
digunakan oleh Burland. Walaupun demikian, rasio */* adalah sama dengan rasio /.
Respon tanah selama pengurangan dan pembebanan kembali diasumsikan bersifat elastis
dan dinotasikan dengan notasi atas (superscript) e dalam Pers. (7.2). Perilaku elastis
dideskripsikan oleh hukum Hooke (lihat Bab 2.2) dan Pers. (7.2) menyatakan
ketergantungan tegangan secara linier pada modulus bulk tangensial sebagai berikut :

E ur p 
 K  = 
(7.3)
3  1 - 2  νur
ur
*
dimana notasi bawah (subscript) ur menyatakan pengurangan/pembebanan kembali.
Perhatikan bahwa digunakan parameter efektif dan bukan sifat tanah yang tak
terdrainase. Modulus elastisitas bulk, Kur, maupun modulus elastisitas Young, Eur, tidak
digunakan sebagai parameter masukan, melainkan vur dan * yang digunakan sebagai
konstanta masukan untuk bagian dari model yang menghitung regangan elastis.
Kurva pengurangan/pembebanan kembali dalam jumlah yang tak terbatas dapat
dibentuk dalam Gambar 7.1, dimana tiap kurva menyatakan nilai tekanan prakonsolidasi
isotropis pp tertentu, yaitu tegangan tertinggi yang pernah dialami oleh tanah. Selama
pengurangan/pembebanan kembali, tekanan prakonsolidasi ini tidak berubah. Walaupun
demikian, dalam pembebanan utama tekanan prakonsolidasi akan semakin meningkat
sesuai dengan tingkat tegangan yang bekerja, dan menyebabkan regangan volumetrik
(plastis) yang tidak dapat kembali ke kondisi semula.
v

*

*
1

ln p
pp

Gambar 7.1 Hubungan logaritmik antara regangan volumetrik dan tegangan rata-rata

7-2 PLAXIS Versi 8


MODEL SOFT SOIL

7.2 FUNGSI LELEH UNTUK KONDISI TEGANGAN TRIAKSIAL (2 = 3)

Model Soft Soil Creep dapat memodelkan perilaku tanah pada kondisi tegangan secara
umum. Namun demikian, agar lebih jelas maka dalam bab ini diambil batasan pada
kondisi pembebanan triaksial dengan 2 = 3. Untuk kondisi tegangan seperti itu fungsi
leleh dari model Soft Soil didefinisikan sebagai :

f =f – pp (7.4)
dimanaf adalah fungsi dari kondisi tegangan (p, q) dan tekanan prakonsolidasi, pp,
adalah fungsi dari regangan plastis sehingga :

2 
q
f = 2   p + c  cot  
+ p (7.5)
M 

0    p 

pp = p exp  v
 (7.6)
p
  
* *

Fungsi leleh f mendeskripsikan sebuah elips dalam bidang p-q, seperti ditunjukkan
dalam Gambar 7.2. Parameter M dalam Pers. (7.5) menentukan tinggi dari elips. Tinggi
dari elips akan menentukan rasio dari tegangan horisontal terhadap tegangan vertikal
dalam kompresi primer satu dimensi. Kemudian parameter M akan banyak menentukan
nilai koefisien tekanan tanah lateral, K0NC. Dari sudut pandang ini, nilai M dapat dipilih
sedemikian rupa sehingga nilai K0NC yang telah diketahui dapat sesuai dengan kompresi
primer satu dimensi. Interpretasi dan penggunaan M semacam ini berbeda dengan ide
dasar dari garis critical state, tetapi hal ini menjamin nilai K0NC yang sesuai.
Titik-titik puncak dari seluruh elips berada pada garis dengan kemiringan M dalam
bidang p-q. Pada model Modified Cam-Clay (Burland, 1965, 1967) garis M disebut
sebagai garis critical state dan menyatakan kondisi tegangan setelah puncak keruntuhan
terlampaui. Parameter M kemudian didasarkan pada sudut geser critical state. Namun
demikian, dalam model Soft Soil, keruntuhan tidak harus berkaitan dengan kondisi kritis
atau critical state. Kriteria keruntuhan Mohr-Coulomb adalah fungsi dari parameter
kekuatan  dan c, yang mungkin tidak berkaitan dengan garis M.
Tekanan prakonsolidasi isotropis, pp, menentukan besarnya elips sepanjang sumbu p.
Selama pembebanan, elips dalam jumlah tak terhingga dapat terbentuk (lihat
Gambar 7.2) dimana tiap elips berkaitan dengan nilai pp tertentu. Dalam kondisi
tegangan tarik (p < 0), elips akan berkembang hingga mencapai ccot  (Pers. (7.5) dan
Gambar 7.2). Untuk memastikan agar bagian kanan dari elips (yaitu "cap") tetap berada
dalam daerah "kompresi" (p > 0) maka digunakan nilai minimum dari pp sebesar
ccot . Untuk c = 0, nilai minimum pp diambil sebesar satu dimensi tegangan. Karena
itu, terdapat suatu elips "pembatas" seperti ditunjukkan dalam Gambar 7.2.
Nilai pp ditentukan oleh regangan plastis volumetrik yang mengikuti hubungan yang
bersifat hardening, Pers. (7.6). Persamaan ini mencerminkan prinsip bahwa tekanan

7-3
MANUAL MODEL MATERIAL

prakonsolidasi meningkat secara eksponensial dengan meningkatnya regangan plastis


volumetrik (pemampatan). p p 0 dapat dianggap sebagai nilai awal dari tekanan
prakonsolidasi. Penentuan pp0 dibahas dalam Bab 2.6. Menurut Pers. (7.6) nilai regangan
plastis volumetrik awal diasumsikan sebesar nol.

q
M Garis keruntuhan
Mohr-Coulomb
1

"cap"

Elips pembatas
p
pp
c  cot 

Gambar 7.2 Bidang leleh dari model Soft Soil dalam bidang p-q

1


"cap"
cap

bidang keruntuhan

3  


 2  

Gambar 7.3 Ilustrasi dari seluruh kontur bidang leleh dari model Soft Soil
dalam ruang tegangan utama

Dalam model Soft Soil, fungsi leleh, Pers. (7.4), menyatakan regangan volumetrik yang
tidak dapat kembali ke kondisi semula dalam kompresi primer, dan membentuk "cap"

7-4 PLAXIS Versi 8


MODEL SOFT SOIL

dari kontur bidang leleh. Untuk memodelkan kondisi runtuh, digunakan fungsi leleh
jenis Mohr-Coulomb yang bersifat plastis sempurna. Fungsi leleh ini berupa sebuah
garis lurus dalam bidang p-q seperti ditunjukkan dalam Gambar 7.2. Kemiringan garis
keruntuhan akan lebih kecil dibandingkan kemiringan garis M.
Seluruh bidang leleh, seperti ditunjukkan oleh garis tebal dalam Gambar 7.2, merupakan
batas dari daerah tegangan elastis. Garis keruntuhan mempunyai lokasi tetap, tetapi
"cap" dapat meningkat dalam kompresi primer. Lintasan tegangan di dalam batas ini
hanya akan menghasilkan peningkatan regangan elastis, dimana lintasan tegangan yang
cenderung memotong batas umumnya akan menghasilkan peningkatan regangan elastis
dan plastis.
Untuk kondisi tegangan secara umum, perilaku plastis dari model Soft Soil didefinisikan
oleh enam buah fungsi leleh; tiga buah fungsi leleh kompresi dan tiga buah fungsi leleh
Mohr-Coulomb. Seluruh kontur bidang leleh dalam ruang tegangan utama yang
dihasilkan oleh keenam fungsi leleh ini ditunjukkan dalam Gambar 7.3.

7.3 PARAMETER MODEL SOFT SOIL

Parameter model Soft Soil serupa dengan parameter dalam model Soft Soil Creep.
Namun demikian, karena model Soft Soil tidak melibatkan waktu, maka indeks rangkak
termodifikasi * tidak diikutsertakan. Karena itu, model Soft Soil membutuhkan
konstanta-konstanta material berikut :
Parameter dasar :
* : Indeks kompresi termodifikasi [-]
 *
: Indeks muai termodifikasi [-]
c : Kohesi [kN/m2]
 : Sudut geser []
 : Sudut dilatansi []
Parameter tingkat lanjut (gunakan pengaturan pra-pilih) :
ur : Angka Poisson untuk pengurangan/pembebanan [-]
kembali
K0NC : Koefisien tekanan lateral dalam kondisi [-]
terkonsolidasi normal
M : Parameter yang berhubungan dengan K NC
0 [-]
Gambar 7.4 menunjukkan jendela PLAXIS untuk memasukkan nilai-nilai dari parameter
model. M dihitung secara otomatis dari koefisien tekanan tanah lateral, K 0 NC, dengan
menggunakan Pers. (7.8). Perhatikan bahwa dalam model ini, secara fisik parameter M
berbeda dari parameter M dalam model Modified Cam-Clay dimana parameter tersebut
dikaitkan dengan sudut geser material.

7-5
MANUAL MODEL MATERIAL

Gambar 7.4 Ilustrasi dari seluruh kontur bidang leleh dari model Soft Soil
dalam ruang tegangan utama

Indeks muai termodifikasi dan indeks kompresi termodifikasi


Parameter-parameter ini dapat diperoleh dari uji kompresi isotropis termasuk
pengurangan beban secara isotropis. Saat menggambarkan logaritma dari tegangan rata-
rata sebagai fungsi dari regangan volumetrik untuk material yang bersifat seperti
lempung, hasil penggambaran dapat didekati dengan dua buah garis lurus (lihat
Gambar 7.1). Kemiringan dari garis pembebanan primer memberikan indeks kompresi
termodifikasi, dan kemiringan dari garis pengurangan beban (atau muai) akan
memberikan indeks muai termodifikasi. Perhatikan bahwa terdapat perbedaan antara
indeks-indeks termodifikasi * dan * terhadap parameter-parameter  dan  dari model
asli Cam-Clay, yang didefinisikan dalam angka pori, e, dan bukan dalam regangan
volumetrik, v.
Terpisah dari uji kompresi isotropis, parameter * dan * dapat diperoleh dari uji
kompresi satu dimensi. Disini terdapat suatu hubungan dengan parameter-parameter
yang telah dikenal secara luas untuk kompresi satu dimensi dan pembebanan kembali,
yaitu Cc dan Cr. Hubungan yang lain adalah terhadap parameter dalam peraturan di
Belanda untuk kompresi satu dimensi, yaitu Cp dan Ap. Hubungan-hubungan ini
dirangkum dalam Tabel 7.1.

7-6 PLAXIS Versi 8


MODEL SOFT SOIL

Tabel 7.1a Hubungan dengan parameter Cam-Clay


 
1. * = 2 * =
1+e 1+e

Tabel 7.1b Hubungan dengan peraturan di Belanda


1 2
3. * = 4. * 
Cp Ap

Tabel 7.1c Hubungan dengan parameter internasional yang dinormalisasi


2 Cr
κ* 
Cc
5. * = 6.
2.3 1 + e 2.3 1 + e

Catatan pada Tabel 7.1 :


 Dalam hubungan 1 dan 2, angka pori e diasumsikan bernilai konstan. Sebenarnya, e
akan berubah selama uji kompresi, tetapi hal ini hanya akan menghasilkan
perbedaan yang relatif kecil pada angka pori. Untuk nilai e dapat digunakan angka
pori rata-rata selama uji ataupun angka pori awal.
 Dalam hubungan 4 dan 6 tidak terdapat hubungan eksak antara * dan indeks-
indeks muai satu dimensi, karena rasio dari tegangan horisontal terhadap tegangan
vertikal berubah selama pengurangan beban satu dimensi. Untuk pendekatan,
diasumsikan bahwa kondisi tegangan rata-rata selama pengurangan beban adalah
isotropis, yaitu tegangan horisontal adalah sama dengan tegangan vertikal.
 Faktor 2.3 dalam hubungan 5 diperoleh dari rasio antara logaritma dengan bilangan
dasar 10 terhadap logaritma alami (ln).
 Rentang rasio */* (= /) pada umumnya berkisar antara 3 dan 7.

Kohesi
Kohesi mempunyai dimensi tegangan. Setiap nilai kohesi efektif dapat digunakan,
termasuk kohesi sebesar nol. Saat menggunakan pengaturan standard, kohesi ditetapkan
sebesar 1 kPa. Memasukkan suatu nilai kohesi akan menghasilkan daerah elastis yang
sebagian berada di daerah "tegangan tarik", seperti ditunjukkan dalam Gambar 7.2.
Bagian kiri dari elips akan memotong sumbu p pada nilai -ccot . Untuk menjaga agar
bagian kanan dari elips (yaitu "cap") tetap berada dalam daerah "tegangan kompresif"
dari ruang tegangan, maka tekanan prakonsolidasi isotropis, pp, harus mempunyai nilai
minimum sebesar ccot . Hal ini berarti bahwa dengan memasukkan kohesi yang lebih
besar dari nol dapat mengakibatkan kondisi "konsolidasi yang berlebih", tergantung dari
besarnya nilai kohesi dan kondisi tegangan awal. Hal ini mengakibatkan perilaku yang
lebih kaku pada awal pembebanan. Penentuan kuat geser tak terdrainase tidak mungkin

7-7
MANUAL MODEL MATERIAL

dilakukan pada kohesi yang tinggi dan sudut geser nol. Masukan parameter model harus
selalu didasarkan pada nilai-nilai efektifnya.

Sudut geser
Sudut geser dalam efektif menyatakan peningkatan kuat geser terhadap tingkat tegangan
efektif, dan dinyatakan dalam derajat. Sudut geser nol tidak diperbolehkan. Sebaliknya,
pengguna harus berhati-hati dengan penggunaan sudut geser yang tinggi. Seringkali
disarankan untuk menggunakan cv, yaitu sudut geser critical state, dan bukan nilai yang
lebih tinggi yang ditentukan berdasarkan regangan kecil.
Selain itu, penggunaan sudut geser yang tinggi akan secara signifikan meningkatkan
kebutuhan komputasi.

Sudut dilatansi
Untuk jenis material, yang dapat dideskripsikan oleh model Soft Soil, sudut dilatansi
umumnya dapat diabaikan. Sudut dilatansi sebesar nol derajat digunakan dalam
pengaturan standar dari model Soft Soil.

