Anda di halaman 1dari 16

STUDI KASUS TENTANG POLA BERPIKIR TRADISIONAL PADA PASANGAN

SUAMI ISTRI YANG TIDAK MENGIKUTI PROGRAM KELUARGA BERENCANA


(KB)

ARTIKEL PENELITIAN

OLEH:
DIE ASTRI RAHMA ANINDITA
NIM 409112416152

UNIVERSITAS NEGERI MALANG


FAKULTAS PENDIDIKAN PSIKOLOGI
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI
MEI 2013
1

POLA BERPIKIR TRADISIONAL PADA PASANGAN SUAMI ISTRI


YANG TIDAK MENGIKUTI PROGRAM KELUARGA BERENCANA
(KB)

Die Astri Rahma Anindita


Universitas Negeri Malang
astriedita@gmail.com

ABSTRAK

Penelitian yang dilakukan bertujuan untuk melihat bagaimana pola berpikir


tradisional pada pasangan suami istri yang tidak mengikuti program KB. Macam berpikir
tradisional mana yang masih dianut oleh masyarakat dan juga pola berpikir yang terbentuk
pada pasangan suami istri. Jumlah subjek penelitian ini adalah 3 pasang suami istri yang
memiliki karakteristik sebagai berikut merupakan pasangan suami istri, memiliki anak lebih
dari 6, tidak mengikuti program Keluarga Berencana, berdomisili di dusun Karanglo dan
bersedia menjadi subjek penelitian. Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian dengan
pendekatan kualitatif yaitu studi kasus.Data penelitian ini berupa kata-kata dan tindakan,
sumber tertulis dan juga foto.Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan teknik
wawancara dan observasi.Untuk menjaga keabsahan data, dilakukan kegiatan triangulasi
data. Kegiatan analisis data dilakukan dengan cara analisis tematik. Dari hasil penelitian ini
ditemukan beberapa hal yang penting yaitu, sebagian besar subjek menganut pola berpikir
tradisional. Semua subjek masih menganut beberapa macam berpikir yang tradisional, antara
lain adalah pemikiran bahwa anak akan menjadi harapan orang tua sebagai pencari nafkah,
pemikiran bahwa anak dianggap sebagai sumber tenaga keluarga untuk membantu orang tua
dan juga anggapan bahwa anak menjadi kebanggaan orang tua. Anggapan bila terlambat
kawin keluarga akan malu sehingga menimbulkan banyaknya perkawinan di usia muda dan
pemikiran bahwa anak merupakan penentu status sosial keluarga sudah tidak lagi dianut.

Kata kunci: Pola berpikir tradisional, pasangan suami istri, Program Keluarga Berencana
2

STUDIES ABOUT PATTERN OF TRADITIONAL THINKING


ON MARRIED COUPLE WHO DON’T FOLLOEING FAMILY PLANNING
PROGRAM

Die Astri Rahma Anindita


Universitas Negeri Malang
E-mail: astriedita@gmail.com

ABSTRAK

Research carried out aiming to see how patterns of traditional thinking on married
couples who do not follow the family planning program. Kinds of traditional thinking
whichis still held by the public can also the pattern of thinking that forms on married
couples.The number of subjects of this study were 3 pairs of husband and wife that have the
following characteristics are married couples, having children over 6, did not follow the
family planning program, based in the Dusun Karanglo and willing to be the subject of
research. This study uses a qualitative research design with the case study approach. This
research data in the form of words and actions, written sources and also photos.The data was
collected using interviews and observation techniques. To maintain the validity of the data,
conducted data triangulation activities. Activity data analysis was done by thematic analysis.
From the results of this study found some important things, namely, most of the subjects
embraced traditional thinking patterns. All subjects were still adhered to somekind of
traditional thinking, among others is thought that the child will be expectations of parents as
breadwinners, thinking that the child is considered as a source of family labor to help parents
and also the assumption that the child be the pride of a parent. Assumption when the family
would marry late, causing much embarrassment marriage at a young age and thinking that the
child is a determinant of social status of the family is no longer held.

