Anda di halaman 1dari 14

FILOSOFI BATIK DILIHAT DARI SEJARAHNYA

Selain proses pembuatannya yang rumit dan selalu disertai dengan serangkaian ritual khusus, batik
juga mengandung filosofi tinggi yang terungkap dari motifnya. Hal ini terkait dengan sejarah
penciptaan motif batik sendiri yang biasanya diciptakan oleh sinuwun, permaisuri atau putri-putri
kraton yang semuanya mengandung falsafah hidup tersendiri bagi pemakainya.

Sebagai raja Jawa yang tentu saja menguasai seni, maka keadaan tempat tersebut mengilhaminya
menciptakan pola batik lereng atau parang, yang merupakan ciri ageman Mataram yang berbeda
dengan pola batik sebelumnya. Karena penciptanya adalah raja pendiri kerajaan Mataram, maka
oleh keturunannya, pola-pola parang tersebut hanya boleh dikenakan oleh raja dan keturunannya di
lingkungan istana.Motif Parang Rusak misalnya. Motif ini diciptakan oleh Panembahan Senopati,
pendiri Keraton Mataram. Setelah memindahkan pusat kerajaan dari Demak ke Mataram, Senopati
sering bertapa di sepanjang pesisir selatan Pulau Jawa yang dipenuhi oleh jajaran pegunungan seribu
yang tampak seperti pereng (tebing) berbaris. Akhirnya, ia menamai tempat bertapanya dengan
pereng yang kemudian berubah menjadi parang. Di salah satu tempat tersebut ada bagian yang
terdiri dari tebing-tebing atau pereng yang rusak karena deburan ombak laut selatan sehingga
lahirlah ilham untuk menciptakan motif batik yang kemudian diberi nama Parang Rusak.

Motif larangan tersebut dicanangkan oleh Sultan Hamengku Buwono I pada tahun 1785. Pola batik
yang termasuk larangan antara lain: Parang Rusak Barong, Parang Rusak Gendreh, Parang Klithik,
Semen Gedhe Sawat Gurdha, Semen Gedhe Sawat Lar, Udan Liris, Rujak Senthe, serta motif
parang-parangan yang ukurannya sama dengan parang rusak.

Semenjak perjanjian Giyanti tahun 1755 yang melahirkan Kasunanan Surakarta dan Kasultanan
Yogyakarta, segala macam tata adibusana termasuk di dalamnya adalah batik, diserahkan
sepenuhnya oleh Keraton Surakarta kepada Keraton Yogyakarta. Hal inilah yang kemudian
menjadikan Keraton Yogyakarta menjadi kiblat perkembangan budaya, termasuk pula khazanah
batik.

Kalaupun batik di Keraton Surakarta mengalami beragam inovasi, namun sebenarnya motif
pakemnya tetap bersumber pada motif batik Keraton Yogyakarta. Ketika tahun 1813, muncul
Kadipaten Pakualaman di Yogyakarta akibat persengketaan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat
dan Letnan Gubernur Inggris Thomas Stamford Raffles, perpecahan itu ternyata tidak melahirkan
perbedaan mencolok pada perkembangan motif batik tlatah tersebut.

Menurut KRAy SM Anglingkusumo, menantu KGPAA Paku Alam VIII, motif-motif larangan tersebut
diizinkan memasuki tlatah Keraton Puro Pakualaman, Kasultanan Surakarta maupun
Mangkunegaran. Para raja dan kerabat ketiga kraton tersebut berhak mengenakan batik parang
rusak barong sebab sama-sama masih keturunan Panembahan Senopati.

Batik tradisional di lingkungan Kasultanan Yogyakarta mempunyai ciri khas dalam tampilan warna
dasar putih yang mencolok bersih. Pola geometri Keraton Kasultanan Yogyakarta sangat khas,
besar-besar, dan sebagian diantaranya diperkaya dengan parang dan nitik. Sementara itu, batik di
Puro Pakualaman merupakan perpaduan antara pola batik Keraton KasultananYogyakarta dan warna
batik Keraton Surakarta.
Jika warna putih menjadi ciri khas batik Kasultanan Yogyakarta, maka warna putih kecoklatan atau
krem menjadi ciri khas batik Keraton Surakarta. Perpaduan ini dimulai sejak adanya hubungan
keluarga yang erat antara Puro Pakualaman dengan Keraton Surakarta ketika Sri Paku Alam VII
mempersunting putri Sri Susuhunan Pakubuwono X. Putri Keraton Surakarta inilah yang memberi
warna dan nuansa Surakarta pada batik Pakualaman, hingga akhirnya terjadi perpaduan keduanya.