Angka Poisson
Dalam model Soft Soil, angka Poisson murni merupakan konstanta elastisitas dan bukan
konstanta pseudo-elastisitas seperti digunakan dalam model Mohr-Coulomb. Nilai
angka Poisson umumnya berkisar antara 0.1 dan 0.2. Jika dipilih pengaturan standar
untuk parameter model Soft Soil, maka ur = 0.15 akan digunakan secara otomatis.
Untuk pembebanan material yang terkonsolidasi secara normal, angka Poisson hanya
memegang peranan yang kecil, tetapi akan menjadi penting dalam masalah pengurangan
beban. Sebagai contoh, untuk pengurangan beban dalam uji kompresi satu dimensi
(oedometer), angka Poisson yang relatif kecil akan menghasilkan penurunan tegangan
lateral yang kecil dibandingkan dengan penurunan tegangan vertikal. Hal ini akan
menyebabkan peningkatan rasio tegangan horisontal terhadap tegangan vertikal, yang
merupakan suatu fenomena yang telah dikenal dengan baik pada material yang
terkonsolidasi secara berlebih. Karena itu, angka Poisson seharusnya tidak didasarkan
pada nilai K0 NC pada kondisi yang terkonsolidasi secara normal, tetapi pada rasio dari
peningkatan tegangan horisontal terhadap peningkatan tegangan vertikal dalam
pengurangan dan pembebanan kembali pada uji oedometer sedemikian rupa sehingga :

νur = Δ xx (pengurangan dan pembebanan kembali) (7.7)


1 - νur Δ  yy

Parameter K0NC
Parameter M secara otomatis ditentukan berdasarkan koefisien tekanan tanah lateral
dalam kondisi terkonsolidasi normal, K 0 NC, seperti yang dimasukkan oleh pengguna.
Hubungan eksak antara M dan K0NC (Brinkgreve, 1994) adalah :

7-8 PLAXIS Versi 8


MODEL SOFT SOIL

M  3
1 K 0NC 2 + 1 K 0NC 1 2 ur  * /  * 1
1+2  K 0NC  1+2  K 0  1 2  ur * / *  1 K 0NC  1+ur 
2 NC
(7.8)

Nilai M ditunjukkan dalam jendela masukan. Seperti dapat terlihat dari Pers. (7.8), nilai
M juga dipengaruhi oleh angka Poisson ur dan oleh rasio */*. Namun demikian,
pengaruh dari K0NC adalah dominan. Pers. (7.8) dapat didekati dengan :

M  3.0 – 2.8K0NC (7.9)

7-9
MANUAL MODEL MATERIAL

7-10 PLAXIS Versi 8


APLIKASI MODEL TANAH TINGKAT LANJUT

8 APLIKASI MODEL TANAH TINGKAT LANJUT

Dalam Bab 8 ini model-model tanah tingkat lanjut akan digunakan pada berbagai
aplikasi untuk memberikan ilustrasi beberapa fitur tertentu dari model-model ini. Untuk
aplikasi dengan menggunakan model standar Mohr-Coulomb, pengguna dapat
membacanya pada Manual Latihan.

8.1 MODEL HS : RESPON UJI TRIAKSIAL TERDRAINASE DAN TAK


TERDRAINASE

Dalam bab ini model Hardening Soil akan digunakan untuk melakukan simulasi dari uji
triaksial terdrainase dan tak terdrainase. Beberapa parameter model pada Tabel 8.1
merupakan parameter untuk tanah pasir yang digunakan dalam simulasi.

Tabel 8.1 Beberapa parameter Hardening Soil untuk pasir pada berbagai kepadatan
Parameter Lepas Medium Padat Satuan
E50ref (untuk p = ref
100 kPa) 20000 30000 40000 kN/m2
Eurref (untuk p =ref100 kPa) 60000 90000 120000 kN/m2
ref
Eoed (untuk p =ref100 kPa) 20000 30000 40000 kN/m2
Kohesi c 0.0 0.0 0.0 kN/m2
Sudut geser  30 35 40 
Sudut dilatansi  0 5 10 
Angka Poisson ur 0.2 0.2 0.2 -
Eksponen m 0.5 0.5 0.5 -
K0NC (menggunakan "cap") 0.5 0.43 0.36 -
Kuat tarik 0.0 0.0 0.0 kN/m2
Rasio keruntuhan 0.9 0.9 0.9 -

Sebuah uji triaksial dapat secara sederhana dimodelkan sebagai sebuah geometri axi-
simetri berukuran 1 m  1 m, yang menyatakan seperempat bagian dari spesimen tanah,
seperti dalam Gambar 8.1. Ukuran ini tidak realistis, tetapi digunakan demi kemudahan
semata. Ukuran model tidak akan mempengaruhi hasil, karena berat dari tanah tidak
diikutsertakan dalam analisis. Dalam konfigurasi ini tegangan dan regangan terdistribusi
secara merata pada seluruh geometri. Besarnya deformasi pada arah x dan y pada sudut
kanan atas masing-masing berhubungan dengan regangan horisontal dan regangan
vertikal.
Pada sisi kiri dan sisi bawah dari geometri adalah sumbu simetri. Pada kondisi-kondisi
batas ini tidak diijinkan terjadi perpindahan pada arah normal dari batas dan
perpindahan pada arah tangensial adalah bebas untuk memberikan gerakan yang "halus".
Batas-batas yang lain sepenuhnya bebas untuk bergerak.
Seperti dalamVersi 7, besarnya beban yang diberikan dapat diatur dengan menggunakan
faktor pengali berupa MloadA dan MloadB. Namun demikian, dalam Versi 8 seperti

8-1
MANUAL MODEL MATERIAL

telah dijelaskan dalam Manual Acuan, konfigurasi dan besarnya beban dapat ditentukan
dalam program Masukan. Kemudian dalam program Perhitungan beban tersebut dapat
diaktifkan atau dinonaktifkan dengan menggunakan pilihan Tahapan perhitungan.
Untuk kasus ini, dan untuk memodelkan tekanan keliling, p, beban merata sebesar -100
kN/m2 yang menyatakan 1 (beban A) dan 3 (beban B) diaplikasikan dalam program
Masukan, seperti ditunjukkan dalam Gambar 8.1.
Jaring elemen yang sangat kasar cukup untuk geometri yang sederhana ini. Tegangan
awal dan tekanan air pori hidrostatik tidak diikutsertakan dalam pemodelan.

Gambar 8.1 Konfigurasi uji triaksial yang disederhanakan

Dalam program Perhitungan, perhitungan dari seluruh tahapan dapat dilakukan dengan
menggunakan proses Tahapan konstruksi. Dalam tahap pertama, tegangan keliling, p,
diaktifkan dengan mengaktifkan beban A dan B. Dalam tahap kedua perpindahan yang
terjadi diatur kembali menjadi nol dan kemudian sampel dibebani dalam arah vertikal
hingga mengalami keruntuhan dengan tegangan horisontal tetap konstan. Hal ini
dilakukan dengan mengubah beban A dengan klik-ganda pada beban A dalam model
geometri. Sebuah jendela akan muncul dimana nilai masukan untuk beban dapat diubah
(prosedur detil dapat dilihat dalam Manual Acuan dan Latihan). Tahap terakhir ini
digunakan baik untuk kondisi terdrainase maupun untuk kondisi tak terdrainase.
Perhitungan ini dilakukan untuk ketiga kumpulan data material yang berbeda seperti
diberikan dalam Tabel 8.1. hasil perhitungan diberikan dalam gambar-gambar berikut
ini.
Gambar 8.2 menunjukkan perbedaan tegangan utama terhadap regangan aksial untuk
kondisi terdrainase. Gambar ini menunjukkan hubungan hiperbolik antara tegangan dan
regangan, yang merupakan bentuk tipikal untuk model Hardening Soil. Jelas terlihat
bahwa tingkat tegangan runtuh akan semakin besar jika pasir semakin padat. Model HS
tidak mengikutsertakan perilaku softening, sehingga setelah mencapai keruntuhan
tingkat tegangan tidak berkurang, setidaknya untuk uji pada kondisi terdrainase.

8-2 PLAXIS Versi 8


APLIKASI MODEL TANAH TINGKAT LANJUT

1-3 [kN/m2]
400
padat

300
sedang

lepas
200

100

0
0 0.01 0.02 0.03 0.04 0.05 0.06
1

Gambar 8.2 Hasil simulasi uji triaksial terdrainase dengan menggunakan model
Hardening Soil berupa tegangan utama terhadap regangan aksial

v
0.015
padat
0.010

0.005
sedang
0.000

lepas
-0.005

-0.010
0 0.01 0.02 0.03 0.04 0.05 0.06
-1

Gambar 8.3 Hasil simulasi uji triaksial terdrainase dengan menggunakan model
Hardening Soil berupa regangan volumetrik terhadap regangan aksial

Gambar 8.3 menunjukkan hubungan regangan aksial terhadap regangan volumetrik


untuk uji terdrainase. Gambar ini secara jelas menunjukkan pengaruh dilatansi pada
tanah pasir yang lebih padat. Berbeda dengan model Mohr-Coulomb, transisi dari
perilaku elastis hingga keruntuhan terjadi secara lebih bertahap jika menggunakan
model Hardening Soil. Sesungguhnya, dalam model HS regangan plastis langsung
terjadi setelah pemberian beban.

8-3
MANUAL MODEL MATERIAL

1-3 [kN/m2]
200

160
padat

120 sedang

lepas
80

40

0
0 5.00E-03 0.010 0.015 0.020 0.025 0.030
- 1
Gambar 8.4 Hasil simulasi uji triaksial tak terdrainase dengan menggunakan model
Hardening Soil berupa tegangan utama terhadap regangan aksial

Pberlebih [kPa]
-60

lepas
-50

-40 sedang

-30

padat
-20

-10

0
0 5.00E-03 0.010 0.015 0.020 0.025 0.030
- 1
Gambar 8.5 Hasil simulasi uji triaksial tak terdrainase dengan menggunakan model
Hardening Soil berupa tekanan air pori berlebih terhadap regangan aksial

8-4 PLAXIS Versi 8


APLIKASI MODEL TANAH TINGKAT LANJUT

Pada uji tak terdrainase, Gambar 8.4, tingkat keruntuhan pada prinsipnya adalah lebih
rendah dibandingkan dengan uji terdrainase. Namun demikian, untuk pasir medium
hingga pasir padat tingkat tegangan terus meningkat setelah tingkat keruntuhan tercapai
akibat terjadinya dilatansi yang menyebabkan reduksi tekanan air pori berlebih yang
kemudian meningkatkan tegangan efektif. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 8.5.

yy [kPa]

tak terdrainase

terdrainase

pembebanan isotropis

xx [kPa]

Gambar 8.6 Lintasan tegangan untuk uji triaksial terdrainase dan tak terdrainase
dengan menggunakan model Hardening Soil

Gambar 8.6 menunjukkan lintasan tegangan efektif untuk pasir medium, selama uji
terdrainase dan tak terdrainase. Pada tahap pertama (pembebanan isotropis), kedua uji
adalah terdrainase. Pada tahap kedua terdapat pembedaan yang jelas antara kedua uji
tersebut. Pada uji tak terdrainase tegangan horisontal efektif semakin berkurang
sedangkan tegangan vertikal semakin meningkat akibat terbentuknya tekanan air pori
berlebih. Penurunan tegangan horisontal efektif akan lebih besar jika digunakan model
Mohr-Coulomb. Perilaku ini diakibatkan oleh pemampatan plastis (cap hardening) yang
terjadi dalam model HS.

8-5
MANUAL MODEL MATERIAL

8.2 APLIKASI MODEL HARDENING SOIL PADA UJI SESUNGGUHNYA

Dalam bab, ini kemampuan dari model Hardening Soil untuk memodelkan uji
laboratorium pada pasir dievaluasi dengan membandingkan hasil perhitungan P LAXIS
dengan hasil uji yang diperoleh dari uji laboratorium. Berbagai uji laboratorium
dilakukan pada pasir Hostun lepas dan padat. Berdasarkan hasil-hasil pengujian inilah
parameter untuk model Hardening Soil ditentukan, yang diberikan pada Tabel 8.2.

Tabel 8.2 Parameter Hardening Soil untuk pasir Hostun lepas dan padat
Parameter Pasir Lepas Pasir Padat Satuan
Berat volume  17 17.5 kN/m3
E ref (untuk pref = 100 kPa) 20000 37000 kN/m2
50
E ref (untuk pref = 100 kPa) 60000 90000 kN/m2
ur
ref
E (untuk pref = 100 kPa) 16000 29600 kN/m2
oed
Kohesi c 0.0 0.0 kN/m2
Sudut geser  34 41 
Sudut dilatansi  0 14 
Angka Poisson ur 0.20 0.20 -
Eksponen m 0.65 0.5 -
K0NC (menggunakan "cap") 0.44 0.34 -
Kuat tarik 0.0 0.0 kN/m2
Rasio keruntuhan 0.9 0.9 -

Uji triaksial
Uji triaksial terdrainase standar dilakukan pada spesimen pasir lepas dan pasir padat.
Dalam PLAXIS prosedur simulasi uji triaksial telah dijelaskan dalam Bab 8.1. Pada tahap
pertama sampel dikompresi secara isotropis pada tegangan keliling p = 300 kN/m2.
Pada tahap kedua sampel dibebani pada arah vertikal hingga mencapai keruntuhan
dengan tegangan horisontal (tegangan keliling) tetap konstan. Hasil simulasi uji dan
pengukuran data diberikan pada Gambar 8.7, Gambar 8.8 dan Gambar 8.9.
Gambar-gambar tersebut menunjukkan bahwa hasil simulasi cukup sesuai dengan data
uji. Dapat dilihat bahwa respon material (terukur dan hasil simulasi) menunjukkan
transisi secara bertahap dari perilaku elastis ke plastis. Hubungan antara tegangan
deviator dan regangan aksial seperti itu dapat didekati dengan sebuah hiperbola.
Tingkat keruntuhan diatur sepenuhnya oleh sudut geser (kohesi adalah nol). Hasil uji
pada pasir padat menunjukkan perilaku softening setelah beban puncak tercapai.
Pemodelan dari perilaku softening tidak diikutsertakan dalam model Hardening Soil,
sehingga tegangan deviator tetap konstan. Dapat terlihat juga dari data hasil uji bahwa
dilatansi semakin berkurang selama proses softening. Namun demikian, dalam model
Hardening Soil dilatansi terus berlangsung secara tak terbatas kecuali jika digunakan
pilihan pembatasan dilatansi.

8-6 PLAXIS Versi 8


APLIKASI MODEL TANAH TINGKAT LANJUT

|1-3| [kPa]
1400

1200

1000

800

600

Model Hardening soil


400
Data uji
200

0
0 5 10 15

v [%] -1 [%]


0 5 10 15
1

-1

-2

Gambar 8.7 Hasil uji triaksial terdrainase pada pasir Hostun lepas berupa
rasio tegangan utama terhadap regangan aksial

|1-3| [kPa]
1400

1200

1000

800

600 Model Hardening soil


Data uji
400

200

0
0 5 10 15
-1 [%]

Gambar 8.8 Hasil uji triaksial terdrainase pada pasir Hostun padat berupa
rasio tegangan utama terhadap regangan aksial

8-7
MANUAL MODEL MATERIAL

v [%]
8

3
Model Hardening soil
2
Data uji

-1

-2
0 5 10 15
-1 [%]

Gambar 8.9 Hasil uji triaksial terdrainase pada pasir Hostun padat berupa
regangan volumetrik terhadap regangan aksial

Uji oedometer
Seperti pada uji triaksial, dilakukan uji oedometer pada pasir lepas dan padat dengan
parameter seperti pada Tabel 8.2. Dalam P LAXIS uji oedometer dimodelkan sebagai
sebuah geometri axi-simetri dengan ukuran seperti pada gambar 8.10. Penggunaan
jaring elemen yang kasar cukup memadai untuk kasus ini.