Keywords: Patternof traditionalthinking, the couple, Family PlanningProgram


3

Pertumbuhan penduduk merupakan suatu fakta yang tidak bisa dihindari oleh semua
negara.Pertumbuhan penduduk yang meningkat secara drastis dari tahun ke tahun dapat
menimbulkan masalah bagi negara tersebut.Masalah tentang ledakan penduduk merupakan
sebuah masalah yang dialami oleh seluruh negara, termasuk bangsa kita Indonesia. Ledakan
penduduk yang terjadi akan mengakibatkan permasalahan-permasalah yang juga tidak kalah
beratnya seperti masalah perekonomian yang mencangkup juga tentang kesejahteraan
masyarakat dan permasalahan sosial budaya. Upaya Pemerintah untuk mengendalikan laju
perkembangan populasi adalah membentuk sebuah progam yang dapat mengendalikan angka
kelahiran masyarakat yang disebut “Program Keluarga Berencana (KB)”.
Fungsi utama progam ini adalah untuk mengendalikan laju pertambahan penduduk di
Indonesia sehingga dapat menghindarkan dari peristiwa baby boom. Selain itu, Program
Keluarga Berencana juga memiliki fungsi lain yang tidak kalah penting yaitu :meningkatkan
kesehatan dan kesejahteraan ibu-ibu dan anak-anak maupun keluarga serta bangsa secara
menyeluruh, meningkatkan kondisi kehidupan masyarakat dengan mengurangi angka
kelahiran sehingga pertumbuhan penduduk tidak melebihi kapasitas produksi (Soekanto,
2012:339). Berdasarkan Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia tahun 2007, prevalensi
pengguna kontrasepsi modern di kalangan wanita usia subur yang sudah menikah mencapai
57%. Jumlah ini hanya naik tipis dari data tahun 2003 yang menunjukkan prosentase
56%.Pada kenyataannya masih banyak keluarga yang tidak mengikuti program Keluarga
Berencana ini, khususnya masyarakat yang berada di daerah pelosok dan berada dalam
tingkatan sosial ekonomi menengah kebawah, mereka masih memiliki anak dengan jumlah
banyak yang tidak sesuai dengan motto Keluarga Berencana yaitu “Dua Anak Lebih Baik”.
Faktor yang melatarbelakangi terhambatnya program Keluarga Berencana dan
keputusan masyarakat untuk tidak mengikuti program Keluarga Berencana, antara lain belum
adanya penggalakan pada proyek yang langsung menangani keluarga miskin dalam masalah
Keluarga Berencana, minimnya petugas di lapangan seperti PLKB dan Bidan desa,
kurangnya juga ajakan dari tokoh masyarakat, masih berkembangan pemikiran budaya
tradisional yang mengatakan “banyak anak banyak rejeki”, merebaknya pernikahan dini di
kalangan masyarakat, penggunaan alat kontrasepsi oral dan juga kurangnya keseriusan
pemerintah dalam menangani masalah baby boom(kompasiana.com). Kepala BKKBN, Sugiri
Syarief, menjelaskan ada beberapa faktor yang menyebabkan tidak berhasilnya program
Keluarga Berencana, faktor yang pertama adalah program Keluarga Berencana dianggap
produk orde baru jadi tidak perlu didukung, faktor kedua kebijakan politik berupa
desentralisasi daerah, sehingga Keluarga Berencana dijalankan oleh kabupaten dan kota
4

masing-masing. Namun, banyak dari kabupaten dan kota yang tidak menjalankan program
tersebut. Hal ini dikarenakan tidak adanya undang-undang yang mengatur siapa yang wajib
menjalankannya dengan aspek yang legal (kompasiana.com).
Pada kondisi di lapangan, masih banyak masyarakat khususnya di desa ataupun
pelosok-pelosok yang mengambil keputusan untuk tidak mengikuti program Keluarga
Berencana. Hal tersebut sebagian besar dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran yang dianut
oleh mereka yang cenderung masih tradisional.Masih saja banyak masyarakat yang
beranggapan bahwa “banyak anak banyak rezeki”.Faktor kultural inilah yang sulit untuk
dirubah khususnya di dalam lingkungan masyarakat agraris. Mereka berpendapat bahwa
semakin banyak anak akan menambah tenaga untuk membantu melakukan pekerjaan seperti
bercocok tanam, bertenak dan juga dapat melayani ketika mereka lanjut usia.
Berpikir adalah suatu kegiatan mental yang melibatkan kerja otak.Kegiatan berpikir
juga melibatkan seluruh pribadi manusia dan juga melibatkan perasaan dan kehendak
manusia.Memikirkan sesuatu berarti mengarahkan diri pada objek tertentu, menyadari
kehadirannya seraya secara aktif menghadirkannya dalam pikiran kemudian mempunyai
gagasan atau wawasan tentang objek tersebut (Sobur, 2003:201).Berpikir juga merupakan
aktivitas psikis intensional dan terjadi apabila seseorang menjumpai problem (masalah) yang
harus dipecahkan.Dengan demikian dalam berpikir itu seseorang menghubungkan pengertian
satu dengan pengertian lainnya dalam rangka mendapatkan pemecahan persoalan yang
dihadapinya (Ahmadi, 2009:83).Solso, 1998 (dalam Khodijah, 2006:117) berpikir adalah
sebuah proses dimana representasi mental baru dibentuk melalui transformasi informasi
dengan interaksi yang komplek atribut-atribut mental seperti penilaian, abstraksi, logika,
imajinasi, dan pemecahan masalah.
Berpikir tradisional adalah cara berpikir yang terpaku kepada hal-hal yang sudah ada
sebelumnya dan tidak boleh dilanggar. Orang-orang yang memiliki cara berpikir tradisional
ini merasa takut untuk menemukan cara-cara baru dalam mengatasi suatu masalah, karena hal
tersebut akan bertentangan dengan tradisi yang sudah ada sebelumnya. Pola berpikir
tradisional juga berhubungan dengan keyakinan yang dianut dan dipertahankan.Cara berpikir
traditional sangat bertentangan dengan berpikir kreatif.Berpikir kreatif menuntut agar
menemukan cara-cara baru yang lebih baik dalam melakukan aktivitas, sedangkan berpikir
tradisional justru mengikat kita dengan hal-hal yang sudah ada sebelumnya (Yusrizal, 2009).
Pola berpikir masyarakat yang masih tradisional mengandung unsur-unsur antara lain:
bersifat sederhana, memiliki daya guna dan produktivitas yang rendah, bersifat tetap atau
monoton, memiliki sifat irasional, yaitu tidak didasarkan pada pemikiran tertentu (Pratiwi,
5