Dua pola batik yang terkenal dari Puro Pakulaman, yakni Pola Candi Baruna yang tekenal sejak
sebelum tahun 1920 dan Peksi Manyuro yang merupakan ciptaan RM Notoadisuryo. Sedangkan pola
batik Kasultanan yang terkenal, antara lain: Ceplok Blah Kedaton, Kawung, Tambal Nitik, Parang
Barong Bintang Leider, dan sebagainya.

Begitulah. Batik painting pada awal kelahirannya di lingkungan kraton dibuat dengan penuh
perhitungan makna filosofi yang dalam. Kini, batik telah meruyak ke luar wilayah benteng istana
menjadi produk industri busana yang dibuat secara massal melalui teknik printing atau melalui
proses lainnya. Bahkan diperebutkan sejumlah negara sebagai produk budaya miliknya.

Pola Parang Rusak Barong, diciptakan Sultan Agung Hanyakrakusum a yang ingin mengekspresikan
pengalaman jiwanya sebagai raja dengan segala tugas kewajibannya, dan kesadaran sebagai seorang
manusia yang kecil di hadapan Sang Maha Pencipta. Kata ​barong​berarti sesuatu yang besar dan hal
ini tercermin pada besarnya ukuran motif tersebut pada kain. Merupakan induk dari semua pola
parang, pola barong dulu hanya boleh dikenakan oleh seorang raja. Mempunyai makna agar seorang
raja selalu hati-hati dan dapat mengendalikan diri.

Motif parang sendiri mengalami perkembangan dan memunculkan motif-motif lain seperti Parang
Rusak Barong, Parang Kusuma, Parang Pamo, Parang Klithik, dan Lereng Sobrah. Karena penciptanya
pendiri Keraton Mataram, maka oleh kerajaan, motif-motif parang tersebut hanya diperkenankan
dipakai oleh raja dan keturunannya dan tidak boleh dipakai oleh rakyat biasa. Jenis batik itu
kemudian dimasukkan sebagai kelompok “batik larangan”.

Bila dilihat secara mendalam, garis-garis lengkung pada motif parang sering diartikan sebagai ombak
lautan yang menjadi pusat tenaga alam, dalam hal ini yang dimaksudkan adalah raja. Komposisi
miring pada parang juga melambangkan kekuasaan, kewibawaan, kebesaran, dan gerak cepat
sehingga pemakainya diharapkan dapat bergerak cepat.

Menurut penuturan Mari S Condronegoro, pada zaman Sri Sultan Hamengku Buwono VIII, motif
parang menjadi pedoman utama untuk menentukan derajat kebangsawanan seseorang dan menjadi
ketentuan yang termuat dalam ​Pranatan Dalem Jenenge Panganggo Keprabon Ing Karaton Nagari
Ngajogjakarta tahun 1927.​ “Selain motif Parang Rusak Barong, motif Batik Larangan pada zaman itu
adalah, motif Semen, Udan Liris, Sawat dan Cemungkiran,” jelasnya.

Motif batik Semen yang mengutamakan bentuk tumbuhan dengan akar sulurnya ini bermakna semi
atau tumbuh sebagai lambang kesuburan, kemakmuran, dan alam semesta. Sedangkan motif Udan
Liris termasuk dalam pola geometris yang tergolong motif lereng disusun secara garis miring
diartikan sebagai hujan gerimis yang menyuburkan tumbuhan dan ternak.

Secara keseluruhan, motif yang juga tersusun dari motif Lidah Api, Setengah Kawung, Banji, Sawut,
Mlinjon, Tritis, ada-ada dan Untu Walang yang diatur diagonal memanjang ini bermakna
pengharapan agar pemakainya dapat selamat sejahtera, tabah dan berprakarsa dalam menunaikan
kewajiban bagi kepentingan nusa dan bangsa.