Gambar 8.10 Konfigurasi uji oedometer yang disederhanakan

8-8 PLAXIS Versi 8


APLIKASI MODEL TANAH TINGKAT LANJUT

Hasil simulasi yang dibandingkan dengan hasil uji laboratorium ditunjukkan dalam
Gambar 8.11 dan Gambar 8.12.

-yy [kPa]
400

Model Hardening soil


300
Data uji

200

100

0
0 0.005 0.01 0.015 0.02 0.025

- yy

Gambar 8.11 Hasil uji oedometer pada pasir Hostun lepas berupa tegangan aksial
terhadap regangan aksial

-yy [kPa]
400

Model Hardening soil


300
Data uji

200

100

0
0 0.005 0.01 0.015 0.02 0.025

-yy

Gambar 8.12 Hasil uji oedometer pada pasir Hostun padat berupa tegangan aksial
terhadap regangan aksial

8-9
MANUAL MODEL MATERIAL

Dari kondisi tegangan, bebas sampel pasir lepas dibebani secara berturut-turut sebesar
25 kPa, 50 kPa, 100 kPa, dan 200 kPa dengan pengurangan beban diantaranya. Pada
pasir padat dibebani hingga tegangan sebesar 50 kPa, 100 kPa, 200 kPa, dan 400 kPa
dengan pengurangan beban diantaranya.
Terlihat bahwa hasil perhitungan sesuai dengan data uji aktual. Pembedaan harus
dilakukan antara tanah lepas dan padat, tetapi tampaknya untuk tanah dengan kepadatan
tertentu, perilaku kekakuan pada berbagai lintasan tegangan dapat didekati dengan satu
kumpulan parameter model. (Perbedaan yang kecil sebesar 0.15% telah diaplikasikan
pada hasil perhitungan dari sampel yang lepas untuk memperhitungkan respons yang
relatif lunak pada tahap awal pengujian).

Uji Pressuremeter
Dalam bab ini dilakukan simulasi uji pressuremeter dan kemudian dibandingkan antara
hasil dari PLAXIS dan hasil uji eksperimental di laboratorium. Digunakan hasil uji
laboratorium pada pasir padat dengan parameter seperti dalam Tabel 8.2.
Di lapangan, pressuremeter dengan diameter 44 mm dan tinggi 160 mm yang dibungkus
dengan suatu membran dipasang pada selimut sondir. Di laboratorium, pressuremeter
dipasang pada pipa dengan diameter 44 mm dan diletakkan pada ruang kalibrasi
berbentuk silinder dengan diameter 1.2 m dan tinggi 0.75 m. Tegangan permukaan atau
tegangan overburden sebesar 500 kPa diberikan untuk memodelkan kondisi tegangan
pada kedalaman yang lebih besar. Dalam P LAXIS hanya setengah dari geometri yang
dimodelkan dengan menggunakan model axi-simetri (Gambar 8.13). Tegangan
overburden dimodelkan oleh beban A, dan mengembangnya pressuremeter dimodelkan
dengan memberikan beban merata horisontal, yaitu beban B. Karena itu batas standar
awal harus diubah di dekat pressuremeter untuk mengijinkan terjadinya perpindahan
horisontal secara bebas.

Gambar 8.13 Model geometri untuk uji pressuremeter

8-10 PLAXIS Versi 8


APLIKASI MODEL TANAH TINGKAT LANJUT

Agar diskontinuitas pada perpindahan horisontal dapat terjadi, digunakan antarmuka


vertikal sepanjang lubang selimut dari pressuremeter dan antarmuka horisontal tepat di
atas pressuremeter. Kedua antarmuka diatur bersifat kaku (Rinter = 1.0). Garis geometri
tambahan digambarkan di sekeliling pressuremeter agar dapat membentuk jaring elemen
yang lebih halus secara lokal.
Setelah pembentukan tegangan awal, beban overburden vertikal (beban A) diberikan
dengan menggunakan kondisi batas standar. Dari perhitungan, tegangan lateral disekitar
pressuremeter adalah sekitar 180 kPa. Kemudian jepit horisontal di dekat pressuremeter
dihapus, dalam program Masukan, dan digantikan dengan beban B sebesar 180 kPa.
Dalam perhitungan selanjutnya tegangan (beban B) ditingkatkan lebih lanjut dengan
menggunakan Tahapan konstruksi dalam analisis Jaring elemen yang diperbaharui.
Hasil dari perhitungan ini diberikan dalam Gambar 8.14 dan Gambar 8.15.

Gambar 8.14 Distribusi tegangan pada geometri yang terdeformasi di sekitar


pressuremeter pada tegangan sebesar 2350 kPa

Gambar 8.14 menunjukkan detil dari deformasi dan distribusi tegangan saat tegangan
dalam pressuremeter sebesar 2350 kPa. Tegangan pasif yang tinggi terlihat berkumpul
pada tempat di dekat pressuremeter. Tepat di atas pressuremeter tegangan vertikal
sangat kecil akibat adanya efek busur. Jauh dari pressuremeter, terbentuk kondisi
tegangan normal sesuai dengan K0.
Gambar 8.15 menunjukkan perbandingan antara hasil perhitungan numerik dan hasil
yang diperoleh dari uji laboratorium. Dalam gambar tersebut tegangan pressuremeter
dinyatakan sebagai fungsi dari perubahan volume relatif. Besarnya perubahan volume
relatif tidak dapat diperoleh secara langsung dari P LAXIS tetapi dihitung dari radius awal
R0 dan muai lateral ux dari pressuremeter sebagai berikut :

8-11
MANUAL MODEL MATERIAL

ΔV
=
R0 + u x  R20 2
(8.1)
2
V0 R0
Hingga tegangan sebesar 1600 kPa hasil yang diperoleh cukup sesuai. Di atas 1600 kPa
terdapat penurunan tiba-tiba dalam kekakuan dari uji aktual, yang tidak dapat dijelaskan.
Namun demikian, parameter semula dari pasir padat yang diturunkan dari uji triaksial
tampaknya juga sesuai dengan data pressuremeter.

2500
Tegangan [kPa]

] 2000
a
P
k
[ 1500
e
r
ssu 1000
e
pr Plaxis
Plaxis
500
Datadata
Test uji
0
0 0.1 0.2 0.3 0.4
dV/V
dV/V00

Gambar 8.15 Perbandingan antara hasil perhitungan numerik dan data uji aktual

Kesimpulan
Hasil-hasil di atas menunjukkan bahwa dengan menggunakan model Hardening Soil
dimungkinkan untuk melakukan berbagai simulasi uji laboratorium dengan berbagai
lintasan tegangan. Hal ini tidak dapat dilakukan dengan menggunakan model sederhana
seperti Mohr-Coulomb tanpa mengubah parameter masukan. Karena itu, parameter
dalam model Hardening Soil adalah konsisten dan kurang-lebih tidak bergantung pada
lintasan tegangan tertentu. Hal ini menjadikan model HS sangat berguna dan akurat, dan
dapat digunakan dalam berbagai aplikasi praktis.

8.3 MODEL SSC : RESPON UJI KOMPRESI SATU DIMENSI

Dalam bab ini ditunjukkan perilaku model Soft Soil Creep berdasarkan uji kompresi
satu dimensi pada tanah lempung. Dilakukan dua jenis analisis. Pertama, dilakukan
simulasi uji dengan mengasumsikan kondisi terdrainase untuk menunjukkan hubungan
tegangan-regangan yang bersifat logaritmik serta perilaku logaritmik dari waktu-
penurunan dalam jangka panjang (kompresi sekunder). Kedua, dilakukan simulasi uji
yang lebih realistis dengan mengikutsertakan kondisi tak terdrainase dan konsolidasi.
Karena proses konsolidasi bergantung pada panjang drainase, maka merupakan hal yang
penting untuk menggunakan ukuran sebenarnya dari uji. Dalam kasus ini digunakan
konfigurasi axi-simetri dengan tinggi spesimen 0.01 m, seperti pada Gambar 8.16.

8-12 PLAXIS Versi 8


APLIKASI MODEL TANAH TINGKAT LANJUT

Parameter material ditunjukkan dalam Tabel 8.3. Nilai parameter dipilih secara acak,
tetapi parameter ini tetap realistis untuk lempung yang terkonsolidasi normal. Tekanan
prakonsolidasi vertikal adalah sebesar 50 kPa (POP = 50 kPa).

Gambar 8.16 Uji kompresi satu dimensi

Analisis terdrainase
Dalam analisis pertama serangkaian langkah pembebanan plastis diaplikasikan dengan
menggunakan kondisi terdrainase. Beban ditingkatkan sebesar dua kali lipat dalam
setiap langkah perhitungan dengan menggunakan Tahapan konstruksi dengan
peningkatan waktu sebesar 1 hari. Setelah langkah pembebanan terakhir, diaplikasikan
rentang waktu rangkak selama 100 hari. Urutan perhitungan diberikan dalam Tabel 8.4.
Seluruh perhitungan dilakukan dengan toleransi sebesar 1%.

Tabel 8.3 Parameter model Soft Soil Creep untuk uji kompresi satu dimensi
Parameter Simbol Nilai Satuan
Berat volume  19 kN/m3
Permeabilitas kx, ky 0.0001 m/hari
Indeks kompresi termodifikasi * 0.10 -
Indeks muai termodifikasi * 0.02 -
Indeks kompresi sekunder * 0.005 -
Angka Poisson ur 0.15 -
Kohesi c 1.0 kN/m2
Sudut geser  30 
Sudut dilatansi  0.0 
Koefisien tekanan tanah lateral K0NC 0.5 -

8-13
MANUAL MODEL MATERIAL

Tabel 8.4 Urutan perhitungan untuk kasus terdrainase


Jenis Masukan beban : Peningkatan Waktu total
Tahap
perhitungan Tahapan konstruksi [kPa] waktu [hari] [hari]
1 Plastis 10 1 1
2 Plastis 20 1 2
3 Plastis 40 1 3
4 Plastis 80 1 4
5 Plastis 160 1 5
6 Plastis 320 1 6
7 Plastis 640 1 7
8 Plastis 640 100 107

Analisis tak terdrainase


Dalam analisis kedua langkah pembebanan diberikan secara seketika dengan
menggunakan kondisi tak teralir. Setelah setiap langkah pembebanan, dilakukan
konsolidasi selama 1 hari agar seluruh tekanan air pori berlebih terdisipasi. Setelah
langkah pembebanan yang terakhir, diberikan rentang waktu rangkak selama 100 hari.
Urutan perhitungan untuk analisis ini diberikan dalam Tabel 8.5. Seluruh perhitungan
dilakukan dengan toleransi sebesar 1%.

Tabel 8.5 Urutan perhitungan untuk analisis kedua


Jenis Masukan beban : Peningkatan Waktu total
Tahap
perhitungan Tahapan konstruksi [kPa] waktu [hari] [hari]
1 Plastis 10 0 0
2 Konsolidasi 10 1 1
3 Plastis 20 0 1
4 Konsolidasi 20 1 2
5 Plastis 40 0 2
6 Konsolidasi 40 1 3
7 Plastis 80 0 3
8 Konsolidasi 80 1 4
9 Plastis 160 0 4
10 Konsolidasi 160 1 5
11 Plastis 320 0 5
12 Konsolidasi 320 1 6
13 Plastis 640 0 6
14 Konsolidasi 640 1 7
15 Konsolidasi 640 100 107

8-14 PLAXIS Versi 8


APLIKASI MODEL TANAH TINGKAT LANJUT

Penurunan [mm]

1 [kPa]
Gambar 8.17 Kurva beban-penurunan dari simulasi uji oedometer dengan model Soft
Soil Creep. (A) Pembebanan transien dengan beban dua kali lipat dalam
satu hari. (B) Pembebanan seketika dengan beban dua kali lipat setiap
hari. (C) Seperti pada "A" tetapi dengan perhitungan Jaring elemen yang
diperbaharui
Penurunan [mm]

Waktu [hari]

Gambar 8.18 Kurva waktu-penurunan dari simulasi uji oedometer dengan model Soft
Soil Creep. (A) Pembebanan transien dengan beban dua kali lipat dalam
satu hari. (B) Pembebanan seketika dengan beban dua kali lipat setiap
hari.

8-15
MANUAL MODEL MATERIAL

Gambar 8.17 menunjukkan kurva beban-penurunan dari kedua analisis. Dapat dilihat
bahwa setelah konsolidasi berlangsung, hasil dari uji tak terdrainase sesuai dengan uji-
uji terdrainase. Pengaruh dari tekanan prakonsolidasi dapat terlihat jelas, meskipun
transisi antara pembebanan kembali dan pembebanan utama (primer) tidak sejelas jika
menggunakan model Soft Soil. Dalam kenyataan, hasil yang ditunjukkan disini lebih
realistis. Transisi terjadi pada tegangan sekitar 50 kPa.
Dari kemiringan garis pembebanan primer dapat dilakukan analisis-balik bahwa indeks
kompresi * = 1 / ln ((1 + 1)/1)  0.10. Perhatikan bahwa penurunan sebesar 1
mm merupakan 1 = 10%. Untuk regangan aksial sebesar 30% umumnya digunakan
analisis Jaring elemen yang diperbaharui, yang tidak dilakukan pada analisis sederhana
ini. Namun jika digunakan model Soft Soil dalam analisis jaring elemen yang
diperbaharui dengan regangan aksial lebih dari 15% maka efek pengerasan akan terlihat
seperti ditunjukkan oleh garis C dalam Gambar 8.17.
Gambar 8.18 menunjukkan kurva waktu-penurunan dari analisis terdrainase dan tak
terdrainase. Dari bagian akhir pada kurva dapat dilakukan analisis-balik bahwa indeks
kompresi sekunder * = 1 / ln (t/t0)  0.005 (dengan t0 = 1 hari).
Fenomena menarik lainnya adalah terjadinya tegangan lateral. Selama pembebanan
utama, tegangan lateral ditentukan oleh K0NC, yang tepat untuk tanah yang terkonsolidasi
normal. Selama pengurangan beban, tegangan lateral jauh semakin berkurang
dibandingkan tegangan vertikal, sehingga rasio xx/yy akan meningkat.
Untuk menunjukkan efek ini, perhitungan dilanjutkan dengan tahap baru berupa
pengurangan beban secara terdrainase yang dimulai dari tahap 7 (lihat Tabel 8.4) dimana
tegangan vertikal dikurangi hingga 80 kPa.