2010). Pola berpikir tradisional masyarakat juga berhubungan dengan sikap membanggakan
dan mempertahankan tradisi-tradisi lama dari suatu masyarakat dan hal ini memperngaruhi
perubahan sosial yang ada, karena adanya anggapan bahwa perubahan yang akan terjadi
belum tentu lebih baik dari yang sudah ada (Soekanto, 2012:286).
Macam pola berpikir tradisional masyarakat yang masih banyak dianut sehingga
menjadi penunjang angka kelahiran antara lain (Anggraini, 2012:15):
1) Anggapan bila terlambat kawin keluarga akan malu, sehingga menimbulkan banyaknya
perkawinan pada usia muda.
2) Pandangan bahwa banyak anak banyak rejeki
3) Pemikiran bahwa anak akan menjadi harapan orang tua sebagai pencari nafkah
4) Pemikiran bahwa anak merupakan penentu status sosial keluarga
5) Sifat alami manusia yang ingin mempertahankan keturunan, sehingga muncul anggapan
bahwa anak merupakan penerus keturunan terutama anak laki-laki
6) Pemikiran bahwa anak dianggap sebagai sumber tenaga keluarga untuk membantu orang
tua
7) Anggapan bahwa anak menjadi kebanggaan orang tua
Dari latar belakang yang telah dijabarkan di atas, maka dibuatlah penelitian ini yang
berjudul “Studi Kasus Tentang Pola Berpikir Tradisional Pada Pasangan Suami Istri
Yang Tidak Mengikuti Program Keluarga Berencana (KB)”. Dalam meneliti kasus ini,
peneliti akan melakukan penelitian studi kasus, yang mana penelitian studi kasus adalah
penelitian yang menggunakan beragam metode dan beragam sumber data. Model studi kasus
adalah penelitian terhadap satu unit analisis yang dilakukan secara mendalam melalui
berbagai alat pengumpul data (Hanurawan, 2012:49).

METODE

Pendekatan Penelitian
Dalam penelitian ini pendekatan yang digunakan adalah jenis pendekatan penelitian
kualitatif. Metode penelitian kualitatif dalam psikologi adalah metode penelitian yang
mendeskripsikan objek penelitian melalui prosedur dan data yang bersifat non numerical (non
angka) terhadap objek psikologi, seperti data verbal, teknik analisis isi, teknik analisis
konversasi, kelompok fokus, analisis diskursus, dan fenomenologi untuk mengungkap objek
fenomena psikologi. Menurut Colman, 2006 metode penelitian ini lebih mendasarkan diri
6

pada proses verstehen (penghayatan dari dalam) ketimbang erklaeren (penjelasan dari luar)
(dalam Hanurawan, 2012:11).
Model penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode studi kasus,
karena peneliti ingin melakukan proses analisis secara mendalam terhadap satu obyek
penelitian yang unit analisisnya bersifat individual. Sebagai suatu jenis penelitian yang
bersifat ideografis, penelitian studi kasus menekankan unit analisisnya pada aspek-aspek
yang bersifat khusus dan dapat bersifat individual.Dalam penelitian psikologi, penelitian studi
kasus tidak memiliki tujuan untuk membuat generalisasi (Hanurawan, 2012:41). Fokus pada
penelitian ini adalah pola berpikir tradisional pada masyarakat yang tidak mengikuti program
keluarga berencana, yang menjadi suatu gejala yang akan dikaji dalam penelitian ini. Dengan
fokus seperti di atas, maka peneliti menggunakan pendekatan penelitian kualitatif dengan
metode studi kasus.