Motif lain Sawat bermakna ketabahan hati. Sedangkan motif Cemungkiran yang berbentuk seperti
lidah api dan sinar merupakan unsur kehidupan yang melambangkan keberanian, kesaktian, ambisi,
kehebatan, dan keagungan yang diibaratkan seperti Dewa Syiwa yang dalam masyaraka Jawa
dipercaya menjelma dalam diri seorang raja sehingga hanya berhak dipakai oleh raja dan putra
mahkota.

Seiring dengan perkembangan zaman, Batik Larangan sudah tidak sekuat dulu lagi dalam
penerapannya. Bahkan, motif-motif tersebut sekarang sudah banyak dikenakan masyarakat di luar
tembok keraton. Kendati begitu, Mari S Condronegoro dan GBRAy Hj Murdhokusumo menghimbau
masyarakat umum yang bukan kerabat keraton untuk tidak mengenakan motif tersebut, terutama
Parang Rusak Barong saat berada di dalam tembok keraton, untuk menjaga wibawa Sultan.

Lebih lanjut, Gusti Murdhokusumo mengatakan bahwa batik akan selalu menandai setiap peristiwa
penting dalam kehidupan manusia Jawa sejak lahir hingga ajal tiba. Menurutnya, ada beberapa motif
batik yang sebaiknya dikenakan pada peristiwa-peristiwa penting yang dialami masyarakat Jawa.
Peristiwa kelahiran misalnya, sebaiknya jabang bayi dialasi dengan kain batik tua milik neneknya
atau kopohan yang berarti basah. Ini mengandung harapan agar si bayi berumur panjang seperti
sang nenek.

Untuk pernikahan, disarankan mempelai mengenakan kain batik dengan motif yang berawalan
dengan “sida”, seperti Sidamulya, Sidaluhur, Sida Asih, dan Sidomukti. Atau kalau tidak, bisa
mengenakan motif Truntum, Wahyu Tumurun, Semen Gurdha, Semen Rama dan Semen Jlekithet.
Masing-masing mengandung maksud agar kedua mempelai mendapat kebahagiaan, kemakmuran
dan menjadi orang terpandang.

“Yang pasti, pengantin jangan mengenakan motif Parang Rusak agar rumah tangganya terhindar dari
kerusakan dan malapetaka,” ungkapnya. Sebaliknya, ketika akan melayat ke tempat keluarga yang
sedang kesripahan (meninggal dunia) maka sebaiknya mengenakan kain batik yang berwarna dasar
hitam dan menghindari batik dengan warna dominan putih seperti motif parang. Jenis batik yang
cocok untuk melayat, misalnya motif Semen Gurda atau motif lain yang warna dasar senada.

FILOSOFI BATIK DARI MOTIFNYA

Batik adalah kerajinan yang memiliki nilai seni tinggi dan telah menjadi bagian dari budaya
Indonesia (khususnya Jawa) sejak lama. Batik berasal dari bahasa Jawa “amba” yang berarti
menulis dan “titik”. Awalnya batik dikerjakan hanya terbatas dalam kraton saja dan hasilnya untuk
pakaian raja dan keluarga serta para pengikutnya. Oleh karena banyak dari pengikut raja yang
tinggal diluar kraton, maka kesenian batik ini dibawa oleh mereka keluar kraton dan dikerjakan
ditempatnya masing-masing. Perempuan-perempuan Jawa pada masa lampau menjadikan
keterampilan mereka dalam membatik sebagai mata pencaharian, sehingga pada masa lalu
pekerjaan membatik adalah pekerjaan eksklusif perempuan sampai ditemukannya “Batik Cap” yang
memungkinkan masuknya laki-laki ke dalam bidang ini.

Tradisi membatik pada mulanya merupakan tradisi yang turun temurun, sehingga kadang kala suatu
motif dapat dikenali berasal dari batik keluarga tertentu. Beberapa motif batik dapat menunjukkan
status seseorang. Bahkan sampai saat ini, beberapa motif batik tadisional klasik hanya dipakai oleh
keluarga keraton Yogyakarta dan Surakarta.