Gambar 8.19 Kondisi tegangan pada tingkat tegangan vertikal -80 kPa. Kiri, setelah
pembebanan primer xx  -40 kPa. Kanan, setelah pengurangan beban
dari -640 kPa xx  -220 kPa

Gambar 8.19 menunjukkan kondisi tegangan untuk kedua tahap perhitungan yang
berbeda, keduanya pada tingkat tegangan vertikal sebesar 80 kPa. Gambar di sebelah
kiri menunjukkan kondisi tegangan setelah pembebanan primer. Seperti yang
diharapkan, tegangan horisontal yang dihasilkan adalah sekitar -40 kPa (sesuai dengan
nilai K 0NC = 0.5). Gambar di sebelah kanan menunjukkan kondisi akhir setelah

8-16 PLAXIS Versi 8


APLIKASI MODEL TANAH TINGKAT LANJUT

pengurangan beban hingga -80 kPa. Pada kasus ini tegangan horisontal berkurang dari
-320 kPa hingga menjadi sekitar -220 kPa, (xx = 100 kPa), yang jauh lebih kecil
dibandingkan penurunan tegangan vertikal (yy = 560 kPa). Karena itu, diperoleh
kondisi dimana xx lebih besar daripada yy.
Pengurangan beban yang diberikan secara tiba-tiba pada uji kompresi satu dimensi,
perilaku yang terjadi adalah sepenuhnya elastis. Karena itu rasio dari peningkatan
tegangan horisontal terhadap peningkatan tegangan vertikal dapat ditentukan sebagai
berikut :

Δ xx  ur
= (8.2)
Δ yy 1  ur

Verifikasi bahwa angka Poisson ur = 0.15 seperti dalam Tabel 8.3 dapat dengan mudah
dilakukan.

8.4 MODEL SSC : UJI TRIAKSIAL TAK TERDRAINASE PADA BERBAGAI


KECEPATAN PEMBEBANAN

Dalam bab ini model Soft Soil Creep akan digunakan untuk melakukan simulasi uji
triaksial tak terdrainase dari tanah lempung pada beberapa kecepatan regangan yang
berbeda. Parameter model diperoleh dari hasil uji pada lempung Haney (lihat Bab 6) dan
diberikan dalam Tabel 8.6.

Tabel 8.6 Parameter model Soft Soil Creep untuk uji kompresi satu dimensi
Parameter Simbol Nilai Satuan
Indeks kompresi termodifikasi  *
0.105 -
Indeks muai termodifikasi * 0.016 -
Indeks kompresi sekunder * 0.004 -
Angka Poisson ur 0.15 -
Kohesi c 0.0 kN/m2
Sudut geser  32 
Sudut dilatansi  0.0 
Koefisien tekanan tanah lateral K0NC 0.61 -
Permeabilitas kx, ky 0.0001 m/hari

Pemodelan dari uji triaksial adalah seperti yang telah dijelaskan dalam Bab 8.1, tetapi
sekarang digunakan ukuran sampel uji yang sesungguhnya (17.5  17.5 mm2) seperti
ditunjukkan dalam Gambar 8.20. Permukaan spesimen (sisi atas pada gambar di sebelah
kanan pada Gambar 8.20) diasumsikan terdrainase sedangkan kondisi batas lainnya

8-17
MANUAL MODEL MATERIAL

diasumsikan tertutup. Selain pemberian beban yang bersifat isotropis, perpindahan


tertentu juga diberikan. Kedua jenis pembebanan ini dimodelkan dengan menggunakan
pilihan Tahapan konstruksi. Selama pembebanan isotropis, baik beban horisontal
maupun beban vertikal (keduanya sistem beban A) diberikan secara bersamaan. Tahapan
perhitungan untuk pemberian beban isotropis terdiri dari analisis plastis yang tak
terdrainase dan analisis konsolidasi.

Perpindahan tertentu
0.0175 m

0.0175 m

Gambar 8.20 Pemodelan uji triaksial pada lempung Haney. Konfigurasi awal (kiri) dan
konfigurasi untuk Tahap 9 ~ 11 (kanan)

Setelah tahap pemberian beban isotropis, perpindahan diatur hingga kembali menjadi
nol. Beban vertikal dinonaktifkan dan perpindahan tertentu diaktifkan. Kecepatan
pembebanan dimodelkan dengan memberikan perpindahan tertentu pada berbagai
kecepatan, yaitu dengan memberikan perpindahan berupa regangan aksial sebesar 12%
(2.1 mm) masing-masing dalam 8.865 hari (0.00094%/mnt), dalam 0.0556 hari
(0.15%/mnt) dan 0.00758 hari (1.10%/mnt). Setiap tahap pembebanan berupa
perpindahan tertentu dimulai dari akhir tahap pemberian beban isotropis. Urutan
perhitungan diberikan dalam Tabel 8.7.
Hasil perhitungan diberikan dalam Gambar 8.21 dan Gambar 8.22. Gambar 8.21
menunjukkan kurva tegangan-regangan dari tahap pembebanan berupa pemberian
perpindahan tertentu. Terlihat bahwa kuat geser sangat tergantung pada kecepatan
regangan, dimana semakin tinggi kecepatan regangan semakin tinggi pula kuat geser.
Gambar 8.22 menunjukkan lintasan tegangan p-q dari tahap-tahap pembebanan berupa
pemberian perpindahan tertentu. Untuk kecepatan regangan yang semakin tinggi terjadi
reduksi tegangan efektif rata-rata yang lebih kecil, sehingga tegangan deviator ultimit
menjadi lebih besar. Harus diperhatikan bahwa kondisi tegangan tidak seluruhnya
homogen, karena distribusi tekanan air pori (berlebih) yang tidak homogen. Hal ini
diakibatkan oleh fakta bahwa titik-titik yang berada dekat batas aliran akan
berkonsolidasi lebih cepat dibandingkan titik-titik lain yang berada pada jarak yang
lebih jauh.

8-18 PLAXIS Versi 8


APLIKASI MODEL TANAH TINGKAT LANJUT

Tabel 8.7 Urutan perhitungan untuk uji triaksial pada berbagai kecepatan pembebanan
Jenis Beban yang Perpindahan Peningkatan
Tahap
perhitungan diberikan [kPa] tertentu [mm] waktu [hari]
1 Plastis 65 Tidak aktif 0.00
2 Konsolidasi 65 Tidak aktif 0.01
3 Plastis 130 Tidak aktif 0.00
4 Konsolidasi 130 Tidak aktif 0.01
5 Plastis 260 Tidak aktif 0.00
6 Konsolidasi 260 Tidak aktif 0.01
7 Plastis 520 Tidak aktif 0.00
8 Konsolidasi 520 Tidak aktif 0.01
9 Plastis 520 0.0021 8.865
10 (dimulai dari 8) Plastis 520 0.0021 0.0556
11 (dimulai dari 8) Plastis 520 0.0021 0.00758
qrata-rata

C = 1.10% / menit
B = 0.15% / menit
A = 0.00094% / menit

1

Gambar 8.21 Hubungan tegangan deviator rata-rata terhadap regangan aksial


pada beberapa kecepatan peregangan yang berbeda

8-19
MANUAL MODEL MATERIAL

q [kN/m2]

A = 0.00094% / menit
B = 0.15% / menit
C = 1.10% / menit

p [kN/m2]

Gambar 8.22 Lintasan tegangan p-q dengan beberapa kecepatan peregangan


yang berbeda pada titik di posisi (0.01, 0.01)

8.5 MODEL SS : RESPON UJI KOMPRESI ISOTROPIS

Dalam bab ini akan ditunjukkan bahwa model Soft Soil mengikuti hubungan logaritmik
antara regangan volumetrik dan tegangan rata-rata pada kompresi isotropis. Untuk
tujuan ini maka uji disimulasikan seperti pada Gambar 8.1. Beban vertikal (A) dan
beban horisontal (B) diaplikasikan secara bersamaan pada tingkat beban yang sama
sehingga terjadi kondisi tegangan yang isotropis. Parameter model Soft Soil dipilih
secara acak, tetapi tetap realistis untuk lempung yang terkonsolidasi normal. Parameter-
paameter ini diberikan dalam Tabel 8.8.

Tabel 8.8 Parameter model Soft Soil Creep untuk uji kompresi satu dimensi
Parameter Simbol Nilai Satuan
Indeks kompresi termodifikasi * 0.10 -
Indeks muai termodifikasi * 0.02 -
Angka Poisson ur 0.15 -
Sudut geser  30 
Kohesi c 1.0 kPa
Koefisien tekanan tanah lateral K0NC 0.5 -

Dari kondisi tegangan bebas, model dibebani secara isotropis hingga tegangan rata-rata
p = 100 kPa, dan kemudian perpindahan diatur menjadi nol. Material akan
terkonsolidasi secara normal, yaitu tekanan prakonsolidasi adalah sama dengan kondisi
tegangan saat ini. Setelah itu, tegangan isotropis ditingkatkan menjadi p = 1000 kPa.
Pembebanan ini disebut sebagai "pembebanan primer", dan kemudian dilakukan

8-20 PLAXIS Versi 8


APLIKASI MODEL TANAH TINGKAT LANJUT

"pengurangan beban" secara isotropis hingga p = 100 kPa. Akhirnya, sampel dibebani
kembali hingga p = 10000 kPa. Pada pembebanan yang terakhir, beban maksimum
sebelumnya sebesar 1000 kPa dilampaui sehingga pembebanan akan terdiri dari dua
bagian : bagian untuk beban p < 1000 kPa yang disebut sebagai "pembebanan kembali"
(reloading) dan bagian dimana beban p > 1000 kPa yang merupakan pembebanan
primer lebih lanjut. Tahapan perhitungan ditunjukkan dalam Tabel 8.9.

Tabel 8.9 Tahapan perhitungan untuk uji kompresi isotropis pada lempung
Tahap Tegangan awal Tegangan final
0 Situasi awal - p0 = 100 kPa
1 Pembebanan primer p0 = 100 kPa p1 = 1000 kPa
2 Pengurangan beban p1 = 1000 kPa p2 = 100 kPa
3 Pembebanan kembali p2 = 100 kPa p3 = 1000 kPa
4 Pembebanan primer p3 = 1000 kPa p4 = 10000 kPa

Hasil perhitungan diberikan dalam Gambar 8.23, yang menunjukkan hubungan antara
regangan vertikal yy dan tegangan vertikal yy.

pembebanan
primer
yy

pembebanan
primer pembebanan
pengurangan kembali
beban

yy

Gambar 8.23 Hasil uji kompresi isotropis

Tegangan vertikal digambarkan dalam skala logaritma, dan gambar tersebut


menunjukkan dua buah garis lurus, yang mengindikasikan bahwa memang terdapat
hubungan logaritmik untuk pembebanan dan pengurangan beban. Regangan vertikal
adalah 1/3 dari regangan volumetrik, v, dan tegangan vertikal adalah sama dengan
tegangan rata-rata, p. Regangan volumetrik dapat diperoleh dari perhitungan yang
diberikan dalam Tabel 8.10.

8-21
MANUAL MODEL MATERIAL

Tabel 8.10 Regangan volumetrik pada berbagai tahap perhitungan


Tahap Regangan awal Regangan final
0 - v0 = 0.000
1 v0 = 0.000 v1 = -0.235
2 v1 = -0.235 v2 = -0.188
3 v2 = -0.188 v3 = -0.235
4 v3 = -0.235 v4 = -0.471

Dari regangan-regangan ini serta tegangan-tegangan yang berkaitan, parameter * dan *


dapat dihitung balik dengan menggunakan Pers. (7.1) dan (7.2).

1v  v0 0.235
 = 
 =
Tahap 1 *
= 0.102
ln p1 / p0 ln 1000 / 100

 2v  1v 0.188  0.235


 
 =
Tahap 2 *=
= 0.020
ln p 2 / p1 ln 100 / 1000

 3v  v2 0.235  0.188


 
 =
Tahap 3 *=
= 0.020
ln p 3 / p 2 ln 1000 / 100

 4v  v3 0.471 0.235


* = 
Tahap 4

ln p 4 / p3 = ln 10000 / 1000
= 0.102

Nilai yang diperoleh dari hasil analisis-balik ini berkaitan dengan nilai masukan yang
diberikan dalam Tabel 8.8.
Perhatikan bahwa model Soft Soil tidak mengikutsertakan efek waktu seperti pada
kompresi sekunder. Perilaku seperti itu diikutsertakan dalam model Soft Soil Creep.
Sebuah contoh dari aplikasi dengan menggunakan model ini diberikan dalam Bab 8.7.

8.6 KONSTRUKSI GALIAN DI BAWAH MUKA AIR DENGAN MODEL HS

Dalam contoh ini kelebihan dari model Hardening Soil ditunjukkan, yaitu berupa
pembedaan antara kekakuan saat pembebanan dan kekakuan saat pengurangan beban.
Fitur ini secara khusus menjadi penting pada masalah pengurangan beban seperti pada
galian dan terowongan.

8-22 PLAXIS Versi 8


APLIKASI MODEL TANAH TINGKAT LANJUT

Lempung

Pasir

Gambar 8.24 Model geometri dari galian di bawah muka air

Dalam contoh galian di bawah elevasi muka air, yang diberikan dalam Manual Latihan,
terjadi penyembulan pada dasar galian yang besar dan tidak realistis. Untuk
menunjukkan bahwa hasil perhitungan dapat lebih ditingkatkan dengan menggunakan
model Hardening Soil, contoh yang serupa digunakan kembali di sini.
Model geometri yang digunakan serupa dengan yang digunakan dalam Pelajaran 2
seperti dalam Gambar 8.24, tetapi dengan sedikit penyederhanaan. Kedua lapisan tanah
dimodelkan dengan menggunakan model Hardening Soil dan bukan dengan model
Mohr-Coulomb. Parameter model diberikan dalam Tabel 8.11.

Tabel 8.11 Parameter model HS untuk kedua lapisan tanah dalam proyek galian
Parameter Lapisan lempung Lapisan paasir Satuan
 di atas / di bawah elevasi m.a.t. 16 / 18 17 / 20 kN/m3
E50ref (untuk p =ref100 kPa) 8000 30000 kN/m2
Eurref (untuk p =ref100 kPa) 24000 90000 kN/m2
ref
Eoed (untuk p =ref100 kPa) 4000 30000 kN/m2
Kohesi c 5.0 1.0 kN/m2
Sudut geser  25 32 
Sudut dilatansi  0 2 
Angka Poisson ur 0.2 0.2 -
Eksponen m 0.8 0.5 -
K0NC 0.5 0.47 -
Kuat tarik 0.0 0.0 kN/m2
Rasio keruntuhan 0.9 0.9 -

8-23
MANUAL MODEL MATERIAL

Setelah pembentukan tekanan air pori awal dan pembentukan tegangan efektif, galian
dilakukan dalam dua tahap. Hasil dari galian ditunjukkan dalam Gambar 8.25.
Jaring elemen yang terdeformasi secara jelas menunjukkan bahwa terdapat sedikit
penyembulan pada dasar galian. Sebagian besar dari deformasi diakibatkan oleh gerakan
horisontal dari dinding diafragma, yang menekan tanah ke atas. Penyembulan vertikal
pada dasar galian yang terletak jauh dari dinding sangat kecil dibandingkan dengan hasil
yang ditunjukkan dalam Manual Latihan.
Perbedaan yang terjadi dapat dijelaskan oleh fakta bahwa, berbeda dengan model Mohr-
Coulomb, model Hardening Soil membedakan antara kekakuan saat pembebanan dan
saat pengurangan beban. Kekakuan saat pengurangan beban disini diatur sebesar tiga
kali dari kekakuan saat pemberian beban, yang merupakan pengaturan pra-pilih dalam
PLAXIS.