Kedudukan Peneliti dan Subjek Penelitian


Kedudukan peneliti dalam penelitian kualitatif adalah sebagai perencana, pelaksana,
pengumpul data, penganalisis, penafsir data dan pada akhirnya menjadi pelapor hasil
penelitian. Berkaitan ini Moeloeng mengatakan bahwa dalam penelitian kualitatif, peneliti itu
sendiri atau dengan bantuan orang lain merupakan alat pengumpul data yang utama
(Moeloeng, 1991:4). Subjek penelitian ini adalah 3 pasang suami istri, yang memiliki
karakteristik sebagai berikut merupakan pasangan suami istri, memiliki anak lebih dari 6,
tidak mengikuti program Keluarga Berencana, berdomisili di dusun Karanglo dan bersedia
menjadi subjek penelitian.

Sumber dan Pengambilan Data


Menurut Lofland dan Lofland, 1984:47 (dalam Moleong, 1991:112) sumber data
utama dalam penelitian kualitatif ialah kata-kata dan tindakan, selebihnya adalah data
tambahan seperti dokumen dan lain-lain sebagainya.Dalam penelitian ini sumber data yang
digunakan adalah kata-kata dan tindakan berupa wawancara dan observasi, sumber tertulis
merupakan referensi buku dan data dari kelurahan dan juga foto sebagai dokumentasi
tambahan.
Metode yang digunakan dalam pengumpulan data adalah wawancara kualitatif dan
observasi kualitatif. Wawancara yang digunakan adalah wawancara tertpimpin Menurut
Johnson & Christensen, 2004 (dalam Hanurawan, 2009:62) wawancara terpimpin (guided
interview) adalah wawancara yang dilakukan dengan cara pewawancara memasuki sesi
7

wawancara dengan membawa rencana eksplorasi tentang topik-topik spesifik dan


mengajukan pertanyaan-pertanyaan terbuka terbatas kepada partisipan. Topik-topik spesifik
dan pertanyaan-pertanyaan terbuka terbatas itu sebelumnya sudah dikembangkan dan ditulis
oleh peneliti dalam protocol (pedoman) wawancara. Namun karena sifatnya yang kualitatif
dan termasuk semi terstruktur maka pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dalam proses
wawancara tidak bersifat kaku (rigid) mengikuti pertanyaan-pertanyaan yang sudah ada
dalam pedoman wawancara.
Penelitian ini menggunakan observasi jenis yang keempat yaitu observasi observer
sepenuhnya.Jadi peneliti adalah sepenuhnya observer dan tidak menjadi atau masuk dalam
kelompok subjek yang ada.Observasi ini digunakan untuk menunjang data yang diperoleh
pada hasil wawancara.Observasi dilakukan pada saat bersamaan dengan pengambilan data
wawancara.

Analisis Data
Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis
tematik.Teknik analisis tematik ini adalah analisis makna berdasar tema-tema yang menonjol
yang berhubungan dengan kategori-kategori yang ada dalam tujuan penelitian (Hanurawan,
2012:69).Langkah penting pertama sebelum analisis dilakukan adalah membubuhkan kode-
kode pada materi yang diperoleh.(Poerwandari,2005: 150) koding dimaksudkan untuk dapat
mengorganisasi danmensistemasi data secara lengkap dan mendetail sehingga data
dapatmemunculkan gambaran tentang topik yang dipelajari.Dengan demikianpada gilirannya
peneliti akan dapat menemukan makna dari data yangdikumpulkannya. Semua peneliti
kualitatif menganggap tahap kodingsebagai tahap yang penting, meskipun peneliti yang satu
dan yang lainmemberikan usulan prosedur yang tidak sepenuhnya sama. Pada
akhirnya,penelitilah yang berhak (dan bertanggungjawab) memilih cara melakukankoding
yang dianggapnya paling efektif bagi data yang diperolehnya.
Sedangkan tahap penelitian yang dilakukan,menurut Moleong (1991:85) ada dua
tahapan penelitian kualitatif yang dilaksanakan oleh peneliti, yaitu tahap pra-lapangan dan
tahap pelaksanaan penelitian.
8

