Seperti yang diuraikan di atas bahwa pemilik tanah yang sistem hukum tanahnya
menggunakan asas perlekatan, selain memberikan kewenangan kepada pemilik
unutuk menggunakan tanahnya juga berkewenangan pula terhadap ruang udara
yang ada di atasnya serta berhak atas ruang bawah tanah (right bellow the surface
of land). Hak ini meliputi right to minerals deposit, rights to items found in the
land , and right to spaces below the surface, dan karenanya penggunaan atas
ruang tersebut tanpa ijin dari si pemiliknya dipandang sebagai bentuk gangguan
atau pelanggaran terhadap hak atas tanahnya.[1] Hal ini nampak dalam
kasus The Metropolitas Rail Way Co lawan Fowler dan kasus Grigsby lawan
Melville. Dalam perkembangannya right bellow the surface of land tidak lagi
diartikan memiliki kewenangan sampai batas yang tak terkira terhadap ruang
bawah tanah. Ada pembatasan yang ditentukan dalam peraturan perundangan
seperti yang terjadi di New South Wales, Australia. Beberapa ketentuan yang
dijumpai di wilayah tersebut antara lain The Helesburgh Leases Act Tahun 1911,
Western Land Acts Tahun 1901, serta Crown Lands (Continued Tenures) Act Tahun
1989. yang menentukan kedalaman tanah yang bisa memberi wewenang kepada si
pemiliknya sampai dengan 500 (lima ratus) kaki.
Pada masa sebelum tahun 1960, Indonesia mengenal adanya dualisme hukum di
bidang Hukum Agraria (termasuk di dalamnya hukum pertanahan) dengan
diberlakukan secara bersama-sama Hukum Barat dan Hukum Adat. Pemberlakuan
terhadap hukum-hukum tersebut didasarkan pada pembagian golongan
kependudukan yang ditetapkan dalam pasal 131 dan 163 IS (Indische Staats
Regeling). Berdasarkan ketentuan ini bagi golongan Eropah dan Timur asing,
terhadap masalah pertanahan diberlakukan hukum barat yang perwujudannya
dijumpai, antara lain dalam Agrarische Wet 1870 (Staatblad 1870 nomor 55)
sebagaimana yang termuat dalam pasal 51 wet op de Staat-sinrichting van
Nederlands Indie (Staatblad 1925 nomor 447), Agrarische Besluit 1870 (Staatblad
1870 nomor 118), serta ketentuan BW (Burgerlijk Wet Boek). Tanah oleh BW
dipandang sebagai bagian dari Benda (benda tidak bergerak). Oleh karena itu,
pengaturan terhadap masalah pertanahan bagi golongan Eropah dan Timur Asing
akan tunduk pada ketentuan Buku II BW yang berisi tentang hukum benda, yang
dalam pengaturannya menggunakan asas perlekatan seperti yang diatur
dalam pasal 500, 506 dan 507 BW .
Dari uraian di atas menampakan bahwa walaupun saat itu Hukum Barat dan Hukum
Adat memiliki asas yang berbeda, namun keduanya diberlakukan pada masa atau
waktu yang sama untuk masing masing golongan yang ditentukan dalam pasal 131
IS. Sangat dimungkinkan terhadap hak atas tanah yang tunduk pada Hukum Adat
akan menjadi obyek perbuatan hukum yang melibatkan subyek yang tunduk pada
Hukum Barat, bisa demikian sebaliknya. Jika terjadi demikian, akan diselesaikan
lewat hukum antar golongan. Hanya saja yang perlu mendapatkan perhatian,
bahwa penguasaan dan atau pemilikan tanah oleh golongan penduduk tertentu
melalui proses peralihan hak, tidak akan mengubah status atau kedudukan dari hak
atas tanahnya. Tanah yang tunduk pada hukum adat tidak akan berubah
kedudukan dan statusnya, hanya karena yang menguasai atau memiliki tanah
tersebut adalah subyek yang berasal dari Golongan Eropah.