Gambar 8.25 Jaring elemen terdeformasi setelah penggalian

8.7 KONSTRUKSI TIMBUNAN UNTUK JALAN DENGAN MODEL SSC

Contoh ini menunjukkan beberapa fitur dari model Soft Soil Creep dalam pemodelan
tanah untuk permasalahan rekayasa. Salah satu fitur ini adalah reduksi tegangan efektif
rata-rata dalam pembebanan tak terdrainase akibat memadatnya tanah. Sifat ini menjadi
penting khususnya dalam konstruksi timbunan, karena hal ini sangat mempengaruhi
stabilitas dari timbunan selama konstruksi. Misalnya, dalam bagian pertama Pelajaran 5
dari Manual Latihan (konstruksi timbunan untuk jalan) faktor keamanan yang diperoleh
relatif rendah selama proses konstruksi.

8-24 PLAXIS Versi 8


APLIKASI MODEL TANAH TINGKAT LANJUT

pasir

gambu

lempu

Gambar 8.26 Model geometri dari proyek timbunan untuk jalan

Saat menggunakan model Soft Soil Creep untuk lapisan lempung dengan sifat kekuatan
efektif sama dengan yang digunakan untuk model Mohr-Coulomb, faktor keamanan
bahkan akan menjadi lebih rendah. Untuk mmberikan ilustrasi dari efek ini, timbunan
pada Pelajaran 5, seperti pada Gambar 8.26, dianalisis kembali.
Dalam bab ini digunakan model geometri yang sama dengan model dalam Perlajaran 5,
namun lapisan lempung dimodelkan dengan menggunakan model Soft Soil Creep.
Parameter model untuk lapisan ini diberikan dalam Tabel 8.12. Lapisan gambut dan
timbunan pasir dimodelkan dengan menggunakan model Mohr-Coulomb dan
menggunakan parameter yang sama seperti yang diberikan dalam Pelajaran 5 dari
Manual Latihan.

Tabel 8.12 Parameter model Soft Soil Creep untuk lapisan lempung yang tak terdrainase
Parameter Lapisan lempung Satuan
Berat volume tanah di atas garis freatik unsat 15 kN/m3
Berat volume tanah di bawah garis freatik sat 18 kN/m3
Permeabilitas arah horisontal kx 110-4 m/hari
Permeabilitas arah vertikal ky 110-4 m/hari
Indeks kompresi termodifikasi * 0.035 -
Indeks muai termodifikasi * 0.007 -
Indeks kompresi sekunder * 0.002 -
Angka Poisson ur 0.15 -
Kohesi c 2 kN/m2
Sudut geser  24 
Sudut dilatansi  0 
Koefisien tekanan tanah lateral K0NC 0.59 -
OCR 1.4 -

Tahap-tahap perhitungan ditunjukkan dalam Tabel 8.13. Tiga tahap pertama dilakukan
dengan menggunakan Tahapan konstruksi. Tahap keempat dilakukan dengan
menggunakan masukan beban berupa Tekanan air pori minimum dan tahap Analisis
keamanan dilakukan dengan menggunakan masukan beban berupa Peningkatan faktor
pengali.

8-25
MANUAL MODEL MATERIAL

Penting untuk disampaikan disini bahwa jika dilakukan analisis Faktor keamanan, maka
pilihan Jaring elemen yang diperbaharui tidak boleh digunakan. Hal ini berkaitan
dengan fakta bahwa dengan pilihan ini maka analisis Reduksi phi-c akan menghasilkan
faktor keamanan yang tidak terhingga. Perhatikan bahwa jika karena suatu hal sebuah
tahap perhitungan normal (seperti Tahapan konstruksi atau Reduksi phi-c) diperlukan
setelah tahapan dengan Jaring elemen yang diperbaharui, maka peralihan atau
perpindahan harus diatur menjadi nol terlebih dahulu.

Tabel 8.13 Urutan perhitungan untuk uji triaksial pada berbagai kecepatan pembebanan
Tahap Mulai dari Jenis Masukan pembebanan Interval waktu
1 0 Konsolidasi, Bagian pertama timbunan 5 hari
Waktu batas
2 1 Konsolidasi, Jumlah maksimum 50, 200 hari
Waktu batas Peningkatan waktu
pertama = 1 hari
3 2 Konsolidasi, Bagian kedua timbunan 5 hari
Waktu batas
4 3 Konsolidasi, Jumlah maksimum 30,
Tekanan air pori Peningkatan waktu
minimum pertama = 1 hari
5 1 Analisis keamanan Msf = 0.1

Gambar 8.27 menunjukkan analisis Faktor keamanan setelah konstruksi dari lapis
pertama timbunan (setelah 5 hari). Selain itu, gambar tersebut juga menunjukkan hasil
dari analisis Faktor keamanan dengan menggunakan model Mohr-Coulomb (lihat
Manual Latihan). Terlihat bahwa faktor keamanan dari model Soft Soil Creep adalah
1.01, sedangkan dari model Mohr-Coulomb adalah 1.11. Perbedaan ini diakibatkan oleh
reduksi dari tegangan efektif rata-rata sebagai hasil dari akumulasi pemampatan yang
tidak dapat kembali seperti semula (regangan rangkak volumetrik) dalam model SSC.
Jelas karena rendahnya faktor keamanan ini maka perhitungan dari tahap-tahap lainnya
tidak dapat dilakukan karena struktur tanah telah mencapai kondisi keruntuhannya.

Faktor keamanan
1.14
Model MC
1.11

1.08

1.05

1.02 Model SSC

0.99

Gambar 8.27 Faktor keamanan dengan menggunakan model MC dan model SSC

8-26 PLAXIS Versi 8


APLIKASI MODEL TANAH TINGKAT LANJUT

Perpindahan [m]
-0.5
Model SSC

-0.4
Model MC

-0.3

-0.2

-0.1

0
0 100 200 300 400 500 600
Waktu [hari]
(a)
Perpindahan [m]
0.5
Model SSC

0.4

0.3

Model MC
0.2

0.1

0
0 100 200 300 400 500 600

Waktu[hari]

(b)
Gambar 8.28 Perbandingan antara model SSC dan model MC (a) perpindahan
vertikal di Titik A, (b) perpindahan horisontal di Titik B
Untuk mempelajari pengaruh dari model SSC terhadap respon dari timbunan, dilakukan
sebuah Analisis jaring elemen yang diperbaharui. Hasilnya kenudian dibandingkan
dengan hasil yang diperoleh dari perhitungan dengan menggunakan model Mohr-

8-27
MANUAL MODEL MATERIAL

Coulomb. Gambar 8.28a menunjukkan perpindahan vertikal di Titik A dan


Gambar 8.28b menunjukkan perpindahan vertikal di Titik B (lihat juga Gambar 8.26).
Dapat dilihat bahwa model SSC menghasilkan sedikit perbedaan pada perpindahan
vertikal, tetapi menghasilkan perbedaan yang besar pada perpindahan horisontal.
Perpindahan horisontal ini berkaitan dengan fakta bahwa material telah dekat dengan
keruntuhan akibat efek rangkak. Gambar 8.29 menunjukkan kecenderungan terjadinya
keruntuhan setelah konstruksi dari lapisan kedua.

Gambar 8.29 Kecenderungan terjadinya mekanisme keruntuhan


setelah konstruksi dari bagian kedua timbunan

Kesimpulan
Reduksi dari tegangan efektif rata-rata selama pembebanan tak terdrainase merupakan
sebuah fenomena yang telah diketahui dalam ilmu rekayasa tanah. Fenomena ini
mempunyai pengaruh buruk terhadap kekuatan dan stabilitas dari struktur tanah. Saat
menggunakan model tanah yang sederhana, seperti model Mohr-Coulomb, efek ini tidak
diperhitungkan dan menghasilkan prediksi tingkat stabilitas yang berlebihan. Dalam
kasus seperti ini lebih baik untuk menggunakan sifat atau parameter tak terdrainase
dalam model Mohr-Coulomb (c = cu dan  = 0).
Model Soft Soil Creep telah mengikutsertakan efek dari reduksi tegangan efektif rata-
rata selama pembebanan tak terdrainase. Model ini memberikan prediksi yang lebih
realistis terhadap perilaku dari tanah lunak, termasuk perilaku yang bergantung terhadap
waktu (kompresi sekunder dan konsolidasi). Walaupun demikian, kelemahan dari model
ini adalah fakta bahwa sifat kekuatan tak terdrainase tidak dapat digunakan (hanya c
dan  saja) dan bahwa prosedur numerik menjadi lebih rumit (menjadi kurang handal)
saat keruntuhan tanah tercapai.

8-28 PLAXIS Versi 8


MODEL TANAH DARI PENGGUNA

9 MODEL TANAH DARI PENGGUNA

9.1 PENGANTAR

PLAXIS Versi 8 mempunyai sebuah fasilitas berupa model yang dimasukkan oleh
pengguna yang disebut sebagai model UD (user-defined) atau model dari pengguna.
Fasilitas ini memungkinkan pengguna untuk menggunakan model konstitutif tanah
(hubungan antara tegangan-regangan-waktu) yang sangat beragam dalam P LAXIS.
Model seperti ini harus diprogram dalam FORTRAN (atau bahasa pemrograman yang
lain), dan kemudian disusun (di-compile) sebagai suatu Dynamic Link Library (DLL)
dan kemudian ditambahkan ke dalam direktori program PLAXIS.
Pada prinsipnya, pengguna perlu menyediakan informasi mengenai kondisi tegangan
serta state variable saat ini dan PLAXIS menyediakan informasi mengenai hal-hal
tersebut pada waktu sebelumnya, dan juga informasi mengenai peningkatan regangan
dan waktu. Dalam basis data material dari program Masukan P LAXIS, parameter model
yang diperlukan dapat dimasukkan dalam kumpulan data material.
 ijt  t ,  t  tegangan dan state variable saat ini
t
tegangan dan state variable sebelumnya
 ij , 
t t

ij,t peningkatan regangan dan waktu


Sebagai contoh, subrutin model UD berdasarkan model material Drucker-Prager
disediakan dalam direktori model tanah dari pengguna, yang disertakan dalam CD
program. Dalam bab ini, diberikan penjelasan langkah-demi-langkah mengenai
bagaimana model tanah dari pengguna dibentuk dan digunakan dalam P LAXIS.

Petunjuk : Perhatikan bahwa organisasi PLAXIS tidak dapat dimintai pertanggung-


jawaban atas tidak berfungsinya atau kesalahan hasil akibat
implementasi dan/atau penggunaan model UD (model dari pengguna).

9.2 IMPLEMENTASI MODEL UD DALAM PROGRAM PERHITUNGAN

Program perhitungan PLAXIS telah didesain untuk dapat menggunakan model tanah yang
dimasukkan oleh pengguna. Terdapat empat buah tugas (fungsionalitas) utama yang
dilakukan dalam program perhitungan :
 Inisialisasi state variables
 Perhitungan dari tegangan konstitutif (tegangan yang dihitung dari model material
pada langkah tertentu)
 Pembentukan matriks kekakuan efektif dari material
 Pembentukan matriks kekakuan elastis dari material

9-1
MANUAL MODEL MATERIAL

Keempat tugas utama ini (dan tugas lainnya) harus didefinisikan oleh pengguna dalam
sebuah subrutin yang disebut sebagai "User_Mod". Dalam subrutin ini lebih dari satu
model UD dapat didefinisikan. Jika sebuah model UD digunakan dalam suatu aplikasi,
program perhitungan akan memanggil tugas yang berkaitan dari subrutin User_Mod.
Untuk membuat sebuah model UD, subrutin User_Mod harus mempunyai struktur
sebagai berikut :
SubRoutine User_Mod (IDTask, iMod, IsUndr, iStep, iter, Iel,
Int, X, Y, Z, Time0, dTime, Props, Sig0,
Swp0, StVar0, dEps, D, Bulk_W, Sig, Swp,
StVar, ipl, nStat, NonSym, iStrsDep,
iTimeDep, iTang, iPrjDir, iPrjLen,
iAbort)
dimana :
IDTask = Identifikasi dari tugas (1 = Inisialisasi state variables; 2 = Hitung
tegangan konstitutif; 3 = Bentuk matriks kekakuan efektif dari material;
4 = Tentukan jumlah state variables; 5 = Tentukan atribut matriks
(NonSym, iStrsDep, iTimeDep); 6 = Bentuk matriks kekakuan elastis
dari material)
iMod = Jumlah model UD atau model dari pengguna (Pilihan ini mengijinkan
penggunaan lebih dari satu model UD.)
IsUndr = Kondisi teralir (IsUndr = 0) atau kondisi tak terdrainase (IsUndr = 1)
iStep = Nomor langkah perhitungan saat ini
iter = Nomor iterasi saat ini
Iel = Nomor elemen saat ini
Int = Nomor titik tegangan lokal saat ini (1..3 untuk elemen dengan 6 titik
nodal, atau 1..12 untuk elemen dengan 15 titik nodal)
X,Y,Z = Koordinat global dari titik tegangan saat ini
Time0 = Waktu dimulainya langkah saat ini
dTime = Peningkatan waktu dari langkah saat ini
Props = Matriks(1..50) berisi parameter model UD untuk titik tegangan saat ini
Sig0 = Matriks(1..6) berisi komponen tegangan efektif sebelumnya (= pada
saat dimulainya langkah saat ini) dari titik tegangan saat ini ( xx0,  0
yy ,
zz0, xy0, yz0, zx0).
Dalam perhitungan 2D yz dan zx harus bernilai nol.
Swp0 = Tekanan air pori berletih pada titik tegangan saat ini
StVar0 = Matriks (1..nStat) berisi nilai state variables sebelumnya dari titik
tegangan saat ini

9-2 PLAXIS Versi 8


MODEL TANAH DARI PENGGUNA

dEps = Matriks(1..6) berisi peningkatan regangan dari titik tegangan saat ini
dalam langkah saat ini (xx, yy, zz, xy, yz, zx,)
D = Matriks kekakuan efektif material dari titik tegangan saat ini (1..6, 1..6)
Bulk_W = Modulus bulk dari air untuk titik tegangan saat ini (untuk perhitungan
tak terdrainase dan konsolidasi)
Sig = Matriks(1..6) berisi hasil tegangan konstitutif dari titik tegangan saat ini (xx, yy,
zz, xy, yz, zx)
Swp = Hasil tekanan air pori berlebih dari titik tegangan saat ini
StVar = Matriks(1..nStat) berisi hasil dari nilai dari state variables untuk titik
tegangan saat ini
ipl = Indikator plastisitas:
0 = tanpa plastisitas,
1 = Titik (keruntuhan) Mohr-Coulomb,
2 = Titik pembatas tegangan tarik,
3 = Titik pembatas hardening,
4 = Titik pembatas friksi,
5 = Titik pembatas hardening friksi.
nStat = Jumlah state variables (tidak terbatas)
NonSym = Parameter yang menunjukkan apakah matriks kekakuan material adalah non-
simetris (NonSym = 1) atau tidak (NonSym = 0) (diperlukan untuk
penyimpanan matriks dan solusinya).
iStrsDep = Parameter yang menunjukkan apakah matriks kekakuan material
bergantung pada tegangan (iStrsDep = 1) atau tidak (iStrsDep = 0).
iTimeDep = Parameter yang menunjukkan apakah matriks kekakuan material
bergantung pada waktu (iTimeDep = 1) atau tidak (iTimeDep = 0).
iTang = Parameter yang menunjukkan apakah matriks kekakuan material
berupa matriks kekakuan tangensial, yang akan digunakan dalam
proses iterasi Newton-Raphson secara penuh (iTang =1) atau tidak
(iTang = 0).
iPrjDir = Direktori proyek (untuk tujuan memperbaiki program atau debugging)
iPrjLen = Panjang dari nama direktori proyek (untuk keperluan debugging)
iAbort = Parameter untuk menghentikan proyek secara paksa ( iAbort = 1).
Diatas, "peningkatan" mempunyai arti "kontribusi total dalam langkah saat ini" dan
bukan untuk tiap iterasi. "Sebelumnya" mempunyai arti "pada saat dimulainya langkah
saat ini", yang sama dengan nilai pada akhir langkah sebelumnya.