HASIL

Dari hasil wawancara dan juga observasi yang dilakukan pada keenam subjek dan
juga hasil dari analisis ditemukan beberapa hal, antara lain sebagai berikut:
1. Semua subjek tidak memiliki pola berpikir tradisional no.1 yaitu “anggapan bila terlambat
kawin keluarga akan malu, sehingga menimbulkan banyaknya perkawinan pada usia
muda”. Faktanya, subjek 1 menikah di usia 15 tahun, subjek 3 di usia 18 tahun dan
subyek 5 di usia 23 tahun. Hal ini menunjukkan variasi usia antar subyek penelitian dan
keseluruhan subyek menganggap masalah menikah itu tidak terikat usia, dan juga
dorongan orang tua tidak terlalu besar dalam keputusan mereka untuk menikah. Menurut
penuturan subjek 1 dan subjek 2, mereka menikah karena adanya kecocokan dan
dorongan dari orang tua karena ingin menghindari terjadinya hal-hal yang tidak
diinginkan. Menurut subjek 3 dan 4 menikah karena merasa sudah merasa cocok antara
satu dengan yang lain. Sedangkan subjek 5 dan 6 megutarakan bahwa mereka menikah
karena ingin segera memiliki keturunan.
2. Hanya subjek 2 yang memiliki pola berpikir tradisional no.2 yaitu “pandangan bahwa
banyak anak banyak rejeki”, kelima subjek lainnya tidak memiliki pandangan seperti itu.
Subjek 2 menyatakan bahwa beliau merupakan titisan orang dulu yang menganut
pandangan mengenai hal tersebut yaitu banyak anak banyak rejeki. Hal inilah juga yang
membuat subjek 1 tidak mau membatasi jumlah anak yang diinginkannya. Sedangkan
subjek yang lainnya beranggapan bahwa anak dipercaya membawa rejeki masing-masing
jadi mereka menerima keadaan dengan memiliki anak yang banyak.
3. Semua subjek memiliki pola berpikir tradisional no.3 yaitu “pemikiran bahwa anak akan
menjadi harapan orang tua sebagai pencari nafkah”. Subjek 1 dan 2 menuturkan bahwa
anaknya nanti yang akan menjadi tulang punggung keluarga, beliau mengharapkan
kesebelas anaknya dapat membantunya secara ekonomi. Menurut subjek 3 dan 4, mereka
juga mengharapkan anaknya dapat membantu orang tua dalam ekonomi untuk membiayai
adik-adiknya yang masih kecil-kecil. Subjek 5 dan 6 beranggapan bahwa anaknya yang
sudah besar nanti yang diharapkan membantu membiayai adik-adiknya dalam hal
ekonomi untuk meringankan beban orang tua.
4. Semua subjek tidak memiliki pola berpikir tradisional no.4 yaitu “pemikiran bahwa anak
merupakan penentu status sosial keluarga”. Menurut semua subjek, dengan memiliki anak
banyak tidak membuat status sosial meningkat, mereka merasa bahwa memiliki anak
banyak menambahkan beban yang harus ditanggung, dan juga subjek 1 dan 2 menuturkan
9

banyak yang mencibir keadaannya yang memiliki anak sebanyak 11 orang. Subjek 3 dan
4 juga mengiyakan bahwa banyak tetangga yang menjadikan keadaan beliau yang
memiliki anak banyak menjadi bahan pembicaraan.
5. Subjek 1, 2, 5, 6 memiliki pola berpikir tradisional no.5 yaitu “sifat alami manusia yang
ingin mempertahankan keturunan”, sedangkan subjek 3 dan 4 tidak memiliki pola
berpikir tradisional tersebut. Subjek 1 dan 2 menganggap bahwa keturunan banyak sangat
membantu dan penting, karena mereka tetap berpendapat bahwa nantinya anak-anaklah
yang dapat dijadikan penerus dan menjadi tulang punggung keluarga. Sedangkan subjek 5
dan 6 juga memiliki pendapat yang sama, bahkan alasan mereka menikah dari awal
adalah karena ingin mendapatkan dan mempertahankan keturunan. Pola pikir subjek 3
dan 4 yang berbeda, mereka menganggap bahwa memiliki keturunan yang banyak tidak
terlalu penting, karena mereka beranggapan cukup memiliki anak satu atau dua saja akan
tetapi mereka nantinya dapat menjadi anak yang baik dan juga membanggakan orang tua.
6. Semua subjek memiliki pola berpikir tradisional no.6 yaitu “pemikiran bahwa anak
dianggap sebagai sumber tenaga keluarga untuk membantu orang tua”. Semua subjek
menuturkan bahwa saat ini anak-anaknyalah yang membantu dalam hal melakukan
pekerjaan rumah, seperti membersihkan rumah, mencuci baju, menjemur baju dan juga
memasak. Pekerjaan rumah ini tidak hanya dilakukan oleh anaknya yang perempuan,
akan tetapi ank laki-lakinya pun juga ikut membantu dalam hal melakukan pekerjaan
rumah ini.
7. Semua subjek memiliki pola berpikir tradisional no.7 yaitu “anggapan bahwa anak
menjadi kebanggaan orang tua”. Semua orang tua pasti merasa bangga dengan anak-
anaknya, begitu halnya dengan yang dirasakan oleh subjek-subjek dalam penelitian ini.
Subjek 1 dan 2 merasa bangga dengan memiliki anak banyak dan juga karena anak-
anaknya sudah dapat bekerja. Walaupun beban yang ditanggung semakin berat, akan
tetapi subjek 3 dan 4 merasa bangga juga telah dikarunai anak banyak yang juga menjadi
anak-anak yang baik. Sedangkan subjek ke 3 dan 4 mengatakan bahwa bagaimanapun
juga keadaan dan kondisi keluarganya, mereka bangga memiliki anak banyak dan juga
anak-anak yang pintar.
Dari analisis data ditemukan pula pola-pola dari setiap pasangan antara lain sebagai
berikut:
1. Anggapan budaya
Dari ketiga pasangan yang ada memiliki pola yang berbeda, pasangan pertama
beranggapan menikah karena ada dorongan orang tua dengan alasan takut terjadi hal-hal yang
10