Pada jaman dahulu, motif atau pola batik masih didominasi dengan bentuk binatang dan tanaman.
Namun dalam sejarah perkembangannya batik mengalami perkembangan, yaitu dari corak-corak
lukisan binatang dan tanaman lambat laun beralih pada motif abstrak yang menyerupai awan, relief
candi, wayang beber dan sebagainya. Selanjutnya melalui penggabungan corak lukisan dengan seni
dekorasi pakaian, muncul seni batik tulis seperti yang kita kenal sekarang ini.

Batik memang bukan sekadar lukisan yang ditorehkan pada kain dengan mengunakan canting (alat
untuk membatik yang berisi malam atau lilin). Banyak jejak bisa digali dari sehelai kain batik. Sebab
motif yang ditorehkan pada selembar kain batik selalu mempunyai makna tersembunyi. Jenis dan
corak batik tradisional tergolong amat banyak, namun corak dan variasinya sesuai dengan filosofi
dan budaya masing-masing daerah yang amat beragam. Berikut terdapat beberapa motif batik
beserta filosofisnya yang terkenal di daratan Jawa:

1.SIDO LUHUR

Nama motif : Sido Luhur

Daerah : Kraton Surakarta

Jenis Batik : Batik Kraton

Dikenakan : Temanten Putri (malam pengantin)

Makna : Mengandung makna keluhuran. Bagi orang Jawa, hidup memang untuk mencari keluhuran
materi dan non materi. Keluhuran materi artinya bisa tercukupi segala kebutuhan ragawi dengan
bekerja keras sesuai dengan jabatan, pangkat, derajat, maupun profesinya. Sementara keluhuran
budi, ucapan, dan tindakan adalah bentuk keluhuran non materi. Orang Jawa sangat berharap
hidupnya kelak dapat mencapai hidup yang penuh dengan nilai keluhuran.

2. SIDO ASIH

Nama motif : Sido Asih

Daerah : Kraton Surakarta

Jenis Batik : Batik Kraton

Dikenakan : Temanten Putri (malam pengantin)

Makna : Sido berarti jadi, asih berarti sayang, ragam hias ini mempunyai makna agar hidup berumah
tangga selalu penuh kasih sayang.
3. SIDO MULYO

Nama motif : Sido Mulyo

Daerah : Banyumas

Jenis Batik : Batik pengaruh Kraton

Dikenakan : Temanten Pria atau putri

Makna : Bahagia, rejeki melimpah, hidup dalam kemuliaan

4. SIDO MUKTI

Nama motif : Sido Mukti

Daerah : Surakarta

Jenis Batik : Batik Petani

Dikenakan : Temanten Putra/Putri (Resepsi /Pahargan)

Makna : Hidup yang didambakan selain keluhuran budi, ucapan, dan tindakan, tentu agar hidup
akhirnya dapat mencapai mukti atau makmur baik di dunia maupun di akhirat.

Biasanya dikenakan oleh pengantin pria dan wanita pada acara perkawinan, dinamakan juga
sebagai ​Sawitan​ (sepasang). ​Sido ​berarti terus menerus dan m
​ ukti​berarti hidup berkecukupan dan
kebahagiaan. Jadi ​motif​ ini melambangkan harapan akan masa depan yang baik.

5. SIDO WIRASAT

Pada ​motif​ ini selalu terdapat komdinasi ​motif​ ini selalu terdapat kombinasi ​motif​truntum di
dalamnya karena melambangkan orang tua akan selalu memberi nasehat dan menuntun kedua
mempelai dalam memasuki kehidupan berumahtangga
6. PARANG KUSUMO

Nama motif : Parang Kusumo

Daerah : Surakarta

Jenis Batik : Batik Kraton

Dikenakan : Calon temanten putri (tukar cincin)

Makna : Hidup harus dilandasi oleh perjuangan untuk mencari keharuman lahir dan batin, ibaratnya
keharuman bunga (kusuma).

7. TRUNTUM

Nama motif : Truntum

Daerah : Kraton Surakarta

Jenis Batik : Batik Kraton

Dikenakan : Orang tua temanten

Makna : Menuntun, yang maknanya menuntun kedua mempelai dalam memasuki liku-liku
kehidupan baru yaitu berumah tangga.