9-3
MANUAL MODEL MATERIAL

Dalam terminologi dari parameter-parameter di atas, diasumsikan bahwa digunakan


jenis parameter standar, yaitu parameter yang dimulai dengan karakter A-H dan O-Z
adalah jenis double floating point (8-byte) dan parameter lainnya adalah jenis integer
sebesar 4-byte.
Parameter IDTask hingga dEps dan iPrjDir dan iPrjLen adalah parameter-
parameter masukan; nilai dari parameter-parameter ini disediakan oleh PLAXIS dan dapat
digunakan dalam subrutin. Parameter masukan ini tidak boleh diubah (kecuali untuk
StVar0 dalam kasus IDTask = 1). Parameter D hingga iTang dan iAbort adalah
parameter keluaran. Nilai dari parameter-parameter ini harus ditentukan oleh pengguna.
Dalam kasus IDTask = 1, StVar0 menjadi parameter keluaran.
Subrutin dari pengguna harus memuat kode program untuk daftar tugas dan parameter
keluaran (IDTask = 1 hingga 6). Setelah mendeklarasikan variabel, subrutin User_Mod
harus mengikuti struktur berikut (ditentukan disini dalam kode pseudo):

Case IDTask of
1 Begin
{ Inisialisasi states variables StVar0 }
End
2 Begin
{ Menghitung tegangan konstitutif Sid (dan Swp) }
End
3 Begin
{ Membentuk matriks kekakuan efektif dari material D }
End
4 Begin
{ Menghasilkan jumlah state variables nStat }
End
5 Begin
{ Menghasilkan atribut matriks NonSym, iStrsDep,
iTimeDep }
End
6 Begin
{ Membentuk matriks kekakuan elastis dari material De }
End
End Case

Jika lebih dari satu model UD yang ditinjau, pembedaan harus dilakukan antara mdel
yang berbeda, yang ditunjukkan dengan jumlah model UD iMod.

Inisialisasi "state variables" (IDTask = 1)


Variabel "state" atau "state variables" (juga disebut sebagai parameter hardening),
sebagai contoh, digunakan dalam model hardening untuk menunjukkan posisi titik leleh
setiap saat. Pembaharuan dari state variables dilakukan dalam perhitungan tegangan
konstitutif berdasarkan nilai sebelumnya dari state variables dan kondisi tegangan yang

9-4 PLAXIS Versi 8


MODEL TANAH DARI PENGGUNA

baru. Karena itu perlu untuk mengetahui tentang nilai awal dari state variables, yaitu
nilai pada saat langkah perhitungan dimulai. Dalam tahap perhitungan yang
berkesinambungan, state variables secara otomatis dipindahkan dari satu langkah
perhitungan ke langkah yang lain. Hasil berupa nilai state variables dalam langkah
sebelumnya, StVar, disimpan dalam berkas keluaran dan secara otomatis digunakan
sebagai nilai awal dalam langkah saat ini, StVar0. Saat memulai tahap perhitungan
baru, nilai awal dari state variables dibaca dari berkas keluaran dari langkah perhitungan
sebelumnya dan digunakan dalam matriks StVar0. Dalam kasus ini tidak perlu untuk
memodifikasi matriks StVar0.
Namun demikian, jika langkah perhitungan sebelumnya tidak memuat informasi
mengenai state variables (misalnya dalam langkah perhitungan yang pertama kali),
matriks StVar0 akan berupa matriks nol. Untuk kasus ini maka nilai awal harus
dihitung berdasarkan kondisi aktual (kondisi tegangan aktual) pada saat dimulainya
langkah perhitungan. Sebagai contoh, tinjau suatu situasi dimana state variables pertama
adalam tegangan efektif rata-rata minimum, p (dengan kompresi adalah negatif). Jika
tegangan awal telah dibentuk dengan menggunakan Prosedur-K0, maka tegangan efektif
awal tidak bernilai nol, tetapi nilai awal dari state variable adalah nol, karena inisialisasi
variabel dari pengguna ini tidak termasuk dalam Prosedur-K0. Dalam hal ini, bagian ke-
1 subrutin dari pengguna akan berbentuk :
1 Begin
{ Inisialisasi states variables StVar0 }
p = (Sig0[1] + Sig0[2] + Sig0[3]) / 3.0
StVar0[1] = Min(StVar0[1],p)
End

Menghitung tegangan konstitutif (IDTask = 2)


Tugas ini meliputi bagian utama subrutin dari pengguna dimana integrasi tegangan dan
koreksinya dilakukan sesuai dengan formulasi model tanah dari pengguna.Tinjau sebuah
contoh sederhana yang menggunakan matriks linier elastis D seperti yang dibentuk
dalam IDTask = 3.
Dalam kasus ini komponen tegangan, Sig, dapat secara langsung dihitung dari tegangan
awal, Sig0, matriks kekakuan material, D, dan peningkatan regangan, dEps, yaitu
Sig[i] = Sig0[i] + (D[i, j] * dEps[j]). Dalam kasus ini, bagian ke-2 subrutin dari
pengguna akan berbentuk sebagai berikut :
2 Begin
{ Menghitung tegangan konstitutif Sig (dan Swp) }
For i=1 to 6 do
Sig[i] = Sig0[i]
For j=1 to 6 do
Sig[i] = Sig[i] + D[i,j]*dEps[j]
End for {j}
End for {i}
End

9-5
MANUAL MODEL MATERIAL

Membentuk matriks kekakuan efektif dari material (IDTask = 3)


Matriks kekakuan material, D, dapat berupa sebuah matriks yang hanya memuat
komponen elastis dari hubungan tegangan-regangan (seperti pada kasus untuk model
tanah yang berada dalam P LAXIS), atau dari matriks kekakuan material yang sepenuhnya
bersifat elastoplastis (matriks kekakuan tangensial). Tinjau contoh yang sangat
sederhana dari hukum elastisitas linier isotropis dari Hooke. Hanya ada dua buah
parameter saja yang digunakan : modulus Young, E, dan angka Poisson, . Parameter-
parameter ini masing-masing disimpan dalam posisi 1 dan 2 dari matriks parameter
model, Props(1..50). Pada kasus ini, bagian ke-3 subrutin dari pengguna akan
berbentuk sebagai berikut :
3 Begin
{ Membentuk matriks kekakuan efektif dari material D }
E = Props[1]
v = Props[2]
G = 0.5*E/(1.0+v)
Fac = 2*G/(1.0-2*v) {pastikan bahwa v < 0.5 !!)
Term1 = Fac*(1-v)
Term2 = Fac*v
D[1,1] = Term1
D[1,2] = Term2
D[1,3] = Term2
D[2,1] = Term2
D[2,2] = Term1
D[2,3] = Term2
D[3,1] = Term2
D[3,2] = Term2
D[3,3] = Term1
D[4,4] = G
D[5,5] = G
D[6,6] = G
End
(Secara pra-pilih, D akan diinisialisasi menjadi nol, sehingga komponen matriks lainnya
tetap bernilai nol; namun demikian, menyatakan nol secara eksplisit merupakan suatu
kebiasaan yang baik.)
Jika meninjau perilaku tak terdrainase (IsUndr = 1), maka sebuah kekakuan bulk untuk
air (Bulk_W) harus ditentukan pada akhir dari bagian ke-3. Setelah memanggil subrutin
pengguna dengan IDTask = 3 dan IsUndr = 1, PLAXIS secara otomatis akan
menambahkan kekakuan dari air ke matriks kekakuan material, D, sedemikian rupa

9-6 PLAXIS Versi 8


MODEL TANAH DARI PENGGUNA

sehingga D[i=1..3, j=1..3] = D[i, j] + Bulk_W. Jika Bulk_W tidak didefinisikan, maka
PLAXIS akan menggunakan nilai pra-pilih sebesar 100  rata-rata dari D[i=1..3, j=1..3].

Mengembalikan jumlah state variables (IDTask = 4)


Bagian subrutin dari pengguna ini mengembalikan parameter nStat, yaitu jumlah dari
state variable. Pada kasus dari state variable tunggal, subrutin dari pengguna akan
berbentuk sebagai berikut :
4 Begin
{ Menghasilkan jumlah state variables nStat }
nStat = 1
End

Mengembalikan atribut matriks (IDTask = 5)


Matriks kekakuan material dapat bergantung terhadap tegangan (seperti misalnya dalam
model Hardening Soil) atau bergantung terhadap waktu (seperti misalnya dalam model
Soft Soil Creep). Saat menggunakan matriks kekakuan tangensial, matriks tersebut
bahkan dapat menjadi non-simetris, misalnya dalam kasus plastisitas yang tidak
terasosiasi. Bagian terakhir subrutin dari pengguna digunakan untuk melakukan
inisialisasi atribut matriks untuk memperbaharui dan menyimpan matriks kekakuan
global secara benar selama proses perhitungan. Untuk contoh sederhana dari hukum
Hooke seperti telah dibahas sebelumnya, matriks akan berbentuk simetris dan tidak
bergantung terhadap tegangan ataupun terhadap waktu. Pada kasus ini subrutin dari
pengguna akan berbentuk sebagai berikut :
5 Begin
{ Menghasilkan atribut matriks NonSym, iStrsDep, }
{ iTimeDep, iTang }
NonSym = 0
iStrsDep = 0
iTimeDep = 0
iTang = 0
End
Untuk NonSym = 0 hanya setengah dari matriks kekakuan global yang disimpan dengan
menggunakan profil struktur, dan untuk NonSym = 1 seluruh profil matriks akan
disimpan.
Untuk iStrsDep = 1 maka matriks kekakuan global dibentuk dan mengalami
dekomposisi pada awal dari tiap langkah perhitungan berdasarkan kondisi tegangan
aktual (prosedur Newton-Raphson termodifikasi).
Untuk iTimeDep = 1 maka matriks kekakuan global dibentuk dan mengalami
dekomposisi saat langkah waktu berubah.
Untuk iTang = 1 maka matriks kekakuan global dibentuk dan mengalami dekomposisi
pada awal dari setiap iterasi berdasarkan kondisi tegangan aktual (prosedur Newton-
Raphson; untuk digunakan dalam kombinasi dengan iStrsDep = 1).

9-7
MANUAL MODEL MATERIAL

Menghasilkan matriks kekakuan elastis dari material (IDTask = 6)


Matriks kekakuan elastis dari material, De, merupakan bagian elastis dari matriks
kekakuan efektif dari material seperti telah dijelaskan sebelumnya.
Pada kasus dimana matriks kekakuan efektif dari material diambil sebagai matriks
kekakuan elastis, matriks ini dapat diadopsi langsung disini. Namun demikian, pada
kasus dimana matriks elastoplastis atau tangensial digunakan untuk matriks kekakuan
efektif, maka matriks yang akan dibentuk disini harus hanya memuat komponen-
konponen elastis saja.
Alasan bahwa diperlukan matriks kekakuan elastis dari material adalah karena P LAXIS
menghitung kekakuan global relatif saat ini dari model elemen hingga sebagai suatu
kesatuan (CSP = Current Stiffness Parameter atau parameter kekakuan saat ini).
Parameter CSP didefinisikan sebagai :

CSP = Kerja elastis total / Kerja total


Matriks kekakuan elastis dari material diperlukan untuk menghitung kerja elastis total
dalam definisi dari CSP. CSP akan bernilai satu jika seluruh material adalah elastis dan
secara bertahap akan semakin kecil hingga bernilai nol saat keruntuhan tercapai.
Parameter CSP digunakan dalam perhitungan kesalahan global. Kesalahan global
didefinisikan sebagai :

gaya tak seimbang


Kesalahan global =
beban aktif saat ini  CSP  beban aktif sebelumnya

Gaya tak seimbang merupakan perbedaan antara gaya eksternal dan reaksi internal.
Beban aktif saat ini adalah beban yang sedang diaktifkan dalam tahap perhitungan saat
ini, dimana beban aktif sebelumnya adalah beban yang telah diaktifkan dalam tahap
perhitungan sebelumnya dan masih aktif dalam tahap perhitungan saat ini.
Dengan menggunakan definisi di atas untuk kesalahan global yang dikombinasikan
dengan kesalahan yang ditoleransi secara tetap akan menghasilkan kondisi
keseimbangan yang lebih baik saat plastisitas mengalami peningkatan atau keruntuhan
tercapai. Ide yang digunakan adalah bahwa ketidakseimbangan yang kecil bukan
merupakan suatu masalah jika kondisi yang berlangsung hampir seluruhnya bersifat
elastis, tetapi untuk secara akurat menghitung kondisi keruntuhan, faktor keamanan atau
daya dukung, harus digunakan kondisi keseimbangan yang lebih teliti.
Bagian ke-6 subrutin dari pengguna terlihat serupa dengan bagian ke-3, kecuali bahwa
di sini hanya digunakan komponen-komponen elastis saja. Harus diperhatikan bahwa
variabel D yang sama digunakan untuk menyimpan matriks kekakuan elastis dari
material, dimana dalam bagian ke-3 variabel ini digunakan untuk menyimpan matriks
kekakuan efektif dari material.