tidak diinginkan, sehingga menikah di usia muda, pasangan kedua menikah muda karena
merasa memiliki kecocokan dan tidak ada dorongan dari orang tua, sedangkan pasangan
ketiga Menikah karena adanya dorongan dari orang yang menganggap bahwa sudah cukup
matang dan agar statusnya jelas.
2. Banyak anak banyak rejeki
Pasangan pertama dan pasangan kedua memiliki pola yang sama yaitu mereka
meyakini bahwa anak membawa rejeki masing-masing dan karena anak adalah rejeki maka
kehadirannya harus diterima. Sedangkan pasangan ketiga tidak menginginkan memiliki anak
banyak, akan tetapi karena sudah terlanjur mereka menerima saja kehadiran anak-anaknya.
3. Pencari nafkah
Secara umum dari ketiga pasangan memiliki pola yang sama yaitu menginginkan
anak nantinya dapat bekerja dan membantu financial keluarga, akan tetapi ada sedikit
perbedaan. Pasangan pertama menginginkan setelah anak selesai sekolah maksimal SMA,
mereka langsung bekerja dan dapat membantu keluarga, untuk pasangan kedua
menginginkan anak mengeyam pendidikan yang tinggi agar mudah mencari pekerjaan dan
membantu orang tua, sedangkan untuk pasangan ketiga menginginkan anaknya berhasil agar
dapat membantu orang tua dan juga adik-adiknya.
4. Status sosial keluarga
Memiliki anak banyak menurut ketiga pasangan tidak membuat status sosial
meningkat. Menurut pasangan pertama memiliki anak banyak membuat banyak tetangga
yang mencibir, akan tetapi mereka tidak menghiraukan dan tetap menjalani hidup seperti
biasa. Sama dengan pasangan pertama, pasangan kedua beranggapan bahwa banyak tetangga
yang mencibir, akan tetapi pasangan ini optimis bahwa anaknya nanti akan merubah nasib
keluarga. Sedangkan pasangan ketiga menyatakan status sosial tidak meningkat karena
keadaan keluarga yang serba kekurangan.
5. Mempertahankan keturunan
Untuk masalah mempertahankan keturunan setiap pasangan memiliki pola yang
berbeda, untuk pasangan pertama memiliki keturuna banyak sangat penting karena merekalah
yang nantinya menjadi penerus dan menjadi tulang punggung keluarga. Untuk pasangan
kedua, memiliki anak banyak tidak terlalu penting mereka lebih mementingkan memiliki
anak yang baik sehingga akan menjadi penerus yang juga baik. Sedangkan untuk pasangan
ketiga memiliki keturunan sebagai penerus penting akan tetapi tidak dengan jumlah yang
terlalu banyak.
11