8. WAHYU TUMURUN

Nama motif : Wahyu Tumurun

Daerah : Pura Mangkunegaran

Jenis Batik : Batik Kraton

Dikenakan : Penganten pada waktu panggih

Makna : Wahyu berarti anugerah, temurun berarti turun, dengan menggunakan kain ini kedua
pengantin mendapatkan anugerah dari yang Maha Kuasa berupa kehidupan yang bahagia dan
sejahtera serta mendapat petunjukNya.

9​.​ PARANG RUSAK


Adalah salah satu ​motif​ sakral yang hanya digunakan di lingkungan kraton. ​Motif​ ini juga bisa
mengidentifikasi asal kraton pemakainya, apakah dari kraton Solo atau Yogya.

10. PARANG BARONG

Berasal dari kata “batu karang” dan “barong” (singa). Dulunya dikenakan para bangsawan untuk
upacara ritual keagamaan dan meditasi karena ​motif​ ini dianggap sakral.

Misalnya motif-motif Parang Barong yang pada awalnya hanya digunakan oleh para Raja. Motif
Parang sesungguhnya menggambarkan senjata, kekuasaan. Selaras dengan makna yang ada dalam
motif Parang Barong, maka Ksatria yang menggunakan batik ini bisa berlipat kekuatannya.

11. PARANG KLITIK


Menyimbolkan perilaku halus dan bijaksana. Dulu ​motif​ ini hanya dikenakan oleh para putri raja.

12. PARANG SLOBOK

Menyimbolkan keteguhan, ketelitian, dan kesabaran.

13. SEKARJAGAT
Melambangkan ungkapan cinta dan memelihara perdamaian. Maka tak heran bila​motif​ ini sering
dikenakan dalam pesta pernikahan.

Motif Sekar Jagad mengandung makna kecantikan dan keindahan sehingga orang lain yang melihat
akan terpesona. Ada pula yang beranggapan bahwa motif Sekar Jagad sebenarnya berasal dari kata
“kar jagad” (Kar=peta; Jagad=dunia), sehingga motif ini juga melambangkan keragaman diseluruh
dunia.

14. KAWUNG

Melambangkan kebijaksanaan dan keseimbangan hidup.

15. MEGA MENDUNG


Melambangkan pembawa hujan yang dinanti-nantikan sebagai pembawa kesuburan dan pemberi
kehidupan. Warna biru muda pada ​motif​ ini melambangkan semakin cerahnya kehidupan.

16. POLENG

Menggambarkan kejujuran, keseimbangan, dapat dipercaya dan berani.

17.UKEL
digunakan dalam upacara pernikahan adat Jawa saat ini, seperti motif kain batik: Ukel, Semen Rama;
Semen Raja, pada awalnya juga hanya dikenakan oleh keluarga kesultanan. Hanya digunakan dalam
kesempatan tertentu saja.

18.SEMEN RAMA

Motif Semen dimaknai sebagai penggambaran dari “kehidupan yang semi” (kehidupan yang
berkembang atau makmur). Terdapat beberapa jenis ornamen pokok pada motif-motif semen. Yang
pertama adalah ornamen yang berhubungan dengan daratan, seperti tumbuh-tumbuhan atau
binatang berkaki empat. Kedua adalah ornament yang berhubungan dengan udara, seperti garuda,
burung dan mega mendung. Sedangkan yang ketiga adalah ornament yang berhubungan dengan
laut atau air, seperti ular, ikan dan katak. Jenis ornament tersebut kemungkinan besar ada
hubungannya dengan paham Triloka atau Tribawana. Paham tersebut adalah ajaran tentang adanya
tiga dunia; dunia tengah tempat manusia hidup, dunia atas tempat para dewa dan para suci, serta
dunia bawah tempat orang yang jalan hidupnya tidak benar/dipenuhi angkara murka.

Selain makna tersebut motif Semen Rama (dibaca Semen Romo) sendiri seringkali dihubungkan
dengan cerita Ramayana yang sarat dengan ajaran Hastha Brata atau ajaran keutamaanmelalui
delapan jalan.Ajaran ini adalah wejangan keutamaan dari Ramawijaya kepada Wibisana ketika
dinobatkan menjadi raja Alengka. Jadi “Semen Romo” mengandung ajaran sifat-sifat utama yang
seharusnya dimiliki oleh seorang raja atau pemimpin rakyat.