9-8 PLAXIS Versi 8


MODEL TANAH DARI PENGGUNA

6Begin
{ Membentuk matriks kekakuan material D }
D[1,1] =
D[1,2] =
D[1,3] =
.....
D[6,6] =
End
End Case

Menggunakan subrutin yang telah tersedia


Untuk menyederhanakan pembuatan subrutin dari pengguna, sejumlah subrutin
FORTRAN dan fungsi-fungsi untuk vektor dan operasional matriks tersedia dalam
PLAXIS di dalam beberapa compiler libraries tertentu (LFUsrLib.lib atau DFUsrLib.lib)
dan dalam kode program (disertakan di dalam berkas dengan subrutin dari pengguna).
Subrutin yang tersedia dapat digunakan oleh subrutin User_Mod untuk memperpendek
kode program. Gambaran umum mengenai subrutin yang tersedia diberikan dalam
Lampiran B.

Menyusun (compiling) subrutin dari pengguna


Subrutin dari pengguna, User_Mod, harus disusun (compiled) ke dalam berkas DLL
dengan menggunakan compiler yang tepat. Perhatikan bahwa compiler yang digunakan
harus memiliki pilihan untuk penyusunan berkas DLL. Berikut adalah contoh dari dua
buah compiler FORTRAN yang berbeda. Hal ini bertujuan agar subrutin dari pengguna,
User_Mod, dimuat dalam berkas USRMOD.FOR.
Setelah membentuk subrutin User_Mod dari pengguna, sebuah perintah harus disertakan
untuk mengekspor data ke dalam DLL.
Pernyataan berikut harus disisipkan dalam subrutin tepat setelah deklarasi dari variabel :
 Dengan Lahey Fortran (LF90, LF95, …) : DLL_Export User_Mod
 Dengan Digital Visual Fortran : !DEC$ ATTRIBUTES DLLExport :: User_Mod
Untuk menyusun USRMOD.FOR menjadi sebuah berkas DLL, perintah berikut harus
dijalankan :
 Dengan Lahey Fortran 90 : LF90 -win -dll USRMOD.FOR -lib LFUsrLib
 Dengan Lahey Fortran 95 : LF95 -win -dll USRMOD.FOR -lib LFUsrLib -ml LF90
 Dengan Digital Visual Fortran : DF /winapp USRMOD.FOR DFUsrLib.lib /dll
Dalam semua kasus berkas USRMOD.DLL akan dibentuk. Berkas ini harus berada
dalam direktori program PLAXIS, sehingga dapat digunakan secara bersamaan dengan
program perhitungan P LAXIS yang telah ada (PLASW.EXE). Saat model UD digunakan,
PLAXIS akan menjalankan perintah-perintah yang berada dalam berkas USRMOD.DLL.

9-9
MANUAL MODEL MATERIAL

Kemungkinan memperbaiki program


Saat pembuatan program komputer, umumnya sebagian waktu digunakan untuk
"memperbaiki" (debug) kode program yang ditulis sebelumnya. Untuk dapat secara
efektif memperbaiki subrutin dari pengguna, harus ada kemungkinan bagi pengguna
untuk menulis data ke dalam suatu berkas. "Berkas perbaikan" ("debug-file") seperti ini
tidak secara otomatis tersedia dan harus dibuat dalam subrutin dari pengguna. Dalam
Lampiran C diberikan sebuah saran tentang bagaimana melakukan hal ini. Setelah
pembuatan berkas perbaikan (debug-file), maka data dapat dituliskan ke dalam berkas
ini dari dalam subrutin dari pengguna. Hal ini dapat dilakukan, misalnya, dengan
menggunakan subrutin yang telah tersedia (lihat Lampiran B).

9.3 MASUKAN DARI PARAMETER MODEL UD MELALUI ANTARMUKA-


PENGGUNA

Masukan dari parameter model untuk model tanah dari pengguna dapat dilakukan
dengan menggunakan basis data material dari PLAXIS. Dalam kenyataannya, prosedur
yang digunakan sangat menyerupai masukan dari parameter untuk model-model dalam
PLAXIS yang telah ada.
Saat membuat kumpulan data material baru untuk tanah dan antarmuka dalam basis data
material, sebuah jendela akan muncul dengan tiga buah lembar-tab : Umum, Parameter
dan Antarmuka, seperti ditunjukkan dalam Gambar 9.1. Sebuah model dari pengguna
dapat dipilih dari combo box untuk Model material dalam lembar-tab Umum.

(a)

9-10 PLAXIS Versi 8


MODEL TANAH DARI PENGGUNA

(b)

Gambar 9.1 Pemilihan model tanah dari pengguna (a) dan masukan parameternya (b)

Setelah memasukkan sifat umum, parameter model yang spesifik dapat dimasukkan
dalam lembar-tab Parameter. Setiap model UD mempunyai parameter model masing-
masing, yang ditentukan oleh parameter Model. Jika kumpulan parameter untuk suatu
model tertentu telah didefinisikan, maka parameter tersebut akan tersedia dalam combo
box. Dalam kasus tersebut bab berikut ini dapat dilewati.

Mendefinisikan kumpulan parameter model UD yang baru


Saat model UD digunakan dalam sebuah proyek, kumpulan parameter model yang
berkaitan harus didefinisikan. Hal ini dapat dilakukan dengan menekan tombol <Baru>,
diikuti dengan memasukkan nama model dalam kotak isian untuk Model. Kemudian
nomor model UD harus dipilih dengan benar dari combo box untuk ID, seperti
ditunjukkan oleh Gambar 9.2. ID dari parameter merupakan ID yang berkaitan dengan
parameter iMod dalam subrutin User_Mod. Kemudian, seluruh parameter yang
dibutuhkan untuk model UD tertentu beserta satuan dari masukan yang bersangkutan
harus ditetapkan dalam tabel. Dengan cara ini, sebanyak maksimum 50 buah parameter
dapat dimasukkan. Penomoran dari parameter sesuai dengan matriks Props dalam
subrutin User_Mod. Gambar 9.2 menunjukkan parameter-parameter dan satuan untuk
contoh dari hukum Hooke seperti dijelaskan di atas. Satuan dapat dimasukkan berupa
singkatan, tetapi untuk menjamin konsistensi dengan satuan dasar seperti didefinisikan
dalam Pengaturan global, sangat disarankan untuk selalu mendefinisikan satuan
parameter dalam satuan-satuan dasar (f = satuan dari gaya, l = satuan dari panjang, t =
satuan dari waktu). Pangkat dari satuan diindikasikan dengan menggunakan simbol

9-11
MANUAL MODEL MATERIAL

"topi" (^). Masukan kumpulan parameter model diakhiri dengan menekan tombol
<OK>.

Gambar 9.2 Memasukkan parameter model UD

Gambar 9.3 Memasukkan nilai dari parameter model

9-12 PLAXIS Versi 8


MODEL TANAH DARI PENGGUNA

Setelah kumpulan dari parameter model dilengkapi maka kumpulan parameter tersebut
akan muncul sesuai dengan namanya dalam combo box untuk Model, seperti
ditunjukkan dalam Gambar 9.3.
Kumpulan yang telah ada dapat dihapus dengan menekan tombol <Hapus> atau
mengubahnya dengan menggunakan tombol <Edit>. Pengguna harus berhati-hati saat
menghapus atau mengubah kumpulan parameter yang telah ada, karena proyek lain
mungkin masih menggunakan kumpulan parameter tersebut.

Antarmuka
Lembar-tab Antarmuka, Gambar 9.4, memuat data material untuk antarmuka.
Umumnya, lembar-tab ini berisi parameter Rinter dan pilihan dari jenis antarmuka
berkaitan dengan permeabilitasnya. Untuk model tanah dari pengguna lembar-tab
ref
antarmuka sedikit berbeda dan memuat modulus oedometer antarmuka, Eoed , dan
parameter kekuatan antarmuka cinter, inter dan inter. Karena itu, kuat geser
antarmuka diberikan secara langsung dalam parameter kekuatan dan tidak
menggunakan faktor yang menyatakan hubungan antara kuat geser dari antarmuka
dan kuat geser tanah, seperti halnya pada model-model dalam PLAXIS.

Gambar 9.4 Lembar-tab antarmuka

Setelah memasukkan nilai untuk seluruh parameter, kumpulan data dapat diterapkan
pada klaster tanah dengan cara yang sama dengan model material lainnya yang ada
dalam PLAXIS. Parameter dari pengguna kemudian dikirimkan ke dalam program
perhitungan dan muncul untuk titik-titik tegangan yang sesuai sebagai Props(1..50)
dalam subrutin User_mod.

9-13
MANUAL MODEL MATERIAL

9-14 PLAXIS Versi 8


REFERENSI

10 REFERENSI

[1] Adachi, T., Oka, F., (1982). Constitutive equation for normally consolidated
clays based on elasto-viscoplasticity. Soils and Foundations 22: 57-70.
[2] Atkinson, J.H., Bransby, P.L., (1978). The Mechanics of Soils. McGraw-Hill,
London.
[3] Belytschko, T., Lasry, D., (1989). Localization limiters and numerical strategies
for strain-softening materials. Proc. France-US Workshop on Strain localization
and size effect due to cracking and Damage (eds. Mazars & Bazant). pp 349-362.
[4] Bjerrum, L., (1967). Engineering geology of Norwegian normally-consolidated
marine clays as related to settlements of buildings. Seventh Rankine Lecture.
Geotechnique 17: 81-118.
[5] Bolton, M.D., (1986). The Strength and Dilatancy of Sands. Géotechnique,
Vol. 36, No. 1, pp. 65-78.
[6] Borja, R.I., Kavaznjian, E, (1985). A constitutive model for the --t behaviour
of wet clays. Geotechnique 35: 283-298.
[7] Borja, R.I., Lee, S.R., (1990). Cam-clay plasticity, part 1: implicit itegration of
elasto-plastic constitutive relations. Computer Methods in Applied Mechanics
and Engineering 78: 48-72.
[8] Brinkgreve, R.B.J., Vermeer, P.A., (1992). On the use of Cam-Clay models.
Proc. IV Int. Symposium on Numerical Models in Geomechanics (eds. G.N.
Pande, S. Pietruszczak). Balkema, Rotterdam, Vol. 2, pp. 557-565.
[9] Brinkgreve, R.B.J., (1994). Geomaterial Models and Numerical Analysis of
Softening. Disertasi. Delft University of Technology.
[10] Buisman, K., (1936). Results of long duration settlement tests. Proceedings 1 st
International Conference on Soil Mechanics and Foundation Engineering,
Cambridge, Mass. Vol. 1: 103-107.
[11] Burland, J.B., (1965). The Yielding and Dilation of Clay. (Correspondence).
Géotechnique, Vol. 15, pp. 211-214.
[12] Burland, J.B., (1967). Deformation of Soft Clay. Disertasi. Cambridge
University.
[13] Butterfield, R., (1979). A natural compression law for soils (an advance on e-log
p). Geotechnique 29:469-480.
[14] Chen, W.F., (1975). Limit Analysis and Soil Plasticity. Elsevier, Amsterdam.
[15] Drucker, D.C., Prager, W., (1952). Soil Mechanics and Plastic Analysis or Limit
Design. Quart. Appl. Math. Vol. 10, No. 2, pp. 157-165.
[16] Duncan, J.M., Chang, C.-Y., (1970). Nonlinear Analysis of Stress and Strain in
Soil. ASCE J. of the Soil Mech. and Found. Div. Vol. 96, pp. 1629-1653.

10-1
MANUAL MODEL MATERIAL

[17] Fung, Y.C., (1965). Foundations of Solid Mechanics, Prentice-Hall, New Jersey,
USA.
[18] Garlanger, J.E., (1972). The consolidation of soils exhibiting creep under
constant effective stress. Geotechnique 22: 71-78.
[19] den Haan, E.J., (1994). Vertical Compression of Soils. Thesis, Delft University.
[20] Hill, R., (1950). The Mathematical Theory of Plasticity, Oxford University Press,
London, U.K.
[21] Janbu, N., (1969). The resistance concept applied to soils. Proceedings of the 7 h
ICSMFE, Mexico City 1:191-196.
[22] Janbu, J., (1963). Soil Compressibility as Determined by Oedometer and Triaxial
Tests. Proc. ECSMFE Wiesbaden, Vol. 1, pp. 19-25.
[23] Koiter, W.T., (1960). General Theorems for Elastic-Plastic Solids. In: Progress in
Solid Mechanics (eds. I.N. Sneddon, R. Hill), Vol. 1., North-Holland,
Amsterdam, pp. 165-221.
[24] Kondner, R.L., (1963). A Hyperbolic Stress Strain Formulation for Sands. 2. Pan.
Am. ICOSFE Brazil, Vol. 1, pp. 289-324.
[25] Kulhawy, F. H., Mayne, P.W., (1990). Manual on Estimating Soil Prperties for
Foundation Design. Cornell University, Ithaca, New York.
[26] van Langen, H., Vermeer, P.A., (1990). Automatic Step Size Correction for Non-
Associated Plasticity Problems. Int. J. Num. Meth. Engng., Vol. 29, pp. 579-598.
[27] Leroueil, S., (1977). Quelques considérations sur le comportement des argiles
sensibles. Ph.D. thesis, Laval University, Québec.
[28] Muir Wood, D., (1990). Soil Behaviour and Critical State Soil Mechanics.
Cambridge University Press.
[29] Neher, H., Vermeer, P.A. (1998). Formulation and application of a soil model
that accounts for creep. Int. J. Numer. Anal. Meth. Geomech.
[30] Prevost, J.-H., (1976). Undrained Stress-Strain-Time Behaviour of Clays. Journal
of the Geotechnical Engineering Division GT12: 1245-1259.
[31] Rowe, P.W., (1962). The Stress-Dilatancy Relation for Static Equilibrium of an
Assembly of Particles in Contact. Proc. Roy. Soc. A., No. 269, pp. 500-527.
[32] Schanz, T., (1998). Zur Modellierung des Mechanischen Verhaltens von
Reibungsmaterialen, Habilitation, Stuttgart Universität.
[33] Schanz, T., Vermeer, P.A., (1996). Angles of Friction and Dilatancy of Sand.
Géotechnique 46, pp. 145-151.
[34] Schanz, T., Vermeer, P.A., (1998). Special issue on Pre-failure deformation
behaviour of geomaterials. Géotechnique 48, pp. 383-387.