6. Tenaga pembantu
Ketiga pasangan memiliki pola yang sama untuk hal ini, setiap pasangan
mengutarakan bahwa memiliki anak banyak membuat orang tua merasa terbantu karena
anak-anak merekalah yang mengerahkan tenaga membantu pekerjaan rumah, bahkan anak-
anak mereka sudah memiliki tugas masing-masing dalam pekerjaan rumah untuk anak-anak
yang sudah cukup besar.
7. Kebanggaan orang tua
Secara umum untuk ketiga pasangan memiliki pola yang sama, mereka menyatakan
sangat bangga dengan anak-anak mereka, hanya yang berbeda adalah hal yang dibanggakan
dari anak-anaknya. Pasangan petama mengatakan bahwa hal yang membanggakan dari
anaknya adalah semua anak yang telah lulus sekolah sudah dapat bekerja semua, dan anak-
anak yang lain masih bisa sekolah. Untuk pasangan kedua semua hal yang ada pada anaknya
sangat membanggakan dan mereka berharap nantinya anak dapat lebih membanggakan
lagi.Sedangkan pasangan ketiga menyatakan bahwa sikap dan prestasi anaknya di sekolah
yang mereka banggakan.

DISKUSI

Selain menemukan beberapa hal dalam penelitian yang sesuai dengan tujuan
penelitian ini, ditemukan juga temuan baru.Subyek pasangan yang wanita, pada awal
pernikahan semuanya mengikuti KB, namun gagal dan tidak mau mencoba metode yang
baru.Dalam hal ini, berarti pihak wanita sebenarnya memiliki keinginan untuk membatasi
jumlah anak, hanya usahanya saja yang tidak berhasil dan menyerah. Kegagalan itu terjadi
sampai berimbas pada kesehatan fisik, subjek 1 menjadi kurus kering dengan menggunakan
KB suntik dan subjek 3 sampai pendarahan dengan menggunakan KB suntik sehingga suami
mereka melarang mengikuti KB lagi karena melihat kondisi fisik istrinya yang
memprihatinkan, dan subjek 5 tidak rajin meminum KB pil dan selain itu beliau dilarang oleh
suaminya karena suaminya masih terobsesi ingin memiliki anak laki-laki.
Hal tersebut juga berkaitan dengan ketidakpercayaan para subjek kepada program
KB, sehingga mereka tidak ingin mencoba KB jenis lain yang mungkin tidak berimbas
negatif kepada fisiknya. Tidak hanya dari pihak perempuan, pihak laki-lakipun juga tidak
ingin mencoba jenis KB yang ditawarkan untuk membantu sang istri dan menjaga jumlah
kelahiran anak yang terjadi. Hal tersebutlah juga yang berimbas akhirnya dalam satu keluarga
memiliki jumlah anak yang lebih dari dua seperti pedoman dari program KB. Ada beberapa
12

macam berpikir yang tradisional yang dianut subjek, antara lain adalah pemikiran bahwa
anak akan menjadi harapan orang tua sebagai pencari nafkah, pemikiran bahwa anak
dianggap sebagai sumber tenaga keluarga untuk membantu orang tua dan juga anggapan
bahwa anak menjadi kebanggaan orang tua.
Sedangkan macam berpikir tradisional yang sudah tidak dianut subjek seperti
anggapan bila terlambat kawin keluarga akan malu sehingga menimbulkan banyaknya
perkawinan di usia muda dan pemikiran bahwa anak merupakan penentu status sosial
keluarga sudah tidak lagi dianut. Untuk pandangan bahwa banyak anak banyak rejeki hanya
dianut oleh subjek kedua dalam penelitian ini dan berpikir tradisional sifat alami manusia
yang ingin mempertahankan keturunan hanya dianut oleh pasangan pertama dan pasangan
ketiga, sedangkan subjek ketiga dan keempat tidak menganutnya lagi.
Memiliki anak banyak ternyata bukan merupakan keinginan oleh semua subjek.
Mereka ingin membatasi jumlah anak dengan mengikuti program Keluarga Berencana akan
tetapi program tersebut gagal. Subjek wanita dalam penelitian ini semuanya gagal dalam
mengikuti program ini, dikarenakan dengan mengikuti program ini berpengaruh pada
penurunan kondisi fisik yang memprihatinkan. Sehingga melihat adanya penurunan fisik
tersebut subjek pihak laki-laki dalam hal ini adalah suami subjek wanita tidak lagi
memperbolehkan untuk mengikuti program Keluarga Berencana (KB). Darisini dapat dilihat
bahwasanya semua subjek sudah tidak percaya dengan program yang ditawaran pemerintah
tersebut untuk mengatur dan juga membatasi jumlah anak. Pihak istri tidak mau mencoba
jenis KB yang lain selain yang menyebabkan kondisi menjadi buruk tersebut, sedangkan sang
suami juga tidak mau mencoba program KB yang khusus untuk pria tersebut.
Dengan kondisi keluarga subjek yang dapat dikatakan pas-pasan, mereka harus
menghidupi anak-anaknya dan juga menyekolahkan.Hal tersebut jelas menambah beban yang
dirasakan keluarga, dikarenakan hanya pihak laki-laki saja yang bekerja.Sehingga mereka
semua tidak maksimal dalam merawat dan membesarkan anaknya.Mereka setiap harinya
memberi makan anaknya dengan lauk pauk yang sederhana dan juga mereka tidak dapat
menyekolahkan anaknya sampai ke jenjang pendidikan yang tinggi. Hal ini sangat
memprihatinkan dan jelas merugikan bagi masa depan sang anak.
Hal ini juga tidak hanya merupakan kewajiban dari pasangan sendiri untuk merubah
pola berpikirnya, akan tetapi juga merupakan kewajiban dari pihak yang terkait untuk
membantu, dalam hal ini adalah BKKBN. BKKN, merupakan badan pemerintahan yang
bertanggung jawab akan terselenggaranya program Keluarga Berencana, dan disini sebaiknya
BKKBN memikirkan lebih lanjut tentang langkah-langkah yang harusnya dilakukan agar
13