19 BABON ANGREM

Babon Angrem terdiri dari kata “babon” (induk ayam) dan “angrem” (mengerami telur), sehingga
motif ini melambangkan induk ayam yang sedang mengerami telurnya. Maknanya adalah manusia
hendaknya bersabar, seperti sabarnya seekor induk ayam yang sedang mengerami telurnya hingga
menetas.

20. KAWUNG PICIS

Motif Kawung berpola bulatan mirip buah Kawung (sejenis kelapa atau kadang juga dianggap
sebagai buah kolang-kaling) yang ditata rapi secara geometris. Kadang, motif ini juga
diinterpretasikan sebagai gambar bunga lotus (teratai) dengan empat lembar daun bunga yang
merekah. Lotus adalah bunga yang melambangkan umur panjang dan kesucian.

Biasanya motif-motif Kawung diberi nama berdasarkan besar-kecilnya bentuk bulat-lonjong yang
terdapat dalam suatu motif tertentu. Misalnya : Kawung Picis adalah motif kawung yang tersusun
oleh bentuk bulatan yang kecil. ​Picis​ adalah mata uang senilai sepuluh senyang bentuknya kecil.
Sedangkan Kawung Bribil adalah motif-motif kawung yang tersusun oleh bentuk yang lebih besar
daripada kawung Picis. Hal ini sesuai dengan nama bribil, mata uang yang bentuknya lebih besar
daripada picis dan bernilai setengah sen. Sedangkan kawung yang bentuknya bulat-lonjong lebih
besar daripada Kawung Bribil disebut Kawung Sen.

21. PRINGGODANI

FILOSOFI BATIK BERDASAR DARI WARNANYA


1. Warna coklat.

Warna ini dapat membangkitkan rasa kerendahan diri, kesederhanaan dan mem”bumi”,
kehangatan, bagi pemakainya. (Lihat foto3)

Parang Penggede. Bunga yang sedang merekah dan kupu besar yang indah, melambangkan
“kebesaran” pemilik / pemakainya (foto 3)

Dalam pemakaiannya warna coklat terutama, sering kita temukan dalam motif-motif semen (lihat
foto 2). Dalam motif parang, juga digunakan warna coklat. (lihat foto3)
Motif Semen merupakan salah satu motif indah yang sering kali dipenuhi dengan makna dan arti
yang dapat kita temukan dalam Falsafah Jawa. Suatu motif yang pada saat ini juga hanya dimiliki
oleh pemilik dompet tebal. Hal ini terjadi karena untuk menciptakan motif semen biasanya
memerlukan waktu yang cukup lama. Biasanya motif ini dilukiskan dua kali, baik dari luar dan
maupun dari dalam. Juga pengisian cecek yang harus dilukiskan satu demi satu. Sehingga pembuatan
satu kain panjang bisa memakan waktu lebih dari 6 bulan.

2. Warna biru tua

Rasa ketenangan, effekt kelembutan, keichlasan dan rasa kesetiaan biasanya dapat ditunjukkan
melalui pemakaian warna ini. Warna biru biasanya dapat kita temukan dalam motif batik klassik dari
Yogyakarta. Lihat dalam motif Modang di bawah ini. Sebuah motif yang di sekeliling kain jariknya
dilukiskan bentuk-bentuk parang tuding. Dalam kain panjang ini didasari dengan warna biru. Di
dalamnya diisi dengan motif ganggong ranthé, sejenis bunga.

3. Warna putih

Yang juga muncul dalam motief Yogyakartan, menunjukkan rasa ketidakbersalahan, kesucian,
ketentraman hati dan keberanian serta sifat pemaaf si pemakainya. (foto 5) .

Membaca tentang makna warna seperti yang tersebut di atas, sangatlah dapat dimengerti mengapa
motif Sido Asih ini dikenakan dalam upacara pernikahan adat. Menilik dari pemakaian warna putih
tersirat harapan bahwa calon pengantinnya di kemudian hari akan selalu dilimpahi dengan kasih dan
sayang dalam kehidupan berumah tangganya.