10-2 PLAXIS Versi 8


REFERENSI

[35] Schanz, T., Vermeer, P.A., Bonnier, P.G., (1999). Formulation and verification
of the Hardening-Soil Model. In: R.B.J. Brinkgreve, Beyond 2000 in
Computational Geotechnics. Balkema, Rotterdam: 281-290.
[36] Sekiguchi, H., (1977). Rheological characteristics of clays. Proceedings of the 9 th
ICSMFE, Tokyo 1:289-292.
[37] Smith, I.M., Griffith, D.V., (1982). Programming the Finite Element Method,
Second Edition. John Wiley & Sons, Chisester, U.K.
[38] von Soos, P., (1990). Properties of Soil and Rock (in German). In:
Grundbautaschenbuch Part 4, Edition 4, Ernst & Sohn, Berlin.
[39] Stolle, D.F.E., (1991). An interpretation of initial stress and strain methods, and
numerical stability. International Journal for Numerical and Analytical Methods
in Geomechanics 15: 399-416.
[40] Stolle, D.F.E., Bonnier, P.G., Vermeer, P.A., (1997). A soft soil model and
experiences with two integration schemes. Numerical Models in Geomechanics.
Numog 1997: 123-128.
[41] Vaid, Y., Campanella, R.G. (1977). Time-dependent behaviour of undisturbed
clay. ASCE Journal of the Geotechnical Engineering Division, 103(GT7),
pp.693-709.
[42] Vermeer, P.A., de Borst, R., (1984). Non-Associated Plasticity for Soils,
Concrete and Rock. Heron, Vol 29, No. 3.
[43] Vermeer, P.A., van Langen, H., (1989). Soil collapse computations with finite
elements. Ingenieur-Archiv 59: 221-236.
[44] Vermeer, P.A., Stolle, D.F.E., Bonnier, P.G. (1998). From the classical theory of
secondary compression to modern creep analysis. Proc. 9 th Int. Conf. Comp.
Meth. and Adv. Geomech.. Wuhan, China, Vol. 4, pp 2469-2478.

10-3
MANUAL MODEL MATERIAL

10-4 PLAXIS Versi 8


LAMPIRAN A : SIMBOL

LAMPIRAN A : SIMBOL
c : Kohesi
CSP : Parameter kekakuan saat ini (Current Stiffness Parameter)
cu , Su : Kuat geser tak terdrainase
De : Matriks elastisitas material yang menyatakan hukum Hooke
e : Angka pori
E : Modulus Young
Eoed : Modulus oedometer
f : Fungsi leleh
g : Fungsi potensi plastis
G : Modulus geser
K : Modulus bulk
K0 : Koefisien tekanan tanah lateral
m : Pangkat dalam persamaan kekakuan yang bergantung pada tegangan
M : Kemiringan garis critical state dalam bidang p-q
n : Porositas
OCR : Rasio konsolidasi berlebih (Overconsolidation ratio)
p : Tekanan isotropis atau tegangan rata-rata, bernilai positif untuk tekan dan
negatif untuk tarik
pp : Tekanan prakonsolidasi isotropis, positif untuk tekan
POP : Tekanan pre-overburden (Pre-Overburden Pressure)
q : Tekanan geser ekivalen atau tegangan deviator
Rf : Rasio keruntuhan
t : Waktu
u : Vektor dengan komponen perpindahan
 : Berat volumetrik
1 : Sudut dip
2 : Arah dip
 : Peningkatan
 : Vektor dengan komponen regangan Cartesius, komponen normal adalah
positif untuk tarik; negatif untuk tekan atau kompresi
v : Regangan volumetrik, negatif untuk kompresi dan positif untuk tarik

A-1
MANUAL MODEL MATERIAL

 : Sudut geser
 : Indeks muai Cam-Clay
 *
: Indeks muai termodifikasi
 : Faktor pengali plastis
 : Indeks kompresi Cam-Clay
 *
: Indeks kompresi termodifikasi
* : Indeks rangkak termodifikasi
 : Angka Poisson
 : Vektor dengan komponen tegangan Cartesius, komponen normal adalah
positif untuk tarik; negatif untuk tekan
p : Tekanan prakonsolidasi vertikal, negatif untuk tekan
 : Sudut dilatansi

A-2 PLAXIS Versi 8


LAMPIRAN B : SUBRUTIN FORTRAN UNTUK MODEL UD

LAMPIRAN B : SUBRUTIN FORTRAN UNTUK MODEL UD


Dalam lampiran ini, diberikan sebuah daftar dari subrutin dan fungsi-fungsi yang
disediakan oleh P LAXIS dalam library dan kode program (source code) di dalam
direktori model tanah UD atau model tanah dari pengguna. Subrutin ini dapat dipanggil
dengan subrutin User_Mod berikut :

Subrutin
MZeroR( R, K ):
Untuk menginisialisasi suku K dari double array R ke nol
MZeroI( I, K ):
Untuk menginisialisasi suku K dari integer array I ke nol
SetRVal( R, K, V ):
Untuk menginisialisasi suku K dari double array R ke V
SetIVal( I, K, IV ):
Untuk menginisialisasi suku K dari integer array I ke IV
CopyIVec( I1, I2, K ):
Untuk menyalin nilai K dari integer array I1 ke I2
CopyRVec( R1, R2, K ):
Untuk menyalin nilai K dari double array R1 ke R2
MulVec( V, F, n ):
Untuk mengalikan sebuah vektor V dengan F, nilai n
MatVec( xMat, im, Vec, n, VecR ):
Operasi matriks (xMat) – vektor (Vec).
Dimensi pertama dari matriks adalah im; vektor hasil adalah VecR
AddVec( Vec1, Vec2, R1, R2, n, VecR ):
Untuk menambahkan suku n dari dua vektor; hasilnya dalam VecR
VecRi = R1Vec1i + R2Vec2i
MatMat( xMat1, id1, xMat2, id2, nR1, nC2, nC1, xMatR, idR ):
Perkalian matriks xMatRij = xMat1ik  xMat2kj
id1, id2, idR : ukuran pertama dari matriks
nR1 jumlah baris dalam xMat1 dan menghasilkan xMatR
nC2 jumlah kolom dalam xMat2 dan menghasilkan xMatR
nC1 jumlah kolom dalam xMat2 = baris dalam xMat2
MatMatSq( n, xMat1, xMat2, xMatR ):

B-1
MANUAL MODEL MATERIAL

Perkalian matriks xMatRij = xMat1ik  xMat2kj


Matriks bujursangkar yang terisi penuh dengan Dimensi n
MatInvPiv( AOrig, B, n ):
Matriks invers dari matriks bujursangkar AOrig dan B dengan Dimensi n.
AOrig TIDAK di-"destroyed", B memuat matriks invers dari AOrig.
Digunakan "row-pivotting".
WriVal( io, C, V ):
Untuk menulis nilai double V ke unit berkas io (jika io > 0)
Nilai ini didahului oleh karakter string C.
WriIVl( io, C, I ):
Seperti WriVal tetapi untuk nilai integer I
WriVec( io, C, V, n ):
Seperti WriVal tetapi untuk nilai n dari double array V
WriIVc( io, C, iV, n ):
Seperti WriVal tetapi untuk nilai n dari integer array iV
WriMat( io, C, V, nd, nr, nc ):
Seperti WriVal tetapi untuk matriks double V.
nd ukuran pertama dari V, nr dan nc masing-masing adalah jumlah baris dan
jumlah kolom yang akan dicetak.
PrnSig( iOpt, S, xN1, xN2, xN3, S1, S2, S3, P, Q ):
Untuk menentukan tegangan utama dan (untuk iOpt = 1) arah utama.
iOpt = 0 untuk memperoleh tegangan utama tanpa arah
iOpt = 1 untuk memperoleh tegangan utama dan arah
Matriks S memuat 6 komponen tegangan (XX, YY, ZZ, XY, YZ, ZX)
Matriks xN1, xN2, xN3 memuat 3 nilai dari arah utama ternormalisasi hanya
jika iOpt=1.
S1, S2, S3 mengurutkan tegangan utama ( S1  S2  S3 )
P tegangan isotropis (negatif untuk kompresi)
Q tegangan deviator
CarSig( S1, S2, S3, xN1, xN2, xN3, SNew ):
Untuk menghitung tegangan Cartesius dari tegangan utama dan arah utama.
S1, S2, S3 tegangan utama
Matriks xN1, xN2, xN3 memuat arah utama (dari PrnSig)

B-2 PLAXIS Versi 8


LAMPIRAN B : SUBRUTIN FORTRAN UNTUK MODEL UD

SNew memuat 6 komponen tegangan (XX, YY, ZZ, XY, YZ, ZX)
CrossProd( xN1, xN2, xN3 ):
Perkalian vektor (cross product) xN1 dan xN2
SetVecLen( xN, n, xL ):
Untuk mengalikan komponen n dari vektor xN sedemikian rupa sehingga
panjang dari xN menjadi xL (misalnya untuk menormalisasi vektor xN ke
dimensi panjang.

Fungsi
Logical Function LEqual( A, B, Eps ):
Bernilai TRUE (benar) jika kedua nilai A dan B hampir sama, jika tidak maka
bernilai FALSE (salah).
LEqual = |A-B| < Eps * ( |A| + |B| + Eps ) / 2
Logical Function Is0Arr( A, n ):
Bernilai TRUE jika seluruh nilai n dari real (double) array A adalah nol, jika
tidak maka bernilai FALSE
Logical Function Is0IArr( IArr, n ):
Bernilai TRUE jika seluruh nilai n dari integer array IArr adalah nol, jika tidak
maka bernilai FALSE
Double Precision Function DInProd( A, B, n ):
Menghasilkan perkalian (product) dari dua vektor dengan panjang n

B-3
MANUAL MODEL MATERIAL

B-4 PLAXIS Versi 8


LAMPIRAN C : MEMBUAT BERKAS "DEBUG" UNTUK MODEL (UD)

LAMPIRAN C : MEMBUAT BERKAS "DEBUG" UNTUK MODEL (UD)


TANAH YANG DITENTUKAN PENGGUNA
Berkas "debug" tidak secara otomatis dibuat dan dibuka dalam P LAXIS. Pengguna harus
melakukan hal ini dengan mengikutsertakan kode program yang bersangkutan dalam
subrutin dari pengguna. Berkas "debug" hanya perlu dibuat dan dibuka satu kali saja.
Karena subrutin dari pengguna digunakan berkali-kali, maka harus diperiksa apakah
berkas tersebut, yaitu yang berkaitan dengan "IO unit number", telah terbuka.
Saat menulis sebuah subrutin pengguna dalam FORTRAN dan menyusunnya (compile)
sebagai sebuah berkas DLL, berkas-berkas tersebut tidak digunakan secara bersamaan
dengan program utama. Hal ini berarti bahwa setiap "IO unit number" dapat digunakan
tanpa menyebabkan konflik antara berkas "debug" dan berkas yang telah ada yang
digunakan oleh PLAXIS.
Berikut adalah saran-saran mengenai bagaimana berkas "debug" dibuat dan dibuka :
1: Periksa apakah ada sebuah nomor unit yang telah dibuka. Jika tidak, bukalah.
Logical IsOpen
Inquire( unit = 1, Opened = IsOpen)
If (.Not. IsOpen) Then
Open( Unit = 1, File = ' ... ' )
End If
2: Gunakan sebuah pernyataan DATA
Logical IsOpen
Data IsOpen / .FALSE. /
Save IsOpen
If (.Not. IsOpen) Then
Open( Unit = 1, File = ' ... ' )
IsOpen = .TRUE.
End If
Saran di atas mengasumsikan bahwa berkas "debug" berada pada direktori yang aktif
saat ini, yang tidak harus berupa lokasi tertentu. Disarankan agar berkas "debug"
disimpan dalam direktori "DTA" yang sesuai dengan proyek P LAXIS. Karena itu perlu
untuk mengikutsertakan nama jalur berkas (pathname) dalam File = ' ... '.
Direktori proyek diberikan ke subrutin dari pengguna melalui parameter iPrjDir dan
iPrjLen. Matriks iPrjDir memuat nomor-nomor ASCII dari karakter-karakter dalam
string direktori proyek dan iPrjLen adalah panjang dari the string (maks. 255). Hal ini
untuk menghindari konflik pengalihan karakter (konflik Fortran - C). String direktori
proyek akan selalu diakhiri dengan karakter nomor 92 (\). Pengguna harus memasukkan
ulang karakter string dan dapat secara langsung menambahkan nama dari berkas
"debug". Contoh berikut ini menunjukkan bagaimana sebuah berkas "debug" yang

C-1
MANUAL MODEL MATERIAL

disebut "usrdbg" dapat dibuat dan dibuka dalam direktori proyek saat ini untuk tujuan
debugging :
Character fName*255
Dimension iPrjDir(*)
Logical IsOpen
Data IsOpen / .FALSE. /
Save IsOpen
If (.Not. IsOpen) Then
fName = ' '
Do i=1, iPrjLen
fName(i:i) = Char( iPrjDir(i) )
End Do
fName = fName(:iPrjLen) // 'usrdbg'
Open( Unit = 1, File = fName )
IsOpen = .TRUE.
End If
Dalam subrutin dari pengguna, nilai-nilai dapat ditulis ke unit IO nomor 1, misalnya
dengan menggunakan subrutin penulisan yang tersedia dalam Lampiran B.

Petunjuk "debugging"
Saat mengembangkan dan memperbaiki (debugging) suatu model konstitutif tanah
dalam subrutin dari pengguna, akan sangat berguna untuk memulainya dengan
mengujinya dengan sebuah model elemen hingga yang sederhana untuk kondisi
tegangan yang homogen (misalnya sebuah model axi-simetri, dimensi 1  1 dimensi, uji
kompresi satu dimensi atau uji triaksial dengan berat tanah nol). Model elemen hingga
akan tetap memiliki banyak titik tegangan, tetapi kondisi tegangan dalam tiap titik akan
bernilai sama.
Dalam setiap kasus, sangat berguna untuk menuliskan keluaran hanya untuk sejumlah
titik tegangan tertentu saja (atau untuk nomor langkah atau nomor iterasi tertentu), untuk
menghindari berkas "debug" yang besar. Contoh dari penulisan informasi "debug" yang
terbatas tetapi berguna diberikan berikut ini :
io = 0
If ( iEl .Eq. 1 .And. Int.Eq.1 .And. iStep.Gt.10 )
io = 1
...
Call WriIVl( io, 'Step', iStep )
Call WriIVl( io, 'Iter', iTer )

C-2 PLAXIS Versi 8


LAMPIRAN C : MEMBUAT BERKAS "DEBUG" UNTUK MODEL (UD)

Call WriVec( io, 'Sig0', Sig0, 6 )


Call WriVec( io, 'dEps', dEps, 6 )
Call WriMat( io, 'D', D, 6, 6, 6 )
...
Call WriVec( io, 'Sig', Sig, 6 )
Subrutin tersebut tidak akan menulis jika io adalah nol atau negatif.
Alternatif lain :
If ( io .Eq. 1 ) Then
Write( 2, * ) 'StVar:',(StVar(j),j=1,2)
End If
Perhatikan bahwa disini digunakan berkas 2. Berkas ini harus dibuka sebelumnya. Jika
berkas tersebut belum dibuka sebelumnya, Lahey Fortran akan menghasilkan pesan
kesalahan Run-Time Error (berkas tidak terbuka), namun, Digital Fortran akan
membuka sebuah berkas dengan nama FORT.2 dalam direktori saat ini atau memeriksa
variabel environment FORT2.

C-3
MANUAL MODEL MATERIAL

C-4 PLAXIS Versi 8

Anda mungkin juga menyukai