programnya dapat terlaksana dengan baik dan masyarakat dapat percaya. Perlu dilakukan
adanya koordinasi yang lebih intens lagi dengan PLKB ataupun bidan desa setempat untuk
mengadakan sosialisasi ataupun penyuluhan terhadap hal-hal tersebut agar masyarakat
mengerti dan benar-benar memahami tentang program Keluarga Berencana.
14

DAFTAR RUJUKAN

Ahmadi, Abu. 2009. Psikologi Umum. Jakarta: PT Rineka Cipta.


Anggraini, Yetti. & Martini. 2012. Pelayanan Keluarga Berencana. Yogyakarta: Rohima
Press.
Badan Koordinasi Keluarga Bercana. 2011. Menjangkau Peserta KB Lewat Pintu Industri,
(Online), (http://ceria.bkkbn.go.id/ceria/referensi/artikel/detail/ 496), diakses 13
September 2012.
Badan Pusat Statisik. 2009. Perkembangan Beberapa Indikator Utama Sosial-Ekonomi
Indonesia. Jakarta: Badan Pusat Statistik.
Bungin, Burhan. 2008. Penelitian Kualitatif. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Hanurawan, Fattah. 2012. Metode Penelitian Kualitatif Dalam Ilmu Psikologi. Malang :
Universitas Negeri Malang.
Huda, Miftakhul. 2011. Optimalisasi Kembali Program KB, (Online),
(http://metro.kompasiana.com/2011/12/26/optimalisasi-kembali-peran-program-kb/),
diakses 9 September 2012.
Jalius. 2009. Pengertian Tradisional, (Online), (http://jalius12. wordpress.com
/2009/10/06/tradisional/), diakses 21 November 2012.
Khodijah, Nyayu. 2006. Psikologi Belajar. Palembang: IAIN

Majehuri, Ilham. 2012. Program KB Nasional, (Online), (http://kesehatan. kompasiana.com/


ibu-dan-anak/2012/02/15/program-kb-nasional/), diakses 9 September 2012.
Matsumoto, David. & Juang, Linda. 2008. Culture & Psychology. Canada: Wadsworth.
Moleong, Lexy j.1991.Metode Penelitian Kualitatif. Bandung:Remaja Rosdakarya Offset.
Pandi, E. Srihartanti. P. 1981.Sejarah Perkembangan Keluarga Berencana dan Program
Kependudukan. Jakarta: Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional.
Poerwandari, Kristi. 2005. Pendekatan Kualitatif Untuk Penelitian Perilaku Manusia.
Jakarta: Universitas Indonesia (LPSP3).
Pratiwi, Intan. 2010. Penduduk, Masyarakat dan Kebudayaan, (Online), (http://blognya-
intan.blogspot.com/2010/10/penduduk-masyarakat-dan-kebudayaan.html), diakses 21
November 2012.
Rahim, Algiers. dkk. 1987. Pengetahuan Dasar Program Keluarga Berencana Bagi
Mahasiswa Kuliah Kerja Nyata.Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Sobur, Alex. 2003. Psikologi Umum. Bandung: CV Pustaka Setia.
15

Suyono, Haryono, Menjadikan Hari Keluarga Nasional Sebagai Momentum


Pemberdayaan Keluaraga Kurang Mampu, Majalah Gemari, Edisi
53/Tahun VI/Juni 2005.
Yusrizal. 2009. Bepikir Kreatif, (Online), (http://yusrizalfirzal.wordpress.com/ tag/berpikir-
kreatif/), diakses 21 November 2012.

Anda mungkin juga menyukai