4. Dari warna-warna yang terdapat dalam motif batik juga terdapat warna yang kehitam-hitaman.

Sesungguhnya warna hitam yang dimaksudkan merupakan suatu warna biru yang sangat tua.
Sehingga tampak seperti hitam. Suatu warna yang seringkali memberikan gambaran yang negative.

Tetapi dalam dunia perbatikan orang mengambil segi positif dari yang biasanya bermakna negative.
Jadi warna hitam dalam batik melambangkan antara lain suatu kewibawaan, keberanian, kekuatan,
ketenangan, percaya diri dan dominasi.

Dalam motif itu diperlihatkan berbagai jenis binatang, suatu keaneka ragaman dalam kehidupan
yang toch pada akhirnya dapat saling bertenggang rasa.

Jadi bila seseorang mengenakan motif batik tertentu itu bukan saja berarti bahwa yang
bersangkutan hanya ingin memperlihatkan betapa indahnya motif batikannya tetapi juga sekaligus
ingin dan dapat memperlihatkan fungsi dan kedudukannya dalam masyarakat yang berlaku. Juga
melalui motif batik yang dikenakannya akan tersirat harapan dan makna ungkapan perasaannya. Dan
dengan mengenakan motif tertentu si pemakai juga ingin menyampaikan pesan, karena motif-motif
tersebut tidak terlepas dari pandangan hidup pembuatnya/ pemakainya.

Juga dari pemilihan pemberian nama tentang nama motif batik sangat berkaitan erat dengan suatu
harapan dan tujuan hidup dari pembuatnya.

Dalam Motif Lintang Trenggono dilukiskan kehadiran binatang-binatang malam yang bermunculan
seiring dengan gemerlapannya cahaya bintang-bintang di angkasa raya. Dari si pemakainya
diharapkan dapat menggambarkan betapa puas dan bahagianya (terbebas dari beban berat) hati si
pemakai dalam menikmati kehidupan malam yang penuh dengan gemerlapannya bintang di angkasa
raya. Motif ini biasanya dikenakan dalam resepsi-resepsi.

Dalam motif gringsing digambarkan sisik ikan yang menjadi latar belakang buketan (bouquet), ikatan
bunga yang indah. Setiap sisik ikan dilukiskan dengan warna putih dengan garis pembatas warna
soga (coklat) dan diisi dengan cecek. Si pemakai mengharapkan keindahan, keharuman dan
kebesaran bagaikan bunga dalam motif yang juga disertai dengan kekayaan yang tak terhitungkan,
seperti jumlah sisik ikan yang ada dalam motif itu.

Dua motif di atas saya memberikan gambaran betapa luasnya makna yang terkandung dalam motif
batik klassik Jawa.

Saya kira setiap orang yang mengerti dan mendalami makna dan arti falsafah Kejawen dalam motif
batik klassik Jawa juga mengharapkan bahwa makna yang tersirat dalam motif akan menjadi
kenyataan dalam kehidupan sehari-harinya. Untuk saya, paling tidak sudah saya mulai dengan
memiliki dulu kain jariknya. . Bagaimana dengan pembaca Baltyra?

Bila kita memperhatikan motif-motif batik klassik Jawa, tampak bahwa setiap motif biasanya hanya
dikenakan dalam kesempatan yang tertentu.

Itulah beberapa motif dan filosofi batik yang berasal dari tanah Jawa. Tidak hanya sebagai sandang
saja, tetapi dibalik keunikannya batik memiliki makna yang dalam yang melambangkan berbagai
peristiwa. Sebagai salah satu pakaian tradisional Indonesia yang ditetapkan Unesco menjadi salah
satu ‘The World Heritage’, tidak ada salahnya bagi kita untuk melestarikan batik karena saat ini
batik telah hadir dengan berbagai macam model yang modern. Untuk itu sebagai orang Indonesia,
hendaknya kita turut bangga dan melestarikan batik sebagai salah satu warisan budaya Indonesia

SUMBER :

1. ​http://tseljatengdiy.com/genmerapi/arti-filosofis-di-balik-setiap-motif-batik

2. ​http://diasraka.wordpress.com/2012/06/03/filosofis/

3. ​http://mode.infogue.com/mengungkap_makna_motif_batik

Anda mungkin juga menyukai